The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2021-12-27 07:34:35

Metode Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

by Azwardi, S.Pd., M.Hum.

Keywords: sastra,Metode Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
(1) mendeskripsikan peran perempuan dalam naskah Luka Poma

karya Maskirbi dan naskah Tanah Perempuan karya Helvy Tiana
Rosa;
(2) mendeskripsikan citra perempuan dalam pandangan pengarang
naskah Luka Poma dan pengarang naskah Tanah Perempuan;
(3) mendeskripsikan gender mainstreaming dalam naskah Luka Poma
dan dalam naskah Tanah Perempuan.

4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat tidak hanya bagi para aktivis gender, tetapi
juga bagi masyarakat umum, termasuk kalangan pendidik. Secara rinci
manfaat tersebut dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu manfaat
teoretis, manfaat, praktis, dan manfaat apresiatif.

Secara teoretis, hasil penelitian ini sangat bermanfaat bagi dunia
pendidikan. Hasil penelitin ini dapat dijadikan sebagai kajian historis
terhadap perjuangan perempuan di Aceh secara umum. Hasil penelitian
ini juga akan memberikan penegasan kembali terhadap teori-teori
feminisme secara umum dan gender mainstreaming. Secara khusus,
hasil penelitian ini akan mempertegas lebih dalam teori feminisme
sastra sekaligus sebagai tambahan dalam bentuk pendokumentasian
terhadap telaah sastra modern. Masih dari sisi teoretis, hasil penelitian
ini dapat dijadikan sebagai rujukan kajian telaah naskah drama,
terutama dalam hal analisis sosial, historis, dan struktural.

Bagi para kritikus sastra, penelitian ini bermanfaat sebagai acuan
membuat telaah/kritik sastra dalam hal sosialisasi gerakan feminisme
lewat sastra. Selanjutnya, penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai
pendidikan responsif gender yang nantinya akan digunakan oleh guru

Lampiran 239

di sekolah-sekolah. Anak didik akan dapat memahami pendidikan
relasi gender melalui telaah karya sastra. Guru dan anak didik dapat
pula melakukan telaah gender melalui karya sastra lainnya, selain
pada naskah drama. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan
sebagai bahan bandingan bagi peneliti/pengkritik sastra berikutnya
sekaligus bahan bandingan bagi lembaga atau aktivis gender dalam
pergerakannya ke depan. Dikhususkan bagi aktivis gender, secara
praktis penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan penelitian terhadap
bias dan relasi gender dari segi bahasa.

Penelitian ini bermanfaat pula dalam bentuk penghargaan
terhadap karya sastra, terutama drama. Bagi para penulis, baik prosa
maupun drama, melalui penelitian ini akan diperoleh pemahaman
tambahan dalam hal membuat pencitraan terhadap tokoh perempuan,
menginterpretasi karya sastra, menganalisis karya sastra, dan
menghargai karya sastra. Selanjutnya, para peneliti kemudian akan
lebih terbuka cakrawala berpikir mereka melakukan penelitian
terhadap karya sastra sebagai bagian dari apresiasi.

5. Asumsi Penelitian
Berikut dipaparkan beberapa asumsi yang menunjukkan bahwa
penelitian ini penting dilakukan.
(1) Perempuan Aceh terkenal sebagai pelopor kebangkitan tokoh

perempuan di Indonesia dan mungkin di Nusantara. Hal ini ditandai
dengan semangat juang sejumlah pahlawan perempuan Aceh
seperti Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Kemalahayati. Bahkan,
tercatat pula dalam sejarah bahwa Kerajaan Aceh pernah dipimpin
oleh empat sultanah (sultan perempuan) secara berturut-turut,
yakni Sultanah Safiatuddin Syah (1612M), Sultanah Naqiatuddin
Nurul Alam (1675-1678M), Zakiatuddin Syah (1678-1688), dan
Zainatuddin—ada yang menyebut Ziatuddin—Kamalat Syah

240 Metode Penelitian

(1688). Hal ini menunjukkan bahwa perempuan Aceh memiliki
posisi strategis dalam bidang politik.
(2) Perempuan Aceh dikenal pula sebagai ‘tonggak serdadu’ perempuan
yang ditandai dengan kegemilangan Laksamana Keumalahayati
dalam memimpin perang di laut. Bahkan, namanya kini dinobatkan
sebagai salah satu nama pelabuhan di Aceh, yakni Pelabuhan
Malahayati di Krueng Raya, Aceh Besar. Selain itu, perempuan
Aceh juga dikenal sebagai prajurit darat yang gagah berani melawan
penjajah Belanda. Beberapa nama yang kini dinobatkan sebagai
pejuang perempuan Aceh di antaranya Cut Nyak Dhien, Cut Meutia,
Pocut Baren, Cut Meurah Inseun, dan Pocut Meurah Intan. Di sisi
lain, dikenal pula nama Teungku Fakinah sebagai ulama perempuan
Aceh. Ia adalah ulama perempuan pertama di Nusantara.
(3) Naskah Luka Poma merupakan sebuah naskah drama yang ditulis
bernuansa lokal Aceh. Cerita dalam naskah tersebut bukan hanya
berlatar Aceh, tetapi juga mengangkat fenomena Aceh masa
konflik bersenjata (dalam rentang 1980-1990-an). Oleh karena
itu, penting mengamati posisi perempuan Aceh masa-masa
konflik tersebut, terlebih lagi naskah ini diakui penulisnya sebagai
naskah nonkonvensional, yakni ‘lari’ dari kebiasaan naskah drama
umumnya di Aceh. Naskah Luka Poma ini pula satu-satunya
naskah yang berani pentas tour hingga ke Jakarta (2005) padahal
masa itu konflik masih memanas di Aceh.
(4) Naskah Tanah Perempuan merupakan satu-satunya naskah drama
yang mengambil tema kebangkitan perempuan Aceh, mulai masa
penjajah hingga pascatsunami. Dalam naskah tersebut diceritakan
kembali heroisme pejuang perempuan Aceh tatkala mengusir penjajah
Belanda dan Portugis, posisi perempuan Aceh masa-masa konflik
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia (RI), hingga
masa-masa terjadinya tsunami dan perjanjian damai MoU Helsinki

Lampiran 241

(2005). Perjuangan panjang tokoh perempuan inilah yang menjadikan
naskah Tanah Perempuan penting diamati dari sisi feminisme.
(5) Penelitian ini penting pula dilakukan karena belum didapati kajian
serius tentang perempuan dalam karya sastra Aceh, terutama pada
naskah drama. Di sisi lain, pendidikan responsif gender melalui
karya sastra di Aceh juga masih tahap wacana sehingga hasil
penelitian ini nantinya dapat mebantu pemahaman peserta didik
terhadap pendidikan responsif gender.

6. Batasan Penelitian
Penelitian ini dibatasi pada citra perempuan yang terdapat dalam naskah
drama Luka Poma karya Maskirbi dan naskah drama Tanah Perempuan
karya Helvy Tiana Rosa. Hal ini berkenaan dengan feminis yang diemban
oleh kedua pengarang tersebut. Pada naskah Luka Poma karya Maskirbi
ditelaah peran perempuan yang diharuskan oleh seorang pengarang lelaki
(Maskirbi). Hal ini akan memberikan gambaran tentang “perempuan
di mata lelaki”. Kritik feminisme ini tentunya akan mendorong kaum
perempuan untuk membaca teks-teks yang akan dihasilkan oleh kaum
lelaki, dengan landasan pemikiran sebelumnya bahwa kaum perempuan
di mata lelaki cenderung lemah, penuh daya berahi, dan hanya digunakan
untuk bahan ketertarikan kaum lelaki (Sikana, 2008:288).

Penelitian ini membahas juga perempuan dalam pandangan
kaumnya sendiri sehingga kajian difokuskan pada gerakan feminisme
tokoh-tokoh perempuan dalam naskah Tanah Perempuan karya Helvy
Tiana Rosa. Kritik sastra ini dibenarkan oleh Register (1975) yang
dikutip oleh Sikana (2008:289). Ia menyebutkan bahwa penting
mengkaji penulis perempuan dan imej perempuan dalam pandangan
pengarang perempuan. Para ahli menyebut kajian ini dengan istilah
ginokritik. Dengan demikian, pandangan yang akan dilihat dalam
kajian ini terkait penggunaan bahasa biologis di mata pengarang, baik

242 Metode Penelitian

pengarang lelaki maupun pengarang perempuan, di samping pembagian
peran bagi tokoh perempuan dan lelaki serta gender mainstreaming.
Pada tahap ini, berlaku analisis feminisme gender yang dalam Tong
(2008:223) disebut dengan feminis kultural, dengan pembedaan
psike perempuan dan psike laki-laki. Hal ini berkenaan pula dengan
pemakaian bahasa verbal dalam pengungkapan bagian-bagian biologis
perempuan. Pembagian peran bagi tokoh perempuan ini berkenaan
dengan karir, kepemimpinan, jabatan, kepahlawanan, ibu, serta
karakter lainnya yang akan ditemukan pada tokoh perempuan dalam
kedua naskah tersebut. Akan tetapi, penelitian ini tidak menganalisis
ginokritik (perempuan di mata perempuan) secara spesifik, karena ia
merupakan pembahasan tersendiri. Jika digambarkan fokus penelitian
ini, bagannya akan terlihat seperti berikut ini.

7. Kajian Terdahulu
Pendekatan feminisme dalam karya sastra adalah jenis pendekatan
baru. Pendekakan ini dapat dianggap sebagai teori modern dalam
telaah karya sastra yang dikembangkan dari empat telaah/pendekatan
teks sastra, yang pernah ditawarkan Abrams dalam bukunya The
Mirror and the Lamp (1953). Dari empat pendekatan terhadap teks
sastra inilah kemudian muncul teori-teori berikutnya dalam ranah
sastra, di antaranya teori feminisme yang apabila ditelusuri lebih jauh

Lampiran 243

merupakan penjabaran dari pendekatan ekpresif dan objektif. Karena
pandangan dititikberatkan pada kondisi sosial masyarakat yang
tercermin dalam karya sastra dimaksud, pendekatan ini kemudian
disebut dengan istilah sosiologi sastra.

Awalnya teori feminisme muncul di Amerika sehingga cenderung
jika disebutkan kata feminis, seolah itu hanya milik Amerika semata.
Teori ini mencuat ke depan publik pertama sekali dengan kesan bahwa
lelaki yang menulis tentang perempuan cenderung tidak maksimal,
merendahkan, memposisikan perempuan selalu di bawah lelaki. Dari
sisi bahasa, pengarang lelaki disebutkan cenderung menyentuh hal-
hal sensitif perempuan sehingga kaum perempuan patut dibela. Oleh
karena itu, perempuan sebagai pengarang kemudian jadi perhatian yang
terkesan sangat dibutuhkan oleh dunia sehingga tatkala perempuan
diposisikan sebagai pengarang, perbincangan bagi sejumlah kalangan
menjadi hangat. Hal ini seperti terlihat dalam dekade terakhir terhadap
kemunculan nama semisal Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Abidah
El Khalieqy, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia, dan yang lainnya. Jika
mereka menghasilkan sebuah karya sastra, seakan ada hal baru yang
patut didiskusikan oleh pengamat dan kritikus sastra. Kecenderungan
ini terlihat pula tatkala beberapa karya penulis perempuan difilmkan,
seakan ada ‘warna’ baru dari mereka.

Dalam dunia sastra modern, gerakan feminisme menjalar sejak
bermunculan pengarang-pengarang perempuan dalam prosa dan roman
Indonesia. Untuk sastra jenis novel, tokoh utama diangkat dari kalangan
perempuan mulai dikenal sejak tahun 1920-an, yakni melalui tradisi
penulisan novel pertama di Indonesia, Azab dan Sengsara (1920) karya
Merari Siregar. Tradisi ini kemudian disusul dengan terbitnya novel
kedua di Indonesia, Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli. Novel yang
judulnya diangkat langsung dari nama tokoh utamanya ini kemudian
dalam perkembangannya menjadi mitos perjuangan kaum perempuan

244 Metode Penelitian

Indonesia. Setelah itu, disusul terbitnya novel Salah Asuhan (1928)
karya Abdul Muis. Pada tahun yang sama, Nur Sutan Iskandar juga
menerbitkan novelnya yang perdana dengan judul Salah Pilih (1928)
yang juga bertemakan perempuan. Dalam rentang tiga tahun kemudian,
Merari Siregar kembali menerbitkan novelnya dengan judul Binasa
kerna Gadis Priangan (1931). Langkah sastrawan angkatan Balai
Pustaka ini yang mengangkat perempuan sebagai sentral cerita, diikuti
kemudian oleh beberapa sastrawan angkatan Pujangga Baru. Hal ini
ditandai dengan hadirnya Layar Terkembang (1936) karya Sutan Takdir
Alisyahbana, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1939) karya Hamka,
dan Belenggu (1940) karya Armijn Pane.

Banyaknya deretan karya sastra Indonesia berupa novel tersebut
hanya bercerita tentang perempuan yang dijadikan sebagai tokoh.
Sebaliknya, buku yang membahas secara detail tentang kritik sastra
dalam penokohan perempuan masih sangat langka atau barangkali
dapat dikatakan belum pernah dilakukan. Secara lebih sepesifik,
penelitian tentang feminisme dalam karya sastra Indonesia yang sudah
pernah dilakukan sebelumnya antara lain Citra Wanita dalam Hikayat
Panji Melayu (Mu’jizah, 2002), Ringkasan Peran dan Perlakuan Tokoh
Perempuan dalam Novel Tahun 2000-an (Santosa, 2004), Tokoh Wanita
dan Novel-novel Karya Titis Basino P.I. (Riesa Utami Meithawati,
dkk., 2004), Tokoh Utama Wanita, dalam Pandangan Gender pada
Novel Wajah Sebuah Vagina Karya Naning Pranoto (Aprilianto,
2005), Citra Perempuan dalam Novel Atap: Sebuah Analisis Kritik
Sastra Feminisme (Syamsurizal, 2006), Novel Saman dan Larung
Karya Ayu Utami dalam Perfektif Feminisme Radikal (makalah
Banita, tanpa tahun), Peran Karya Sastra dalam Memperkenalkan
Wacana Gender pada Siswa di Sekolah Dasar (Istimurti, 2008),
Analisis Keberpihakan Pramoedya terhadap Tokoh Perempuan dalam
Tiga Karyanya: Suatu Pendekatan Sosiologis (Shaidra, 2008). Akan

Lampiran 245

tetapi, penelitian tentang perempuan (feminisme) dalam naskah
drama, sejauh ini belum ditemukan. Dalam perkembangan sastra di
Aceh, penelitan tentang naskah drama secara umum pun sulit didapati.

8. Kajian Teoretis
8.1 Perempuan dan Feminisme
Dalam KBBI (2005:856) disebutkan bahwa perempuan merupakan
orang (manusia) yang dapat mengalami menstruasi (haid), hamil,
melahirkan anak, dan menyusui. Tentu saja definisi ini terkait
kodrati perempuan sebagai makhluk Tuhan, yang merupakan lawan
atau pasangan dari laki-laki. Kata lain untuk perempuan biasanya
digunakan orang dengan sebutan “wanita”. Istilah wanita, dalam
KBBI (2005:1268) dikatakan sebagai perempuan dewasa. Istilah
yang sederhana tentang perempuan tertuang dalam Kamus Pelajar
(2006:492). Di sana disebutkan bahwa permpuan adalah orang yang
bisa hamil, melahirkan anak, dan menyusui.

Perempuan cenderung pula dimaknai sebagai makhluk feminim,
yakni yang memiliki sifat keibuan, kemayu, suka dandan, suka
mencuci, dan suka di dapur. Penamaan ini menyebabkan muncul
anggapan stereotipe bagi kaum perempuan yang mengakibatkan
timbulnya gerakan feminisme. Feminisme dimaknai sebagai gerakan
kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarjinalisasikan,
disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik
dalam bidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial lainnya.
Penolakan ini belakangan tidak lagi sekadar pergerakan praktis kaum
aktivis gender, tetapi mulai merambah ke dunia sastra, terutama dalam
sastra modern.

Sikana (2008:279) menyebutkan bahwa feminisme adalah
perjuangan kaum perempuan untuk mendapatkan status yang sama
dengan lelaki dan meminta hak-hak yang telah lama dipinggirkan oleh

246 Metode Penelitian

sejarah. Hal ini disebutkannya dengan anggapan bahwa selama ini kaum
wanita jadi terpinggirkan oleh kekuasaan patriakal. Konsep dasar yang
dapat dipakai dalam melihat hal ini adalah feminis, female, dan feminine.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III (2005:315)
disebutkan “Feminis adalah gerakan wanita yang menuntut persamaan
hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria.” Senada dengan ini,
wikipedia.org, ensiklopedia bebas, menerjemahkan kata feminisme
sebagai sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi atau
kesamaan hak dengan pria.

Melihat dua literatur tersebut, feminisme sebagai gerakan
penyetaraan hak terlihat hanya dilakukan oleh kaum perempuan.
Dalam kenyataannya, kaum pria juga turut melakukan gebrakan
yang sama untuk membela hak-hak perempuan. Pada karya sastra,
misalnya, ditemukan sejumlah pengarang lelaki yang menjadikan
perempuan sebagai tokoh utama dan menciptakan tokoh tersebut
seolah sedang berpikir maju, bertindak bebas, memiliki wawasan
tak kurang dari lelaki. Hal ini seperti diutarakan Damono dalam
pengantarnya terhadap Kritik Sastra Feminis (Djajanegara, 2000).
Damono memisalkan hadirnya tokoh Sitti Nurbaya ciptaan Marah
Roesli, Tini dan Yah ciptaan Armijn Pane, dan Tuti ciptaan Sutan
Takdri Alisjahbana, merupakan bentuk gerakan feminisme dari
pengarang lelaki. Oleh karena itu, feminisme dapat diartikan sebagai
gerakan membela perempuan yang bukan hanya dilakukan oleh kaum
perempuan semata, tetapi juga oleh kaum lelaki.

Dengan demikian, gerakan feminis tidak dapat dipisahkan dari
definisi kodrati perempuan itu sendiri. Dalam pengantar buku Leela
Gandhi “Teori Poskolonial” yang diterbitkan oleh Penerbit Qalam
(2006) disebutkan bahwa ada konsep keseimbangan antara perempuan
dan lelaki. Lelaki tidak boleh lagi menempatkan dirinya sebagai the
first sex yang berada di atas perempuan. Sebaliknya, perempuan jangan

Lampiran 247

berusaha menggantikan dominasi kaum laki-laki dengan dominasi
perempuan. Lebih lanjut, Gandhi menyebutkan upaya gerakan feminis
jangan sampai menimbulkan kekacauan penafsiran terhadap teks-teks
agama yang selama ini dianggap cenderung mendominasikan kaum
lelaki sehingga persoalan agama dan budaya harus dipisahkan dalam
menganalisis gender. Hal tersebut agar tidak terjadi manipulasi budaya
dalam pergerakan selanjutnya (Gandhi, 2006:xvi).

8.2 Drama dan Teater
Drama adalah satu di antara tiga cabang besar sastra setelah prosa dan
puisi. Waluyo (2002:1) menyebutkan bahwa drama merupakan tiruan
kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas pentas. Sebagai bentuk
tiruan, tentu penulis naskah drama memiliki daya imajinasi sehingga
apa yang ditampilkan pada naskah hingga ke atas pentas bukanlah
realitas sesungguhnya. Dengan demikian, drama tetap dianggap
sebagai karya sastra yang imajinatif, meskipun cerita di dalamnya
beranjak dari kenyataan sesungguhnya.

Hal ini ditegaskan juga oleh Ismet (2007:38) bahwa naskah drama
tercipta karena adanya proses imajinasi dari senimannya. Imajinasi itu
sendiri terbentuk karena adanya paduan antara pikiran dan perasaan.
Dari sini kemudian, seorang penulis naskah menciptakan dunia rekaan
yang menjadi “seakan-akan” ada.

Agar tidak terjadi tumpang tindih antara drama, prosa, dan puisi,
sebagai sesama karya sastra, Tambajong (1981:23) memberi batasan
sebagai berikut.

Drama, segi-segi pelaksanaan yang ditata sangat banyak. Ia
menata hubungan yang luas antara pengarang dan kehidupan,
pengarang dengan naskah, naskah dengan aktor, naskah dengan
sutradara, pengarang dengan aktor, pengarang dengan sutradara,
naskah dengan kemungkinan pementasan, aktor dengan aktor,

248 Metode Penelitian

aktor dengan penonton, naskah dengan penonton, dan seterusnya.
Prosa, sekurang-kurangnya hanya menata dua segi, yaitu tema
dan pembaca. Tema yang bagus memungkinkan banyaknya
pembaca.
Puisi, segi yang ditata hanya satu, yakni pikiran pribadi penyair
kepada pembaca.

Rendra (2007:103) memberikan istilah drama sama dengan
sandiwara di Indonesia, yaitu seni mengungkapkan pikiran atau
perasaan orang dengan menggunakan laku jasmani dan ucapan kata-
kata. Oleh karena itu, dalam naskah drama, cenderung terjadi pemotretan
kehidupan, baik suka-duka, pahit-manis, hitam-putih, dan sebagainya.

Sebagai sebuah naskah, drama belum sempurna jika belum
dipentaskan (Sulaiman, 2007:1). Naskah yang sudah dipentaskan tersebut
dinamakan dengan teater (orang Padang menyebutnya dengan toneel, lihat
karya-karya Hamka). Dalam teater, semua unsur sastra nyaris lengkap,
terdiri atas unsur drama, seni gerak, seni suara, seni musik, seni rupa,
dan seni arsitektur. Oleh karena itu, naskah drama baru dapat dianggap
lengkap dan afdhal jika sudah dipanggungkan (Riantiarno, 2003).

9. Metode Penelitian
9.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian
Kajian ini tergolong ke dalam jenis penelitian kualitatif. Untuk itu,
peneliti akan mengorganisasikan asas-asas penelitian kualitatif yang
berkenaan dengan feminis dan interpretasi naskah dalam naskah
drama. Metode yang digunakan adalah deskriptif-kualitatif, yakni
metode yang berusaha memberikan gambaran secara sitematis dan
cermat tentang faktar-fakta yang terdapat dalam kedua naskah drama
yang diteliti (Zaidan, 2002:11). Menurut Sugiyono (2008:2) metode
penelitian pada dasarnya adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data

Lampiran 249

dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Ia menjelaskan cara ilmiah
tersebut adalah cara yang ditempuh dengan didasarkan pada ciri
keilmuan: nasional, empiris, dan sistematis.

Moleong (2007:11) mengungkapkan bahwa ciri-ciri metode
deskriptif memusatkan diri pada pemecahan masalah yang ada di
masa sekarang atau pada masalah aktual. Data-data yang dikumpulkan
mulanya disusun, dijelaskan, dan dianalisis. Data dimaksud dapat
berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Tak jauh
berbeda dengan dua pakar tersebut, Semi (1993:23) memberikan
batasan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang mengutamakan
kedalaman penghayatan interaksi antarkonsep yang sedang dikaji
secara empiris. Nama lain metode ini adalah metode postpositivistik
karena berlandaskan pada filsafat postpostivisme (Sugiyono, 2008:7).

Menurut Sugiyono, metode kualitatif disebut juga sebagai metode
artistik, sebab proses penelitiannya bersifat seni (kurang temporal)
dan disebut sebagai metode interpretatif dengan alasan hasil penelitian
lebih berkenaan dengan interpretasi. Dengan demikian, perlakuan
terhadap karya dalam penelitian ini dapat dikategorikan sebagai kritik
atau telaah sastra yang hasil analisisnya berdasarkan interpretasi
peneliti. Hardjana (1983:37) memberikan batasan kritik sastra sebagai
suatu penyelidikan yang langsung berurusan erat dengan karya sastra
untuk menimbang bernilai atau tidaknya suatu karya. Kritik sastra
tersebut dianggap akan menjernihkan persoalan yang meliputi karya
sastra dengan menggunakan penafsiran, penjelasan, dan uraian.

Metode ini pada akhirnya akan memberikan gambaran nilai
terhadap karya sastra yang diteliti. Di samping itu, hasilnya akan
meniadakan persoalan-persoalan yang sebelumnya dianggap rumit
dalam memahami isi karya karena sudah ada penjelasan, uraian,
bahkan penafsiran. Dalam penafsiran ini digunakan pendekatan
hermeneutik. Hal ini sesuai dengan fungsi teori hermeneutik yang

250 Metode Penelitian

dipaparkan Palmer (2003), yakni: (1) sebagai teori penafsiran kitab
suci, (2) sebagai metode filologi, (3) sebagai ilmu pemahaman
linguistik, (4) sebagai metodologi geisteswissenschafi yaitu berusaha
memperoleh makna kehidupan manusia secara menyeluruh, (5)
sebagai fenomenologi dasein dan pemahaman eksistensial, dan (6)
sebagai sistem interpretasi (Harun, 2006:133). Dengan demikian,
pendekatan hermeneutik menjadi pendekatan yang sangat penting
digunakan dalam menganalisis karya sastra, termasuk bentuk drama.
Pendekatan hermeneutik akan mengajak peneliti untuk menjernihkan
persoalan yang sedang diteliti secara detail. Pendekatan ini juga akan
mengarahkan hasil interpretasi lebih dekat dengan epistemologi dan
hidtoris sebagaimana dimaksudkan Receour dan Dilthey. Oleh karena
itu, pendekatan hermeneutik ini seakan lebih tinggi daripada teori
interpretasi biasa, sifatnya seperti taqwil yang lebih dalam memaknai
persoalan bahasa tinimbang tafsir.

Teknik hermeneutik yang digunakan dalam penelitian ini
mengacu pada langkah-langkah yang pernah ditawarkan oleh Ricoeur
dan diperluas oleh Thompson serta pernah digunakan oleh Harun
(2006:134) dalam penelitian disertasinya. Langkah-langkah dimaksud
adalah (1) tahap pemahaman, (2) tahap pengudaraan (penguraian)
karya, (3) tahap penjelasan, dan (4) tahap interpretasi.

9.2 Instrumen Penelitian
Nama lain dari instrumen sebenarnya merujuk pada sarana
pengumpulan data. Sugiyono (2008: 222) mengungkapkan instrumen
dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Dengan
demikian, instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah diri
peneliti sendiri, yang disebut sebagai instrumen kunci (key instrument).
Instrumen ini dikenal pula dengan istilah instrumen manusia atau
human instrument (Harun, 2005:38). Manusia sebagai instrumen

Lampiran 251

kunci sangat diperlukan dalam penelitian kualitatif karena manusia
adalah makhluk penafsir. Diri pribadi sebaga instrumen kunci, menurut
Siswanto (2005:66) harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
(1) mendalami naskah yang diteliti sebagai subjek penelitian;
(2) mendalami teori yang digunakan sebagai rujukan;
(3) bersifat objektif dan jujur;
(4) bersifat sabar sehingga tidak dilakukan asal-asalan;
(5) tidak cepat bosan, terutama saat melakukan pengumpulan data.

9.3 Data dan Sumber Data
Data penelitian ini berupa data verbal yaitu paparan bahasa dari
pernyataan tokoh berupa dialog dan monolog serta narasi yang dipaparkan
penulis naskah. Sumber data berupa data primer, yakni naskah drama
Luka Poma karya Maskirbi dan Tanah Perempuan karya Helvy Tiana
Rosa. Dengan demikian, yang dimaksud dengan data verbal yang akan
dianalisis dalam penelitian ini adalah paparan bahasa terhadap tokoh
perempuan dalam naskah Luka Poma dan Tanah Perempuan.

Beberapa alasan dipilih naskah Luka Poma antara lain (1) satu-
satunya naskah drama yang kental keacehannya, terutama pengucapan
simbolisAceh ke dalam bentuk aktor, (2) mengangkat latar konflik diAceh
antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah pusat (RI), (3)
sudah diterbitkan dalam bentuk buku oleh Aliansi Sastrawan Aceh (ASA)
pada tahun 2007, setelah sebelumnya juga terdokumentasikan dalam
Antologi Seulawah, (4) sudah dipentaskan di Aceh dan Jakarta, naskah
ini mendapat sambutan yang antusias positif dari penonton dan pemerhati
teater di Tanah Air, dan (5) sebagai bentuk lain mengenang penulis naskah
drama di Aceh yang dikenal popularitasnya dalam kebangkitan teater
Aceh masa-masa sulit (konflik), dia adalah Maskirbi, sastrawan Aceh.

Dipilih naskah Tanah Perempuan dengan alasan antara lain (1)
ceritanya berkisar tentang ketabahan, ketegaran, dan kegigihan perempuan

252 Metode Penelitian

Aceh sejak masa sejarah (abad XV) sampai dengan masa konflik GAM-
RI dan perjanjian damai Helsinki, (2) bernuansa lokal Aceh secara kentara
yang dipaparkan dengan realis, (3) ditulis oleh seorang perempuan yang
terkenal kesastrawanannya di tingkat nasional dan ia masih memiliki
pertalian darahAceh dari sebelah bapak, dan (4) naskah asli bentuk drama,
bukan gubahan dari cerita pendek. Dengan demikian, dua naskah ini akan
memberikan pemahaman tentang perempuan Aceh dari sudut pandang
pengarang lelaki dan pengarang perempuan.

9.4 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik
interpretasi dengan hermeneutik sastra, yakni memberikan penafsiran
sedalam-dalamnya terhadap naskah yang dianalisis. Naskah dimaksud
adalah naskah drama Luka Poma karya Maskirbi dan Tanah Perempuan
karya Helvy Tiana Rosa. Teknik analisis dengan menggunakan teori
hermeneutik merupakan salah satu cara interpretasi ilmu yang paling
populer saat ini (Harun, 2005:129). Dengan teknik hermeneutika,
orang dapat memahami dan menafsirkan apa yang dilihat, didengar,
dan dibaca bahkan menuangkan hasil pemikirannya dari apa yang
dilihat dan dibaca tersebut.

Menurut Husein Nasr yang dikutip Harun (2005:126), istilah
hermeneutik merujuk pada nama dewa Yunani Kuno, yaitu Hermes,
yang tugasnya menyampaikan berita dari Sang Mahadewa kepada
manusia. Dalam catatan Nasr, Hermes tersebut tidak lain adalah
Nabi Idris as., yang sejarah kerasulannya dinukilkan dalam Alquran.
Dalam kalangan para santri, Nabi Idris disebutkan suka memintal,
yang dalam bahasa Latin adalah tegere. Jika dikatikan dengan Dewa
Hermes yang memiliki profesi sebagai tukang tenus, pekerjaan Nabi
Idris ada hubungannya dalam mitos Yunani Kuno, sebab produk dari
memintal adalah textus atau text yang merupakan isu sentral dalam

Lampiran 253

kajian hermeneutika. Dengan demikian, jelas bahwa hermeneutika
yang diambil dari kata “Hermes” adalah ‘sebuah ilmu dan seni
menginterpretasi teks’.

Pengertian tersebut terpancar pula dari akar kata hermeneutika
yang berasal dari bahasa Yunani hermeneuein ‘menafsirkan’. Dari kata
hermeneuein ini dapat ditarik tiga pengertian: (1) meungungkapkan
kata-kata, misalnya “to say”, (2) menjelaskan seperti menjelaskan
sebuah situasi, dan (3) menerjemahkan seperti di dalam transliterasi
bahasa tertentu. Namun, Bauman yang juga mengakui hermeneutik
berasal dari bahasa Yunani menyebutkan istilah itu dari akar kata
hermeneutikos yang berarti ‘ucapan’ atau ‘tulisan’ yang tidak jelas,
kabur, remang-remang, dan kontradiktif, menimbulkan keraguan
dan kebingungan para pendengar atau pembaca (Harun, 2005:131,
mengutip Palmer, 2003 dan Hidayat, 1996).

Untuk memperoleh hasil tersebut, diperlukan sejumlah langkah.
Siswanto (2005:68-82) mengungkapkan teknik atau langkah yang harus
dilakukan dimulai dari (i) pengumpulan data (data collection) yaitu
membaca naskah yang diteliti terlebih dahulu sambil menemukan data
yang berkenaan dengan hal penelitian; (ii) seleksi data (data reduction)
yaitu memilih atau menyeleksi data dengan parameter yang telah
ditetapkan sebelumnya; (iii) pemeriksaan (conclusion) yaitu menganalisis
dalam usaha memperoleh kepastian tentang data primer; (iv) pengabsahan
(verification) yaitu tindakan menentukan keakuratan data dengan merujuk
pada konsep parameter; (v) pemaparan (data display) yaitu menyajikan
informasi analisis. Proses dari langkah-langkah ini akan memberikan
gambaran konkret terhadap teks yang dianalisis.

Dengan demikian, langkah-langkah yang akan dilakukan dalam
penelitian ini dapat dirincikan sebagai berikut:
(1) mendeskripsikan naskah drama Luka Poma dan Tanah Perempuan;
(2) menganalisis struktur genetik kedua naskah drama tersebut;

254 Metode Penelitian

(3) memberikan penafsiran dan penjelasan;
(4) menemukan peranan perempuan dalam kedua naskah yang

dianalisis;
(5) menemukan unsur gender mainstreaming dalam kedua naskah

tersebut.

Sebelum menganalisis dengan menggunakan teknik hermeneutik,
peneliti akan membaca terlebih dahulu kedua naskah drama tersebut,
Luka Poma karya Maskirbi dan Tanah Perempuan karya Helvy Tiana
Rosa secara intens. Selanjutnya, akan diberi penanda terhadap kosa
kata atau bahasa yang didapati mengarah pada perlakukan feminisme,
baik dari segi penggunaan kode biologis, maupun upaya stereotipe
dan subordinasi terhadap kaum perempuan. Bagian-bagian yang
sudah ditandai tersebut selanjutnya dimasukkan dalam analisis kajian
penelitian. Peneliti juga berusaha mengungkap maksud tersirat dari
setiap dialog dan narasi yang digunakan pengarang dalam naskah
tersebut untuk diketahui maknanya. Hal ini guna memudahkan
menemukan arah feminisme yang hendak diungkapkan oleh pengarang
naskah sekaligus menemukan gender mainstreaming yang terdapat
dalam kedua naskah tersebut.

Lampiran 255

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Adli. Bernama Aceh. (http://www.serambionline,
diakses 4 Juli 2010).

Alfian, Teuku Ibrahim. 2003. Warisan Budaya Melayu Aceh.
Banda Aceh: Pusat Studi Melayu-Aceh.

Arjani, Ni Luh. 2002. Gender dan Permasalahannya. Denpasar:
Pusat Studi Wanita Universitas Udayana Denpasar.

Bandem, Made dan Sal Murgiyanto. 2000. Teater Daerah
Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Blackburn, Susan. 2007. Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan
Ulang. Jakarta: Yayasan Obor.

Bleicher, Josef. 2007. Hermeneutika Kontemporer. Yogyakarta:
Fajar Pustaka.

Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra, Sebuah
Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Djajanegara, Soenarjati. 2000. Kritik Sastra Femini: Sebuah
Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Endraswara, Suwardi. 2003. Membaca, Menulis, Mengajarkan
Sastra. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra.
Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta.

Fananie, Zinuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta:
Muhammadiyah University Press.

Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan
Hegemoni Barat. Yogyakarta: Penerbit Qalam.

Hardjana, Andre. 1983. Kritik Sastra, Sebuah Pengantar. Jakarta:
PT Gramedia.

256 Metode Penelitian

Harymawan, RMA. 1993. Drama Turgi. Bandung: Remaja
Rosda Karya.

Harun, Mohd. 2006. “Struktur, Fungsi, dan Nilai Hadih Maja:
Kajian Puisi Lisan Aceh”. Disertasi Universitas Negeri Malang.

Hemas, GKR. 1992. Wanita Indonesia, Suatu Konsepsi dan
Obsesi. Yogyakarta: Liberti.

Hasanuddin. 2009. Drama, Karya dalam Dua Dimensi: Kajian
Teori, Sejarah, dan Analisis. Bandung: Angkasa.

Hasyim, Abidin, dkk. 2009. Aceh Daerah Modal. Banda Aceh:
Pemerintah Aceh.

Ismet, Adang. 2007. Seni Peran. Bandung: Penerbit Kelir.
Junus, Umar. 1985. Sosiologi Sastera, Persoalan Teori dan Metode.
Kualalumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.
K.S., Yudiono. 2009. Pengkajian Kritik Sastra. Jakarta: Kompas
Gramedia.
Kaplan, David dan Robert A. Manners. 2002. Teori Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kawilarang, Harry. 2008. Aceh: dari Sultan Iskandar Muda ke
Helsinki. Banda Aceh: Bandar Publishing.
Khairani, dkk. 2009. Riset Analisis Kebijakan Publik. Banda
Aceh: Pusat Studi HAM Universitas Syiah Kuala.
Mahayana, Maman S. 2007. Esktrensikalitas Sastra Indonesia.
Jakarta: Grafindo Persada.
Maskirbi. 2007. Luka Poma. Banda Aceh: Aliansi Sastrawan
Aceh.
Meithawati, Rieza Utami, dkk. 2004. Tokoh Wanita dalam Novel-
Novel Karya Titis Basino P.I. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional.
Moleong, J. Lexy. 2003. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Jakarta: PT Remaja Rosdakarya.

Lampiran 257

Muhadjir, Noeng. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi
IV. Yokyakarta: Rake Sarasin.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.

Noer, Arifin C. 2000. Ideologi Teater Modern Kita. Yogyakarta:
Gondho Suli.

Pradopo, Racmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern.
Yogyakarta: Gama Media.

Pemilia, Kartika. Kritik terhadap Konstruksi Feminisme dalam
Novel Perempuan Berkalung Sorban. (http://www.inpasonline.com,
diakses 1 Januari 2010).

Rahmanto, B. Drama (http://pustaka.ut.ac.id, diakses 26 Maret 2010).
Rampan, Korrie Layun. 1999. Aliran-Jenis Cerita Pendek.
Jakarta: Balai Pustaka.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik
Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rendra. 2007. Seni Drama untuk Remaja. Jakarta: Burung Merak
Press.
Riantiarno, N. 2003. Menyentuh Teater: Tanya Jawab Sekitar
Teater Kita. Jakarta: MU:3 Books.
Rosa, Helvy Tiana. 2009. Tanah Perempuan. Banda Aceh:
Lapena.
Sahid, Nur. 2008. Sosiologi Teater. Yogyakarta: Pratista.
Sahid, Nur. 2004. Semiotika Teater. Yogyakarta: Institut Seni
Indonesia Yogyakarta.
Sawardi. 2004. Sejarah Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama
Media.
Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung:
Angkasa.
Sikana, Mana. 2008. Teori Sastera Kontemporari. Singapore:

258 Metode Penelitian

Pustaka Karya.
Siswanto. 2005. Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis.

Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Soelaiman, Darwis A. 2008. Aceh Bumi Iskandar Muda. Banda

Aceh: Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R

& D. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta:

Pustaka Jaya.
Sudjiman, Panuti dan Aart van Zoest. 1992. Serba-Serbi

Semiotika. Jakarta: Gramedia.
Sumardjo, Jakob. 1986. Ikhtisar Sejarah Teater Barat. Bandung:

Angkasa.
Sumarsono dan Paina Partna. 2002. Sosioliguistik. Yogyakarta:

Sabda.
Tambajong, Japi. 1981. Dasar-Dasar Drama Turgi. Bandung:

Pustaka Prima.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: Karya

Nusantara.
Tong, Rosemarie Putnam. 2008 Feminist Thought: Pengantar

Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis.
(Terjemahan Aquarini Priyatna Prabasmoro). Yogyakarta: Jalasutra.

Wajdi, Farid (Ed.). 2008. Aceh Bumi Srikandi. Banda Aceh:
Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Waluyo, Herman J. 1994. Pengkajian Cerita Fiksi. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.

Waluyo, Herman J. 2002. Drama, Teori dan Pengajarannya.
Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.

Waluyo, Herman J. 2005. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta:
Erlangga.

Lampiran 259

Wiyanto, Asul. 2002. Terampil Bermain Drama. Jakarta:
Grasindo.

Yudiaryani. 2002. Panggung Teater Dunia, Perkembangan dan
Perubahan Konvensi. Jogjakarta: Pustaka Gondho Suli bekerja sama
dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.

Zaidan, Abdul Rozak. 2002. Pedoman Penelitian Sastra Daerah.
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Zentgraaff, A.C. 1983. Aceh. Jakarta: Penerbit Beuna.

260 Metode Penelitian

Contoh 9

Proposal Penelitian Kebijakan 1

PROPOSAL
STUDI KEBIJAKAN TAMAN BACAAN MASYARAKAT

ASPIRASI MASYARAKAT ACEH
TERHADAP PEMBANGUNAN TAMAN BACAAN
DI PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM

oleh:
Rajab Bahry

Azwardi
Sa’adiah

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
PUSAT BAHASA

BALAI BAHASA BANDA ACEH
JANUARI, 2006

Lampiran 261

IDENTITAS DAN PENGESAHAN PROPOSAL PENELITIAN
SATKER BADAN REKONSTRUKSI
DAN REHABILITASI NAD-NIAS

1. a. Judul Penelitian : Aspirasi Masyarakat Aceh terhadap
b. Macam Penelitian
Pemba-ngunan Taman Bacaan di

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
: Survei

2. Ketua Peneliti

a. Nama Lengkap : Dr. Rajab Bahry, M.Pd.

b. Jenis Kelamin : Laki-Laki

c. Golongan, Pangkat, NIP : III/d, Penata Tk I, 131472835

d. Jabatan Fungsional : Lektor

e. Jabatan Struktural :-

f. Fakultas/Jurusan : FKIP/Pendidikan Bahasa dan Seni

3. Jumlah Tim Peneliti : 3 Orang

4. Lokasi Penelitian : Wilayah Timur-Utara Provinsi NAD

5. Lama Penelitian : 4 Bulan

6. Biaya Penelitian : Rp75.000.000,00

Mengatahui Banda Aceh, 3 Januari 2006
Kepala Balai Bahasa Banda Aceh, Ketua Peneliti,

Dr. Rajab Bahry, M.Pd. Dr. Rajab Bahry, M.Pd.
NIP 131472835 NIP 131472835

262 Metode Penelitian

ASPIRASI MASYARAKAT ACEH
TERHADAP PEMBANGUNAN TAMAN BACAAN
DI PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM

1. Latar Belakang Masalah
Meskipun bangsa Indonesia sudah 60 tahun merdeka, standar dan
kualitas hidup sebagian besar rakyatnya masih jauh tertinggal dari
bangsa-bangsa Asia lainnya. Kemampuan baca-tulis Indonesia hanya
sekitar 36%, atau terendah kedua di dunia setelah Venezuela (33,9%).
Sebagai perbandingan, di Indonesia, rasio satu buku dibaca oleh empat
orang, sedangkan di negara-negara maju setiap orang membaca empat
buku sekaligus. Demikian pula akses surat kabar, yang hanya 2,8% di
Indonesia, sedangkan di negara maju angkanya sudah mencapai 10-30%.

Upaya mendongkrak minat baca, juga minat belajar, kini
memang sudah dimulai di Indonesia. Purwokerto ditunjuk menjadi
salah satu pilot project. Meskipun demikian, budaya baca masyarakat
Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Oleh karena budaya baca
yang rendah ini, mutu SDM Indonesia akan semakin tertinggal jauh
dari negara lain.

Banyak faktor yang terlibat dalam usaha peningkatan budaya
baca, misalnya, orangtua, guru, sekolah, masyarakat, pemerintah, dan
sarana. Orang tua dapat menjadi contoh di rumah dengan membiasakan
membaca apa saja (koran, majalah, tabloid, buku, dan sebagainya),
menyediakan bahan-bahan bacaan yang menarik dan mendidik,
mengajak anak berkunjung ke pameran buku sesering mungkin, dan
memasukkan anak menjadi anggota perpustakaan.

Guru dapat mengajak siswa untuk membaca, menelaah buku-
buku yang menarik, dan memberi tugas yang sumbernya dicari di
perpustakaan. Guru dapat pula mewajibkan siswa membaca satu buah

Lampiran 263

buku setiap minggu, dan orang tua wajib menandatangani laporannya.
Masyarakat pun dapat berperan aktif menumbuhkan minat baca dengan
mendirikan klub atau forum membaca seperti “Rumah Baca”, “Pondok
Baca”, “Klub Baca”, “Komunitas 1001 Buku”, dan “Desa Buku”.
Selain itu, pemerintah, bagaimanapun sulit kondisi ekomoninya,
idealnya, harus memperhatikan keadaan budaya membaca ini. Jika
tidak, pada era pasar bebas nanti masyarakat Indonesia hanya akan
menjadi pembantu atau masyarakat marginal yang tidak dapat mengisi
fungsi-fungsi strategis dalam percaturan kehidupan dunia.

Sarana baca seperti perpustakaan atau taman bacaan atau pondok
baca merupakan tempat ideal bagi orang yang ingin memperoleh
pengetahuan yang tidak mau atau tidak mampu membeli buku.
Sekarang ini puluhan ribu tempat tersebut masih dibutuhkan di tanah
air kita. Fungsi suatu pondok baca, antara lain, menyediakan sarana
informasi berupa buku-buku bacaan, mengadakan program-program
rutin yang melibatkan siswa dan masyarakat, mengadakan berbagai
lomba, memberikan bimbingan membaca, memberikan penghargaan
kepada pengunjung setia, dan melakukan kunjungan ke tempat-tempat
lain seperti museum untuk menambah wawasan pengetahuan.

Dalam konteks pembangunan Aceh ke depan, percepatan akses
informasi melalui taman bacaan dipandang urgen untuk diperhatikan,
lebih-lebih dalam rangka rekontruksi dan rehabilitasi pascagempa dan
tsunami. Oleh karena itu, aspirasi dari berbagai komponem masyarakat
perlu diakomodasi secara baik untuk selanjutnya dianalisis dan
diaktualisasikan dalam berbagai kebijakan strategis.

Salah satu upaya peningkatan SDM pada umumnya adalah
melalui membaca. Membaca dapat membuka cakrawala berpikir
manusia. Apalagi pada era globalisasi saat ini, penyebaran informasi
berlangsung cepat. Suatu masyarakat tidak akan pernah maju
jika tidak mengikuti informasi yang berkembang. Kemampuan

264 Metode Penelitian

memperoleh informasi melalui media cetak makin penting dalam
masyarakat yang tumbuh menjadi masyarakat yang kompleks.
Teknologi canggih menuntut tingkat pendidikan yang tinggi yang pada
umumnya bergantung kepada adanya media cetak (Harjasujana dan
Mulyati, 1996/1997:3). Hal tersebut juga berarti bahwa ketersediaan
bahan bacaan dan kemampuan mengolah bahan bacaan (membaca)
merupakan hal yang sangat urgen. Anggota masyarakat yang ilateral
ialah anggota masyarakat yang tidak mampu membaca, mereka akan
senantiasa terpencil dan merasa diisolasikan karena tidak terjangkau
oleh informasi yang seharusnya sampai kepadanya.

Kemampuan membaca mempunyai makna yang penting dalam
kehidupan sehari-hari. Untuk memahami iklan dalam surat kabar,
misalnya, diperlukan kemampuan membaca peringkat enam dan tujuh.
Untuk memahami petunjuk yang ada dalam berbagai pembungkus
obat, materi bacaan yang harus diisi oleh wajib pajak, surat perjanjian,
petunjuk dalam buku tabanas, dan sebagainya dibutuhkan kemampuan
membaca dengan tingkatan tertentu.

Kenyataan di atas mengindikasikan bahwa agar masyarakat di
Provinsi NAD pascatsunami dapat berkembang sebagai masyarakat
yang berkualitas, pada tahap rehabilitasi (Juli 2005-Desember
2006) perlu dikembangkan berbagai program sebagai kelanjutan
pemberdayaan sumber daya manusia. Sumber daya manusia
merupakan ujung tombak untuk membangun Aceh yang berkualitas.
Untuk itu, perlu dibangun sarana dan prasarana yang dapat menunjang
pembangunan sumberdaya manusia dimaksud.

Selain sekolah, pesantren, sanggar kegiatan belajar, balai
pengembangan kegiatan belajar, taman bacaan (perpustakaan)
merupakan sarana terpenting untuk membangun sumber daya manusia.
Pembangunan taman bacaan tersebut perlu dilaksanakan dengan
memperhatikan asas manfaat dan tepat guna. Dengan perkataan lain,

Lampiran 265

pengadaan taman bacaan dimaksud harus benar-benar tepat sasaran.
Pengadaan taman bacaan, terutama, dimaksudkan untuk

meningkatkan kebiasaan dan minat baca masyarakat. Budaya baca
perlu dibina agar dapat tercipta masyarakat yang gemar membaca.
Membaca seharusnya dipandang sebagai suatu kebutuhan. Bidang apa
saja yang ditekuni oleh seseorang selalu membaca. Setiap bidang ilmu
yang telah berkembang melalui media cetak harus dipelajari melalui
kegiatan membaca. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa membaca
merupakan alat untuk memperoleh pengetahuan (Bahry, 2000:13).

Dengan adanya taman bacaan di setiap daerah diharapkan
masyarakat di daerah yang bersangkutan tidak tertinggal oleh arus
informasi yang sangat beragam. Oleh karena itu, sebagai langkah awal
pengadaan taman bacaan, perlu dilakukan asesmen dan penjaringan
aspirasi masyarakat, termasuk di dalamnya stakeholders. Hal ini
dimaksudkan agar pembangunan yang dilaksanakan aspirasinya berasal
dari bawah, yaitu dari masyarakat. Bagaimanakah wujud taman bacaan
yang mereka butuhkan, bagaimanakah proses pembangunannya,
unsur-unsur apakah yang terlibat di dalamnya, dan hal-hal apakah
yang harus dilengkapi untuk mendukung kehadiran taman bacaan di
suatu tempat/daerah? Sebagai contoh, di suatu daerah banyak dijumpai
masyarakat yang ilateral atau tidak mampu membaca. Hal yang harus
dilengkapi untuk mendukung kehadiran taman bacaan adalah program
pemberantasan buta aksara. Dengan demikian, kehadiran taman
bacaan di tempat tersebut akan sangat bermanfaat.

Berkaitan dengan usaha peningkatan budaya baca, ada beberapa
contoh taman bacaan yang telah dilakukan.
(1) Di Jepang didirikan bunko. Bunko adalah tempat untuk membaca

yang disediakan oleh ibu-ibu yang tempat tinggalnya jauh dari
perpustakaan dan di tempai itu disediakan buku-buku bacaan bagi
keperluan anak-anak. Masyarakat Jepang sangat respek dengan hal

266 Metode Penelitian

itu, padahal mereka merupakan masyarakat yang memiliki budaya
membaca yang tinggi.
(2) Pondok Baca Nh. Dini yang berada di kota Semarang. Pondok baca
tersebut bertujuan membantu anak agar gemar membaca. Anak
dirangsang dan diarahkan agar mampu membaca, dilatih untuk
menikmati jenis buku yang disenangi. Anggota taman bacaan ini
adalah anak-anak kampung asrama dan sekitarnya. Taman bacaan
ini sangat digemari anak-anak dari keluarga yang kurang mampu
sehingga dalam waktu singkat pesertanya sangat banyak.
(3) Mengikuti jejak Nh. Dini, sukarelawan di Jakarta dan Bandung
banyak mendirikan taman bacaan. Taman bacaan yang didirikan di
kota besar itu sangat digemari oleh anak-anak.
(4) Penelitian Rajab Bahry tentang pondok baca di Depok, Jawa Barat,
juga menunjukkan bahwa pondok baca mampu meningkatkan
budaya baca bagi anak-anak.

Taman bacaan memang merupakan salah satu faktor dalam
peningkatan budaya baca. Peran taman bacaan ini tidak perlu diragukan
lagi dan taman bacaan merupakan sarana yang sangat tepat bagi
kondisi Aceh yang baru ditimpa musibah gempa dan tsunami. Sarana
baca bagi anak dan juga bagi masyarakat hancur akibat gempa dan
tsunami. Dengan demikian, pembangunan taman bacaan merupakan
langkah yang tepat dilakukan.

Meskipun demikian, taman bacaan tidak dapat dengan serta
merta membangkitkan minat baca. Hal ini sudah pernah dilakukan
oleh Pusat Bahasa dengan program ’Taman Bacaa’. Program
tersebut gagal karena budaya masayarakat Indonesia adalah budaya
’dengar’ (Soedijarto, 1955:1). Seperti yang disebutkan di atas, bunko
dapat meningkatkan budaya baca anak Jepang karena budaya baca
masyarakatnya yang sudah tinggi. Sementara itu, bunko mungkin

Lampiran 267

belum tentu sesuai dengan budaya masyarakat Aceh karena budaya
baca masyarakat rendah. Oleh karena itu, harus dicari model taman
bacaan yang sesuai dengan budaya Aceh.

Ada beberapa model taman bacaan yang telah berhasil
meningkatkan budaya baca. Dengan membandingkan model-model
taman bacaan ini, kita dapat mengambil suatu patokan taman bacaan
seperti apa yang sesuai dengan budaya masyarakat Aceh. Oleh karena
itu, kita masih perlu mencari aspirasi masyarakat agar taman bacaan
yang dibangun di Aceh tidak menjadi usaha yang sia-sia. Model
taman bacaan yang telah pernah didirikan dan ternyata telah berhasil
meningkatkan budaya baca anak, antara lain, (1) Pondok Baca Nh.
Dini, (2) Pondok Baca Eksperimen Rajab Bahry, dan (Pondok Baca
Rekomendasi Rajab Bahry).

Penelitian ini merupakan langkah awal untuk mencapai suatu
pembangunan sarana pendukung pendidikan dan upaya pencerdasan
kehidupan bangsa, yakni pembangunan taman bacaan di wilayah
NAD. Untuk pembangunan sarana tersebut, perlu diketahui berbagai
aspirasi masyarakat tentang pembangunan taman bacaan di daerahnya
dan data pendukung untuk membangun taman bacaan dimaksud.

Permasalahan yang mendasar dalam masyarakat Indonesia
adalah budaya baca yang rendah (Soedijarto, 1994:175), termasuk
masyarakat Aceh. Rendahnya budaya baca akan berdampak negatif
terhadap kebiasaan dan minat baca anak. Dampak ini terbukti dari
hasil penelitian Elly (1992:14) yang menunjukkan bahwa kemampuan
membaca murid SD di Indonesia rendah, yaitu berada pada peringkat
ke-29 dari 30 negara yang diteliti. Hal ini sangat memprihatinkan
dan dapat merugikan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada
suatu usaha yang kongkret untuk meningkatkan budaya baca anak di
Indonesia pada umumnya.

268 Metode Penelitian

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, secara fokus masalah
penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
(1) Bagaimana aspirasi masyarakat Aceh terhadap pembangunan

taman bacaan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam?
(2) Model taman bacaan yang bagaimana yang ideal dikembangkan

dalam upaya membangkitkan minat baca anak-anak di Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam?

3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
(1) mendeskripsikan aspirasi masyarakat Aceh terhadap pembangunan

taman bacaan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
(2) mendeskripsikan aspirasi masyarakat tentang model taman bacaan

yang ideal dikembangkan dalam upaya membangkitkan minat
baca anak-anak di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

4. Signifikansi Penelitian
Penelitian ini sangat besar manfaatnya dalam peningkatan budaya
baca masyarakat, karena pembangunana taman bacaan tidak dapat
serta merta meningkatkan minat baca masyarakat. Oleh karena itu,
pembangunan taman bacaan itu harus disesuaikan dengan keinginan
masyarakat Aceh. Masyarakat harus mengetahui terlebih dahulu
sarana yang akan dibangun di tempat mereka. Hal ini diperlukan agar
mereka memahami sejak awal tujuan pembangunan tersebut.

Secara terperinci penelitian ini mempunyai beberapa manfaat
bagi berbagai bidang, yaitu
(1) Bagi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias
Bagi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD-Nias, hasil penelitian

Lampiran 269

ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan dalam menyusun dan
menentukan arah kebijakan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh dalam
bidang peningkatan budaya baca.

(2) Bagi Pemda NAD
Bagi Pemerintah Daerah baik di tingkat provinsi maupun di tingkat
kabupaten/kota, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah
satu upaya peningkatan SDM melalui budaya baca.

(3) Bagi Peneliti
Bagi peneliti, kegiatan penelitian ini merupakan upaya perwujudan
tridarma perguruan tinggi, yaitu pendidikan dan pengajaran, penelitian,
dan pengabdian kepada masyarakat.

(4) Bagi Masyarakat
Bagi masyarakat, penelitian ini merupakan upaya nyata melibatkan
masyarakat dalam menampung aspirasi mereka sehubungan dengan
rehabilitasi dan rekon-struksi NAD dalam bidang pendidikan. Aspirasi
masyarakat turut menentukan arah pembangunan. Sebagai indikator
keberhasilan dapat dikemukakan bahwa pembangunan Taman Bacaan
diharapkan dapat meningkatnya budaya baca anak.

5. Kajian Pustaka
5.1 Konsep Taman Bacaan
Taman bacaan pada hakikatnya adalah sebuah tempat yang di dalamnya
tersedia bahan bacaan. Bahan bacaan itu dapat berupa buku-buku ilmu
pengetahuan, buku-buku fiksi, majalah, komik, maupun koran. Tempat
tersebut dikelola dengan sistematis oleh beberapa orang staf. Tempat
tersebut harus ditata sedemikian rupa, sehingga setiap buku, majalah,
komik, maupun koran tersususn rapi pada tempatnya masing-masing.

270 Metode Penelitian

Pada prinsipnya taman bacaan adalah (1) menyediakan bahan-
bahan bacaan untuk anak-anak, (2) mengundang anak-anak untuk
membaca, (3) membimbing anak-anak membaca, (4) mengusahakan
agar anak-anak dapat mengerti apa yang sudah dibacanya.

Taman bacaan ini bersifat membantu anak untuk memperoleh
bahan bacaan. Bahan bacaan biasanya susah dijangkau anak karena
(1) jauh dari perpustakaan, (2) tidak tersedianya bahan bacaan di
perpustakaan, (3) tidak menemukan bahan bacaan yang diinginkannya
di perpustakaan.

Keberadaan taman bacaan harus dapat mengatasi persoalan klasik
tersebut di atas, pendidikan itu harus terpecahkan dengan kehadiran
taman bacaan. Artinya anak tidak lagi jauh dengan tempat membaca,
harus menyediakan bahan bacaan yang sesuai dengan tingkat dan
kamauan anak, dan membantu anak menemukan bahan bacaan yang
diinginkannya. Kemudahan-kemudahan yang dirasakan anak dalam
membaca inilah akan dapat menumbuhkembangkan minat baca anak.

Keberadaan taman bacaan juga lebih bermanfaat bagi anak-
anak yang berasal dari keluarga kurang mampu dan orang tuanya
berpendidikan rendah. Pengamatan ini tidak bersifat pengkhususan,
namun lebih berorientasi pada kondisi tersebut. Kondisi tersebut
sangat penting, mengingat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)
merupakan daerah yang mengalami bencana besar pada tahun yang
lalu. Ditambah lagi dengan kenyataan daerah-daerah di NAD pada
umumnya belum mempunyai taman bacaan.

Taman bacaan memang pada prinsipnya menyediakan buku-buku
yang dibutuhkan anak, namun taman bacaan tidak banyak manfaat jika
tidak disesuaikan dengan keadaan masyarakat. Masyarakata yang telah
gemar membaca, seperti Perancis dan Jepang, dapat memanfaatkan
taman bacaan yang hanya menyediakan buku bacaan saja, namun
masyarakat yang belum memiliki budaya tinggi, Indonesia misalnya,

Lampiran 271

taman bacaan yang hanya menyediakan bahan bacaan tidak akan
membantu peningkatan budaya baca. Oleh karena itu perlu model taman
bacaan yang dikelola dengan baik agar dapat menciptakan budaya baca.

Rajab Bahry, (2000) mengadakan penelitian tentang pondok
baca dan hasilnya menunjukkan bahwa (1) pondok baca sangat efektif
dalam peningkatan kebiasaan dan minat baca anak yang berasal dari
keluarga yang kurang mampu dan berpendidikan rendah, (2) kegiatan
awal dalam peningkatan kebiasaan dan minat baca anak yang berasal
dari keluarga kurang mampu harus berorientasi pada usaha pengalihan
kebiasaan mendengar menjadi kebiasaan membaca, (3) keluarga
mempunyai peran yang sangat besar dalam peningkatan kebiasaan
dan minat baca anak, (4) penyediaan bahan bacaan bagi anak yang
berasal dari keluarga kurang mampu dan berpendidikian rendah sangat
tergantung pada bimbingan membaca, (5) kebebasan dalam memilih
buku yang akan dibaca berdampak sangat efektif dalam peningkatan
minat baca, (6) kebiasaan dan minat baca anak akan meningkat bila
anak memahami makna materi yang dibacanya, (7) konsep Lure dan
Ladder sangat cocok dalam peningkatan minat kebiasaan dan minat
baca anak, (8) peningkatan kebiasaan dan minat baca akan lebih efektif
bila ditangani secara terpadu oleh berbagai pihak yang terkait, (9) upaya
peningkatan kebiasaan dan minat baca anak yang berasal dari keluarga
yang kurang mampu dan berpendidikan rendah harus dilaksanakan
secara berkesinambungan karena kebiasaan dan minat baca yang baru
tumbuh dapat segera berkurang jika upaya peningkatan dihentikan, (10)
upaya peningkatan kebiasaan dan minat baca yang berasal dari keluarga
yang kurang mampu dan berpendidikan rendah harus mulai sejak dini
dan dari dasar karena kebiasaan mereka dapat terbentuk dalam kegiatan
lain yang bisa menghambat pertumbuhan minat baca.

Berdasarkan hasil penelitian ini kiranya dapat diterapkan model
taman bacaan yang akan dibangun di NAD karena kondisi masyarakat

272 Metode Penelitian

banyak yang kurang mampu dalam menyediakan bahan bacaan. Selain
itu, kondisi anak juga tidak jauh berbeda dengan keadaan anak yang
diteleiti yaitu anak tinggal di tengah masyarakat yang tidak mempunyai
minat baca yang tinggi.

5.2 Kebiasaan dan Minat Baca
Untuk mengembangkan kebiasaan dan minat baca tentunya
dibutuhkan berbagai macam sarana dan prasarana serta konsep-konsep
pengembangannya. Hal yang paling utama untuk menumbuhkan
kebiasaan dan minat baca itu adalah adanya tempat yang berupa
perpustakaan atau taman bacaan. Kemudian dilengkapi dengan buku-
buku, majalah-majalah, komik-komik dan bahan bacaan lainnya yang
mempunyai ransangan untuk dibaca.Selain itu, konsep-konsep yang
memberdayakan prasarana tersebut juga sangat dibutuhkan. Konsep
itu adalah untuk memotivasi anak agar mau dan mampu menggunakan
prasarana yang tersedia.

Harris (1977: 526) mengatakan bahwa the basic principle of
succesful work in developing reading interets have been admirably
summarized as consiting of a lure and a ledder . Lure (daya tarik)
berarti cara yang dilaklukan agar anak senang membaca adalah
adanya daya tarik. Bagaimana daya tarik itu diciptakan? adalah tugas
orang tua, lingkungan dan pengelola taman bacaan. Daya tarik itu
dapat diciptakan dengan menceritakan cerita yang menarik kepada
anak. Anak akan tambah keingintauannya, dia akan mencari, kita
hanya mengatakan cerita itu ada dalam buku. Ledder (tangga) berarti
penyediaan bahan bacaan yang pantas dan bejenjang sehingga anak
menjadikan buku sebagai kebutuhan.

Konsep lain dalam meningkatkan minat baca adalah kebebasan
yang diberikan kepada anak dalam menentukan bahan yang
disenanginya. Harris (1977: 534) menyatakan, one of the most

Lampiran 273

impertant ingredients in stimulating intrerest is free-free time durring
which the children are allowed to read materials of their own choise
and to discuss what they have read. Artinya berikanlah kebebasan pada
anak membaca dan menceritakan materi yang disukainya. Prinsip ini
juga dapat diartikan bahwa selain bahan yang disediakan, anak diberi
kebebasan membaca bahan yang disenanginya.


5.3 Faktor yang Mempengaruhi Kebiasaan dan Minat Baca
Kebiasaan dan minat baca tidak tumbuh denngan sendirinya. Kebiasaan
dan minat baca akan tumbuh apabila didukung oleh berbagai macam
faktor. Purves dan Beach (Harris: 1977:514) mengelompokkan faktor
yang mempengaruhi kebiasaan dan minat baca menjadi dua kelompok
yaitu faktor personal dan faktor instruksional.

Faktor personal yang mempengaruhi kebiasaan dan minat baca
adalah umur, kelamin, intelegensi, kemampuan membaca, sikap
dan kebutuhan psikologis. Faktor instruksional yang mempengaruhi
kebiasaan dan minat baca adalah tersedianya buku, status ekonomi,
latar belakang etnik, teman sebaya, orang tua, pengaruh guru dan
tontonan. Faktor-faktor tersebut di atas dapat mempengaruhi kebiasaan
dan minat baca itu menjadi baik atau menjadi buruk.


5.4 Upaya Peningkatan Kebiasaan dan Minat Baca
Kebiasaan dan minat baca suatu bangsa perlu terus diupayakan
peningkatannya. Upaya peningkatan ini perlu terus ditingkatkan di
Indonesia mengingat kebiasaan dan minat baca di Indonesia masih
rendah (Bahry,2000:99). Menurut Suryadi Soedirja (kompas 6-8,
1996) juga mengatakan masyarakat Jakarta juga termasuk kelompok
masyarakat yang tingkat pendidikannya relatif cukup, belum gemar
membaca. Jika dibandingkan dengan masyarakat yang berpendidikan
rendah, keadaannya tentu lebih buruk. Oleh karena itu, kebiasaan dan

274 Metode Penelitian

minat baca masih perlu ditingkatkan di daerah manapun di Indonesia.
Upaya peningkatan kebiasaan dan minat baca dapat dilakukan

dengan berbagai cara. Norton (1988:4) mengatakan ” Book can paly a
significant role in the life of child, but the extent to wich they do depends
entirely upon edults”. Pendapat ini mengisyaratkan bahwa buku dapat
menyenangkan bagi anak dan berperan dalam kehidupan, tetapi caranya
tergantung pada orang tua yang ada di sekitar anak. Dengan demikian
peran orang tua dalam peningkatan buaya baca sangat besar.

Haris (1977:534) mengatakan,”One of the important ingredients
in stimulating interest is free-free time during wich the children are
allowed to read materials of their own choise and discuss what they have
read”. Konsep ini mengandung pengertian bahwa dalam peningkatan
budaya baca anak diberikan kebebasan untuk memilih bahan yang
dibaca dan bebeas untuk menceritakan atau mendiskusikannya.
Selain itu, Burns (1988: 443) mengatakan bahwa dalam peningkatan
kebiasaan membaca anak bisa dilakukan dengan menggunakan
keterampilan bercerita (storytelling). Usaha lain yang dapat
meningkatkan kebiasan membaca adalah dengan mendirikan Pondok
Baca seperti yang dilakukan oleh Nh.Dini (Rajab: 2000: 105). Pondok
baca yang didirikannya di Semarang telah dapat membangkitkan
minat baca anak dan model seperti ini telah banyak ditiru oleh orang
di Pulau Jawa. Konsep pondok baca yang mirip dengan taman bacaan
kiranya merupakan hal yang juga mampu meningkatkan minat atau
budaya baca masyarakat di NAD.

6. Metodologi Penelitian
6.1 Populasi dan Sampel Penelitian
6.1.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian ini adalah anggota masyarakat yang berdiam dalam
wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Mereka tersebar pada

Lampiran 275

7 kabupaten dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Mengingat jumlah populasi penelitian ini cukup banyak dan beragam,
untuk memudahkan pengumpulan data perlu ditetapkan sampel penelitian.

6.1.2 Sampel Penelitian
Sampel adalah bagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Sampel
penelitian ini terdiri atas tingkat-tingkat atau strata, yaitu strata umur
dan strata pendidikan. Strata umur mencakup sampel yang berumur
antara 15—25 tahun, 26—40 tahun, dan 41—55 tahun. Strata
pendidikan mencakup pendidikan tinggi, pendidikan menengah,
pendidikan dasar, dan tidak tamat pendidikan dasar. Dari segi ini,
penentuan sampel dilakukan dalam bentuk sampling berstrata atau
stratified sampling.

Di sisi lain, penelitian ini juga mencakup wilayah atau area, yaitu
21 kabupaten dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dalam hal ini peneliti juga menetapkan sampel wilayah dalam bentuk
sampel proporsi atau sampel imbangan (proportional sample). Teknik
pengambilan sampel imbangan ini dilakukan untuk menyempurnakan
penggunaan sampel berstrata dan sampel wilayah. Hal ini mengingat
bahwa banyaknya subjek di setiap wilayah tidak sama. Oleh karena itu,
untuk memperoleh sampel yang representatif, pengambilan subjek dari
setiap strata atau setiap wilayah ditentukan seimbang atau sebanding
dengan banyaknya subjek dalam masing-masing strata atau wilayah.

Sebagai langkah awal, sampel atau responden penelitian ini
ditetapkan sebanyak 30 orang per wilayah atau area. Sampel tersebut
sudah mencakup sampel berstrata, yang dalam penelitian ini dilihat dari
strata umur dan strata pendidikan. Dalam hal ini, sampel penelitian ini
mencakup sampel area atau wilayah dan sampel berstrata pada setiap
wilayah penelitian. Dengan demikian, jumlah sampel atau responden
penelitian ini adalah 210 orang yang tersebar pada 7 kabupaten dalam

276 Metode Penelitian

wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

6.2 Metode dan Teknik Penelitian
Sesuai dengan jenis data, teknik pengumpulan data, dan analisis
data, penelitian ini menggunakan gabungan pendekatan kualitatif-
-kuantitatif. Kedua pendekatan tersebut diterapkan bersama-sama
dalam penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga tergolong sebagai
penelitian deskriptif dalam bentuk survai. Survai dapat luas, bahkan
sangat luas maupun sempit ditinjau dari wilayah geografis maupun
variabelnya (Van Dalen dalam Arikunto, 1998:91—92).

Survai sebagai bagian dari penelitian deskriptif meliputi (1)
School survey, (2) job analysis, (3) document analysis (4) public
opinion surveys, dan (5) community surveys (Van Dalen dalam
Arikunto, 1998:92—93). Survai yang diterapkan dalam penelitian ini
adalah survai opini publik (public opinion surveys). Survai ini bertujuan
untuk mengetahui pendapat umum tentang suatu hal misalnya tentang
rehabilitasi suatu bangunan bersejarah, tentang jalan suatu jurusan,
pemasangan lampu lalu lintas, dan sebagainya.

Penelitian ini berusaha mendeskripsikan karakteristik atau ciri-
ciri kelompok, kejadian, atau fenomena. Survai sebagai salah satu
teknik penelitian deskriptif lazimnya dipakai untuk mengukur tiga
hal, yaitu (1) eksistensi dan distribusi berbagai tingkah laku atau
karakteristik yang terjadi secara alami, (2) frekuensi kemunculan
kejadian yang terjadi secara alami, dan (3) hubungan serta besarnya
hubungan-hubungan yang mungkin ada antara karakteristik, tingkah
laku, kejadian, atau fenomena yang menjadi perhatian peneliti.

Di sisi lain, survai dapat digunakan untuk (1) mengetahui opini,
sikap, atau persepsi subjek, (2) menilai informasi faktual, dan (3)
mengetahui standar yang berlaku dan membandingkannya dengan
kondisi yang ada di lapangan (Alwasilah, 2003:151; Arikunto, 1998:91).

Lampiran 277

6.2.1 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan teknik-teknik
sebagai berikut.
(1) Survai/Kuesioner/Angket
Survai merupakan teknik utama pengumpulan data penelitian ini.
Penggunaan teknik survai dimaksudkan untuk menjaring aspirasi
masyarakat sehubungan dengan rencana pengadaan Taman Bacaan di
daerah-daerah dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Survai dalam bentuk kuesioner atau angket terdiri atas sejumlah
pertanyaan yang berkenaan dengan aspirasi masyarakat sehubungan
dengan rencana pengadaan Taman Bacaan dimaksud. Pertanyaan-
pertanyaan yang disusun mencakup pertanyaan dengan jawaban
terbuka dan jawaban tertutup. Dengan kata lain, kuesioner atau angket
yang akan diedarkan adalah berupa gabungan angket terbuka dan
angket tertutup. Selanjutnya angket dibagikan kepada masyarakat
yang menjadi sampel penelitian ini.

(2) Wawancara
Teknik wawancara dalam penelitian ini dimaksudkan untuk (1)
melengkapi data primer yang dijaring melalui angket, (2) sebagai
pengecekan ulang terhadap keabsahan dan keakuratan data angket, (3)
sebagai data pembanding yang diperoleh dari hasil angket, (4) sebagai
kelengkapan data terhadap responden yang tidak berkesempatan
mengisi angket karena alasan kemampuan “tulis baca”, dan (5)
menjaring aspirasi/pendapat tokoh-tokoh masyarakat daerah setempat

Jenis wawancara yang diterapkan adalah wawancara terstruktur
dan wawancara tak terstruktur. Wawancara terstruktur bertujuan
mencari jawaban terhadap hipotesis. Untuk itu pertanyaan-pertanyaan
disusun secara ketat. Jenis wawancara ini diterapkan pada situasi
sejumlah sampel yang representatif ditanyai pertanyaan yang sama

278 Metode Penelitian

(Moleong, 2004:138).
Pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan dalam wawancara

terstruktur ini terutama dimaksudkan untuk menjaring data dari
responden yang memiliki kelemahan “baca-tulis. Wawancara ini
sekaligus merupakan pengganti angket. Mengingat pelaksanaan
wawancara memiliki daya jangkau terbatas dibandingkan angket,
jumlah informan yang akan diwawancarai akan dibatasi.

Selanjutnya, wawancara tak berstruktur dilakukan dengan
informan atau responden terpilih saja karena sifat-sifatnya yang khas.
Biasanya mereka adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan
dan mendalami situasi, dan mereka lebih mengetahui informasi
yang diperlukan. Dalam kerangka wawancara tersebut, pertanyaan-
pertanyaan tidak disusun secara “ketat’. Pertanyaan yang dipersiapkan
oleh peneliti berupa pertanyaan-pertanyaan pokok atau garis-garis
besar pertanyaan. Lebih lanjut pelaksanaan tanya-jawab berlangsung
seperti dalam percakapan sehari-hari.

Wawancara tak tersruktur ini dipandang penting untuk dilakukan
atas dasar pertimbangan-pertimbangan berikut.
(1) Peneliti akan berhubungan dengan tokoh-tokoh masyarakat.
(2) Peneliti ingin mengetahui sesuatu secara lebih mendalam lagi pada

subjek tertentu.
(3) Peneliti akan memerlukan data tertentu yang dipandang cukup urgen.
(4) Peneliti akan mengungkapkan motivasi, maksud, atau penjelasan

dari responden.
(5) Peneliti akan mencoba mengungkapkan pengertian suatu peristiwa,

situasi, atau keadaan tertentu.

(3) Pengamatan
Teknik pengamatan yang diterapkan dalam penelitian ini adalah
pengamatan berperan serta. Pengamat atau peneliti dalam hal ini

Lampiran 279

menjadi anggota penuh dari kelompok yang diamatinya. Dengan
demikian, pengamat dapat memperoleh infomasi apa saja yang
dibutuhkan, termasuk informasi yang tidak terjangkau dengan teknik
angket dan wawancara.

Secara metodologis, alasan penggunaan teknik pengamatan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) Pengamatan mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif,

kepercayaan, perhatian, dan perilaku tak sadar, dan kebiasaan.
(2) Pengamatan memungkinkan peneliti untuk melihat ‘dunia’

sebagaimana yang dilihat oleh subjek penelitian.
(3) Untuk menghindari bias data, pengamatan dapat mengecek

keabsahan data.
(4) Pengamatan memungkinkan peneliti memahami situasi-situasi

yang rumit dan kompleks

(4) Catatan Lapangan
Catatan lapangan adalah catatan tertulis tentang apa yang didengar,
dilihat, dialami, dan dipikirkan dalam rangka pengumpulan data dan
refleksi terhadap data dalam penelitian kualitatif (Bogdan dan Biklen,
1982:74). Catatan lapangan berperan penting dalam analisis data,
terutama dalam kaitannya dengan penunjangan hipotesis, penentuan
kepercayaan keabsahan data, semuanya didasarkan atas data yang
didapat dari catatan lapangan.

Catatan lapangan yang dipandang cukup penting dalam penelitian
ini adalah catatan hasil pengamatan. Catatan hasil pengamatan
tersebut dipandang memberi urunan yang cukup berarti terhadap data
yang dijaring melalui angket dan wawancara. Catatan pengamatan
merupakan pernyataan tentang semua peristiwa yang dialami, yaitu
yang dilihat dan didengar. Catatan lapangan berisi data sebagaimana
adanya tanpa penafsiran dari peneliti.

280 Metode Penelitian

6.2.2 Teknik Penganalisisan Data
Analisis data merupakan proses mengatur urutan data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan
uraian dasar. Penafsiran data, yaitu memberikan arti yang signifikan
terhadap analisis, menjelaskan pola uraian, dan mencari hubungan di
antara dimensi-dimensi uraian.

Sejalan dengan pendekatan penelitian ini, yaitu pendekatan
kuantitatif—kualitatif, data atau temuan penelitian juga diolah dan
dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Kegiatan analisis dan
penafsiran data penelitian ini adalah sebagai berikut.

(1) Data Survai
Data survai yang dijaring melalui kuesioner atau angket dianalisis
secara kuantitatif dalam bentuk tabulasi dengan menghitung
persentase jawaban responden terhadap setiap butir pertanyaan yang
diajukan. Lebih lanjut hasil persentase dimaksud dideskripsikan untuk
memudahkan penarikan simpulan.

(2) Data Wawancara dan Data Pengamatan
Data hasil wawancara dan hasil pengamatan diolah secara kualitatif.
Data hasil wawancara dipilah atas (1) data hasil wawancara terstruktur
dan (2) data hasil wawancara tak terstruktur. Data hasil wawancara
terstruktur merupakan data utama sebagaimana halnya data yang
diperoleh dari angket. Kedua data ini dapat saling mendukung.
Selanjunya, data hasil wawancara tak terstruktur merupakan data yang
dijaring melalui tokoh-tokoh masyarakat setempat. Data ini merupakan
data penunjang. Namun, keberadaan data tersebut juga cukup penting.
Data hasil pengamatan yang berupa catatan lapangan juga merupakan
data penunjang. Temuan ini sangat bermakna dalam penafsiran data.

Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:
(1) Pemberian kode untuk setiap kategori data.
(2) Menyusun kategorisasi data.

Lampiran 281

(3) Mendeskripsikan data dan menafsirkan data.
(4) Pemaknaan data.
(5) Pengecekan keabsahan data (triangulasi data)
(6) Penarikan simpulan.

6.3 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini adalah angket dan pedoman wawancara.
Angket dan pedoman wawancara berisi sejumlah pertanyaan berkenaan
dengan aspirasi masyarakat sehubungan dengan rencana pengadaan
Taman Bacaan di daerah-daerah dalam wilayah Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam.

Gambaran umum pokok-pokok pertanyaan dalam penjaringan
aspirasi masyarakat adalah sebagai berikut.
(1) Pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi daerah dan masyarakat

setempat.
(2) Pertanyaan yang berkaitan dengan tingkat pendidikan masyarakat

setempat.
(3) Pertanyaan yang berhubungan dengan jumlah usia sekolah.
(4) Pertanyaan yang berhubungan dengan hal-hal yang dibutuhkan

masyarakat setempat
(5) Pertanyaan yang berhubungan dengan rencana pengadaan Taman

Bacaan.
(6) Pertanyaan yang berhubungan dengan pendapat atau nilai.

Pertanyaan jenis ini ditujukan untuk memahami proses kognitif
dan interpretatif dari subjek. Jawaban terhadap pertanyaan ini
memberikan gambaran kepada peneliti mengenai apa yang dipikirkan
tentang dunia atau tentang suatu program khusus. Pertanyaan itu
menceritakan tujuan, keinginan, harapan, dan nilai. Misalnya,
“Bagaimana pendapat Saudara tentang…?”

282 Metode Penelitian

(1) Pertanyaan “bagaimanakah bila”.
(2) Pertanyaan “Apakah yang Anda harapkan …?
(3) Pertanyaan interpretatif yang menyarankan responden agar

memberikan interpretasinya tentang suatu hal yang menyangkut
program atau rencana.
(4) Pertanyaan alasan mengapa yang mengarahkan responden agar
memberikan penjelasan tentang suatu hal.
(5) Pertanyaan yang menghendaki jawaban singkat, seumpama “ya—
tidak”.
(6) Pertanyaan mengarahkan. Dalam hal ini responden diminta untuk
memberikan keterangan tambahan pada informasi yang disediakan.

7. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada tujuh kabupaten dalam wilayah
Provinsi Nanggroe Aceh Daerussalam. Ketujuh kabupaten yang
dimaksud adalah (1) Aceh Tamiang, (2) Aceh Timur, (3) Aceh Utara,
(4) Aceh Tengah, (5) Pidie, (6) Aceh Besar, dan (7) Sabang

Mengingat wilayah jangkau penelitian ini tergolong luas,
pengumpulan data dilakukan selama dua tahap. Pengumpulan data
tahap I dilakukan di wilayah barat. Selanjutnya, pengumpulan data
tahap II dilakukan di wilayah selatan. Lama waktu pengumpulan data
pada setiap daerah dilakukan selama 5 hari. Sesuai dengan jumlah
lokasi penelitian, total waktu yang dibutuhkan untuk pengumpulan
data penelitian adalah 35 hari.

Lampiran 283

DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rahman. dkk. 1985. Minat Baca Murid Sekolah Dasar di Jawa
Timur. Jakarta: P3B Depdikbud.

Abu bakar, A.H. 1985. “Countri Report on the Promation of Reading
Habit in Brunei”. Makalah the Regional Seminar on the Promation
of Reading Habit by ASEAN Libraries, Bandung.

Bahry, Rajab, 2000. Efektivitas Pondok Baca dalam Peningkatan
Kebiasaan dan Minat Membaca Anak. Desentasi Universitas
Pendidikan Indonesia.

Burns, P.C.et all. 1988. Teaching Reading in Today’s Elementary
Schools. Boston: Hougton Mifflin Company.

Djaukasi, A.H. 1994. Promosi Membaca di Llingkungan Pendidikan
Formal, dalam Soekarman (Ed.) Prosiding Seminar Nasional
Promosi Gemar Membaca di Indonesia. Jakarta: COCL.

Dryden, Garden, dan Jeannet vds. 2002. Revolusi Belajar (Alih Bahasa
Hernowo). Bandung: Kaifa.

Elley, W.B. 1992. How in the Warld do Student Read? Hamburg:
Grindeldruck Gimbh.

Harjasujana, Akhmad Slamet dan Yeti Mulyati. 1996/1997. Membaca
2. Jakarta: Depdikbud.

Harris, A.J. dan Sipay, E.R. 1977. How to Increase Reading Ability.
New York: David Mekay Company, Inc.

Norton, D.E. 1988. Through the Eyes of a Child: An Introduction to
Children’s Literaure. Columbus: Charles E. Merrill Publishing
Company.

284 Metode Penelitian

Soedijarto. 1994. Beberapa Pemikiran tentang Upaya Promosi
Membaca di Lingkungan Satuan Pendidikan Luar Sekolah, dalam
Soekarman (Ed.) Prosiding Seminar Nasional Promosi Gemar
Membaca di Indonesia, Jakarta: COCI.

Soedijarto. 1955. Some Thoughts on Reading Promotion Within out of
School Education Units. Makalah. The Regional on the Promotion
of Reading Habit by ASEAN Libraries, Bandung.

Sutan, Firmanawaty. 2004. 3 Langkah Praktis Menjadikan Anak
Maniak Membaca. Jakarta: Puspa Swara.

Tarigan, Henry Guntur. 1989. Membaca sebagai suatu Keterampilan
Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Lampiran 285

Contoh 10

Proposal Penelitian Kebijakan 2

PROPOSAL
STUDI KEBIJAKAN TAMAN KANAK-KANAK

KEBERADAAN TAMAN KANAK-KANAK
SEBAGAI SALAH SATU LEMBAGA PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

oleh:
Yusri Yusuf

Djailani
Azwardi

DINAS PENDIDIKAN
NANGGROE ACEH DARUSSALAM

2006

286 Metode Penelitian

IDENTITAS DAN PENGESAHAN PROPOSAL PENELITIAN
DINAS PENDIDIKAN NANGGROE ACEH DARUSSALAM

1. a. Judul : Keberadaan Taman Kanan-Kanak sebagai
Salah Satu Lembaga Pendidikan Anak Usia
b. Bidang Dini di Nanggroe Aceh Darussalam
2. Ketua Peneliti
: Pendidikan
a. Nama
b. Jenis Kelamin : Drs. Yusri Yusuf, M.Pd.
c. Pangkat/Gol./NIP : Laki-Laki
d. Jabatan Fungsional : Pembina/IVb/131583826
e. Jabatan Struktural : Lektor Kepala
3. Jumlah Anggota Peneliti : Sekretaris Jurusan PBS FKIP Unsyiah
Anggota 1 : 2 Orang
a. Nama
b. Jenis Kelamin : Dr. Djailani, M.Pd.
c. Pangkat/Gol./NIP : Laki-Laki
d. Jabatan Fungsional : Pembina/IVa/130525572
e. Jabatan Struktural : Lektor Kepala
Anggota 2 :-
a. Nama
b. Jenis Kelamin : Azwardi, S.Pd., M.Hum.
c. Pangkat/Gol./NIP : Laki-Laki
d. Jabatan Fungsional : Penata /IIIc/132206117
e. Jabatan Struktural : Lektor
4. Lokasi :-
5. Kerja Sama dengan Institus Lain : Nanggroe Aceh Darussalam

a. Nama : Dinas Pendidikan Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam
b. Alamat
: Jalan Teuku Daod Beureueh No. 38, Banda
6. Waktu Aceh
7. Biaya
: 3 Bulan
: Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah)

Menyetujui Ketua Tim Peneliti,
Kepala Dinas Pendidikan NAD,

Drs. H. Teuku Alamsyah Banta Drs. Yusri Yusuf, M.Pd.
Pembina Utama Madya NIP 131583826
NIP 130343205
Lampiran 287

KEBERADAAN TAMAN KANAK-KANAK
SEBAGAI SALAH SATU LEMBAGAPENDIDIKANANAK USIADINI

DI PROVINSI NANGROE ACEH DARUSSALAM

1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kunci strategis dalam pengembangan SDM.
SDM atau generasi yang unggul berawal dari pola penanganan
anak. Agar hasil sesuai dengan yang diharapkan, penanganan
anak harus dilakukan sejak janin masih dalam kandungan.
Berlandaskan pada kenyataan itulah, Direktorat Jenderal Pendidikan
Luar Sekolah dan Pemuda Departemen Pendidikan Nasional melakukan
program Pendidikan Anak Dini Usia (PADU) atau Pendidikan Anak
Usia Dini (PAUD). Program ini sudah dirintis sejak beberapa tahun
yang lalu dengan melakukan uji coba di Jawa Barat, Sulawesi Selatan,
dan Bali. PADU adalah bagian dari program pemerintah untuk
meningkatkan mutu pendidikan secara nasional.

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Nomor
51/O/2001 tanggal 19 April 2001. Untuk pembinaan, Direktorat
PADU secara umum menetapkan tiga arah pembinaan, yaitu (1)
pemerataan jangkauan layanan, (2) peningkatan kualitas dan efisiensi
penyelenggaraan, dan (3) pemantapan kelembagaan PADU.

Sehubungan dengan itu, berdasarkan Pasal 28 Undang-Undang
RI Nomor 20 Tahun 2003, secara yuridis Taman Kanak-Kanak (TK),
Raudhatul Athfal (RA), dan bentuk lain yang sederajat merupakan
salah satu bentuk lembaga pendidikan anak usia dini pada jalur
formal. Secara filosofis lembaga pendidikan ini bertujuan membantu
anak agar dapat mengembangkan berbagai potensi yang dimilikinya
sesuai dengan karakter dan keunikan mereka masing-masing. Aspek-
aspek tersebut meliputi fisik, kognitif, dan sosio-emosi (moral,

288 Metode Penelitian


Click to View FlipBook Version