The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by SMP Negeri 3 Pangandaran e-Katalog, 2023-11-22 03:47:43

Kronik Betawi

Kronik Betawi

Keywords: Bacaan,Novel

193 mereka. Untuk Haji Jaelani, tentu saja selama satu minggu ini mengantarkan Fauzan ke kampus agar tak telat. Ayam belum lagi berkokok, apalagi matahari; belum saatnya bersinar. Bahkan pengurus masjid pun kelihatannya masih ngorok sebab waktu mengumandangkan adzan Subuh belum jadwalnya. Tetapi Salomah dan Fauzan sudah ribut; sang ibu memasak telur mata sapi dengan kuning di luar- putih di tengah, tempe goreng lima biji berbentuk kubus dengan diameter 1 cm tiap sisinya, serta nasi putih berbentuk bulat sempuna sebesar bola kasti. Semua dimasukkan ke dalam besek yang diberi warna hijau ulat keket, persis seperti catatan harian semasa ospek yang didiktekan kakak kelas Fauzan setiap hari selama ospek. Bekal hari ini masih agak gampang dibuat, daripada bekal kemarin yang mengharuskan Fauzan pergi ke kelurahan minta cap untuk telur asinnya. Fauzan sendiri sudah hampir satu minggu ini tidak berambut alias gundul. Dia mengenakan seragam putih-putih dengan sepatu putih pula. Betul-betul putih. Ia terpaksa mengecat bagian berwarna biru di sepatu Kasoginya dengan piloks. Sebetulnya itu sepatu kesayangannya, yang hanya dipakainya ketika olahraga waktu jaman SMA. Tapi ia tak punya sepatu putih lainnya, Haji Jaelani menjanjikan membelikannya sepasang sepatu baru untuk kuliah. Kaos kaki biru di sebelah kanan dan merah di sebelah kiri menghangatkan kakinya, jangan lupa… kaos kaki itu dikeluarkan, menutupi panjang celananya. Kaos kaki kanan sebatas bawah dengkul, sedang kaos kaki kiri sepanjang pertengahan betis. Ia mengalungkan sebuah kardus lengkap dengan foto masa kecil yang ditempel di situ. ’Celepuk’ adalah namanya semasa ospek, tertera besar-besar di kardus itu. Sebuah penutup kepala yang diberi nama ’topi’ menghiasi kepala http://facebook.com/indonesiapustaka


194 plontosnya. Topi itu terbuat dari bola sepak plastik yang dibagi dua lalu dicat dengan piloks berwarna hijau ulat keket. Sisi kanan-kirinya dilengkapi dengan tali karet celana dalam sebagai pengait di dagu sang pemakai. Gunanya agar jika sang pemakai harus berlari-laki, topi bola sepak itu tak jatuh. Itu hanya sebagian dari sekian atribut dan ’peralatan perang’ yang dititahkan senior kepada junior-junior baru macam Fauzan. Saat semua sudah siap, Fauzan memastikan sekali lagi tak ada atribut yang ketinggalan. Anak itu tak ingin dirinya harus dihukum menghitung jumlah genteng perpustakaan, atau memastikan jarak antara WC dengan ruang tata usaha dengan cara dikilan. Dia membangunkan Haji Jaelani, dan adzan Subuh masih belum dikumandangkan. ”Bangunin gih Babeh lu!” titah Salomah setelah memasukan besek berisi nasi bekal ke tas karung goni milik Fauzan. Anaknya segera menuju kamar, bertugas menggantikan adzan Subuh. Dengan bersemangat Fauzan mulai mencolek-colek tubuh ayahnya, seolah-olah ia adalah adzan: wahai orang-orang yang berselimut, mengantarkan anak ke kampus agar tak telat ospek lebih baik dari pada tidur! ”Beh…, Beh… ayo anterin!” Kali ini Fauzan mengguncangguncang tubuh ayahnya. Haji Jaelani mengulet, ogah-ogahan membuka mata. Terdengar suara ’heh’ yang keluar dari Haji Jaelani di antara dengkurnya yang masih kental. Setelah itu, dengkurnya malah makin keras. ”Beh… anterin, entar Paujan telat lagi. Beh!” Fauzan mengguncang tubuh ayahnya lebih keras. Berhasil, kali ini mata Haji Jaelani terbuka, dan ia teriak kaget melihat pemandangan di depannya. ”Setan alas, iblis, demit, pocong jauh!” ujar Haji Jaelani bertubi-tubi, membuat kaget Fauzan pula. Kini ia sama sekali tak http://facebook.com/indonesiapustaka


195 mengantuk. ”Ya Allah…, elu Jan. Tampang lu udeh kayak tuyul aje!” Bagaimana tidak, di bawah lampu kamar yang temaram, dilihatnya anaknya dengan pakaian putih dan plontos tanpa rambut. ”Aaaa…, Babeh apaan sih. Tiga hari ngeliat aye gini masih aje kaget. Ayo cepetan, bangun! Anterin, entar aye telat lagi.” Fauzan menggesa-gesa ayahnya. Haji Jaelani menurunkan kakinya dari dipan. Dia menguap sejenak dan dengan langkah gontai menuju ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi. Terlalu pagi untuk mandi, dan istrinya belum sempat membuatkan air panas sebab sepagian menyiapkan kebutuhan Fauzan. Tak lama sang ayah siap mengantar anaknya ke kampus. Sejenak dipanasinya mobil kesayangannya, satu-satunya. Setelah Fauzan mencium punggung tangan ibunya, Haji Jaelani tancap gas. Menempus udara pagi Jakarta yang belum macet. Meski demikian, ada saja kehidupan. Entah itu orang-orang yang memenuhi hobi diskonya malam hingga pagi, ataupun para kuli bangunan yang dibayar mahal untuk lembur. Haji Jelani melirik anaknya yang duduk di sebelah dengan tegang, sekali lagi Fauzan mengecek atribut ospeknya, jangan sampai ada yang ketinggalan, ia tak mau dihukum. Untuk hal macam begini, Fauzan termasuk anak yang menurut dan disiplin. Jakarta sepi…. Haji Jaelani terus menyetir mobilnya tanpa halangan macet secuil pun. Sudah puluhan tahun ia tak merasakan Jakarta sesepi itu. Kalau saja di saat siang keadaannya terus seperti itu. Tentu menyenangkan ke mana-mana keliling Jakarta, batin lelaki tua itu. Macet adalah hal utama yang membuat Haji Jaelani malas bukan kepalang keluar rumah di siang hari. Baru sampai di muka gerbang Universitas Indonesia, dan http://facebook.com/indonesiapustaka


196 jalan masih jauh menuju Fakultas Tehnik, Haji Jaelani menghentikan mobilnya. Fauzan keluar mobil agak sedikit kerepotan. Seorang laki-laki muda berjaket almamater warna kuning mendekati Fauzan. Itu seniornya, ia tahu itu. Meski belum telat, ia harus cepat-cepat. Beberapa mahasiswa baru dengan dandanan aneh-aneh mirip Fauzan juga baru datang. Mereka langsung didekati senior-seniornya yang menyuruhnya memberi salam hormat dan memastikan tak ada atribut yang ketinggalan. Fauzan cepat-cepat mencium tangan ayahnya yang segera memutar mobilnya dan berlalu dari situ. Matahari baru muncul separuh, hari belum sepenuhnya terang. Haji Jaelani sebetulnya senang melihat anaknya diospek, bukan apa-apa, ia hanya girang sebab ada putranya yang mengalami sekolah tingkat tinggi. Lelaki tua itu tancap gas sambil matanya mencari masjid untuk mendirikan salat Subuh yang memanggilnya. Malam sudah turun sempurna ketika salat Isya sudah didirikan Haji Jaelani dan keluarganya. Salomah sibuk mencuci piring di dapur, sisa makan malam mereka berdua. Ia sengaja menyisakan sepotong lauk, semangkuk sayur asem dan sepiring nasi untuk Fauzan yang hingga malam begitu belum juga pulang. Haji Jaelani rebahan di sofa sambil kipas-kipas dengan kipas tukang sate yang sudah butut. Meski nyamuk menyerbu masuk, pintu depan sengaja dibuka, kalau-kalau Fauzan pulang tak perlu ketok-ketok. Selingkar obat nyamuk bakar sengaja dinyalakan dan diletakkan di samping pintu depan. Ketika matanya mulai meredup bohlam lima watt, suara motor berhenti tepat di depan rumahnya. Suara sember dua laki-laki mengucap salam berbarengan. ”Salam likuuuum….!” http://facebook.com/indonesiapustaka


197 Tentu saja Haji Jaelani urung tertidur, tanpa mengangkat badannya dan malas-malasan membuka mata ia menjawab, ”alaikum salam.” Dilihatnya dua putranya; Japri dan Juned masuk rumah sambil cengengesan. Mereka mencium tangan ayahnya lalu duduk si sofa. ”Pada dari mana?” tanya Haji Jaelani sambil memutar-mutarkan gagang kipasnya. ”Dari kandang Beh,” jawab Japri. ”Tumben,” komentar ayahnya. Japri cengengesan. ”Ade ape di kandang?” ”Ade sapi Beh,” jawab Japri, lalu cengengesan lagi. Haji Jaelani sudah bisa menyangka jawaban anaknya. Ia mendenguskan napas, malas komentar jawaban bodoh itu. ”Ngapa lu ke kandang? Ambil jatah bulanan duit susu?” tanya Haji Jaelani masih malas-malasan. Japri dan Juned pandang-pandangan, tak langsung menjawab pertanyaan ini. Membuat Haji Jaelani curiga melihat gelagat keduanya. ”Heh, ngapa? Pasti ade ape-ape. Ngapa? Ngomong aje!” Juned mengelus-elus lengannya, Haji Jaelani tahu gelagat macam ini. ”Gini Beh…, Babeh bisa kagak minjemin duit dulu?” Nah, betul kan dugaan Haji Jaelani! Jika berurusan dengan Japri dan Juned, meskipun mereka bilang ’pinjam’ itu berarti ’minta tanpa dikembalikan’. Lelaki tua itu bangun dari rebahannya. Dia memperbaiki sikap duduknya. Salomah masuk dari ruang belakang, melihat Japri dan Juned sudah ada di rumah tamu. Haji Jaelani yang mendengar suara langkah istrinya meminta Salomah membuatkan tiga cangkir teh. ”Emang buat apaan? Gue kan baru ngasih elu dari duit gusuran kemaren. Lu juga udah punya motor atu-atu. Kurang ape lagi?” ”Eh, iye sih Beh… makasih,” ujar Juned. Dalam hati Haji http://facebook.com/indonesiapustaka


198 Jaelani membatin, tumben nih anak waras bilang terimakasih. Tiga cangkir berisi air teh datang dalam nampan yang dibawa Salomah. Perempuan itu membagikan tiap cangkir kepada dua anak tiri dan suaminya lalu duduk di samping Haji Jaelani. Haji Jaelani melirik motor yang diparkir di depan rumah, hanya ada satu motor bebek, ”tumben lu ke sini pake motor atu. Biasenye kendiri-kendiri,” komentar lelaki tua itu. Ia mengangkat gelasnya dan meminum seteguk. ”Eh… nah, itu yang mau kite omongin Beh. Gini…,” Juned memberi jeda pada kalimatnya, ”kemaren lusa motor aye diambil.” Pruuuut…! Air teh yang belum sempat ditelan tersembur keluar, membasahi Juned tepat di mukanya. Untung Japri sempat mengelak. Haji Jaelani tak percaya dengan yang baru didengarnya. ”Diambil?! Diambil ama siape?!” Lelaki tua itu jadi emosi. Salomah berusaha menenangkan lakinya. Juned mengelap air di wajahnya dengan lengan bajunya. ”Diambil sama orang Beh,” kata Japri, melanjutnya omongan abangnya yang belum sempat selesai. ”Kok bisa? Gue kan kagak pernah telat bayar cicilan ke dealer!” Haji Jaelani merem-melek, kerutan di dahinya bertambah dua kali lipat. ”Iye Beh… waktu itu gara-gara ama Juned dibuat trek-trekan,” suara Japri jadi tersamar. Meski begitu Haji Jaelani tetap bisa mendengarnya dengan jelas. ”Masyaallah…. Ned, lu udah setua gini ikutan trek-trekan? Kagak takut mati lu?! Lu kagak inget anak-bini lu di rumah?!” Salomah akhirnya angkat bicara, ia mengelus-elus dadanya. Tobat, tobat… tiap dua anak ini datang dengan wajah dimanismaniskan, pasti ada saja sesuatu yang tak beres. http://facebook.com/indonesiapustaka


199 ”Nah, kok bisa itu motor bebek diambil?” cecar Haji Jaelani yang kini benar-benar melek. ”Iye Beh, trek-trekannya kalo kalah motornya diambil.” Japri menjelaskan dengan lugu. Juned semakin menundukan kepalanya, mirip kura-kura merasa dalam bahaya. ”Ya Allah Juned, Juned…” Haji Jaelani menggeleng-gelengkan kepalanya tak percaya. Sementara Salomah mulai menangis dengan kesal. ”Terus tujuan lu ke mari mau ape?” Ayah empat anak itu berusaha menata dirinya, sambil mencari celah di mana ia bisa memaklumi kejadian itu. Tapi ia tak menemukannya sedikit pun. ”Ya, motornya kudu ditebus kalo mau balik.” ”Berape?” tanya lelaki tua itu tak sabaran. Juned berkata tertahan; ”empat… juta….” Empat juta… empat juta… seolah-olah suara Juned terngiangngiang tak hendak pergi dari telinga Haji Jaelani. Belum pula lunas motor itu dibayar, kini ia harus menebusnya atas kebodohan anaknya. ”Kagak!” tegas Haji Jaelani. Wajah Juned dan Japri kelihatan kaget. Mereka tak menyangka ayahnya kali ini tak mau membantunya keluar dari masalah yang mereka buat sendiri. ”Lu sendiri yang bikin tuh motor raib, kalo lu mau motornya balik, lu kudu nebus sendiri!” ”Tapi Beh…, motornya kan …” ”Gue masih harus ngelunasin tuh motor di dealer, sekarang lu nyuruh gue nebus lu kalah judi. Emang lu pikir gue celengan ayam apa? Punya duit segunung? Lu bener-bener kagak mikir!” suara Haji Jaelani dingin, memotong kalimat Juned yang belum selesai. ”Sekarang lu keluar dari rumah gue!” Haji Jaelani berdiri sambil menunjuk pintu keluar yang terbuka lebar-lebar. http://facebook.com/indonesiapustaka


200 ”Bang!” Salomah mencegah Haji Jaelani. Segalak-galaknya suaminya, baru kali ini ia menyaksikan laki-laki itu mengusir anaknya sendiri. ”Udah, lu kagak usah ikut-ikutan Mah. Ini urusan gue, sekarang lu pade mending keluar aje sebelum gue murka!” baik Japri, Juned maupun Salomah belum pernah melihat Haji Jaelani marah sedemikian rupa. Ia sampai diam, tak menggebrak meja, tak pula banyak mengeluarkan kata-kata kasar seperti biasanya. Kiranya amarahnya sudah sampai ke ubun-ubun. Japri dan Juned cepat-cepat keluar tanpa banyak cing-cong. Salomah memandangi dua anak itu bergantian dengan Haji Jaelani yang masih berdiri di depan pintu. Japri dan Juned menaiki motor bebek yang mereka parkir di depan rumah dan berusaha menstarternya tepat ketika Fauzan sampai di rumah. Dengan tampang kucel dan dandanan aneh. ”Salam likuuumm!” Fauzan mengucap salam dengan ceria, senang sampai di rumah. ”Eh, Bang…!” sapa Fauzan pada kedua kakaknya. Ia benar-benar tak tahu apa yang barusan terjadi. Japri dan Juned diam saja, ”udah pada mau balik?” Fauzan heran, kedua kakak beradik tadi masih tetap diam. Haji Jaelani terlihat berdiri di depan pintu dengan kacak pinggang. Motor bebek nyala, Juned dan Japri langsung tancap gas. Fauzan celingukan sendiri, menyadari tak ada orang yang membalas salamnya. ”Beh, kenape?” tanya Fauzan. Ayahnya diam saja. ”Nyak?” ia berpaling pada ibunya, meminta jawaban. Tapi perempuan itu pun tak memberi jawaban. Haji Jaelani masuk kamar. ”Lu mandi dulu, terus makan gih sono.” Akhirnya Salomah berkata. Fauzan bahkan belum sempat mencium tangan kedua orang tuanya, Salomah sudah mengikuti Haji Jaelani ke kamar. http://facebook.com/indonesiapustaka


201 Baik Haji Jaelani maupun Salomah tak langsung membicarakan perkara motor kepada Fauzan maupun Enoh hingga masa ospek Fauzan selesai dan perkuliahan dimulai. Haji Jaelani meminta Enoh dan Salempang datang ke rumahnya. Ia bicara baik-baik, namun begitu dalam suaranya tersimpan rasa kesal yang jelas terlihat. Juned dan Japri jelas tak berani menunjukan batang hidungnya setelah kejadian malam itu. ”Beh, apa enggak sebaiknya kita tebus aja itu motor? Enoh sama Salempang nyumbang separo deh.” Enoh berusaha membujuk ayahnya yang berkeras hati. ”Motornya kan dipake Bang Juned buat ngojek, nah dia kasih makan anak istrinya gimana kalo enggak ada motor?” ”Kalo dia mikir anak-bini, kagak bakalan dia ikut trek-trekan gitu. Lagian gue kan kagak mau anak gue jadi tukang ojek. Gue udah pasrahin itu kandang buat die. Cita-cita gue juga pengennye itu kandang sesapi-sapinye, sesusu-susunye, sekaleng-kaleng susunye buat die semua! Tapi dienye milih ngojek ketimbang ngurus sapi. Ya udah! Bukan salah gue. Gue juga masih bisa ngurus kandang sendiri!” mendengar Babeh berpanjang lebar dengan tegas, Enoh tahu tak ada yang bisa dilakukannya. Memang sebetulnya dua abangnya keterlaluan, pikir Enoh. Tapi bagaimana pun mereka adalah kakak kandungnya. Setelah keputusan bulat dan keras itu Haji Jaelani praktis berlaku seolah-olah tidak peduli kepada kedua putranya. Ya, memang dirinya tetap membayar cicilan per bulan dua buah motor bebek, meski yang satu sudah raib. Ia juga tidak menanyakan kabar atau apapun mengenai Juned. Japri pernah sekali datang ke rumah, disuruh abangnya untuk menanyakan apakah Haji Jaelani sudah berubah pikiran. Dalam pikiran Juned, Haji Jaelani hanya marah sejenak seperti kemarin-kemarin, dan http://facebook.com/indonesiapustaka


202 sejenak akan baik. Tetapi menemui pun Haji Jaelani tak sudi. Salomah yang menemui Japri untuk bicara baik-baik. Sementara Haji Jaelani dari dalam kamar teriak-teriak seperti anak kecil, ”Mah… tamunya udah pergi belon? Gua lapar nih… lu siapin nasi gua ngapa!” Siapa pun yang bertamu tentu menjadi sungkan jika si empunya rumah berteriak semacam ini. Japri meminta diri, sambil matanya betul-betul terbuka bahwa ayahnya tak akan mau menebus motor milik abangnya. Kiranya Haji Jaelani betul-betul ingin memberi pelajaran pada anaknya. http://facebook.com/indonesiapustaka


203 7 ”S auuuuur…. Sauuuur…. Bu, bangun Bu! Saur! Saur! Jangan sampe kesiangan. Siapin nasinya, panasin sayurnya. Bangun Bu!” demikian setiap jam setengah tiga pagi petugas masjid berkoar-koar di bulan Ramadhan membangunkan untuk sahur. Juleha tidak pernah tak bangun. Mesjid itu jaraknya dekat dengan rumahnya, membuat suara di loud speaker itu mencorong langsung ke telinganya. Ia segera mencuci muka, lalu melakukan seperti yang petugas masjid suruh; menyiapkan nasi dan memanaskan sayur serta lauk-pauknya. Ketika selesai, dan ia pun telah bersisir rapi, baru Juleha membangunkan suaminya, Jiih. Mereka makan dengan tenang. Layaknya keluarga soleh, di hari pertama puasa ketika sahur Jiih selalu memimpin doa berpuasa di bulan Ramadhan. Dan yang dipimpin hanya satu orang, Juleha. Di kesempatan itu pula, Jiih mengingatkan bahwa bulan Ramadhan adalah waktu-waktu istijabah, yaitu waktu ketika orang berdoa banyak dikabulkan Yang Kuasa. Selain itu, Jiih selalu menekankan untuk banyak tadarus, membaca Quran terutama di malam-malam ganjil agar berkah laialutl qadar tidak terlewatkan. Ia mengingatkan banyaknya pahala yang bisa dicapai seseorang ketika bulan Ramadhan tiba, dan itu semua adalah bekal untuk akhirat. http://facebook.com/indonesiapustaka


204 Juleha tahu, Jiih berdoa untuk diberi momongan. Itu pula doa yang sama dipanjatkan Juleha di tahun-tahun sebelumnya. Ada yang bergeser pada Ramadhan kali itu; Juleha minta yang terbaik. Hanya itu. Ia tak menyebutkan secara spesiik; apakah minta harta yang banyak, atau anak, atau masuk surga. Tidak. Ia hanya ingin yang terbaik menurut Allah untuk dirinya. Jika pun itu berarti ia tak bisa punya anak. Yang Juleha tahu, suaminya tetap berdoa untuk diberi anak. Malam ketika takbiran, keluarga-keluarga di kampung-kampung masyarakat Betawi biasa memasak untuk keesokan hari; Lebaran. Sesiangan semua sudah mulai belanja, menghabiskan stok daging, ayam, bumbu-bumbu serta bahan kue di pasar. Sekitar sehabis Isya’ masakan mulai jadi. Semua keluarga selalu memasak sedikit lebih banyak untuk dibagi-bagikan ke tetangga kanan-kiri ala kadarnya. Semua saling hantar makanan, piring yang dihantar tak pernah pula pulang dengan kosong. Selalu ada sedikit makanan balasan. Entah itu sekadar tiga butir ketupat, semangkuk kecil sayur labu, beberapa potong kue pancong, atau kalau beruntung sepiring kecil rendang sapi atau opor ayam. Ketika hari yang dinanti-nanti tiba, semua orang bangun pagi dan merasa euforia. Ada kegembiraan tersendiri disunatkan makan sebelum pergi sembayang Id di lapangan. Hari itu pula, anak-anak ibarat balas dendam setelah satu bulan menahan lapar. Makanan berlimpah, dan semua menyantap dengan porsi besar. Kegembiraan tak sampai di situ, bagi anak-anak Lebaran berarti baju baru dan uang saweran yang banyak. Orang-orang dewasa yang sudah bisa mencari uang akan memberi sejumlah uang kepada anak-anak. Ini sepertinya kewajiban yang tak tertulis, sebab bagaimana pun anak-anak itu akan minta tak segansegan. http://facebook.com/indonesiapustaka


205 Hari pertama Lebaran, Juleha biasa pergi ke rumah mertuanya, lalu mengunjungi ibunya sendiri yang tinggal hanya bersama pembantu. Bapaknya, Bung Juned, meninggal dua tahun setelah pernikahan Juleha dengan Jiih. Di rumah itu pula ia dan kakak-kakaknya –Jelani dan Jarkasi- beserta seluruh keluarganya akan bertemu. Berkali-kali ia mengajak ibunya untuk tinggal bersamanya, tetapi ibunya tak mau dengan alasan tak ingin mengganggu rumah tangga anaknya. Setelah Ramadhan lalu, tahun ini bukanlah tahun yang menyenangkan untuk Juleha. Ia mendapati suaminya mengajak perempuan lain untuk dinikahi sebagai istri kedua, setelah itu ia baru mengetahui bahwa perempuan itu telah hamil dan Jiih baru mengaku sebetulnya sudah menikahi perempuan itu beberapa bulan sebelum meminta ijin Juleha. Juleha mendapat telepon dari pembantu ibunya, bahwa perempuan tua itu sudah seminggu terbaring lemah. Juleha bergegas mengunjungi ibunya, dan mendapatinya sedang du- duk di belakang rumah. Memandangi empang dari kejauhan sambil mengelus-elus seekor kucingnya, kucing kesayangan yang diberi nama Nyasar. Sementara tiga ekor kucing lainnya melungker di sekitar kakinya sambil sesekali mengibas-ibaskan ekornya. ”Mak?” sapa Juleha. ”Eh, elu Ha.” Juleha mencium tangan ibunya, juga pipi kempot perempuan tua itu. ”Ngapain lu ke mari? Lakilu mane?” ”Enggak ikut, Mak. Emak sakit?” ”Siape yang ngomong?” http://facebook.com/indonesiapustaka


206 ”Itu, Yu Rebi,” Juleha melirik ke arah pembantu ibunya yang sedang menyapu. ”Yu Rebi lu dengerin. Emak sehat-sehat aje. Nih lu liat kendiri!” Juleha tersenyum. Hari itu ia menunggui ibunya, membuatkannya makan siang dan menyuapinya. Dan ibunya mengingatkan pada Juleha untuk sekalian membuatkan makanan untuk kucing-kucingnya. Perempuan itu tak tahu pasti ada berapa ekor kucing yang dipeliharanya. Mereka terus saja berdatangan, semakin banyak, pergi dan datang sesukanya. Namun ada satu kucing yang berwajah jelek yang setia menemani ibunya, itu adalah kucing pertama yang datang ke rumah itu. Kucing itu diberi nama Nyasar, karena perempuan tua itu menduga kucing itu datang pertama kali ke rumahnya akibat nyasar. Untuk kesekian kalinya Juleha mengajak ibunya untuk tinggal bersamanya. Tetapi perempuan yang bernama Ipah itu tak mau, ia tak ingin meninggalkan rumah tak terurus. ”Kan ada Yu Rebi yang bersih-bersih.” Juleha mengingatkan. ”Yu Rebi itu harus dikomando dulu, baru ngerjain macemmacem. Kalo Enyak kagak ade, siape yang kasih komando? Lagian, entar siape yang ngurus kucing-kucing aye?” Kalau persoalannya kucing, Juleha tak bisa lagi membantah. Toh telah bertahun-tahun ia memaksa ibunya untuk tinggal bersamanya dan tak pernah berhasil. Dan sejujurnya, ia tak terlalu suka kucing. Ia mau mengurus ibunya, tapi tak mau mengurus kucing-kucingnya. Tidak sejak Juleha kecil ibunya hobi memelihara kucing. Kesenangan itu mulai muncul ketika ia selesai menikahkan anaknya yang paling kecil, Juleha, dengan Jiih. Suaminya, http://facebook.com/indonesiapustaka


207 Bung Juned, semakin lama semakin lebih betah tinggal di Serang, di rumah bini ke duanya. Apalagi setelah anak terakhir mereka menikah. Seakan-akan Bung Juned sudah tidak punya tanggungan lagi di rumah bini pertamanya. Tak sampai satu tahun Juleha menikah, seekor kucing kampung datang mendekati Ipah. Ketika itu ia tengah menunggu suaminya pulang, seperti kemarin-kemarin. Tetapi laki-laki itu tak kunjung datang; ia tak pernah memberitahu Ipah kapan bakal kembali, dan berapa lama ia akan di Serang. Toh setiap hari, selayaknya bakti setia seorang istri, Ipah menyiapkan makanan untuk dua orang. Ketika itu sudah menjelang Magrib, dan ia tahu betul… hari itu suaminya tak akan datang. Hanya satu yang di pikirannya; betapa sia-sianya masakan yang telah ia buat. Ia selalu membuang makanan-makanan itu, kalau tidak pusing-pusing mencari pengemis lewat untuk diberikan. Ya, hanya itu. Ia tak punya lagi rasa amarah atau sedih pada suaminya. Perasaan macam itu sudah habis bertahun-tahun lalu, ketika laki-lakinya membawa pulang seorang anak kecil yang merupakan anak dari bini kedua suaminya. Ketika ia memandangi jalan depan rumahnya, berharap laki-lakinya muncul untuk menghabiskan makanan yang telah ia siapkan, suara meong-meong mengganggunya. Seekor kucing kurus dengan bulu abu-abu belang yang entah datang dari mana sudah ada di kakinya, memandangi wajah Ipah sambil mengeong tak henti-henti. Ipah sebetulnya tak terlalu menyukai kucing, ia merasa jika menyentuh tubuh kucing rasanya lembek. Lagipula, kucing itu binatang yang licik, ia mencuri makanan di meja, atau ikan di akuarium, atau burung di dalam sangkar, atau hamster peliharaan musiman, jika si empunya rumah sedang lengah. Tapi entah kenapa sore itu ia merasa ingin beramah-tamah pada kucing nyasar itu. http://facebook.com/indonesiapustaka


208 ”He… kamu nyasar ya?” sapa Ipah waktu itu, disambung dengan meong-meong lagi. Ipah langsung masuk ke rumahnya, mengambil makanan jatah untuk suaminya dan diberikannya pada kucing itu. Hantinya lega, masakannya tak sia-sia. Keesokannya, siang setelah Ipah selesai memasak (sekali lagi masak untuk dua orang), ia kembali mendengar suara yang mengeong-ngeong. Ipah menuju ke pintu depan, didapati kucing itu lagi. ”Kamu nyasar lagi?” sapa Ipah. Toh ia tahu, laki-lakinya tak akan datang lagi hari itu. Dan aroma ikan kuek yang baru selesai digorengnya memang harum membanjiri ruangan, membuat siapa pun yang mencium pasti akan lapar. Tak terkecuali kucing nyasar itu. Ipah cepat-cepat mengambil piring plastik, mengisinya dengan ikan kuek yang dihancurkan bersama nasi hangat. Si kucing nyasar makan dengan lahapnya. Setelah kenyang, kucing itu pergi, dan menjelang magrib kembali ia datang sambil mengeong untuk minta makan. Kucing itu adalah kucing paling santun yang pernah dikenal Ipah, ia tak pernah masuk ke rumah. Apalagi mencuri, sama sekali tak pernah dilakukannya. Selalu di depan pintu masuk, ia juga menghabiskan makanannya di depan pintu masuk. Suatu hari, Bung Juned datang. Ini berarti ia memakan makanan buatan Ipah yang memang sudah disediakan. Toh, Ipah masih ingat dengan kucing nyasar itu. Ia menyisihkan sedikit makanan untuk binatang tersebut. Ditunggunya hingga selesai Isya, kucing itu tak juga datang. Ipah meninggalkan jatah makanan kucing itu di depan rumahnya. Hingga pagi, didapatinya makanan itu masih utuh. Menjelang siang, Ipah mengganti makanan jatah kucing yang sudah basi dengan yang http://facebook.com/indonesiapustaka


209 baru, kembali ia letakkan di depan pintu. Kucing nyasar itu tak juga datang. Ketika Ipah mendengar suara mengeong-ngeong, ia segera ke depan. Dilihanya dua ekor kucing menyerbu jatah si kucing nyasar. Mereka hendak berkelahi memperebutkan makanan itu. Ipah, dengan kesal mengambil segayung air dari kamar mandi, dan menyiram ke arah kucing-kucing yang bulubulunya mulai berdiri karena bersitegang. Membuat dua ekor kucing itu lari tunggang-langgang dengan ngeongan ketakutan yang tercekik dan menghilang di udara. Kucing-kucing itu bukanlah si kucing nyasar yang ditunggunya. ”Pah, ngapain lu naro-naro makanan di situ? Entar kalo kucing-kucingnya pada masup rumah, pegimane?” komentar Bung Juned, Ipah diam saja. Lalu mengambil piring si kucing nyasar yang makanannya tinggal separo dan berantakan. Dua hari Bung Juned tinggal di rumah, dua hari pula si kucing nyasar tidak datang. Hari ketiga, Bung Juned pergi ke rumah bini kedua. Sorenya, kucing nyasar datang mengambil jatah makanannya. ”Kok kemaren gak dateng?” tanya Ipah, sembari jongkok melihat kucing itu makan dari piring plastik. Tentu saja kucing itu cuma bisa mengeong. ”Lu kucing nyasar dari mane?” tanya Ipah lagi, kali ini ia mencoba mengelus-elus leher kucing. Lembek, pikirnya. Ia merasa sedikit merinding menyentuhnya, namun ia kembali mengelus-elus kucing itu. Tak terlalu buruk, makhluk itu tak menggigit atau mencakarnya, pikir Ipah. Dan kucing itu kembali mengeong kecil sambil terus menghabiskan jatah makanannya. Lama-kelamaan, Ipah memanggilnya ’Nyasar’, karena sampai ia tak pernah tahu dari mana kucing itu datang. Atau mungkin karena ia terlalu malas mencari nama yang pantas untuk seekor http://facebook.com/indonesiapustaka


210 kucing kampung yang jelek. Dan Ipah semakin memperhatikan, bahwa setiap kali Bung Juned ada di rumah, Nyasar tak pernah datang. Ipah memperbolehkan Nyasar masuk ke rumah. Ditemaninya perempuan itu ketika nonton televisi, atau dudukduduk di belakang sembari melihat empang. Bahkan ketika ia masak, dan Nyasar –seperti seorang yang gentleman- tak pernah mencuri masakan Ipah. Kucing-kucing lain, yang tahu ada seorang ibu-ibu baik hati mau memberi makan kucing, tentu saja mulai berdatangan. Ipah tak keberatan memberi kucing-kucing itu makanan. Ia tak memberi nama bagi kucing-kucing itu, dan ia tak memperbolehkan kucing-kucing lain masuk ke rumahnya selain Nyasar. Ketika Bung Juned sakit, dan cukup lama lelaki itu tinggal di rumah yang ditempati Ipah, Nyasar sama sekali tak pernah datang. Jika lelaki itu pindah ke rumah istri ke duanya, kembali Nyasar datang lagi. Ketika Bung Juned sakit cukup parah, dan telah hampir satu bulan Ipah menjaga suaminya setelah lakilaki itu memaksa pulang dari rumah sakit, tiba-tiba seorang perempuan dengan dua orang anak laki-laki dan perempuan yang masih remaja, muncul di depan pintu rumah Ipah. Ketika itu, anak-anak Ipah dan Bung Juned; Jaelani, Jarkasi, Juleha dan masing-masing dengan istri serta suaminya, juga telah datang berkumpul. Tetangga-tetangga pun ada yang berkumpul di situ, menengok Bung Juned. Semua mata memandangi perempuan dan dua anaknya itu, yang langsung mendekati Bung Juned. Perempuan itu memandang sinis pada Ipah, lalu ia berbisik pada Bung Juned, ”Bang, Abang pulang aje yuk…. Biar aye bisa urus Abang di rumah.” ”Ini juga rumah die!” sahut Ipah dengan tegas, malah bisa dibilang setengah berteriak. Membuat semua yang ada di situ http://facebook.com/indonesiapustaka


211 tersedot perhatiannya pada dua perempuan yang tak bisa dibilang muda itu. ”Saye bininya, punya hak ngurus Bang Juned!” sahut perempuan itu. ”Gue lebih-lebih lagi, punya hak ngurus die. Elu itu cuma dateng belakangan!” sahut Ipah. Perempuan itu seumur-umur tak pernah marah, baru kali itulah ia membentak-bentak. Bahkan anak-anaknya pun terkejut dibuatnya. Sementara Bung Juned membuka mulut, tanpa ada kata-kata jelas yang keluar dari mulutnya. Tapi semua orang yang hadir tahu, Bung Juned meminta keduanya untuk tidak berkelahi. Kelima anak-anak Bung Juned; tiga orang dari Ipah dan dua orang dari bini ke duanya, mendekati Bung Juned. Jarkasi mendekatkan telinganya ke mulut bapaknya. ”Katenye… Serang,” ujar Jarkasi dengan kecewa. Perempuan itu tersenyum menang. Ia menyuruh dua anaknya untuk membantu mengangkat Bung Juned. Jiih, Jarkasi dan Jaelani juga membantu mengangkat Bung Juneh ke dalam mobil. Tiba-tiba Bung Juned berkata bersuara kembali, jelas dan parau, ”Pah… Pah…!” sahutnya. Ia memanggil Ipah yang mulai terpuruk sedih. Istri keduanya berusaha menenangkan, menyuruh Bung Juned diam. Tetapi Bung Juned tetap berkata, ”Pah… Pah…!” Ipah cepat-cepat menghampiri suaminya. Mendekatkan telinganya ke mulut suaminya. Tangan lelaki itu menarik wajah Ipah, dan mencium pipinya, membuat istri keduanya menahan napas di dada dengan tatapan kesal. Lalu cepat-cepat menyuruh semua yang membantu Bung Juned memasukkan lelaki itu ke dalam mobil. Perempuan itu menyuruh anaknya cepat-cepat tancap gas. Bahkan pamitan pun tidak. http://facebook.com/indonesiapustaka


212 Ipah, yang ditinggal, mencoba mengingat-ingat kapan terakhir kali suaminya mencium pipinya. Tapi tak berhasil diingatnya, sementara hangat bekas bibir dan aroma sakit laki-lakinya masih tersisa di wajahnya. Ia menangis tertahan, suaranya tak keluar dan tubuhnya seraya lemas. Perempuan itu jatuh terduduk di depan rumahnya. Para tetangga melihatnya, beberapa ibu-ibu tetangga ada yang tak sadar ikut menangis melihat pemandangan barusan. Anak-anaknya lantas mencoba membantu ibunya duduk di kursi depan. ”Istighfar Nyak, istighfar…” hanya itu kata-kata yang berulang-ulang diucapkan anak-anaknya. Tiba-tiba kakinya merasakan benda lembek, Ipah terkaget, ia menengok ke bawah. Nyasar, si kucing, berputar-putar di kaki tua perempuan itu. Kucing itu datang, tepat ketika lelakinya pergi. Entah bagaimana, saat itu juga Ipah tiba-tiba merasa lega. Tak lama setelah itu, Bung Juned minta dibawa ke rumah Ipah. Ketika dalam perawatannya, Bung Juned meninggal. Tak bisa dibayangkan betapa leganya hati Ipah, suaminya meninggal ketika dalam perawatannya, dan bukan bini ke duanya. Ini adalah cita-cita luhurnya setelah menikahkan ketiga anaknya sudah terlaksana. Segera setelah Bung Juned selesai meregang nyawa, Ipah menyuruh anaknya untuk menelepon bini kedua Bung Juned. ”Enyak, apa-apaan sih, ngapain pake telepon tuh perempuan?!” protes Juleha waktu itu. ”Mau gimana-gimana juga mereka punya hak, Ha. Di sana kan ada anak-anaknya juga,” ucap Ipah. Perempuan ke dua Bung Juned awalnya merengek meminta suaminya dikubur di Serang, ia menangis histeris di telepon. Minta segera lelakinya dikirim dengan ambulance. Jaelani yang http://facebook.com/indonesiapustaka


213 awalnya berbicara di telepon bingung harus bicara apa. Ia lalu mendiskusikannya dengan Jarkasi dan Juleha yang ada di sebelahnya. Juleha langsung menyambar teleponnya dan mempertegas, ”heh, orang mati hukumnya wajib cepet-cepet diurus. Kalau mau dateng syukur, enggak juga syukur!” lalu telepon ia putus dengan kesal. Juleha berlalu sambil bersungut-sungut, membuat kedua kakaknya terkagum-kagum dengan Juleha yang ternyata juga bisa galak. Akhirnya perempuan itu datang ketika hari sudah turun gelap sempurna. Matanya bengkak, hidungnya kemerahan. Wajahnya suram tanpa make-up, dan ia berusaha menutupi dengan kerudung hitam yang menyampir menutupi hampir seluruh jidatnya. Betapa ia menyesali tak tiba sejak awal sehingga tak bisa memandikan suaminya untuk yang terakhir kali. Nyasar datang ketika Bung Juned selesai dimandikan, kucing itu langsung masuk mendekati Ipah. Ipah menyuruhnya menunggu di luar, sebab rumahnya akan dipakai untuk salat mayat. Keesokan harinya, pagi-pagi, ketika embun masih basah di ranting-ranting, Bung Juned dikuburkan. Sejak itu pula Nyasar punya rumah tetap. Ia tak pergi-pergi lagi. Itulah kisah Ipah dan kucing-kucingnya. Juleha datang ke rumah ibunya, membujuk perempuan tua itu untuk ikut tinggal di rumahnya, jauh setelah kematian ayahnya. ”Nyak… Eha punya cita-cita, ngurus Enyak. Kayak Enyak dulu punya cita-cita ngurus Babeh,” bujuk Juleha. ”Elu masih punya laki yang wajib lu urus. Masa lu kagak tau, kalo perempuan udah rumah tangge, yang nomor satu itu lakinye. Bukan orangtuanye! Itu kata igame, Ha.” Juleha menghela napas. Ia tak bisa memaksa ibunya. http://facebook.com/indonesiapustaka


214 ”Nah, sekarang lu pulang gih deh. Kalo laki lu mau makan pegimane, kagak ade yang ngelayanin,” suruh Ipah pada putrinya. Sudah di ujung lidah, keinginannya memberitahu bahwa jika pun Jiih tak pulang, di luar sana ada perempuan lain yang bisa melayaninya untuk makan. Ia menahan keinginan itu dan menuruti perintah ibunya; pulang, meski tak ada laki-laki untuk ia layani. Lalu Ramadhan datang. Ramadhan pertama yang ia lewati dengan tanpa sepenuhnya berbuka atau sahur dengan suaminya. Laki-laki itu berusaha untuk ’adil’. Ia datang dan pergi dari satu rumah ke rumah lainnya. Membagi-bagi ’keadilan’ pada istri-istrinya. Jika perempuan lain, mungkin di waktu-waktu istijabah ini akan berdoa agar suaminya dikembalikan ke pangkuannya. Berbeda dengan Juleha. Seperti tahun lalu, ia tetap berdoa diberikan yang terbaik untuk dirinya. Meski itu berarti perceraian sekali pun. Selama bulan Ramadhan ini, Bang Jiih senantiasa berusaha berselang-seling tiap hari menunggui istri-istrinya. Dan ini membuat Juleha terganggu. Sejujurnya, ia merasa lebih suka laki-laki itu seminggu di rumahnya, dan seminggu di rumah keduanya. Dengan sistem pembagian hari seperti sekarang ini, Juleha merasa laki-laki itu selalu diburu-buru untuk cepat-cepat menemui bininya yang bunting itu. Selain itu, Juleha tak punya waktu yang cukup untuk melayani ketika lelakinya di rumah, maupun waktu untuk bersantai ketika lelakinya pergi. Ini betulbetul mengganggu Juleha. Belum lagi pandangan tetangga melihat laki-laki itu pergi dan datang sesuka kentutnya. Seminggu menjelang Lebaran, Juleha mulai merasa gelisah. Apakah Lebaran ini laki-laki itu akan di rumahnya, atau di rumah istri keduanya? Sejujurnya, untuk yang satu ini Juleha merasa berhak http://facebook.com/indonesiapustaka


215 mendapatkan Bang Jiih sepenuhnya, dua hari berturut-turut pada hari Lebaran, sebab ia adalah istri pertama. Lebih dari itu, apa kata kakak-kakak dan ibunya jika ia datang silaturahmi sendirian pada hari Lebaran? Juleha belum sanggup menahan malu pada keluarganya. Ia memutuskan untuk membicarakan ini pada suaminya. Ketika itu waktu buka puasa, dan Bang Jiih ada di rumah. Mereka makan dengan dingin meskipun nasi yang ada di meja makan hangat mengepul-ngepul. Tepat saat Juleha bersiap-siap akan membicarakan hal ini, Bang Jiih berbicara, ”Ha….” bersamaan dengan Juleha yang berkata, ”Bang….” lalu mereka pandang-pandangan. Suasana kembali dingin. ”Lu duluan,” ujar Jiih. ”Enggak, Abang duluan aje. Kenape?” tanya Juleha. ”Ehm…,” Jiih ragu, lalu melanjutkan, ”entar Lebaran gue di rumah sono ye. Kesian, dia lagi hamil.” Saat itu juga Juleha tak lapar lagi. Ia merasa disambar petir, kemarahannya tiba-tiba memuncak. ”Bang! Terus saye musti ngomong ape sama Enyak? Same Bang Lani, Bang Kasi? Entar kalo pada nanyain Abang, saye musti bilang ape?” nada suaranya meninggi. ”Ye…, bilang… ape kek. Bilang Abang lagi ceramah di mana gitu,” Jiih menjawab ragu, ia sendiri bingung. ”Ape? Abang lagi pergi ceramah ke Ujung Kulon?! Gitu? Bohong dosa, Bang. Orang yang nyuruh bohong, lebih dosa lagi!” sahut Juleha kesal, mengulang salah satu kalimat ceramah suaminya. ”Aye malu, Bang! Suruh ditaroh di mane ni muka?! Gini deh, Abang hari kedua di sini deh. Terserah hari pertama mau ngapain juga. Cari bini lagi yang ketiga juga boleh!” bentak Juleha. http://facebook.com/indonesiapustaka


216 ”Leha! Lu kok ngomong kasar banget?!” Jiih tak kalah membentak, mengingatkan istrinya bahwa ia masih laki-laki pemimpin rumah itu, namun kelihatannya Juleha sudah kalap. ”Bodo!” Juleha beranjak. Jiih menahan tangannya, dirasakan genggaman lelaki itu keras di pergelangannya, membuat Juleha sedikit kesakitan. Kedua mata Jiih membelok, memandang tajam wajah Juleha, menunjukkan kekuasaannya. Juleha melawan pandangan itu dengan tatapan kebencian dan marah yang meluapluap. Sekitar lima detik mereka saling menatap dengan geram. Lalu Jiih berkedip, ia melonggarkan genggamannya. Melepas perempuan itu. Tak pernah…, tak pernah seumur-umur ia mengenal perempuan itu melihat mata itu. Ternyata Juleha menyimpan tatapan kebencian yang amat sangat, dan Jiih yang telah menggalinya. Ia sadar betul itu. Hari pertama Lebaran, Juleha mengunjungi mertuanya. Ia sendirian. Di sana, bapak-ibu mertuanya menyuruhnya sabar menghadapi Jiih. Mereka sudah tahu Jiih menikah lagi, kendati mereka tak setuju. Tak seperti Lebaran tahun-tahun sebelumnya, kali itu Juleha hanya di situ selama lima belas menit. Ia pamit dengan alasan ia harus menunggu rumah, kalau-kalau ada tamu. Dan mertuanya tahu itu alasan yang ia buat-buat. Bahkan pada Lebaran hari pertama pun Bang Jiih tak datang ke rumah orangtuanya. Ia pasti di rumah orangtua bini keduanya. Juleha pulang, ia mencarter taksi dan menyuruhnya kelilingkeliling Jakarta sejenak. Ini adalah saat yang tepat untuk keliling kota sebab tak banyak mobil ketika Lebaran. Warga Jakarta yang sejatinya adalah pendatang, pulang ke kampungnya sen- http://facebook.com/indonesiapustaka


217 diri-sendiri yang jauh dari Jakarta. Entah berapa lama ia telah melewatkan perkembangan kota itu. Agak aneh rasanya, menjadi orang aseli Jakarta tapi tak pernah benar-benar tahu perkembangan kota ini. Gedung-gedung baru berdiri di sanasini, ia tak heran. Ia hanya merasa nihil di antara bangunanbangunan yang menjulang. Betapa kecil dirinya, pikir Juleha. Monas tidak lagi jadi yang paling tinggi di Jakarta. Ia teringat pernah ke Monas ketika masa SMP, waktu itu ada study-tour. Ia dan teman-teman sekelasnya ke Monas, lewat lorong bawah gadis-gadis berseragam putih-biru itu dengan semangat berjalan iring-iringan sementara guru yang mengawasi sesekali berteriak agar anak-anak tidak terpencar. Lebaran adalah harinya warga Betawi. Ini adalah saat orangorang aseli Betawi keluar dari sarangnya. Di sana-sini ia bisa melihat mobil carteran yang lewat membawa penuh sebuah keluarga, mengharuskan mereka duduk berhimpit-himpitan. Ini adalah momen yang tepat untuk bersilaturahmi, dan momen yang buruk untuk menyendiri. Namun kenyataannya, itulah yang Juleha lakukan. Sopir taksi bertanya, akan ke mana lagi mereka. Juleha tak punya tujuan lain, jadi ia menyuruh pak supir mengantarkannya pulang. Hari kedua Lebaran, pagi-pagi benar Juleha bangun. Ada opor ayam yang nyaris tak tersentuh di meja makan. Beberapa anak kecil lewat dan menyalaminya sambil mengucap ’minal aidin wal faidzin’ padanya, lalu meminta uang jatah. Juleha memberinya tanpa keberatan. Perempuan itu dengan semangat menunggu lelakinya. Ia yakin Bang Jiih akan datang. Jam di dinding menunjukkan pukul dua belas, tapi lelaki yang ditunggunya tak juga datang. Juleha tetap menunggu. Tiba-tiba telepon http://facebook.com/indonesiapustaka


218 rumahnya berdering, ia bergegas mengangkat. Ia yakin betul itu Bang Jiih. ”Bang, jam berapa datengnya? Cepetan, entar kesorean! Ditunggu di rumah Enyak!” cerocosnya, bahkan tanpa mengucap salam. ”Ha? Lu ngomong ame siape?” sahut orang di telepon seberang. ”Bang Jiih?” tanya Juhela memastikan. ”Jiih? Ini gue, Bang Lani! Lu di mane? Ini udah pade ngumpul di rumah Enyak. Lu mau dateng kagak?” tanya Bang Lani. ”Eh… Bang Lani. Kirain…” ”Kirain siape? Jiih? Emang laki lu ke mane?” tanya Jaelani tanpa curiga. Juleha diam, ia tak bisa menjawab. Diam tiga detik terlalu lama. ”Ha?” tanya Jaelani lagi, ”laki lu ke mane?” Lalu samar-samar Jaelani bisa mendengar suara tangis yang tertahan. ”Masyaallah Ha… lu nangis?” Juleha tetap tak menjawab. Telepon dioper ke Salomah, perempuan itu mencoba menenangkan Juleha. Sekali lagi Salomah bertanya, apakah Juleha akan datang? Atau ia saja yang datang ke rumah Juleha. Setelah berpikir sejenak, Juleha memutuskan untuk datang ke rumah ibunya, seperti Lebaran yang sudah-sudah. Ia tak akan membiarkan suasana Lebaran yang disukainya rusak hanya karena suaminya tak pulang. Itu adalah kali pertama Juleha membuka rahasia keluarganya; suaminya punya istri lagi. Ketika Juleha tiba di rumah, lelakinya belum ada. Atau mungkin tadi datang, tapi ia tak di rumah maka Jiih pergi lagi? Ia tak tahu, dan tak terlalu ingin ambil pusing. http://facebook.com/indonesiapustaka


219 Ketika ia sudah sembahyang Isya, didengarnya suara salam dari luar. Ia kenal itu suara suaminya. Juleha membuka pintu, mencium tangan laki-laki itu. ”Minal aidin wal faidzin, maap lahir batin,” ucapnya singkat. Bahkan Jiih pun lupa, bahwa mereka belum bersilaturahmi. Ia langsung membalas dengan ucapan yang sama pada istrinya, tanpa benar-benar ada harapan untuk Juleha untuk memaafkannya. ”Kok, dateng?” ”Kan gue udah iyain, bakalan dateng hari kedua.” ”Bang, kalo udah tinggal merem mending enggak usah dateng sekalian aje. Aye butuhnya tadi siang-siang waktu pada kumpul di rumah Enyak,” sahut Juleha dengan cuek. Jiih diam, ia sadar kesalahannya, ”Abang udah minta maap sama EnyakBabeh belum?” tanya Juleha lagi, mengingatkan lelakinya akan silaturahmi pada orangtua kandungnya. ”Belum sempet,” ucapnya singkat. Ada nada penyesalan di suaranya. Sudah kuduga, ujar Juleha dalam hati. Hanya dalam hati. ”Aye siapin makan, mau? Atau Abang udah kenyang?” tanya Juleha sinis, pertanyaan sindiran. Sejatinya ia sudah kenyang, tetapi ia tahu jika ia menjawab tidak maka akan terlalu kentara bahwa akhir-akhir ini ia lebih banyak dengan istri barunya, bahkan makan sekalipun saat sebetulnya hari itu adalah giliran istri pertamanya. ”Iya, makan,” jawab Jiih. Mereka menuju ke meja makan. Menu Lebaran tersedia di situ. Lengkap dengan potongan ketupat yang sudah disiapkan Juleha. ”Lu enggak makan Ha?” tanya Jiih melihat istrinya hanya menemani. http://facebook.com/indonesiapustaka


220 ”Udah kenyang, tadi makan di rumah Enyak. Makan emang lebih enak kalo lagi rame-rame,” sekali lagi Juleha menyindir. ”Lu… ke rumah Enyak?” ”Iye.” ”Terus?” ”Terus…, ya kumpul-kumpul. Ngasih saweran buat ponakan,” lapor Juleha acuh tak acuh. ”Maksud gue, lu bilang gue lagi ngasih ceramah?” ”Enggak.” ”Terus?” ”Aye bilang Abang di rumah bini baru.” Deg! Jiih merasa disengat listrik. Yang dipikirannya cuma satu, kini ia tak terlihat sempurna lagi di antara keluarga besar istrinya. Juleha tahu betul hal ini, dan semua itu membuatnya muak. Anehnya, hal ini baru betul-betul disadarinya setelah suaminya menikah lagi. Maka Juleha sengaja berbuat begitu. Jiih hanya bisa menahan napas, sesekali dipandanginya Juleha sambil mengaduk-aduk ketupat sayur di piringnya. Ia tahu, jika pun dirinya sekarang murka pada Juleha karena tak melakukan hal yang dipintanya, Juleha tak akan pantang mundur. Perempuan di hadapannya memandanginya dengan tajam dan teduh. Pandangan siap perang. http://facebook.com/indonesiapustaka


221 8 [Haji Jaelani:] Saya sudah capek ngurus dua anak songong dan tidak tahu diuntung itu. Sekarang, terserah Japri sama Juned maunya gimana. Saya sudah pasrah saja. ”Bang, Japri ama Juned ngirim ini nih.” Istri saya, Salomah, mengangkat berenteng-renteng petai kesukaan saya. Dua anak kurangajar itu tahu, saya hobi makan petai disemur. ”Nyogok! Haram! Balikin!” semprot saya, membuat Salomah melirik sinis pada saya. ”Abang…, pegimane balikinnye?! Masa Abang tega, ngeliat saye jauh-jauh pergi ke rumahnya Japri naek mikrolet bawa pete, cuma mau balikin doang! Orang bisa kebauan, tauk! Bisa-bisa aye yang digebugin orang semikrolet!” Salomah protes. Saya tak menyalahkannya, yang diomongkan betul juga. Jadi saya lebih memilih diam. ”Mau aye semur aje!” sambung Salomah acuh tak acuh. Dia segera membawa rentengan petai itu ke dapur. Huh, tak akan saya sentuh! Sumpah! Saya tak akan memakan petai itu! Cibir saya dalam hati. Fauzan keluar dari kamarnya, membawa gulungan kertas karton dan cat hitam. Dia membawanya ke teras depan, menarik perhatian saya. Saya intip sejenak. Perasaan kemarin http://facebook.com/indonesiapustaka


222 ploncoannya sudah selesai, kok masih sibuk bawa-bawa kertaskertas gitu segala? Apa ada tugas kuliah? ”Ngapain Jan?” Dia sedang menuliskan sesuatu di kartonnya, serius sekali dengan pekerjaannya. ”Ini Beh, mau demo.” ”Demo?” ”Iya, demo ama temen-temen kampus. Liat nih, bagus enggak Beh?” Fauzan menunjukkan hasi goresan catnya. Terbaca tulisan besar-besar; ’PORKAS MENYENGSARAKAN RAKYAT’, dan di kertas lain tertulis, ’BUBARKAN PORKAS’. ”Ngapain lu ikut-ikutan demo segala? Entar kalo ade apeape pegimane?” saya khawatir. ”Tenang Beh, ini demo damai kok. Lagipula, sebagai rakyat kita berhak mengutarakan suara kita Beh!” jawab Fauzan. Nih anak, belum ada setahun jadi mahasiswa ngomongnya udah pakai kata-kata yang susah. Biarin deh, berarti kan tambah pinter. Tidak percumah saya menyekolahkan tinggi-tinggi. Fauzan menjemur kertas-kertas itu di pekarangan. Membiarkan sinar matahari mengeringkan catnya. Hari belum lagi beranjak Magrib. Waktu Azhar baru masuk, dan perut saya sudah kenyang makan siang setelah selesai salat Dzuhur tadi. Saya mulai ngantuk-ngantuk, sambil tiduran di sofa tamu sambil kipas-kipas dengan kipas sate kesayangan saya, saat tiba-tiba ada aroma melayang-layang di udara dan memaksa saya untuk buka mata. Ini… ini… bau semur petai! Kkkkrrrrk…. Tiba-tiba perut saya bunyi, cacing-cacing yang tinggal di dalamnya kelihatannya protes minta makan. Ya ampun, ini pasti petai dari Japri dan Juned tadi! Salomah, dasar iseng… sengaja masak sore-sore begini cuma buat menggoda saya. Saya jadi tak ngantuk, dan memutuskan untuk beranjak http://facebook.com/indonesiapustaka


223 ke meja makan. Alamak! Ada nasi panas pula, baru matang diangkat dari dandang. Asap mengepul-ngepul di atas meja makan, menghiasi nasi pulen dan semur petai yang baru jadi. Tak lama, Salomah muncul dari dapur, membawa semangkok sayur bayam, yang juga masih panas dan sepiring kecil ikan asin yang digoreng garing. Sialan! Ini semua makanan kesukaan saya. Saya memandangi Salomah dengan sebal, dia senyamsenyum penuh kemenangan. ”Sambel terasinya bentar lagi, masih baru mau saya ulek,” ujarnya menginformasikan tanpa saya tanya. Lengkap sudah… semua masakan yang ada di sini memang cocok satu sama lain. Dari kamarnya Fauzan muncul. ”Waah… baunya enak banget!” komentarnya dengan semangat, langsung menuju meja makan. ”Jadi laper,” sambung Fauzan. ”Makan gih deh. Entar malem kalo pada mau makan, ya makan aje lagi. Entar Enyak masakin lagi,” ujar Salomah pada Fauzan, tapi ujung matanya melirik kepada saya. Ia memang tak biasa masak sekitar jam tiga sore. Terlalu awal untuk makan malam, dan terlalu sore untuk makan siang. Sial, dia benarbenar masak lengkap hanya untuk menggoda saya. Salomah menuju dapur lagi. Saya bengong melihat Fauzan yang langsung menyendok nasi dengan semangat. ”Makan Beh!” Tak lama, Salomah kembali ke meja makan dengan sambal terasi telah halus diulek. Dia bawa bersama cobek-cobeknya. Ah…, saya paling suka makan sambal langsung colek dari cobeknya. Air liur saya tiba-tiba menggenang, dan tak kuasa saya menelannya. Melihat Fauzan yang makan sangat lahap. Salomah lalu duduk di kursi sebelah Fauzan, dia juga langsung http://facebook.com/indonesiapustaka


224 menyendok nasinya dengan semangat. Dua manusia ini makan dengan rakusnya. ”Abang enggak makan?” tanya Salomah dengan mulut penuh. Aroma semur petai harum tajam di udara. ”Enak lho Beh,” sambung Fauzan. Combro! Udah tahu kalo itu enak, enggak usah ngomong, batin saya. Saya menyerah, lalu duduk di kursi makan dan langsung menyendok nasi dan semur petai banyak-banyak, juga bayam dan sedikit kuahnya hanya untuk membasahi nasi, juga beberapa potong ikan asin, dan satu sendok sambal terasi. Surga…. Tak sampai sepuluh menit kemudian: ”Ghooooik!” suara itu keluar dari kerongkongan saya. Puas…, saya kekenyangan. Fauzan mengeluarkan bunyi yang sama, lalu mengelus-elus perutnya yang membuncit. Salomah mencongkel-congkel sela-sela giginya dengan tusuk gigi. Mencari apa yang masih tersisa, lalu melepihkan kalau tidak menggigit-gigit kembali makanan yang menyelip itu. Kami tak bicara. Salomah senyum-senyum pada saya dan Fauzan. Ia merasa menang. Ya, saya tahu itu. Saya sudah tergoda dan melanggar sumpah anti-petai saya sendiri. Saya tahu, tidur menjelang senja itu tidak baik. Tapi setelah kenyang yang paling enak dilakukan adalah tidur. Apa lagi selain itu? Mengingat saya sudah lama berhenti merokok. Saya menuju kamar, menyalakan kipas angin dan membuka baju saya lalu berebah. Enak benar tidur kalau perut penuh. Dunia terasa damai…. Masalah menjauh…. Masalah apa pun itu…. Termasuk masalah dengan Japri dan Juned…. Japri, Juned…. Apa memang saya sudah kelamaan marah pada dua anak itu…? Japri, Juned…, anak-anak saya… Saya… zz-zz-zz…. http://facebook.com/indonesiapustaka


225 Petai itu memang betul-betul dahsyat. Membuat saya memaafkan dua anak sontoloyo itu. Kami makan malam dengan menu yang sama tadi sore. Dan yang luarbiasa, kami makan dengan napsu sama dengan tadi sore. Besok, Juned dan Japri pasti bakalan datang, untuk minta maaf yang kesekian kali. Hhhm…. Pagi-pagi benar Fauzan sudah pamit pergi. Dia bawa jaket almamater kuningnya di dalam tas gemblok, lengkap dengan atribut demonstrasi yang kemarin dibuatnya. Dia mencium tangan saya dan Salomah. ”Jan, jangan lupa bawa topi! Entar demo-demo kepanasan lagi,” saya mengingatkan. ”Eh, iya….” Fauzan menuju kamar sebentar dan lekas keluar dengan topi di kepalanya. Anak itu berangkat dengan semangat. Semoga jadi anak yang berguna, doa saya dalam hati. Dugaan saya terbukti. Siang terang-terang, Japri dan Juned datang. Mirip babi ngepet ketangkep, mereka takut-takut minta maaf. Saya sudah memikirkan masak-masak soal mereka berdua. Bagaimana pun saya ini bapaknya. Kalau saya terlalu lama marah pada mereka, tidak baik efeknya. Mereka tidak akan terberkati. Hidupnya yang susah bisa lebih susah lagi. Salomah saja yang biasanya keras pada dua anak itu sampai ikut-ikutan mendukung mereka dengan cara masak semur petai itu. ”Tapi gue kagak mau ngasih duit buat nebus tuh motor,” kilah saya. Japri dan Juned yang tadinya sudah cengar-cengir karena dimaafkan jadi gelisah lagi. ”Tapi Beh…, entar gimane saye bisa pergi-pergi ngecek kandang sapi?” tanya Japri, memaksakan keberuntungannya. http://facebook.com/indonesiapustaka


226 ”Maksudlu gimane lu bisa ngojek, gitu?! Kagak! Selame gue tahu tuh motor buat ngojek, kagak bakalan gue tebus. Elu mau diwarisin usaha sapi kagak serius ngurusnye. Gue yang empet, tau! Lagian, mana pernah lu ke kandang. Selame ini juga gue yang masih aje bolak-balik,” semprot saya. Mereka mengkeret lagi, tahu omelan saya ada benarnya. Pokoknya, selama mereka tidak serius mengurus sapi, saya tidak akan mau menebus motor itu. Enak saja! Ã Nah, dugaan saya benar kan. Japri dan Juned juga masih saja mangkir tidak ke kandang. Padahal apa susahnya sih, ngecek kandang? Mereka datang kalau saatnya dapat jatah bayaran. Saya lebih sering ke kandang sapi daripada mereka, saya yang urus ini-itu kalau ada masalah di kandang. Semua urusan kandang otomatis Paimin yang memimpin. Anak itu semakin hari semakin cakap soal urusan sapi perah. Saya menimbang-nimbang lagi, apa yang harus saya lakukan pada dua anak saya itu. Saya sebetulnya juga tidak tega membiarkan mereka jadi tukang ojek. Saya tidak pernah punya cita-cita membesarkan anak-anak saya jadi seperti itu, meskipun mereka dengan bodohnya menganggap jadi tukang ojek jauh lebih terhormat daripada mengurus kandang sapi. Hanya karena yang satu menghasilkan tahi dan yang lain tidak. Dua hari kemudian menjelang Magrib, Salempang, Enoh dan anak-anaknya datang. Rumah saya jadi semarak. Segala macam barang diberantak oleh dua cucu saya itu. Sementara ibunya sibuk memarahi agar jangan berbuat demikian, saya dan Salomah dengan senang hati membiarkan mereka berulah http://facebook.com/indonesiapustaka


227 sesukanya. Menjadi Engkong dan Mak Tua (Kakek-Nenek) memang posisi yang menyenangkan. Saya mengajak Salempang tukar pikiran soal Japri dan Juned. ”Beh, kite keluar yuk,” ajak Salempang. ”Males ah, ngapain keluar-keluar? Lu kagak tahu, Jakarta macetnya kayak setan antri di neraka?!” ”Ya, biar pikiran rada lepas aje. Sambil beli martabak. Lempang tahu tempat yang jual martabak yang enak.” Mendengar kata martabak, saya jadi menuruti Salempang. Saya selalu dapat martabak yang enak yang dibawa Salempang sejak jaman dia ngapel Enoh di rumah saya yang lama di Karet. Saya ingin tahu di mana dia membelinya. Sebagai warga aseli Jakarta saya memang sejatinya tidak pernah keluar-keluar rumah. Fauzan baru datang ketika kami hendak keluar. Dia kelihatan kusut dengan jaket kuningnya. Anak ini pasti demonstrasi lagi, tak mungkin dia demo kalau tidak bawa-bawa jaket kuning itu. Fauzan langsung menahan kami, ia ingin ikut. ”Ya udah, cepet lu salin kaos sana! Lu bau.” Suruh saya. Fauzan langsung melesat. ”Kagak usah pake mandi. Lama!” teriak saya. Tak sampai lima menit, Fauzan keluar lagi. Ia langsung menumpang di bagian belakang mobil. Anak kalau seumuran dia memang enggak ada matinya. Sepertinya dia punya AKI disetrum terus. Coba saya, tidak mungkin kuat pergi lagi setelah seharian demonstrasi panas-panasan. ”Gimana demonya Jan?” tanya Salempang beramah-tamah. ”Porkas itu memang bikin sengsara orang aja. Orang-orang kita itu dibodohi Pemerintah! Ini kan judi, dengan adanya porkas kita sepertinya dipaksa untuk mengalihkan perhatian dari http://facebook.com/indonesiapustaka


228 masalah negara yang lebih penting. Ini sebetulnya pembodohan!” sahut Fauzan berapi-api. ”Tenang… tenang Jan, lu ngomong ame gue. Bukan lagi demo!” Saya dan Salempang tertawa. Fauzan juga baru menyadari dirinya masih merasa sedang demonstrasi, dia ikut-ikutan tertawa. Kami keliling-keliling kota. Semua serasa dekat, sekarang. Ujung kota bergeser lebih jauh. Orang-orang sepertinya tidak bisa melihat lahan nganggur. Langsung saja dibangun gedunggedung. Lahan nganggur itu bagi mereka sama dengan duit. Orang-orang macam saya ini yang kemudian tergusur. Saya merasa ada yang salah di kota ini. Orang-orang yang menggusur kami adalah warga pendatang. Kenapa kami sampai bisa dikalahkan oleh warga pendatang? Saya merenung-renung sambil memandang ke atas, ke julang gedung-gedung yang berdiri sombong. Generasi beton yang melantahkan pepohonan. Kota ini panggung, dan kami ada di atasnya. Kota-kota lain adalah penontonnya, dan kami tidak sadar bahwa kami sudah berada di panggung sejak awal. Sedang orang-orang berlombalomba untuk naik ke panggung, menyingkirkan kami. Saya hanya bisa terpekur tak habis pikir. Mengapa pendatang yang mendirikan lapak memenuhi trotoar didiamkan saja. Penghuni gubuk di bantaran kali dan sepanjang jalur kereta bisa seenaknya. Belum lagi yang menempati taman taman kota. Padahal jelas-jelas mereka pendatang yang menyerobot tanah Negara. Sedang saya dan kawan-kawan, penduduk aseli yang mengolah tanahnya sendiri, malah seperti dikebiri. Salempang dan Fauzan asyik terbenam pembicaraan sendiri. Mereka ngomong hal yang penting-penting. Soal Pemerintah, http://facebook.com/indonesiapustaka


229 soal harga semen yang naik, soal kepresidenan Soeharto, dan lain-lain. Cocok sekali dua anak ini kalau bertemu. ”Bang, lewat rumah kita yang dulu yuk!” pinta Fauzan. ”Oke!” Salempang bersemangat. ”Mau, Beh?” Sejujurnya sebetulnya saya juga penasaran, jadi apa wilayah tempat tinggal saya dulu.”Ayok deh.” Kami masuk wilayah Kuningan. Tempat ini benar-benar berubah. Mobil dipelankan. ”Wah, udah kagak ada bau-baunya jaman kita tinggal di sini dulu ya!” komentar Fauzan. Kami melewati wilayah jejeran rumah toko yang sudah berdiri. ”Beh, Beh! Rumah kita jadi ruko!” Fauzan semangat memberitakan. Hah?! Ruko-ruko ini dulu berdiri rumah saya? Rumah warisan milik saya? Ah, sesal kembali mendatangi saya. Seandainya saja dulu saya lebih menahan diri untuk tidak menjual tanah itu, seandainya saja saya tahu rencana pembangunan di tanah ini, tentu saya akan lebih memilih untuk membangun ruko sendiri atau berkongsi dengan pengembang. Sebagian bisa saya sewakan untuk menghidupi seluruh keluarga. Ah…. Kami keluar rumah hingga menjelang tengah malam. Anakanak Enoh sudah pada tidur, bergeletakkan di depan televisi. Enoh dan Salomah mengobrol dengan suara pelan agar tidak membangunkan mereka. ”Pang, kapan lu bakalan kemari lagi? Babeh mau ngomong sesuatu, butuh pendapatlu.” ”Besok saya kemari lagi Beh, sore ya. Pulang kerja.” Anak-mantu saya lalu pulang ke rumahnya. Salomah langsung ke kamar, matanya sudah lengket, tidak http://facebook.com/indonesiapustaka


230 bisa dibuka lagi. Fauzan juga langsung ngorok, dia butuh istirahat. Mungkin besok mau demo lagi. Saya menyusul Salomah, merebah tubuh tua saya di tempat tidur. Memandang langitlangit kamar. Ya, ya… saya sudah berpikir-pikir sesuatu untuk mengubah nasib Japri dan Juned. Esok sorenya, ketika Salempang dan Enoh datang, saya utarakan keinginan saya, ”Babeh pengen bikinin Japri sama Juned rumah petak buat dikontrakin.” Salempang, Enoh dan Salomah mendengarkan saya dengan seksama. Ini adalah kali pertama saya betul-betul mengeluarkan uneg-uneg dalam hati saya mengenai dua anak itu tanpa marah-marah. Kelihatannya murka saya sudah pada puncaknya. Jadi, sekarang saya memutuskan untuk menyerah pada dua anak itu. Kalau kehidupan yang saya tawarkan ini juga tidak bisa membuat mereka membuka mata lebar-lebar atas rasa sayang saya, maka saya tidak tahu harus berbuat apa lagi. Di Cipete saya masih ada tanah yang lumayan luas, di situlah saya akan buatkan mereka rumah petak. ”Gimana menurut lu?” ”Babeh yakin?” tanya Enoh. Saya menangguk. ”Angep aja ini warisan saya buat Japri ama Juned. Mereka gue kasih sapi sekandang-kandangnye juga kagak diurus. Gue minta maap ke elo Noh, belom bisa kasih warisan yang pantes. Ke Paujan juga Babeh belum bisa.” ”Babeh enggak usah mikir Enoh, kan Enoh udah bukan tanggungan babeh lagi. Pokoknya apa pun yang bikin Babeh bisa mikir enteng, Enoh setuju aje.” Jawaban Enoh membuat saya terharu. Ã http://facebook.com/indonesiapustaka


231 Kriiiiing. Telepon berdering, Salomah yang mengangkatnya, terdengar dia mengucap ’halo’, lalu, ”Bang, ada telpon.” ”Dari siapa?” ”Paimin.” ”Paimin?” Saya segera menerima gagang telepon. Paimin tak pernah menelepon saya, jangan-jangan ada apa-apa di kandang. Saya tiba-tiba jadi khawatir dan langsung mencerocosnya dengan pertanyaan. Tak ada kejadian apa-apa di kandang, katanya. Dia hanya ingin berbicara dengan saya. Itu saja. Saya bilang, kalau ada masalah ngomong sama Japri dan Juned saja, sambil dalam hati saya berharap dua anak itu bisa lebih diberi tanggungjawab. Dia bilang, kelihatannya lebih baik berbicara dengan saya daripada dengan Japri dan Juned. Ujungnya, kami berjanji akan bertemu di kandang besok pagi. Saya menemui Paimin yang masih asyik bersih-bersih kandang. ”Maaf Pak, ngerepoti… saya kepingin ngomong sesuatu,” ujarnyanya malu-malu. ”Apa? Ngomong aje!” ”Saya… mau keluar dari kerjaan di sini.” Saya langsung melongo, tak percaya dengan yang saya dengar. ”Keluar, Min?” ”Iya Pak,” dia mengelus-elus lengannya sendiri, berbicara santun dan takut-takut, ”saya… dapat modal dari Pakde saya yang di mBoyolali itu, yang dulu pernah saya ceritakan ke Bapak itu lho, inget ndak Pak?” Saya mengangguk, ”yang punya usaha sapi perah juga kan?” ”Iya. Saya dikasih modal sapi. Terus saya juga sudah mengajukan kredit ke bank, buat sewa kandang. Saya dapat kredit, Pak.” http://facebook.com/indonesiapustaka


232 Dan begitulah ceritanya. Paimin keluar. Meski saya tahantahan juga, tidak mungkin dia mau. Ini adalah kesempatannya berkembang. Saya salut melihat semangatnya. Dia percaya bisa hidup dari sapi. Sayang, anak-anak saya tidak. Paimin saya perbolehkan keluar, dengan satu syarat, dia harus membawa pengganti dan harus melatihnya lebih dahulu. Baru setelah itu dia boleh pergi. Paimin menurut. Dia membawa satu adik kelasnya dari Boyolali untuk dilatih sebagai penggantinya. Ã Rencana pembangunan rumah petak mulai dijalankan. Saya masih punya sedikit uang, kira-kira cukup untuk membangun rumah petak beberapa biji di daerah Cipete. Kalau sudah dikasih ini pun dua anak itu masih menuntut ini-itu, saya cuma bisa pasrah saja dan berdoa yang terbaik buat mereka. Japri dan Juned girang bukan kepalang, dapat warisan sebelum orangtuanya mati. Dasar anak songong! Saya bilang, mereka harus sering-sering datang mengawasi orang-orang yang sedang membangun. Itu milik mereka, mereka harus belajar tanggungjawab atas milik mereka sendiri. Saya juga bilang, bahwa saya tidak mau melihat mereka ngojek lagi, saya ingin melihat mereka jadi juragan rumah kontrakan. Kelihatannya, mungkin inilah profesi yang tepat untuk penduduk aseli di Jakarta. http://facebook.com/indonesiapustaka


233 9 [Haji Jarkasi:] Saye sebetulnya gak mau nyuruh anak saye nari di Setu Babakan. Tapi cuma di situ kesenian Betawi masih dipandang. Biar kata, Enden koar-koar, soal banyak perempuan nakal di wilayah itu. Makanya, saye tungguin Edah tiap kali dia mentas. Lagipula, saye juga sering ngiringin anak saye ngibing. Habis kejadian dia ditipu berapa tahun lewat, semangat narinya juga saye lihat enggak kendor-kendor. Malah makin kenceng. Emaknye mau ngomong apa aje, udah lewat di kuping. Kagak peduli. Kalo itu sih, udah saye pasrah aje. Biarin deh mau-maunya gimana. Tapi satu yang bikin saye ama bini bingung, nih anak enggak ada tanda-tanda naksir ama laki. Padahal, die kan penari. Kalo yang nekad dateng, ngasih kembang, minta ijin saye buat macarin, sih banyak. Yang serius mau ngawinin juga ada beberapa, enggak cuma satu dua orang. Nah, masalahnya ada di Edah. Anak sebiji mete saya itu enggak respon. Yang ini enggak demen, yang itu enggak cocok, si anu terlalu begitu, ah… pokoknya macem-macem deh alesannye. Enden saye minta ajak ngomong Edah. Saye pikir, kalo ngomong antara perempuan bisa lebih kebuka. Siapa tahu Edah mau kalau saye jodohin. Habis itu, Enden laporan ame http://facebook.com/indonesiapustaka


234 saye, ternyata, ”Edah bilang, dia masih punya cita-cita. Belom mau pacaran kalau cita-citanya belom kesampean.” Duh, saye jadi tambah pusing. Waktu ditanya cita-citanye ape, die juga ogah bilang. Sepupu Edah, Enoh, yang sepantaran ame die aje sekarang udah punya buntut dua orang. Nah ini… pacar aje kagak ada. Saye khawatir, orang-orang sekitar mandang Edah enggak laku karena dituduh jualan badan sambil ngibing. Nauzdubilah…. Saye muter otak. Cari cara lagi buat ngebujuk Edah cepetcepet kawin. Saye suruh Enden ngomong ke Salomah, biar Salomah ngomong ke Enoh, biar Enoh yang ngebujukin Edah. Kalo umurnye sepantaran kan lebih gampang ngomong. Apalagi Edah sama Enoh dari kecil lengket kayak bajigur ame pisang goreng. ”Abang, panjang banget sih ular-ularannya!” protes Enden. ”Nah, lu mau anak kite cepet-cepet kawin kagak?” ”Ya mau lah!” ”Ya udah, kalo gitu nurut aje. Kan kagak enak kalo gue yang ngomong ame Salomah. Mending lu aje, same-same perempuan.” Enden melaksanakan perintah saye. Ia berbicara pada Salomah, lalu Salomah berbicara pada Enoh, dan akhirnya Enoh sengaja datang ke rumah kami basa-basi pake bawa makanan segala. Tentu saja Edah girang, sudah lama mereka tidak kumpul bareng, seperti masa kecil mereka. Saye enggak tau pegimane pastinye pembicaraan Enoh same Edah. Yang pasti, besokkannye Enden ke rumah Salomah. Setelah itu, sorenye saye dapet laporan dari Enden perkara Edah. Masih tetep sama aje, dia kagak niat nikah kalau cita-citanya belum kesampean. Tapi saye dapet info tambahan, cita-cita http://facebook.com/indonesiapustaka


235 macam apa yang dipengenin Edah. Dia masih pengen pergi nari ke luar negeri. ”Kagak!” saye ngomong tegas-tegas. Edah saye sidang. ”Ah, Babeh ama Enyak pasti ngomong ame Enoh, iye kan?! Edah udah tau deh, kalo ngomong ame Babeh-Enyak pasti kagak dibolehin.” Bini saye nangis-nangis, ”Ya ampun Dah… lu kagak ngarti perasaan Enyak. Pegimane kalo lu dijual jadi pelacur? Orang kemaren aje lu udah ditipu kayak begitu. Duit udah melayang, untung elu selamet.” Air mata bini saye meleleh di pipi, banjir mukanya. Edah mengkeret. Nunduk terus kayak kura-kura ngumpet. Tapi tetep aje die enggak mau mundur dari cita-citanye. Ampun deh, punya anak sebiji aje kerasnye minta ampun. Besokannye, Edah minta ijin keluar rumah. Die bilang mau ke rumah encingnya, Juleha. Sehabis dulu dia kabur ngumpet ke rumah encingnya gara-gara ditipu ama Bramantyo, tuh anak jadi deket ame adek saye. Biarin deh, lagipula Juleha kagak punya anak. Ada Edah di sono buat nemenin die juga, yang penting saye tahu ke mana perginya si Edah. Bukan ke tempat yang aneh-aneh. [Juleha:] Aku tidak pernah lupa nasehat Enyak, sebelum meninggal. Dia bilang, perempuan berkeluarga itu tugas utamanya menjaga suaminya. Mungkin itu sebabnya walau Enyak marah pada Babeh, dia tetap menunggui suaminya hingga laki-laki itu meninggal. Sudah empat tahun aku menjalani menggilir suami. http://facebook.com/indonesiapustaka


236 Bang Jiih juga pernah membawa anaknya ke rumah ini. Ketika itu dua tahun setelah perempuan itu melahirkan anaknya. Melihat anak itu muncul dari mobil yang ditunggangi Bang Jiih, aku seperti tak percaya dengan mataku sendiri. Apakah aku melihat tuyul atau anak manusia? Bang Jiih tak memberitahuku sama sekali akan membawa anak itu. Lalu ia malu melihatku, maka lari bersembunyi di balik celana bapaknya. Aku berdiri mematung melihat anak itu, ia membawaku kembali ke masa kecilku. Ketika aku pulang sekolah dan mendapati seorang anak ada di rumah. Anak Babeh dari perempuan keduanya. ”…Cing?” Suara itu membuyarkan lamunanku, bersamaan dengan suara ngeong si Nyasar, kucing warisan Enyak setelah meninggal. ”Eh, Edah. Masuk, masuk!” ”Bengong?” Saya tertawa kecil. ”Lagi ngapain Cing?” ”Lagi ngerjain pembukuan percetakan.” ”Cieee…, bendahara nih ye!” goda Edah. ”Kalo enggak dikerjain sama Encing, siapa lagi?” Edah tersenyum kecil, dia mengerti kalimat saya. Maksudnya, Bang Jiih, encingnya yang lain, sudah tidak terlalu peduli lagi pada perusahaan yang dibangunnya. Yang dia tahu, percetakan kami masih jalan bisa menghidupi dua istri dan satu anaknya. Bang Jiih sudah tidak terlalu memikirkan perusahaan kami lagi sejak perempuan itu melahirkan. Dia mulai menyuruhku untuk mengerjakan pembukuan. Setelah itu sedikit demi sedikit menyuruhku ini-itu yang pada dasarnya mengurus jalannya percetakan kami. Awalnya, aku tersinggung, namun tetap menurutinya sebab adalah kewajiban istri menurut perintah suami. http://facebook.com/indonesiapustaka


237 Lama-kelamaan aktiitas ini justru mampu menyelamatkanku dari kesepian, meski tidak sepenuhnya kesepian itu terpenuhi. Setidaknya ada hal positif dan berguna yang bisa saya pikirkan ketimbang memikirkan kesedihan yang tak berkesudahan. Edah langsung cerita tentang ibu-bapaknya yang menyuruhnya menikah. Dia melimpahkan kekesalannya karena tak disetujui dengan cita-citanya menari ke luar negeri. ”Ya, Encing sih enggak herah Dah. Namanya juga orangtua, jelas aje khawatir. Takut lu kenape-kenape.” Edah menekuk wajahnya. Lalu dia cerita lebih banyak lagi tentang kekesalannya dan aku kembali mendengarkan sambil senyam-senyum. Aku tidak pernah bertanya soal siapa pacarnya, kalaupun dia punya, pasti sudah diperkenalkan padaku. Aku juga tidak pernah memburu-burunya menikah, mungkin itu sebabnya Edah lebih cocok curhat padaku daripada orangtuanya sendiri. Aku tak ingin dia salah memilih laki-laki, apalagi dimadu seperti nasibku. Yang penting bagiku, dia percaya pada keinginannya, itu saja. Telepon berdering, aku beranjak mengangkatnya. Suara tangis terdengar, membuat aku bingung sambil bertanya siapa yang menelepon. Tersendat-sendat yang di seberang memberi tahuku: itu tetanggaku, suaminya baru ketahuan selingkuh dan punya anak lagi. http://facebook.com/indonesiapustaka


238 http://facebook.com/indonesiapustaka


239 10 H aji Jaelani merencanakan, akan fokus dengan kehidupan akhirat. Dia sudah merasa sangat tua dan ingin membawa bekal yang banyak ketika mati kelak. Ketika ia menuju ke masjid seperti Isya-Isya sebelumnya, seorang lakilaki menegurnya. Haji Jaelani memicingkan mata, mengingatingat. ”Ini saya Pak, Paimin! Yang dulu kerja di kandangnya Pak Jaelani.” ”Masyaallah…. Paimin!” Haji Jaelani menyalaminya, seperti seorang teman lama. Paimin kelihatan lebih gemuk sekarang. Ia lalu menepuk punggung Paimin, ”gimana kabarnya?” Paimin duduk di sebelah Haji Jaelani. ”Alhamdulillah baik, Pak.” ”Masih ngurus sapi?” ”Ya masih tho, Pak. Lha wong cuma itu yang saya bisa.” Haji Jaelani memperhatikan, bahasa tubuh Paimin kini jauh lebih percaya diri daripada ketika ia bekerja untuknya dulu. ”Bagus, bagus…” ”Nah, Pak Jaelani sendiri bagaimana? Apa masih ngurus sapi?” Haji Jaelani menghela napas, ”masih, ya… kayak dulu aje. http://facebook.com/indonesiapustaka


240 Sapinya juga masih segitu-segitu aje. Sekarang saye yang ngurus,” lalu ia tergelak sendiri, meski tak merasa lucu. ”Lha, Mas Japri dan Mas Juned sudah ndak ngurus lagi tho Pak?” ”Japri ama Juned sekarang ngurus kontrakan.” ”Oalah… punya kontrakan tho, hebat ya…. Mesti banyak ya Pak,” komentar Paimin, Haji Jaelani tidak menjawab. ”Kamu sendiri sekarang punya sapi berapa ekor, Min?” ”Ya… alhamdulillah Pak, ada sekitar 200 bibit sapi perah.” Haji Jaelani membelalakkan mata, tak percaya pendengarannya, ”berapa?” ”Dua ratus, Pak.” Paimin mengulang. ”Ini kan juga karena dulu saya pernah kerja di tempat Pak Jaelani, jadi bisa belajar tentang sapi lebih banyak lagi.” Haji Jaelani memandangi Paimin, wajah lugu laki-laki itu masih terlihat jelas. Ia terharu sekali mendengar ucapan Paimin. Ia membatin, nah… betul kan dugaannya, orang pasti bisa hidup makmur dari sapi perah! Ia sekali lagi teringat Japri dan Juned, dan menyesali mereka yang tak pernah mau belajar. Kini Paimin pasti hidupnya jauh lebih sejahtera. ”Eh Pak, saya juga sudah menikah lho… Sudah punya anak satu,” ujar Paimin malu-malu. ”Wah, selamet deh, selamet!” ”Pak, main-main ke kandang saya. Rumah saya itu ya kandang saya.” ”Di mana?” Paimin lalu mengeluarkan kartu nama, dan menyerahkannya pada saya. ”Ini alamatnya Pak, ini nomor teleponnya,” katanya sambil menunjuk sederetan angka di kartu itu. ”Jangan sungkansungkan ya Pak. Datang saja, kapan pun!” http://facebook.com/indonesiapustaka


241 Paimin lalu pamit, dia harus cepat-cepat pergi. Haji Jaelani memperhatikan dari dalam masjid, Paimin menunggangi sebuah motor laki-laki terbaru. Ia lalu memandangi kartu nama yang diberikan Paimin. Hebat, pikirnya. Tak pernah terpikirkan seorang seperti dirinya atau seperti Paimin akan punya kartu nama. Ia pulang dan memandangi Fauzan yang sedang nonton televisi. Berita demonstrasi kenaikan harga bahan bakar. Dia tak menonton sinetron. Terlihat sekelompok mahasiswa di televisi bernyanyi ”Surat Buat Wakil Rakyat”-nya Iwan Fals, di depan Gedung DPR. Untuk kesekian kalinya Haji Jaelani diam-diam membatin, ada harapan besar yang diletakkannya ke punggung anak itu. Ã Edah cepat-cepat menuju ke rumah encingnya. Ia membawa potongan koran yang dilipat rapi-rapi dan diselipkan ke sebuah buku tulis agar tak lecek. Begitu sampai di depan rumah encingnya, dilihatnya rumah itu sedang ramai. Sandal dan selop bertebaran di pintu masuk. Ada pengajiankah? Paling-paling Cing Jiih yang kasih ceramah, itu kan memang kerjaannya, batin Edah. Edah nekad, ia tetap mengucap salam yang disambut dengan salam pula berbarengan. Ibu-ibu berbusana Muslim rapi berkumpul di situ. ”Cing Julehanya ada?” ”O, ponakannya Mpok Eha ya? masup. Saye panggilin dulu ye encingnye,” sapa seorang ibu. Edah tersenyum. Tak lama Juleha muncul, membawa baki berisi air teh di gelas-gelas kecil. Dia mengajak Edah masuk. http://facebook.com/indonesiapustaka


242 ”Kenape?” ”Ada berita bagus, Cing!” ujar Edah girang, sambil berbisik. ”Eh, kamu masih lama kan di sini? Encing harus kasih ceramah dulu.” ”Ceramah?” tanya Edah heran. ”Bukan Cing Jiih?” ”Bukan, aye. Lu duduk deh,” jawab Juleha buru-buru. Edah akhirnya gabung di acara ibu-ibu itu. Ia duduk di pojok. Cuma dia yang tidak pakai baju Muslim. Dilihatnya Juleha memimpin doa, lalu mulai memberi ceramah mengenai masalah rumahtangga. Ia bercerita pengalamannya sebagai istri pertama, dan bagaimana ia menghadapi suaminya, bagaimana ia bersikap. Beberapa ibu yang hadir di situ menangis dan bercerita masalah keluarganya yang serupa. Juleha sekali lagi menasehatinya dengan santun, menyuruhnya salat malam dan minta kepada Allah jalan yang terbaik. Kenapa dia tak pernah tahu encingnya juga penceramah? Dari mana Juleha belajar, ia juga tak pernah tahu. Mungkin karena sering melihat suaminya berceramah, duga Edah. Tapi…, akhir-akhir ini kok tak pernah terdengar lagi Bang Jiih memberi ceramah? Tidak di radio, tidak di acara pengajian mana-mana. Apa dia tak lagi memberi ceramah? Tanya Edah pada dirinya sendiri. Bagaimana pun, melihat encingnya di hadapannya dengan mikrofon dan penuh percaya diri memberi wejangan yang santun, membuat Edah merasa bahagia. Menjelang Magrib, ceramah itu selesai. Edah menciumi pipi encingnya. Juleha heran, tumben anak ini cium-cium pipinya segala. ”Kenapa? Kamu lagi senang ya?” tanya Juleha. Sejujurnya dia sendiri senang dicium Edah, rasanya seperti dicium anak sendiri. http://facebook.com/indonesiapustaka


Click to View FlipBook Version