The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by eipcusa.pastor, 2016-03-09 11:33:01

Negara Kuat Rakyat lemah

Victorius Adventius Hamel

Keywords: Negara,Rakyat

235

sebuah masyarakat yang heterogen di Indonesia. Perbedaan terhadap penafsiran ini sering
dianggap sebagai usaha menciptakan distorsi kehidupan yang harmonis dalam masyarakat
yang heterogen. Oleh karenanya negara berhak untuk mengatasi atau mengamankan
distorsi-distrosi tersebut dengan berbagai cara – yang paling ampuh adalah dengan
kekuatan militer, selain regulasi-regulasi yang diciptakan oleh pemerintah. Hegemoni
negara – khususnya melalui kekuatan militer – menjadi kuat karena militer dianggap
sebagai kekuatan utama negara di dalam menjaga terwujudnya azas tunggal Pancasila
dengan segala penjabaran nilai-nilainya. Pada sisi lain segala macam regulasi dibuat
berkaitan dengan aturan dan tata laksana kehidupan beragama di Indonesia – yang
semuanya bermuara pada tatanan yang harmonis alam hidup bersama di Indonesia.

Di sisi lain, era pemerintahan Orde Baru juga menciptakan sebuah pendekatan yang
akomodatif dimana negara berhasil menjadikan agama (baca: Islam) sebagai sebuah
kendaraan politik guna mempertahankan langgengnya kekuasaan rezim Orde Baru. Namun
demikian hal ini tidak memberi jalan keluar mengenai format negara yang mampu menata
kehidupan masyarakat yang heterogen di Indonesia, khususnya masalah keagamaan. Hal
ini karena agama dijadikan alat politik guna mendukung kekuatan rezim berkuasa.
Konsepsi negara kuat dengan pembawaan yang lemah memberikan indikasi akan hal ini
sebagai sebuah penggalangan partisipasi rakyat guna menciptakan kekuatan dan sentralisasi
kekuasaan. Dengan demikian negara menjadi semakin kuat masyarakat menjadi lemah.

Persoalan hubungan pusat dan daerah merupakan persoalan yang rumit sejak awal
Indonesia merdeka. Jika persoalan agama dijadikan simbol dalam basis gerakan
pemberontakan di daerah maka persoalan yang sama juga muncul dalam bentuk sentimen
suku Jawa dan luar Jawa. Agama dan kesukuan berhimpit menjadi satu dalam persoalan

236

etnisitas. Seperti telah di katakan di atas bahwa persoalan ekonomi politik menjadi dasar
bagi reaksi kedaerahan terhadap pemerintah pusat. Pasca Pemilu 1955 kekuatan politik
menjadi tersentralisasi di Jawa. Partai-partai politik pemenang pemilu sebagian besar
berbasis di Jawa. Hanya Masyumi yang merupakan representasi kekuatan politik luar Jawa
(Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan) di tambah dengan partai-partai Kristen mewakili
Sulawesi Utara dan daerah kantong-kantong Kristen lainnya. Bagi daerah, kondisi politik
yang demikian dianggap telah menghasilkan distribusi kekuasaan yang tidak adil baik
secara ekonomi dan politik. Sentralisasi kekuasaan menjadi sangat besar di Jawa. Namun
demikian, ada faktor lain yang menyebabkan reaksi kedaerahan itu muncul dengan begitu
kuatnya, yaitu persoalan internal negara: masalah sipil dan militer serta masalah di dalam
internal militer sendiri. Sipil – dalam hal ini didukung oleh Soekarno - tidak menghendaki
besarnya kekuasaan militer, pada sisi lain persoalan internal militer terbagi menjadi dua
hal. Pertama, militer tidak senang akan keterlibatan orang sipil di lingkungan militer.
Kedua, masalah internal militer terkait dengan rasionalisasi, senioritas, ketegangan
personal di militer pusat dan daerah. Seluruh persoalan ini kemudian dapat disimpulkan
dalam satu kata yaitu “Ketidakadilan”.

Ketidakadilan di dalam distribusi kekuasaan – ekonomi dan politik – menyebabkan
persoalan politik berhimpitan dengan persoalan etnisitas. Kondisi ini menunjukan sekali
lagi bahwa tidak terdapatnya format negara yang jelas, baik secara politis maupun dari sisi
kebijakan terhadap penataan masyarakat yang heterogen di Indonesia pada saat itu. Pada
akhirnya negara juga gagal dalam mengatasi persoalan kedaerahan ini. Jika dikatakan
berhasil tentu karena militer mampu mengatasi dan meredam kekuatan daerah yang tidak
memiliki kemampuan melawan kekuatan militer. Hal ini semakin tampak pada era

237

Demokrasi Terpimpin di mana keadaan bahaya Perang (SOB) merupakan indikasi yang
jelas tentang besarnya peran negara – melalui militer - mengatasi persoalan tersebut.
Negara menjadi kekuatan tunggal mengatasi persoalan-persoalan heterogenitas di
Indonesia. Akibatnya adalah semakin lemahnya posisi daerah terhadap pemerintah pusat.
Benih-benih pelemahan kekuatan daerah ini selanjutnya nampak dari usaha Presiden
Soekarno mengganti UU No.1/1957 dengan Penpres No.6/1959 dan Penpres No.5/1960
yang sangat sentralistik. Sentralitas kekuasaan ini menjadi semakin kuat di dalam era
pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Hal yang menarik adalah bahwa dalam dua era
pemerintahan ini persoalan kedaerahan terkait erat dengan persoalan ekonomi-politik yang
menyebabkan lemahnya politik daerah. Keadaannya tentu berbeda dengan apa yang terjadi
di era pemerintahan Orde Baru.

Dalam era pemeritahan Orde Baru, daerah tidak saja menjadi semakin lemah tetapi
juga melalui kebijakan telah menciptakan pola-pola keseragaman dan kepatuhan / loyalitas
terhadap negara. Pola penyeragaman di dalam rangka penggalangan kolektif sebagai bagian
dari kontrol sosial menjadi semakin besar dan kuat serta menghilangkan keontentikan
daerah. Kontrol ekonomi juga menjadi terpusat, sehingga jurang pendapatan daerah yang
sebenarnya kaya sebagian besar terserap ke pusat. Hal ini menyebabkan reaksi
ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat. Namun demikian hal ini tidak dapat
dilakukan dengan cara pemberontakan karena kepatuhan daerah telah dibayar oleh
pemerintah melalui pos-pos pembangunan dan distribusi ekonomi secara sentralistik.
Kekuatan negara menjadi semakin kuat dengan penguasaan yang penuh dalam bidang
politik dan ekonomi serta keseragaman tatanan pemerintahan daerah sebagai usaha
mempermudah kontrol kekuasaan. Kondisi seperti ini memperlihatkan bahwa negara

238

menjadi semakin kuat dan masyarakat menjadi lemah. Jika dalam era-era sebelumnya pola-
pola kebijakan negara yang kuat menjadikan masyarakat lemah tetapi dalam era Orde Baru
proses pelemahaman tersebut mengikutsertakan kepatuhan dan loyalitas yang tinggi
terhadap negara. Segala sesuatu yang berbeda dengan pemahaman dan konsep negara
dianggap melawan negara dan dengan demikian akan disingkirkan. Atau negara akan
menciptakan stigma-stigma seperti SARA, Gerakan Pengacau Keamanan dan sebagainya,
guna memperlemah eksistensi dari kelompok atau orang-orang yang berseberangan dengan
negara.

Munculnya “Masalah Cina” di Indonesia – khususnya pada awal kemerdekaan –
telah menunjukkan sikap yang rasialis di dalam menata persoalan masyarakat Tionghoa di
Indonesia. Hal utama yang dapat dilihat dalam setiap penataan mengenai masalah
Ketionghoaan di Indonesiaa adalah keterkaitannya dengan masalah ekonomi politik.
Keterkaitan penataan masyarakat Tionghoa dengan persoalan ekonomi politik terlihat jelas
dengan kebijakan-kebijakan negara/pemerintah yang cenderung berpihak kepada segelintir
orang atau kelompok. Kepentingan pengusaha pribumi, militer, partai-partai, kelompok-
kelompok tertentu yang dekat dengan lingkaran kekuasaan telah menjadikan Ketionghoaan
sebagai objek ekonomi politik yang harus diatur sedemikian rupa – dan oleh sebab itu akan
menguntungkan kelompok-kelompok tersebut. Era Demokrasi Parlementer, Demokrasi
Terpimpin (Orde Lama) dan pemerintah Orde Baru semuanya terlibat di dalam
menciptakan kebijakan-kebijakan ekonomi yang menguntungkan kelompok pribumi.
Namun sayangnya, kebijakan-kebijakan ini pada akhirnya tidak memberikan kemampuan
yang besar bagi pengusaha pribumi, karena dalam implementasinya masih terjadi pola-pola
KKN yang menguntungkan segelintir kelompok orang saja. Dalam teori Migdal (1988)

239

mengenai hubungan negara-masyarakat dikatakan bahwa negara pada dasarnya mempunyai
kemampuan penetrasi ke dalam kehidupan masyarakat guna mengekstraksi sumber-sumber
potensi yang ada dan menggunakannya sesuai dengan kebutuhan yang ada. Dengan
demikian negara seharusnya mampu menata sumber-sumber tersebut untuk
mengarahkannya kepada kepentingan perubahan sosial yang lebih baik. Jika diasumsikan
ke-Tionghoaan adalah sumber-sumber yang dapat diekstraksi guna menghasilkan
keuntungan-keuntungan ekonomi bagi bangsa Indonesia maka seharusnya hal ini diimbangi
dengan menghasilkan produk-produk hukum yang adil bagi eksistensi orang Tionghoa di
Indonesia. Dalam kenyataannya keadilan terhadap eksistensi orang Tionghoa semakin
marginal, khususnya dalam era Orde Baru. Kontrol sosial yang tinggi terhadap orang
Tionghoa menyebabkan hilangnya identitas ke-Tionghoaan. Proses penghilangan identitas
dengan menggunakan instrumen-instrumen negara – baik militer maupun kebijakan-
kebijakan – memberikan indikasi yang jelas bahwa negara telah melakukan tindakan
diskriminasi rasial. Menempatkan ke-Tionghoaan sebagai bagian yang subordinat dari
masyarakat Indonesia.

Dari hal atas secara umum dapat disimpulkan bahwa negara mempunyai potensi
yang besar untuk menjadi negara yang kuat dengan didasarkan pada dominasi dan
intervensi. Dari hal di atas dapat dilihat bahwa problem negara di dalam menata kebijakan
hubungan pusat dan daerah yang behimpit dengan persoalan etnisitas (agama dan
kesukuan) dan persoalan ke-Tionghoaan, terkait denga pola-pola perumusan kebijakan itu
sendiri. Negara terlalu kuat memiliki otoritas di dalam perumusan kebijakan tanpa
memperhatikan dimensi-dimensi – meminjam istilah Migdal – ‘a mélange of social
organizations’, suatu kondisi di mana di dalam masyarakat sendiri sudah terdapat penataan-

240

penataan lokal yang eksistensinya telah ada sejalan dengan kehadiran masyarakat itu.
Persoalan sentralisasi kekuasaan dan penyamarataan / penyeragaman adalah dampak dari
pola-pola perumusan kebijakan negara / publik yang cenderung mengabaikan nilai-nilai
kelokalan yang sudah ada di masyarakat. Pada situasi seperti ini maka tesis semakin kuat
negara/pemerintah melakukan penataan terhadap persoalan masyarakat yang heterogen di
Indonesia akan semakin melemahkan masyarakat, mendapatkan kebenarannya. Dapat
dikatakan bahwa dalam menata persoalan masyarakat yang heterogen di Indonesia telah
menghasilkan sebuah tatanan NEGARA KUAT RAKYAT LEMAH.

Disadari bahwa peran negara tetap menjadi penting di dalam menata masyarakat
yang heterogen tetapi tidak bersifat dominasi dan intervensif. Negara / pemerintah
seharusnya menjadi fasilitator bagi perjumpaan-perjumpaan lintas kemajemukan. Sebagai
fasilitator negara / pemerintah memberikan ruang yang luas bagi terciptanya relasi dan
kesalingpengertian di antara komunitas heterogen yang ada di Indonesia. Program-program
yang berkaitan dengan pentingnya arti memahami makna heterogenitas masyarakat di
Indonesia seharusnya menjadi prioritas di dalam usaha tetap mempertahankan negara
sebagai kesatuan. Namun demikian program-program tersebut seharusnya dibebaskan dari
persoalan politisasi demi kepentingan kekuasaan. Apa yang terjadi dalam era-era
pemerintahan yang lalu (yang berpuncak pada era pemerintahan Orde Baru) hampir
sebagian besar didasarkan pada usaha mempolitisasi masyarakat yang heterogen di
Indonesia. Atau dengan kata lain pendekatan negara/pemerintah di dalam menata persoalan
masyarakat yang heterogen di Indonesia sangat bersifat state center (negara sentris).

Dengan demikian format negara dengan cita-cita negara sebagai kesatuan
seharusnya mendapatkan kajiannya yang lebih dalam lagi. Tafsir negara mengenai negara

241

kesatuan seharusnya menempatkan prinsip-prinsip heterogenitas sebagai yang utama.
Konsepsi-konsepsi kelokalan menjadi dasar dan pertimbangan yang utama bagi negara di
dalam proses pengambilan-pengambilan keputusan mengenai masalah-masalah
heterogenitas. Pemaksaan yang kuat mengenai konsep negara sebagai kesatuan melalui
pemahaman negara – yang kemudian diterjemahkan dalam konteks lokal sebagai
pemaksaan - cederung memarginalisasikan kekuatan lokal yang ada di dalam heterogenitas
masyarakat dan akhirnya menghasilkan konflik secara vertikal dan horizontal dan akhirnya
masyarakat yang selalu kalah.

Format negara dengan menempatkan kelokalan sebagai dasar utama di dalam
mempertimbangkan kebijakan-kebijakan publik menjadikan negara dengan tingkat
heterogenitas yang tinggi seperti Indonesia mengharuskan perubahan-perubahan secara
signifikan mengenai model-model perumusan kebijakannya. Jika selama ini model
perumusan kebijakan sebagian besar didominasi oleh cara pandangan para teknokrat demi
kepentingan politik negara - dan akhirnya menjadi sangat elitis – maka pendekatan-
pendekatan ini seharusnya dirubah. Demokratisasi mengharuskan tatanan kenegaraan
semakin memberikan ruang bagi publik untuk berekspresi dan secara maksimal
mengalokasikan sumber-sumber potensial sosio-politik negara. Dengan demikian
pendekatan kebijakan publik – khususnya terhadap persoalan heterogenitas masyarakat –
harus senantiasa terarah kepada bagaimana negara menata melalui kebijakan-kebijakannya
yang memperhatikan segala aspek yang ada di dalam masyarakat yang heterogen dan
bukan mengatur atau mengurus segala persoalan dan heterogenitas masyarakat yang ada.

Pada sisi lain, militer adalah salah satu instrumen dari negara yang memiliki
kekuatan yang signifikan. Namun demikian dalam format negara sebagai kesatuan yang

242

mengedepankan dan menjunjung tinggi nilai-nilai heterogenitas, supremasi sipil harus
ditegakkan. Supremasi sipil bukanlah dalam kerangka memarginalisasikan kekuatan
militer, ia hanyalah salah satu cara untuk menata elemen-elemen politik yang ada di dalam
negara yang berpotensi menjadi sangat dominan.

Pada akhirya, keharusan untuk menempatkan kembali Pancasila sebagai salah
satu guiding principle bagi proses menjadi Indonesia dengan keontentikan masyarakatnya
yang heterogen. Bias terhadap Pancasila hanya sebagai ideologi – dan dengan demikian
mempersempit makna Pancasila – sebaiknya diluruskan menjadi sebuah guiding priciple
yang mengedepankan pada makna kebangsaan yang universal. Rumusan tentang
pemaknaan Pancasila yang univeral ini harusnya juga dimaknai dalam konteks kedaerahan,
dimana daerah-daerah juga memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi. Hal ini agar tidak
terjadi sikap-sikap chauvinisme yang cenderung mengedepankan ‘orang daerah’
berhadapan dengan ‘para pendatang’ di daerah – yang biasnya dapat melebar kepada
persoalan agama, suku, budaya dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Ake, Claude. 1967. A Theory of Political Integration. Illionis: The Dorsey Press.

Alam, Wawan Tunggul. 2003. Pertentangan Sukarno Vs Hatta, Jakarta: Gramedia
Pustakan Utama.

Anwar, Arsjad dan Keiji Omura (ed). 1994. Local Development in Indonesia, Tokyo:
Institute of Developing Economics.

Amal, Ichlasul. 1992. Regional and Central Govermnment in Indonesian Politics –West
Sumatra and South Sulawesi 1949-1979. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Aminudin.1999. Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekeuasaan di Indonesia-Sebelum
dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anderson, Bennedict. 2001. Imagined Community (terj.). Yogyakarta: Insist.

Asmara, N. 1964. Perang Rakyat Semesta. Medan: BAPPIT Sumut.

Azyumardi Azra, (ed). 1998. Mentri-Mentri Agama RI – Biografi Soaial-Politik. Jakarta:
INIS – Balitbang DEPAG

Bahar, Saafroedin dan A.B. Tangdililing (ed). 1996. Integrasi Nasional-Teori, Masalah
dan Strategi Yogyakarta: Ghalian Indonesia.

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies-Theory and Practice. London: Sage Publication.

Balitbang Agama. 1992. Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan dan Kebijakan
dalam Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama. Jakarta: Departemen
Agama RI, Proyek Kerukunan Hidup Beragama.

Bourchier, David dan John Legge (eds.). 1994. Democracy in Indonesia-1950’s and 1990’s
- Monash Paper on Southeast Asia No. 31. Australia: Centre of Southeast
Asian Studies Monash University.

Bourchier, David dan Vedi R.Hadiz (eds.). 2003. Indonesian Politics and Society - A
Reader. London: Routledge Curzon.

Cheng, Peter. 1972. A Chronology of the People’s Republic of China. New Jersey:
Liitelfield Admas.

Coppel, Charles A. 1994. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Sinar harapan.

239

Crouch, Harold. 1986. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.

Dahm, Bernhard. 1987. Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan. Jakarta: LP3ES.

Departemen Agama RI, Balitbang Agama. 1992/1993. Kompilasi Peraturan Perundang-
Undangan dan Kebijakan dalam Pembinaan Kerukunan Hidup
Beragama, Jakarta: Proyek Kerukunan Hidudp Beragama.

DEPAG RI, 2001. Peradilan Agama di Indonesia Sejarah Perkembangan Lembaga dan
Proses pembentukan Undang-Undangnya. Jakarta: Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam.

Diamond, Larri., Marc F. Plattner. Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi Demokrasi.
Jakarta: Rajawali Press.

Dijk, C. van. 1983. Darul Islam – Sebuah Pemberontakan. Jakarta: Grafiti Press.

Djohan, Djohermansyah. 2005. Pasang Surut Otonomi Daerah – Sketsa Perjalanan 100
Tahun. Jakarta: Institute for Local Development dan Yayasan Tifa.

Drake, Christine. 1989. National Integration Indonesia. Honolulu: University of Hawai
Press.

Dye, Thomas R. 1972. Understanding Public Policy. Engelwood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Easton, David. 1965. A System Analysis of Political Life. New York: Wiley.

Elson, R.E. 2001. Suharto- A Political Biography. United Kingdom: Cambride University
Press.

Fattah, Abdoel. 2005. Demiliterisasi Tentara – Pasang Surut Politik Militer 1945-2004.
Yogyakarta: LkiS.

Feith, Herbert dan Lance Castle (ed). 1970. Indonesia Political Thingking-1945-1965.
London: Cornel University Press.

Feith, Herbert. 1962. The Decline Constitutional Democracy in Indonesia. London: Cornel
University Press

……………… 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.

……………… 2001. Soekarno dan Militer-Dalam Demokrasi Terpimpin. Jakarta: Sinar
Harapan.






























































Click to View FlipBook Version