The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by eipcusa.pastor, 2016-03-09 11:33:01

Negara Kuat Rakyat lemah

Victorius Adventius Hamel

Keywords: Negara,Rakyat

135

daerah dan pamong praja yang mengakibatkan tidak terjadinya efektivitas dan koordinasi di
dalam pelayanan publik.

Besarnya peran daerah ini, secara politis, memberikan peran yang besar pula bagi
pemerintah daerah – khususnya di beberapa daerah yang strategis – khusunya juga dalam
kaitannya dengan militer. Seperti sudah dipaparkan di atas bahwa tindakan-tindakan
ekonomi yang diselenggarakan oleh daerah – dengan bantuan militer – tidak terlepas dari
pemahaman yang kuat bahwa daerah-daerah dapat mengurusi dirinya sendiri tanpa campur
tangan pemerintah pusat. Kondisi seperti ini telah memberikan pemahaman politis yang
berbeda-beda. Dari kalangan partai politik sebagian besar menginginkan agar pemerintah
pusat tidak perlu ikut campur tangan dalam masalah-masalah kedaerahan khususnya yang
berkaitan dengan masalah ekonomi dan bersikukuh untuk menghapuskan aparat pusat
pamong praja. Karena kehadiran pamong praja dianggap tidak diperlukan jika daerah telah
menjalankan otonomi yang riil dan luas.

Sementara itu bertentangan dengan arus utama dari UU No.1/1957 militer juga
memiliki kepentingan politis berkaitan dengan beberapa hal seperti kepala daerah yang
harus diangkat oleh pemerintah pusat dan diserahi tugas pengawasan (Djohan, dkk.,
2005:85-86). Militer pusat memiliki kepentingan politis terkait dengan semakin kuatnya
friksi yang terjadi di antara militer pusat dan daerah. Hal ini menurut mereka sangat
membahayakan kedudukan negara Republik Indonesia. Seperti sudah diketahui bahwa
dalam tahun-tahun ini aktifitas pemberontakan di daerah semakin meningkat yang sebagian
besar di dalangi oleh kekuatan militer di daerah. Dengan demikian secara politis militer
juga menjadi sangat ambivalen di dalam memaknai kedudukan daerah berdasarkan UU
No.1/1957.

136

Meskipun pada akhirnya pemerintah – dalam hal ini Presiden Presiden Soekarno-
pada tanggal 17 Januari 1957 menandatangani UU Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah,
namun situasi politis yang terjadi pada tahun tersebut sangat tidak kondusif di dalam
melaksanakan secara baik UU tersebut. Bahkan selanjutnya 21 Februari 1957 Presiden
Presiden Soekarno telah mengumumkan sebuah Konsepsi Presiden di Istana Negara dan
dihadapan para pemimpin partai politik dan tokoh politik lainnya2. Inti dari Konsepsi ini
adalah perlunya pembentukan Kabinet Gotong Royong dan pembentukan Dewan Nasional.
Mengenai kabinet gotong royong, bagi Presiden Soekarno, adalah sebuah kabinet yang
terdiri dari semua partai-partai atau fraksi-fraksi di dalam parlemen yang cukup memadai
kies-quotient. Bagi Presiden kabinet yang ada pada saat itu adalah kabinet stijl tua.
Menurutnya harus diganti dengan kabinet stijl baru yang terdiri dari Menteri-Menteri yang
berasal dari semua partai-partai atau fraksi-fraksi di dalam parlemen yang dicapai kies
quotient. Tidak pandang bulu partai apakah yang ada di dalam parlemen maka semuanya
terwakili di dalam kabinet. Itulah sebabnya Presiden Soekarno mengatakan ini sebagai
kabinet gorong royong.

Sementara itu anggota Dewan Nasional ini terdiri dari semua golongan yang
mewakili sebuah natie. Menurutnya orang-orang yang duduk dalam Dewan Nasional
adalah kaum buruh, tani, kaum intelegensia, cendikiawan, pengusaha, golongan agama,
militer, dan sebagainya. Dewan ini, selanjutnya akan dipimpin oleh Presiden Soekarno.
Tugas dari Dewan Nasional ini adalah memberikan nasihat baik diminta atau tidak kepada
kabinet. Sehingga posisi antara kabinet dan Dewan Nasional adalah sejajar. Dengan
demikian maka kewibawaan kabinet akan tetap terjaga dengan baik. Harapan dari

2 Disarikan dari Pidato “Konsepsi Presiden” dalam Panitia Peringatan 100 tahun Bung Karno, Wacana
Konstitusi dan Demokrasi, Grasindo, Jakarta, 2001, h. 164-176

137

terbentuknya konsepsi Presiden ini adalah terselenggaranya perdamaian nasional di
Indonesia.

Dari inti sari pembahasan mengenai konsepsi Presiden di atas dapat ditangkap
bahwa pemahaman Presiden Presiden Soekarno mengenai situasi politik pada saat itu
adalah keinginannya untuk kembali kepada sebuah negara yang dijiwai oleh semangat ke-
Indonesiaan. Dalam konsepsi ini secara eksplisit tidak menyinggung mengenai persoalan
dasar negara. Akan tetapi kritiknya yang tajam terhadap Demokrasi Parlementer, yang
sudah sering dilontarkannya, merupakan sinyal kuat bahwa Presiden Soekarno
“menghendaki” adanya sebuah negara yang dijiwai oleh cita-cita negara berdasarkan UUD
1945 yaitu sistem presidensil. Dalam pemaparannya Presiden Soekarno memang tidak
secara langsung mengatakan bahwa konsepsi ini mengajak orang untuk kembali kepada
UUD 1945. Hal ini tentu karena sidang Konstituante sedang berjalan untuk menghasilkan
sebuah UUD yang baru bagi Indonesia. Hal lain adalah karena ia sendiri tidak yakin dapat
menjamin stabilitas negara dan mengendalikan Angkatan Darat (Lev, 1966:209).

Konsepsi ini sendiri merupakan dasar yang kuat bagi munculnya peran Presiden
Presiden Soekarno yang sangat kuat di era Demokrasi Terpimpin. Hal ini bagi perwira-
perwira di daerah menjadi sangat mencemaskan. Salah satu tuntutan dari daerah adalah
mengembalikan fungsi Muhammad Hatta dalam kebinet dan menempatkan Presiden
Soekarno sebagai Presiden yang nota bene adalah hanya sebagai lambang saja.

Dengan semakin kuatnya peran Presiden Presiden Soekarno pada tahun-tahun ini
maka secara prinsip dapat dikatakan bahwa implemenetasi UU No.1/1957 ini tidak dapat
dikatakan berjalan denganb baik. Bahkan selanjutnya Presiden Presiden Soekarno
mengeluarkan Penpres No.6 /1959 yang isinya sangat bersifat sentralistik. Dalam Pasal 14

138

dinyatakan bahwa kepala daerah adalah alat pemerintahan pusat dan alat pemerintahan
daerah. Kepala daerah tidak lagi dipilih oleh rakyat tetapi diangkat oleh pemerintah pusat
dan dijadikan pegawai negara yang tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD. DPRD hanya
boleh mengusulkan nama calon dan pemerintah pusat akan menentukannya bahkan bisa
tidak sesuai dengan nama calon tersebut. Bahkan kepala daerah tidak bertanggungjawab
kepada DPRD tetapi kepada pemerintah pusat. Selanjutnya, kepala daerah sebagai alat
daerah bertindak sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, baik dibidang urusan rumah
tangga (otonomi) maupun dibidang tugas pembantuan kepada pemerintah pusat. Dengan
kata lain kepala daerah adalah “Presiden” daerah itu sendiri. Hal ini dikehendaki agar
suasana “keterpemimpinan” dari pusat sampai daerah terjaga dengan baik. Dalam
pelaksanaannya memang nampak bahwa tugas kepala daerah merupakan kepanjangan
tangan dari pemerintah pusat dan tidak lebih dari seorang pembantu.

Dewan Pemerintahan Daerah juga mengalami perubahan dan diganti dengan Badan
Pemerintahan Harian dengan tugas dan wewenang yang tidak sama dengan Dewan
Pemerintahan Daerah. Bila Dewan pemerintahan Daerah dibentuk atas dasar pemilihan
oleh dan dari kalangan anggota-anggota maka Badan Pemeritahan Harian disusun
berdasarkan pengangkatan. Bila sebelumnya Dewan Pemerintahan Daerah selayaknya
bertugas sebagai badan eksekutif yang melaksanakan putusan-putusan DPRD maka Badan
Pemerintahan Harian hanya bertugas sebagai Badan Pembantu, suatu badan yang tidak
mempunyai wewenang snediri.

Restrukturisasi DPRD terjadi juga sebagai konsekuensi dari sistem demokrasi
terpimpin. Sama seperti Badan Pemerintahan Harian maka DPRD juga tidak didasarkan
pada pemilihan umum tetapi diangkat oleh calon-calon yang diusulkan oleh daerah. Bila

139

kedudukan DPRD sebagai badan legislatif maka setelah perubahan fungsinya berubah
hanya sebagai badan pembantu kepala daerah dan tidak dapat lagi menyingkirkan kepala
daerah dari kedudukannya. Nampaklah bahwa situasi yang sangat sentarlistik terjadi pada
masa Demokrasi Terpimpin.

Kondisi ini menunjukan dengan jelas bahwa kehadiran Penpres ini memberikan
kekuasaan yang sangat besar bagi pemerintah psuat. Bagi banyak kalngan hal ini
merupakan sebuah langkah mundur bagi kebijakan otonomi daerah di Indonesia. Hal
sejalan juga terjadi dengan Penpres No.5/1960 yang khsusnya menyangkut badan legislatif
lokal yang telah ditetapkan dalam UU No.1/1957 diubah secara total. Konsep pemilihan
diganti dengan pengangkatan, kekuatan partai dilemahkan dengan memasukan unsur
kekaryaan, kepemimpinan legislatif dirangkap oleh eksekutif, pengambilan keputusan
secara voting ditabukan dan ditukar dengan musyawarah (Lev, 1966:92-93).

Hal yang paling penting dari hadirnya kedua Penpres ini adalah pertentangan yang
sangat sangat sengit dari partai-partai politik yang sebagain besar perannya telah
dihilangkan di dalam Penpres ini. Meskipun terdapat perlawanan politis yang kuat dari
daerah namun dengan tegas pada tahun 1960 Presiden Presiden Soekarno melakukan
resktrukturisasi lembaga legistlatif lokal serta membersihkan anggota-anggota DPRD dari
orang-orang partai yang menentang Demokrasi Terpimpin, khususnya Masyumi dan PSI.
Selanjutnya Presiden Presiden Soekarno membentuk DPR GR yang isinya adalah orang-
orang dari berbagai golongan yang ditunjuk secara langsung oleh Presiden. Dengan
demikian semakin kokohlah kedudukan Presiden Presiden Soekarno dan secara politis juga
telah mengebiri kekuatan politik daerah pada saat itu. Bahkan selanjutnya dengan
keluarnya Penpres No.22/1963 dihapuskanlah istilah keresidenan dan kewedanan. Tugas

140

pemerintahan umum dan pegawai-pegawainya diserahkan kepada kepala daerah otonom
yang selain sebagi alat daerah juga sekaligus menjadi alat pusat.

Kondisi yang demikian menyebabkan peran pemerintah pusat menjadi sangat besar
di dalam mengatasi masalah-masalah kedaerah yang terjadi pada saat itu. Kuatnya
pemerintah pusat tidak saja didukung oleh infrastruktur politik yang ada pada saat itu tetapi
hal yang terpenting adalah juga didukung oleh kekuatan militer yang tidak saja mendukung
tetapi juga menjadi alat penyeimbang politis berhadapan dengan PKI sebagai salah satu
mitra politik Presiden Presiden Soekarno pada saat itu.

C. Membangun Keseragaman dan Kepatuhan Terhadap Pemerintah
Pusat pada Era Pemerintahan Orde Baru

Era pemerintahan Orde Baru ditandai dengan semakin terpusatnya sistem
pemerintahan di Indonesia. Terpustanya sistem pemerintahan ini mengakibatkan lemahnya
posisi daerah terhadap pemerintah pusat. Jika di era Demokrasi Parlementer dan pada
pemerintahan Demokrasi Terpimpian hal hubungan pusat daerah cenderung berkaitan
dengan dilema kebijakan politik mengenai hubungan pusat dan daerah tanpa
menghilangkan eksistensi kedaerahan tersebut, dalam era Orde Baru pemerintah telah
menjadi sebuah kekuatan yang kokoh dengan cara menghilangkan eksistensi daerah
yangbersifat heterogen melalui kebijakan-kebijakan keseragaman dan politik loyalitas yang
tinggi terhadap pemerintah pusat. Bagian ini memaparkan mengenai bagaimana pemerintah
Orde Baru menjalankan kebijakannya yang cenderung menegasikan, menyergamankan,
menciptakan politik loyalitas bagi daerah terhadap pemerintah pusat.

141

1. Membangun Politik Loyalitas Daerah Terhadap Pusat 1967-1992
Loyalitas daerah terhadap pemerintahan pusat menjadi semakin besar di Era

pemerintahan Orde Baru dengan tindakan politik dan kebijakan-kebijakan yang secara
langsung mengarahkan dan melemahkan kekuatan daerah tersebut. Hal ini tentu memiliki
dampak bagi proses demokrasi di Indonesia. Pecahnya peristiwa G/30-S/PKI pada tahun
1965 merupakan tonggak berdirinya suatu rezim yang baru di Indonesia di bawah pimpinan
(pada saat itu) Letnan Jenderal Soeharto. Peristiwa tersebut memberikan kontribusi besar
dalam sejarah pengambilan keputusan model dan strategi kehidupan berbangsa di
Indonesia. Hancurnya perekonomian dengan tingakat inflasi sebesar 500%. Dan harga
beras naik 900%, defisit anggaran belanja pada tahun 1965 mencapai 300% dari
pemasukan dan defisit 3 bulan pertama 1966 hampir sebesar jumlah defisit tahun 1965.
Selain itu jika pembayaran hutang kepada luar negri harus dilakukan menurut rencana pada
tahun 1966, maka hampir seluruh pendapatan dari ekspor negara akan dibutuhkan untuk
itu. Ditambah lagi dengan tarik-menarik kepentingan banyak partai dan golongan politik di
Indonesia yang sangat rumit, maka kebijakan-kebijakan politik pada saat itu diharapkan
dapat mengatasi hal-hal tersebut secara cepat dan tuntas.

Kebijakan yang pertama adalah dengan cepat memberantas seluruh unsur-unsur
yang berbau PKI di seluruh Indonesia. Vitikiotis (1994:33-34) mencatat bahwa puluhan
ribu seniman-seniman dan intelektual dan pegawai negri sipil yang terkait dengan PKI
dipecat dan diberi cap ex-PKI. Banyak juga yang dibuang ke pulau Buru serta dipenjara di
Ambon. Kebijakan ini merupakan kebijakan yang diambil sebagai respon untuk menumpas
gerakan-gerakan (khususnya PKI) yang melawan kepentingan rezim yang baru dan juga
Angkatan Darat (Crouch, 1986:200-219). Selanjutnya, orang-orang yang dimasukan dalam

142

golongan PKI mengalami personal stigmatisation sebagai “orang PKI” dan dalam
kehidupan sosial kemasyarakatan termalginalisasikan serta menjadi korban sosial.
Semuanya itu tertuang di dalam ketetapan MPRS No. XXV/MPRS/1966, tentang
pembubaran Partai Komunis Indonesia, pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh
wilayah Republik Indonesia dan larangan untuk menyebarkan paham atau ajaran
komunisme dan Marxisme-Leninisme.

Diharapakan dalam situasi semacam ini akan tercipta situasi yang aman dan
kondusif pada saat itu atas nama stabilitas nasional. Maso’eod mengatakan:”Soeharto
melukiskan stabilitas, ketertiban dan keamanan sebagai tujuan pembangunan itu sendiri,
khususnya untuk membuat kita semua merasa aman secara fisik dan mempunyai
ketenangan jiwa, bebas dari ancaman dari luar dan dari rasa kuatir tentang gangguan dari
dalam. Salah satu tujuan terpenting orde baru adalah membangun suatu masyarakat baru
yang merasa aman, menikmati arti penting ketertiban dan bisa mengejar kemajuan dalam
iklim stabilitas”. Dan hal itu dilakukan dengan memilih konsep pertumbuhan sebagai titik
tolak pembangunan di Indonesia (Mas’oed, 1999:47-48). Dengan konsep pertumbuhan ini
maka kebijakan pemerintah lebih mengarahkan pada percepatan pembangunan di segala
bidang dengan konsentrasi wilayah yang sangat terbatas pada mulanya. Dalam analisis
Glassburner menyatakan bahwa dampak dari pembangunan yang berorientasi pada
percepatan pertumbuhan tersebut ternyata lebih menguntungkan Jakarta dan Jawa Barat
dari pada daerah-daerah yang lain. Secara geografis keuntungan pembangunan juga
sebagian besar ada di kota-kota dari pada di desa-desa (Karl D. Jackson, 1978:156).

Kondisi ini semacam ini menimbulkan kecemburuan-kecemburuan sosial di
daeah-daerah yang kemudian menghasilkan gerakan-gerakan anti pemerintah pusat.

143

Dimensi sentralistik menjadi sangat kental dalam era ini. Dimana kebijakan-kebijakan

terkendali berdasarkan nilai-nilai yang sentralistik. Sentralisasi kebijakan ini dalam

kenyataannya mendapatkan reaksi yang kuat sebagai “kolonialisasi Jawa” terhadap daerah.

Hal ini dapat dilihat dari reaksi yang keras misalnya dalam kasus Aceh dengan

pemberontakan GAM-nya maupun OPM di Papua.

Dalam kaitannya dengan persoalan ketertiban yang melibatkan besarnya peran

militer ini Presiden Soeharto dengan tegas menjelaskan juga fungsi ABRI di dalamnya.

Dengan mengacu pada kelahiran dan sejarah perkembangan ABRI, Soeharto menegaskan

(Karl D. Jackson, 1978:19):

“ABRI lahir dan tumbuh dengan kesadarannya untuk melahirkan
kemerdekaan,membela kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan. ABRI
bukan semata-mata angakatan senjata bayaran, ABRI adalah juga
pengisi kemerdekaan; ABRI juga berhak dan merasa wajib ikut
menentukan haluan negara dan jalannya pemerintahan. Inilah sebab
pokok, mengapa ABRI mempunyai dua fungsi: yaitu sebagai alat negara
dan sebagai golongan karya. Nanti kapanpun juga ABRI terus siap siaga
untuk mencegah kembalinya Orde Lama; terus siap siaga
mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 dari siapapun dan dari
manapun bahaya itu akan datang”.

Dalam konteks inilah kemudian sejarah membuktikan bahwa peran stabilitas

nasional tidak bisa dilepaskan dari peran ABRI sebagai pendukung utamanya. Sudah

barang tentu muncul berbagai persoalan di dalamnya. Soeharto dengan cara ini

memperlihatkan kepada lawan-lawannya politiknya bahwa stabilitas nasional adalah hal

penting untuk membangun kembali Indonesia. Hal-hal yang bertentangan dengan stabilitas

tersebut akan secara langsung berhadapan dengan negara dalam hal ini tentu ABRI. Hal ini

kemudian dapat dipahami bahwa dalam politik stabilitas peran ABRI menjadi sangat besar.

144

Memang terdapat konflik yang tajam mengenai peranan militer di Indonesia.
Diskursus yang tajam antara kelompok yang setuju dan tidak setuju mencerminkan belum
sepenuhnya peran militer dapat diterima begitu saja oleh masyarakat. Ketakutan-ketakutan
bahwa militer akan menjadi kekuatan politik merupakan alasan utama akan hal tersebut.
Namun demikian secara politis Soeharto tetap memberikan peluang yang besar bagi
jalannya ketertiban, melalui militer, yang menjadi dasar stabilitas. Dengan demikian posisi
ABRI dalam suatu kutub politik yang jelas yaitu menjadi pendukung utama Orde Baru.
Dalam politik stabilitas yang demikian ini maka persoalan hubungan pusat dan daerah yang
terkait erat memnbangun kepatuhan atau loyalitas yang tinggi terhadap pemerintah pusat.

2. Kepatuhan Ideologis: Mempersatukan Bangsa Melalui Satu Kekuasaan
Membangun negara integralistik di era pemerintahan Orde Baru tidak bisa
dilepaskan dari konsep persatuan dan kesatuan. Bagi pemerintahan Orde Baru negara yang
integralistik merupakan dasar bagi usaha membangun persatuan dan kesatuan yang
dianggap telah terpecah belah selama era pemerintahan Orde Lama. Namun pada akhirnya
nampak bahwa pemahaman negara integralistik ala Orde Baru merupakan bagian dari
usaha politis untuk membangun kekuasaan yang lebih langgeng. Hal kekuasaan dalam
konsep negara integralistik ini memang secara teoretis mendapatkan kebenarannya. Claude
Ake (1967:13) mengatakan bahwa jika dilihat dari sudut kekuasaan maka integrasi politik
memiliki dua hal utama yaitu: pertama, bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada
tuntutan negara. Kedua, bagaimana meningkatkan konsensus normatif yang mengatur
tingkah laku politik masyarakat atau individu-individu yang ada di dalamnya. Dalam dua

145

hal inilah kemudian dapat dilihat bagimana peran negara Orde Baru di dalam memahami
konsep persatuan dan kesatuan yang didasarkan pada pemahaman negara integrlistik.

Hal pertama yaitu bagaimana membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan
negara. Beberapa situasi sosial politik yang menjadi alasan utama di dalam hal ini adalah
ketidakmerataan keadaaan penduduk di Indonesia yang mengakibatkan keharusan
pemerintahan untuk memilih apakah pemerintah harus mengutamakan kepentingan di Jawa
atau luar Jawa. Dalam hal ini akhirnya pemerintah Orde Baru mengambil langkah otonomi
daerah yang bersifat sentralistik. Artinya kekuatan otonomi daerah tetaplah dijadikan unsur
penting dalam negara tetapi dengan kontrol yang kuat oleh negara. Hal ini ditandai dengan
penempatan-penempatan orang pusat di daerah sebagai kepanjangan tangan pemerintah
pusat. Nazzaruddin Sjamsuddin menyatakan bahwa keadaan ini tidak bisa dihindari pada
mulanya mengingat pemimpin daerah sangat mengejar otonomi daerah karena kepentingan
ekonomi politik. Namun pada sisi lain pemerintah pusat melihat hal ini akan menjadi
semacam hambatan bagi pembangunan nasional atau persatuan dan kesatuan nasional.
Perubahan-perubahan dalam kebijakan otonomi daerah tidak saja dilihat sebagai sebuah
proses demokratisasi tetapi juga bisa dilihat sebagai keengganan pemerintah dalam
mewujudkan kesungguhan di dalam menjalankan kebijakan tersebut. Sebagai contoh, untuk
meredam protes-protes keras dari daerah pemerintah menjanjikan adanya otonomi yang
luas. Namun sudah menjadi sejarah kebijakan otonomi daerah bahwa otonomi yang luas
tersebut belum sepenuhnya dijalankan. Bahkan selanjutnya dikoreksi dari otonomi luas
menjadi otonomi luas yang bertanggungjawab (Bahar, 1996:22-23). Roeder (1976:273)
mencatat bahwa Soeharto sekalipun berpegang pada prinsip negara kesatuan, tetapi ia

146

mengikuti pola lain dalam kaitannya dengan persoalan otonomi daerah. Baginya konsep
kesatuan tetap merupakan perencanaan dan pengawasan terpusat, dan mendesentralisasikan
pegawasannya.

Pada sisi lain ditingkatkannya konsensus normatif yang mengatur tingkah laku
politik masyarakat atau individu-individu yang ada di dalamnya. Terkait dengan hal ini
sejarah Orde Baru memperlihatkan bahwa usaha untuk mempersatukan norma-norma
filosofis berbangsa dan bernegara telah dijalankan melalui sebuh proses yang sangat kuat,
jika tidak dikatakan represif, melalui pengideologisasian Pancasila. Menurut Sartono
Kartodirjo proses peningkatan konsensus normatif atau proses integrasi ideologis ini salah
satunya bertujuan untuk memudahkan proses sosialisasi bagi warga negara dalam
menghayati statusnya sebagai warga negara. Selain itu juga berfungsi untuk
mengembangkan, mempertahankan dan meningkatkan solidaritas nasional, artinya
memantapkan integrasi nasional. Menurutnya sebagai ideologi nasional Pancasila
merupakan soal to be or not to be atau conditio sine qua non. Ada keharusan untuk
membudayakannya sebagai etos dalam kebudayaan nasional (P.J. Suwarno, 1995:8-9).

Presiden Soeharto sendiri mempunyai pandangan yang kuat mengenai integrasi
ideologis ini. Dalam pandangannya mengenai Pancasila Soeharto mengatakan bahwa
Pancasila lahir dari sebuah proses yang matang yang didasarkan pada kepribadian bangsa
Indonesia. Dengan demikian menurutnya Pancasila adalah kepribadian bangsa itu sendiri.
Dengan berpegang teguh pada Pancasila maka kemerdekaan, persatuan dan kesatuan
bangsa telah mampu dipertahankan, baik dalam menghadapi bahaya-bahaya musuh dari
luar maupun dalam menghadapi segala pemberontakan dan penghianatan dari dalam.
Selanjutnya, demikian Presiden Soeharto (CSIS, 1976:10-11) menyatakan, kekuatan

147

Pancasila menunjukan bahwa Pancasila bukan milik seseorang, bukan milik suatu
golongan, bukan sekedar penemuan satu orang, melainkan benar-benar mempunyai akar di
dalam sejarah dan batinnya seluruh rakyat Indonesia. Dengan demikian diperlukan
konsensus normatif yang dibangun oleh Orde Baru yang bertujuan untuk memperkuat
posisi Pancasila sebagai dasar di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila
adalah sebagai sebuah ideologi yang mempersatukan bangsa yang bersifat integralistik di
bawah satu kekuasaan. Persoalannya kemudian adalah bahwa pendekatan ideologis dalam
kerangka mempersatukan bangsa tidak saja didasarkan pada kepentingan bangsa an sich,
tetapi sejarah membuktikan bahwa kepentingan kekuasaan akhirnya menjadi lebih
dominan. Patrick Guiness mengatakan bahwa tekanan yang kuat terhadap integrasi dalam
rangka kesatuan dan persatuan oleh rezim Orde Baru bukanlah tanpa perlawanan dari adat
lokal, agama, dan kelompok-kelompok lainnya. Tetapi menurutnya semua itu dapat di atasi
oleh pemerintahan Orde Baru dengan sebuah otoritas politik yang kuat dan kekuatan
militer yang terpusat yang menjamin secara pasti terimplementasinya tujuan utama tersebut
(Hal Hill, 1994:272). Meskipun sejarah politik Orde Baru memperlihatkan pergeseran
dukungan oleh Soeharto dari militer ke pada Isalam di era 80-an akhir, namun semuanya
dapat dipahami bahwa perjuangan terhadap pemaknaan persatuan dan kesatuan lebih
diarahkan untuk memperkuat status kekuasaan yang ada.

Dengan demikian pemahaman mengenai konsep persatuan dan kesatuan dalam era
Orde Baru tidak bisa dimaknai sebagai sesuatu yang ideal bagi kepentingan bangsa semata-
mata. Di dalamnya terdapat kepentingan kekuasaan yang cenderung bersifat hegemonik
dengan memarginalisasikan peran kekuatan dari elemen-elemen yang terdapat di dalam
masyarakat. Keadaan ini semakin membentuk pola-pola yang bersifat antagonistik di antara

148

masyarakat dan negara. Masyarakat yang diwakili oleh kelompok-kelompok, organisasi
massa, organisasi politik PDI dan PPP, LSM, dan sebagainya, telah menjadi organisasi-
organisai yang berada di bawah tekanan kekuasaan Orde Baru yang meskipun kritis
terhadap kekuasaan namun tetap tidak memiliki kemampuan untuk mengubah sistem
kekuasaan tersebut.

3. Menyeragamkan Pemerintahan Desa: Menguatnya Kontrol Pemerintah Atas
Desa (UU No. 5/1979 Mengenai Penyeragaman Pemerintahan Desa)
Munculnya masalah hubungan pusat dan daerah yang cenderung lebih menunjukan

persoalan etnisitas di Indonesia telah memberikan dasar bagi pemerintah Orde Baru untuk
mengatasi hal tersebut dalam kerangka menjaga persatuan dan kesatuan. Salah satu dasar
yang paling kuat dari hal tersebut adalah dengan cara mengatur dan menata secara
sentralistik segala hal yang berkaitan dengan tatatanan pemerintahan negara. Untuk hal
tersebut maka pada tahun 1979 - suatu era dimana pemerintah Orde Baru secara kuat
menata persoalan-persoalan etnik agama – mengeluarkan kebijakan mengenai sistem
(penyeragaman) pemerintahan desa melalui UU No.5/1979. UU ini secara tegas mengatur
tatanan pemerintahan desa secara struktural dan bersifat sentralisitik. Mengapa pemerintah
perlu menata pemerintahan desa secara struktural dan bersifat sentralistik? Hal ini tentunya
karena desa-desa di Indonesia memiliki beberapa faktor pentig di dalam eksistensinya.

Pertama, desa adalah sebuah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki sistem
pemerintahan lokal berdasarkan pranata lokal yang unik dan beragam. Meskipun bersifat
tradisional dan komunitarian, tetapi pemerintahan desa senantiasa mengedepankan
hubungan sosial dan alam, berkelanjutan, kebersamaan, kesetaraan dan keadilan. Kedua,
Lebih dari 60% penduduk Indonesia bertempat tinggal di desa. Hal ini menunjukkan

149

dengan jelas bahwa desa menjadi basis penghidupan sebagian besar rakyat Indonesia dan
desa menjadi komunitas hidup bagi masyarakat khususnya di kalangan bawah. Ketiga, dari
sisi ekonomi politik, desa selalu menjadi medan tempur antara negara, kapital dan
masyarakat. Melalui skema pembangunan nasional, negara melakukan sentralisasi,
regimentasi (penyeragaman), korporatasi, birokratisasi dan intervensi politik desa, yang
semua ini telah menghancurkan demokrasi dan otonomi desa (identitas, self governing
community, adat, kepemimpinan lokal, pranata sosial dan juga modal sosial) (Institute for
Research and Empowerment, 2005:xiii-xiv).

Melihat konsep desa seperti di atas maka pemerintah Orde Baru menyadari
pentingnya untuk menata pemerintahan desa sebagai sebuah strategi di dalam mengatasi
masalah integrasi dan juga di dalam mengatasi problem-problem etnisitas yang bersifat
primordialistik. Kesadaran ini membawa pemerintah Orde Baru kemudian menjadikan desa
di dalam pengertian yang lebih bersifat administratif. Desa dalam pengertian administratif
adalah satuan ketatanegaraan yang terdiri atas wilayah tertentu, suatu satuan masyarakat,
dan suatu satuan pemerintahan, yang berkedudukan langsung di bawah kecamatan. Dengan
diartikannya desa sebagai satuan ketatanegaraan yang memiliki satuan pemerintahan
memberikan kejelasan arti desa yaitu desa merupakan bagian dari organisasi pemerintahan,
baik horizontal maupun vertikal, yang berada di daerah, baik berdasarkan asas
dekonsentrasi maupun desentralisasi3. Selain menempatkan desa dalam pengertian
administratif, UU No.5/1979 juga telah melakukan perubahan-perubahan struktur desa,
yaitu :

3 Tanpa pengarang, lih. http://www.ireyogya.org/ire.php?about=kolom12.htm

150

1. Penyeragaman struktur pemerintahan desa. Ini merupakan strategi dari Orde Baru untuk
memberikan legitimasi dalam hal kontrol negara terhadap desa.

2. Pengintegrasian struktur pemerintah desa pada pemerintah nasional. Menempatkan
pemerintah desa sebagai rantai akhir dan terbawah dari sistem birokrasi pemerintah
yang sentralistik. Ini menjadikan desa hanya menjadi kepanjangan tangan pemerintah
pusat.

3. Penghapusan lembaga perwakilan desa dan sentralisasi kekuasaan desa pada Kepala
Desa.

Dari ketiga hal tersebut dapat dilihat keinginan utama pemerintah Orde Baru atas

desa, yaitu pertama, mengarahkan pengertian desa pada sudut administrasi negara. Kedua,

menempatkan desa sebagai alat dari pemerintah pusat. Titik inilah yang kemudian merubah

arti desa yang sebelumnya selalu dikaitkan dengan kedudukannya sebagai satuan

masyarakat hukum adat tertentu bergeser ke arah pengertian/arti desa yang dikaitkan

dengan kedudukannya sebagai satuan-satuan ketatanegaraan, atau satuan–satuan

administratif pemerintahan. Dengan kalimat lain kedudukan desa sebagai kesatuan

masyarakat hukum yang otonom makin lama makin turun karena menjadi subsistem

terbawah dari birokrasi pemerintahan nasional. Otonomi asli desa tidak bisa lagi

dilaksanakan karena kedudukan desa yang telah berubah menjadi subsistem dari negara.

Hal ini kemudian memiliki dampak yang sangat besar dilihat dari sisi kehidupan
masyarakat adat yang sangat majemuk di Indonesia. Abdon Nabanan menyatakan4:

Sistem desa, dengan segala perangkatnya seperti LKMD dan RK/RT, secara
"konstitusional" menusuk "jantung" (alat vital pengatur kehidupan bersama
komunitas) masyarakat adat, yaitu berupa penghancuran atas sistem hukum dan
pemerintahan adat. Akibatnya kemampuan (enerji dan modal sosial) masyarakat
adat untuk mengurus dan mengatur dirinya sendiri secara mandiri menjadi punah.
Mekanisme pengambilan keputusan yang ada di antara institusi-institusi adat

4 Abdon Nababan, “Konflik Penguasaan & Pengelolaan Sumberdaya Alam: Implikasinya Terhadap
Masyarakat Adat” 2003. Lihat http://dte.gn.apc.org/AMAN/publikasi/makalah_ttg_konflik_sda.html

151

digusur secara paksa sehingga yang tersisa ditangan para pengurus dan pemimpin
adat hanya peran dalam upacara seremonial semata-mata. Bahkan peran pinggiran
ini, di hampir seluruh pelosok nusantara, masih harus di atur, dan dikendalikan oleh
Bupati dan Camat melalui penerbitan Surat Keputusan (SK) untuk para pemangku
adat yang "pro" atau "disetujui" keberadaannya oleh pemerintah daerah.

Dari pernyataan di atas nampak dengan jelas bahwa negara, yang dalam hal ini
dipersonifikasikan oleh pemerintah pusat, telah menjadi sumber dari semua kekuasaan dan
kebijakan yang ada, termasuk dalam hal pemerintahan desa. Selain itu jugan nampak
dengan jelas bahwa hadirnya dominasi negara dalam pemerintahan desa diwujudkan
dengan adanya sistem birokratisasi yang ada ditingkat desa. Tanpa menghiraukan
heterogentinitas masyarakat adat dan pemerintahan asli, Undang-Undang tersebut telah
memberikan nama desa bagi semua pemerintahan di level desa (Purwo Santoso, 2003:3).
Seperti diketahui bahwa istilah desa merupakan terminologi dalam bahasa Jawa yang
kemudian menjadi sebutan seragam di seluruh negri untuk menamai berbagai unit
pemerintahan lokal seperti Nagari, Pasirah dan yang lainnya. Sementara itu juga sistem
pemerintahan desa juga mengalami marginalisasi bahkan ada yang hilang sama sekali.
Dalam kasus di Kalimantan Barat terlihat bahwa ketika UU 5/ 1979 disahkan maka terjadi
regrouping, yaitu ketua adat hilang. Hal ini pada akhirnya menyebabkan konflik yang
berkepanjangan atau dengan kata lain penyeragaman dengan sistem Jawa membuat
masyarakat di Kalbar tercerabut dari akarnya (Purwo Santoso, 2003:95).

Dalam implementasi kebijakan politik mengenai pemerintahan desa terdapat
beberapa masalah berkaitan dengan hal tersebut. UU No.5/1979 pada kenyataannya telah
menimbulkan krisis bagi otonomi desa sebagi akibat dari kuatnya peran negara yang
bersifat sentralisitik. Krisis tersebut dapat dilihat dalam beberapa hal (Institute for Research
and Empowerment, 2005:3-5):

152

Pertama, hilangnya kontrol desa atas property right (terutama tanah) sehingga
menghancurkan kedaulatan rakyat desa. Pemerintah tidak mengindahkan prinsip-prinsip
negara kesejahteraan sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 33 UUD 1945, tetapi
justru bertindak sebagai komprador yang memberi lisensi terhadap para pejabat, keluarga
pejabat, orang-orang kaya maupun pemilik modal untuk menguasai tanah rakyat.
Akibatnya terjadilah marginalisasi dan pemiskinan terhadap rakyat desa.

Kedua, hancurnya basis sosial otonomi desa seperti kepemimpinan, pranata sosial,
orgajisasi lokal dan sebagainya. Seperti sudah disinggung sedikit di atas bahwa di Jawa
konsep pamong desa digantikan dengan prangkat desa yang harus menjalankan tugas-tugas
birokratisasi pemerintahan. Kepala desa tidak lagi memimpin masyarakat desa melainkan
berubah menjadi bawahan camat dan bupati. Di luar Jawa, para penghulu adat
dipinggirikan dan diganti dengan perangkat desa, yang kemudian membuat dualisme
kepemimpinan dalam desa adat, yakni kepala desa dan penghulu desa adat. Sederat pranata
sosial – yang sangat berguna untuk menciptakan keseimbangan, keteraturan dan
keberlanjutan dalam pengelolaan barang-barang publik dan relasi sosial – mengalami
kehancuran karena digantikan dengan peraturan pemerintah yang dibuat secara seragam
dan sentralistik. Pada sisi lain juga terjadi kehancuran di dalam sistem organisasi lokal
yang mengarah pada konflik serta memudarnya swadaya masyarakat lokal.

Ketiga, hilangnya sistem demokrasi desa. Pada pemerintahan Orde Baru desa
merupakan sebuah miniatur negar yang dekelola secara sentralistik dan otoriter. Kepala
desa adalah “penguasa tunggal” yang mengendalikan segala hajat hidup orang desa. Kepala
desa lebih memiliki fungsi untuk menjalankan tuhas-tugas birokratisasi di tingkat desa,
melaksanakan program-program pembangunan, memberikan pelayanan administrasi,serta

153

melakukan kontrol dan mobilisasi masyarakat desa. Jika pemerintah desa menjadi sentrum
kekuasaan politik, maka kepala desa (lurah desa) merupakan personifikasi dan representasi
pemerintah desa.

Keempat, Program-program pembangunan desa tidak dirasakan secara menyeluruh
bagi kehidupan masyarakat desa. Masuknya para pemilik modal melalui program resmi
ataupun melalui patronase justru semakin memperkaya elit desa maupun para tengkulak.
Petani selalu menjerit karena harga pertanian selalu rendah, sementara harga pupuk selalu
membumbung tinggi.

Kelima, berabagai program bantuan yang mengalir ke desa merupakan jebakan
yang mematikan kemandirian desa. program bantuan tidak meningkatkan kapasitas dan
kemandirian desa, tetapi justru menciptakan ketergantungan abadi terhadap bantuan
pemerintah. Hal ini secara langsung juga telah menghilangkan potensi lokal berupa karya
bersama di dalam rangka kepentingan bersama seperti nilai-nilai gotong royong.

Keenam, eksploitasi sumber daya lokal telah memunculkan kemiskinan struktural
yang senantiasa menjebak kehidupan masyarakat desa. Hal ini pada akhirnya menciptakan
sebuah ketergantungan yang sangat kuat yang secara politis juga dapat dilihat sebagai
usaha menciptakan ketergantungan politik terhadap pemerintah sebagai penyelenggara
program-program di desa.

Hal-hal di atas memberikan gambaran bahwa kebijakan politik mengenai
pemerintahaan desa telah mengakibatkan munculnya distorsi-distorsi sosial yang senantiasa
mengarah pada munculnya ketergantungan dan sikap loyal yang semu kepada
pemerintahan Orde Baru melalui sistem pemerintahan di desa.

154

4. Membangun Infrastruktur di Daerah: Strategi Ekonomi Politik dalam
Program Pembangunan (Kasus PKT dan Inpres5)

Seperti dipahami bahwa salah satu persoalan yang penting di dalam konflik pusat
dan daerah adalah adanya ketidakadilan pembangunan yang terjadi di Pusat (Jawa) dan di
daerah-daerah luar Jawa. Tuduhan adanya korupsi di pusat dan ketidakpuasan di dalam
pemerataan pembangunan telah menjadi salah satu penyebab munculnya reaksi dan
pemberontakan yang keras dari daerah. Kondisi hubungan pusat dan daerah semacam ini
sangat dipahami oleh pemerintah Orde Baru ketika mulai berkuasa. Oleh sebab itu
kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan pembangunan diarahkan juga bagi
pengembanagn di daerah. Namun pertanyaannya adalah apakah program-program
pembangunan tersebut secara utuh diperuntukkan bagi proses pembangunan secara merata
atau hal tersebut merupakan bagian dari strategi politik dari pemerintah Orde Baru untuk
mengatasi masalah-masalah kedaerahan dari segi ekonomi politik?

Kuatnya peran politik Orde Baru menjadi dasar yang kuat untuk menciptakan
sebuah bureaucratic polity yang tidak saja kuat secara admnistratif tetapi juga secara
ekonomi. Sistem adminsitrasi politik yang cenderung mengarah pada kepatuhan atau
loyalitas terhadap pemerintah pusat telah menjadi sarana yang ampuh untuk mengatasi
gejolak yang ada di daerah. Salah satu cara untuk tetap menjaga loyalitas terhadap
pemerintah adalah dengan bantuan-bantuan yang diberikan melalui program-program
pembangunan. Terdapat beberapa program pembangunan yang menarik untuk di ulasa
tetapi bagian ini hanya membahas dua program yaitu Pengembangan Kawasan Terpadu dan
program Inpres.

5 Pengembangan Kawasan Terpadu dan Instruksi Presiden

155

a. Pembangunan Kawasan Terpadu: Menciptakan Ketergantungan
Terhadap Pemerintah Pusat

Program pengembangan kawasan terpadu didasarkan pada persoalan ketimpangan
antar daerah. Hal ini menjadi penting bagi pemerintah di Indonesia karena akibat dari
pengabaian terhadap hal tersebut telah menghasilkan konflik pusat dan daerah pada masa
pemerintahan sebelum Orde Baru. Hal ini tentunya ini tidak menguntungkan bagi
perkembangan pembangunan di Indonesia yang pluralis ini.

Program PKT secara historis dimulai sejak awal REPELITA V, tepatnya pada tahun
anggaran 1980/1990. Moeljarto menyatakan bahwa program yang bersumber pada SK
Mendagri No. 59/1989 dan keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua
BAPPENAS No. 26/Ket/2/1990 mencakup beberapa gatra, antara lain (Loekman Soetrisno
dan Faras Umaya, 1995:89):

1. Ruang suatu kawasan yang terdiri dari beberapa wilayah desa yang secara fisik
mempunyai kesamaan potensi.

2. Administratif, sebagai astuan pengelolaan dan perencanaan PKT sesuai dengan hak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, dan

3. Homogenitas dalam pokok-pokok permasalahan dan potensi suatu cakupan wilayah
yang akan menentukan skala, macam dan keragaman kegiatan
Dari gatra di atas nampak dengan jelas bahwa program ini didisain sedemikian rupa

guna memusatkan perhatiannya terhadap peran desentralisasi secara untuh. Meskipun di
dalam pelaksanaannya masih terdapat persoalan-persoalan yang sangat pelik pada tingkap
mikro, mezo dan makro.

Pada tingkat makro persoalan yang muncul dari program ini adalah cenderung
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Pada tingkat mezo, meskipun terdapat hal positif
menyangkut pada pengembangan kapasitas dan kelembagaan melalui learning process

156

yang dimungkinkan oleh frame-time yang lentur akan tetapi hal tersebut masih sangat
diwarnai oleh pendekatan yang sangat sektoral ketimbang pendekatan kawasan.

Sedangkan pada tingkat mikro, karena frame-time yang amat pendek, cenderung
melihat masing-masing proyek sebagai enclave projects yang terpisah satu dengan lainnya,
dan melihat kelompok sasaran sebagai objek melalui sikap yang patronizing. Keberlanjutan
proyek amat kecil. Konsep pembangunan kawasan dalam arti keterkaitan antar sektor yang
terfokus pada suatu locational matrix, agaknya merupakan sesuatu yang missing dalam
benak para birokrat lain (Loekman Soetrisno dan Faras Umaya, 1995:89).

Sejalan dengan kritik yang dipaparkan oleh Moeljarto Tjokrowinoto maka Loekman
Soetrisno (1997) melihat bahwa persoalan yang muncul di dalam pelaksanaan PKT terletak
pada persoalan yang berkaitan dengan lingkungan kerja para perencana dan yang lain
adalah masalah yang muncul sebagai akibat lemahnya pemahaman teori-teori
pembangunan dari para perencana maupun para pelaksana program PKT. Hal yang
mencolok dari program ini adalah tidak adanya keberanian para perencana pembangunan
wilayah di tingkat kabupaten untuk menggunakan kesempatan yang diberikan oleh
program PKT untuk menciptakan proyek-proyek pembangunan yang inovatif, dalam artian
proyek-proyek yang bukan hanya sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat tetapi
jiga sesuai dengan sistem sosial budayanya (Loekman Soetrisno, 1997:207-209). Pada sisi
lain keterbatasan pemahaman mengenai teori-teori perencanaan pembangunan dari para
perencana pembangunan – dalam hal ini aparat pemerintah –telah menghasilkan “pasar
malam” pembangunan kawasan, yang pada mulanya ramai akan tetapi lama kelamaan
hilang tanpa bekas.

157

Terlepas dari berbagai persoalan tersebut, maka pada tahun anggaran 1989/1990
pemerintah pusat telah mengalokasikan dana sebesar Rp 35 milyar yang digunakan untuk
membiayai program PKT bagi 112 kawasan yang tersebar pada 97 kabupaten 26 propinsi.
Pada tahun anggaran berikutnya, 1991/1992 jumlah anggaran yang dialokasikan berjumlah
Rp. 70 milyar, yang berarti telah mengalami kenaikan sebesar dua kalil lipat dibandingkan
tahun anggaran sebelumnya, yang dialokasikan kepada 215 kawasan terpilih yang tersebar
pada 147 daerah tingkat II di 27 propinsi. Pada tahun anggaran 1992/1993 lagi-lagi
pemerintah mengeluarkan anggaran bagi program ini sebesar Rp. 160 milyar yang telah
dialokasikan pada 480 kecamatan pada 235 daerah tingkat II di 27 propinsi. Ini
menunjukkan bahwa pemerintah pusat memberikan perhatiannya yang besar bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dari keseluruhan pelaksaanaan program PKT di
Indonesia maka program ini telah mencakup sekitar 850 kawasan dengan perincian 4.100
desa di seluruh propinsi, dengan melibatkan 2210 ribu KK dan secara tidak langsung
sekitar 140 ribu KK di sekitar lokasi proyek. (Loekman Soetrisno, 1997:75-76).

Pertanyaan mendasar dari program PKT ini adalah sejauh mana peranan
pengembangan kawasan ini telah memberikan kontribusi yang berarti bagi usaha
mengurangi kepetimpangan pembangunan di Indonesia serta dampak politiknya bagi usaha
menciptakan loyalitas terhadap pemerintah? Pertanyaan ini menjadi penting mengingat
disain dari kebijakan ini sangat berifat top down. Tanpa mengurangi hal-hal positif yang
telah dicapai melalui program ini, kritik-kritik yang telah dipaparkan di atas agaknya
mengindikasikan bahwa program inipun masih memiliki begitu banyak kelemahan-
kelemahan dengan mana hak ini justru lebih banyak menimbulkan dampak politis berupa
ketidakmampuan masyarakat untuk menyelenggarakan pembangunan secara mandiri. Hal

158

ini seara langsung menyebabkan hilangnya potensi masyarakat untuk melakukan sebuah
inovasi di dalam perencanaan pembangunan karena disain yang bersifat top down tidak saja
berpengaruh secara sosial tetapi juga secara politik berupa ketergantungan politis terhadap
pemerinath Orde Baru.

b. Program Inpres: Mengontrol Desa melalui Alokasi Dana Pembangunan
Program lainnya seperti Inpres juga memiliki bias yang nyata di dalam
implementasinya selama masa pemerintahan Orde Baru. Inpres adalah satu kebijakan yang
digunakan oleh pemerintah Orde Baru guna mengatasi masalah kemisikinan tetapi juga
berorientasi pada pengembangan desa melalui distribusi hasil-hasil pembangunan. Secara
umum program ini bertujuan untuk meningkatkan pembangunan di pedesaan dengan
mantransfer dana yang berasal dari pusat ke daerah. Dengan harapan akan terjadi kegiatan
ekonomi yang diharapkan akan memberikan kesempatan untuk meningkatkan income
masyarakat dan penciptaan lapangan pekerjaan.
Basri dan Tene menyatakan bahwa pada umumnya Inpres ini dibedakan atas dua
kelompok yaitu sistem block grants (dana umum) dan special grants (dana khsus). Dana
umum meliputi Inpres Desa, Inpres DATI I dan Inpres Dati II. Sedangkan dana khusus
meliputi Inpres kesehatan, Inpres pasar, Inpres jalan dan Inpres reboisasi (Arsjad Anwar
dan Keiji Omura (ed), 1994:104).
Dalam banyak hal program ini sangat membantu di dalam pengembangan
pembangunan di desa secara cepat. Namun demikian program-program semacam ini dalam
evaluasinya juga memiliki bias yang sangat tajam. Beberapa kasus yang muncul dapat
dilihat sebagai bias dari program ini. Misalnya bantuan desa yang diterima secara langsung

159

oleh desa-desa di Jawa banyak dimanfaatkan untuk pembangunan kantor pemerintahan
desa, fasilotas umum/sosial desa, gapura desa, jalan desa, pagar bumi dan sebagainya.
Pemanfaatan bantuan desa yang berhasil di Jawa ini tidak terlepas dari kuatnya kontrol
pemerintah melalui agen-agennya di propinsi, kabupaten dan kecamatan. Bahkan atas nama
pembangunan, dana orang desa dimobilisir untuk mencukupi dana bantuan desa yang
jumlah nominalnya kecil. Kondisi ini berbeda dengan apa yang terjadi di desa-desa luar
Jawa dimana infrastruktur desa seperti kantor desa, fasilitas desa, jalan desa, tidak terlihat
seperti desa-desa di Jawa. Hal ini mengindikasikan bahwa manfaat bantuan desa untuk
desa-desa di luar Jawa tidak terasa seperti di Jawa. Akan tetapi meskipun bantuan desa di
Jawa nampak bermanfaat dalam pembangunan fisik, sebenarnya terdapat dampak yang
negatif bagi elit desa ataupun mansyarakat desa secara umum. Karateristik bantuan desa
yang terpusat, mendikte dan tidak mempertimbangkan kebutuhan orang desa, akhirnya
menghasilkan sifat-sifat ketergantungn desa kepada pemerintah. Kemandirian desa,
partisipasi, gotong royong, swadaya dan prakarsa orang desa berjalan secara formal-
prosedural, menghindari diri dari stigmatisasi penghambat pembangunan. Pada
kenyataannya, nilai dan identitas lokal orang desa telah tercerabut habis dan digantikan
oleh nilai dan identitas negara yang mengusung prinsip-prinsip modernitas dalam
mengembangkan desa (Institute for Reseacrh and Empowerment, 2005:56-57).

Pola-pola dan strategi yang bersifat sentralistik dalam pembangunan melalui
program Inpres(termasuk juga program PKT) ini secara langsung telah menempatkan
kedudukan masyarakat (desa) di dalam posisi yang sangat rentan berhadapan dengan
kekuatan pemerintah Orde Baru. Pada umumnya memang tidak terdapat gerakan yang
bersifat vertikal selama masa ini – selain kasus Aceh dan Papua. Akan tetapi hal yang

160

terpenting harus dicatat adalah bahwa secara politis pemerintah telah dapat mengatasi
masalah-masalah kedaerahan dengan mengatasi problem kedaerahan melalui alokasi dana
pembangunan dengan menciptakan pola-pola ketergantungan terhadap peran pemerintah
Orde Baru.

Era pemerintahan Orde Baru menandai sebuah klimaks mengenai hubungan pusat
dan daerah. Klimaks terhadap kekuatan pemerintah pusat dan lemahnya daerah. Pada era
ini, daerah tidak saja terberangus dengan segala macam aturan mengenai hubungan pusat
dan daerah tetapi lebih dari pada itu pemerintah Orde Baru membangun kepatuhan dan
loyalitas daerah terhadap pemerintah pusat. Hal ini menyebabkan hilangnya kemampuan
politis daerah berhadapan dengan pemerintah pusat. Selain itu pola-pola pemyeragaman
yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru telah menghilangkan nilai-nilai kearifan lokal
dalam kaitannya dengan politik, budaya, ekonomi dan sosial di daerah. Pemerintah
menjadi semakin kuat dan daerah menjadi semakin lemah.

D. Kesimpulan
Tuduhan terhadap ketidakadilan ekonomi yang terpusat di Jakarta (Jawa) telah
menyebabkan munculnya reaksi protes dari daerah. Reaksi protes ini sejak awal tidak
ditujukan pada usaha membangun negara baru yang terpisah dari negara sebagai kesatuan
di Indonesia. Besarnya sentralitas kekuasaan di Jakarta (Jawa) menjadi isu utama dalam
persoalan hubungan pusat dan daerah yang nota bene memiliki kaitannya dengan sentimen
anti Jawa. Sehingga psersoalan hubungan psuat dan daerah tidak saja dilihat sebagai
persoalan politik penataan hubungan pusat dan daerah tetapi juga di dalamnya terdapat
persoalan etnik secara khusus terhadap sentimen anti Jawa. Usaha mengatasi persoalan

161

hubungan pusat dan daerah cenderung bersifat sangat sentarlisitik dengan menggunakan
kekuatan militer baik di era pemerintahan Demokrasi Parlementer maupun di era
pemerintahan Demokrasi Terpimpin (Orde Lama). Selain itu secara regulatif Presiden
Presiden Soekarno juga di era Demokrasi Terpimpin sempat mengganti UU No1/1957
dengan Penpres No.6/1959 – Penpres N05/1960, yang dinilai sangat bersifat sentralistik.

Sentralitas kekuasaan ini pada masa Orde Baru mencapai puncaknya tidak saja
berkaitan dengan semakin terpusatnya kekuasaan tetapi juga menciptakan loyalitas daerah
terhadap pusat serta pola-pola keseragaman. Pendekatan ini tidak saja dilakukan dengan
menggunakan instrumen ekonomi (dana pembangunan) tetapi juga melalui regulasi dan
kekuatan militer bahkan ideologis. Kondisi semacam ini secara langsung tidak saja
menciptakan ketergantungan daerah tetapi juga sekaligus melemahkan daerah-daerah di
Indonesia dengan segala potensinya yang nota bene bersifat heterogen.

BAB IV
PEMERINTAHAN YANG RASIALIS DALAM MENATA MASALAH

TIONGHOA DI INDONESIA
Persoalan rasialisme dan antar golongan pada Bab ini difokuskan pada eksistensi
orang Tionghoa di Indonesia. Hal ini terkait erat dengan kompleksitas masalah dan
keberadaan orang Tionghoa yang sudah sangat lama di Indonesia. Bab ini memberikan
gambaran bagaimanapolitik dan kebijakan-kebijakan negara terhadap orang Tonghoa
selama 1950-1997 telah menempatkan kedudukan orang Tionghoa di Indonesia semakin
marginal. Marginalisasi keberadaan orang Tionghoa ini tidak saja pada keberadaannya
sebagai warga negara tetapi juga telah memasuki ruang-ruang kultural yang menyangkut
eksistensi kehidupannya sebagai orang Tionghoa di Indonesia.

A. Menciptakan Sistem Perekonomian Pribumi: Persaingan Kepentingan
Ekonomi Sipil dan Militer 1950-1957 (Era Demokrasi Parlementer)
Kebijakan menyangkut kehadiran orang Tionghoa secara historis dapat

ditelusuri dengan melihat kebijakan-kebijakan pada masa kolonial yang secara langsung
membuat pembatasan yang jelas antara pri dan non pri. Kajian Furnival (1967) mengenai
kebijakan kependudukan kolonial Belanda membagi masyarakat menjadi tiga golongan
rasial : paling atas golongan Eropa, di tengah Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan lain-
lain), dan paling bawah sekali golongan Inlanders (pribumi) yang disertai pemisahan
pada permukiman antara pribumi dengan orang Tionghoa. Kebijakan ini memperkecil
peluang interaksi badaniah dan sosialisasi kehidupan sehari-hari. Situasi ini diperparah
oleh kenyataan bahwa agama mereka yang berlainan.

Pemerintah kolonial memberi etnis Tionghoa kedudukan penting ekonomi
menengah dalam stratifikasi sosial yang sangat rasial. Mereka menjadi pedagang

163

perantara, menguasai industri dan menampung hasil petani kecil serta menguasai
sebagian besar lintas kegiatan pedagang kecil (Purcel, 1951). Sementara gerakan pribumi
dibatasi hanya pada sektor pertanian substitusi dan perdagangan kecil (Greif, 1991:2).
Akibatnya, dalam struktur penjajahan orang-orang Tionghoa dihargai lebih tinggi dari
ada kaum pribumi dan hanya setingkat di bawah orang Eropa (Monitor, No.9/Tahun
III/Januari,1981). Keadaan ini pada akhirnya menimbulkan perasaan inferior secara
sosial dan ekonomi.

Keadaan di atas menyebabkan etnis Tionghoa secara intensif terlibat dalam sektor
ekonomi modern, seperti sistem perkebunan dan pabrik sementara pribumi hanya
berkutat di sektor tradisional. Selama masa kolonial itu terbentuk semangat
kewiraswastaan dan lapisan enterprenuer, akumulasi modal, dan jaringan bisnis dengan
sesama etnis Tionghoa, di tingkat lokal maupun regional (Suryadinata, 1978:127-128).

Kedudukan orang Tionghoa yang demikian ini berlangsung begitu lamanya di
Indonesia. Akibatnya, khusunya pada tahun 1950-an, Indonesia menghadapi realitas
tiadanya lapisan pedagang dan pengusaha pribumi yang kuat, sementara harus segera
melakukan pembangunan ekonomi. Selain perusahaan-perusahaan asing (Belanda), etnis
Tionghoa menguasai sektor ekonomi modern. Karena itu mereka pula yang pertama
terlibat dalam kegiatan perekonomian. Hal ini tentunya membawa dampak tersendiri
dalam komunitas kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Munculnya tuduhan utama
anti nasionalisme bagi orang Tionghoa, merupakan sebab utama hadirnya friksi sosial pri
dan non pri di Indonesia yang pada akhirnya lebih bersifat diskriminatif terhadap
kelompok-kelompok non pri (Tionghoa), yang oleh Melly G. Tan (1981:viii) disebut
dengan “Masalah Tionghoa”.

164

Glassburner (1971) menyatakan bahwa tugas utama dari pemeritahan di era tahun
1950-an adalah membangun kembali dan menstabilisasikan serta meluaskan jangkauan
perekonomian di Indonesia yang diperhadapkan pada persoalan dominasi dari ekonomi
asing dan pengusaha-pengusaha swasta (dalam hal ini Belanda dan Cina). Pada sisi lain
sebagai sebuah negara yang baru merdeka negara dihadapkan pada persoalan krusial
mengenai kontrol yang ketat terhadap persoalan perbankan. Saat itu Indonesia baru
memiliki dua buah Bank Central yaitu Bank Industri Negara (BIN) yang menata
keuangan di dalam proyek-proyek pembangunan dan Bank Negara Indonesia (BNI) yang
menata pertukaran nilai uang asing dan ekspor-impor. Selain itu juga penataan terhadap
instasi-instasi yang berkaitan dengan sumber-sumber keuangan negara seperti pegadaian,
telekomunikasi, pos, listrik, tambang dan sarana-sarana transportasi. Selain itu juga
penataan terhadap industri-industri merupakan bagian yang sangat penting di dalam
penataan ekonomi sebagai negara yang baru merdeka. Indsutri-industri seperti semen,
tekstil, pabrik-pabrik kendaraan dan sebagainya (Robinson, 1986:40).

Kondisi di atas menyebabkan isu utama yang berkembang di dalam konteks
ekonomi politik pada saat itu adalah nasionalisasi dari seluruh sistem perekonomian
Indonesia. Hal ini berkaitan dengan peran dominasi ekonomi yang sangat dominan oleh
perusahaan-perusahaan asing dan juga kelompok-kelompok Cina pada saat itu.
Pembentukan Lembaga Pusat Perdagangan pada tahuun 1948 sebagai lembaga yang
bertangguung jawab atas ekspor impor Indonesia dan USINDO pada tahun 1956 sebagai
lembaga yang bertanggung jawab atas hasil ekspor dari pabrik-pabrik yag didanai oleh
BIN merupakan salah satu cara untuk mematahkan kekuatan ekonomi Belanda dan Cina
yang pada saat itu sangat mendominasi sektor ekspor impor di Indonesia. Pada tahun

165

1951 – di bawah Economic Urgency Programme dari Sumitro - BIN mengeluarkan dana
Rp. 160 juta guna membiayai proyek-proyek yang bekerja sama dengan pihak-pihak
swasta nasional dalam bidang usaha seperti semen, tekstil, perkebunan-perkebunan,
perkapalan, pabrik-pabrik industri, yang pada tahun 1956 total kredit yang telah
dikucurkan mencapai Rp. 665 juta. Selain itu, peran perekonomian pribumi juga menjadi
fokus yang sangat penting pada saat itu. Kucuran dana sebesar Rp.117 juta diberikan
kepada Gapindo, sebuah lembaga impor Indonesia – yang mana dana-dana tersebut tidak
pernah dikembalikan (Robinson, 1986:41-42).

Seperti telah dikatakan bahwa era tahun 1950-an ekonomi politik di Indonesia
merupakan tahun-tahun yang sarat dengan isu nasionalisasi. Hal ini menunjukkan dengan
jelas bahwa Indonesia menyadari pentingnya menguasai seluruh sistem perekonomian
agar tidak terjebak pada model kolonialisme baru yaitu imperialisme ekonomi asing. Hal
ini secara jelas dapat dilihat dari konsentrasi partai-partai yang ada di Indonesia dalam
memahami persoalan perekonomian di Indonesia. PKI secara jelas memberikan tekanan
yang kuat pada sistem perekonomian state ownership. PNI dan beberapa partai nasionalis
lainnya lebih memfokuskan pada kerja sama antara pemerintah dan swasta dalam
pengembangan ekonomi. Masyumi lebih condong menempatkan peran swasta secara
lebih besar untuk membangun perekonomian di Indonesia. Hal tersebut diperlihatkan
dengan dukungan yang kuat kepada para pengusaha-pengusaha Muslim.

Konteks ekonomi politik di atas sangat mempengaruhi di dalam perumusan model-
model kebijakan ekonomi di Indonesia. Paling tidak hal ini tercermin dalam setiap
kabinet yang terwakili oleh setiap partai yang berkuasa. Robinson (1986:38) mencatat
bahwa Masyumi – di bawah pemerintahan Natsir– bergerak sangat hati-hati untuk

166

mengahadapi modal asing. Pertimbangan ini didasarkan pada pemahaman bahwa
Indonesia masih sangat tergantung pada modal asing, dan bagi Masyumi peran modal
asing dapat diatur melalui regulasi pemerintah. Masyumi melihat bahwa melalui regulasi
tersebut modal asing dapat ditempatkan melalui swasta nasional guna membangun
bersama perekonomian nasional. Hal yang sama juga dipahami oleh PNI – dengan
memberikan tekanan-tekanan yang lebih besar pada kerja sama yang kuat antara
pemerintah dan swasta. Wilopo dalam kebijakannya mengatakan bahwa “Industrialiasasi
akan berhasil manakalan hal tersebut dilakukan dengan cara berkerja sama dengan para
pemilik modal dan para ahli dari luar negeri”. Dengan kata lain kedua partai ini di dalam
kebijakannya lebih menekankan pentingnya investasi modal asing dan kekuatan pasar.
Negara dalam hal ini lebih banyak melakukan peran sebagai sistem kontrol. Hal ini tentu
menjadi sangat sulit sejak awal karena sistem perekonomian Indonesia merupakan
warisan dari sistem perekonomian Belanda yang sangat terpusat pada negara. Negara,
dalam hal ini Belanda, dianggap memiliki sumber daya ekonomi dan politik. Kerja sama
yang erat antara Belanda dan pemodal swasta – khususnya pengusaha Cina sebagai
perantara ekonomi – telah terwarisi dan seolah-olah menjadi model baku bagi sistem
perekonomian di Indonesia. Usaha kaum teknokrat seperti Wilopo (PNI), Sjarifuddin
(Masyumi) dan Sumitro (PSI) untuk meminimalisir kekuatan negara dalam sistem
perekonomian di Indonesia pada saat itu tentu saja memiliki dampak yang besar. Oposisi
datang dari kelompok-kelompok sosialis dan beberapa kaum nasionalis bersama
kelompok-kelompok ekonomi dan politik yang telah lama menikmati sumber-sumber
ekonomi negara (Robinson, 1986:39).

167

Dari konteks ekonomi politik di atas dapatlah dipahami bagaimana era tahun
1950an – dengan jargon nasionalisasi sistem perekonomian – kemudian telah memberi
warna bagi munculnya persoalan-persoalan ekonomi pribumi yang yang sebenarnya
merupakan persaingan kepentingan ekonomi politik antara sipil dan militer.

B. Program Benteng dan Gerakan Assat
Rasialisme tidak saja terjadi secara fisik tetapi dapat juga dilihat pada politik dan
kebijakan yang ditempuh oleh suatu pemerintahan. Era Demokrasi Parlementer di
Indonesia ditandai dengan adanya politik yang bersifat rasialistik secara khusus yang
muncul dalam bidang ekonomi politik. Salah satu kebijakan tersebut adalah politik
Benteng yang sejak tahun 1950 dilakukan guna mendukung kebijakan perekonomian
pribumi di Indonesia. Melalui kebijakan ini pemerintah pada saat itu mengatur
kedudukan orang Tionghoa untuk tidak berada, atau tepatnya berdagang, di daerah-
daerah kecamatan dan kabupaten. Kondisi ini menyebabkan perpindahan orang-orang
Tionghoa ke propinsi, tetapi lebih dari pada banyak juga orang Tionghoa akhirnya
mengambil keputusan untuk meninggalkan Indonesia karena tekanan yang begitu kuat.
Bagian ini membahas mengenai apa yang melatarbelakangi kebijakan ini dan dampak
yang terjadi atas kebijakan ini bagi orang Tionghoa serta bagaimana pemerintaha
menjalankan kebijakan ini. Pada sisi lain gerakan Assat juga merupakan cerminan dari
sikap rasialis yang dimiliki oleh orang-orang yang terlbat di dalam sistem perdagangan di
Indonesia.

168

1. Makelar Lisensi
Era Demokrasi Parlementer ditandai dengan kebijakan ekonomi yang bersifat

rasialis terhadap orang Tionghoa. Pada tahun 1950 pemerintahan kebinet Natsir
(September 1950 – Maret 1951) mengeluarkan kebijakan Benteng yang kemudian
diteruskan oleh kabinet selanjutnya. Program ini secara umum bertujuan untuk
mendorong proses “Indonesianisasi” perekonomian Indonesia, yang mana penguasaan
ekonomi pada saat itu masih dikuasai oleh pengusaha-pengusaha asing khususnya
Belanda dan Tionghoa. Kebijakan ini memberi kesempatan kepada pengusaha-pengusaha
pribumi untuk mengambil peran sebesar-besarnya di dalam perekonomian Indonesia
khususnya di dalam lisensi impor barang. Namun dalam kenyataannya linsensi-lisensi
yang diberikan tersebut kepada orang-orang pribumi tidak dilakukan dengan sungguh-
sungguh. Banyak dari linsensi-linsensi kepada pengusaha pribumi hanya bersifat
formalitas saja. Kecenderungan adanya korupsi dan munculnya kelas komprador antara
pengusaha pribumi, pengusaha Tionghoa dan pemerintah telah menghasilkan buruknya
sistem perekonomian di Indonesia (Feith, 1962:375). Robinson (1986:45) malah
mengatakan bahwa kebijakan ini telah menciptakan sebuah sistem makelar lisensi yang
bekerja sama dengan pemerintah. Akibatnya mekanisme kapitalisme yang cenderung
menguntungkan sebagian orang tetap saja menguasai sistem perekonomian Indonesia
pada saat itu. Menurut Yahya Muhaimin (1990:82) penyelewengan dan penyalahgunaan
lisensi tersebut telah terjadi sejak digulirkannya program Benteng hingga tahun 1955.
Semua kabinet mulai peridoe 1950 – 1955 dituduh telah memberikan lisensi-lisensi
impor atas dasar favoritisme dan pertimbangan-pertimbangan partai politik. Puncak dari

169

semuanya itu terjadi pada masa kabinet Ali II. Bahkan dikatakan lisensi impor tersebut
dikeluarkan berdasarkan atas pertimbangan politik pribadi.

Munculnya sekian banyak organisasi-organisasi dagang baru yang berusaha di
lapangan importir Benteng tidak dapat melakukan bisnisnya dengan baik. Bahkan banyak
diantara mereka harus menghentikan pekerjaannya karena importir-importir baru ini tidak
mempunyai cukup modal dan pengetahuan tentang barang-barang yang diperdagangkan.
Selain itu sistem adminsitrasi perdagangannya juga sangat buruk. Kualitas barang yang
sangat tidak baik telah memberi ketidakpercayaan terhadap importir-importir baru ini.
Ketidaktahuan tentang pasaran di luar negeri dan di dalam negeri mengakibatkan banyak
barang yang dipesan secara bersamaan. Akibatnya terdapat kelebihan stok barang yang
sama di pasaran yang akhirnya tidak dapat dijual (Harian Pedoman, 16 April 1952).

Hal ini berbeda dengan pedagang-pedagang yang sudah lama berkecimpung
di dunia perdagangan (baca Cina), mereka telah mempunyai pengalaman bertahun-tahun
dengan pabrik-pabrik di luar negeri serta langganan-langganan di dalam negeri – dan
dengan aparat administrasi dan teknis yang sangat baik, analisis pasar yang memadai,
telah menyebabkan persaingan dagang tersebut menjadi sangat berat bagi para “New
Comers” tersebut. Dr. Saroso mengatakan bahwa “kesalahan terbesar di waktu yang
lampau adalah bahwa bangsa Indonesia yang berusaha di lapangan perniagaan memasuki
lapangan impor dengan tidak lebih dahulu mempunyai pengalaman dalam soal-soal
penjualan di pasaran dalam negeri” (Harian Pedoman, 16 April 1952).

Demikian pula kritik yang disampaikan oleh Margono Djojohadikusumo yang
menyatakan bahwa kebanyakan pinjaman-pinjaman yang diterima oleh importir-importir
nasional lebih banyak dilihat sebagai hadiah loterei. Banyak importir-importir nasional

170

tersebut lebih senang untuk mendapatkan kredit murah dari Bank Negara Indonesia dan
kemudian menggunakan dana tersebut guna kepentigan-kepentingan bisnis mereka. Akan
tetapi kemudian sering pula terjadi penyalahgunaan dana tersebut untuk memperbesar
bisnis mereka tanpa memperhitungkan kemajuan ekonomi bangsa. Hal ini dapat dilihat
dari kasus barang impor dengan pinjaman dana dari Bank Negara, setelah barang dijual,
hasil penjualannya dimasukan ke Bank asing. Tindakan demikian dilakukan untuk
mendapatkan kredit baru dari Bank tersebut guna membuka L/C di luar negeri. Negara
tentu sangat dirugikan kerena kemudian para importir yang demikian telah mengabaikan
kewajiban untuk mengembalikan pinjaman-pinjaman tersebut kepada Bank Indonesia.
Dalam hal ini Margono mengatakan bahwa “lebih baik menggembleng 5 ksatria Pandawa
dari pada memberi makan 100 orang Kurawa Ngastina (Harian Pedoman, 3 mei 1952).
Masksud dari ungkapan ini adalah lebih baik pemerintah melakukan perbaikan ekonomi
dengan memberikan kesempatan bagi sedikit orang yang berkualitas daripada
memberikan kesempatan bagi banyak orang yang tidak berkualitas.

Kebijakan ekonomi politik Indonesianisasi merupakan dasar bagi proses
perumusan kebijakan ekonomi khususnya di era kabinet Ali Sastroamidjojo I. Melalui
Menteri keuangan Iskaq Tjokroadisurjo dari PNI, pemerintah memberikan ketetapan
lisensi sebesar 80-90% bagi importir nasional (Feith, 1962:374). Selanjutnya terjadi
peningkatan yang luar biasa terhadap lisensi importir nasional. Kabinet Ali menyediakan
dua prinsip utama dalam menjalankan kebijakan tersebut yaitu: menyediakan kategori-
kategori komoditi impor tertentu sepenuhnya bagi para importir nasional dan
memberikan prioritas kepada pemohon impotrir nasional untuk mengimpor semua jenis
komoditi lainnya. Berdasarkan catatan yag ada pada saat itu sejak 1 September – 7

171

November 1953 importir nasional menerima 76,2% dari permit devisa. Meskipun
perusahaan-perusahaan asing dan Cina dapat juga memperoleh lisensi impor namun
mereka harus membayar 5 juta rupiah. Hal ini tentu merupakan beban berat yang hanya
dapat ditanggung tidak lebih dari 2% dari 1600 importir asing dan Tionghoa (Yahya
Muhaimin, 1990:81).

2. Pertarungan Politik dalam Kebijakan Benteng: Usaha PNI Meraup Keuntungan
Ekonomi
Kebijakan Benteng telah mendapatkan kritik yang pedas dari berbagai kalangan.

Selain bersifat rasialis kebijakan ini juga sangat bersifat politis. Kritik yang tajam dari
Dewan Moneter, khususnya dari Mr. Sjarifuddin Prawiranegara (Masyumi dan yang
menjabat Gubernur Bank Indonesia). Kritik Sjarifuddin berkenaan dengan surat edaran
yang dikeluarkan oleh Iskaq yang memberikan hak istimewa tentang lisensi devisa bagi
importir pribumi. Hal ini mengakibatkan munculnya ketersinggungan dari Dewan
Moneter yang secara formal bertanggungjawab atas kebijakan impor dan ekspor
pemerintah serta distribusi devisa. Selanjutnya diperoleh informasi bahwa surat edaran
tersebut dikeluarkan tanpa sepengetahuan Dewan Moneter (Yahya Muhaimin, 1990:87).

Konflik ini menciptakan ketegangan yang akhirnya bersifat politis untuk
menjatuhkan kabinet dari pada penyelesaian masalah ekonomi. Meskipun pada akhirnya
surat edaran yang dikenal dengan P.41 dicabut tetapi justru menimbulkan konflik politis
yang lebih tajam. Menurut Iskaq meskipun surat edaran tersebut dicabut tetapi ia akan
tetap menjalankan kebijakan untuk memberikan dorongan kepada importir nasional.
Keadaan yang demikian sangat dirisaukan oleh Sjarifuddin yang mengatakan bahwa
kebijakan ini akan dapat menghancurkan sistem perekonomian Indonesia khususnya pada

172

impor-ekspor. Baginya , bantuan ataupun kemudahan seperti apapun yang diberikan
kepada importir Indonesia sebaiknya hal itu tidak melebihi kemampuan mereka untuk
menggunakannya. Hal tersebut agar tidak terjadi penyalahgunaan lebih lanjut dari lisensi-
lisensi yang cadangan devisanya semakin berkurang. Dalam kasus seperti itu yang selalu
dirugikan adalah pihak konsumen serta para importir Indonesia yang bonafide, yang
memanfaatkan bantuan itu secara jujur dan konstruktif (Yahya Muhaimin, 1990:79-80).

Kritik di atas secara politis tentu sangat merisaukan. Hal tersebut tentu berkaitan
dengan eksistensi kabinet yang saat itu pegang oleh ‘orang’ PNI yang nota bene
memerlukan keuntungan politik dalam rangka memenangkan Pemilu 1955. Di
lingkungan Parlemen, mosi yang dilakukan oleh K.H. Tjikwan dari Masyumi yang
mempertanyakan adanya kolusi dan nepotisme di dalam penyaluran lisensi istimewa yang
diberikan oleh pemerintah (Feith, 1962:379). Mosi Tjikwan berisi tentang usul untuk
mengganti peraturan-peraturan mengenai impor dan meminta pemerintah untuk
secepatnya mengajukan RUU untuk mengganti peraturan impor yang lama. Dasar
pertimbangan dari mosi ini adalah bahwa pemerintah telah semena-mena melakukan
pemungutan pajak bea dan cukai untuk kepentingan kas negara yang dilarang
berdasarkan pasal 117 UUD. Hal itu boleh dilakukan kecuali berdasarkan Undang-
Undang seperti yang tertera di dalam Pasal 113 UUD yang berbunyi: “Dengan UU
ditetapkan anggaran semua pengeluaran republik Indonesia dan ditunjuk pendapatan-
pendapatan untuk pengeluaran itu”. Pemahaman mosi ini adalah bahwa peraturan-
peraturan mengenai impor yang didasarkan pada keputusan perdana mentri tanggal 11
Agustus 1952 pada hakekatnya merupakan pemungutan dari pihak pemerintah yang

173

dibebankan kepada pihak importir untuk kegunaan kas negara (Harian Keng Po, 13 April,
1953).

Mosi Tjikwan ini tentunya sangat penting artinya bagi kondisi ekonomi politik di
Indonesia pada saat itu. Artinya jika mengikuti mosi ini maka akan dilakukan perubahan-
perubahan mendasar dalam peraturan-peraturan mengenai impor. Pembekuan peraturan-
peraturan mengenai impor tersebut disinyalir akan menguntungkan spekulan-spekulan
ekonomi untuk leluasa memancing di air keruh. Di samping itu juga akan terjadi inflasi
yang besar yang tentunya akan lebih mempersulit perekonomian di Indonesia (Harian
Keng Po, 22 Mei 1953). Situasi seperti itu tentu tidak diharapkan. Oleh sebab itu hal yang
penting bagi mosi Tjikwan ini adalah bahwa peraturan yang dibuat pemerintah berkaitan
dengan masalah impor tersebut sebaiknya di sahkan melalui Undang-Undang (Harian
Keng Po, 27 Mei, 1953). Dengan kata lain mosi Tjikwan cs lebih dapat diterima oleh
pemerintah karena dianggap tidak merupakan mosi tidak percaya kepada pemerintah.

Hal tersebut sekaligus juga menyatakan penolakan kepada mosi tidak percaya dari
Mohammad Saddak yang meminta pemerintah untuk membekukan keputusan bersama
mentri perekonomian dan keuangan No. 817/M tanggal 22 Januari 1952. Menurut Saddak
peraturan tersebut telah mengakibatkan adanya inflasi dan hanya menguntungkan
pedagang-pedagang besar yang mempunyai stock barang banyak, sedangkan penghasilan
dan daya beli konsumen sejak sebelum dikeluarkannya peraturan tersebut sudah sangat
berkurang. Sama halnya dengan Mosi Tjikwan, peraturan bersama tersebut berarti suatu
pemungutan pajak rakyat dan seharusnya diatur oleh Undang-Undang sesuai dengan
bunyi UUD pasal 117, sehingga sesuatunya dapat dipertimbangkan lebih dahulu oleh

174

DPR dengan memperhatikan akibat-akibat yang mungkin akan ditimbulkan oleh
karenanya (Harian Keng Po, 22 Mei, 1953).

Bagi pemerintah usul Saddak dianggap lebih mengarah pada mosi tidak percaya
pada Mentri Keuangan. Hal ini ditolak –demikian Dr. Sumitro – karena jika hal ini
diterima maka akan terjadi krisis kabinet yang akan mengacaukan perekonomian dan
keuangan negara. Penolakan ini didukung oleh PNI, PSI, NU, Katolik, Parkindo, dan
Demokrat. Sedangkan yang mendukung adalah PIR, PSII, Progresif dan PRN (58:27
suara). SOBSI dan PKI yang sebenarnya mendukung mosi Saddak lebih memilih abstein.
Hal ini dilalukan karena tidak mau menimbulkan kesan hendak menjatuhkan kabinet
Wilopo, yang bagi PKI dan Sobsi berarti satu kerugian karena belum dapat diketahui
bagaimana corak kabinet baru (Harian Keng Po, 29 Mei, 1953).

Pada sisi lain juga kecurigaan bahwa kebijakan tersebut telah digunakan untuk
kepentingan partai dianggap telah terbukti. Hal itu tampak dengan jelas bahwa kebijakan
untuk menciptakan sistem perekonomian nasionalis telah berubah menjadi sistem
perekonomian partai, khususnya bagi kepentingan PNI dalam rangka memenangkan
Pemilu 1955. Mengenai hal tersebut Feith (1999:38) mengungkapkan bahwa memang
terjadi korupsi di tingkat Kementerian untuk mengumpulkan dan kampanye seperti yang
dipraktekkan secara besar-besaran pada masa kabinet Ali I. Dalam hal ini PNI yang
paling banyak mendapatkan keuntungan karena partai ini yang paling banyak memegang
portofolio keuangan dan ekonomi serta jabatan Perdana Mentri dalam Kabinet. PNI
punya sumber dana tambahan yang penting, sumbangan dari pengusaha di kota-kota,
yang pribumi maupun Tionghoa.

175

Dibentuknya Yayasan Marhaen dan Bank Umum Nasional telah menjadikan dua
institusi ini sebagai kekuatan dan motor uang bagi PNI dalam menjalankan roda
kepartaiannya. Bisnis-bisnis yang berkaitan dengan partai secara langsung diambil oleh
oleh kedua institusi ini berkerja sama dengan Bank negara yang dikuasai oleh orang-
orang partai (PNI). Pada tahun 1952 PNI membangun Bank Umum Nasional dengan
ketuanya adalah Soewirjo dan wakil ketuanya adalah Dr. Ong Eng Kie serta Iskaq
sebagai salah satu pimpinan divisinya. Hal tersebut kemudian memberikan kesempatan
bagi Ong dan Iskaq untuk duduk dalam kabinet Ali I sebagai Menteri Kuangan dan
Mentri Perekonomian. Pada saat yang sama Soewirjo diberhentikan dengan hormat dari
jabatan di Bank Umum Nasional dan diberi kedudukan untuk menjabat sebagai Presiden
Direktur pada BIN. Sedangkan Abdul Karim dan Hadiono Kusumo ditunjuk menjadi
Presiden dan wakil Presiden Direktur dari BNI menggantikan posisi yang dijabat
sebelumnya oleh orang PSI. Kondisi semacam ini secara jelas telah memberikan peluang
yang sangat besar bagi dana-dana politik partai – dalam hal ini PNI. Relasi Bank-Bank
yang dikuasai oleh orang PNI telah dihubungkan juga dengan lembaga importir nasional
– Ikini – yang sebagian besar dananya diperoleh dari kredit-kredit yang dikucurkan dari
Bank-Bank tersebut atas nama program Benteng. Di bawah kepemimpinan Mohammad
Tabrani, yang juga adalah pimpinan Ikini, lembaga ini telah menjadi pusat alokasi dana
dari kredit bank negara dan lisensi dari para importir-importir Benteng. Meskipun
beberapa record pebisnis atau importir nasional tersebut terlihat sangat buruk namun
melalui lembaga ini mereka dapat menarik dana-dana untuk kepentingan bisnis mereka
(Robinson, 1986:48-49).

176

3. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme: Gagalanya Kebijakan Benteng
Mr Tobing dalam analisisnya mengenai struktur sosial ekonomi masyarakat

Indonesia, dalam sidang PII, mengatakan bahwa struktur ekonomi sosial masyarakat
Indonesia terdiri dari empat golongan yaitu golongan Eropa, Tionghoa, bangsa Asing
Timur bukan Tionghoa dan golongan Indlanders / Bumiputra. Pembagian ini didasarkan
atas ketetapan pemerintah kolonial dalam Indische Staatsregeling tahun 1925 S.25-412
Juncto 157 alam pasal 131 dan 163. Golongan pertama meskipun kecil tetapi memegang
segala pucuk pimpinan dan kekuasan dalam segala lapangan. Golongan kedua adalah
perantara dari golongan pertama dan golongan keempat. Sebagai perantara dari golongan
satu jelaslah bahwa mereka mengikuti kemauan golongan tersebut dan dengan sendirinya
mempunyai kedudukan ekonomi politik yang kuat juga. Golongan tiga pada umumnya
hampir sama dengan golongan dua. Perbedaannya terletak pada sisi agama. Sedangkan
golongan empat atau bumiputra adalah golongan yang terdiri dari 75% tani kecil, 5%
para kuli-kuli perkebunan asing, 15% penduduk yang tinggal di tanah-tanah partikelir
yang wajib patuh pada tuan-tuan tanah, 3% kuli-kuli pabrik asing modern, ½% dari
Inladers adalah pemilik kecil, tukang dan sebagainya (golonga menengah), ¼% adalah
kaum feodal yaitu raja-raja, sultan, regent bentukan Belanda; sisanya terdiri dari kaum
intelektual yang pernah menikmati pendidikan di luar negeri. Dari data ini dapat dilihat
bahwa golongan Inlanders adalah golongan yang paling menderita secara ekonomis,
sedangkan golongan satu, dua dan tiga merupakan golongan yang memiliki kemampuan
ekonomi yang tinggi (Suara Rakyat, 21 Maret, 1956).

Selanjutnya dinyatakan bahwa sejak Indonesia merdeka seharusnya kedudukan
ekonomi golongan empat dapat berubah menjadi golongan satu, dua atau tiga. Namun

177

selama kurang lebih lima tahun setelah kemerdekaan keadaan tersebut tidak berubah
bahkan bertambah sulit. Hal ini dikarenakan peran golongan dua menjadi sangat besar.
Kedudukan mereka yang semakin kuat dengan mudahnya menjadi warga negara. Bank-
Bank Eropa dikuasai oleh golongan dua dan bank-bank pribumi semakin merosot. Impor
masih dikuasai golongan satu, dua dan tiga. Begitu juga asuransi, transportasi, industri
yang sebagian besar masih sangat dikuasai oleh golongan tersebut (Suara Rakyat, 22
Maret 1956).

Sejak awal kemerdekaan pemerintah Indonesia telah melakukan suatu kebijakan
yang menjamin para importir Indonesia melakukan bisnisnya dengan leluasa, seperti
dalam kebijakan Benteng. Hal ini dengan harapan struktur ekonomi golongan empat
dapat berubah secara pasti ke arah yang yang lebih baik. Meskipun dalam kenyataan
tidak demikian halnya. Oleh sebab itu tugas utama dari para importir Indonesia – melalui
kongres PII – terutama memperdalam pengertian tentang keharusan adanya perubahan
struktur dalam masyarakat Indonesia dan diantara sesama pengusaha. Selain itu
diperlukan pembentukan kaum pengusaha nasional yang sehat dan dapat mendorong serta
membantu pemerintah dalam tugasnya menciptakan ekonomi nasional yang berakar
terutama pada masyarakat Indonesia asli. Dengan kata lain tujuan kongres ini adalah
untuk menyadarkan arti pentingnya ekonomi nasional yang berakar pada masyarakat
Indonesia asli agar dapat merubah struktur ekonomi sosial tersebut (Suara Rakyat, 23
Maret 1956).

Dalam kenyataannya kebijakan semacam ini tidak secara otomatis dapat
meningkatkan perekonomian bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Munculnya
kapitalisme-kapitalisme baru yang oportunis justru menambah parahnya laju

178

pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Konspirasi dan munculnya komprador-komprador
ekonomi antara pedang pribumi – Tionghoa dan pemerintah telah menghasilkan apa yang
akhir-akhir ini disebut dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kondisi ini sangat
terasa di dalam pengimplementasian kebijakan tersebut. Besarnya peran pemerintah di
dalam melakukan implementasi kebijakan tersebut mengakibatkan kebijakan menjadi
bersifat politis dari pada menciptakan ekonomi yang baik atas nama kesejahteraan
masyarakat. Dimensi elitis dari kebijakan ini telah menciptakan munculnya kekuatan
ekonomi yang hanya dinikmati oleh pebisnis-pebisnis besar pribumi atau negara sendiri.
Sebagai contoh, kasus pengambilalihan disektor bongkar muat di pelabuhan seperti yang
dicatat oleh Leo Suryadinata (1982:137-138) menunjukkan bahwa peran pemerintah
begitu kuat atas nama kepentingan partai-partai politik. Seperti diketahui bahwa kegiatan
bongkar muat di pelabuhan sebagian besar dimiliki oleh pengusaha Tionghoa. Peraturan
tersebut menyatakan bahwa usaha bongkar muat, angkutan pelabuhan dan pergudangan
pelabuhan harus meminta izin baru yang hanya diberikan kepada warga negara Indonesia.
Peraturan tersebut juga menyatakan bahwa perusahaan tidak boleh dipegang oleh orang
yang berkewarganegaraan lain selain warga negara Indonesia. Dengan kata lain warga
negara yang memiliki kewarganegaraan rangkap juga tidak diperbolehkan (hal ini secara
langsung menunjuk pada orang Tionghoa di Indonesia yang pada saat itu masih banyak
berkewarganegaraan rangkap). Mengingat bisnis ini adalah termasuk bisnis yang besar
maka hanya para pebisnis pribumi yang dapat menikmati kebijakan ini dan terutama
orang-orang yang ada di dalam lingkaran kekuasaan negara ataupun partai-partai yang
ada.

179

Era kabinet Burhanuddin Harahap dari Masyumi ditandai dengan semakin
membaiknya sistem perekonomian nasional. Pengangkatan Menteri keuangan Soemitro
Djojohadikusumo dari PSI telah memberi angin segar bagi iklim perekonomian di
Indonesia. Pada masa kabinet Ali II banyak orang-orang PSI dan Masyumi yang
diberhentikan dari kedudukan-kedudukan startegi mereka dan diganti dengan orang-
orang PNI. Dengan demikian era Burhanuddin Harahap menandai kembalinya orang-
orang PSI dan Masyumi dalam kabinet. Namun demikian kabinet ini tidak cukup lama
memimpin. Kebijakan ekonomi yang lebih ‘manusiawi’ dan keberhasilan di dalam
menyelenggarakan Pemilu 1955 merupakan catatan tersendiri bagi kabinet ini.

Periode kepemimpinan Ali II merupakan kelanjutan dari sistem parlementer pasca
pemilu 1955. Dalam kabinet ini isu mengenai kebijakan rasialis muncul kembali.
Keresahan terhadap gagalnya program Benteng tersebut menghasilkan sebuah
kefrustasian dan sentimen yang lebih besar terhadap kelompok-kelompok pebisnis
Tionghoa (Suryadinata, 1982:133). Hal ini ditandai dengan munculnya gerakan anti
Tionghoa pasca pemilu 1955 telah memperparah persoalan ekonomi politik di Indonesia.

4. Gerakan Asaat: Gerakan Rasialis Pengusaha Pribumi
Pidato Asaat pada pertemuan para pengusaha Importir di Surabaya pada 19 Maret

1956 menjadi sebuah pidato yang sangat membakar semangat anti (bisnis) Tionghoa di
Indonesia. Pada waktu itu Assat menuduh Tionghoa sebagai golongan yang oportunis
yang membantu perekonomian Belanda pada masa penjajahan, dan hal itu secara
langsung telah mempersulit kehidupan bangsa Indonesia. Menurut Asaat bahwa warga
negara Indonesia harus menerima proteksi khusus dalam segala bidang perekonomian

180

khususnya dalam menghadapi orang asing dan pebisnis Tionghoa (Suara Rakyat, 31
Maret 1956). Selain itu juga ia meminta agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang
jelas terhadap orang Tionghoa di Indonesia (Feith dan Castle, 1970:346). Gelombang
dukungan datang dari berbagai daerah, khususnya para pengusaha dari Priyayi Jawa,
pengusaha Sumatra, Sunda, Madura. Gerakan Assat ini juga mendapat simpati dari
Masyumi dan PSI (Feith, 1962). Meskipun dukungan kedua partai tersebut tidak terlalu
besar untuk dapat menggerakan ‘gerakan Anti Cina’ secara masif. Sedangkan PNI
tampaknya tidak ikut serta dalam gerakan tersebut. Gerakan KENSI (Ekonomi Nasional
Seluruh Indonesia) yang dibetuk tahun 1956 sebagai respon terhadap pidato Asaat juga
tidak mendapat respon yang baik dari sebagian besar partai politik terkemuka.
Pertanyaannya tentu mengapa gerakan ini tidak mendapat simpati yang utuh dari partai
politik ataupun pemerintah, bahkan juga Presiden Soekarno? Jawaban atas pertanyaan ini
seutuhnya harus dilihat dalam dinamika kepentingan politik yang terjadi pada saat itu
yaitu Presiden Soekarno, Militer dan Partai Politik.

Presiden Soekarno secara jelas tidak mengehendaki adanya diskriminasi di dalam
kehidupan politik di Indonesia. Hal itu tercermin secara jelas dari ide persatuan dan
kesatuan yang didasarkan sepenuhnya pada cita-cita keutuhan nasional (bangsa). Pada
sisi lain militer, sejak dikeluarkannya Undang-Undang Keadaan Bahaya (SOB) pada
Maret 1957, telah menempatkan dirinya sebagai salah satu kekuatan politik di Indonesia.
Kondisi ini dibarengi dengan proses nasionalisasi yang dilakukan terhadap perusahaan-
perusahaan asing atau Belanda. Hal yang menarik adalah manajemen perusahaan tersebut
sebagian besar justru dikelola oleh militer dan bukan oleh pengusaha yang berkompeten
di bidang tersebut. Supriatma menyatakan bahwa pengelolaan tersebut tentunya tidak

181

bisa dilepaskan dari jaringan ekonomi kapitalis terhadap golongan Tionghoa yang
menjadi andalan militer untuk mengelola perusahaan tersebut (Lembaga Studi Realino,
1996:78). Pada sisi lain keberadaan partai-partai politik semakin tidak menentu karena
kondisi politik yang semakin suram. Tingkat korupsi yang tinggi yang dilakukan secara
pribadi maupun lembaga membuat partai-partai bersifat pragmatis demi kepentingan
mereka sendiri. Feith (2001:112-113) mencatat bahwa salah satu partai yang diharapkan
mampu membangkitkan semangat kewiraswastaan pribumi yaitu Masyumi gagal
melakukan perannya secara utuh. Kegagalan ini mengakibatkan peran pemerintah dan
militer menjadi sangat besar untuk meraih keuntungan ekonomi dengan cara-cara yang
sangat birokratis. Keberpihakan Masyumi terhadap kepentingan pengusaha pribumi –
dalam hal ini kelompok pengusaha Muslim di berbagai daerah yang notabene memiliki
sejarah gerakan anti Tionghoa di Indonesia seperti Lombok, Jawa Tengah, Jawa Barat,
Madura, Sumatra dan Sulawesi (Yahya Muhaimin, 1990:94), dilihat sebagai sebuah
gerakan yang justru tidak menguntungkan partai tersebut dilingkungan politik pusat, yang
nota bene sering dilihat sebagai yang dikuasai oleh orang Jawa. Dalam situasi seperti
inilah dapat dilihat bahwa reaksi kedaerahan seperti pemberontakan daerah dan
penyelundupan-penyelundupan hasil bumi oleh kalangan militer dapat dipahami.
Pertama, hal tersebut berkaitan dengan sentimen ekonomi politik yang sebagian besar
dinikmati oleh kelompok-kelompok birokrasi dan militer yang ada di Jawa yang nota
bene juga sebagian besar adalah orang Jawa. Kedua, bahwa kecurigaan dasar terhadap
kolusi yang terjadi antara kepentingan pengusaha Tionghoa dan militer serta pemerintah
– telah menciptakan keuntungan-keuntungan bagi kelompok militer dan birokrasi tetapi
juga bagi pengusaha Tionghoa.

182

C. Rasialisme Terhadap Orang Tionghoa Melalui UU Kewarganegaraan
Pasca kemerdekaan konsepsi politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif

merupakan dasar bagi pergaulan internasional bangsa Indonesia. Artinya bahwa
Indonesia, dalam pergaulan internasional, tidak memilih dan bergaul hanya pada satu
blok politik . Politik Internasional pada saat itu memperlihatkan kekuatan politik besar
yaitu Amerika dan Uni Soviet yang berhaluan komunis. Indonesia secara tegas tidak
berpihak pada kedua blok tersebut. Hal ini tampak dari kebijakan kabinet-kabinet di masa
Demokrasi Parlementer yang dapat mengakui RRC sebagai sebuah negara berdaulat
meskipun berhaluan komunis. Kabinet Hatta secara jelas mengakui RRC sebagai negara
berdaulat. Meskipun dipahami bahwa Hatta sangat pro Barat – dana sangat anti komunis
– tetapi dimensi keterbukaan sangat menjadi dasar bagi pengakuan terhadap RRC.

Akan tetapi persoalan pengakuan kabinet Hatta terhadap RRC bukanlah hal yang
mudah. Trauma gerakan komunis di Madiun 1948 masih sangat membekas bagi
Indonesia. Khususnya di kalangan pemimpin-pemimpin negara yang sangat anti Komunis
seperti Hatta. Pada sisi lain bantuan-bantuan dari Amerika kepada Indonesia yang baru
diakui sejak Desember 1949 merupakan persoalan politik yang tidak mudah bagi kabinet
Hatta. Bantuan-bantuan ini secara langsung menekan Indonesia – dalam hal ini kabinet
Hatta – untuk tidak mengakui RRC. Namun pada sisi lain Indonesia juga membutuhkan
pengakuan di PBB dimana RRC adalah salah satu pemegang hak Veto (Mozingo,
1976:87). Hal ini menyebabkan salah satu pertimbangan Indonesia untuk mengakui
kedaulatn RRC. Meskipun harus dicatat bahwa paham komunisme tidak mendapat respon
yang positif dari kebinet Hatta. Selanjutnya bahwa RRC kemudian mengirimkan Duta
Besarnya ke Indonesia – Wang Jen-Shu – yang sangat komunis dan pernah diusir oleh
Belanda tahun 1947 dari Sumatra. Gerakan Wang Jen-Shu adalah mengorganisir

183

Tionghoa lokal untuk berpihak pada Peking dan dengan mengucilkan unsur pro Taipei
(Suryadinata, 1984:178). Keadaan ini tidak mendapat simpatik dari pemerintah Indonesia
dan untuk itulah sampai tahun 1953 pemerintah belum mengirimkan seorang Duta Besar
ke RRC tetapi mengirim Kuasa Usaha ad Interim Isak Mahdi ke Peking. Namun
demikian hubungan Indonesia RRC mengalami tarik ulur politik yang sangat kuat.
Seperti telah dikatakan pada bagian sebelumnya bahwa kekecewaan yang besar terhadap
negara-negara barat (Amerika) telah memberi ruang bagi komunisme – dalam hal ini
Cina – untuk memainkan peran politiknya yang besar di Indonesia. Salah satu hal penting
dari kerja sama tersebut adalah telah ditandatanganinya UU Kewarganegaraan pada bulan
April 1955 antara Indonesia dan RRC. Bagi kedua negara kebijakan ini didasarkan pada
prinsip persamaan derajat, prinsip saling memberi manfaat dan prinsip tidak campur
tangan di dalam politik negara masing-masing (Suluh Indonesia, 27 April 1955). Seperti
dipahami bahwa pada tahun 1954 kebijakan-kebijakan kewarganegaraan Indonesia
menggunakan azas Ius Soli dengan sistem aktif. Artinya sistem ini mensyaratkan
pentingnya pernyataan penerimaan menjadi warga negara Indonesia. Dengan demikian
tidak diberlakukan lagi kewarganegaraan rangkap yang selama itu secara otomatis
dimilik oleh sebagain besar warga Tionghoa di Indonesia. Meskipun telah ditandatangani
pada April 1955 tersebut namun secara praktis hal tersebut baru dilaksanakan setelah
parlemen menyetujuinya pada tahun 1958. Dalam penandatanganan yang dilakukan di
rumah Gubernur Jawa Barat Chou En Lai menyatakan pengaharapannya agar setiap
warga negara Tionghoa yang sudah menyatakan pilihannya berpegang teguh pada naskah
perjanjian ini. Baik kepada mereka yang memilih kewarganegaraan Cina maupun warga
negara Indonesia agar semua bersama-sama memajukan persahabatan antar kedua negara.

184

Pertanyaan mendasar dari kebijakan kewarganegaraan ini adalah bagaimanakah
posisi dan kedudukan warga Tionghoa di Indonesia? Apakah akan lebih baik atau justru
semakin sulit? Mr Tjung Tin Yan - anggota parlemen dari fraksi Katolik – menyatakan
bahwa status kewarganegaraan peranakan Tionghoa melalui kebijakan tersebut menjadi
tidak jelas (Haria Kuang Po, 28 April 1955). Hal ini karena kebijakan tersebut tidak
merumuskan sesuatu kebijakan kewarganegaraan yang bersifat permanen bagi warga
Tionghoa. Tjung mempertanyakan bagaimana kedudukan warga Tionghoa yang sudah
menjadi warga negara Indonesia dengan sistem pasif yang diberlakukan pada tahun 1946.
Apakah mereka akan tetap menjadi warganegara Indonesia atau bisa kehilangan
kewarganegaraannya karena tidak melapor atau kalaupun melapor kemudian memiliki
kekurangan-kekurangan secara administratif? Anggota parlemen lainnya Mr. Jusuf
Wibisono dari Masyumi juga menyatakan kekuatirannya terhadap sistem aktif yang
menurutnya akan banyak warga keturunan Tionghoa yang kurang mengerti segala
peraturan yang ada kemudian kehilangan kewarganegaraannya (Indonesia)1.

Hal-hal yang bersifat adminsitrasi yang nantinya cenderung bersifat diskriminatif
memang telah dikuatirkan sejak kebijakan ini digulirkan. Diskriminasi terhadap persoalan
administrasi ini akhirnya dapat dilihat pada keluarnya suatu keputusan tentang perubahan
dan tambahan atruan bea materai 1921. Peraturan perubahan dan tambahan itu didasarkan
atas pertimbangan pada persoalan keuangan negara yang sedang mengalami
kegoncangan. Dengan demikian dianggap perlu untuk memungut bea atas surat
permohonan untuk memperoleh surat kewarganegaraan Indonesia. Biaya yang
dikeluarkan bagi setiap orang yang mengajukan permohonan tersebut adalah sebesar Rp.

1 Berkaitan dengan kesulitan-kesulitan praktis mengenai pendaftaran ini diungkapkan bahwa hal tersebut
harus dilakukan sampai di pelosok-pelosok terpencil. Usaha ini sangat memerlukan waktu yang lama
danmemakan biaya yang besar.


Click to View FlipBook Version