143 menghitung uang pecahan sepuluhribuan yang dibundel karet gelang itu. Haji Jarkasi menegur isrtrinya, bertanya apa tadi Bramantyo datang, ”iya,” istrinya menjawab singkat sambil terus mengeduk nasi yang baru tanak. ”Kok elu kagak cerita ke gue?” ”Masa?” tanya Enden, dia keheranan sendiri. ”Iye, elu belom cerita ke gue.” Haji Jarkasi mengulang kalimatnya. Enden tak tahu harus berkata apa. ”Ehm…, iya tadi dia dateng,” Enden akhirnya hanya bisa berkata itu dan melanjutkan kegiatannya. Haji Jarkasi kembali ke ruang tengah, menemui putrinya. Dahinya berkerut-kerut keheranan melihat tingkat istrinya. Ia tak habis pikir, seharian ini pula perempuan itu jadi tidak terlalu cerewet. ”Beh, besok Edah minta tambahan buat bikin passport ya?” pinta Edah. ”Passport?” ”Iya, di mana-mana juga kalo mau ke luar negeri harus pake passport!” ”Siapa yang nyuruh elu bikin passport?” ”Mas Bramantyo,” jawab Edah singkat. ”Nah itu, duit dari Enyak lu buat apa?” Haji Jaelani melirik segepok uang yang masih di tangan Edah. ”Kan yang ini buat biaya latihannya. Latihan nari sama bahasa Jepang!” Edah menjelaskan. ”Pan elu udah bisa nari!” ”Beda Beh, kata Mas Bram kita entar dilatih tarian lainnya. Edah pikir-pikir mungkin nanti kita bakalan latihan tari Jawa, atau tari dari Sumatera gitu. Pasti orang Jepang suka tuh.” ”Gitu ya….” http://facebook.com/indonesiapustaka
144 Haji Jarkasi mencoba menimbang-nimbang sendiri. Paginya, Haji Jarkasi memberi Edah sejumlah uang untuk membuat passport. Gadis itu langsung menuju Kantor Imigrasi dengan maksud membuat passport. Namun siang itu juga dia pulang kembali karena ternyata membuat passport harus membawa berkas-berkas tertentu, Edah mencatat syarat-syarat kelengkapannya dan meminta sejumlah uang tambahan kepada ayahnya sebab uang yang diberikan ayahnya tidak cukup. Ia memutuskan untuk kembali ke Kantor Imigrasi esok hari, sedang siang itu ia memutuskan untuk pergi ke rumah Sari, salah satu teman penarinya yang rencananya juga akan pergi ke Jepang. Selain itu ia juga hendak memberitahu syarat-syarat membuat passport yang harus disiapkan. Ketika tiba di rumah Sari, Edah mendapati gadis itu sedang menangis di kamarnya sendirian. Siang itu, Sari sesunggukan di pundak Edah dan berkata ia baru saja adu mulut dengan orangtuanya; mereka tidak bisa memberangkatkan Sari ke Jepang karena tak punya biaya. Bagaimanapun Sari memaksa atau menangis keras-keras, tak mengubah keadaan keluarga yang pas-pasan. Awalnya Sari dan orangtuanya belum benar-benar cek-cok, sampai ketika Sari meminta orangtuanya meminjam uang kepada Bu Denok, rentenir yang tinggal di ujung jalan. Satu-satunya orang di wilayah itu yang selalu mengenakan emas berenteng-renteng di pergelangan tangan, leher dan jarijemarinya. Sari beralasan, toh uangnya tetap akan dikembalikan setelah mereka di Jepang. Tentu saja orangtua Sari marah bukan kepalang. Mereka bilang, bukan… tepatnya membentak; lebih baik mati kelaparan daripada mati tercekik utang yang tak bakalan habis. Lalu kedua orangtuanya ke pasar untuk http://facebook.com/indonesiapustaka
145 jualan, dan Sari menangis sendirian tak selesai-selesai. Matanya sampai bengkak, pipinya merah dan ingusnya meler tak hentihenti. Dia meratapi nasibnya, ”padahal…,” ujar Sari di antara tangisnya, ”kalo aye bisa ke Jepang, bisa bantuin Babeh ama Enyak. Emang, nasib keset selalu di bawah.” Sari meletakkan kepalanya di pundak Edah sambil terus menangis, selampenya sudah lecek dan lembab masih terus digenggamnya. Edah kemudian mengelus-elus punggungnya. Edah pulang dengan lemas. Setelah Magriban, Edah sengaja keluar rumah lagi, ke rumah ketiga penari lainnya untuk menceritakan masalah Sari. Ujung-ujungnya, mereka sepakat untuk meminta tambahan sejumlah uang pada orangtua masing-masing untuk menutupi biaya teman yang tak punya uang ini. Toh di Jepang nanti akan diganti, jadi menurut mereka tidak masalah. Jadilah Edah keesokan harinya dekat-dekat ibunya lagi, membujuk untuk memberikan uang lebih. Delapan juta rupiah dibagi empat orang, sama dengan dua juta rupiah. ”Kagak!” tegas ibunya. Edah cemberut, ”tapi Nyak… kasian kan kalo yang laen berangkat, terus si Sari sendiri yang enggak.” ”Lu pikir duit segitu gampang dicari?! Kagak! Gue kasih lu duit kemaren aja pake megap-megap, sekarang lu minta buat orang laen.” ”Tapi kan Nyak, entar digantiin kalo udah sampe di Jepang.” ”Lu gak denger gue ngomong? Ka-gak!” Edah langsung merengut mendengar jawaban ibunya, ia menghentak-hentak kakinya. Mulutnya dimonyong-monyongkan, menggerundel sendiri soal ibunya yang pelit dan cerewet. Dia pergi dari rumah membawa kegagalannya dapat uang untuk http://facebook.com/indonesiapustaka
146 pelatihan Sari, temannya. Edah tahu, soal duit ayahnya akan menurut ibunya, mengingat ayahnya tak kalah pelit. Edah memutar otak, berpikir caranya dapat uang tambahan, kakinya mengantarkannya pada encingnya, Juleha. ”Tumben-tumbenan lu dateng. Gimana kabar Enyak-Babehlu?” Juleha mencium tangan encingnya. ”Alhamdulillah baek, Cing.” Jawab Edah, dia sedang berpikir harus berkata apa dulu kepada encingnya, apa ia harus berbasa-basi dulu? Ini agak aneh, pikirnya, sebab ia tak terlalu akrab dengan encingnya. Kalau sekedar ngobrol, itu kerap dilakukannya kalau bertemu. Tetapi betul-betul berkunjung, apalagi sendirian, selama ini dia lakukan saat Lebaran saja. ”Ngapa? Lu butuh apa? Apa Encing bisa bantu?” tanya Juleha to the point, ia telah melihat gelagat keponakannya. Edah tidak bisa menyembunyikan kekagetannya, meski ia langsung berusaha menyembunyikannya dengan memaksa dirinya tersenyum. Jadinya malah nyengir. ”Eeeh…, gini Cing….” Juleha menunggu. ”Gini…, eh jadi enggak enak….” Juleha masih menunggu, Edah terlihat kikuk. ”Apa? Bilang aja. Kagak apa-apa, kita kan keluarga. Siapa tau Encing bisa bantu lu.” Edah nyengir lagi, semakin tidak enak hati. Juleha lalu mengerutkan dahinya dan bertanya dengan nada curiga, ”elu… hamil?” ”Hah?!” Edah kaget dituduh bunting, cepat-cepat dia menyangkal, ”enggak Cing, enggak… sumpah demi Allah. Aye mah masih perawan.” Edah menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali. Juleha tersenyum. ”Kirain lu hamil, terus mau minta tolong gue ngomong http://facebook.com/indonesiapustaka
147 ke Enyak-Babehlu buat dikawinin! Ya udah, ngomong aja ngapa?” ”Eee… tapi sebelumnya maap ya Cing, mungkin rada ngerepotin nih.” ”Iya, kenape? Ngomong aje!” ”Aye… mau pinjem duit….” Suara Edah semakin mengecil. Juleha tersenyum, ”oo… timbang gitu aja ngomongnya kayak orang sembelit. Boleh, tapi berapa dulu nih? Encing kan bukan bank, jadi duitnya enggak banyak. Terus, kalo boleh tau, buat apa elu pinjem?” Edah menceritakan tentang rencananya menari ke Jepang dengan bangga. Wajahnya kelihatan sumringah kerika menceritakan cita-citanya di Jepang mau mengumpulkan uang dari menari. Ujung-ujungnya, tentu saja ia menceritakan tentang Sari dan menyebutkan jumlah uang yang ia butuhkankan. ”Encing ada duit segitu.” Jawab Juleha. Cess… rasanya hati Edah seperti disiram air es, dia langsung tersenyum tulus (bukan nyengir). ”Tapi Dah…,” sambung Juleha. Edah langsung menaikkan radar ketika encingnya berkata ’tapi’. Kok ada ’tapi’-nya? ”apa elu udah yakin, itu orang yang namanya Bram baik-baik? Orang jujur gitu? Bukan ape-ape nih ye…, Encing khawatir aja. Namanya juga orangtua, khawatir kan boleh.” Juleha cepat-cepat menambahkan. ”Oh, baik kok Cing. Dia dateng sendiri ke rumah, ketemu ama Enyak. Tapi Babeh waktu itu lagi pergi. Dia yang mintain ijin, terus Enyak kasih ijin.” Edah meyakinkan encingnya. ”Ya udah, Encing cuma pesen hati-hati aje, ye? Bentar….” Juleha masuk ke kamar, Edah kesenangan. Dia tahu encingnya akan mengambilkan uang yang akan dia pinjam. Tak lama, http://facebook.com/indonesiapustaka
148 Juleha kembali dengan sejumlah uang yang dipinjam Edah. ”Nih.” Juleha menyedorkan gepokan uang itu, Edah menghitungnya. Bau khas uang kertas yang sudah berkali-kali pindah tangan dan bahkan masuk kutang meruap ke hidungnya. Edah kesenangan. ”Makasih ya Cing. Entar sampe di Jepang Edah ganti. Edah kirimin deh lewat rekening bank, kalo perlu Edah kirim pake wesel!” Edah menyelipkan uangnya ke dalam dompet. ”Iye!” Juleha tertawa kecil, dia bisa melihat jelas wajah girang keponakannya dan itu juga membuatnya bahagia. Bagaimana pun, keponakan posisinya sama seperti anak sendiri. Edah segera minta diri, ia ingin segera ke rumah Sari menyerahkan uang tersebut. ”Pokoknya Encing pesen, lu ati-ati ye! Pinter-pinter bawa diri!” Juleha pesan sekali lagi. ”Iye Cing, entar Edah bawain oleh-oleh Kaisar Jepang!” Sumringah sekali Edah berjalan menuju rumah Sari. Dari keempat temannya, Edahlah orang pertama yang ternyata menyerahkan pinjaman uang untuk Sari. Tiga orang temannya menyusul beberapa hari kemudian, entar dari mana mereka dapat tambahan uang. Mungkin dari orangtuanya masing-masing, mungkin pula meminjam dari orang lain. Untuk biaya pembuatan passport, Sari membobol celengan ayamnya. Selain itu, karena ia sudah dipinjamkan uang oleh keempat temannya, orangtuanya kali ini mau menambahkan uang pembuatan passport yang masih kurang beberapa puluh ribu rupiah. Adegan tangis-tangisan terjadi lagi antara ibu dan anak, karena sang ibu memberi restunya dengan berpesan Sari bisa berbakti kepada orangtua dan menaruh harapan besar untuk membantu ekonomi keluarga. http://facebook.com/indonesiapustaka
149 Senin berikutnya, kelima gadis penari itu menuju wisma pelatihan dengan bekal bawaannya. Enden melepas Edah dengan ragu-ragu, malam ketika Edah mengepak barangnya, ia bertanya berkali-kali yakinkah keputusan Edah untuk pergi ke Jepang. Sebab dirinya belum bisa melepas putri satu-satunya. Edah meyakinkan ibunya, toh, katanya, selama pelatihan ia masih bisa bolak-balik ke rumah. Bramantyo sendiri yang menjemput. Keempat gadis lainnya kumpul di rumah Edah. Bramantyo mencarter dua buah taksi. Ketika itu para tetangga keluar rumah, menyalami Edah yang akan pergi ke Jepang. Mereka berpesan jangan lupa oleh-olehnya. Mirip orang pindahan, masing-masing membawa koper yang cukup besar mengingat pelatihannya tiga bulan, waktu yang cukup lama. Selain itu, Bramantyo bilang jadwal dan disiplin selama latihan lumayan ketat. Ini juga untuk membiasakan diri dengan ritme kerja orang Jepang yang terkenal keras dan disiplin. Jadi mereka tidak bisa setiap saat pulang ke rumah meski masih satu kota. Wisma itu agak berbeda dengan yang ketiga gadis itu bayangkan. Letaknya di sebuah gang. Mirip rumah biasa, dari luar terlihat kecil tetapi jika sudah masuk ternyata lumayan luas. Ada satu ruangan besar dengan kaca-kaca di dindingnya. Itu adalah ruangan latihan tari. Dan ada satu ruangan lainnya dengan kursi meja, kelas belajar bahasa Jepang. Sedang mereka tidur di satu ruangan yang tidak begitu lebar, ada beberapa kasur di situ. Tak ada papan nama perusahaan di depan wisma itu. Betul-betul seperti rumah biasa. Dua orang gadis dengan badan tinggi semampai dan dandanan yang lumayan seronok memperkenalkan diri mereka. Mereka bilang, tiga hari lagi mereka akan berangkat ke Jepang. Sudah http://facebook.com/indonesiapustaka
150 hampir tiga bulan mereka di situ. Masing-masing berusaha mengakrabkan diri dengan dua gadis yang terlebih dahulu di situ, menganggap mereka sebagai senior. Dan membayangkan betapa senangnya kalau pelatihan sudah selesai, bisa ke Jepang. Dua gadis itu sudah punya cita-cita sendiri akan diapakan uang yang kelak mereka dapatkan dari Jepang. Yang mengherankan Edah dan teman-temannya adalah, kedua gadis itu bukanlah penari. Masing-masing berkata mereka kerja serabutan biasa, dan tidak betul-betul punya kerja tetap. Bramantyo mengajak mereka ke Jepang karena tinggi badan mereka yang semampai, itu memenuhi persyaratannya, aku mereka. ”Eh… tapi di sini nanti memang diajarkan menari kok.” Gadis itu menambahkan. ”Kalau kamu sudah bisa nari, itu bagus, jadi enggak repot-repot lagi harus mulai belajar dari awal. Sudah luwes.” Edah senang mendengarnya, ”oya? Diajarin nari apa saja di sini? Tari Jawa diajarin enggak? Saya dari dulu pengin belajar nari Jawa, tapi enggak ada yang bisa ngajarin. Mungkin harus pergi ke Jawa dulu kali ya?” Gadis yang ditanya tadi tergagap, ”eh, bukan tari Jawa sih….” ”Wah, sayang ya, padahal saya pikir tari Jawa pasti bikin orang Jepang senang. Orang mereka saja suka dengan musik keroncong, buktinya lagu Bengawan Solo terkenal di Jepang.” ”Ya, nanti kamu kan lihat sendiri tari-tarian yang baru.” Dua gadis itu berangkat ke Jepang. Bramantyo sendiri yang mengantarkan mereka ke bandara. Jadwal sudah disiapkan bagi kelima gadis penghuni baru wisma pelatihan. Mereka harus mematuhi jadwal yang ada. Satu minggu pertama, kelima penari http://facebook.com/indonesiapustaka
151 diminta latihan menari sendiri dahulu, sebab, kata Bramantyo pelatih tarinya baru bisa mulai mengajar minggu depan. Di sela itu mereka belajar bahasa Jepang. Seorang sensei bahasa Jepang didatangkan. Laki-laki dengan tinggi kira-kira 150 cm yang pernah menetap di Jepang selama dua tahun untuk belajar tehnik mesin, ia mendapat beasiswa dari pemerintah. Minggu kedua, seorang laki-laki dengan tubuh berotot dan galak mulai rutin mendatangi mereka. Itulah pelatih tari mereka. Agak berbeda dengan yang dibayangkan kelima gadis penari. Ia selalu menggunakan celana pendek dengan kaus spandex tak berlengan. Awalnya ia meminta kelima gadis penari untuk berolahraga, katanya ini untuk menjaga stamina. Pelatih tari tidak mau para gadis jatuh sakit. Selanjutnya, pada minggu ketiga, baru mereka betul-betul belajar tari. Tentu saja para gadis lantas membawa perlengkapan menarinya, namun pelatih bilang semua itu tak diperlukan. Segala macam kain sampur yang tadinya sudah disiapkan untuk dipergunakan latihan, jadi tidak dipakai. Pelatih tari bilang, dia percaya betul kalau untuk tari tradisional kelima gadis itu pasti sudah fasih. Yang belum adalah tarian moderen. Kelima gadis itu awalnya kagok, ternyata mereka diajari dansa moderen, jenis tarian variasi baru dengan musik disko. Selain itu mereka belajar dansa yang biasa dilakukan bulebule. Berpasang-pasangan. Awalnya dansa yang diajarkan ritme slow, semakin hari pelatih mengajari mereka tarian yang lebih semangat. Bahkan wisma sudah menyediakan beberapa kostum, mulai dari rok-rok yang lebar, sepatu-sepatu hak tinggi hingga berupa pakaian jas hitam berbuntut dengan kemeja putih dan dasi kupu-kupu yang disebut tuxedo. Untuk mereka, bukannya celana panjang seperti selayaknya tuxedo yang seharusnya, http://facebook.com/indonesiapustaka
152 melainkan celana super pendek dengan pita di samping kirikanan bagian lipatan bawah celana itu. Mereka berlatih dengan pakaian itu, plus topi panjang dan tongkat. Mereka juga berlatih menari di atas meja, berjajar dengan gerakan yang kebanyakan mengangkat kaki dan berputar-putar. Pada satu akhir pekan, ketika kelima gadis itu telah dua bulan menempati wisma, Edah menemui Bramantyo, meminta ijin untuk pulang sebentar menemui orangtuanya. Ia tak mempersiapkan diri sama sekali kalau Bram yang ia kenal selalu bersikap manis tiba-tiba menolak mentah-mentah permintaannya dengan alasan di Jepang disiplin sangat dibutuhkan. Jika ada yang pergi-pergi maka itu berarti mereka tidak disiplin. Malam itu Edah menangis, menahan kangen pada orangtuanya. Keempat temannya mendekatinya, menanyakan kenapa ia menangis dan mereka berusaha menenangkannya. Mengingatkan dia dengan bayangan-bayangan indah jika mereka sudah tiba di Jepang. Tiba-tiba Sari ikut menangis. ”Ya ampun Sar, lu kok jadi ikutan mewek?” ”Aye sebetulnya udah pernah minta ijin juga ama Mas Bram mau balik nengok Enyak, tapi enggak dibolehin…,” isak Sari di tengah-tengah penjelasannya. ”Kok, elu enggak ngomong Sar?” tanya temannya. ”Takut….” ”Takut?” ”Abis, semua pada enggak mau pulang. Terus, aye udah nyusahin semuanya. Kan aye ke mari pake duit elu-elu pade. Aye enggak mau nyusahin lagi. Aye sebenernya….” Sari tidak bisa meneruskan kata-katanya. ”…sebenernya kenapa?” Sari menggeleng, mengelap air matanya. http://facebook.com/indonesiapustaka
153 ”Ngomong aja!” paksa temannya. ”Sebenernya mulai berasa enggak enak,” jawab Sari. ”Maksudlu enggak enak?” ”Soalnya narinya gitu….” ujar Sari lagi. Kali ini semua diam. Semua mengerti apa yang dimaksud Sari. Hari ketika mereka datang dan melihat-lihat ruangan wisma, mereka mendapati tiang-tiang berdiri di tengah-tengah ruang tari. Awalnya, Edah bertanya-tanya sendiri sebetulnya buat apa tiang itu. Pertanyaan itu terjawab ketika mereka mulai diajarkan menari dengan kostum tuxedo bercelana pendek. Mereka diajarkan untuk bergerak seirama musik sambil sedikit demi sedikit membuka pakaiannya. Mereka belajar tari eksotik. Tak ada sedikitpun tarian tradisional yang mereka latih. Semua jadi lebih mencurigakan lagi ketika mereka mengingat bahwa dua gadis yang sebelumnya di situ tidak memiliki latar belakang penari. Padahal ketika Bramantyo menawarkan ke Jepang pertama kali, ia bilang yang dicari adalah penari. Selain itu, Bramantyo bilang bahwa ia adalah pemilik perusahaan pencari bakat, jika betul perusahaan, kenapa tidak ada tanda-tanda bahwa wisma ini adalah milik perusahaan? Wisma itu nyaris betul-betul kosong, tak ada orang-orang yang beraktiitas kerja. Bahkan resepsionis pun tak ada. Dan kini, mereka benar-benar tidak diperbolehkan pergi. Kelima gadis itu mulai membuka pikirannya, ada yang tak beres, sesuatu yang disembunyikan oleh Bramantyo. Mereka mulai berpikir banyak ’jangan-jangan’. Jangan-jangan Bramantyo itu bukan seorang pencari bakat. Jangan-jangan orang Jepang tidak betul-betul suka kebudayaan Indonesia. Jangan-jangan mereka sebetulnya tidak dikirim ke Jepang untuk menari. Jangan-Jangan begini, jangan-jangan begitu. Dan ’jangan-jangan’ yang paling parah adalah; jangan-jangan mereka dikirim ke Jepang untuk http://facebook.com/indonesiapustaka
154 dijadikan pelacur! Semua bukti-bukti sudah mengarah ke sana. Mereka diam-diam merencanakan kabur bersama-sama. Meski awalnya ada yang ragu-ragu; bagaimana mereka akan pergi? Dengan bawaan yang begitu banyak. Mereka pun tak pernah betul-betul sendiri, selalu ada Bramantyo. Jika pun laki-laki itu sedang tak ada di rumah, selalu ada pelatih bahasa Jepang dan pelatih tari mereka yang galak. Dan faktor yang paling penting adalah malu karena sudah pamit tetangga-tetangga kampung akan pergi ke Jepang. Ketika mereka dijemput Bramantyo, tetangga-tetangga mengantar mereka dengan berdiri di depan pagar rumah dan melambai-lambaikan tangan ibarat kepergian pahlawan yang akan merantau ke medan perang. Semua mata kelihatan bangga melihat para gadis itu akan pergi ke Jepang. Bingung pula mereka dengan uang yang sudah diserahkan ke Bramantyo, pasti orangtua akan marah karena ini, untuk hal yang satu ini Sarilah yang paling bingung. Akhirnya, mereka membulatkan tekad; mereka akan kabur dari tempat itu. Siang, ketika mereka selesai belajar bahasa Jepang, dan menjelang istirahat siang, mereka mendengar Bramantyo berbicara dengan bahasa Jepang di telepon. Ia tertawa-tawa, para gadis menguping tanpa tahu apa yang diperbincangkan. Semalam mereka telah mengepak pakaiannya. Kelimanya tak memiliki rencana yang jelas. Mereka hanya berpikir, diam-diam keluar gang dan mencari taksi untuk pulang. Didorongnya koperkoper yang penuh berisi pakaian itu. Bramantyo masing ngobrol di telepon. Ketika sampai di pintu keluar yang tanpa gerbang itu, para tetangga kampung memandang mereka semua dengan padangan heran. Kelimanya agak malu dilihat dengan tatapan penuh curiga begitu. Dengan kepayahan mereka mengangkat masing-masing koper. Mengerahkan tenaga untuk menjinjing- http://facebook.com/indonesiapustaka
155 nya dan berjalan hingga mulut gang. Beberapa pemuda tetangga yang tak pernah mereka kenal menggoda mereka, tapi kelimanya cuek saja. Hingga ketika hampir sampai mulut gang didengar suara teriakan, ”Hei! Mau ke mana kalian?!” Kelimanya melihat Bramantyo yang dari kejauhan melambai-lambaikan tangan dan mulai berlari mengajar kelima gadis itu. Mereka langsung mempercepat langkahnya, terseok-seok dengan koper yang dibawa. Sampai di luar gang, bis kota pertama yang mereka lihat langsung mereka hentikan. Bramantyo berlari semakin mendekat, karena kepayahan, mereka akhirnya melepas koper mereka. Kernet bis yang tadinya akan mengangkatkan koper-koper itu keheranan, ”tancap gas, Bang!” seru salah satu gadis itu kepada sopir. Bis langsung melaju. Sementara Bramantyo terengah-engah di mulut gang, ketinggalan bis bersama koper-koper yang tergeletak di pinggir jalan. Orang-orang di bis memandang mereka keheranan. Sementara kelimanya merasa lega bisa terlepas dari Bramantyo, sambil menata napas kernet meminta ongkos. Tiga di antara mereka— termasuk Edah—baru tersadar bahwa semua barang miliknya tertinggal di jalan. Bahkan tas kecil jinjingan yang berisi dompet pun juga ketinggalan di sana. Satu gadis yang dompetnya selamat, mengeluarkan ongkos, meski tak tahu mereka menuju ke mana. ”Bang, apa bis ini mau ke Blok M?” Mereka tahu, sesampai di terminal Blok M mereka bisa memilih bis ke jurusan mana pun di seluruh Jakarta. Kota ini terlalu besar, dan belum tentu ada satu penduduk tetapnya yang mengenal jalan-jalan di Jakarta seseluk-beluknya. ”Kagak Neng, salah jurusan tuh!” jawab kernet, ”entar Eneng ganti bis aja.” http://facebook.com/indonesiapustaka
156 ”Di mana?” ”Entar saya kasi unjuk.” Kelima gadis itu diturunkan pada sebuah jalan, mereka tinggal melihat kaca depan bis dan mencari tulisan ’Blok M’ tertera di situ. Sebuah bis jenis kopaja berhenti di depan mereka, kelimanya naik dan bis itu mengantarkan mereka ke terminal Blok M. Sesampai di Blok M, kini mereka kebingungan lagi; apa yang akan terjadi jika mereka pulang ke rumah masingmasing? Apakah orangtua mereka akan menerima? Untuk yang satu ini, kelimanya lumayan kompak; mereka tak berani pulang ke rumah. Mereka memutar otak, sementara itu Sari mulai menangis, takut kualat pada orangtuanya. Ia bingung dengan hutang-hutangnya pada teman-temannya, ia menyalah-nyalahkan diri sendiri yang seharusnya mendengar nasehat orangtuanya. Ia teringat kata-kata ayahnya ketika malam mereka cekcok akibat keinginan Sari pergi ke Jepang; jadi orang jangan mimpi tinggi-tinggi, nanti kalau tidak kesampaian jatuhnya sakit. Dan kini, nyata betul nasehat itu, semua harapan pergi ke Jepang untuk dapat uang telah pupus. ”Kite ke rumah Encing gue aje deh. Mau gak?” usul Edah. ”Entar ama Encinglu diaduin ke Enyak-Babeh!” sanggah temannya. ”Terus kita ke mane lagi? Duit kagak ade, tempat tidur apa lagi. Mau ngemis?!” ucapan Edah membuat semua temannya kecil hati. Akhirnya mereka setuju ke rumah encingnya, Edah. Satu kali naik bis lagi, dan masuk ke gang menuju ke rumah yang dituju dengan naik ojek atau berjalan kaki. Kelimanya memilih berjalan kaki, mengingat uang yang tersisa sangat terbatas. Bahkan untuk beli makan pun mereka tak sanggup. Begitu Juleha mengenali wajah Edah dan melihat kelimanya http://facebook.com/indonesiapustaka
157 berjalan tertatih-tatih dan ketakutan, ia langsung menyuruhnya untuk masuk. Mereka langsung memeluk tubuh Juleha, dan menangis sesenggukan. Menceritakan pengalaman mereka hampir dua bulan di wisma pelatihan dengan histeris dan tidak urut, membuat Juleha kebingungan. Ia langsung menyuruh kelima gadis itu untuk mandi dan ganti baju. Ketika itu pula mereka bilang bahwa semua baju-baju mereka tertinggal di pinggir jalan. Juleha meminjamkan masing-masing pakaiannya. Sementara gadis-gadis itu membersihkan dirinya, Juleha menyiapkan mereka makan malam. Ketika itu sudah jam sembilan malam mereka baru sampai di rumah Juleha. Setelah tenang, para gadis menceritakan kejadian yang telah menimpa mereka dengan lebih teratur. ”Orangtualu pasti pada bingung nyariin,” ucap Juleha. ”Jangan dikasih tau Enyak-Babeh, Cing. Aye takut pulang.” Edah merengek. Keempat temannya ikut merengek pula. ”Lagian Cing, mereka kan taunya kite masih di wisma pelatihan,” tambah teman Edah. ”Tapi elu kan gak bisa di sini terus-terusan…,” kata Juleha, para gadis jadi makin sedih mendengar ucapannya, ”bukannya gue kagak seneng lu di sini, tapi kalo kagak ngasih tau EnyakBabehlu juga kagak baek. Lu bikin orangtualu panik, bingung kok pade kagak ade kabar, kadak ade surat juga dari Jepang!” Mereka terdiam dengan ucapan Juleha yang ada benarnya. Mau tak mau, mereka harus menghadapi orangtua masing-masing. Dari luar pintu diketuk, terdengar suara seorang laki-laki mengucap salam yang dijawab oleh Juleha. Jiih muncul di pintu, ia baru pulang dari memberikan ceramah di sebuah masjid di kampung tetangga. Ketika ia datang, tentu saja ia kaget dengan keberadaan gadis-gadis itu di rumahnya. Juleha menceritakan http://facebook.com/indonesiapustaka
158 kejadian yang menimpa gadis-gadis itu, dan meminta ijin pada suaminya untuk mengijinkan gadis-gadis itu untuk tinggal di rumah mereka barang beberapa hari. ”Mangkenye…, lu sembayang Istikaroh dulu kalo ade apeape. Biar dikasih unjuk sama Yang Diatas, mana pilihan yang paling baek, mana yang enggak baek. Ada enggak yang sembayang Istikaroh? Ada enggak?” tanya Jiih. Kelima gadis itu menggeleng dengan lemas. ”Nah kan, gue udah tau deh!” ”Tapi kan Cang, waktu Edah nerima tawaran itu kan niatnya juga baik. Pengen bantu Enyak ama Babeh, temen-temen aye juga gitu. Iya kan?” Edah membela diri dengan halus. Keempat gadis lainnya mengangguk setuju. ”Yang elu lakuin itu cuma ngikutin napsu doang. Setan itu yang ngomong. Setan!” Jiih berapi-api, membuah kelima gadis itu menunduk semakin runduk. ”Pokoknya, besok lu musti balik ke rumah orangtualu, minta maap. Cium kakinye! Inget, sorga ada di bawah telapak kaki ibu! Kualat lu kalo enggak minta maap. Bukannya pada pulang, malah masih aje ngelayap.” ”Bang, udah Bang. Biarin dulu ngape? Orang mereka ini masih ketakutan! Lagian mereka juga mana tau kalo bakalan ditipu,” bela Juleha. ”Eh Ha, ngajarin anak kecil itu yang baek. Kasih tahu yang lurus, jangan lu turutin kalo kemauannya udah ketauan kagak bener!” ujar Bang Jiih. ”Maksud Abang, saye tadi seharusnya ngusir mereka, gitu? Ya kalo pada bener-bener pulang ke rumah, kalo pada keteteran di jalan terus ditauin sama si itu lelaki yang namanya Bram, pegimane? Terus mereka dibawa lagi ke wisma, dikirim ke Jepang, dijual dijadiin pelacur, pegimane?” Juleha tiba-tiba kesal. ”Masyaallah Eha, Eha… jangan berdoa yang jelek-jelek! http://facebook.com/indonesiapustaka
159 Enggak baek, bisa kena bala lu! Inget, ucapan itu doa!” nasehat Bang Jiih lagi. ”Nah, makenye aye tampung mereka di sini. Urusan mereka harus balik ke orangtuanya, itu dipikir besok. Yang penting sekarang semua ada tempat tidur.” Juleha tidak mau kalah, ia berhasil mengunci suaminya. Sementara kelima gadis bergantian melihat antara Juleha dan Bang Jiih. Akhirnya Bang Jiih berkata, ”ya udah, gue mau ngadem dulu di kamar. Capek nih. Ambilin gue air.” Juleha beranjak ke dapur, mengambilkan teh panas untuk suaminya. Tak lama, semuanya berangkat tidur. Kelima gadis itu memilih mengumpul jadi satu di kamar tamu. Padahal di rumah itu ada dua kamar kosong lainnya, kamar yang sengaja disiapkan Jiih dan Juleha untuk kelahiran bayi-bayi mereka yang dinantinantikan namun tak kunjung datang. Malam itu tak ada yang benar-benar bisa menutup matanya. Para gadis menerawang dengan pikirannya masing-masing. Memikirkan betapa bodoh dan naasnya nasib mereka. ”Besok, pokoknye, lu kudu nganter itu anak-anak ke rumah orangtuanye!” ujar Jiih di sela matanya yang mulai ngantuk. ”Bang, mereka itu masih pade ketakutan. Biarin aye bujuk dulu ngape, biar pada tenang di sini. Nanti aye kasih tau ke Bang Kasi ama Mpok Enden kalo Edah di sini. Tapi kalo dia masih takut pulang, biarin di sini dulu barang dua tiga hari. Aye enggak mau ade ape-ape.” Juleha bersikeras. ”Anak-anak seumuran mereka itu kudu diarahin. Mana yang bener, mana yang kagak. Pake nari-nari segale… mana mau narinye ke Jepang lagi!” ”Abang! Biarin aje anak sukaannya gitu, orang mereka juga anak baek-baek.” http://facebook.com/indonesiapustaka
160 ”Anak baek-baek itu ngarti mana yang bener, mana yang salah. Nah ini… pada kagak ngarti, makenye pada ditipu, disuruh jadi pecun di Jepang!” ”Emang kalo kita punya anak yang suka nari, itu berarti anak kita bukan anak baek-baek, gitu?” ”Nah…, elu denger omonganlu tuh. Makenya elu kagak dikasih anak ama Allah, elu yang bakal emaknya aja belum tau mana yang bener mana yang salah.” Deg! Rasanya jantung Juleha berhenti mendengar omongan suaminya. Ia tak menyangka laki-laki yang dinikahinya bisa berkata begitu. Juleha bangun dari rebah. Jiih juga duduk begitu ia menyadari omongannya yang telah menyakiti istrinya, ”Ha… maap maksud gue….” Juleha menyelak, ”Maksud Abang, saye bukan ibu yang baek, gitu kan?” ia memandang tajam ke arah laki-lakinya. Jiih menghela napas panjang…, ”bukan Ha….” ”Inget Bang, omongan itu doa! Itu kan yang Abang bilang terus ke saye? Kalo Abang bilang saye bukan ibu yang bener, makenye saye enggak dikasih anak, mungkin itu yang bener.” Juleha menyolot, omongannya seperti menampar suaminya. ”Masyaallah… maap Ha, maap….” Jiih menyentuh tangan istrinya, hendak ia genggam. Tetapi perempuan itu menarik tangannya kembali. Ia lalu kembali meringkuk di kasur, memunggungi suaminya. Jiih memandangi punggung istrinya, ia bisa mendengar suara isak yang yang samar di antara ketenangan malam. Ia tahu, ucapannya telah menyakiti hati istrinya. Jiih merebahkan tubuhnya, memunggungi Juleha. ”Kalau emang elu khawatir anak-anak itu entar kenapekenape… ya udah kagak ape-ape mereka di sini dulu sementara,” ucap Jiih. Ia mengharapkan jawaban istrinya, tetapi perempuan http://facebook.com/indonesiapustaka
161 itu tetap bisu. Dalam hati Juleha, baik diijinkan atau tidak, ia akan tetap menyuruh anak-anak itu untuk tinggal di rumahnya barang beberapa hari. Semua semata-mata karena kekhawatirannya yang amat sangat pada kelima gadis itu. Keesokannya, semua berjalan seperti biasa. Kecuali Jiih tidak menyinggung-nyinggung bahwa harus hari itu juga para gadis harus keluar dari rumahnya. Jiih dan Juleha tidak menunjukkan pertengkarannya di depan para gadis. Jiih pergi dan pulang seperti biasa jika ada hal yang harus ia kerjakan baik di percetakan maupun ketika diundang untuk memberikan ceramah agama. Juleha membujuk anak-anak perempuan itu untuk pulang ke rumahnya, dan berjanji ia sendiri yang akan mengantar anakanak itu dan menjelaskan ke orangtua masing-masing tetang apa yang sebenarnya terjadi. Pada hari ketiga, baru mereka setuju. Selain itu juga karena mereka mulai merasa jengah menumpang terurs-terusan dan tidak mengerjakan apa-apa. Juleha mengantarkan sendiri kelima gadis itu. Ia menuju ke rumah abangnya, Jarkasi. Belum sampai di pintu, ketika Enden dari kejauhan melihat anaknya datang, ia langsung menghambur dan memeluk Edah erah-erat. Ibu dan anak itu menangis sesenggukan. Enden terus mengulang-ulang ketakutannya kehilangan anak satu-satunya. Sekitar seperempat jam mereka di depan rumah, tetangga-tetangga keluar dari rumahnya dan memandang mereka lewat pagar. Mencari tahu apa yang terjadi, lebih banyak yang bertanya seperti apa di Jepang dan mana oleh-oleh untuk mereka. Setelah Juleha menenangkan keduanya, ia mengajak mereka semua masuk ke rumah dan berbicara baik-baik. ”Ya ampun Dah, Edah…. Lu kagak tau gue ama babehlu kebingungan. Udah, gue pasrah aje kayak ayem mau dibelek! Lu tau, gue bingung kok elu kagak dateng-dateng, padahal lu bilang http://facebook.com/indonesiapustaka
162 kan kalo masih pelatihan masih bisa pulang ke rumah. Telepon itu nomor yang di kartu elu kasih, tiap diangkat ngakunye bukan perusahaan yang mau ngirim ke Jepang. Terus gue datengin alamat yang ada di kartu, kagak ade! Palsu!” Enden bercerita dengan histeris. Betapa senangnya hati Edah yang mengetahu bahwa orangtuanya masih peduli dan berusaha mencari dirinya. Gadis itu langung mencium tangan ibunya dan tak hendak melepaskannya, berkali-kali mengucap maaf. Keempat gadis dan Juleha yang melihat pemandangan itu tak tahan pula menangan tangis haru. ”Babeh mana, Nyak?” tanya Edah di sela harunya yang mulai mereda. ”Babehlu ke kantor pulisi.” ”Ngapain?” ”Ya itu… ngelaporin si Bramantyo itu! Ngelaporin elu ilang. Gue ama babehlu kelimpungan! Duh… alhamdulillah, anak gue balik!” Enden memeluk Edah. Tak pernah ibu itu memeluk anaknya sedemikian mesra, Edah baru merasakaan kalau selama ini ibunya cerewet karena sayang pada dirinya. Ketika Jarkasi pulang, ia pun tak bisa menahan haru melihat putri satu-satunya di rumah lagi. Ia segera menyuruh seorang anak kampung untuk ke rumah keempat gadis lainnya, dan meminta orangtuanya untuk datang ke rumahnya. Keharuan semakin tak terbendung setelah kedatangan orangtua keempat gadis lainnya. Rumah keluarga Jarkasi jadi tontonan para tetangga yang telah sadar bahwa kelima gadis itu belum jadi menjejakkan kaki ke Negeri Sakura. Jarkasi, hari itu juga mengajak kelima gadis itu untuk ke kantor polisi melaporkan tindak penipuan yang telah dilakukan Bramantyo. Polisi meminta gadis-gadis itu menunjukkan wisma pelatih- http://facebook.com/indonesiapustaka
163 an. Para polisi yang menyerbu wisma itu mendapati tiga orang gadis lagi yang masih belum sadar bahwa dirinya telah ditipu. Bramantyo dan guru tari yang kebetulan sedang mengajar segera diamankan. Esoknya, koran Pos Kota memampang wajah Bramantyo di halaman depan dengan judul berita dicetak dengan huruf besar: PERDAGANGAN ABG KE JEPANG DIGAGALKAN Tujuh Gadis yang Akan Dijadikan Pelacur Diselamatkan (Jakarta, 12/7) Jaringan Internasional perdagangan perempuan, terutama cewek-cewek ABG berhasil digagalkan kemarin di Jakarta. Tersangka Bramantyo alias Ali Muchtar alias Imron Sabali merupakan ujung tombak jaringan ini di Indonesia. Ia telah lama diincar kepolisian atas aksinya, namun tersangka telah beberapa kali mengganti identitas. Diduga sudah ratusan ABG yang dijual ke Jepang dengan dalih dikirim sebagai perwakilan misi kesenian budaya daerah. Sasaran utamanya adalah para gadis ABG berusia kira-kira 15 hingga 22 tahun. Mereka dipekerjakan sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial) di tempat-tempat hiburan malam seperti night-club, diskotek, bar dan pusat-pusat prostitusi lainnya. Berita itu panjang, bersambung ke halaman tengah. Enden menggunting berita itu dan menempelnya dengan magnet di kulkas. Edah awalnya protes, sebab ia tak ingin mengingat-ingat yang buruk-buruk. Tetapi ibunya malah berkata, ”ini biar elu lebih hati-hati. Sekarang lu lihat kan, akibatnya kalo nari.” ”Ah, Enyak… nari mah kagak ada hubungannya. Lah itu, cewek-cewek yang ada di sana juga pada kagak bisa apa-apa! http://facebook.com/indonesiapustaka
164 Kalo orang niat jahat mah, jahat aja. Kagak ada hubungannya ama nari.” Ketika berita itu diliput, Edah sempat diwawancarai oleh reporter koran. Di dalam berita kesaksiannya ditulis, ia tak bersedia disebut namanya. Maka koran itu menulisnya sebagai ’Bunga, Bukan Nama Sebenarnya’. ”Ya jelas ada, kalo elu kagak nari kan elu kagak bakalan ketipu.” ”Alaah…, waktu si Bram itu dateng minta ijin ke Enyak juga Enyak iya-iya aja. Malah keliatan seneng didatengin dia!” Edah protes. Enden terkejut dengan ucapan anaknya, ia tak menyangka putrinya memperhatikannya begitu detil. Enden sendiri waktu itu heran kenapa ia bisa senang dengan kedatangan Bramantyo yang jelas-jelas akan meminta uang. ”Nah, itu tuh… gue sendiri juga bingung. Soalnya gue kan pelit, kok tau-tau waktu itu gue mau ngeluarin duit buat elu?! Gue yakin tuh, pasti gue diguna-guna!” Enden membela diri. ”Alah… kalo ketipu sih ketipu aje, enggak usah pake gunaguna segala!” bantah Edah, ia langsung berlalu dari dapur merasa menang. Ibunya mencibir sendiri. Diam-diam keduanya merasa senang sebab hubungan ibu dan anak kini kembali seperti semula: saling mengomel dan saling membantah. Edah dan Enden tahu, semua akan baik-baik saja. Seminggu setelah kehebohan yang terjadi, ketika semuanya sudah tenang, Edah ke rumah encingnya, Juleha. Ia ingin membicarakan uang dua juta rupiah yang dulu dipinjamnya untuk Sari. Bahkan kedua orangtuanya pun sampai kini belum tahu perihal uang itu. ”Assalamualaikum…,” Edah menyapa ketika sampai di depan rumah encingnya. Pintu terbuka, Edah masuk begitu saja, ”Cing? Cing Eha?” Edah celingak-celinguk. Rumah kelihatan sepi. http://facebook.com/indonesiapustaka
165 ”Ya….” dari kejauhan sebuah suara perempuan terdengar. ”Cing Eha? Ini Edah.” Agak lama tak ada suara apa pun, lalu muncul Juleha dari kamarnya. ”Eh, elu Dah…, masup,” ajaknya. ”Cing…” Edah mendekat ke encingnya, hendak mencium tangan perempuan itu ketika dilihatnya mata encingnya yang sembab, ”Cing, baru nangis?” tanyanya ragu. Juleha menggeleng pelan ia menunduk dan mengelap matanya, ”enggak kok.” Juleha berbohong. Sembab matanya terlihat masih segar. ”Duduk deh, Encing bikinin minum bentar ya.” Juleha langung ke belakang. ”Eh, enggak usah repot-repot Cing,” cegah Edah, tetapi perempuan itu seperti tidak mendengar Edah dan tetap beranjak ke dapur. Edah jadi merasa tidak enak, ia yakin waktu kedatangannya kurang tepat. Edah memutuskan untuk membantu encingnya di dapur. Didapatinya perempuan itu sedang mengaduk air teh sambil menangis. ”Cing?” sapa Edah lembut. ”Eh, elu Dah. Udah biarin gue aje, enggak usah dibantuin. Timbang air doang.” ”Encing nangis ye?” Juleha tak menjawab. Edah menuntun encingnya untuk duduk ke kursi meja makan yang letaknya tak jauh dari pintu dapur. ”Cing? Kenape?” Juleha tetap tak menjawab, Edah diam. Ia sengaja memberi kesempatan pada encingnya untuk menangis. ”Minum dulu, Cing. Biar tenang.” Edah menyodorkan air teh bikinan Juleha sendiri. Juleha meminumnya. ”Jangan bilang ke babeh ama enyaklu kalo gue nangis, ye,” pinta Juleha. Edah tak menjawab, ada jeda di antara mereka. http://facebook.com/indonesiapustaka
166 ”Encing kenape?” tanya Edah. ”Kagak ape-ape. Cuman namanya orang rumahtangga, ribut dikit mah biasa.” Juleha berusaha menjelaskan. ”Ribut dikit kok Encing sampe nangis kagak gitu?” tanya Edah lagi. ”Enyak ama Babeh juga sering ribut tapi kagak pake nangis-nangisan,” sambung Edah. ”Encing kenape? Encing cerita ke Edah boleh kok, kalo Edah bisa bantu, pasti Edah bantuin.” Juleha hanya menggeleng. ”Elu apa ape ke mari?” Juleha berusaha mengalihkan topik pembicaraan, Edah langsung teringat niatan awalnya ia datang. ”Eh, eee… Edah mau bilang makasih, kemaren udah dibantuin sama Encing. Kalo enggak, kagak tau deh Edah udah jadi gembel di jalan mungkin.” Juleha tersenyum, air matanya berhenti mengalir. Ia merasa sedikit senang ada orang yang menghargainya. ”Terus… eeeeh,” Edah diam, berusaha menata kata-kata. ”Apa?” tanya Juleha. ”Itu, soal duit yang dulu Edah pinjem,” ujar Edah malumalu. ”Ooo…, kenapa?” ”Nanti, pasti Edah ganti Cing. Pasti, tapi enggak bisa cepetcepet.” ”Enggak apa-apa. Diganti kapan-kapan aja, kalo elu udah sukses.” ”Ah, Encing… Edah jadi enggak enak. Cing, ada satu lagi….” ”Apa?” ”Itu… Enyak ama Babeh kagak tau soal Edah pinjem uang dari Encing. Tolong jangan kasih tau Enyak Babeh ya. Entar http://facebook.com/indonesiapustaka
167 Edah kena omel lagi. Gara-gara yang kemaren aja Enyak ngomelnye belum selese-selese, ya Cing?” Edah memohon. ”Iya….” ”Janji ya Cing?” Juleha tersenyum melihat sikap manja Edah. ”Iya, janji.” Lalu keduanya diam. Sibuk menikmati tehnya masing-masing, ”lu udah makan?” tanya Juleha. ”Makan pagi udah tadi.” ”Makan siang?” ”Belum, kan Edah jalan ke mari.” ”Encing masak pepes, mau?” Juleha menawarkan ”Mau deh, mau!” jawab Edah bersemangat. Juleha membuka tudung saji meja makan. Dilihatnya mata Edah yang berbinar-binar melihat makanan ala kadarnya yang terhidang. Ia teringat saat Edah masih kecil dan dirinya belum menikah. Satu hari Edah sempat dititipkan padanya dan ketika tidur siang anak itu mengompol di kasurnya. Ini membuat Edah malu, meski Juleha tidak marah. Sore sebelum Edah diambil orangtuanya, Juleha menangkap capung dan meletakkan capung itu ke pusar Edah. Membuat gadis kecil itu histeris antara geli dan ngeri, dan ini membuat Juleha tertawa. Konon, itulah obat agar anak tidak ngompol lagi. Renung Juleha, begini mungkin rasanya melayani anak, girang melihat kegembiraan yang sederhana. ”Dah?” ”Iya, Cing?” ”Kalo lu sempat, sering-sering maen sini ye?” pinta Juleha. Edah tersenyum, ”iye Cing, pasti!” http://facebook.com/indonesiapustaka
168 http://facebook.com/indonesiapustaka
169 6 [Haji Jaelani:] Anak Betawi… ketinggalan jaman… katenye…. Lagu pembuka sinetron Si Doel Anak Sekolahan di televisi terdengar sampai kamar. Sinetron itu mulai lagi. Salomah tidak pernah ketinggalan nonton satu episode pun. Biarpun saya panggil-panggil, Salomah tidak bakalan mau. Selama satu jam ke depan dia tak boleh diganggu. Dulu ilm Si Doel Anak Betawi pernah main di bioskop-bioskop. Bintangnya Benyamin Suaeb, cucunya Haji Ung, guru silat babeh saya jaman Belanda. Sekarang di sinetron dia main lagi jadi babehnya si Doel. Sementara si Doel sendiri diperankan Rano Karno, aktor yang kata perempuan-perempuan ganteng karena ada tahi lalatnya. Kalau dipikir-pikir, memang betul kata lagu di sinetron itu: anak Betawi ketinggalan jaman. Udah tahun gini juga orang kita begini-begini saja, tidak ada perkembangan yang berarti, malah yang ada digusur melulu. Sementara orang-orang sudah bikin gedung tinggi-tinggi, orang kita juga masih gini-gini aja. Lihat saja saya, dari segede burung emprit sampai setua ini kerjanya ngurus sapi. ”Bang, pokoknya… Paujan harus bisa masuk Universitas!” kata Salomah suatu hari dengan berapi-api. Ini salah satu efek nonton sinetron itu. Rano Karno… eh, maksud saya si Doel http://facebook.com/indonesiapustaka
170 susah dapet kerjaan meskipun sudah lulus kuliah. ”Bayangin Bang, kalo anak kite kagak sekola. Apa gak lebih susah tu!” sambung Salomah. Untuk yang satu ini saya setuju, saya sudah lihat sendiri dengan mata kepala saya apa yang terjadi pada Japri dan Juned yang berhenti sekolah. NOL besar. Saya kini menyesal menyetujui Japri dan Juned meninggalkan sekolah. Terngiang-ngiang di telinga perkataan Salomah, bahwa sekolah itu penting. Saya niat mau menjadikan dua anak saya juragan sapi perah. Biar kata tidak makan sekolahan, masa sih kalau sungguh-sungguh niat kerja tidak bisa jadi juragan?! Buktinya saya bisa. Saya sengaja tugasi Japri dan Juned mengurus sapi di Pondok Rangon. Di kawasan relokasi inilah semua kandang dibangun serba baru. Dan saya ingin lihat keseriusan dua anak itu mengurus sapi. Kalau sudah waktunya, saya akan kasih mereka sapi sekandang-kandangnya buat warisan. Dengan uang yang sudah saya terima, serta usaha ternak sapi perah yang masih dipertahankan, saya mampu mencukupi kebutuhan diri saya dan kebutuhan anak. Dalam hal ini berarti Japri, Juned dan keluar mereka, berserta Fauzan yang baru luluslulusan SMA. Kalau Enoh sih, tugas saya sudah selesai semenjak menikahkannya dengan Salempang. Eh, tahu-tahu waktu saya sambani kandang sapi, tak satu pun batang hidung Juned dan Japri nongol. Yang ada laki-laki masih muda, kira-kira seumuran Fauzan. ”Cari siapa, Pak?” tanyanya waktu saya celingak-celinguk cari-cari Juned dan Japri. ”Elo siapa?” sejujurnya saya waktu itu menatapnya dengan penuh curiga. Mengingat saya tidak kenal dan tidak merasa pernah bertemu dia sebelumnya. Dia pakai sepatu bot karet, bajunya separuh basah dan bau tahi sapi. http://facebook.com/indonesiapustaka
171 ”Saya Paimin, Pak. Yang kerja di sini.” ”Sejak kapan lo kerja di sini?” ”Sudah satu hampir bulan ini, Pak. Lha, Bapak siapa?” ”Ane yang punya peternakan ini!” saya pasang tampang galak. ”Lah… Bapak keleru ya? Yang punya peternakan ini Mas Japri dan Mas Juned.” ”Heh! Japri ama juned itu anak gue, tauk!” saya semprot laki-laki bernama Paimin itu dengan galak. Tiba-tiba ia malah mulai senyum lebar. ”Oh… Bapak bapaknya Mas Juned dan Mas Japri ya? Wah…, senangnya bisa ketemu bos besar!” Paimin berkata sambil bungkuk-bungkuk, ”Mas Japri dan Mas Juned ndak datang, Pak,” sambungnya dengan logat Jawa yang kental. ”Kan saya pegawai, jadi saya yang jaga kandang dan sapi-sapi di sini.” ”Lah, terus Japri sama Juned di mana?” ”Ehm…,” Paimin berpikir sejenak, ”mungkin di pangkalan ojek, Pak. Kan Mas Japri dan Mas Juned suka ngojek juga.” Sialan, Japri dan Juned diam-diam alih profesi?! Kurang ngajar dua anak itu betul-betul kagak tahu diuntung. Bapaknya mikir susah-susah buat mereka bisa hidup layak, dikasih kesempatan biar dapat ilmu pelihara sapi perah, eh… malah jadi tukang ojek! Pantas, belum lama mereka minta dibeliin motor. Bela-belain saya kredit dua biji motor. Katanya buat pulangpergi dari rumah ke kandang. Saya pikir motor itu bakal jadi semacam inventaris perusahaan susu perah. Malah dibuat ojek! Kagak tahu diri! Sontoloyo! Mana kagak permisi pamit keluar kandang. Apa mereka itu tidak ingat punya anak-bini yang harus dipelihara? Ngojek…, kelihatannya memang lebih keren daripada pelihara sapi, tapi dia kan berarti cuma jadi tukang. http://facebook.com/indonesiapustaka
172 Mendingan pelihara sapi, biarpun bau tahi tetapi jadi bos. Masa mau nadah orangtua melulu, kalau saya mati siapa yang mau peduli? Hhh… akhirnya saya cuma bisa menghela napas dan mengelus dada. Nyebut. Nyebut. Tak mungkin saya marah-marah pada Paimin, sebab kelihatannya dia tak tahu apa-apa soal kelakuan dua anak saya sebetulnya. Saya keliling kandang, melihat hasil kerja Paimin. Rapi. ”Kamu bisa memerah susu sapi?” ”Bisa, Pak. Saya kan dari mBoyolali. Di sana juga banyak susu segar lho, Pak. Wong, sapi-sapinya juga sama seperti yang di sini. Malah saya juga pernah kerja di Solo, di warung sumur.” ”Warung sumur? Apaan tuh? Susu berjemur?” tanya saya sambil mengingat-ingat istilah ’sumur’ dari Enoh yang waktu SMP pernah studi tur ke Bali dan melihat banyak bule berjemur di pantai Kuta tanpa pakai baju, menggelar teteknya agar terbakar matahari. ”Susu murni, Pak! He he he…. Itu lho, Pak yang susu segar aseli mBoyolali. Kiosnya itu punya Paklik saya. Tapi yang dijual ndak cuma susu murni, ada susu jahe, susu setroberi, susu coklat, susu telor, soda gembira. Terus….” Paimin berkicau panjanglebar, betul-betul omongan yang tidak menarik. ”…yah, kalau bisa sih saya juga kepengen seperti Paklik saya, atau jadi kayak Mas Japri dan Mas Juned gitu, Pak. Jadi bos sapi perah, terus bisa mengerjakan sesuatu yang disukai, peternakan sapi tinggal diurus pegawai,” sambungnya lugu. Belum pernah sekalipun saya nyebut mau mewariskan kandang sapi ini untuk dua anak itu. Tadinya saya memang berniat begitu, maka itu saya minta Japri dan Juned mengurusnya. Tapi sekarang…. Dalam hati saya kesal tak ketulungan pada dua anak itu. Kecewa sekali rasanya. Sudah tua masih juga kelakuannya kayak http://facebook.com/indonesiapustaka
173 anak kecil. Juned sekolah cuma sampai kelas satu SMP, tidak mau melanjutkan lagi. Sedang Japri masih agak untung, lulus SMP. Saya juga orang yang bukan makan sekolahan, saya pikir tadinya tidak apa-apa mereka putus sekolah. Toh tak sekolah masih bisa hidup, buktinya: saya. Tapi kok tiba-tiba keadaan berubah, semua orang sekarang sekolah sampai tinggi-tinggi. Malah dengar-dengar sekarang pendidikan wajib akan naik bukan lagi sembilan tahun, tetapi jadi dua belas tahun. Dan orang-orang sengaja belajar sampai ke luar negeri. Walaupun tidak musti ke negeri Cina seperti kata Al-Quran; tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina. Banyak dari mereka yang ke Amerika, ke Australia. Kira-kira bisa tidak ya? Anak saya, satu saja… bisa sekolah ke luar negeri. Pasti kalau sudah sampai sekolah di luar negeri, mau jadi apa saja bisa. ”Kamu sekolah sampai kelas berapa, Min?” tanya saya. Paimin mengelus-elus lengan tangannya, kelihatan agak kaget ditanya begitu, lalu jawabnya sambil senyum malu, ”saya cuma lulusan SMA, Pak. Kalau punya duit sih, pasti kuliah. Pasti ndak jadi tukang urus sapi kayak sekarang. Wong sekolah SMA saja empot-empotan. Orang tua saya ndak bisa mbiayai. Jadi, paklik saya yang jadi juragan warung sumur itu yang mbiayai saya. Terus sehabis lulus, saya ikut paklik di Solo jadi pegawainya. Yah… itung-itung balas budi sambil cari pengalaman kerja.” Saya tersenyum, padahal dalam hati saya mengelus dada. Bahkan pegawai anak saya pun lulusan SMA. Malu saya untuk bilang anak saya hanya sampai SMP. ”Sudah punya anak, Min?” tanya saya lagi. ”Ah… Bapak ini lho, bisa saja. Wong saya ndak punya apaapa. Mana laku. Pacar saja ndak ada, kok mau punya anak. Caranya gimana, Pak?” Paimin senyum malu-malu. http://facebook.com/indonesiapustaka
174 ”Ya sudah. Lu kerja yang bener ya. Kalau Juned sama Japri ke sini, bilangin suruh ke rumah babehnya.” ”O… ya, Pak. Ya, nanti saya sampaikan ke Mas Juned dan Mas Japri.” Saya pergi dari kandang sapi. Walaupun kesal, tetapi saya lega, karena yang mengurus sekarang kelihatannya orang yang mengerti sapi dan lumayan jujur. Suara motor terdengar berhenti di depan rumah. Baru dipikir, Juned dan Japri nongol juga. Sialan! Panjang umur dua anak ini. Mau sampai kapan saya mengurusnya kalau begitu? Ya, saya tahu… menyumpahi anak sendiri tidak baik, tapi saya…. Nyebut. Nyebut. Saya melongo sedikit ke luar, tanpa beranjak dari sofa panjang yang empuk. Suara cempreng dua anak itu terdengar memberi salam sambil cengar-cengir tanpa dosa. ”Alaikum salam,” jawab saya. Juned dan Japri masuk, saya tak beranjak dari kursi, sambil kipas-kipas dengan kipas tukang sate. ”Wah… sofa baru nih, Beh!” sahut Juned dengan ceria. ”Kursi yang lama mana, Beh? Kagak dipake’ lagi ya? Kasiin aye aja, ngapa?” Japri menyahut. ”Eh, curang lu!” Juned tiba-tiba menyelak, ”gue juga mau kalo dikasi kursi!” ujarnya tak mau kalah. Lalu mereka berdua ribut kecil soal kursi tamu. Mengingat sudah tidak tinggal di Karet lagi, saya bisa menukar-tambah kursi pembelian Salempang sewaktu dia masih jejaka dulu dengan sofa ini. Dulu Salempang memang pernah menghadiahi saya sofa, saya tahu dia coba-coba ambil hati saya. Sejujurnya saya senang punya sofa. Ketika saya kebanjiran, seperangkat sofa itu terendam separuh. Salempang http://facebook.com/indonesiapustaka
175 menjual murah sofa-sofa itu dan membelikan seperangkat kursi tamu baru dari kayu, yang lebih aman jika terendam air banjir. Sekarang, karena sudah pindah ke Ciganjur, dan kelihatannya wilayah ini bebas banjir, saya minta ijin Salempang untuk menukar perangkat kursi tamu pemberiannya dulu dengan seperangkat sofa. Saya lihat saja Japri dan Juned sambil kipas-kipas. Lama-lama keduanya diam, dan saling colak-colek sebab melihat gelagat saya yang sok tak peduli. Mereka tahu, ini adalah awalan saya marah. Songong benar nih anak, bukannya tanya kabar malah tanya sofa. Saya tak menyahut, tetap mengipas-ngipas. ”Panas ya Beh,” sahut Juned lagi sambil tangannya mengipasngipas lehernya yang keringatan. Saya terlalu kesal pada mereka, ”iya, kapan kira-kira elo bisa beliin gue a-sé?” Mereka hanya nyengir mendengar katakata saya, dan tak berani berkata-kata lagi, bahkan berhenti mengipas-ngipas dengan tangan. Daripada yang saya omongkan jadi bala, lebih baik saya diam sebentar saja menahan marah. Jangan sampai omongan saya jelek, takut tidak sadar anak sendiri bisa jadi durhaka. Saya menghela napas panjang, ”gimana kandangnya?” akhirnya saya bertanya. Mereka saling pandang. ”Babeh… ke kandang ya?” tanya Japri hati-hati. ”Iya, gue udah ketemu Paimin….” Saya semakin kencang mengipas-ipas. Panas betul hati ini rasanya. Japri cengengesan jelek. Nyengir rasa bersalah, melirik ke Juned yang juga bersamaan melirik ke Japri. Saya sudah tahu lagak kedua anak itu kalau merasa bersalah. Ya, seperti ini. ”He he he…,” Japri nyengir kuda, lanjutnya, ”iya… Paimin juga udah cerita, Babeh ke kandang.” http://facebook.com/indonesiapustaka
176 ”Terus… elo enak dong ya, kagak usah buang-buang tahi sapi,” saya menyolot. Japri cengengesan lagi, lalu kembali melirik ke arah Juned kali ini sambil colak-colek saudaranya minta dibantu. Yang dicolek menggeleng-gelengkan kepalanya kencang-kencang sambil rapat-rapat mengunci mulutnya. ”Lo kagak usah ngurus sapi lagi dong, Ned?” Juned menunduk, tambah dalam, sambil menghindar dicolak-colek Japri. ”Si Enoh saja masih mau ke koperasi susu sapi, padahal dia ada kerjaan. Si Paujan juga tetep mau nganter susu perah sepulang sekolah. Kok elo kagak? Ngapain aja?” ”…, ehm…” baru saja mereka saling pandang, berpikir jawabannya. ”JAWAB!” bentak saya tiba-tiba. Sambil membanting kipas sate ke meja tamu yang masih satu perangkat dengan sofa yang baru. Keduanya anak tak tahu diuntung itu tersentak kaget, hampir berbarengan berpelukan dan mengelus-elus dada, sambil mengucap istighfar berkali-kali. ”Ehm…, begini Beh…,” ”Kalian pada ngojek ya?” sahut saya, tak tahan lama-lama. ”Iya…,” mereka menjawab berbarengan sambil kepalanya mengangguk-angguk persis dakocan. Saya menghela napas panjang. Sabaaaar… sabaaaar…. ”Bukannya tuh motor gue beliin buat elu bolak balik kandang? Itu kan yang lu bilang dulu, waktu minta motor?” Dua anak itu menunduk mendengar perkataan saya. ”Emang enakan ngojek ya daripada ngurus sapi?!” sindir saya sinis. Eeh, malah si Japri dengan rasa tak bersalah tersenyum lebar, lalu jawabnya, ”he he…, iya Beh. Kalau sapi kan bau. Kalau motor kan beda, Beh.” ”Iya…,” Juned takut-takut menyahut, ikut berusaha me- http://facebook.com/indonesiapustaka
177 nyunggingkan senyum mendukung saudaranya. Tobat. Tobat. Saya tobat. Terserahlah mereka mau apa, toh akhirnya saya hanya bisa menarik napas panjang dan kembali mengambil kipas sate lalu mengipas-ngipas lagi. Panas. Entah bagaimana caranya saya bisa masuk ke pikiran dua anak ini. Atau bagaimana caranya saya bisa membuat mereka berpikir seperti jalan pikiran saya. Saya tidak bisa mengerti, bukankah mengurus peternakan sapi itu lebih terhormat dari pada jadi tukang ojek? Bahkan Pak Harto pun juga pernah bilang, kalau tahi sapi itu ”harum” baunya. Dia saja yang sekarang sudah jadi Presiden, awalnya juga tani dan ngangon sapi. Meskipun sapi, tapi itu kan sapi milik sendiri. Lagipula harga seekor sapi lebih tinggi daripada harga sebuah motor bebek. Apa saya yang sudah terlalu tua untuk mengerti jalan pikiran anakanak muda jaman sekarang ya? Mungkin memang menunggang motor jauh lebih terhormat daripada mengurus sapi, sekalipun sapi itu milik sendiri. Mungkin saya yang kolot. Mungkin saya yang kuno. Mungkin. Bukan saya tidak suka, atau tidak beryukur, bukan… hanya saja setelah kedapatan tanah yang saya tempati digusur, saya tiba-tiba mulai berpikir ulang. Karena ternyata saya sudah terlalu tua untuk mengubah nasib. Apa kira-kira ada yang bisa mengubah nasib orang Betawi? Pagi itu Fauzan sudah keluar rumah. Tumben-tumbenan tuh anak, biasanya dia tidak suka ngelayap pagi. Belum selesai saya ngopi, masih ngumpulin nyawa, tiba-tiba Fauzan teriak-teriak sambil lari masuk rumah. ”Beh! Beh! Berhasil! Berhasil! Paujan berhasil!” ia jingkrakjingkak sambil menunjuk-nunjuk ke koran. http://facebook.com/indonesiapustaka
178 ”Apaan? Apenye yang berhasil? Lu dapet lotere?” tanya saya ikut-ikutan semangat. Fauzan yang tadinya semangat langsung menekuk wajahnya, melihat ke arah saya, ”Lotere… lotere… haram!” ujarnya galak. Saya mencibir, iya… sudah tau. Haram. ”Nah, terus apaan?” ”UMPTN, Beh!” Fauzan kembali menunjuk-nunjuk ke koran. ”Apa? Umpetan? Lu badan udah segede gini masih maen umpetan. Kagak malu ama jambul lu!” ”Aah… Babeh, bukan umpetan. U-Em-Pe-Te-En!” Fauzan memberi tekanan pada kata terakhir yang saya tidak mengerti maksudnya apa. ”Apaan tuh?” ”Singkatan Beh, Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri.” Saya masih belum mengerti dia ngomong apa, ”terus?” tanya saya. Fauzan memutar matanya ”ini ujian masuk kuliah, aye lolos!” dengan tak sabar dia menyodorkan korannya pada saya, dan menunjuk satu nama; namanya. Saya kaget, berulang-ulang saya baca namanya di koran, memastikan itu betul-betul nama anak saya. ”Lolos! Lu lolos! Lu masuk kulia…!” Saya tertawa-tawa. Fauzan juga tertawa-tawa, bahkan lebih keras. Lalu sesuatu muncul di pikiran saya. Saya berhenti tertawa, ”nah… kalo lu udah selesai kulia, lu jadi apa?” ”Jadi tukang insiyur Beh! Kayak si Doel! Aye diterima di arsitektur!” ”Horeeeee… anak gue bakal jadi tukang insiyur kayak si Doel! Mah… Salomah! Salomah!” saya memanggil-manggil istri saya http://facebook.com/indonesiapustaka
179 yang kemudian datang dengan tangan penuh busa. Dia belum selesai mencuci baju. ”Apaan? Pada teriak-teriak kayak kesambet.” Ia mengelap tangannya ke baju dasternya. ”Lihat nih… anak lu, eh… anak gue… bakalan jadi tukang insiyur!” saya mewartakan dengan girang sambil menunjuknunjuk koran. ”Apa? Anak gue mau jadi tukang sayur?” ”Heeh…,” saya menghela napas memandang Salomah yang masih enggak nyambung dengan sinis. Lalu saya bilang, ”Tu-kang in-si-nyur, kopok! Paujan bakalan jadi tukang insinyur kayak si Doel di tipi.” Saya menekankan pada kata ’tukang insiyur’, ”Paujan lulus ’umpetan’, keterima kuliah!” sambung saya. ”Hah?! Bener Jan?” Salomah memastikan, matanya membelok senang. ”Iye, nih… lihat!” Fauzan menunjukkan namanya di koran, ”lolos Nyak! Aye lolos masuk kuliah di UI.” ”Waaaah! Anak gue bakalan jadi tukang insinyur kayak si Doel!” teriak Salomah girang dengan tangan masih penuh sabun. Ã Rumah Haji Jaelani ramai. Mereka mengadakan selametan, selain buat rumah baru juga untuk selametan Fauzan yang keterima kuliah. Tadinya Haji Jaelani tak berniat mengadakan acara apa pun, tapi semenjak pengumuman penerimaan mahasiswa baru di koran, dia merasa punya alasan untuk merayakan sesuatu. ”Babeh…, apa-apaan sih, timbang keterima kuliah doang pake selametan segala!” Fauzan protes ketika ayahnya pertama http://facebook.com/indonesiapustaka
180 kali mengutarakan ide selametan. Meskipun dia merasa senang, tetapi ada sedikit rasa malu; masakah jaman modern masih pakai selametan segala? batinnya. ”Eh Jan, lu jangan gitu… ini gue orang tua lu seneng, bangga lihat lu keterima kuliah. Biaring ngapa!” jawab Haji Jaelani. Fauzan tak bisa berbuat apa-apa lagi. Apalagi, ibunya lalu ikutikutan membujuk Fauzan dengan berkata; hitung-hitung menyenangkan babehnya, bikin orangtua senang berpahala. Terakhir keluarga itu ramai-ramai mengundang banyak orang ketika Enoh menikah dengan Salempang, sekitar tiga tahun lalu. Ketika itu mereka masih tinggal di Karet. Fauzan ingat, betapa ayahnya bahagia akhirnya bisa melepas Enoh untuk laki-laki yang ia anggap tepat menyandingi putrinya. Kini Enoh sudah memberi Haji Jaelani dan Salomah seorang cucu laki-laki. Ia dan suaminya tinggal di daerah Mangga Besar. Haji Jaelani mengundang banyak orang yang ia kenal sejak dulu. Beberapa teman dekatnya semasa tinggal di Karet, beberapa tetangga kanan-kiri yang baru mereka kenal, orang-orang tua yang wajahnya tak dikenal Fauzan, bahkan ada seorang Cina pula yang datang. Serta tak lupa dua adik kandung Haji Jaelani sendiri; Haji Jarkasi dan Juleha. Japri, Juned, Juleha dan keluarganya masing-masing, lengkap dengan anak-anak mereka juga ikut hadir. Ini adalah kumpul-kumpul setelah Lebaran lalu di rumah orangtua Haji Jaelani. Perempuan tua itu juga datang bersama pembantunya yang setia, Yu Rebi. Sampai sekarang Ipah, ibunda Haji Jaelani, belum bersedia diurus anakanaknya. Haji Jarkasi seperti biasa datang bersama istrinya, Mpok Enden, dan anaknya, Edah. Enoh kesenangan atas kehadiran Edah. Dua anak itu memang sejak dulu lengket, semasa kecil http://facebook.com/indonesiapustaka
181 mereka sering latihan menari bersama meskipun dengan cara mencuri-curi. Tetapi ketika keduanya mulai besar, masingmasing punya kegiatan sendiri-sendiri. Enoh, yang waktu itu senang mendapat ibu baru yang memperhatikannya, jadi mulai jarang main dengan Edah. Meskipun Enoh sempat pernah beberapa kali tampil di acara-acara kampung, semacam tujuhbelasan atau perayaan ulang tahun temannya. Ia dan Edah menari Topeng bersama-sama. Salomah, ibu baru Enoh, selalu menekankan pentingnya sekolah buat Enoh. Tak heran jika kemudian setelah lulus SMA Enoh melanjutkan ke jurusan pengajar taman kanak-kanak. Sedang Edah tak putus terus berlatih menari. Ia menyelesaikan sekolah kejuruannya dan tak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Edah bercita-cita menari di luar negeri. ”Duh… seneng banget ye, lu udah punya buntut!” komentar Mpok Enden melihat anak Enoh yang sedang lucu-lucunya, ”lu kasih tau dong resepnye, biar si Edah juga cepet dapet jodo!” Mpok Enden melirik pada anaknya. ”Enyak, apaan sih!” Edah protes. Dia paling sebal jika ibunya sudah mendesaknya untuk cepat-cepat dilamar orang, ”emang orang kawin kayak ayam, apa?!” ”Hus!” Mpok Enden tak suka ucapan putri sebiji matenya. Enoh tertawa kecil melihat encing dan sepupunya ribut kecil. ”Kan udah Cing, kemaren waktu aye nikah… kan Edah udah nyolong kembang hiasan rambut aye!” selak Enoh berkelakar, mengingat ia tahu bahwa encingnya menyuruh Edah nyolong hiasan kembang di rambut penganten. Konon biar ketularan dapat jodoh. Waktu itu Edah dengan sebal mengadu pada Enoh yang sudah lengkap dandanannya. Enoh tertawa-tawa dengan kekesalan Edah dan akhirnya mengijinkan sepupunya untuk http://facebook.com/indonesiapustaka
182 mencuri kembang hiasan rambut, demi untuk membuat ibunya senang. Juleha, datang sendiri. Mereka semua mulai terbiasa melihat kesendirian Juleha. Ia lebih suka menarik diri, menuju dapur. Beralasan ingin ikut membantu menyiapkan makanan dan minuman. ”Makan dulu deh nyok! Lu keliatan kurus sekarang, emang lu diet ya?” tanya Salomah beramah-tamah, menarik adik iparnya untuk mengambil makan. Juleha nurut saja. ”Gue aje yang udah melar kagak diet-dietan! Kata anak sekarang, cuek aje!” sambung Salomah berkelakar. Padahal Salomah tahu betul penyebab adik iparnya tak doyan makan. Suasana rumah selametan itu jadi mirip saat Lebaran. Setelah acara doa, dan Haji Jaelani memberi sambutan, praktis acara selanjutnya hanya saling bersilaturahmi. Semua salam-salaman dan saling tanya kabar masing-masing. Yang membedakan; tak ada ketupat meskipun ada opor ayam. Terlebih lagi yang diundang adalah orang-orang terdekat saja, suasana akrab memenuhi atmosir rumah Haji Jaelani yang baru. Hingga menjelang Isya, baru para tamu baru pulang. Tinggal Haji Jarkasi dan Juleha saja selain anak-mantu Haji Jaelani. ”Gimane lakilu sekarang Ha?” tanya Haji Jarkasi. Keluarga yang ada di situ mengalihkan pandangannya kepada Juleha. Acara selametan menyisakan gelas-gelas dan piring-piring kotor yang belum dibersihkan. Enoh dan Edah mengumpulkan piring dan gelas yang kotor tersebut, menumpuknya jadi satu. ”Ya masih gitu deh. Die lagi seneng, punya orok,” jawab Juleha singkat, ia berusaha tersenyum. Ini membuat kaget keluarganya, sebab kemarin-kemarin Juleha tak pernah cerita bahwa istri kedua Jiih hamil. http://facebook.com/indonesiapustaka
183 ”Tuh perempuan bunting?!” Salomah bertanya, menuntut penegasan. Juleha menarik napas, mengiyakan. Ia merasa sudah saatnya menceritakan apa yang terjadi di keluarganya. ”Maap aye kagak cerita dari kemaren-kemaren….” Juleha menahan ucapannya, ia berusaha menata dirinya sendiri yang tiba-tiba merasa jadi pecah berkeping-keping seiring dengan ia membeberkan kisah perkawinan kedua suaminya. Malam itu Juleha pulang diantar abangnya, Jarkasi, dan istri serta Edah, anaknya. Rumah Juleha sepi, padahal di antara ketiga bersaudara itu, rumah Juleha lah yang paling bagus meskipun tidak mewah. Jiih telah sukses dengan usaha percetakannya, dan terkenal dengan ceramah-ceramah agamanya. ”Ha, kalo lu butuh ape-ape, lu jangan malu ngomong ke gue ye!” pesan Enden. Juleha mengangguk pelan lalu masuk ke rumahnya yang sepi. Ã Haji Jaelani mengantarkan istrinya ke rumah Juleha. Salomah membawakan satu porsi nasi kebuli sebagai oleh-oleh. Dia sengaja pagi-pagi benar ke pasar dan membeli satu kilo daging kambing untuk masak nasi kebuli. Pintu rumah terbuka. ”Salam alekum…!” sapa Salomah. ”Alaikum salam….” Suara Juleha menyambut kedatangan Abang dan kakak iparnya dengan gembira. ”Eh, Bang…, Mpok…? Masup deh!” ”Nih, lu gue bawain nasi kebuli!” ”Nasi kebuli? Emang ada sukuran lagi ye?” tanya Juleha heran. ”Kagak…, gue kebetulan aje lagi masak ini, terus keingetan http://facebook.com/indonesiapustaka
184 elu. Terus Bang Lani mau jalan, jadi gue pikir mending gue ikut Bang Lani aje, numpang minta dianterin ke sini!” Salomah beralasan. ”Ooo…,” Juleha melihat ke arah luar. Tin… tin… Suara klakson bel terdengar. Di mobil ada Fauzan duduk di kursi setir, dia melambaikan tangan pada ncingnya sambil tersenyum. Juleha ikut dadah-dadah, ”Fauzan kok kagak turun Bang?” tanyanya pada Haji Jaelani. ”Gue cepet-cepet. Mau nganter si Paujan bayar uang masup kuliah dulu. Entar kesiangan, loketnya tutup. Lu di sini aje ya Mah! Entar pulang gue jemput.” Haji Jelani segera beranjak, naik ke mobil kijang kotak. Mereka tancap gas. Salomah masuk menuju dapur, diambilnya piring besar untuk wadah oleh-oleh yang tadi dibawanya. ”Udah Mpok… biarin aye aje.” Juleha berusaha mencegah. ”Alah…, elu di tempat gue juga sradak sruduk sendiri! Gak ape-ape, timbang mindahin nasi doang. Lu udah masak belom ini hari?” tanya Salomah. ”Belom. Tadinya sih mau masak rada nantian aja, buat makan siang.” ”Lu jarang sarapan ye?” Juleha menggeleng pelan, ”tadinya sih rajin sarapan. Sekarang karena Bang Jiih lebih sering di rumah kedua, aye pikir percuma juga masak. Jadi kalo masak mending buat makan siang ama malem sekalian.” ”Heeeem, pantesan lu kurus! Ayo, sekarang lu sarapan dulu!” Salomah mengambil piring, memindahkan seserok nasi kebuli ke piring itu. ”Mpok makan gak?” Salomah berpikir sejenak, ”ya udah, gue ikutan makan lagi http://facebook.com/indonesiapustaka
185 deh! Biar lu makannya banyak!” Dua perempuan itu makan pelan-pelan. ”Enak Mpok.” Juleha memuji masakan kakak iparnya. ”Resep umi gue tuh!” ”Mpok…,” Juleha mengunyah nasinya, ”aye boleh tanya sesuatu?” ”Tanya deh, terserah lu!” ”Tapi Mpok jangan marah, ye.” ”Apaan sih, emang lu mau ngutang ye?!” Salomah berusaha memecah ketegangan. Ia dan Juleha tertawa kecil, tiba-tiba baru disadarinya, semenjak ia menikah dengan Jaelani tak pernah dirinya merasa seakrab ini dengan adik iparnya. ”Gimana rasanya jadi istri kedua?” tanya Juleha. Salomah tak langsung menjawab, ia tak terkejut dengan pertanyaan itu, ia bahkan sudah bisa menduganya. Ditelannya dahulu nasi kebuli yang masih ada di mulutnya. ”Ha…, gue dari dulu kagak punya cita-cita jadi istri kedua, apalagi jadi perempuan yang ngerusak rumah tangga orang. Kalo abang lu masih ada bini, gue kagak bakalan mau kawin ama die.” ”Iye, aye tau kok Mpok.” Juleha berkata cepat-cepat. ”Tapi gue ngarti maksud lu. Kalau gue sih, selama ini merasa bukan bini muda. Gue merasa ya… bini, itu aja. Mungkin karena selama gue nyampur ama Bang Lani, kagak ada perempuan lain yang hidupnya gue rusak. Gue kagak pernah kenal ama Mpok Rimah, tapi gue sayang ama anak-anaknya. Kalo gue kagak merasa sayang, kasihan ama anak-anaknya juga gue belum tentu mau dikawinin ama Bang Lani!” Salomah menjelaskan panjang lebar. ”Sekarang lu bayangin aje, lu tahu sendiri gue kan dari keluarga Arab. Orang Arab, lu tau kolot. Kawinnye ama orang http://facebook.com/indonesiapustaka
186 serumpun aje. Gue termasuk orang yang keluar jalur. Abahumi gue dulu awalnye kagak setuju gue kawin ama Bang Lani. Mana duda beranak lagi! Tapi akhirnya dibolehin juga, abis gue udah berumur!” Salomah lalu tertawa sendiri. Juleha berusaha tersenyum. ”Kenapa Mpok mau ama Bang Lani?” ”Itu sebabnya gara-gara dulu orang-orang suka ngejek gue, manggil gue Salome. Nah, abang lu tuh satu-satunya orang yang manggil gue Salomah, nama gue yang bener. Lu tau sendiri kan, orang Betawi… semua-mua belakangnya diganti e. Yah, salah Babeh gue juga sih… orang Arab tinggalnye di kawasan orang Betawi.” ”Tapi Bang Lani kan memang manggil Mpok ’Salomah’, bukan ’Salome’.” Kata Juleha, sambil mengingat-ingat kira-kira kapan Bang Jaelani pernah memanggil istrinya dengan Salome. ”Justru itu, gue jadi mau ama abanglu. Lu tahu gak, orangorang kalo ngejek gue apa?” ”Apa?” Juleha penasaran. ”Salome…, satu lobang rame-rame!” Juleha tertawa, tapi melihat Salomah yang merengut dia jadi berusaha menghentikan tawanya. Kadang orang suka membuat singkatan dari nama-nama. Juleha tahu, kalau singkatan itu bersifat mengejek tentu menyebalkan orang yang punya nama. ”Maap…,” ujar Juleha pelan, masih menahan tawa. Salomah lalu tersenyum ditahan, dia mengelus punggung adik iparnya, ”kagak apa-apa. Lu ketawa, gue seneng.” Juleha tersenyum, tak menyadari tadi dirinya bisa tertawa. Memang akhir-akhir ini agak susah baginya untuk sekedar menyunggingkan senyum semenjak ditinggal suaminya menikah lagi. ”Nah…, tadinye sih gue kagak ape-ape dipanggil Salome. Terus yang ka- http://facebook.com/indonesiapustaka
187 sih singkatan panggilan gue gitu pertama kali waktu jaman gue masih SMA, cowok yang dulu naksir gue, terus gue kagak mau. Eh… die ngejelek-jelekin gue. Tereak-tereak di jalan, ’salome… satu lobang rame-rame!’ gitu!” Juleha tersenyum mendengar cerita itu. ”Abah ama Umi gue sampe nyidang gue, dikira gue udah kagak perawan lagi! Gila apa?! Abis itu, anak-anak kampung suka lewat rumah gue, tereak-tereak gitu juga. Gue kan kesel! Sampe-sampe kalo ada yang panggil gue Salome, gak bakalan gue nengok.” Keduanya diam…, terbenam pikirannya masing-masing. Mungkin ingatan ketika masing-masing bertemu pasangan hidupnya. ”Bang Lani itu…, udah lama ditinggal mati ama Mpok Rimah juga, susah mau kawin lagi.” Juleha berkata pelan, tiba-tiba ia menyadari omongannya, khawatir membuat marah Salomah, ”eh… maksud aye….,” ”Enggak apa-apa kok, aye tau.” Salomah cepat-cepat berujar. ”Mungkin Bang Lani tau kali ye…, orang-orang panggil Mpok jelek gitu. Jadi die kagak panggil ’Salome’,” Juleha mengalihkan pembicaraannya ke jalur semula. ”Mungkin,” Salomah berkata pendek, ”…Bang Lani dulu pernah bilang, masih cinte ama almarhumah Mpok Rimah, tapi cinta ama aye juga. Justru gara-gara itu gue jadi mau ama die. Bang Lani bilang, kalo die kagak cinta kagak mungkin die mau ngawinin gue. Padahal katanya banyak orang yang nawarin dia perempuan buat jadi bini sambungan die ye?” Salomah memastikan. ”Iye…, aye tahu sendiri. Bang Kasi sama Mpok Enden juga pernah berapa kali ngenalin Bang Lani ama tetangganya yang http://facebook.com/indonesiapustaka
188 masih perawan. Apalagi yang nawarin jande, lebih banyak lagi….” Juleha mengenang. ”Udah ditinggal mati aja, Bang Lani masih cinta ama Mpok Rimah. Makanya, gue yakin die bakalan setia ama gue.” Salomah menghela napas panjang. ”Laki gue…, kok kagak bisa kayak Bang Lani ye? Apa memang betul ini salah aye, kagak bisa kasih anak?” Juleha mulai menangis tertahan. Salomah mengelus punggung Juleha, membiarkan Juleha menangis. ”Kalo laki lu gak bisa nerima lu seadanya, berarti emang dia gak betul-betul cinta ama lu. Bukan masalah lu kasih die anak apa kagak. Orang nikah kan pada hakekatnya buat memenuhi kebutuhan biologis, bukan buat cari keturunan.” Juleha menghapus air matanya, memandang Salomah. ”Masa? Mpok tau dari mana?” ”Ya tau aja, biar kata gue jelek, galak, tapi soal yang pentingpenting gue ngarti. Apalagi kite perempuan, bukan cuma bawa diri aje yang penting. Kayak yang dibilang orang-orang, kite musti gini-gitu, musti dukung suami kite, musti pake baju yang sopan, musti jaga nama keluarge, banyak lagi deh…. Padahal menurut gue yang paling penting kite musti bisa jaga diri sendiri. Justru ini yang kagak banyak diajarin sama orang tua kite dulu…,” nada suara Salomah semakin lama semakin terdengar tegas, Juleha memperhatikannya dengan seksama, ”eh, gue cerewet ye? He he he…, maap ye… keterusan.” Salomah senyum dikulum. ”Eh, enggak ape-ape kok. Aye diajarin kayak gini banyakbanyak juga mau. Biar aye ngarti,” pinta Juleha. Di luar terdengar suara mobil berhenti. Lalu tak lama suara laki-laki mengucap salam terdengar, itu Haji Jaelani dan http://facebook.com/indonesiapustaka
189 anaknya, Fauzan. Juleha dan Salomah membalas salam mereka bersamaan. ”Eh, laki gue udah dateng.” Salomah dan Juleha beranjak dari duduknya, ”udah balik Bang?” Salomah mencium punggung tangan kanan suaminya. ”Iye, orang kate tadi cuma ambil pormulir. Kagak taunye bayarnye masih seminggu lagi, ade jadwalnye. Antri bentaran doang. Tuh, pormulirnya boleh dibawa pulang, diisi di rumah ama Paujan.” Haji Jaelani melihat ke arah Fauzan. ”Lu udah rampung ngegosipnye?” Haji Jaelani menggoda Salomah dan Juleha. Keduanya pandang-pandangan dan tertawa kecil. ”Udah!” ujar mereka berbarengan. Salomah pamit, ia dan Juleha saling mencium pipi. Diantarnya Salomah, Haji Jaelani dan Fauzan hingga depan pagar rumah. ”Mpok, kalo mau dateng lagi, silakan aje. Aye seneng,” ujar Juleha. ”Iye, insyaallah gue maen ke sini lagi. Lu juga ye, seringsering ke rumah gue yang baru. Sekalian bantuin bebersih!” Salomah berkelakar. Juleha tertawa kecil. ”Iye, entar aye bantuin ngecet!” tanggap Juleha. Haji Jaelani tak bisa mengalihkan pikirannya dari pemandangan yang dilihatnya siang tadi ketika ia mengantar Fauzan. Sederet bangunan baru nan mulus dan bertingkat yang sedang dibangun. Ia tak akan memikirkan bangunan-bangunan baru itu jika saja bangunan itu tak didirikan di bekas tanahnya dahulu di Karet. Ya, Haji Jaelani sampai melongo melihat perubahan yang sangat pesat sehingga ia merasa dirinya betulbetul sudah tua dan masih banyak pe-er yang belum selesai http://facebook.com/indonesiapustaka
190 digarapnya. Setelah keluarga Jaelani mendirikan Isya, Fauzan sibuk dengan sejumlah formulir yang tadi diambilnya. Haji Jaelani memperhatikan Fauzan dengan riang. Ia telah berjanji pada anak bontotnya itu untuk mengantarnya lagi ke UI jika dibutuhkan. Salomah datang dengan gelas berisi cairan putih, meletakkannya tepat di depan Haji Jaelani. Lelaki itu memperhatikannya ”Susu!” Salomah menegaskan. ”Terus?” ”Terus, Abang harus minum.” ”Kagak lucu ah, gue jualan susu disuruh minum susu!” ”Justru Abang yang kagak lucu, seumur-umur jualan susu, punya sapinya segala, kagak doyan susu. Penting, Bang. Biar tulangnya kuat.” Salomah menjelaskan. Belum lama ia membaca artikel tentang osteoporosis di sebuah majalah wanita. ”Kayak anak bayi aje! Bikini gue kopi!” Haji Jaelani menitah. ”Abang minum dulu susunya, baru aye bikinin kopi. Biar tulang Abang kagak keropos! Entar jadi bongkok lho!” ujar Salomah tegas. Haji Jaelani tahu, kalau istrinya sudah bersikeras begini obatnya hanya satu; dituruti. Laki-laki yang tak bisa dibilang muda itu mengangkat gelas susu. Memperhatikan cairan putih itu, mengendusnya dan menutup hidungnya dengan tampang eneg. Sejak dulu, karena sudah terbiasa mengurus sapi perah, dia jadi tak pernah benarbenar doyan susu. Haji Jaelani akhirnya menenggak susu sapi itu sambil menutup hidungnya. Ditelannya cepat-cepat. Ketika sudah berhasil menghabiskannya, Haji Jaelani berpikir sejenak, ”kok rada cair ya susunya? Ini dari sapi kita bukan?” http://facebook.com/indonesiapustaka
191 ”Iya, si Enoh yang nganter. Emang aye yang pesen, sebelum dia nganter ke koperasi susu,” ujar Salomah menjelaskan. ”Kok encer ya? Dibandingin dulu.” ”Dulu kapan? Kapan Abang minum susu?” tanya Salomah memastikan. ”Udah dulu banget sih…, waktu Enoh masih kecil,” jawab Haji Jaelani. ”Ck… Abang…,” Salomah berdesak sambil mendelik, ”itu mah tahun topeng monyet masih laku. Sekarang udah tahun berapa Bang! Abang lupa kali rasanya susu?!” Haji Jaelani berpikir sejenak, ”iye kali ye… gue lupa rasa susu.” Haji Jaelani dan Salomah diam sejenak, mereka melihat ke arah Fauzan yang sedang mengisi formulir. ”Lega gue, anak gue bakal jadi orang,” tiba-tiba Haji Jaelani berkata sendiri. ”Iya Bang, aye juga,” sambung Salomah. ”Tadi waktu gue nganter Paujan, baliknye gue sengaja lewat tempat kite dulu di Kuningan. Lu tau… sekarang udah ade bangunan bagus. Udah berubah bener. Itu katanya ruko; rumah toko. Cepet banget sih bangunnye gedung segede-gede gitu. Duitnye orang pengembang banyak banget pasti ye!” Haji Jaelani menghela napas, mengingat sebuah papan yang sengaja diletakkan di depan bangunan setengah jadi itu. Bertuliskan; ’Di sini akan dibangun ruko’, diikuti sederet angka, nomor telepon pengembang. Kalau-kalau ada orang yang tertarik membeli satu unit ruko tersebut, tentu saja. ”Udah Bang, kagak usah dipikirin lagi. Kalo dikenang-kenang terus, entar Abang jadi enggak rela nerima kita kudu pindah sini.” Salomah mengingatkan. http://facebook.com/indonesiapustaka
192 ”Ya, sejujurnya gue emang rada nyesel sih….” aku Haji Jaelani. ”Tuh, kan!” ”Coba dulu gue sewain aje tanahnye. Apa kongsi deh ama pengembang, pasti duitnya lebih banyak. Bisa cukup buat ngidupin Japri ama Juned juga. Kagak usah mikir sapi lagi. Mana gue kagak jadi dapet dollar, lagi! ” Haji Jaelani menerawang. ”Abang… istighfar Bang. Jangan mikir andai-andai melulu. Gak baek. Lihat kenyataan, bersyukur aje deh ama keadaan kite sekarang!” Salomah menasehati. Haji Jaelani tersadar, ”Astagirullah… iye lu bener Mah. Gue tadi cuma mikir, kalo gue mati mau kasih warisan ape ye buat anak-anak gue?” ”Yah… Abang, gituan lagi dipikir. Kalo mati ya udah, mati aja. Makenye, aye pengen anak-anak belajar yang bener, sekola yang tinggi. Kalo kita kagak bisa kasih mereka harta, cuma ilmu yang bikin anak-anak tetap bisa mapan.” Salomah berilsafat panjang lebar. ”Seenggak-enggaknya sekarang gue kagak perlu mikir Enoh….” Haji Jaelani merebahkan kepalanya di sandaran tempat duduk. Ia dan istrinya kembali memperhatikan Fauzan yang masih asyik mengisi formulir. Ã Tahun ajaran baru dimulai, Fauzan kebagian ospek selama satu minggu. Sudah empat hari dia kelimpungan mencari barangbarang yang dibutuhkan untuk mengikuti ospek. Kurang tidur, dan perlengkapan yang dibawanya tidak tanggung-tanggung. Haji Jaelani dan Salomah membantu anaknya sebisa http://facebook.com/indonesiapustaka