185
1000 untuk orang dewasa, Rp. 500 untuk anak-anak dan Rp.750 untuk seorang
perempuan asing yang kawin dengan warga negara Indonesia sesudah tanggal 27
Desember 1949. Peraturan ini dikeluarkan oleh Menteri pertahanan Ir. Djuanda selaku
penguasa militer tertinggi dan berlaku surut mulai tanggal 4 Juni 1957 (Harian Sin Po, 26
Agustus, 1957).
Keluarnya peraturan ini tentu saja mendapat reaksi yang keras dari berbagai
kalangan. Mr. Tambunan dari Parkindo menyatakan bahwa apabila ada keharusan bagi
warga negara untuk memiliki surat bukti kewarganegaraan maka seharusnya hal itu
diberlakukan bagi semua warga negara tanpa terkecuali – asli atau tidak asli . Semua
harus membeli surat kewarganegaraan tersebut. Menurutnya peraturan itu sangat tidak
mendidik dan bersifat diskriminatif. Hal ini karena hanya dikenakan kepada sebagian
warga negara saja (golongan Tionghoa). Hal itupun dengan anggapan bahwa semua
orang Tionghoa adalah golongan “ekonomi kuat” sehingga dianggap mampu membayar
Rp.1000. Padahal menurutnya tidak semua orang Tionghoa mampu membayar biaya
sebesar itu. Bagaimana yang tidak mampu, apakah mereka harus kehilangan
kewarganegaraan Indonesia, padahal mereka telah turun-temurun berada di Indonesia dan
tidak mengetahui lagi tanah leluhur mereka (Harian Sin Po, 26 Agustus, 1957).
Secara politik persoalan-persoalan teknis pelaksanaan ini tidak mendapat perhatian
yang sungguh-sungguh karena sejak awal persoalan UU kewarganegaraan ini sangat
dipengaruhi oleh kepentingan politik dari pada menyelesaikan masalah sosial bagi
masyarakat Tionghoa di Indonesia. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa UU
kewarganegaraan yang ditandatangani Sunario-Chou En Lai, sebenarnya merupakan
sebuah awal bagi hubungan politik Indonesia – Cina ke arah yang lebih baik. Memang
186
terdapat kritik-kritik yang tajam terhadap materi kebijakan tersebut. Namun secara politik
hal ini sebenarnya harus dibaca sebagai sebuah sikap politik Indonesia yang mulai secara
perlahan mengarah pada keterlibatan Tiongkok yang besar di Indonesia. Hal ini pertama-
tama dapat dicermati melalui hubungan ekonomi politik yang dibangun pasca konfrensi
Asia Afrika. Kepergian PM Ali Sastroamidjojo ke Peking dapat dilihat sebagai awal bagi
mulusnya hubungan Indonesia – Cina. Mr. Tobing menyatakan bahwa kepergian PM Ali
ke peking harus dilihat sebagai sebuah usaha untuk membangun hubungan Indonesia –
Cina, khususnya dalam bidang ekonomi. Banyak kalangan berpendapat bahwa kepergian
PM Ali ke Peking semata-mata dalam rangka menjawab permohonan Chou En Lai agar
Indonesia dapat menjadi penengah dalam masalah Taiwan 9Kuang Po 4 Mei 1955).
Namun lebih dari pada itu sebenarnya ada misi ekonomi yang diemban oleh PM Ali
(Antara, 25 Mei 1955). Hal senada juga ditegaskan oleh Mentri luar negeri Sunario
setelah penandatanganan UU kewarganegaraan terebut menyatakan bahwa kepergian PM
Ali merupakan hal yang baik sekali guna mempererat hubungan Indonesia – Cina
dalam bidang politik dan ekonomi serta kebudayaan (Suara Masyarakat, 25 April 1955).
Dalam pidatonya di Chushan Park, Peking, PM Ali menyatakan bahwa Cina dan
Indonesia telah mengambil jalan ideologi yang berlainan untuk membangun bangsa. Cina
memilih masyarakat sosialis berdasarkan Marxisme dan Indonesia telah memilih
Pancasila. Menurutnya landasan ideologis tersebut merupakan landasan yang benar bagi
kedua negara untuk membangun kemakmuran dan kesejahteraan bersama (Antara 30
Mei 1955). Dalam pidato pada malam perjamuan kenegaraan Choun En Lai menyatakan
bahwa apa yang telah dilakukan Indonesia untuk menciptakan perdamain dunia sangat di
dukung oleh Cina. Hubungan Indonesia dan Cina yang telah terjalin sejak lama kiranya
187
menjadi dasar bagi semakin eratnya hubungan tersebut khususnya dalam rangka
membangun perkembangan di kedua negara di segala bidang kehidupan. Sementara itu
PM Ali dalam sambutannya – berkaitan dengan persoalan Dwi Kewarganegaraan –
menyatakan kepuasannya bahwa selama konfrensi Asia Afrika telah tercapai
penyelesaian soal dwi kewarganegaraan orang-orang Tionghoa di Indonesia dengan
memberikan hak kepada mereka untuk memilih warga negaranya. Menurutnya, Indonesia
dan Cina telah membuat langkah baru ke depan untuk menyelesaikan secara damai soal
dwi kewarganegaraan yang sulit tersebut (Kuang Po, 31 Mei 1955).
Kelancaran di dalam perumusan dan kesepakatan mengenai UU kewarganegaraan
orang Tionghoa di Indonesia hanya dapat dilihat berkaitan dengan hubungan yang
semakin erat yang dibangun oleh kabinet Ali – yang nota bene memiliki dukungan yang
besar dari PNI dan PKI dan sedikit banyak telah menyingkirikan beberapa tokoh partai
Muslim konservatif (Mozingo, 1976:113) – dengan pemerintahan Cina. Pada tahun 1953
Indonesia secara resmi telah mengirimkan seorang Duta Besar ke Cina sebagai realisasi
dari hubungan yang baik tersebut (Duta Besar Arnold Mononutu). Begitu juga dengan
hubungan dagang yang semakin kuat antara Indonesia dan Cina yang ditandai dengan
persetujuan dagang Indonesai Cina pada Novermber 1953 (Cheng, 1972:28). Selanjutnya
meskipun tidak dikatakan cukup dekat namun hubungan Indonesia dan Cina menjadi
sangat baik. Hal ini, demikian Leo Suryadinata (1982:182), merupakan cerminan dari
keinginan Cian untuk memenangkan persahabatan dengan negara-negara Asia yang non
komunis – khususnya Indonesia. Semakin baiknya hubungan Indonesia Cina ini juga
diwujudkan dalam pola suara Indonesia yang diberikan dalam sidang umum di PBB
mengenai masalah RRC. Pada tahun 1951 ada resolusi moratorium untuk menangguhkan
188
pembicaraan tentang masalah perwakilan RRC. Dalam pemungutan suara mengenai hal
itu Indonesia bersikap abstain. Sampai dengan tahun 1954 suara Indonesia kemudian
bersikap menentang ketetapan tersebut. Sejak saat itu Indonesia menjadi pendukung yang
gigih bagi masuknya RRC ke PBB (Suryadinata, 1982:182).
Dari seluruh uraian di atas tampak bahwa persoalan UU Dwi Kewarganegaraan
hanyalah sebuah batu loncatan bagi sebuah hubungan yang lebih intensif di antara
Indonesia dan Cina. Diskriminasi terhadap implementasi kebijakan tersebut tentu tidak
dapat dihindarkan tetapi yang terpenting bagi pemerintah Indonesia pada saat itu adalah
membangun relasi politik yang bertujuan untuk menempatkan posisi Indonesia di mata
dunia menjadi sangat penting. Pada konteks ini dapat dipahami bahwa peran Presiden
Soekarno melalui PNI – yang berpengaruh besar terhadap kebijakan politik luar negeri
pemerintahan Ali I dan II – dan dukungan PKI yang secara jelas berorientasi kepada Cina
(dan juga Uni Soviet), telah memberikan suasana politik Indonesia lebih banyak
dipengaruhi oleh nilai-nilai sosialisme demokratis. Puncaknya tentu dapat dilihat dalam
pemerintahan Demokrasi Terpimpin di mana hubungan Presiden Soekarno dan Cina telah
memberikan kesempatan yang besar bagi pengaruh komunisme di Indonesia. Kedudukan
warga Tionghoa tentu tidak lebih dengan adanya kebijakan ini. Hal ini disebakan oleh
dekatnya hubungan pemerintah Indonesia dengan RRC – yang nota bene didukung
sepenuhnya oleh PKI. Dengan demikian tuduhan yang sering muncul sebagai
konsekuensi dari kebijakan ini adalah bahwa warga Tionghoa adalah bagian dari
masyarakat Tiongkok yang dianggap pendukung terhadap gerakan komunis di Indonesia.
Kondisi ini tentu sangat menyulitkan kedudukan orang Tionghoa di Indonesia dalam
membangun relasi dengan sesama warga Indonesia lainnya.
189
D. Gerakan Ekonomi Politik Rasialis PP 10/1959
Masalah kebijakan terhadap sistem perekonomian yang mengedepankan
kepentingan pribumi tidak berhenti pada era Demokrasi Parlementer. Gagalnya sistem
perekonomian yang mengedepankan kepentingan ekonomi kelompok-kelompok pribumi
pada era pemerintahan Demokrasi Parlementer kemudian dilanjutkan pada era Demokrasi
Terpimpin dengan dikeluarkannya PP 10/1959. Pertanyaannya adalah apakah kebijakan
ini juga dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi model pengembangan
ekonomi yang berbasis pada kepentingan perekonomian pribumi – dalam hal ini para
pebisnis pribumi. Atau sebaliknya kebijakan PP10/1959 ini sarat dengan kepentingan
ekonomi politik dari sebagian elit politik di Indonesi pada saat itu.
1. PP 10/1959: Demi Keuntungan Bisnis Pribumi dan Angkatan Darat
Dikeluarkannya kebijakan PP 10 /1959 oleh pemerintah di bawah kabinet
Presiden Soekarno menjadi sebuah catatan tersendiri terhadap masalah Cina di Indonesia.
Melalui Menteri Perdagangan Rahamat Muljominseno – dari NU serta pendukung gigih
gerakan Asaat – kebijakan PP 10/1959 ini dikeluarkan. Hal utama yang dicantumkan
dalam kebijakan ini adalah tidak diperkenankannya orang asing untuk melakukan
perdagangan eceran di daerah pedesaan dan mewajibkan untuk mengalihkan usaha
mereka kepada warga negara sebelum 1 Januari 1960. Namun demikian peraturan
tersebut menyatakan juga bahwa orang asing masih diperkenankan untuk tinggal di
daerah tersebut, kecuali jika komandan militer setempat menetapkan hal yang lain dengan
alasan keamanan (Suryadinata, 1982:140-141).
190
Dalam prakteknya kebijakan ini telah menghasilkan sebuah sejarah buram
mengenai keberadaan orang Tionghoa di Indonesia. Tulisan Pramoedya Ananta Toer
(1998) yang dimuat di dalam harian Bintang Timur dan kemudian diterbitkan dalam buku
yang berjudul Hoakiau di Indonesia memperlihatkan dengan jelas bahwa dampak dari
kebijakan ini lebih bersifat rasialis dari pada meningkatkan perekonomian bangsa. Peran
militer yang sangat kuat di dalam proses pengimplementasian kebijakan ini lebih
mengindikasikan sentimen anti Tionghoa yang dimiliki oleh militer sebagai akibat dari
dukungan Kuomintang terhadap persoalan politik di Indonesia – khususnya pada
pemberontakan militer di daerah dan tentunya dalam hubunganya dengan PKI. Apa yang
terjadi di Jawa Barat terhadap proses implementasi kebijakan ini dianggap sebagai yang
paling sadis. Hal ini karena pengusiran orang-orang Tionghoa diikuti dengan kekerasan
secara militer khususnya dalam penembakan mati terhadap dua orang perempuan
Tionghoa yang menolak untuk dipindahkan di Cimahi (Mackie, 1976:83).
Pada sisi lain implementasi kebijakan ini juga menyebakan persoalan
demografis yaitu munculnya over urbanisasi akibat bergeraknya sebagian besar
masyarakat Tionghoa ke kota-kota besar yang akhirnya menimbulkan persoalan
perkotaan. Selain itu juga pengusiran tersebut juga diarahkan pada pengembalian orang-
orang Tionghoa ke Tiongkok. Hal ini mengakibatkan munculnya ketegangan hubungan
Indonesia dan RRC.
Meskpiun tidak mendapat dukungan penuh dari partai-partai seperti PNI dan PKI
namun kebijakan ini lebih banyak didukung oleh partai NU, Masyumi dan PSII.
Dukungan ini juga sebenarnya datang dari situasi ekonomi politik yang terjadi pada era
1956-1957/8 dimana program nasionalisasi ‘Sosialisme Indonesia’ menggaung dengan
191
kuatnya di segala bidang (Mackie, 1976). Keterlibatan NU, Masyumi dan beberapa partai
Islam lainnya tentu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politik yang cenderung
bersifat primordialis. Persaingan bisnis pada level masayarkat bawah – khususnya di
daerah tingkat II dan kecamatan – dianggap telah dikuasai juga oleh pebisnis-pebisnis
Cina. Hal ini tentu sangat merugikan kelompok-kelompok bisnis pribumi – khususnya
dari kalangan pedangang Muslim yang banyak bergerak di tingkatan tersebut. Jadi
tampak dengan jelas bahwa pada satu sisi momen ekonomi politik ini dimanfaatkan oleh
kelompok-kelompok bisnis pribumi melalui kabinet untuk menjustifikasi kebijakan PP
10/1959.
Selanjutnya bahwa prinsip yang dikembangkan di dalam konsep Ekonomi
Terpimpin sebenarnya untuk membangun indsutri ekonomi nasional dengan kekuatan
berada pada kepemilikan negara. Pengambilalihan industri-industri asing – khususnya
oleh militer - yang dilakukan pada tahun 1957/1958 mengindikasikan bahwa dengan jelas
bahwa peran monopoli yang dilakukan selama ini oleh sektor swasta – khususnya Cina
dan Belanda – sejak saat itu dilarang. Hal ini selanjutnya ditandai dengan pemberian-
pemberian kredit yang diutamakan kepada usaha-usaha milik negara melalui BIN sebagai
pengelola keuangan negara. Selanjutnya ditunjuk lembaga-lembaga negara yang
mengatur sistem perdagangan seperti GPS (Gabungan Perusahaan Sejenis) dan OPS
(Organisasi Perusahaan Sejenis) untuk mengatur dan mengontrol kegiatan indsutrialisasi.
Selain itu juga pemerintah membentuk lembaga bisnis nasional (Bamunas) – dengan
R.M. Notohamidjojo dari PNI sebagai ketuanya. Tujuan dari pembentukan Bamunas ini
adalah untuk menjadi alat komunikasi resmi negara dengan para pebisnis nasional dan
lembaga-lembaga bisnisnya. Komunikasi ini kemudian akan menjadi masukan bagi
192
pemerintah untuk menciptakan kebijakan-kebijakannya sekaligus implementasi dari
kebijakan-kebijakan tersebut. Tercatat sampai dengan tahun 1964 dana yang telah
dikeluarkan melalui usaha nasional ini Rp 125 juta (Robinson, 1986:80-81).
Dari situasi ini terlihat dengan jelas bahwa negara menjadi sebuah kekuatan
ekonomi yang besar pada saat itu. Besarnya peran negara sekaligus juga menandai
besarnya peran perekonomian nasional yang lebih diindikasikan sebagai usaha untuk
mendongkrak perekonomian kaum pribumi. Dana-dana yang diberikan sebagai pinjaman
negara lebih banyak diberikan kepada pengusaha-pengusaha pribumi. Sehingga
terciptalah kelas pengusaha pribumi yang bergerak di segala bidang perekonomian dan
perdagangan. Robinson (1986:91-92) mencatat sekian nama yang termasuk pengusaha-
pengusaha yang berhasil memanfaatkan kesempatan melalui regulasi yang diberikan oleh
pemerintah. Salah satu nama yang sangat berhasil dalam memanfaatkan kesempatan
tersebut adalah Agoes Dasaad. Ia dikatakan sebagai pengusaha yang berhasil di dalam
bidang ekspor – impor khususnya barang-barang industri teknologi dari luar negeri yang
berkaitan dengan keperluan Angkatan Udara. Selain itu juga ia memiliki saham-saham
yang penting di dalam industri-industri otomotif, Bank Dagang Indonesia dan juga Bank
Indonesia.
Seperti telah dikatakan sebelumnya bahwa peran militer juga menjadi sangat
dominan di dalam memainkan peran ekonomi politik di Era Domokrasi terpimpin.
Melalui pengambilalihan sektor-sektor ekonomi penting pada tahun 1957-1958 kemudian
militer telah menjadi pemain utama dalam sistem perekonomian di Indonesia. Bank-Bank
yang dahulu dimiliki oleh Belanda kemudian telah dikuasi sepenuhnya oleh militer.
Distribusi pertanian, beras dan alokasi pertukaran nilai uang asing serta penguasaan
193
terhadap perkebunan dan lading misnyak di Sumatra Utara, telah menjadikan militer
menjadi kekuatan baru yang sangat besar dalam bidang ekonomi. Penunjukan Kolonel
Suprayogi sebagai mentri Stabilitas Ekonomi memberikan indikasi yang kuat akan
pentingnya peran ekonomi politik militer. Selain itu juga Badan Pembangunan Daerah
(Bappeda) dipimpin langsung oleh Jendral Baramuli. Penunjukan Baramuli sebagai
pimpinan Bappeda diharapkan dapat memperlancar distribusi dari komoditas impor
kepada pengusaha-pengusaha swasta nasional di daerah-daerah. Distribusi ini selanjutnya
diawasi secara langsung melalui pengawasan pemerintah daerah melalui Komando
Militer Bidang Keuangan dan Perekonomian.
Dengan melihat hal di atas – dalam hubungannya dengan kebijakan PP 10/1959 –
tampak dengan jelas bahwa kepentingan perekonomian pribumi menjadi faktor yang
sangat dominan di dalam kebijakan tersebut. Pemerintah dalam hal ini secara jelas
memperlihatkan keberpihakannya kepada pengusaha-pengusaha pribumi dan lebih lagi
hal tersebut ditopang oleh kekuatan militer. Meskipun peran swasta pribumi terlihat
dengan jelas namun semuanya berada di dalam kontrol yang sangat kuat oleh pemerintah
dan militer. Hal tersebut tentu memberikan dampak yang sangat besar bagi sistem
perekonomian saat itu. Memang terlihat adanya kemajuan di dalam bidang perekonomian
nasional (pribumi) tetapi sejarah membuktikan bahwa salah satu kegagalan Demokrasi
Terpimpin di bawah Presiden Soekarno adalah karena adanya korupsi,kolusi dan
nepotisme yang tinggi – yang dilakukan oleh negara serta gagalnya para new comers
memainkan fungsi ekonomi politiknya secara baik.
Dalam kebijakan PP 10/1959, hal ini membuktikan bahwa peran pedagang-
pedagang Cina sebenarnya masih tetap diperlukan. Terlihat dengan jelas bahwa dalam
194
prakteknya terdapat peran yang sangat penting dari pengusaha Cina bekerja sama dengan
kelompok-kelompok bisnis pribumi maupun tentara untuk menjalankan bisnis yang ada.
2. PP 10/1959: Usaha Tentara Memberangus PKI dan Bisnis Tionghoa
Sejak Presiden Presiden Soekarno menyetujui adanya Undang-Undang Keadaan
Bahaya pada tahun 1957, peran dan kedudukan militer menjadi sangat kuat. Hal ini,
seperti yang sudah dipaparkan di bagian sebelumnya, ditandai dengan penguasaan
militer dibidang-bidang politik dan ekonomi. Keberhasilan mereka untuk menumpas
pemberontakan di daerah, Irian Barat dan juga ‘Malayasia’ telah membawa kedudukan
militer sebagai salah satu kekuatan politik di Indonesia. Keadaan semacam ini membawa
politik Indonesia pada dilema-dilema yang harus tetap diwaspadai. Satu sisi peran militer
semakin kuat dan hal tersebut akan membawa ketakutan terhadap pemerintahan yang
bersifat militeristik – seperti yang kuatirkan oleh Presiden Soekarno dalam kasus 17
Oktober 1952 – tetapi pada sisi lain kekuatan militer dibutuhkan untuk menjadi
penyeimbang bagi PKI yang nota bene mendukung keberadaan orang-orang Tionghoa di
Indonesia. Kekuatiran itu juga dilandasakan berdasarkan pengalaman militer di dalam
dua kasus yaitu masalah Irian Barat dan Malaysia. Kecemasan Presiden Soekarno ketika
tentara menjadi suatu kekuatan alternatif bagi politik di Indonesia dapat dilihat dalam
persoalan-persoalan Irian Barat dan Malaysia.
Dalam kasus Irian Barat Presiden Soekarno menginginkan peran militer tidak lagi
dimainkan secara penuh seperti ketika berhasil menumpas PRRI. Kendali akan hal ini
dilakukan dengan membentuk Komando Operasi Tertinggi (KOTI) dengan Presiden
Soekarno menjadi panglima dan wakilnya adalah Nasution serta Ahmad Yani sebagai
kepala stafnya. Perang akan dilakukan di bawah komando Mandala dengan Presiden
195
Soeharto sebagai komandannya. Pada sisi lain pada tahun 1962 Presiden Soekarno
menempatkan Nasution sebagai kepala Staf Angkatan Bersenjata yang secara prinsipil
hanya memainkan peranan koordinasi dan pertahanan sipil saja (Ricklefs, 2005:534). Hal
ini sebagai konsekuensi pertentangan politik di antara keduanya yang berusaha untuk
mencari kekuasaan penuh.
Pada sisi lain konflik Malaysia merupakan persaingan di antara ketiga kekuatan
Internasional Amerika, Uni Soviet dan Cina yang dalam politik dalam negeri terwakili
melalui kepentingan Presiden Soekarno, Militer dan PKI (Ricklefs, 2005:538-539).
Dalam hal ini Amerika ingin mengembalikan hubungan ekonomi dan politik di Indonesia
tetapi juga memiliki kepentingan ekonomi politik dengan Malaysia. Jakarta
menginginkan bantuan Amerika untuk bersekutu menentang Malaysia. Pada sisi lain
perebutan pengaruh di antara Uni Soviet dan Cina terhadap Indonesia memiliki dasar
yang kuat yaitu sama-sama menentang peran Amerika yang anti komunis di Indonesia.
Namun demikian di antara Cina dan Uni Soviet terjadi perpecahan yang sangat serius.
Hal ini karena Cina mencurigai terjadi konspirasi di antara Amerika dan Uni Soviet
mengenai persenjataan nuklir. Oleh karena itu Cina, melalui PKI, menginginkan suatu
kebijakan politik yang kuat untuk mengganyang Malaysia. Tujuan kebijakan ini adalah
agar keputusan membentuk negara Malaysia di gagalkan sehingga Inggris tidak dapat
bergerak dari sana sembari merusak stabilisasi ekonomi dan pengaruh Amerika di
Jakarta. Pada sisi lain, Cina tidak menginginkan perkembangan pesat dari pihak militer
Indonesia yang mendapat bantuan dan dukungan peralatan militer dari Uni Soviet
(Ricklefs, 2005, ibid).
196
Konfrontasi dengan Malayasia juga membawa dampak bagi konflik kepentingan
kekuasaan di antara militer dan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno mengetahui
dengan benar bahwa konflik ini akan meningkatkan semangat revolusioner militer dan
Nasution akan mengambil alih kekuasaan militernya. Namun kemudian Presiden
Soekarno merestrukturisasi KOTI dengan Ahmad Yani tetap menjadi kepala staf tetapi
Nasution tidak menjadi wakil panglima. Peran intelejen dilakukan oleh Subandrio dan
operasi-operasi ditempatkan di bawah seorang perwira angkatan udara serta mobilisasi di
bawah seorang sipil. Sementara itu Presiden Soeharto diberi kedudukan baru pada
KOSTRAD, yang meliputi kesatuan-kesatuan udara, Infantri, unit-unit lapis baja dan
alteleri. Kedudukan ini kemudian membawanya pada “reputasi” ketentaraan yang cakap
(Ricklefs, 2005:540).
Sementara itu dalam dua kasus di atas PKI menjadi sangat dominan berada di
bawah bayang-bayang Presiden Soekarno. Dalam kasus Irian Barat PKI memanfaatkan
kampanye tersebut untuk menggalang massa dengan jumlah front kaum tani (BTI)
sebesar 5,7 juta orang. Gerwani dan Pemuda Rakyat masing-masing berjumlah 1,5 juta
orang ditambah dengan front intelektual Lekra sebesar 100.000 orang. Kondisi semacam
ini tentu sangat mengkuatirkan golongan anti PKI khususnya tentara. Namun demikian
PKI sangat menyadari akan kelemahaannya secara politik bahwa PKI tidak bisa
memainkan peran sentral tanpa dukungan penuh dari Presiden Soekarno. Oleh karena itu
dukungan sepenuhnya diarahkan kepada Seokarno dengan afiliasinya ke Uni Soviet dan
Cina sebagai negara Blok Komunis. Dalam kasus Malaysia PKI memainkan peran yang
sangat menonjol yaitu dengan cara membawa para anggota-anggotanya berdemostrasi
secara besar-besaran menentang Malaysia. Pembakaran kedutaan besar Inggris dan
197
Malaysia terjadi secara massif. Dan pada tanggal 17 September Malaysia memutuskan
hubungan diplomatik dengan Indonesia. Demikian juga dengan Indonesia yang hanya
dalam waktu empat hari juga memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Hal
ini sangat tidak menyenangkan Amerika yang memiliki kepentingan ekonomi politik di
Indonesia dan Malaysia. Akibatnya Amerika menggagalkan rencana perbaikan ekonomi
di Indonesia. Namun Cina dan Uni Soviet mendukung kebijakan ini.
Suasana politik di atas sebenarnya merupakan suasana polititk yang sangat
dominan di masa Demokrasi Terpimpin. Kebijakan PP 10/1959 juga dapat dipahami
sebagai sebuah kekuatan tarik menarik diantara kepentingan Militer dan PKI. Bagi
Militer keterlibatan Kuomintang / Taipeh di dalam pergolakan daerah tahun 1958 di
Sumatra dan munculmya sintimen di Sulawesi terhadap pusat telah menyulut semakin
besarnya api anti Tionghoa di Indonesia. Hal ini kemudian diikuti dengan penutupan
sejumlah sekolah dan perusahaan-perusahaan yang ada hubungannya dengan
Kuomintang. Skinner mengungkapkan bahwa semua organisasi yang berkaitan dengan
Kuomintang dilarang dan dengan demikian sebagai kekuatan politik Kuomintang dapat
dikatakan lemah (Tan, 1979:23). Dalam konteks inilah juga dapat dipahami munculnya
sentimen anti Tionghoa kemudian terjadi sampai dimunculkannya PP 10/1959.
Pada sisi lain gerakan anti Tionghoa sebenarnya juga dapat dipahami sebagai
sentimen terhadap PKI yang sangat cenderung ‘membela’ kedudukan orang Tionghoa di
Indonesia. Hal ini diungkapkan bahwa musuh orang Indonesia adalah kapitalis Barat,
bukan pedagang kecil Tionghoa (Suryadinata, 1982:186). Pernyataan ini tentu mendapat
dukungan dari Peking yang senantiasa mendukung keberadaan orang Tionghoa di
Indonesia. Bagi PKI mendukung keberadaan orang Tionghoa merupakan poin tersendiri
198
bagi hubungan PKI dan Peking karena konstelasi politik internasional yang pada saat itu
terpecah pada tiga aras yaitu Amerika, Soviet dan RRC. Semangat anti kapitalisme barat
yang selama ini dicanangkan oleh Presiden Soekarno merupakan isu utama di dalam
menciptakan hubungan harmonis atara Indonesia dan RRC. Hal ini secara langsung
menunjukan bahwa Indonesia berada pada satu poros yaitu poros anti Barat / Amerika,
atau pro Peking. Kondisi demikian bagi militer tentu sangat dilematis. Pada satu sisi
militer memiliki trauma terhadap PKI tetapi pada sisi lain juga harus tetap berada di
dalam lingkaran kekuasaan bersama Presiden Soekarno yang nota bene sangat
mendukung keberadaan PKI.
3. Sikap Oportunis dan Otoriter Presiden Soekarno dalam Kebijakan PP
10/1959
Secara prinsip Presiden Soekarno sebenarnya tidak terlalu bersimpati terhadap
kebijakan ini. Dikatakan bahwa ia memarahi Rahmat atas kebijakan yang diambil
tersebut. Namun bagi Presiden Soekarno tidak ada pilihan lain untuk tetap
mempertahankan posisi politisnya di tengah-tengah kuatnya isu nasionalisasi pada saat
itu (Mackie, 1976:85). Namun demikian posisi Presiden Soekarno yang demikian tidak
sepenuhnya dapat dikatakan mendukung akan kebijakan tersebut. Hal itu tentu sangat
dipengaruhi oleh kondisi politik pada saat itu – tidak saja di dalam negeri tetapi juga
politik luar negeri khusunya hubungan dengan Peking.
Dalam politik Luar Negeri, meskipun dikatakan bahwa Presiden Soekarno tidak
terpengaruh terhadap tekanan yang dilakukan oleh Peking atas kasus-kasus yang muncul
dari implementasi kebijakan PP 10/1959 (Mackie, 1976:186), namun jelas terlihat bahwa
kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan dari Presiden Soekarno sangat besar
199
didukung – salah satunya - oleh Peking. Hal ini sekaligus menandai konflik psikologis
yang semakin tajam di antara Presiden Soekarno dan militer yang berafiliasi ke Uni
Soviet dan bukan ke pada RRC. Bagi Presiden Soekarno kekuatan “modal asing
domestik” yang dimiliki oleh pengusaha Tionghoa tersebut adalah sebagai dana dan
sebuah kekuatan progresif (Coppel, 1994::85). Oleh sebab itu meskipun borjuasi asing
tersebut meliputi orang Tionghoa yang ada di Indonesia tetapi – demikian pembelaan PKI
terhadap pengusaha Tionghoa – modal tersebut tidak di transfer keluar negeri melainkan
tetap berputar di dalam perekonomian nasional.
Pada sisi lain Peking juga tidak memiliki pilihan lain dalam bersekutu karena Soviet
sangat mempengaruhi di dalam tubuh militer di Indonesia. Oleh sebab itu kecaman
terhadap pemerintah Indonesia dan Presiden Soekarno tidak dilakukan secara gencar
kembali. Meskipun nantinya terjadi gelombang anti Cina pada tahun 1963 tetapi hal
tersebut tidak menyurutkan hubungan Indonesia dan Cina, khususnya dalam
mempertahankan peran Presiden Soekarno di dalam kekuasaannya. Poros Jakarta -
Peking yang dibangun oleh Presiden Soekarno menandakan dengan jelas bahwa
hubungan diplomatik antara RRC dan Indonesia semakin kuat. Coppel (1994)
mengatakan bahwa hubungan tersebut mengarah pada dimensi akomodasi politik
hubungan RRC dan Indonesia. Kebijakan luar negeri Indonesia atas dasar persamaan ide
untuk melawan kolonialisme barat terwujud di dalam konfrontasi dengan Malaysia.
Terdapat kesamaan kepentingan di antara Indonesia dan RRC dalam hal ini kepentingan
Presiden Soekarno untuk mewujudkan sebuah New Emerging Forces. Selanjutnya bahwa
dominannya SPresiden Soekarno terhadap perumusan kebijakan luar negeri Indonesia
telah menciptakan keadaan yang anti kritik yang ada di dalam kehidupan masyarakat
200
maupun politik. Tidak ada yang berani secara terbuka mengemukakan kritiknya
mengenai konfrontasi dengan Malaysia atau kampanye anti Nekolim. Hal ini karena
begitu kuatnya cengkraman Presiden Soekarno atas nama retooling dan juga atas
kepentingan politik bersama dengan RRC. Era selanjutnya menunjukan bahwa hubungan
RRC dan Indonesia menjadi sangat mesra dan dengan demikian kedudukan orang
Tionghoa di Indonesia juga mengalami perubahan secara mendasar. Peking, atas dasar
kepentingan politiknya di Indonesia, mendorong agar orang-orang Tionghoa di Indonesia
dapat menerima kewarganegaan Indonesia serta menyerukan mereka untuk lebih rendah
hati berhubungan dengan kaum pribumi. Sambil meminta kepada orang Tionghoa
perantauan untuk menghilangkan sikap ‘sovinisme negara besar’ (ta-kuo-sha-wen chui-I).
Pada sisi lain pejabat RRC menghimbau warga negaranya untuk membantu
perkembangan perekonomian nasional Indonesia dengan jalan mengalihkan usaha
mereka dari sektor perdagangan ke sektor industri. Pada masa ini juga orang Tionghoa
diminta untuk berintegrasi dengan masyarakat setempat untuk menghindarkan
perselisihan (Suryadinata, 1982:188).
Berkaitan dengan proses akomodasi Tionghoa Indonesia ada dua kebijakan
menonjol yang dirumuskan pada era ini. Pertama adalah pembentukan Baperki (Badan
permusyawaratan kewarganegaraan Indonesia) pada tahun 1954 (Suryadinata,
2002:19,27,45-50). Tujuan dari pembentukan badan ini adalah untuk mengatasi persoalan
di kalangan masyarakat Tionghoa mengenai isu asimilasi dan integrasi. Isu asimilasi
menghendaki peleburan kultural dari orang-orang Tionghoa menjadi bagian dari dari
masyarakat masyarakat Indonesia. Sedang isu integrasi adalah menempatkan identitas
Tionghoa sebagai salah satu bagian dari suku yang ada di Indonesia. Baperki merupakan
201
wadah dimana isu mengenai integrasi menjadi dasar utama di dalam pembentukannya.
Organisasi ini merupakan peleburan dari organisasi PDTI (Partai Demokrat Tionghoa
Indonesia) yang beraliran nasionalis. Baperki kemudian menjadi sebuah partai politik
yang bersifat kekiri-kirian dan sedikit eklusif dan mendukung sepenuhnya kebijakan
Presiden Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945. Dengan demikian dalam
beberapa hal Baperki sering dirangkul oleh Presiden Soekarno tetapi pada sisi lain sering
juga diabaikan. Hal ini karena isu asimilasi ternyata menjadi isu utama dalam mengatasi
masalah Tionghoa di Indonesia. Keterlibatan Baperki -- dan beberapa pimpinan-
pimpinannya -- dalam G/30/S-PKI telah menempatkan organisasi ini dalam posisi yang
sulit bahkan dibubarkan. Isu asimilasi akhirnya menjadi isu utama. Di bawah payung
LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa) yang dibentuk oleh pemerintah (melalui
Kepres 140/1963), organisasi ini menjadi tangan yang kuat untuk menampung masalah
Tionghoa di Indonesia. Junus Junus Yahya mengatakan bahwa organisasi ini juga
akhirnya dibubarkan dan persoalan Tionghoa berada langsung di bawah Departemen
Dalam Negeri (Greif, 1991:xii-xvii). Dengan demikian maka persoalan Tionghoa berada
lagi di dalam posisi kekuasaan negara.
Pasca kerusuhan 19632 di berbagai daerah menunjukan dengan jelas bahwa
keberadaan orang Tionghoa mendapatkan posisinya yang ‘stabil’ kembali ditandai
dengan dekatnya hubungan Indoensia dan RRC. Sikap pro-kominis yang dibangun oleh
Presiden Soekarno merupakan faktor utama di dalamnya. Feith (2001:67) mengatakan
bahwa sikap pro-komunis tersebut sebenarnya adalah bagaian dari sikap politik di dalam
negeri Indonesia khususnya dalam hubungan saling melindungi dengan PKI. Hal ini
2 Kerusuhan rasialis terhadap orang Tionghoa yang terjadi selama bulan Maret-Mei 1963 di beberapa
daerah seperti Sukabumi di Cirebon, Palimanan Blambangan, Jombang, Plered, Tegal Pagongan, Slawi,
Bandung, Sumedang, Solo, Bogor, Cipayung, Tasikmalaya, Surabaya, Malang, Medan dan Cianjur.
202
tentu secara langsung menunjukan konflik ideologis yang jelas terhadap tentara.
Pertanyaannya tentu adalah mengapa tentara – yang anti Komunis dan Tionghoa - tidak
dapat melakukan sebuah intervensi politik yang jelas pada saat itu? Faktor utama yang
menghalangi akan hal tersebut adalah kurangnya dukungan masyarakat terhadap tentara
pada saat itu karena sikap borjuis yang dimiliki oleh tentara akibat proses nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing pada saat itu. Sikap ini dikalangan masyarakat dianggap
sebagai sikap yang hanya mau menguntungkan diri sendiri. Dalam bahasa Feith, sikap
materialistik ini telah melemahkan jiwa pembaharu para perwira militer dalam era
Demokrasi Terpimpin. Era tahun 1958-1962, memperlihatkan semakin besarnya rasa
tidak senang rakyat terhadap tentara (Feith, 2001:68).
Namun pada sisi lain keberadaan Presiden Soekarno juga tidak dapat dikatakan
mengalami kemajuan. Hubungan yang kuat dengan RRC pada sisi lain telah
menjadikannya tidak populer bagi kepentingan ekonomi politik di Indonesia. Hal ini
ditandai semakin terpuruknya keadaan ekonomi bangsa Indonesia yang mencapai titik
yang sangat parah. Hubungannya dengan daerah juga semakin memburuk akibat tekanan
yang bersifat represif dalam kasus-kasus pergolakan di daerah. Retakanya hubungan
dengan daerah ini sebenanrnya juga merupakan retaknya hubungan Presiden Soekarno
dengan kelompok Muslim yang sejak awal dianggap menjadi ‘momok’ bagi pergerakan
politiknya. Hal ini ditandai dengan dibubarkannya Masyumi (dan PSI) – yang dituduh
terlibat dalam gerakan ke daerahan. Lumpuhnya gerakan kedaerahan dan gerakan
semakin lemahnya posisi Islam di Indonesia semakin memperkuat posisi Presiden
Soekarno dalam relasinya dengan PKI dan RRC. Pada sisi lain tentara merupakan mitra
203
yang sewaktu-waktu dapat dilemahkan atau dapat menjadi bumerang bagi eksistensi
politiknya.
E. Pemerintahan yang Rasial 1967-1997 (Era Orde Baru)
Kebijakan-kebijakan rasialis terhadap orang Tionghoa mencapai puncaknya pada
era pemerintahan Orde Baru hal ini terjadi sebagai akibat dari politik stabilisasi yang
meliputi berbagai bidang kehidupan. Politik stabilisasi ini bukan saja berkaitan dengan
persoalan ekonomi pembangunan tetapi juga terkait serat dengan persoalan politik
khususny yang berkaitan dengan masalah Tionghoa. Beberapa kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah di awal masa pemerintahan Orde Baru adalah :
1. SE. 02/SE/Ditjen/PPG/K/1968 mengenai Larangan Penerbitan dan Percetakan
Tulisan/Iklan Beraksara dan Berbahasa Cina
2. Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat-istiadat
Cina
3. Instruksi Mendagri No. 455.2-360 Tahun 1968 tentang Penataan Klenteng
4. SE Presidium Kabinet RI No. SE-06/Pres-Kab/6/1967 mengenai Penggantian Istilah
Tiongkok dan Tionghoa Menjadi Cina
5. Instruksi Presiden No. 37/U/IN/6/1967 mengenai Badan Koordinasi Masalah Cina
(BKMC)
6. Kep. Presidium No. 127/U/Kep/12/1966 mengenai Peraturan Ganti Nama Bagi WNI
Memakai Nama Cina; dan sebagainya.
Pertanyaan mendasar yang penting adalah mengapa pemerintah Orde Baru
mengeluarkan begitu banyak peraturan mengenai orang Tionghoa di Indonesia? Apa
yang melatarbelakangi dikeluarkannya kebijakan-kebijakan tersebut? Hal ini penting
untuk dijawab mengingat bahwa pasca runtuhnya pemerintahan Orde Lama telah
menimbulkan sentimen-sentimen anti Tionghoa yang berkaitan dengan persoalan politik
khususnya dalam kaitannya dengan Komunisme di Indonesia.
204
1. Represifitas Kekuasaan Orde Baru Melalui Politik Asimilasi
Seperti sudah disebutkan bahwa persoalan Tionghoa di Indonesia merupakan
persoalan yang memiliki sejarah yang panjang. Sejarah tersebut telah menciptakan
sebuah pemahaman yang jelas yaitu bahwa masalah ke-Cinaan adalah masalah kongkret
dalam realitas sosial politik di Indonesia. Dengan demikian konsep asimilasi dan integrasi
juga bukan merupakan hal baru dalam persoalan sosial politik di Indonesia.
Asimilasi masyarakat Tionghoa adalah suatu cara dimana diharapkan orang-orang
Tionghoa secara sukarela membaurkan dirinya dengan suku-suku yang ada di Indonesia,
seperti Jawa, Batak, Menado dan lain-lain. Proses ini tentunya diharapkan berjalan secara
alami tanpa adanya suatu paksaan. Pada sisi lain golongan yang mengedepankan konsep
integrasi memahami keberadaan orang Tionghoa di Indonesia sebagai bagian yang utuh
demi Ke-Indonesiaan itu sendiri. Artinya bahwa paham integrasi adalah paham yang
menghendaki orang Tionghoa adalah salah satu dari bagian suku yang ada di Indonesia
sama seperti suku-suku lainnya3.
Dalam sejarahnya golongan ini secara langsung memiliki lembaga-lembaga yang
menjadi aspirasinya. Sejak tahun 1954 kelompok ini mendirikan sebuah organisasi yang
diberi nama Baperki ( Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia). Tujuan
utama pembentukan organisasi ini adalah agar orang Tionghoa memiliki wadah yang
jelas di dalam mengekspresikan kepentingan politiknya. Dalam perjalanannya lembaga
ini lebih banyak berorientasi pada kepentingan politik. Banyak dari tokoh-tokohnya
terlibat secara aktif dalam kegiatan politik-khususnya PKI. Oleh sebab itu lembaga ini
kemudian menjadi lembaga yang bersifat kekiri-kirian. Atau dengan kata lain lembaga
3 Polemik di sekitar persoalan Integrasi dan Asimilasi di era tahun 1960-an dapat dilihat dalam Koran Star
Weekly yang sudah dikumpulkan oleh Junus Jahya dalamm Judul Masalah Tinghoa – Asimilasi Vs
Integrasi, Lembaga Pengkajian Masalah Pembauran, Jakarta, t.t..
205
ini secara aktif terlibat dalam mendukung gerakan PKI. Sampai akhirnya dibubarkan
setelah peristiwa G-30/S PKI dan dianggap sebagai organisasi terlarang.
Dengan dibubarkannya Baperki yang berhaluan integrasi tersebut maka paham
asimilasi menjadi dominan. Paham ini memiliki wadahnya tersendiri yaitu LPKB
(Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa). Melalui hasil musyawarah asimilasi 11-12
Maret 1963 di Jakarta, maka disepakati bahwa lembaga ini dengan Kepres 140/1963-
dijadikan badan resmi pemerintah dibawah Dr Roeslan Abdul Gani selaku Menko
hubungan dengan rakyat. LPKB kemudian secara giat membantu kabinet Ampera untuk
memecahkan masalah-masalah kewarganegaraan, asimilasi dan persoalan-persoalan
Cina. Selanjutnya bahwa proses asimilasi ini sering disebut dengan pembauran.
Pasca G-30S/PKI di Indonesia persoalan etnik Tionghoa mendapatkan perhatian
yang cukup serius dari pemerintah Orde Baru, dengan harapan bahwa kerusuhan-
kerusuhan sosial terhadap etnik Tionghoa tidak terulang kembali. Era pemerintahan Orde
Baru merupakan era yang paling banyak menghasilkan kebijakan-kebijakan yang
berkaitan dengan masalah Tionghoa.
Pertanyaan yang mendasar adalah apakah kebijakan-kebijakan ini dapat secara
langsung mempengaruhi proses pembauran tersebut? Pertanyaan ini tentunya tidak
mudah untuk dijawab. Hal ini karena sejarah telah membuktikan bahwa kerusuhan anti
Cina tetap terjadi pada Orde Baru. Kasus penghancuran toko-toko dan rumah-rumah
warga Tionghoa di Jakarta pada tahun 1974 (peristiwa MALARI), demikian juga yang
terjadi di Solo, Semarang, Kudus di era tahun 1970-1980 menunjukkan dengan jelas
bahwa tetap terdapat sentimen anti Cina pada era Orde Baru. Bahkan menjelang
runtuhnya Orde Baru disekitar bulan Mei 1998, proses penghancuran melalui sentimen
206
anti Tionghoa terjadi secara massif di Jakarta, Solo dan beberapa kota lainnya. Banyak
kasus-kasus tersebut bermula dari persoalan yang sepele, seperti kasus di Solo –
Semarang pada tahun 1980 (Siswoyo, 1981).
Jika persoalan-persoalan kecil tersebut dapat menghasilkan kerusuhan yang besar
maka pertanyaannya tentu adalah mengapa hal tersebut dapat terjadi dan bagaimana
hubungannya dengan proses asimilasi? Hal yang harus dipahami adalah bahwa sejarah
kebijakan asimilasi di Indonesia - khususnya pada masa Orde Baru dengan segala bentuk
ketetapan pemerintah - bukanlah sesuatu yang bersifat natural. Proses asimilasi
cenderung bersifat represif dan memaksa. Sifat asimilasi yang rasionalistik ini dengan
melihat kasus yang terjadi di beberapa daerah- secara jelas menunjukkan bahwa
kebijakan-kebijakan tersebut masih sangat rentan akan konflik. Dengan kata lain
kebijakan ini belum mampu secara maksimal mengakomodasikan segala persoalan yang
berhubungan dengan masalah hubungan pribumi dengan keturunan Tionghoa di
Indonesia.
2. Militer Mengatur Kebijakan Ganti Nama dan Larangan Penerbitan dan
Percetakan Aksara Cina (Keputusan Presidium No.12/U/Kep/12/1966 dan Surat
Edaran 02/SE/Ditjen/PPG/K/1968)
Masalah ganti nama dan pelarangan penerbitan dan percetakan aksara Cina erat
kaitannya dengan keterlibatan militer di Indonesia. Mengapa demikian? Hal ini tidak
dapat dilepaskan dari peran militer di dalam sejarah menumpas pengaruh komunisme di
Indonesia pada tahun 1965, selanjutnya telah memberikan Angkatan Darat kedudukan
penting di panggung politik Orde Baru. Angkatan Darat telah menempatkan dirinya
sebagai salah satu penyangga kekuatan politik Orde Baru. Dengan mengedepankan
207
politik stabilitas, Angkatan Darat mengambil bagian yang utuh dalam mengatasi
masalah-masalah yang dihadapi pemerintahan yang baru pada saat itu.
Stabilitas merupakan sebuah kata kunci bagi politik Orde Baru. Stabilitas tidak
saja mengandung arti stabil, tertata rapi, anti konflik, selaras, tetapi lebih dari pada itu
mengandung makna ketertiban (Elson, 2001:146)4. Dalam pidato-pidato kenegaraan kata
stabilitas nasional telah menjadi salah satu kata kunci yang selalu diucapkan oleh
Presiden Soeharto. Dalam pidato pada tanggal 16 Agustus 1973 Presiden Soeharto
mengungkapkan bahwa untuk mencapai tiga sasaran pokok yaitu tersedianya sandang
pangan cukup dengan mutu yang baik dan terbeli oleh rakyat, peningkatan kesejahteraan
lahir batin yang merata dan kedudukan terhormat di mata Internasioanl, maka Presiden
Presiden Soeharto (1985) menetapkan tujuh tugas pokok yang perlu digarap pada waktu
itu yang semuanya didasarkan pada konsep stabilitas:
Pertama : Memelihara dan meningkatkan stabilitas politik
Kedua : Memelihara dan meningkatkan stabilitas keamanan dan ketertiban
Ketiga : Memelihara dan meningkatkan stabilitas ekonomi
Keempat : Menyelesaikan Repelita I dan selanjutnya menyiapkan dan melaksanakan
Repelita II
Kelima : Meningkatakan kesejahteraan rakyat
Keenam : Meneningkatkan penertiban dan pendayagunaan aparatur negara
Ketujuh : Menyelenggarakan Pemilu selambatnya akhir tahun 1977
Dari tujuh tugas pokok tersebut di atas tampak dengan jelas hampir secara
keseluruhan berorientasi pada konsep stabilitas nasional. Artinya bahwa dalam era ini
4 Dalam dimensi ketertiban sejarah awal Orde Baru ditandai dengan dibentuknya lembaga Kopkamtib yang
dianggap sebagai lembaga yang paling menindas dan menakutkan pada masa rezim tersebut, yang dapat campur
tangan pada aktivitas setiap organisasi dan menagkap dengan semena-mena. Kekuatan khusus yang dimiliki
Kopkamptib memberi kuasa komandan AD daerah untuk menagkap tanpa surat pemrintah, menanyai serta
menahan tanpa jangka waktu jelas, orang-orang yang perilakunya mencurigakan dan merugikan
keamanan…bagi Presiden Soeharto tidak ada alternatif lain selain bertindak dengan cara itu, mengingat adanya
gejolak sosial politik dan munculnya ketidakpastian mengenai loyalitas dan kontrol politik, serta
keengganannya – yang bisa dimengerti – untuk menggunakan mesin institusional Orde Lama.
208
peningkatan stabilitas nasional demi untuk pembangunan bangsa secara nyata menjadi
sangat jelas dalam perpolitikan di Indonesia.
Berkaitan dengan peran militer dalam menjaga stabilitas maka selanjutnya Presiden
Soeharto mengatakan bahwa untuk melaksanakan hal-hal tersebut di atas maka
diperlukan kebijaksanaan untuk melakukan penertiban di segala bidang. Dalam pidatonya
Presiden Soeharto memfokuskan penertiban yang pertama adalah kepada tertib politik.
Tertib politik ini mempunyai arti bahwa semua komponen sosil politik di Indonesia harus
menciptakan kehidupan politik yang tertib, kehidupan politik yang sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945, kehidupan politik yang demokratis dan konstitusional sesuai
dan dijiwai oleh Pancasila dan UUD 1945 (Presiden Presiden Soeharto, 1985:58-59).
Dalam kerangka stabilitas yang mengacu pada ketertiban di segala bidang tersebut
Presiden Soeharto dengan tegas menjelaskan juga fungsi ABRI di dalamnya. Dengan
mengacu pada kelahiran dan sejarah perkembangan ABRI, Presiden Presiden Soeharto
(1985:ibid) menegaskan:
“ABRI lahir dan tumbuh dengan kesadarannya untuk melahirkan
kemerdekaan,membela kemerdekaan dan mengisi kemerdekaan. ABRI bukan
semata-mata angakatan senjata bayaran, ABRI adalah juga pengisi
kemerdekaan; ABRI juga berhak dan merasa wajib ikut menentukan haluan
negara dan jalannya pemerintahan. Inilah sebab pokok, mengapa ABRI
mempunyai dua fungsi: yaitu sebagai alat negara dan sebagai golongan karya.
Nanti kapanpun juga ABRI terus siap siaga untuk mencegah kembalinya Orde
Lama; terus siap siaga mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 dari siapapun
dan dari manapun bahaya itu akan datang”.
Dalam konteks inilah kemudian sejarah membuktikan bahwa peran stabilitas
nasional tidak bisa dilepaskan dari peran ABRI sebagai pendukung utamanya. Sudah
barang tentu muncul berbagai persoalan di dalamnya. Presiden Soeharto dengan cara ini
memperlihatkan kepada lawan-lawannya politiknya bahwa stabilitas nasional adalah hal
209
penting untuk membangun kembali Indonesia. Hal-hal yang bertentangan dengan
stabilitas tersebut akan secara langsung berhadapan dengan negara dalam hal ini tentu
ABRI. Hal ini kemudian dapat dipahami bahwa dalam politik stabilitas peran ABRI
menjadi sangat besar.
Memang terdapat konflik yang tajam mengenai peranan militer dalam negara.
Diskursus yang tajam antara kelompok yang setuju dan tidak setuju mencerminkan belum
sepenuhnya peran militer dapat diterima begitu saja oleh masyarakat. Ketakutan-
ketakutan bahwa militer akan menjadi kekuatan politik merupakan alasan utama akan hal
tersebut. Namun demikian secara politis Presiden Soeharto tetap memberikan peluang
yang besar bagi jalannya ketertiban, melalui militer, yang menjadi dasar stabilitas.
Dengan demikian posisi ABRI dalam suatu kutub politik yang jelas yaitu menjadi
pendukung utama Orde Baru.
Besarnya peran militer di dalam stabilitas ini juga sangat tampak dalam memutuskan
beberapa kebijakan-kebijakan yang terkait dengan masalah Tionghoa. Dalam seminar
Angkatan Darat II tahun 1966 di Bandung diputuskan untuk mengganti istilah Tionghoa
menjadi Cina. Bahkan Coppel mengatakan bahwa dalam seminar itu sekelompok
Jenderal ingin agar seminar itu mengajukan usul anti Tionghoa yang lebih kongkret,
tetapi keinginan itu ditentang oleh para ahli ekonomi sipil atas dasar bahwa keinginan
terebut akan membahayakan program stabilisasi ekonomi dari kabinet yang baru (Coppel,
1994:176-177).
Pertengahan tahun 1967 dibentuk sebuah Panitia Negara Perumus Kebijaksanaan
Penyelesaian Masalah Cina mengeluarkan beberapa rekomendasi khususnya tentang
pembentukan lembaga khusus untuk masalah Tionghoa. Rekomendasi ini oleh
210
pemerintah kemudian dilanjutkan dengan membentuk beberapa pengawas etnis Tionghoa
seperti BKUT (Badan Kontak Urusan Tjina) dan SCUT ( Staf Chusus Urusan Tjina)
menandakan awal dari dimulainya pengawasan terhadap etnis Tionghoa. Dalam
implementasinya BKUT berada dibawah Staf KOTI G-5. Oleh sebab itu tugas BKUT
adalah membantu ketua KOTI dalam mempersatukan pendapat dikalangan masyarakat
Tionghoa, membina dan memupuk jiwa kesatuan, dan menjadi alat penghubung antara
pemerintah dengan masyarakat Tionghoa (Coppel, 1994; Suryamenggolo, tt).
Era tahun 70-80 keberadaan lembaga-lembaga tersebut kemudian banyak diubah.
SCUT kemudian diganti dengan BKMC – Bakin. Lembaga ini muncul dengan tugas yang
lebih khusus yaitu menyangkut masalah kewarganegaraan dan pendidikan etnis
Tionghoa. Begitu juga dengan lembaga lain seperti Bakom PKB yang merupakan
pengganti dari LPKB. Tugas pokok dari BKMC – Bakin ini hampir sama dengan tugas
SCUT. Begitu juga halnya tugas Bakom PKB hampir sama dengan tugas LPKB. Hal
yang penting dipahami adalah kedua lembaga ini berada di bawah “lembaga” besar yang
menjadi pendukung utama Orde Baru yaitu Militer dan Departemen Dalam Negeri. Hal
ini tentu menjadi dasar yang kuat untuk mengatakan bahwa persoalan Cina di Indonesia
adalah berkaitan dengan tatanan stabilitas khususnya mengenai keamanan (Tugas
BKMC-Bakin) (Suryamenggolo, tt.:140-147). Keamanan di sini lebih pada dimensi
ideologis dimana kekuatiran mengenai munculnya kembali paham komunisme
merupakan trauma bagi pemerintah Orde Baru, khusunya di kalangan militer.
Masalah ganti nama merupakan sebuah usaha untuk menciptakan asimilasi di
Indonesia. Kebijakan tentang hal ini tidak saja muncul pada pemerintah Orde Baru tetapi
pada tahun 1961 sudah terdapat UU No.4/1961 yang mengatur persoalan ganti nama ini.
211
Namun demikian pada waktu itu gaung mengenai persoalan ganti nama tidak sebesar
yang terjadi ketika pemerintah Orde Baru menjalankannya melalui Keputusan Presidium
No.37/1967. Mengaoa demikian? Hal ini tidak dapat dilepasakan dari konstelasi politik
yang terjadi pada saat itu.
Pasca gagalnya pemberontakan PKI telah menempatkan posisi orang Tionghoa
dalam keadaan yang sulit. Selain itu tuduhan bahwa orang Tionghoa adalah komunis
semakin mempertegas kedudukan tersebut. Hal ini karena sejak saat itu usaha-usaha
untuk memberantas unsur-unsur komunisme di Indonesia sangat gencar. Hal itu berarti
juga tertuju pada keberadaan orang Tionghoa yang nota bene dituduh sebagai orang
komunis. Oleh karenanya tekanan yang kuat secara sosial dan politik terjadi bagi hampir
sebagian besar orang Tionghoa di Indonesia. Sementara itu, konflik yang terjadi antara
Baperki dan LPKB secara politis “dimenangkan” oleh LPKB yang mengusung program
asimilasi secara kuat. Baperki yang secara politik telah terlibat dengan kegiatan PKI
dibubarkan dan itu berarti keterwakilan orang Tionghoa lebih dominan dimainkan oleh
LPKB. Sepeti diketahui bahwa perbedaan mendasar dari kedua golongan ini adalah pada
ide LPKB tentang asimilasi – yang mengutamakan pembauran secara utuh – dan Baperki
yang mengutamakan peran integrasi - yang mengutamakan pengakuan terhadap
eksistensi orang Tionghoa secara utuh.
Keterlibatan Baperki dengan komunisme secara langsung telah memberikan
posisi pemerintah untuk menegmabangkan secara politis ide asimilasi yang didukung
oleh LPKB. Artinya bahwa setiap orang Tionghoa harus mengikuti ide asimilasi ini.
Persoalan yang muncul adalah bahwa ide asimilasi ini kemudian menjadi dasar politik
bagi usaha mengatur mengenai orang Tionghoa di Indonesia.
212
Pada tanggal 27 Desember 1966 Presidium Kabinet menetapkan suatu keputusan
ganti nama dengan alasan:
- Bahwa dalam rangka pemberntukan danmenciptakan karakter bangsa Indonesia,
proses asimilasi wargan egara Indonesia “keturunan asing” ke dalam tubuh bangsa
Indonesia harus dipercepat
- Bahwa pergantia nanma dari orang Tionghoa keturunan asing dengan nama yang
sesuai dengan nama “asli” Indonesia akan dapatmendorong usaha asimilasi tersbut.
- Bahwa olehkarena itu bagi warga Indonesia yang masih memakai nama Cina, yang
ingin mengubah namanya yang sesuai dengan nama Indonesia asli perlu diberikan
fasilitas yang seluas-luasnya dengan diadakan prosedur yang kusus5.
Kebijakan ini kemudian mendapatkan reaksi yang keras dari berbagai kalangan.
Salah satu yang menentang diadakannya kebijakan penggantian nama ini adalah Yap
Thiam Hien. Dalam tulisan-tulisannya di Harian Sinar Harapan Yap secara tegas tidak
setuju dengan kebijakan penggantian nama ini (Sinar Harapan, 25-27 Januari 1967). Ia
mneyatakan bahwa kegairahan untuk menggantinama lebih disebabkan oleh sikap
oportunisme. Ia mengecam adanya sikap mencari keselamatan dan kesejahteraan diri bagi
mereka dan anak-anaknya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa (Indonesian Observer, 9
Februari 1967):
“hiruk-pikuk itu hanyalah merupakan rasionalisasi dari ketakutan belaka dan
kekuatiran mendalam dari orang yang butuh perlindungan terhadap teror rasisme
dan fasisme”.
Selain itu terdapat kekuatiran berkaitan dengan masalah ganti nama adalah
besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk hal tersebut. Hal inikemudian terbukti dari
begitu banyaknya pungutan-pungutan liar yang berkaitan dengan kebijakan tersebut.
Dengan kata lain perubahan ganti nama tidak saja merubahnama secara sederhana tetapi
juga terkait dengan berbagai macam perubahan dokumen-dokumen dari orang yang
bersangkutan. Bahkan dalam biaya resmi yang telah ditetapkan dalam peraturan sebesar
5 Keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/KEP/12/1966 bagian Mengingat.
213
Rp.25,- dianggap tidak dapat menyelesaikan prsoalan administrasi yang ada. Sehingga
Mentri Dalam Negeri kembali menetapkan biaya sebesar Rp. 75,- yang berakibat pada
tingginya biaya tambahan tak terduga di dalam implementasinya (Coppel, 1994:214).
Persoalan ganti nama orang Tionghoa juga lebih didominasi oleh kepentingan
politis khususnya dari aspek kepentingan politik keamanan. Kaitan ganti nama ini dengan
dengan politik keamanan dapat dilihat dalam implementasi kebijakan ini. Coppel (1994)
dalam analisisnya tentang masalah ganti nama di Jawa Timur menjelaskan bahwa
terdapat masalah yang rumit ketika penangan masalah ganti nama ini dilakukan oleh
institusi militer di Jawa Timur.
Selain itu juga kaitan masalah ganti nama ini juga diikuti dengan penataan
terhadap masalah kultural yang berkaitan dengan pelarangan terhadap huruf atau aksara
Tionghoa. Coopel (1994:207-215) menulis bahwa di Jawa Timur sebagain besar
Klenteng-Klenteng yang ada di sana diwajibkan untuk menghapus atau menghilangkan
tanda-tanda yang berbau ke-Tionghoaan dan menyerukan agar tanda-tanda terebut
dikembalikan kepada aslinya. Konsekuensi akan hal ini terkait juga pada akhirnya
terhadap larangan penerbitan surat kabra dalam bahasa Tinghoa yang sebenarnya sudah
dimulai sejak April 1958 ketika Kepala Staf Angkatan Darat A.H. Nasution
mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa emua surat kabar yang terbit dengan
aksara selain Latin dan Arab harus ditutup. Surat kabar-surat kabar tersebut akan
diperbolehkan terbit ika menggunakan bahasa Indonesia. Adapun alasan pemerintah yang
paling utama terhadap kebijakan pelarangan aksara Tionghoa dalampenerbitan surat
kabar adalah membatasi penggunaaan bahasa yang tidak dapat dipahami oleh rakyat
Indonesia (Suryadinata, 1984:168).
214
Di atas telah dikatakan bahwa persoalan ganti nama dan pelarangan aksara
Tionghoa ini dalam implementasinya tidak bisa dilepaskan dari peran militer yang begitu
kuat di dalamnya. Peraturan-peraturan mengenai etnis Tionghoa sendiri sebenarnya
memiliki bias ketika diimplementasikan di daerah-daerah. Dengan kata lain bahwa peran
pejabat militer daerah menjadi sangat dominan di tengah-tengah suasan politik negara
yang sedang dalan tahap konsolidasi. Seperti yang terjadi di Jawa Timur, dimana
Papelrada Jawa Timur Mayor Jendral Sumitro melakukan suatu tangkaian peraturan tegas
yang berkaitan dengan kebijakan umum mengenai etnik Tionghoa. Kebijakan-kebijakan
seperti ganti nama, pelarangan aksara Tionghoa, pelarangan terhadap orang Tionghoa
asing melaukan perdagangan besar di kota-kota lain di propinsi itu selain di Surabaya,
pajak per kepala sebesar Rp. 2500 kepada Tionghoa asing yang tinggal di propinsi itu,
dan beberapa kebijakan daerah yang lainnya, telah menimbulkan keresahan bagi
kebanyakan orang Tionghoa di Jawa Timur.
Pertanyaannya tentu adalah mengapa peran militer menjadi sangat besar di dalam
proses impelmentasi kebijakan ganti nama ini? Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari
kondisi politik yang terjadi pada saat itu dimana tarauma komunisme yang begitu tinggi
telah mempengaruhi kebijakan-kebijakan permeirntah pusat dan daerah. Pemerintah
dalam hal ini militer merupakan salah satu elemen yang sangat berperan di dalam usaha
menumpas gerakan PKI. Sementara itu keterlibatan Tiongkok di dalam pengaruhnya
terhadap gerakan PKI di Indonesia secara lagsung dikaitkan dengan keberadaan
eksistensi orang Tionghoa di Indonesia. Dengan demikian tampak dengan jelas bahwa
kebijaka-kebijakan yang demikian telah membawa dampak yang begitu terhadap
215
eksistensi orang Tionghoa yang tidak terlibat secara langsung dengan gerakan
komunisme di Indoensia.
Hal-hal yang sama juga terjadi di beberapa daerah seperti Aceh, Medan, Sumatra
Barat, Jambi, Lampung, Makasar, Kalimantan Barat, dimana implementasi kebijakan-
kebijakan rasialis tersebut berkaitan secara langsung dengan kelembagaan militer dari
tingkat desa (koramil) hingga tingkat propinsi (Kodam).
3. Mengambil Keuntungan Ekonomi dengan Mengatur Adat dan Kepercayaan
Orang Tionghoa (Instruksi Presiden No.14/1967)
Dalam kaitannya dengan kebijakan Tionghoa pemerintah Orde Baru juga
mengeluarkan sebuah peraturan yang berkaitan dengan adat dan kepercayaan orang
Tionghoa. Pada bulan Desember 1967 dikeluarkan Peraturan Presiden / Instruksi
Presiden Republik Indonesia No. 14/1967 yang menyatakan bahwa:
“…agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina (di Indonesia) yang berasal dari
tanah leluhur mereka dengan berbagai manifestasinya mungkin dapat
menimbulkan pemngaruh yang tidak wajar terhadap kejiwaan, mentalitas dan
moralitas warga negara Indonesia dan karenanya menghambat jalan asimilasi
secara wajar…”
Konsekuensi akan hal ini adalah bahwa adat dan kebudayaan mansyarakat
Tionghoa hanya dapat dilakukan berdasarkan kepentingan yang bersifat pribadi dan
dilakukan hanya dilingkungan keluarga saja. Berkaitan dengan perayaan hari-hari besar
Tionghoa maka hal itu disarankan agar tidak dilakukan secara menyolok dan jika
memungkinkan tidak dilakukan ditempat-tempat yang ramai. Meskipun pada kahirnya
pada tahun 1969 melalui UU No. 5/1969 agama Buddha dan Konghucu diakui sebagai
agama resmi negara namun dalam kenyataannya – khususnya bagi agama Konghucu –
tidak dapat melakukan kegiatannya secara leluasa. Pertanyaannya tentu adalah mengapa
216
pemerintah Orde Baru pada akhirnya meresmikan agama Budhha dan Konghucu sebagai
agama resmi negara padahal pada sisi lain menghambat berkembangnya kedua agama ini.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari tujuan negara untuk mempertegas posisi Indonesia
sebagai negara yang mengakui adanya Tuhan yang Esa yang mana dengan cara itu
menunjukan bahwa komunsime – yang dianggap ateis - tidak memiliki tempat di
Indonesia. Mempertegas apa yang dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1965
dimana sebagai Presiden Republik Indonesia mengumumkan bahwa karena dasar negara
Indonesia adalah Pancasila – khususnya Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa – maka
diharapkan warga negara Indonesia memeluk salah satu agama resmi yang telah
ditetapkan oleh pemerintah. Apa yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru tampaknya
juga mengacu kepada hal tersebut. Hal ini kemudian jelas tampak pada identitas Kartu
Tanda Penduduk yang menegaskan bahwa setiap warga negara harus mencantumkan
agamanya. Namun demikian sejarah menunjukan bahwa perkembangan kedua agama ini
tidak dapat berkembang secara baik di Indonesia. Beberapa hal dapat menjelaskan
masalah ini. Pertama, bahwa bahwa perkembangan sosiologis masyarakat Tionghoa telah
mengalami perubahan dalam kaitannya dengan pilihan keyakinan. Hal ini terjadi sebagai
akibat dari keberadaan orang Tiongohoa yang telah sekian lama dan turun-temurun telah
berada di Indonesia sehingga telah menyebakan terputusnya hubungan yang kuat dengan
leluhurnya di Tiongkok. Akibatnya pilihan keyakinan lebih terorientasi pada agama-
agama yang mayoritas di Indonesia khususnya Kristen dan Katolik. Kedua adanya
tekanan-tekanan politis yang begitu kuat terhadap orang Tionghoa di Indonesia berkaitan
dengan komunsime menyebabkan pilihan keyakinan lebih diorientasikan kepada agama-
agama yang dianggap tidak memiliki kaitan secara kulutral dan historis dengan
217
Tiongkok. Ketiga, dengan ditutupnya sekolah-sekolah berlatar belakang Tionghoa pada
tahun 1965-1966 secara langsung telah memutus mata rantai hubungan kultural antara
kebudayaan dan adat istiadat Cina di Indonesia. Akibatnya anak-anak Tionghoa lebih
banyak masuk ke sekolah-sekolah yang memiliki latar belakang Katolik dan Protestan
(Coppel, 1994). Data di bawah ini memberikan kesan bahwa porsentase pilihan orang
Tionghoa menganut agama Katolik menjadi sangat besar dari tahun 1957 – 1969.
Keempat, terjadinya perkawinan campur di antara orang Tionghoa dan orang
pribumi semakin mengikis kebudayaan dan adat istiadat Tionghoa di Indonesia. Jika di
atas dijelaskan bagaimana pilihan keyakinan kaum keturunan lebih banyak pada agama
Katolik dan Protestan, namun dalam kasus di Madura – melalui pernikahan maka
terdapat sekian banyak orang Tionghoa keturunan yang memilih keyakinan beragama
Islam. Selain itu didukung oleh semakin banyaknya Persatuan Islam Tionghoa
diperkirakan pada tahun 1970 –an terdapat kurang lebih 100.000 orang Tionghoa yang
beragama Islam (Merdeka, 25 September 1970).
Dari keempat faktor umum di atas tampak dengan jelas bahwa kebijakan yang
dikeluarkan oleh pemerintah Orde Baru yang berkaitan dengan adat dan kebudayaan
masyarakat Tionghoa semakin hari semakin mengikis kebudayaan dan adat istiadat
tersebut dan dengan demikian diharapakan kontrol politis terhadap keberadaan orang
Indonesia dalam kaitannya dengan pengaruh komunisme di Indonesia dapat diatasi pada
awal pemerintahan Orde Baru.
Selanjutnya era tahun 1980 hingga 1990-an kebijakan-kebijakan yang
berkaitan dengan kebudayaan dan adat istiadat Tionghoa juga terlihat dengan jelas. Sejak
tahun 1981 pelarangan dan himbauan terhadap penggunaan bahasa Tionghoa digulirkan
218
dalam rangka menjaga asimilasi politis yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Demikian juga pada tahun 1993 kebijakan yang luar biasa dikeluarkan oleh pemerintah –
dalam hal ini Departemen Agama - dengan merujuk pada SK Jaksa Agung RI No.
29/1979 yang melarang diadakannya hari Raya Imlek. Alasan terhadap pelarangan ini
adalah karena hari Raya Imlek dianggap bukan merupakan hari Raya umat Buddha.
Imlek dianggap hanya sebagai bagian darikebudayaan dan adat istiadat Cina. Bahkan
kemudian pelarangantersebut menyatakan bahwa kegiatan Imlek tidak boleh dilakukan
di Vihara dan juga dilakukan secara menyolok (Suara Pembaruan, 22 Januari, 1993). Hal
ini kemudian diikuti oleh kebijakan daerah khususnya di Ibu Kota Jakarta pada tahun
1996 dimana Gubernur mengeluarkan Surat Keputusan yang jelas-jelas melarang
diadakannya perayaan Tahun Baru Imlek di Jakarta (SK Gubernur No. 4/1996).
Dari uraian singkat di atas terlihat bahwa usaha untuk memarginalisasi
keberadaan orang Tionghoa menjadi sangat kuat. Namun demikian jika era awal orde
Baru tekanan terhadap kebudayaan dan adat istiadat Cina lebih berorientasi pada faktor
politis maka pada era tahun 1980 – 1990-an motif yang muncul adalah lebih pada faktor
ekonomi (politik).
Seperti diketahui bahwa pertengahan tahun 1980 hingga 1990-an persoalan
pembauran ekonomi menjadi hal yang penting pada saat itu. Diharapkan bahwa melalui
pembauran ekonomi ini persoalan kebudayaan dan adat istiadat Cina dapat teratasi.
Tekanan yang dilakukan pada kebudayaan dan adat istiadat Cina ini diharapkan dapat
menekan eksistensi orang Tionghoa yang menguasai perekonomian di Indonesia. Dengan
kata lain pemerintah melakukan suatu berganing power dengan konglomerat Cina agar
ikut ambil bagian dalam pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan dengan cara demikan
219
maka kelonggaran-kelonggaran terhadap kebudayaan dan adat istiadat Cina dapat
diberikan. Usaha pemerintah terhadap hal ini sedikit banyak dapat menekan para
konglomerat untuk ikut serta di dalam sistem pembauran ekonomi. Dengan demikian
kompensasi yang diberikan pemerintah adalah tentu beberapa kelonggaran terhadap
kebijakan-kebijakan yangberkaitan dengan orang Tionghoa. Misalnya pada tahun 1994
melalui Rapat Koordinasi Politik dan Keamanan menyatakan bahwa bahasa Mandarin
diperbolehkan diajarkan di sekolah-sekolah pariwisata, hal ini dalam rangka mendorong
arus pariwisata dari Cina dan Taiwan. Demikan juga hotel-hotel diperbolehkan
berlangganan Koran dan mencetak brosur-brosur berbahasa Cina. Demikian juga dengan
biro-biro perjalanan dapat melakukan hal yang sama (Media Indonesia, 3 Agustus, 1994).
Selanjutnya bahwa kondisi yang demikian telah mendorong beberapa perubahan
terhadap eksistensi warga Tionghoa di Indonesia secara politis. Hal ini menjadi dasar
bagi proses perubahan-perubahan yang lebih mendasar di era pemerintahan Reformasi
pasca Orde Baru.
4. Mengawasi Gerak Orang Tionghoa Melalui Surat Bukti Kewarganegraan
Republik Indonesia (SBKRI) 1968 -1997
Awal pemerintahan Orde Baru ditandai dengan semakin ketatnya pengawasan
terhadap orang-orang dari golongan Tionghoa. Hal ini terjadi akibat adanya anggapan
politis bahwa terdapat keterlibatan yang kuat dari RRT terhadap persoalan komunsime di
Indonesia. Kehadiran orang Tionghoa yang begitu besar di Indonesia dilihat oleh
pemerintah Orde Baru bukan saja menjadi persoalan kependudukan tetapi lebih pada
persoalan politis. Dasar politis ini kemudian menghasilkan beberapa kebijakan mengenai
orang Tionghoa yang salah satunya adalah mengatur dan mengawasi keberadaan orang
220
Tionghoa yang lebih dikenal dengan Surat Bukti Kewarganegaan Republik Indonesia
(SBKRI). Dimensi pengaturan dan pengawasan menjadi kata kunci dalam kebijakan ini.
Oleh karena itu dalam pelaksaannya kebijakan ini secara langsung berada di bawah
Badan Koordinasi Intelejen Indonesia (Bakin). Bekerja sama dengan Badan Koordinasi
Masalah Cina (BKMC), Bakin melakukan penyaringan terhadap proses dokumentasi dan
pendataan warga Tionghoa yang mengurus SBKRI nya.
Awalnya kebijakan SBKRI lebih berlatar belakang kepada hukum internasional
dalam hal proses naturalisasi warga negara asing menjadi warga negara Indonesia, namun
dalam prakteknya kebijakan SBKRI tersebut ditafsirkan dan berlaku pada bagi WNI dari
etnis Tionghoa. Dengan kata lain, SBKRI adalah bentuk lain dari apartheid atau state
sponsored racial discrimination, yang diekspresikan melalui perangkat hukum dan
kebiasaan.
Adapun dasar hukum SBKRI adalah Undang-Undang No. 62 tahun 1958 tentang
"Kewarganegaraan Republik Indonesia" yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman G.A.
Maengkom dan disahkan oleh Presiden Presiden Soekarno. Saat itu, ada konsekuensi dari
klaim politik pemerintahan Mao Tse Tung bahwa semua orang Cina di seluruh dunia
termasuk Indonesia adalah warga negara Republik Rakyat Tiongkok karena asas ius
sanguinis. Asas itu menganut kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan
berdasarkan negara tempat kelahiran. Melalui Peraturan Pemerintah No 20/1959 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang tentang Persetujuan Antara Republik Indonesia dan
Republik Rakyat Tiongkok, ada pengelompokan WNI yakni WNI tunggal dan pemilihan
dwikewarganegaraan RI-RRT. Sebenarnya, permasalahan Dwi-Kewarganegaraan sudah
221
selesai ketika terbitnya UU No. 4/19696. Dalam penjelasan umum UU itu, permasalahan
status WNI Tionghoa sudah terselesaikan dan anak-anak WNI Tionghoa yang lahir
setelah tanggal 20 Januari 1962 sudah menjadi WNI tunggal. Sementara itu, WNI
Tionghoa dewasa tidak diperbolehkan lagi untuk memilih kewarganegaraan lain, selain
kewarganegaraan Indonesia dan tidak perlu lagi membuktikan kewarganegaraan dengan
SBKRI.
Akan tetapi dalam kenyataannya persoalan kewarganegaraan ini masih sangat
krusial menjelang tahun-tahun 1980an hingga tahun 1990an. Harian KOMPAS selama
pertengahan bulan Januari 1979 mengangkat sebuah kasus mengenai bayi WNI yang
lahir dengan kewajiban untuk memiliki surat SBKRI sementara orang tuanya sudah
menjadi warga negara Indonesia (KOMPAS, 12 Januari, 1979). Hal ini tentunya dinilai
masih sangat bersifat diskriminatif karena UU yang berlaku sudah mengatur mengenai
ketentuan bahwa orang tua dengan warganegara X secara otomatis anak yang dilahirkan
mengikuti kewarganegaraan orang tuanya. Dalam rapat kerja dengan komisi III DPR
Mentri Kehakiman Ismail Saleh menytakatan bahwa kalau orang tua dapat membuktikan
bahwa dirinya telahmenjadi warga negara RI maka anaknya yang lahir di Indonesia
tidakperlu lagimencari SBKRI. Hal ini berarti tidak harus terjadi seperti apa yang terjadi
kesulitan di dalam pengurusan akta kelahiran dalam kasus anak yang baru lahir tsrebut di
atas (KOMPAS, 17 Mei 1985).
Persoalan SBKRI ini semakin lebih tajam dengan banyaknya persoalan-persoalan-
persoalan yang menyangkut retribusi formulir yang dianggap bersifat pungutan liar.
Harian Suara Karya mengulas mengenai pungutan liar yang terjadi di DKI Jakarta
6 UU No. 4/1969 tentang Penryataan tidak berlakuknya lagi UU No. 2/ 1958 tentang persetujuan perjanjian
antara RRT mengenai UU Dwi-Kewarganegaraan
222
menyatakan bahwa Formulir K-1 yang diperoleh di setiap Suku Dinas Kependudukan di
kelima wilayah kota DKI hanya dikenakan pembayaran sebsara Rp. 500,-. Namun
demikan Harian ini melaporkan bahwa terjadi pungutan liar bagi dua orang warga di
Kelurahan Cipinang ketika ingin memperpanjang KTP nya. Kedua warga tersebut
mengambil Formulir K-1 dan kemudian petugas Suku Dinas Kependudukan Jakarta
Timur mengharuskan mereka untuk membawa SBKRI, surat kawin dan Rp.15.000,0
untuk dua surat K-1 (Suara Karya, 25 April 1985).
Persoalan Formulir K-1 ini juga pada akhirnya mendapatka respon yang sangat
kuat dari beberapa kalangan. Tiga tokoh politik di DPR pada saat itu – A. Baramuli,
Albert Hasibuan dan Djoko Sudyatmiko – menyatakan bahwa penerapan Formulir K-1
yang dikhususkan bagi warga negara RI keturuanan asing secara prinsip merupakan
tindakan diskriminatif yang tidak sesuai dengan jiwa dan semangat Pancasila, UUD 1945
dan GBHN. Ketiga tokoh ini menyatakan bahwa Formulir K-1 yang berlaku diskriminatif
itu perlu dikaji ulang karena masalahnya tidak semata-mata menyangkut tertib
adminsitrasi tetapi juga prinsip kewarganegaraan dan hak azasi manusia, yan apabila
diteliti lebih mendalam bersifat diskriminatif atau membeda-bedakan sesama warga
negara dengan perlakukan dan ketentuan khusus bagi satu kelompok warga negara.
Albert Hasibuan lebih lanjut menyatakan bahwa Formulir K-1 yang dikhususkan berlaku
di Jakarta merupakan refelsksi administrasi kependudukan DKI Jakarta yang tidak
mampu menyelenggarakan tertib administrasi khususnya bagi WNI dengan akibat
memberikan beban khusus bagi warga negara tersebut berupa ketentuan mengenai
keharusan memunyai Formulir K-1. Semnetara itu Djoko Sudyatmoko mengkritik
keberadaan Formulir K-1 bukan pada ekses yang terjadi saat pengurusan suart K-1 tetapi
223
lebih pada adanya perlakuan yang berbeda terhadap sesama warga negara yang dinilai
tidak cocok dengan jiwa Pancasila dan hal itu dianggap bersifat diskriminasi (Suara
Karya, 27 April 1985).
Persoalan SBKRI ini juga diikuti dengan pencantuman tanda khusus di KTP
dengan kode “O” pada nomor setiap KTP WNI keturuan asing khususnya di wilayah
Jakarta. Alasan untuk memberikan kode khusus bagi WNI keturuan ini adalah demi
pengawasan seperti yang telah ditetapkan melalui Instruksi Rahasia Mentri Dalam Negeri
No.X01 tahun 1977 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran Penduduk tertanggal 10
Desember 1977 kepada Bupati/Walikota Madya Kepala Darrah Tingkat II di seluruh
Indonesia agar dalam Kartu Keluarg dan KTP penduduk orang asing supaya dicantumkan
tanggal dan nomor dokumen Imigrasi/STMD bagi orang asing serta tanggal dan nomor
SBKRI dengan menyebutkan Instansi yang mengeluarkannya. Instruksi ini kemudian di
jabarkan salah satunya melalui pemberian tanda “O” bagi WNI keturunan asing di
wilayah Jakarta. Artinya bahwa tanda tersebut secara langsung memberikan syarat bahwa
dimensi pengawasan terhadap WNI keturan asing ini menjadi sangat ketat keberadaanya.
Tembusan seluruh data mengenai keberadaan WNI tersbeut diberikan kepada kepala
Bakin yang artinya kepala Bakin mengetahui dan dapat memanfaatkan informasi tersebut
demi keamanan.
Namun demikan pada tahun 1990 pemerintah melalui Mentri Dalam Negeri
menetapkan agar segala macam kode pada KTP WNI keturan asing agar dihapuskan
(KOMPAS, 19 November 1990). Selanjutnya dalam tahun 1992 Mentri Kehakiman juga
mengeluarkan Instruksi agar SBKRI tidak diwajibkan oleh WNI keturunan asing tetapi
bersifat sukarela (KOMPAS, 30 Maret 1992). Namun demikian kebijakan ini baru efektif
224
berlangsung emapat tahun kemudian ketika Presiden Presiden Soeharto mengeluarkan
Kepres yang mengatur dengan tegas bahwa SBKRI dihapuskan. Pada tanggal 9 Juli 1996
Presiden Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 56
Tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pada Pasal 4 butir 2
berbunyi, ”Bagi warga negara Republik Indoensia yang telah memiliki Kartu Tanda
Penduduk (KTP), atau Kartu Keluarga (KK), atau Akte Kelahiran, pemenuhan kebutuhan
persyaratan untuk kepentingan tertentu tersebut cukup menggunakan Kartu Tanda
Penduduk, atau Kartu Keluarga (KK), atau Akte Kelahiran tersebut.” Pasal 5 berbunyi,
”Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, maka segala peraturan perundang-undangan
yang untuk kepentingan tertentu mempersyaratkan SBKRI, dinyatakan tidak berlaku
lagi.” Instruksi Presiden No 4/1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No 56/1996
menginstruksikan, bahwa SBKRI tidak berlaku bagi keturunan yang sudah menjadi WNI.
Menteri Dalam Negeri pada 9 September 1996, kemudian menerbitkan Instruksi Menteri
Dalam Negeri No 25 Tahun 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keppres No 56/1996.
Para gubernur dan bupati/wali kota di seluruh Indonesia diinstruksikan untuk merubah
status WNA pada akta kelahiran, kartu keluarga, atau Kartu Tanda Penduduk menjadi
WNI. Mereka yang masuk kategori ini adalah istri dan anak-anak yang berumur 18 tahun
ke bawah, dari ayah/suami dan anak dari wanita tidak bersuami yang memperoleh
kewarganegaraan RI berdasar UU No 62/1958. Di samping itu, juga warga asing yang
telah memperoleh status WNI.
Dalam butir keempat di Inmendagri itu disebutkan, para kepala daerah
diinstruksikan untuk “menghapus semua produk hukum daerah yang mewajibkan bagi
istri dan anak-anak, untuk kepentingan tertentu melampirkan SBKRI”. Hanya saja,
225
pelaksanaan di lapangan masih belum memenuhi harapan. Pengajuan syarat administrasi
pernikahan di Catatan Sipil misalnya, masih harus melampirkan salinan SKBRI. Padahal
Keppres 56/1996 sangat jelas, untuk urusan “tertentu”—seperti pembuatan akta
perkawinan, dan akta kelahiran—cukup dengan melampirkan kopi KTP, akta kelahiran,
atau Kartu Keluarga.
Hal terpenting dari perubahan-perubahan mengenai kebijakan ini adalah agar proses
pengawasan terhadap WNI keturunan dapat dengan lebih sistematis dipantau dan dengan
demikian segala hal yang terkait di dalamnya juga dapat dengan mudah diselesaikan.
Selain itu juga persoalan-persoalan ekonomi yang semakin sulit menjadi semacam
dorongan yang kuat bagi pemerintah untuk mervisi beberapa kebijakan yangberkaitan
dengan masalah Tionghoa. Kekuatan ekonomi yang sebagian besar dikuasai oleh
golongan Tionghoa (Konglomerat) dan kepentingan politik memperkuat posisi status quo
pemerintahan Orde Baru semuanya merupakan hal-hal yang dapat dilihat sebagai faktor-
faktor yang mempengaruhi perubahan-perubahan kebijakan tersebut
F. Kebijakan Semu Ekonomi Pribumi 1973-1997
Kebijakan-kebijakan di dalam usaha mencanangkan “pribumisasi ekonomi” di
Indonesia oleh Presiden Soeharto sebagai Presiden pada saat itu, yang perealisasiannya
dilakukan salah satunya denga mengeluarkan Surat Edaran Direksi Bank Indonesia No.
6/37/UPK/1973 dan Surat Edaran yang berikutnya adalah Surat Edaran Direksi Bank
Indonesia kepada Bank Umum Pemerintah dan Bank Pembangunan Indonesia No.
6/38/UPK/1973 perihal kredit usaha kecil dan kredit modal kerja parmanen untuk
golongan pengusaha kecil yang dikenal dikenal sebagai KIK/KMKP (Kredit Investasi
226
Kecil dan Kredit Modal Kerja Permanen), tidak dapat serta merta menjadi kekuatan bagi
kekuatan ekonomi politik pemerintahan awal Orde Baru. Media-media massa pada sat itu
gencar memberitakan mengenai kasus-kasus korupsi yang terjadi di pemerintahan pada
saat itu. Namun sayangnya, melalui UU tentang Pemberantasan Korupsi pada saat itu,
pemerintah dianggap tidak mampu mengatasi politik percukongan yang dilakukan di
antara pemerintah dan kelompok pengusaha Cina.
Kondisi ekonomi politik yang terjadi pada masa ini dapat dikatakan merupakan
situasi kritis bagi pemerintah awal Orde Baru karena kuatnya tekanan yang diberikan
untuk menjatuhkan rezim yang baru berdiri ini. Munculnya tindakan rasialis terhadap
orang Tionghoa pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari persoalan ekonomi politik yang
terjadi pada saat itu. Melalui keadaan semacam ini pemerintah kemudian secara cepat
merubah pola kebijakan ekonominya dengan mengeluarkan Surat Keputusan Direksi
Bank Indonesia No.6/67A/Kep/DIR/UPR/1974 tentang pengarahan kredit investasi pada
perusahaan pribumi. Surat ini mengatur secara lebih detail mengenai pengarahan kredit
bagi perusahaan pribumi. Suatu perusahaan digolongkan perusahaan pribumi jika:
a. Sekurang-kurangnya 75% dimiliki oleh pribumi, atau,
b. Sekurang-kurangnya 50% dimiliki oleh pribumi dan sebagian besar (mayoritas
pengurusnya adalah pribumi (dikutib dari pasal 1 ayat 2).
Meskipun dalam pelaksanaannya mengalami kendala-kendala yang berarti namun
dapat dipastikan bahwa peran politik percukongan yang terjadi di masa itu sedikit banyak
teratasi. Hal ini dapat dilihat dari munculnya beberapa pengusaha pribumi yang kemudian
memainkan perananya di dalam perekonomian di Indonesia. Dibentuknya HIPPI
(Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia) menjadi barometer bagi proses pertumbuhan
pengusaha pribumi khususnya bagi kelompok ‘ekonomi lemah’. Pemerintah kemudian
227
mengeluarkan sebuah Kepres No. 14/ 1979 yang mengatur mengenai perlakukan
istimewa dalam beberapa sektor kepada kelompok ‘ekonomi lemah’ (Coppel, 1994:292).
Selanjutnya defenisi ekonomi lemah dipertegas dalam Kepres No. 14/1980 yaitu: a)
modalnya harus sekurang-kurangnya 50% milik pribadi; b) lebih separuh dari dewan
direksinya adalah pribumi; c) modalnyaharuslah kurang dari 25 juta dalam suaha
perdagangan atau lebih dari 100 juta dalam usaha konstruksi atau industri. Juga
ditetapkab bahwa para direktur pribuminya haruslah aktif, tidak boleh hanya sebagai
pertanda saja (Coppel, 1994:ibid). Penyempurnaan Kepres ini dilanjutkan dengan Kepres
No. 18/1981 yang secara tegas memberikan tekanan mengenai ekonomi lemah yaitu, a)
perusahaan komanditer yang separuh pimpinannya adalah pribumi; b) Firma yang
separuh pimpinannya adalah pribumi; c) perusahaan perorangan yang dimiliki oleh
pribumi. Ketegasan ini memberi kesempatan bagi perusahaan pribumi dapat digolongkan
kepada perushaan ekonomi lemah, sehingga dapat dengan mudah menerima proyek-
proyek penyediaan negara (Suryomenggolo, tt:139). Dengan demikian dapat dilihat
bahwa terjadi pergeseran terhadap kebijakan ekonomi pemerintah yaitu memberi
kesempatan bagi pengusaha-pengusaha pribumi untuk memainkan peranannya dalam
pembangunan di Indonesia. Mas’oed memberikan catatan penting bahwa apa yang
diletakan sebagai dasar perekonomian pribumi ini secara politis digunakan untuk
mengukuhkan kembali kekuasaan yang sudah sangat kritis pada saat itu (Prosepektif, Vol
5, 1993).
Era pertengahan tahun 1980 hingga tahun 1990-an ditandai dengan merosotnya
harga minyak dunia yang sangat berpengaruh terhadap perekonomian di Indonesia. Hal
ini mendorong negara untuk mengandalkan para wiraswastawan untuk mempelopori
228
usaha ekspor di Indonesia. Dengan demikian usaha merangsang profesionalisasi
manajemen bisnis menjadi faktor yang utama. Tercatat dalam era ini , melalui deregulasi
ekonomi pada pertengahn tahun 1980-an, kebijakan-kebijakan pemerintah seperti
pendirian bank-bank baru yang nota bene banyak disponsori oleh group-group bisnis
yang besar. Pada intinya deregulasi pemerintah telah menciptakan kesempatan bagi
berlangsungnya privatisasi bisnis yang dikelola secara professional oleh group-group
swasta. Akibatnya banyak perusahaan baru yang muncul di era pertengahan tahun 1980an
hingga tahun 1990-an. Pada era ini juga peran pengusaha besar di Indonesia - yang
sebagian besar adalah orang Tionghoa dan disebut sebagai konglomerat – mendapatkan
perhatiannya seacara khusus dalam hubungannya dengan sistem perekonomin pribumi di
Indonesia.
Munculnya kekuatan kongleomerat ini menyebabkan munculnya kesenjangan di
antara pengusaha-pengusaha pribumi dengan para pengusaha Tionghoa. Meskipun
kebijakan pembauran ekonomi sudah dijalankan namun dalam kenyataannya kekuatan
ekonomi pengusaha Tionghoa semakin bertambah besar. Hal ini menyebabkan
pemerintah harus kembali memikirkan peran pembauran ekonomi dalam era ini.
Usaha melakukan kebijakan pembauran ekonomi ini tampak dari pernyataan
pemerintah dalam pertemuan KADIN yang mengundang juga sebagain konglomerat
Tionghoa dan menyatakan bahwa perlunya peningkatan “perusahaan pribumi” melalui
kolaborasi dengan sejumlah pengusaha besar etnis Tionghoa. Pada awal Maret 1990
Presidan Presiden Soeharto mengundang 31 pengusaha besar ke Tapos dimana 29
diantaranya adalah etnis Tionghoa. Tujuan dari pertemuan ini adalah agar para pengusaha
Tionghoa tersebut memikirkan pentingnya pemerataan di dalam aspek-aspek
229
pembangunan bangsa dan sistem perekonomian di Indonesia. Dalam kesempatan itu
Presiden Presiden Soeharto menghendakai 25% saham perusahaan dari para konglomerat
tersebut untuk diberikan kepada koperasi (TEMPO, No.2/XX/, Maret 1990). Namun
demikian pada akhirnya disepakat hanya 1% dari sahan tersebut yang dapat diberikan
kepada kooperasi. Akan tetapi hal tersebut tidak pernah terealisasi dengan baik bahkan
tidak berjalan.
Selanjutnya masalah konglemerasi dan persaingan dengan pengusaha pribumi
menjadi sangat tajam. Pengusaha pribumi masih melihat bahwa para konglomerat
Tionghoa masih mendapatkan prioritas dari pemerintah di dalam pengucuran kredit-
kriedit dengan fasilitas khusus. Menjembatani persoalan ini Presiden Presiden Soeharto
kemudian berinisiatif untuk melakukan pertemuan kembali dengan para pengusaha ini.
Kali ini pertemuan tersebut berjumlah sangat besar yaitu 96 pengusaha dan pertemuan
dilakukan di Jimbaran Bali 25-27 Agustus 1995. Salah satu point penting dalam
pertemuan ini adalah kesepakatan dari pengusaha besar untuk memberikan
bantuankepada para pengusaha kecil dan dimulai sekaj tahun 1996. Untuk menindaklajuti
kesepakatn tersbeut maka dikeluarkan Kepres yang berkaitan dengan perlakuan pajak
penghasilan atas bantuan yang diberikan untuk pembinaan keluarga pra sejahtera dan
keluarga sejahtera I (Keperes No.90/1995). Besarnya bantuan kepada pengusaha kecil
tersebut adalah sebesar 2%.
Akan tetapi kebijakan ini juga tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini karena
persaingan yang begitu kuat di antara pengusaha etnik Tionghoa dan pengusaha pribumi.
Secara politis pemerintah tidak menginginkan munculnya gejolak melalui persaingan ini
tetapi pada sisi lain pemerintah juga tidak ingin disebut menganaktirikan pengusaha
230
pribumi. Hal ini dilakukan dengan menekan secara legal formal melalui kebijakan
ekonomi. Pemerintah tetap menginginkan agar para pengusaha Tionghoa tetap konsekuen
dengan kebijakan yang telah disepakati. Meskipun pada kenyataannya hal tersebut tidak
selalu terjadi di dalam prakteknya. Secara sosiologis hal ini semakin mengantar
persoalan-persoalan kesenjangan yang muncul di dalam masyarakat. Secara khusus bagi
tragedi kerusuhan yang terjadi kepada etnis Tionghoa pada akhir masa pemerintahan
Orde Baru (Peristiwa Mei 1998).
G. Kesimpulan
Dari seluruh uraian di atas tampak dengan jelas bahwa sejarah Indonesia merdeka
juga dihadapkan pada masalah rasial yang menyangkut kedudukan orang Tionghoa di
Indonesia. Jika di era pemerintahan Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin
kondisi rasialisme terhadap orang Tionghoa telah tampak benih-benihnya, maka dalam era
pemerintahan Orde Baru pemerintah dapat dikatakan bersifat sangat rasialis. Hal ini terlihat
jelas banyaknya peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah berkaitan dengan eksistensi ke-
Tionghoaan di Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut tidak saja mengatur mengenai
masalah ekonomi tetapi juga telah mengatur persoalan-persoalan kultur-sosial orang
Tionghoa. Dengan kata lain pembatasan terhdap eksistensi yang paling hakiki dari
keberadaan orang Tionghoa di Indonesia terjadi pada era ini dengan segala macam peraturan
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Namun pada sisi lain pemerintah tetap menginginkan
keberadaan orang Tionghoa guna mengatasi masalah-masalah ekonomi di Indonesia.
Kebijakan-kebijakan yang semu berkaitan dengan ekonomi yang dibuat oleh pemerintah
menunjukkan bahwa pada satu sisi pemerintah tidak menginginkan besarnya peran ekonomi
231
masyarakat Tionghoa – khususnya para konglomerat – karena hal ini akan mengakibatkan
reaksi yang keras dari pengusaha pribumi - tetapi pada sisi lain pemerintah tidak mau
dituduh berpihak kepada para konglomerat Tionghoa. Kondisi ini menyebabkan kebijakan
pemerintah mengenai masalah Tionghoa di Indonesia sangat bersifat rasialis demi
kepentingan status quo kekuasaan dan kepentingan ekonomi dari kelompok-kelompok
tertentu – dalam hal ini militer, pengusaha pribumi dan partai-partai politik yang dekat
dengan pemerintah. Hal yang menarik dari intervensi negara/pemerintah terhadap masalah
Tionghoa adalah berperannya militer di dalam merumuskan dan mengimplementasikan
regulasi-regulasi yang yang selalu mengatasnakaman kepentingan stabilitas keamanan dan
tentunya keuntungan ekonomi.
BAB V
KESIMPULAN
Masyarakat yang heterogen adalah realitas ke-Indonesiaan. Hal ini harus selalu
dipahami sebagai sebuah kekayaan bangsa. Namun demikian, heterogenitas bukanlah tanpa
masalah. Masalah-masalah ini harus dilihat sebagai ‘resiko’ sebagai bangsa dengan tingkat
hetrogenitas yang tinggi. Dalam konteks ini maka peran semua pihak sangat membantu di
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat yang heterogen ini,
khususnya peran negara/pemerintah. Akan tetapi persoalannya jika peran
negara/pemerintah menjadi sangat kuat, dalam pengertian dominan dan intervensif, di
dalam menata persoalan masyarakat yang heterogen maka hal ini juga menimbulkan
masalah lain yaitu sebuah negara yang cenderung bersifat otoriter. Kuatnya peran
negara/pemerintah yang dominan dan intervensif terhadap persoalan masyarakat yang
heterogen pada akhirnya tidak menciptakan sebuah tatanan yang menempatkan
heterogenitas sebagai identitas berbangsa tetapi justru menghasilkan retaknya sendi-sendi
keheterogenan sebagai sebuah kekayaan bangsa. Dari uraian pada bab-bab yang
sebelumnya, di bawah ini dapat disimpulkan beberapa hal.
Persoalan keagamaan dalam Demokrasi Palementer berhimpit erat dengan
persoalan ekonomi politik. Ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat diekspresikan
melalui tindakan pemberontakan berbasis keagamaan (etnik). Sehingga agama adalah salah
satu elemen dari persoalan ketidakpuasan terhadap pemerintah pada saat itu.
Ketidakpuasan terhadap penataan negara – dalam kaitanya dengan persoalan ekonomi
politik – merupakan hal utama munculnya pemberontakan berbasis agama ini. Agama
digunakan sebagai simbol pemberontakan terhadap negara bukan semata-mata karena
233
eksistensi agama (baca: Islam) diabaikan. Dalam hal ini agama hanyalah sebagai ekspresi
politis guna menyalurkan ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat yang dianggap bersifat
tidak adil di dalam melakukan distribusi keadilan ekonomi-politik. Dalam pandangan para
pemberontak yang berbasis keagamaan, negara dianggap tidak adil menyediakan basis-
basis pelayanan masyarakat dalam bidang ekonomi politik secara menyeluruh. Banyak
daerah-daerah yang merasa kue perekonomian hanya dinikmati oleh orang-orang di Jawa -
yang nota bene mayoritas beragama Islam juga. Dari hal ini tampak bahwa agama hanya
sebuah ekspresi kekecewaan terhadap kegagalan negara menata secara adil persoalan
ekonomi politik pada saat itu. Munculnya kekuatan politis yang menginginkan berdirinya
negara Islam hanyalah bagian dari ketidakpuasan terhadap penataan negara berkaitan
dengan kebijakan-kebijakan ekonomi-politik di Indonesia. Sayangnya, negara juga gagal
mengatasi masalah pemberontakan berbasis keagamaan (etnik) ini. Usaha-usaha negosiasi
yang tidak memberikan hasil (gagal) kemudian digantikan dengan kekuatan militer guna
mengatasi persoalan pemberontakan berbasis agama. Era pemerintahan Demokrasi
Parlementer secara umum tidak menyelesaikan masalah ini dengan baik, hal ini terkait
dengan tidak stabilnya keadaan politik pada saat itu. Negara cenderung menjadi semakin
kuat dengan dominasi dan intervensi militer guna mengatasi masalah pemberontakan
berbasis agama.
Beralihnya kekuasaan yang sentralistik pada era Demokrasi Terpimpin semakin
memperlihatkan adanya kekuatan negara di dalam menata persoalan politik yang berkaitan
dengan keagamaan. Bagi Presiden Soekarno, masalah keagamaan adalah salah satu bagian
penting dari elemen politik di samping elemen nasionalis dan komunis yang ada pada saat
itu. Usaha untuk meredam konflik yang terjadi dalam tiga elemen atau golongan politik ini
234
adalah dengan cara menyatukannya dalam satu kekuatan politik yaitu NASAKOM. Namun
sayangnya penyatuan ketiga elemen ini juga tidak memberikan dampak yang positif bagi
usaha mengatasi persoalan heterogenitas yang ada di Indonesia. NASAKOM justru
menjadi sebuah kendaraan politik guna menciptakan kekuatan politik tunggal Presiden
Soekarno. Akibatnya, benturan-benturan politik di antara ketiga elemen ini justru menjadi
semakin kuat. Keadaan ini memberikan indikasi gagalnya negara/pemerintah menciptakan
sebuah kontrol sosial serta menciptakan kohesi sosial di tengah-tengah masyarakat yang
heterogen dan selanjutnya menciptakan sebuah piramidal politik. Tesis ini membenarkan
apa yang dimaksudkan tentang negara kuat dengan pembawaan yang lemah yaitu bahwa di
negara-negara dunia ketiga persoalan distribusi kekuasaan adalah usaha menciptakan
sentralisasi kekuasaan. NASAKOM adalah usaha negara/pemerintah (Presiden Soekarno)
untuk menciptakan distribusi kekuasaan dengan cara menciptakan sebuah kekuasaan
tunggal. Sentralisasi atau elitisme negara menjadi semakin kuat dan akhirnya melemahkan
kekuatan elemen-elemen politis yang ada di dalam masyarakat – secara khusus agama.
Era pemerintahan Orde Baru peran negara tidak saja menjadi kekuatan tunggal
(elitis-piramidal) dalam soal keagamaan akan tetapi negara telah memasuki ruang-ruang
eksklusif dari keagamaan itu sendiri. Bermula dari kecurigaan negara terhadap peran
politik agama (baca:Islam), selanjutnya kebijakan-kebijakan negara terhadap masalah
keagamaan mengatur secara rinci pola-pola hidup beragama di Indonesia yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila. Konsep negara mengenai stabilitas merupakan dasar bagi
jalannya kehidupan berbangsa. Negara menjadi agen tunggal bagi usaha penggalangan
kolektif demi terwujudnya cita-cita kehidupan berbangsa yang stabil, aman, tentram dan
damai. Negara juga menjadi penafsir tunggal terhadap konsep hidup bersama di dalam