The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2021-12-27 07:34:35

Metode Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

by Azwardi, S.Pd., M.Hum.

Keywords: sastra,Metode Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Hingga saat ini, belum ada peneliti yang melakukan penelitian
mengenai kemampuan siswa menulis paragraf argumentasi pada MAN
3 Banda Aceh. Berdasarkan uraian di atas, kajian ini dapat diarahkan
untuk menjawab bagaimana kemampuan siswa kelas X MAN 3 Banda
Aceh menulis paragraf argumentasi.

2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana kemampuan siswa
kelas X MAN 3 Banda Aceh menulis paragraf argumentasi? Rumusan
masalah ini dapat dirinci sebagai berikut.
(1) Bagaimana kemampuan siswa kelas X MAN 3 Banda Aceh

menulis Paragraf argumentasi berdasarkan kesatuan?
(2) Bagaimana kemampuan siswa kelas X MAN 3 Banda Aceh

menulis Paragraf argumentasi berdasarkan kepaduan?
(3) Bagaimana kemampuan siswa kelas X MAN 3 Banda Aceh menulis

Paragraf argumentasi dengan memperhatikan ketuntasan isi?

3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan siswa kelas X MAN
3 Banda Aceh menulis paragraf argumentasi. Secara khusus penelitian
ini bertujuan untuk:
(1) mendeskripsikan kemampuan siswa kelas X MAN 3 Banda Aceh

menulis Paragraf argumentasi berdasarkan kesatuan;
(2) mendeskripsikan kemampuan siswa kelas X MAN 3 Banda Aceh

menulis Paragraf argumentasi berdasarkan kepaduan;
(3) mendeskripsikan kemampuan siswa kelas X MAN 3 Banda Aceh

menulis Paragraf argumentasi dengan memperhatikan ketuntasan isi.

Lampiran 139

4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk hal-hal berikut:
(1) Bagi penulis, penelitian ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan dan wawasan tentang hubungan antara pengetahuan
dengan keterampilan menulis paragraf argumentasi.
(2) Bagi guru, hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan yang positif
dan menjadi salah satu indikator dalam menilai keberhasilan proses
pembelajaran di sekolah-sekolah, khususnya di MAN 3 Banda Aceh.
(3) Bagi siswa, dengan adanya penelitian ini, mereka dapat mengetahui
kemampuan dan potensi dirinya dalam menulis paragraf argumentasi.
Di samping itu, mereka juga dapat melatih diri dan mengembangkan
kemampuannya dalam menulis paragraf argumentasi.

5. Populasi dan Sampel Penelitian
5.1 Populasi
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X MAN 3 Banda
Aceh, tahun pelajaran 2010/2011. Jumlah siswa seluruhnya 122
orang. Mereka tersebar dalam lima kelas. Setiap kelas terdiri atas 21,
25, hingga 26 siswa. Karena populasinya relatif banyak, penelitian
dilakukan pada sampel. Distribusi populasi pada setiap kelas dapat
dilihat pada tabel berikut.

TABEL 1

POPULASI PENELITIAN

No. Kelas X Jumlah Siswa Jenis Kelamin
Laki-Laki Perempuan
1. X-I
2. X-2 25 orang 10 orang 15 orang
3. X-3
4. X-4 25 orang 7 orang 18 orang
5. X-5
26 orang 11 orang 15 orang
Jumlah
21 orang 9 orang 12 orang

25 orang 10 orang 15 orang

122 orang 47 orang 75 orang

140 Metode Penelitian

5.2 Sampel Penelitian
Sampel penelitian ini adalah siswa kelas X MAN 3 Banda Aceh.
Pemilihan sampel didasarkan kepada pendapat Arikunto (1998:120),
yaitu “... jika jumlah subjeknya besar, dapat diambil antara 10-15%
atau 20-25% atau lebih”. Penulis menetapkan sampel sebesar 25% dari
jumlah populasi. Jadi, sampel penelitian ini sebanyak 30 orang siswa
kelas X MAN 3 Banda Aceh. Pengambilan sampel dilakukan secara
random. Teknik penarikan sampel yang dilakukan yaitu mengambil 6
orang siswa dari tiap kelas secara random. Mereka dikumpulkan pada
satu kelas dan diminta untuk menulis paragraf argumentasi.

6. Metode dan Teknik Penelitian
6.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-
kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk memperoleh gambaran
tingkat kemampuan siswa kelas X MAN 3 Banda Aceh menulis
paragraf argumentasi. Pelaksanaan metode ini dapat mengikuti
langkah-langkah kerja seperti menyusun instrumen penelitian,
mengumpulkan data, mengklasifikasikan data, menganalisis data,
menarik kesimpulan, serta menulis laporan penelitian. Dalam hal
ini Sudaryanto (1988b:62) mengemukakan bahwa metode deskriptif
merupakan metode yang menyarankan bahwa penelitian yang
dilakukan semata-mata hanya berdasarkan fakta yang ada atau
fenomena yang ada sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa
perincian seperti potret paparan sebagaimana adanya.

6.2 Teknik Penelitian
6.2.1 Teknik Pengumpulan Data
Data penelitian ini dikumpulkan melalui teknik tes. Dilihat dari
segi waktu, tes dapat dilakukan dalam beberapa jam (Sedarmayanti,

Lampiran 141

2002:88). Tes yang diberikan berbentuk tulisan. Proses pengumpulan
data yang dilakukan oleh peneliti dengan cara meminta siswa untuk
memilih salah satu dari tiga topik yang disediakan, kemudian
mengembangkannya menjadi paragraf argumentasi. Topik-topik
yang disediakan adalah sebagai berikut:
(1) kebersihan lingkungan sekolah;
(2) manfaat perpustakaan sekolah;
(3) pentingnya mempelajari mata palajaran bahasa Indonesia.

Paragraf argumentasi yang ditulis oleh siswa tersebut diberi
nilai berdasarkan aspek-aspek yang telah ditentukan. Aspek yang
dinilai, yaitu aspek substansi dan aspek penggunaan bahasa. Aspek
substansi meliputi kemampuan mengemukakan fakta, bukti, alasan,
atau bantahan dengan tujuan mempengaruhi keyakinan pembaca.
Aspek penggunaan bahasa meliputi kemampuan menyusun paragraf
berdasarkan kesatuan, kepaduan, dan kelengkapan atau ketuntasan
sehingga diperoleh paragraf yang sempurna.

Untuk memudahkan pengumpulan data, penulis menetapkan
klasifikasi nilai. Pengklasifikasian nilai tersebut dilakukan dengan
cara memberikan bobot nilai untuk masing-masing aspek yang diteliti.
Adapun rincian aspek yang dinilai dan bobot nilai yang diberikan
adalah sebagai berikut.

142 Metode Penelitian

TABEL 2
ASPEK PENILAIAN PARAGRAF

No. Aspek Indikator Nilai
Penilaian 20
15
1. Aspek 1. mengemukakan fakta, bukti, 25
Substansi alasan, atau bantahan dengan
tujuan mempengaruhi keyakinan 20
pembaca 20

2. Aspek 2. mengandung kalimat topik 100

Penggunaan secara jelas

Bahasa 3. antarkalimat dalam paragraf

(a) Kesatuan dihubungkan secara padu dengan

(b) Kepaduan pengulangan kata, kata sambung,

(c) Ketuntasan atau kata ganti yang sesuai

4. pemakaian unsur kebahasaan

(ungkapan transisi, kata ganti,

kata kunci,dan referensi)

5. mengandung kalimat-kalimat

penjelas yang cukup dan sesuai

dengan kalimat topik (tidak ada

kalimat yang menyimpang dari

kalimat topik)

Jumlah

Sumber: Saifuddin Mahmud (2009)

6.2.2 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data penelitian ini diolah secara deskriptif kuantitatif. Data yang
bersifat kuantitatif yang berwujud angka-angka hasil perhitungan
dapat diproses dengan beberapa cara antara lain: (a) dijumlahkan,

Lampiran 143

dibandingkan dengan jumlah yang diharapkan dan diperoleh
persentase, (b) dijumlahkan, diklasifikasikan sehingga merupakan
suatu susunan urut data (array), untuk selanjutnya dibuat tabel,
maupun yang diproses lebih lanjut menjadi perhitungan pengambilan
kesimpulan atau untuk kepentingan visualisasi datanya (Arikunto,
1998:245-246). Penulis menggunakan teknik penganalisisan data
dengan statistik sederhana. Analisis data dilakukan dengan cara
mencari nilai rata-rata (mean) dari hasil jawaban siswa Langkah-
langkah analisis data adalah sebagai berikut: (1) menyusun nilai
kemampuan siswa menulis paragraf argumentasi, (2) mendistibusikan
nilai siswa dalam tabel distribusi frekuensi, dan (3) mencari nilai rata-
rata (mean) dengan menggunakan rumus rata-rata hitung.

Pengolahan data dalam penelitian ini bertujuan untuk mencari:
(1) tingkat penguasaan rata-rata setiap aspek yang ditentukan dengan

pedoman penskoran seperti yang dinyatakan oleh Kurniawan
(2009:16) sebagai berikut.

(2) tingkat penguasaan rata-rata keseluruhan aspek yang diteliti. Untuk
mencari nilai rata-rata keseluruhan aspek yang diteliti, penulis
menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Hadi (2002:67)
sebagai berikut.

Keterangan: M = nilai rata-rata
f = frekuensi
x = jumlah nilai
n =banyak data

144 Metode Penelitian

Setelah nilai rata-rata diperoleh, penulis memasukkan nilai
tersebut ke dalam kategori penilaian. Hal ini diperlukan untuk
mengetahui tingkat kemampuan siswa kelas X MAN 3 Banda Aceh
menulis paragraf argumentasi dengan berpedoman pada klasifikasi
skala penilaian Depdiknas (2006:57) sebagai berikut.

TABEL 3
KLASIFIKASI PENILAIAN HASIL TES

No. Bentuk Kualitatif Bentuk Kuantitatif

1. Sangat Baik 85-100

2. Baik 70-84

3. Cukup 56-69

4. Kurang 40-55

5. Sangat Kurang <39

Sumber Depdiknas (2006:57)

Lampiran 145

DAFTAR PUSTAKA

Akhadiah, Sabarti. dkk. 1988. Pembinaan Kemampuan Menulis
Bahasa Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Alwi, Hasan. dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka

----------. 2001. Paragraf. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Arifin, E. Zainal dan Amran Tasai. 1999. Cermat Berbahasa

Indonesia. Jakarta: Akapres.
Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan

Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
Atmazaki. 2006. Kiat-Kiat Mengarang dan Menyunting. Padang:

Yayasan Citra Budaya Indonesia.
Azwardi. 2008. “Menulis Ilmiah: Materi Kuliah Bahasa Indonesia

Umum untuk Mahasiswa”. Banda Aceh: Universitas Syiah
Kuala.
Basri, Hasan. 2000. “Kemampuan Siswa Kelas II SLTP Negeri 1
KawaiI XVI Menulis Wacana Argumentasi” Skripsi Universitas
Syiah Kuala.
Boediono. 2003. Kurikulum 2004. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Depdiknas. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
----------. 2006. Standar Isi Mata Pelajaran Bahasa Indonesia SD/
MI, SMP/MTS, SMA/MA. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
----------. 2006. Pengembangan Media Materi Pembelajaran Bahasa
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Finoza, Lamuddin. 1993. Komposisi Bahasa Indonesia: untuk
Mahasiswa Nonjurusan Bahasa. Jakarta: Diksi Insan Mulia.

146 Metode Penelitian

----------. 2004. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia.
Hartono. 2008. Statistik untuk Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasnun, Anwar. 2006. Pedoman Menulis untuk Siswa SMP dan SMA.

Yogyakarta: Andi.
Haryanto. dkk. 2000. Metode Penulisan dan Penyajian Karya Ilmiah:

Buku Ajar untuk Mahasiswa. Jakarta: EGC.
Ibrahim, Ridwan dan Wildan (Ed.). 2003. Bahasa Indonesia untuk

Perguruan Tinggi. Banda Aceh: GEUCI.
Keraf, Gorys. 2007. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama.
----------. 1995. Eksposisi: Komposisi Lanjutan II. Jakarta: Gramedia

Widiasarana Indonesia
----------. 1994. Komposisi. Jakarta: Nusa Indah.
Kurniawan, Endang dan Endah Mutaqimah. 2009. Penilaian.

Depdiknas
Latif, Nazariah. 2010. “Kemampuan Siswa Kelas VIII SMP Negeri 1

Kuta Cut Glie Mengembangkan Paragraf Argumentasi”. Skripsi
Universitas Syiah Kuala.
Mangkuatmodjo, Soegiartjo. 2003. Pengantar Statistik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Nilma. 2000. “Kemampuan Siswa Kelas II SLTP Negeri Banda Aceh
Menulis Wacana Deskripsi”. Skripsi Universitas Syiah Kuala.
Parera, Jos Daniel. 1993. Menulis Tertib dan Sistematik. Jakarta:
Erlangga.
Syarief, Elina. 2005. Pembelajaran Menulis: Bahan Ajar Diktat Guru
Bahasa Indonesia Sekolah Menengah Atas. Jakarta: Depdiknas
Sedarmayanti dan Syarifuddin Hidayat. 2002. Metodologi Penelitian.
Bandung: Mandar Maju.
Sudaryanto. 1988b. Metode Linguistik Bagian Kedua: Metode
dan Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Prees.

Lampiran 147

Sugiono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan
Kuantitatif, Kualitatif, R&D. Bandung: Alfabeta

Tarigan, Hendri Guntur. 1994. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan
Berbahasa. Bandung: Angkasa.

Yuanna. 2009. “Peningkatan Kemampuan Siswa Kelas X MAN
Tungkob Menulis Wacana Naratif dengan Metode Mind
Mapping”. Skripsi Universitas Syiah Kuala.

148 Metode Penelitian

Contoh 2
Proposal Penelitian Pembelajaran 2 (PTK)

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA
MELALUI PENGEMBANGAN KESADARAN KRITIS
SISWA KELAS TIGA SLTP NEGERI 1 BANDA ACEH

Proposal Skripsi
diajukan sebagai bahan seminar proposal

pada Prodi PBSI FKIP Unsyiah

oleh
Ridwan Ibrahim

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2012

Lampiran 149

LEMBAR PENGESAHAN

Proposal Skripsi

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA
MELALUI PENGEMBANGAN KESADARAN KRITIS
SISWA KELAS TIGA SLTP NEGERI 1 BANDA ACEH

Nama : Ridwan Ibrahim

NIM : 1206102010036

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Mengetahui,

Ketua Program Studi
PendidikanBahasadanSastraIndonesia, Dosen Wali,

Drs. Teuku Alamsyah, M.Pd. Azwardi, S.Pd., M.Hum.
NIP 196606061992031005 NIP 1973112019980201001

150 Metode Penelitian

PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA
MELALUI PENGEMBANGAN KESADARAN KRITIS
SISWA KELAS TIGA SMP NEGERI 1 BANDA ACEH

1. Latar Belakang dan Masalah
Teks bacaan sebagai bahan rujukan selalu diperlukan di dalam kelas.
Teks bacaan seperti koran, majalah, artikel, dan bahan cetakan lainnya
dianggap suatu yang obyektif atau suatu kebenaran yang tidak memihak
kepada lembaga yang dipatuhi. Dalam era teknologi informasi seperti
sekarang ini, siswa dibanjiri dengan berbagai informasi dalam bentuk
teks tertulis, sangat penting bagi mereka untuk mampu memandang
dan bertanya terhadap teks secara kritis.

Akan tetapi, dalam kenyataannya pengajar dan pembelajar selalu
menerima apa adanyatanpa kritikan mengenai isi, praanggapan yang
ada di dalam teks, dan apa saja yangdiungkapkan penulis melalui
bahasanya. Harris dan Hodges (1981) menyatakan bahwarendahnya
sikap kritis pembaca dalam menghadapi suatu teks bacaan dapat
membuatpembaca itu kurang dapat mempertimbangkan sesuatu secara
benar yang pada akhirnyaakan menerima sesuatu tanpa dilandasi
pandangan dan pemikiran yang menyeluruh.Dengan demikian, nilai,
fakta, informasi, atau pengetahuan yang diperoleh dari teksbacaan
tertentu kurang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Begitu pula halnyadalam penggunaan bahasa. Pengguna bahasa
perlu menyajikan pikirannya berdasarkanfakta, pendapat, pemikiran
berdasarkan kaidah-kaidah berpikir yang sistematis dan logis.Hal ini
memerlukan sikap kritis sehingga apa yang disajikan dalam suatu
konteks penggunaan bahasa teruji kebenarannya.

Tidak semua isi teks dalam suatu tulisan itu benar, atau paling
kurang isi teks itu kurang sesuai dengan budaya, pandangan hidup,
atau keyakinan kita. Dengan kata lain, pengajar dan pembelajar

Lampiran 151

perlu memiliki sikap tegas (kesadaran kritis) untuk mengkritik teks
yang dianggap jelas (obvious) dan pendinian yang menganggap teks
bacaan itu selalu benar (taken for granted). Oleh karena itu, pada
diri, pembelajar perlu ditumbuhkembangkan sikap kritis terhadap
teks yang dibacanya atau ditulisnya. Berdasarkan uraian di atas,
permasalahan penelitian ini dapat dideskripsikan sebagai berikut:
(1) Siswa cenderung menerima secara pasif tentang apa yang ada

dalam teks karena dianggap sesuatu yang terbaik dari sesuatu
yang sudah jelas.
(2) Pengajar pada umumnya menggunakan teks sebagai media untuk
mentransfer pengetahuan gramatikal, kosakata, dan isi pengetahuan
kepada pembelajar dengan tujuan agar siswa memahami unsur-
unsur bahasa yang berbeda yang ada dalam teks.
(3) Pengajar jarang merangsang siswa agar bertanya tentang kejelasan
teks dan tentang kebenaran isi teks.
(4) Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru sering berkisar tentang
isi teks sehingga informasi seputar teks jarang diketahui pembelajar.

Penelitian ini berupaya menerapkan beberapa strategi
pembelajaran membaca di kelas yang mampu mengembangkan
kesadaran kritis siswa terhadap isi teks dan dalam penggunaan bahasa
(critical awareness). Pengembangan sikap tersebut akan dijelmakan
mulai dalam proses pramembaca, waktu membaca, dan pada akhir
atau setelah membaca. Dengan demikian, penelitian ini akan
memfokuskan perhatiannya pada strategi pembelajaran membaca
dan berpikir kritis mengenal isi teks suatu wacana.

2. Rumusan Masalah
Kesadaran, pemahaman, dan penafsiran kritis terhadap teks
suatu wacana bagi siswa kelas 3 SMP Negeri 1 Banda Aceh

152 Metode Penelitian

perlu ditumbuhkembangkan melalui strategi, metode, dan teknik
pembelajaran tertentu, sehingga efektivitas sintesis suatu bacaan
sesuai dengan tuntutan kurikulum.

3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menumbuhkembangkan kesadaran,
pemahaman, dan penafsiran kritis pembelajar kelas 3 SMP Negeri
1 Banda Aceh terhadap suatu teks bacaan dengan menerapkan
beberapa strategi pembelajaran membaca yang sesuai dengan tahapan
pembelajaran membaca.

4. Manfaat Penelitian
Secara praktis, hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi guru dan bagi
siswa. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat dijadikan dasar pertimbangan
dalam merancang pengajaran membaca, baik pada tahap pramembaca,
tahap membaca, dan tahap akhir membaca. Bagi pembelajar, data dan
temuan penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk menetapkan strategi
yang tepat dalam kegiatan membaca berbagai jenis teks. Secara teoretis,
hasil penelitian ini dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan
secara umum dan pengetahuan bahasa secara khusus.

5. Kajian Pustaka
Definisi Membaca Kritis. Menurut Harris dan Hodges (1981),
membaca kritis adalah suatu proses untuk membuat keputusan:
mengevaluasi relevansi dan kecukupan dari apa yang dibaca. Dalam
membaca kritis, Thistletwaite (1990) menjelaskan bahwa pembaca
membuat evaluasi apa yang telah dibaca dan membuat suatu keputusan
(mungkin menerima, menolak/tidak setuju, atau menyadari perlu
penambahan informasi).

Lampiran 153

Sikap Siswa dalam Membaca Teks. Studi (Wallace, 1990)
menunjukkan bahwa kebanyakan siswa cenderung menerima
secara pasif tentang apa yang ada dalam teks karena apa yang
sudah dibukukan dianggap sesuatu yang terbaik dan sesuatu yang
sudah jelas. Selanjutnya, Wallace menjelaskan bahwa pengajar pada
umumnya menggunakan teks sebagai media untuk mentransfer
pengetahuan gramatikal, kosakata, dan isi pengetahuan kepada
pembelajar dengan tujuan agar siswa memahami unsur-unsur bahasa
yang berbeda yang ada dalam teks. Guru jarang merangsang siswa
agar bertanya tentang kejelasan teks dan tentang kebenaran isi teks.
Temuan Wallace memberi implikasi bahwa istilah ‘kritis’ dimaksud
dalam penelitian ini merupakan suatu usaha tidak secara langsung
pembelajar menerima begitu saja pernyataan yang dianggap jelas
dalam teks. Pembelajar harus memiliki sikap yang tegas dan mampu
memposisikan dirinya pada jastifikasi atau penolakan terhadap
pernyataan yang dianggap jelas itu. Oleh karena itu, guru perlu
membimbing pembelajar bertanya mengenai isi teks dan asumsi
ideologis dan teks yang dipaparkan penulisnya.

Penerapan Strategi dalam Tahap-tahap Proses Membaca.
Thisletwaite (1990) menawarkanmbeberapa tipe tugas yang berbeda
yang dirancang untuk mengembangkan. Strategi membaca kritis.
Tipe-tipe dimaksud dijelaskan secara rinci berikut ini sesuai dengan
tahapan proses membaca. Pertama, strategi untuk tahap pramembaca
(the prereading stage). Strategi membaca konvensional berbeda
dengan strategi kritis. Dalam kegiatan pramembaca konvensional,
pembelajar ditugaskan untuk; (1) menemukan jawaban dan pertanyaan
yang diberikan berdasarkan teks, (2) memberikan pendapat pribadi
mengenai topik bacaan, (3) memprediksi kelanjutan dari teks
yang dibacanya. Sedangkan dalam kegiatan pramembaca kritis,

154 Metode Penelitian

pembelajar ditugaskan untuk memikirkan atau menemukan jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak didasarkan pada teks (text-
based), tetapi didasarkan pada seputar teks (based around the text),
misalnya (a) alasan penulis menulis topik tulisannya, (b) gaya bahasa
yang digunakan penulis untuk menulis teks tersebut, (c) kondisi
yang melatarbelakangi penulisan teks tersebut oleh penulis, dan (d)
generalisasi dari daftar/urutan pertanyaan-pertanyaan pembelajar. Ini
akan mengembangkan kesadaran kritis (critical awareness) dalam
diri pembelajar tentang bagaimana dan mengapa teks tersebut ditulis.

Selanjutnya, untuk memancing sikap kritis, pengajar dapat
menyusun berbagai pertanyaan seputar teks. Beberapa pertanyaan
seperti berikut ini dapat dijadikan model strategi pembelajaran
membaca kritis. (1) Apa topik/judul teks itu dan apa yang diceritakan
dalam teks tersebut? (2)Apa tujuan penulisnya: memberikan informasi,
membujuk, merayu, atau menghibur? (3) Kondisi apa yang terjadi di
sekitar penulis (ketegangan politik, dekadensi moral, krisis ekonomi,
atau krisis kepercayaan) sehingga penulis menulis teks tersebut? (4)
Ragam apa yang dipakai dalam menulis topik tersebut: formal atau
pribadi. (5) Apakah teks tersebut berbentuk surat, artikel, esai, atau
iklan? (6) Siapa penulisnya dan seberapa banyak Anda mengetahui
tentang diri penulis? (7) Informasi apa saja yang mengungkapkan
tentang diri penulis? (8) Kapan teks tersebut ditulis? (9) Siapakah
target pembacanya?

Dengan cara demikian, pembelajar tidak hanya memahami
teks, tetapi juga dapat mengembangkan strategi untuk menafsirkan
dan memecahkan masalah yang penting dan suatu teks. Pertanyaan-
pertanyaan seperti itu akan membantu pembelajar memandang suatu
teks dan perspektif yang lebih luas, misalnya dan segi konteks sehingga
ia dapat memperoleh informasi mengenai latar belakang sosial,

Lampiran 155

politik, sejarah, dan konteks budaya dan teks tersebut. Yang lebih
penting lagi karena pertanyaanpertanyaan seputar teks digeneralisasi
oleh pembelajar, memungkinkan mereka melihat teks secara kritis
sehingga pertanggungjawaban terhadap proses belajarnya menjadi
lebih besar (Harris dan Hodges, 1981).

Kedua, strategi untuk tahap membaca (the while reading stage).
Kegiatan yang sering dilakukan pada tahap mi adalah menyuruh
pembelajar menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam berbagai bentuk.
Cara mi diakui dapat membantu mengembangkan keterampilan baca
tulis kritis, tetapi masih kurang memadai jika dikaitkan dengan hakikat
membaca sebagai suatu kegiatan kreatif dan menantang (creative
and challenging) sehingga pertanyaan-pertanyaan dan kemampuan
interpretif pembelajar perlu dipicu.

Pada tahap ini pembelajar dituntut mampu memberikan reaksi
terhadap isi dan bahasadalam teks yang dibacanya dengan menganotasi
dan menganalisis. Menganotasi sangat penting untuk memfokuskan
perhatian pembaca pada isi dan bahasa dan teks. Pembelajaran diminta
untuk beranotasi secara langsung dengan cara menggarisbawahi,
membuat pertanyaan, dan membuat garis besar/kerangka bacaan.
Setelah melewati proses ini sebagai dasar untuk kegiatan selanjutnya
pada hakikatnya pembelajar sudah menuju ke arah pemahaman yang
baik terhadap argumentasi atau pendirian penulis teks.

Setelah arah tujuan argumentasi penulis diketahui, pembelajar
harus dibimbing untuk menganalisis argumentasi dan bahasa penulis.
Dalam hal ini pembelajar dapat dianjurkan membuat pertanyaan-
pertanyaan berkaitan dengan pernyataan atau poin yang tegaskan
penulis dan apa yang dinyatakan sebagai sesuatu yang benar oleh
penulis. Sebagai tambahan, untuk mengevaluasi argumentasi penulis
dalam setiap paragraf, berikan daftar ceklis yang jawabannya dapat

156 Metode Penelitian

diingat pembelajar sewaktu membaca. Daftar ceklis itu misalnya
berisi: (1) mengapa ide pokok ini harus diterima sebagai sesuatu
yang benar, (2) apa alasan atau bukti sehingga penulis menggunakan
ide pokok tersebut, dan (3) atas dasar apa saya ide pokok mi?
Jadi, suatu hal yang sangat penting dalam membaca kritis adalah
mampu membedakan fakta dengan pendirian atau pendapat. Dengan
demikian, pembelajar akan sadar bagaimana bahasa digunakan untuk
mengungkapkan fakta dan gagasan.

Menganalisis bahasa dapat dilakukan dengan mencari pola atau
pengulangan bentuk,seperti pengulangan pola kalimat yang berkesan
berulang-ulang, pengulangan deskripsi, gaya yang tetap, pengulangan
kata, frasa, atau ilustrasi, ketergantungan pada strategi penulisan
yang khusus, misalnya menggunakan ide yang bertentangan untuk
mengungkapkan pandangan yang kontras, menggunakan kiasan
untuk merefleksikan penekanan dan perasaan penulis, dll. Pembelajar
juga dapat disadarkan dengan menganalisis penggunaan kata, jenis
kata, fungsi kata-kata, serta tujuan penulis menggunakan kata-kata
tersebut dalam tulisannya. Jadi, inti lain dalam membaca kritis adalah
kesadaran terhadap peranan bahasa sebagai alat penyampaian ide
yang di dalamnya mengandung ideologi penulisnya, bukan sekadar
proporsi yang disampaikan. Dengan demikian, di samping memahami
bentuk-bentuk bahasa, pembelajar juga dapat memberikan bukti atas
posisi ideologi teks yang dibacanya.

Ketiga, strategi untuk tahap akhir membaca (the post readig
stage). Pada tahap ini, pembelajar diminta untuk menyampaikan
apa-apa yang sudah dipahami dalam tahaptahap sebelumnya dalam
bentuk tugas menulis. Pembelajar dapat diminta membuat ringkasan,
membuat evaluasi, membuat analisis, membuat komentar, dan
membuat perenungan. Strategi ini akan membantu pembelajar

Lampiran 157

mengembangkan kesadaran, pemahaman, dan penafsiran kritis ke
dalam tulisan setelah berinteraksi dengan teks.

Untuk menerapkan strategi ini, dua hal pokok di bawah mi perlu
diperhatikan pengajar secara sungguh-sungguh.
(1) Pengajar harus memberikan bimbingan yang sangat jelas kepada

pembelajar. Pada mulanya pengajar harus memberikan model
sehingga pembelajar melakukan tugastugas itu dengan penuh
keyakinan.
(2) Karena pembelajar akan mengumpulkan informasi di dalam kelas,
kamus dan buku-buku pustaka sebagai rujukan yang relevan harus
cukup tersedia di dalam kelas.
(3) Membaca kritis dapat ditandai dan aktivitas yang dilakukan
pembaca, yaitu menanyakan sesuatu seputar teks dan isi teks,
menganalisis, dan mengevaluasi, membuat komentar, dan
renungan maka jenis bahan (material) yang luas dan otentik
sangat diperlukan. Dalam hal ini, beberapa bagian dan surat kabar,
majalah, kutipan dari sebuah novel atau cerpen, dan artikel sangat
cocok digunakan.

6. Hipotesis Tindakan
(1) menyuruh siswa memikirkan atau menemukan jawaban dan

pertanyaan-pertanyaan seputar teks (dalam tahap pramembaca);
(2) memberikan reaksi terhadap isi dan bahasa dalam teks yang

dibacanya dengan menganotasi dan menganalisis (dalam tahap
membaca);
(3) menyampaikan hal-hal yang sudah dipahami dalam tahap-tahap
sebelumnya dalam bentuk tugas menulis (dalam tahap akhir
membaca). Strategi itu dapat dikombinasikan sesuai dengan
jenjang kelas yang diajarkan.

158 Metode Penelitian

7. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif dengan menggunakan pendekatan penelitian tindakan kelas.
Rancangan penelitian disusun dalam satuan siklus yang meliputi
empat langkah: perencanaan, pelaksanaan, pengamatan dan evaluasi,
dan perefleksian (McTaggart dan Connole, 1993). Keseluruhan
kegiatan penelitian ini dikelompokkan dalam tiga siklus besar dan
masing-masing siklus besar terdiri atas empat siklus kecil. Dengan
kata lain, siklus besar I dilaksanakan 4 kali pertemuan, siklus besar
II dilaksanakan 4 kali pertemuan, dan siklus besar III dilaksanakan
kali pertemuan dengan pokok bahasan yang berbeda-beda. Pada
setiap siklus disusun perencanaan pembelajaran, diikuti pelaksanaan
tindakan, pengobservasian pembelajaran, baik oleh peneliti sendiri
maupun oleh observer, dan diakhiri dengan refleksi. Perefleksian
dilakukan pada setiap akhir siklus kecil dan hasil perefleksian itu
dijadikan dasar penyusunan perencanaan siklus kecil berikutnya.

Subjek penelitian ini adalah pembelajar kelas 3 SMP Negeri 1
Banda Aceh yang diajar oleh peneliti. Dalam pelaksanaan penelitian
ini dilibatkan 2 guru bidang studi serumpun sebagai kolaborator. Hal
itu dilakukan guna mengamati pelaksanaan dan memberikan masukan
dalam perefleksian setiap siklus. Subjek penelitian ini keseluruhannya
berjumlah 82 orang yang terdiri atas siswa kelas III A: 18 orang laki-
laki dan 22 orang perempuan dan siswa kelas III B: 21 laki-laki dan 19
perempuan. Pemilihan siswa kelas 3 A dan B sebagai subjek penelitian
ini didasarkan pada pertimbangan bahwa mereka memiliki karakteristik
yang hampir sama. Artinya, tingkat kemampuan rata-rata mereka dan
keaktifan antara siswa laki-laki dan perempuan tidak jauh berbeda.
Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa subjek penelitian ini
bersifat homogen. Homogenitas itu ditandai dari tingkat kemampuan
dan keaktifan, serta program pembelajaran yang mereka ikuti.

Lampiran 159

8. Data Penelitian
Data penelitian ini berupa hasil membaca kritis siswa. Dalam hal ini
proses membuat evaluasi, keputusan (mungkin menerima, menolak/
tidak setuju, atau menyadari perlu penambahan informasi), dan ketiga
tahapan membaca, serta hasil menulis isi teks yang telah dipahami.
Data penelitian ini bersumber dan siswa, khususnya, cara-cara
membuat evaluasi dan membuat putusan terhadap isi teks, dan hasil
menulis siswa.

9. Teknik Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data
Data penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan seperangkat
instrumen dalam bentuk catatan lapangan dan rekaman. Catatan
lapangan adalah catatan yang dibuat guru peneliti ketika tindakan
itu berlangsung. Sedangkan lembar rekaman sudah disiapkan guru
peneliti bersama kolaborator sebelum tindakan dilakukan (lihat
lampiran). Dengan demikian, data penelitian mi adalah hasil membaca
kritis siswa dalam tahap pramembaca, pada waktu membaca, dan
pada akhir membaca.

10. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan, diklasifikasi menurut tahapan membaca,
dan menurut aspek yang diteliti, serta menurut siklus penelitian, yaitu
pemahaman isi teks, evaluasi isi teks, pembuatan keputusan tentang
isi teks, dan penulisan isi teks dengan menggunakan kaidah bahasa
yang benar. Data tersebut dianalisis secara kualitatif tingkat kekritisan
siswa dalam memandang isi teks. Hasil analisis itu didiskusikan
dengan indikator yang digunakan untuk dijadikan dasar perumusan
simpulan.

160 Metode Penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Pendidikan Nasional, Ditjen Pendidikan Dasar dan
Menengah, Direktorat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. 2001.
Pedoman Teknis Pelaksanaan Classroom Action Research,
Jakarta: Proyek PPM-SLTP Pusat Jakarta.

Hopkins, D. 1993. A Teacher’s Guide to Classroom Research, 2nd.
ed., Philadelphia: Open University Press.

McNiff, J. 1992. Action Research: Principles and Practice, New
York: Routledge, Chapman and Hall, Inc.

McTaggart. 1993. Action Research: A Short Modern History,
Geelong, Victoria Deakin University Press.

Yasin, B. 2000. Terms of Reference Pelaksanaan Penelitian Tindakan
Kelas. Banda Aceh: Proyek PPM-SLTP Kanwil Depdiknas
Provinsi Daerah Istimewa Aceh.

Lampiran 161

Contoh 3

Proposal Penelitian Linguistik Murni 1

PERBANDINGAN AFIKSASI BAHASA INDONESIA
DENGAN AFIKSASI BAHASA HALOBAN

Proposal Skripsi

diajukan sebagai bahan seminar proposal
pada Prodi PBSI FKIP Unsyiah

oleh
Alfisah

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2011

162 Metode Penelitian

LEMBAR PENGESAHAN

Proposal Skripsi
PERBANDINGAN AFIKSASI BAHASA INDONESIA

DENGAN AFIKSASI BAHASA HALOBAN

Nama : Alfisah

NIM : 0606102010043

Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Mengetahui,

Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Dosen Wali,

Drs. Teuku Alamsyah, M.Pd. Drs. Saifuddin Mahmud, M.Pd.
NIP 196606061992031005 NIP 195910151987031005

Lampiran 163

PERBANDINGAN AFIKSASI BAHASA INDONESIA
DENGAN AFIKSASI BAHASA HALOBAN

1. Latar Belakang Masalah
Bahasa-bahasa yang masih dipakai atau digunakan kelompok
masyarakat tertentu harus dihargai dan dibina oleh negara karena
bahasa-bahasa itu merupakan bagian dari kekayaan budaya yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kekayaan budaya asli ini harus
ditumbuhkembangkan sehingga keberadaannya tetap terpelihara
sebagai salah satu unsur kebudayaan nasional. Pembinaan dan
pengembangan bahasa daerah tersebut ditegaskan dalam Undang-
Undang Dasar 1945 bahwa setiap bahasa daerah tetap dihormati dan
dipelihara oleh negara.

Halim (1984:151) mengatakan bahwa bahasa-bahasa daerah
di Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan daerah, (2)
lambang identitas daerah, (3) alat penghubung di dalam keluarga dan
masyarakat daerah. Dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia,
bahasa daerah berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa nasional,
(2) bahasa pengantar di sekolah-sekolah dasar tertentu pada tingkat
permulaan untuk memperlancar pengajaran bahasa Indonesia dan
mata pelajaran lain, dan (3) alat pengembangan serta pendukung
kebudayaan daerah.

Melihat betapa pentingnya fungsi dan peran bahasa daerah
dalam pengembangan dan pertumbuhan bahasa, bahasa daerah
tersebut perlu dibina, dipelihara, dikembangkan, dan diselamatkan.
Usaha penyelamatan, pemeliharaan, dan pembinaan bahasa daerah itu
hanya dimungkinkan melalui penggalian, penelitian, dan pencatatan.

Bahasa Haloban adalah salah satu bahasa daerah yang masih
hidup dan digunakan oleh masyarakat Pulau Tuangku, Kecamatan
Pulau Banyak Barat, Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh.

164 Metode Penelitian

Bahasa Haloban digunakan oleh sekitar seribu orang dari dua desa,
yaitu desa Haloban dan desa Asantola. Mengingat penutur bahasa
tersebut dari hari ke hari semakin berkurang, maka bahasa tersebut
perlu diselamatkan. Penyelamatan ini hanya dimungkinkan dengan
melakukan penggalian, penelitian, dan penulisan.

Penulisan bahasa Haloban pernah dilakukan oleh beberapa
orang peneliti. Penelitian tersebut menghasilkan beberapa tulisan
yaitu, Kamus Sederhana Bahasa Haloban (Mahmud, dkk., 2000),
Fonologi Bahasa Haloban (Mahmud, dkk., 2000), Sapaan dalam
Bahasa Haloban (Mahmud dkk., 2000), Sastra Lisan Bahasa Haloban
(Alamsyah dkk., 2000), Verba Bahasa Haloban (Alamsyah dkk.,
2000), Nomina Bahasa Haloban (Alamsyah dkk., 2000), Morfologi
Bahasa Haloban (Junaidi dkk., 2000), Sintaksis Bahasa Haloban
(Junaidi dkk., 2000), Adjektiva Bahasa Haloban (Armia dkk., 2000),
dan Kata Tugas Bahasa Haloban (Armia dkk., 2000).

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahasa Haloban
merupakan sebagai salah satu bahasa daerah yang tumbuh dan
berkembang di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut tidak tertutup
kemungkinan kedua bahasa itu merupakan bahasa bersaudara yang
memiliki persamaan dalam proses pembentukan kata di samping
perbedaanya.

Dalam bahasa Indonesia pembentukan kata dilakukan dengan
proses afiksasi. Misalnya, bentuk dasar baju (nomina) dalam bahasa
Indonesia telah mempunyai arti leksikal sebagaimana yang tertera
dalam kamus. Jika pada bentuk dasar tersebut diimbuhkan afiks
ber- menjadi berbaju (verba), proses tersebut sekaligus mengubah
fungsinya dari nomina menjadi verba dan mengandung makna
‘memakai atau menggunakan baju’.

Dalam bahasa Haloban pembentukan kata juga dilakukan dengan
proses afiksasi. Afiks ber- dalam bahasa Indonesia dan afiks ba- dalam

Lampiran 165

bahasa Haloban merupakan afiks yang memiliki fungsi dan makna
yang sama. Misalnya, dalam bahasa Indonesia terdapat bentuk dasar
sepeda (nomina), jika diimbuhkan prefiks ber- menjadi bersepeda
(verba). Dalam bahasa Haloban terdapat bentuk dasar kureta (nomina)
jika diimbuhkan prefiks ba- menjadi bakureta (verba). Kedua bentuk
tersebut sama-sama berfungsi membentuk verba dari nomina dan
memiliki makna yang sama pula yaitu ‘menaiki atau menggunakan
sepeda’. Di samping persamaan yang terdapat pada afiks tersebut, tidak
tertutup kemungkinan terdapat perbedaan pada afiks-afiks yang lain.

Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis akan melakukan
penelitian dan penulisan bahasa Haloban yang berjudul “Perbandingan
Afiksasi Bahasa Indonesia dengan Afiksasi Bahasa Haloban”.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, rumusan
masalah penelitian ini adalah bagaimanakah perbandingan afiksasi
bahasa Indonesia dengan afiksasi bahasa Haloban?

3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan perbandingan afiksasi bahasa Indonesia dengan
afiksasi bahasa Haloban.

4. Manfaat Penelitian
Secara teoretis penelitian ini penting dilakukan karena bermanfaat
bagi pertumbuhan dan pelestarian suatu bahasa. Manfaat lain
penelitian ini adalah sebagai bahan rujukan bagi siswa, mahasiswa,
guru bahasa Indonesia, guru bahasa daerah, dan bagi pemerhati bahasa
daerah yang ada di Indonesia. Pembahasan masalah penelitian ini
penulis anggap penting karena data mengenai perbandingan afiksasi

166 Metode Penelitian

bahasa Indonesia dengan afiksasi bahasa Haloban belum pernah
diteliti sehingga penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
perbandingan bahasa daerah di Indonesia.

Secara praktis, manfaat penelitian ini adalah untuk
mendokumentasikan bahasa Haloban. Pendokumentasian suatu bahasa
daerah, terutama struktur bahasanya perlu dilakukan dalam usaha
pembinaan dan pengembangannya. Menyadari betapa pentingnya
pendokumentasian tersebut, diperlukan penelitian, dan penulisan bahasa.
Dengan demikian, data yang diperoleh lebih mendetail dan representatif
sehingga dapat dijadikan sebagai salah satu usaha pembakuan bahasa.

5. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif. Artinya,
dalam melakukan penelitian penulis mencatat secara teliti segala gejala
dan fenomena yang dilihat dan didengar, baik melalui wawancara maupun
mendengar langsung tuturan bahasa Haloban yang sedang diteliti.

Sugiyono (2008:13) menyatakan bahwa penelitian kualitatif
merupakan penelitian pada kondisi alamiah, langsung ke sumber
data, dan peneliti adalah instrumen kunci. Penelitian kualitatif lebih
bersifat deskriptif sehingga data yang terkumpul berbentuk kata-kata
atau gambar, tidak menekankan pada angka. Penelitian deskriptif
bertujuan membuat deskripsi, gambaran-gambaran atau lukisan secara
sistematik, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antarfenomena yang diselidiki (Nazir, 1988:65).

6. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Pulau Banyak Barat.
Kecamatan Pulau Banyak Barat merupakan salah satu kecamatan di
Kabupaten Aceh Singkil. Secara geografis Kecamatan Pulau Banyak
Barat, sebelah Utara berbatasan dengan laut Aceh Selatan, di sebelah

Lampiran 167

Selatan berbatasan dengan Kabupaten Nias, sebelah Barat berbatasan
dengan Kabupaten Simeulue, dan di sebelah Timur berbatasan dengan
Kecamatan Pulau Banyak.

Kecamatan Pulau Banyak Barat secara administratif pada tahun
2010 terdiri atas beberapa desa, yakni Desa Haloban, Desa Asantola,
Desa Ujung Sialit, dan Desa Suka Makmur. Penentuan Kecamatan
Pulau Banyak Barat sebagai lokasi penelitian didasarkan atas
pertimbangan bahwa bahasa Haloban hanya terdapat pada kecamatan
tersebut tepatnya pada Desa Haloban dan Desa Asantola.

7. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah masyarakat yang berbahasa
ibu bahasa Haloban dan secara geografis dilahirkan serta bertempat
tinggal dalam wilayah Desa Haloban dan Desa Asantola. Sumber data
tersebut diperoleh dari jawaban masyarakat yang dijadikan informan.
Data penelitiannya adalah tuturan yang berupa kalimat atau kata yang
menggunakan afiksasi yang dituturkan informan. Informan adalah
masyarakat penutur bahasa Haloban yang menjadi sumber data lisan
dalam penelitian ini. Jumlah informan yang diambil adalah lima
orang termasuk peneliti sebagai instrumen kunci.

Syarat-syarat informan adalah sebagai berikut:
(1) penutur asli bahasa atau dialek yang diteliti;
(2) berjenis kelamin pria atau wanita;
(3) orang dewasa dan memiliki daya ingat yang baik (tidak pikun);
(4) orang tua, istri, atau suami informan lahir dan dibesarkan di desa

itu serta jarang atau tidak pernah meninggalkan desanya;
(5) berstatus sosial menengah (tidak rendah atau tidak tinggi) dengan

harapan tidak terlalu tinggi mobilitasnya;
(6) memiliki kebanggaan terhadap isoleknya; dan
(7) sehat jasmani dan rohani (Samarin, 1988:55-70; Mahsun, 2007:141).

168 Metode Penelitian

8. Metode dan Teknik Penyediaan Data
Metode penyediaan data dalam penelitian ini menggunakan metode
cakap. Sementara itu, teknik yang digunakan untuk mengumpulkan
data lisan penulis menggunakan teknik cakap semuka. Pada
pelaksanaan teknik cakap semuka peneliti langsung melakukan
percakapan dengan informan yang telah ditentukan berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dalam menghimpun data dari informan, peneliti melalukan
pancingan yang sudah disiapkan (berupa daftar tanya) atau secara
spontanitas. Teknik cakap semuka diwujudkan dengan percakapan
langsung tatap muka antara peneliti dengan informan. Percakapan
dikendalikan dan diarahkan oleh peneliti sesuai dengan kepentingan untuk
memperoleh data selengkapnya (Sudaryanto, 1988:7-9). Pengumpulan
data dilakukan dalam situasi nonformal. Dengan teknik ini diharapkan
informan berkenan memberikan informasi selengkap-lengkapnya.

9. Metode dan Teknik Analisis Data
Setelah data dikumpulkan, data tersebut diseleksi terlebih dahulu
sebelum diklasifikasikan. Adapun langkah selanjutnya adalah analisis
data. Analisis data merupakan upaya peneliti menangani langsung
masalah yang terkandung pada data (Mahsun, 2005:112). Dalam
menganalisis data penulis menggunakan metode padan intralingual.
Adapun teknik yang digunakan dalam menganalisis data yang telah
diklasifikasikan adalah teknik hubung banding menyamakan.

10. Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Setelah analisis data dilakukan, lahirlah analisis data yang berupa
hasil penelitian. Untuk menyajikan hasil penelitian agar tersaji
dengan baik diperlukan adanya metode penyajian hasil. Dalam

Lampiran 169

penyajian hasil penelitian ini menggunakan metode formal dan
metode informal. Metode formal adalah metode penyajian hasil
analisis dengan menggunakan lambang atau tanda-tanda. Tanda
yang dimaksud adalah tanda kurung biasa (( )); tanda pengapit ejaan
fonemis (/…/); dan tanda untuk menyatakan terjemahan dari satuan
lingual yang disebutkan sebelumnya (‘...‘). Metode penyajian informal
yaitu perumusan dengan kata-kata biasa atau sederhana agar mudah
dipahami (Mahsun, 2005:116). Analisis penyajian informal dalam
penelitian ini mempermudah pemahaman terhadap hasil analisis.

170 Metode Penelitian

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi
Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Arifin, Zaenal dan Junaiyah. 2007. Morfologi Bentuk, Fungsi, dan
Makna. Jakarta: PT Grasindo.

Azwardi. 2006. “Morfologi: Modul Kuliah Morfologi Bahasa
Indonesia untuk Mahasiswa”. Banda Aceh: FKIP Unsyiah.

Badudu, J.S. 1981. Pelik-Pelik Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka
Prima.

Cahyono, Bambang Yudi. 1994. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa.
Surabaya: Airlangga University Press.

Chaer, Abdul. ­2008. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan
Proses). Jakarta: Rineka Cipta.

Halim, A. (Ed.). 1984. Politik Bahasa Nasional. Jilid 2. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

Keraf, Gorys. 1996. Tata Bahasa Indonesia. Ende Flores: Nusa Indah.
Kridalaksana, Harimurti. 1996. Pembentukan Kata dalam Bahasa

Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode,

dan Tekniknya. Edisi Revisi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Muslich, Masnur. 2009. Tata Bentuk Bahasa Indonesia Kejian ke

Arah Tatabahasa Deskriptif. Jakarta: Bumi Aksara.
Nazir, Muhammad. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ramlan. 1997. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta:

C.V. Karyono.

Lampiran 171

Samarin, William J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Terjemahan H.J.S.
Badudu. Yogyakarta: Kanisius.

Sudaryanto. 1988. Metode Lingusitik: Bagian Pertama. Ke Arah
Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta. Gadjah Mada
University Press.

172 Metode Penelitian

Contoh 4

Proposal Penelitian Linguistik Murni 2

ANALISIS KONSTRUKSI KALIMAT
BAHASA ACEH DIALEK ACEH BARAT
BERDASARKAN TEORI TATA BAHASA KASUS

Proposal Tesis

diajukan sebagai bahan seminar proposal
pada Prodi MPBSI PPs Unsyiah

oleh
Safriandi

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH

2010

Lampiran 173

LEMBAR PENGESAHAN

ANALISIS KONSTRUKSI KALIMAT
BAHASA ACEH DIALEK ACEH BARAT
BERDASARKAN TEORI TATA BAHASA KASUS

Proposal
diajukan sebagai bahan seminar proposal

pada Prodi MPBSI PPs Unsyiah

oleh
Safriandi

disetujui oleh
Dosen Wali,

Azwardi, S.Pd., M.Hum.
NIP 197311201998021001

diketahui oleh
Ketua Program Studi,

Dr. Mohd. Harun, M.Pd.
NIP 196603051993031003

174 Metode Penelitian

ANALISIS KONSTRUKSI KALIMAT
BAHASA ACEH DIALEK ACEH BARAT
BERDASARKAN TEORI TATA BAHASA KASUS

1. Latar Belakang Masalah
Bahasa Aceh merupakan salah satu bahasa Austronesia Barat yang
dituturkan oleh sebagian masyarakat di Sumatra bagian utara dan
termasuk bahasa daerah yang besar di antara bahasa daerah yang lain
di Indonesia. Menurut sejarah, bahasa Aceh ada kaitannya dengan
bahasa-bahasa Campa yang kini masih digunakan di Vietnam,
Kamboja, dan Hainan di Cina (Daud dan Mark Durie, 2002:1). Hal
senada juga disampaikan oleh Lombard (2007:62) dalam bukunya
Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda.

Bahasa Aceh memiliki tata bahasa yang berbeda dengan bahasa
lain yang ada di dunia ini. Dengan kata lain, bahasa Aceh bersifat
sistematis dan sistemis. Ia memiliki sistem dan sub-subsistem.
Sebagai bahasa yang bersistem, kajian terhadapnya tentu sangatlah
menarik untuk dilakukan. Salah satu kajian yang dimaksud adalah
kajian tata bahasa kasus. Tata bahasa kasus atau teori kasus pertama
sekali diperkenalkan oleh Charless J. Fillmore dalam karangannya
yang berjudul The Case for Case dalam simposium yang bertemakan
Texas Symposium of Linguistics Universal (13-15 April 1968). Jenis
tata bahasa ini merupakan modifikasi dari teori TGT standar yang
mendasarkan diri pada perbedaan yang jelas antara struktur batin dan
struktur lahir. Oleh karena itu, sebagian dari prinsip TGT yang dibahas
terdahulu juga berlaku bagi tata bahasa kasus (Tarigan, 1990:59).

Dalam teori tata bahasa kasus yang diperkenalkan olehnya,
Fillmore (1968:46-47) membagi sebuah kalimat menjadi (1)
modalitas, yang dapat berupa unsur negasi, kala, aspek, dan adverbia;
dan (2) proposisi yang dapat berupa verba disertai dengan sejumlah

Lampiran 175

kasus, (3) preposisi atau penanda kasus (cases markers) terjadi dalam
bentuk struktur batin (Fillmore, dalam Cook, 1989:4).

Jika dibuat dalam bentuk bagan, bentuknya adalah sebagai berikut.

Lebih lanjut, dijelaskan oleh Chaer (2003:371) bahwa yang
dimaksud dengan kasus dalam teori tata bahasa kasus adalah
hubungan antara verba dan nomina. Terdapat beberapa jenis kasus
yang dikemukakan oleh Fillmore pada tahun 1968, yaitu agentif,
instrumental, datif, faktitif, lokatif, objektif, benefaktif, dan komitatif.
Pada bulan April 1970, Fillmore dalam serangkaian kuliahnya di
Universitas Hawai membahas tiga kasus lagi, yaitu sumber (source),
tujuan (goal), dan arah (direction) (Manley, dalam Ba’dulu dan
Herman, 2005:78).

Adapun yang dimaksud dengan verba dalam pengertian kasus
yang dipaparkan oleh Chaer pada paragraf di atas adalah sama
dengan predikat dan nomina, serta sama dengan argumen dalam teori
semantik generatif. Argumen dalam teori tata bahasa kasus diberi
label kasus. Untuk memperjelas bagan di atas, cermatilah konstruksi
kalimat bahasa Inggris John opened the door with the key pada bagan
berikut! Contoh ini dikutip dari Chaer (2003).

176 Metode Penelitian

Jika dicermati dengan saksama konstruksi kalimat di atas,
morfem –ed pada kata opened merupakan penanda kala, sedangkan
John, door, dan key masing-masing merupakan agen, objek, dan
alat. Dengan kata lain, verba open memiliki tiga argumen, yaitu
John, door, dan key. John berkasus agen karena merupakan nomina
yang animate, melakukan tindakan yang dinyatakan oleh verba
open, door berkasus objek karena merupakan sasaran dari tindakan
yang dinyatakan oleh verba open, dan key berkasus instrumen karena
merupakan alat yang digunakan oleh agen untuk membuka pintu
(open the door).

Makna sebuah kalimat dalam teori tata bahasa kasus dirumuskan
dalam bentuk kerangka sebagai berikut.

+ [---- X, Y, Z]­­

Tanda ---- dipakai untuk menandai posisi verba dalam struktur
semantis; sedangkan X, Y, dan Z dipakai untuk menandai argumen
yang berkaitan dengan verba atau predikat itu yang biasa diberi label

Lampiran 177

kasus. Untuk contoh kalimat di atas, verba open memiliki kasus seperti
di bawah ini.

OPEN, + [---- A, O, I]
A = agen
O = objek
I = instrumen

Jika dirincikan, verba open memiliki tiga argumen yang masing-
masing berkasus agen, objek, dan instrumen. Kehadiran ketiga kasus
ini bersifat wajib dalam sebuah konstruksi kalimat.

Tata bahasa kasus juga memiliki kaidah-kaidah pokok. Kaidah-
kaidah yang dimaksud adalah

S MP
P V C1 C2…Cn
K FN
FN Det N

(Fillmore,1968:45)

Kaidah-kaidah yang dirumuskan di atas akan membentuk
pemarkah frasa tertentu yang membentuk sebuah organisasi sintaksis
tata bahasa kasus yang di dalamnya terkandung konsep kasus yang
akan dimasukkan ke dalam komponen basis. Komponen basis ini
terdiri atas unsur-unsur berlabel secara semantis yang tidak berurutan.

Konsep tata bahasa kasus yang dikemukakan oleh Fillmore ini
lebih cenderung mendeskripsikan konsep, kaidah, dan organisasi
sintaksis kasus dalam bahasa Inggris. Lalu, bagaimanakah tata
bahasa kasus menangani konstruksi kalimat dalam bahasa Aceh?

178 Metode Penelitian

Bagaimanakah kasus dan kerangka kasus setiap argumen dalam
kalimat berikut ini?

(1) Jih ka ji-tak lé glanteu.
dia perf. 3-sambar oleh petir
‘Dia disambar oleh petir.’

(2) Aneuk mit nyan ret dari bak jambè.
anak kecil itu jatuh dari pohon
‘Anak itu jatuh dari pohon jambu.’

(3) Kamoe meu-jak bloe eungköt.

kami 1PLURAL-pergi beli ikan

‘Kami pergi membeli ikan.’

(4) Jih ka keunöng poh lé mak.
dia perf. kena pukul oleh ibu
‘Dia dipukul ibu.’

(5) Lôn han ék ku-jak u rumoh nyan.
saya tidak mau 2-pergi ke rumah itu
‘Saya tidak mau pergi ke rumah itu.’

(6) Bajèe mak cop.
baju ibu jahit
‘Baju dijahit ibu.’

(7) Bakbit na kukalön lôn aneuk miet nyan.
sungguh ada 1-lihat saya anak kecil itu
‘Saya benar-benar ada melihat anak kecil itu.’

Lampiran 179

Berdasarkan penjelasan di atas, konsep-konsep tata bahasa
kasus yang dikemukakan oleh Fillmore akan dicobaterapkan dalam
bahasa Aceh . Penerapan teori tata bahasa kasus ke dalam bahasa
Aceh beranjak dari prinsip kategori-kategori tersembunyi (covert
categories) yang menurut Fillmore dimiliki oleh semua bahasa di
dunia ini dan kategori-kategori tersembunyi dalam semua bahasa
adalah sama (Ba’dulu dan Herman, 2005:77).

Bahasa Aceh yang dipilih adalah bahasa Aceh dialek Aceh Barat.
Pemilihan dialek ini disebabkan oleh terdapatnya sebagian kalimat
dalam bahasa Aceh dialek Aceh Barat yang menggunakan satuan-
satuan lingual yang berbeda dengan bahasa Aceh dialek selain Aceh
Barat. Sebut saja misalnya dalam hal penggunaan persesuaian geu-
pada verba bahasa Aceh. Dalam bahasa Aceh dialek selain dialek Aceh
Barat, geu- dipakai sebagai persesuaian pronomina persona ketiga.
Namun, dalam dialek Aceh Barat, geu- dipakai sebagai persesuaian
pronomina kedua (bentuk cakap bersemuka), misalnya dalam kalimat

(8) Ayahwa, bèk geu-jak keunan!
ayahwa jangan 3-pergi ke situ!
‘Pak Wa jangan pergi ke situ!’

BahasaAceh dialekAceh Barat tidak mengenal pronomina persona,
seperti droeneuh, gata, ulôntuan, dan droe. Selain itu, dalam bahasa Aceh
dialek Aceh Barat juga tidak dikenal persesuaian (agreement) seperti
-kuh, geuh, dan –teuh. Bagaimanakah tata bahasa kasus menangani hal
seperti ini? Apakah persesuaian dan pronomina persona mempengaruhi
jenis kasus dalam kalimat bahasa Aceh dialek Aceh Barat?

Menurut Djunaidi (2002:5), kajian-kajian linguistik tentang tata
bahasaAceh telah banyak dilakukan. Kajian mengenai gramatika bahasa

180 Metode Penelitian

Aceh telah dimulai Snouck Hurgronje pada tahun 1900 walaupun masih
dalam bentuk catatan kasar. Hal yang sama juga kemudian dilakukan
oleh Anzib pada tahun 1966 dan oleh Ishak pada tahun 1968. Lebih
lanjut, Djunaidi (2002:5) menyebutkan bahwa perhatian yang sungguh
baru tentang tata bahasa Aceh mulai dicurahkan sekitar tahun 1970-an
oleh beberapa penulis Aceh, seperti Asyik pada tahun 1972, 1978, dan
1987, serta Sulaiman pada tahun 1975 dan 1978.

Hasil-hasil kajian linguistik tentang tata bahasa Aceh yang telah
diterbitkan, seperti yang ditulis oleh Ali dkk. (1983, 1984), Hanafiah
dan Makam I. (1984), dan Hanoum dkk. (1986). Disertasi juga telah
banyak dihasilkan oleh orang Aceh sendiri di antaranya Asyik (1987)
dan Djunaidi (1996). Wildan (2005) juga ikut menulis buku pelajaran
Tata Bahasa Aceh untuk madrasah dasar dan madrasah lanjutan yang
dieditori oleh Djunaidi. Selain itu, terdapat pula tesis yang ditulis
oleh Azwardi (2003) tentang Verba Reduplikasi dalam Bahasa Aceh
dan hasil penelitian tentang Pronomina Persona Bahasa Aceh: Suatu
Kajian Sintaksis dan Semantik, oleh Armia dan Azwardi (2005).

Asyik (1972) telah membahas morfologi bahasa Aceh dalam
tesis beliau yang berjudul Atjehnese Morphology. Dalam tesis ini
dibahas secara mendalam tentang analisis fonemik dan morfologi. Hal
yang dibahas dalam analisis fonemik adalah konsonan tunggal, vokal
tunggal, penentuan fonem segmental, vokal rangkap dan konsonan
rangkap, distribusi fonem segmental, suprasegmental, silabel,
dan struktur silabel. Di bagian morfologi dibahas tentang bentuk
bebas (free forms), bentuk terikat (bound morpheme), kombinasi
morfem, morfofonemik, dan perbedaan antara morfologi bahasa
Inggris dan bahasa Aceh. Setelah dicermati dengan saksama, tesis
ini tidak membahas masalah kasus. Hal ini dapat dipahami karena
pembicaraan tentang kasus yang dimaksud oleh Fillmore bukanlah

Lampiran 181

pembicaraan pada tataran morfologi, melainkan tataran sintaksis.
Ali dkk. (1983) telah mengkaji tentang Sistem Morfologi Bahasa

Aceh. Dalam kajian ini tidak dibicarakan masalah kasus. Dalam karya
Ali, dkk. selanjutnya tepatnya pada tahun 1984 dibicarakan tentang
Sistem Perulangan Bahasa Aceh. Karya ini pun tidak membicarakan
ihwal kasus. Pembicaraan tentang kasus juga tidak ditemui dalam
Hanafiah dan Makam (1984), serta Hanoum, dkk. (1986).

Sulaiman dkk. (1985) telah membicarakan struktur bahasa
Aceh, yaitu morfologi dan sintaksis bahasaAceh. Dalam pembicaraan
tentang sintaksis, Sulaiman dkk. sama sekali tidak menyinggung
masalah kasus, jenis kasus, konstruksi kalimat bahasa Aceh dengan
menggunakan kaidah-kaidah tata bahasa kasus, dan organisasi
sintaksis tata bahasa kasus dalam kalimat bahasa Aceh. Yang
dibahas dalam tataran sintaksis hanya masalah frasa, pola kalimat
dasar, dan proses sintaksis yang meliputi perluasan, penggabungan,
penghilangan, dan pemindahan.

Durie dalam disertasinya yang berjudul A Grammar of Achenese
Sentence on The Basis of The Dialect of North Aceh (1985) telah pula
menulis tentang tata bahasa Aceh berdasarkan dialek Aceh Utara.
Dalam disertasinya ini, ia tidak menjelaskan perilaku kasus (argumen)
secara detail. Ia hanya menjelaskan proses klitik yang terjadi pada
kasus (argumen). Ia juga tidak menjelaskan kaidah-kaidah tata bahasa
kasus, serta organisasi sintaksis kalimat bahasa Aceh.

Jenis penelitian tentang sistem sapaan bahasa Aceh juga telah
dilakukan oleh Sulaiman, dkk. (1990). Hasil penelitian Sulaiman, dkk.
membahas sepintas ihwal proses sintaksis bentuk-bentuk sapaan dalam
bahasa Aceh. Dalam penjelasan perihal proses sintaksis ini, Sulaiman,
dkk. hanya menjelaskan pemakaian bentuk enklitik dan proklitik
dalam pembentukan kalimat bahasa Aceh, tetapi tidak menjelaskan

182 Metode Penelitian

masalah kasus. Pembicaraan mengenai kasus juga tidak ditemukan
dalam Asyik (1987). Dalam disertasinya, Asyik membahas masalah
kalimat menggunakan tinjauan tata bahasa fungsional.

Djunaidi (1996) dalam disertasinya mengkaji perihal relasi-
relasi gramatikal dalam bahasa Aceh. Namun, tinjauan yang beliau
tempuh merupakan tinjauan tata bahasa relasional. Dalam kajian
tersebut, beliau (1) mengkaji properti penyandian apa saja yang dapat
dipakai untuk menerangkan suku atau bukan suku (oblik) dalam
bahasa Aceh, (2) mengkaji gagasan Perlmutter tentang hipotesis tak
akusatif dalam bahasa Aceh, dan (3) mengkaji konstruksi-konstruksi
gramatikal bahasa Aceh dalam tinjauan tata bahasa relasional.
Adapun konstruksi gramatikal yang dibicarakan meliputi (1)
konstruksi gramatikal yang mengubah relasi-relasi gramatikal yang
meliputi pemajuan (advancement), demosi (demosion), penaikan
(ascension), union (clase union), dan dummy, dan (2) konstruksi-
konstruksi yang tidak mengubah relasi gramatikal, seperti topikalisasi
(topicalization), relativisasi (relativization), dsb..

Djunaidi, dkk. (2000) telah pula menulis buku tentang tata
bahasa Aceh. Dalam buku ini, juga sama sekali tidak disinggung
masalah kasus, perilaku kasus, dan organisasi kasus dalam bahasa
Aceh meskipun tak dapat dipungkiri bahwa pembahasan tentang
konstruksi kalimat bahasa Aceh dalam buku ini jauh lebih mendalam.

Azwardi (2003) dalam tesisnya mengkaji jenis reduplikasi
verba dalam bahasa Aceh, proses terjadinya reduplikasi verba dalam
bahasa Aceh, dan makna yang terkandung dalam reduplikasi verba
bahasa Aceh. Dengan kata lain, Azwardi membahas khusus tentang
verba reduplikasi dalam tinjauan morfologi dan semantik. Dalam
tesis ini tidak ditemukan kajian tentang kasus.

Wildan (2005) dalam bukunya yang berjudul Tata Bahasa

Lampiran 183

Aceh untuk Madrasah Dasar dan Madrasah Lanjutan juga tidak
menjelaskan perihal kasus, kaidah-kaidah tata bahasa kasus, serta
organisasi sintaksis kalimat bahasa Aceh dengan menggunakan
tinjauan tata bahasa kasus. Hal ini dapat dimaklumi bahwa tata bahasa
Aceh yang disusun oleh Wildan dipersiapkan untuk madrasah dasar
dan madrasah lanjutan. Selanjutnya, dalam buku Wildan (2010)
yang berjudul Kaidah Bahasa Aceh juga tidak disebutkan tentang
kasus. Hal yang dijelaskan oleh Wildan dalam bukunya itu tidak jauh
berbeda dengan yang dijelaskan dalam buku terbitan tahun 2005.

Armia dan Azwardi (2005) juga telah melakukan penelitian
tentang Pronomina Persona Bahasa Aceh. Dalam penelitian ini dikaji
masalah struktur pronomina persona bahasa Aceh, fungsi sintaksis yang
dapat ditempati oleh pronomina persona bahasa Aceh, peran semantik
yang dikandung oleh pronomina persona bahasa Aceh, dan hubungan
pronomina persona dengan verba pengisi predikat dalam kalimat pasif.
Sepintas mengenai kasus dibahas dalam penelitian ini (kasus dalam
penelitian ini disebut peran). Akan tetapi, pembahasan mengenai kasus
hanya sebatas kasus sebagai pengisi fungsi dalam kalimat.

Khusus penelitian tentang tata bahasa kasus yang dikaitkan
dengan konstruksi kalimat bahasa Aceh dialek Aceh Barat sejauh
ini sepengetahuan penulis belum ada yang meneliti. Oleh karena
itu, dalam penelitian ini akan dibahas secara spesifik mengenai
konstruksi kalimat bahasa Aceh dialek Aceh Barat berdasarkan
teori tata bahasa kasus. Namun, mengingat luasnya ruang lingkup
tata bahasa kasus, pembicaraan dibatasi pada (1) kerangka kasus
dalam konstruksi kalimat bahasa Aceh dialek Aceh Barat, (2) kasus-
kasus yang tergolong ke dalam kasus tampak (overt cases), kasus
tersembunyi parsial (partially covert cases), serta kasus tersembunyi
total (totally covert cases), dan (3) identifikasi terhadap ada atau

184 Metode Penelitian

tidaknya pengaruh persesuaian pada verba terhadap keobligatifan
dan keopsionalan kasus. Jadi, berdasarkan uraian di atas, judul dalam
penelitian ini adalah Analisis Konstruksi Kalimat Bahasa Aceh
Dialek Aceh Barat Berdasarkan Teori Tata Bahasa Kasus.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
(1) Bagaimanakah kerangka kasus konstruksi kalimat bahasa Aceh

dialek Aceh Barat?
(2) Kasus-kasus apa sajakah yang tergolong ke dalam kasus tampak

(overt cases), kasus tersembunyi parsial (partially covert cases),
dan kasus tersembunyi total (totally covert cases) dalam kalimat
bahasa Aceh dialek Aceh Barat?
(3) Apakah persesuaian pada verba kalimat bahasa Aceh dialek Aceh
Barat mempengaruhi keobligatifan dan keopsionalan kasus?

3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
(1) mendeskripsikan kerangka kasus konstruksi kalimat bahasa Aceh

dialek Aceh Barat;
(2) mendeskripsikan kasus-kasus yang tergolong ke dalam kasus

tampak (overt cases), kasus tersembunyi parsial (partially covert
cases), dan kasus tersembunyi total (totally covert cases) dalam
kalimat bahasa Aceh dialek Aceh Barat;
(3) mendeskripsikan persesuaian pada verba kalimat bahasa Aceh dialek
Aceh Barat mempengaruhi keobligatifan dan keopsionalan kasus.

Lampiran 185

4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah (1) memperkaya khazanah tata bahasa
Aceh; (2) memberikan sumbangan bagi pengembangan teori linguistik
pada umumnya dan tata bahasa Aceh pada khususnya; (3) menjadi
rujukan penulisan referensi tentang tata bahasa Aceh.

5. Definisi Operasional
Berikut ini adalah beberapa definisi operasional yang digunakan
dalam penelitian ini.
(1) Konstruksi adalah hasil pengelompokan dari konstituen-

konstituen sehingga menjadi suatu kesatuan yang bermakna.
(2) Dialek adalah variasi sebuah bahasa yang dipakai dalam suatu

kelompok masyarakat.
(3) Argumen adalah pendamping predikat.
(4) Struktur lahir adalah hubungan gramatikal antarkata dalam frasa

atau kalimat yang konkret.
(5) Struktur batin adalah struktur yang dianggap mendasari kalimat

atau kelompok kata yang mengandung semua informasi yang
diperlukan untuk interpretasi sintaksis dan semantik kalimat dan
yang tidak nyata secara langsung dari deret linier kalimat atau
kelompok kata itu.
(6) Tata bahasa kasus adalah tata bahasa yang mengkaji konstruksi
kalimat, tidak hanya pada tataran struktur lahir, tetapi juga pada
tataran struktur batin.
(7) Kasus adalah hubungan semantik antara verba dan nomina atau
frasa nomina.
(8) Koreferensi adalah persamaan referen antara konstituen-
konstituen kalimat.
(9) Persesuaian adalah hubungan antara satu satuan gramatikal dan

186 Metode Penelitian

satuan gramatikal yang lain untuk menunjukkan tautan gramatik
dalam kalimat.
(10 Kasus tersembunyi merupakan kasus yang dipakai hanya untuk
kasus-kasus yang kadang-kadang muncul dan kadang-kadang
tidak muncul dalam struktur lahir.
(11) Kasus tampak merupakan kasus yang selalu muncul dalam
struktur lahir.

6. Sumber Data
Data penelitian ini adalah data lisan yang diperoleh melalui perekaman
atau percakapan sehingga merupakan data yang alami. Artinya, tidak
ada rekayasa penggunaan bahasa oleh penutur. Untuk mengecek
kesahihan data, peneliti juga menggunakan informan yang berjumlah
lima orang dengan umur sekitar 20 s.d. 50 tahun yang terdiri atas
seorang wanita dan empat orang pria. Informan ini merupakan penutur
asli bahasa Aceh dialek Aceh Barat, memiliki lafal bahasa Aceh yang
jelas, serta sehat jiwanya. Selain kelima informan tersebut, peneliti
juga memanfaatkan diri sendiri sebagai sumber data yang dengan sadar
secara aktif memanfaatkan intuisi kebahasaan karena peneliti sendiri
merupakan penutur asli dialek Aceh Barat. Namun, untuk menjaga
kesahihannya, data yang disusun secara intuitif itu terlebih dahulu
diujikan kepada para informan. Hal seperti ini diperkenankan dalam
penelitian bahasa, bahkan sebagian ahli menyebutkan bahwa peneliti
yang baik adalah peneliti yang meneliti bahasa yang dikuasainya.

7. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Artinya, penelitian yang
dilakukan hanya semata-mata berdasarkan fakta yang ada atau fenomena
yang secara empiris hidup dalam penutur-penuturnya. Hal-hal yang dikaji

Lampiran 187

dalam penelitian ini adalah kerangka kasus konstruksi kalimat bahasa
Aceh dialek Aceh Barat, kasus tampak, kasus tersembunyi parsial, dan
kasus tersembunyi total dalam bahasa Aceh dialek Aceh Barat, dan ada
atau tidaknya pengaruh persesuaian pada verba kalimat bahasa Aceh
dialek Aceh Barat terhadap keobligatifan dan keopsionalan kasus.

8. Metode dan Teknik Penyediaan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode simak dan metode cakap (Sudaryanto, 1988:2).
Penggunaan kedua metode dianggap representatif untuk menjaring
sejumlah data yang berupa kalimat-kalimat lisan dalam bahasa Aceh.
Penjabaran kedua metode ini diwujudkan melalui dua teknik, yaitu
teknik dasar dan teknik lanjutan. Kedua teknik ini diterapkan secara
berurutan. Artinya, teknik dasar akan digunakan terlebih dahulu
sebelum teknik lanjutan.

Metode simak yang digunakan dalam penelitian ini diwujudkan
melalui teknik dasar dan teknik lanjutan. Teknik dasar yang dipilih
adalah teknik sadap. Teknik sadap merupakan teknik yang dilakukan
dengan cara menyadap pembicaraan seseorang atau beberapa orang.
Dalam hal ini, peneliti tidak terlibat dalam pembicaraan. Yang
disadap sebenarnya bukanlah substansi pembicaraannya, melainkan
penggunaan bahasanya. Selain teknik dasar, diterapkan pula teknik
lanjutan, yaitu teknik simak libat cakap (SLC). Teknik ini dilakukan
dengan cara berpartisipasi sambil menyimak, berpartisipasi dalam
pembicaraan, dan menyimak pembicaraan. Keikutsertaan peneliti
dalam pembicaraan dapat aktif dapat pula reseptif (Sudaryanto,
1988:3). Ciri khas teknik ini adalah diakui dan disadarinya keikutsertaan
peneliti dalam proses pembicaraan oleh lawan-lawan bicaranya. Si
lawan bicara sendiri tidak tahu bahwa peneliti sebenarnya hanya
ingin mengetahui penggunaan bahasa si lawan bicara. Pelaksanaan

188 Metode Penelitian


Click to View FlipBook Version