teknik seperti ini memungkinkan peneliti memperoleh korpus data
yang asli, yang tidak direkayasa oleh si pembicara.
Selain metode simak, data juga dikumpulkan dengan menggunakan
metode cakap. Metode ini juga terdiri atas teknik dasar dan teknik
lanjutan. Pada teknik dasar, teknik yang dipilih adalah teknik pancing.
Teknik ini dilakukan untuk menggali data dari intuisi bahasawan
yang tidak lain adalah kompetensi penutur asli. Selain teknik dasar,
diterapkan pula teknik lanjutan, yaitu teknik cakap semuka. Teknik ini
dilakukan melalui percakapan langsung, tatap muka, atau bersemuka.
Jadi, data yang diperoleh merupakan data lisan.
Data-data yang telah diperoleh, baik melalui metode simak
maupun melalui metode cakap diabadikan dengan cara mencatatnya
pada kartu data sekaligus direkam. Perekaman digunakan mengecek
kembali kebenaran data yang sudah dicatat tersebut.
9. Metode dan Teknik Penganalisisan Data
Selanjutnya, data yang tersedia akan dianalisis sebagai berikut.
Pertama, data-data yang tersedia yang berupa kalimat verbal dianalisis
sampai pada suatu titik jenuh. Penganalisisan ini dilakukan untuk
mengetahui bagaimana kerangka kasus dalam kalimat bahasa Aceh
dan kasus-kasus apa saja yang ada dalam kalimat bahasa Aceh dialek
Aceh Barat. Kedua, menentukan kriteria diagnostik untuk menemukan
kasus-kasus yang obligatif dan kasus-kasus yang opsional, sekaligus
juga dipakai untuk mengidentifikasi kasus tampak, kasus tersembunyi
parsial, dan kasus tersembunyi total. Kriteria diagnostik diangkat dari
seperangkat perilaku sintaksis dan semantik distingtif dari kalimat-
kalimat verbal sehingga dapat digunakan sebagai piranti pemisah,
antara lain kasus-kasus yang obligatif dan kasus-kasus yang opsional,
atau kasus tampak, kasus tersembunyi parsial, dan kasus tersembunyi
total, misalnya perhatikanlah contoh berikut!
Lampiran 189
Mak ka geujak. u peukan.
Mak ka geujak baroe.
Gopnyan ka geujak
Jih hana ijak. keudéh siat.
Kah kajak u rumoh mak wa siat.
Kah kajak
Dengan menggunakan kriteria diagnostik seperti yang
dicontohkan di atas terlihatlah kasus-kasus yang obligatif, kasus-
kasus yang opsional, kasus tampak, kasus tersembunyi parsial, dan
kasus tersembunyi total. Penentuan kriteria seperti ini diilhami dari
Grebaum (dalam Effendi, 2004:11). Menurut penulis, kriteria ini
cocok diterapkan untuk menganalisis kasus-kasus yang obligatif,
kasus-kasus yang opsional, kasus tampak kasus tersembunyi parsial,
dan kasus tersembunyi total dalam konstruksi kalimat bahasa Aceh
dialek Aceh Barat. Kriteria diagnostik seperti yang dilakukan
oleh Grenbaum ini mirip dengan metode padan intralingual, yaitu
menghubung-bandingkan unsur-unsur yang bersifat lingual, baik
yang terdapat dalam satu bahasa maupun dalam bahasa yang berbeda
(Mahsun, 2005:112). Langkah kedua ini ditempuh untuk menjawab
rumusan masalah kedua dan ketiga.
10. Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis yang berupa kaidah-kaidah disajikan dengan
menempuh dua cara, yaitu (a) perumusan dengan menggunakan kata-
kata biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis
dan (b) perumusan dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang.
Beberapa tanda atau lambang yang digunakan antara lain dapat
dijabarkan sebagai berikut.
190 Metode Penelitian
Tanda asteris (*) digunakan untuk menunjukkan suatu bentuk
lingual yang tidak gramatikal dan diletakkan sebelum tuturan.
Kurung biasa ((...)) digunakan untuk menyatakan bahwa formatif
yang berada di dalamnya memiliki alternasi sejumlah formatif yang
berada di dalamnya.
Kurung kurawal ({...}) digunakan untuk menyatakan bahwa
beberapa satuan lingual yang ada di dalamnya yang disusun secara
berlajur dapat dan perlu dipilih salah satu apabila digunakan bersama
satuan-satuan lain yang ada di depan atau di belakangnya.
Tanda tanya (?) digunakan untuk menyatakan bahwa konstruksi
kalimat yang dipakai diragukan kegramatikalannya.
Lampiran 191
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah,A. Chaedar. 1993. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung:Angkasa.
Ali, Zaini dkk. 1983. Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Aceh.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
----------. 1984. Sistem Perulangan Bahasa Aceh. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Alwi, Hasan dkk. 2000. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Armia dan Azwardi. 2005. “Pronomina Persona Bahasa Aceh (Suatu
Kajian Sintaksis dan Semantik”. Laporan Penelitian Balai
Bahasa Banda Aceh.
Asyik, Abdul Gani. 1972. “Atjehnese Morphology”. Tesis IKIP
Malang.
----------. 1978. Bunyi Bahasa dalam Kata Tiruan Bunyi Bahasa Aceh.
Banda Aceh: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unsyiah.
----------. 1982. “The Agreement System in Achenese”. Mon-Khmer
Studies, Jilid XI: 1-33.
----------. 1987. “A Contextual Grammar of Achenese Sentences”.
Dissertation University of Michigan.
Azwardi. 2003. “Reduplikasi Verba Bahasa Aceh: Satu Kajian
Morfologi dan Semantik”. Tesis Universitas Padjadjaran.
Ba’dulu, Abdul Muis dan Herman. 2005. Morfosintaksis. Jakarta:
Rineka Cipta.
Blake, Barry J. 1994. Case. Great Britanian: Cambridge University Press.
192 Metode Penelitian
Chaer, Abdul. 2003a. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
----------. 2003b. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
Cook, Walther Anthony. 1989. Case Grammar. USA: George Town
University Press.
Dardjowidjojo. 2005. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman
Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor.
Daud, Bukhari dan Mark Durie. Kamus Basa Aceh. Banda Aceh: Australia
Pacific Linguistics Research School of Pacific and Asian Studies.
Dirven, Renè and Günter Radden (Eds.) 1987. Concepts of Case.
Tübingen: SeG.
Djunaidi, Abdul. 1996. “Relasi-Relasi Gramatikal dalam Bahasa
Aceh: Suatu Telaah Berdasarkan Teori Tata Bahasa Relasional”.
Disertasi Universitas Padjadjaran.
----------. 2000. Tata Bahasa Aceh. Jakarta: PPBHSI.
----------. 2002. “Kedudukan, Fungsi, Pembinaan, dan Pengembangan
Bahasa Aceh: Beberapa Masalah Pokok”. Makalah. Disampaikan
dalam Kongres Bahasa Aceh, Banda Aceh, 18 Desember 2002.
----------. 2004. “Persesuaian dalam Bahasa Aceh”. Jurnal Bahasa
dan Seni Volume 6 (2): 139-163.
Durie, Mark. 1985. A Grammar of Achenese Sentence on The Basis of
A Dialect of North Aceh. Holand: Foris Publication.
Effendi, S. 2004. Adverbial Cara dan Adverbial Sarana dalam
Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa.
Fillmore, Charles. J. 1968. “The Case for Case”. Universals in
Lingusitc Theory. Edited by Emmon Bach/Robert T, Harms.
Holt, Rinehart and Winston, Inc., Newyork.
Lampiran 193
Hanafiah, M.A. dan Makam I. 1984. Struktur Bahasa Aceh. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Hanoum, Sy. dkk. 1986. Ragam dan Dialek Bahasa Aceh. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Kridalaksana, Harimurti. 2001a. Kamus Linguistik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
----------. 2001b. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Lombard, Denys. 2007. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Terjemahan oleh Winarsih Arifin dari Le sulatanat
d’Atjéh au temps d’Iskandar Muda (1607-1636). 1967. Jakarta:KPG).
Lyons, John. 1995. Pengantar Teori Linguistik. Terjemahan oleh
I. Soetikno dari Introduction to Theoretical Linguistics. 1968.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
MacManis, Carolyn et al. 1987. Language Files: Materials for An
Introduction to Language. Ohio: Advocat Publishing Group.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode,
dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Perkasa.
O’Grady, William and Daniel Finer. “The Study of Sentence
Structure.” Dalam O’Grady, et all., Contemporary Linguistics:
An Introduction. New York: St. Martin Press.
Pateda, Mansoer. 1994. Linguistik (Sebuah Pengantar). Bandung:Angkasa.
Samsuri. 1988. Berbagai Aliran Linguistik Abad XX. Jakarta: Depdikbud.
----------. 1994. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Song, J.J. 2001. Linguistic Typologi: Morphology and Syntax.
London: Longman.
194 Metode Penelitian
Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik: Metode dan Aneka Teknik
Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sulaiman, Budiman dkk. 1985. Struktur Bahasa Aceh: Morfologi dan
Sintaksis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
----------. 1990. Sistem Sapaan dalam Bahasa Aceh. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Tata Bahasa Kasus.
Bandung: Angkasa.
Trask, R.L. 1999. Key Concepts in Language and Linguistics.
London: Rotladge.
Verhaar. 1999. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Whaley, Linsey J. 1997. Introduction to Typology: The Unity and
Diversity of Language. New Delhi: Sage Publication.
Wildan. 2010. Kaidah Bahasa Aceh. Banda Aceh: Geuci.
Lampiran 195
Contoh 5
Proposal Penelitian Linguistik Terapan 1
ANALISIS KESALAHAN PENULISAN BAHASA ACEH
PADA MEDIA LUAR RUANG DI KOTA BANDA ACEH
Proposal Skripsi
diajukan sebagai bahan seminar proposal
pada Prodi PBSI FKIP Unsyiah
oleh
Raihan
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2012
196 Metode Penelitian
LEMBAR PENGESAHAN
Proposal Skripsi
ANALISIS KESALAHAN PENULISAN BAHASA ACEH
PADA MEDIA LUAR RUANG DI KOTA BANDA ACEH
Nama : Raihan
NIM : 0606102010044
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Dosen Wali,
Drs. Teuku Alamsyah, M.Pd. Azwardi, S.Pd., M.Hum.
NIP 196606061992031005 NIP 1973112019980201001
Lampiran 197
ANALISIS KESALAHAN PENULISAN BAHASA ACEH
PADA MEDIA LUAR RUANG DI KOTA BANDA ACEH
1. Latar Belakang Masalah
Bahasa Aceh (BA) merupakan salah satu bahasa daerah di Provinsi
Aceh. Bahasa ini digunakan secara aktif sebagai sarana komunikasi
antarwarga masyarakat Aceh. Sebagaimana bahasa-bahasa lain di dunia,
BA juga mempunyai kaidah-kaidah yang sistematis. Kaidah tersebut,
antara lain, kaidah penulisan atau pewujudan fonem yang relatif berbeda
dibandingkan dengan kaidah penulisan dalam bahasa-bahasa lain.
Penelitian ini bekenaan dengan analisis kesalahan penulisan
bahasa Aceh pada media luar ruang di Kota Banda Aceh. Penelitian
ini penting dilakukan mengingat (1) pemakaian BA pada media luar
ruang dewasa ini cederung tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku, (2)
kesalahan pemakaian BA pada media luar ruang, jika dibiarkan, akan
berdampak negatif karena masyarakat luas menganggap bahwa seperti
itulah yang benar, (3) hal ini merupakan salah satu wilayah kajian yang
perlu diungkapkan secara detail demi kejelasan informasi tentang
fenomena tersebut, (4) secara yuridis keberadaan dan pemeliharaan
bahasa daerah termaktup di dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, yaitu bahasa daerah merupakan bagian
dari aset yang perlu dipelihara dan dibina. Sebagaimana bahasa
Indonesia, bahasa Aceh juga perlu dipelihara dan dibina. Pembinaan
dan pemeliharaan bahasa Aceh perlu dilakukan secara bertanggung
jawab oleh semua pihak, khususnya masyarakat Aceh. Selanjutnya,
secara operasional, bahasa daerah dikuatkan dengan penegasan fungsi
dan kedudukannya sebagai khazanah budaya bangsa. Jadi, tidak ada
alasan masyarakat Aceh tidak peduli terhadap pemakaian bahasa
Aceh dengan benar sesuai dengan kaidah keilmuan yang berlaku.
Dewasa ini sikap pemakai bahasa Aceh terkesan tidak positif.
Tidak menganggap penting belajar dan menggunakan bahasa Aceh
198 Metode Penelitian
dengan baik dan benar. Hal tersebut tecermin dari memakaian bahasa
Aceh sehari-hari yang cenderung tidak baik, tidak benar, tidak logis,
dan tidak sistematis, baik oleh masyarakat awam maupun masyarakat
terpelajar. Dalam kenyataan penggunaan bahasa Aceh sehari-hari,
khususnya bahasa tulis pada media luar ruang, sering kita jumpai
pemakaian bahasa Aceh yang salah atau tidak sesuai dengan kaidah
bahasa tersebut. Selain persoalan kedidakbenaran, tidak jarang juga
ditemukan ketidaklogisan pemakaian bahasa Aceh.
“Bahasa menunjukkan bangsa”, “Mulutmu harimaumu”,
“Bahasa adalah pedang”. Demikian, antara lain, ungkapan tentang
bahasa. Ungkapan tersebut mengandung maksud bahwa bahasa
merupakan identitas, dan kecermatan dalam berbahasa merupakan
hal penting. Bahasa salah cermin pikiran kacau.
Dalam pada itu, cermati pemakaian bahasa Aceh sehari-hari
dalam konteks berikut!
(1) Krue seumangat Persiraja!
(2) Wareèh
(3) Wareeh Wartel
(4) Saweu Sabee
(5) Ceuremén
(6) Angel Springbed
Rasakan lumpoé nyang goét
Neu periksa yooh goh lom neu bloëi
(7) Launching Balee Raihan
(8) Rincoeng meupucoek
(9) Aceh mulia sabee roe darah
(10) ta peujeu-oh nyang bida-bida
(11) ta puga buet bersama
(12) na lom nyang peuduk honda meranggapat
(13) Saleum Group
Lampiran 199
Jika kita perhatikan secara saksama, pada beberapa konteks
tersebut terdapat beberapa kesalahan, khususnya kesalahan penulisan.
Kesalahan penulisan terjadi pada penulisan kata dan huruf/ortografi
(krue, wareeh, warèeh, saweu, sabee, ceureumén, lumpoé, goét,
yooh, bloëi, balee, rincoeng, meupucoek, roe, peujeu-oh, peuduk,
meranggapat, saleum). Kemudian, juga terdapat kesalahan penulisan
persesuaian pronomina persona (neu periksa, neu bloëi, ta peujeu-
oh, ta puga). Selain itu, kesalahan juga terjadi akibat pencampuran
penggunaan struktur bahasa Inggris dalam bahasa Aceh (Wareeh
Wartel, Lounching Balee, Saleum Group).
Dalam pada itu, kesalahan juga sering terjadi akibat
penerjemahan bahasa secara tekstual, padahal berdasarkan teori
kebahasaan, bahasa tidak boleh diterjemahkan secara tekstual,
bahasa harus diterjemahkan secara kontekstual (dipadankan). Hal
tersebut perlu dilakukan sehingga kekakuan hasil terjemahan dapat
dihindari. Bandingkan dengan konteks berikut yang sesuai dengan
kaidah keilmuan bahasa Aceh yang berlaku.
(1) Kru seumangat Persiraja!
(2) Waréh
(3) Wartel Waréh
(4) Saweue Sabé
(5) Ceurem’èn
(6) Angel Springbed
neurasa lumpoe nyang göt
neupareksa yôh goh neubloe
(7) balèe Raihan
(8) rincông meupucôk
(9) Aceh mulia sabé rô darah
(10) tapeujeu-ôh nyang bida-bida
200 Metode Penelitian
(11) tapuga buet bersama
(12) na lom nyang peuduek honda barangkapat
(13) Saleuem Group
Pascatsunami di Provinsi Aceh telah terjadi perbauran budaya
dan bahasa. Perbauran budaya dan bahasa, khususnya bahasa Inggris,
tidak dapat dibendung. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari
tingginya solidaritas dan mobilitas masyarakat internasional dalam
upaya rekonstruksi Aceh. Secara kebahasaan, akibat dari kondisi
seperti itu, akhir-akhir ini penulisan bahasa Aceh pada media massa,
khususnya media luar ruang cendrung mengebaikan kaidah bahasa.
Kesalahan berbahasa dapat terjadi pada bahasa ragam lisan dan
ragam tulis. Kesalahan pada bahasa ragam tulis bersifat permanen.
Akibatnya, kesalahan yang terjadi pada ragam tulis dapat memberi
dampak negatif yang lebih luas dan permanen. Pembaca akan meniru
tulisan yang dibacanya, menjadi skemata, dan menulis pada tempat
dan waktu yang lain. Kesalahan itu akan terus berulang jika tidak
mendapat perhatian dan perbaikan yang semestinya. Oleh karena itu,
kesalahan ragam tulis, termasuk kesalahan pada penulisan bahasa
Aceh pada media luar ruang, perlu segera ditanggapi dan diatasi.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut:
(1) Bagaimana kesalahan penulisan bahasa Aceh pada media luar
ruang di Kota Banda Aceh?
(2) Aspek dan tipe kesalahan yang bagaimana yang dominan terjadi
pada penulisan bahasa Aceh pada media luar ruang di Kota
Banda Aceh?
Lampiran 201
3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut:
(1) mendeskripsikan kesalahan penulisan bahasa Aceh pada media
luar ruang di Kota Banda Aceh;
(2) mendeskripsikan aspek dan tipe kesalahan yang dominan terjadi
pada penulisan bahasa Aceh pada media luar ruang di Kota
Banda Aceh.
4. Tinjauan Pustaka
4.1 Pengertian Analisis Kesalahan Berbahasa
Analisis kesalahan berbahasa berarti bahasan, kupasan atau
pemerian suatu objek untuk rnendapatkan fakta yang dicari seperti
keterangan, perincian jenis, dan penyebab (Sapani 1986:6). Tarigan
(1995) mengemukakan bahwa ana1isis kesalahan adalah prosedur
pengumpulan sampel, penjelasan, pengklasifikasian kesalahan
berdasarkan penyebabnya, serta pengevaluasian atau penilaian taraf
keseriusan kesalahan itu. Kesalahan berbahasa merupakan bentuk
penyimpangan wujud bahasa dan sistem atau kebiasaan berbahasa
pada umumnya sehingga menghambat kelancaran komunikasi bahasa
(Supriyadi,1986:14).
Analisis kesalahan berbahasa merupakan suatu studi terhadap
pemakaian bahasa tertentu oleh suatu masyarakat. Analisis kesalahan
berbahasa dapat diarahkan untuk menemukan (1) kesalahan berbahasa
yang disebabkan oleh bahasa lain (intralingual), (2) kesalahan
berbahasa yang disebabkan oleh kemampuan pemakai bahasa
itu sendiri (interlingual), dan (3) faktor psikologis dan fisiologis
(kemampuan berpikir dan kemampuan pancaindra).
202 Metode Penelitian
4.2 Fungsi Analisis Kesalahan Berbahasa
Richard (dalam Sapani, 1986:40-44) mengemukakan bahwa analisis
kesalahan berbahasa memiliki dua fungsi, yaitu fungsi praktis dan
fungsi teoretis. Fungsi praktis merupakan fungsi yang dimanfaatkan
hasilnya bagi bahasa itu dan pemakaiannya (pedagogis). Analisis
kesalahan dan fungsi ini memiliki manfaat sebagai benikut:
(1) memberikan umpan balik kepada pemakai bahasa mengenai
kesalahan, kadar kesalahannya, dan upaya yang harus dilakukan
berikutnya;
(2) membantu perencanan plaksanaan perbaikan, merupakan usaha
yang ditunjuk khusus untuk membantu pemakai bahasa dalam
mengatasi kesulitan dan memperbaiki kesalahan yang masih
dialami;
(3) membantu pendapat dalam ruang lingkup kesalahan. Usaha ini dapat
bermanfaat bagi pihak yang ingin mengetahui kesalahan-kesalahana
dalam variabel bahasa tertentu. Usaha ini dikenal dengan istilah tes
komunikasi bahasa yang fungsi secara teoretisnya merupakan suatu
usaha untuk memahami proses belajar mengajar bahasa kedua.
Fungsi ini juga bermanfaat pada saat terjadinya kesalahan, yakni
berfungsi sebagai panduan dalam jangka waktu yang panjang.
Teori ini akan bertahan sampai dengan adanya penyempurnaan
atau penemuan baru yang lebih baik. Fungsi teoretis mempunyai
dua manfaat utama, yaitu (1) memberikan gambaran mengenai
proses penggunaan bahasa dewasa ini. Gambaran dapat diperoleh
dengan menganalisis bahasa pemakainya. Berdasarkan kesalahan
yang didapati dapat diperoleh gamabaran bagaimana pemerolehan
bahasa atau pemakaian bahasa dewasa ini dan (2) memberikan
gambaran mengenai strategi belajar bahasa yang dilakukan oleh
pembelajar bahasa. Gambaran yang diperoleh akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan, seperti mengapa ia melakukan kesalahan,
Lampiran 203
mengapa bahasa sulit dipahaminya, dan bagaimana cara mengatasi
kesalahan-kesalahan tersebut. Berdasarkan jawaban itulah akan
disusun teori-teori yang dapat mencegah terjadinya kesalahan pada
bagian dan waktu yang lain.
5. Kontribusi Penelitian
Sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan, hasil penelitian ini dapat
dimanfaat-kan untuk hal-hal sebagai berikut:
(1) Dari segi keilmuan hasil penelitian ini, antara lain, dapat
menambah dan memperluas wawasan penulis dan pihak lain yang
berkepentingan dengan masalah yang diteliti.
(2) Dari segi kepraktisan hasil penelitian penelitian ini dapat menjadi
bahan masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan, terutama
masyarakat dan pemerintah daerah dalam hal pelaksanaan gerakan
disiplin nasional, khususnya disiplin berbahasa yang terkait
dengan wacana RUU Kebahasaan yang sedang digulirkan.
6. Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah media luar ruang yang di dalamnya
terdapat tulisan berbahasa Aceh (baliho, spanduk, papan nama toko,
dsb.) yang ada di Kota Banda Aceh.
7. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Penggunaan metode
tersebut untuk memperoleh deskripsi secara faktual mengenai hal-
hal yang akan diteliti yang sedang berlangsung pada masa sekarang.
Penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan fakta yang
ada atau fenomena yang ada sehingga yang dihasilkan atau yang
dicatat berupa perincian seperti potret paparan sebagaimana adanya
(Sudaryanto 1988b:62).
204 Metode Penelitian
8. Teknik Penelitian
8.1 Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik observasi dan
teknik catat atau rekam (Mahsun 2005). Teknik ini dilakukan untuk
memperoleh data secara langsung dari objek penelitian. Pengamatan
dilakukan pada media luar ruang yang terdapat di lokasi penelitian.
Data kesalahan penulisan bahasa Aceh yang teramati dicatat atau
direkam sebagai korpus data.
8.2 Teknik Penganalisisan Data
Data yang sudah terkumpul atau data teridentifikasi dicatat dalam
korpus data. Selanjutnya, data tersebut diklasifikasikan dan dianalisis
berdasarkan aspek dan tipe kesalahan. Sesuai dengan karakteristik data
yang ingin diperoleh, penganalisisan data penelitian ini menggunakan
teknik kualitatif. Hal ini sesuai dengan karakteristik data yang akan
dideskripsikan (Mahsun 2005). Berkaitan dengan ini, Ellis (dalam
Tarigan, 1995:68) mengemukakan bahwa langkah kerja analisis
kesalahan berbahasa adalah mengumpulkan data, mengidentifikasikan
data, menjelaskan kesalahan, dan mengevaluasikan. Kemudian, untuk
mentukan aspek atau tipe kesalahan yang dominan terjadi digunakan
rumus persentase berikut.
P = f/N x 100%
Keterangan
P = Angka Persentase
F = Frekuensi yang Dicari Persentasenya
N = Jumlah Frekuensi yang Dijadikan Data
100% = Nilai Tetap (Sudijono 1996).
Lampiran 205
DAFTAR PUSTAKA
Depdikbud. 1991. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan. Jakata: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Djunaidi, Abdul. 1996. ”Penggunaan Bahasa Asing di Tempat Umum”
Makalah dalam Seminar di Darussalam Aceh.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Depdiknas. 2003. Pengindonesiaan Kata dan Ungkapan Asing.
Jakarta: Pusat Bahasa.
Samarin, William J. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. (Terjemahan Yus
Badudu). Yogyakarta: Kanisius.
Sapani, Suardi. 1986. “Analisis Kesalahan Berbahasa dalam
Karangan Siswa Kelas 2 SMA Negeri Kodya Bandung”. Tesis
IKIP Bandung.
Sudaryanto. 1988b. Metode Linguistik Bagian Kedua: Metode dan
Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Prees.
Sudijono, Anas. 1996. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Supriyadi. 1986. Analisis Kesalahan Berbahasa. Modul I. Jakarta:
Karunika-Universitas Terbuka.
Tarigan, H.G. 1995. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
Weinreich, Uiriel. 1968. Languages in Contect, Findings, and
Problems. Mouton: The Hague.
206 Metode Penelitian
Contoh 6
Proposal Penelitian Linguistik Terapan 2
USUL PENELITIAN FUNDAMENTAL
PEMILIHAN BAHASA INDONESIA
SEBAGAI BAHASA PERTAMA ANAK
DALAM KELUARGA MASYARAKAT ACEH
PENUTUR BAHASA ACEH
DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
Penanggung Jawab Program
Drs. Teuku Alamsyah, M.Pd.
Dra. Rostina Taib, M.Hum.
Azwardi, S.Pd., M.Hum.
Perguruan Tinggi Pengusul
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
MARET 2007
Lampiran 207
HALAMAN PENGESAHAN USUL PENELITIAN FUNDAMENTAL
: Pemilihan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Pertama
1. Judul Penelitian
2. Peneliti Utama Anak Keluarga Masyarakat Aceh Penutur Bahasa Aceh
a. Nama Lengkap di Nanggroe Aceh Darussalam
b. Jenis Kelamin
c. NIP : Drs. Teuku Alamsyah, M.Pd.
d. Pangkat/Golongan : Laki-Laki
e. Jabatan Struktural : 132011417
f. Jabatan Fungsional : Pembina/IVa
g. Fakultas/Jurusan :-
h. Pusat Penelitian : Lektor Kepala
i. Alamat : KIP/Pendidikan Bahasa dan Seni
j. Telepon/Faksimile : Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh
k. Alamat Rumah : Darussalam Banda Aceh
: (0651) 53180-51977
: Perumahan Dosen Unsyiah, Blok 2 No. 8 Blang Krueng,
Baitussalam,Aceh Besar
l. Nomor HP : 081375074397
m. E-Mail : [email protected]
3. Usul Jangka Waktu Penelitian : 2 Tahun
4. Pembiayaan : Rp40.000.000,00
a. Usul Biaya Tahun Pertama : Rp40.000.000,00
b. Usul Biaya Tahun Kedua :-
c. Biaya dari Instansi Lain : delapan puluh juta rupiah
Jumlah
Mengatahui Darussalam, 14 Maret 2007
Ketua Peneliti
Dekan FKIP Unsyiah,
Dr. H. M. Yusuf Aziz, M.Pd. Drs. Teuku Alamsyah, M.Pd.
NIP 131412307 NIP132011417
Menyetujui
Ketua Lembaga Penelitian,
Prof. Dr. Ir. Syamsul Rizal
NIP 131662135
208 Metode Penelitian
PEMILIHAN BAHASA INDONESIA
SEBAGAI BAHASA PERTAMA ANAK
DALAM KELUARGA MASYARAKAT ACEH
PENUTUR BAHASA ACEH
DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
1. Abstrak Rencana Penelitian
Di setiap daerah di Indonesia terdapat bahasa daerah yang digunakan
oleh masyarakatnya sebagai alat komunikasi dan interaksi dalam
kelompoknya. Umumnya bahasa daerah merupakan bahasa pertama
bagi anggota masyarakat di daerah yang bersangkutan. Oleh karena
itu dapat dipastikan bahwa setiap anggota masyarakat yang hidup di
suatu daerah mengerti dan mampu menggunakan bahasa daerahnya.
Namun, tidak demikian halnya dengan kenyataan yang saat ini
terlihat dalam masyarakat Aceh. Secara umum, bahasa pertama anak
dalam keluarga etnis Aceh, penutur bahasa Aceh, adalah bahasa Aceh
sehingga tidaklah berlebihan jika ada orang yang mengatakan bahwa
setiap orang Aceh (etnis Aceh) pasti bisa berbahasa Aceh. Kondisi
terkini yang berlaku untuk bahasa Aceh dapat diidentifikasikan bahwa
banyak penutur bahasa Aceh sudah jarang menggunakan bahasa Aceh
sebagai bahasa utama dalam pergaulan sehari-hari. Bahkan, banyak
generasi muda etnis Aceh, terutama anak usia madrasah ke bawah
menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa kedua (second language),
bukan sebagai bahasa pertama (first language). Bahasa pertama yang
mereka gunakan adalah bahasa Indonesia, terutama di madrasah dan
keluarga. Kenyataan ini sangatlah merisaukan sebab hal ini berarti
rasa cinta dan rasa memiliki bahasa Aceh oleh etnis Aceh sendiri
semakin memudar. Dengan demikian, jika kondisi ini terus berlanjut,
patut diduga bahwa pada suatu saat, bahasa Aceh akan ‘sakit’ dan
Lampiran 209
‘punah’ (Harun, 2003). Di sisi lain, hasil pengamatan terhadap
kalangan pelajar, mahasiswa, karyawan kantor baik karyawan kantor
pemerintah maupun karyawan swasta, dapat dijumpai fenomena
berbahasa (1) tidak mampu berkomunikasi dalam bahasa Aceh, (2)
enggan ‘malu’ berbahasa Aceh atau ‘berlagak’ sebagai bukan penutur
bahasa Aceh, dan (3) berbahasa Aceh dengan logat seperti orang yang
baru belajar bahasa Aceh. Temuan sementara menunjukkan bahwa
fenomena tersebut terkait erat dengan pemilihan bahasa Indonesia
sebagai bahasa pertama dalam keluarga. Namun, faktor-faktor lain
sebagai penyebab lahirnya fenomena yang demikian menarik untuk
dikaji dan perlu dikaji lebih dalam.
2. Masalah Penelitian
Berdasarkan abstraksi di atas, masalah penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
(1) Faktor-faktor apa sajakah yang menjadi dasar bagi orang tua
etnis Aceh, penutur bahasa Aceh, di NAD cenderung memilih
bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama bagi anak?
(2) Apakah ketidakmampuan generasi muda Aceh berbahasa Aceh
terkait dengan pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertama dalam keluarga?
(3) Apakah terdapat kesamaan faktor penyebab pemilihan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pertama anak dalam keluarga etnis
Aceh, penutur bahasa Aceh di perkotaan dan di pedesaan?
(4) Pada tataran yang bagaimanakah ketidakmampuan berbahasa
Aceh generasi muda Aceh yang orang tuanya memilih bahasa
Indonesia sebagai bahasa pertama anak dalam keluarga?
(5) Bagaimanakah pendapat orang tua etnis Aceh, penutur bahasa
Aceh yang memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama
210 Metode Penelitian
bagi anak terhadap upaya pelestarian bahasa Aceh sebagai salah
satu aset budaya bangsa?
(6) Bagaimanakah pendapat generasi muda etnis Aceh yang kurang
mampu berbahasa Aceh terhadap upaya pelestarian bahasa Aceh
sebagai salah satu asset budaya bangsa?
(7) Bagaimanakah tanggapan masyarakat Aceh yang memilih bahasa
Aceh sebagai bahasa pertama bagi anak dalam keluarga terhadap
masyarakat Aceh yang memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertama anak dalam keluarga?
3. Kajian Pustaka yang Sudah Dilaksanakan
Secara umum bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi. Hubungan
individu yang satu dan individu yang lain tidak dapat dipisahkan dari
bahasa sebagai alat komunikasi. Atas dasar itulah bahasa hidup dan
berkembang dengan segala fungsinya (Sudaryanto, 1990:5).
Bahasa Aceh bagi masyarakat penuturnya merupakan alat untuk
berinteraksi atau menjalin hubungan sosial dengan orang lain. Bahasa
Aceh tidak hanya berfungsi sebagai lambang kebanggaan daerah,
lambang identitas daerah, serta alat perhubungan di dalam keluarga
dan masyarakat, tetapi juga berfungsi sebagai pendukung bahasa
nasional, sebagai bahasa pengantar di sekolah dasar di pedesaan pada
tingkat permulaan, serta sebagai alat pengembangan dan pendukung
kebudayaan daerah (Ali dkk. 1983:1). Selain itu, bahasa Aceh juga
memiliki fungsi sebagaimana dikemukakan Halliday (dalam Chaer
dan Agustina, 2004) bahwa fungsi bahasa dapat dibagi atas (1) fungsi
instrumental, yakni penggunaan bahasa oleh pembicara dengan maksud
agar pendengar mau melakukan sesuatu, bertindak, berkata, sesuai
dengan yang dimaksud pembicara, dapat diwujudkan dengan perintah,
permohonan, pemberian perhatian, atau rayuan. Dalam konteks ini
bahasa berfungsi sebagai alat; (2) fungsi regulatori, yaitu mengembang
Lampiran 211
tugas sebagai pengawas, pengendali atau pengatur tingkah laku orang
lain; (3) fungsi reprentasional, yaitu mengacu pada topik ujaran.
Bahasa sebagai alat untuk membicarakan peristiwa dalam lingkungan
sekeliling; (4) fungsi interaksional, penjamin serta pemantap ketahanan
dan kelangsungan komunikasi. Ungkapan-ungkapan yang digunakan
biasanya mempola, seperti sewaktu pamit atau sewaktu berjumpa; (5)
fungsi personal, sebagai pengungkap perasaan, emosi pribadi, serta
reaksi-reaksi yang mendalam; (6) fungsi heuristik berupa pemertanya
dan pemeroleh pengetahuan, dikenal umum dengan pertanyaan; (7)
fungsi imajinatif, pencipta sistem, gagasan, atau kisah yang imajinatif.
Hasil pengkajian terhadap penutur bahasa Aceh daerah di
NAD menunjukkan bahwa penutur bahasa Aceh meliputi wilayah
(1) Kota Banda Aceh, (2) Kabupaten Aceh Besar, (3) Kota Sabang,
(4) Kabupaten Pidie, (5) Kabupaten Bireuen, (6) Kabupaten Aceh
Utara, (7) Kota Lhokseumawe, (8) Kabupaten Aceh Timur, (9) Kota
Langsa, (10) Kabupaten Aceh Jaya, (11) Kabupaten Aceh Barat, (12)
Kabupaten Nagan Raya, (13) sebagian Kabupaten Aceh Barat Daya,
dan (14) sebagian Kabupaten Aceh Selatan. Di Kabupaten Aceh Barat
Daya dan Kabupaten Aceh Selatan hidup berdampingan dua bahasa
daerah, yaitu bahasa Aceh dan bahasa Jamee. Fenomena yang sudah
lama terlihat dalam masyarakat Aceh penutur bahasa Aceh di NAD
adalah kecenderungan memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa
pertama bagi anak dalam keluarga. Fenomena ini terutama tampak
di daerah-daerah perkotaan dan pada masa akhir-akhir ini juga sudah
mulai terlihat di daerah pedesaan (Alamsyah, 2007). Hal yang menarik
untuk dicermati dan dikaji sehubungan dengan fenomena ini adalah
kedua orang tua adalah etnis Aceh dan penutur bahasa Aceh. Namun,
sebagai bahasa pertama dan bahasa untuk berkomuniksi dengan anak
yang dipilih adalah bahasa Indonesia. Hasil yang tampak nyata adalah
banyak generasi muda Aceh, etnis Aceh, tidak mampu dan tidak
212 Metode Penelitian
mengerti bahasa Aceh. Padahal, bahasa Aceh sebagai salah satu aset
budaya bangsa harus tetap dipelihara dan dijaga kelestariannya.
Upaya pembinaan dan pelestarian bahasa Aceh yang telah
banyak dilakukan adalah bidang struktur bahasa Aceh. Universitas
Syiah Kuala pernah mengadakan seminar bahasa Aceh pada tahun
1966. Pada tahun 70-an, Sulaiman (1978) menyusun buku pelajaran
Bahasa Aceh yang pertama dan merupakan satu-satunya buku
pelajaran bahasa Aceh pada waktu itu. Abdul Gani Asyik menyusun
buku Bunyi Bahasa dalam Bahasa Aceh (1979), Sistem Persesuaian
dalam Bahasa Aceh (1982), dan Tata Bahasa Kontekstual Bahasa
Aceh (1987). Selain itu, tulisan-tulisan yang berupa hasil penelitian
antara lain dapat disebutkan Kata Tugas Bahasa Aceh (Hanoum dkk,
1982), Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Aceh, (Ali dkk. 1983),
Sistem Perulangan Bahasa Aceh (Ali dkk. 1984), Struktur Bahasa
Aceh (Hanafiah dkk. 1984). Tulisan-tulisan tentang bahasa Aceh yang
disebutkan di atas lebih mengarah pada kajian bahasa Aceh secara
linguistik. Padahal, fenomena ‘keengganan’ dan ketidakmampuan
sebagian etnis Aceh bertutur dalam bahasa Aceh juga cukup
penting dan menarik untuk disimak. Dengan demikian, penelitian
ini yang mengarah pada kajian bahasa secara sosiolinguistik juga
memiliki urgensi yang tinggi untuk dilakukan. Penelitian-penelitian
yang menyangkut bidang pemakaian bahasa Aceh dalam konteks
Sosiolinguistik hingga saat ini dapat dikatakan masih sangat terbatas.
Menarik pula untuk disimak salah satu pertanyaan masyarakat
dalam Dialog Budaya di TV Aceh dengan narasumber Kepala Balai
Bahasa Banda Aceh, Dr. Radjab Bahry, 15 Januari 2007 yaitu, “Pakon
lawetnyoe lee generasi muda Aceh hanjeut basa Aceh” ‘Mengapa
sekarang ini banyak generasi muda Aceh tidak bisa berbahasa
Aceh?’ Pertanyaan tersebut mengindikasikan bahwa fenomena
kecenderungan ‘ketidakpedulian’ generasi muda Aceh terhadap
Lampiran 213
bahasa Aceh juga dirasakan oleh banyak orang. Pertanyaan lain dalam
dialog interaktif tersebut yang juga cukup menarik adalah, “Mengapa
kalangan remaja, ibu-ibu, (terkadang juga bapak-bapak) khususnya
ketika berbelanja di supermarket cenderung berinteraksi dengan
bahasa Indonesia walaupun dapat dipastikan dia mengetahui bahwa
pramuniaga di supermarket tersebut adalah etnis Aceh dan penutur
bahasa Aceh. Demikian juga pramuniaga akan menyapa pengunjung
dengan bahasa Indonesia walaupun dia mengetahui dengan pasti
bahwa pengunjung tersebut adalah etnis Aceh penutur bahasa Aceh.
Kenyataan yang demikian memang selayaknya mendapat perhatian
yang serius oleh pemerhati bahas a dan budaya.
Kondisi tersebut juga terkait dengan sikap. Goglioli (1973:29—
35) mengatakan bahwa sikap adalah kesiapan seseorang bereaksi
terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi. Kesiapan ini
dapat mengacu kepada mental atau kepada sikap “perilaku”. Selain
itu, Gere (1979:56) mengatakan bahwa sikap adalah kesiapan mental
dan saraf yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah
atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua
objek atau keadaan yang menyangkut sikap itu.
Sehubungan dengan sikap, hasil penelitian Taib dkk. (2004)
terhadap sikap siswa SMU Negeri Kota Banda Aceh terhadap bahasa
Aceh menunjukkan bahwa sikap siswa yang tidak setuju terhadap
pemakaian bahasa Aceh dengan teman sesuku didasari oleh alasan (1)
menggunakan bahasa Aceh dianggap kuno, (2) bahasa Aceh kurang
komunikatif, (3) bahasa Aceh tidak diperlukan di sekolah, dan (4)
penggunaan bahasaAceh di sekolah mengurangi rasa nasionalis. Hasil
penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa persentase siswa yang
setuju dan tidak setuju terhadap penggunaan bahasa Aceh dengan
teman sesuku di lingkungan sekolah tidak terlalu signifikan, patut
pula diwaspadai bahwa ‘keengganan’ bertutur dengan menggunakan
214 Metode Penelitian
bahasa Aceh akan membuat eksistensi dan identitas bahasa daerah
termasuk bahasa Aceh akan semakin kabur.
Temuan dari hasil penelitian Taib dkk. (2004) tersebut merupakan
salah satu data awal atau kerangka dasar penelitian ini. Temuan
tersebut belum sepenuhnya menjangkau faktor yang lebih makro, yaitu
menyangkut faktor keluarga dalam hal pemilihan bahasa pertama bagi
anak karena hal tersebut sangat berpengaruh terhadap ‘rasa memiliki’
seorang anak terhadap bahasa. Di sisi lain, penelitian tersebut hanya
menjangkau sebagian kecil sikap masyarakat terhadap bahasa Aceh,
yaitu hanya dalam lingkup siswa SMU di Kota Banda Aceh. Padahal,
fenomena pemilihan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dalam
keluarga terdapat hampir di semua wilayah penutur bahasa Aceh.
4. Desain dan Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif. Penggunaan
rancangan atau pendekatan kualitatif dalam penelitian ini berkaitan
dengan jenis data, sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik
pengolahan data. Penelitian ini memiliki karakteristik sebagaimana
dikemukakan oleh Lincoln dan Guba (1985:39–43) mengenai
penelitian kualitatif, antara lain, sebagai berikut:
(1) Latar Alamiah (Natural Setting)
Latar penelitian ini bersifat alamiah, yaitu kelompok masyarakat
penutur bahasa Boang dan bahasa Pakpak. Data dikumpulkan secara
langsung dari lingkungan nyata dalam situasi sebagaimana adanya.
(2) Manusia sebagai Instrumen
Dalam penelitian kualitatif peneliti sendiri merupakan instrumen kunci,
baik dalam pengumpulan data maupun dalam pengolahan data;
(3) Bersifat Deskriptif
Penelitian kualitatif selalui bersifat deskriptif, artinya data yang
dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi fenomena,
Lampiran 215
bukan berupa angka-angka atau hubungan antarvariabel. Data
yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar. Tulisan hasil
penelitian berisi kutipan-kutipan dari kumpulan data untuk
memberikan ilustrasi dan mengisi materi laporan. Data dianalisis
dengan seluruh kekayaan informasi sebagaimana terekam pada
kumpualn data;
(4) Metode Kualitatif
Penelitian kualitatif memilih metode kualitatif karena metode-
metode inilah yang lebih mudah diadaptasikan dengan realitas
yang beragam dan saling berinteraksi;
(5) Lebih Memperhatikan Proses daripada Hasil
Dalam penelitian kualitatif, peneliti lebih menitikberatkan
perhatiannya kepada gejala proses daripada “ out comes” atau
“product” dari proses tersebut;
(6) Analisis Data secara Induktif
Dalam penelitian kualitatif, peneliti tidak mencari data untuk
memperkuat atau menolak hipotesis yang telah diajukan sebelum
memulai penelitian, tetapi untuk melakuakn abstraksi setelah
rekaman fenomena-fenomena khusus dikelompokkan menjadi
satu. Teori dikembangkan dengan cara ini muncul dari bawah,
berasal dari sejumlah besar satuan bukti yang terkumpul yang
saling berhubungan satu dengan lainnya;
(7) Desain Bersifat Sementara
Dalam penelitian kualitatif, desain penelitiannya bersifat
sementara, artinya, dapat berkembang terus selama pengumpulan
data di lapangan karena meaning yang menjadi esensi dari
penelitian tergantung dari konteks. Oleh karena itu, fokus
penelitian baru dapat ditetapkan setelah cukup lama bekerja di
lapangan. Tingkat kesementaraan desain penelitian ini berbeda
dari satu jenis dan jenis yang lain dalam penelitian kualitatif.
216 Metode Penelitian
4.1 Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah (1) masyarakat etnis Aceh penutur
bahasa Aceh yang memilih bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama
anak dalam keluarga, (2) masyarakat etnis Aceh yang memilih bahasa
Aceh sebagai bahasa pertama anak dalam keluarga, dan (3) generasi
muda etnis Aceh (umur 12-22 tahun) yang dibesarkan dengan
bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama dalam keluarga. Sumber
data penelitian ini tersebar pada wilayah (1) Kota Banda Aceh, (2)
Kabupaten Aceh Besar, (3) Kabupaten Aceh Jaya, (4) Kabupaten
Aceh Barat, dan (5) Kota Lhokseumawe.
4.2 Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data penelitian ini berupa pedoman atau
lembar pengamatan, pedoman wawancara, dan alat perekam elektronik
tape recorder. Teknik pengumpulan data mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut.
(1) mendata anggota masyarakat etnis Aceh di wilayah perkotaan
dan di wilayah pedesaan yang memilih bahasa Indonesia sebagai
bahasa pertama anak dalam keluarga;
(2) mendata anggota masyarakat etnis Aceh di wilayah perkotaan dan
di wilayah pedesaan yang memilih bahasa Aceh sebagai bahasa
pertama anak dalam keluarga;
(3) mengamati dan mendata penggunaan bahasa di kalangan generasi
muda etnis Aceh ketika bertutur dengan teman sesuku yang
berbahasa Aceh;
(4) melakukan wawancara dengan informan (a) yang memilih bahasa
Indonesia sebagai bahasa pertama anak dalam keluarga (b) yang
memilih bahasa Aceh sebagai bahasa pertama dalam keluarga,
dan (c) generasi muda etnis Aceh yang dibesarkan dengan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pertama dalam keluarga. Selain itu,
Lampiran 217
wawancara juga dilakukan dengan tokoh-tokoh masyarakat Aceh
khususnya masyarakat pemerhati kelestarian suatu budaya;
(5) konteks yang melatari setiap fenomena juga merupakan bagian
dari pengamatan. Untuk itu, setiap konteks yang melatari dibuat
catatan khusus sebagai bagian dari catatan lapangan.
4.3 Teknik Analisis Data
Analisis data penelitian ini mulai dilakukan pada saat pengumpulan
data sedang berlangsung.Artinya, data yang sudah terkumpul langsung
dianalisis. Cara ini ditempuh untuk menghindari penumpukan data.
Selain itu, dengan cara ini peneliti dapat dengan mudah melakukan
triangulasi data dengan sumber data. Langkah-langkah analisis data
adalah sebagai berikut:
(1) melakukan pengelompokan data berdasarkan rumusan masalah;
(2) membenahi catatan hasil pengamatan dan wawancara;
(3) mentranskripsikan data hasil rekaman dengan tape rcorder;
(4) melakukan pengecekan keabsahan data dengan nara sumber;
(5) membuat simpulan sementara;
(6) mendata semua data dan melakuakn analisis ulang;
(7) Membuat simpulan akhir dan rekomendasi hasil temuan.
5. Luaran Penelitian
Luaran penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) Publikasi temuan penelitian dalam jurnal ilmiah nasional
terakreditasi dan selanjutnya diupayakan dipubilkasikan dalam
jurnal ilmiah internasional.
(2) Dalam kajian sosiolinguistik selama ini berkembang pernyataan
bahwa kelompok masyarakat yang hidup di suatu daerah mengerti
dengan baik bahasa daerahnya dan mampu pula berkomunikasi
dengan baik dalam bahasa daerahnya tersebut. Sehubungan
218 Metode Penelitian
dengan temuan awal penelitian ini membuktikan bahwa bahasa
Aceh sebagai salah satu bahasa daerah di NAD tidak sepenuhnya
dikuasai oleh kelompok masyarakat setempat. Artinya, tidak
semua masyarakat Aceh mampu menggunakan bahasa Aceh
sebagai alat komunikasi. Dengan demikian, luaran penelitian ini
memunculkan sebuah hipotesis baru, yaitu tidak semua anggota
masyarakat dalam kelompok wilayah penutur suatu bahasa daerah
tertentu mampu memahami dan mampu berkomunikasi dalam
bahasa daerahnya.
(3) Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan baru terhadap bahan
ajar mata kuliah Sosiolinguistik pada Program Studi Pendidikan
Bahasa, baik Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia maupun
Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris.
(4) Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak
terkait di Provinsi NAD dalam upaya penyelenggaraan Kongres
Bahasa Aceh IV.
Lampiran 219
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, Teuku. 2007. “Fenomena Berbahasa Masyarakat Aceh
Pascakonflik Aceh” Makalah pada Pertemuan Semesteran
Mahasiswa PBSID FKIP Unsyiah di Darussalam, Banda Aceh.
Ali, Zaini dkk. 1983. Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Aceh.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Ali Zaini dkk. 1984. Sistem Perulangan Bahasa Aceh. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Asyik, Abdul Gani. 1987. Tata Bahasa Kontekstual Bahasa Aceh.
Disertasi the University of Michigan.
Bahry, Rajab. 2007. “Pemakaian Bahasa Aceh di NAD”. Dialog
Interaktif TV Aceh, 15 Januari 2007.
Chaer, Abdul dan Agustina, Leone. 2004. Sosioliguistik Perkenalan
Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Goglioli, Pier Paolo. 1973. Language and Social Contex. London:
Cox & Wynian Ltd.
Gere, Anne Ruggles. 1979. Attitudes Language and Change. Illionis:
NCTA
Hanafiah, Adnan dkk. 1984.Struktur Bahasa Aceh. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Hanoum, Syarifah dkk. 1982. Kata Tugas Bahasa Aceh. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Lincoln, I.S. & Guba, E.G. 1985. Naturalistic Inquiry. London: Sage
Publication.
220 Metode Penelitian
Sulaiman, Budiman. 1978. Tata Bahasa Aceh. Bireuen: Pustaka Esa.
Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik ke Arah Memahami Metode
Linguistik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Taib, Rostina dkk. 2004. “Sikap Siswa SMU Negeri Kota Banda
Aceh terhadap Bahasa Aceh.” Jurnal Mon Mata, Volume 6.
Lampiran 221
Contoh 7
Proposal Penelitian Sastra Murni 1
ANALISIS LATAR SOSIOKULTURAL
DALAM NOVEL PERCIKAN DARAH DI BUNGA
KARYA ARAFAT NUR
Proposal Skripsi
diajukan sebagai bahan seminar proposal
pada Prodi PBSI FKIP Unsyiah
oleh
Hendra Kasmi
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2010
222 Metode Penelitian
LEMBAR PENGESAHAN
Proposal Skripsi
ANALISIS LATAR SOSIOKULTURAL
DALAM NOVEL PERCIKAN DARAH DI BUNGA
KARYA ARAFAT NUR
Nama : Hendra Kasmi
NIM : 0606102010045
Program Studi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Mengetahui,
Ketua Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Dosen Wali,
Drs. Teuku Alamsyah, M.Pd. Azwardi, S.Pd., M.Hum.
NIP 196606061992031005 NIP 1973112019980201001
Lampiran 223
ANALISIS LATAR SOSIOKULTURAL
DALAM NOVEL PERCIKAN DARAH DI BUNGA
KARYA ARAFAT NUR
1. Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan karya manusia yang memuat pengalaman
hidup dengan berbagai problematika yang dihadapi dan dirasakan.
Karya sastra disampaikan dengan menggunakan bahasa, baik bahasa
lisan maupun bahasa tulis. Seperti yang dikemukakan oleh Danziger
dan Johnson (dalam Melani, 2006:7) bahwa sastra sebagai suatu
“seni bahasa”, yakni cabang seni yang menggunakan bahasa sebagai
mediumnya. Selanjutnya Fananie (2002:7) mengemukakan bahwa
sastra adalah karya fiksi yang merupakan hasil kreasi berdasarkan
luapan emosi yang spontan yang mampu mengungkapkan aspek
estetik baik yang didasarkan aspek kebahasaan maupun aspek makna.
Melalui karya sastra, penulis memberikan pengalaman,
pemahaman, dan wawasan kepada pembaca terhadap lingkungan
manusia dengan memenuhi kebutuhan estetis. Hal ini dikarenakan
dalam karya sastra terkandung nilai seni yang menyenangkan
untuk dinikmati. Nilai seni ini dimanfaatkan pengarang untuk dapat
memenuhi kebutuhan estetis pembaca melalui karya-karya sastranya,
baik dalam bentuk prosa maupun puisi.
Salah satu karya sastra berbentuk prosa adalah novel. Untuk
lebih jelas, berikut ini beberapa pendapat para pakar mengenai novel.
Sugihastuti (2002:43) menyatakan bahwa novel merupakan struktur
yang bermakna. Novel tidak merupakan serangkaian tulisan yang
menggairahkan ketika dibaca, tetapi merupakan sruktur pikiran yang
tersusun dari unsur-unsur yang padu. Trisman (2003:118) menyatakan
224 Metode Penelitian
bahwa novel dapat dianggap sebagai alat perekam kehidupan
masyarakat pada suatu waktu dan tempat tertentu. Nurgiantoro
(1998:13) mengemukakan bahwa novel dapat melukiskan suasana
tempat secara rinci sehingga dapat memberikan gambaran yang lebih
jelas, konkret, dan pasti. Sumardjo (2007:204) mengemukakan bahwa
novel merupakan cerita fiktif yang panjang. Bukan hanya panjang
dalam arti fisik, tetapi juga isinya. Selanjutnya Suwardi (2005:173)
mengemukakan bahwa novel adalah bentuk karya sastra yang seakan-
akan melukiskan peristiwa atau kisah sesungguhnya.
Walaupun novel merupakan karangan prosa yang panjang, tetap
saja kita boleh menganggap novel seutuhnya fiksi atau monopoli karya
sastra. Namun, novel merupakan rangkaian cerita kehidupan seseorang
yang dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Deretan peristiwa
dalam sebuah novel lahir dari keuletan pola pikir penulis yang mampu
memadukan nuansa fiksi dengan kelogisan pengalaman sekelilingnya.
Sama seperti karya sastra lainnya, novel juga dibangun oleh unsur-
unsur intrinsik dan ekstrinsik. Nurgiyantoro (1998:23) menyebutkan
bahwa unsur instrinsik adalah unsur yang membangun karya sastra itu
sendiri. Unsur instrinsik terdiri atas tema, tokoh/penokohan, latar, alur
dan amanat. Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar
karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi karya sastra.
Salah satu unsur pembangun dalam novel adalah unsur latar.
Latar adalah bagian dari struktur cerita yang disebut fakta cerita
(Herawati, 2006:41). Selanjutnya, Melani (2002:86) mengatakan
bahwa latar merupakan segala keterangan mengenai waktu, ruang,
dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Pendapat lain
menjelaskan bahwa dalam latar harus dapat ditemukan penjelasan
mengenai waktu, ruang, dan peristiwa (Sudjiman, 1990:48).
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu yang
berupa tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat
Lampiran 225
terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dengan menyuguhkan
nuansa realita. Latar dalam sebuah karya sastra dapat menjadi fakta
yang akan dihadapi atau diimajinasikan oleh pembaca secara faktual
ketika membaca cerita fiksi. Pengimajian tersebut dapat memberikan
kesan realita kepada pembaca sehingga pembaca dapat merasakan
langsung suasana tempat yang digambarkan dalam sebuah cerita.
Penggiringan latar bukan hanya tertuju pada tempat dan waktu
saja, melainkan juga pada lingkungan sosial budaya suatu tempat
yang melingkupi cerita itu. Imbas dari latar yang dipinjamkan penulis
untuk berimajinasi tersebut akan mampu mengangkat citra dan nilai-
nilai budaya yang dimiliki sekelompok masyarakat di suatu tempat.
Latar sosiokultural merupakan persoalan yang berhubungan
dengan perilaku masyarakat pada suatu tempat dalam sebuah cerita. Latar
sosiokultural mewakili karakter, tradisi, cara berpikir dan adat suatu
tempat. Oleh sebab itu, walaupun novel sarat dengan rekayasa cerita
tetapi penggambaran latar harus disesuaikan dengan kelogisan kondisi
suatu tempat. Hal ini penting karena novel selain berfungsi sebagai
bacaan yang menghibur juga sebagai sarana dalam membuka wawasan
pembaca tentang ragam perilaku masyarakat di berbagai tempat.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh beberapa ahli
sastra. Fananie (2002:98) mengatakan bahwa dalam hal tertentu
latar harus mampu membentuk tema dan plot tertentu yang dalam
dimensinya terkait dengan tempat, daerah, dan orang-orang tertentu.
Abrams (dalam Triyono, 1990:60) mengatakan bahwa latar adalah
suatu tempat yang menyeluruh, waktu historis, dan lingkungan sosial
yang di dalamnya terjadi tindakan. Esten (1993:47) menyatakan
bahwa dengan memahami cerita kita mendapatkan suatu gambaran
dari suatu proses (perubahan sosial dan tata nilai). Stanton (dalam
Herawati, 2006:41) yang mengatakan bahwa latar adalah lingkungan
peristiwa yang ada di dalam cerita, sebuah dunia di dalamnya terjadi
226 Metode Penelitian
peristiwa. Sehubungan dengan hal ini, Nurgiyantoro (1998:233)
menyatakan bahwa latar menyarankan pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat
mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang kompleks. Ia dapat
berupa kebiasaan hidup, cara berpikir, dan sikap yang tergolong latar
spiritual. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh
yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, dan atas.
Latar sosiokulutural dapat secara meyakinkan menggambakan
suasana daerah tertentu melalui kehidupan sosial masyarakat, adat
istiadat, dan kebiasaan masyarakat setempat. Di samping itu, latar
sosiokultural dapat diperkuat dengan penggunaan bahasa daerah dan
dialek-dialek tertentu.
Mengkaji unsur latar, terutama latar sosiokultural di dalam karya
sastra dapat juga merupakan proses penggalian nilai-nilai yang dianut
olehmasyarakattertentu.Latarsosiokulturalyangdigalidalamkehidupan
masyarakat dapat mereaktualisasikan nilai-nilai sosial kemasyarakatan
dan merupakan konstribusi nilai-nilai budaya bagi generasi muda.
Salah satu cara yang praktis dalam upaya mengontribusikan nilai sosial
budaya yang ada dalam novel adalah melalui peningkatan apresiasi
novel. Di samping itu, upaya apresiasi novel dapat juga dilakukan
melaui analisis pengkajian yang bersifat ilmiah yang nantinya dapat
dijadikan suatu tolak ukur terhadap perbedaan perilaku sosial dalam
kehidupan dari cerminan sebuah novel.
Novel yang akan penulis kaji berjudul Percikan Darah di Bunga.
Novel tersebut menarik untuk di analisis karena mengangkat sisi latar
kehidupan yang berbeda. Hal ini terlihat ketika masing-masing tokoh
dalam novel tidak bisa menerima perilaku lawannya karena mereka
sudah terlanjur dibesarkan dilingkungan yang tidak sama. Sehingga
terjadilah benturan sosial dan tradisi yang melahirkan konflik cerita.
Lampiran 227
Novel tersebut sangat menggugah penulis untuk mengkajinya
lebih dalam karena cerita di dalamnya mempunyai latar sosiokultural
yang kuat. Latar sosiokultural dalam cerita tersebut mampu mewarnai
setiap pola pikir dan tindakan seseorang untuk mendukung budaya
dan kehidupan sosialnya.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, rumusan masalah
penelitian ini adalah bagaimanakah gambaran latar sosiokultural
dalam novel Percikan Darah di Bunga karya Arafat Nur yang
meliputi unsur tatakrama, adat istiadat, dan pandangan hidup?
3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah
mendeskripsikan latar sosiokultural dalam novel Percikan Darah di
Bunga karya Arafat Nur yang meliputi unsur tatakrama, adat istiadat,
dan pandangan hidup.
4. Manfaat Penelitian
Manfaat praktis yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) Gagi siswa dan mahasiswa, penelitian ini bermanfaat untuk
meningkatkan apresiasi sastra.
(2) Gagi penulis, penelitian ini dapat menambah wawasan dan
pengetahuan tentang novel, khususnya unsur sosiokultural.
(3) Bagi masyarakat umum, penelitian ini dapat memberi pengetahuan
dan membuka cakrawala pemikiran bagi penikmat sastra
Di samping itu, manfaat teoretis yang diperoleh dari penelitian
ini adalah sebagai berikut:
(1) memberikan sumbangan untuk perkembangan teori-teori kesusastraan;
(2) membantu penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan
dengan bidang sastra, khususnya tentang latar.
228 Metode Penelitian
5. Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah novel Percikan Darah di Bunga
Karya Arafat Nur yang diterbitkan oleh Lini Zikrul Remaja tahun
2005. Novel ini tediri atas 13 bab dengan tebal buku 176 halaman.
6. Metode dan Teknik Penelitian
6.1 Metode Penelitian
Penelitian ini tergolong ke dalam jenis penelitian kualitatif. Untuk itu,
metode yang digunakan adalah metode deskriptif-kualitatif dengan
pendekatan struktural. Penggunaaan metode tersebut bertujuan
memberikan gambaran secara sitematis dan cermat tentang faktar-
fakta yang terdapat dalam teks novel yang dikaji (Zaidan, 2002:11).
6.2 Teknik Penelitian
6.2.1 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik telaah dokumen. Dokumennya adalah novel Percikan Darah
di Bunga yang diterbitkan oleh Lini Zikrul Remaja pada tahun 2005.
Penggunaan teknik ini dimaksudkan untuk mengetahui keadaan yang
sebenarnya terhadap sesuatu yang didokumentasikan (Nasution, 2003:4).
6.2.2 Teknik Penganalisisan Data
Sesuai dengan metode yang digunakan, penganalisisan atau
pengolahan data penelitian ini menggunakan teknik analisis
kualitiatif. Langkah-Langkah yang ditempuh dalam penganalisian
data penelitian ini adalah sebagai berikut:
(1) membaca keseluruhan isi novel Percikan Darah di Bunga. Hal
ini dilakukan agar peneliti dapat memahami novel tersebut secara
mendalam;
Lampiran 229
(2) mendeskripsikan data;
(3) menganalisis latar sosiokultural dalam novel Percikan Darah di
Bunga dengan menggunakan konsep teori yang telah ditentukan;
(4) menarik kesimpulan.
230 Metode Penelitian
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Tariqh. 2007. Seorang Sultan di Palermo. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta.
Alisyahbana, Sultan Takdir. 2002. Anak Perawan di Sarang
Penyamun. Jakarta: Dian Rakyat.
Amatullah, Afifah Afra. 2003. Peluru di Matamu. Solo: Era Adicitra
Intermedia. Buana Pustaka.
Budianta, Melani dkk. 2002. Membaca Sastra. Jakarta: Indonesia
Tera.
El Shirazy, Habiburrahman. 2005. Ayat-Ayat Cinta. Jakarta:
Republika.
El Shirazy, Habiburrahman. 2008. Ketika Cinta Bertasbih. Jakarta:
Republika.
Esten, Mursal. 1993. Kesusastraan Pengantar Teori dan Sejarah.
Bandung: Angkasa.
Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah
University Press.
Herawati, Yudianti. 2006. Novel Lonceng Kematian I: Kajian Struktural
dan Sosiologis. Samarinda: Pusat Bahasa Kalimantan Timur.
Hirata, Andrea. 2008a. Sang Pemimpi. Bentang Pustaka: Yogyakarta.
Hirata, Andrea. 2008b. Enderson. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Hirata, Andrea. 2007. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Mishima, Yukio. 2005. Nyanyian Laut. Yogyakarta: Matahari.
Murari, Timeri N. 2008. Taj. Bandung: Mizan Pustaka.
Nasution, S. 2003. Metode Research. Jakarta: Bumi Raksasa.
Nur,Arafat. 2005. Percikan Darah di Bunga. Jakarta: Lini Zikrul Remaja.
Lampiran 231
Nurgiantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Oh, Richard. 2004. Labirin Malam. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Rasuanto, Bur. 2001. Tuyet. Jakarta: Yayasan Indonesia.
Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian
Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Semi, Atar. 1993a. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Semi, Atar. 1993b. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa
Bandung.
Shakib, Shiba. 2005. Samira dan Samir. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Shors, John. 2008. Taj Mahal. Bandung: Mizan Pustaka.
Sudjiman, Panuti. 1998. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suharto, Sugihastuti. 2002. Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sumardjo, Jakob. 2007. Menulis Cerpen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumardjo, Yakob dan Saini KM. 1994. Apresiasi Kesusasteraan.
Jakarta: Gramedia.
Suroto. 1989. Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga.
Tripa, Sulaiman. 2005. Malam Memeluk Intan. Depok: Lingkar Pena
Kreativa.
Trisman, dkk. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam Sastra
Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Triyono, Adi. 1993. “Potret Kemiskinan di Perkotaan dalam Novel
Ibu Kita Raminten: Tinjauan Sosiologi Sastra”. Tesis Universitas
Gadjah Mada.
Zaidan, Abdul Rozak. 2002. Pedoman Penelitian Sastra Daerah.
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
232 Metode Penelitian
Contoh 8
Proposal Penelitian Sastra Murni 2
PEREMPUAN DALAM NASKAH DRAMA
TANAH PEREMPUAN KARYA HELVY TIANA ROSA
DAN LUKA POMA KARYA MASKIRBI
Proposal Tesis
diajukan sebagai bahan seminar proposal
pada Prodi MPBSI PPs Unsyiah
oleh
Herman
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2010
Lampiran 233
LEMBAR PENGESAHAN
PEREMPUAN DALAM NASKAH DRAMA
TANAH PEREMPUAN KARYA HELVY TIANA ROSA
DAN LUKA POMA KARYA MASKIRBI
Proposal Tesis
diajukan sebagai bahan seminar proposal
pada Prodi MPBSI PPs Unsyiah
oleh
Herman
disetujui oleh
Dosen Wali,
Prof. Dr. Azman Ismail, M.A.
NIP 195204141977121001
dikertahui oleh
Ketua Program Studi,
Dr. Mohd. Harun, M.Pd.
NIP 196603051993031003
234 Metode Penelitian
PEREMPUAN DALAM NASKAH DRAMA
TANAH PEREMPUAN KARYA HELVY TIANA ROSA
DAN LUKA POMA KARYA MASKIRBI
1. Latar Belakang Masalah
Gender merupakan suatu ideologi yang melekat erat pada masyarakat
kita apalagi dalam konteks emansipasi. Gender sering menjadi
pembicaraan hangat di sejumlah kalangan sejak beberapa dekade
terakhir. Pembicaraan tersebut menimbulkan perbedaan pandangan
terhadap kaum perempuan, baik dari segi fungsi, peran, meupun
tanggung jawab. Sayangnya, pemahaman gender selalu dititikberatkan
pada jenis kelamin perempuan seakan gender hanya milik perempuan
semata. Jika ditelaah secara saksama, sebenarnya gender adalah soal
perjuangan hak yang sama, yakni keseteraan hak perempuan dengan
lelaki. Soal kesetaraan inilah yang berlaku terus secara kontinyu
dan mulai melibatkan institusi sosial. Tak terkecuali dalam dunia
karya (teks), baik teks sastra maupun nonsastra, gender mulai jadi
pembicaraan hangat dan menarik.
Khusus dalam ranah sastra, kajian gender erat kaitannya dengan
kehadiran tokoh dan penokohan. Kajian ini kemudian menjadi
titik tolak terhadap karya sastra yang digolongkan ke dalam jenis
feminisme. Adapun teori feminisme mulanya muncul di dunia Barat
yang kemudian merambah ke wilayah lain, termasuk Nusantara
(Sikana, 2008:279). Dalam perkembangan kemudian, banyak ahli
sepakat bahwa pembicaraan feminisme berkaitan erat dengan tokoh
dan penokohan perempuan dalam karya sastra atau secara sederhana
dapat disebutkan sebagai citra perempuan yang tergambar melalui
karya sastra. Selain itu, telaah feminisme juga dapat ditinjau dari
pengarang perempuan yang membicarakan sekitar dunia perempuan
Lampiran 235
dalam karyanya. Teori ini menurut Sikana (2008:288) disebut dengan
ginokritik. Kemunculan teori ginokritik diawali dengan anggapan
bahwa kaum laki-laki kurang memahami hal sensitif kaum perempuan.
Akibatnya, dalam bertutur, kaum laki-laki cenderung tidak dapat
membatasi bahasanya ketika menyebutkan bagian-bagian sensitif
pada kaum perempuan dari sisi biologis. Selain itu, ada anggapan juga
bahwa bahasa kaum laki-laki cenderung tidak memposisikan kaum
perempuan secara baik dari sisi hak pendidikan maupun hak-hak
lainnya. Hal tersebut kemudian menimbulkan bias pembagian peran
antara laki-laki dan perempuan. Bahkan, dalam penelitian-penelitian
linguistik, terkadang perempuan tidak digunakan sebagai informan
karena alasan-alasan tertentu (Sumarsono dan Partana, 2002:98).
Kehadiran perempuan dalam karya sastra Indonesia sebenarnya
sudah ada sejak zaman penjajahan. Untuk sastra jenis novel, tokoh
utama perempuan mulai dikenal sejak tahun 1920, yakni melalui
tradisi penulisan novel pertama di Indonesia. Hal ini ditandai dengan
terbitnya roman Azab dan Sengsara (1920) karya Merari Siregar.
Tradisi ini kemudian disusul dengan dipublikasikannya novel kedua
di Indonesia dengan judul yang langsung diangkat dari nama tokoh
perempuannya, Sitti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli. Novel ini
dalam perkembangannya menjadi mitos perjuangan kaum perempuan
Indonesia. Demikian juga dengan novel-novel berikutnya seperti Salah
Asuhan (1928) dan Pertemuan Djodoh (1933) karya Abdul Muis, Salah
Pilih (1928) karya Nur Sutan Iskandar, Layar Terkembang (1936) karya
Sutan Takdir Alisyahbana, dan Belenggu (1940) karya Armijn Pane.
Sampai saat ini, penelitian tentang feminisme dalam karya sastra
Indonesia yang sudah pernah dilakukan di antaranya Citra Wanita
dalam Hikayat Panji Melayu (Mu’jizah, 2002), Ringkasan Peran dan
Perlakuan Tokoh Perempuan dalam Novel Tahun 2000-an (Santosa,
2004), Tokoh Wanita dalam Novel-novel Karya Titis Basino P.I.
236 Metode Penelitian
(Rieza Utami Meithawati, 2004), Citra Perempuan dalam Novel Atap:
Sebuah Analisis Kritik Sastra Feminisme (Syamsurizal, 2006), Peran
Karya Sastra dalam Memperkenalkan Wacana Gender pada Siswa di
Sekolah Dasar (Istimurti, 2008), Analisis Keberpihakan Pramoedya
terhadap Tokoh Perempuan dalam Tiga Karyanya: Suatu Pendekatan
Sosiologis (Shaidra, 2008).
Sejauh ini belum ditemukan penelitian mendalam tentang
feminisme pada naskah drama, baik yang ditulis oleh lelaki maupun
perempuan. Oleh karena itu, kajian tentang perempuan dalam
naskah drama penting dilakukan. Hal ini nantinya akan memberikan
pemahaman terhadap gender responsif sebagai bagian dari pendidikan
berelasi gender, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Selain itu,
penelitian yang menganalisis peran dan citra perempuan dalam teks
sastra dapat dijadikan sebagai bagian dari apresiasi terhadap sebuah
karya, penulis, dan kaum perempuan.
Sebelumnya, penelitian sastra feminis lebih ditekankan pada
“kelamin tunggal” yaitu perempuan di mata pengarang lelaki. Jarang
ada peneliti gender yang mencoba mewacanakan pemikiran pengarang
perempuan yang melihat kaumnya sendiri (Endraswara, 2008:145).
Penelitian ini berusaha mengkaji hal tersebut, di samping juga melihat
perempuan di mata pengarang laki-laki. Oleh karena itu, diambil dua
naskah drama yang jadi sampel penelitian, masing-masing ditulis oleh
pengarang perempuan dan pengarang lelaki. Naskah drama yang diteliti
adalah karya Maskirbi dengan judul Luka Poma dan karya Helvy
Tiana Rosa dengan judul Tanah Perempuan. Diambil dua naskah ini
dengan asumsi dapat terlihat perempuan dalam naskah drama dari mata
pengarang laki-laki dan mata pengarang perempuan. Peneliti melihat
kedua naskah ini secara deskriptif, terutama tokoh dan penokohan
perempuan sehingga didapati konsep perempuan dalam kaca mata
pengarang lelaki (Maskirbi) dan konsep perempuan dalam padangan
Lampiran 237
pengarang perempuan (Helvy Tiana Rosa). Namun demikian, tentu saja
hal ini tidak bermaksud menggeneralisasikan perempuan dalam karya
sastra yang ditulis oleh pengarang-pengarang lainnya.
Penelitian ini semakin menarik karena sejauh ini belum ditemukan
penelitian tentang feminisme dalam karya sastra yang terbit di Aceh
apalagi untuk naskah drama. Dengan demikian, penelitian ini dapat
disebut sebagai penelitian eksploratif yang bersifat kritis-interpretatif
(Harun, 2006:18). Kajiannya menggunakan telaah semistruktural
dengan pendekatan sosiologi sastra, yakni telaah penokohan perempuan
yang disesuaikan dengan dunia perempuan yang sesungguhnya,
yang berlaku dalam masyarakat (Damono, 1979:1). Kajian ini
berperspektif historis pula dengan melihat awal mula kebangkitan
perempuan di Aceh sehingga pergerakan feminisme di tanah Serambi
Mekkah semakin nyata terlihat nantinya. Dalam menganalisis secara
deskriptif, digunakan pendekatan semiotika teater dan hermeneutik
sastra agar ditemukan penafsiran dalam tiap dialog dan adegan pada
naskah tersebut. Untuk memperoleh hasil interpretasi terhadap peran
perempuan dalam kedua naskah tersebut, diangkat topik Perempuan
dalam Naskah Drama “Luka Poma” Karya Maskirbi dan Naskah
“Tanah Perempuan” Karya Helvy Tiana Rosa.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
(1) Bagaimanakah peran perempuan dalam naskah Luka Poma karya
Maskirbi dan naskah Tanah Perempuan karya Helvy Tiana Rosa?
(2) Bagaimanakah citra perempuan dalam pandangan pengarang
naskah Luka Poma dan pengarang naskah Tanah Perempuan?
(3) Bagaimana gender mainstreaming dalam naskah Luka Poma dan
dalam naskah Tanah Perempuan?
238 Metode Penelitian