33 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Meskipun Habib tinggal di tanah wakaf di pinggiran kampung, namun pembinaan kepada masyarakat tetap ia jalankan. Bahkan belakangan ia berhasil menghimpun dana untuk membeli jenset listrik berkapasitas besar untuk menerangi seisi kampung. Jenset tersebut ditaruh di dekat Masjid Nurul Yaqin dan dikelola oleh pengurus masjid. Masing-masing warga diminta partisipasinya membayar sebesar Rp 120 ribu per bulan, termasuk Habib. Setelah listrik menyala, kampung pun menjadi terang. Suasana kampung kian semarak, termasuk di Pesantren Hidayatullah Lau Gedang. Rumah tempat Habib tinggal dibangun dua lantai agar bisa menampung santri lebih banyak. Sebuah musholla sederhana terbuat dari papan sudah hampir jadi, berdiri di tengah-tengah lahan wakaf. Habib telah menghabiskan waktu selama setahun lebih di pesantren itu. “Alhamdulillah selama tinggal di sini, kami tidak pernah merasa kekurangan. Sayur-mayur banyak tumbuh di sekitar kami. Beras sering disumbang oleh warga,” tutur Habib. Para santrinya juga giat belajar Qur’an. Jumlah mereka bertambah, dari semula 3 orang menjadi 12 orang. Kebanyakan mereka anak yatim dan piatu. Di antara mereka, kata Habib, sudah ada yang hafal 4 juz. Habib merasa masa depan dakwah di Lau Gedang
34 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah sudah terlihat cerah. Ia tinggal menjaga pesantren tersebut agar bisa terus berkembang. Sampai suatu hari Habib menerima sepucuk surat dari Perhutani Sumatera Utara. Surat itulah yang kemudian mengubah semua rencana Habib. Allah Ta’ala rupanya memiliki rencana lain. Pergi Untuk Kembali Surat itu datang pada pertengahan 2021. Pengirimnya, Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara. Pesantren Hidayatullah Lau Gedang di antara pegunungan di utara Pulau Sumatera.
35 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Isinya mengejutkan. “Kami diminta menghentikan proses pembangunan pesantren Hidayatullah di Lau Gedang,” kata Ulil Albab Habibullah Lubis, atau biasa disapa Ust Habib, pengasuh pondok pesantren tersebut. Padahal, baru ada dua bangunan yang berdiri di lahan tersebut. Pertama, rumah pengasuh sekaligus tempat tinggal santri. Kedua, musholla sederhana yang terbuat dari papan dan kayu yang belum selesai seratus persen. Dengan datangnya surat dari Dinas Kehutanan tersebut, proses pembangunan mushola tak bisa dilanjutkan. Impian Habib untuk membangun pesantren Hidayatullah di Lau Gedang, untuk semetara waktu, harus ia kubur dalam-dalam. Habib sadar, ada hal yang ia lupa selama ini. Yakni, status Taman Hutan Rakyat (Tahura) yang melekat di kawasan yang sekarang ia jadikan pesantren. Ia jelas tak bisa mengubah status itu. “Beberapa kawan menyarankan agar saya mengabaikan saja surat peringatan tersebut. Tapi saya tidak bisa begitu,” kata Habib kepada penulis. Di sisi lain, ia juga bingung harus berbuat apa? Pada suatu siang Habib diminta oleh isterinya untuk menemaninya ke Kota Berastagi, kira-kira 1 jam perjalanan mengendarai motor dari Lau Gedang. Tujuannya sekadar untuk menelepon. Maklum, di Lau
36 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Gedang tak ada sinyal sama sekali. Habib menyanggupi. Terlebih saat itu isterinya sedang hamil 8 bulan. Mana mungkin Habib membiarkan isterinya pergi sendiri ke Berastagi. Singkat cerita, pergilah sepasang suami isteri ini mengendarai motor, melewati jalan-jalan berlubang dan berbatu. Qadarullah, di tengah jalan, Habib kehilangan keseimbangan. Motor yang dikendarainya rubuh. Isterinya jatuh terpental. Kakinya patah dan luka-luka. Habib khawatir melihat keadaan isterinya. Ia bingung apakah harus meneruskan perjalanan ke Berastagi, atau kembali pulang ke Lau Gedang. Akhirnya, meski perjalanan masih jauh, Habib memutuskan tetap melanjutkan perjalanan ke Berastagi dan meninggalkan Lau Gedang. “Jika saya kembali ke Lau Gedang, percuma saja. Di Lau Gedang tidak ada dokter, tidak ada puskesmas, tidak ada bidan. Padahala isteri saya harus segera diperiksa. Saya khawatir ada apa-apa dengan kandungannya,” kata Habib. Akhirnya Habib tiba di Kota Berastagi. Di kota tersebut, ia bingung harus menemui siapa. Uang di tangan hanya Rp 200 ribu, sementara hari semakin sore. Isterinya terus merintih kesakitan. Tak ada jalan lain, Habib segera menyewa kamar di sebuah penginapan. Ia ingin isterinya segera istirahat.
37 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Uang di tangan tersisa Rp 50 ribu lagi. Habib semakin bingung, bagaimana dia bisa membawa isterinya ke dokter dengan uang sebesar itu? “Saya telepon beberapa teman. Tak ada satu pun yang mengangkat,” cerita Habib. Dalam kondisi seperti itu, tak ada tempat mengadu paling baik kecuali kepada Yang Maha Mengatur Hidup manusia. Hanya Dia yang bisa membantu ketika semua jalan terasa sudah tertutup. Habib mendatangi Masjid Istihrar yang berada tak jauh dari tempatnya menginap bersama isteri. Di masjid itu, Habib mengadukan seluruh persoalannya kepada Allah Azza wa Jalla, sekaligus memohon agar diberi petunjuk dan jalan keluar. Pertolongan Allah Ta’ala memang datang dari arah yang tak terduga-duga. Seseorang datang mendekati Habib, menepuk pundaknya, lalu bertanya tentang masalah yang sedang ia hadapi. Setelah Habib menceritakan persoalannya, orang tersebut mengajak Habib mendatangi seorang dokter. Namanya Dr Purba. Inilah awal berlakunya takdir Allah Ta’ala untuk Habib. Dr Purba tak sekadar membantu mengobati istri Habib, tapi juga menawarkan untuk mengelola panti asuhan miliknya yang selama ini kosong dan tak terurus. Bukan main girang hati Habib. Barangkali inilah jalan keluar atas semua permasalahan yang sedang
38 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ia hadapi. Rasanya ia ingin segera pulang ke Lau Gedang dan bercerita kepada para santrinya tentang “rumah baru” yang akan mereka tempati nanti. Sementara di Lau Gedang, cerita Habib, para santrinya gusar bukan main. Tak biasanya Habib dan isterinya pergi dan bermalam di Berastagi tanpa berpamitan kepada mereka. Esok harinya, mereka berencana ramai-ramai berjalan kaki ke Berastagi untuk mencari tahu keadaan ustadz mereka. Rencana ini urung setelah Habib tiba-tiba pulang membawa kabar bahagia. Singkar cerita, Habib bersama 12 santrinya akhirnya hijrah dari Lau Gedang ke Berastagi. Kepergian Habib tentu membuat masyarakat di kaki Gunung Sibayak itu sedih. Mereka merasa sangat kehilangan dai yang selama ini sabar membimbing mereka. Di Berastagi, Habib dan isterinya mulai mengembangkan panti asuhan yang diamanahkan kepadanya. Panti asuhan tersebut ia ubah menjadi pesantren Hidayatullah, tempat anak-anak belajar al-Qur’an. Jumlah santrinya semakin lama semakin bertambah hingga menjadi 60-an anak. Santri putra ditempatkan di Jalan Pendidikan, Desa Jaranguda, Kecamatan Merdeka, sedang santri putri ditempatkan di Jalan Perwira, Desa Surya Indah, Kecamatan Gundaling I. Letak kedua tempat ini, meskipun berbeda kecamatan, namun tak berjau-
39 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah han. Keduanya masih berada di wilayah Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Beberapa santri yang belajar di pesantren ini berasal dari Lau Gedang. Mereka berasal dari keluarga mualaf. Seorang santri bahkan sengaja dititipkan oleh ayahnya sebelum beliau meninggal dunia, menyusul sang isteri yang sudah lebih dulu dipanggil oleh Yang Kuasa. Ada juga santri yang dititipkan dalam kondisi sakit. Sebagian dari wajahnya mengalami pembengkakan. Habib sedang mengajar para santri Hidayatullah.
40 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Ia dititipkan ke Habib karena orang tuanya tak lagi sanggup membiayai hidup anaknya. Mereka semua diurus dengan sabar oleh Habib. Meskipun sudah tinggal di Berastagi, Habib masih sering datang ke Lau Gedang untuk membina masyarakat di sana, juga menengok pesantren yang telah ia tinggalkan dan kini hanya ditempati oleh Bolang dan isterinya. Masyarakat Lau Gedang juga meminta agar Habib kembali ke kampung mereka. “Kembalilah ke kampung ini ustadz, supaya kampung ini ada yang membina,” kata Aripin Barus, salah seorang tokoh Lau Gedang, kepada Habib saat penulis tiba di kampung tersebut pada 11 April 2022. Habib tersenyum dan menjawab, “Saya sudah punya amanah menjaga para santri di Berastagi, Pak. Jumlah santri saya di sana 60 orang. Mereka tidak mungkin saya tinggalkan atau saya bawa ke sini. Lagi pula saya kan sering datang ke sini.” Aripin hanya menarik napas panjang mendengar jawaban Habib. Menurut Aripin, bukan sekali ini saja ia meminta seperti itu kepada Habib. Sudah sering! Tapi jawaban Habib selalu sama. “Sebenarnya saya tidak ingin seperti Nabi Yunus yang dihukum oleh Allah karena meninggalkan medan dakwah. Saya tidak ingin pergi dari kampung ini,” kata Habib kepada penulis saat ia mengantar penulis kembali ke Medan pada 12 April 2022.
41 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah “Tapi insya Allah, suatu hari nanti kami akan kembali ke Lau Gedang,” kata Habib lagi dengan suara mantap. Kami? Ya, kami. Sebab, bukan Habib yang akan kembali ke sana, melainkan para santri asal Lau Gedang yang telah selesai mengenyam pendidikan bersama Habib di pesantren Hidayatullah Berastagi. Kelak, kata Habib, merekalah yang akan mendirikan Rumah Qur’an di Lau Gedang, juga di daerah-daerah kaki gunung lainnya. Adapun lahan pesantren seluas 7 ribu meter persegi di Lau Gedang ---yang kemudian bertambah menjadi 2,5 hektar---- akan dijadikan areal perkebunan bekerjasama dengan Perhutani setempat untuk menopang biaya belajar di Rumah Qur’an Lau Gedang. Lalu bagaimana dengan Habib? Ia akan mengembangkan dakwah di Kabupaten Karo dan sekitarnya. Ia akan mendidik dai-dai muda di pesantren yang ia kelola, lalu menyebar mereka ke berbagai wilayah dakwah. Itu semua bila Allah Ta’ala menghendaki. Kecuali bila ada takdir lain yang akan mengubah kembali jalan hidup Habib. Wallahu a’lam. ***
Pucat Pasi di Tobelo 42 T aufiqurrahman, nama dai muda itu. Ia asli Madura, Jawa Timur. Tahun 2011, ia mendapat tugas berdakwah dan merintis pendirian Pesantren Hidayatullah di Desa Togoliua, Kecamatan Tobelo, Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara. Sebelumnya Taufiq --sapaan akrab dai muda tersebut-- belum kenal Tobelo. Ia tak tahu kalau di daerah tersebut pernah terjadi konflik berdarah antara pemeluk Islam dan non-Islam. Ia juga tak paham mengapa dai-dai Hidayatullah sebelumnya tak betah lama-lama bertugas di daerah itu. Taufiqurrahman
43 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Hingga suatu hari, setelah tiga bulan bertugas di Tobelo, seseorang memperlihatkan kepadanya sebuah video tentang kerusuhan di Tobelo berbilang tahun silam. Video tersebut berisi kisah pengepungan sebuah masjid yang letaknya tak jauh dari Pesantren Hidayatullah yang ia rintis. Taufiq ingat bahwa dulu, saat masih kuliah di Surabaya, Jawa Timur, ia pernah menonton video tersebut secara sembunyi-sembunyi. Ia menontonnya di rumah salah seorang tentara. Adik tentara itu teman baik Taufiq. Taufiq juga ingat bahwa sampul video itu bertuliskan “Rahasia”. Di dalamnya ada kengerian luar biasa. Sebanyak lebih dari 300 pengungsi, yang keMasid di mana umat Islam pernah dibantai saat kerusuhan Tobelo
44 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah banyakan anak-anak dan orang tua, dihabisi oleh mereka yang tak punya hati nurani. Setengah tak percaya, Taufiq kembali bertanya kepada orang yang membawa video ini. Apakah benar kerusuhan yang digambarkan di video tersebut terjadi di tempat ia berdiri sekarang? Apakah benar masjid yang ada dalam video ini adalah masjid yang letaknya tak jauh dari Pesantren Hidayatullah? Setelah orang yang membawa video tersebut mengangguk, wajah Taufiq langsung pucat pasi. Bulu kuduknya berdiri. Tubuhnya lemas. “Ya Allah, ternyata saya ditugaskan di tempat yang dulu saya tak sanggup melihatnya. Ya Allah, saya mau pulang!” Memilih Kuliah Karena Tak Mau Nikah Kita putar kembali waktu ke beberapa tahun sebelumnya, yakni di masa ketika Tufiq baru tamat SMA dan pamit kepada orang tuanya untuk merantau ke Surabaya. Saat itu, Taufiq juga telah menyelesaikan pendidikan di salah satu pesantren di kampungnya. “Awalnya saya merantau (ke Surabaya) bukan karena ingin kuliah, tapi karena tidak mau dinikahkan oleh orang tua,” cerita Taufiq pada suatu malam di bulan Juni 2022 ketika penulis mengunjunginya di Tobelo. Menurut kebiasaan di kampunnya, remaja yang telah selesai sekolah, apalagi lulusan pesantren, akan
45 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah segera dinikahkan. Setelah menikah, dalam waktu setahun, masyarakat biasanya akan mengakuinya sebagai ulama. “Tangannya akan dicium-cium,” cerita Taufiq seraya tertawa. Taufiq tak suka seperti itu. Ia belum mau menikah karena ingin berpetualangan terlebih dahulu. Menurut Taufiq, terlalu cepat bila ia harus diam di kampung di saat usia masih sangat muda. Karena itulah, ia pamit kepada orang tuanya untuk merantau ke Surabaya. Alasan paling masuk akal, ya kuliah. Terang saja orang tuanya tak setuju. “Kalau kamu mau kuliah, biayanya dari mana?” kata sang ayah seperti ditirukan Taufiq. Namun, tekad Taufiq sudah bulat. “Ayah doakan saja saya. Soal biaya, tak perlu dipikirkan. Saya akan bekerja sambil kuliah,” jelas Taufiq lagi. Singkat cerita, Taufiq benar-benar merantau ke Surabaya untuk kuliah. Qadarallah, ia dikenalkan oleh temannya dengan sebuah kampus yang tak memungut biaya kuliah. Kampus tempat kuliah itu bernama Sekolah Tinggi Lukmanul Hakim, milik Hidayatullah. Awal kuliah, Taufiq masih belum bisa meninggalkan kebiasaan buruknya, yakni merokok. Padahal, pihak kampus jelas-jelas melarang para mahasiswanya merokok. Taufiq sempat mencoba mendebat dosennya soal larangan merokok ini. “Mana dalilnya?” kata Taufiq mengenang masa lalunya.
46 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Tapi anehnya, semakin lama ia kuliah, otaknya seperti dicuci. Satu per satu kebiasaan buruknya dibersihkan. Bahkan, Taufiq bertekad pergi merantau ke tempat yang jauh untuk berdakwah apabila kelak telah lulus. Saat kelulusan tiba, para mahasiswa dikumpulkan untuk mendengar pengumuman ke mana mereka akan ditempatkan sebagai dai di berbagai pelosok Tanah Air. Setiap kali nama seorang mahasiswa diseMushola di tengah pesantren Hidayatullah di Tobelo
47 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah butkan, semua mahasiswa akan bertakbir sebagai bentuk rasa syukur. Tibalah giliran nama Taufiq yang disebut, disertai nama kota yang sangat dikenalnya, yakni Surabaya. Semua orang bertakbir dengan keras karena menduga Taufiq bakal senang. Bukankah Surabaya tak jauh dari Madura, kampung halamannya? Ternyata Taufiq diam saja. Ia tak ikut bertakbir. Ia seperti memendam kekecewaan. Tiba-tiba sang petugas yang mengumumkan tadi meralat ucapannya. Rupanya ia salah sebut. Taufiq bukan ditempatkan di Surabaya melainkan di Ternate, Maluku Utara. Mendengar itu, Taufiq langsung berteriak, “Allahu Akbar” seraya mengepalkan tangannya tinggi-tinggi. Giliran teman-temannya yang malah terdiam. “Saya memang ingin sekali berpetualang ke tempat-tempat yang jauh. Karena itulah saya kecewa ketika mendengar saya ditugaskan di Surabaya. Untunglah itu keliru,” kenang Taufiq tentang masa lalunya. Memikul Tugas Berat Setelah berpamitan kepada orang tuanya, berangkatlah Taufiq menuju Ternate, Maluku Utara. Sesampainya di Pesantren Hidayatullah Ternate, ia segera menghadap Ust Sholeh Syukur, pengasuh
48 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah pondok ketika itu. Rupanya, Ust Sholeh telah menyiapkan sebuah rencana besar untuk Taufiq. Tempat tugas Taufiq bukan di Ternate melainkan di Desa Togoliua, Kecamatan Tobelo, Halmahera Utara. Jarak Ternate hingga Tobelo kira-kira 6 jam perjalanan lewat laut dan darat. Di Tobelo, tugas Taufiq melanjutkan pembangunan pesantren Hidayatullah yang sempat terbengkalai. Ketika tiba di sana, bangunan pesantren sama sekali belum ada. Yang ada hanya sebuah masjid yang belum selesai. Taufiq tinggal di masjid tersebut sambil meneruskan proses pembangunannya. Menjelang tiga bulan, ketika masjid hampir jadi, datanglah seseorang yang memperlihatkan video insiden kekejaman di desa tersebut kepada Taufiq sebagaimana telah dikisahkan di awal tulisan ini. Taufiq kaget luar biasa. Ia baru paham mengapa dai-dai Hidayatullah sebelumnya tak betah tinggal berlama-lama di desa tersebut. Bahkan, tukang yang mambantunya membangun masjid juga tak mau tinggal lama-lama. Mereka semua ketakutan. “Desa ini ibarat bensin tumpah. Semua kerusuhan di Tobelo, pusatnya ada di desa ini. Ada api sedikit saja, langsung membesar dan menyambar ke mana-mana,” kata Taufiq. Sebenarnya Taufiq juga takut. Bahkan ia mengaku
49 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah sempat menangis dan ingin segera pulang. Namun ia bingung bagaimana caranya sementara ia tak punya biaya yang cukup. Taufiq akhirnya menelepon Ust Sholeh, meminta agar ia diizinkan kembali ke Ternate. Ust Sholeh membesarkan hatinya dengan mengatakan bahwa tugas berat telah terpikul di pundak Taufiq. Bila ia juga menyerah maka siapa lagi yang sanggup memikul tugas berat tersebut sementara keberadaan pesantren Hidayatullah di Tobelo penting untuk perkembangan dakwah. Dalam diam, Tuafiq mulai merenungI nasehat Ust Sholeh. Apa jadinya masjid yang sebentar lagi akan selesai dibangun jika ia kembali pulang? Apa jadinya cita-cita mendirikan sebuah pesantren di wilayah konflik ini jika ia menyerah kalah? Akhirnya, Taufiq membulatkan tekadnya untuk tetap bertahan di Tobelo sampai pesantren Hidayatullah benar-benar berdiri. “Saya sempat bertanya, mengapa pondok pesantren harus berdiri di sini? Kalau mau maju, bikin saja pondok di kota-kota besar. Tapi mengapa harus di sini? Rupanya saya baru paham kalau ini bagian dari upaya membendung misionaris,” cerita Taufiq. Tobelo adalah kota kecil di Kabupaten Halmahera Utara. Jumlah penduduk di kecamatan tersebut sekitar 35 ribu jiwa dengan luas sekitar 58 km per-
50 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah segi. Penganut Kristen paling banyak di kecamatan ini, juga di Kabupaten Halmahera Utara. Jumlahnya sekitar 63 persen dari total penduduk. Sementara pemeluk Islam hanya 30 persen saja. Akhir tahun 1999, kecamatan ini dilanda kerusuhan berbau SARA. Sejumlah pihak mencatat tak kurang dari 600 Muslim dibunuh pada peristiwa ini, sementara 1.500 lebih dinyatakan hilang. Inilah yang membuat Taufiq pada awalnya bergidik. Lama-lama ia mulai membiasakan diri dengan keadaan masyarakat yang disebutnya “bagai bensin yang tertumpah”. “Di sini, sedikit-sedikit kacau, sedikit-sedikit ribut. Anehnya, setiap kali ribut, selalu agama yang dibawa-bawa. Padahal, masalahnya cuma mabuk. Mereka ribut karena mabuk,” cerita Taufiq. Satu tahun setelah masjid selesai dibangun dan beberapa kelas pesantren sudah berdiri, Taufik pamit pulang kepada Ust Sholeh. Ia ingin menikah di kampung halamannya dan berjanji akan kembali lagi setelah selesai menikah. Ust Sholeh sebenarnya sudah was-was, benarkah Taufiq akan kembali ke Tobelo? Jangan-jangan ia tak mau kembali lagi. Tapi ternyata Taufiq menepati janjinya. Ia bahkan membawa serta isterinya ke Tobelo untuk membantu dakwah di sana.
51 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Tantangan Dakwah Taufiq dan isterinya mulai mengajar mengaji di pesantren yang mereka rintis. Sesekali mereka dikejutkan oleh keributan berbau SARA. Pernah suatu ketika Taufiq terpaksa mengungsikan isterinya ke tempat yang aman bersama beberapa penduduk, sementara ia sendiri mencoba bertahan di pesantren. Untunglah keributan tak jadi karena tentara sudah ramai di jalanan. “Selama tinggal di sini, saya dan isteri benar-benar diuji. Isteri saya sempat trauma. Sedikit saja ada bunyi seng dipukul, ia langsung kaget dan ketakutan,” cerita Taufiq. Pernah pula masyarakat Muslim ramai-ramai mendatangi Taufiq dan mengajaknya ikut bertarung melawan warga non-Muslim setelah ada perselisihan sehabis mabuk di pesta pernikahan. Mereka berkata, “Ayo ustafz, ikut berjihad bersama kami.” Mendapati hal itu Taufiq langsung marah. “Ini bukan jihad! Tak ada jihad membela orang mabuk. Kalian semua pulanglah. Tidak perlu kalian berperang,” kata Taufiq. Pernah juga Taufiq diancam dan diintimidasi agar ia dan santrinya segera meninggalkan tempat tersebut. Taufiq menanggapi ancaman tersebut dengan berkata, “Sampaikan kepada mereka bahwa di sini orang baku bunuh (saling membunuh) karena ma-
52 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah buk. Di Madura (Jawa Timur), orang baku bunuh karena sadar. Saya orang Madura. Tentukan di mana dan kapan kita baku bunuh.” Setelah itu, cerita Taufiq, tak ada yang berani mengusiknya lagi. Ada juga yang menuduh Taufiq dan pesantren Hidayatullah Tobelo mengajarkan paham radikal. Tuduhan ini berawal dari ceramah Taufiq menjelang Ramadhan yang meminta agar kaum Muslim mengurangi menonton TV dan mendengarkan musik di bulan yang mulia tersebut. Namun, cerita Taufiq, yang beredar justru isu Hidayatullah mengharamkan musik dan televisi. “Padahal saya kan bilang ‘kurangi’, bukan ‘jangan’,” ungkap Taufiq. Sejak kejadian itu ia mulai mengurangi kegiatan ceramah di luar pesantren. Jika ada panggilan mengisi kajian, Taufik meminta santri dewasa yang menggantikannya. Ia sendiri fokus membenahi pesantren seraya terus menjalin silaturahim kepada sejumlah tokoh dan aparat. Ia menduga, fitnah-fitnah seperti ini yang membuat izin pendirian pesantren menjadi sulit keluar. Hingga 10 tahun, pengurusan izin belum juga selesai. Kesabaran Taufiq akhirnya berbuah hasil. Saat penulis mengunjungi pesantren Hidayatullah Tobelo pada Juni 2022, terdengar kabar kalau izin pendirian pesantren telah keluar. Taufiq tentu merasa sangat
53 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah lega dan mengucap syukur. Pesantren yang 10 tahun lalu dirintisnya, kini telah legal berdiri di atas lahan seluas 4 hektar. Di lahan tersebut, selain masjid, juga ada ruang-ruang kelas, kantor, tempat menginap santri, serta rumah-rumah pengasuh. Sebanyak 20 santri bermukim di pesantren tersebut. Selebihnya, 70 siswa dan siswi setingkat SMA, belajar setiap hari. Kini Taufiq telah melewati hari-hari sulitnya. Tak ada yang mengira bahwa belasan tahun yang lalu hidayah Allah Ta’ala telah menyapa seorang remaja bandel yang lari dari kampungnya karena tak mau menikah. Tak banyak anak muda yang mendapat hidayah seperti itu dan memilih hidup seperti Taufiq. *** Suasana Kampung Tobelo, tak jauh dari tempat di mana pesantren Hidayatullah berada.
Mengantar Cibuntu Menjadi Desa Mengaji 54 S ubuh sebentar lagi menyingsing. Jalanan Desa Cibuntu, Kuningan, Jawa Barat, masih sepi. Abah Awam, kuwu di Desa Cibuntu, sudah melangkahkan kakinya ke Masjid Darussalam, satu-satunya masjid di desa tersebut. Kuwu, dalam bahasa Sunda, berarti Kepala Desa. Tak lama kemudian, Abah --sapaan akrab Awam- - mengumandangkan azan subuh. Suaranya lantang mengajak masyarakat agar segera bangun dari tiSiddiq Junihardin
55 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah dur dan bergegas menuju masjid. Namun, tak terlihat langkah kaki menuju Rumah Allah. Karena gemas melihat masyarakat yang bergeming padahal suara azan sudah selesai berkumandang, Abah lalu mengambil pengeras suara dan memanggil warganya agar segera pergi ke masjid. Bukan dalam bahasa Arab, melainkan dalam bahasa Sunda. Setelah dipanggil beberapa kali, barulah beberapa warga mulai mendatangi Masjid Darussalam. “Saya sering mengatakan kepada warga bahwa masjid adalah rumah kalian. Kalau dipanggil pulang, ya kalian harus pulang ke masjid,” cerita Awam kepada penulis yang mengunjungi kediamannya pada Jumat, 25 Februari 2022. Kisah yang diceritakan Awam ini tentu bukan terjadi sekarang, namun bertahun-tahun yang lalu. Ketika itu, kata Awam, masyarakat Desa Cibuntu masih susah diajak shalat berjamaah di masjid. Mereka juga belum banyak yang mampu membaca al-Qur’an dengan baik. Apalagi memahami isinya. Ini semua membuat Awam merasa gusar. Sebelum memangku amanah sebagai kuwu, Abah Awam lama tinggal di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Di sana, ia banyak berkenalan dengan para aktivis Islam. Awam juga sering mengikuti pengajian dari satu masjid ke masjid yang lain. Dari sinilah pemahaman Islamnya mulai membaik.
56 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Tahun 2003, Awan diminta pulang ke desanya. Masyarakat menginginkan ia menjadi kuwu. Awam tak bisa menolak. Setelah menjadi kepala desa, Awam mulai membenahi masyarakat desanya. Ia ajak masyarakat shalat di masjid. Tak jarang ia memanggil-manggil warganya lewat pengeras suara ketika panggilan azan sudah selesai. Awam juga berusaha mengikis habis praktik syirik pada hajatan tahunan Sedekah Bumi. Ia mengubah hajatan yang selalu ramai diikuti seluruh warga desa ini menjadi ajang kumpul warga dan makan bersama-sama. Tak boleh ada sesajian kepada Gunung Ciremai yang terletak di dekat desa itu. Apalagi sampai menanam kepala binatang di sana. Gerbang Desa Cibuntu di kaki Gunung Ciremai, Jawa barat.
57 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Meski telah dimodifikasi, hajatan Sedekah Bumi tetap ramai dikunjungi masyarakat. Bahkan masyarakat dari luar Cibuntu ikut hadir memeriahkan. Terakhir, pada tahun 2020, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, juga hadir dalam acara Sedekah Bumi. Dalam akun instagramnya, Ridwan Kamil berceloteh, “Acara Sedekah Bumi adalah acara adat tasyakuran atas segala rezeki dan berkah yang Allah berikan kepada masyarakat Desa Cibuntu.” Tak cukup itu, Awam juga ingin warga desanya pintar mengaji. Sayangnya, cita-cita yang satu ini tak mudah diwujudkan. Kendala utamanya adalah minimnya dai yang mau mengajar di desa tersebut. “Saya sudah keliling ke mana-mana mencari guru mengaji, tapi tidak ada yang mau,” cerita Awam. Ia pernah mendatangi sebuah sekolah tinggi Islam di Jakarta, berharap ada mahasiswa yang mau tinggal di Cibuntu untuk mengajar mengaji. Tapi tetap tak ada yang bersedia. Cibuntu adalah desa kecil yang terletak di kaki Gunung Ciremai. Desa ini berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Ciremai. Luasnya, menurut data Badan Pusat Statistik Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, lebih dari 1 juta hektar. Ada sekitar 20 ribu juta jiwa yang mendiami desa tersebut, dengan komposisi laki-laki dan perempuan hampir berimbang. Pada tahun 2012, Desa Cibuntu dicanangkan sebagai desa wisata. Tentu sangat beralasan mengapa
58 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah desa ini dijadikan tempat wisata. Letak Cibuntu yang berada di dekat Gunung Ciremai membuat udaranya sangat segar, hawanya agak dingin, airnya jernih, mata airnya banyak. Di sekeliling desa terhampar sawah dan rerumputan hijau. Di sini juga ada sejumlah objek wisata alami. Ada curug atau air terjun, situs cagar budaya, bumi perkemahan, dan kampung domba. Para pelancong bisa menginap beberapa hari di desa ini. Sejumlah rumah warga telah disiapkan sebagai homestay atau rumah singgah. Bahkan, khusus soal ini, Cibuntu telah menyabet juara ke 5 sebagai desa wisata terbaik bidang homestay tahun 2016. Bukan se-propinsi Jawa Barat, tapi se ASEAN. Menarik bukan? Warga Cibuntu sangat ramah dan terbuka kepada siapa saja yang datang ke desa mereka. Hal ini diakui oleh Amangku, kepala desa sebelumnya. “Tidak ada masyarakat yang terlantar di desa ini,” kata Amangku saat ditemui penulis di kediamannya di Desa Cibuntu. Uniknya, warga Cibuntu berasal dari satu keturunan. “Satu sama lain terhubung oleh ikatan keluarga,” jelas pria yang telah berusia lebih dari 70 tahun ini. Kalau pun ada pendatang, jumlahnya tak banyak dan mudah dikenali. Selain itu, semua tanah di Cibuntu dimiliki oleh warga desa. Tak boleh ada tanah yang dipunyai warga
59 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah luar Cibuntu. Kalau ada yang mau menjual tanahnya, hanya boleh kepada warga Cibuntu sendiri. Ini sudah menjadi kesepakatan tak tertulis antar warga. Kembali ke cerita Abah Awam. Keinginannya untuk mendidik warganya agar pintar mengaji amat beralasan. Sejak lama Awam menyimpan kekhawatiran, utamanya setelah Cibuntu dicanangkan sebagai desa wisata. Setelah pencanangan itu, dari tahun ke tahun, jumlah pendatang semakin banyak. Bukan mustahil pengaruh masyarakat luar akan menggerus akhlak dan karakter mulia warga Cibuntu yang sejatinya religi. Untuk mengantisipasi kekhawatiran ini, tak ada jalan lain kecuali menjadikan masyarakat Cibuntu lebih Islami. Setidaknya, kata Awam, masyarakat rajin shalat di masjid dan mau belajar membaca alQur’an. Itu saja sudah lumayan bagus. Sebenarnya, di Desa Cibuntu ada seorang aparat desa yang bisa mengajar mengaji. Namanya Abdul Hamid. Ia bukan warga asli Cibuntu, namun isterinya berasal dari Cibuntu. Pada awalnya, bertahun-tahun yang lalu, Abdul Hamid dan isterinya belum menetap di Cibuntu. Mereka masih tinggal di Cirebon, Jawa Barat, kira-kira 1 jam perjalanan mengendarai motor dari Cibuntu. Namun, ketika itu, Abdul Hamid sudah sering mengisi khutbah Jumat di Masjid Darussalam, Cibuntu.
60 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Lalu, pada tahun 2004, ia diminta oleh Awam untuk mengajar mengaji di Cibuntu. Sejak saat itu, cerita Abdul Hamid, ia pulang balik Cibuntu-Cirebon dengan motor hampir setiap hari. Tahun 2006, Abah Awan menawarkan kepada Abdul Hamid untuk menjadi salah satu pegawai kantor desa di bagian Kesra (Kesejahteraan Rakyat). Tentu saja Abdul Hamid merasa senang atas tawaran tersebut. Ia pun pindah ke Cibuntu dan tetap mengajar anak-anak mengaji setiap hari. Sejak Abdul Hamid tinggal di Cibuntu, persoalan pembinaan keagamaan di desa tersebut sedikit teratasi. Taman Pendidikan Al-Qur’an sudah dibuka, majelis taklim mulai hidup. Namun, tetap belum maksimal. Apalagi tugas Abdul Hamid sebagai aparat desa semakin lama kian banyak. “Saya mengurus semua persoalan warga,” kata Abdul Hamid kepada penulis Jum’at, 25 Februari 2022. Sampai di sini, persoalan utama Cibuntu masih belum sepenuhnya terpecahkan. Awam menjabat kepala Desa Cibuntu sudah tiga periode. Tahun 2023, amanah yang diembannya akan berakhir. Di sisa jabatannya itu, Awam masih menyimpan dua keinginan. Pertama, ia ingin merenovasi Masjid Darussalam yang tadinya satu lantai menjadi dua lantai. Alhamdulillah, atas izin Allah Ta’ala, cita-cita ini
61 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah hampir terlaksana. Pemerintah Propinsi Jawa Barat bersedia membantunya. Pada sekitar Oktober 2021, masjid yang terletak di samping kantor desa tersebut mulai dibangun. Saat penulis mengunjungi Desa Cibuntu akhir Februari 2022, proses renovasi Masjid Darussalam sudah lebih dari 50 persen. Sedang keinginan kedua adalah menjadikan masyarakat di desanya religius. “Masyarakat Desa Cibuntu telah memiliki segalanya kecuali satu hal, yaitu Siddiq dan Abdul Hamid sedang mengajar ngaji masyarakat Cibuntu.
62 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ilmu agama,” kata Awam. Qadarallah, pada tahun 2020, Allah Ta’ala mempertemukan Abah Awam dengan Ahmad Suhail yang ketika itu menjabat Ketua Persaudaraan Dai Indonesia atau PosDai. Awan menceritakan kesulitan yang ia hadapi. Pada saat yang sama, Suhail sedang menyusun konsep Desa Mengaji. Klop! Jalan keluar tiba-tiba terbuka Lantas bagaimana konsep Desa Mengaji yang digagas oleh PosDai Hidayatullah? Bagaimana pula kiprah dai Hidayatullah yang diminta tinggal di Cibuntu? Mari ikuti terus lanjutan kisah ini! Cinta Warga Untuk Sang Ustadz Siddiq Junihardin, pria asal Kendari, Sulawesi Tenggara, tak menyangka akan ditugaskan ke Desa Cibuntu, Kuningan, Jawa Barat, pada awal tahun 2021. Padahal, ia belum lama mengajar di Sekolah Dai, Ciomas, Bogor, Jawa Barat, lembaga pendidikan milik PosDai Hidayatullah. Namun, keputusan sudah dibuat. Siddiq harus meninggalkan para santri yang telah diasuhnya selama dua tahun, dan hijrah ke sebuah desa yang tak ia kenal sebelumnya. Desa berpanorama indah yang terdapat di kaki Gunung Ciremai. Adalah Ahmad Suhail, Ketua PosDai Hidayatullah periode lalu, telah menunjuk Siddiq untuk mengem-
63 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ban amanah yang tak semua anak muda seusianya sanggup mengembannya. Bukan tanpa alasan Suhail menunjuk Siddiq. “Dia memiliki bekal agama yang bagus, penyabar, dan pandai bergaul,” cerita Suhail, yang kini menjabat sebagai Ketua DPW Hidayatullah Propinsi Bengkulu, kepada penulis awal Maret 2022. Siddiq jebolan LIPIA. Ia lulus tahun 2018. Ilmu agamanya jelas lebih dari cukup. Istrinya berasal dari Garut, Jawa Barat. Secara karakter, masyarakat Garut dan masyarakat Cibuntu tidak berbeda. Jadi, klop! Menurut perkiraan Suhail, Siddiq tak akan banyak kesulitan saat tinggal di Desa Cibuntu kelak. Sebetulnya, sebelum kedatangan Siddiq, warga Cibuntu sudah paham bahwa desa mereka akan kedatangan seorang ustadz utusan PosDai Hidayatullah. Beberapa bulan sebelum Siddiq bertolak ke Cibuntu, Suhail dan beberapa pengurus PosDai Hidayatullah telah bersilaturahim ke kediaman Kepala Desa Cibuntu, Abah Awam. Ketika itu, Suhail menjelaskan kepada Awam tentang program Desa Mengaji yang digagasnya. “Alhamdulillah, beliau sangat antusias,” cerita Suhail. Bahkan, Awam mengundang Suhail untuk presentasi kembali di kantor desa, di hadapan seluruh perangkat desa. Tanpa disangka-sangka, seluruh perangkat desa
64 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah juga setuju dengan program Desa Mengaji yang ditawarkan Suhail. Mereka bahkan meminta agar program itu segera dilaksanakan. Tak perlu menunggu lama. Mereka juga sanggup menyediakan rumah untuk tempat tinggal ustadz yang ditugaskan ke desa mereka. Suhail dan timnya tentu merasa senang dengan sambutan seluruh perangkat desa. Apalagi sejak saat itu, Awam selalu menyebut-nyebut program Desa Mengaji di setiap acara desa, baik di masjid, tempat Suasana Desa Cibuntu dengan latar Gunung Ciremai.
65 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah hajatan, atau tempat-tempat berkumpulnya warga. Bahkan, setiap menjelang shalat Jumat, sebelum khatib naik mimbar, berkali-kali Awam mengumumkan program Desa Mengaji ini kepada jamaah masjid Darussalam. Pada tanggal 4 Januari 2021, Siddiq bersama isterinya berangkat ke Desa Cibuntu. Sesampainya di sana, Siddiq disambut gembira oleh warga. Sebuah rumah telah disiapkan untuknya. Bahkan, cerita Siddik saat ditemui penulis akhir Februari 2022, warga juga membantu memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari keluarganya. “Saya jarang sekali membeli beras selama di sini. Setiap kali beras mau habis, selalu saja ada warga yang datang memberi beras,” katanya. Tak cuma itu, warga sempat menghimpun dana untuk membantu Siddiq yang ingin pulang kampung ke Kendari saat lebaran. Mereka juga berpesan agar Siddiq tak lama-lama berada di kampung dan segera pulang ke Cibuntu jika urusannya sudah selesai. Bahkan, saat Siddiq berada di kampung halamannya, beberapa kali warga meneleponnya dan menanyakan kapan Siddiq pulang. Ini semua gambaran cinta warga kepada sosok seorang ustadz. “Warga di sini sangat senang melihat anak-anak mereka diajar mengaji,” kata Siddiq. Anak-anak pun antusias mengaji. Saat hujan lebat,
66 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah mereka tetap datang ke masjid dan musholla untuk mengaji. Awal tiba ke Cibuntu, Siddiq banyak bersilaturahim kepada warga desa. “Satu bulan saya gunakan untuk bersilaturahim,” cerita Siddiq. Saat bersilaturahim, Siddiq banyak dibantu oleh Abdul Hamid, aparat desa yang telah mengajar ngaji di Cibuntu sebelum kedatangan Siddiq. Bila ada hajatan warga, Abdul Hamid akan mengajak Siddiq hadir, lalu memperkenalkan Siddiq kepada warga. Terkadang sehabis shalat fardhu berjamaah di masjid, Siddiq gunakan waktu untuk mengobrol dengan jamaah. Dalam obrolan itu, Siddiq mengajak warga untuk ikut mengaji Qur’an. Perlahan-lahan, warga mulai dekat dengan Siddiq. Setelah sebulan tinggal di Desa Cibuntu, Siddiq sudah tak sungkan lagi mengajak warga untuk shalat berjamaah di masjid. Ia juga percaya diri untuk menggelar taklim setiap selesai shalat subuh, sebagaimana pada Jumat subuh, 25 Februari 2022, ketika penulis berkesempatan mengikuti taklim mereka. Taklim dilaksanakan dengan cara duduk melingkar di masjid. Shiddiq duduk di tengah, sedang jamaah yang ketika itu berjumlah sekitar 30 orang, duduk di sisi-sisi masjid. Abah Awam juga terlihat duduk di antara jamaah. Kajian pada subuh Jumat itu mengupas Hadits tentang sedekah. Beberapa jamaah sempat
67 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah menanyakan perihal hukum wakaf. Menurut Siddiq, materi yang diajarkan saat taklim ada bermacam-macam. Hari Senin dan Rabu membahas tentang fiqih. Hari Kamis membahas tafsir. Sedang Jumat membaca Hadits sebagaimana Jumat 25 Februari 2022 itu. Masyarakat, kata Siddiq, lebih banyak bertanya soal fiqih, termasuk soal zakat pertanian, zakat peternakan, warisan, dan waqaf. Pengajian anak-anak juga lebih hidup. Anak-anak sudah terbiasa datang ke masjid setiap shalat fardhu, utamanya waktu Ashar. Sebab, setiap bakda ashar, mereka bersama-sama melantunkan zikir, lalu berpencar menjadi tujuh kelompok. Masing-masing kelompok belajar di tempat yang berbeda. Ada yang belajar di masjid, di ruang-ruang kelas, dan ada juga yang belajar di musholla. Jumlah mereka hampir 120 orang. Di samping Masjid Darussalam, ada 4 musholla di Desa Cibuntu. Letaknya agak berjauhan. Ukurannya kecil. Hanya muat sekitar 30 orang. Setiap kelompok diajar oleh satu orang guru. Selain Siddiq dan Abdul Hamid, ada seorang anak muda lulusan sebuah pesantren yang diminta membantu mengajar anakanak tersebut. Selebihnya adalah ibu-ibu majelis taklim. Anak-anak mengaji sampai pukul 17.30. Namun, untuk anak-anak yang sudah pandai mengaji al-
68 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Qur’an, Siddiq menyediakan waktu guna memperbaiki bacaan mereka sampai datang waktu magrib. Menurut Siddiq, telah ada satu anak SMP yang hafal juz 30. Usai shalat magrib, Siddiq kerap mengajak warga dewasa mengobrol di masjid sambil menunggu waktu isya. Terkadang Siddiq gunakan waktu ini untuk mengajak mereka belajar mengaji. Beberapa warga mau menerima ajakan Siddiq, namun beberapa yang lain masih enggan karena merasa sudah tua dan malu. “Kebanyakan mereka masih mengaji iqro. Ada yang baru iqro 1. Setelah satu tahun, ada yang sudah mencapai iqro 6,” cerita Siddiq. Pengajian ibu-ibu justu lebih ramai dan semarak. Mereka lebih antusias. Jumlah mereka banyak, bahkan pernah mencapai 90-an orang dalam satu kali pertemuan yang digelar setiap hari Selasa itu. Tantangan yang belum terpecahkan hingga kini, aku Siddiq, adalah mengajak para remaja untuk ikut mengaji. Jumlah remaja yang bersedia ikut hanya sedikit. Kebanyakan justru masih enggan. “Mereka seperti punya dunia sendiri. Saya masih bingung bagaimana cara mengajak mereka,” jelas Siddiq. Sempat terlintas dalam pikiran Siddiq untuk menggelar pelatihan yang disukai anak-anak muda. Misalnya membuat konten video atau desain poster. Jika
69 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah anak-anak remaja sudah tertarik dan mau berkumpul, barulah perlahan-lahan mereka diajak mengaji sambil berkreasi. Namun Siddiq sendiri tidak menguasai keterampilan itu. Ia juga tidak kenal dengan orang-orang yang paham soal itu. Pembinaan yang dilakukan Siddiq saat ini baru menyentuh anak-anak dan orang tua. Siddiq juga menyadari bahwa dakwah tak bisa dipaksakan kepada masyarakat, terutama anak muda. Yang harus disentuh adalah hatinya. Bila dipaksakan, mereka justru lari. Program Desa Mengaji di Cibuntu baru berjalan satu tahun. Selama masa itu, kata Siddiq, banyak hal yang harus dievaluasi. Apalagi, Cibuntu menjadi proyek pertama Desa Mengaji PosDai Hidayatullah. Dukungan masyarakat dan aparat desa menjadi faktor penting suksesnya program ini. Terlebih lagi bila harus mengkader masyarakat agar bisa mandiri dalam menyelenggarakan program ini. Untunglah, kata Siddiq, dukungan aparat dan masyarakat Desa Cibuntu sangat bagus. Lalu bagaimana dengan desa-desa lain setelah Cibuntu? Yang jelas, kata Samani Harjo, ketua PosDai Hidayatullah, apa pun tantangannya, program ini akan tetap berjalan. PosDai Hidayatullah bahkan bercita-cita mengembangkan program ini setidaknya satu Desa Mengaji untuk setiap propinsi di Indonesia.
70 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Semoga Allah Ta’ala mudahkan. Dari Desa Mengaji Menuju Pesantren Masyarakat Jauh sebelum program Desa Mengaji digagas, Hidayatullah telah meluncurkan Gerakan Dakwah Mengajar dan Belajar Al-Qur’an, atau disingkat Grand MBA. Dalam gerakan ini, seorang guru mengaji akan naik ke atas mimbar masjid lalu mengajarkan kepada jamaah bagaimana cara membaca al-Qur’an secara benar, termasuk menerjemahkannya. Dalam perkembangan selanjutnya, gerakan ini diperluas. Tidak lagi sekadar dilaksanakan di masjid-masjid, namun juga dilaksanakan di rumah-rumah warga --yang kemudian dinamakan Rumah Qur’an--- atau majelis-majelis pertemuan warga --yang kemudian dinamakan majelis Qur’an. “Program Desa Mengaji sebenarnya adalah pelaksanaan dari program Grand MBA di sebuah desa,” cerita Ahmad Suhail, penggagas program Desa Mengaji, kepada penulis awal Maret 2022. Inti dari program ini adalah mengajak masyarakat desa agar cinta kepada al-Qur’an. Hal senada juga diutarakan Samani Harjo, yang sekarang menjabat ketua PosDai Hidayatullah, menggantikan Suhail yang habis masa amanahnya pada awal tahun 2021. Suhail sendiri saat ini diamanahi sebagai Ketua DPW Hidayatullah Propinsi Bengkulu.
71 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Menurut Samani, tugas para dai yang diterjunkan ke Desa Mengaji sederhana saja. Mereka harus mengajak masyarakat desa untuk gemar membaca alQur’an sekaligus mau mengikuti berbagai taklim di masjid atau mushola desa. Ini tahap awal. Selanjutnya, gerakan ini tak sekadar diselenggarakan di masjid namun bisa juga di rumah-rumah warga. Jika gerakan belajar al-Qur’an ini sudah terlihat hasilnya, kata Samani lagi, para dai Hidayatullah yang ditugaskan ke Desa Mengaji harus bisa mengkader. Artinya, mereka juga harus bisa menjadikan beberapa warga di desa tersebut sebagai calon guru mengaji (muallim) yang kelak akan menggantikan tugas para dai ini mengajar mengaji di desanya. Jadi, pada saatnya nanti, jelas Samani, masyarakat di Desa Mengaji bisa mandiri dalam menjalankan program belajar dan mengajar al-Qur’an, baik di masjid atau di rumah. Tugas para dai Hidayatullah adalah mengkondisikan agar hal tersebut terjadi. Menurut Shohibul Anwar, Ketua Departemen Komunikasi dan Penyiaran DPP Hidayatullah, jika program Desa Mengaji sudah berjalan baik, maka masyarakat di desa tersebut harus siap-siap mengembangkan lagi desanya menjadi pesantren masyarakat. Dalam tahap ini, kata Shohibul, fungsi masjid harus diperluas. Bukan lagi sekadar tempat belajar dan mengajar al-Qur’an, namun juga pusat pem-
72 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah berdayaan masyarakat. Masjid akan menjadi pusat pelatihan wira usaha, kepemimpinan, juga peningkatan skill. Istilah “pesantren masyarakat” sebetulnya tak jauh berbeda dengan pesantren pada umumnya. Hanya saja, jelas Shohibul, bila pesantren yang biasa dikenal masyarakat dibatasi oleh gedung, kelas-kelas, serta sejumlah aturan yang membatasi para santri, maka pesantren masyarakat tidak seperti itu. Pusat kegiatan pesantren ada di masjid dan aturannya tidak seketat pesantren pada umumnya. Adapun materi yang diajarkan mirip. Mengapa harus sama seperti pesantren? Sebab, kata Shohibul, pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia dan berperan besar dalam perjuangan dan pembangunan bangsa. Dalam sejarahnya yang panjang, pesantren senantiasa memberikan konstribusi terbaik dalam berbagai aspek kehidupan. Di masa kolonial, kaum santri ikut berperang melawan penjajah. Menjelang kemerdekaan, kaum santri terlibat dalam merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang di antaranya melahirkan piagam Jakarta. Di masa awal kemerdekaan, kaum santri kembali berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Saat ini, di masa kemerdekaan, pesan-
73 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah tren terus berkembang dengan mengangkat program-program pembangunan masyarakat. Bermunculanlah pesantren-pesantren yang memasukkan pengajaran ketrampilan dalam berbagai bidang kehidupan seperti peternakan, pertanian, kerajinan, perdagangan, bahkan teknologi informasi. Dalam sejarahnya, ungkap Shohibul, pesantren selalu menyatu dengan masyarakat. Ia hadir di tengahtengah masyarakat, hidup bersama masyarakat, bahkan menjadi rujukan masyarakat dalam mengatasi berbagai permasalahan ekonomi, keluarga, pendidikan, sosial, dan budaya. “Seringkali pesantren lebih dipercaya dan lebih mudah dijangkau oleh masyarakat dibandingkan instansi-instansi resmi,” turur Shohibul kepada penulis. Pesantren berbasis masyarakat yang sedang diterapkan di Desa Cibuntu dengan diawali oleh program Desa Mengaji pada prinsipnya sama seperti itu. Model penyelenggaraannya bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat.” Artinya, kata Shohibul, pesantren masyarakat harus berakar dari masyarakat, berorientasi pada pengembangan masyarakat, dan untuk menjawab kebutuhan masyakarat. Karena itu, pesantren masyarakat kelak harus memiliki otonomi dan kemandirian dalam hal penera-
74 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah pan kewenangan mengatur ke mana dan bagaimana arah dan pengembangan pesantren, menyusun bangunan kurikulum pendidikan dan proses belajar mengajar, mengelola dan menetapkan struktur kepengurusan, tenaga pengajar, pembimbing, dan pengasuh pesantren, serta pemenuhan kebutuhan dana dengan memanfaatkan potensi internal maupun bekerja sama dengan lembaga ZIS setempat. Konsep pesantren masyarakat memungkinkan penerapan pendidikan yang utuh dan komprehensif. Sebab, ia mengintegrasikan banyak aspek. Mulai dari kurikulum antara ilmu-ilmu kauniyah seperti sains, bahasa, pertanian, atau perdagangan; ilmu-ilmu syar’iyyah seperti al-Qur’an, Hadits, atau Fiqih; hingga metode dan proses pendidikannya. Shohibul menilai, Desa Cibuntu sangat berpotensi untuk menjadi pesantren masyarakat. Sebab, desa ini memiliki banyak keunggulan. Kondisi alamnya yang indah dan subur, para pemimpinnya yang disegani, kehidupan sosial masyarakat yang baik, ramah, dan menjaga kebersamaan, penataan infrastruktur dan tatakelola desa yang bagus, potensi ekonomi yang baik, mulai dari pertanian, peternakan, perikanan, dan pariwisata. Harapannya kelak masyarakat Cibuntu akan tumbuh menjadi masyarakat yang mencintai al-Qur’an, bersedia mengamalkan dan mengajarkannya, mau
75 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah memberikan manfaat dan kebahagiaan untuk dirinya, orang lain, serta alam semesta. Pada akhirnya, kata Shohibul, akan terbangun modal sosial yang kokoh untuk melahirkan kemandirian dan kedaulatan desa-desa melalui pendidikan, dakwah. dan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Memang, jalan yang harus dilalui hingga sampai pada tahap tersebut bukanlah jalan yang mudah. Sebab fakta di lapangan terkadang tak sesederhana teori di atas kertas. Namun, Shohibul menyadari bahwa jalan kebaikan tak akan pernah mudah. Karena itu perlu kesabaran, semangat untuk istiqomah, dan doa yang selalu dimunajatkan. Semoga Allah Ta’ala meridhoi segala ikhtiar para dai ini. Aamiin. **** Anak-anak warga Cibuntu sedang belajar mengaji. Setiap sore mereka mengaji di TPA.
Menanam Asa di Manokwari Selatan 76 S ebuah Surat Keputusan (SK) telah diterbitkan oleh Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Hidayatullah Papua Barat pada penghujung 2020. Maghfuri, dai muda asal Demak, Jawa Tengah, kelahiran Desember 1985, diputuskan untuk pindah dari Kabupaten Manokwari, ibukota Provinsi Papua Barat, ke Manokwari Selatan (Mansel) guna membuka Pondok Tahfidz Hidayatullah di sebuah lahan wakaf seluas 3 hektar. Bukan sekali ini saja Maghfuri mendapat rotasi tugas. Sebelumnya beberapa kali ia dirotasi, mulai dari Maghfuri
77 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Sorong, Manokwari, hingga ke Distrik Wasior di Teluk Wondama, Papua Barat, yang biasa dikenal dengan “Serambi Israel”. Tantangan dakwah di daerah-daerah tersebut jelas tidak mudah. Terakhir, sebelum rotasi ke Mansel, Magfuri bertugas di Pondok Hidayatullah Monokwari selama hampir 8 tahun. Meskipun SK tugas ke Mansel terbit akhir 2020, Maghfuri baru benar-benar pindah ke kabupaten tersebut awal 2021. Tak tanggung-tanggung, ia boyong semua keluarganya, termasuk tiga anaknya yang masih kecil-kecil; Anak pertama duduk di kelas 2 madrasah ibtidaiyah (MI/setingkat SD), anak kedua masih TK, sedang anak ketiga berusia 7 bulan. MereLahan di mana cikal bakal berdirinya Pesantren Hidayatullah Manokwari Selatan.
78 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ka tinggal di sebuah rumah kontrakan sederhana di dekat lahan wakaf. Lahan wakaf tersebut terletak di Kelurahan Margo Rukun, Kecamatan Oransbari, Kabupaten Manokwari Selatan. Lokasi ini, jika ditempuh dari Kabupaten Monokwari, kira-kira 2 hingga 3 jam perjalanan mengendarai mobil, atau sekitar 110 kilometer. Posisi lahan wakaf masih masuk sekitar 500 meter dari jalan utama. Manokwari Selatan sendiri adalah kabupaten baru di Provinsi Papua Barat, hasil pemekaran dari Kabupaten Manokwari pada 17 November 2012. Di kabupaten baru ini, jumlah Muslim masih minoritas. Berdasarkan data Badan Pusat Statisktik tahun 2019, penganut Islam di Manokwari Selatan sebanyak 15,28%, sementara Kristen sebesar 84,18%, disusul Katolik 0,47%, Hindu 0,01%, dan penganut Kepercayaan lainnya sebesar 0,06%. Kabupaten Monokwari Selatan berdekatan dengan Kabupaten Teluk Bintuni. Bila dilihat di atlas, posisi Kabupaten Manokwari Selatan kira-kira berada di sebelah timur “kepala burung” Pulau Papua, tepatnya sedikit di atas “leher burung”. Adapun Kabupaten Teluk Bintuni berada di sebelah selatan Kabupaten Manokwari Selatan. Waktu tempuh antara Monokwari Selatan ke Teluk Bintuni kira-kira empat jam perjalanan. Ketika pertama tiba di Manokwari Selatan, cerita Maghfuri saat ditemui penulis di Pondok Hidayatullah
79 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Manokwari Selatan akhir Agustus 2022, lahan wakaf masih berupa semak belukar yang mulai meninggi. Tak ada sama sekali bangunan di atasnya. Jalanan pun masih berupa tanah berkerikil. Jika malam, sudah pasti gelap gulita karena listrik belum sampai ke lokasi tersebut. Inilah tugas pertama Maghfuri; membersihkan lahan tersebut agar bisa ditanami sayuran dan didirikan rumah sederhana di atasnya. Awalnya, ia lakukan tugas itu sendirian. Tak berapa lama kemudian, datang Ust Sulaiman Anwar, dai Hidayatullah asal Lombok, Nusa Tenggara Barat, yang ikut ditugaskan ke Manokwari Selatan oleh DPW Hidayatullah Papua Barat. Sebelumnya, Sulaiman bertugas di Kabupaten Monokwari. Hari-hari Magfuri dan Sulaiman mulai dihabiskan dengan membabat semak belukar bersama isteri dan anak-anaknya. Mereka bekerja dari pagi sampai sore, bahkan tak jarang hingga malam. Ini mereka lakukan selama tiga bulan pertama. Setelah sebagian lahan selesai dibersihkan, mereka mulai medirikan anjungan sederhana di atasnya. Anjungan itu hanya berupa empat tiang kayu yang bagian atasnya disusun seng sebagai atap, dan bagian alasnya terbuat dari papan. Di atas anjungan itulah Maghfuri dan keluarga beristirahat bila sudah lelah bekerja. Di sana juga mereka menunaikan shalat berjamaah ketika tiba waktu
80 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah shalat. “Itulah bangunan pertama yang berdiri di atas lahan ini,” cerita Maghfuri. Posisi anjungan tersebut, cerita Maghfuri lagi, persis berada di tempat penulis mengobrol saat itu, yakni di dekat Musholla Baitul Arsyad. Tentu saja anjungan tersebut kini sudah tidak ada, berganti dengan kamar tamu. Setelah semak belukar selesai dibabat habis, Maghfuri mulai membangun rumah sederhana untuk Maghfuri di tengah Pesantren Hidayatullah Manokwari Selatan yang ia rintis pendiriannya.
81 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah tempat tinggal ia dan keluarga. Begitu juga Sulaiman. Mereka ingin segera pindah dari rumah kontrakan dan tinggal di atas lahan wakaf untuk memudahkan ikhtiar membangun pesantren tahfidz. Mulanya, rumah sederhana yang mereka bangun di atas tanah wakaf belum layak untuk dihuni. Atapnya terbuat dari terpal dan dindingnya dari papan yang disusun seadanya. Bila hujan, air akan masuk dari sana sini. Lalu secara bertahap, mereka mulai memperbaiki rumah mereka. Atapnya diganti dengan seng, lantai mulai disemen, dan dinding rumah dibuat lebih rapat. Setidaknya, Maghfuri, Sulaiman, dan keluarganya tak lagi basah bila hujan dan bisa berteduh bila panas terik. Selama menghuni rumah sederhana tersebut, cerita Maghfuri, binatang berbisa kerap menyambangi mereka. “Rasa-rasanya semua jenis ular sudah pernah masuk ke rumah saya,” kata Maghfuri. Namun itu semua tak menyurutkan langkah Maghfuri untuk segera mendirikan pesantren tahfidz di atas lahan wakaf tersebut. “Mudah-mudahan dari pesantren tahfidz ini akan lahir dai-dai muda yang siap dikirim ke berbagai wilayah di Papua Barat untuk berdakwah,” tutur Maghfuri menceritakan harapannya. Setelah rumah huni sudah berdiri --meskipun
82 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah masih sangat sederhana-- Maghfuri mulai berpikir bagaimana caranya mendirikan bangunan pesantren di atas tanah wakaf tersebut. Ia ingat dengan beberapa kenalannya di Kabupaten Monokwari yang dulu pernah ia rukyah. Sebelumnya, selama 8 tahun tinggal di Monokwari, Maghfuri sempat menekuni pengobatan ruqyah. Ia bahkan membentuk komunitas ruqyah. Ia sering diminta bantuan oleh masyarakat Monokwari untuk mengusir mahluk halus dari rumah mereka atau dari dalam diri mereka. Pikir Maghfuri, tak ada salahnya jika sekarang giliran Maghfuri yang meminta bantuan kepada mereka. Siapa tahu lewat mereka Allah Ta’ala memuluskan ikhtiar Maghfuri untuk segera membangun pesantren tahfidz. Sejak itu, Maghfuri giat menghubungi mereka satu per satu. Rupanya, Allah Ta’ala meridhoi ikhtiar ini. Dana mulai terkumpul. Dari dana tersebut, Maghfuri bisa mendirikan asrama sederhana untuk tempat tinggal calon santrinya nanti. Pertolongan Allah Ta’ala tak berhenti sampai di situ. Seorang donatur menawarkan kepada Maghfuri untuk mendirikan sebuah masjid di lahan wakaf. Namun, Magfuri punya rencana lain. Ia menjelaskan kepada donatur tersebut bahwa pendirian masjid, untuk saat ini, belum mendesak.