85
mungkin tidak sepenuhnya dapat dibenarkan namun hal tersebut secara psikologis telah
memicu ketegangan di dalam masyarakat yang heterogen di Indonesia.
Pada masa sebelum surat keputusan ini dikeluarkan bantuan-bantuan luar negri
tidak atau di luar kontrol pemerintah. Dengan dikeluarkannya surat keputusan ini maka
segala hal yang berkaitan dengan dana-dana bantuan dari luar negri dikontrol secara
ketat oleh pemerintah. Isi surat keputusan tersebut adalah bahwa bantuan luar negri
kepada lembaga keagamaan di Indonesia,baik berupa tenaga, benda atau keuangan,
harus dimintakan persetujuan Menteri Agama terlebih dahulu, agar dapat diketahui
bentuk bantuannya, negara/lembaga luar negri yang memberikan, serta pemanfaatan
bantuan. Hal ini dengan harapan bahwa pemerintah dapat memberikan bimbingan,
pengarahan dan pengawasan terhadap bantuan tersebut, sehingga bisa dimanfaatkan
sebaik-baiknya untuk mendukung pembangunan nasional (Azyumardi Azra, 1998:339).
Kedua surat ini kemudian diperkuat dengan Surat Keputusan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negri No.1 tahun 1979. Sudah dapat dipastikan bahwa
kelompok Kristen Protestan dan Khatolik yang sangat keberatan dengan kedua surat
keputusan ini. Hal ini tentu terkait dengan kegiatan misi yang telah dilakukan oleh
kedua agama ini dengan sangat gencar. Reaksi luar negri juga tidak dapat dihindarkan
dengan alasan bahawa agama adalah merupakan hak azai manusia.
Akan tetapi era ini adalah suatu era dimana kekuatan negara sangat mendominasi
kekuatan politik di Indonesia. Atas nama kerukunan umat beragama pemerintah telah
menciptakan sebuah tatanan yang begitu kuat dan memasuki ruang-ruang kehidupan
keagamaan itu sendiri. Dogma-dogma keagamaan secara tidak langsung diredusir guna
disesuaikan dengan konteks politis yang mengatasnamakan stabilitas nasional. Pada sisi
86
ini kemudian agama tidak lagi memiliki daya tawar yang kuat ketika berhadapan dengan
pemerintah.
d. Hegemonisasi Agama Melalui Ideologi dan Militerisme
Dalam pidatonya di Pekanbaru tanggal 27 Maret dan 16 April 1980 di depan
Rapim ABRI, dengan nada yang agak marah, Presiden Presiden Soeharto mengatakan
bahwa masih ada banyak organisasi-organisasi yang masih menganut ideologi lain
selain Pancasila dan untuk itu angkatan bersenjata harus mendukung kelompok-
kelompok yang benar-benar membela dan mengikuti Pancasila. Tuduhan yang paling
jelas terhadap kelompok-kelompok yang masih menggunakan ideologi lain selain
Pancasila sebenarnya secara jelas diarahkan kepada Islam khususnya PPP – dalam hal
ini kepada NU - yang walk out dari sidang MPR. Pertanyaannya tentu mengapa kepada
Islam?
Kerasnya tuduhan kepada Islam sebagai kelompok yang masih belum mau
menerima Pancasila sebagai ideologi sebenarnya lebih dibayang-bayangi oleh sejarah
masa lalu yang mengaitkan persoalan Islam negara. Persepsi utama bagi Presiden
Soeharto dan ABRI adalah bahwa sebuah negara yang dikaitkan dengan Islam akan
membahayakan kesatuan nasional. Persepsi ini diperkuat oleh upaya untuk
menghidupkan kembali Piagam Jakarta dalam perdebatan-perdebatan di MPRS pada
tahun 1968 (Douglas E. Ramage:49). Dalam hal ini jelas bahwa pemerintah – dalam hal
ini Seoharto dan ABRI – sangat menghendaki agar kekuatan agama (baca: Islam) tidak
menjadi sumber legitimasi bagi pemerintahan di Indonesia. Oleh karenanya usaha untuk
memarginalisasikan kekuatan agama (baca: Islam) cenderung menjadi “proyek” utama
bagi kepentingan politik di Indonesia. ABRI, dengan latar belakang sejarah panjangnnya
87
berhadapan dengan kelompok “pemberontak Islam” seperti DI/TII (Jenkins, 1984:8-9),
secara tegas mendukung kekuatan Orde Baru yang berpatokan pada Pancasila. Dengan
kata lain bahwa setiap kelompok yang tidak mengakui Pancasila maka dia akan
berhadapan tidak saja dengan pemerintah Orde Baru tetapi juga dengan ABRI.
Hal ini yang terkadi dengan PPP dan NU yang tidak dapat melakukan banyak
hal di dalam menyikapi kebijakan azas tunggal ini. Hal ini karena kedua kelompok ini
harus melakukan kompromi-kompromi politik agar tetap dapat bertahan di dalam
memainkan peran politik di Indonesia. PPP, di bawah pimpinan Naro, telah menjadi
sebuah partai yang di”berangus” oleh kekuatan politik Orde Baru. Sementara itu, NU
yang terlihat sangat agresif ketika mengkritisi kebijakan P4, kemudian menjadi
melemah sejalan dengan ide kembali ke khitah 26 melalui Muktamar NU ke 27 di
Situbondo. Bagi NU sikap kooperatif dalam menanggapi gagasan agar pancasila
menjadi azas tunggal adalah demi mengubah sikap konfrontasinya yang selama ini
dilakukan terhadap pemerintah. Selanjutnya penerimaan azas tunggal ini diikuti oleh
sekian banyak ormas Islam dengan berbagai pergumulan yang dihadapi. Pertanyaannya
tentu adalah mengapa demikian mudah Islam menerima konsep azas tunggal Pancasila
ini sebagai sebuah ideologi? Hal ini tidak lain adalah karena kuatnya represi terhadap
setiap partai dan golongan yang ada pada saat itu. Sikap represif ini tercermin dari
kuatnya peran militer dalam menyukseskan semua rencana kebijakan negara Orde Baru
pada saat itu. Sikap hegemoni negara ini sama sekali telah menghilangkan sikap-sikap
kritis dari berbagai kalangan bahkan dengan cara struktural dan non-struktural
mengancam serta menghabisi lawan-lawan politik – yang sering diberi label anti-
Pancasila. Perlawanan akhirnya datang sebagai sebuah kekuatan yang sering dianggap
88
sebagai gerakan fundamentalis dengan berbagai aksi yang dilakukan seperti peristiwa
Tanjung Priok, Lampung Berdarah, pemboman BCA, pemboman Candi Borobudur dan
Markas tentara di Cilandak, dan pembajakan pesawat Garuda.
Kalangan Islam secara umum menyayangkan terjadinya peristiwa-peristiwa
tersebut yang dianggap tidak mewakili umat Islam Indonesia. Secara resmi seluruh
kekuatan Islam pada saat itu dan ormas-ormas agama lainnya telah secara utuh
menerima Pancasila sebagai azas tunggal. Hanya yang disayangkan adalah penggunaan
kekerasan yang terjadi, khususnya dalam kasus Tanjung Priok yang telah
menghilangkan ratusan nyawa dengan kekuatan senjata militer. Apakah hal ini
merupakan sebuah representasi kuatnya negara Orde Baru, dalam hal ini Presiden
Soeharto, yang bersifat hegemonik? Pada saat itu dapat dikatakan benar bahwa
kekuatan korporasi antara Presiden Soeharto, militer dan Golkar adalah sebuah kekuatan
yang bersifat hegemonik yang sama sekali tidak memberi ruang bagi munculnya realitas
kepelbagaian atas nama pembangunan bangsa.
e. Pendekatan yang Akomodatif Terhadap Agama (Islam): Usaha Membangun
Kembali Kekuatan Politik
Era tahun 1989-1995 sering dilihat sebagai terjadinya manuver politik Orde Baru
yang dianggap lebih bersifat terbuka (politik keterbukaan). Banyak pengamat melihat
hal ini sebagai berkurangnya dukungan militer terhadap Presiden Soeharto dan
sebaliknya. Selain itu juga perubahan dalam aras sosial kemasyarakatan dimana
kesehatan dan pendidikan masyarakat semakin tinggi sehingga tingkat kekritisan
masyarakat semakin baik. Munculnya “kelas menengah” Indonesia dan kelompok urban
modern serta penguasaan teknologi yang mampu memberi informasi lebih banyak
89
mengenai keadaan politik Indonesia, telah menempatkan memberi sinyal kepada rezim
Orde Baru untuk mereposisi kembali pendulum politiknya (David Bourchier dan Vedi
R.Hadiz, 2003:16). Dalam era ini pendulum swing lebih ditujukan kepada kekuatan
Islam sebagai usaha untuk menjamin kekuasaan politik Orde Baru. Hal ini terjadi akibat
“retaknya” hubungan politis diantara Presiden Soeharto dan Angkatan Darat. Ramage
mengatakan bahwa hal ini ditandai beberapa persoalan seperti diangkatnya wakil
Presiden Soedharmono yang dianggap tidak mewakili aspirasi Angkatan Darat. Selain
itu juga terdapat suatu persepsi di kalangan ABRI bahwa kepentingan-kepentingan
politis Presiden Soeharto tidak lagi seiring dengan persepsi ABRI tentang kepentingan-
kepentingan institusional dan nasionalnya sendiri. Hal ini mengakibatkan munculnya
ketidaksenangan dari sebagian besar pemimpin ABRI yang berani mengatakan bahwa
Presiden Soeharto sudah terlalu lama menjabat (Douglas E. Ramage:75-76).
Retaknya hubungan ini telah memberikan sebuah manuver politik yang baru bagi
rezim Orde Baru untuk mendekati Islam sebagai salah satu kekuatan massa di Indonesia.
Pada era inilah kemudian sering disebut dengan era politik akomodasi antara pemerintah
Orde Baru dan Islam. Pembentukan ICMI disambut hangant oleh kelempok Muslim
perkotaan termasuk sejumlah tokoh-tokoh LSM dan tokoh-tokoh intelektual yang
selama ini beroposisi dengan Orde Baru. Dukungan Peperintah kepada Islam ini paling
tidak telah mengurangi sikap oposisi kepada pemerintah Orde Baru selama kurun waktu
terebut. Hal ini juga ditandai dengan munculnya pemikiran-pemikiran dari kalangan
Islam mengenai prinsip-prinsip Islam negara yangbersifat kultural dari pada bersifat
politik. Orinetasipemikiran yang demikian sangat kuat di bawa oleh dua pemikir besar
Islam Indonesia Abdurahman Wahid dan Nurcholis Majid. Bagi mereka cita-cita Islam
90
negara tidaklah menjadi isu yang relevan saat itu dan menegaskan pentingnya sebuah
pemahaman terhadap Islam yang inklusif dan demokratis tanpa adanya jeharusan untuk
mendirikan negara Islam. Namun demikian secara kritis posisi akomodasi Islam - negara
ini tetap dilihat sebagai memberi ruang bagi kekuasaan Orde Baru dan bukan bagi
kepentingan Islam. Pada sisi inilah kemudian tidak semua komponen-komponen yang
ada di dalam Islam mendukung adanya politik akomodasi Islam negara ini.
1. UU No. 7/1989 Tentang Peradilan Agama
Keberadaan Peradilan Agama (PA) di Indonesia sebenrnya sudah muncul jauh
sebelum kolonialisme ada di Indonesia. Namun sampai seabad yang lalukeberadaannya
dinilai masih bersifat semu. Hal ini karena tugas dan wewenang PA sellama itu berpihak
kepada peraturan perundangan lama, dua diantaranya masih merupakan produk dari
pemerintah kolonial yaitu staatsblaad 1882 dan tahun 1937 (Tempo, 4 Februari 1989).
Kebijakan ini sejak awalnya juga hanya diperuntukkan bagi daerah-daerah Jawa,
Madura dan sebagian Kalimantan Selatan. Hal ini sekaligus merupakan pengebirian dari
eksistensi PA yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum kebijakan yang ditetapkan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Lembaga PA – sebelum masa kolonial – memiliki
wewenang mengadili berbagai perkara perdata di bidang hukum keluarga Islam, seperti
perkawinan, waris, wakaf dan yang lainnya. Pada masa itu masyarakat menyebutnya
“Pengadilan Serambi” karena bersidang di serambi Mesjid. Sejak masuknya campur
tangan Belanda di dalam PA inimaka – khususnya di Jawa, Madura dan Kalimantan
Selatan – tugas PA hanya mengurusi masalah nikah, talak, cerai dan rujuk, tidak boleh
mengurusi waris. Perkara soal waris dilimpahkan ke Peradilam Umum. Selanjutnya
bahwa PA ini memiliki keterbatasan-keterbatasan di dalam kewenangannya.
91
Keterbatasan tersebut nampak pada persoalan yang paling nyata yaitu bahwa PA tidak
berwenang mengeksekusi langsung keputusannya sendiri. Dengan kata lain PA belum
sederajat dengan Peradilan yang lain seperti Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha
Negara dan Peradilan Militer.
Atas dasar inilah kemudian pemerintah Orde Baru, melalui Menteri Agama
Munawir Sadjali mengusulkan adanya draft RUU PA yang baru khususnya mengenai
kejelasan kedudukan dan fungsi PA di Indonesia. Selain itu berdasarkan UU no 14/1970
yang menyatakan bahwa kekuasaan Kehakiman Negara RI dilaksanakan oleh badan-
badan pengadilan dalam empat lingkungan peradilan yaitu Umum, Agama, Militer dan
Tata Usaha Negara. Dengan demikian PA merupakan sub-sistem dari sistem Peradilan
Nasional.
Namun demikian RUU Peradilan Agama sejak awal telah membawa
pertentangan yang keras di antara umat beragama. Dukungan keras ini muncul dari
kalangan Islam, sedangkan reaksi yang menentang muncul terutama dari kalangan
Kristen dan Katolik. Ada tuduhan dari kelompok Kristen – Katolik bahwa kebijakan ini
memiliki hubungan dan "komitmen rahasia" dengan kelompok-kelompok ekstrem
kanan, yaitu DI/TII. Kelompok ini menuduh bahwa RUU Peradilan Agama ini selain
didasari semangat menghidupkan kembali "Piagam Jakarta," juga mendiskriminasikan
kelompok-kelompok non-Islam. Reaksi keras dari PGI sebagai organisasi resmi
kelompok Kristen menolak RUU dengan argumentasi bahwa:
1. Sesuai dengan konsep "Wawasan Nusantara" maka semestinya hanya ada satu
sistem hukum nasional untuk menyelesaikan masalah-masalah masyarakat.
2. RUU ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
92
Reaksi-reaksi keras ini baru mulai reda setelah Presiden menegaskan bahwa
RUU tersebut dimaksudkan untuk melindungi kaum Muslim Indonesia dalam aspek-
aspek yang berkaitan dengan ibadah sebagaimana dijamin oleh Pasal 29 UUD 1945.
Pemerintah berkeyakinan bahwa kaum Muslim membutuhkan pengadilan sendiri untuk
menyelesaikan masalah-masalah hukum di antara mereka. Selain itu UU tersebut tidak
akan mengganggu kepentingan penganut agama lain karena hanya berlaku bagi umat
Islam, itu pun masih terbuka peluang untuk memilih. Dinyatakan bahwa kebanyakan
umat Islam lebih memilih menyelesaikan masalahnya di pengadilan agama atau umum.
Akan tetapi hampir 99% umat Islam menyelesaikan masalahnya di pengadilan agama.
Hal ini sekaligus menjawab bahwa persoalan UU Peradilan Agama tidak bersifat
memaksa. Dengan demikian persoalan UU Peradilan Agama ini tidak lagi menjadi
persoalan bagi umat non-Muslim yang kuatir akan munculnya konsep Piagam Jakarta
dalam kebijakan ini. Namun demikian hal yang perlu dipahami adalah bahwa
pemerintah dalam hal ini telah memasuki ruang-ruang yang sangat eksklusif dari
kehidupan keagamaan dan kemudian menariknya keluar sebagai sebuah produk
kebijakan yang sekuler. Dengan demikian tidak akan ada kebijakan-kebijakan
keagamaan selain didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum agama yang telah
disepakati oleh negara.
Hal yang menarik adalah melihat pembicaraan ini di tingkat DPR. Pada sesi
dengar pendapat dan pemandangan umum tanggal 12 Juni 1989 beberapa pertanyaan
kritis muncul mengenai RUU PA ini. Secara umum fraksi-fraksi yang ada di DPR pada
saat itu menerima draft tentang RUU PA ini. Fraksi Persatuan Pembangunan
mendukung penuh RUU PA. Fraksi Karya Pembangunan juga mendukung dengan
93
beberapa pasal perlu dijelaskan oleh pemerintah. Dalam pandangan umum Fraksi ABRI
yang biasanya sangat kental dengan isu nasionalisme, namun dalam memahami draft
RUU PA ini terlihat sangat mendukung keberadaan RUU PA. Fraksi ABRI menyatakan
bahwa RUU PA ini tidak menjurus untuk Piagam Jakarta. Alasan yang diberikan fraksi
ABRI antara lain, pertama, bahwa penegakan hukum perdata Islam hanyalah tertentu
pada perkara tertentu bukan seluruh syariat Islam. Kedua, ABRI akan melakukan
pengamanan secara berlapis untuk menjamin UU ini tidak menjurus kepada Piagam
Jakarta (Suara Pembaruan, 14 Juni 1989).
Hal ini bagi Fraksi ABRI dapat dimulai dengan memberikan tekanan yang jelas
secara dini harus ditentukan bahwa hakim, panitera, juru sita dan pegawai lainnya
dilingkungan PA tidak terlibat organisasi terlarang. Persyaratan tidak terlibat PKI saja
tidak cukup dan harus ditambahkan dengan tidak terlibat organisasi terlarang. Hal ini
secara langsung mengacu pada beberapa organisasi Islam yang telah dilarang di
Indonesia (lih. Pasal 27 – pasal 45 UUPA) (DEPAG RI, 2001).
Dalam pemandangan umum dan dengar pendapat ini hanya fraksi PDI yang
tidak menegaskan dukungannya. Namun juga tidak secara eksplisit menolak. Fraksi PDI
meminta agar pemerintah menjelasakan hal-hal yang berkenan dengan eksistensi PA
dalam negara Konstitusional yang berdasarkan UUD 1945 dan substansinya yang dapat
menimbulkan diskriminasi perlakukan terhadap pencarikeadilan berdasarkan agama.
Bahkan dalam kaitannya dengan heterogenitas di Indonesia fraksi PDI menanyakan
beberapa peroalan seperti: kaitan PA dengan sistem hukum nasional dan wawasan
nusantara, kemungkinan akibat psikologis dengan golongan lain dan hubungannya
dengan Piagam Jakarta.
94
Dalam jawabannya pada tanggal 19 Juni 1989 pemerintah menegasakan
beberapa hal berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh fraksi PDI.
Hal-hal yang berkaitan dengan heterogenitas di Indonesia ditegaskan bahwa (DEPAG
RI, 2001):
RUU PA bertolak dalam kerangka pemahaman Pancasila sebagai dasar negara
dan sebagai cita hukum yang harus mampu menyaring mana yang sesuai
dengan nilai-nilai intrinsik dan nilai-nilai dasar yang dikandungnya dan mana
yang tidak. Dalam pembangunan nasional Pancasila tetap akan merupakan
perangkat penyaring dari berbagai asas hukum baik yang berasal dari barat,
hukum Islam maupun yang berasal asas dan kaidah hukum adat. Khususnya
yang dapat berasal dari kaidah atau asas hukum Islam adalah yang telah
dihayati dan hidup di kalangan bangsa Indonesia dan karenanya telah menjadi
milik bangsa Indonesia khususnya yang beragama Islam yang telah berproses
selam ratusan tahun dan telah menyatu menjadi bagian dari budaya bangsa
Indonesia. Hukum yang bersumber pada hukum Islam dapat dijadikan hukum
nasional sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nlai Pancasila dan UUD
1945, sebagimana yang ditemukan dalam hukum perkawinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf dan shodoqoh yakni hukum yang mengatur kehidupan
masyarakat agar menjadi tertib dan tentu mencapai kebahagiaan lahir dan
batin.
Selanjutnya pemerintah juga menegaskan beberapa hal yang berkaitan dengan
wawasan nusantara dan akibat politis dan psikologis dengan golongan lain yaitu bahwa
pemerintah mengajak semua pihak agar dalam memahami pasal-pasal dalam UUD 1945
tidak terlepas kaitannya dengan pasal-pasal yang lain. Pasal 27 ayat 1 tidak terlepas dari
pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menegaskan bahwa pemerintah menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah
menurut agama dan kepercayaannya itu. Sedangkan pasal 27 ayat 1 menjelaskan bahwa
setiap orang dalam negara RI mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum dan
mempunyai kedudukan yang sama dalam mengabdi kepada negara di bidang
pemerintahan dan harus mendapat pelayanan hukum sesuai dengan kebutuhannya.
95
Selanjutnya dinyatakan bahwa perwujudan wawasan nusantara di bidang hukum
terkandung di dalamnya wawasan kebangsaan, wawasan ke-Bhinneka Tunggal Ikaan.
Oleh karena itu satu hukum nasional haruslah diartikan satu sistem hukum nasional.
Dalam peraturan perundang-undangan ada hukum yang khusus berlaku bagi anggota
TNI (dulu ABRI), hukum keprotokolan yang berlaku khusus bagi para pejabat negara
dan tokoh masyarakat tertentu yang diatur dalam UU keprotokolan. Dalam lingkup
hukum yang tidak tertulis, ada hukum adat Minangkabau, hukum adat Batak, hukum
adat Jawa. Kesemuanya itu harus berada dalam satu hukum nasional (DEPAG RI,
2001). Dalam mengartikan kalimat Satu Hukum Nasional yang mengabdi pada
kepentingan nasional, hendaknya hal itu tidak diletakkan pada hanya satu kesatuan
hukum dalam arti satu hukum yang diunifikasikan yang berlaku untuk seluruh bangsa
Indonesia, karena kalau demikian itu yang diterapkan maka akan terjadi pemaksaan-
pemaksaan hukum kepada golongan-golongan dalam masyarakat yang akan
menimbulkan ketidakadilan (DEPAG RI, 2001).
Terhadap pertanyaa fraksi PDI mengenai hubungan PA dengan Piagam Jakarta,
pemerintah menyatakan bahwa Presiden Presiden Soeharto kepada delegasi
Muhammadyah tanggal 29 Mei 1989 telah menegasakan bahwa RUU peradilam agama
tidak ada akitannya dengan Paiagam Jakarta. RUU PA ini menurut Presiden sesuai
dengan pasal 29 ayat 2 UUD 1945 dan amanat dari UU No. 14/1970 dimana dinyatakan
bahwa kekuasaan Kehakiman di negara Kesatuan RI dilakukan oleh Pengadilam Islam
dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilam Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara (DEPAG RI, 2001).
96
Dalam pembicaraan selanjutnya di DPR memang terjadi perdebatan yang sengit
berkaitan dengan pencantuman pasal 29 dan pasal 27 UUD 1945 dalam konsideran
“Mengingat”. Fraksi ABRI mengusulkan untuk menambahkan konsideran “Mengingat”
dengan pasal 29 tidak pasal 27. Sedangkan fraksi PDI mengusulkan untuk menambah
pasal 27 dan pasal 29. Alasan PDI pertama berkaitan dengan masalah sosiolgis dan
filosofis, bukan alasan agama. Kedua, karena Presiden Presiden Soeharto sendiri
menunjuk pasal 29 ayat 1 UUD 1945 ketika muncul kekuatiran dari beberapa pihak
terhadap pengajuan RUU PA ke DPR. Ketiga, untuk menyangkal sementara pihak yang
meragukan RUU PA bersumber pada UUD 1945. Sementara itu pencantuman pasal 27
dan pasal 29 ini kemudian mendapat sanggahan dari fraksi F-KP dan F-PPP dan juga
pemerintah yang mengemukakan bahwa pasal 27 dan pasal 29 tidak perlu dimasukan di
dalam konsideran ‘Mengingat”. Perbicangan masalah konsideran ini akhirnya tidak
mendapatkan jalan keluarnya. Pada akhirnya dilakukan dengan cara lobby kepada
berbagai pihak dan melalui lobby ini kemudian mendapatkan jalan keluarnya berama
yaitu bahwa pasal 29 tidak perlu dicantumkan sebagai salah satu konsideran
“Mengingat” dalam Undang-Undang Peradilan Agama. Akhirnya melalui berbagai
perdebatan yang sengit maka pada tanggal 29 Desember 1989 Presiden Soeharto
menadatangani RUU PA itu sehingga resmi mulai berlaku menjadi Undang-Undang.
Dalam era tahun 1970-an kebijakan pemerintah sering berhadapan dengan reaksi
yang keras dari golongan Islam. Pemerintah bersama dengan ABRI berhadapan dengan
golongan Islam. Namun dalam era ini kekuatan politik Islam terintegrasi di dalam
kebijakan-kebijakan pemerintah berhadapan dengan kekuatan politik non Islam dan
97
kelompok nasionalis. Atau dengan kata lain pola-pola politik akomodasi Islam negara
mendapatkan bentuknya yang semakin baik.
2. Usaha (Politis) Merangkul Umat Islam: Pembentukan ICMI
Kelahiran ICMI disambut dengan sangat antusias oleh umat Islam di Indonesia,
Simposium Nasional Cendikiawan Muslim Indonesia yang mengambil tema
“Mengembangkan Masyarakat Indonesia Abad XXI”. Merupakan sejarah baru bagi
perjalanan umat Islam di Indonesia. Hasil dari simposium itu tidak hanya merupakan
konsep-konsep yang teoritis saja yang kemudian disampaikan kepada MPR. Tetapi juga
kesepakatan untuk membentuk sebuah organisasi besar yaitu ICMI (KOMPAS, 6
Desember 1990).
Tentunya banyak pertanyaan yang dilontarkan dari berbagai kalangan, baik dari
kalangan Islam maupun non Islam tentang kehadiran organisasi ini. Tidak hanya
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat informatoris, tetapi juga yang pada prinsipnya
merupakan kritik yang sangat tajam bagi organisasi ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut
muncul sehubungan dengan kenyataan bahwa sebenarnya organisasi ini tidaklah akan
mejadi besar, jika tidak ada campur tangan dari “Pihak luar”. Sedangkan ide dasar dari
Erik Salman. Al Iqbal, Ali Mundakir, Muhamad Zaenuri dan Awang Surya-lima
mahasiswa Universitas Brawijaya Malang adalah hanya mengumpulkan para
Intelektualis Muslim dalam suatu Simposium, bukan dalam rangka membentuk sebuah
organisasi semacam ICMI.
Kalau pada akhirnya ide ini menjadi sebuah ide yang besar, dalam rangka
membuat sebuah organisasi, hal itu tidak terlepas dari peranan DR. Dawam Raharjo dan
98
DR. Immanuddin Abdurrahim. Karena merekalah yang mengusulkan untuk tidak hanya
mengumpulkan para intelektualis Muslim dalam sebuah simposium saja, akan tetapi
lebih jauh dari itu, yaitu membentuk lembaga Intelektual Muslim dengan program yang
realistis (Hefner).
Melalui kedua orang tersebut maka dimulailah suatu perjalanan sejarah dari kelima
mahasiswa tersebut untuk menjumpai seratus nama “para Intelektual” Muslim dalam
rangka mendukung ide tersebut. Dan pada akhirnya terkumpulah 49 (empat puluh
sembilan) tanda tangan (KIBLAT No. 46, 28 Desember 1990). Termasuk salah satunya
adalah Prof. DR. B.J. Habibie yang pada mulanya sebenarnya “ragu-ragu” akan hal
tersebut, dengan alasan bahwa dia bukanlah figur yang tepat untuk memimpin organisasi
dengan label-label ke Islaman. Selain itu juga menurutnya, bahwa dia adalah seorang
engineer, seorang “pembuat” pesawat terbang, sehingga kurang tepat jika dia disuruh
untuk memimpin organisasi Intelektual Muslim (KIBLAT No. 46, 28 Desember 1990).
Hefner juga menyatakan bahwa ketakutan Habibie disebabkan oleh ketakutannya
“Terpisah dari Bapak” (Hefner). Ketakutan ini bukanlah menjadi suatu penghalang
utama untuk menjadikan Habibie sebagai Ketua Umum Organisasi ICMI ini. Ketakutan
“Terpisah dari Bapak” bukanlah menjadi persoalan utamanya, karena pada prinsipnya
Presiden Seoharto sendiri sangat “setuju” dengan pembentukan ICMI dan mengizinkan
Habibie untuk memimpin organisasi ini tersebut.
Pemukulan beduk oleh Bapak Presiden Presiden Soeharto pada tanggal 6
Desember 1990 di Universitas Barawijaya Malang, menandai peresmian dari
Simposium “Membentukan Masyarakat Indonesia Abad XXI” dan sekaligus menandai
kesungguhan Presiden Presiden Soeharto dalam menyetujui pembentukan ICMI.
99
Namun demikian keberadaan ICMI tentu tidak bisa terlepas dari berbagai kritik
yang ada. Kritik yang sangat relevan tentunya yang berasal dari kalangan cendikiawan
Muslim sendiri, misalnya Abdurrahman Wahid, Ridwan Saidi, Deliar Noer dan Mochtar
Lubis. Kritik Abdurrahman Wahid terhadap ICMI antara lain adalah bahwa ICMI
tetaplah wadah yang sangat eklusif dan sektarian: karena menjadi “Preocupatie” dengan
memusatkan perhatiannya kepada bendera Islam dan pembuatannya adalah orang-orang
formal dari umat. Baginya ICMI lahir karena tekanan-tekanan ikatan primodial, dan
tekanan-tekanan itu telah menimbulkan upaya untuk melakukan counter terhadap
kelompok lain dengan membangun institusi melalui pemanfaatan sisi kekuasaan yang
ada di Indonesia sekarang (PRISMA, N0.3 Tahun ke-XX, 1991). Selain itu menurutnya
pembentukan ICMI merupakan salah satu contoh “telanjang” dari bagian rezim yang
berkuasa memanipulasi Islam agar memperkokoh dukungan simpati, dengan demikian
menunjukkan legitimasi kekuasaannya. Melalui ICMI para tokoh cendikiawan Islam
membiarkan diri mereka dimanipulasi oleh Presiden Presiden Soeharto agar berpeluang
melaksanakannya agenda politik mereka sendiri. Hal ini, menurutnya, memberikan
“Peluang” kepada beberapa tokoh Islam yang tidak menghayati visi kenegaraan yang
menekankan kepada kemajemukan berdasarkan toleransi beragama dan persatuan
nasional, untuk melaksanakan agenda politik mereka sendiri. Dan itu akan mendorong
kembalinya faktor agama dalam proses politik (Ellyasa K.H. Dhrawis, 1994). Dengan
kata lain Abdurrahman Wahid sebenarnya curiga bahwa dengan terbentuknya ICMI,
maka Islam masih berupaya terus untuk menegakkan sebuah negara Islam di Indonesia.
Dalam kritiknya Deliar Noer, seperti yang diungkapkan oleh Syafii Anwar,
mengatakan bahwa ada dua hal mengapa ia sama sekali tidak tertarik untuk masuk
100
menjadi anggota ICMI. Pertama Habibie pada dirinya sendiri adalah orang yang tidak
mendalami ke-Islaman secara bersungguh-sungguh. Kedua, bahwa ICMI bukanlah
sebuah organisasi yang reperesentatif bagi umat Islam, tetapi merupakan “hasil
rekayasa” untuk pemilihan kembali presiden Presiden Soeharto (Syaiful Muzani, 1993).
Sedangkan Ridwan Saidi mengkritik kriteria kecendikiawanan dari ICMI. Dia
mengatakan bahwa nilai-nilai kebenaran serta ungkapan atas kenyataan yang dilihat dan
diamati oleh cendikiawan adalah diutarakan secara individual dan bukan massal,
walaupun dalam membawakan peranan cendikiawannya berorientasi bahkan berpihak
kepada kepentingan rakyat (Media Indonesia 8 Desember 1990).
Kenyataan di atas, paling tidak, sudah merupakan indikasi bahwa tidak semua
cendikiawan Islam setujua dengan pembentukan ICMI. Dengan kata lain terdapat
“Pemecahan” di kalangan pemimpin-pemimpin Islam itu sendiri, baik yang tergabung di
dalam ICMI maupun yang diluar ICMI. Kenyataan demikian oleh DR. Lance Castle,
disebut dengan “Reaksi Negatif Ekstern, Perpecahan Intern (Lance Castle, Paper Kuliah
Umum UKDW, 1995).
Tidak dapat disangkal bahwa penampilan ICMI sebagai organisasi yang bersifat
keilmuan dan kecendikiawanan, tidak terlepas dari permasalahan politik. sehubungan
dengan itu yang menjadi pertanyaan adalah: Politik seperti apa yang dimainkan oleh
ICMI sebenarnya?
Sejak sebelum dan sesudah terbentuknya ICMI, pertanyaan-pertanyaan di sekitar
itu telah banyak dilontarkan orang, yang semuanya sebenarnya berintikan masalah
“Ketakutan” akan jatuhnya Islam dalam kancah politik praktis-konvesional.
101
“Ketakutan” itu muncul sehubungan dengan kenyataan sejarah bahwa peranan Islam
dalam politik praktis-konvensional tidak pernah berhasil.
Bahwa ICMI adalah lembaga non politis-tetapi dengan kemampuan politis-diakui
dengan terus terang oleh “orang dalam” ICMI sendiri, seperti DR. Affan Gafar dan DR.
Amien Rais. Menurut DR. Affan Gafar, bahwa ICMI tidak mungkin tidak berpolitik.
Menurutnya tidak ada ormas di Indonesia yang tidak berpolitik. ICMI –pun demikian,
hanya artikulasinya saja yang berbeda dengan Ormas lain. sebagai lembaga yang
mampu menghimpun kaum cendikiawan, ICMI merupakan lahan yang sangat efektif
untuk menghalangi potensi, mengkomunikasikan, mempersatukan, menggalang potensi,
mengkomunikasikan, mempersatukan, menggalang lobby dan sebagainya. Peranan
politik ICMI yang paling penting adalah mengkonsolidasikan hubungan yang
konfrontatif antara Islam dan birokrasi orde baru (Syafii Anwar, 1993).
Sedangkan menurut DR. Amien Rais bahwa kelahiran ICMI adalah gejala yang
sangat politis karena ICMI merupakan ikatan kaum cerdik cendikiawan dan “orang-
orang yang berpikir”. karena itu walaupun dalam penampilannya tidak berbicara soal
politik, namun bukan berarti tidak berpikir, secara konseptual maupun strategis, tentang
askes kekuasaan (Syafii Anwar, 1993).
Dari pernyataan “dua orang dalam” ICMI tersebut, maka tidak bisa diragukan
bahwa terdapat peranan politis ICMI di kalangan birokrasi pemerintah. Jika
dihubungkan dengan ketakutan para kritikus Islam non ICMI, maka persoalannya
sebenarnya harus diletakkan pada pertanyaan bagaimana sebenarnya artikulasi politik
tersebut, mengingat lobby-lobby politis atas nama kepentingan Islam kultural telah
banyak dilakukan. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pemerintah Orde Baru
102
secara politis telah menggunakan kekuatan agama (Islam) untuk tetap melanggengkan
kekuasaan politik pemerintahan Orde Baru tersebut.
Kecurigaan negara terhadap peran politik agama (khsusnya Islam) di era
pemerintahan Orde Baru telah mempersempit ruang gerak politik agama di Indoesia.
Hal yang utama adalah pada era pemerintahan Orde Baru bukan saja gerak politik
keagamaan yang dibatasi tetapi juga eksistensi keagamaan diatur sedemikian rupa untuk
mendukung politik stabilitas yang menjadi tujuan utama kehidupan bernegara di
Indonesia. Pengaturan yang sedemikian rupa telah membatasi hak-hak hidup umat
beragama bahkan agama telah dijadikan sebuah kendaraan politik guna mendukung
kekuatan negara. Negara menjadi semakin kuat dengan melemahkan salah satu unsur
potensial yang ada yaitu heterogenitas keagamaan di Indonesia.
D. Kesimpulan
Dari uraian di atas nampak dengan jelas bahwa persoalan sosial, khususnya
menyangkut masalah agama dan negara telah menjadi pergulatan yang sangat besar
dalam hubungannya dengan politik di Indonesia. Pemberontakan berbasis agama
muncul tidak semata-mata mencita-cita membangun sebuah negara agama tetapi juga
disebabkan oleh faktor eksternal khususnya persoalan menguatnya kekuasaan politik
negara secara sentralistik di pusat yang cenderung mengabaikan peran daerah –
khususnya pada era pemerintahan Demokrasi Parlementer. Kondisi ini semakin tajam
ketika Presiden Soekarno di era pemerintahan Demokrasi Terpimpin mencoba untuk
menata model kesatuan politik diantara nasioanlis, agama dan komunis. Penataan politik
seperti ini secara langsung telah menciptakan sebuah kondisi yang memarginalisasikan
kekuatan politik nasionalis, agama, komunis dan digantikan dengan kekuatan politik
103
yang bersifat absolut atas nama kepentingan politik Demokrasi Terpimpin (Presiden
Presiden Soekarno).
Puncak dari penataan negara/pemerintah di bidang sosial di bidang keagamaan
ini terlihat jelas pada era pemerintahan Orde Baru. Dalam era ini negara/pemerintah
telah menjadi kekuatan yang sangat represif untuk mengatur keberadaan keagamaan di
Indonesia. Regulasi-regulasi yang dikeluarkan dan diimplementasikan oleh
negara/pemerintah menunjukkan dengan jelas bagaimana negara/pemerintah terlihat
sangat traumatis terhadap peran politik agama dan untuk itu melemahkan peran politik
keagamaan adalah cara yang terbaik untuk menciptakan stabilitas dan keamanan negara.
Dengan kata lain negara cenderung menjadi semaki kuat ketika berhadapan dengan
persoalan-persoalan keagamaan. Agama dengan segala eksistensinya terpola menjadi
sesuatu yang taat dan tunduk terhadap kekuatan negara.
BAB III
SENTRALITAS KEKUASAAN DALAM MENATA HETEROGENITAS
MASYARAKAT
Sejarah hubungan pusat dan daerah di Indonesia merupakan sebuah situasi yang
tidak saja berkaitan dengan problem kebijakannya tetapi juga terkait erat dengan berbagai
faktor yang mempengaruhi kemunculannya. Baik faktor ekonomi, masalah kepartaian,
ideologi dan peran militer merupakan faktor-faktor yang dapat dilihat sebagai pemicu di
dalam persoalan hubungan pusat dan daerah yang terjadi selama masa tersebut. Munculnya
pemberontakan daerah menandai bahwa masih terdapatnya persoalan di dalam pemerintah
menata hubungan pusat dan daerah. Dalam kaitannya dengan peran negara/pemerintah
menata persoalan heterogenitas di Indonesia, maka pertanyaannya adalah apakah persoalan
hubungan pusat dan daerah ini telah menciptakan suatu tatatana masyarakat yang kuat atau
justru melemahkan masyarakat di daerah yang nota bene sangat heterogen keberadaannya.
A. Kondisi Umum Menguatnya Sentralisasi Kekuasaan dan Reaksi Kedaerahan
1953-1958 (Era Demokrasi Parlementer)
Secara geo-politis partai-partai yang dominan sepanjang era Demokrasi Parlementer
dapat dilihat dukungannya dari daerah pemilihannya. PNI, PKI dan NU secara jelas
merupakan partai-partai yang kuat di Jawa serta Masyumi, PSI dan Parkindo (Parkindo
banyak didukung di Indonesia bagian Timur) partai-partai yang kuat di luar Jawa. PNI, PKI
dan NU secara umum lebih berorientasi kepada Presiden Soekarno sedangkan Masyumi,
PSI dan sedikit banyak Parkindo lebih berorientasi kepada Muhammad Muhammad Hatta
(Wakil Presiden). Perbedaan secara geo-politis ini, secara psikologis, menggambarkan
konflik yang tajam di antara Presiden Soekarno dan Muhammad Hatta (begitu juga
105
Syahrir). Presiden Soekarno berasal dari Jawa dan Muhammad Hatta (Syahrir) berasal dari
luar Jawa (orang Minangkabau).
Implikasi dari konflik ini terlihat jelas dalam era kabinet Ali Sastroamidjojo II,
dimana terdapat tuntutan daerah untuk mengembalikan kedudukan Muhammad Hatta
sebagai perdana Menteri menggantikan Ali Sastroamidjojo. Menurut mereka Jakarta telah
melakukan sentralisasi kebijakan yang berlebihan dan korupsi serta mengabaikan
perkembangan daerah luar Jawa. Selain itu juga mereka memrotes beberapa pejabat-pejabat
yang berasal dari Jawa yang ditempatkan di daerah oleh orang pusat (Jakarta) dan juga
tuduhan lemahnya pemerintahan di Indonesia terhadap gerakan komunis yang semakin
besar (Feith, 2001:19).
Selain itu situasi di tahun 1956-1957 ini juga tidak bisa dilepaskan dari persoalan
militer. Dalam tahun ini terdapat beberapa persoalan pergolakan militer seperti percobaan
kudeta oleh bekas pejabat KSAD Kolonel Zulkfli Lubis yang mengalami kegagalan dan
pembentukan Dewan Benteng di Sumatra Barat, Dewan Garuda di Sumatra Selatan,
DII/TII dan Permesta; yang semuanya mengindikasikan adanya persoalan antara Jawa dan
luar Jawa. Dalam tuntutnya secara umum, seperti yang sudah dipaparkan di atas, daerah
mengehendaki adanya perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah pusat dan juga
mengembalikan kedudukan Muhammad Hatta yang dianggap sebagai tokoh Sumatra pada
kedudukan yang semestinya. Daerah menghendaki agar Muhammad Hatta dapat diberikan
kedudukan sebagai kepala “zaken kabinet” atau “kabinet ahli” yang Menteri-Menterinya
tidak mewakili partai.
106
Dalam pemahaman pemerintah dinyatakan bahwa persitiwa-peristiwa
pemberontakan daerah tersebut tidak terlepas satu dengan yang lainnya secara sistematis,
yaitu:
1. Melakukan hubungan antar daerah dalam hal ini Sumatra Selatan, DII/TII Aceh, Jawa
Barat dan usaha untuk melakukan kekacauan di Maluku Utara. Hal ini diketahui
melalui dokumen yang disebut “breed front”.
2. Memenuhi kebutuhan diri sendiri. Hal ini diusahakan dengan jalan barter yang
uangnya disinyalir masuk kantong petualang-petualang politik tersebut dan usaha
PRRI untuk menguasai lading minyak.
3. Melakukan teror langsung. Hal telah dilakukan melalui teror seperti yang dilakukan
pada persitiwa Cikini.
4. Pembentukan pemerintahan pusat. Hal ini telah dilakukan melalui proklamasi PRRI
pada tanggal 15 Februari 1958 (Harian Merdeka, 5 Juli 1958).
Selain itu pemberontakan tersebut disinyalir juga memiliki kaitan dengan luar
negri. Hal ini disinyalir ada hubungannya dengan kemenangan PKI pada pemilihan umum
1955. Negara-negara asing tersebut ingin mempengaruhi Indonesia baik di bidang ekonomi
dan militer. Untuk hal itu negara-negara asing tersebut telah menggunakan para “petualang
politik” yang dapat dijadikan pion-pion terdepan bagi usaha mereka. Secara ideologis
mereka bertemu dengan golongan yang menamakan dirinya “anti komunis” tetapi pada sisi
lain mereka juga telah menghianati proklamasi. Hal ini dapat dengan jelas – demikian
keterangan pemerintah – bahwa PRRI meminta bantuan SEATO khususnya dalam
menggunakan pilot asing untuk kekuatan udara mereka – ditandai melalui ditembak
jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh Lawrence Allan Pope (Harian Merdeka, 5 Juli
1958). Berdasarkan keterangan pemerintah telah dilakukan usaha-usaha musyawarah
dengan daerah. Bersama beberapa tokoh dari Masyumi pada tanggal 5 Februari 1958 telah
menyampaikan seruan dan saran agar Ahmad Husein dan sekutunya di Padang dapat
mengendalikan diri dan menjaga keamanan sampai kembalinya Presiden ke tanah air. Hal
107
ini dimaksudkan agar setelah Presiden tiba dapat kembali merumuskan secara bersama
kepentingan-kepentingan pusat dan daerah. Namun dalam kenyataannya keputusan
musyawarah tersebut tidak diindahkan oleh daerah dan kemudian telah melakukan tindakan
yang bersifat kontra revolusioner (Harian Merdeka, 5 Juli 1958).
Atas pembangkangan tersebut maka pemerintah secara tegas kemudian
mengambil tindakan berupa operasi militer dalam rangka mengatasi persoalan
pemberontakan daerah tersebut. Melalui operasi militer seperti “Operasi 17 Agustus”,
“Operasi Tegas”, “Operasi Sapta Marga”, “Operasi Insyaf”, “Operasi Sadar”. Hal ini perlu
dilakukan mengingat tindakan para pemberontak daerah telah bersifat destruktif dan dapat
mengakibatkan kelumpuhan ekonomi dan hilangnya sumber-sumber devisa negara. Hal ini
ditandai dengan penjagaan yang ketat terhadap kilang-kilang minyak di Sumatra Tengah
dan Selatan (Harian Merdeka, 5 Juli 1958).
1. Ketidakadilan Ekonomi: Terpusatnya Kekuatan Ekonomi di Pusat (Jawa)
Salah satu faktor pemicu munculnya krisis hubungan pusat dan daerah di tahun-
tahun ini adalah faktor ekonomi. Kondisi semacam ini tentunya harus dilihat pada
perekonomian Indonesia di awal-awal kemerdekaan khususnya di tahun 1950-an. Sejarah
mencatat bahwa kondisi ekonomi Indonesia di awal kemerdekaan mengalami sesuatu yang
sangat krusial. Pada sisi lain kurangnya sumber daya manusia yang berkualitas juga
menyebabkan persoalan tersendiri di dalam usaha meningkatkan perekonomian di
Indonesia pada saat itu (Glassburner, 1971:7-8). Namun demikian tidak ada pilihan lain
bagi kebijakan pemerintah yaitu harus meningkatkan perekomian secara cepat guna
mengatasi krisis ekonomi yang terjadi pasca kolonialisme.
108
Selanjutnya tahun-tahun ini ditandai dengan munculnya isu Indonesianisasi dari
sistem perekonomian di Indonesia. Mulai dari sistem Benteng yang diimplementasikan
sejak tahun 1950, gerakan Assad sampai dengan gerakan Indonesianisasi di tahun 1957,
semuanya menunjukan bahwa persoalan perekonomian di Indonesia tidak saja merupakan
persoalan ekonomi semata-mata tetapi juga terkait erat dengan persoalan politik. Persoalan
politik muncul sebagai sisi yang tidak dapat dilepaskan karena pada awal tahun 1950an
penguasaan sektor riil ekonomi di Indonesia masih kuat dipegang oleh perusahaan-
perusahaan asing. Dalam bidang ekonomi kepentingan-kepentingan non-Indonesia tetap
mempunyai arti yang penting. Beberapa perusahaan minyak asing, perkebunan-
perkebunan, pelayaran besar antar pula serta bank-bank yang masih kuat dikuasai oleh
orang-orang Tionghoa, menunjukan bahwa secara ekonomi Indonesia masih di dalam
penjajahan. Kondisi ini menjadi penyebab radikalisasi sistem perekonomian pribumi di
Indonesia (Ricklefs, 2001:475). Munculnya kebijakan Benteng, gerakan Assad dan
Indonesianisasi perekonomian di Indonesia dapat dilihat sebagai reaksi terhadap situasi
ekonomi-politik yang demikian. Jika kebijakan Benteng dan gerakan Assad berkaitan
dengan masalah persaingan dan penguasaan ekonomi Tionghoa maka kebijakan
Indonesianisasi secara langsung berkaitan dengan pengambilalihan perusahaan-perusahaan
Belanda dan Inggris di Indonesia. Proses pengambilalihan perusahaan-perusahaan asing ini
merupakan usaha pemerintah Indonesia untuk menguasai sektor privat dari perusahaan-
persusahaan asing tersebut. Linblad1 dalam urainnya menyatakan bahwa salah satu aspek
1 Lihat J. Thomas Lindblad”The Importance Of Indonesianisasi During The Transition From
The 1930s To The 1960s”, Paper yang disampaikan pada Konfrensi `Economic Growth and
Institutional Changein Indonesia in the 19thand 20th Centuries’, Amsterdam, 25-26 February
2002.
109
penting dalam kebijakan Indonesianisasi adalah munculnya penguasaan sektor privat yang
kemudian akan dikuasai oleh pemerintah. Penguasaan sektor-sektor privat oleh pemerintah
ini kemudian mendapatkan persoalannya tersendiri di dalam hubungannya dengan reaksi
kedaerahan. Hal ini terkait erat dengan tuduhan daerah mengenai tersentralisasinya
kekuatan ekonomi Indonesia di pusat. Tuduhan semacam ini tidak dapat dihindarkan jika
melihat kegagalan-kegagalan dari kebijakan ekonomi pribumi – khususnya program
Benteng – yang dilakukan oleh pemerintah. Program yang tadinya ingin mengembangkan
kegiatan usaha ekonomi pribumi pada kenyataannya tetap saja menguntungkan kelompok-
kelompok bisnis Tionghoa.
Ada dua kelompok di dalam memahami konteks ekonomi politik yang demikian:
pertama, kelompok nasionalis radikal dan kelompok konservatif pragmatis. Kelompok
pertama berpendapat bahwa hanya dengan mematahkan dominasi asing di dalam
perekonomian dan menguasai sepenuhnya perekonomian Indonesia maka kebijakan politik
untuk menyejahterakan rakyat akan tercapai dan negara menjadi sungguh-sungguh
merdeka. Kelompok kedua merasa takut jika proses Indonesianisasi terjadi. Hal ini karena
menganggap bahwa Indonesia belum siap dengan segala hal – termasuk di dalamnya
sumber daya manusianya – untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan asing tersebut.
J.A.C. Mackie menyatakan bahwa hal ini akan mengarah pada kehancuran ekonomi
(Glassburner, 1971:16-69). Khusus untuk pemikiran kelompok kedua ini lebih banyak
dipahami oleh orang-orang daerah yang secara ekonomis memiliki kepentingan di dalam
membangun bisnis-bisnisnya di daerah. Kelompok-kelompok ini menjadi takut kalau
suasana ekonomi tidak dapat dikendalikan oleh pemerintah atau jika terjadi
110
pengambilalihan persahaan-perusahaan tersebut akan dikelola oleh orang–orang yang tidak
berpengalaman di dalam bidangnya. Ketakutan ini menjadi sangat beralasan karena
sebagian besar pengusaha ekspor berdiam di luar pulau Jawa. Kondisi seperti ini
menyebabkan kebijakan pemerintah pusat mengenai perekonomian khususnya bidang
ekspor-impor secara langsung terkait erat dengan persoalan di daerah.
Feith (1962:494-495) mencatat bahwa kecenderungan untuk mempertahankan
nilai kurs rupiah yang berlebihan menyebabkan terjadinya diskrepansi di antara nilai resmi
rupiah dengan yang tidak resmi sebesar 300%. Hal ini menyebabkan hilangnya sepertiga
dari keuntungan di dalam bidang ekspor. Artinya bahwa jika melalui prosedur resmi maka
para eksportir tidak mendapatkan keuntungan yang signifikan dari prosedur tersebut. Oleh
sebabitu rangsangan untuk melakukan penyelundupan menjadi sangat besar. Usaha
penyelundupan pada tahun 1954 mulai muncul dalam skala besar khususnya yang
dilakukan oleh militer di Sulawesi. Bahkan pada tahun 1955 Yayasan Kelapa Minahasa
membentuk sebuah Yayasan Kopra untuk menekan peran Jakarta di dalam kegiatan bisnis
Kopra.
Kondisi ekonomi politik semacam ini menyebabkan sentimen anti Jakarta
menjadi sangat kuat. Sentimen anti Jakarta ini sedikit banyak menjelma menjadi sentimen
etnik anti Jawa. Sentimen anti Jawa ini kemudian mempengaruhi beberapa aktifitas politik
di Indonesia. Dalam hal kepartain Feith (1962:491) mencatat misalnya ketika perpecahan
pada Oktober tahun 1954 di dalam kubu PIR yang dikuasai oleh sebagain besar oleh orang
Jawa yang mendapat reaksi dari kelompok-kelompok non Jawa seperti Hazairin dan
Tadjuddin Noor. Begitu juga konflik yang terjadi di PRN pada tahun 1956 dimana
pimpinan yang dikuasai oleh orang Jawa – Djody Gondokusumo – berhadapan dengan
111
kepentingan politik dari beberapa kelompok pimpinan PRN yang berasal dari luar Jawa –
Bebasa Daeng Lalo, F.Laoh dan Gunawan.
Sementara itu, pada tahun 1956 gerakan anti Jawa juga semakin keras dengan
berdirinya beberapa organisasi politik yang berorientasi pada etnik seperti organisasi
Sunda, Minangkabau, Batak, Aceh dan beberapa yang lainnya. Khususnya organisasi
Sunda yang secara jelas diperuntukan bagi usaha menghambat dominasi orang Jawa di
dalam pemerintahan yang ada di Jawa Barat Hal ini nampak dengan jelas di dalam
pembentukan Front Pemuda Sunda yang mengusung tema tema-tema besarnya melalui
pampflet-pamflet yang disebarkan seperti “Hancurkan PNI dan Imperialisme Jawa” (Feith,
1962:492).
Kondisi ekonomi politik semacam ini menyebabkan sentimen anti Jakarta menjadi
sangat kuat. Dengan dibantu sepenuhnya oleh panglima militer di daerah yang mempunyai
kekuatan penuh atas daerahnya, pada tahun 1956 di antara bulan Februari dan April paling
sedikit ada enam kapal asing yang mengangkut 100.000 ton Kopra dari pelabuhan Bitung
di Sulawesi Utara. Tindakan ini oleh pemerintah Jakarta dianggap sebagai illegal. Namun
dekinan pemerintah bersifat sangat hati-hati untuk bersikap terhadap hal ini. Baru pada
awal Juni pemerintah menutup pelabuhan Bitung bagi kapal-kapal asing (Feith, 1962:494-
497).
Apa yang terjadi di Sumatera juga menunjukan hal yang sama. Pada bulan Mei
1956 Kolonel Simbolon mengorganisir penyelundupan karet dan kopi dalam skala besar
(kurang lebih 5000 ton) melalui pelabuhan Teluk Nibung di Sumatera Timur. Tindakan ini
baru diketahui oleh pemerintah pada bulan awal Juni. Bagi militer kegiatan ini dianggap
untuk memenuhi kebutuhan prajurit yang dianggap sangat berkekurangan dan untuk
112
menyejahterakan keadaan prajurit-prajurit yang sudah sangat menderita keadaannya.
Dengan keuntungan yang lebih dari 50 juta, dana tersebut digunakan untuk membangun
barak-barak bagi para prajurit (Feith, 1962:498-499). Namun demikian dalam
pertanggungjawabnnya di Jakarta Kolonel Simbolon dibebaskan dari tuduhan kegiatan
penyeleundupan dan tidak ada hukuman baginya.
Penyelundupan-penyelundupan selama tahun 1955-1956 menjadi suatu yang
sangat serius bagi otoritas pemerintah Indonesia pada saat itu. Penyelundupan yang
dilakukan di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara merupakan sebuah indikasi bahwa
terdapat faktor ekonomi yang cukup kuat bagi munculnya sentimen anti Jakarta atau Anti
Jawa. Seluruh tindakan penyelundupan ini sbagain besar terdapat peran militer sebagai
pemain utamanya. Ini menunjukan dengan jelas bahwa pada kemudian hari gerakan-
gerakan anti pusat tidak dapat dilepaskan dari peran militer di dalamnya. Dengan demikian
apa yang terjadi di Sulawesi Selatan - Sumtara Barat (PRRI) dan Sulawesi (Permesta) dan
gerakan-gerakan lainnya dapat dilihat korelasinya dengan faktor ekonomi sebagai salah
satu pemicunya dan peran militer yang cukup kuat di dalamnya.
2. Memarginalisasikan Partai-Partai Dukungan Luar Jawa
Munculnya sekian banyak partai telah menciptakan koalisi-koalisi yang cenderung
tersentralisasi secara regionalistik. Partai-partai yang bersumber dari pengumpulan suara di
Jawa cenderung mendominasi jalannya perpolitikan di Indonesia saat itu (PNI, PKI, NU).
Jika Masyumi juga termasuk salah satu partai yang menonjol namun dalam konstelasi
politik yang ada cenderung termarginalisasi secara politis. Secara khusus dapat dilihat
dalam empat kabinet terakhir sebelum Presiden Soekarno mengumumkan Dekrit Presiden
113
1959. Kabinet Wilopo merupakan kabinet koalisi antara PNI dan Masyumi namun secara
defacto hubungan PNI lebih dekat dengan PKI. PKI dalam hal ini lebih dekat dengan PNI
dalam beberapa hal sehubungan beberapa peristiwa yang terjadi pada tahun-tahun tersebut.
Sementara itu akibat peristiwa 17 Oktober 1952 hubungan antara PNI telah mengalami
keretakan karena persepsi yang berbeda dalam menanggapi peristiwa tersebut. Dalam masa
kabinet ini juga terjadi sebuah peristiwa yang mengejutkan yaitu keluarnya NU dari
Masyumi yang semakin menegaskan adanya friksi yang sangat tajam antara Jawa dan luar
Jawa. Meskipun persoalan keluarnya NU dari Masyumi semata-mata masalah intern partai.
Dalam kabinet Ali Sastroamidjojo I nampak dengan jelas posisi Masyumi adalah
sebagai oposisi terhadap kabinet tersebut dikarenakan kuatnya dukungan dari PKI dan NU
dan beberapa partai kecil lainnya. Sementara itu Masyumi dan Parkindo serta Partai
Katholik menolak ikut dalam kabiet tersebut. Koalisi semacam ini secara jelas menunjukan
adanya garis yang sangat jelas antara partai yang banyak mendapat dukungan di Jawa dan
partai yang mendapat dukungan di luar Jawa. Meskipun dalam kabinet selanjutnya --
Burhanuddin Harap -- berasal dari Masyumi namun nampak dengan jelas bahwa PNI tidak
ikut serta dalam kabinet ini demikian juga PKI. Dukungan Masyumi datang dari Liga
Muslimin dan beberapa partai kecil nasionalis lainnya.
Meskipun dalam kabinet berikutnya -- kabinet Ali II – terjadi koalisi PNI, NU dan
Masyumi namun hal itu lebih dikarenakan adanya “musuh bersama” yaitu PKI yang secara
politik sudah semakin besar. Situasi politik pada masa ini sudah sampai pada ambang batas
yang sangat mengkhawatirkan dan hal ini terbukti dari munculnya persoalan-persoalan
regionalistik pada masa ini. Ketidakpuasan daerah mencerminkan adanya ketidakpuasan
114
terhadap tatanan pemerintahan di Indonesia pada saat itu secara khusus kabinet yang
dipegang oleh oleh PNI yang nota bene adalah partainya orang (di) Jawa.
Dari konstelasi politik kepartaian di atas di atas nampak dengan jelas bahwa
hubungan pusat dan daerah dalam era empat kabinet terakhir sangat terkait dengan
eksistensi politik kepartaian tersebut. Kekuatan partai-partai yang mendapat dukungan
besar di Jawa telah membuat elit partai secara tidak sadar menempatkan Indonesia dari
sudut pandang yang sangat sempit yaitu Jawa. Ekspresi politik tidak saja berorientasi pada
kepentingan Jakarta (baca: Jawa) tetapi juga kepada kepentingan beberapa partai yang
dalam hal ini didukung sebagai besar di pulau Jawa.
Atas dasar situasi politik di atas inilah dapat dipahami usulan Presiden Soekarno
untuk menguburkan partai-partai yang menurutnya sebagai biang keladi hancurnya tatanan
ke-Indonesiaan. Bias pemahaman terhadap tatanan politik tersebut telah membawa
dimensi yang tidak saja bersifat antagonistik yaitu konflik horizontal antara kekuatan sipil
(antar partai) dan militer, tetapi juga bersifat vertikal antara pusat dan daerah. Pada sisi lain
dimensi hegemonik yang cenderung bersifat represif untuk menegasikan kekuatan lain
tidak saja mencerminkan bias terhadap hubungan pusat dan daerah tersebut tetapi pada sisi
lain juga telah membangun sebuah wacana yang sangat ideologis antara Nasionalisme,
Islamisme dan Marxisme. Pada sisi lain kekuatan militerisme tidak dapat diabaikan sebagai
alat yang bersifat represif untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul pada saat itu.
3. Melemahkan Masyumi: Melemahkan Kekuatan Politik Daerah
Memahami persoalan-persoaln ideologi di era Demokrasi Parlementer tidak bisa
dilepaskan – salah satunya - dari analisis terhadap Pemilu 1955. Pemilu ini sering
115
dikatakan sebagai Pemilu yang memiliki tingkat kebebasan berekspresi yang tinggi dari
setiap partai politik. Meskipun terdapat konflik yang tajam – khususnya antara PNI dan
Masyumi – namun hal itu tidak mengurangi arti kebebasan tersebut.
Salah satu kunci “keberhasilan” demokrasi dalam Pemilu ini adalah terwakilinya
semua partai di dalam badan penyelenggaraan Pemilu (Feith, 1999:xii). Namum secara
umum adanya dominasi partai-partai besar seperti PNI, Masyumi, NU dan PKI, secara
langsung menunjukkan adanya polarisasi-polarisasi ideologis yang ada di Indonesia. PNI
mewakili kamum nasionalis, Masyumi dan NU mewakili Islam dan PKI mewakili kaum
sosialis. Partai-partai menengah seperti PSII, Parkindo, Partai Katolik, PSI, Perti, IPKI
secara ideologis terafiliasi ke dalam partai-partai besar tersebut.
Hal yang menarik dari Pemilu 1955 – seperti yag sudah panjang lebar diuraikan
oleh Feith (1999:15) – bahwa persaingan antar partai dalam kampanye pemilu tersebut
tidak bisa dilepaskan dari tema-tema dasar yang ada di Jakarta. Persaingan politik di
kabinet telah memperuncing persoalan sampai ke akar rumput. Persoalan dukung
mendukung kabinet telah mempertajam persaingan antar partai khususnya Masyumi dan
PNI khususnya dalam era kabinet Wilopo dan Burhanuddin. Perdebatan di tingkat pusat
mengenai dukung mendukung kabinet ini kemudian pada situasi akar rumput
diterjemahkan manjadi persoalan ideologis Islam dan nasionalis. Persoalan polarisasi
Nasionalis-Islam ini semakin dipertajam ketikat pada bulan Januari 1953 Presiden
Soekarno menuduh bahwa adanya usaha menjadikan Indonesia menjadi negara Islam akan
mengakibatkan pemisahan dari wilayah-wilayah tertentu. Pidato ini mendapat reaksi yang
keras dari Masyumi yang merasa bahwa pidato itu ditujukan kepada mereka. Pemimpin
Masyumi, dalam hal ini Isa Anshari, menyangkal dengan keras bahwa perjuangan partai
116
untuk “negara berdasarkan Islam” itu bertentangan dengan Pancasila. Dia mencap
pimpinan partai non Muslim sebagai munafik dan kafir. Kecaman ini sudah tentu mendapat
reaksi yang keras, secara khusus dari kalangan PNI yang mengatakan bahwa sikap ekstrem
Isa Anshary yang melibatkan partainya telah menentang simbol-simbol nasionalisme.
Pada sisi lain juga terdapat pertentangan yang keras di antara Masyumi dan PKI
berkaitan dengan persoalan-persoalan di tingkat pusat. PKI yang menghendaki agar
pemerintah mempersenjatai kaum veteran untuk menggempur Darul Islam telah mendapat
reaksi yang keras dari kelompok Islam, khususnya Masyumi. Hal ini karena Masyumi telah
dikait-kaitan oleh PKI sebagai partai yang memiliki hubungan dengan Darul Islam tersebut.
Ketegangan ini kemudian berlanjut hingga dalam kampanye-kampanye Pemilu yang mana
keduanya saling mencap pihak lain sebagai ekstrimis, asing dan bertentangan dengan inti
sikap nasionalis yang diterima bersama. Masyumi mencap PKI sebagai anak buah Moskow
dan mengungkit kembali persitiwa Madiun 1948 sebagai usaha pemberontakan kepada
negara kesatuan Indonesia. Tuduhan-tuduhan bahwa PKI anti agama telah menjadi isu
utama di dalam kampanye-kampanye Masyumi. Bahkan Isa Anshary, dengan kelompok
Front Anti Komunis, telah mengutuk komunis sebagai kafir. Bahkan beberapa pemimpin
mengambil sikap bahwa orang komunis jika meninggal tidak dikuburkan secara Islam
(Feith, 1999:19).
Dalam pandangan Feith (1999:20), isu-isu ideologi yang berkembang di pusat
menjadi semakin rumit di tingkat daerah. Di berbagai daerah di Jawa Timur terjadi
pemisahan secara kultural terhadap Masyumi, NU, PNI dan PKI. Dalam hal ini Muslim
santri adalah NU dan Masyumi, PNI partai priyayi dan PKI partai kaum abangan. Selain itu
juga identitas etnik mengental dengan label-label yang diberikan sebagai akibat konflik
117
ideologis antara PNI dan Masyumi yaitu bahwa Masyumi adalah partai orang Sumatera,
PNI partai orang Jawa.
Mengenai cap kultural yang diberikan kepada partai-partai tersebut Feith memiliki
pandangannya sendiri. Menurutnya , dalam konteks Jawa, masyarakat dengan sadar
menempatkan dirinya sebagai santri dan abangan. Yang menganggap dirinya santri akan
memilih salah satu partai tertentu dan yang merasa dirinya abangan akan memilih partai
tertentu pula. Oleh sebab itu dapat dianalisa dengan jelas bahwa perebutan massa santri
terjadi di antara Masyumi dan dan NU sedangkan perebutan massa abangan terjadi di
antara PNI dan PKI. Oleh sebab itu tekanan yang kuat untuk mempengaruhi para
pempimpin Islam di tingkat lokal sangat ditekankan oleh Masyumi dan NU. Pendekatan-
pendekatan terhadap Kyai atau pemuka agama menjadi sasaran utama kedua partai
tersebut. Pada sisi lain perebutan kaum abangan oleh PNI dan PKI di daerah adalah dengan
melakukan pendekatan yang kuat terhadap jajaran birokrasi seperti pamong desa, lurah atau
kepala desa. Bahkan Feith (1999:22,24) mencatat bahwa pendekatan terhadap dukun, guru
peramal, tabib, ahli jimat, serta kelompok-kelompok sandiwara tradisonal Jawa atau para
seniman seperti dalang, penari atau guru silat.
Dari uraian ringkas di atas nampak dengan jelas bahwa persoalan ideologis yang
terjadi pada pasca Pemilu 1955 merupakan sebuah realita yang kompleks yang tidak saja
dilihat sebagai persoalan ideologis. Tekanan yang kuat khususnya atas tuduhan-tuduhan
pemberontakkan di daerah yang ditujukan kepada Masyumi menempatkan partai ini
cenderung menjadi kambing hitam politik. Kondisi ini menyebabkan peranan partai ini
semakin dipersempit ruang geraknya bahkan pada akhirnya – pada era Presiden Soekarno –
partai ini dilarang keberadaannya. Melemahnya kekuatan Masyumi secara langsung tentu
118
berdampak pada semakin lemahnya posisi daerah dalam kancah politik nasional. Hal ini
karena partai ini memiliki kekuatan utamanya di daerah, khususnya daerah luar Jawa.
4. Pemberontakan Militer Daerah: Reaksi Terhadap Sentralisasi Kekuasaan
Persoalan gerakan pembangkangan militer di daerah tidak bisa dilepaskan dari
pesoalan interen militer itu pada dirinya sendiri. Penelusuran terhadap peristiwa 17 Oktober
1952 agaknya dapat menjadi latar belakang seluruh peristiwa gerakan militer di daerah
tersebut. Persitiwa 17 Oktober seperti yang telah banyak diulas dalam kajian tentang militer
di Indonesia menunjukan dengan jelas bahwa terjadi friksi yang tajam di antara kekuatan
elit militer pada saat itu. Secara khusus friksi antara elit militer yang memiliki latar
belakang PETA dan elit militer yang memiliki latar belakang KNIL. Perwira-perwira bekas
PETA lebih banyak didominasi oleh kelompok-kelompok yang menjabat di daerah sebagai
Pangliman TT sedangkan kelompok militer bekas KNIL – dengan latar belakang
pendidikan Belanda – lebih banyak menduduki posisi-posisi pimpinan Angkatan Darat –
misalnya TB Simatupang dan A.H. Nasution. Perbedaan pemahaman dari kedua elit militer
ini sering menimbulkan persoalan di dalam menanggapi kebijakan militer di Indonesia. Hal
ini dapat dilihat misalnya dalam kebijakan rasionalisasi militer yang rencananya akan
dilakukan pada pertengahan tahun 1952. Tujuan dari rasionalisasi militer ini adalah untuk
meningkatkan sikap profesionalisme dari militer itu sendiri. Namun demikian kebijakan ini
tidak mendapat dukungan yang penduh dari interen militer khususnya dari kelompok yang
berlatar belakang PETA. Bahkan dukungan dari pihak sipil yaitu PNI – khususnya dari
group Sidik - dan juga Presiden Soekarno telah memperuncing persoalan ini. Yahya
119
Muhaimin (1971:67) mengatakan bahwa sejak saat itu persoalan intern militer tersebut
telah menjadi sebuah “political community”.
Keterlibatan “orang sipil” dalam konflik intern militer tersebut tentunya dipicu
oleh surat yang datang dari Kolonel Bambang Supeno yang menyatakan
ketidakpercayaannya terhadap pimpinan militer di Indonesia. Hal ini kemudian tentu
mendapat tanggapan yang serius dari Parlemen. Dalam rapat-rapat yang dilakukan di
Parlemen terjadi perdebatan yang sangat sengit khususnya mengenai keadaan Angkatan
Darat (Angkatan Perang). Sjamsuddin St. Makmur dalam pandangan umumnya
mempertanyakan rapat yang dilakukan oleh pimpinan AD pada tanggal 12 Juli 1952
apakah rapat dinas atau rapat biasa? Bagi Sjamsuddin hal ini penting diklarifikasi karena
jika hal itu rapat dinas maka harus ada tata tertibnya. Dan jika itu rapat biasa maka tidak
bisa ajang untuk mengadili Kolonel Bambang Supeno. Selanjutnya ia menyatakan apakah
skorsing yang telah berikan kepada Kolonel Bambang Supeno oleh KSAD telah dilakukan
penyelidikan yang intensif? Menurut Sjamsuddin di kalangan AD terdapat dua kubu:
pertama kubu Jenderal Simatupang dan kedua kubu Kolonel Bambang Supeno. Kesan yang
didapat adalah Menteri Pertahanan dan KSAD lebih berpihak pada kubu Jenderal
Simatupang. Namun dalam laporan resmi yang diterima Sjamsuddin tidak terdapat usaha
untuk menyelidiki secara intensif mengenai kasus Kolonel Bambang Supeno ini oleh
Menteri Pertahanan dan KSAD (Mimbar Indonesia, 25 September 1952).
Subadijo Sastrosatomo (PSI) dalam pandangan umumnya lebih melihat posisi
PSI dalam kasus ini. Menurutnya Simatupang dan Hamengkubuwono bukanlah anggota
PSI. Hal ini perlu ditegaskan agar tidak terdapat kesan bahwa PSI mempunyai kepentingan
politik di dalam kasus ini (Mimbar Indonesia, 25 September 1952). Begitu pula halnya
120
dengan Sjamsuddin Abbas (Perti) yang memberikan pandangannya bahwa sebaiknya
Menteri Pertahanan tidak memihak pada salah satu pihak dari kelompok yang bertikai
tersebut. Posisi pemerintah – dalam hal ini Menteri Pertahanan – sebaiknya merupakan
penengah di dalam proses pendamaian kedua kelompok. Hal ini merupakan sesuatu yang
harus ditegaskan karena jika tidak melakukan rekonsiliasi di antara kedua kelompok
tersebut akan membahayakan kedudukan Angkatan Darat sebagai kekuatan dasar pasca
kemerdekaan Indonesia (Mimbar Indonesia, 25 September 1952). Beberapa anggota
parlemen lainnya dalam pemandangan umumnya juga menyatakan hal yang senada dengan
tambahan beberapa persoalan seperti keberpihakan Menteri Pertahanan kepada misi militer
Belanda, soal anggaran belanja AD, pembelian kapal-kapal perang, politik rasionalisasi AD
dan soal pengaruh PSI dalam AD. Sikap-sikap kritis yang diajukan oleh parlemen ini
akhirnya menegaskan kepada pemerintah agar segera menyelidiki bagaimana peran dan
rasionalisasi yang dilakukan AD Indonesia. Menurut parlemen yang perlu dilakukan adalah
kecurangan-kecurangan dalam AD, korupsi dan pemborosan - orang-orang yang terlibat
dalam kegiatan-kegiatan yang demikian harus dipecat (Mimbar Indonesia, 25 September
1952).
Pada tanggal 1 Oktober 1952 Menteri Pertahanan sultan Hamengkubuwono
memberikan jawaban atas persoalan-persoalan yang diajukan oleh parlemen. Khusus
mengenai persoalan Kolonel Bambang Supeno ia menyatakan bahwa pada tanggal 12 Juli
1952 di dalam rapat tidak ditetapkan sebuah resolusi. Namun demikian Kolonel Bambang
Supeno mengirim surat yang menyatakan ketidakpercayaannya terhadap pimpinan tentara.
KSAD kemudian mendengar keterangan Kolonel Bambang Supeno selama setengah jam
dan kemudian mengambil tindakan untuk menskrosing yang bersangkutan. Menteri
121
Pertahanan menyatakan setuju dengan tindakan tersebut dengan terlebih dahulu
mempelajari keputusan tersebut selama seminggu (Pewarta Soerabaja, 2 )ktober 1952).
Berdasarkan keadaan di parlemen tersebut maka diajukan mosi pertama yang
datang Zainal Baharuddin yang menyatakan bahwa ketidakpercayaan dan tidak menerima
kebijakan yang dijalankan Menteri Pertahanan dalam menyelesaikan konflik di dalam
tubuh TNI dan meminta agar diadakan reformasi serta reorganisasi pimpinan ke Menterian
Pertahanan serta pimpinan Militer (Mimbar Indonesia, 25 September 1952).
Mosi kedua datang dari I.J. Kasimo yang secara umum menghendaki untuk
mencermati kasus intern militer ini dan kemudian memberi saran kemungkinan
dilakukannya penyempurnaan struktur Ke-Menterian Pertahanan dan struktur militer. Mosi
ini didukung oleh Masyumi, partai Buruh, Parkindo dan Parindra. Namun Masyumi tidak
mendukung mosi ini sehingga sulit untuk memperoleh suara mayoritas (Yahya Muhaimin,
1971). Selain itu juga terdapat mosi ketiga yang dilakukan oleh Manai Sophian yang
didukung oleh NU dan PSII. Mosi ini juga menegaskan kemungkinan dilakukannya
pemecatan dan pergantian pimpinan TNI. Mosi ini secara diam-diam didukung oleh
Presiden Soekarno melalui Mr. Iskak dan Mr. Sunaryo serta Ali Sastroamodjojo dan
Sartono (Pewarta Soerabaja, 16 Oktober 1952).
Dalam sidang pemandangan umum babak kedua yang membahas ketiga mosi
tersebut beberapa anggota parlemen mengajukan padangannya. Sutardjo (PIR) memberikan
kritiknya bahwa para pimpinan AD telah melakukan insubordinasi. Menurutnya seharusnya
parlemen tidak harus jatuh akibat persoalan intern militer. Jika Menteri Pertahanan mundur
hal itu seharusnya juga tidak mempengaruhi kinerja dari parlemen. Selanjutnya ia
mengatakan biarlah persoalan militer ini diselesaikan oleh Menteri Pertahanan karena ialah
122
yang paling tepat menyelesaikannya bukan parlemen. Mohamad Yamin berpendapat bahwa
mosi Baharuddin dam Manai Sophian hendaknya dicermati dengan serius dan jika
memungkinkan untuk digabung saja karena memiliki tujuan yang sama. Sahetapy Engel
(Progresif) dalam pandangannya mengatakan bahwa seharusnya partai-partai pemerintah
melalui wakil-wakilnya dalam kabinet dapat menyelesaikan masalah ini dan jika hal itu
tidak memungkinkan maka dapat menarik Menteri-Menterinya dari kabinet. Bukan
melakukan mosi tidak percaya terhadap pemerintah. Selain itu Abulhajat (Progresif)
mengakui bahwa krisis akan menimbulkan hambatan dalam usaha-usaha yang telah
dilakukan oleh pemerintah. Meskipun ia mengritik materi dari mosi Burhanuddin yang
telah diperbaharui – hal ini karena lebih lunak dari yang pertama – namun ia menyetujui
mosi Baharuddin karena lebih progresif dari mosi yang lainnya. Mr. Iwa Kusumasumantri
dalam pandangannya menyatakan bahwa sebaiknya mosi Manai Sophian dan Kasimo
diadakan kompromi karena memiliki prinsi-prinsip yang sama (Suara Rakyat, 17
Oktober1952).
Dari sekilas pemandangan umum di atas nampak dengan jelas bahwa wacana
yang muncul di parlemen merupakan sesuatu yang sangat dinamis. Dalam voting yang
akhirnya dilakukan di Parlemen terhadap mosi-mosi ini maka terjadi kebuntuan. Mosi
Burhanuddin ditolak dengan perbandingan 80:39 dan dua mosi lainnya tidak dapat
dukungan secara mayoritas. Voting ini terjadi pada tanggal 16 Oktober 1952 (Pewarta
Soerabaja, 17 Oktober 1952).
Melihat kondisi yang demikian maka elit militer merasa telah dicampuri urusan
intern mereka. Maka pada tanggal 17 Oktober 1952 terjadi sebuah demonstrasi yang di
“sponsori” oleh militer. Dalam petisinya kepada pemerintah ke 17 perwira yang
123
menghadap Presiden Soekarno tersebut menyatakan bahwa sebaiknya parlemen dibubarkan
dan mosi Mania Sophian merupakan indikasi adanya usaha campur tangan sipil di kalangan
militer (Fatah, 2005:96).
Namun demikian Presiden Soekarno tidak terpengaruh dengan petisi tersebut
dengan alasan bahwa ia tidak ingin dirinya menjadi seorang diktator (Malang Post, 18
Oktober 1952). Pada sisi lain Presiden Soekarno juga telah menilai bahwa TNI AD telah
memasuki ruang politik di Indonesia yang dapat mengakibatkan munculnya sebuah junta
militer dikemudian hari. Akan tetapi TNI AD justru menilai bahwa gerakan sipil telah ikut
campur di dalam urusan intern militer. Dua pemahaman ini kemudian semakin membuat
jurang yang lebih dalam diantara TNI AD dan pemerintah. Pada sisi lain intern TNI AD
juga megalami perpecahan antara kelompok yang pro-17 dan kelompok yang anti-17. Hal
ini ditandai kemudian dengan pengangkatan Iwa Kusumasumantri yang berpandangan
“kiri” sebagai Menteri Pertahanan dalam kabinet Ali Sastroamidjojo II. Kebijakannya-
kebijakannya lebih memperparah jurang perpecahan diantara elit TNI. Melihat keadaan ini
maka pada tanggal 17 Februari 1955 seluruh kompnen elit TNI mengadakan pertemuan
yang dihadiri 280 perwira di Yogyakarta. Petemuan ini kemudian menghasilakan
rekonsiliasi politik militer di antara kedua kelompok yang bertikai. Kesepakatan yang
utama yang dituangkan dalam “Piagam Yogya” adalah bahwa korps perwira akan
mempertahankan persatuan dan profesionalitas di dalam tubuh TNI AD serta tidak
membenarkan campur tangan politik di dalam masalah militer khususnya mengenai
pengangkatan suatu jabatan militer yang seharusnya didasarkan pada senioritas dan
kecakapan. Selain itu ditegaskan adanya kepatuhan militer terhadap kebijakan pemerintah
di bawah Presiden Soekarno-Muhammad Hatta bukan hanya oleh satu di antara mereka.
124
Namun demikian sejarah mencatat bahwa tetap terjadi pergolakan di dalam tubuh
militer khususnya mengenai pengangkatan Kolonel Bambang Utoyo oleh Kabinet Ali. Hal
ini semakin membuat konflik di kalangan intern TNI AD semakin meruncing.
Pengangkatan Bambang Utuyo tidak disetujui oleh sebagian kalangan elit militer
khususnya oleh Penjabat KSAD Kolonel Lubis. Hal yang memberatkan pimpinan militer
ini adalah karena pengangkatan tersebtu tidak sesuai dengan kesepakatan yang dilakukan di
Yogyakarta. Akan tetapi pemerintah tetap dengan keputusannya dan kemudian melantik
Bambang Utuyo pada tanggal 10 Juni 1955. Tetapi acara pelantikan ini di boikot oleh
sebagian besar kalangan militer atas perintah Kolonel Lubis. Dengan keadaan demikian
maka pemerintah melalui Menteri Pertahanan melakukan tindakan tegas yaitu pemecatan
terhadap Lubis. Akan tetapi kebijakan tersebut justru tidak mendapat simpati dari sebagian
besar kalangan sipil di parlemen,partai-partai serta militer yang akhirnya berujung pada
jatuhnya kabinet Ali II.
Selanjutnya, Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pemberhentian kepada
Bambang Utoyo dan mencabut pemecatan Lubis. Selanjutnya meminta MBAD untuk
mengajukan nama-nama untuk menduduki jabatan KSAD. Nama-nama seperti Simbolon,
Lubis dan Gatot Subroto kemudian diajukan oleh MBAD. Namun pada akhirnya Kabinet
Burhanuddin Harahap menetapkan A.H. Nasution sebagai KSAD yang baru. Pengangkatan
ini disetujui oleh pimpinan TNI AD. Dalam periode kedua jabatan KSAD oleh Nasution –
tepatnya Agustus 1956 - ia mengeluarkan sebuah kebijakan rasionalisasi dan pergeseran
jabatan di bidang kemiliteran. Hal ini sekali lagi ditentang oleh pimpinan militer khususnya
yang terkena tour of duty tersebut. Implementasi kebijakan rasionalisasi ini kemudian
dilaksanakan dengan digantinya pimpinan-pimpina militer yang sebagian besar berasal dari
125
suku Jawa. Kolonel Warouw diganti oleh Suprayogi, Kolonel Lubis diganti oleh Kolonel
Gatot Subroto sebagai Deputi KSAD. Kondisi semacam ini membuat menghasilkan sebuah
stigma bahwa kondisi pusat telah dikuasai oleh orang Jawa dan Nasution telah menjadi alat
bagi kepentingan orang Jawa yaitu Presiden Soekarno dan Ali Sastroamidjojo (Yahya
Muhaimin, 1971:83). Hal ini juga diperkeruh dengan pembebasan Ruslan Abdulgani dari
tuduhan korupsi bersama Lie Hok Thay (Direktur sebuah Perusahaan Negara) yang
diprakarsai oleh KSAD Nasution dan perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Situasi ini
semakin memperuncing tuduhan bahwa Nasution merupakan kepanjangan tangan dari
kekuasaan pusat (baca Jawa).
Munculnya sentimen kultural dan adanya tuduhan terhadap korupsi di pusat
menghasilkan protes keras berupa tindakan “kudeta militer” yang dilakukan oleh Kolonel
Lubis. Hal pertama dilakukannya pada tanggal 11 Oktober 1956 dengan mengerahkan
Batalyon dari Cirebon dan Tasikmalaya menuju Jakarta. Akan tetapi kudeta ini gagal
karena dicegah oleh pasukan AD dibawah pimpinan Mayor Wiranatakusumah di Bogor.
Dalam aksi ini Lubis dapat meloloskan dirinya. Aksi kedua terjadi pada 16 November 1956
dengan mengirim satuan-satuan Siliwangi dan RPKAD di bawah pimpinan Mayor Djaelani
untuk bergabung dengan satuan AD di Jakarta di bawah pimpinan Mayor Djuhro guna
menangkap Menteri-Menteri dan tokoh-tokoh di Jakarta. Namun hal ini juga gagal. Pada
akhirnya Kolonel Lubis, oleh pemerintah, dianggap sebagai dalang dari serangkaian
kegiatan kudeta tersebut dan oleh sebab itu ia dibebas tugaskan.
Pada sisi lain eskalasi ketidakpuasan terhadap pusat semakin memicu daerah untuk
bertindak dan mengkritisi kepemimpinan pusat. Hal ini didukung sepenunya oleh tokoh-
tokoh Masyumi, PSI dan Parkindo sebagai representasi dari kekuatan luar Jawa.
126
Pertemuan tokoh-tokoh bekas Divisi Banteng merupakan dasar bagi semangat kedaerahan
untuk menghadapi kekuasaan pusat. Pernyataan yang dikeluarkan oleh pertemuan ini
adalah sikap kritis terhadap pusat dan menghendaki agar terjadi perbaikan secara radikal di
segala lapangan, terutama pada pimpinan negara dan TNI pada khususnya (Yahya
Muhaimin, 1971:83). Sikap ini ini kemudian ditegaskan dengan pengambilalihan pimpinan
Sumatra Tengah melalui oleh ketua Dewan Banteng – Ahmad Husein. Pembentukan
Dewan-Dewan Militer ini kemudian diikuti oleh panglima-panglima militer di Sumatra
Utara, Sumatra Selatan, Sulawesi Utara. Tuntutan-tuntutan daerah tersebut semakin
dipertegas dengan tuntutan untuk mengembalikan posisi Muhammad Hatta yang telah
mengundurkan diri pada 1 Desember 1956.
Sejak awal pembentukan Dewan Militer – khususnya di Sumatra Selatan – tidak
bertujuan untuk memisahkan diri dari negara kesatuan Republik Indonesia. Tujuan utama
dari pembentukan PRRI di Sumatra Selatan dana kemudian diikuti oleh Sulawesi Utara
dengan Permestanya – adalah untuk menciptakan sebuah pemerintahan alternatif. Oleh
sebab itu pemerintahan ini juga melibatkan sejumlah politisi sipil pusat seperti Sumitro
Djojohadikusumo, Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara. Memang secara prinsipil dasar
pemberontakan ini merupakan persoalan yang bersifat militeristik.namun demikian jika
ditelusuri lebih dalam lagi dimensi militeristik tersebut berkaitan erat dengan persoalan
etnik dan juga agama. Kajian Amal (1992) yang komprehensif mengenai pergolakan
militer di daerah menyimpulkan bahwa persoalan-persoalan yang muncul pada PRRI-
Permesta di dalamnya terkandung persoalan persepsi yang berbeda antara pusat dan daerah.
Pusat dalam hal ini diwakili oleh para pemimpin politik Jawa dan daerah yang diwakili
oleh para pemimpin lokal di Minangkabau dan di Sulawesi Selatan. Perbedaan persepsi ini
127
kemudian menghasilkan ketegangan-ketegangan politik yang berkaitan dengan militer.
Itulah sebabnya reaksi yang keras datang dari pihak militer daerah dengan mewujudkannya
di dalam pembentukan Dewan-Dewan Militer.
Berawal pada bulan November 1956 orang-orang ex-Divisi Banteng di Sumatra
Barat – yang telah dibubarakan oleh Nasution – mengadakan reuni di Padang dan menuntut
agar terjadi perubahan di segala bidang khususnya dilingkungan Angkatan Darat dan
pemerintahan sipil. Hasil utama dari pertemuan itu adalah dibentuknya sebuah Dewan
Militer yang disebut dengan Dewan Banteng dengan Letnan Kolonel Ahmad Husein
sebagai ketuanya. Selanjutnya di umumkan bahwa ia telah mengambil alih pemerintahan
Sumatra Tengah yang meliputi Sumatra Barat, Riau dan Jambi (Amal, 1992:69). Tindakan
aktual pertama yang dilakukan oleh Dewan Banteng ini adalah menetapkan bahwa
Sumatra Tengah akan mengekspor produk-produknya tanpa campur tangan Jakarta.
Selanjutnya diikuti oleh Kolonel Simbolon di Sumatra Utara yang juga mengambil alih
pemerintahan sipil. Melalui suatu pesan radion Simbolon mengumumkan bahwa Provinsi
tersebut telah memutuskan hubungan dengan Jakarta sampai terbentuknya sebuah kabinet
yang dipimpin oleh orang-orang yang jujur dan mempunyai integritas. Meskipun pada
akhirnya tindakan Simbolon cepat dipatahkan oleh kekuatan militer pusat melalui gerakan
Kolonel Djamin Ginting, seorang Batak Karo. Posisi Simbolon kemudian didesak ke arah
Tapanuli yang dikuasai oleh pasukan-pasukan Batak Toba yang loyal kepadanya
(Sundhausen, 1988:186-187).
Daerah berikutnya yang mengikuti jejak Dewan Banteng adalah Sumatra Selatan.
Melalui komandan militernya, Barlian, mengambil alih pemerintahan sipil de facto d isana
dengan membentuk Dewan Revolusi Burung. Selanjutnya beberapa minggu kemudian
128
diikuti oleh Dewan-Dewan lainnya seperti Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan,
Dewan Manguni di Sulawesi Utara, Dewan Hasanuddin di Sulawesi Selatan dan Dewan
Ladoya di Jawa Barat (Sunda). Tetapi semua Dewan ini tidak memiliki kekuatan regional
seperti yang dimiliki oleh Dewan Banteng. Sehingga yang paling menonjol dari semua
Dewan tersebut adalah Dewan Banteng (Amal, 1992:71).
Kondisi di Sulawesi Utara dan Selatan juga mengalami peningkatan oposisi
terhadap pemerintah pusat. Perjuangan Semesta Alam (Permesta) diumumkan pada tanggal
2 Maret 1957 tengah malam. Tidak berbeda jauh dari tujuan gerakan yang ada di Sumatra
Selatan yaitu pemberian otonomi yang jelas kepada provinsi, perkembangan wilayah lebih
diperhatikan, alokasi yang lebih adil dari penghasilan dan devisa asing, pengesahan atas
perdagangan barter dan peningkatan pembangunan Indonesia Timur sebagai suatu daerah
pertahanan teritorial. Secara nasional tuntutan yang diajukan adalah menyerukan
penghapusan sentralisme birokrasi yang menjadi dasar bagi korupsi, dan stagnasi dalam
perkembangan wilayah dan pemulihan dinamisme, inisiatif serta kewibawaan melalui
desentralisasi. Selanjutnya piagam itu menuntut agar Dewan Nasional yang diusulkan
dipimpin oleh Dwitunggal Presiden Soekarno–Muhammad Hatta sebagai lambang
keutuhan, dinamika dan kewibawaan dan supaya pimpinan angkatan bersenjata sama sekali
diubah berdasarkan kesepakatan Piagam Yogya (Harvey, 1989:69).
Seluruh persoalan yang muncul dalam kaitannya dengan hubungan pusat dan
daerah selama era pemerintahan Demokrai Parlementer telah menghasilkan buruknya
situasi politik yang ada pada saat itu. Kekuatan militerisme menjadi kekuatan utama di
dalam mengatasi masalah-masalah kedaerahaan. Pemberontakan daerah terhadap
pemerintahan pusat tidak saja merupakan protes terhadap peroalan-persoalan ekonomi
129
politik yang ada tetapi kondisi tersebut juga lebih menandakan belum adanya sebuah
formulasi negara yang jelas mengenai eksistensi daerah sebagai bagian dari ke-
Indonesiaan. Akibatnya peran negara di dalam menata persoalan heterogenitas masyarakat
cederung menggunakan cara pandang yang sentralistik dan akhirnya menghasilkan
benturan-benturan di natra keduanya (pusat dan daerah). Pada sisi ini kekuatan negara -
dengan militer sebagai pemeran utama - cenderung melemahkan potensi daerah.
B. Melemahkan Kekuatan Politik Daerah 1957-1963
(Era Demokrasi Terpimpin)
Selanjutnya, dalam era pemerintahan Demokrasi Terpimpin, usaha melemahkan
kekuatan politk daerah dilakukan dengan cara yang lebih sistematis oleh pemerintah.
Proses pelemahan kekuatan daerah ini tentu berdampak pada semakin besarnya sentralitas
pemerintahan di Indonesia, yang secara langsung dapat dilihat sebagai semakin besarnya
terhadap daerah. Bagian ini membahasa mengenai usaha pemerintah di era pemerintahan
Demokrasi Terpimpin memberangus kekuatan daerah.
1. Keadaan Darurat Perang: Menguatnya Posisi Militer Pusat Terhadap Daerah
Perlu dipahami bahwa situasi politik pasca Demokrasi Parlementer merupakan
situasi politik yang sangat kritis. Dikatakan kritis karena adanya kekuatan yang saling tarik-
menarik di antara Presiden Soekarno, Militer, PKI dan Daerah. Keempat kekuatan ini
berusaha untuk saling menguasai satu dengan lainnya. Mundurunya kabinet Ali
Sastroamidjojo II menegaskan bahwa keadaan sosial politik di Indonesia yang -- dianggap
– semakin mencekam. Tuntutan militer kepada Presiden Soekarno untuk mengeluarkan
Undang-Undang Keadaan Bahaya (SOB) pada tanggal 14 Maret 1957 membuktikan bahwa
130
negara dalam keadaan yang bahaya. Dengan dikeluarkannya SOB tersebut maka posisi
Nasution menjadi semakin kuat yaitu sebagai KSAD dan sekaligus sebagai Panglima
Perang Pusat. Selanjutnya, keadaan ini menyebabkan intervensi militer menjadi sangat kuat
dalam perpolitikan di Indonesia.
Sementara itu perwira-perwira yang memberontak di Sumatera sebelumnya telah
memberlakukan keadaan darurat perang di daerah-daerah yang mereka kuasai dalam bulan
Desember 1956. Dengan diumumkannya SOB secara nasional pada bulan Maret 1957
maka posisi politis adminsitratif militer menjadi sangat besar di Indonesia (Sundhausen,
1988:225). Namun tidak demikian halnya dengan situasi politik di daerah. Kekuatan militer
di daerah justru menjadi semacam oposisi bagi kekuatan militer di pusat, dalam hal ini
Nasution. Konflik intern militer ini pada akhirnya memiliki dampak yang luas secara
politis. Tuntutan untuk mengembalikan posisi Muhammad Hatta oleh Dewan Banteng di
Sumatera Selatan dan Permesta di Sulawesi sebenarnya merupakan kamuflase dari tuntutan
yang lebih konkret yaitu mundurnya Nasution, mengingat peran Nasution yang dianggap
telah melalui batas-batas kemiliteran dengan cara memasuki ruang politik sipil. Akan tetapi
dukungan Presiden Soekarno nampak dengan jelas terhadap Nasution. Hal ini tentu
didasarkan pada kepentingan keamanan negara yang pada saat itu mengalami krisis. Krisis
di antara pusat dan daerah ini kemudian diselesaikan dengan cara menunjuk Muhammad
Hatta sebagai wakil pemerintah untuk melakukan pendekatan kepada pemberontak di
daerah. Hasil pertemuan Muhammad Hatta dan para pemberontak di daerah menyepakati
bahwa Presiden Soekarno harus melakukan tawar-menawar yaitu kembali ke UUDS
(1950), Ultimatum dari PRRI dicabut dan PRRI bubar, sedangkan hukuman bagi
pengikutnya ditiadakan, pembentukan kabinet presidensil, mengirim orang ke daerah PRRI
131
untuk menawarkan kesepakatan (Inggleson, 2003:281). Akan tetapi Presiden Soekarno
tidak menyetujui usulan ini dan menerima usulan militer yang mendukung konsepsinya
untuk menyelesaikannya dengan cara militer. Presiden Soekarno kemudian menerima
usulan KSAD, Nasution, yang didukung oleh KSAU Surjadarma untuk melakukan aksi
militer penumpas pemberontakan (Alam, 2003:282).
2. Nasution dan Presiden Soekarno: Dua Kekuatan Memberangus Kekuatan Daerah
Situasi ini kemudian memperkokoh hubungan Presiden Soekarno - militer (dalam
hal ini Nasution) dan menegasikan satu kekuatan lain yaitu daerah. Hubungan ini
menyebabkan peran militer menjadi sangat besar dalam persoalan politik di Indonesia.
Munculnya konsep Demokrasi Terpimpin dari Presiden Soekarno sebenarnya juga
merupakan peran militer yang sangat kuat di dalamnya. Hal ini ditandai dengan Konfesi
para Panglima Militer yang mendesak agar Demokrasi Terpimpin dilaksanakan dalam
rangka kembali ke UUD 1945. Menurut mereka jika UUD 1945 dilaksanakan kekuatan
presiden sebagai eksekutif menjadi sangat kuat, sekaligus melemahkan posisi parlemen.
Karena presiden tidak bertanggungjawab kepada legislatif melainkan kepada MPR. Tujuan
dari konsep ini bagi militer adalah berharap bahwa kekuasaan mereka dapat tersalurkan
melalui Presiden dan melemahkan parlemen yang memang kerap membuat persoalan
dengan militer, khusunya Angkatan Darat (Alam, 2003:283). Kondisi politik yang
demikian ini, bagi parlemen, merupakan sebuah tanda bahwa kekuatan politik militer dan
Presiden Soekarno akan menjadi kekuatan utama di Indonesia. Meskipun parlemen
mengecam Undang-Undang Keadaan Perang guna melemahkan kekuasaan militer – dalam
hal ini Nasution, namun hal itu tidak dapat berjalan secara efektif pada saat-saat itu. Salah
132
satu faktor yang paling penting adalah karena adanya dukungan yang kuat dari Presiden
Soekarno terhadap Nasution. Kekuatan hubungan Presiden Soekarno dan militer (Nasution)
pada akhirnya tidak dapat membendung perubahan-perubahan politik yang dramatis pada
saat-saat itu.
Dalam kaitannya dengan persoalan daerah maka kuatnya kedudukan Nasution
menjadi dasar bagi perwira-perwira daerah berhadapan dengan kekuatan militer pusat.
Sundhaussen (1988) menyatakan bahwa salah satu dasar yang penting dalam konflik pusat
dan daerah adalah disebabkan besarnya kekuatan militer pusat berhadapan dengan
kekuatan militer di daerah. Pada tahun itu juga sedang marak isu korupsi yang sebagian
besar menimpa pejabat-pejabat sipil dan orang-orang partai. Meskipun militer dianggap
“bersih” dari tuduhan korupsi tersebut, namun Presiden Soekarno mengingatkan dan
mengritik militer di daerah yang secara langsung telah memainkan perannya untuk menjadi
agen-agen penggalang dana yang cenderung berifat korup. Hal ini diungkapkan oleh
Presiden Soekarno pada rapat para penguasa bulan April 1957 yang menyatakan bahwa
meskipun militer secara tegas akan memberantas korupsi yang ada di wilayah sipil tetapi
jangan menganggap bahwa para perwira-perwira militer ini adalah kesatria-kesatria tanpa
cela dan noda. Dalam instruksinya ia juga memojokan para perwira militer di daerah yang
senantiasa melakukan penyeleundupan-penyelundupan dengan rekomendasi dari panglima-
panglima setempat.
Dengan kritik yang tajam melalui instruksi Presiden Presiden Soekarno tersebut
maka secara tegas Nasution menjalankan tugas memberantas korupsi di bulan April 1957
terhadap tokoh-tokoh politik sekaligus serangan yang gencar terhadap pemberontakan
daerah yang dianggap terkait juga dengan masalah perekonomian (penyelundupan-
133
penyelundupan). Hal ini dibuktikan dengan penangkapan Kolonel Piters, Panglima Tentara
Maluku, yang ditangkap atas tuduhan terlibat penyeleundupan serta beberapa perwira dekat
Nasution yang dibebastugaskan karena terlibat dalam penyelundupan dari pelabuhan
Tanjung Priok (Sundhausen, 1988:230-231).
Tindakan-tindakan tegas seperti ini telah mempertajam konflik hubungan pusat dan
daerah dalam kaitannya dengan peran militer tersebut. Seperti telah dikatakan di atas
bahwa fungsi dan kedudukan Nasution dianggap telah melebihi fungsi dan tugas
kemiliterannya. Pada saat yang sama – pada September 1958 - Nasution dengan segala
hak-haknya juga telah melarang seluruh cabang-cabang Masyumi, PSI, Parkindo dan IPKI
di daerah-daerah yang bergolak. Hal ini karena partai-partai ini dianggap telah menyokong
pemberontakan di daerah khusunya PRRI. Para pemimpiun Masyumi dan bekas perwira
PETA yang paling senior, Kasman Singodimedjo, ditangkap di Jawa karena secara terang-
terangan menyatakan dukungannya kepada PRRI (Sundhausen, 1988:233). Atas dasar
kekuatan politis dan militer inilah maka pemberontakan-pemberontakan di daerah semakin
lama semakin melemah. Sampai pada tahun 1958, melalui operasi militer seperti “Operasi
17 Agustus”, “Operasi Tegas”, “Operasi Sapta Marga”, “Operasi Insyaf”, “Operasi Sadar”,
kedudukan pemberontakan di daerah hanya berada pada tingkatan gerilya.
3. Membangun Pemerintahan yang Sentralistik: Mengganti UU No. 1/ 1957 dengan
Penpres No. 6 Tahun 1959 dan Penpres No.5 Tahun 1960
Dengan kembalinya negara Indonesia sebagai negara kesatuan Republik Indonesia
pada tahun 1950 maka segala peraturan yang berkaitan dengan kehidupan ketatanegaraan
juga mengalami banyak perubahan-perubahan. Dalam hubungannya dengan masalah
kedaerahan maka secara legal formal terdapat dua UU pemerintahan daerah yaitu: UU No.
134
22 tahun 1948 yang masih berlaku di daerah-daerah eks Yogyakarta dan UU NIT No. 44
Tahun 1950 di daerah-daerah eks negara Indonesia Timur. Sementara itu di daerah-daerah
lain – di luar kedua daerah ini – berlaku pula aneka ketentuan pemerintahan daerah
(Djohan, dkk., 2005:79). Secara umum tatanan peraturan ketatanegaraan dalam masa ini
sangat dipengaruhi dengan liberalisme yang terdapat di dalam UUDS 1950. Hal ini juga
yang terdapat di dalam UU No.1/1957, dimana sistem kolegial difavoritkan, otonomi
daerah luas dipromosikan dan penghapusan pejabat pamong praja (pejabat pemerintah
pusat) dipinggirkan (Djohan, dkk., 2005:80).
Hal-hal mendasar di dalam UU No.1/1957 ini terlihat jelas di dalam beberapa segi
yaitu (Djohan, dkk., 2005:81-82):
- Pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat, tidak diangkat oleh
pejabat pemerintah pusat
- Keanekaragaman dalam pengaturan pemerintah daerah secara bertahap dihilangkan,
dengan cara mengakui daerah-daerah otonom yang dibentuk berdasarkan UU No.22/
1948 dan menerbitkan UU pembentukan daerah otonom baru bagi daerah-daerah eks
NIT dan negara bagian lainnya
- Kedudukan kepala daerah tidak lagi menjadi alat pemerintah pusat dan sekaligus alat
daerah, tetapi hanya sebagai alat daerah saja.
- Daerah-daerah mengerjakan urusan-urusan pemerintah pemerintah menurut bakat,
kesanggupan dan kemampuannya. Urusan rumah tangga daerah dapat ditambah dari
waktu-ke waktu.
- Di daerah selain ada lembaga-lembaga DPRD dan DPD dan kepala daerah yang
mengatur urusan rumah tangga daerah, terdapat juga pamong praja yang
menyelenggarakan tugas dekonsentrasi atau pemerintahan umum.
Dari kandungan materi yang terdapat di dalam UU No.1/1957 terlihat dengan jelas
bahwa peran daerah menjadi sangat besar. Meskipun dalam prakteknya terdapat kesulitan-
kesulitan yang besar. Khususnya menyangkut terjadinya dualisme di dalam proses
pengambilan keputusan. Hal ini terjadi karena adanya tarik menarik antara DPD/kepala