The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by SMP Negeri 3 Pangandaran e-Katalog, 2023-11-22 03:47:43

Kronik Betawi

Kronik Betawi

Keywords: Bacaan,Novel

http://facebook.com/indonesiapustaka


http://facebook.com/indonesiapustaka


Kronik Betawi http://facebook.com/indonesiapustaka


Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagai dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). http://facebook.com/indonesiapustaka


Kronik Betawi sebuah novel Ratih Kumala ide cerita Nugroho Suksmanto Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta http://facebook.com/indonesiapustaka


Kronik Betawi novel Ratih Kumala ide cerita Nugroho Suksmanto pernah dimuat di harian Republika sebagai cerita bersambung Agustus–Desember 2008 GM 201 01 09 0011 © Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Kompas Gramedia Building, Blok I Lantai 4-5 Jl. Palmerah Barat No 29-37 Jakarta 10270 Anggota IKAPI Desain sampul oleh M Roniyadi Setting oleh Sukoco Cetakan pertama: Juni 2009 Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit ISBN: 978-979-22-4678-0 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan http://facebook.com/indonesiapustaka


Untuk almarhum papahku, Haris Fadillah, dan Jakarta, kota kelahiranku. Dua nama yang sudah membesarkanku. http://facebook.com/indonesiapustaka


vi sampai saat tanah moyangku tersentuh sebuah rencana dari serakahnya kota terlihat murung wajah pribumi terdengar langkah hewan bernyanyi —Ujung Aspal Pondok Gede, Iwan Fals http://facebook.com/indonesiapustaka


1 1 B anjir itu datang tiba-tiba. Ibarat kentut. Tak bisa ditahan, tapi perginya lama. Meninggalkan jejak. Kalau kentut meninggalkan jejak bau tak sedap, maka banjir meninggalkan jejak air yang makan waktu berhari-hari untuk surut. Tetapi ada beda banjir dengan kentut; kentut—sebau apa pun—berefek baik untuk tubuh. Orang kentut tanda sehat, lihat saja orang yang baru selesai dioperasi. Dokter umumnya akan menyuruh pasien pasca operasi untuk menunggu kentut terlebih dahulu untuk memulai makan dan minum. Sedang banjir sebaliknya, membawa wabah semacam sakit kulit dan muntaber pada warga yang terkena banjir. Ketika Haji Jaelani bangun pagi itu untuk salat subuh, hujan masih menyisakan rintiknya setelah semalaman mengguyur deras kota. Ada alarm di dalam diri Haji Jaelani yang bergetar di waktu-waktu tertentu, mengingatkannya untuk salat tujuh kali sehari. Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, Isya, dan tengah malam untuk salat Tahajud dua rakaat dan witir satu rakaat. Dua salat yang terakhir ini kadang dilakukannya kadang tidak dan lebih memilih melanjutkan tidur. Tak peduli azan subuh memanggil atau tidak, setiap jam 4:10 pagi ia pasti sudah terbangun. Malam sebelum alarm di tubuh Haji Jaelani menyala pukul 4:10, http://facebook.com/indonesiapustaka


2 sebetulnya alarm pukul 2:30 juga menyala, tetapi Haji Jaelani menolak beranjak dari tempat tidurnya sebab guyur hujan, kelebat kilat dan gelegar guntur memaksanya untuk menarik selimutnya hingga ke leher. Memanjakan tubuhnya dengan hangat selimut. 4:10. Alarm itu menyala. Tak berbunyi di telinga, tetapi bergetar di tubuh Haji Jaelani. Pagi buta itu, seperti pagi-pagi di bulan-bulan tertentu dalam satu tahun, entah untuk ke sekian kalinya ia tak menemukan sandal jepitnya. Sandal yang sudah reyot itu mengapung entah ke sudut rumah sebelah mana. Sementara air sudah meninggi hingga kaki-kaki meja terendam. Banjir datang saat semua terlelap. Padahal seharusnya Haji Jaelani sudah bisa mengira bahwa banjir pasti datang apalagi dengan hujan selebat semalam. Tetapi toh ia sebelumnya tak mengantisipasi apa-apa. Semua barang; sofa, kaki-kaki meja, lemari, kaki-kaki kasur terendam setinggi betis. Mata ngantuk Haji Jaelani langsung terbuka akibat dingin yang menjalar di kakinya dan usahanya mencari sadal jepit mengapung belum berhasil. ”Banjir! Salomah… Noh… Enoh… banjir! Jan…, bangun! Banjir!” teriaknya tidak dengan suara tidak panik membangunkan istri dan anaknya, Enoh dan Fauzan. Teriakan yang agak beda dari biasanya, yang selalu membangunkan dengan mengingatkan agar salat subuh segera didirikan sebelum matahari muncul di Timur. Sudah terlalu sering banjir menyapa rumahnya, ia tak lagi kaget. Ia hanya menyesali kenapa tidak segera mengganti sofanya dengan kursi berkaki kayu biasa, sebab sofa itu pasti akan basah berhari-hari dan sulit kering walau air sudah surut. Belum lagi baunya yang tidak sedap akan keluar dari bagian bawah sofa yang terendam air. http://facebook.com/indonesiapustaka


3 Sofa yang terendam itu sebetulnya pemberian Salempang beberapa bulan yang lalu, jauh sebelum Salempang tahu bahwa kawasan yang dihuni kekasihnya langganan disambani banjir. Haji Jaelani yang dihadiahi sofa waktu itu senang-senang saja, toh dia sebetulnya juga ingin tidur-tiduran di kursi empuk itu. Lagipula kursi tamunya yang terbuat dari anyaman bambu memang jauh lebih keras dan tak nyaman diduduki. Nilai plus pun langsung diberikan untuk Salempang yang terang-terangan menunjukkan keseriusan hubungannya dengan anaknya. Tapi diam-diam Haji Jaelani sebetulnya agak ragu menerima seperangkat sofa itu. Bukan karena meragukan Salempang, tetapi karena alam yang tidak mengijinkan. Haji Jaelani berencana untuk berbicara pada Salempang, apakah boleh ia mengganti perangkat sofa itu dengan perangkat kursi tamu biasa, agar jika banjir datang sofa yang tak memiliki kaki jenjang itu tak jadi korban. Tetapi karena takut menyinggung perasaan Salempang, dan terutama, perasaan Enoh putri kesayangannya, ia membiarkan sofa itu berada di tempatnya selama beberapa bulan sambil jika siang datang Haji Jaelani merebahkan tubuhnya di situ. Menikmati empuk sofa yang jauh lebih membal dari pada kasur kapuknya sendiri yang sudah menjadi terlalu padat untuk dibilang nyaman. Belum kesampaian niat Haji Jaelani, banjir sudah terlebih dulu datang tanpa permisi. Salempang yang melihat sofa pemberiannya basah separuh, ikut gotong royong menjemur sofa tersebut ke luar rumah bersama dengan Fauzan yang hari itu, tentu saja, harus absen sekolah akibat banjir. Dijejerkan bersama sofa-sofa dan kasur-kasur milik para tetangga yang juga terendam. ”Pang, maap ye…, Babeh kagak bisa nyelametin sofa lu. http://facebook.com/indonesiapustaka


4 Kerendem tuh,” ujar Haji Jaelani sambil miris melihat sofanya yang sedang dijemur. ”Ah, enggak apa-apa Beh, entar Lempang cariin kursi tamu biasa aja ya Beh.” Haji Jaelani senyam-senyum mendengar jawaban Salempang. Padahal tadinya ia berniat membeli seperangkat kursi tamu biasa sebagai pengganti sofa yang rencananya akan ditukar tambah. Tetapi karena Salempang sudah bilang begitu, Haji Jaelani senang-senang saja. Dalam hati ia girang dan semakin mantap dengan pilihan Enoh, putrinya. Sambil bertanya-tanya kirakira kapan akan ada roti buaya tersedia di rumahnya, pertanda Salempang resmi meminang Enoh. Banjir kali itu masih untung, sebab pada hari ketiga sudah surut. Enoh yang geli melihat cacing, kerap kali berteriak melengking sambil tiba-tiba loncat ke sofa atau meja ketika mendapati cacing-cacing kecil menggeliat-geliat di lantai yang banjirnya mulai surut. Enoh histeris memanggil-manggil Haji Jaelani atau Fauzan untuk menyingkirkan cacing-cacing itu. Fauzan biasanya hanya nyengir melihat mpoknya takut cacing. Anak itu menganggap ketakutan Enoh sebagai hiburan ketimbang terror. Sementara jika Salempang, calon menantu kesayangan Haji Jaelani sekaligus calon suami Enoh, datang untuk membawa ransum makanan instan dan ikut menyelamatkan barang-barang lain yang terendam. Maka dengan sikap heroik ia akan memungut makhluk kecil bertubuh licin itu dan segera membuangnya jauhjauh. Lalu membantu Enoh turun dari kursi atau meja yang tak seberapa tingginya layaknya pria sejati. Membuat gadis itu berwajah merah semu. http://facebook.com/indonesiapustaka


5 ”Beh… Lempang minta ijin bawa Enoh cari makan di luar ya. Babeh mau makan apa? Entar Lempang bawain,” kata Salempang sedikit merayu Haji Jaelani. ”Udah, kasi aja!” bisik Salomah, istrinya. Sebetulnya Haji Jaelani sedang tidak ingin ditinggal pergi, tapi memang banjir bikin susah semua orang. Mati lampu entah untuk berapa lama, selain itu gas di rumah sudah habis, jadi Enoh tidak bisa memasak. Lagipula bumbu-bumbu di dapur semua terendam air, kulkas juga mati sehingga yang disimpan di dalamnya jadi busuk. Enoh yang dimintakan ijin untuk keluar diam saja di samping Salempang sambil menunduk dan sesekali matanya melirik bergantian antara ayahnya dan kekasihnya. ”Ya udah sana. Beliin gue martabak ya!” Senyum Salempang langsung melebar, dan dengan cepat mengiyakan. Enoh langsung menuju kamarnya, ganti baju dan sedikit bersolek agar terlihat lebih cantik. Ketika Enoh dan Salempang mencium punggung tangan Haji Jaelani, lelaki yang tak bisa dibilang muda itu berkata tegas, ”anak gue pulang utuh, ye!” ”Siap, Beh!” ”Jangan malem-malem! Listrik mati,” tambahnya galak. ”Iya, Beh.” ”Ati-ati di jalan, ye!” tambah Salomah. Keduanya bergegas pergi, mumpung Haji Jaelani belum berubah pikiran. Salempang tentu saja girang bisa mengajak Enoh keluar, ayah gadis itu adalah lelaki yang susah dimintai ijin untuk membawa anak gadisnya keluar. Awalnya, mereka pacaran hanya malam minggu di depan rumah sambil duduk-duduk di teras, itu pun dibatasi. Biasanya http://facebook.com/indonesiapustaka


6 Haji Jaelani sengaja menonton televisi di ruang tengah, mengecilkan volumenya sambil membuka lebar-lebar telinganya. Mencoba menangkap apa yang Enoh dan Salempang bicarakan. Begitu jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Haji Jaelani dengan suara sengaja dikeraskan berkata, ”Noh… udah jam sembilan, lu udah sembayang isya belom?” Ini semacam kode bahwa waktu pacaran usai. Salempang pun harus tahu diri, dan harus memiliki kemampuan membaca kode-kode semacam ini. Awalnya, ia segera meminta diri untuk beranjak pulang. Tetapi pada malam minggu keempat, Salempang malah memanfaatkan kode ini. Ujarnya, ”Beh… maaf, apa saya bisa numpang salat Isya di sini? Saya juga belum salat, biar nanti di jalan pulang tenang Beh…,” tentu saja Haji Jaelani tak bisa menolak ditumpangi salat, secara dia orang taat beragama. Dengan ragu ia memperbolehkan Salempang, bahkan dengan sengaja menyuruhnya mengimami ritual itu. Dalam hati, Haji Jaelani menantang Salempang, ingin menjajal kemampuan beragamnya. Dalam hati, Salempang menerima tantangan Haji Jaelani, ia ingin unjuk gigi demi mengambil hati calon mertuanya. Ente jual, aye beli! Ia sadar betul Haji Jaelani tak mungkin mau menerimanya apabila ia tak beragama baik. Dalam hati, Enoh deg-degan, berdoa berulang-ulang semoga Salempang fasih baca Al-Fatihah dan tidak terpeleset lidahnya di tengah salat, agar babehnya merasa mantap dengan lelaki pilihannya. Sedikit demi sedikit, semenjak Salempang lulus uji jadi imam salat Isya, status Salempang naik. Hal ini bisa dilihat dari penyebutan kata ganti yang merujuk pada Salempang ketika Haji Jaelani berbicara kepada anak perempuannya. Awalnya, Haji Jaelani menyebut Salempang dengan tuh anak, walaupun sudah beberapa malam Minggu pemuda itu jelas-jelas datang untuk http://facebook.com/indonesiapustaka


7 wakuncar; waktu kunjung pacar. Selanjutnya naik menjadi temen lu, lalu meningkat lagi menjadi demenan lu. Sekarang, Salempang sudah seperti anak Haji Jaelani sendiri. Apalagi sejak seperangkat sofa dihadiahkan untuk calon mertuanya itu. Tak mungkin Haji Jaelani menyuruh Salempang duduk di teras lagi ketika wakuncar (waktu kunjung pacar). Masakah orang yang membelikan sofa disuruh duduk di kursi keras di teras? Haji Jaelani cukup tahu diri dengan mempersilakan pemuda itu duduk di sofa pembeliannya sendiri. Dua lelaki beda usia itu pun semakin banyak terlibat pembicaraan yang kira-kira penting, yang ramai diberitakan di televisi sambil menikmati martabak yang dibawa Salempang untuk oleh-oleh dan dua gelas kopi buatan Enoh. Martabak itu sekarang termasuk dalam sesaji wajib ritual wakuncar Salempang. Pembicaraan penting macam sosial, politik dan ekonomi tak mungkin bisa dilakukan dengan Juned atau Japri, dua anak laki-laki kakak Enoh, mengingat mereka tak bersekolah setinggi Salempang dan tak suka baca koran atau nonton acara berita. Pernah juga, Salempang ditantang main catur oleh Haji Jaelani. Jadilah itu sebagai pembuka jalan untuknya datang ke rumah Enoh selain malam Minggu, dan sejak itu sebutan untuk Salempang naik menjadi calon mantu gue yang tak lagi merujuk kepada Enoh melainkan kepada dirinya sendiri. Enoh yang melihat ayah dan pacarnya tiba-tiba jadi akrab diam-diam senang bukan kepalang. Siang itu seisi kampung masih lemas akibat direpotkan banjir. Haji Jaelani yang selama beberapa bulan terakhir sudah terbiasa merebahkan tubuhnya di sofa, kali itu kembali merebahkan tubuhnya di kasur kapuknya yang padat. Istrinya sudah terlebih dahulu rebahan di kasur kapuk, kecapekan akibat angka- http://facebook.com/indonesiapustaka


8 angkat. Lelaki itu melepas peci dan mengibas-ngibaskannya ke tubuhnya. Ia menghela napas panjang, untuk kesekian kalinya meratapi nasib. Haji Jaelani mencoba mengingat-ingat, kirakira kapan wilayah Karet mulai banjir? Sejak menikah dengan Rimah, istrinya yang pertama, ia menempati rumah itu, awalnya semua baik-baik saja. Tak ada banjir yang menyambangi rumah mereka, tiba-tiba sekarang wilayah itu jadi langganan banjir. Ia miris melihat tembok rumahnya yang berbercak tanah dan air kotor, batas banjir menggenangi walaupun kini sudah surut. Empat anak sudah dibesarkan di rumah itu dengan keringatnya. Setelah istri pertamanya meninggal, Jaelani muda sebetulnya tak berniat kawin lagi. Ia mencintai perempuan itu sepenuh hati, sulit baginya untuk menggantikan Rimah. Rimah sudah memberinya tiga anak yang lucu-lucu; Juned, Japri dan Enoh. Tapi kerabat dan sahabat lalu berdatangan, membawa foto perempuan. Ada yang masih gadis, ada pula yang sudah janda. Ada janda kembang, ada pula janda beranak satu atau dua yang memang membutuhkan suami baru untuk membantunya menyokong kebutuhan keluarganya, oleh sebab itu bersedia dijodohi. Berkali-kali Jaelani menolak. Berkali-kali pula kerabat dan sahabat datang menawarkan perempuan lain untuk dinikahi. ”Selera elu gimana sih, Bang? Bilang, entar gue cariin,” tanya Jarkasi, adik Jaelani ketika ia datang membawa foto perempuan yang keempat untuk ditawarkan kepada kakaknya untuk dinikahi. ”Selera… selera… emang milih duren?!” Jaelani berkata ketus sambil mengisap kreteknya. Kali itu perempuan yang ditawarkan memiliki tahi lalat di bawah bibir. Jaelani mengamati foto itu dengan lekat. Bu- http://facebook.com/indonesiapustaka


9 kan karena merasa perempuan di foto itu manis, tetapi ia mencoba mengamat-amati apakah benar titik hitam di bawah bibir perempuan itu adalah tahi lalat atau malah kutil. Atau malah, kebetulan foto itu kejatuhan tahi cicak yang kemudian mengeras, jadi sebetulnya tak ada tahi lalat atau kutil sekali pun di wajah perempuan itu. ”Cakep ye? Tuh cewek ada tahi lalat di dagunya,” ujar Jarkasi melihat kakaknya mengamati wajah di foto. ”Oh, tahi lalat. Kirain kutil,” sahut Jaelani kalem. ”Ngaco lu!” Lama mereka berdiam di ruang tamu yang kursinya dari bambu. Jarkasi menyeruput kopi bikinan Jaelani yang rasanya mirip kencing kuda. Maklum, tak ada istri tak ada yang bisa membuat kopi. ”Ketemuan dulu, mau?” Jarkasi menawarkan. ”Kagak, ah! Kenal aja enggak, mau ketemu.” ”Ya, mangkanya ketemuan dulu. Kenalan. Siapa tahu lu demen. Ye?” Jaelani menghela napas panjang, ia teringat omongan orangorang yang berusaha menjodohkannya selalu bilang; tak baik lama-lama menduda, bisa-bisa bikin zinah. Lalu katanya, ”terserah elu deh.” ”Nah, gitu dong! Besok gue ke sini lagi.” Jarkasi dengan semangat meminta diri, sudah bisa dipastikan ia sehabis itu menuju ke rumah perempuan bertahi lalat di bawah bibir yang notabene adalah tetangganya, mengabarkan berita bahagia itu. Itu adalah kali pertama Jaelani bersedia bertemu perempuan yang ditawarkan kerabat sahabatnya. Esoknya, perempuan bertahi lalat di bawah bibir itu datang http://facebook.com/indonesiapustaka


10 dengan Jarkasi sebagai pengantarnya. Ia mengenakan blouse warna biru dan rok kembang-kembang. Selembar kerudung putih tersampir di kepalanya. Rambutnya sepanjang pantat dan lebat, dikepang. Mirip ekor kuda jika dilihat dari belakang. Tapi jika dilepas, dan malam-malam ia jalan sendirian, ia pasti disangka Si Manis Jembatan Ancol, demikian pikir Jaelani muda. Perempuan itu bernama Bati’ah. Perawan berusia 28, yang pada masa itu usia tersebut sudah dianggap terlalu banyak untuk perempuan yang belum menikah. Tidak dengan malu-malu, Bati’ah menawarkan diri untuk membuatkan kopi untuk Jaelani dan Jarkasi. Jaelani dengan jengah akhirnya menunjukkan dapurnya yang berantakan, terasa sekali telah lama tak ada tangan perempuan yang menyentuhnya. Di dekat pompa air setumpuk piring dan gelas kotor teronggok tak tersentuh. Berhari-hari peralatan makan itu tak dicuci, dan entah sampai kapan dan siapa yang akan mencucinya. Hanya ada tiga laki-laki dan seorang perempuan kecil di rumah itu yang jelas-jelas tak fasih menyentuh pekerjaan rumah. ”Nah, bener kan pilihan gue,” bisik Jarkasi sambil mengacungkan jempol ke arah kakaknya. Kedua lelaki itu mengamati Bati’ah yang berjalan megol-megol dengan kepangnya bergerak kanan-kiri ke balik dinding menuju dapur. Jaelani memang menyukai perempuan berambut panjang, tetapi tidak sepanjang itu. Jaelani hanya menghela napas, sejujurnya ia tak merasakan apa pun kepada perempuan yang dibawa adiknya itu. Tak ada ketertarikan secuil pun. Tak lama Bati’ah keluar dengan membawa dua gelas kopi di atas nampan lengkap dengan piring kecil sebagai tatakan dan tutupan gelas di atas keduanya. Ia beringsut, meletakkan kedua gelas itu di meja dengan pelan. Kepangnya menyapu lantai. http://facebook.com/indonesiapustaka


11 Jaelani dan Jarkasi terdiam sambil serius mengamati Bati’ah yang dengan sopan mempersilakan keduanya untuk minum. Gadis itu terlihat sangat fasih dengan pekerjaan-pekerjaan perempuan. ”Diminum, Bang.” Ia berkata sambil melihat ke arah Jaelani, bukan ke arah Jarkasi yang telah susah-susah mengantarnya. Terlihat jelas ia mengulum senyum sambil cepat-cepat menunduk sebab Jaelani serius mengamati wajah perempuan itu. Bati’ah duduk di salah satu kursi. Jaelani dan Jarkasi menyeruput kopi buatan Bati’ah yang sebenarnya menurut Jaelani terlalu manis dan kepanasan. Sementara Jarkasi menyeruput berkali-kali, ”enak kupi bikinan lu,” katanya. Bati’ah yang dipuji senyum dikulum sambil membetulkan letak kerudungnya yang telah jatuh ke pundaknya tanpa berkata apa-apa. Jaelani kembali mengamati wajah Bati’ah. Sementara Jarkasi dengan gaya hampir mirip tukang obat menjelaskan panjang lebar daftar riwayat hidup Bati’ah yang sebetulnya tidak benarbenar didengarkan Jaelani. Jaelani kembali sibuk mengamati wajah Bati’ah, atau lebih tepatnya lagi mengamati tahi lalat Bati’ah. Dia menemukan tiga lembar rambut tumbuh di tahi lalat itu. Ia pernah melihat tahi lalat di pipi Haji Mughni, guru agama yang mengajar anak-anaknya mengaji di langgar dekat rumah. Lelaki itu memiliki tahi lalat yang besarnya nyaris sama dengan tahi lalat Bati’ah, ada pula beberapa lembar rambut yang tumbuh di atasnya. Bedanya, tahi lalat Bati’ah memiliki rambut berwarna hitam sedang rambut yang tumbuh di tahi lalat Haji Mughni ada yang sudah memutih. Tiba-tiba Jaelani tersadar; ini gawat! pikirnya, kenapa setiap melihat tahi lalat Bati’ah ia selalu terbayang wajah Haji Mughni?! ”…eh, Ni! Jaelani! Lu ngelamun ya?” tangan Jarkasi ber- http://facebook.com/indonesiapustaka


12 tepuk-tepuk di depan wajah Jaelani, membuatnya tersadar dari lamunan. ”Lu dengerin yang gue ngomong kagak?” ”Eh…,” Jaelani tergagap, tak satu pun yang diomongkan adiknya masuk kuping, ”iya denger, denger!” ujarnya berbohong. Bati’ah tetap merunduk malu-malu sambil menyembunyikan senyumnya. Gadis itu merasa dirinya dilihat terus oleh Jaelani dengan tatapan melekat. Tak berapa lama Jarkasi pulang, mengantarkan Bati’ah setelah kira-kira satu jam pertemuan yang tak banyak percakapan itu, kecuali Jarkasi yang dengan semangat empat-lima mempromosikan Bati’ah kepada kakaknya. Hari itu juga setelah mengantarkan Bati’ah dengan utuh ke orang tuanya, Jarkasi kembali ke rumah kakaknya. Memastikan tanggapannya mengenai perempuan pilihannya. ”Kagak!” dengan tegas Jaelani menolak. ”Yah…, pegimana sih elu? Gue pikir lu demen, elu melototin dia mulu.” ”Gue kagak melototin dia, gue melototin tahi lalatnya. Kagak!” Jaelani kembali menolak dengan tegas. Dia mengangkat dua gelas yang tadinya berisi kopi ke dapur, menumpuknya bersama peralatan makan lainnya yang bertumpuk kotor di dekat pompa air. Jarkasi membuntutinya dari belakang. Jaelani yang mulai risih melihat tumpukan piring kotor, lalu mulai memompa air di dalam ember untuk mencuci piring. Tak ada yang bisa mengerjakan ini semua kecuali dirinya sendiri, tiga anaknya yang masih kecil-kecil jelas tak bisa diandalkan untuk mengerjakan pekerjaan macam ini. ”Bang… lu ngomong dong, pengennya perempuan yang pegimane? Entar gue cariin. Kan kalo ada bini, elu gak perlu nyuci piring, ada yang bikinin kopi, ada yang nemenin tidur, ada yang nyuciin baju.” http://facebook.com/indonesiapustaka


13 ”Gue gak pengen punya bini lagi!” Jaelani makin semangat memompa air. ”Lu jangan ngomong gitu, Bang! Gak baek duda lama-lama. Entar bisa-bisa lu zinah…. Dosa, tauk!” Lagi-lagi nasehat yang sama; zinah. ”Iya, gue tauk!” Air di ember membludak, Jaelani berhenti memompa sementara sisa air dari pompa cap Dragon itu masih tersisa keluar. Sambil mendengarkan adiknya nyerocos Jaelani lalu duduk di kursi kecil dan mulai mencolek sabun dengan sabut kelapa untuk mencuci tumpukan piring kotor. ”Bang, aye cuman pengen bantu biar Abang bahagia. Coba lihat anak-anak Abang masih kecil-kecil, apa nggak kasihan lihat mereka? Lihat tuh si Enoh, sekarang dia kan lagi butuhbutuhnya ibu. Dia ama bini aye udah deket, udah aye anggap anak sendiri, Bang. Tapi dia kan tetep butuh ibu. Aye tau tuh anak suka iri kalo lihat Edah dimanjain ama emaknya. Walaupun dia dekat tapi kan gak bisa sedekat kalo ama ibunya sendiri.” Panjang lebar Jarkasi menasehati kakaknya. Ia tahu kelemahan Jaelani, jika sudah menyangkut anak mau tak mau dia peduli. Jaelani menghela napas, menghentikan mencuci piring. Tangannya penuh busa sabun. ”Ya udah, entar gue pikir lagi,” katanya singkat. Jarkasi minta diri, pulang sambil berharap kakaknya betulbetul mempertimbangkan menikah lagi. Rimah, istri pertama Jaelani yang sudah almarhumah, adalah seorang penari Topeng Betawi yang pada masanya adalah seorang primadona. Semasa muda, Jaelani kerap berkunjung ke Kampung Dukuh di bilangan Kramat Djati, waktu itu Jakarta belum padat. Perkenalannya dengan penari yang kemudian http://facebook.com/indonesiapustaka


14 menjadi istrinya itu, dimulai dari kesukaannya bersepeda di kala muda. Waktu itu Jaelani dapat beli sepeda bekas merek Raleight. Betapa ia bangga bisa beli sepeda itu. Ia dan Jarkasi kerap bersepeda hingga sudut-sudut Jakarta. Suatu hari tanggal 17 Agustus, setelah pagi harinya mereka sengaja menggoes pedal sepedanya ke Istana Merdeka; berjubel, berpanas-panas dan berdesak-desakkan dengan orang-orang melihat upacara bendera sekaligus melihat Bung Karno pidato. Mereka melaju sepedanya ke Lapangan Banteng. Di tempat itu sekerumunan orang berdesak-desakkan memperhatikan keriuhan. Segala macam tukang jajanan ada, dari kacang rebus, somay, mi ayam, asongan, hingga tukang cendol yang dikerumuni orang-orang yang kepanasan karena cuaca siang itu. ”Ayo! Terus! Terus!” ”Jangan mau kalah! Maju!” Sorak-sorai menyemangati terdengar lamat-lamat dari kejauhan. Jaelani dan Jarkasi memutuskan untuk mendekat. Sekelompok anak-anak sedang balapan dengan karung. Mereka melompat-lompat persis pocong, seru sekali. Adu cepat menuju garis inish, ada yang terjatuh, dan banyak yang kepayahan harus melompat di dalam karung goni. Sekelompok tanjidor ngamen, meramaikan suasana tujuhbelasan. Lagu Surilang sedang diperdengarkan dengan alat-alat musik tiup dan tambur berwarna kekuningan dan tak mulus. Jarkasi mendekati kelompok tanjidor itu. ”Eh, lu mau ke mana?” cegah Jaelani, ia menarik ujung baju adiknya. ”Nonton tanjidor. Yuk!” Jarkasi menunjuk ke arah musik berasal. ”Gue di sini aja, lihat balap karung. Lagi seru!” Jadilah keduanya terpisah, saat tiba-tiba… priiiiiiiit! Bunyi http://facebook.com/indonesiapustaka


15 peluit ditiup kencang-kencang dan panjang. Sekelompok CPM bergerak cepat menuju para pengamen tanjidor. Orang-orang yang sedang berkerumun menonton tanjidor kebingungan dan mulai bertebaran. Para pemain tanjidor lebih bingung lagi. Semua bubar sementara orang-orang berseragam yang hanya berjumlah empat orang itu dengan semangat berusaha menangkapi para pemain tanjidor. ”Waduh, si Kasi di sono tadi!” ujar Jaelani pada dirinya sendiri. Ia memicingkan mata, berusaha mencari batang hidung adiknya. Ia mendekati keributan itu. Seorang CPM yang tadi sibuk berlarian menangkapi pengamen tiba-tiba tepat di depan matanya. ”Heh, kamu kenapa celingak-celinguk? Kamu orang ngamen juga ya?” tanya CPM itu dengan galak. ”Eh, bukan Pak… saye lagi cari adek saye. Dia tadi belarian.” ”Adek kamu pengamen tanjidor tadi ya?” ”Bukan Pak, sumpah….” ”Bukan tukang ngamen kok lari juga?” ”Lah…, semua orang yang pada lihat tanjidor belarian, jadi adek saya juga lari.” ”Jadi, adeknya situ lihat tanjidor ya? Situ tahu, ngamen dilarang?” ”Mana saya tahu Pak.” ”Nah, sekarang situ tahu. Kalau adeknya sudah ketemu, kamu kasih tahu dia ya! Bilangin, nonton ngamen tanjidor sama saja dengan mendukung pengamen. Nah, ngamen itu dilarang, ngerti kamu?” perintah CPM itu. ”Saye, Pak.” ”Ya udah, cari lagi deh tu si adek.” ”Iye, Pak. Makasih.” Jaelani berlalu, sambil celingukan men- http://facebook.com/indonesiapustaka


16 cari Jarkasi. Kelompok CPM itu berhasil menangkap tiga orang pengamen tanjidor yang mengaduh-aduh minta ampun. Ketiga pemain tanjidor itu diamankan. Jaelani mencari-cari di mana adiknya berada di antara orang-orang di Lapangan Banteng itu. Tak berhasil, tapi dia tak terlalu panik karena dia melihat bukan Jarkasi yang tadi dibawa petugas CPM. Ketika suasana sudah tenang, dan semua kembali sibuk dengan lomba tujuhbelasan, minus suara musik tanjidor, Jaelani yang masih celingukan tibatiba dikagetkan dengan seseorang menoelnya dari belakang ”Nongol juga lu akhirnye!” ”Lu nyariin gue ye?” Jarkasi nyengir. ”Tadi. Untung lu kagak ditangkep Se-Pe-Em.” ”Yuk!” ajak Jarkasi, dia menarik tangan kakaknya. ”Bentar ah, gue masih mau lihat ini.” Kali ini sekelompok anak bersiap-siap akan main coko. Sebatang pohon pinang dan sekelompok orang di sekitarnya sedang menyirami air pada batang pinang itu. Bagian atas pohon itu digantungi bungkusanbungkusan hadiah. Orang-orang mulai bersorak-sorak menyemangati. ”Ayuk, ah!” Jarkasi memaksa Jaelani. ”Apaan si lu, masih gini hari. Ngapain balik! Lagi seru, gue tadi juga mau ikutan.” Jaelani kesal. ”Sini bentaran!” Jarkasi menarik Jaelani ke arah seorang anak laki-laki seumuran Jarkasi sedang terduduk lemas. ”Ini Pei.” ”Terus?” ”Terus dia tadi yang maen tanjidor.” ”Masyaallah! Berarti dia buronan! Kita harus serahin dia ke Se-Pe-Em!” Jaelani berapi-api. Pei yang ditunjuk-tunjuk semakin mengkerut, ”jangan, Bang! Jangan! Ampun…” pinta Pei. http://facebook.com/indonesiapustaka


17 ”Jangan, Bang! Kesian. Kita anterin dia pulang,” ujar Jarkasi. Jaelani memandangi Pei yang wajahnya kelihatan takut dan sedih lalu menghela napas panjang, ”ya udah… rumah lu di mane?” Jaelani melunak. Kampung Dukuh di Kramat Djati, di situlah Pei tinggal. Jarkarsi memboncengkan Pei yang membawa tambur. Dung! Dung! Dung! Pei yang kesenangan dibonceng Jarkasi, menabuh-nabuh tamburnya. ”Heh, op… op! Kalo lu masih ribut mukul-mukul drem, gue kagak sudi nganter lu balik. Entar gue lagi yang dikira ngamen tanjidor, ditangkep ama Se-Pe-Em!” omel Jaelani. Pei menghentikan pukulannya. Mereka terus melaju hingga depan rumah Pei. Pei menghambur ke dalam rumahnya, meletakkan tambur sembarangan di depan rumah pintu. Teriak memanggil-manggal ayahnya, dan tak lama kemudian seorang perempuan muda keluar bersama Pei. Perempuan yang di kemudian hari akan menjadi ibu dari anak-anak Jaelani. ”Makasih ye…, udah nganterin adek saya,” ujarnya sopan, ”untung gak ketangkep CPM. Babeh ama Enyak pergi, ada kondangan di Kampung Rambutan. Ayuk masuk, minum dulu di dalem,” ujar gadis itu. Jelani memandangi gadis itu. Cantik. Jarkasi yang kehausan setelah mengayuh sepedanya melangkah masuk ke dalam rumah, sedang Jaelani masih belum terpaku di depan pintu. ”Sstt… sst…! Bang, ayuk masuk! Aus nih gue!” Jaelani ikut masuk ke rumah. ”Duduk dulu deh!” ujar Pei yang kemudian menemani Jaelani dan jarkasi duduk di kursi tamu yang terbuat dari bambu. Tiga gelas air putih keluar, dibawa oleh gadis itu. Mata Jaelani tak lepas memandang perempuan itu. http://facebook.com/indonesiapustaka


18 ”Ini Mpok saye, Rimah,” ujar Pei. Mereka berkenalan. Ã Masyarakat Kampung Dukuh membedakan antara Dukuh Depan dengan Dukuh Belakang, sebab kampung Dukuh Depan dihuni oleh seluruh keluarga besar Haji Bokir bin Dji’un. Sanggar seni Bokir adalah rumah yang paling besar di antara rumah-rumah lainnya. Di sanggar itu ada sepasang ondel-ondel yang dipajang di tengah-tengah ruangan layaknya sepasang raja dan ratu. Dua istrinya pun tinggal bertetangga, walau kadang terdengar cek cok. Nasir, adik Bokir ikut membantu gambang kromong yang melengkapi lenong kakaknya. Setia Warga, demikian mereka menamai kelompok seni Betawi itu. Biasanya mereka ditanggap di acara-acara pernikahan, Lebaran, Lebaran Haji hingga Imlek. Jika malam Minggu tiba, anak-anak dari Kampung Dukuh Belakang berkumpul menggerombol di sanggar seni itu, menonton latihan lenong dan latihan tari. Kelak, beberapa tahun ke depan, sanggar itu dibuat lebih besar dan lebih megah hingga yang memasukinya merasa kecil dengan sepasang ondel-ondel yang sengaja diletakkan di pojok tengah bagai sepasang raja dan ratu. Kelak pula, cucu-cucu Bokir yang berprofesi sebagai penari dikirim ke luar negeri untuk menjadi duta budaya mewakili Indonesia yang pada tahun ’90-an. Indonesia tengah semangat-semangatnya mempromosikan pariwisata. Di tempattempat umum ada lampu neon besar-besar bertuliskan Visit Indonesia Year 1991. Seiring tahun berganti maka angka tahun pun diubah dengan slogan sama. Jaelani muda lalu bergabung dengan grup tanjidor. Ia berlatih membawa alat-alat musik yang besar-besar sambil berjalan me- http://facebook.com/indonesiapustaka


19 mainkannya. Ia bisa memegang semua alat musik, mulai dari klarinet, piston, trombon, saksofon, tenor, drum, simbal hingga tambur. Hal ini dikarenakan agar jika ada pemain utama yang berhalangan pemain lain pun bisa menggantikan agar rejeki terus mengalir. Ia juga jadi kerap dikejar-kejar CPM jika mereka sedang mengamen. Sedang Jarkasi lebih tertarik ikut gambang kromong. Rimah penari didikan Mpok Nori, istri Bokir. Mpok Nori piawai dalam menari. Dari perempuan itulah Rimah berguru. Keluarga Pei tinggal di Kampung Dukuh Belakang. Rimah yang tadinya hanya menonton tiba-tiba tertarik untuk ikut menari. Jaelani tahu, banyak pemuda yang menyukai Rimah. Awalnya, Jaelani mengakui bahwa dia sering mendengar selentingan penari-penari yang kabar-kabarnya bisa dicolek-colek dan diajak bermalam. Rimah adalah penari yang paling banyak dicolek laki-laki ketika menari. Berbaris laki-laki yang ingin menari dengannya. Meski mereka kerap ditanggap bareng-bareng, Jaelani jarang berbicara pada Rimah. Sejak pertama kenalan, Jaelani mengakui diam-diam bahwa Rimah adalah gadis yang manis, tapi ia masih meragukan keperawanannya. Mereka nyaris tak pernah bertegur sapa. Hingga suatu hari, ketika bersamaan para penari, kelompok lenong dan gambang kromong ditanggap untuk pentas perayaan perkawinan di perkampungan nelayan kapal antar pulau angkutan kayu di Cilincing, Jaelani mendapati Rimah menangis di belakang dekat kotak-kotak penampung ikan yang baunya amis. Pantas saja gadis itu tiba-tiba hilang ketika sedang menari. Jaelani tahu, Mpok Nori mencari Rimah ke mana-mana, tapi belum ketemu. Tepat ketika ia ingin buang air kecil, dan karena tak menemukan toliet umum yang katanya ada, ia menuju http://facebook.com/indonesiapustaka


20 belakang guna mencari pohon untuk dipipisi. Saat itulah ia melihat Rimah sedang tersedu-sedu, celak di bawah matanya luntur berwarna kehitaman akibat air mata yang mengalir. Jaelani mendekati Rimah dan bertanya kenapa ia menangis. Rimah yang saat itu sesunggukan dan tak bisa menjawab malah menangis makin keras. Dengan selendangnya, ia seka air mata yang jatuh. Jaelani jadi kebingungan, ”ssstttt…!” Jaelani meletakkan jari telunjuknya ke bibir, ”nangisnya jangan keras-keras! Sstttt…!” Tapi Rimah malah menangis makin keras. Ia tak mau dituduh memerkosa anak orang gara-gara Rimah ribut menangis. ”Lu dicari Mpok Nori, eh… gue tinggal sendirian ya. Di sini banyak demit, tauk!” Sudah diancam begitu, tetapi kelihatannya Rimah tidak takut, malah terus menangis. Karena usahanya tak berhasil, maka akhirnya Jaelani bernyanyi, ”Kicir kicir, ini lagunye…, lagu lama ya nona dari Betawi. Saye menyanyi ya nona memang sengaja, untuk menghibur ya nona hati yang duka. Puun pinang, di pinggir kali…, dipanjat bocah ya nona tinggi sekali. Jangan menangis ya nona keras sekali, nanti didenger ya nona demit di kali…. ” ”Ha ha ha ha…!” Tiba-tiba meledaklah tawa Rimah, mendengar lagu Kicir-Kicir yang dikarang asal-asalan oleh Jaelani. Matanya masih bersemu kehitaman akibat celak yang meleleh. ”Masyaallah! Lu bisa juge ketawa kayak demit!” Jaelani tersentak memegangi pecinya yang miring hampir jatuh, terkejut melihat Rimah tertawa hingga ia menghentikan nyanyiannya yang belum habis. Sejak itu mereka jadi dekat. Dengan gaya yang lucu, Jaelani betul-betul jatuh cinta pada Rimah. Mereka biasa janjian bertemu di kebun kecapi milik http://facebook.com/indonesiapustaka


21 orang tua yang kerap dipanggil Baba’ oleh masyarakat sekitar. Lelaki itu ke mana-mana membawa golok yang diselipkan di ikat pinggang yang membebat sarungnya agar tak merosot. Jika selesai latihan tanjidor atau menari, mereka sendiri-sendiri jalan ke luar sanggar, diam-diam menuju kebun kecapi yang dipenuhi nyamuk itu. Waktu itu belum musim anti nyamuk yang disemprot atau anti nyamuk oles berbau wangi. Jadi, satusatunya senjata ampuh untuk mengusir nyamuk yang kadang bernyanyi di telinga adalah dengan telapak tangan berkecepatan tinggi membuat nyamuk-nyamunk jadi gepeng. Selain nyamuk, waktu pacaran mereka kerap diganggu pula oleh anak-anak yang mencuri kecapi, semut rang-rang, hingga Baba’ sendiri yang kelihatannya setiap beberapa menit mengecek kebunnya agar tak kecolongan dicuri anak-anak kampung. Jaelani dan Rimah sempat berlari-lari bak dikejar setan, bagaimana tidak, ’setan’ itu adalah Baba’ dengan golok yang diacung-acungkan. Waktu itu, ketika Jaelani sedang berusaha merayu agar bisa memegang tangan Rimah, sekelompok anak pencuri kecapi mengganggu mereka, melempari mereka dengan buah kecapi lantas cekikikan. Daripada diganggu terus-menerus, maka keduanya sepakat untuk membantu pencuri-pencuri kecil itu untuk memungut buah kecapi yang berjatuhan, jelas saja Baba’ menyangka kedua sejoli itu sebagai oknum bahkan mungkin otak dari pencurian buah kecapi. Sejak saat itu, karena keduanya tidak bisa dengan leluasa lagi ke kebun kecapi, mereka lebih terbuka terhadap yang lain. Semua tahu, Jaelani dan Rimah adalah Romeo dan Julietnya sanggar seni Setia Warga. Tak sampai satu tahun mereka pacaran, Jaelani melamar Rimah. Lengkap dengan kelompok tanjidor plus pasukan rebana yang mengaraknya ke rumah Rimah di Kampung Dukuh Bela- http://facebook.com/indonesiapustaka


22 kang. Pesta pernikahan mereka yang sebetulnya berdana paspasan bisa jadi begitu meriah, sebab teman-teman sanggar seni menghadiahi mereka dengan hiburan lenong dan tari gratis semalam suntuk. Roti buaya, sebagai lambang kesetiaan, pun sengaja dibuat besar-besar. Konon, buaya adalah binatang setia, tak seperti merpati. Buaya hanya hidup dengan satu pasangan seumur hidupnya, sedang merpati jika pasangannya pergi, bisa mencari pasangan lain. Entah kenapa dua jenis binatang ini diartikan terbalik. Sebutan buaya darat untuk laki-laki berhidung belang yang doyan cari perempuan. Sedang merpati selalu dilambangkan kesetiaan dengan ungkapan ’merpati tak pernah ingkar janji’. Jaelani memboyong Rimah ke daerah Karet, awalnya mereka numpang hidup bersama mertuanya. Lantas ayahanda Jaelani membagi tanahnya yang memang luas untuk dipakai Jaelani dan Rimah. Mereka mendirikan sebuah rumah dan sebuah kandang sapi di dekatnya. Sapi-sapi perah yang ada termasuk pemberian orang tua Jelani, yang sudah menjalani usaha ini sejak jaman Belanda masih banyak di Betawi. Tak jarang pula Jaelani usaha dagang sapi potong. Tentu saja, paling laris saat Lebaran Haji atau Idul Kurban. Ia mengembangkan sapi perah warisan ayahnya ini dan di kemudian hari memutuskan untuk membeli sebidang tanah yang masih terletak di daerah Karet khusus untuk kandang sapi. Dengan berlangsungnya dunia perkawinan, Jaelani dan Rimah tak lagi aktif di kesenian. Mereka lebih sibuk dengan urusan mengurus sapi, apalagi setahun kemudian mereka dikaruniai Zulkili kecil, yang kemudian sehari-hari dipanggil Japri. Kemudian berturut-turut disusul kelahiran Junaedi, yang lebih familiar dipanggil Juned, putra kedua mereka. Sedang Rohani, http://facebook.com/indonesiapustaka


23 —panggilan sehari-harinya Enoh—lahir tiga tahun setelah Juned lahir. Walaupun orang Betawi pada masa itu masih beranggapan banyak anak banyak rejeki, dan hal ini juga dipercaya Jaelani sebagai sang kepala keluarga, tetapi Rimah bilang tak sanggup lagi kalau harus menambah anak lagi karena ia mengurus mereka sendirian. Maka, ketika program Lingkaran Biru KB marak dicanangkan, setiap pasutri diundang kumpul ke rumah ketua RW untuk diberi penyuluhan mengenai Keluarga Berencana, Rimah adalah salah satu ibu rumah tangga yang langsung tertarik untuk ikut kontrasepsi. Berbeda dengan ibuibu lain, yang kabarnya sampai harus diancam petugas untuk memakai kontrasepsi. Jaelani, walaupun sebenarnya ia masih ingin menambah anak lagi, tak bisa menolak permintaan istrinya yang begitu ia cintai. Ia memperbolehkan ratu rumah tangganya ikut kontrasepsi suntik, yang kemudian membuat tubuh Rimah jadi subur. Dalam dua bulan berat badannya tambah sepuluh kilo, pipinya menjadi gembil, dan tak lagi menunjukkan tandatanda dirinya sebelumnya adalah seorang penari bertubuh langsing. Toh Jaelani tak keberatan akan bertambahnya berat badan Rimah, tak sekali pun ia mempersoalkan hal ini. Ia malah memberi Rimah uang untuk membeli kain di Pasar Baru atau di Koh Tong Hiem, juragan kain yang memiliki pabrik batik di Kuningan Timur, untuk dijahitkan sebagai baju baru yang lebih pas untuk tubuhnya yang subur. Rimah meninggal ketika Enoh berusia 10 tahun. Waktu itu wabah demam berdarah menyerang dirinya. Hujan yang terus menerus membuat air menggenang dan menyebabkan jentikjentik nyamuk tumbuh subur bak jamur. Rimah hanyalah satu dari sekian banyak korban demam berdarah. Setelah sepuluh hari dirawat tanpa ada perkembangan yang berarti, ia meninggal http://facebook.com/indonesiapustaka


24 di tempat tidur rumah sakit. Setelah wabah ini, petugas-petugas kesehatan datang memberi penyuluhan ke kampung-kampung, meminta warga untuk bergotong royong memendam segala sampah yang bisa membuat kubangan air jika hujan datang. Mereka juga meminta warga untuk menutup jamban, tempat minum dan air di tampungan kamar mandi, selain membagikan serbuk kecokelatan kasar yang kemudian kita kenal sebagai abate. Haji Jaelani berhasil mengingat, kapan kira-kira kemudian di Jakarta jenis ’musim’ bertambah lagi. Selain musim dukuh, musim durian, musim rambutan, kemudian ada musim banjir yang disusul oleh musim diare dan musim demam berdarah. Dalam hati, ia merindukan Rimah. Enoh dan Salempang kembali sebelum magrib berkumandang. Tak hanya martabak yang dibawakan. Tetapi juga makanan instan lain yang kira-kira awet beserta bumbu-bumbu yang mereka beli di supermarket. Enoh juga membeli minyak tanah, mengingat kompor gas sedang kehabisan gas, dan bisa dipastikan untuk beberapa hari ke depan tukang gas elpiji tak akan datang akibat banjir. Maka ia terpaksa mengeluarkan kompar minyak yang sudah lama dimuseumkan di gudang. Hari mulai gelap. Listrik belum hidup, ini adalah hal yang sangat umum terjadi setelah banjir datang. Enoh juga membeli satu kotak lilin untuk persiapan, lilin-lilin yang kemarin sudah habis karena harus dinyalakan semalaman selama listrik belum hidup. ”Pang, lu sembahyang magrib dulu sana sebelum pulang,” ujar Haji Jaelani. Sebetulnya Salempang belum mau pulang, tetapi ia harus tahu diri. Haji Jaelani sangat protektif terhadap putrinya. Jika http://facebook.com/indonesiapustaka


25 saja listrik hidup, tentu Salempang masih boleh berdiam lebih lama di situ. Setidaknya jika ia bisa main catur dengan Haji Jelani, tentu berarti ia bisa terus memandangi Enoh. Tetapi karena lampu mati, Haji Jaelani tak ingin Salempang diam-diam mengambil kesempatan pegang-pegang anak gadisnya. ”Iya, Beh,” sahut Salempang mengerti. Ia segera mengambil air wudhu. Adzan tak berkumandang, tetapi jam di dinding menunjukkan waktu Magrib sudah tiba. Listrik mati membuat loud-speaker masjid tak berfungsi. Haji Jaelani, Salomah, Fauzan dan Enoh juga ikut mengambil air wudhu bergantian, mengikuti Salempang yang menjadi imam. Matahari rendah. http://facebook.com/indonesiapustaka


26 http://facebook.com/indonesiapustaka


27 2 K alau dirunut dari atas, tak ada darah seniman di tubuh Jarkasi, itu sejauh yang ia tahu. Ketertarikannya pada seni dan kepiawaiannya memainkan musik ibarat jambu yang jatuh dari pohonnya dan menggelinding jauh mendekati pohon mangga. Bagaimana tidak, ayahnya, tak lebih dari pengusaha kecil susu sapi perah. Jaman Belanda dulu, Junaedi, atau yang kerap dipanggil Juned (nama ini kemudian diambil sebagai nama kedua anak Jaelani, kakak kandung Jarkasi), ikut orang Belanda yang punya peternakan sapi perah di Kebayoran. Bung Juned, demikian orang-orang dulu memanggilnya. Panggilan ’bung’ tidak tiba-tiba muncul. Awalnya dia dipanggil ’bang’ seperti umumnya masyarakat betawi memanggil untuk tiap laki-laki dewasa. Bagaimana sebutan ’bung’ kemudian bisa menempel pada Juned? Ceritanya dimulai sebelum jaman kemerdekaan. Kejadiannya setelah sumpah pemuda dan sebelum Jepang datang. Juned, anak yatim piatu, bekerja untuk seorang Belanda yang memiliki peternakan sapi perah di Kebayoran, tak jauh dari tempat tinggalnya. Tuan Henk bagi Juned adalah orang baik. Tuan berambut jagung itu memberinya upah yang layak untuk mengantar susu kepada pelanggannya. Hal yang paling disukai Juned dari pekerjaannya adalah, ia boleh membawa pulang se- http://facebook.com/indonesiapustaka


28 peda kumbang yang kerap digunakannya untuk mengantar susu tiap pagi dan sore. Juned memulai hari-harinya dengan datang ke peternakan tempat ia mengambil susu. Lalu ia mengantarkan botol-botol susu itu kepada para pelanggannya yang kebanyakan adalah orang Belanda, sekaligus mengambil botol kosong. Para pelanggan tersebut juga membayar uang susu kepada Juned. Untuk yang satu ini, Juned memilki sebuah buku catatan yang ia selipkan di sepedanya. Tuan Henk menerimanya bekerja karena ia segelintir dari sedikit orang yang waktu itu bisa baca-tulis. Setelah ia kembali ke peternakan dan mengembalikan botolbotol kosong sekaligus setor uang bayaran pelanggan pada bagian keuangan, ia bisa pulang. Dengan sepeda kumbang itu, tentu saja. Juned biasa keliling-keliling kota. Sekitar jam tiga sore, ia mengayuh kembali sepedanya ke peternakan, mengambil botolbotol susu yang baru dan mengantarnya kepada pelanggan sore hari. Begitu setiap hari. Suatu pagi Juned diberitahu bahwa ada satu pelanggan baru di daerah Bendungan Jago. Ia mengayuh sepedanya, mengantarkan botol-botol susu kepada pelanggan yang dekat terlebih dahulu. Tak ada uang bayaran dari pelanggannya pagi itu. Memang pembayaran susu dilakukan per dua minggu sekali, jadi tidak setiap hari Juned menerima uang. Setelah itu ia menuju ke Bendungan Jago di Kemayoran. Ketika ia hampir melewati Jembatan Jiung, dua orang berpakaian hitam-hitam dengan tampang dekil menyetopnya. Mereka tiba-tiba saja melompat dari balik pepohonan di sekitar jalan tanah. Juned hampir tak bisa mengendalikan sepedanya, untung dia cekatan. Sebelah kakinya langsung turun ke tanah, menahan sepeda yang penuh berisi botolan susu agar tak jatuh. http://facebook.com/indonesiapustaka


29 ”Mana duit lu?” salah satu orang itu mengeluarkan golok. Tentu ini membuat nyali Juned ciut. Dia langsung mengangkat tangannya sambil kedua kakinya tetap menjepit sepeda menahan dari jatuh. ”Ampun Bang, ampun… jangan bunuh, aye belon kawin,” katanya ketakutan. ”Serahin duit lu!” pencoleng itu mengulangi perintahnya. ”Aye kagak punya duit, Bang. Cuma punya susu….” ”Boong lu!” ia mendekatkan golok ke leher Juned, mengingatkannya pada Idul Kurban. Dalam hati Juned sudah pasrah nasibnya akan mirip kambing kurban digorok. ”Betul Bang, aye kagak punya duit,” nyali Juned semakin ciut. ”Banyak bacot lu! Lu kerja buat kumpeni, boong kalo kagak punya duit. Keluarin isi kantong lu!” Sejatinya Juned memang tak punya uang. Namun begitu Juned tetap mengaluarkan isi kantongnya yang kosong melompong. Kantong baju saku celana kanan kiri dan dua kantong belakang pantatnya. ”Aaaagh!” dengan kesal pencoleng yang satu lagi mengobrakabrik kantong susu. ”Bang, jangan Bang. Itu bukan punya aye. Aye cuman tukang anter doang,” Juned memohon. Orang itu mengambil sebotol susu, ”lumayan… susu.” Ia lalu menenggak susu di botol itu. Dan lagi, jadilah dua botol yang sudah ia minum. Botol-botol yang kosong ia buang begitu saja ke tanah. ”Ha ha ha… begini ya rasanya jadi orang kuasa. Minum susu,” sambungnya. ”Bang… bagi dong!” ujar pencoleng yang sejak tadi menekan golok ke leher Juned. Pencoleng yang telah meminum susu mengambil satu botol dan memberikan ke temannya. http://facebook.com/indonesiapustaka


30 ”Nih!” Pencoleng bergolok menenggaknya. Gluk… gluk… gluk…. Juned bisa mendengar ia menelan susu itu, kelihatannya ia kehausan sekali. ”Lagi!” katanya. Sebotol susu kembali diserahkan dan ia kembali menenggaknya penuh nafsu. Juned hanya memandangi sambil tak lagi merasa terlalu takut. Setidaknya selama pencoleng-pencoleng itu minum susu, mereka sedikit teralihkan perhatiannya, pikir Juned. Tiba-tiba seorang lelaki tua bercelana pangsi hitam dengan peci dan sarung dibebat di pinggang melompat ke arah mereka. ”Ciaaaaat…!” teriaknya. Juned memejamkan mata. Sekejap kemudian dia mendengar dua suara menjerit mengaduh-aduh. ”Ampun Bang… ampun…!” tangis dua suara itu sahut-menyahut. Juned membuka mata, dilihatnya dua pencoleng tadi sudah terkapar di tanah dengan tangan terpelintir ke belakang. Dengan sebelah tangan, lelaki tua tadi menahan tangan dua pencoleng. Mulut keduanya penuh cairan putih yang muncrat ke mana-mana. Agaknya mereka sangat lengah ketika tengah asyik minum susu. ”Gue kepret, cantengan lu!” kata si lelaki tua. Sementara kedua pencoleng yang sudah ambruk tak berhenti mengaduh dan minta ampun, ”di sini yang boleh narik cuman gue, tauk!” ”Ampun Bang, ampun… aye kagak tau.” ”Aaaa… sakit, tulung lepasin Bang, nyerah.” ”Emang lu pikir ni jembatan punya moyang lu? Berani-beraninya narik di sini. Ini kadang gue, lu ngarti?!” semprot orang tua itu. ”Ampun Bang, ampun… kita cuma kelaparan. Udah tiga ari gak makan ape-ape di utan.” http://facebook.com/indonesiapustaka


31 ”Di utan kan banyak puun, Lu makan aja tu puun, lu kan monyet!” sekali lagi orang tua itu nyap-nyap. Juned bergeming, ia memerhatikan pemandangan di depannya dengan takjub. ”Ampun Bang…, kite orang gerilya. Keabisan makanan.” ”O, lu keabisan makan terus ngerampok orang kite, gitu? Kagak tau yang bener yang sale lu!” ”Maap Bang, die kan tukang susunya kumpeni, mangkenye kite rampok die. Kita gak ngerampok tukang kayu kok Bang, Ampun….” Lelaki tua itu lalu melepas pelintirannya. Dua pencoleng yang mengaku gerilyawan itu berusaha bangkit sambil mengeluelus tangannya yang sakit. ”Lu tau ngerampok itu sale?” tanya lelaki tua itu dengan galak. ”Tau Bang,” jawab keduanya berbarengan sambil mengangguk, memandangi tanah. ”Lu ngarti ini kandang gue?” ”Ngarti Bang,” kembali keduanya menjawab berbarengan sambil mengangguk. ”Lu tau ni orang…,” ia menunjuk pada Juned, ”biarpun kerja buat kumpeni tapi kerjanya halal, bukan tentara Belanda?” ”Tau Bang,” lagi, keduanya menjawab berbarengan sambil mengangguk. ”Nah terus, ngapa lu rampok die? Lu mau jadi Pitung?” ”Kagak Bang…” ”Iya Bang…” Kali ini jawaban mereka berbeda. Yang satu menggeleng dan yang lain mengangguk. ”Mana yang bener…, mau jadi Pitung apa kagak?” lelaki tua itu mengulang pertanyaannya dengan galak. ”Mau Bang.” http://facebook.com/indonesiapustaka


32 ”Kagak Bang…” masing-masing menukar jawabannya. Yang tadi bilang iya kini menjawab tidak, dan sebaliknya. ”Eh, gue kasih tau ye… bukan gini carenye jadi pahlawan. Elu pahlawan kesiangan aje kagak, apalagi mau jadi si Pitung!” ”Iye Bang, maap…,” ujar pencoleng yang satu, sedang yang lain menunduk menatap tanah. Lelaki tua itu menyuruh kedua pencoleng itu meminta maaf pada Juned. Ketika itu juga tahulah mereka, bahwa lelaki tua yang punya kemampuan silat itu adalah Haji Ung, atau kerap dipanggil Jiung. Ia pemilik jembatan yang tadi belum sempat dilewati Juned. Jiung memungut bayaran untuk mereka yang lewat jembatan itu, siapa pun itu. Merasa wilayah kekuasaannya diusik, maka ia tak tinggal diam. Jika orang-orang tahu ada perampok yang menunggu tepat di jalan menuju jembatan, ini berarti orang orang-orang akan takut lewat situ. Dan jika orang takut lewat jalan itu, maka tentu tak ada pemasukan dari orang yang lewat. Ini mengganggu stabilitas keuangan keluarga Haji Ung. Sejak hari itu, karena rasa terima kasihnya yang tak sudahsudah, Juned membawakan sebotol susu segar untuk Jiung setiap kali lewat. Susu adalah barang mewah saat itu, tentu ini harga yang mahal jika bisa diuangkan. Lebih dari satu-dua sen uang yang biasa diberi oleh mereka yang lewat Jembatan Jiung. ”Eh, lu laki-laki kagak bisa bela diri apa?” tanya Jiung suatu pagi ketika Juned lewat dan menunggu Jiung meminum susu pemberiannya. ”Kagak bisa, Beh,” jawab Juned. Semenjak ia mengenal lelaki itu kini ia memanggilnya Babeh, demi menghormati usia yang jauh di atasnya. ”Lu gue ajarin. Mula ini ari gue jadi guru lu. Rampung lu nganter susu, ke sini dah! Ngarti?” http://facebook.com/indonesiapustaka


33 Maka sejak hari itu, Juned berlatih pencak silat. Jiung menjelaskan panjang lebar tentang pencak silat. ’Pencak’ berarti jurus sedang ’silat’ berarti salat atau sembahyang. Jadi pencak silat bukan untuk mencari musuh atau berkelahi. Selain itu, ’silat’ juga kependekan dari ’silaturahmi’. Juned ternyata tidak sendiri, Haji Ung juga mengangkat dua gerilyawan yang sempat merampok Juned tempo hari. Keduanya kelihatan beda setelah bebersih. Juned sempat tak mengenali, kalau mereka tidak langsung menyalami tangan Juned saat bertemu kembali. Suatu pagi, ketika Juned menggenjot sepedanya untuk mengambil susu dari peternakan. Tapi tak satu pekerja pun yang menunggu peternakan. Sapi-sapi melenguh kencang-kencang. Botol-botol kosong tak terisi. Padahal kemarin sore setelah mengantar susu, Juned masih bertemu para pekerja peternakan. Juned memanggil-manggil nama para pekerja yang ia kenal, tapi tak satu pun menyahut. Kiranya peternakan kosong. Maka Juned bergegas ke rumah Tuan Henk, ia mengetuk-ngetuk pintunya, tak ada jawaban sedikit pun. Juned mendorong pintu, yang ternyata tak dikunci. ”Tuan… Tuan Henk…” panggilnya. Juned terkejut melihat rumah berantakan. Ia masuk, melihat-lihat keadaan sekitar. Sebuah suara tangis terdengar tersendat-sendat dan tertahan dari ruang dapur. Juned menghampirinya. Seorang anak perempuan meringkuk di balik meja makan yang tak lagi pada tempatnya. ”Masyaallah… kirain kuntilanak nangis,” ujarnya kaget. Anak perempuan itu diam saja. ”Tuan Henk ke mana?” dia masih diam, gemetar. Maka dengan lembut Juned membantunya berdiri dan menyeka air matanya dengan kemejanya. Perempuan itu bercerita tersendat-sendat, bahwa Jepang datang mengambil perhias- http://facebook.com/indonesiapustaka


34 an milik Nyonya Henk dan mengacak-acak rumah mengambil barang-barang dari perak. Seorang pembantu perempuan yang juga bekerja di situ dibawa pergi, Ipah, nama perempuan kecil itu beruntung bisa sembunyi dan tak ketahuan Jepang. Sekarang keluarga Henk pergi ke Karet, mereka bersembunyi di sana. Juned mengantar Ipah pulang. Orang-orang akhir-akhir ini tak banyak yang berani keluar. Apalagi begitu orang-orang pribumi tahu bahwa orang Belanda saja berani dijarah oleh Jepang, apalagi orang-orang pribumi. Perempuan-perempuan banyak yang dikumpulkan, katanya dijadikan pelacur tentara-tentara Jepang. Ada yang tiba-tiba diculik saat pulang dari sawah, tidak jarang pula yang diambil paksa langsung dari rumahnya, meskipun ada suaminya. Orang-orang Jepang membuat orangorang Indonesia merasa, penjajahan yang dilakukan Belanda tahun-tahun sebelumnya tak ada apa-apanya. Dulu, masih ada koran, masih bisa bikin ritual sedekah bumi, sekarang semua tempat serasa kota mati. Hawa ketakutan terasa di sekitar kita. Bahkan angin pun rasanya menghantar warta buruk. Ipah waktu itu berusia lima belas tahun. Sedang Juned berusia sembilanbelas tahun. Semenjak diselamatkan Juned— diantarkan Juned pulang dengan selamat, utuh, tak kurang suatu apa pun—, Juned tak pernah menengok Ipah lagi. Sejujurnya ia sendiri pun tak lagi memikirkan apa-apa tentang Ipah. Juned mengusahakan kesehariannya masih berusaha menengok sapisapi perah milik Tuan Henk. Sapi-sapi bunting itu mengemo ibarat orang kesakitan. Bagaimana tidak, susu-susunya tidak dikeluarkan berhari-hari. Tak pula diberi makan atau dibersihkan kandangnya. Sapi Tuan Henk dihitungnya, pun sudah berkurang sepertiganya. Entah itu sapi kabur sendiri cari makan, atau dimaling orang, atau dijarah Jepang; Juned tak tahu. http://facebook.com/indonesiapustaka


35 Melihat sapi-sapi itu melenguh, Juned mengambil bak susu. Ia mulai memerah susu-susu sapi. Sialnya, ia tak tahu prosedur yang benar, harus bagaimana dan harus diapakan setelahnya. Selama ini ia hanya menjadi pengantar. Juned mencari rumput sebisanya, memberi makan sapi-sapi sisa yang masih ada di kandang. Susu-susu itu mau diapakan? Juned tak tahu. Akhirnya ia memutuskan untuk mengisi botol-botol yang kosong dengan susu hasil perahannya. Kini, setelah botol-botol diisi, harus diapakan? Ia tak lagi mengantar susu-susu itu kepada para pelanggannya. Juned memutuskan untuk membagikan susu-susu itu kepada penduduk, ia bertekad siapa pun yang ditemuinya di jalan, ia akan memberikan susu botolan itu. Dan itulah yang benar-benar ia lakukan. Entah mengapa, kakinya mengayuh hingga kediaman Ipah dan orang tuanya. Mereka menyambut dengan takut-takut, berkali-kali Juned mengetuk pintu dan mengucap salam, tak juga dibuka. Hingga ayah Ipahlah yang akhirnya membuka pintu. Ia mempersilakan Juned masuk dengan senang hati. Bahkan sepedanya pun disuruhnya ditaruh di dalam. ”Pak, aye dateng cuman mau nganter susu ini doang. Ini susu dari peternakan Tuan Henk, gak ada yang ngurus, jadi saye urus.” ”Bukannya ini susu dibeli ama orang-orang Belanda?” ”Emang Pak, tapi orang-orang Belandanya juga udah kagak tau pada ke mane. Jadi aye bagi-bagiin aje deh Pak.” ”Jadi betulan ni susu buat saye?” ”Iye Pak. Ambil deh… buat keluarga sini. Lagian kan sekarang suse cari makan. Tu orang Jepang ngider aje. Sapi di kandang Tuan Henk aje ada yang ilang, tebakan saye sih itu diambil orang Jepang,” jawab Juned. http://facebook.com/indonesiapustaka


36 ”Alhamdulilee…,” kata ayahanda Ipah. Ipah, lima saudara kandungnya dan ibunya mengucapkan terimakasih pada Juned. Ipah adalah anak tertua di keluarga itu. Ketika Juned akan minta diri, ayahanda Ipah menahannya dan tiba-tiba berkata, ”Ned, lu anak baek. Gue mau minta tulung lagi, apa lu mau?” ”Ngomong deh Pak. Sapa tau saye bisa bantu.” ”Lu kawinin anak gue.” Ucapan ayahanda Ipah menggema di telinga Juned; kawin. Kawin? Hari kayak gini; kawin? Jepang nyerang; kawin? Yang bener aja, batin Juned. ”Maap Pak, apa saye gak sale denger? Kawinin anak Bapak?” ”Iye, lu kawinin deh tu si Ipah. Gue rela kalo anak gue buat lu. Elu yang nyelametin die tempo ari. Lu juga sekarang yang perhatiin keluarga gue, bawain susu. Gue takut anak gue diambil Jepang, gue kagak bisa ape-ape. Kalo lu jadiin dia bini lu, gue bisa tenang dikit, sebab gue tau Ipah ada yang jaga.” Ayahanda Ipah menjelaskan panjang lebar. Ipah yang diomongi diam saja. Ibundanya juga diam saja. Sementara adik-adiknya asik dengan sebotol susu yang diminum bergiliran. Juned selama ini tak pernah benar-benar berpikir dirinya akan kawin. Dekat dengan perempuan pun tidak. Mungkin memang harus seperti ini jodohnya, pikirnya. ”Pak, saya idup sendiri. Kagak punya ibu-bapak. Kagak punya sodare. Apalagi banda. Kagak punye. Apa Bapak masih mau saye kawin ama anak Bapak?” ”Kagak ape-ape. Kalo lu udah kawin ama Ipah, lu punya sodare lime biji. Lu punya gue ama bini gue jadi orang tua lu. Nah banda, entar ada Ipah yang bisa bantuin elu buat nyari.” Siang itu juga, Juned menggenjot sepedanya ke daerah Kemayoran. Dia menuju rumah Haji Ung. Meminta nasihat darinya, perihal perkawinan. Jawabannya sungguh mengejutkan; Haji Ung bersedia menikahkan Juned dan Ipah. http://facebook.com/indonesiapustaka


37 Begitulah, alkisah cinta Juned yang tak dimulai dengan cinta secuil pun. Hanya rasa kasihan dan tanggungjawab yang mewakili kebersediaan Juned menikahi Ipah. Kelak, dari Juned Ipah melahirkan tiga anak; Jaelani, Jarkasi dan Juleha. Dua laki-laki, satu bontot perempuan. Siaran Radio Republik Indonesia bilang; bahwa Perang Dunia II pecah. Kata berita itu, tahun lalu Jepang mengebom suatu tempat di Amerika bernama ’Pelharbol’, nama yang asing di telinga Juned. Sejak itu Jepang berkuasa hampir seluruh Asia Pasiik. Itu yang menyebabkan sapi-sapi milik Tuan Henk tak terurus. Pesawat Jepang berputar-putar di angkasa ketika Haji Ung menikahi Juned dengan Ipah. Boro-boro malam pertama, orang yang datang memberi doa pun tak ada, yang ada penduduk berbondong-bondong mengungsi cari selamat. Jiung menyuruh Juned dan Ipah ikut dengannya, bersama sekelompok orang lainnya yang menolak evakuasi ke Yogyakarta. Daerah Kemayoran waktu itu adalah pangkalan udara Belanda, maka tak heran Jepang menjadikannya target utama. Sapi-sapi yang ada di peternakan Tuan Henk semakin hari semakin berkurang. Kebanyakan dicuri, ada pula yang mati. Dengan semakin gentingnya situasi, Juned jadi jarang berkunjung ke peternakan. Praktis tak ada siapa pun yang mengurus. Suatu siang bolong yang tak pernah bisa dilupakan Juned terjadi. Kelak, mulai dari sinilah ia akan menuturkan jaman perang kepada anak-anaknya. Kisah yang kemudian membuatnya dipanggil ’bung’ oleh orang-orang. Ia dan sekelompok orang bersembunyi di bentengan yang mirip bungker, tempat ini sengaja dibuat Jiung untuk persembunyian jika dibutuhkan, dan siang http://facebook.com/indonesiapustaka


38 itu memang waktu yang sangat tepat untuk bersembunyi di bentengan itu. Jiung memerintahkan kerabatnya bersembunyi di bentengan, sementara dia sendiri berada di luar. Tentu, walaupun semua mengenal Jiung sebagai lelaki yang punya ilmu, semua khawatir akan keselamatannya. ”Kagak usah khawatir, udah… lu pade ngumpet aje. Gue keliling rumah biar kagak kena bom,” ujarnya dengan percaya diri. Maka semua bersembunyilah di bentengan. Semua tahu, yang dimaksud Jiung keliling rumah adalah berjaga-jaga dengan cara membuat pagar gaib yang tak bisa tembus bom apalagi peluru. Jaman itu, mencari ilmu bukan berarti baca-tulis, melainkan mencari ilmu agar tak kalah dari musuh. Penghuni bentengan desak-desakkan. Ibu memeluk anak, anak tak mau lepas dari pelukan ibunya. Kebanyakan komat-kamit berdoa sebisanya, seingat mereka bisa ucapkan surat-surat dalam Quran. Tak sedikit yang bengong, takut kedapatan bom nyasar. Ada juga anak yang menangis tertahan-tahan, sementara ibunya berusaha membujuk agar tak ribut. Dari dalam bentengan, suara berdebum terdengar jelas, bangunan-bangunan yang hancur kena hantam bom terdengar seperti berton-ton pasir jatuh dari awan. Pesawat-pesawat Jepang seliweran di udara bunyinya seperti lebah lewat. Lamat-lamat di antara itu semua, terdengar suara seorang lakilaki nembang. Tak jelas apa yang diucapkan, yang pasti bernada berulang-ulang. Tiba-tiba…, bruuuut…! Suara nyaring angin kejepit terdengar, disusul bau tajam campuran antara jengkol dan duren busuk. Kontan orang-orang yang ada di dalam bentengan marah-marah dan menyumpah-nyumpah. ”Kepret! Lu kentut ya?” ”Dikit…,” si empunya kentut membela diri. ”Gila!” http://facebook.com/indonesiapustaka


39 ”Kentut lu kagak beda dari bomnya Jepang! Geblek!” Omel mereka sambil menutup hidungnya. Juned mengipas-ipas udara di sekitarnya, berusaha membuat bau kentut itu raib. Tapi tentu saja tak semudah itu. Bentengan sempit, kecil dan tertutup pula, udara berputar di situ-situ saja. Juned tiba-tiba merasa mual, ia menahan mulutnya. ”Aye mau keluar. Kagak tahan mau muntah!” kata Juned sambil menutup hidungnya. Sedang yang lain lebih suka menahan bau kentut daripada mati dibom Jepang. Tak enak pula menghirup udara tak merdeka, meskipun tak bau kentut. Baru satu kali menghirup udara bersih, suara bom jatuh terdengar keras minta ampun. Juned langsung merunduk, dia berusaha mencari Jiung. Lelaki itu sedang keliling sambil komat-kamit menyanyikan tembang, yang sebagian berbahasa Sunda dan sebagian lagi ada doa-doa bahasa Arab dari Quran. Dengan peluru yang masih muntah dari pesawat-pesawat Jepang, Juned tak punya pilihan lain kecuali bersembunyi di tempat yang dia anggap aman di sekitar bentengan. Sementara ia terus melihat Jiung keliling sambil nembang. Nah, inilah poin penting dalam kehidupan Juned. Konon, hanya Juned yang tahu dengan jelas apa yang Jiung lakukan ketika keliling membuat pagar gaib. Konon pula, hanya Juned yang tahu secara lengkap keseluruhan tembang yang dilagukan Jiung berulang-ulang. Jiung tak menurunkan ilmu ini kepada anak maupun muridnya yang lumayan banyak. Ya, hanya Juned yang tahu. Beberapa minggu setelah kejadian kentut di bentengan itu, baru situasi kembali sepi. Tetapi bukan berarti aman. Juned memutuskan untuk pergi ke peternakan sapi. Sekali lagi, kali ini http://facebook.com/indonesiapustaka


40 sapi yang tinggal tujuhbelas ekor ia bersihkan, ia beri makan dan ia perah susunya. Kali ini sapi-sapi itu tidak banyak menghasilkan susu. Tentu saja, Juned bisa mengerti itu. Manusia saja depresi dengan keadaan yang tak tenang akhir-akhir ini, apalagi binatang pasti bisa merasakannya. Juned memutuskan untuk mencari rumah Tuan Henk yang katanya bersembunyi di daerah Karet. Dia bertanya ke sana-sini dengan tentara Jepang seliweran. Entah kenapa, yang terpikir saat itu adalah suara Jiung melagukan tembang yang dia dengar beberapa tempo lalu. Tak sadar, itulah yang Juned lagukan selama di perjalanan menuju Karet mencari tempat tinggal Tuan Henk. Aneh, karena tentara-tentara Jepang itu seperti tak melihatnya lewat. Ia bisa berkeliling dengan bebas, padahal orang-orang yang lewat dihentikan jika ketahuan tentara Jepang yang kebetulan ada di sekitar. Dengan gemetar ia melewati tentara-tentara Jepang sambil terus melagukan tembang Jiung. Memang dasar, orang niat baik selalu ditolong Yang Kuasa. Ini betul-betul dipercaya Juned. Entah bagaimana, ia akhirnya bisa menemukan tempat tinggal Tuan Henk. Lelaki berambut jagung itu menyambutnya dengan gembira, apalagi Juned membawa berbotol-botol susu perah. Ada sekitar tujuh orang aseli Indonesia ikut sembunyi di situ, mereka adalah para pembantu yang bekerja di rumah Tuan Henk yang lama. Semua ikut sembunyi di situ, mengungsi demi keamanan. Tidak seperti tempo lalu, orang Belanda bisa berjemur sore-sore sambil ngeteh di beranda depan. Sekarang lain keadaannya. Semua lebih suka berada di dalam rumah. ”Tuan… sapi Tuan tinggal tujubelas biji. Diambil orang Jepang,” lapor Juned. Ia juga melapor tak ada pegawai yang berani ke peternakan untuk mengurus sapi. Tuan Henk mena- http://facebook.com/indonesiapustaka


41 rik napas panjang, ia lalu menepuk punggung Juned. Katanya, sudah untung ia dan keluarganya bisa bebas dari cengkraman orang-orang Jepang yang waktu itu datang ke rumahnya dan merampok. Tuan Henk dan keluarganya akan kembali ke Belanda, mengikuti kerabat yang sudah terlebih dahulu memutuskan pergi. Tinggal tunggu saja waktu yang aman, jika situasi memungkinkan, ia akan segera angkat kaki dari Indonesia. Sedang asyik-asyik Tuan Henk mendengar laporan situasi di luar, tiba-tiba terdengar suara berondongan peluru. Suara pesawat, mobil-mobil meraung-raung, sekelompok tentara Jepang keluar dari mobil itu. Semua yang tadinya mengerumun mendengarkan Juned, tiba-tiba langsung merunduk ketakutan. ”Mereka akan ambil barang-barang, dan perempuan-perempuan,” kata Tuan Henk ketakutan. ”Udah, Tuan di sini aje. Aye bilangin, di sini kagak ada orang,” ujar Juned. Ia keluar rumah. Tuan Henk hendak menahannya, tetapi telat. Juned langsung ngeloyor ke luar rumah. Di antara derap suara sepatu-sepatu tentara Jepang dan bahasa Jepang yang tegas dan kasar, suara tembakan-tembakan yang muncul sekalisekali, juga suara teriakan para perempuan, tiba-tiba terdengar suara Juned menembang. Bernyanyi berulang-ulang di depan rumah sambil keliling. Seorang jongos mengintip dari balik Jendela. Ia meihat Juned sedang keliling sambil nembang bahasa Sunda bercampur Arab dari sebuah surat di Quran. Di depan Juned, tentara-tentara Jepang bersliweran. Jongos itu cepatcepat menunduk lagi, ketakutan demi melihat tentara Jepang. Sekaligus ia heran, kenapa tentara-tentara itu tak melihat Juned yang seliweran dengan tenang di depan rumah. Keadaan itu berlanjut selama tiga jam ke depan, hingga hari menjelang magrib dan tentara-tentara Jepang itu pergi menyisakan sesak http://facebook.com/indonesiapustaka


42 dan ketakutan. Juned masuk ke rumah lagi begitu yakin tak ada seorang tentara Jepang pun di sekitar situ. Seisi rumah langsung mendekati Juned dan merunduk-runduk berterimakasih pada Juned. Tak terkecuali Tuan Henk, lalu katanya, ”kowe di sini saja.” ”Kagak bisa Tuan, saye harus balik ke Kebayoran, bini aye di sana.” ”Kowe sekarang punya bini?” ”Iya Tuan, saya kawin ama Ipah, babu Tuan. Sekarang dia lagi bunting muda.” ”Ya ya… saya ingat Ipah,” tuan rambut jagung menganggukangguk, ”ajak Ipah tinggal di sini,” sambungnya. Malam itu Juned pulang. Sepanjang jalan masih penuh dengan pepohonan, termasuk pohon asem yang tinggi-tinggi, yang katanya jadi tempat tinggal kuntilanak. Ini menambah cekam keadaan saat itu. Besoknya Juned mengajak Ipah tinggal di rumah Tuan Henk. Ia punya pekerjaan baru; tukang bikin pagar gaib. Ini semua berkat ’tembang Jiung’, demikian Juned menyebutnya sebab ia tak tahu apa judul tembang itu sebetulnya. Di sinilah kemudian Juned dipanggil ’Bung Juned’. Mula-mula oleh para babu dan jongos, lalu oleh masyarakan setempat, dan akhirnya Tuan Henk dan keluarganya sendiri memanggil Juned sebagai ’Bung Juned’. Sebutan ’bung’ diperuntukkan bagi Juned atas keberaniannya maju ke depan memimpin mereka yang tertindas, seperti Bung Karno. Siaran Radio Republik Indonesia bilang; ada tempat di Jepang bernama Hiroshima dan Nagasaki dibom Amerika. Ini berita yang menggembirakan, dan ada berita yang lebih menggembirakan lagi, tentara Jepang ditarik mundur dari Indonesia. Bung Juned http://facebook.com/indonesiapustaka


Click to View FlipBook Version