183 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah yang mau membantu pembangunan asrama buat anak-anak santri. Singkat cerita, berdirilah bangunan permanen dan sebuah mushola di pesantren itu. Lama kelamaan, jumlah santri kian bertambah, termasuk santri putri. Bangunan-bangunan permanen lainnya juga berdiri, termasuk sebuah masjid berkapasitas 200 orang. Listrik juga sudah masuk. Kini, jumlah santri telah mencapai 45 orang. Pada November 2014, Pesantren Hidayatullah Rejang Lebong yang dirintis oleh Abror dipercaya menjadi tuan rumah acara Halaqoh Muharram, yakni ajang berkumpulnya para kader Hidayatullah se-Sumatera. Hadir juga dalam acara tersebut, Pemimpin Umum Hidayatullah KH Abdurrahman Muhammad. Dalam acara tersebut, Abror bersama 100 dai Hidayatullah se-Sumatera mengucapkan ikrar di hadapan KH Abdurrahman Muhammad bahwa mereka siap mengorbankan harta dan jiwa yang mereka miliki, termasuk merintis kembali pendirian cabang Hidayatullah yang baru, demi tegaknya syiar Islam. Itu berarti, sebagai dai, Abror telah siap mengulang kembali “hidup yang tak biasa” sebagaimana dulu ia alami. Mudah-mudahan Allah Ta’ala beridhoi semua jerih payah laki-laki itu, juga para dai Hidayatullah lainnya. Aamiin. ***
Geliat Dakwah di Nusa Penida 184 Yusuf Apa yang Anda pikirkan tentang sebuah pulau kecil di sebelah tenggara Bali bernama Nusa Penida? Ya, apalagi kalau bukan wisatanya. Nusa Penida memang salah satu tujuan wisata para pelancong yang berlibur ke Bali. Untuk mencapai pulau ini tidak sulit. Selalu ada kapal motor yang siap mengantar Anda setiap hari. Anda cukup mengeluarkan uang Rp 65 ribu, lalu duduk manis di atas kapal selama 20 menit. Tentu ada banyak pemandangan menarik di pu-
185 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah lau kecil seluas 200-an kilometer persegi ini. Sebutlah, misalnya, Broken Beach, Klingking Beach, Kristal Bay, atau Anggel Bilabong. Semua indah-indah. Tapi ada satu hal yang --menurut penulis-- lebih menarik dari semua itu. Rupanya, di Nusa Penida, ada sebuah kampung yang dihuni oleh 100 persen Muslim. Namanya Toyapakeh, terletak di Kabupaten Klungkung. Adapun Nusa Penida sendiri, selain nama pulau, juga nama kecamatan di mana Toyapakeh berada. Kampung Toyapakeh tidak luas. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), luas Toyapakeh sekitar 11 km persegi. Sedang Pulau Nusa Penida sendiri luasnya sekitar 209 km persegi, hampir sama dengan luas Kota Depok, Jawa Barat, yang seluas 200 km persegi. Jumlah penduduk di kampung ini juga tidak banyak, BPS mencatat hanya 544 jiwa. Semuanya beragama Islam. Atas alasan ini pula maka penulis, pada awal Maret 2023, mengunjungi Nusa Penida bersama tim PosDai Hidayatullah, serta seorang dai muda Hidayatullah yang telah bertugas di Nusa Penida selama hampir 5 tahun. Namanya Yusuf. Ia asli Pasuruan, Jawa Timur. Usianya masih 35 tahun, namun semangat dakwahnya jauh melampaui usianya. Kami mendarat di Pelabuhan Sampalan --satu dari empat pelabuhan yang ada di Nusa Penida--
186 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah saat menjelang tengah hari. Kami melaju ke arah barat menyusuri jalan utama yang berbelok-belok di pinggir pantai, lalu tiba di Kampung Toyapakeh sekitar 30 menit kemudian. Di Toyapakeh, ada sebuah masjid besar bernama Al-Imran. “Hanya ada satu masjid di pulau ini. Ya, masjid Al-Imron itu,” kata Perbekel (sebutan untuk kepala pemerintahan desa) Toyapakeh, Dwi Jati Susanto, saat menerima penulis dan tim PosDai Yusuf sedang berlayar menuju Nusa Penida dengan transportasi umum.
187 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Hidayatullah di kantor desa yang terletak di pinggir pantai. Kantor desa tersebut dibangun dengar arsitektur khas Bali. Masjid Al-Imron cukup besar. Ada sekitar 20 shaf di dalamnya. Masing-masing shaf bisa diisi sekitar 30 jamaah. Ini belum termasuk halaman masjid yang juga luas. Bangunan masjid tidak bertembok. Hanya ada tiang-tiang yang menyangga atap masjid. Di sisi tenggara ada bagian tertutup tirai untuk tempat shalat para Muslimah. Sayangnya, masjid ini tidak terletak di pinggir jalan utama, melainkan di ujung gang sempit yang hanya muat dilalui dua motor. Meskipun sempit, gang ini cukup ramai dilalui pelancong. Di kanan kiri gang berdiri rumah-rumah penduduk. Gerbang masjid agak tinggi, sehingga bangunan masjid tak terlihat dari luar. Begitu gerbang dibuka, tampak halaman masjid yang luas. Arsitektur Bali terlihat sangat kentara di masjid tersebut. Yang menarik, jumlah jamaah di Masjid Al Imron cukup banyak. Saat penulis datang dan ikut shalat zuhur berjamaah di masjid ini, sebanyak 3 shaf di depan terisi penuh. Alhamdulillah. Kegiatan pengajian di Masjid Al-Imron, menurut Sekretaris Desa Toyapakeh, Syaikhu Siddiq, cukup semarak. Ada kajian subuh yang diisi oleh ustadz
188 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah lokal. Ada pula kajian kitab setiap dua pekan sekali yang diisi Ketua MUI Kecamatan Klungkung. Selain itu, setiap satu atau dua bulan sekali, pengurus masjid mengundang penceramah dari luar Nusa Penida untuk berceramah di masjid ini. Sedang ibu-ibu, setiap pekan menggelar pengajian PKK. Tak Mudah Menetap di Nusa Penida Yusuf, dai muda Hidayatullah yang bertugas di Nusa Penida, sebenarnya tidak tinggal di kecamatan itu. Yusuf tinggal di Kampung Kusamba yang terletak di Kecamatan Dawan. Meskipun kampung ini terletak di luar Pulau Nusa Penida, namun keduanya berada dalam satu kabupaten, yakni Klungkung. Untuk mencapai Nusa Penida dari Kampung Kusamba, Yusuf harus menyeberang dengan kapal boat. Biaya yang harus dikeluarkan setiap kali kunjungan juga tidak murah. Sebab, selain ongkos menyeberang ke Nusa Penida, Yusuf juga harus merogoh koceknya untuk menyewa motor di pelabuhan agar bisa berpergian dengan mudah seharian. Karena itulah, Yusuf mengaku, tak sering ke Nusa Penida. “Saya hanya datang sekali-kali saja,” cerita Yusuf. Ia menyeberang bila ada kegiatan mengisi taklim di masjid atau di rumah warga, menghadiri undangan warga yang hendak menggelar hajatan, atau sekadar bersilaturahim dengan beberapa war-
189 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ga yang sedang dalam proses pembinaan. Yusuf juga sudah berusaha mendapatkan sebidang tanah untuk mendirikan Rumah Qur’an di pulau itu. Jika berhasil, kata Yusuf, ia tinggal mencari biaya untuk mendirikan rumah di sana. Jika Rumah Qur’an sudah berdiri, ia akan mencari dai muda yang siap tinggal dan mengajarkan Qur’an di Nusa Penida. Barangkali salah seorang santri yang ia bina di Kusamba, bisa ia minta tinggal di Nusa Penida. Begitulah pikir Yusuf. Namun, sampai saat ini, rencana tersebut belum terwujud. Dulu, cerita Yusuf, pernah ada tanah kosong yang cocok untuk dibangun Rumah Qur’an. Namun, harganya sangat mahal, sementara Yusuf sendiri tak memiliki dana yang cukup untuk membebaskannya. “Setiap kali ada undangan nikah, takziah, pengajian, saya selalu menyampaikan bahwa Hidayatullah berkeinginan mendirikan Rumah Qur’an di pulau ini. Tapi belum ada yang merespon,” cerita Yusuf. Harga tanah di Nusa Penida memang melangit. Untuk tanah seluas satu are atau 100 meter persegi dijual seharga Rp 700 juta. Terang saja Yusuf tak bisa menyediakan uang sebanyak itu. Ia hanya berharap suatu hari nanti bisa bertemu mihsinin yang bersedia mewakafkan tanah di sana. Bila Allah Ta’ala mengabulkan keinginannya maka ia akan segera mendirikan Rumah Qur’an Hidayatullah di pulau tersebut. “Ini
190 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah cita-cita saya,” kata Yusuf. Yusuf mulai masuk dan berdakwah di Nusa Penida bersamaan dengan meletusnya Gunung Agung di Karangasem, Bali, tepatnya sekitar tahun 2018. Namun, Yusuf mulai bertugas di Bali lebih lama lagi, yakni sejak tahun 2009. Saat pertama masuk ke Nusa Penida, cerita Yusuf, suasananya sudah ramai. “Tidak berbeda dengan suasana sekarang (tahun 2023),” jelasnya. Yusuf juga kagum melihat keindahan pulau ini. “Pasirnya putih, pantainya indah,” terang Yusuf. Pelancong mancanegara juga banyak di pulau ini. Terkadang, saat akan memasuki Masjid Al-Imron, Yusuf berpapasan dengan bule berpakaian minim. “Saya hanya beristighfar dan berdoa semoga Allah kuatkan saya,” kata Yusuf. Sebetulnya, penduduk Muslim di Toyapakeh adalah penduduk asli pulau Nusa Penida. Artinya, cerita Yusuf, mereka lahir di pulau itu. Begitu juga ayah dan kakek mereka. Namun, jika ditelusuri lebih jauh lagi, kakek buyut warga Muslim di Nusa Penida berasal dari luar Bali. Hal ini dibenarkan oleh Sekretaris Desa Toyapakeh, Syaikhu Siddiq. Di zaman dahulu kala, kata Syaikhu, ketika Bali masih berbentuk kerajaan, Pulau Nusa Penida didatangi oleh orang-orang Banjar (Kalimantan), Jawa, dan
191 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Bugis (Sulawesi). Mereka semua beragama Islam dan menetap di pinggir pantai. Saat Kerajaan Bali diserang oleh musuh-musuhnya, para pendatang beragama Islam ini ikut membantu Kerajaan Bali untuk mempertahankan wilayahnya. Setelah perang usai dan pasukan musuh berhasil dihalau, para perantau ini menetap di Bali. Mereka bahkan diberi tanah di beberapa tempat di Bali oleh pihak kerajaan, salah satunya di Pulau Nusa Penida. “Kakek buyut saya adalah satu di antara pendatang yang beragama Islam,” jelas Syaikhu dengan logat Bali yang khas. Awalnya para pendatang beragama Islam ini tersebar di berbagai kampung di Nusa Penida. Lalu, pemerintah setempat memindahkan mereka di sebuah kampung, yakni Toyapakeh. Sebagai penghuni awal, pendatang Muslim ini tentu awalnya memiliki tanah yang luas di pulau itu. Namun, setelah mereka beranak dan bercucu, tanahtanah tersebut dijual kepada para investor yang ingin membangun penginapan dan tempat wisata di sana. Berdakwah di Kampung Kusamba Kusamba, kampung tempat tinggal Yusuf, satu di antara tiga desa Muslim di Kabupaten Klungkung.
192 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Dua desa lagi adalah Toyapakeh dan Gelgel. Klungkung kabupaten terkecil di Provinsi Bali. Ibu kotanya Semarapura. Secara keseluruhan, kabupaten ini memiliki empat kecamatan dan 59 desa/kelurahan. Di Klungkung, penganut agama Hindu paling banyak. Jumlahnya, menurut data BPS, 95,16%. Sedangkan kaum Muslim hanya 4,17% saja. Yang menarik, sepertiga dari wilayah kabupaten Klungkung terletak di Pulau Bali. Sedang dua pertiga sisanya terletak di pulau-pulau kecil sekitar Bali, yakni Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan, dan Nusa Ceningan. Desa Kusamba terletak di sebelah tenggara Pulau Bali, di pinggir pantai, berhadapan dengan Pulau Nusa Penida. Jarak Kusamba dengan Kota Semarapura hampir tujuh kilo meter. Jumlah kepala keluarga di desa ini sekitar 200-an. Di desa inilah Yusuf banyak menghabiskan waktunya untuk mengajar al-Qur’an, sambil sekali-kali mengunjungi Nusa Penida. Bahkan, rumah yang ia diami sekarang dijadikan tempat belajar mengaji anak-anak. Jumlahnya mencapai 107 orang. Setiap hari anak-anak tersebut datang secara berkelompok. Dari pagi hingga usai shalat isya. Yusuf dan isterinya bergantian mengajar mereka, dibantu
193 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah tiga warga yang tadinya belajar mengaji di rumah Yusuf. Yang menarik, satu di antara tiga warga yang membantu mengajar tersebut adalah mualaf. Sedang satunya lagi anak dari mualaf itu. Karena kegigihan mereka belajar, keduanya kini sudah mampu mengajar anak-anak mengaji. Pertama kali tiba di Kusamba, Yusuf menyewa sebuah rumah yang ia jadikan tempat mengajar alQur’an. “Awalnya jumlah santri hanya dua orang. Ya, Masjid al-Imron, satu-satunya masjid di Nusa Penida.
194 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ibu dan anak yang mualaf itu,” cerita pria kelahiran 1988 ini. Keduanya diajari mengaji oleh isteri Yusuf. Setelah itu mereka pindah ke sebuah ruko milik pemerintah desa setempat. Kepala desa meminta agar ruko tersebut dipakai untuk kegiatan belajar mengajar al-Qur’an. Sebelumnya, masyarakat sekitar sempat pesimis karena selama ini respon masyarakat terhadap kegiatan mengaji sangat kurang. “Kalau diundang, tidak lebih dari 20 orang yang datang,” cerita Yusuf menirukan komentar masyarakat sekitar. Namun, Yusuf tidak patah semangat. Ia beranikan diri mengundang sekitar 50 warga untuk datang pada acara pembukaan Majelis Qur’an Hidayatullah yang ia dirikan. Tanpa diduga, yang datang justru lebih banyak dari yang dia undang. “Begitu pendaftaran santri dibuka, langsung penuh,” kata Yusuf. Satu keluarga ada yang mendaftarkan tiga anaknya, ada juga yang dua, atau satu. Kini, Yusuf sudah menempati tanah dan bangunan yang dibeli oleh seorang muhsinin dan diserahkan kepadanya. Luas lahan tersebut sekitar tiga are. Yusuf juga berharap suatu hari nanti ada juga muhsinin yang membantunya membeli lahan dan bangunan di Nusa Penida sehingga ia bisa membuka Rumah Qur’an di sana.
195 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Lalu bagaimana kisah Yusuf hingga “terdampar” di Pulau Dewata ini? Rupanya sang paman yang mengajak pria berpenampilan kalem ini ke Bali. Waktu itu, sekitar tahun 2009, Yusuf sudah menyelesaikan pendidikan pesantren dan SMA di Sidoarjo, Jawa Timur. Sang paman mengajaknya ke Bali untuk menjadi takmir di salah satu masjid di pulau yang terkenal dengan turisnya itu. Namun, sesampainya di Bali, pria asal Pasuruan, Jawa Timur, ini dikenalkan kepada Pesantren Hidayatullah Bali. Yusuf ditawari untuk mengajar di pesantren tersebut. “Saya selesai mondok di Sidoarjo, pergi ke Bali ternyata mondok lagi,” jelas Yusuf sambil tertawa. Ia tentu saja senang dengan tawaran ini. Sebab, pesantren adalah dunianya sejak kecil, dan santri adalah sahabat-sahabatnya dari dulu. Ketika ditanya mengapa tidak melanjutkan kuliah, Yusuf langsung tersipu-sipu. “Saya sebenarnya kepengen kuliah. Tapi anak-anak di sini tidak mungkin saya tinggalkan. Mereka nanti sama siapa?” kata Yusuf. Begitulah gambaran keikhlasan dai muda yang tengah mengemban amanah dakwah di Pulau Dewata. Semoga cita-cita Yusuf menggaungkan alQur’an di Nusa Penida dan Kusamba bisa terwujud. Aamiin. ***
Meng-Qur’an-kan dari Rumah-rumah Sederhana 196 Robiul Ngalim Bila mendengar kata “jihad”, apa yang Anda bayangkan? Pernahkah terbayang dalam benak Anda emak-emak yang sedang berkumpul di sebuah ruangan ber-AC? Yup! Sebagian dari kita mungkin tertawa bila ada yang mencoba menghubungkan dua hal itu. Sebab, di ruang ber-AC yang sejuk, mana mungkin ada suara desingan peluru, atau derap kaki kuda di jalanjalan berdebu, atau rintihan kesakitan orang yang
197 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah terkena besi bermesiu. Kalau pun ada yang bisa dilihat atau didengar, paling air putih segar yang terhidang di dalam botol kemasan dan siap diteguk kapan saja, ditimpali oleh suara emak-emak yang bersahut-sahutan. Tapi jangan keliru. Pertengahan Juli 2023, penulis benar-benar melihat emak-emak tengah serius mempersiapkan jihad di dalam ruangan ber-AC. Pemandangan itu penulis jumpai di sebuah rumah di Jalan Raya Trenggalek Ponorogo km 03, Karangan, Jawa Timur. Di tangan mereka memang tak ada senjata AK 47 atau pistol glock 17 yang dipakai Sambo menghabisi anak buahnya. Yang ada hanya buku tentang cara belajar membaca al-Qur’an yang benar. Kelak, setelah mereka menguasainya, mereka diminta mengajarkan kepada emak-emak yang lain tentang hal yang sama. Begitulah seterusnya. “Allah menyerukan kepada kita untuk melakukan jihad yang besar, yakni berjihad dengan al-Qur’an,” jelas Muhammad Agung Tranajaya, Ketua Gerakan Dakwah Mengajar dan Belajar Al-Quran (atau GranD MBA) Hidayatullah, mengutip makna dari al-Qur’an surat al-Furqon [25] ayat 52. Ayat tersebut berbunyi, yang artinya: Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjuanglah terhadap mereka dengannya (al-Qur’an)
198 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah dengan perjuangan (jihad) yang besar. “Jadi ketahuilah kita ini sedang berjihad,” jelas Agung lagi di hadapan emak-emak berjilbab lebar tersebut. Rumah tempat emak-emak itu belajar dinamai Rumah Qur’an Hidayatullah atau biasa disingkat RQH. Di Trenggalek, jumlah RQH tak hanya satu, tapi ada lima. Terakhir, diresmikan pemakaiannya pada awal Agustus 2023 lalu. Dalam satu RQH, ada tiga sampai empat kelompok belajar. Sedang dalam satu kelompok belajar berisi 15 peserta. Saat ini, kata Agung, secara keseluruhan di Indonesia sudah ada 1.088 RQH dengan jumlah santri lebih dari 29 ribu orang. Jumlah ini akan terus Said Mukmin sedang mengajar di Rumah Qur’an Trenggalek, Jawa Timur
199 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah bertambah seiring kian membesarnya gerakan ini. Lalu bagaimana awal mula munculnya Gerakan Dakwah Mengajar dan Belajar Al-Quran ini? Bagaimana konsepnya dan apa yang diharapkan dari gerakan ini? Bagaimana pula jika ada yang ingin ikut serta dalam gerakan ini? Ingin tahu lebih jauh? Mari kita lanjutkan cerita ini. Belajar dari RQH Trenggalek Kita awali kisah ini pada tahun 2010. Ketika itu Ust Said Mukmin, dai Hidayatullah asal Ngawi, Jawa Timur, menerima tugas berdakwah ke Trenggalek, Jawa Timur. Dai muda kelahiran 1976 ini memulai gerakan dakwahnya dengan hal sederhana, yakni mengajar cara membaca al-Qur’an yang baik dan benar. “Kami ingin masyarakat ini (bacaan) Qur’annya bagus,” kata Said saat dihubungi penulis pada pertengahan Juli 2023. Jika bacaannya sudah bagus, maka pembinaan selanjutnya tidak akan sulit. Sebab, mereka sudah dekat dengan al-Qur’an. Saat itu konsep RQH belum ada. Begitu pula Gerakan Dakwah Mengajar dan Belajar Al Quran, masih sederhana dan belum disosialisasikan secara luas. Sasaran dakwah Said pada awalnya adalah anak-anak. Tentu saja Said tidak menemukan kesulitan karena ketika itu Hidayatullah Trenggalek sudah memiliki madrasah.
200 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Tahun 2012, Said mengirim anak-anak didiknya untuk ikut MTQ se-Jawa Timur. “Alhamdulillah anakanak kami tembus sampai tingkat provinsi,” cerita Said. Sejak saat itu, Said dan madrsah Hidayatullah semakin dikenal masyarakat. Bahkan, para wali murid berencana membuka pesantren tahfidz agar kegiatan belajar dan mengajar al-Qur’an lebih formal. Said tentu menyambut baik rencana ini. Ia segera merumuskan kurikulum dan aturan belajar. Bahkan, untuk membantu biaya operasional, para orang tua tak keberatan dipungut biaya. “Kami ingin pesantren tahfidz ini tidak dibuat seadanya. Kami ingin profesional. Ada kurikulumnya, ada targetnya, ada standarnya, dan berbayar,” jelas Said. Rupanya peminat pesantren ini tak hanya murid madrasah Hidayatullah. Masyarakat sekitar juga banyak yang memasukkan anaknya untuk belajar di pesantren ini. Bahkan, kata Said, ada anak yang berasal dari kecamatan tetangga. Setelah itu, permintaan mengajar tahsin al-Qur’an mulai berdatangan dari beberapa masjid. Ada yang satu kali dalam sepekan, ada pula yang dua kali. Permintaan bahkan datang juga dari perumahan di sekitar tempat itu. Banyaknya permintaan ini membuat Said ha-
201 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah rus mengatur waktunya agar semua bisa terlayani dengan baik. Pagi ia mengajar di pesantren, sore sampai malam ia mengajar di masjid-masjid dan perumahan. Namun, Said merasakan ada hal yang kurang sempurna saat mengajar jamaah masjid atau warga perumahan. Mengajar Qur’an di masjid dan perumahan, kata Said, tak seketat di pesantren. Di masjid, tak ada target dan tak ada kurikulum. Peserta bisa datang dan pergi begitu saja. Pembinaan menjadi tidak tuntas! Karena itu, Said menawarkan kepada jamaah masjid untuk ikut dalam program belajar Qur’an bertarget. “Kalau selama ini bapak-bapak belajar bertahun-tahun, tapi gak ada target, kami tawarkan bagaimana kalau ikut belajar Qur’an ala santri. Tidak lama lagi kami akan membuka Rumah Qur’an. Bapak-bapak bisa belajar di sana,” kata Said. Para santri akan dibagi dalam beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri atas 15 orang. Santri baru tak boleh bergabung di tengah jalan. Ia harus ikut sejak awal. Said merancang jumlah pertemuan untuk masing-masing kelompok ada 108 kali. Dalam sepekan, ada dua kali pertemuan. Jadi, diperkirakan, selama 1 tahun selesai. Namun, para santri harus ikut dari awal hingga tuntas.
202 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Tawaran untuk mendirikan Rumah Qur’an Hidayatullah (RQH) ini rupanya didengar juga oleh para wali murid di madrasah Hidayatullah. Mereka justru lebih bersemangat menyambut ajakan untuk mendirikan Rumah Qur’an ini. “Kami katakan kepada mereka, RQH akan kami buka kalau pesertanya sudah cukup dan tempatnya ada,” kata Said. Rupanya, dalam waktu delapan jam setelah diumumkan, langsung terbentuk dua kelompok, lengkap dengan tempat belajar berupa sebuah kantor yang kosong. Pada November 2021, RQH pertama di Trenggalek resmi berdiri. Biaya pendaftaran Rp 100 ribu, sedang biaya pembelian peralatan mengaji seperti meja dan kursi Rp 1 juta per peserta. Adapun iuran bulanan Rp 100 ribu. “Ada juga yang membayar lebih,” jelas Said. Dalam dua pekan setelah dibuka, langsung terbentuk 5 kelompok. Masing-masing kelompok berjumlah 15 orang, dan dalam satu pekan dua kali pertemuan. Kelompok ibu-ibu belajar sore, sedang bapak-bapak belajar malam. Beberapa bulan setelah RQH pertama berdiri, salah seorang peserta menawarkan agar rumahnya dijadikan RQH juga. Lalu terbentuklah RQH kedua. Bahkan, di RQH kedua ini, semua peralatan disediakan oleh pemilik rumah. Pengajar di RQH kedua ini adalah santri-santri di RQH pertama yang mulai
203 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah mahir membaca Qur’an. Setelah itu terbentuk juga RQH ketiga. Seorang wali murid, cerita Said, ingin rumahnya dijadikan RQH. Begitulah seterusnya hingga terbangun 5 RQH di Trenggalek. “Sekarang seluruh murid di RQH ada 135 orang,” jelas Said. Adapun TPA tetap berjalan dengan jumlah santri mencapai 145 orang. Secara keseluruhan di Jawa Timur, telah ada 64 RQH, ditambah 30 MQH (Majelis Qur’an Hidayatullah). Jumlah ini tentu akan terus bertambah seiring kian banyaknya masyarakat yang ingin belajar dan mengajar al-Qur’an di provinsi ini. Dari Rumah Hantu Menjadi Rumah Qur’an Awalnya, rumah dua lantai yang terletak di jalan Watu Lawang Timur II no 23, Papandayan, Kecamatan Gajah Mungkur, Kota Semarang, Jawa Tengah itu menakutkan. Cerita-cerita angker kerap datang dari rumah itu. “Dulu rumah itu sepi sekali,” cerita seorang warga yang tinggal di sekitar rumah itu. “Setiap cucu saya lewat selalu menangis,” cerita warga itu lagi kepada dai muda Hidayatullah, Robiul Ngalim. Robi lalu berinisiatif mengubah rumah angker itu menjadi Rumah Qur’an. Awalnya, dai muda kelahiran tahun 1994 ini mendatangi sejumlah tokoh ma-
204 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah syarakat di sekitar tempat itu. “Saya minta restu dan minta doa kepada mereka,” jelas Robi. Setelah masyarakat sekitar merestui, “rumah angker” itu pun ia bersihkan dan ia sulap menjadi tempat belajar al-Qur’an. Namanya Rumah Qur’an Hidayatullah (RQH) Al-Fath. Luas lahan RQH Al-Fath sekitar 500 meter persegi. Masih ada sedikit lahan kosong di bagian depan. Sebuah gazebo kecil berdiri di salah satu pojok lahan. Menurut Robi, sebelum berdirinya RQH Al-Fath, dakwah kepada masyarakat di wilayah itu tidak mudah. Ada kultur yang terasa berbeda. Namun, setelah RQH berdiri, dakwah menjadi lancar. Menurut Robi, mengajarkan al-Qur’an tidak menimbulkan resistensi. “Alhamdulillah, al-Qur’an menjadi wasilah bagi kami untuk berdakwah di tengah masyarakat,” jelas pria kelahiran Blora, Jawa Tengah ini. Setelah RQH berdiri tahun 2020, Robi mempromosikan programnya lewat stutus WhatsApp (WA). “Alhamdulillah datang satu anak yang ingin diajari mengaji,” cerita Robi mengenang masa lalunya. Anak tersebut masih duduk di kelas 3 SD. Robi mulai mengajar anak tersebut setiap bakda magrib. Meskipun hanya satu anak, Robi tetap bersemangat mengajarinya. Keadaan seperti ini bahkan berjalan hampir satu bulan. Setelah itu baru datang
205 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah satu murid lagi. Lama-lama kedua anak yang sudah diajari mengaji oleh Robi ini bercerita kepada teman-temannya. Orang tua kedua anak ini juga merasa sangat senang melihat kemajuan anak-anaknya dalam mengaji. Ini yang membuat santri baru mulai berdatangan. Apalagi setelah ada santri yang hafal 1 juz. Para santri ini tidak bermukim di RQH. Mereka tinggal di rumah masing-masing. Setiap sore mereka datang ke RQH dan pulang ketika menjelang magrib. Bahkan, ada santri yang tinggal di kecamatan lain. Waktu tempuh dari rumahnya menuju RQH mencapai 45 menit. Namun, ia rajin datang setiap sore ke RQH Al-Fath. Ada santri yang mata kirinya sudah tidak bisa melihat sama sekali, sedang mata kanannya kabur. Usianya sekitar 12 tahun. Rumahnya tak begitu jauh dari RQH Al-Fath. Setiap sore ia datang berjalan kaki untuk mengaji. “Alhamdulillah, sekarang dia sudah hafal 5 juz dan 100-an hadits,” kata Robi Ada juga santri yang tuna rungu. Semangat belajarnya tinggi. Hafalannya kini sudah hampir selesai juz 30. Awalnya, cerita Robi, santri yang belajar di RQH ini anak-anak usia SD. Padahal, sasaran yang diinginkan adalah para orang tua.
206 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Pada suatu kesempatan, Robi berkata kepada para orang tua bahwa semangat mengaji anakanak harus didukung oleh mereka. Caranya, mereka juga harus belajar mengaji, sama seperti anak-anak mereka. “Syukurlah para orang tua bersedia ikut mengaji,” jelas Robi. Mereka belajar mengaji setiap hari Sabtu dan Ahad. Sementara anak-anak belajar setiap sore pada hari Senin hingga Jumat. Kini, jumlah keseluruhan santri yang belajar di RQH Al-Fath, baik anak-anak maupun orang tua, ada 90- an. Adapun jumlah pengajar 5 orang, terdiri atas 3 perempuan dan 2 laki-laki. Sebagian besar para pengajar diikutkan daurah mualim di Pesantren Hidayatullah Semarang, Jawa Tengah. Selain itu, mereka dibina setiap dua pekan sekali. Untuk materi, selain tahsin dan terjemah, Robi juga mengajarkan tahfidz (hafalan) dan bahasa Arab. Bagi santri yang baru masuk, harus mengikuti masa i’dad (persiapan) selama 6 bulan. Di masa ini, mereka akan diajar mengaji iqra 1 sampai 6. Setelah itu mereka masuk kelas pra al-Qur’an. Setelah lancar, baru masuk kelas al-Qur’an atau tahfidz dewasa. Tahun 2022, Robi pernah mengikutkan para santri RQH Al-Fath dalam olimpiade pengetahuan umum dan agama tingkat Kota Semarang. Yang mengejut-
207 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah kan, para santri RQH Al-Fath tak sekadar menyabet juara 1 lomba tahfidz, tapi juga juara 1 lomba matematika dan bahasa Inggris. Rupanya, istri Robi pernah mengajar di salah satu lembaga bimbingan belajar di Kota Semarang. Pengalaman mendidik anak-anak inilah yang ia terapkan di RQH Al-Fath. Soal biaya belajar, jelas Robi lagi, tidak dikasih patokan. Sebab, ada orang tua yang dhuafa, ada juga yang mampu. Ada yang berprofesi sebagai polisi, pegawai negeri, atau wirausaha. Jadi, Robi mempersilahkan para orang tua memilih apakah mau membayar Rp 50 ribu per bulan atau lebih. Ternyata, ada juga yang membayar Rp 100 ribu, bahkan ada l yang Rp 200 ribu per bulan. Seluruh uang yang terkumpul digunakan untuk biaya operasional RQH, termasuk gaji para guru. “Alhamdulillah selama ini mencukupi,” jelas Robi. Tadinya, cerita Robi, jumlah pengajar ada 6 orang. Namun, satu orang ditugaskan untuk membuka RQH kedua yang terletak agak jauh dari RQH Al-Fath. Sama seperti sebelumnya, rumah yang dijadikan RQH kedua ini juga angker. “Rumah itu milik (seorang) polisi yang bertugas di sini. Rumahnya sudah lama kosong, letaknya di pojokan, rumput dan alang-alang sudah tinggi,” cerita Robi.
208 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Awalnya, sang pemilik minta agar rumah itu ditempati dulu seraya dibersihkan. Setelah itu, barulah digunakan sebagai tempat belajar dan mengajar Qur’an. Kedua RQH yang didirikan Robi dan para guru mengaji di Kota Semarang ini hanyalah sedikit dari seluruh RQH di Jawa Tengah yang jumlahnya mencapai 45 ini. Bahkan, selain RQH, juga ada 30 Majelis Qur’an Hidayatullah di Jawa Tengah. Jumlah ini, lagi-lagi, akan terus bertambah. De- Robiul Ngalim di Rumah Qur’an al-Fath, Semarang, Jawa Tengah.
209 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah mikian juga jumlah RQH di provinsi-provinsi yang lain. Pada saatnya kelak, lewat rumah-rumah sederhana ini, Qur’an akan menggema di seluruh Nusantara. Insya Allah. Bukan Sekadar Kursus Mengaji Gerakan Dakwah Mengajar dan Belajar Al-Qur’an, atau GranD MBA, pertama kali tercetus saat Musyawarah Nasional Hidayatullah ke-2 di Asrama Haji, Jakarta, tahun 2005. Awalnya, jelas Muhammad Agung Tranajaya, ketua Grand MBA, gerakan ini hanya menerjemahkan al-Qur’an lafdziyyah dan tafsiriyyah. Namun, pada tahun 2012, PosDai Pusat menyempurnakan konsep gerakan ini, lalu menggelar pelatihan-pelatihan untuk para guru dan istruktur di sejumlah daerah. Mengapa gerakan ini dinakaman Grand MBA? “Ini bukan tanpa sebab. Kita mengambil pelajaran dari Firman Allah di surat Ali Imran (surat ke 3) ayat 79,” kata Agung lagi. Ayat tersebut berbunyi, yang artinya, Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu penyembahku, bukan penyembah Allah,” tetapi (dia berkata), “Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah (Rabbani), karena
210 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah kamu mengajarkan Kitab dan karena kamu mempelajarinya!” Generasi Rabbani, sebagai mana disebutkan dalam ayat di atas, kata Agung, hanya bisa dibangun lewat kegiatan mengajarkan (tu’alimu) dan mempelajari (tadrasun) al-Qur’an. Dalam ayat di atas, kata “mengajarkan” ditulis lebih dulu dibanding “mempelajari” atau “belajar”. “Ini hikmahnya luar biasa,” jelas Agung. Jika kita ingin menguasai suatu ilmu maka ajarkanlah ilmu itu. Bila kita sudah mengajarkannya maka Allah Ta’ala akan membukakan pemahaman kepada kita. Tapi jika kita menahan ilmu itu maka Allah Ta’ala tidak akan membukakannya. Wujud dari Grand MBA ini, jelas Agung lagi, adalah Rumah Qur’an Hidayatullah (RQH) dan Majelis Qur’an Hidayatullah (MQH). Rumah Qur’an adalah rumah yang dijadikan tempat pelaksanaan GranD MBA, sedang Majelis Qur’an pada dasarnya mirip dengan Rumah Qur’an, hanya saja pelaksanaannya bukan di rumah, tetapi di masjid, perkantoran, kebun, bahkan pasar. Jumlah Majelis Qur’an Hidayatullah di seluruh Indonesia hingga kini, jelas Agung, memcapai 428 Spirit dari gerakan mengajar dan belajar Qur’an ini adalah dakwah. Ini yang harus dijaga oleh semua pengajar. “RQH bukan tempat kursus. RQH adalah tempat untuk menjalankan gerakan dakwah me-
211 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ngajar dan belajar al-Qur’an. Tujuan akhir dari gerakan ini adalah terbangunnya peradaban Islam,” kata Agung. Membangun peradaban Islam, jelas Agung lagi, tidak mungkin jauh dari al-Qur’an. Sebab, masyarakat yang berperadaban Islam adalah masyarakat yang hidup terbimbing dan terpimpin di bawah naungan al-Qur’an. Cikal bakal berdirinya RQH, jelas Agung, dimulai tahun 2014. Ketika itu, Hidayatullah telah membentuk lembaga bernama Majelis Ta’lim Hidayatullah (MTH). Lembaga ini menjadi wujud pelaksanaan program GranD MBA yang kala itu sudah dirumuskan. Pada tahun 2017, MTH berubah menjadi Majelis Qur’an Hidayatullah (MQH) sebagai wujuf pelaksanaan GranD MBA berbasis komunitas. Sampai saat ini MQH tetap ada, namun pada tahun 2021 wujud pelaksanaan GranD MBA ditambah satu lagi, yakni RQH, yang berbasis di rumah. RQH di Trenggalek, Jawa Timur, menurut Agung, sudah tepat dalam hal sasaran, yakni masyarakat dewasa dan orang tua. Adapun RQH Al-Fath di Kota Semarang, juga melibatkan orang tua setiap akhir pekan. Selain itu, model kaderisasi di RQH Trenggalek, di mana murid yang belajar di salah satu RQH ditunjuk sebagai guru di RQH yang lain, juga diapresiasi oleh
212 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Agung. Menurut Agung, program GranD MBA harus melahirkan kader. Artinya, gerakan ini harus melibatkan banyak orang. Apalagi bila banyak masyarakat yang ingin menjadikan rumahnya sebagai RQH. Otomatis diperlukan tenaga pengajar yang banyak. Namun, Agung mengakui, masih ada RQH di sejumlah daerah di Indonesia yang belum pas menjalankan program ini. Misalnya, ada RQH yang memposisikan dirinya seperti pesantren di mana para santri harus menginap di sana. RQH seperti ini, kata Agung, akan terkesan ekslusif. Masyarakat sekitar tidak mendapat manfaat dari keberadaan RQH tersebut. Ada juga RQH yang memfokuskan diri pada pembinaan anak-anak saja. Ini juga keliru. Sebab, sasaran utama RQH sebetulnya adalah masyarakat dewasa dan orang tua. Karena itulah, agar spirit dakwah terjaga, Agung RQH al-Fath, Semarang, yang dulunya sempat menjadi rumah angker sebelum dijadikan rumah Qur’an.
213 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah telah menyusun standarisasi RQH. Ada tiga aspek yang distandarkan. Pertama, uniformnya, baik logo, plang nama, maupun pakaian seragam. Kedua, aspek mualim (guru)-nya, baik kualifikasi, maupun pemahaman yang utuh tentang gerakan ini. Untuk itu para guru harus ikut dauroh mualim sehingga terstandar, baik penguasaan materi, maupun cita-cita yang sama. Mereka juga bersedia melibatkan banyak pihak dan tidak bersifat ekslusif. Ketiga, aspek materi yang diajarkan. Khusus materi ajar ini, Agung meminta agar menggunakan bukubuku GranD MBA dan bukan buku lain. “Bukan buku lain tidak bermanfaat, tetapi karena ini sebuah gerakan maka materi juga harus standar,” jelas Agung. Saat ini Agung yang juga ketua badan koordinasi pembinaan tilawah Qur’an Hidayatullah sedang mengupayakan agar satu propinsi terdapat minimal satu guru ngaji bersanad. Ini juga upaya untuk menstandarkan bacaan para mualim. Perkembangan gerakan ini memang tidak secepat perubahan gaya hidup akibat kemajuan teklogi dan budaya. Perkembangan gerakan ini bergerak perlahan namun pasti. Sebab, gerakan membangun peradaban Islam memang tak bisa dilakukan tergesa-gesa. ***
Anak Rumahan Menaklukkan Maba 214 Yusuf Sunarko S ebuah pesantren berdiri di atas lahan seluas hampir 1 hektar di Kota Maba, ibu kota Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara. Pesantren tersebut cukup besar, mampu menampung lebih dari 100 santri, plus ratusan murid madrasah yang tidak menginap di pesantren itu. Pesantren tersebut bernama Al Abror, berada di bawah Yayasan Pendidikan Islam Hidayatullah. Letaknya tak jauh dari pantai Maba, kira-kira 15 menit dari Pelabuhan Speed Boat Maba bila ditempuh ber-
215 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah jalan kaki. Siapa sangka berdirinya pesantren yang terletak di sisi timur Pulau Halmahera, Maluku Utara, ini diinisiasi oleh dai muda dari tanah Jawa. Namanya Yusuf Sunarko. Yang menarik, pria asal Malang, Jawa Timur, yang lahir tahun 1986 ini sebetulnya “orang rumahan”. “Sebelum ditugaskan ke Halmahera, saya belum pernah merantau. Jangankan merantau, pergi ke luar kota saja belum pernah,” jelas Yusuf kepada penulis yang menemuinya di Pesantren Al Abror pada suatu malam di pertengahan Juni 2022. Ketika masih remaja, Yusuf tak pernah membayangkan kalau ia bakal jadi santri, apalagi merintis berdirinya sebuah pesantren. “Saya ini berasal dari keluarga miskin. Setelah tamat SMK (Sekolah Menengah Kejuruan), saya tidak terpikir masuk pesantren. Yang ada dalam pikiran saya bagaimana caranya bekerja mencari uang,” ceritanya lagi. Karena tuntutan ekonomi itulah maka Yusuf berjualan di Pesantren Ar Rohmah, Malang, Jawa Timur, salah satu pesantren milik Hidayatullah. “Saya masuk Pesantren Ar Rohmah bukan sebagai santri. Saya masuk sebagai penjual makanan di kantin,” cerita Yusuf lagi. Namun, kesulitan ekonomi tak menjadikan Yusuf jauh dari majelis ilmu. Justru ia gemar “mencuri” ilmu
216 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah di pesantren tempat ia berjualan itu. Diam-diam ia sering menyimak ketika para asatidz berceramah. Kegemaran ini rupanya menarik perhatian pimpinan pesantren. Tahun 2008, Yusuf ditawari untuk kuliah di Sekolah Tinggi Agama Islam Lukmanul Hakim, Surabaya, Jawa Timur, salah satu perguruan tinggi tak berbayar milik Hidayatullah. Yusuf tentu saja senang. “Saya belajar Islam benar-benar dari nol,” jelasnya. Bahkan, saat masuk ke perguruan tinggi tersebut, Yusuf belum lancar membaca al-Qur’an. Namun, ia tak patah Arang. Setiap malam, ketika rekan-rekan sesama mahasiswa sudah tertidur pulas, Yusuf masih belajar. “Saya bertekad mengejar Penulis (kanan) saat mengunjungi Yusuf di Maba
217 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ketertinggalan saya dari teman-teman,” cerita Yusuf. Empat tahun kemudian, Yusuf lulus dan berhak mendapat gelar sarjana. Tentu saja Yusuf senang dengan capaian ini. Namun, hatinya masih bertanya-tanya, ke manakah dirinya akan ditugaskan oleh Hidayatullah usai kuliah ini? Setiap lulusan perguruan tinggi Hidayatullah memang harus menjalani “penugasan” ke salah satu cabang atau pesantren Hidayatullah di seluruh Indonesia. Penugasan ini, di satu sisi, disyukuri oleh para lulusan karena mereka tak perlu bersusah payah mencari kerja sebagaimana lulusan perguruan tinggi lain. Tapi di sisi lain, mereka juga merasa //dag dig dug// ketika menanti pengumuman pembagian tugas untuk mereka. Rupanya Yusuf mendapat tugas dakwah ke Halmahera, tempat paling jauh di antara rekan-rekan satu angkatannya. “Saya sangat kaget. Saya kan anak rumahan. //Gak// pernah ke mana-mana. Saya juga merasa paling bodoh di antara teman-teman saya. Mengapa saya yang ditugaskan ke Halmahera?” kenang Yusuf. Mulanya Yusuf tak tahu persis di mana letak Halmahera. Ia cuma paham kalau Halmahera itu terdapat di Maluku. Tapi, di mana Maluku itu, ia tak paham. Saat pulang untuk pamit kepada sang ibu, Yusuf tak bisa menjelaskan ketika sang ibu bertanya
218 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah di mana letak Halmahera itu. “Saya mencari-cari di peta di mana letak Halmahera itu. Rupanya masya Allah, jauh sekali,” kenang Yusuf sembari tertawa mengenang masa lalunya. Tak cuma itu, cerita Yusuf lagi, ia mendapat kabar kalau penduduk Halmahera badannya besar-besar dan suka membawa tombak. Yang membuat Yusuf bersemangat adalah dorongan dari sang ibu. Meskipun wanita setengah baya itu tak tahu persis apa yang akan dilakukan anaknya nanti di Halmahera, namun ia tetap memberi semangat kepada buah hatinya. Lalu, tahun 2012, bismillah, berangkatlah pria rumahan ini ke Halmahera. Ia sadar inilah skenario Allah Ta’ala yang terbaik untuknya. Ia pergi ke Halmahera untuk tujuan mulia, jadi tak ada yang perlu dicemaskan. Bingung Mau Melakukan Apa Yusuf berangkat ke Halmahera sendirian. Ia hanya diberi tahu kalau sesampai di Halmahera kelak, ia harus menemui Ustadz Nurcholis, kader Hidayatullah yang telah lama tinggal di Halmahera. Setelah mendarat di Halmahera, Yusuf menduga itulah tempat tugasnya yang baru. Rupanya Yusuf keliru. Menurut Nurcholis, tempat tugasnya masih jauh.
219 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Celakanya, Nurcholis tidak bisa menjemput dan mengantar Yusuf ke tempat tugasnya. Padahal, perjalanan masih jauh. “Beliau hanya mengarahkan saja, saya harus ke sini dan ke sini,” kata Yusuf. Perjalan Yusuf dilanjutkan dengan mobil selama setengah jam menuju pelabuhan kecil. Dari pelabuhan itu, Yusuf menumpang perahu kayu. Di tengah laut, perahu tersebut berhenti karena mesinnya mati. Perahu bergoyang hebat karena ombak cukup besar. “Saya mual dan muntah karena tidak kuat,” cerita Yusuf. Tiba di suatu daerah bernama Subaim, Yusuf dijemput oleh Nurcholis. Lagi-lagi, Yusuf menyangka di situlah tempat tugasnya. Ternyata ia masih keliru. Ia tidak ditugaskan di sana, melainkan di kecamatan lain bernama Maba, sekitar 3 jam perjalanan dari Subaim. Saat itu, cerita Yusuf, Maba belumlah menjadi kota seperti sekarang. Maba masih sangat sepi. Pendatang belum banyak. Jalanan masih belum bagus. Kebanyakan masih berupa rawa. Di sanalah Yusuf ditugaskan. Namun kali ini, Nurcholis sendiri yang mengantar Yusuf ke tempat tugasnya. Ia diinapkan di sebuah rumah kosong milik seorang simpatisan Hidayatullah. Nurcholis cuma berpesan agar Yusuf bisa menjaga diri baik-baik, dan mulailah berdakwah kepada ma-
220 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah syarakat. Nurcholis hanya tiga hari menemani Yusuf di Maba. Setelah itu, ia pamit kembali ke Subaim. Tak lupa, ia meninggalkan uang sebesar Rp 300 ribu untuk Yusuf. Tinggallah Yusuf sendirian di rumah itu. “Saya bingung mau melakukan apa,” cerita Yusuf. Hari-harinya hanya dipakai untuk sholat di masjid lalu pulang ke rumah. Sebenarnya Yusuf mengaku sedih melihat masyarakat Maba ketika itu. Mereka tak banyak yang mau sholat fardhu ke masjid. Anak-anak juga jauh dari masjid. Bahkan azan shalat Isya hampir tidak pernah berkumandang. Yang ada hanya azan shalat magrib saja. Yusuf ingin sekali mengajak masyarakat mengaji bersama dia di masjid. Namun, jelas Yusuf, ia takut. “Masyarakat di sini badannya besar-besar. Badan saya kurus dan kecil. Takut saya!” cerita Yusuf. Untunglah bayangan tentang “orang-orang besar memegang tombak” yang dulu sempat menghantuinya, tak terbukti. Badan mereka memang besar, namun hati mereka sebetulnya tidak kasar. Akhirnya, karena bingung mau melakukan apa, Yusuf hanya bolak balik antara rumah dan masjid saja. Hal ini ia lakukan hampir satu tahun. Sekali-kali, Nurcholis datang melihat Yusuf sembari menasehati agar kader muda Hidayatullah ini tetap bersabar.
221 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Suatu ketika, entah bagaimana awalnya, Yusuf melihat anak-anak bermain. Yusuf memberanikan diri mengajak mereka bermain masak-masakan di rumahnya. “Saya suka memasak. Jadi, saya ajak anak-anak itu masak bersama. Eh mereka senang,” cerita Yusuf. Lama-lama, anak-anak yang bermain di rumah Yusuf mulai bertambah. Pelan-pelan, Yusuf mengajak mereka belajar mengaji. Rupanya anak-anak itu mau. Inilah jalan yang ditunjukkan Allah Ta’ala kepada Yusuf setelah ia berada pada puncak kejenuhannya. Yusuf mulai bersemangat. Rumahnya kian ramai dengan anak-anak. “Uang bantuan dari Ustadz Nurcholis seringkali habis untuk membujuk anak-anak ini,” cerita Yusuf. Yusuf mulai berpikir untuk mencari mitra dakwah. Sebab, pekerjaan mendidik anak-anak tak bisa dilakukan sendiri. Ia butuh teman, pemuda asli Maba, yang mau berjuang bersama-sama untuk mendirikan lembaga pendidikan formal. Doanya dikabulkan oleh Allah Ta’ala. Ia dikenalkan oleh Nurcholis kepada seseorang bernama Ghafur, penduduk asli Maba, yang bercita-cita membangun sebuah madrasah di Maba. Pada saat yang sama, anak-anak yang belajar di rumah Yusuf semakin banyak dan tak tertampung lagi. Yusuf dan Ghafur butuh tempat yang lebih luas untuk membangun
222 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah madrasah ibtidaiyah (setingkat SD). Simpati Wakil Bupati Semangat dan keikhlasan Yusuf mengajar anakanak mengaji mengundang simpati Wakil Bupati Halmahera Timur. Sang wakil bupati ini lalu menyerahkan sebidang tanah dan bangunan untuk dijadikan tempat mengajar bagi Yusuf dan Ghafur. Letaknya tak jauh dari pantai. Bukan main senang hati Yusuf. Setiap hari, ia dan Ghafur berjalan di tepi pantai, mencari anak-anak yang sedang bermain di sana, lalu mengajak mereka belajar di madrasah. Tahap awal, terkumpullah 20 anak yang siap belajar di madarsah yang didirikan Yusuf, cikal bakal berdirinya Pesantren Al- Abror. Madrasah sekaligus pesantren tersebut kian lama kian diminati masyarakat. Santri-santri menginap juga mulai berdatangan. Bantuan tenaga pengajar sekaligus pengelola datang dari Surabaya, dari kampus tempat Yusuf belajar dulu. Pada awalnya, bangunan di Pesantren al-Abror hanya tiga ruangan yang terbuat dari kayu. Satu ruangan dipakai sebagai tempat tinggal Yusuf, Ghafur, dan dua tenaga pengajar lainnya, sedang dua ruangan lagi dipakai sebagai tempat belajar dan menginap para santri. Lalu sang wakil bupati memberi bantuan kembali.
223 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Selain perluasan tanah pesantren, juga penambahan ruang belajar dan masjid. Pesantren Al Abror semakin lama semakin besar. Jumlah santri kian banyak. Akibatnya, mereka mulai kesulitan membuat hijab antara santri putra dan putri. Solusinya, cerita Yusuf, tak bisa tidak, mereka harus memindahkan semua santri putra ke Pesantren Hidayatullah di Subaim, asuhan Nurcholis. Sementara santri putri di Subaim, dipindahkan ke Maba. Kini, pesantren al-Abror menjadi salah satu lembaga pendidikan favorit di Maba. Beberapa pejabat pemerintah menyekolahkan anaknya di madrasah itu. Masjid telah berdiri di tengah-tengah pesantren. Kendaraan operasional juga sudah ada. Yusuf mengaku mendapat pelajaran amat berharga dari perjalanannya membangun pesantren Al-Abror. “Kalau sudah waktunya, pertolongan Allah akan muncul. Kerja saja dulu, nanti kebutuhan akan Allah penuhi,” jelasnya. Menjelang akhir tahun 2022, tugas baru memanggil Yusuf. Ia dimutasi ke Ternate, ibukota Propinsi Maluku Utara. Ia diberi amanah sebagai Ketua Departemen Pendidikan dan Kepesantrenan di DPW Hidayatullah Maluku Utara. Yusuf pun tak keberatan meninggalkan apa yang telah ia bangun di Maba. Begitulah sejatinya seorang kader dakwah. ***
Mendakwahi Dunia dari Bilik Kedap Suara 224 Mansur Abu Gaza Bilik kedap suara itu tak begitu luas. Ukurannya kira-kira 25 meter persegi. Dindingnya dilapisi bahan lembut seperti styrofoam yang satu sisinya dilapisi kain berwarna hijau. Di sudut ruangan sebelah timur, di depan kain berwarna hijau tadi, ada sofa memanjang. Di depannya terdapat meja. Seorang dai muda kelahiran tahun 1976 duduk di atas sofa berwarna coklat tua tersebut, memperhatikan dengan seksama laptop di depannya. Kakinya diselonjorkan di bawah meja. Dia terlihat santai.
225 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Di dekat meja terdapat kamera, terpasang di atas tripod, menyorot ke arah sang dai. Di belakangnya terdapat layar televisi besar, melekat di dinding ruangan, menghadap sang dai. Apa yang direkam oleh kamera tersebut akan terlihat di layar televisi itu. Jarum jam sudah menunjuk pukul 5 lewat sedikit. Shalat Subuh berjamaah di masjid terdekat baru saja usai sebelum dai muda tersebut duduk di atas sofa. Acara mengaji online belum dimulai. Tiba-tiba masuk anak kecil berusia 7 tahun sembari mengucapkan salam. Anak tersebut langsung Mansur (kiri) bersama Azzam (kanan) sedang siaran live mengaji online.
226 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah duduk di sofa, di sebelah kiri dai muda, menghadap kamera. Dua anak muda lainnya duduk di belakang komputer di sisi selatan ruang kedap suara. Salah satunya memberi aba-aba kepada sang dai tanda rekaman akan segera dimulai. Jarum jam sudah menunjuk pukul 5 lewat 30 menit. “Tiga, dua, satu ...OK.” Acara pun dimulai. Begitulah suasana Ngaji Online Subuh --atau disingkat Ngaos-- yang diselenggarakan PosDai Yogyakarta di jalan Lempongsari, Gg Sepat, No 14, Tegalmojo, Yogyakarta. Hari itu, Rabu, 21 Juni 2023, penulis melihat langsung seperti apa program yang rutin digelar setiap usai shalat subuh ini. Meski pengajian ini disiarkan dari bilik kedap suara yang tak terlalu luas, namun masyarakat yang mengikutinya sangat banyak. Pagi itu, misalnya, sebelum acara dimulai sudah bergabung 90 orang. Jumlah ini langsung melonjak saat acara dimulai, mencapai 500 pemirsa. Angka ini terus bertambah, bahkan pernah mencapai lebih dari 1.000 orang. Dai muda yang memandu program ini bernama Ustadz Mansur Abu Gaza. Sedang anak kecil yang sering menemani beliau bernama Azzam. Ia adalah santri tahfidz Sekolah Integral Hidayatullah Yogyakarta. Masyarakat yang ikut program Ngaos berasal dari
227 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah beragam latar belakang dan berbagai wilayah, bahkan dari luar negeri. Mulai dari “orang biasa” sampai tokoh masyarakat, anak muda hingga orang tua. Salah seorang tokoh yang pernah ikut program ini adalah Marwah Daud Ibrahim, ketua umum ICMI periode 2005-2010. Beliau tak sekadar ikut, tapi juga menyumbang biaya operasional program ini. Begitu juga istri salah seorang hakim agung, rutin mengikuti dan ikut menyumbang acara ini. Yang menarik, para pemirsa Ngaos tak sekadar mengaji online, mereka juga membentuk komunitas. Jamaah Ngaos yang berada di Jakarta, misalnya, membuat grup WhatsApp sendiri. Begitu juga jamaah di beberapa daerah lain. “Jumlah grup WA Ngaos mencapai 11,” jelas Mansur. Materi Dakwah Menurut Mansur, kebanyakan “santri” onlinenya berusia tua dan telah menginjak usia pensiun. Ia menebak, para orang tua ini memiliki lebih banyak waktu ketimbang anak-anak muda. Namun, meski usia mereka senja, semangat mereka tinggi. Ini bisa diketahui lewat chat di laman youtube Ngaos. Mereka juga sering bertanya, bahkan lewat jalur pribadi. Pertanyaan-pertanyaan itu ditampung oleh Mansur, lalu dibahas saat online.
228 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Apa saja yang diajarkan Mansur kepada jamaah online ini? Pertama, tahsin. Mansur membacakan satu atau dua ayat al-Qur’an secara pelan, lalu memberi kesempatan kepada para pemirsa untuk mengikutinya bersama Azzam, sang hafidz cilik yang sering menyertai Mansur siaran. Ini dilakukan Mansur berulang-ulang selama 10 menit hingga setengah jam pertama. Kadangkadang diulang sampai 10 kali. Harapannya, dengan berulang-ulang, pemirsa akan hafal. Mansur juga menjelaskan bagaimana cara membaca beberapa kata yang benar, terutama di bagian yang berpotensi salah. Selanjutnya, Mansur menjelaskan beberapa kaidah tajwid sesuai ayat yang tadi dibacakan. “Biasanya sambil membahas ilmu tajwid, saya melihat komentar pemirsa. Saya senggol nama beberapa pemirsa sehingga mereka senang,” jelas Mansur. Kebanyakan pemirsa yang nge-chat adalah orang-orang yang aktif sejak lama. Namun, pernah juga muncul nama baru. “Kalau muncul nama baru, saya langsung sapa,” jelas Mansur. Yang menarik, kebanyakan pemirsa yang bertahan ikut mengaji bersama Mansur, tak kenal dengan Mansur sebelumnya. Justru, orang-orang yang kenal dengan Mansur tak bakal bertahan lama. “Lima menit sudah keluar dari youtube,” kata Mansur se-
229 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah raya tertawa. Lalu bagaimana awal mula Mansur membangun program Ngaos ini? Mari kita bedah kembali jejak perjalanan Mansur sebelum acara ngaji online ini muncul. Tausiyah Tiga Menit Gagasan menggunakan channel youtube sebagai wasilah dakwah diawali ketika Indonesia baru saja diserang wabah covid-19. Ketika itu, banyak aktivitas yang berhenti, termasuk aktivitas dakwah secara offline. Namun, serangan wabah covid ini tak berarti menghentikan secara total aktivitas dakwah. Mansur meyakini, aktivitas berdakwah lewat online tak kalah efektif dibanding berdakwah secara offline. Bahkan, boleh jadi lebih efisien. Sebenarnya, Mansur tak punya pengalaman berdakwah lewat online. Namun, wabah covid memberi peluang bagi Mansur untuk mendalami dunia ini lebih serius. Apalagi pesantren Hidayatullah Yogyakarta mendukung gagasan Mansur dengan menugaskan dua tenaga muda yang gemar mengutak-atik komputer, ditambah satu tenaga lagi yang punya sedikit pengalaman bidang teknologi informasi. Program pertama Mansur diberi tajuk TTM, atau Tausiyah Tiga Menit. Sesuai namanya, program ini berisi tausiyah para ustadz dengan durasi tiga menit
230 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah saja. Pengisinya para ustadz dari pondok pesantren Hidayatullah Yogyakarta. Peralatan rekaman yang digunakan kala itu masih sederhana. Hanya satu kamera dan satu laptop untuk mengedit. Itu pun hasil pinjaman. Secara bergantian para ustadz tersebut datang ke studio dan mengikuti proses rekaman. Ini juga tidak mudah. Sebab, kebiasaan para ustadz berceramah berjam-jam. Mereka sulit menyesuaikan diri ketika diminta berceramah hanya tiga menit saja. “Kami sering rekaman berulang-ulang,” cerita Mansur. Para ustadz ini tak keberatan diminta waktunya untuk rekaman meskipun berulang-ulang. Apalagi waktu mereka banyak yang longgar karena covid masih mewabah ketika itu. Namun, enam bulan kemudian, kegiatan offline mulai berlangsung di pesantren Hidayatullah. Aktivitas para ustadz berangsur normal. Akibatnya, waktu rekaman mulai terganggu. Di sisi lain, jumlah pemirsa yang menonton program TTM tidak banyak. “Hanya puluhan saja. Itu pun teman-teman dari Hidayatullah sendiri,” jelas Mansur. Keadaan seperti ini membuat Mansur khawatir program dakwah lewat online bisa bubar. Apa solusinya?
231 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Mengaji Online Suatu ketika Mansur bertemu salah seorang ustaz senior di Pesantren Hidayatullah Yogyakarta. Beliau menyarankan kepada Mansur untuk membuat program mengaji Qur’an secara online. Beliau juga memperlihatkan salah satu contoh channel youtube mengaji online yang sering ia ikuti. Mansur penasaran seperti apa program tersebut. Rupanya sederhana saja. Pembawa program hanya memvideokan halaman mushaf yang sedang dibaca plus penunjuk tanda pada bagian mana mushaf tersebut sedang dibaca. Wajah orang yang membaca sama sekali tak terlihat. Yang ada hanya suaranya saja. Meski sederhana, jumlah pemirsa setiap kali live bisa mencapai 1000-an orang. Jumlah ini tidak berkurang meskipun program ini berlangsung setiap hari. Mansur tertarik untuk melakukan hal serupa. Awalnya, Mansur mencoba meniru apa yang dilakukan pemilik channel tadi. Mansur sendiri mengaku grogi jika harus menampakkan wajah di layar. Jadi, seperti halnya chanel yang ia tiru. Mansur juga tak mau memperlihatkan wajahnya. Hanya suaranya saja yang terdengar. Lalu muncul gagasan baru. Mansur mengajak anaknya, Gaza, untuk menemaninya mengaji online. Saat itu, Gaza belum sekolah secara offline. Jadi,
232 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah cukup waktunya untuk mengaji online bersama sang ayah selepas lepas subuh. Berhubung program ini berlangsung setiap subuh dan materinya mengaji Qur’an, maka Mansur memberi nama program barunya ini dengan Ngaos, alias Ngaji Online Subuh. Awalnya program baru ini hanya diikuti oleh satu atau dua orang. Lalu bertambah menjadi 10 hingga 20 orang. Suasana studio kedap suara tempat Mansur mengisi acara Ngaos