83 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Sebab, kata Maghfuri, selain santri memang belum banyak, ia juga khawatir berdirinya masjid di tempat yang masih sepi seperti itu bakal menjadi pembicaraan banyak orang. Apalagi tak terlalu jauh dari tempat tersebut -- di wilayah yang banyak penduduk Muslimnya-- telah ada masjid. Jadi, kata Maghfuri kepada sang donatur, mendirikan musholla dan ruang belajar santri justru lebih banyak manfaatnya. Untunglah donatur tersebut bisa memahami keinginan Maghfuri. Maka, berdirilah Musholla Baitul Arsyad, sebuah mushola sederhana berkapasitas kira-kira 50 orang, dan beberapa kelas untuk belajar santri. Pada saat yang hampir bersamaan, Magfuri juga menyiapkan rencana pembangunan kelas yang lebih besar dan permanen. Saat penulis mendatangi pesantren tersebut akhir Agustus 2022, ruang kelas besar yang disiapkan Maghfuri masih berupa pondasi dan tiang-tiang yang tinggi. Setelah ruang kelas dan mushola sederhana selesai dibangun, Maghfuri mulai menerima santri. “Mulanya ada 12 santri dari Monokwari yang belajar di sini,” cerita Maghfuri. Setelah itu, Maghfuri belum berani menambah jumlah santrinya karena masih terbatas sarana dan prasarana. “WC dan kamar mandi saja masih belum layak,” kata Maghfuri. Selain para santri, Maghfuri juga mengajar anak-
84 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah anak TPA. Jumlahnya sekitar 17 orang. Mereka berasal dari anak-anak warga di sekitar pesantren. Sisa lahan wakaf yang belum terbangun dimanfaatkan oleh Maghfuri untuk bertanam sayuran seperti terong, kacang panjang, dan cabe. Ada pula kolam ikan di sisi timur dan kandang kambing di sisi selatan. “Kami punya banyak sekali sayuran. Kadang-kadang kami bawa ke pesantren Hidayatullah di Monokwari untuk ditukar beras,” cerita Maghfuri. Praktis soal makanan, Maghfuri tak kekurangan. Pada awal Agustus 2021, Maghfuri kedatangan tamu istimewa, yakni Kepala Seksi (Kasi) Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Provinsi Papua Barat dan Kasi Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam, Penyelenggara Pendidikan dan Haji Kemenag Manokwari Selatan. Rupanya mereka memeriksa kelayakan pesantren tersebut untuk diberi izin. Kepada para tamunya, Maghfuri bercerita bahwa sebetulnya pesantren ini didirikan oleh masyarakat. Sebab, lahan dan bangunan berasal dari masyarakat. Dirinya hanya menjalankan amanah dari masyarakat. Namun, Maghfuri telah membuktikan kesungguhannya menjalankan amanah tersebut. Terbukti, dalam waktu kurang dari setahun, di lokasi pesantren telah berdiri asrama santri, mushola, ruang belajar dan rumah pengasuh.
85 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Upaya Maghfuri meyakinkan tamunya berbuah hasil. Di akhir kunjungan tersebut, mereka menyerahkan berkas perizinan untuk segera diurus oleh Maghfuri. Lampu hijau telah menyala. Bukan main senang hati Maghfuri, juga Sulaiman. Allah Ta’ala benar-benar memberi kemudahan kepada mereka untuk menyemai para juru dakwah di bumi Cendrawasih ini. Setahun kemudian, tepatnya pada akhir Agustus 2022, penulis bermalam di Pondok Tahfidz Hidayatullah Manokwari Selatan atas undangan PosDai Hidayatullah. Hari itu, pondok yang dulu dirintis oleh Maghfuri baru saja selesai menjadi tuan rumah penyelenggaraan acara Pelatihan Guru Mengaji dan Bina Aqidah Hidayatullah se-Papua Barat. Rasa letih masih terlihat jelas di raut muka Maghfuri, namun ia mengaku senang. Sebab, pesantren yang ia rintis sejak hampir dua tahun lalu telah dipercaya oleh DPW Hidayatullah Papua Barat untuk menyelenggarakan event tingkat propinsi. Impian Maghfuri tentu belum sepenuhnya terwujud. Ia masih menyimpan harapan untuk membangun pesantren tahfidz yang lebih besar dan permanen. Sebuah site plan (rencana pembangunan) telah ia siapkan sejak jauh hari dan ia pajang di tengahtengah lahan wakaf. “Mohon doanya, semoga ini bukan cuma khayalan,” kata Maghfuri kepada penulis seraya memper-
86 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah lihatkan site plan tersebut. “Dan semoga Allah mengijabah impian kami, entah lewat saya atau lewat dai Hidayatullah yang ditugaskan ke sini menggantikan saya kelak,” katanya lagi. Semoga Allah Ta’ala mengabulkan doa Maghfuri. Pernah Goyah Maghfuri lahir di Demak, Jawa Tengah, pada 28 Desember 1985. Ia berasal dari keluarga sederhana dengan kultur Nahdlatul Ulama (NU) yang kental. Setelah tamat SD, Maghfuri tidak bisa melanjutkan sekolah karena kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan. “Selama satu tahun saya menghabiskan waktu bermain-main saja,” cerita Maghfuri. Suatu ketika datang seorang saudara yang bekerja sebagai marbot di sebuah masjid di Cilacap, Jawa Tengah. Ia menawarkan kepada Maghfuri untuk tinggal di pesantren. Tanpa pikir panjang, Maghfuri langsung menjawab mau. Saudara Maghfuri tersebut mengingatkan bahwa tak mudah tinggal di pesantren. “Kalau mau masuk pesantren, pasti bakal guncang,” cerita Maghfuri mengutip ucapan saudaranya. Maghfuri yang masih kecil tak peduli dengan perkataan saudaranya. Ia yakin bakal betah. Apalagi ia sendiri sudah bosan bermain di rumah dan kampungnya saja.
87 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Lalu ia izin ke ibunya. Sang ibu dengan bijak menasehati Maghfuri, “Dibetah-betahkan saja dulu ya nak. Kalau tiga bulan gak betah, kamu balik lagi.” Jawaban tersebut adalah lampu hijau bagi Maghfuri untuk pergi merantau. Maka, tahun 2000, dibawalah ia ke Pesantren Hidayatullah Cilacap dengan bekal uang Rp 50 ribu. Ternyata, tak genap dua minggu tinggal di pesantren, Maghfuri sudah mulai dihinggapi rasa tidak betah. “Saya sering duduk di pinggir jalan sambil melihat-lihat bis yang lewat. Rasanya ingin meloncat masuk ke dalam bis dan pulang ke Demak,” kenang Maghfuri. Tapi, itu tidak pernah ia lakukan. Maghfuri merasa telah datang ke pesantren ini dengan baikbaik. Karena itu, kalau pun pergi, juga harus baik-baik. Suatu hari, Maghfuri memberanikan diri menghadap pimpinan pesantren dan mengemukakan kalau ia tidak kerasan tinggal di sana. Pimpinan pesantren mendengarkan semua curahan hati Maghfuri dengan sabar. Kemudian, ia berkata sebagaimana dituturkan oleh Maghfuri, “Tidak apa-apa kalau kamu mau pulang. Tapi setelah kamu pulang, kamu mau apa? Mau main-main terus? Sampai kapan? Lebih enak di sini. Kamu bisa sekolah.” Maghfuri merenungi nasehat ustadnya. Ia menemukan kebenaran dari nasehat tersebut. Akhirnya, ia tidak jadi pulang dan mencoba terus bertahan. La-
88 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ma-lama, Maghfuri menyadari bahwa guncangan yang menerpa seorang santri di awal masuk pesantren adalah wajar. Jika tidak didekati dengan baik oleh pengasuh, boleh jadi sang santri benar-benar akan kabur. Tahun 2006, setelah lulus SLTA di pesantren tersebut, Magfuri dikirim ke Sekolah Dai Hidayatullah di Ciomas, Bogor, Jawa Barat, untuk mengikuti program Kuliah Dai Mandiri. Ketika itu Maghfuri menjadi mahasantri angkatan kedua dan dipersiapkan menjadi dai selama dua tahun. Setelah lulus, semua mahasantri ditugaskan ke berbagai pelosok tanah air, termasuk Maghfuri. Qadarallah, Maghfuri mendapat wilayah tugas yang tak pernah terpikir sama sekali olehnya, apalagi kalau bukan Papua. Semua temannya berteriak, “Allahu akbar!” Maghfuri sendiri bingung bercampur kaget. “Seumur hidup, saya baru merantau ke Cilacap dan Ciomas. Saya belum pernah pergi ke tempat lain. Tiba-tiba mendapat tugas ke Papua, tempat yang jauh sekali,” katanya. Maghfuri terdiam. Beberapa teman menggoda Maghfuri dengan pertanyaan-pertanyaan konyol. “Apakah di Papua sudah ada televisi? Apakah di sana sudah ada motor?” Maghfuri semakin bingung. Ia kemudian ingat nasehat salah seorang ustadz yang pernah mengajar di Sekolah Dai Ciomas, Ust
89 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Abdul Mannan. Kata beliau, “Kalau sehabis sekolah kita kuliah, setelah itu kita kerja, maka tidak ada bedanya kita dengan kebanyakan orang. Kita jangan mau menghabiskan hidup dengan pekerjaan yang itu-itu saja. Kita harus mencetak sejarah.” Nasehat tersebut telah menguatkan kembali tekadnya untuk menerima tantangan dakwah di Bumi Cendrawasih. Lagi pula, kata Maghfuri, “Ilmu saya akan jauh lebih bermanfaat jika digunakan berdakwah di Papua. Di Pulau Jawa ini sudah bayak sekali dai yang bagus-bagus.” Sebelum berangkat, Maghfuri ingin pulang kampung ke Demak sekadar berpamitan kepada orang tuanya. Namun, lagi-lagi Allah Ta’ala berkehendak lain. Maghfuri hanya sempat singgah ke Cilacap dan berpamitan dengan para ustadz di pesantrennya. Ia tak sempat pulang ke kampung halamannya karena jadwal keberangkatan yang sudah sangat mepet. “Saya hanya bisa berpamitan lewat telepon kepada orang tua. Alhamdulillah mereka semua mengizinkan,” cerita Maghfuri. Selama lima hari, Maghfuri berlayar dari Tanjung Priok, Jakarta, ke Sorong, Papua Barat. Tiba di Sorong, kapal singgah sebentar, lalu melanjutkan kembali ke Manokwari, ibukota provinsi Papua Barat. Maghfuri baru turun setelah kapal berlabuh di Manokwari. Dalam bayangannya, orang-orang Papua itu tinggi
90 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah besar, hitam, sangar, dan berambut keriting. “Ternyata bayangan saya keliru. Banyak juga orang-orang seperti saya di Papua Barat. Saya jadi lega,” cerita Maghfuri sembari tertawa. Enam bulan pertama di Papua Barat, Maghfuri diserang malaria. Awalnya Maghfuri tak mau dirawat di rumah sakit. Ia mencoba bertahan karena merasa baik-baik saja. Ia baru meriang dan menggigil pada malam hari. Sementara pada siang hari, ia seperti sehat. Saat sakitnya semakin parah, Maghfuri mulai dihinggapi rasa gelisah. Ia merasa menyerah dan ingin pulang saja ke kampungnya. “Entah mengapa perasaan itu hinggap kembali. Mungkin karena kondisi tubuh saya sedang benar-benar lemah,” cerita Maghfuri. Seminggu kemudian, melihat kondisi Maghfuri kian parah, rekan-rekannya memaksa Maghfuri untuk dirawat di rumah sakit. Setiap hari rekan-rekannya bergantian menemani Maghfuri di rumah sakit. Rasa persaudaraan yang begitu kental ditunjukkan rekan-rekannya sesama dai Hidayatullah membangkitkan semangat Maghfuri untuk bertahan. Setelah sembuh, Maghfuri menghapus kembali keinginannya untuk pulang. “Saya merasa malu dengan para perantau yang menjadi tukang ojek atau pekerja kasar di Papua ini,” cerita Maghfuri. Mereka
91 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah merantau sekadar mencari makan, sedang dirinya merantau untuk mengusung misi mulia, yakni tegaknya Islam di Bumi Papua. Mengapa mereka bisa bertahan, sedangkan dia sempat terlintas untuk menyerah hanya gara-gara diserang malaria? Suatu ketika datang Ust Nursyamsa Hadis, pengurus pusat Hidayatullah dari Jakarta, berceramah di pesantren Hidayatullah Manokwari. Beliau berkisah tentang dai senior Hidayatullah bernama Ust Amin Bahrum yang telah malang melintang berdakwah di Tanah Papua. Mata Maghfuri berkaca-kaca mendengar cerita itu. Ia menangis karena teringat dengan sebuah buku yang pernah ia baca saat masih menjadi santri Hidayatullah di Cilacap. Judul buku itu Menjemput Pertolongan Allah. Buku itu berkisah tentang kegigihan Ust Amin Bahrun berdakwah di Papua. Saat membaca buku itu, ia juga menangis, tangisan yang sama dengan saat ia mendengar kembali kisah tersebut. “Rupanya Allah menakdirkan saya untuk menapaki jalan yang pernah ditapaki Ust Amin Bahrun dulu,” bisik hati Maghfuri sebagaimana diungkapkannya kepada penulis. Setelah mendengar kisah itu, hatinya semakin kuat dan semangatnya terisi penuh untuk tetap berdakwah di Tanah Papua. Kemudian, setelah dua tahun Maghfuri mengabdi di Pesantren Hidayatullah Manokwari, ia dipindah ke
92 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Sorong, tepatnya pada tahun 2010. Awalnya, Maghfuri diminta menjajaki kemungkinan membuka cabang Hidayatullah di Raja Empat dan Sorong Selatan oleh DPW Hidayatullah Papua Barat. Selama satu bulan, Maghfuri mondar-mandir di kedua kabupaten tersebut seraya melihat-lihat segala peluang untuk berdirinya cabang baru di sana. Dari hasil penjajakannya, Maghfuri merekomendasikan untuk Magfuri dan keluarganya beristirahat saat menggarap lahan untuk dijadikan pesa
93 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah membuka cabang Hidayatullah di Sorong Selatan. Setelah disetujui oleh DPW, Maghfuri lalu pindah dan berdakwah selama tiga tahun di sana. Maghfuri dan rekannya sesama dai Hidayatullah juga sempat menjajaki untuk membuka cabang Hidayatullah di Wasior, salah satu distrik di Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Distrik ini dikenal sebagai Serambi Israel. Jumlah Muslim di sana minoritas, hanya ada 11 kepala keluarga. Jumlah Masjid juga sangat sedikit. Sebenarnya Hidayatullah telah dititipi tanah wakaf dan bangunan di Wasior. Hanya saja, cerita Maghfuri, warga di sana tidak setuju ada pesantren berdiri di wilayah mereka. Akhirnya, sampai sekarang tanah dan bangunan tersebut tak termanfaatkan. Pada tahun 2012, ketika ada acara pernikahan barokah (nikah massal cara Hidayatullah) sebanyak 5 pasang, Maghfuri mendaftarkan dirinya untuk ikut serta. Setahun setelah menikah, tepatnya tahun 2013, Maghfuri ditarik kembali ke Manokwari. Barulah pada tahun 2020, Surat Keputusan DPW Hidayatullah Papua Barat memerintahkan Maghfuri untuk hijrah ke Manokwari Selatan dan mendirikan pesantren tahfidz di sana. ***
Menaklukkan Belantara Pekanbaru 94 Muhammad Ikhsan Taufiq, dai muda Hidayatullah, baru sepekan tinggal di Pondok Pesantren Hidayatullah Dumai, Provinsi Riau. Saat itu, di awal tahun 2019, Ikhsan --sapaan akrabnya-- baru pindah dari Rantau Prapat, Sumatera Utara, ke Dumai, karena dipanggil oleh Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Hidayatullah Riau, Ust Ali Hermawan. Hari itu, setelah sepekan memboyong seluruh anggota keluarganya ke Dumai, Ikhsan diajak mengobrol oleh Ust Ali yang juga tinggal di Pondok Muhammad Ikhsan Taufiq
95 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Hidayatullah Dumai. “Antum akan saya tugaskan ke Pekanbaru (ibu kota propinsi Riau),” jelas Ust Ali sebagaimana diceritakan oleh Ikhsan kepada penulis yang menemuinya di Pekanbaru pada penghujung Juli 2022. Tugas Ikhsan mengembangkan PosDai Riau, sebuah lembaga yang akan mendukung pekerjan para dai Hidayatullah di Provinsi Riau. Sebagai seorang kader Hidayatullah, Ikhsan tentu paham bahwa dia tak boleh membantah. Pemuda asal Kisaran, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara ini sadar bahwa ini semua untuk kebaikan dirinya dan kebaikan dakwah Islam. Ia yakin, Ust Ali memilihnya untuk mengembangkan Pos Dai Riau, tentu lewat pertimbangan yang matang. Karena itu, yang harus ia lakukan adalah segera berkemas-kemas untuk memboyong kembali keluarganya ke Kota Pekanbaru. Hanya saja, ada satu hal yang masih mengganjal dalam pikiran Ikhsan. Bukan soal tugas, namun nasehat Ust Ali yang masih ia ingat hingga sekarang. “Antum akan masuk ke hutan belantara,” ujar Ust Ali ketika itu. Ikhsan diam saja. Namun pikirannya bertanya-tanya, “Kok hutan sih. Pekanbaru itu kan ibukota propinsi. Kota, bukan hutan,” cerita Ikhsan soal pertanyaan dalam hatinya ketika itu. Keesokan harinya, Ikhsan dan keluarganya berangkat ke Pekanbaru. Ia bawa semua anggota ke-
96 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah luarganya, termasuk anak keduanya yang saat itu masih berusia satu bulan. Tempat yang ia tuju adalah sebuah ruko satu lantai yang tak begitu luas. Bila siang, ruko itu menjadi kantor Baitul Maal Hidayatullah (BMH) dan markas Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Riau. “Tapi lebih banyak kosongnya,” cerita Ikhsan. Ruko itu kemudian ia sekat dengan lemari seIkhsan (kiri) giat mengunjungi masyarakat di wilayah dakwahnya.
97 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah hingga menjadi dua bagian. Bagian belakang ia jadikan tempat tinggal buat dirinya dan keluarga, sedang di bagian depan menjadi kantor BMH, DPW Hidayatullah Riau, dan sekaligus menjadi kantor PosDai Riau yang selama ini vakum. Hari-hari pertama bertugas di Kota Pekanbaru, Ikhsan sempat bingung apa yang akan ia lakukan di kota ini? Ikhsan sendiri sebetulnya telah memiliki pengalaman berdakwah di wilayah minoritas. Ia sempat beberapa tahun bertugas di Kepulauan Nias, Sumatera Utara. Ia juga pernah bertugas di Rantau Prapat, Sumatera Utara. Namun, kultur masyarakat kota tentu tak sama dengan masyarakat desa. Ini yang membuat Ikhsan harus berpikir keras bagaimana cara mengawali dakwah dan membuat program-program menarik di kota ini. Kalau pun ada sejumlah program, bagaimana pula cara membiayainya? Sekadar membiayai diri sendiri saja ia masih bingung. Ikhsan lalu teringat perkataan Ust Ali tentang “hutan belantara” yang harus ia taklukkan. Mungkinkah ini makna hutan yang beliau maksudkan? Semakin lebat hutan belantara semakin sulit ditaklukkan. Begitu pula perkotaan, semakin banyak bangunan dan manusia di dalamnya semakin tak mudah menaklukkannya.
98 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Ya. Ikhsan baru menyadari kebenaran makna perkataan Ust Ali Hermawan. Namun, Ikhsan tentu tak mau menyerah. Ia telah bertekad untuk menaklukkan belantara kota ini. Pernah Bertugas di Nias Sebelum cerita ini kita lanjutkan, mari kita putar dulu waktu ke beberapa tahun silam, tepatnya di tahun 2014. Saat itu Ikhsan baru setahun menyelesaikan kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Ia kemudian ditugaskan berdakwah dan memimpin pesantren Hidayatullah di Kepulauan Nias, Sumatera Utara, Nias adalah pulau kecil di sisi barat Sumatera Utara. Jumlah penduduknya hanya sekitar 750 ribu jiwa. Namun jumlah Muslim di sana sedikit sekali. Hanya 5,5 persen saja. Yang menarik, sebagian di antara masyarakat non-Muslim di pulau itu justru menyekolahkan anaknya di Pesantren Hidayatullah yang dipimpin Ikhsan. Sabtu menjelang sore di bulan Juli 2016, misalnya, seorang bocah yang baru lulus SD ---sebutlah namanya Jaka--- datang bersama sang ayah ke Pondok Pesantren Hidayatullah di jalan Pelud Binaka, Km 16, Desa Siwalubanua II, Kecamatan Gunungsitoli Idanoi, Nias, Sumatera Utara. Jaka bersama sang ayah telah membuat ke-
99 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah putusan tak lazim. Sang ayah --yang sehari-hari bekerja sebagai sopir truk-- seorang non-Muslim. Namun ia justru menyekolahkan anaknya ke pesantren Hidayatullah. “Tolong didik anak saya supaya jadi anak baik,” pinta sang ayah kepada Ikhsan. Tentu saja Ikhsan heran dengan tindakan sang ayah ini. Bukankah ia bisa dengan mudah memasukkan anaknya ke sekolah Kristen atau sekolah umum? Karena penasaran, Ikhsan lalu bertanya kepada sang ayah, “Apa bapak tahu kalau ini pesantren?” Tanpa diduga, laki-laki itu menjawab, “Ya, yang penting anak saya dididik menjadi baik.” Sejak itu Jaka resmi menjadi santri pesantren Hidayatullah. Saat pertama nyantri, sang ayah hampir setiap hari menyambangi pesantren sekadar melihat bagaimana keadaan buah hatinya. Tapi lama-lama, setelah yakin anaknya baik-baik saja, sang ayah mulai jarang menengok Jaka. “Saya senang mondok di sini,” kata Jaka kepada penulis yang sempat menyambangi Pondok Pesantren Hidayatullah Nias saat Ikhsan masih bertugas di sana pada pertengahan Oktober 2016. Bahkan, bocah yang saat itu baru duduk di bangku Tsanawiyah mengaku sedang berupaya menyelesaikan hafalan Qur’an juz 30. “Sekarang su-
100 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah dah sampai (surat) at-Thoriq,” ceritanya lagi. Saat libur sekolah, Jaka pernah pulang ke rumah. Di rumah, cerita Jaka, sang ayah sering mengingatkannya ketika waktu shalat tiba. “Sudah shalat kau nak? Kalau mau (memeluk) Islam, yang serius!” kata sang ayah sebagaimana ditirukan Jaka. Namun, jelas Ikhsan, tak semua masyarakat Nias seperti Jaka dan ayahnya. Justru yang lebih banyak adalah anak-anak yang harus berpisah dari keluarganya karena berbeda akidah. Keadaan seperti ini, kata Ikhsan, cukup banyak dialami oleh santri-santri Hidayatullah di Nias. Begitu pula kaum mualaf di pulau tersebut, banyak yang mengalami hal-hal serupa. Mereka umumnya memeluk Islam karena pernikahan. Pria Nias yang non-Muslim merantau dan menikah dengan Muslimah dari luar Pulau Nias, lalu memeluk Islam. Sekembalinya mereka ke Nias, mereka tetap memeluk Islam. Hanya saja, mereka lebih memilih untuk tidak tinggal bersama orang tuanya yang masih non-Muslim. Mereka mendirikan kampung sendiri dibawah binaan Ikhsan. Kampung tersebut bernama “Kampung Mualaf”. Letaknya di Desa Lolozasai, Kecamatan Gido, Kabupaten Nias, tak jauh dari gerbang masuk Kabupaten Gunungsitoli. Ada sekitar 22 keluarga mualaf yang tinggal di sana.
101 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Mencoba Open Donasi Ikhsan juga berupaya membesarkan pesantren kedua Hidayatullah di Nias. Letaknya tak jauh dari pesantren pertama. Kira-kira berjarak 500 meter saja. Tak seperti pesantren pertama, bangunan pesantren kedua ini masih sangat sederhana. Masjid belum ada, yang ada hanya musholla kecil. Tak ada kipas angin dan karpet di dalamnya. Kalau siang, santri dan penghuni pesantren yang shalat berjamaah di sana kepanasan. Ikhsan kemudian iseng membuka open donasi di status whatsapp-nya. Siapa tahu Allah Ta’ala berkenan menggerakkan hati para pembaca untuk ikut membantu pengadaan kipas angin untuk musholla kecil tersebut. Ikhsan mengisi waktunya dengan mengajar mengaji masyarakat.
102 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Isi pesannya sederhana saja. Ia foto suasana musholla, lalu ia upload seraya diberi keterangan: Alhamdulillah di pesantren kami sudah ada musholla dan sudah kami gunakan untuk ibadah. Tapi kami belum sanggup menyediakan kipasnya. Barangkali ada yang mau membantu menyediakan kipas angin di musholla ini. “Ternyata langsung ada yang menyambut,” cerita Ikhsan. Meskipun hanya tiga orang yang saja, namun jumlah sumbangan mereka langsung menutupi kebutuhan untuk membeli kipas. Yang lebih mengagetkan, ketika Ikhsan mengunjungi toko bangunan langganannya, si pemilik toko malah tidak bersedia dibayar. Ikhsan menduga, pemilik toko yang telah ia kenal ini juga baca status di WA-nya. “Alhamdulillah kami dapat dua kipas angin dan uang kami masih utuh,” cerita Ikhsan lagi. Uang tersebut kemudian dibelikan mesin senso (pemotong kayu) untuk memudahkan pekerjaan pembangunan pesantren. Tahun ... Ikhsan pindah tugas ke Rantau Prapat, Sumatera Utara. Di tempat ini pun, Ikhsan kembali memanfaatkan media sosial untuk mengajak masyarakat ikut berpartisipasi membantu dakwah Hidayatullah. Bahkan, di Rantau Prapat ini, Ikhsan tak sekadar menggunakan status WA, namun mulai
103 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah menggunakan twitter. Dari open donasi ini, Ikhsan berhasil mengumpulkan dana untuk membeli karpet plastik buat musholla, serta speaker, ampli, dan toa. “Semua terkumpul hanya dalam beberapa hari saja,” kata Ikhsan. Bahkan, lewat open donasi juga, seorang donatur mengirimkan sebuah laptop untuk pesantren Hidayatullah. Hanya saja, ketika laptop itu belum sampai ke pesantren, Ikhsan sudah dipindahkan kembali ke Pekanbaru Riau. Ikhsan dan rekan-rekan dai muda Hidayatullah di Sumatera Utara juga sempat membentuk komunitas penggalang dana lewat media sosial. Komunitas itu mereka namakan Sahabat Yatim Pedalaman. Pola kerjanya sederhana saja. Siapa pun yang pernah membantu Hidayatullah lewat para pengurus di komunitas ini mereka kumpulkan dan gabungkan dalam sebuah grup WA. Tentu saja atas seizin yang bersangkutan. “Saat itu kami berhasil mengumpulkkan sekitar 45 donatur dalam grup WA,” cerita Ikhsan. Kemudian, grup tersebut mereka kelola hingga terasa hidup. Jika ada program dakwah yang akan mereka laksanakan, atau akan mereka bantu, segera mereka umumkan di grup tersebut. Para donatur dipersilahkan berpartisipasi dengan me-
104 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ngirimkan infak terbaik mereka. Pola inilah yang hendak dipraktikkan kembali oleh Ikhsan di Pekanbaru, Riau. Hanya saja, bila sebelumnya ia membangun jaringan bersama teman-temannya, kini Ikhsan sendirian. “Saya bentuk sendiri programnya dan saya galang sendiri donasinya,” jelas Ikhsan. Belantara yang Bersahabat Ikhsan memulai debutnya dengan menghubungi satu per satu para donatur yang dulu pernah membantunya. Ikhsan menyodorkan sejumlah rencana dakwah yang akan ia lakukan di Riau, termasuk membantu para dai Hidayatullah yang tengah merintis dan berjuang di daerah terpencil. Ikhsan juga menghubungi alumni SMA Negeri 1 Medan, tempat dulu ia sekolah. Dulu, kata Khsan, para alumni banyak membantu kegiatan dakwah di Nias, termasuk membangunkan asrama santri seharga Rp 80 juta. Qadarallah, Ikhsan dimasukkan dalam grup WA komunitas Muslim alumni SMAN 1 Medan. Jadi, tak sulit buat Ikhsan untuk menghubungi mereka secara pribadi satu per satu. Dulu, cerita Ikhsan lagi, ia banyak menyodorkan program-program dakwah yang inovatif kepada para alumni SMA-nya. Sehingga, tahun 2017, Ikhsan dinobatkan oleh mereka sebagai alumni paling
105 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah inspiratif dan diberi hadiah umroh. Di Riau, Ikhsan ingin mengulang kembali kisah sukses yang pernah ia lakukan dulu. Barangkali para donatur yang dulu pernah terlibat menyukseskan program-program dakwahnya di Sumatera Utara, juga berkenan melibatkan diri membantu dakwahnya di Riau agar harta mereka lebih berkah. Maka, Ikhsan mulai menghubungi kembali para donatur yang dulu pernah membantunya. Ia memperkenalkan diri terlebih dahulu, lalu mendoakan agar Allah Ta’ala memberi kesehatan kepada mereka, kemudian memaparkan rencana program yang akan ia jalankan, serta permohonan dukungan, baik berupa doa, tenaga, maupun harta. Satu bulan bertugas di Pekanbaru, Riau, Ikhsan sudah berhasil mengumpulkan dana dakwah sebesar Rp 12 juta. Dana tersebut ia pakai untuk melengkapi sarana kantor dan membiayai beberapa kegiatan dakwah. Pada bulan kedua, terkumpul kembali uang sebesar Rp 15 juta, dan bulan ketiga Rp 19 juta. Setelah merasa dukungan masyarakat mulai mengalir, Ikhsan berencana meningkatkan kualitas pelayanan dengan menambah jumlah tenaga kerja. Ikhsan meminta kepada DPW Hidayatullah Riau untuk mengirimkan kader-kader muda kepadanya. Alhamdulillah, dua kader muda Hidayatullah siap bergabung di PosDai Riau.
106 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Dalam tahap awal, kader-kader tersebut tentu dituntut untuk bekerja keras tanpa berharap imbalan yang besar. “Pokoknya, digaji atau tidak, harus siap kerja,” kata Ikhsan mengenang kisah masa lalunya. Pelan-pelan Ikhsan mulai membenahi lembaga yang dipimpinnya. Laporan pemasukan dan pengeluaran disusun rapi. Begitu juga program dakwah dan santunan dai mulai didata dan disusun. Hingga 10 bulan pertama, Ikhsan sudah berhasil menyalurkan total Rp 280 juta atau rata-rata 28 juta per bulan. Namun, kata Ikhsan, ketika itu penggalangan dana masih menggunakan WA, baik lewat grup, maupun saluran pribadi. Tahun berikutnya, tepatnya pada 2020, Ikhsan berhasil menyalurkan total dana Rp 1,2 miliar. “Ketika itu kami sudah bisa menemukan pola donasi dan penyaluran secara pas,” cerita Ikhsan. Yang perlu ditingkatkan hanya kualitas dan jumlah SDM yang mengelola donasi tersebut. Selama ini, jelas Ikhsan, ia lebih banyak dibantu oleh lulusan Madrasah Aliyah (setingkat SMA) yang punya militansi luar biasa. Mereka semangat dalam belajar dan bekerja. Sebagai contoh, kader-kader lulusan aliyah tersebut awalnya tidak paham sama sekali soal perangkat-perangkat teknologi informasi. “Sekadar menghidupkan komputer saja mereka tidak bisa,”
107 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah cerita Ikhsan. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mulai paham memainkan komputer, bahkan bisa mendesain spanduk secara sederhana. “Kita ajari mereka dan kita kuatkan hatinya agar mereka tidak frustasi,” cerita Ikhsan. Selanjutnya, untuk meningkatkan kinerja dakwah, Ikhsan mulai mencoba merekrut dai-dai sarjana. Awal tahun 2021, sebanyak 4 sarjana berhasil ia rekrut. Sempat resign satu sarjana karena harus membantu orang tuanya mengelola rumah makan. Namun, setelah itu bergabung lagi beberapa sarjana. Pertengahan tahun 2022, jumlah dai sarjana yang bergabung dengan PosDai Riau mencapai 14 orang. Satu di antara mereka, alumni UIN Riau, pandai membuat konten untuk instagram dan memiliki relasi yang cukup banyak. Sejak para dai sarjana tersebut bergabung, Ikhsan tidak lagi hanya mengandalkan WA, namun hampir semua aplikasi sosial media ia garap. Mualaf Pulau Rupat Dari sekian banyak program dakwah yang digencarkan PosDai Hidayatullah Riau pimpinan Ikhsan, satu yang menarik adalah pembinaan mualaf di Pulau Rupat. Pulau ini terletak di Kabupaten Beng-
108 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah kalis, Riau, tak jauh dari Malaysia. Inilah pulau terluar yang dijuluki “Malaysia dari Riau”. Luas pulau ini sekitar 1,5 ribu km2, dihuni sekitar 55 ribu jiwa. Kebanyakan penduduknya non-Muslim. Di antara mereka terdapat satu suku bermata sipit dan berkulit hitam. Namanya, Suku Akit. Mereka ditenggarai sebagai suku asli yang mendiami Untuk menjangkau wilayah dakwahnya, Ikhsan kerap harus menggunakan perahu.
109 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah wilayah Propinsi Riau, khususnya Pulau Rupat. Kebanyakan Suku Akit beragama Budha. Namun, kata Ikhsan, sebagian sudah memeluk Islam. Para mualaf Suku Akit ini dibina oleh Ust Juliman, salah seorang dai Hidayatullah yang tinggal di Desa Suka Damai, Kecamatan Rupat Utara. Penulis, saat berkunjung ke Pekanbaru Riau, Riau, akhir Juli 2022, menyempatkan diri melihat langsung pembinaan mualaf di utara pulau ini. Perjalanan dari Kota Pekanbaru menuju Rupat Utara memakan waktu lebih dari 6 jam. Kami berangkat menjelang siang dari Pekanbaru menuju Dumai, kemudian menyeberang dengan kapal selama dua jam, setelah itu menyisir ke arah utara selama hampir dua jam pula. Kami terpaksa menginap di Desa Tanjung Medang, pusat Kecamatan Rupat Utara, karena hari sudah hampir magrib. Perjalanan menuju Desa Suka Damai tak bisa dilakukan dengan mobil. Sebab, selain jalannya kecil dan becek, juga harus melewati dua sungai dengan menggunakan perahu ketinting. Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan dengan motor. Setelah dua jam perjalanan, tibalah kami di sebuah lahan wakaf seluas setengah hektar yang di atasnya berdiri sebuah masjid dan rumah Qur’an. Lahan dan bangunan sederhana itulah yang disebut Ikhsan sebagai Pusat Pembinaan Mualaf.
110 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Menurut Juliman, pembangunan Rumah Qur’an melibatkan masyarakat sekitar. Tadinya, bangunan Rumah Qur’an tersebut adalah rumah salah seorang warga yang sudah tak terpakai lagi. Rumah panggung yang terbuat dari kayu dan papan tersebut dibeli oleh PosDai Hidayatullah, diperbaiki, lalu digotong beramai-ramai dengan warga setempat menuju lokasi Pusat Pembinaan Mualaf. Setelah Rumah Qur’an berdiri di tanah wakaf tersebut, kegiatan belajar dan mengajar mengaji mulai ramai. Anak-anak mulai mengaji di sana. Mereka datang setelah subuh, di antara oleh orang tuanya masing-masing. Selain tempat mengaji anak-anak, Rumah Qur’an tersebut juga dipakai sebagai tempat pembinaan para mualaf Suku Akit. Setiap dua pekan sekali, kata Juliman, para mualaf yang tinggal di Desa Suka Damai dan sekitarnya berkumpul di sana. Mereka mengaji dan saling bersilaturahim. Terkadang, Juliman yang mendatangi para mualaf itu. Saat penulis tiba di desa tersebut, Juliman langsung mengajak ke rumah salah seorang mualaf Suku Akit. Ahmad Juari, namanya. Menurut Ahmad Juari, ia memeluk Islam karena panggilan nurani. “Tak ada yang memaksa saya,” katanya. Pria yang telah dikaruniai satu anak ini mengaku senang bisa mengaji bersama Juliman.
111 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Selain membangun Pusat Pembinaan Mualaf, PosDai Riau juga membantu pembangunan madraasah ibtidaiyah (setingkat SD) di Desa Tanjung Medang, Rupat Utara. Madrasah ini berdiri di atas lahan wakaf seluas 1.600 meter persegi, memiliki dua ruang kelas, satu ruang kantor, dan satu kamar mandi. Posisi madrasah ini cukup strategis, berhadapan langsung dengan Masjid Raya Tanjung Medang. Berdirinya madrasah ini, menurut Mukhtar, ketua DPD Hidayatullah Kabupaten Bengkalis, Riau, atas permintaan warga setempat. “Saat madrasah dibuka, langsung 60 murid mendaftar,” jelas Mukhtar kepada penulis. Sebelumnya, di kecamatan tersebut, memang tak memiliki sekolah Islam. Menurut Ikhsan, madrasah di Tanjung Medang ini memang diproyeksikan untuk menjadi Pusat Pendidikan Islam, sebagaimana bangunan masjid dan rumah Qur’an di Desa Suka Damai akan dijadikan Pusat Pembinaan Mualaf. Inilah buah dari ketekunan dai dalam berdakwah, kedermawanan masyarakat membantu tugas para dai, dan kekuatan jamaah yang ikut menopang program-program dakwah tersebut. Semoga Allah Ta’ala ridho dengan apa yang dilakukan dai-dai muda di Riau ini. Aamiiin. ***
Meretas Dakwah di Teluk Bintuni 112 Miftahuddin S uatu ketika, sepulang dari khutbah Jumat di sebuah masjid di Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, Miftahuddin, dai muda Hidayatullah, berkeliling kampung. Ketika itu ia belum lama bertugas di Teluk Bintuni. Ia berjalan sembari berpikir dari mana memulai dakwah kepada orang-orang kampung tersebut. Sebenarnya, Miftah --sapaan akrab Miftahuddin-- telah mendapat jadwal khutbah Jumat di daerah tersebut. Namun, berdakwah hanya di atas mimbar rasanya kurang dekat dengan masyarakat. Ia ingin Miftahuddin
113 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah berdakwah dari rumah ke rumah sehingga bisa berdialog langsung dengan masyarakat dan mengetahui apa kendala dakwah di daerah tersebut. Namun, dari mana memulainya? Penduduk Teluk Bintuni tak semuanya Muslim. Bahkan, menurut data dari Kementrian Dalam Negeri tahun 2020, jumlah pemeluk Islam hanya 46,68 persen. Agama terbesar adalah Kriten, mencapai 53,21 persen. Miftah menyaksikan beberapa anak kecil berMiftahuddin bersama para santri
114 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah main riang di kampung tersebut. Miftah mulai bertanya-tanya, apakah mereka Muslim? Jika Muslim, maukah mereka diajari mengaji? Untuk memenuhi rasa ingin tahunya, Miftah memberanikan diri menyapa anak-anak tersebut dan menanyakan di mana rumah mereka. Setelah diberitahu, Miftah memberanikan diri masuk ke perkarangan rumah dan memanggil sang penghuni. Lalu, seorang ibu keluar dan langsung menyambut dengan ramah seraya menyapa Miftah dengan sebutan “Pak Ustadz”. Memang, ketika itu, Miftah masih mengenakan baju koko dan kopiah hitam sepulang dari shalat Jumat. Tak ada tanda-tanda keluarga tersebut beragama Islam. Agar tidak keliru, Miftah bertanya, “Apakah mama (ibu) Muslim?” “Ya, Pak ustadz. Saya Muslim,” jawab ibu tersebut dengan nada senang. “Saya boleh mengajar ngaji anak-anak di sini toh?” tanya Miftah lagi. “Bisa Pak Ustadz. Silahkan!” jawab sang ibu lagi. ‘Kalau begitu, saya akan datang kembali besok,” kata Miftah. Keesokan harinya, Sabtu, Miftah kembali datang ke rumah tersebut. Setelah mengucapkan salam, Miftah dipersilahkan masuk. Sang ibu langsung menggelar tikar di ruang tengah.
115 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Miftah agak ragu duduk di ruangan tersebut karena ia melihat banyak sekali bulu binatang. Tak lama kemudian keluarlah dua ekor anjing dewasa dari dalam kamar, diikuti beberapa ekor anaknya. “Saya kaget melihat anjing-anjing itu,” cerita Miftah kepada penulis saat berbincang-bincang di Pesantren Hidayatullah Manokwari Selatan akhir Agustus 2022. Pikir Miftah, tak mungkin ia mengajar mengaji sementara di sekitarnya berkeliaran anjing-anjing. Miftah kemudian meminta izin agar diperbolehkan mengajar ngaji di depan rumah saja. Sang ibu mengizinkan. Lalu digelarlah tikar di halaman depan setelah terlebih dahulu dibersihkan. Anak-anak mulai berkumpul dan duduk melingkar di tikar. Tiba-tiba, anjing-anjing yang tadi ada di dalam rumah ikut keluar dan duduk di dekat mereka. Miftah pasrah, tak bisa berbuat apa-apa lagi. “Akhirnya kami semua mengaji termasuk anjing-anjing itu,” cerita Miftah sambil tertawa mengenang saat-saat ia berdakwah di Bintuni. Beberapa hari kemudian, Miftah datang lagi seraya membawa oleh-oleh agar anak-anak tersebut betah mengaji. Begitulah seterusnya, bahkan bukan sekadar di satu tempat melainkan di beberapa tempat. Dari interaksi dengan masyarakat inilah Miftah
116 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah baru paham bahwa kebanyakan keluarga Muslim di Bintuni menganggap Islam hanya sebagai budaya saja. Syariat bagi mereka tak harus ditaati. Bahkan dalam satu rumah bisa dihuni oleh beberapa penganut agama berbeda. Tak lagi jelas mana yang halal dan mana yang haram. Dengan keadaan seperti itu, Miftah merasa tak mungkin mengubah kehidupan anak-anak didiknya menjadi dekat dengan al-Qur’an. “Selama mereka masih berada di lingkungan seperti itu, daya tarik keluarga akan lebih kuat,” jelas Miftah. Karena itu, Miftah berencana mengajak anak-anak didiknya untuk tinggal di pesantren Hidayatullah. Miftah sudah punya cara agar anak-anak itu tertarik. “Kebanyakan anak-anak di sini suka main bola,” kata Miftah. Jika mereka diajak bermain bola di pesantren sambil mengaji, sudah pasti mereka akan tertarik. Namun sayang, ketika Miftah meminta izin kepada para orang tua agar mau melepas anak-anaknya mondok di Pesantren Hidayatullah, mereka tidak mengizinkan. “Mereka lebih memilih anak-anaknya tak sekolah asal tetap bersama-sama,” kata Miftah. Satu jalan telah buntu. Rencana membawa anakanak itu ke pesantren Hidayatullah gagal. Namun, Miftah tak kehilangan akal. Masih ada cara lain agar anak-anak tersebut --juga masyarakat Muslim di Papua Barat secara keseluruhan-- bisa menyicipi Is-
117 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah lam dengan sempurna, yakni dengan menggencarkan dakwah. Bahkan, menurut Miftah, pembinaan sudah mutlak dilakukan di Papua Barat. Jika tidak, bukan saja masyarakat akan jauh dari Islam, bahkan bisa murtad. Ini terbukti di Kaimana. Menurut Miftah, awalnya dari 7 suku di kabupaten tersebut, 5 suku Muslim. “Namun sekarang ini berkurang menjadi 4. Ini karena tidak ada pembinaan kepada mereka,” jelasnya. Hanya saja, dakwah butuh dai. Mana mungkin dakwah bisa digencarkan kalau dai tidak ada. Karena itu, dai harus diperbanyak. Pelatihan-pelatihan dai harus digencarkan. Bahkan sekolah dai juga harus dibangun. Inilah rencana Miftah selanjutnya. Kendala Dakwah Sebelum kita lanjutkan kisah ini, ada baiknya kita mundur sejenak ke belakang, yakni di tahun 2013. Saat itu Miftah baru setahun lulus dari Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah Balikpapan, Kalimantan Timur. Ia kemudian ditugaskan ke Sorong, Papua Barat. Kota Sorong bukan tempat yang asing bagi Miftah. Meskipun ia lahir di Toli Toli, Sulawesi Tengah, namun sejak kecil ia sudah tinggal di Sorong mengikuti ayahnya yang juga dai Hidayatullah. Sang ayah sempat pindah tugas ke Jayapura, Merauke, dan daerah
118 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah lain di Papua. Miftah jelas ikut ke mana ayahnya menetap. Bahkan, ketika masih kecil, cerita Miftah, ia sempat terkena malaria jenis Tropika +4. Ini malaria jenis terganasa di Papua. Sedikit sekali orang bisa bertahan ketika diserang malaria jenis ini. Qadarallah, Allah Ta’ala masih memberi kesempatan kepada Miftah untuk tetap hidup. Maka, gurauan banyak orang, Miftah telah sah menjadi “orang Papua”. Miftah menghabiskan masa tugas selama dua tahun di Sorong. Pada tahun 2015, ia dimutasi ke Manokwari selama tiga tahun. Pada tahun 2018, barulah ia pindah tugas ke Kabupaten Teluk Bintuni. Di Bintuni, Miftah bertugas tidak lama. Hanya 7 bulan saja. Setelah itu ia pindah ke Kaimana selama 1 tahun 7 bulan. Kaimana terletak di sebelah selatan Teluk Bintuni. Di kabupaten ini, penganut Islam hanya 42 persen. Selebihnya Kristen Protestan dan Katolik. Namun, di Bintuni-lah Miftah banyak berinteraksi dengan masyarakat dan menyaksikan kendalakendala dakwah di lapangan. Di Distrik Kamundan, wilayah perbatasan Bintuni dan Sorong Selatan, misalnya. Masyarakat di sana telah menjadi Muslim sejak lama. Bahkan, menurut penduduk setempat, cerita Miftah, mereka telah memeluk Islam sebelum Indonesia dijajah Belanda. Namun, dai yang berdakwah di sana sangat ku-
119 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah rang. Pernah ada seorang dai datang ke Kamundan mengajarkan kewajiban berjilbab kepada para muslimah. Sejak itu, banyak Muslimah yang mau mengenakan jilbab di sana. Sayangnya, beberapa waktu belakangan ini dai tersebut jarang datang lagi. Miftah khawatir, jika ini dibiarkan terus, muslimah Kamundan akan kembali melepas hijabnya. Distrik Kamundan memang tak mudah dijangkau. Untuk tiba di sana, kata Miftah, mereka harus menggunakan perahu bermesin dua, 15 PK dan 40 PK, menyusuri sungai selama lima jam. Perjalanan lewat darat praktis tak bisa dilakukan. Medan terlalu berat. Akibatnya, biaya perjalanan ke distrik tersebut tidak sedikit. Wilayah dakwah yang terpencil seperti ini, kata Miftah, banyak terdapat di Kabupaten Teluk Bintuni, bahkan secara umum di Papua Barat. Apalagi Teluk Bintuni menjadi kabupaten terluas di Papua Barat, dengan luas sekitar 18.637,00 km². Pada pertengahan tahun 2021, jumlah penduduk Teluk Bintuni mencapai 80.565 jiwa. Itu berarti kepadatannya hanya 4 jiwa setiap kilometer persegi. Bandingkan dengan DKI Jakarta yang hampir mencapai 17 ribu jiwa per kilometer persegi. Meskipun jumlah penduduk tak banyak, namun pembinaan masyarakat Muslim di Teluk Bintuni sa-
120 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ngat kurang. Banyak masjid yang kosong saat tiba waktu shalat fardhu, padahal masyarakat di sekitar masjid beragama Islam. Apalagi majelis-majelis alQur’an, praktis tidak ada. “Beberapa kali kami mengantarkan mush’af alQur’an ke masjid-masjid tersebut. Namun, ketika kami datang lagi tahun depan, ternyata mush’af-mush’af itu masih dibungkus plastik,” cerita Miftah. Itu berarti, selama satu tahun tersebut, tak ada yang membaca mush’af-mush’af itu. Ketika Miftah bertanya kepada pemuka maMiftahuddin bersama masyarakat Bintuni
121 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah syarakat mengapa ini terjadi, jawab mereka karena tak ada dai yang mengajar. “Kami ini bukan kekurangan mush’af (al-Qur’an), tapi kekurangan dai,” kata salah seorang pemuka masyarakat sebagaimana dituturkan Miftah. Lain lagi di Kabupaten Kaimana. Ada sebuah distrik bernama Teluk Arguni Bawah. Semua masyarakatnya Muslim. Namun, menurut penduduk setempat, selama distrik itu berdiri, belum pernah ada penyembelihan hewan qurban. Miftah berinisiatif menggalang dana untuk membeli dan membawa seekor sapi untuk disembelih di sana. Rupanya membawa sapi ke Teluk Arguni Bawah bukan perkara mudah. Perjalanan ke sana harus menyusuri sungai beberapa jam. Terpaksa sapi tersebut diikat dan dibawa ke atas perahu. Untunglah selama di perjalanan sapi itu diam saja. “Mungkin karena ia takut air,” cerita Miftah. Inilah kali pertama distrik itu menggelar penyembelihan hewan qurban. Kondisi masjid di Teluk Arguni Bawah juga mirip dengan Teluk Bintuni. Di sana ada masjid berukuran 20x20 meter persegi. Tapi selalu kosong. Keadaan seperti ini juga terlihat di Kabupaten Sorong Selatan. Di sana terdapat sebuah suku Muslim bernama Kokoda. Suku ini berada di pedalaman yang jauh terpencil. Jika hendak ke sana, dari Kota
122 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Sorong, perlu berkendara lewat darat selama 5 jam menuju Sorong Selatan, lalu pindah ke perahu motor menyusuri sungai selama 5 jam lagi. Bupati Sorong Selatan, Samsudin Anggiluli, suatu ketika menghubungi Miftah dan meminta agar Hidayatullah mau mengirimkan dai untuk berdakwah di sana. Bahkan, Samsudin menjanjikan bantuan dana kepada siapa saja dai yang bisa membina masyarakat di sana. Kalau pun tidak menetap, kata Sang Bupati, lakukan saja pembinaan secara berkala. Sekali seminggu datang ke sana untuk mengisi pengajian. Mendapati permintaan ini, Miftah jelas bingung! Semua dai Hidayatullah di Papua Barat sudah punya tugas membina di wilayahnya masing-masing. Lalu apa solusinya? “Solusinya kami harus bangun sekolah dai. Harus!” kata Miftah. Lewat sekolah dai, Miftah bisa mengirim lulusannya untuk berdakwah ke wilayah-wilayah terpencil seperti Kamundan, Teluk Arguni Bawah, atau ke Suku Kokoda. Para dai tersebut bahkan bisa menginap di sana, menjadi imam masjid sekaligus guru mengaji. Lantas apakah rencana Miftah ini berjalan mulus? Mencetak Dai Tentu tak mudah mendirikan sekolah dai di Pa-
123 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah pua Barat. Selain butuh SDM, juga butuh dana. Untuk meretas masalah tersebut, Miftah mencoba mencari mitra. Ia mulai berkomunikasi dengan para pemuda Muhammadiyah Papua Barat. Dari sinilah Miftah diperkenalkan dengan Ketua MUI Teluk Bintuni, Ahmad Subuh Revideso. Ahmad adalah putra asli Bintuni. Bersama anak-anak Papua.
124 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Mereka kerap berdiskusi mengenai tantangan dakwah di Papua Barat, khususnya Teluk Bintuni. Sebagai salah satu solusi, Miftah menawarkan proposal sekolah dai kepada Ahmad. Dalam proposal tersebut, cerita Miftah, para dai akan menjalani pendidikan selama 1 tahun. Mereka akan ditingkatkan kemampuan membaca dan menghafal Qur’an, mengenal huruf Arab, serta berceramah di atas mimbar. Jika pendidikan sudah selesai, mereka akan ditugaskan untuk memakmurkan masjid di seluruh Bintuni, bahkan Papua Barat. Ahmad, yang sebelumnya pernah ditunjuk sebagai Ketua KPU Kabupaten Bintuni, menyambut baik proposal itu. Ia akan mencari dana lewat berbagai koleganya, sementara Miftah akan mencari tenaga pengajar. Qadarallah, ketika rencana ini mulai berjalan, Miftah dimutasi oleh DPW Hidayatullah Papua Barat ke Kaimana, tepatnya bulan April 2019. Kesibukan membenahi masalah-masalah internal membuat rencana mendirikan Sekolah Dai terabaikan, hingga Miftah dimutasi kembali ke Manokwari pada akhir 2020 untuk memperkuat barisan DPW Hidayatullah Papua Barat. Di Manokwari, Miftah kembali menjalin komunikasi dengan kader Hidayatullah yang ditugaskan ke Teluk Bintuni untuk menggelar pelatihan guru al-Qur’an.
125 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Pesertanya berasal dari guru-guru sekolah di berbagai kampung di Teluk Bintuni. Acara berlangsung selama 10 hari, bertepatan dengan Ramadhan tahun 2021 “Alhamdulillah acara berjalan lancar,” kata Miftah. Pesertanya berjumlah 34 orang. Semua antusias mengikuti materi dan setelah selesai mereka berjanji akan menggiatkan dakwah di kampungnya masingmasing. Selain itu, Miftah juga menggelar Program Intensif Sekolah Dai Muda Entrepreneurship pada 18 hingga 24 Oktober 2021 di Pesantren Hidayatullah Manokwari. Sebanyak 21 dai muda dari berbagai wilayah di Papua Barat diberi pendidikan agama dan entrepreneur. Setelah selesai, mereka dikembalikan ke daerahnya masing-masing untuk berdakwah. Lalu bagaimana dengan cita-cita membangun sekolah dai sebagaimana rencana Miftah sebelumnya? “Cita-cita itu tetap akan kami wajudkan. Bahkan telah menjadi program DPW tahun 2022,” jelas Miftah. Dukungan dana sebetulnya sudah ada. Begitu pula calon dai santri sudah banyak yang menyatakan berminat. Yang masih menjadi kendala hanya tenaga pengajar yang bisa intensif mendampingi para dai santri di Sekolah Dai ini kelak. Semoga Allah mudahkan ikhtiar tersebut. Aamiin. ***
Menanti Azan di Pulau Longos 126 Saharudin J arum jam sudah menunjuk angka 5 lewat 15 menit. Suara azan subuh belum juga terdengar dari Masjid Nurul Taqwa, satu-satunya masjid yang terdapat di Kampung Baru, Pulau Longos, pulau kecil yang terletak di sebelah utara Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Padahal waktu subuh di pulau itu jatuh pada pukul 04.50. Berarti sudah lewat setengah jam dari waktu fajar menyingsing. Mengapa azan tak berkumandang di pulau yang dihuni oleh 100 persen Muslim ini? Apakah benar azan
127 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah tak berkumandang? Atau, jangan-jangan, kumandangnya yang tak terdengar? Pada penghujung Agustus 2016, penulis berkesempatan mengunjungi pulau yang dihuni sekitar 1.400 orang ini atas undangan PosDai Hidayatullah guna mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tadi. Seperti apa kisahnya? Mari kita simak! Habis Gelap, Menanti Terang “Berat rasanya pergi ke masjid kalau shalat subuh. Gelapnya wuuiih ... gelap sekali!” cerita Andri, remaja yang belum setahun mondok di Pesantren Hidayatullah di Pulau Longos, Nusa Tenggara Timur. Masjid Nurul Taqwa di Kampung Baru, Pulau Longos.
128 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Meski gelap, siswa kelas 1 madrasah aliyah ini tetap melangkah menyusuri gang sempit sejauh 200 meter dari kediamannya menuju Masjid Nurul Taqwa, satu-satunya masjid yang ada di Kampung Baru, Pulau Longos. Tak ada cahaya lampu di sekitar jalan setapak tersebut. Satu-satunya penerang yang bisa diharapkan hanyalah cahaya bintang di langit. Ketika cuaca cerah, langit subuh memang sedikit terang. Muhammad Nurung, imam masjid Nurul Taqwa, bercerita bahwa dulu ia sering ketakutan setiap kali menunaikan shalat subuh di masjid. Ia khawatir bertemu ular. “Kelihatannya semua jenis ular ada di sini. Mulai dari ular hitam sampai ular belang,” cerita Nurung kepada penulis, Bahunya sedikit terangkat pertanda ia tengah bergidik membayangkan masa itu. Untunglah kini ular-ular tersebut jarang muncul lagi. Hanya saja, kata Nurung, kala jengking masih banyak. Hewan berbisa ini biasa tinggal di sisa-sisa papan dan kayu yang teronggok di pekarangan rumah. Selain kala jengking, ada juga monyet, burung kakak tua, dan kelelawar. Bahkan, pulau ini dikenal sebagai “sarang” kelelawar terbanyak di Indonesia. Yang tak kalah unik, di pulau ini juga ada komodo. Haryanto, salah seorang warga Kampung Baru, me-
129 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ngaku beberapa kali melihat komodo. “Bentuknya seperti biawak. Panjangnya sekitar 2 meter,” katanya. Memang, pulau Longos tak terlalu jauh dari Pulau Komodo. Sama-sama berada di sisi barat Nusa Tenggara Timur. Namun, menurut Haryanto, komodo di pulau Longos berbeda dengan komodo di Pulau Komodo. “Komodo di sini panjang dan agak kurus. Di sana (Pulau Komodo) lebih gemuk,” cerita Haryanto. Ia menebak, perbedaan bentuk ini disebabkan komodo di Pulau Longos masih liar, sedang di Pulau Komodo sengaja dipelihara. Listrik PLN Belum Masuk Pulau Longos ketika itu belum tersentuh listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Itu sebabnya, pulau ini gelap gulita pada malam hari. Menurut Kepala Dusun Kampung Baru, Abu Bakar, 95 persen penduduk Kampung Baru masih menggunakan lampu minyak tanah sebegai penerang. Sisanya, menggunakan listrik tenaga surya atau genset berbahan bakar solar. Jumat, 26 Agustus 2016, menjelang subuh, saat penulis berada di pulau tersebut, tak terdengar suara azan menggema. Yang terdengar hanya suara jangkrik yang sesekali diselingi suara kodok. Hari tentu masih gelap.
130 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Benarkah tak ada azan di Masjid Nurul Taqwa? “Tidak,” jelas Haryanto, yang rumahnya tak jauh dari masjid berkapasitas sekitar 100 jamaah tersebut. Di masjid tersebut ada azan, namun sering tak terdengar sampai ke luar masjid. Azan dikumandangkan tanpa melalui pengeras suara. Jadi, mana mungkin suara muazin bisa terdengar hingga seluruh kampung? Jangankan seluruh kampung, dari rumah sekitar masjid saja tak terdengar. Lalu, apakah di masjid tersebut tak ada pengeras suara? Ada! Cuma, kata Haryanto, seringkali tak terpakai. “Bahkan beberapa hari ini sempat rusak,” jelasnya. Maklum, bila menggunakan pengeras suara, harus menghidupkan mesin genset terlebih dahulu. Nah, bukan perkara gampang menghidupkan mesin berbahan bakar solar ini. Di samping perlu tenaga, juga boros bahan bakar. Lagi pula masyarakat merasa tidak efisien bila harus menghidupkan mesin genset setiap kali akan azan. Akibatnya, para muazin lebih suka mengambil jalan pintas: azan tanpa pengeras suara. Jika shalat Jumat tiba, pengeras suara baru difungsikan, baik untuk azan maupun untuk ceramah. Begitu mesin genset dinyalakan, khatib naik mimbar, suara mesin pun beradu kencang dengan suara sang penceramah.
131 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Pulau yang Memanjang Pulau Longos memiliki empat kampung. Pertama, Kampung Baru. Kedua, Raja Mina. Kedua kampung ini bergabung dengan Desa Nangakantor, Kecamatan Macang Pacar. Adapun dua kampung lagi, Mangge dan Bajo, bergabung dengan Desa Pontianak, Kecamatan Boleng. Pulau Longos sendiri masuk dalam kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Untuk mencapai pulau ini, kita perlu menempuh perjalanan 2 jam berlayar dari Labuhan Bajo, ibukota kabupaten Manggarai Barat. Cukup banyak kapalkapal kecil yang bersedia mengantar kita ke pulau ini. Satu orang dihargai Rp 50 ribu. Pulau Longos memanjang dari timur ke barat. Panjangnya sekitar 9 kilometer. Mungkin karena itu pula, kata Abu Bakar, pulau ini dinamakan Longos. “Longos berasal dari kata long. Kata orang, artinya panjang,” cerita Abu Bakar menebak-nebak. Jumlah penduduk Pulau Longos sekitar 1.400 orang. Sebanyak 80 persen mendiami Kampung Bajo. Jadi, kata Abu Bakar, bisa dikatakan Kampung Bajo menjadi pusat keramaian di pulau ini. Berbeda dengan Kampung Baru yang hanya dihuni 170 orang. Selain pusat keramaian, Kampung Bajo juga tertua di Pulau Longos. Menurut Muhammatullah, imam masjid sekaligus tokoh di Kampung Bajo, nenek mo-
132 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah yang masyarakat Pulau Longos berasal dari Gowa, Sulawesi Selatan. Mereka juga membawa Islam masuk ke wilayah barat propinsi Nusa Tenggara Timur ini. Abu Bakar sepakat dengan cerita Muhammatullah. Katanya, ketika Belanda menyerbu Gowa pada awal abad 18, banyak masyarakat Bugis yang lari ke Flores, termasuk Pulau Longos. Mereka menjelma menjadi suku Bajo, suku yang dikenal mampu menangkap ikan hanya dengan menggunakan tombak. Keseluruhan wilayah Pulau Longos belum dialiri listrik bersumber PLN. Jadi bisa ditebak, keadaan masjid di pulau ini ---keseluruhan masjid ada empat--- bernasib tak jauh berbeda dengan Masjid Nurul Taqwa yang ada di Kampung Baru: sepi dari suara azan. Hanya masjid di Kampung Bajo sedikit beruntung. Menurut Muhammatullah, masjid di kampungnya punya pembangkit listrik tenaga surya dengan panel berukuran sekitar 7 x 1,5 meter persegi. Listrik yang dihasilkannya bisa menyalakan lampu dan speaker masjid sepanjang hari. Namun, di tiga masjid lainnya, azan kadang terdengar, kadang juga tidak. Sumber Masalah Ketiadaan listrik dari PLN rupanya menjadi sumber persoalan utama di Kampung Baru, juga di Pulau