The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Majalah An Najah, 2023-10-23 22:44:34

BUKU DAI MUDA POS DAI - REVISI FINAL 4

BUKU DAI MUDA POS DAI

i Anak-anak Muda Pengukir Sejarah


ii


iii


iv Judul Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Penulis Mahladi Murni & Tim PosDai Hidayatullah Penyunting Mahladi Murni Pemeriksa Aksara Mahladi Murni Layout Mustok Design Desain Sampul Mustain Al Haq Cetakan Pertama Januari 2024 Penerbit: Lentera Optima Pustaka (PT Lentera Jaya Abadi) Jl Kejawan Putih Tambak No. 110-A, Keputih, Surabaya 60112 Telp 031-5998143, 5998146. JAKARATA: Jl Cipinang Cempedak I No. 14 Poloni, Jakarta Timur Telp 021-85902045. iv


v Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Kumpulan kisah dai-dai muda Hidayatullah, mengukir jejak dakwah di tempat-tempat yang tak sanggup dilalui anak muda seusianya. Mahladi Murni & Tim PosDai Hidayatullah


vi Ruang persegi panjang di lantai 2 sebuah bangunan di tengah Kota Pekanbaru, Riau, pada penghujung Juli 2022, penuh dengan orang-orang berpakaian putih. Sebagian besar mereka berusia muda. Wajah mereka teduh, pakaian mereka sederhana. Mereka adalah dai-dai muda Hidayatullah yang mengemban tugas dakwah di berbagai wilayah di tanah Sumatera. Mulai dari ujung Aceh, sampai pesisir Lampung. Hari itu mereka berkumpul di Pekanbaru guna mengikuti rapat koordinasi dakwah dan dauroh mualim Hidayatullah se-Sumatera yang berlangsung selama 3 hari. “Menjadi dai adalah pilihan kita. Pilihan yang benar! Sebab, ini akan menjadi modal besar perniagaan kita kepada Allah Ta’ala,” jelas Ustadz Nursyamsa Hadis, Ketua Bidang Dakwah dan Pelayanan Umat Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah saat membuka acara tersebut. Selain itu, jelas Nursyamsa lagi, menggeluti profesi dai tak boleh setengah-setengah. “Dai Hidayatullah harus mencetak sejarah, harus membuat perubahan di tengah masyarakat. Dai Hidayatullah harus Pengantar


vii berdakwah di tempat-tempat terpencil, terdalam, minoritas, atau tempat-tempat lain yang tak banyak orang mau melakukannya.” Di tempat dakwah itu, kata Nursyamsa, para dai Hidayatullah bisa membantu memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat, membangun masjid sebagai pusat kegiatan, mendirikan rumah Qur’an atau pesantren sebagai tempat mencetak mujahid lokal. Di tempat itu pula para dai akan merasakan begitu cepatnya pertolongan Allah Ta’ala. Sebab, tantangan dakwah di sana luar biasa berat. “Para ustadz senior Hidayatullah sudah merasakan itu semua,” terang Nursyamsa lagi. Memang benar! Masyarakat mengenal Hidayatullah sebagai organisasi Islam yang giat mengirimkan kadernya berdakwah di wilayah pedalaman. Bahkan, tak lama setelah berdirinya pesantren induk Hidayatullah di Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur, tahun 1976, pendiri Hidayatullah, KH Abdullah Said telah mengirim para dai ke berbagai pelosok Nusantara. Ada yang dikirim ke Pulau Papua, ada pula yang dikirim ke Tanah Sumatera. Para dai yang dikirim ini mengemban tugas yang sama, yakni berdakwah di tengah masyarakat, serta membangun masjid dan pesantren sebagai pusat kegiatan dakwah di wilayah tersebut. Anak-anak Muda Pengukir Sejarah


viii Yang menarik, kala itu, para dai Hidayatullah tidak dibekali biaya yang cukup. Jangankan biaya hidup, sekadar biaya transportasi saja tidak utuh. Banyak yang diberi uang hanya cukup untuk setengah perjalanan. Setengahnya lagi, para dai harus berjuang mencari dana sendiri. Yang tak kalah menarik, para dai senior ini tak dibekali ilmu agama yang cukup sebagaimana lulusan pesantren di tanah Jawa. Mereka hanya dibekali keyakinan bahwa Allah Ta’ala akan menolong hamba-Nya manakala hamba tersebut menolong agama-Nya. Tak heran bila banyak cerita lucu namun menggugah ketika mereka berdakwah di tengah masyarakat. Sebutlah, misalnya, kisah Ustadz Sarbini Nasir saat ditugaskan berdakwah di wilayah Papua. “Sejak awal perintisan kita telah dididik untuk berani tampil. Saya yang dulu masih bodoh, tak takut berceramah meskipun penguasaan ilmu agama saya terbatas. Sampai-sampai, ketika diminta berceramah di atas kapal (penyeberangan), saya salah menyebutkan lafaz intansurullah yansurkum. Saya sebut intansurkum,” cerita Ustadz Sarbini seraya tertawa mengenang masa lalunya dalam acara Sarasehan Pendiri dan Perintis Hidayatullah pada 11 Juni 2015 di Batam, Kepulauan Riau. Lain lagi cerita Ustadz Yusuf Suraji, kader senior Anak-anak Muda Pengukir Sejarah


ix Hidayatullah, di acara yang sama. Beliau juga ditugaskan merintis wilayah dakwah baru di Papua. “Uang dikasih hanya Rp 25 ribu. Mana cukup? Tapi saya berangkat juga,” kata Ustadz Yusuf. Singkat cerita, setelah beberapa lama berada di Papua, Ustadz Yusuf diminta menjadi juri Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ). Padahal, ketika itu, ia belum lancar mengaji. Ustadz Yusuf sempat bingung. Namun, dengan rasa percaya diri yang tinggi, ia tetap menjalankan tugas itu dengan baik. Di lain waktu, Ustadz Yusuf juga diminta mengisi ceramah di depan anggota Muspida (Musyawarah Pimpinan daerah). Lagi-lagi, dengan segala keterbatasannya, ia menerima permintaan itu. “Bilal (sahabat Nabi) itu kulitnya hitam. Semua hitam, kecuali giginya saja yang putih,” cerita Ustadz Yusuf menirukan materi ceramahnya dulu. Ia lupa kalau orang-orang Papua juga berkulit hitam. Rupanya, seorang Bupati yang ikut mendengar ceramah Ustadz Yusuf merasa tersinggung. Untunglah Ustadz Yusuf menyadari kekeliruannya dan segera meminta maaf. Kisah yang lebih menegangkan dialami oleh Ustadz Sabaruddin, salah seorang kader Hidayatullah yang ditugaskan membuka kampus baru di Wamena, Papua, pada tahun 2000. “Nyawa saya hampir melayang,” cerita Ustadz Sabar, panggilan akrabnya, Anak-anak Muda Pengukir Sejarah


x saat ditemui penulis pada akhir tahun 2002. Ketika itu, kata Ustadz Sabar, ia dan beberapa keluarga Muslim dikepung di sebuah masjid. Para pengepung banyak sekali. Mereka menari-nari sambil memegang parang, tombak, dan panah. Mereka hanya berpakain koteka. Ustadz Sabar hanya bisa mengintip dari balik mimbar. Mau melawan jelas tidak mungkin. Keluarga Muslim yang berada di masjid itu kebanyakan ibuibu dan anak-anak. Di saat genting seperti itu, Ustadz Sabar berdoa sangat khusuk kepada Allah Ta’ala. Muncullah perasaan berani dan yakin akan pertolongan Allah Ta’ala. Lalu, ia kumpulkan ibu-ibu dan anak-anak yang bersembunyi di masjid tersebut, dan ia ajak berjalan pelan mengikuti langkahnya dari belakang. Sepanjang perjalanan, Ustadz Sabar tak henti-hentinya membaca surat Yasin ayat 8, mengharap pertolongan Allah Ta’ala. Ajaib! Para pengepungnya sama sekali tak melihat kalau beliau dan rombongan telah berjalan melewati mereka. “Kami berjalan tenang, padahal jarak kami hanya 3 meter saja. Allah telah membutakan mata mereka,” jelas Ustadz Sabar. Setelah jauh, barulah para pengepung menyadari kalau buruannya telah kabur. Mereka marah dan membakar masjid tempat Ustadz Sabar tadi bersemAnak-anak Muda Pengukir Sejarah


xi bunyi. Ustadz Sabar baru tahu kalau masjid itu dibakar setelah beberapa hari kemudian. Ustadz Anshor Amiruddin, juga kader senior Hidayatullah, mengutarakan pada acara Sarasehan Pendiri dan Perintis Hidayatullah di Batam, 11 Juni 2015, bahwa tak ada rasa takut pada dai Hidayatullah saat bertugas di daerah-daerah terpencil dan terluar. “Allahuyarham Ust Abdullah Said selalu berkata kepada kami, ‘Allah yang di Gunung Tembak (tempat pesantren induk Hidayatullah) sama dengan Allah yang ada di tempat tugas kalian. Jadi, mintalah pertolongan kepada Allah sebagaimana kita di Gunung Tembak juga meminta pertolongan kepada Allah’,” kata Ust Anshor yang Agustus 2020 lalu telah dipanggil oleh Allah Ta’ala. Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Ustadz Abdullah Said Ustadz Abdurrahman Muhammad


xii Pemimpin Umum Hidayatullah, KH Abdurrahman Muhammad, saat ditemui penulis di Gunung Tembak, Balikpapan, pada Oktober 2012, membenarkan adanya kisah-kisah heroik ini. “Begitulah kader-kader Ustadz Abdullah Said. Mereka bukan dai biasa. Mereka dai pejuang,” terang beliau. Jika ada persoalan berat yang sulit sekali dipikul, kata beliau lagi, para santri ini diminta mengadukan seluruh persoalan tersebut kepada Allah Ta’ala lewat shalat malam. “Mengadulah kepada Allah lewat rukuk dan sujud yang lama,” jelas beliau menirukan nasehat KH Abdullah Said dulu. Kini, para dai senior Hidayatullah sudah tidak muda lagi. Sebagian besar di antara mereka, termasuk para pendiri seperti KH Abdullah Said, KH Hasan Ibrahim, KH Usman Palese, dan KH Nazir Hasan, telah dipanggil oleh Allah Ta’ala. Satu-satunya pendiri Hidayatullah yang masih ada saat buku ini ditulis adalah KH Hasyim HS. Saat berceramah di depan para kader muda Hidayatullah di Palu, Sulawesi Tengah, pada Agustus 2022, beliau berkata, “Saya sekarang seperti berhadapan dengan orang-orang yang ilmunya lebih hebat dari saya. Kelebihan saya sekarang hanya satu, yakni umur. Tidak ada yang melebihi umur saya sekarang ini.” Pernyataan rendah hati KH Hasyim ini langsung disambut tawa para dai muda Hidayatullah. KH Anak-anak Muda Pengukir Sejarah


xiii Hasyim melanjutkan ceritanya. “Dulu, saat merintis Hidayatullah, para pendiri dan perintis tidak tahu apa-apa. Mengaji saja kami belum lancar. Tahsinnya masih belepotan. Ayat Qur’an banyak yang belum hafal. Tapi kami berani tampil. Sebab, kata Allahuyarham Ust Abdullah Said, maju saja! Kalau niatmu baik, maju saja! Nanti Allah yang akan bantu.” Begitulah militansi dakwah para pendahulu Hidayatullah. Lantas apakah semangat tersebut telah terwariskan kepada generasi penerus mereka? “Ya!” jelas Shohibul Anwar, Ketua Departemen Komunikasi dan Penyiaran DPP Hidayatullah, saat berhalaqoh dengan penulis pada suatu pagi. Untuk membuktikan itu, Shohibul Anwar lalu mengajak penulis melihat langsung kiprah dakwah para dai muda Hidayatullah di seluruh pelosok Nusantara. Perjalanan ke sejumlah lokasi dakwah para dai muda Hidayatullah ini ternyata tak mudah. Pada suatu kesempatan, penulis pernah mengarungi lautan dengan perahu kayu dan terhempas-hempas diayun ombak besar di pesisir Halmahera, Maluku Utara. Ketika nelayan yang mengantar penulis bersama Shohibul Anwar dan Abdul Muin, Ketua PosDai Hidayatullah, ditanya mengapa tak menyisir saja di dekat pantai yang airnya cukup tenang? Mengapa memilih agak menjauh dari pantai dengan risiko peAnak-anak Muda Pengukir Sejarah


xiv rahu bisa terbalik karena dihempas ombak yang besar? Dengan enteng sang nelayan menjawab bahwa di pesisir dekat pantai banyak sekali buaya putih. Buaya itu lebih berisiko dibanding ombak yang besar ini. Begitu pula saat penulis bersama tim PosDai Hidayatullah menapaki Pulau Rupat, pulau terluar di peraian Riau. Di pulau kecil itu, masih banyak dijumpai sungai yang tak memiliki jembatan. Penyeberangan hanya bisa dilakukan dengan perahu atau rakit kayu. Praktis, untuk menyusuri pulau itu tak bisa menggunakan mobil. Kami menjajaki pulau itu dengan motor tua. Di tempat-tempat seperti itulah para dai muda Hidayatullah mengemban amanah dakwah. Anda bisa mengikuti semua kisah mereka lewat buku ini. Setiap kali penulis melakukan kunjungan ke wilayah dakwah para dai tersebut, penulis selalu ditemani oleh Ketua PosDai Hidayatullah, Abdul Muin, dan sekretaris PosDai, Zainal Amiruddin, serta tak ketinggalan Shohibul Anwar. Perlu penulis ungkapkan bahwa PosDai atau Persaudaraan Dai Indonesia adalah lembaga swadaya yang berusaha memenuhi kebutuhan para dai yang siap bertugas di daerah-daerah terpelosok, terpencil, tertinggal, dan minoritas. Lembaga inilah yang mendukung penulis mendatangi dai-dai muda HidayaAnak-anak Muda Pengukir Sejarah


xv tullah di tempat mereka berdakwah. Buku ini adalah rekam jejak segelintir dai muda Hidayatullah yang patut menjadi teladan anak-anak muda zaman sekarang. Tentu masih banyak dai muda Hidayatullah yang jejaknya belum terekam oleh penulis. Di antara mereka, mungkin ada yang memiliki kisah jauh lebih seru dibanding apa yang terceritakan dalam buku ini. Namun setidaknya, buku ini menjadi bukti bahwa spirit para pendahulu Hidayatullah telah terwariskan kepada generasi selanjutnya. Selamat menikmati sajiannya. *** Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Penulis (paling kiri) bersama Tim PosDai Hidayatullah: Abdul Muin (Ketua PosDai), Zainal Amiruddin (Sekretaris PosDai), dan Shohibul Anwar (Ketua Departemen Komunikasi dan Penyiaran DPP Hidayatullah)


xvi Taufiqurrahman Dai muda asal Madura, bertugas di Tobelo, Maluku Utara Kutipan “Saya tidak ingin seperti Nabi Yunus yang dihukum oleh Allah karena meninggalkan medan dakwah. Saya tidak ingin pergi dari kampung ini.” Ha­bibullah Lubis Dai muda di Kaki Gunung Sebayak, Sumatera Utara “Sampaikan kepada mereka bahwa di sini orang baku bunuh (saling membunuh) karena mabuk. Di Madura (Jawa Timur), orang baku bunuh karena sadar. Saya orang Madura. Tentukan di mana dan kapan kita baku bunuh.” Ikhsan Tau­fiq Dai muda di Pekanbaru, Riau “Pokoknya, digaji atau tidak, harus siap kerja.” xvi


xvii Yusuf Sunarko Dai muda asal Malang, bertugas di Maba, Maluku Utara. “Kalau sudah waktunya, pertolongan Allah akan datang. Tak perlu khawatir. Kerja saja dulu! Nanti semua kebutuhan, akan Allah penuhi.” Maghfuri Dai muda asal Demak, Jawa Tengah, bertugas di Manokwari Selatan “Saya malu dengan para perantau yang menjadi pekerja kasar di Papua ini. Mereka merantau sekadar mencari makan, sedang saya merantau untuk mengusung misi mulia menegakkan Islam di Bumi Papua. Mengapa mereka bisa bertahan, sedang saya sempat terlintas untuk menyerah hanya garagara diserang malaria?” xvii Anak-anak Muda Pengukir Sejarah


xviii Daftar Isi vi xvi xvii 2 18 42 54 76 94 112 126 142 166 174 184 196 Pengantar Penulis Kutipan Daftar Isi • Sebuah Kampung Untuk Suku Togutil • Kami Akan Kembali ke Lau Gedang • Pucat Pasi di Tobelo • Mengantar Cibuntu Menjadi Desa Mengaji • Menanam Asa di Manokwari Selatan • Menaklukkan Belantara Pekanbaru • Meretas Dakwah di Teluk Bintuni • Menanti Azan di Pulau Longos • Mencari Mutiara di Kepulauan Aru • Jangan Takut Berdakwah di Wamena • Mengubah Kandang Ayam Menjadi “Kandang” Orang • Geliat Dakwah di Nusa Penida • Meng-Qur’an-kan Nusantara dari Rumah-rumah Sederhana


1 214 224 238 254 272 • Anak Rumahan Menaklukkan Maba • Mendakwahi Dunia dari Bilik Kedap Suara • Kisah Dakwah Sang Penombak Ikan • Menebar Cahaya Islam di Hulu Sungai Mahakam Tentang Penulis Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Saharuddin, salah seorang dai muda Hidayatullah, pada September 2016, tengah berlayar dari Manggarai, NTT, menuju Pulau Longos, tempat di mana ia berdakwah.


Sebuah Kampung Untuk Suku Togutil 2 2 P ada penghujung 2015, beredar kabar seorang warga Maba, Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara, dibunuh secara sadis. Ia dimutilasi. Lalu beredar kabar bahwa pelaku mutilasi tersebut adalah warga suku pedalaman yang tinggal di hutan-hutan Halmahera. Namanya Suku Togutil, atau dikenal pula dengan Suku Tobelo Dalam. Sebenarnya tuduhan tersebut belum terbukti. Namun, media massa ketika itu sudah memNurhadi


3 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah beritakannya. Warga Maba pun sudah terlanjur percaya. Mereka ketakutan. Apalagi perkampungan penduduk saat itu belum dialiri listrik. Rumah penduduk juga belum banyak. Ini semua membuat suasana semakin mencekam. Warga takut bertemu orang suku. Namun, tidak bagi Nurhadi, dai muda Hidayatullah asal Pemalang, Jawa Tengah, yang telah tinggal di Maba sejak tahun 2011. Ia justru heran mengapa setiap kali ada kejahatan di wilayah itu telunjuk langsung diarahkan kepada orang-orang suku Togutil? Apakah betul orang-orang suku tersebut jahat? “Saya tidak percaya,” jelas Nurhadi kepada penulis yang menemuinya di Halmahera pada pertengahan Juni 2022. Rasa penasaran membuat Nurhadi mulai mencari informasi siapa sebenarnya orang-orang Toghutil tersebut. Ia yakin, mereka tak seseram yang diceritakan masyarakat. Bahkan, Nurhadi juga meyakini orang-orang suku tersebut bisa didekati, didakwahi, dan diajak memeluk Islam. “Saya terinspirasi oleh semangat dakwah dai-dai di Papua. Mereka bisa mengajak masyarakat primitif masuk Islam. Kalau di sana bisa, seharusnya di sini juga bisa,” jelas Nurhadi lagi. Nurhadi lalu mengumpulkan informasi tentang suku Togutil. Ia menjadi paham bahwa jumlah orang


4 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Suku Togutil di Halmahera, Maluku Utara, sebenarnya tidak sedikit. Namun, mereka menetap di dalam hutan, utamanya di sekitar Totodoku, Tukur-Tukur, Lolobata, Kobekulo, dan Buli, yang termasuk dalam areal Taman Nasional Aketajawe-Lolobata, Kabupaten Halmahera Utara. Hanya beberapa saja yang tampak keluar hutan dan masuk ke perkampungan. Nurhadi juga mulai paham bahwa orang-orang Togutil ini hidup berkelompok. Satu kelompok bisa berjumlah 40 orang, namun masih satu keluarga besar. Mereka tinggal di gubuk-gubuk kecil yang hanya terbuat dari bambu dan kayu. Atapnya daun palem (Livistonia sp), dan lantainya dari papan. Umumnya gubuk mereka tak berdinding. Mirip saung, kata Salah seorang masyarakat Suku Togutil yang ditemui penulis di Halmahera, Maluku Utara.


5 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah orang Sunda (Jawa Barat). Jika dilihat fisiknya, roman muka dan warna kulit orang Togutil agak berbeda dengan orang-orang Tobelo pesisir. Mereka lebih mirip orang Melayu. Namun, mereka berbicara satu sama lain dengan bahasa Tobelo, mirip dengan bahasa yang dipergunakan penduduk pesisir. Pakaian mereka masih sederhana. Kebanyakan bertelanjang dada. Kehidupan mereka dari berburu babi, rusa, atau mencari ikan di sungai-sungai, mengumpulkan telur megapoda, damar, dan tanduk rusa untuk dijual kepada orang-orang di pesisir. Sebagian dari mereka ada yang berkebun. Biasanya kebun mereka ditanami pisang, ketela, ubi jalar, pepaya, dan tebu. Namun, karena mereka suka berpindah-pindah, kebun mereka tak diolah secara serius. Kadang mereka tinggalkan begitu saja lahan yang sudah mereka tanami. Sehari-hari mereka biasa menyantap makanan yang dioleh dengan cara dibakar, atau langsung mereka makan mentah-mentah. Ada umbi-umbian, pucuk daun muda, buah buahan, atau hasil buruan. Masyarakat suku Togutil tak memiliki agama. Hanya saja, mereka percaya pada kekuatan makhluk halus di sekitar mereka. Untuk mengendalikan mahluk-mahluk halus tersebut mereka mempersembahkan sesajaen dan upacara-upacara tertentu.


6 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Karena tak memiliki agama, norma yang mereka anut pun tak sesuai dengan fitrah manusia. Ada laki-laki yang memiliki banyak “isteri”, namun ada juga perempuan yang memiliki banyak “suami”. Bahkan, kata Nurhadi, ada bapak yang mengawini anaknya, atau kakak yang mengawini adik kadungnya. Jika siang, laki-laki dewasa akan keluar untuk berburu atau berkebun. Hanya anak-anak dan wanita yang tinggal di gubuk itu. Jika ada yang menggangu, mereka segera melawan atau pindah ke tempat lain. Begitu juga jika ada salah satu anggota keluarga yang meninggal, mereka segera pindah. Sebab, cerita Nurhadi, mereka percaya orang yang meninggal bisa mendatangkan bencana. Salah seorang masyarakat Suku Togutil yang ditemui penulis di Halmahera, Maluku Utara.


7 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Semakin banyak informasi yang diperoleh Nurhadi tentang orang-orang Togutil, semakin tertarik ia untuk menemui mereka. Ia yakin, orang-orang suku ini tak sejahat sebagaimana diceritakan banyak orang. Mereka manusia biasa yang punya hak untuk mendapat bimbingan. Boleh jadi, hidayah belum turun kepada mereka karena selama ini tak ada dai yang menyampaikan kebenaran kepada mereka. Jika memang demikian, tak pada tempatnya mereka dituding, dicurigai, bahkan dijauhi. Tertarik Akhlak yang Baik Pada penghujung 2015, Nurhadi membulatkan tekad untuk mencari di mana orang-orang suku Togutil itu berada. Awalnya, Nurhadi menemui penduduk kampung Maba yang pernah bertemu orang-orang pedalaman itu, dan meminta mereka mengantar Nurhadi menemui orang-orang suku terasing tersebut. Rupanya pencarian tak segera berbuah hasil. “Kami berjalan berhari-hari, tapi tidak juga ketemu orang-orang Togutil,” cerita Nurhadi. Inilah awal kisah dakwah yang panjang kepada penduduk suku pedalaman. Nurhadi, dai muda kelahiran 1986 ini, dengan segala kesabaran dan keterbatasannya, terus berusaha mencari calon “santri”nya yang “sembunyi” en-


8 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah tah di mana. Akhirnya, Allah Ta’ala mempertemukan Nurhadi dengan orang-orang Suku Togutil. Pertemuan pertama berlanjut dengan pertemuan kedua, ketiga, dan seterusnya hingga Nurhadi mulai akrab dengan beberapa di antara mereka. “Mulanya mereka curiga dengan saya,” cerita Nurhadi. Namun, pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, mereka mulai mau menerima Nurhadi. Apalagi Nurhadi sering membawa makanan. Mereka malah sering makan bersama. “Jika sudah mau makan bersama, itu tandanya mereka sudah terbuka dengan kita,” jelas Nurhadi lagi. Suatu ketika, Nurhadi menyempatkan diri bermalam di gubuk-gubuk mereka. Saat itu hujan deras turun. Nurhadi menyaksikan bagaimana orangorang Togutil itu kebasahan karena gubuk mereka bocor. Namun, mereka tetap tertidur lelap, baik anakanak, maupun para wanita. Nurhadi juga menyaksikan bagaimana mereka kelaparan ketika hasil buruan tidak ada, bahkan sampai dua hari mereka tak menemukan makanan. Lalu mereka mengikatkan rotan ke perut. “Saya tanya, mengapa rotan itu diikatkan ke perut sampai 10 gulungan? Kata mereka, ini untuk menahan lapar.” Fakta-fakta tersebut membuat laki-laki berhati lembut ini menangis. “Saya tidak bisa menahan lagi.


9 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Saya menangis melihat mereka,” kata Nurhadi. Ini semua kian mengokohkan tekadnya untuk membantu kehidupan orang-orang Togutil. Maka, sejak itu, hari-hari Nurhadi mulai disibukkan untuk membina masyarakat suku terasing tersebut. Kadang ia harus berjalan masuk hutan seharian dengan bekal terbatas. Namun setelah sampai di tempat di mana mereka biasa bertemu, ternyata gubuk orang-orang Togutil itu sudah kosong. Mereka sudah pindah. Suatu ketika, Nurhadi datang membawa kue-kue kering dan pakaian layak pakai untuk mereka. Bukan main mereka senang, meskipun mereka belum terbiasa mengenakan baju. “Baju dan celana yang saya bawa cuma dipakai satu kali. Setelah lama dipakai, mereka buang,” cerita Nurhadi. Sebenarnya jarak antara kediaman Nurhadi dengan gubuk-gubuk masyarakat suku Togutil yang dibinanya sangat jauh. Nurhadi tinggal di Pesantren Hidayatullah di Maba, sedang masyarakat suku yang dibinanya berada di Maba Utara. Jarak tempuh perjalanan bisa 5 jam lewat darat dan laut. Karena itu, pembinaan tidak bisa dilakukan setiap hari. “Kalau ada biaya, saya datang ke mereka sambil membawa makanan. Kadang seminggu sekali, kadang sebulan sekali,” cerita Nurhadi. Biasanya, sekali berkunjung, Nurhadi menginap se-


10 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah malam atau dua malam di Desa Satuan Pemukiman (SP) 2, wilayah transmigrasi terdekat. Untunglah selalu ada warga desa yang menyediakan rumahnya untuk diinapi oleh Nurhadi. Bahkan, cerita Nurhadi, di awal-awal pembinaan, ia bisa menginap berminggu-minggu di desa tersebut agar bisa mengunjungi orang-orang Togutil setiap hari. Lama-lama, beberapa orang Togutil mulai akrab dengan Nurhadi. Mereka mendirikan gubuk-gubuk di dekat sungai di pinggir desa. Mereka juga bersedia mengenakan pakaian yang rapi dan bercocok tanam. Beberapa kali Nurhadi mencarikan bibit tanaman pokok seperti jagung, ubi, singkong, bahkan padi untuk mereka. “Saya baru bisa benar-benar beradaptasi dengan mereka setelah satu setengah tahun. Saya sedikitsedikit belajar bahasa mereka,” cerita Nurhadi. Setelah hubungan kian baik, Nurhadi mulai memperkenalkan Islam kepada mereka. Secara sukarela, mereka bersedia memeluk Islam. Herman, salah seorang warga desa yang menikah dengan wanita suku Togutil, bercerita kepada penulis bahwa ia dan istrinya memeluk Islam karena tertarik dengan akhlak yang dicontohkan oleh Nurhadi. “Islam mengajarkan kerapian. Islam mengajarkan akhlak yang baik. Islam mengajarkan menolong sesama. Karena itu kami mau masuk Islam,” kata Herman.


11 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Setelah masuk Islam, Herman, isterinya, dan sejumlah warga suku Togutil bersama masyarakat setempat mulai belajar shalat dan mengaji. Setiap kali Nurhadi datang, mereka selalu berkumpul di salah satu rumah warga dan meminta Nurhadi mengajari mereka membaca huruf-huruf al-Qur’an. Seperti malam itu, Selasa 21 Juni 2022, saat penulis tiba di rumah Herman, masyarakat sudah berkumpul. Nurhadi mengajari mereka satu per satu. Setiap kali salah seorang di antara mereka selesai membaca huruf hijaiyah, yang lain spontan berkata “marahay”. Artinya, “hebat”. Kini, kata Nurhadi, sudah ada 83 warga Suku Togutil Nurhadi sedang mengajar menulis seorang anak Suku Togutil.


12 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah yang memeluk Islam. Para wanita sudah ada yang mengenakan jilbab. Anak-anak juga sudah mau sekolah. Bahkan, di antara mereka, ada yang merelakan putranya dibawa oleh Nurhadi untuk menuntut ilmu di Pesantren Hidayatullah Subaim, Halmahera Timur. Membangun Kampung Mualaf Pertengahan Juni 2022, penulis bersama Tim Pos Dai Hidayatullah mengunjungi Nurhadi di Maluku Utara. Kami terbang meninggalkan Jakarta sebelum subuh menuju Ternate, ibukota Provinsi Maluku Utara. Setelah menginap satu malam di Ternate, kami menyeberang ke Pulau Halmahera, lalu melanjutkan perjalanan darat selama hampir 5 jam ke arah Tobelo Barat. Di Tobelo, kami menginap satu malam, kemudian melanjutkan kembali perjalanan lewat laut dan terhempas di antara gelombang laut yang memaksa kami harus berteriak “Allahu Akbar.” Setelah 4 jam perahu kecil yang kami tumpangi membelah ombak, sampailah kami di pesisir Maba Utara. Perjalanan rupanya belum berujung. Kami masih harus meniti jalan setapak berkerikil dan berbelok-belok selama hampir satu jam menggunakan kendaraan motor. Akhirnya, tibalah kami di sebuah kawasan terbuka yang pepohonannya baru saja ditebang. Kawasan tersebut masih masuk wilayah


13 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Tutukur, Maba Utara, Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara, tepatnya di dekat Satuan Pemukiman (SP) warga transmigrasi. “Inilah lokasi yang nanti akan kita bangun perkampungan Suku Togutil,” jelas Nurhadi. Ikut pula menyertai kami Ketua Departemen Komunikasi dan Penyiaran Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, Shohibul Anwar, serta Ketua PosDai Pusat, Abdul Muin. Saat kami tiba tentu saja belum ada bangunan sama sekali di atas lahan seluas 3 hektar tersebut. Yang ada hanya pepohonan yang baru saja ditebang dan semak belukar yang habis dibakar. Namun, Nurhadi mengimpikan kelak di atas lahan tersebut akan berdiri rumah-rumah warga, sekolah, dan masjid. Inilah cikal bakal berdirinya kampung mualaf suku Togutil. Jika Allah Ta’ala memudahkan terwujudnya rencana ini maka babak baru pembinaan para mualaf suku Togutil akan dimulai. Shohibul Anwar, Ketua Departemen Komunikasi dan Penyiaran DPP Hidayatullah, membenarkan bahwa pembinaan kepada masyarakat suku Togutil akan jauh lebih efektif dan efisien bila mereka menetap di suatu tempat. Sebab, kata Shohibul, pembinaan harus dilakukan secara berkesinambungan. “Mana mungkin kita bisa membina mereka secara tuntas jika mereka terus berpindah-pindah,” kata Shohibul. Dulu pun, ketika Rasulullah ( ). tiba


14 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah di Madinah, maka bangunan pertama yang didirikan oleh Rasulullah ( ) adalah masjid. Ini tujuannya agar masyarakat memiliki tempat untuk beribadah secara bersama-sama, berkumpul, bermusyawarah, dan menimba ilmu. Nurhadi menyadari, tak mudah mengajak masyarakat suku Togutil menetap di rumah yang permanen. Hanya saja, Nurhadi berharap, warga suku Togutil yang telah ia bina selama ini tak keberatan tinggal menetap jika kampung mualaf nanti sudah jadi. Jika penghuni kampung sudah ada dan mereka sudah terbiasa tinggal di rumah permanen maka ini akan menjadi contoh masyarakat suku Togutil lainnya yang masih tinggal di hutan-hutan. Kelak, kata Nurhadi, masyarakat suku Togutil yang tinggal di perkampungan ini akan diajari bagaimana cara beternak dan bercocok tanam. Mereka juga akan diberi lahan untuk digarap. Karena itu, Nurhadi sangat berharap peran serta pemerintah untuk ikut membina masyarakat Suku Togutil ini. Menurut Aman, Kepala Desa Wasileo, salah satu desa di Maba Utara yang menjadi hunian warga suku Togutil binaan Nurhadi, masyarakat suku pedalaman memang suka berpindah-pindah. “Saya pernah dua kali bertemu mereka. Memang tidak mudah meminta mereka menetap. Mereka


15 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah perlu disadarkan dulu,” jelas Aman kepada penulis. Namun, Aman memberi apresiasi atas apa yang dilakukan Nurhadi. “Pemerintah sangat terbantu dengan Ust Nurhadi ini. Mudah-mudahan dengan pembinaan yang terus menerus mereka mau menetap di kampung yang kita buat nanti,” jelasnya. Aman berjanji akan membantu membuatkan warga suku Togutil ini KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan KK (Kartu Keluarga). “Sekarang ada perubahan kebijakan (bahwa) KK dan KTP bisa diurus di kelurahan atau kantor desa,” kata Aman. Ini akan mempermudah pengurusan dua surat penting bagi warga negara Indonesia tersebut. Sementara itu, Jaelani, Kepala Desa Satuan Pemukiman (SP) 2, tempat di mana suku Togutil banyak mendirikan gubuk-gubung mereka, mengatakan bahwa dulu warga transmigrasi di desanya banyak. Jumlahnya mencapai lebih dari 300 kepala keluarga (KK). Mereka menanam kopra dan kelapa. Kopra dijual seharga Rp 6 ribu per kilo, sedang kelapa Rp 800 per butir. Namun, tak lama setelah mereka mendiami wilayah transmigrasi ini, satu per satu mereka pulang kembali ke asalnya. Tinggallah sekitar 100 KK yang kebanyakan memang penduduk asli Halmahera. Penyebabnya, mereka tidak kuat dengan kondisi alam yang sulit.


16 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah “Transportasi ketika itu hanya jalan setapak berlumpur. Tak bisa dilewati motor. Jembatan penyeberangan belum ada. Hasil kebun juga sulit dijual,” jelas Jaelani. Sekarang kondisi sudah berangsur membaik. Beberapa jembatan sudah dibangun. Jalanan, meski masih berupa setapak di beberapa ruas, sudah bisa dilewati motor. Jaelani berharap, kampung mualaf bisa segera dibangun sehingga desa mereka akan lebih ramai. Jaelani percaya kehidupan orang-orang suku Togutil akan lebih berkembang bila mereka menetap di kampung dan berbaur dengan masyarakat. Sebab, selama ini, mereka sudah terbiasa hidup sulit di hutan-hutan. Jadi, sesulit apa pun kehidupan mereka nanti, mereka akan mampu bertahan. Jaelani juga mengakui kehidupan ber-Islam masyarakat di wilayahnya masih belum bagus. Masih banyak yang belum bisa mengaji. Jumlah Muslim juga minoritas. Komposisinya 30 berbanding 70. Untunglah, kata Jaelani, tak ada gesekan antara pemeluk Islam dan non-Islam. Bahkan, pernah suatu ketika, ada warga non-Muslim meninggal dunia. Jenazahnya tak ada yang mau mengurus. Warga non-Mulim justru meminta kepada warga Muslim agar jenazah diurus sesuai kebiasaan orang Islam saja.


17 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Jaelani tentu tidak mau. Sebab, ia tahu persis orang tersebut bukan Muslim. “Kami diskusi tentang ini sampai 3 jam. Tidak ada kata sepakat,” cerita Jaelani. Demikian gambaran keadaan beragama di desa tersebut. Jaelani berharap ada dai yang mau membimbing mereka dan tinggal bersama mereka, termasuk membimbing masyarakat suku Togutil yang nanti akan tinggal bersama mereka. Soal ini, PosDai Hidayatullah dan Nurhadi sebenarnya sudah menyiapkan dai-dai yang dimaksud. Beberapa anak muda desa setempat telah dikirim ke Sekolah Dai Hidayatullah di Ciomas, Bogor, Jawa Barat. Ada juga yang dikuliahkan di perguruan tinggi milik Hidayatullah di Surabaya, Jawa Timur. Bahkan, sejumlah anak-anak Suku Togutil sudah dikirim ke Pesantren Hidayatullah di Halmahera dan Ternate. Kelak, setelah mereka selesai menuntut ilmu, mereka akan pulang ke kampung halamannya untuk menjadi dai di sana. Jika Allah Ta’ala memudahkan semua, kepulangan mereka akan bersamaan dengan terbangunnya kampung mualaf di Maba Utara yang kini sedang dipersiapkan oleh Nurhadi. Hanya Allah Ta’ala yang berkehendak untuk memudahkan semua ikhtiar tersebut. ****


Kami Akan Kembali Ke Lau Gedang 18 L au Gedang adalah nama sebuah kampung kecil di kaki Gunung Sebayak, Sumatera Utara. Nama daerah ini sebenarnya Sembekan Dua, berada di Desa Suka Makmur, Kecamatan Kutalimbaru, Kabupaten Deli Serdang. Namun, orangorang biasa menyebutnya Lau Gedang. Lau artinya sungai, gedang artinya panjang. Memang, menurut warga setempat, ada sungai panjang di daerah tersebut. Gunung Sebayak sendiri adalah gunung berapi yang aktif. Tingginya sekitar 2.172 meter di atas permukaan laut (mdpl). Lerengnya ditumbuhi hutan beHabibullah Lubis


19 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah lantara tropis yang lebat, sedang di puncaknya terdapat kawah yang masih aktif dan mengeluarkan magma. Di kaki gunung inilah Kampung Lau Gedang berada. Selain berada di kaki Gunung Sibayak, kampung ini juga dikelilingi oleh bukit barisan dan gununggunung yang tinggi. Berada di sana, kita seakan berdiri di cekungan piring raksasa. Di sekeliling kita berdiri kokoh beberapa pegunungan, termasuk Gunung Sinabung yang sempat beberapa kali meletus dalam beberapa tahun belakangan ini, dan Gunung Sibuaten yang konon tertinggi di Sumatera Utara. Kampung Lau Gedang terletak di ketinggian sekitar 1.350 mdpl, atau setengah dari ketinggian Gunung Sibayak. Udara di sana sudah pasti dingin sekali. Hembusan angin yang menusuk kulit akan terasa sampai ke tulang. Saking dinginnya, jika kita mengobrol di pagi hari, akan keluarlah uap air menyerupai asap dari mulut kita. Wilayah kampung ini sebenarnya berada di zona Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan. Secara keseluruhan, kawasan Tahura Bukit Barisan meliputi tiga kabupaten di Sumatera Utara, yakni Karo, Deli Serdang, dan Langkat, dengan luas total 51.600 hektar. Lau Gedang sendiri berada di perbatasan Karo dan Deli Serdang. Meskipun secara administratif kawasan


20 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ini masuk di Kabupaten Deli Serdang, namun ia justru lebih mudah dijangkau lewat Kabupaten Karo. Karena berada di zona Tahura, seharusnya kawasan ini tak boleh dihuni, apalagi didirikan bangunan permanen. Namun faktanya di kawasan ini sudah berdiam sekitar 70 kepala keluarga. Mereka membuka ladang, membangun rumah-rumah permanen dan semi permanen, bahkan telah terbentuk sebuah kampung kecil di sana. Menurut Aripin Barus, salah seorang warga Lau Gedang yang telah lama menetap di kampung tersebut, kawasan ini awalnya dijadikan tempat pelariMasjid Nurul Yaqin, satu-satunya masjid di Lau Gedang, kaki Gunung Sebayak.


21 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah an atau persembunyian. “Dulu, orang-orang yang datang ke kawasan ini adalah orang-orang yang bermasalah,” kata Aripin kepada penulis saat ditemui di Lau Gedang awal April 2022. Sang isteri ikut menimpali cerita Aripin. “Dengardengar cerita dari mulut ke mulut, dulu orang yang tinggal di sini bikin rumah dari pohon untuk tempat bersembunyi,” cerita isteri Aripin dengan penuh semangat. Namun, lama-lama, kawasan ini bukan lagi dijadikan tempat persembunyian. Banyak pendatang yang tertarik tinggal di kawasan ini karena lahannya yang subur, termasuk Aripin dan isterinya. Mereka pindah ke Lau Gedang pada tahun 2013. “Saat itu belum banyak yang tinggal di kampung ini. Hanya 11 rumah,” jelas Aripin. Ia membuka lahan untuk ditanami kopi dan sayursayuran. Harga kopi saat itu sedang tinggi. Satu kilo bisa dijual Rp 40 ribu. Ini semua membuat Aripin dan isterinya semakin betah tinggal di Kampung Lau Gedang. “Sebelum tinggal di sini, saya tidak pernah berkebun. Setelah tinggal di sini, saya jadi terbiasa berkebun,” jelas istri Aripin. Seluruh masyarakat yang tinggal di Lau Gedang memang bekerja sebagai peladang. Ada yang menanam cabe, tomat, sawi putih, dan terong belanda. Dari semua jenis tanaman tersebut, kopi menjadi primadona.


22 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Kopi Lau Gedang berjenis arabica. Masyarakat Medan, Sumatera Utara, mengenal baik kopi ini. Ada yang menyebutnya kopi Lau Gedang, ada juga yang menyebutnya kopi Sembekan, nama asli kampung ini. Kualitasnya dinilai bagus. Tak heran jika harganya lumayan tinggi. Inilah sumber penghasilan terbesar masyarakat Lau Gedang. Dinas Kehutanan Sumatera Utara bukan tak tahu soal hunian yang berdiri di Kawasan Tahura ini. Salah seorang petugas kehutanan dari Dinas Kehutanan Sumatera Utara ketika ditemui penulis awal April 2022 menceritakan bahwa kini mereka melakukan pendekatan yang lebih manusiawi kepada penduduk. Tidak seperti dulu, mereka kerap melakukan pengusiran secara paksa kepada para peladang. Sekarang, mereka mempersilahkan penduduk Lau Gedang berladang di kawasan itu asalkan mau bergabung dalam kelompok tani yang mereka bina. Lagi pula, kawasan tahura sebetulnya memiliki beberapa fungsi. Salah satunya, kata petugas tersebut, sebagai kawasan pemanfaatan. Di kawasan ini, masyarakat boleh menanaminya, namun tetap harus dalam koordinasi Dinas Kehutanan. Begitu juga soal bangunan, ada beberapa wilayah yang boleh berdiri, ada juga yang tidak. Penulis tiba di Lau Gedang pada Senin, 11 April 2022. Perjalanan dimulai dari Jakarta, terbang menuju Ban-


23 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah dara Kualanamu, Medan, Sumatera Utara. Setelah menginap satu malam di Medan, perjalanan diteruskan dengan mobil sekitar 3 sampai 4 jam menuju Kota Berastagi, Kabupaten Karo. Sampai di kota ini, kendaraan menuju Lau Gedang diganti. Sebab, jalanan menuju kampung ini tidak rata. Banyak batu-batu besar. Sebagian jalanan masih berupa tanah keras yang berlubang. Jika tak hati-hati, ban mobil bisa terperosok. Kadang-kadang perjalanan terhenti karena terhalang oleh tanah longsor atau pepohonan yang tumbang. Saat penulis melewati jalan menuju Lau Gedang, sebatang pohon tumbang melintang sehingga terpaksa harus disingkirkan terlebih dahulu. Menjelang sore, penulis tiba di Lau Gedang. Ketika itu, gerimis sedang turun. Udara terasa dingin. Sinyal ponsel tak ada. Komunikasi dengan “dunia luar” praktis terputus. Daerah ini benar-benar terpencil. Sebuah masjid berlantai dua sudah terlihat dari kejauhan. Masjid berwarna hijau dengan kombinasi warna kuning tersebut bernama Nurul Yaqin. Tampak kokoh dengan menara di salah satu sudut bagian depan. Masjid Nurul Yaqin baru saja selesai dibangun. Awalnya, masjid tersebut amat sederhana. Hanya terbuat dari kayu dan papan. Lalu Allah Ta’ala menggerakkan hati sejumlah mukhlisin, termasuk war-


24 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ga setempat, untuk membiayai pemugaran masjid tersebut. Alhamdulillah! Bangunan masjid yang berwarna agak mencolok ini sudah terlihat dari kejauhan ketika kita akan memasuki Kampung Lau Gedang Di masjid itulah masyarakat Lau Gedang menegakkan shalat fardu berjamaah. Di sana juga anak-anak belajar mengaji. Sang guru adalah dai muda yang diutus oleh PosDai Hidayatullah bekerja sama dengan Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Hidayatullah Sumatera Utara. Nama dai muda tersebut adalah Ulil Albab Habibullah Lubis, atau biasa disapa Ust Habib. Setengah dari penduduk Lau Gedang beragama Islam, dan sebagian dari masyarakat Muslim tersebut mualaf. Awalnya, mereka tentu belum pandai membaca Qur’an. Anak-anak mereka bahkan tak sekadar kesulitan membaca Qur’an tapi juga tak paham membaca latin. Karena itulah kedatangan Habib ke kampung itu sangat disyukuri oleh warga. Habib tak sekadar mengajar ngaji, tapi juga menggerakkan masyarakat untuk membenahi kampung yang terpencil tersebut. Bagaimana lika-liku kisah Habib mendidik masyarakat dan anak-anak mualaf di Kampung Lau Gedang ini? Mengapa pula Habib mau melewatkan masa mudanya di kampung yang sangat terpencil ini? Apa yang menyebabkan Habib mampu bertahan di sana? Mari kita lanjurkan kisah dakwah di kaki


25 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Gunung Sibayak ini. Habib Datang, Kampung Pun Berbenah Kita awali kisah ini dari sebuah ajakan pada September 2018. Yang mengajak adalah Ketua PosDai Hidayatullah Sumatera Utara yang saat itu dijabat oleh Ust Ibnu Rusydi Sinaga bersama Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Sumatera Utara yang saat itu dijabat oleh Ust Lukman Hakim. Sedang yang diajak adalah dai muda Hidayatullah kelahiran tahun 1992 bernama Ulil Albab Habibullah Lubis, yang biasa disapa Habib, bersama isteri. Ke mana ia diajak? Ke mana lagi kalau bukan ke Kampung Lau Gedang di kaki Gunung Sebayak! “Kami ingin Habib tinggal dan berdakwah di kampung Lau Gedang. Karena itulah kami mengajak dia dan isterinya ke tempat itu untuk melihat secara langsung kondisi kampung tersebut,” cerita Ibnu Rusydi Sinaga, yang biasa disapa Ust Rusydi, kepada penulis. Rusydi sebelumnya telah merintis dakwah di kampung Lau Gedang. Ia menggandeng Yayasan Baitul Mal (YBM) PT PLN untuk bekerja sama membina para mualaf di kampung itu. Pihak YBM PLN menyediakan dana pembinaan, sedang PosDai Hidayatullah menyedikan ustadz yang bersedia membina masyarakat di sana.


26 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Pada awalnya, Rusydi sendiri yang bolak balik dari Medan ke Lau Gedang selama 3 bulan untuk membina para mualaf di sana. Ia pergi setiap hari Kamis, dan pulang hari Ahad. Saat itu ada 20 kepala keluarga Muslim di Lau Gedang yang ia bina. Sebagian besar mereka mualaf. Rusydi merasa berdakwah bolak balik seperti itu tidak efektif. Pembinaan tidak bisa maksimal. Masyarakat Lau Gedang perlu didampingi setiap hari. Rusydi memutuskan untuk mencari dai yang bersedia menetap di Lau Gedang. Pilihan kemudian jatuh kepada Habib. Hari itu, saat tiba di Lau Gedang bersama Rusydi, Habib terpana. Terbayanglah keadaan yang amat kontras dengan kehidupan dia sebelumnya. Bila selama ini hari-harinya sibuk mengajar di sekolah milik Hidayatullah di Tanjung Morawa, Deli Serdang, tak jauh dari Kota Medan, Sumatera Utara, lantas apa yang akan dilakukannya di kampung terpencil seperti ini? Jangankan sekolah, listrik pun tak ada. “Sebenarnya saat itu saya tak keberatan tinggal di Lau Gedang,” cerita Habib kepada penulis, mengenang masa lalunya ketika pertama kali ditawari tinggal di kampung tersebut. “Namun, saya masih ragu apakah istri saya mau tinggal di sana? Isteri saya sibuk mengajar di sekolah Hidayatullah (Tanjung Morawa) dan juga sedang menyelesaikan ku-


27 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah liahnya di Medan,” kata Habib lagi. Melihat Habib ragu, Rusydi langsung berkata kepada isterinya yang ketika itu juga ikut meninjau lokasi. “Sudahlah, kalau Habib memang keberatan tinggal di Lau Gedang, biarlah kita saja umi yang pindah ke sini. Warga Lau Gedang butuh dai yang mau menemani mereka. Biarlah kita yang tua ini mengalah.” Mendengar perkataan Rusydi yang jauh lebih tua darinya, Habib tersentak. Jiwa mudanya bangkit. “Biar kami saja Ustadz,” kata Habib yang ketika itu baru berusia 26 tahun. “Bagaimana umi? Apa umi mau tinggal di sini bersama abi?” tanya Habib kepada isterinya. Tanpa disangka, sang isteri tak keberatan hijrah ke kampung terpencil itu bersama sang suami. “Umi akan ikut ke mana abi pergi,” kata sang isteri. Lega rasanya hati Habib. Rusydi juga merasa lega. Tak lama setelah itu terbitlah Surat Keputusan dari DPW Hidayatullah Sumatera Utara berupa penugasan Habib ke wilayah dakwah yang baru. Awal tahun 2019, pergilah Habib bersama sang isteri serta seorang anak yang masih kecil, hijrah ke Lau Gedang, kampung terpencil di kaki Gunung Sebayak. “Dulu (sebelum bertugas di Lau Gedang), saya dan isteri jarang sekali punya waktu bersama-sama di rumah. Semua sibuk mengajar. Malam-malam kami


28 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah berdua sudah capek,” cerita Habib Setelah di Lau Gedang, semua jadi berubah. Habib merasa hubungannya dengan sang isteri tambah harmonis. Habib lebih sering berada di rumah, membantu isterinya mencuci pakaian di sungai. “Dia yang mencuci, saya yang menjemur,” kata Habib seraya tersenyum. Setiap malam, sebelum tidur, mereka berdua suka mengobrol tentang banyak hal, ditemani lampu teplok yang cahayanya semakin lama semakin redup. Rupanya, Allah Ta’ala punya cara yang unik untuk merekatkan kembali hubungan yang tadinya mulai merenggang karena kesibukan. Alangkah indahnya kebersamaan itu! Sebagaimana kebanyakan dai Hidayatullah ketika pertama bertugas di daerah terpencil, aktivitas pertama Habib adalah bersilaturahim kepada para tokoh masyarakat dan warga kampung. Dari sanalah Habib bisa memetakan sejumlah persoalan yang dihadapi warga kampung dan apa yang bisa ia bantu untuk memecahkan masalah tersebut. “Saya mendapati hampir semua warga di kampung ini tidak bisa membaca, termasuk anak-anaknya, baik membaca latin, apalagi membaca Qur’an,” kata Habib. Inilah permasalahan pertama yang ingin ia pecahkan. Qadarallah, ia dan isterinya adalah guru. Jadi, klop! Inilah program pertama yang akan


29 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah dilakukan Habib dan isterinya. Habib tinggal di sebuah rumah sederhana di kampung itu. Rumah itu ia sewa atas bantuan para mukhsinin yang menginfaqkan hartanya lewat YBM PT PLN. Di rumah itulah Habib dan isterinya mengajar membaca dan menulis. Kegiatan belajar dan mengajar berlangsung setiap pagi. Para murid tak sekadar anak-anak, juga ada orang dewasa. Bukan juga sekadar warga Muslim, juga warga non-Muslim. Jumlahnya mencapai 60 orang. Pembawaan Habib yang kalem, membuat ia kian diterima oleh masyarakat Lau Gedang. Di kampung itu ada masjid sederhana yang dibangun oleh masyarakat setempat beberapa tahun sebelumnya. Bangunan masjid terbuat dari kayu dan papan. Kapasitasnya juga tak banyak. Hanya sekitar 30 orang saja. Nama masjid itu Nurul Yaqin. Di masjid itulah Habib mulai menghidupkan kembali shalat lima waktu berjamaah. Di masjid itu juga Habib mengajar anak-anak mengaji. “Kami gembira melihat anak-anak mulai akrab dengan al-Qur’an. Mereka membawanya ke mana-mana dan membacanya ketika ada waktu luang,” cerita Habib. Tahun 2020, masyarakat bersepakat untuk memugar kembali Masjid Nurul Yaqin. Habib dipercaya sebagai ketua panitia. Pemugaran dilakukan secara bergotong royong. Ada yang menyumbang


30 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah bahan-bahan bangunan seperti pasir, batu, dan semen. Ada juga mukhsinin dari luar kampung yang ikut menyumbang dalam jumlah lumayan besar. Pemugaran dimulai tanggal 17 Agustus 2020, dan selesai pada September 2021. Masjid yang tadinya sederhana, dipugar menjadi kokoh berlantai dua. Menara masjid sudah terlihat dari kejauhan ketika kita hendak memasuki kampung ini. Kegiatan Habib semakin lama kian bertambah. Ia juga diminta oleh masyarakat setempat untuk mengisi acara perwiritan, yakni tradisi berkumpul warga Lau Gedang, baik ibu-ibu maupun bapak-bapak. Tradisi ini sudah lama ada di Kabupaten Karo dan sekitarnya, termasuk Lau Gedang. Biasanya, acara ini dilaksanakan setiap malam Jumat. Mereka membaca Yasin bersama-sama, dilanjutkan dengan ceramah agama. Setiap Idul Qurban, Habib mengajak masyarakat ikut berqurban, baik masyarakat Lau Gedang maupun masyarakat luar Lau Gedang. Sejak jauh hari sebelum Idul Adha tiba, Habib sudah menghimbau kepada masyarakat untuk menabung. “Setiap hari ada yang menabung Rp 5 ribu, ada juga yang menabung Rp 10 ribu,” jelas Habib. Pelaksanaan Qurban selalu semarak. Pada tahun pertama terkumpul satu ekor sapi, sedang tahun kedua bertambah menjadi satu sapi dan empat


31 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah kambing. Daging qurban tak hanya dibagikan kepada masyarakat Muslim, tapi juga non-Muslim. Semua bergembira saat itu. Jumlah penduduk Muslim juga bertambah sejak kedatangan Habib. Semula hanya 20 KK, kini menjadi 45 KK. Setelah beberapa bulan Habib tinggal di Lau Gedang, datang pemberitahuan sekaligus tawaran dari pihak YBM PT PLN. Kontrak kerjasama PosDai Hidayatullah dan YBM PT PLN sudah berakhir. Pihak YBM meminta Habib untuk pindah berdakwah ke kaki Gunung Sinabung sesuai program mereka. Di tempat yang baru itu, pihak YBM berjanji akan memenuhi segala kebutuhan Habib dan keluarga dengan jumlah yang memadai. Habib menolak secara halus tawaran tersebut. “Saya tidak mungkin meninggalkan warga Lau Gedang,” jelas Habib. Penolakan tersebut berkonsekuensi terhadap terputusnya bantuan dari YBM PT PLN untuk menunjang dakwah Habib, termasuk perpanjangan biaya kontrak rumahnya. Habib tentu bisa memaklumi konsekuensi ini. Karena itu, sebelum kontrak rumahnya benar-benar habis, Habib mulai mencari alternatif tempat untuk berteduh keluarganya. Sebenarnya Habib menyimpan sebuah impian di Lau Gedang. Sudah lama ia ingin mendirikan pesan-


32 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah tren Hidayatullah di kaki Gunung Sebayak tersebut. Pesantren tempat para santri belajar dan menghafal al-Qur’an. Dari pesantren itulah, dalam impian Habib, akan dicetak para dai yang akan membina masyarakat di kaki-kaki gunung dan bukit di Sumatera Utara ini. Suasana Lau Gedang yang sunyi, ditambah udara yang dingin, sangat pas untuk tempat menetap para penghafal Qur’an. Begitulah impian yang kerap disebut-sebut oleh Habib dalam doanya. Allah Ta’ala rupanya memuluskan jalan menuju impian ini justru ketika Habib sedang mendapat cobaan tak lagi bisa memperpanjang kontrakan rumahnya. Seorang mukhsinin yang mengetahui kondisi dan keinginan Habib langsung mewakafkan sebidang tanah tak jauh dari pusat kampung Lau Gedang. Jika berjalan kaki, butuh waktu sekitar 15 menit. Luasnya tak tanggung-tanggung, sekitar 7 ribu meter per segi. Habib tentu bersyukur atas anugerah tersebut. Ia langsung mendirikan sebuah rumah dari kayu di tengah-tengah lahan wakaf, membabat semak dan alang-alang yang ada di sekitarnya, serta menggantinya dengan tanaman cabe dan sayuran. Habib juga dibantu oleh seorang penduduk setempat yang biasa ia sapa Bolang, serta tiga santri Hidayatullah yang ia bawa dari Medan.


Click to View FlipBook Version