233 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Untuk memperbanyak pemirsa, Mansur mulai melakukan gerakan share link. Sasaran pertama adalah para wali murid di sekolah Hidayatullah Yogyakarta. “Alhamdulillah pengikut program ini terus bertambah. Lima bulan pertama, jumlah pemirsa sudah lebih dari 100 orang setiap kali kami live,” jelas Mansur. Berkah Lampu Mati Suatu hari, cerita Mansur, saat ia sedang live sehabis subuh, tiba-tiba listrik mati. Acara praktis terhenti. Setelah menunggu hingga satu jam, listrik belum juga menyala. Seorang jamaah menelepon Mansur dan mengusulkan agar ia menyampaikan kepada jamaah bahwa program Ngaos butuh jenset (mesin listrik) untuk mengatasi jika terjadi listri mati lagi. Jika ada jenset, program tak akan berhenti walaupun listrik mati. “Saya pikir usulan ini bagus juga dan kenapa tidak dilaksanakan?” jelas Mansur. Ternyata, tak kurang dari tiga hari setelah pengumuman disampaikan, sudah terkumpul sejumlah uang yang cukup untuk membeli jenset. Saat tayangan selanjutnya, Mansur mengumumkan kabar gembira ini lengkap dengan video pembelian jensetnya. Peristiwa ini membuahkan gagasan untuk pe-
234 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ngadaan peralatan siaran lewat donasi serupa. Mulailah Mansur menggalang dana untuk pengadaan kamera, layar televisi, dan PC. “Alhamdulillah semua bisa kami beli atas bantuan jamaah,” jelas Mansur. Setelah peralatan memadai Mansur mulai memberanikan diri tampil di depan kamera. Bila selama ini wajahnya tak pernah terlihat, maka kini pemirsa bisa menyaksikan sosok sang guru ngaji. Apalagi beberapa pemirsa telah lama menyampaikan rasa penasaran ingin melihat wajah sang guru. Selain dirinya, Mansur juga mengikutkan Azzam untuk menemaninya siaran setelah sebelumnya ditemani oleh Gaza, putra Mansur. Gaza tak bisa lagi menemani ayahnya karena mulai sibuk sekolah. Azam juga mengaku grogi ketika pertama kali tampil di depan kamera. “Saya gemetar,” jelas Azzam kepada penulis. Namun, Azzam mengaku senang diajak Mansur mengisi program Ngaos. Selama sepekan, Azzam tiga kali menemani Mansur, yakni hari Senin, Rabu, dan Sabtu. Ia diantar ayahnya sehabis subuh. Jarak rumah Azzam ke studio kira-kira 10 km. Setelah selesai siaran, Azzam dijemput oleh ayahnya untuk diantar ke sekolah karena pukul 07.00 sudah harus masuk kelas. Azzam adalah santri kelas tahfidz di SD integral Hidayatullah Yogyakarta. Di sekolah itu ia ditarget ha-
235 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah fal 10 juz per tahun. “Jika sudah besar, saya ingin jadi ilmuwan,” kata Azzam dengan tersipu-sipu ketika ditanya cita-citanya kelak. Menurut Mansur, banyak pemirsa yang penasaran dengan sosok Azzam. Mereka datang ke studio hanya untuk bertemu hafidz cilik itu dan mengajak berfoto bersama. “Kamu harus tetap rendah hati ya nak,” kata Mansur kepada Azzam saat menemani penulis ngobrol dengannya. Azzam tersenyum dan mengangguk. Peralatan yang digunakan Mansur. Peralatan ini kebanyakan disumbang oleh para pemirsa Ngaos.
236 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Sebetulnya, aku Mansur, dirinya tak punya keinginan sama sekali untuk menjadi tenar, apalagi menjadi selebritis youtube. Di awal siaran, Mansur tak pernah tampil di program TTM. Yang tampil justru ustadz-ustadz lain yang biasa berceramah di pesantren Hidayatullah Yogyakarta. Begitu juga ketika ia memulai program Ngaos, Mansur tak mau memperlihatkan mukanya. Namun, karena tuntutan keadaan, ia kini terpaksa tampil di depan layar agar para pemirsanya lebih tertarik mengaji Qur’an bersamanya. Saat ini, kata Mansur, alhamdulillah jumlah jamaah yang berkontribusi semakin banyak. Setiap pekan, ada sekitar 15 orang yang berdonasi. Biasanya mereka mengirimkan donasinya setiap Jumat. Ada pula yang menyumbang setiap bulan, bahkan setiap hari. Jumlahnya bervariasi. Ada yang Rp 100 ribu, ada juga yang 250 ribu. Uang yang terkumpul ini, jelas Mansur, cukup untuk membiayai operasional program Ngaos. Jika ada lebihnya, ia meminta izin kepada pemirsa agar uang tersebut digunakan untuk membiayai operasional pesantren tahfidz Qur’an Hidayatullah di Sleman, Yogyakarta. Bahkan, lewat bantuan jamaah juga, Mansur bisa membangun gedung di mana studionya kini berada. Di gedung itu, ia membuka kelas mengaji secara off-
237 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah line. Mansur memang tidak berdakwah di wilayah pedalaman sebagaimana dai-dai muda Hidayatullah lainnya. Tantangan yang ia hadapi juga berbeda dengan para dai yang berdakwah di tempat-tempat terpencil. Namun, kiprahnya berdakwah di “belantara maya” membuat banyak masyarakat perkotaan dekat dengan al-Qur’an. Mereka juga berhak untuk diantar menemukan hidayah-Nya. ***
Kisah Dakwah Sang Penombak Ikan 238 Muhammad Syafruddin J am sudah menunjuk pukul 01.00 tengah malam. Listrik genset di pesisir Pulau Selangan, Bontang, Kalimantan Timur, sudah sejam lalu dimatikan. Gelap menyelimuti rumah-rumah bertiang tinggi yang berdiri berjejer di pinggir laut pulau tersebut. Kampung pinggir laut Pulau Selangan itu lebih mirip “desa di atas laut”. Semua bangunan terbuat dari papan dan kayu bertiang tinggi. Antara satu rumah dengan rumah-rumah yang lain dihubungkan oleh jembatan panjang tak berpagar. Di bawah jem-
239 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah batan dan rumah-rumah tersebut terdapat laut yang tenang. Ikan banyak sekali berenang di dalamnya. Malam itu, sesosok tubuh telah berdiri di pinggir jembatan. Pakaiannya gelap dan ketat. Di kepalanya terpasang kacamata selam dan lampu sorot. Sedang di tangannya tergenggam tombak. Matanya menyapu tajam ke arah lautan, seperti hendak menembus ke dalamnya. Perlahan, sosok tersebut turun dari jembatan, lalu menyelam di dalam laut. Setelah hampir dua menit, ia muncul lagi. Begitulah seterusnya hingga jam hampir menunjuk pukul 03.00. Ketika ia naik kembali ke jembatan, di tangannya sudah ada beberapa jenis ikan kerapu besar. Orang-orang menyebutnya kerapu tikus dan kerapu macan. Jika dijual, harganya bisa mencapai Rp 400 ribu per kilogram. Ketika matahari sudah jelas terlihat di ufuk timur pada pertengahan September 2023, kerapu-kerapu tersebut dibakar, dan disantap bersama-sama penulis . Lalu siapakah sang penombak ikan tersebut? Pernah Lupa Menombak Namanya Muhammad Syafruddin. Ia lahir di Lombok, Nusa Tenggara Barat, tahun 1987. Ketika masih kecil, ia dan keluarganya pindah ke Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.
240 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Sejak kecil, Syafruddin kerap ikut sang kakak menombak ikan. Ia juga ikut menyelam bersama sang kakak. Waktu itu ia hanya sanggup menyelam sampai kedalaman 5 meter. Meski demikian, pada kedalaman tersebut, ia sudah banyak mendapat ikan. Menombak ikan, kata Syafruddin kepada penulis ketika kami berbincang-bincang di Gazebo Panti Asuhan Daarul Aitam, Hidayatullah Bontang, Kalimantan Timur, pada pertengahan September 2023, perlu kemahiran khusus. Belum tentu saat menyelam seseorang akan bertemu ikan. Nah, kalau ia menyelam, lalu ikan datang Penulis bersama Syafruddin saat berlayar menuju Pulau Selangan, Bontang, untuk menombak ikan.
241 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah kepadanya, berarti teknik menyelamnya sudah bagus. Sebaliknya, bila seseorang menyelam, lalu ikan yang tadinya ada tiba-tiba kabur, berarti ada yang salah dengan teknik menyelamnya. Kalau teknik menyelam seseorang sudah bagus, jelas Syafruddin lagi, berarti ia sudah bisa memegang tombak. Tapi jika belum bagus, jangan dipaksakan memegang tombak. Sebab, akan membahayakan dirinya sendiri atau orang lain yang menyelam bersama dia. Tombak yang dipakai para penangkap ikan sebetulnya mirip dengan tombak yang biasa dipakai para pemburu hewan liar di hutan. Hanya saja, ukurannya lebih kecil. Tombak tersebut dipasangkan kepada senjata mirip senapan yang berpegas. Cara kerjanya mirip panah yang berpelatuk. Para penombak ikan, menurut Syafruddin, tak boleh gegabah saat menyelam dan memegang senjata. Bahkan, bila berpapasan dengan hiu sekalipun, seorang penyelam harus tetap tenang. Syafruddin sendiri pernah berpapasan dengan hiu. Ia segera mengambil posisi seperti orang berdiri, tak bergerak, dan senjata dibidikkan kearah hiu tersebut. Tahun 2005, Syafruddin bergabung dengan Hidayatullah di Luwuk, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Ketika itu ia belum lama selesai sekolah di madrasah aliyah (setingkat SMA). Kemudian, ia di-
242 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ajak oleh temannya merantau ke Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Kalimantan Timur. “Awalnya saya ingin merantau ke Bali, memperdalam Bahasa Inggris. Tapi, setelah melihat suasana (Pesantren Hidayatullah) Gunung Tembak, saya tertarik. Saya suka melihat banyak sekali santri berpakaian putih-putih pergi ke masjid,” jelas Syafruddin. Syafruddin menuntut ilmu di Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) yang berada di kawasan Pesantren Hidayatullah Balikpapan. Ia selesai kuliah tahun 2009 dan langsung menerima SK (Surat Keputusan) penugasan di Sangata, ibu kota kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur. Kota yang kaya dengan batu bara ini terletak di sebelah utara Kota Bontang. Butuh waktu sekitar 1,5 jam menuju Sangatta jika ditempuh dari Bontang. Setelah bersiap-siap, berangkatlah Syafruddin ke tempat tugas yang baru. Sesampai di Sangata, belum sempat pakaian dikeluarkan dari tas, tiba-tiba datang SMS dari DPW Hidayatullah Kaltim, mengabarkan telah terbit SK baru untuk Syafruddin. Ia ditarik ke Kota Bontang. “Saya di Sangata tidak lebih dari satu setengah jam saja. Biasanya dai Hidayatullah kalau ditugaskan di satu daerah bisa berbulan-bulan, bahkan bertahuntahun. Saya cuma satu setengah jam. Saya pikir, ini penugasan tersingkat dalam sejarah Hidayatullah,”
243 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah kata Syafruddin sambil tertawa. Tapi Syafruddin menurut saja tanpa banyak bertanya mengapa ia tak jadi bertugas di Sangata. “Saya merasa di sinilah hebatnya Hidayatullah, keputusan bisa berubah dengan cepat,” kata Syafruddin lagi sambil tetap tertawa. Di Bontang, Syafruddin menerima tugas sebagai pengasuh santri-santri SMP. Setelah itu ia ditugaskan mengajar di Madrasah Ibtidaiyah. “Saya mengajar selama 3 tahun di pesantren (Hidayatullah Bontang),” jelas Syafruddin. Yang menarik, selama bergabung dengan Hidayatullah, Syafruddin tak pernah lagi menombak ikan, hingga suatu ketika, Syafruddin diajak temannya berenang di sekitar Pelabuhan Tanjung Laut, di pesisir timur Kota Bontang. Ketika itu, ia baru setahun bertugas di kota itu dan tak lama lagi akan menikah. Saat menyelam, Syafruddin melihat banyak sekali ikan. Ingatannya kembali ke masa lalu di mana ia sering menombak ikan bersama sang kakak. Saat itulah keinginannya untuk menombak ikan kembali muncul. “Saya segera membeli kaca mata renang yang agak bagus, membuat tombak dan pegasnya, lalu mulai menombak ikan,” cerita Syafruddin. Sejak itu, hampir setiap hari ia menyelam. “Sampai-sampai kulit saya jadi hitam, padahal dua minggu lagi mau menikah,” kata Syafruddin sambil ter-
244 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah tawa. Saking banyaknya ia memperoleh ikan dari hasil menombak, orang-orang menjulukinya “manusia ikan.” Bahkan, bila di kampungnya dulu Syafrudin bisa menyelam sampai kedalaman 5 meter, setelah di Bontang, ia bisa menyelam sampai kedalaman 15 meter. Hasil tangkapannya pun banyak. “Bisa berkarung-karung dalam sehari,” jelas Syafruddin. Menyulap Rawa-rawa Setelah lebih dari 3 tahun mengajar di Pesantren Hidayatullah Bontang, terbit SK baru dari Dewan Pengurus Daerah (DPD) Hidayatullah Bontang, Kalimantan Timur, untuk Syafruddin. Isinya, ia ditugaskan mengelola tanah wakaf seluas 30x70 meter persegi untuk dibangun masjid dan panti asuhan. Tempat tugas baru ini sebetulnya tidak terlalu jauh dari Pesantren Hidayatullah di mana Syafruddin tinggal dan mengajar. Tepatnya di Kelurahan Tanjung Laut Indah. Jika ditempuh dengan kendaraan bermotor, hanya 15 menit saja. Namun, saat itu, tempat tersebut masih rawa-rawa. Sedikit sekali bangunan berdiri di sana. Binatang berbahaya seperti ular dan biawak masih sering dijumpai. “Belum pernah seumur hidup saya melihat biawak sebesar di sini. Besarnya seperti buaya,” kata Syafruddin.
245 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Selain itu, tempat tersebut terkenal angker. Pohon-pohon besar dan tumbuhan tinggi yang berdiri di antara rawa kian membuat daerah ini semakin menakutkan. “Tidak banyak yang berani lewat sini,” kata Syafruddin.. Pria murah senyum ini berkesimpulan tak mungkin membangun masjid dan pesantren di rawa-rawa seperti ini kecuali ditimbun terlebih dahulu. Tapi, bagaimana caranya? Ia tak memiliki apa-apa, sementara menimbun rawa-rawa ini setidaknya butuh 1.000 truk tanah. “Bisamillah, kerjakan saja dulu. Kalau sudah kerja maksimal, baru minta tolong kepada Allah. Pasti Allah akan bantu. Tidak mungkin Allah tidak bantu, karena yang mau kami bangun ini rumah-Nya,” kata Syafruddin. Ia mengingat kembali nasehat para dai senior Hidayatullah. Kata mereka, “Berbuatlah dulu, baru Allah akan beri pertolongan. Tunjukkan dulu kesungguhanmu. Kerja dulu, sampai kamu benar-benar tidak sanggup lagi.” Kisah ini mengingatkan kita kepada perjuangan pendiri Hidayatullah, Ustadz Abdullah Said, saat pertama kali membuka pesantren Hidayatullah di Gunung Tembak, Balikpapan, Kalimantan Timur sekitar tahun 1976. Saat itu wilayah yang akan dijadikan pesantren masih rawa dan hutan.
246 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Ustadz Abdullah Said berkata kepada para kader Hidayatullah yang membantu membersihkan lokasi tersebut, sebagaimana dikutip dari buku karya Ustadz Manshur Salbu berjudul Abdullah Said, “Tempat ini jangan dilihat sekarang yang masih hutan, semak belukar, dan penuh tunggul kayu ulin. Sepertinya tidak ada harapan dan tanda-tanda kehidupan. Tapi yakinlah beberapa tahun yang akan datang, tempat ini akan berubah menjadi tempat yang menarik dan ramai dikunjungi banyak orang. Dari sinilah kita akan bertolak untuk merambah ke seluruh Kalimantan Timur. Dan, Anda-andalah yang akan menggurat sejarah yang patut dicatat dengan tinta emas.” Itu pula yang dilakukan Syafruddin. Ia dan tiga kader muda Hidayatullah mulai menyabit tumbuhan liar yang ada di lahan tersebut dan menebang pohon-pohon yang ada di atasnya. Pagi-pagi mereka berangkat dari Pesantren Hidayatullah Bontang menuju lokasi rawa. Sore mereka baru pulang setelah seharian bekerja. Lama-lama, beberapa orang yang melintas di daerah tersebut dan memperhatikan apa yang dikerjakan anak-anak muda ini, bertanya apa yang hendak mereka bangun? Syafruddin menjawab, mereka hendak membangun masjid. Beberapa dari mereka yang bertanya ini tertarik untuk membantu. Mereka bertanya kembali apa
247 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah yang dibutuhkan Syafruddin. Mendengar ini tentu senang hati Syafruddin. Seketika ia menjelaskan bahwa ia kini butuh puing dan tanah untuk menimbun rawa tersebut. Rupanya, masyarakat yang bersimpati seperti ini tidak sekadar satu orang, tapi banyak. Ada yang menyumbang 100 truk, bahkan ada juga yang 500 truk. Alhamdulillah, enam bulan kemudian, proses penimbunan selesai. Membangun Masjid Setelah proses penimbunan selesai, Syafruddin melanjutkan proyek akhiratnya dengan membangun masjid di lahan tersebut. “Pokoknya kita habis-habisan, tidak boleh berhenti,” kata Syafruddin. Langkah awal, Syafruddin mencari tukang yang biayanya murah sekaligus mau mengajari mereka bagaimana caranya bertukang. Mengapa harus demikian? Alasan pertama, tentu karena dana yang tersedia sangat terbatas, bahkan tak ada sama sekali. Alasan kedua, perlahan-lahan mereka ingin menggantikan peran si tukang kalau nanti mereka sudah bisa bertukang. Dengan demikian, biaya bisa ditekan seminimal mungkin. Qadarallah ada santri Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak yang berasal dari Bontang dan ayahnya seorang tukang. Syafruddin segera mencari
248 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah di mana rumah orang tua santri tersebut dan mengutarakan keinginannya untuk belajar bertukang sekaligus membagunan masjid. Alhamdulillah, orang tua santri tersebut tak keberatan. “Kalau semua pekerjaan itu kita upahkan, mahal sekali. Tidak sanggup kita!” jelas Syfaruddin. Sejak itu Syafruddin mulai belajar bagaimana caranya menyemen, memaku, menyusun bata, menggergaji, dan menyambung kayu. Sembari itu, masyarakat yang ikut membantu pembangunan masjid dalam bentuk uang dan bahan bangunan terus berdatangan. Padahal, Syafruddin belum pernah mengiklankannya di media sosial. Syafruddin sendiri heran, dari mana mereka tahu kalau ia sedang membangun masjid. “Tiba-tiba ada yang SMS, tanya apa yang dibutuhkan. Setelah itu mereka kirim uang,” jelas Syafruddin. Yang lebih mengherankan, kebanyakan Syafruddin tak mengenal siapa yang membantunya. Mereka juga bukan hanya berasal dari Bontang, ada juga yang berasal dari Jakarta dan tanah Jawa. Bahkan, mereka juga tak memberi konfirmasi kalau sudah mengirimkan bantuan. “Tiba-tiba uang di rekening sudah bertambah,” cerita Syafruddin. Ia menduga, si pewakaf tanah yang kerap menyebarkan informasi tentang pembangunan masjid ini. Sebab, Syafruddin tak pernah lalai melaporkan pro-
249 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah gres pembangunan masjid kepadanya. Ini membuat ia senang dan ikut membantu mencarikan dana. Semua kemudahan yang ia rasakan ini mengingatkan Syafruddin kepada cerita para asatidz senior di Pesantren Hidayatullah Gunung Tembak, Kalimantan Timur. “Saat nyantri dulu, kami sering mendengar kisah-kisah ajaib pertolongan Allah yang tidak disangka-sangka kepada dai-dai Hidayatullah. Dulu saya sempat tidak percaya. Eh ternyata sekarang saya alami sendiri,” cerita laki-laki yang kerap disapa “Pak Imam” oleh santrinya itu. Syafruddin sering memompakan semangat kepada ketiga rekannya dan beberapa kader Hidayatullah yang ikut membangun masjid tersebut. “Yakinlah kalau masjid dan pesantren di sini akan berdiri. Mana mungkin Allah tidak membantu kita mendirikan rumah-Nya. Yang penting luruskan niat. Kalau niat sudah lurus, insya Allah akan ada yang bantu,” begitu kata Syafruddin. Ia juga mengajak teman-temannya untuk mau berkorban. “Jangan cuma bisa meminta dana kepada orang lain. Kita juga harus mau berkorban. Sebab, ini tabungan masa depan kita,” tutur Syafruddin. Karena itulah, ketika dana sudah habis, sementara pembangunan harus terus berjalan, ada salah seorang rekan Syafruddin yang menjual motornya. Syafruddin mengakui, tak selamanya kemuda-
250 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah han itu datang. Adakalanya, mereka benar-benar dalam keadaan kehabisan. Pernah suatu ketika, cerita Syafruddin, mereka kehabisan paku. Untuk mengatasinya, Syafruddin mengajak teman-temannya menyisir kembali paku-paku yang terbuang di lahan wakaf tersebut. Paku-paku itu mereka pungut. Kalau ada yang bengkok, mereka luruskan. “Alhamdulillah kami dapat dua ember,” kenang Syafruddin. Belum sempat semua paku yang dipungut diluruskan, tiba-tiba datang SMS dari orang yang tak dikenal. “Apa yang dibutuhkan, ustadz,” bunyi pesan tersebut. Syafruddin segera menceritakan semua kebutuhannya. Lalu, tanpa disangka, orang tersebut mentransfer uang sebesar Rp 13 juta. Begitu pula saat pembangunan atap masjid. Ada yang menelepon Syafruddin dan menyatakan niatnya membantu biaya pembangunan atap tersebut. Namun, belum sempat bantuan dari orang tersebut datang, tiba-tiba ada yang menelepon lagi, “Apa bisa atap masjid itu saya bangun sampai selesai dalam tiga hari ini, ustadz?” Syafruddin terkejut. Ia tak menyangka masyarakat berebut untuk membangun atap masjid. Dalam waktu singkat, atap masjid selesai dipasang. “Bila diuangkan bisa Rp 80 juta,” kata Syafruddin. Tentu saja ini semua berkat pertolongan Allah Ta’ala yang telah melunakkan hati mereka.
251 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Panti Asuhan Seiring berjalannya waktu, ketika masjid belum benar-benar jadi, Syafruddin berniat membangun rumah sederhana di lokasi tanah wakaf. Tujuannya, agar ia dan teman-temannya tak perlu lagi balik ke Pesantren Hidayatullah Bontang tempat mereka tinggal selama ini. Jika mereka tinggal di lokasi, pikir Syafruddin, tentu akan lebih efektif. Mereka bisa mulai bekerja setelah shalat subuh, bahkan bisa bekerja pada malam hari. Karena itu, sembari menyelesaikan pembangunan masjid, mereka juga membangun dua petak rumah sederhana untuk tempat tinggal Syafruddin dan teman-temannya. Setelah dua petak rumah tersebut selesai, Syafruddin bersama 3 temannya pindah. Begitu pula ketika pembangunan masjid selesai dan shalat fardhu berjamaah sudah rutin dilaksanakan setiap datang waktu shalat, Syafrudin kembali menambah bangunan di sekitar masjid tersebut. Ada asrama tempat para santri menginap, dan aula tempat para santri belajar. Inilah cikal bakal berdirinya Panti Asuhan Daarul Aitam yang memang menjadi cita-cita Syafruddin. Ia ingin mewadahi anak-anak yatim dan dhuafa agar tetap bisa sekolah tanpa dipungut biaya, memiliki keterampilan, dan kelak bisa hidup mandiri. Kebutuhan sehari-hari para santri ini, seperti makanan,
252 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah pakaian, tempat tidur, dan lemari, akan dipenuhi dari usaha bisnis dan donasi. Alhamdulillah, cita-citra Syafruddin kini telah terwujud. Sebanyak 24 anak dhuafa telah menetap di panti asuhan tersebut. Mereka berasal dari beragam wilayah. Ada dari Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan, ada juga yang berasal dari Tanah Jawa. Mereka bersekolah di jenjang yang berbeda, mulai dari SD, SMP, SMA, bahkan ada yang kuliah. Soal ijazah, kata Syafruddin, mereka akan diikutkan ujian paket. Pendidikan para santri ini dikonsentrasikan pada pelajaran tahfidz. Selain itu, mereka juga diajarkan Bahasa Inggris dan kewirausahaan. Salah satu usaha panti yang kini sudah ada adalah cuci karpet. “Bagaimana pun kami tak ingin terus menerus tangan berada di bawah,” kata Syafruddin. Selain itu, Syafruddin juga rutin menggelar pengajian untuk warga di sekitar panti asuhan. Mulai dari taklim ibu-ibu, sampai belajar membaca Qur’an bagi anak-anak. Panti Asuhan Daarul Aitam kini kian berkembang. Dua gazebo yang nyaman berdiri di tengah-tegah panti, dikelilingi oleh kebun buah dan sayuran. Di atas gazebo inilah penulis berbicang-bincang dengan Syafruddin sembari menyantap pisang goreng hangat.
253 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Masjid al-Huffadz telah diberi AC, sehingga jamaah betah berlama-lama di dalamnya. Sedang di depan panti telah berdiri gerbang besar bertuliskan Daarul Aitam, yang artinya “rumah para dhuafa.” Sesekali, Syafrudin masih menombak ikan di Pelabuhan Tanjung Laut untuk makan keluarganya dan para santrinya. Beberapa kali ia menombak ikan di Pulau Selangan dan Pulau Gusung jika sedang tugas dakwah di kedua pulau tersebut. Beginilah kisah dakwah sang penombak ikan. Dakwah ternyata tak menghalangi hobinya menombak ikan. Bahkan sebaliknya, hobi bisa mendukung dakwahnya. *** Syafruddin tengah mengaji di masjid Panti Asuhan Daarul Aitam, Bontang
Menebar Cahaya Islam di Hulu Sungai Mahakam 254 Ahad pagi di pinggir Sungai Mahakam pada pertengahan September 2023. Hujan yang turun deras sejak pukul 04.00 dini hari kini sudah reda. Pelabuhan kecil di Kampung Tering, Kutai Barat, Kalimantan Timur, masih basah. Genangan air masih terlihat di sana-sini. Pelabuhan Tering pagi ini agak ramai. Beberapa mobil terparkir di sebuah lapangan di pinggir sungai. Para juru mudi perahu dan anak buahnya sibuk
255 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah manawarkan jasa kepada calon penumpang, berharap ada yang mau naik ke perahunya. Inilah Mahakam, sungai terbesar dan terpanjang kedua di Indonesia setelah Kapuas. Bila diukur dari hulu hingga hilir, panjangnya 920 kilometer. Bandingkan dengan panjang Pulau Jawa yang mencapai 1000 km. Hampir sama! Saking panjangnya, sekitar 41% dari luas wilayah Provinsi Kalimantan Timur, dilalui oleh sungai ini, membentang dari hulu di Mahakam Ulu hingga ke hilir di Samarinda, ibukota Kalimantan Timur. Lebar sungai ini antara 300 sampai 500 meter. Konon, di sungai ini ada banyak spesies ikan langka. Salah satunya Pesut Mahakam (Orcaella brevirostris) Sungai Mahakam, terpanjang di Kalimantan Timur.
256 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah yang dijadikan maskot Kalimantan Timur. Bentuknya seperti ikan lumba-lumba, namun hidupnya di sungai. Tapi, tentu bukan karena pesut, penulis pagi ini mengarungi Sungai Mahakam. Penulis ingin menemui seorang dai muda yang berdakwah di hulu sungai yang panjang ini. Namanya Ustad Muhammad Taufik. Taufik tinggal di Mahakam Ulu, tepatnya di Kampung Ujoh Bilang, Kecamatan Long Bagun. Untuk mencapai daerah ini, penulis ditemani tim Pos Dai Hidayatullah, harus menyusuri Sungai Mahakam selama 5 jam menggunakan perahu boat bermesin satu. Kami memulai perjalanan dari Pelabuhan Tering, Kutai Barat, pukul 10.00, bergerak melawan arus Sungai Mahakam yang deras. Terkadang perahu yang kami tumpangi berjalan zig-zag untuk menghindari kayu-kayu besar yang hanyut dari hulu sungai. Sebenarnya, untuk mencapai Mahakam Ulu, kita bisa naik kapal agak besar dari Samarinda. Hanya aja, lamanya tiga hari dua malam. Kok bisa selama itu? Sebab, di sepanjang pinggir Sungai Mahakam ada banyak sekali pelabuhan kecil. Kapal akan singgah di pelabuhan-pelabuhan kecil itu manakala ada penumpang yang mau turun, atau calon penumpang yang berdiri menunggu kapal lewat di pelabuhan tersebut.
257 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Belum lagi jalannya kapal yang sangat lambat. Mungkin karena bobot kapal yang lumayan berat, sementara mesin tak cukup kuat untuk melawan arus Mahakam yang lumayan deras. Karena tidak mau menunggu waktu selama itu maka kami putuskan menempuh jalan darat dari Samarinda menuju Kutai Barat. Lumayan menghemat waktu. Kami berangkat dari pukul 04.00 dini hari, dan tiba di Kecamatan Barong Tongkok, Kutai Barat, pukul 16.00. Perjalanan ke Mahulu tak bisa kami lanjutkan karena perahu motor yang bisa kami tumpangi hanya ada pada pagi hingga siang hari. Karena itu, kami bermalam di Kutai Barat, dan baru keesokan harinya menyusuri Sungai Mahakam. Bersahabat dalam Perbedaan Ustadz Muhammad Taufik sudah menanti kami di Pelabuyan Ujoh Bilang, Kecamatan Long Bagun, Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu), ketika perahu yang membawa kami tiba di pelabuhan kecil itu. Ujoh Bilang adalah kampung kecil meskipun ia telah “didaulat” sebagai ibukota kabupaten. Rumah-rumah berdiri agak ramai di dekat pelabuhan. Namun, agak ke tengah, sudah mulai renggang. Kebanyakam rumah-rumah tersebut bertiang tinggi. Jalan utama agak lebar dan beraspal. Namun,
258 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah jalanan di beberapa perkampungan yang ramai belum seberapa lebar. Di beberapa bagian masih kerap kita jumpai jembatan kayu. Mahulu sebetulnya pemekaran dari Kabupaten Kutai Barat pada tahun 2012. Luasnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Mahulu, 15.315,00 km², kira-kira tiga kali luas Pulau Bali. Jumlah penduduk Kabupaten Mahulu hanya 35.010 jiwa dengan sebaran 2 jiwa per km persegi. Awalnya, Kabupaten Mahulu hanya terdiri dari dua kecamatan saja, yaitu Long Iram dan Long Pahangai. Setelah pemekaran, berkembang menjadi 5 kecamatan, yaitu Long Hubung, Laham, Long Bagun, Long Pahangai, dan Long Apari. Kecamatan Long Apari berada di paling ujung, berdekatan dengan Serawak, Malaysia. Bila hendak ke sana, cerita Taufik, perlu naik long boat (perahu motor kecil yang muat hanya beberapa orang saja) sekitar 6 jam menyusuri Sungai Mahakam dari Kampung Ujoh Bilang. Dari lima kecamatan tadi, jumlah penduduk terbanyak berada di Long Bagun, di mana Taufik berada. Sedangkan kecamatan dengan jumlah penduduk paling sedikit berada di Laham. Menurut Ketua Komisi Kerukunan Antar Umat Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Mahulu, Muhammad Arifin, saat berbincang dengan
259 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah penulis sehabis magrib di sebuah warung di dekat Masjid al-Yasin di Long Bagun Ulu pada pertengahan September 2023, jumlah pemeluk Islam di Mahulu tidak banyak. Hanya 22 persen dari total penduduk Mahulu. Kebanyakan masyarakat Mahulu memeluk Katholik. Jumlahnya mencapai 60 persen. Jika ditambah dengan penganut Protestan, jumlahnya menjadi 76 persen. Sisanya memeluk agama lain seperti Hindu, Budha, dan aliran kepercayaan. Meskipun masyarakat Mahulu memeluk agama yang berbeda-beda, jelas Arifin lagi, namun mereka saling menghormati. Masjid-masjid di Mahulu tidak pernah dilarang menggunakan pengeras suara saat azan. Begitu pula perayaan-perayaan hari besar Islam seperti Maulid Nabi, tak pernah dipermasalahkan oleh pemeluk agama lain. Selain itu, mayoritas masyarakat Mahulu berasal dari Suku Dayak. Suku ini memiliki beragam sub suku, seperti Dayak Busang, Kenyah, Kayan, Bahau, Penihin, Aheng, Modang, Laham, dan Long Kelat. Dulu, cerita Arifin, masih banyak Suku Dayak primitif yang tinggal di Mahulu. Mereka menganut agama Kaharingan, agama asli suku dayak. Agama ini sudah lama sekali ada. Namun sekarang sudah jarang sekali kita jumpai di Mahulu. Bahkan, di antara masyarakat Dayak, ada yang
260 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah memeluk Islam. Misalnya, di Kampung Delang Kerohong, Kecamatan Long Pahangai. Di sana, cerita Arifin, masyarakat Dayak banyak yang memeluk Islam. Hal ini dibenarkan juga oleh Ketua MUI Kabupaten Mahulu, KH. Muhammad Yasin. “Saya sudah tinggal di Mahulu ini sejak puluhan tahun. Saat pertama masuk, sudah ada masyarakat Dayak yang memeluk Islam,” cerita Yasin saat ikut ngobrol bersama penulis dan Arifin di warung dekat masjid selepas shalat magrib. Yasin juga mengatakan bahwa masyarakat Dayak sangat menerima perbedaan. Mereka tidak pernah menolak pendatang. Bahkan, banyak di antara mereka yang menikah dengan pendatang, terutama perempuan Dayak. Jumlah Muslim terbanyak di Mahulu berada di Kampung Ujoh Bilang dan Long Bagun Ulu di Kecamatan Long Bagun. Di kedua kampung ini terdapat masjid yang cukup ramai didatangi masyarakat. Secara keseluruhan, menurut Arifin, ada 19 masjid plus satu mushola di Mahulu. Salah satu masjid yang ramai dikunjungi masyarakat adalah al-Yasin. Masjid ini berada di Kampung Long Bagun Ulu. Saat penulis menunaikan shalat magrib di sana pada Sabtu, 17 September 2023, hampir semua shaf terisi penuh, terutama oleh anak-anak. Setelah shalat magrib, anak-anak bela-
261 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah jar mengaji hingga waktu shalat isya. Namun, belum semua masjid di Mahulu bisa menyelenggarakan shalat berjamaah lima waktu. “Ini karena belum semua masjid memiliki imam,” jelas Yasin. Bahkan, ada beberapa masjid yang tidak menyelenggarakan shalat lima waktu berjamaah karena tidak ada imam yang memimpin. Contohnya di Kampung Long Gelawang, Kecamatan Laham. Kekurangan Dai Persoalan terbesar yang dihadapi masyarakat Muslim di Mahulu, menurut Yasin, adalah sulitnya mendapatkan ustadz yang mampu menjadi imam sekaligus membimbing masyarakat mengenal Islam secara baik. Beberapa ustad muda memang pernah datang ke Mahakam Ulu. Tapi, mereka tidak bertahan lama. Yasin menyadari, tantangan terberat tinggal di Mahulu ini adalah harga-harga kebutuhan pokok yang sangat mahal. Sepiring nasi dengan lauk seadaanya saja dihargai Rp 25 ribu. Bahkan, harga semangkuk bakso juga Rp 25 ribu. Begitu pula harga gas melon kecil, dihargai Rp 55 ribu. Belum lagi biaya transportasi. Perjalanan menggunakan perahu boat dari Kecamatan Tering, Kutai Barat, menuju Ujoh Bilang, Mahulu, harus mengeluarkan Rp 450 ribu per orang. Itu berarti, jika bolak-balik,
262 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah hampir Rp 1 juta. Ini semua membuat tidak betah orang dari luar Mahulu berdiam di wilayah hulu sungai Mahakam ini. Apalagi bila tujuan kedatangan mereka bukan untuk bisnis, seperti para dai. “Sedikit sekali yang bisa bertahan untuk tetap tinggal dan berdakwah di tempat ini,” jelas Yasin. Taufik membenarkan cerita Yasin. Keadaan Mahulu ketika ia baru datang, belum seramai sekarang. Jalanan utama yang kini beraspal, dulu hanya setapak. Perjalanan dari Kampung Long Melaham ke Ujoh Bilang yang kini bisa ditempuh hanya dalam waktu 10 menit, dulu 2 jam lebih. Selain itu, sinyal handphone sama sekali tidak ada di Mahulu. Listrik juga dibatasi selama 6 jam saja karena masih menggunakan jenset. Harga kebutuhan pokok sangat tinggi. Ini juga menyebabkan tak ada orang yang mau tinggal di Mahulu. “Jangankan para dai, pegawai negeri yang sudah jelas gaji dan tunjangannya saja, banyak yang kabur ketika ditugaskan di sini. Gak tahan!” cerita Taufik. Lalu bagaimana kisah Taufik, dai muda Hidayatullah asal Balikpapan, Kalimantan Timur, bisa sampai dan bertahan di Mahulu, bahkan dengan izin Allah Ta’ala mampu mendirikan pesantren? Mari kita lanjutkan kisah ini.
263 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Tak Punya Pilihan Kita awali kisah ini di penghujung tahun 2015. Ketika itu, Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Hidayatullah Kalimantan Timur (Kaltim) menggelar Rapat Kerja Wilayah (Rakerwil). Salah satu keputusan rapat tahunan tersebut adalah membuka cabang di Mahulu. Sebelumnya, pernah ada beberapa dai Hidayatullah yang berdakwah hingga ke Mahulu. Namun, Mahulu ketika itu belum menjadi kabupaten sendiri, sehingga pembukaan cabang belum menjadi prioritas. Ini berbeda setelah Mahulu ditetapkan menjadi kabupaten. DPW merasa perlu menugaskan seorang kader muda untuk merintis pendirian cabang di sana. Telunjuk kemudian mengarah kepada Taufik. “Antum diminta oleh pimpinan untuk merintis pendirian cabang Hidayatullah di Mahulu,” cerita Taufik menirukan kembali perkataan Ketua DPW Hidayatullah Kaltim ketika itu. Taufik tentu saja kaget. Terbayang olehnya sebuah tempat yang tak semua orang sanggup bertahan untuk tinggal di sana. Rupanya, Ketua DPW paham perasaan Taufik. Ia kemudian berusaha menghibur dengan berkata, “Antum tak perlu berbuat apa-apa di sana. Antum sekadar datang, kasih plang Hidayatullah, makan, dan tidur, itu sudah lebih dari cukup. Yang penting antum bertahan saja di sana.” Sebelumnya, Taufik pernah bertugas di Malinau,
264 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Kalimantan Timur, selama empat tahun, dan di Bulungan, juga Kalimantan Timur, selama satu tahun. Di kedua wilayah itu, Taufik sudah terbiasa berhubungan dengan masyarakat Dayak. Meskipun tugas kali ini tetap di Kalimantan Timur, dan yang dihadapi juga masyarakat Dayak, namun Mahulu terasa berbeda dengan Malinau dan Bulungan. Tantangan di tempat tugas yang baru ini begitu besar. Sementara Taufik tak diberi pilihan lain. Maka, bismillah, Taufik pun menerima perintah penugasan tersebut dengan lapang dada. Hari itu, Ahad, 10 Januari 2016, Taufik sudah tiba di Kutai Barat. Sang isteri ia tempatkan di sebuah rumah pinjaman di daerah tersebut karena tak mungkin ia ajak ke Mahulu dengan situasi yang belum jelas seperti apa. Setelah itu, Taufik melanjutkan perjalanan ke Mahulu dengan sepeda motor. “Rupanya jalan menuju Mahulu luar biasa sulit. Puluhan kali saya jatuh dari motor,” cerita Taufik. Belum lagi harus melewati sungai yang tak ada jembatannya. Taufik harus mencari bagian sungai yang agak dangkal supaya bisa dilewati oleh motor. “Pernah motor saya hampir hanyut karena ternyata airnya cukup dalam,” cerita Taufik. Taufik berangkat dari Kutai Barat pukul 08.00 pagi. Ia baru tiba di Kampung Long Melaham, Kecamatan Long Bagun, Mahulu, pukul 24.00 tengah malam.
265 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah “Waktu itu saya belum makan. Laparnya minta ampun,” kenang Taufik. Untunglah Taufik menemukan warung makan Muslim. Hanya saja, karena hari sudah tengah malam, warung tersebut sudah tutup. Tak ada jalan lain, Taufik terpaksa menggedor-gedor pintu warung tersebut. Rupanya sang pemilik warung mau membukakan pintu dan menyediakan sepiring nasi plus telor ayam untuk Taufik. Harganya, Rp 25 ribu. Diusir dari Masjid Setelah perut sudah terisi, dahaga telah hilang, bukan berarti persoalan ikut hilang. Tantangan baru muncul; di mana Taufik akan tidur malam ini? Satu-satunya tempat --sebagaimana kebanyakan dai Hidayatullah ketika pertama datang merintis cabang--- adalah masjid. Beruntung, Taufik menemukan sebuah masjid agak besar di Kampung Long Melaham. Letaknya tak jauh dari pinggir Sungai Mahakam. “Saat saya masuk, sudah terasa ada yang janggal dengan masjid ini,” cerita Taufik mengenang masa lalunya. Kejanggalan yang dimaksud terbukti ketika tiba waktu subuh. Tak ada muazin yang mengumandangkan azan. Bahkan tak ada shalat fardhu berjamaah di masjid itu.
266 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Rupanya bukan sekadar waktu subuh, masjid tersebut kosong. Ketika waktu beranjak Dhuhur, masjid tetap kosong. Begitu juga saat ashar, magrib, bahkan sampai isya. “Keadaan seperti itu berlangsung juga keesokan harinya sampai hari Jumat,” kata Taufik. Menjelang waktu shalat Jumat tiba, masjid tersebut baru didatangi jamaah. Yang menjadi miris, usai menjalankan shalat Jumat, beberapa pengurus masjid mulai mempermasalahkan keberadaan Taufik di sana. Celakanya, ketidaksukaan itu mereka umumkan lewat toa masjid. “Kami memberi waktu 2 kali 24 jam untuk segera angkat kaki dari masjid ini.” Begitu suara pengumuman terdengar lantang dari mulut toa. “Ya Allah, malunya saya,” kata Taufik. Tapi tak ada pilihan lain, ia harus segara angkat kaki dari sana. Untunglah seorang warga bernama Imam bersedia menampung Taufik di sebuah rumah kosong miliknya. “Saya tahu Pak Taufik ini orang baik,” cerita Imam kepada penulis ketika ditanya mengapa ia mau menerima Taufik waktu itu. Karena itulah ia tampung Taufik di sebuah rumah kecil berdinding papan, persis di pinggir Sungai Mahakam. Rumah tersebut sudah lama kosong. Rupanya para pengurus masjid belum puas me-
267 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah ngusir Taufik dari masjid. Mereka juga ingin mengusir Taufik dari kampung Long Melaham. Jumat malam itu, cerita Taufik, dirinya dipanggil oleh pengurus desa, disidang bersama tokoh masyarakat, ketua adat, ketua karang taruna, dan para pengurus masjid itu sendiri. Yang mengagetkan, kata Taufik lagi, ketua RT dan ketua adat justru mengizinkan Taufik tinggal di kampung itu, padahal mereka non-Muslim. “Kami tidak mau ikut campur persoalan agama Islam. Tapi, kami persilahkan saudara Taufik tinggal di kampung ini. Kalau pengurus masjid melarang saudara Taufik tinggal di masjid, berarti jangan tinggal di masjid. Carilah tempat lain di luar masjid,” kata Ketua Adat sebagaimana ditirukan oleh Taufik. Taufik mencoba memaklumi mengapa para pengurus masjid ingin mengusir dirinya dari kampung. Qadarallah saat itu memang sedang marak kasus Gafatar (aliran sesat yang berpusat di Kalimantan). “Mereka mungkin curiga jangan-jangan saya pelarian dari Gafatar juga,” kata Taufik. Di rumah sederhana di pinggir Sungai Mahakam, Taufik mulai mengajar anak-anak mengaji Qur’an. Semakin lama, jumlah anak-anak yang ikut semakin banyak. Taufik juga menggencarkan silaturahim kepada para tokoh. Ini semua membuat masyarakat mulai menerimanya. Bahkan, beberapa bulan ke-
268 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah mudian, Taufik dipersilahkan kembali ke masjid dan mengajar mengaji di sana. Mendirikan Pesantren Tahun 2018, Taufik ditawari sebidang tanah seluas 119 meter x 50 meter di Kampung Ujoh Bilang, tak jauh dari Kampung Long Melaham, masih di Kecamatan Long Bagun, oleh salah seorang tokoh Dayak. Lahan tersebut sangat strategis, terletak di pinggir jalan utama dan di atas bukit. Awalnya, cerita Taufik, dia ditawari sebidang tanah yang terletak di lembah bukit seharga Rp 30 juta. Taufik di rumah yang dulu ia tempati usai diusir dari masjid saat pertama tiba di Mahulu
269 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah Setelah ia dan penjual selesai menjalin kesepakatan, malam harinya turun hujan deras. Lokasi yang akan dibelinya banjir. Taufik bingung. Mau membatalkan akad jual beli tentu tidak bisa. “Saya tidak mau mengecewakan orang Dayak di kampung ini. Karena itu saya minta lahan dialihkan dari lembah ke atas bukit,” cerita Taufik. Mendengar permintaan Taufik, orang Dayak tersebut kaget. Lahan di atas bukit setinggi 30 meter mana mungkin bisa ditempati. Tak ada akses jalan. “Kamu serius mau beli lahan di atas bukit itu?” tanya orang Dayak kepada Taufik. Taufik tak punya pilihan lain. “Dari pada membeli lahan dengan risiko banjir, lebih baik membeli lahan meskipun di atas bukit,” pikirnya. Setelah dana terkumpul atas bantuan Baitul Maal Hidayatullah, lahan itu pun resmi menjadi milik ormas Hidayatullah di mana Taufik bernaung. Lantas bagaimana cara Taufik meratakan bukit setinggi 30 meter tersebut? Qadarallah, musim Pilkada tiba menjelang tahun 2019, dan Bupati Mahulu ingin mencalonkan dirinya kembali sebagai orang nomor satu di kabupaten tersebut. Momen ini tak disia-siakan oleh Taufik. Ia segera membuat proposal meminta bantuan kepada Bupati Mahakam Ulu untuk meratakan bukit tersebut karena akan dibangun pesantren. Bagaimana pun, pikir Tau-
270 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah fik, sang bupati pasti membutuhkan suara dari masyarakat Muslim. Atas bantuan lobi dari para tokoh Islam, termasuk Ketua MUI Kabupaten Mahulu, Bupati meloloskan permohonan Taufik. Maka, dikirimlah alat-alat berat ke lokasi pesantren. Dalam waktu 10 hari, pekerjaan perataan selesai. Tanah yang tadinya 30 meter, dipangkas sedemikian rupa sehingga ada akses jalan masuk. Kini , di atas bukit yang sudah tak lagi terlalu tinggi itu sudah berdiri Taman Kanak-kanak Islam. Ini adalah satu-satunya TK Islam dari sebanyak 80-an TK di Mahulu. Jumlah muridnya ada 20-an orang. Ada pula dua ruang belajar dan dua rumah pengasuh. Satu ruangan menjadi tempat belajar murid-murid TK, sedang satu ruangan lagi untuk Rumah Qur’an. Selain itu berdiri pula masjid di atas lahan tersebut. Masjid berwarna merah itu sangat kontras bila dilihat dari kejauhan. Sebab, lahan sekolah terletak di atas perbukitan. Setelah bangunan rumah dan sekolah berdiri, Taufik menjemput isterinya di Kutai Barat untuk tinggal bersamanya di Mahakam Ulu. Kesabaran Taufik berdakwah di ulu Sungai Mahakam kini telah berbuah hasil. Ia telah membuktikan bahwa dai-dai muda Hiayatullah tak sekadar bisa makan, tidur, dan bertahan di wilayah dakwah. Me-
271 Anak-anak Muda Pengukir Sejarah reka bisa berbuat jauh lebih banyak dari itu. Tentang kiprah Hidayatullah dan dai-dai muda ini, Ketua MUI Mahulu berkata, “Saya salut dengan Hidayatullah. Organisasi ini bisa membuka cabang dan maju hanya dengan 2 atau 3 orang saja. Saya perhatikan, tidak ada organisasi lain yang bisa berbuat seperti itu.” “Saya juga salut dengan Ustadz Taufik. Beliau luar biasa sabar. Tantangan seberat apa pun beliau hadapi dengan santai. Beliau bisa mengikuti arus, bukan menentang arus,” ungkap Yasin lagi. Sungai Mahakam terus mengalir. Arusnya deras, jangan ditentang. Ikuti saja, agar bisa terus mengalir sampai ke hilir. Begitu pula dakwah Islam. Lagi-lagi, Taufiq telah membuktikan hal ini. *** Taufik saat perjalanan dari Kutai menuju Mahulu lewat darat. Perjalanan tersebut seringkali harus melewati lumpur yang dalam.
272 Tentang Penulis MAHLADI MURNI adalah wartawan dan penulis di beberapa media Islam. Ia lahir dan besar di Manna, Bengkulu Selatan. Setamat dari SMA, ia diundang untuk meneruskan pendidikan di IPB, Bogor, Jawa Barat. Selanjutnya ia menekuni dunia jurnalistik sejak tahun 1996, dimulai dari reporter, redaktur, hingga pemimpin redaksi di beberapa media nasional, baik koran, majalah, maupun situs online. Kini, ia menjadi dosen tamu dan pemateri beberapa mata kuliah jurnalistik dan pelatihan jurnalistik, serta menerima amanah sebagai Kepala Biro Humas di DPP Hidayatullah, dan wakil sekretaris Komisi Informasi dan Komunikasi di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. 272
273
274