133 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Longos. Bukan sekadar suara azan yang tak bebas membahana, juga anak-anak tak bisa bebas belajar pada malam hari. Cahaya dari lampu minyak tanah jelas tak memadai untuk membaca buku pelajaran mereka. “Lama-lama mata perih kalau membaca pada malam hari,” tutur Azmir, santri Hidayatullah, seraya mengaku hanya kuat membaca selama 1 jam saja. Setiap malam, Azmir dan santri-santri Hidayatullah harus mengikuti daurah al-Qur’an. Daurah dimulai sehabis shalat magrib, dan hanya bisa bertahan hingga waktu shalat isya tiba. Selain tak bebas membaca, ketiadaan listrik juga tak bisa menghidupkan sejumlah mesin dan peralatan elektronik. Air tanah tak bisa dipompa. Televisi dan kulkas tak bisa menyala. Ponsel jugatak bebas dicas ulang. Bahkan, menurut Saharudin, kepala sekolah Madrasah Aliyah Bahrul Ulum sekaligus pengasuh pondok pesantren Hidayatullah, mereka tak bisa menggunakan komputer dan printer. “Setiap kali mau buat laporan, kami kesulitan,” jelas Saharuddin. Bantuan Panel Surya Jumat terakhir di bulan Agustus 2016 adalah hari yang dinanti-nanti oleh para santri Hidayatullah pulau Longos dan warga Kampung Baru. Sebab pada
134 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah hari itu, Pos Dai Hidayatullah bekerjasama dengan salah satu perusahaan penyedia pembangkit listrik tenaga surya dari Surabaya, Jawa Timur, memasang enam panel surya di pesantren tersebut. Menurut Hadi Purwoto, salah seorang pemasar pembangit listrik tersebut, keenam panel ini berkekuatan 3 ribu watt. “Ini setara dengan jenset berkapasitas besar,” jelasnya kepada penulis. Daya sebesar itu diperkirakan bisa memenuhi kebutuhan listrik di madrasah aliyah, pesantren, masjid, dan beberapa ruas jalan. Masing-masing panel bekuran 6,8 x 1,5 meter persegi. Setiap dua panel mampu megeluarkan listrik 1.000 watt. Harga satu paket panel surya (6 panel) beserta aki dan kabelnya, kata Hadi lagi, sebesar Rp 65 juta. Ini sudah termasuk biaya pemasang dan pengangkutan. Proses pemasangan butuh waktu sekitar 2 hari. Sedang proses pengangkutan, tergantung letak wilayah yang akan dipasangi listrik. “Pengiriman ke Longos membutuhkan waktu 3 hari dari Surabaya,” jelas Hadi. Bantuan pengadaan listrik tenaga surya ini, menurut Shohibul Anwar, Ketua Departemen Dakwah dan Penyiaran Dewan Pengurus Pusat (DPP) Hidayatullah, tak hanya untuk Pulau Longos. “Bantuan ini akan terus kita lanjutkan untuk dae-
135 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah rah-daerah terpencil lainnya di Indonesia. Ini sudah menjadi program Pos Dai Hidayatullah,” kata Shohibul yang ikut serta melihat proses pemasangan listrik di Pulau Longos ini. Jumat terakhir bulan Agustus itu, sebagian kecil Pulau Longos telah dibebaskan dari gulita. Namun, sebagian besar lainnya belum! Mereka masih menanti terang! Pelita dalam Kegelapan Saharudin tak pernah menyangka ia akan ditugaskan di sebuah pulau kecil di utara Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Hari itu, Ahad, 10 Nopember 2013, keputusan telah dibuat. Laki-laki lulusan Sekolah Tinggi Agama Islam Lukmanul Hakim Hidayatullah Surabaya tahun 2011 ini harus berangkat ke Longos, pulau yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. “Sejak kecil saya tinggal di Sumenep (Madura). Di sana banyak pulau. Jadi saya sebenarnya sudah terbiasa dengan pulau,” jelas Saharudin dalam obrolan dengan penulis. Namun betapa kagetnya lajang berusia 26 tahun ini. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Pulau Longos, gambaran yang ada di benaknya tentang pulau-pulau di Sumenep sontak buyar. Longos ternyata amat berbeda. Tak banyak manusia tinggal di pulau ini. Tak juga
136 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah banyak rumah, apalagi kendaraan. Yang banyak di pulau ini justru pepohonan dan hewan liar. “Ini bukan pulau, ini hutan,” kata Saharudin mengenang masa lalunya. Tapi keterkejutan itu tak berlangsung lama. Saharudin sadar bahwa ia tidak sedang bertamasya di Pulau Longos. Ia sedang mengemban tugas mulia dari Hidayatullah, organisasi tempat ia bernaung, untuk mengajarkan Islam kepada penduduk pulau terpencil ini. “Kami diajarkan untuk sami’na wa atho’na (kami mendengar dan kami patuh). Jadi saya terima keadaan ini dengan lapang dada,” kata Saharudin. Ia tidak mau mengeluh, apalagi protes. Saharudin tidak sendirian. Sejumlah anak muda lainnya juga mendapat tugas yang sama di pulau ini. Sebutlah, misalnya, Muhammad Nasir Lingge (31 tahun) dan Muhammad Gaos (30 tahun). Nama yang terakhir baru beberapa bulan ditugaskan ke pulau Longos, tepatnya bulan Maret 2016. “Sebelumnya saya bertugas di Kupang (NTT),” kata Gaos, sapaan pemuda ini saat berbincang dengan penulis akhir Agustus 2016. Terhadap tugas baru ini, Gaos berujar ringan seraya tersenyum, “Saya nikmati saja.” Namun, berbeda dengan Saharudin, Gaos mengaku tak terlalu kaget ketika pertama menginjak-
137 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah kan kaki ke Pulau Longos. Maklum, pria yang menikah pada 2012 ini juga berasal dari Nusa Tenggara Timur, propinsi yang sama dengan Longos. Tepatnya, di Pulau Lembata, sebelah timur pulau Flores. Tantangan dakwah di pulau Lembata, kata Gaos, juga berat. Masyarakat di sana tidak semua Muslim. Banyak yang non-Muslim. Ini berbeda dengan Longos yang dihuni 100 persen pemeluk Islam. Dua Persoalan Besar Saat pertama menginjakkan kaki di Pulau Longos, Saharudin mengaku menghadapi masalah yang tak ringan. Setidaknya ada dua persoalan besar di pulau ini yang harus ia taklukkan. Pertama, kata Saharudin, alamnya yang menantang. Binatang berbisa masih banyak di pulau tersebut. Pernah suatu ketika, cerita Sahar, sapaan akrab Saharudin, ia tertidur sehabis gotong royong membangun madrasah. Rasa capek membuat ia tak sempat lagi memilih-milih tepat tidur yang aman dan nyaman. Ia tidur di sembarang tempat. Tiba-tiba ia merasakan ada benda panjang merayap di atas tubuhnya. Sahar terbangun dan melihat seekor ular telah melintas di kakinya. Ia bergidik tapi tak berani bergerak. Baru setelah setengah dari tubuh ular tersebut melewatinya, ia sontak mengibaskan kaki kuat-kuat.
138 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Ular sepanjang lebih dari 1 meter itu pun terpelanting jauh. “Saya berani bertindak setelah kepala ular tersebut jauh dari kaki saya,” cerita Sahar. Tantangan kedua, penduduknya yang masih awam dalam ber-Islam serta kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan. Sahar mengenang masa tiga tahun lalu, ketika Madrasah Aliyah Bahrul Ulum baru berdiri. Ia datangi satu per satu penduduk kampung, membujuknya agar mau melepas anaknya sekolah di madrasah. Pilihan masyarakat sebenarnya hanya ada dua: menyekolahkan anaknya ke madrasah Bahrul Ulum Madrasah Aliyah Bahrul Ulum, Pesantren Hidayatullah Pulau Longos, NTT
139 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah atau membiarkan anaknya putus sekolah. Sebab, tak ada sekolah setingkat SMA lain di pulau itu kecuali madrasah tersebut. Tapi anehnya, kebanyakan masyarakat lebih memilih yang pertama: membiarkan anaknya putus sekolah. Padahal, pihak madrasah tidak memungut biaya dari anak-anak itu. Alasan masyarakat sederhana saja. Jika sekolah, anaknya tak bisa produktif mencari uang. “Kalau anak saya sekolah, siapa yang bantu saya cari uang?” kata Sahar menirukan alasan sebagian masyarakat kampung ketika itu. Namun Sahar dan teman-temannya tak patah arang. Bujuk rayu mereka lama-lama berbuah hasil. Kini, sebanyak 62 siswa sudah menuntut ilmu di madrasah Bahrul Ulum. Bahkan, 12 di antaranya bermukim di pesantren Hidayatullah yang masih berada satu kompleks dengan madrasah tersebut. Kegiatan di pesantren Hidayatullah pun mulai beragam. Menurut Muhammad Gaos, selain belajar-mengajar di madrasah, setiap malam sehabis magrib, digelar halaqoh Qur’an. “Para santri dan masyarakat sekitar belajar bagaimana memperbaiki bacaan Qur’an,” jelas Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Hidayatullah Manggarai Barat ini. Jumlah pengikut dauroh mencapai 20 orang. Selaain itu, setiap habis shalat zuhur berjamaah, ada tausiyah
140 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah singkat. Pesantren yang Bersahaja Kompleks pesantren Hidayatullah Pulau Longos menempati areal wakaf seluas 1,5 hektar, persis di pinggir pantai. Bila diukur dari tepi pantai hingga menjorok ke daratan, bisa mencapai 100 meter. Sedang ukuran memanjang dari timur ke barat mencapai 150 meter. Di kompleks tersebut ada satu bangunan sederhana untuk tempat tinggal santri putri, satu bangunan untuk santri putra dan para pengasuh, serta satu bangunan memanjang tempat belajar. Jangan bayangkan kompleks tersebut mewah. Tidak! Bahkan jauh dari kesan itu. Dinding sekolah sebagiannya terbuat dari gebang, mirip daun kelapa yang dianyam, sebagian lagi terbuat dari tripleks. Sedang tembok semen hanya setinggi 1 meter saja. Ruang kelas ada tiga dengan bangku memanjang. Kelas 1 berjumlah 31 siswa, kelas 2 ada 12 siswa, dan kelas 3 ada 19 orang. Dinding kelas baru selesai setengah. Lantainya semen kasar. Sedang atapnya terbuat dari seng. Saat membangun sekolah dan pesantren tersebut, cerita Saharudin, banyak masyarakat ikut membantu. Para santri dan siswa juga ikut bergotong royong. Ada yang menyumbang kayu, papan, dan gebang,
141 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ada juga yang menyumbang tenaga. “Tidak ada yang menyumbang uang,” kata Sahar berkelakar. Maklumlah, masyarakat di kampung tersebut bukan tergolong berada. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan lama-kelamaan tumbuh. Muhammatullah, imam masjid di Kampung Bajo, misalnya, telah memondokkan anaknya ke pesantren Hidayatullah. Kampung Bajo sendiri berjarak 2,5 km dari Kampung Baru, tempat dimana pesantren tersebut berdiri. “Anak saya harus sekolah. Jika pendidikan anak saya sama dengan saya, itu artinya “kembali modal”. Rugi saya! Jika anak saya lebih hebat dari saya, itu baru namanya untung,” jelas Muhammatullah saat penulis bertamu ke rumahnya. Kepala Kampung Baru, Abu Bakar, mengakui kehadiran dai-dai muda ke Pulau Longos amat dirasa manfaatnya oleh masyarakat. “Penduduk di sini sadar betapa pentingnya agama dan pendidikan bagi masa depan mereka. Saya salut dengan kegigihan dai-dai muda itu,” jelas Abu Bakar. Bagi pulau-pulau terpencil seperti Longos, kedatangan dai-dai muda itu laksana pelita dalam kegelapan. Mereka tak sekadar mampu menerangi pulau, tapi juga menerangi kalbu penduduknya. ***
Mencari Mutiara di Kepulauan Aru 142 Sulaiman Ismail S udah lama penulis tidak mendengar nama Alfred Russel Wallace. Terakhir kali penulis mendengar nama itu pada awal era 90-an, saat mengikuti mata kuliah Biologi Laut di Institut Pertanian Bogor. Bagi para pencinta ilmu hayati, nama Wallace tentu tak asing. Sama seperti nama Charles Darwin, sang penemu teori evolusi yang banyak ditentang itu. Wallace seorang naturalis asal Inggris. Pada sekitar tahun 1800-an ia berlayar menjelajahi gugusan pulau demi pulau yang membentang di perairan laut
143 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah sebelah tenggara Benua Asia. Tak tanggung-tanggung, 8 tahun ia menghabiskan waktu mengarungi pulau demi pulau di kawasan yang dikenal dengan nama Nusantara itu. Yang menarik, di antara banyak pulau yang ia singgahi, ada satu gugusan pulau yang membuatnya amat terpesona. Belum pernah ia menemukan pulau seindah itu. Ia begitu kagum dengan flora dan faunanya. Gugusan pulau itu bernama Aru, terletak di sebelah tenggara Kota Ambon, Provinsi Maluku, berhadapan langsung dengan Laut Arafuru yang ganas di sebelah utara Benua Australia. Menurut Wallace, Aru adalah tempat paling indah yang pernah ia temui. Dari keindahan inilah, Wallace terinspirasi untuk merumuskan teori tentang bagaimana kehidupan berevolusi di muka bumi. Teorinya ada kemiripan dengan teori rekannya, Charles Darwin. Hanya saja, jika Darwin terinspirasi lewat keindahan di Kepulauan Galapagos, Amerika Selatan, maka Wallace terinspirasi dari Kepulauan Aru. Wallace tiba di Kepulauan Aru pada tahun 1857, tepatnya di kota Dobo, kota pelabuhan yang kini menjadi ibukota Kabupaten Kepulauan Aru. Saat itu Dobo sudah menjadi kota pelabuhan yang ramai. Maklum, ketika itu Dobo sudah terhubung de-
144 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ngan berbagai rute perdagangan maritim dunia. Tak heran bila banyak pedagang yang datang dan pergi ke Dobo untuk mengambil benda paling berharga di kepulauan itu, yakni mutiara. Kepulauan Aru memang dikenal sebagai penghasil mutiara paling baik di dunia. Wajarlah bila gugusan pulau di Laut Arafuru ini disebut juga Nusa Mutiara. Ongki, seorang pemuda warga Dobo, saat berbincang-bincang di atas kapal dari Tual menuju Kepulauan Aru, menceritakan bahwa dulu penduduk di kepulauan ini biasa mencari mutiara dari alam. Mereka menyelam ke dasar laut. Sekarang, kata Ongki, mutiara dari alam sudah tidak ada lagi. Yang ada, mutiara hasil bidudaya. Haris, pria setengah baya yang tinggal di Siwalima, Pulau-Pulau Aru, membenarkan perkataan Ongki. Mutiara dari alam saat ini sudah jarang ditemukan. Bahkan, Haris menduga, orang-orang sudah tidak tertarik lagi mencari mutiara alami. Mereka lebih suka budidaya. Selain jumlahnya lebih banyak, juga lebih mudah didapat. Di Kepulauan Aru, kata Haris, masih ada beberapa perusahaan budi daya kerang mutiara. Pada pertengahan September 2021, penulis bersama tim PosDai Hidayatullah, menyambangi Kepulauan Aru. Mulanya kami berangkat dari Kota
145 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Ambon, ibukota Provinsi Maluku, menuju Tual, menggunakan pesawat kecil. Lalu, setelah terbang selama 1 jam, kami meneruskan perjalanan menuju Kepulauan Aru menggunakan kapal sebagaimana dulu Wallace mendatangi kepulauan itu. Tual berada di tengah-tengah antara Ambon dan Kepulauan Aru. Setelah berlayar selama lebih dari 12 jam, kami tiba di Pelabuhan Dobo yang ramai. Kedatangan kami di kepulauan ini untuk mencari “mutiara”. Namun, bukan mutiara alami atau budidaya. Kami mencari mutiara yang lebih mahal dari itu. Kami mencari dai-dai muda yang rela mewakafkan dirinya untuk membimbing masyarakat Muslim di kepulauan Aru. Bagi kami, mereka adalah mutiara yang sebenarnya. Jumlah para dai muda tersebut jelas tak banyak, sama seperti mutiara alami yang sekarang sudah jarang ditemukan. Sebab, bagi kebanyakan anak muda, memilih tinggal di Aru sama seperti memilih jalan sunyi. Apalagi untuk berdakwah, tak banyak yang tertarik menjalaninya. Jika Wallace berani mengatakan bahwa Aru adalah tempat paling indah yang pernah ia temui, maka penulis pun berani mengatakan bahwa Aru adalah lahan dakwah paling menantang yang pernah penulis kunjungi.
146 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Kabupaten Seratus Pulau Kepulauan Aru adalah satu dari 9 kabupaten --ditambah 2 kota-- di Propinsi Maluku. Di kabupaten ini ada sekitar 187 pulau yang mendiami kawasan sekitar 185 kilometer dari utara ke selatan dan 90 kilometer dari timur ke barat. Luasnya kira-kira sama dengan dua kali luas Pulau Bali. Dari total jumlah pulau tersebut, tidak semua berpenghuni. Hanya setengah saja yang dihuni masyarakat, tepatnya 79 pulau. Namun, jumlah itu tentu cukup banyak jika dibandingkan dengan Kepulauan Seribu yang terdapat di utara Jakarta. Di Kepulauan Seribu, hanya 11 pulau saja yang berpenghuni. Jarak satu pulau dengan pulau yang lain di Kepulauan Aru sangat bervariasi. Ada yang dekat, ada yang sangat jauh. Perjalanan dari satu pulau ke pulau yang lain hanya bisa ditempuh dengan kapalkapal kecil. Bahkan, perjalanan dari satu sisi pulau ke sisi yang lain seringkali lebih efektif jika ditempuh dengan kapal atau perahu dibanding mobil atau motor. Sebab, tak semua pulau memiliki jalan yang layak dilalui. Kebanyakan justru hanya jalan setapak saja. Untuk menjangkau Kampung Jerukin yang terletak di Pulau Maikoor, misalnya, kami perlu berlayar selama kira-kira tiga setengah jam dengan perahu bermotor. Padahal, Jerukin bukanlah kampung ter-
147 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah luar di Kabupaten Kepulauan Aru. Masih ada pulau lain yang berada lebih jauh lagi, yakni Pulau Jambu Air. Untuk mencapai pulau Jambu Air, kata La Ganti, salah seorang nelayan di Kampung Jerukin, butuh waktu sekitar 4 jam dari Jerukin. Sedangkan jarak Pulau Jambu AIr menuju Australia perlu waktu sekitar 6 jam lagi. Konon, cerita La Ganti, nelayan di Pulau Jambu AIr dan sekitarnya kerap mencari ikan di perairan Australia. Di antara mereka ada yang tertangkap polisi Australia. Tapi, lebih banyak yang berhasil kabur bila dikejar. Ibu kota Kabupaten Kepulauan Aru adalah Dobo. Letaknya di Pulau Warmar, pulau kecil dan terpisah dari pulau besar di sebelahnya, yakni Pulau Wokam. Secara keseluruhan, di Kabupaten Kepulauan Aru ada 10 kecamatan. Dari seluruh kecamatan tersebut, Dobo kota paling maju. Dobo kota kecil yang ramai. Di sana banyak sekali kendaraan. Jalan-jalan sudah beraspal. Bangunan di sepanjang jalan sudah permanen. Sejumlah hotel --yang lebih mirip penginapan-- juga ada di Dobo. Sewa per malam berkisar antara Rp 100 ribu hingga Rp 200 ribu. Pemukiman padat berada di daerah pantai. Rumah-rumah papan yang disanggah oleh banyak
148 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah tiang berdiri rapat di sepanjang pesisir pantai. Antara satu rumah dengan rumah lainnya dihubungkan oleh jembatan papan yang sempit. Hanya muat dilewati oleh dua orang. Di bawah jembatan dan rumah-rumah bertiang tersebut terdapat genangan air laut bercampur pasir. Perahu-perahu nelayan tertambat di pantai di dekat perumahan penduduk. Jumlahnya banyak sekali. Masyarakat Kepulauan Aru, termasuk Dobo, memang hidup dari hasil laut, terutama ikan, udang, lobster, teripang, dan rumput laut. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri tahun 2019, jumlah keseluruhan penduduk Kepulauan Aru sekitar 105.742 jiwa. Kepadatan rata-rata hanya 16 jiwa per kilometer persegi. Bandingkan dengan kepadatan penduduk di DKI Jakarta pada tahun yang sama sebesar hampir 17 ribu jiwa per kilometer persegi. Jumlah penduduk Kota Dobo, menurut data tahun 2020, sebanyak 42.263 jiwa. Luas wilayah Dobo sekitar 24,56 kilo meter persegi dengan kepadatan penduduk hampir 2 ribu jiwa per kilo meter persegi. Jumlah ini memang cukup padat jika dibandingkan Kepulauan Aru secara keseluruhan. Namun, di wilayah pinggiran kota Dobo, masih sangat longgar, terlebih di wilayah yang jauh dari pantai. Menurut Sukahar, seorang pengusaha ikan di
149 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Dobo, tahun 2016 kota ini masih sepi. “Saya masuk ke Dobo tahun 2016. Hanya ada 5 mobil pribadi di kota ini,” jelas Sukahar dalam obrolan santai dengan kami di kediamannya di Dobo, Ahad (26 September 2021). Namun, perkembangan Dobo pada tahun-tahun berikutnya sangat pesat. Pendapatan daerah dari hasil perikanan saja, menurut pria asal Pati, Jawa Timur ini, semula hanya ratusan juta rupiah. Sekarang melonjak menjadi Rp 30 miliar. Salah satu ikan paling mahal yang terdapat di perairan Aru adalah ikan gelembung. “Jika ada yang membawa 30 kilogram ikan gelembung ke sini, saya bisa bayar Rp 100 juta sambil tutup mata,” kata Sukahar. Masyarakat Kabupaten Kepulauan Aru mayoritas beragama Kristen, yakni 69 persen. Sedangkan pemeluk Islam hanya 30 persen. Sisanya, 1 persen lagi, beragama Hindu, Budha, dan Konghucu. Begitu pun masyarakat Kota Dobo, mayoritas beragama Kristen. Jumlah pemeluk Protestan sebesar 58,40 persen, Katolik 10,05 persen, dan Islam 31,39 persen, sisanya beragama Hindu (0,08 persen), Budha (0,06 persen), dan Konghucu (0,02 persen). Jika melihat komposisi ini wajarlah bila jumlah masjid di Kepulauan Aru juga tidak banyak. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kepulauan Aru, terdapat 82 masjid di kabupaten ini. Sedangkan jum-
150 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah lah gereja, baik Katholik maupun Protestan, 152 buah. Keadaan yang hampir sama juga terdapat pada Dobo. Jumlah masjid di kota ini hanya 13 buah, sedang jumlah gereja 29 buah. Yang menarik, masyarakat Kepulauan Aru yang majemuk ini tidak hidup terpisah berdasarkan agama sebagaimana terjadi di Ambon pasca kerusuhan tahun 1999. Masyarakat di Kepulauan Aru --termasuk di Dobo-- berbaur dalam satu kawasan dan hidup rukun. Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Kepulauan Aru, Abdul Haris Elwahan, ketika kami temui di kediamannya di Kota Dobo (25/9), jarang sekali terjadi konflik antar pemeluk agama di Kepulauan Aru. Masyarakat Dobo, jelas tokoh Nahdlatul Ulama ini, memang sempat terpengaruh dengan berita konflik di Ambon ketika itu. Tapi, konflik di Dobo tidak berlangsung lama. “Hanya satu atau dua minggu saja. Setelah itu reda,” jelas Abdul Haris lagi. Mengapa konflik di Dobo bisa diredam dengan cepat? Abdul Haris menduga, karena sejak lama masyarakat Kota Dobo hidup berdampingan secara damai. Kalau pun ada gesekan, bisa diselesaikan secara kekeluargaan. “Setiap kali ada gesekan, semua pemuka agama di Kota Dobo segera turun tangan,” tutur Abdul Haris.
151 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Ada tiga tokoh agama berpengaruh di Dobo. Pertama, Ketua MUI yang diamanahkan kepada Abdul Haris. Kedua, Pastor Katolik. Dan, ketiga, Ketua Klasis Protestan. “Orang-orang menyebut kami bertiga Trio Macan,” cerita Abdul Haris. Ia sendiri tak tahu mengapa masyarakat memberi sebutan seperti itu. Setiap kali ada gesekan berbau SARA, masyarakat akan memanggil-manggil, “Mana Trio Macan, mana Trio Macan!” Lalu, ketiga tokoh agama ini akan segera datang untuk meredam gesekan tersebut agar tidaj berkembang menjadi konflik. Saat kerusuhan di Ambon tahun 1999, ketiga tokoh agama ini membuat rekonsiliasi di Dobo, dibantu tokoh-tokoh adat. Setelah itu, kerusuhan selesai. Konflik bisa diredam dan kehidupan masyarakat kembali normal. Bahkan, cerita Abdul Haris, hubungan antar pemeluk agama pasca kerusuhan terasa lebih akrab dibanding sebelum konflik. Trio Macan juga menjadi mitra pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan yang berpotensi menimbulkan gesekan. Setiap kali pemerintah mau membuat kebijakan, Trio Macan selalu dimintai pandangannya terlebih dahulu. Dalam sebulan, kata Abdul Haris, ketiga tokoh agama ini setidaknya bertemu tiga kali untuk membahas hal-hal yang berpotensi merusak kerukunan.
152 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Yang unik, kemajemukan di Kepulauan Aru tidak sekadar terjadi di satu pulau atau kawasan saja, namun juga di satu keluarga. Ada orang tua yang berbeda keyakinan dengan anaknya. Ada pula kakak yang berbeda keyakinan dengan adiknya. Namun, mereka tidak saling mengusik. Sebenarnya, masyarakat asli Kepulauan Aru berasal dari suku Aru. Suku ini memang khusus mendiami wilayah Maluku bagian Tenggara. Agama asal mereka adalah Agama Tua atau agama adat. Ketika pemerintah Orde Baru menetapkan hanya ada lima agama yang boleh dianut di Indonesia, mereka berpindah agama. Hal ini diakui oleh Mannan Selfara, penduduk asli Kampung Jerukin, Pulau Maikoor, Kepulauan Aru. “Dulu saya menganut agama Tua. Tahun 1971, saya baru masuk Islam,” cerita Mannan yang lahir di Jerukin pada tahun 1952 tersebut. Akan tetapi, hambatan utama dakwah di Kepulauan Aru bukanlah kemajemukan masyarakatnya, melainkan transportasi antar pulau yang tidak mudah. Jika tidak memiliki kapal, kata Abdul Haris, mana mungkin bisa mengunjungi pulau demi pulau di kabupaten ini dengan mudah. Di sisi lain, jumlah dai di Kepulauan Aru sangat kurang. Banyak sekali pulau yang tak memiliki ustadz atau guru ngaji. Tak heran bila dakwah di kepulauan
153 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ini masih belum menyentuh semua pulau. Dai di Kabupaten Aru masih sangat langka, sebagaimana mutiara alami yang jarang sekali ditemukan kini. Pesantren di Tengah Hutan Sulaiman Ismail, dai muda Hidayatullah, sempat bingung ketika pertama kali bertugas di Dobo, Kepulauan Aru. Ia ingin sekali mendirikan Pesantren Hidayatullah di ibukota kabupaten tersebut, tapi dari mana harus memulainya? Ia tak punya modal untuk membeli lahan. Jangankan modal membangun pesantren, sekadar biaya keseharian saja masih harus berpikir keras. Namun tekad Sulaiman sudah bulat. Ia yakin pesantren adalah solusi mengatasi persoalan dakwah di kabupaten seratus pulau ini. Jika pulau-pulau di Aru sulit dijangkau, pikir Sulaiman, mengapa tidak dicetak saja para dai muda di Pesantren Hidayatullah, lalu kelak mereka disebar ke pulau-pulau tersebut? Sebenarnya, berdakwah di sejumlah pulau di Maluku, bukanlah hal baru bagi Sulaiman. Ia pernah tinggal dan berdakwah di Kampung Jerukin, Pulau Maikoor, selama 1 tahun. Ia juga pernah menetap di Bula selama 7 tahun, dan di Pulau Key Besar selama 1 tahun, serta Key Kecil selama 2 tahun. Tapi, ia be-
154 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah lum pernah ditugaskan di Dobo, kota kecil di Pulau Warmar. Tahun 2018, sebuah SK (Surat Tugas) diterima Sulaiman dari Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Hidayatullah Maluku. Ia diperintahkan untuk pindah dari kampung Jerukin di Pulau Maikoor ke Dobo. Maka, berangkatlah ia ke kota kecil tersebut. Tiba di Dobo, Sulaiman tak punya tempat menginap. Untunglah Allah Ta’ala mempertemukannya dengan seorang pengusaha sayuran bernama Baso Daeng. Baso mempersilahkan Sulaiman tinggal di rumahnya. Ia juga mengajarkan bagaimana caranya bertanam kangkung. Berjualan sayuran di Dobo, kata Baso saat kami kunjungi di kediamannya di Selayar (25/9/2021), memang menjanjikan. Harga 150 ikat kangkung saja bisa mencapai Rp 500 ribu. Kembali kepada kisah Sulaiman. Langkah pertama yang ia lakukan untuk mewujudkan mimpinya adalah memperbanyak silaturahim. Ia datangi siapa saja yang mau membantunya mendirikan Pesantren Hidayatullah di Dobo. Alhamdulillah, Allah Ta’ala pertemukan ia dengan Sukahar, pengusaha perikanan asal Pati, Jawa Timur. “Saya ini tidak banyak paham soal agama. Tapi saya ingin berbuat sesuatu untuk Islam. Saya ingin bermanfaat bagi orang lain,” kata Sukahar ketika
155 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah selepas isya, Ahad (24/9), kami berkunjung ke rumahnya di Dobo. Lalu, Sulaiman dan Sukahar mulai mencari lahan yang cocok untuk tempat berdirinya pesantren. Rupanya realitas tak semudah rencana. Selama beberapa hari berkeliling Kota Dobo, mereka tak menemukan lahan yang bisa dijadikan pesantren. Saat rasa frustasi mulai muncul, Allah Ta’ala pertemukan mereka dengan seorang ibu mualaf yang memiliki lahan seluas 2 hektar di Desa Durjela, kira-kira 7 kilo meter dari pusat Kota Dobo. Akan tetapi, lokasi lahan tersebut bukan berada di pinggi jalan besar, melainkan di tengah hutan belukar. Untuk sampai ke lokasi ini, kita harus berjalan kaki selama setengah jam melewati jalan setapak dari tanah. Bila hujan turun, jalanan menjadi becek. Mendapati keadaan ini, Sulaiman tidak mundur. Tekadnya tetap bulat untuk mendirikan pesantren di atas lahan tersebut. Ujian kembali datang. Sejumlah masyarakat di sekitar lahan merasa curiga dan bertanya-tanya, mengapa pesantren harus berdiri di tengah hutan? Apakah pesantren ini membawa ajaran sesat? Di sisi lain, Sulaiman juga bingung bagaimana caranya membersihkan semak belukar di lahan seluas 2 hektar tersebut? Ia sendiri jelas tak akan sanggup. Sulaiman teringat kepada komandan Batalyon
156 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Infantri 734 yang beberapa kali mengundangnya menjadi khatib Jumat di markas batalyon tersebut. Barangkali, pikir Sulaiman, sang komandan bisa membantu mengatasi persoalan yang ia hadapi. Tanpa disangka, sang komandan bersedia mengirimkan 20 tentara untuk membersihkan lahan pesantren. Hanya butuh waktu dua hari, semak belukar langsung bersih. “Alhamdulillah, Pak Komandan sendiri yang memimpin pembersihan itu,” cerita Sulaiman mengenang masa lalunya. Kecurigaan masyarakat mulai sirna setelah melihat para tentara ikut membantu membersihkan lahan pesantren. Apalagi Kepala Desa Durjela, Markus Kobrua, ikut mendukung pembangunan pesantren ini. “Pak Markus banyak membantu kami mengurus akte tanah,” jelas Sulaiman. Setelah lahan siap, pembangunan pesantren dimulai. Sebuah masjid panggung berukuran 8 x 8 meterpersegi berdiri di dekat jalan masuk pesantren. Masjid itu bernama Ibadurrahman. Dindingnya terbuat dari papan. Begitu juga lantainya. Asrama santri dan pengasuh berdiri di sisi berseberangan dengan masjid. Di sampingnya ada bak air dan sumur bor, tempat para santri mandi dan berwudhu. Sebuah gazebo berdiri di tengah-tengah antara asrama dan masjid, tempat para santri belajar atau menghapal al-Qur’an.
157 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Jumlah santri baru tujuh 7 orang. Mereka berasal dari pulau-pulau kecil di Kepulauan Aru. Usia mereka masih belasan tahun. Namun mereka sangat antusias belajar. Beberapa di antara mereka sudah hafal beberapa juz al-Qur’an. Ada juga tiga dai muda yang didatangkan dari Jakarta dan Surabaya, Jawa Timur. Dai pertama bernama Jumadil Akhir. Usianya 24 tahun dan baru beberapa bulan lalu lulus dari Sekolah Tinggi Agama Islam Lukmanul Hakim Hidayatullah, Jawa Timur. “Awalnya saya ditugaskan ke Ambon. Tapi, DPW Hidayatullah Maluku meminta saya bertugas di Dobo,” kata Jumadil saat kami temui di Pesantren Hidayatullah Dobo. Jumadil mengaku senang bertugas di Dobo. BaSuasana pesisir Dobo, ibukota Kepulauan Aru.
158 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah nyak pengalaman yang ia dapat. Selain mengajar para santri, ia juga sering diminta mengisi khutbah di beberapa instansi di Kota Dobo, termasuk Kantor Polres Kepulauan Aru. Dai muda kedua adalah Evan Alfarisi. Ia juga baru lulus dari Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Muhammad Natsir, Jakarta. Usianya 26 tahun. Sedang dai muda ketiga adalah Ari Tuhutelo, lulusan Mahad an-Nuaimy, Jakarta. Ia belum diwisuda, namun sudah ditugaskan ke Dobo. Ia sudah 8 bulan tinggal di Pesantren Hidayatullah Dobo. Selama menetap di Dobo, Jumadil, Evan, dan Ari, belum pernah mengunjungi berbagai pulau di Kepulauan Aru. “Transportasi di sini susah,” kata Jumadil. Padahal, Jumadail ingin sekali mengajak para remaja di berbagai pulau tersebut untuk belajar mengaji di Pesantren Hidayatullah, Dobo. Namun, ia tak punya kapal untuk menemui mereka. Hari Sabtu, 23/9/2021, Allah Ta’ala mengabulkan keinginan Jumadil. Hari itu Pesantren Hidayatullah Dobo menerima bantuan sebuah perahu dakwah berukuran 11x 2 meterpersegi dari beberapa orang muhsinin. Perahu seberat 5 ton tersebut mampu mengangkut sekitar 15 orang. Kini, Pesantren Hidayatullah dengan segala keterbatasannya telah berdiri di Kepulauan Aru. Inilah satu-satunya pesantren di kabupaten seratus pulau
159 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah tersebut. Memang belum sempurna. Tapi setidaknya telah membuka harapan munculnya mutiara-mutiara baru penyeru agama tauhid di Kepulauan Aru. Jerukin yang Terasing Jerukin artinya cemara. Namun, ia bukan sebuah pohon, melainkan sebuah kampung kecil yang terletak di Pulau Maikoor, Kabupaten Kepulauan Aru. Di kampung ini tinggal sekitar 60 kepala keluarga. Setengah di antara mereka beragama Islam. Setengahnya lagi Kristen. Rumah-rumah penduduk di kampung ini kebanyakan berdinding papan dan berlantai tinggi. Sebagian rumah beratap daun rumbia, sebagian lagi seng. Jalan yang menghubungkan satu rumah dengan rumah yang lain hanya berupa setapak. Sebagian sudah disemen, sebagian lagi masih tanah bercampur pasir. Tak terlihat mobil atau motor di kampung ini. Sekolah hanya ada satu, yakni Sekolah Dasar Negeri Jerukin. Hanya tiga guru yang mengajar di sekolah ini. Semua beragama Kristen. Sebuah gereja berdiri juga di dekat sekolah itu. Hampir semua penduduk Jerukin berprofesi sebagai nelayan dan pencari kepiting bakau. Dalam satu malam, mereka bisa menemukan 5 ekor ke-
160 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah piting bakau yang besar. Beratnya bisa lebih dari 1 kg. Pada Sabtu menjelang ashar (25 September 2021), kami berlayar dari pelabuhan Dobo menuju Jerukin. Perlu waktu tiga setengah jam terombang-ambing di Laut Arafuru untuk sampai ke kampung ini. Saat magrib, perahu kecil yang kami tumpangi merapat ke pantai Jerukin. Kami langsung menuju masjid kecil berukuran 4x6 meter persegi yang terletak tak jauh dari bibir pantai. Itulah satu-satunya masjid di kampung tersebut. Sebagian masyarakat baru saja selesai menunaikan shalat magrib berjamaah di masjid tersebut. Mereka belum beranjak keluar. Mereka masih melantunkan doa dan zikir. Pakaian mereka rapi: kemeja tangan panjang dipadu dengan kain sarung dan peci. Sebagian di antara mereka adalah anak-anak. Sedang para wanita shalat di bagian belakang masjid, dipisahkan oleh kain hijab berwarna putih. Menurut Ahmad Djamiri, imam masjid tersebut, jumlah penduduk yang shalat pada magrib itu terbilang banyak. “Biasanya tidak sampai seperti ini,” jelasnya. Ahmad sebetulnya belum lama menjadi imam di masjid tersebut. Sebelumnya, ia tak pandai membaca al-Qur’an. Bahkan, masjid tersebut juga belum ramai dikunjungi jamaah. Bahkan, shalat Jumat tak
161 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah pernah ada di kampung tersebut. Apalagi shalat Idul Fitri atau Idul Adha. Lalu, sekitar tahun 2017, datanglah Sulaiman Ismail, dai muda Hidayatullah, ke kampung tersebut. Sulaiman tak sekadar mampir, namun menetap di kampung itu. Dialah yang mengajar Ahmad mengaji dan memimpin shalat Jumat. Sekarang, cerita Ahmad, di masjid tersebut sudah digelar shalat Jumat. Sulaiman membenarkan cerita Ahmad. “Saya bertugas di Jerukin selama satu tahun,” cerita Sulaiman. Ketika tiba di kampung ini, tak ada shalat Jum’at sama sekali. Sulaiman lalu mengajak masyarakat Muslim di sana untuk menunaikan shalat Jum’at. Mereka menyambut antusias. “Kapan kita mulai, ustad?” tanya mereka. “Pekan ini juga,” jawab Sulaiman dengan yakin. Setelah itu, masyarakat mulai ramai mengunjungi masjid kecil itu. Sulaiman juga mengajarkan kepada mereka tata cara ibadah Jumat. Lama kelamaan mereka bisa menunaikan shalat Jumat sendiri ketika Sulaiman berhalangan hadir karena harus berpergian ke luar kampung. Sulaiman juga mengajar ngaji di masjid tersebut. Ia kerap disapa “Bapak Ustadz” oleh masyarakat kampung, baik mereka yang beragama Islam maupun Kristen. Sedang anak-anak menyapanya dengan panggilan “abi”.
162 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Hubungan antar pemeluk agama berbeda di kampung tersebut memang berjalan baik. Sulaiman berupaya menjaga keharmonisan tersebut. Pernah suatu ketika, cerita Sulaiman, ia diundang menghadiri pemakaman salah seorang pengurus gereja di kampung tersebut. Ia berdiri di barisan paling belakang karena khawatir ada ibadah-ibadah yang tidak tepat untuk dia ikuti. Saat acara tabur bunga, semua pemuka kampung dipanggil untuk memberikan semacam penghormatan terakhir. Nama Sulaiman juga disebut. “Silahkan Pak Ustadz,” kata pendeta yang memimpin acara itu. Sulaiman tak punya pilihan lain. “Saya maju sambil Suasana Kampung Jerukin, kampung terpencil di Kepulauan Aru, empat jam perjalanan dengan perahu motor dari Dobo
163 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah terus beristighfar,” cerita Sulaiman. Sering Sulaiman diajak oleh masyarakat Jerukin mencari kepiting bersama-sama. Saat tiba waktu shalat, Sulaiman pamit kepada masyarakat non-Muslim untuk menunaikan shalat terlebih dulu dan mengajak masyarakat Muslim untuk shalat bersama-sama. “Mereka tak pernah keberatan,” jelas Sulaiman. Yang unik, saat masyarakat Jerukin berencana membangun masjid yang baru dan lebih luas, beberapa panitia pembangunan justru beragama Kristen. Sayangnya, cerita La Ganti, salah seorang pengurus masjid, kendala biaya dan ketiadaan tukang menyebabkan proses pembangunan tersendat-sendat. “Tukangnya sering pergi ke luar kampung dalam waktu lama,” kata La Ganti. Akibatnya, ketika kami datang ke kampung tersebut, masjid baru berukuran 7x10 meter persegi itu belum selesai juga. Padahal sudah lebih satubtahun. Sebagian dinding dan atap sudah berdiri, namun belum bisa difungsikan. Lalu, tahun 2018, datang surat tugas baru untuk Sulaiman dari Dewan Pengurus Wilayah Hidayatullah Maluku. Ia diminta pindah ke Kota Dobo, ibukota Kabupaten Kepulauan Aru. Masyarakat Jerukin tentu merasa kehilangan. “Su-
164 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah dah lebih dari 2 tahun kampung kami tidak memiliki ustadz,” keluh Ahmad, sang imam masjid, saat kami datangi akhir September 2021 lalu. Padahal, jelas Ahmad lagi, kebanyakan masyarakat di kampung tersebut belum lancar mengaji. Ibu-ibu juga belum bisa membaca Qur’an. Ahmad sendiri baru mampu mengajari anak-anak. Sementara mengajar warga dewasa, ia belum mampu. “Kampung ini sangat membutuhkan kehadiran ustadz. Tolong kirimkan (ustadz) kepada kami,” jelas Ahmad. Sebenarnya, di Dusun Bangsal, yang terletak di berseberangan dengan Dusun Jerukin di teluk Pulau Maikoor, ada seorang dai muda bernama Nasri. Usianya masih 30 tahun. Ia telah menetap dan berdakwah di dusun itu selama lima tahun. Tapi, jarak Jerukin dan Bangsal lumayan jauh bila ditempuh lewat darat. Jika ditempuh lewat laut butuh perahu untuk menyeberang. Nasri tak mungkin hilir mudik berdakwah di kedua dusun itu bila tak memiliki perahu. Ketika penulis menawarkan kepada mereka untuk mengirimkan beberapa remaja agar dididik di Pesantren Hidayatullah, Dobo, atau belajar di Sekolah Dai milik PosDai Hidayatullah di Ciomas, Bogor, Jawa Barat, Ahmad tak yakin bisa. “Kebayakan orang tua di sini tak mengizinkan anaknya pergi merantau,” kata
165 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Ahmad. Mereka lebih suka bila anak-anaknya belajar menangkap ikan atau mencari kepiting bakau. Padahal, anak-anak yang telah dididik di Sekolah Dai Hidayatullah akan dikembalikan ke kampungnya untuk berdakwah di sana. Masa belajar tidak lama, biaya pun ditanggung para mukhlisin. Beberapa bulan lalu pernah ada beberapa aktivis Jamaah Tabligh datang ke Kampung Jerukin. Tapi mereka tidak menetap lama. Mereka hanya berdakwah beberapa hari saja. Setelah itu mereka pergi ke kampung yang lain. “Yang kami perlukan adalah ustadz yang mau tinggal di kampung inj bersama kami,” kata Ahmad. Sulaiman berjanji akan berupaya memenuhi permintaan masyarakat Jerukin. “Insya Allah jika nanti jumlah dai kita sudah cukup, akan kita kirimkan dai ke kampung ini,” jelas Sulaiman. Begitu langka para dai di kepulauan ini. Sama seperti mutiara alami yang sekarang nyaris hilang. Mudah-mudahan ikhtiar Sulaiman dan PosDai Hidayatullah menyemai mutiara-mutiara di sekolah dan dan pesantren Hidayatullah akan segera berbuah hasil sehingga masyarakat Jerukin dan pulau-pulau lain di Aru bisa menikmati kemilaunya. ***
Jangan Takut Berdakwah di Wamena 166 Musmulyadi Banyak orang bergidik ketika menyebut Wamena, salah satu distrik di Kabupaten Jayawijaya yang sekaligus menjadi ibukota Propinsi Papua Pegunungan. Daerah tersebut pernah diberitakan oleh media massa dengan sebutan “Wamena berdarah.” Setidaknya ada dua kerusuhan cukup besar yang menyebabkan sebutan itu muncul dan masyarakat takut mendatangi Wamena. Pertama, kerusuhan tahun 2000, dan kedua tahun 2003. Akibat kedua kerusuhan itu banyak pendatang
167 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah yang mengungsi dan takut kembali ke Wamena. Mereka trauma. Banyak rumah yang ditinggalkan. Banyak pula aktivitas dakwah yang terbengkalai, termasuk aktivitas dakwah para dai Hidayatullah. “Dai-dai Hidayatullah sebenarnya sudah lama berdakwah di Wamena. Tapi setelah kerusuhan di tahun 2000, semua mengungsi, termasuk dai-dai Hidayatullah,” cerita Musmulyadi, dai muda Hidayatullah, ketika ditemui penulis di Sekolah Dai, PosDai Hidayatullah, di jalan Abepura - Keerom, Swakarsa Mandiri, Koya Barat, Distrik Muaratami, Kota Jayapura, akhir Agustus 2022. Sebelum pecah kerusuhan itu, dai-dai Hidayatullah memang sering bolak balik ke pedalaman Wamena. Sebuah masjid di daerah Woma mereka jadikan sePenulis (berkaos merah) bersama Musmulyadi (kopiah hitam dekat penulis) dan para santri yang berasal dari Wamena.
168 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah bagai markas dakwah. Di sanalah mereka bermalam sebelum terjun ke beberapa daerah lain di Wamena. Wamena adalah salah satu distrik yang dulu berada di Kabupaten Jaya Wijaya, Propinsi Papua. Kini, setelah wilayah Papua dimekarkan, Wamena menjadi ibukota Propinsi Papua Pegunungan. Wilayahnya terletak di dataran tinggi. Penduduknya masih jarang. Menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Jayawijaya tahun 2020, jumlah penduduk Wamena hanya sekitar 41 ribu jiwa dengan luas 249 km persegi, atau 168 jiwa per km persegi. Bandingkan dengan Kota Depok, Jawa Barat, yang jumlah penduduknya sudah mencapai 2,4 juta jiwa padahal luas Kota Depok lebih kecil dibanding Wamena. Masyarakat Wamena terdiri atas beragam suku. Penduduk yang beragama Islam sangat sedikit. Namun, kata Musmulyadi, masyarakat Wamena menyambut baik dakwah dai-dai Hidayatullah di tempat mereka. “Siapa pun yang datang dengan akhlak yang baik, pasti mereka sambut dengan baik juga,” jelas Musmulyadi. Tak heran jika setiap pulang dari wilayah dakwah, dai-dai Hidayatullah kerap membawa buah-buahan dan sayuran sebagai oleh-oleh dari penduduk setempat. Wamena memang dikenal sebagai wilayah yang subur. Buah-buahan segar banyak tumbuh di sana, seperti nanas, markisa, dan alpukat. Tanaman-tana-
169 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah man itu, tumbuh dengan baik tanpa harus dipupuk. Musmulyadi sendiri, saat kerusuhan pecah tahun 2000, masih tinggal di kampungnya di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Saat itu, ia belum bergabung dengan Hidayatullah. Namun, ceritanya kepada penulis, ia sudah mengenal baik sepak terjang dai-dai ormas Islam yang didirikan oleh Allahuyarham KH Abdullah Said ini. “Saya tertarik bergabung dengan Hidayatullah karena dakwah di Hidayatullah bukan untuk mencari musuh. Dakwah di Hidayatullah untuk mengajak orang lain menjadi lebih baik. Dai-dai Hidayatullah tidak pernah memaksa orang lain, apalagi sampai menghina dan merendahkan,” jelas Musmulyadi. Dai-dai Hidayatullah juga gigih berdakwah di daerah-daerah pedalaman. Musmulyadi sendiri tertantang untuk ikut ambil bagian dalam program ini. Ia bahkan diberi amanah untuk menakhodai PosDai Hidayatullah wilayah Papua, sebuah lembaga yang akan menaungi semua dai Hidayatullah di wilayah tersebut. Musmulyadi juga tak keberatan ketika tahun 2016 ditugaskan untuk berdakwah di Wamena setelah 15 tahun lamanya wilayah itu tak tersentuh dakwah pasca kerusuhan tahun 2000. Apalagi ia tahu bahwa para pengungsi yang dulu takut tinggal di Wamena kini sudah banyak yang kembali. Kebanyakan di an-
170 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah tara mereka adalah pendatang, terutama dari Bugis (Sulawesi), Padang (Sumatera Barat), dan Toraja (Sulawesi). Namun, ketika itu, Musmulyadi belum bisa menetap lama di Wamena. Sebab, amanah yang terpanggul di pundaknya mengharuskan ia tetap harus bolak-balik Jayapura Wamena. Jarak Jayapura ke Wamena jelas tidak dekat. Untuk sampai ke Wamena, ia harus naik pesawat dari bandara Sentani, Jayapura. Untunglah ia sudah kenal baik dengan aparat TNI Angkatan Udara setempat yang juga secara rutin terbang dengan pesawat Hercules ke sana sehingga tak perlu keluar biaya mahal untuk bisa sampai ke Wamena. Tiba di kota Wamena, Musmulyadi masih harus berjalan kaki atau menggunakan motor ke beberapa desa binaan yang kebanyakan terletak di lereng Gunung Jayawijaya. Lama perjalanan menuju desa binaan bisa mencapai 2 sampai 3 jam. Jalannya juga tidak sepenuhnya bagus. Beberapa kali Musmulyadi harus balik badan bila menemukan tanah longsor. Selama berdakwah di Wamena, Musmulyadi mengaku tak pernah mengalami kesulitan. Ia juga tak pernah diganggu. Malah, ia selalu disambut baik masyarakat setempat. Beberapa warga Wamena bahkan mengikhlaskan anaknya dibawa oleh Musmulyadi ke sekolah dai
171 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah yang ia rintis di Jayapura. Kini, sudah ada 8 putra asli Wamena yang belajar di sana. “Kita harus pandai membawa diri kalau mau diterima oleh masyarakat di Wamena. Hormati mereka, ajak mereka baik-baik. Jangan paksa mereka untuk berubah seperti yang kita inginkan. Kita berdakwah bukan untuk mencari musuh,” kata Musmulyadi. Tantangan dakwah di Wamena adalah terbatasnya jumlah dai. Meskipun jumlah Muslim tak banyak, namun di beberapa wilayah sudah berdiri masjid. Musmulyadi sendiri sedang membina jamaah di 12 mesjid yang kebanyakan terdapat di wilayah pedalaman. “Ada satu kampung bernama Air Garam. Di sana berdiri dua masjid, namun tak ada dai yang bisa mengajarkan Qur’an,” cerita Musmulyadi. Padahal, penduduk setempat sudah menyediakan satu rumah di dekat masjid untuk tempat tinggal imam. Mendapati fakta minimnya jumlah dai di sini, muncul gagasan Musmulyadi untuk mendirikan Sekolah Dai di Papua. Sekolah ini kelak akan mencetak daidai muda yang berasal dari wilayah Papua sendiri, utamanya Wamena. Mereka yang sudah lulus akan dikembalikan ke wilayahnya untuk berdakwah di sana. Qadarallah, Musmulyadi mendapat lahan cukup luas di Kecamatan Jayapura Utara, Kota Jayapura. Di
172 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah atas lahan tersebut sudah berdiri beberapa rumah dai dan mushola sederhana berbentuk panggung yang terbuat dari kayu. Di musholla itulah penulis berbincang-bincang dengan Musmulyadi akhir Agustus 2022 lalu, ditemani kopi dan pisang goreng. “Alhamdulillah sekarang kami sudah punya lahan ini. Mudah-mudahan dalam waktu dekat kami bisa membangun sekolah dai di sini,” kata Musmulyadi. Meskipun sekolah dai belum berdiri secara utuh, namun belasan santri sudah belajar di sana. Kelak, santri-santri inilah yang bakal mengisi kekosongan dai di semua masjid di Wamena. Gesekan Wamena, kata Musmulyadi, sebetulnya tak seseram yang diberitakan media massa. Kalau pun ada pertikaian di sini, kebanyakan bukan karena faktor perbedaan agama, namun karena faktor politik. Hal ini diperparah dengan beredarnya berita-berita hoax seputar Wamena. Namun, bukan berarti Musmulyadi tak menemukan gesekan selama berdakwah di Wamena. Pada Oktober 2019, misalnya, Wamena rusuh. Lebih dari 8 ribu warga mengungsi ke Jayapura. Mereka diterbangkan menggunakan pesawat hercules milik TNI AU. Kerusuhan dipicu oleh aksi demonstrasi yang tak
173 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah terkendali. Lebih dari 30 orang dikabarkan meninggal dunia. Beberapa bangunan seperti rumah, kantor, kios, dan fasilitas umum, hancur. Ribuan warga mengungsi. Saat kerusuhan meletus tahun 2019, Musmulyadi ikut menjadi relawan yang membantu menyediakan makanan dan keperluan sehari-hari untuk para pengungs. Yang membuat hati menjadi miris, kata Musmulyadi, setelah kerusuhan mulai mereda, beredar kabar hoax tentang masjid raya yang dibakar massa. Isu ini disusul dengan beredarnya isu lain tentang kedatangan laskar yang siap berjihad di Wamena. “Berita-berita hoaks yang menyebar di dunia maya seperi ini sangat merepotkan masyarakat, terutama pendatang seperti kami,” kata Musmulyadi. Padahal, jelas Musmulyadi lagi, masyarakat asli Papua tidak pernah memusuhi pendatang karena agama. Berbagai keributan tersebut lebih disebabkan karena faktor politik. Karena itu, Musmulyadi mengajak para dai muda di mana pun berada untuk ikut berdakwah di Wamena. “Ayo jangan takut berdakwah di Wamena,” katanya. ***
Mengubah Kandang Ayam Menjadi “Kandang” Orang 174 Aidil Abror Musyawarah para pimpinan Hidayatullah di Bengkulu pada awal tahun 2000-an telah memutuskan anak muda yang baru saja menikah itu harus pindah ke Rejang Lebong, sebuah daerah bersuhu dingin di kaki bukit Kaba, tiga jam perjalanan ke arah timur laut dari Kotamadya Bengkulu, Propinsi Bengkulu. Daerah itu bukan di tengah kota, tetapi di tengah perkebunan rakyat yang belum diterangi listrik. Jalanan masih setapak dan penuh dengan bebatuan. Penduduk pun masih jarang.
175 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah “Sebagai kader (Hidayatullah), saya menerima dengan senang hati tugas tersebut,” ujar pemuda itu Ketika ditemui penulis pada November 2014 di Pesantren Hidayatullah Rejang Lebong, mengenang saat-saat pertama ia ditugaskan merintis pendirian cabang Hidayatullah di kabupaten tersebut. Pemuda itu bernama Aidil Abror Lams. Ketika amanah ini ia terima, Abror, begitulah laki-laki itu biasa disapa, baru dua bulan dipercaya menjadi guru di sekolah Hidayatullah Kota Bengkulu, setelah menyelesaikan kuliah di Sekolah Tinggi AgaRumah sederhana yang ditempati Aidil saat pertama datang ke Rejang Lebong, Bengkulu.
176 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ma Islam Lukmanul Hakim, Surabaya, Jawa Timur. Saat menjadi guru di Kota Bengkulu, sempat dua kali ia menerima natura (bahan kebutuhan pokok yang diberikan kepada kader Hidayatullah yang sedang mengabdi). Namun, Abror sadar, setelah ia dikirim ke tempat tugas yang baru, ia tak akan menerima natura lagi. Jangankan natura, sekadar rumah tempat berteduh pun belum terbayangkan olehnya. Yang ia tahu, ia ditugaskan merintis pendirian cabang baru Hidayatullah di sebuah desa terpencil. Itu artinya, ia harus siap menjalani “hidup yang tak biasa” di sana, sebagaimana dai-dai Hidayatullah lainnya. “Alhamdulillah istri saya mendukung. Ia siap menemani saya ke tempat tugas yang baru,” kata pemuda kelahiran Sumatera Selatan, 25 September 1976 itu. Berangkat dengan Truk Abror berangkat ke tempat tugas yang baru bersama istri yang baru tiga bulan dinikahinya. Ia menyewa truk untuk mengangkut kepingan papan dan kayu sisa bongkaran kantor sekretariat Hidayatullah di Kodya Bengkulu. Rupanya Abror telah mempersiapkan kemungkinan terburuk bila di tempat baru nanti ia tak memiliki rumah. Papan dan
177 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah kayu sisa bongkaran tersebut akan ia gunakan untuk mendirikan gubuk kecil sekadar tempat berteduh di sana kelak. Di Rejang Lebong, lahan wakaf seluas 1 hektar telah menunggunya. Lahan tersebut terletak di tengahtengah kebun rakyat, tepatnya di Kampung Baru, Kecamatan Selupu Rejang, sekitar 11 km dari kota Curup, ibu kota Kabupaten Rejang Lebong. Di sana telah ada satu keluarga yang sebelumnya telah mengelola lahan tersebut. Syuaib, nama kepala keluarga itu. Mereka tinggal di sebuah rumah kecil berlantai dua terbuat dari papan dan kayu. Luas rumah itu hanya sekitar 7x7 meter persegi. Lantai atas dijadikan musholla, sedang lantai bawah dibagi dua petak. Sepetak untuk keluarga Syuaib, sedang sepetak lagi untuk keluarga Abror bersama seorang anak yatim usia belasan tahun yang ikut pindah bersama Abror. “Anak itu senang ketika saya ajak ikut. Dia sangat bersemangat,” cerita Abror tentang anak itu. Antar petakan hanya dipisah oleh papan triplek. Selain rumah papan, masih ada sebuah kandang ayam yang sudah tak terpakai lagi. Rupanya dulu pemilik lahan sempat berternak. Namun, usahanya bangkrut. Kandang ayam itu pun terbengkalai. Selain kedua bangunan sederhana itu, tak ada lagi bangunan lain di lahan tersebut. Kedua bangunan
178 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah itulah cikal bakal berdirinya Pesantren Hidayatullah Rejang Lebong. Bengkulu. Sehari-hari Abror membantu Syuaib mengajar baca tulis al-Qur`an di Kota Curup, kota terdekat dari kampung tersebut. Sebagian lagi waktunya ia gunakan untuk berkebun dan beternak sekadar untuk menyambung hidup. “Saya menanam wortel. Saya jual hasilnya seharga Rp 3 ribu tiap kilogram,” cerita Abror. Akrab dengan Cobaan Selanjutnya, berbagai cobaan hidup mulai mengakrabi Abror. Setiap hari ia harus mengayuh sepeda ontel ke kota Curup untuk berdakwah, sekaligus berdagang hasil pertanian, atau memasarkan Majalah Suara Hidayatullah. Waktu tempuh saat pergi hanya 20 menit saja. Maklum, turunan. Namun, ketika pulang, ia terpaksa menghabiskan waktu 3 jam karena mendaki. Pernah pada suatu malam, cerita Abror, ketika akan pulang ke pesantren, ban sepeda pecah. Di tengah pekatnya malam, Abror terpaksa menuntun sepedanya melewati jalan mendaki dan berbatu. Tak ada cahaya listrik karena daerah itu memang belum dijangkau listrik. Satu-satunya sumber cahaya hanyalah kerlap-kerlip bintang di langit. Ketika itu, kawasan perkebunan yang dilalui Abror
179 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah terkenal rawan kejahatan. Para penjahat kerap merampok masyarakat yang pulang dari kebunnya pada malam hari. Untunglah Allah Ta’ala menjaganya. Abror selamat hingga tiba di rumah tepat tengah malam. “Isteri saya kaget ketika saya ketuk rumah tengah malam,” kata Abror. Meski Abror dan Syuaib hidup sederhana di atas lahan tersebut, namun mereka juga menampung anak-anak yatim yang dititipkan kepada mereka. Bahkan, semakin lama, jumlah anak-anak yatim tersebut semakin bertambah. Awalnya cuma satu, bertambah menjadi dua. Lalu Pesantren Hidayatullah Sumatera Selatan menitipkan dua anak yatim lagi. Totalnya menjadi empat. Itu berarti Abror harus berusaha lebih keras lagi untuk menghidupi mereka semua. Pada suatu hari, cerita Abror, mereka kehabisan beras. Tak ada sama sekali makanan yang bisa dimakan, sementara waktu sudah menginjak sore dan anak-anak mulai kelaparan. “Saya harus keluar mencari beras walaupun saya tak tahu harus mencari ke mana. Pokoknya saya harus keluar,” kata Abror. Diambilnya sepeda ontel, dituntunnya keluar, dan dalam keadaan bingung, Abror mulai mengayuh. Tiba-tiba, belum begitu jauh ia mengayuh, sebuah mobil datang. Abror menghentikan sepedanya dan menghampiri sang pegemudi.
180 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah “Alhamdulillah, rupanya Allah telah mengirimkan nasi lengkap dengan lauk daging kepada kami melalui orang itu,” kata Abror. Rupanya, sang pemilik mobil baru saja mengakikah anaknya. Daging akikah ia bagikan ke pesantren Hidayatullah. Menyulap Kandang Ayam Setelah jumlah anak yatim menjadi enam, rumah petakan Abror yang sempit kian terasa sempit. Apalagi bila anak-anak itu rewel. Mereka sering mengedor-ngedor triplek penyekat sambil menangis. Ada-ada saja permintaan mereka kalau sedang merajuk. Ada yang mau jalan-jalan, ada pula yang minta dibelikan mobil mainan. “Mendidik anak memang perlu sabar,” kata Abror. Sikap rewel anak-anak, sebenarnya masih bisa diatasi. Namun, masalah petakan yang sempit, perlu dicarikan solusi. Sebab, hal tersebut tak baik buat perkembangan anak-anak. Maka, tak ada jalan lain kecuali menyulap kandang ayam yang tak terpakai lagi menjadi asrama sederhana tempat anak-anak. Lantai pun diplester meski cuma sebagian. Dindingnya masih terbuat dari anyaman bambu dan diberi terpal agar tak tembus angin. Untuk tempat tidur, Abror membuat dipan (balai-balai). Proses renovasi tersebut berlangsung tahun 2006.
181 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Setelah bangunan sederhana itu jadi, anak-anak pindah ke “kandang” mereka yang baru. “Ini sejarah buat kami. Biasanya rumah dijadikan kandang ayam, ini malah kandang ayam dijadikan kandang orang,” tutur Abror seraya tertawa. Di sanalah anak-anak yatim itu menghabiskan hari-harinya. Bila pagi, mereka bersekolah. Bila Aidil sedang berada di rumah sederhana yang dulu pernah ia tempati.
182 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah sore, mereka mengaji. Bila malam, mereka istirahat ditemani cahaya lampu templok yang asapnya kerap membuat hitam tembok. Dengan segala keterbatasan itu, para santri ini tetap rajin menggelar shalat malam. Dinginnya malam yang bukan kepalang tak mereka pedulikan. “Kalau shalat, lutut kami sampai gemetar menahan dingin meskipun kami sudah mengolesinya dengan balsem,” kata Abror. Suatu hari, Allah Ta’ala kembali mengutus seorang penolong kepada Abror dan anak-anak yatim yang diasuhnya. Orang tersebut membawa berlapis-lapis triplek dan papan ke pesantren, lalu mengganti sendiri dinding asrama dengan triplek dan papan yang dibawanya. Yang menarik, cerita Abror, dia bekerja sambil menangis. Rupanya, sang dermawan itu telah tersentuh hatinya ketika mendengar cerita kehidupan para santri yatim yang harus menahan dinginnya malam di bekas kendang ayam tersebut. Pertolongan Allah Ta’ala tak berhenti sampai di sini. Pada tahun 2008, Bupati Rejang Lebong datang membawa serta para pejabat daerah dan orangorang kaya di daerah itu. Sang bupati rupanya juga diberi hidayah oleh Allah Ta’ala setelah mendengar cerita yang sama tentang para santri ini. Sang bupati membuka lelang amal bagi mereka