The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by SMP Negeri 3 Pangandaran e-Katalog, 2023-11-22 03:47:43

Kronik Betawi

Kronik Betawi

Keywords: Bacaan,Novel

43 dan penghuni rumah keluarga Henk di Karet jingkrak-jingkrak. Termasuk Tuan Henk yang akhirnya bisa mewujudkan citacitanya; pulang ke Belanda. Ketika Tuan Henk balik ke Belanda, semua rumah dan tanahnya di Karet dan benda-benda milik keluarga Tuan Henk, termasuk sapi-sapinya yang tinggal enam ekor diberikan pada Juned. Sementara rumah dan peternakan milik Tuan Henk di Kebayoran dijual murah kepada seorang Belanda yang masih bertahan di Indonesia. Uang hasil jualannya akan ia gunakan sebagai modal usaha di Belanda. ”Kalau kowe tidak ada, ik sudah mati, berarti ik tidak bisa lihat tanah air ik lagi,” ujar Tuan Henk ketika menyerahkan tanahnya kepada Juned. Semua pemberian Tuan Henk sebagai tanda terimakasihnya pada Juned. ”Pegimana kalo Tuan balik ke mari? Mau tinggal di mane?” ”Ik tidak akan balik ke Indonesia, Bung Juned.” Secara literal Tuan Henk sudah menyatakan diri meninggalkan Indonesia selama-lamanya. Ada satu berita lagi yang menggembirakan; tepat ketika Jaelani, putra pertama Juned berusia dua tahun, Bung Karno mengumandangkan proklamasi. Indonesia merdeka. Di rumah itulah Juned memulai hidup baru, hidup yang layak bersama Ipah. Mereka membangun keluarga baru dengan tiga anak yang lahir dari Ipah. Di rumah itu pula beberapa tahun kemudian Bung Juned mengaku merasakan jatuh cinta dan akhirnya kawin lagi. Ipah, perempuan yang pada dasarnya bodoh dan penurut, memberi ijin. Perempuan kedua Bung Juned adalah gadis dari Serang bernama Riyah. Sejak itu, Bung Juned kerap bolak-balik Jakarta-Serang untuk membagi cintanya kepada kedua istrinya. Hingga Bung Juned meninggal, hanya satu keinginannya http://facebook.com/indonesiapustaka


44 yang belum terpenuhi; naik haji seperti Haji Ung, gurunya. Ia kerap berkata pada anaknya, kalau ia tak bisa naik haji, maka anak harus ada yang naik haji. Hingga ia meninggal pula, tembang Jiung yang menyelamatkan nyawanya dari Jepang tak pernah betul-betul diajarkan pada murid maupun anak-anaknya. Tembang itu ikut terkubur bersama matinya Bung Juned. Nah, sekarang tolong jelaskan; di sepanjang cerita tempo dulu itu, bagian manakah yang menceritakan ada darah seni pada asal hidup Jarkasi? Tak ada sama sekali. Tidak seperti Jaelani, Jakarsi tidak suka berlatih pencak silat. Padahal, semasa mereka kecil, Bung Juned sempat juga melatih silat untuk anak-anak di daerah Karet. Meskipun Jarkasi sempat ikut perguruan itu, toh dia mengikutinya bukan karena memang suka. Ia ikut karena ayahnya adalah gurunya. Ketika Juned sudah cukup besar untuk bisa mungkir, maka itulah yang ia lakukan. Semakin hari ia semakin pintar bikin alasan untuk tidak ikut latihan pencak silat. Hingga lama kelamaan ia sama sekali tak ikut pencak silat. Jadi tak berlebihan sekiranya Jarkasi diibaratkan jambu yang jatuh dari pohonnya dan menggelinding jauh mendekati pohon mangga. Ã Beda kisah Bung Juned dengan anaknya Jarkasi, maka beda pula kisah Jarkasi dan anaknya, Edah. Edah justru seperti jambu yang jatuh dari pohonnya, berdiam di bawah pohon jambu induknya lalu seiring waktu ia melesak ke dalam tanah dan dengan bijinya tumbuh sebagai pohon jambu, persis asalnya. Meskipun suaminya seorang seniman gambang kromong, http://facebook.com/indonesiapustaka


45 Enden tidak suka jika anaknya juga menjadi seniman. Enden tak keberatan hidup dari musik gambang kromong, tetapi bukan berarti pula ia menginginkan hal yang sama untuk anaknya. Enden pun sudah mengutarakan hal ini pada suaminya, Jarkasi. Tapi jika si anak maunya begitu, mau bagaimana lagi? Baru saja Jarkasi menaruh pantatnya di kursi, belum juga diteguk air teh yang disuguhkan istrinya, Enden sudah mengomel soal anak perempuan mereka yang sebiji mete jambu bol suka menari. Jarkasi hanya berdehem. ”Abang ngomong kek ama si Edah… kagak usah ikut-ikutan nari.” Jarkasi kembali berdehem, sudah setengah jam Enden laporan padanya soal Edah yang diam-diam ikut ekstrakurikuler menari di sekolahnya. ”Emang ngapa sih, namanya anak prawan… demen nari kan gak sirik,” ujarnya dengan suara tenang. ”Abang gak ngerti perasaan aye. Tau gak sih Bang, orangorang yang nari itu sering ditoel-toel orang. Aye gak rela anak aye atu-atunye dicolak-colek orang, dikira perempuan begituan.” ”Begituan apaan?” ”Aaah… Abang pura-pura bego! Begituan ya begituan!” Enden menekuk wajahnya dua puluh tujuh kali. ”Elu, laki balik bukannya dipijit, malah nyap-nyapan,” akhirnya Jarkasi berkomentar. Enden mendelik sebal. Jarkasi sendiri sampai saat ini, selain mengurus lima buah rumah petak yang dikontrakan, juga tak pernah absen mengurus kelompok gambang kromong meskipun nyaris tak ada lagi orang yang menanggap kesenian tradisional itu. Sejak belum punya punya anak, bahkan sebelum ia punya pacaran dengan Enden, bakal istrinya, Jarkasi sudah lebih dahulu bergabung http://facebook.com/indonesiapustaka


46 dengan kelompok gambang kromong Setia Warga pimpinan haji Bokir di Kampung Dukuh, Pondok Gede. Di situlah ia berguru pertama kali. Ia sebetulnya tak heran jika Sarida, anaknya yang lebih sering dipanggil Edah punya kesukaan menari. Anak itu sejak kecil sering mengikuti ayahnya saat latihan gambang kromong di Kampung Dukuh. Otomatis ia kerap memperhatikan sekelompok perempuan latihan menari jaipong, topeng. Jarkasi bergabung dengan kelompok gambang kromong ketika ia berusia 15 tahun. Waktu itu, setelah melihat upacara dan mendengarkan Bung Karno pidato, ia dan kakaknya mengayuh sepeda hingga Lapangan banteng dan menonton sekelompok pemusik tanjidor ngamen di sana. Petugas CMP tiba-tiba datang dan mengejar para pengamen itu. Itulah pertama kali perkenalannya dengan Pei, seorang pemain tambur tanjidor yang paling muda. Ia bersembunyi, ketiga tiga orang teman-temannya tertangkap. Jarkasi menemukan Pei kebingungan, dan akhirnya mengantarnya kembali ke Kampung Dukuh, tempat tinggal Pei. Pei yang mengajaknya keliling kampung Dukuh, mengenalkanya pada Haji Bokir. Ketika kelopok gambang kromong itu latihan, Jarkasi jatuh cinta pada orkes yang merupakan paduan antara gamelan, musik barat dengan corak Cina ini. Di situlah ia akhirnya bergabung dengan kelompok gambang kromong Setia Warga pimpinan Haji Bokir. Jarkasi berlatih memainkan semua alat musik. Mulai dari gambang kayu, kromong, rebab Cina yang berjumlah empat buah dengan ukuran yang berbeda-beda, alat musik petik Sam Hian, bangsing bambu, cengceng dan ningnong. Suatu hari ketika mereka sedang berlatih lenong, dan Jarkasi mengajak Edah, tiba-tiba muncul satu ide; menambahkan satu tokoh tambahan dalam lenong. Tokoh anak kecil perempuan. Edah mau saja di- http://facebook.com/indonesiapustaka


47 suruh jadi pemain lenong. Ia menikmati perannya sebagai anak bawang. Ketika pulang, Jarkasi bercerita pada istrinya sambil tertawa-tawa, bahwa Edah tadi ikut latihan lenong sementara ia dan kelompoknya mengiringi dengan gambang kromong. Respon Enden sangat bertolak belakang dengan yang awalnya diduga Jarkasi. Enden langsung marah, dan memaksa Jarkasi bersumpah untuk tidak membiarkan Edah jadi pemain lenong. Maka peran buat Edah pun akhirnya dicoret. Edah memang tak main lenong, tapi diam-diam ia latihan menari. Mirip kelakuan ayahnya sewaktu kecil mangkir dari ikut latihan pencak silat, maka Edah pun punya segudang alasan untuk pulang sekolah terlambat karena ikut ekstrakurikuler menari. Jarkasi menyeruput tehnya. ”Eh Bang, terus pegimane hasilnye? Bang Jaelani mau kagak?” tanya istrinya yang baru tersadar sejak tadi belum menanyakan hasil usaha perjodohan abang iparnya dengan tetangga mereka, perawan bernama Bati’ah. ”Apanya?” ”Ya jodohannya, emang apa lagi?” ”Udah… gue udah anterin Bati’ah ke tempatnya Jelani,” jawab Jarkasi. ”Terus?” ”Udah kenalan,” jawab Jarkasi lagi, sambil kipas-kipas dengan pecinya. ”Terus?” Enden masih penasaran. ”Terus-terus…, emang kang parkir!” ”Aaah, abang…. Aye kan pengen tau. Bang Jaelani demen kagak?” Enden mendesak suaminya dengan gaya khas ibu-ibu yang doyan gosip. http://facebook.com/indonesiapustaka


48 ”Kagak tau deh. Susah banget! Yang itu gak demen, yang ini gak demen. Gue gak ngarti deh selera abang gue itu!” Jarkasi lalu menarik napas panjang. ”Bang Lani lagian melototin Bati’ah aje,” sambung Jarkasi, suaranya datar. ”Wah!” Enden tiba-tiba girang, ”melototin berarti demen dong Bang?” sambungnya. ”Ya belom tentu, orang dienya diem aja. Gue yang nyerocos nerangin. Padahal si Bati’ah udah bikinin kupi segale. Kurang apa sih Bati’ah? Perawan iye, keibuan iye. Rambutnye panjang, mane ade tai laletnye lagi! Ck ck ck….” Jarkasi geleng-geleng kepala berkomentar sendiri sambil mengingat-ingat Bati’ah, lalu mengangkat cangkirnya. ”Auk!” tiba-tiba kata Enden dengan kesal. Wajahnya ditekuk dan ia segera membuang muka. Jarkasi menyeruput minumannya sambil melirik pada istrinya. ”Eh, ngape lagi lu?” tanya Jakrasi bego. Enden memilin-milin kain bajunya dengan sebal, seolaholah ia bisa melihat wajah Bati’ah terbayang-bayang di kepala di suaminya. ”Ah, Abang! Pake tanya segala!” mulutnya monyongmonyong. Jarkasi mengamati gelagat istrinya, akhirnya dia bisa menangkap sinyal-sinyal yang dikeluarkan istrinya. ”Yaelaaaaah… lu cemburu?!” Jarkasi tertawa, hampir-hampir air tehnya muncrat. ”Lu cemburu ama Bati’ah?” tanyanya lagi. Enden tak menjawab, bibirnya masih monyong. Dia menghentakan kakinya, lantas berlalu dari ruangan itu dengan kesal. Jarkasi masih tertawa melihat kelakuan istrinya. Dia tahu, kalau sudah begini dia harus menghampiri istrinya untuk merayu. Perempuan kalau berlalu, justru inginnya dikejar. Ya, mirip-mirip ayam mau kawinlah; yang jantan harus mengejar-ngejar betinanya dulu. ”Den…, jangan ngambek aje ngapa!” Jarkasi menahan le- http://facebook.com/indonesiapustaka


49 ngan istrinya yang belum jauh berjalan. Enden melengos, melepaskan tangan suaminya yang menahan lengannya. Ia berlagak tak ingin disentuh. ”Lagian Abang apaan sih… bayang-bayangin si Bati’ah kayak gitu. Rambut panjang lah! Tai lalet lah! Aye juga punya tai lalet, nih!” Enden menarik lengan panjang bajunya, ada kulit berwarna kehitaman selebar koin lima perakan di dekat siku kanannya. Bulu-bulu halus tumbuh di situ. ”Yah… itu mah tompel namanya!” Jarkasi berkomentar. ”Tuh… kan, Abang emang suka ama Bati’ah ye? Apa Abang aje yang kawin ame die? Mentang-mentang aye kagak punye tai lalet. Sono! Sono! Terus-terusin aje! Pulangin aye ke rumah orang tua aye! Pulangin!” Enden makin merajuk. Jarkasi malah tertawa, lalu dicubitnya pipi istrinya dengan gemas. Enden menampik tangan Jarkasi dari pipinya, dia masih kesal. ”Kagak! Sumpah… gue kagak pengen kawin lagi.” Jari telunjuk dan jari tengah Jarkasi diangkatnya, agar sumpahnya meyakinkan. ”Sumpah, sumpah… demi apaan?” tanya Enden dengan galak. ”Sumpah pocong dah!” ”Iiih… entah lu didatengin pocong, sukurin!” ”Ah, elu… bikin gue gemes aje! Hiiiiih!” Jaelani kembali mencubit pipi Enden. ”Jadi laki tuh kayak Bang Lani! Udah ditinggal mati bininya juga masih aje setia. Disodorin perempuan kanan kiri juga tetep aje kagak ngelirik. Itu baru namenye cinta betulan!” komentar Enden, ngambeknya sudah mereda. ”Eh, elu demen ame abang gue ye?!” kini gantian Jarkasi yang jatuh curiga. http://facebook.com/indonesiapustaka


50 ”Masyaallah Bang, Bang… enak aje lu ngomong! Mau lu terus-terusin, biar kite kelahi aje?!” Enden nyemprot, dia berkacak pinggang memasang tampang galak. Jarkasi tersenyum, mengelus lengan istrinya. ”Kagak… kagak… iye gue tau lu setia. Udah ah, capek gue cekcok mulu!” Jakasi mencoba meredakan istrinya. Akhirnya Enden menarik napas panjang, amarahnya sudah reda. Jarkasi celingukan, ”Edah mane?” ”Nah… entu yang dari tadi aye bilang, Edah pergi. Gue udah tau deh, tuh anak pergi ke sekolahannya, pasti nari lagi! Pasti! Biar kate dia kagak ngaku, aye tau. Aye berasa, aye kan emaknye. Mana si Enoh sekarang ikut-ikutan juga.” Sebegitu mudahnya pikiran Enden teralihkan, dia sama sekali tak ngambek ataupun marah lagi pada suaminya. Kini dia khawatir pada anak mereka. ”Enoh tadi di sini?” ”Iye, entu seragam sekolahnya masih di sini. Tadi die pake bajunya Edah.” Sepasang seragam sekolah putih merah sudah terlipat rapi. Enden menyempatkan diri untuk menyeterikanya tadi sesaat setelah anak dan keponakannya pergi. ”Ck…,” Jarkasi berdecak, ”kesianan tuh anak. Kagak punya ibu.” Jarkasi menerawang lalu menarik napas panjang. ”… iye,” Enden berkata lemas, lalu sambungnya, ”Bang…, cepet-cepet deh ngomong ama Bang Lani biar punya bini lagi, kesian anaknye!” ”Iye, itu juga rencana gue. Abis ini gue mau ke rumah Bang Jaelani lagi.” Jarkasi mengaso sejenak. http://facebook.com/indonesiapustaka


51 3 B ulan malam ini warnanya biru. Mirip warna laut yang paling dalam. Biru gelap. Juleha memandang bulan itu dari balik jendela kamarnya. Ada tempat tidur yang kosong dan rapi. Malam ini Jiih tidak tidur dengannya, mulai hari ini juga kewajibannya bertambah satu lagi; membagi suaminya. Juleha tidak tahu harus menangis atau teriak, atau malah tertawa. Yang pasti, ia punya alasan untuk itu semua. Juleha sebetulnya memilih ingin tertawa, untuk menertawakan hidup. Tapi bibirnya tak mau menyungging sedikit pun, apalagi memperlihatkan gigi-geliginya. Kalau teriak, ia tak mau didengar tetangga. Pasti besok pagi ibu-ibu tetangga akan menggunjinginya di belakang; istri pertama depresi. Ia juga tak mau menangis. Air mata ditahannya sekuat tenaga, ia bahkan menengadahkan kepalanya. Menahan agar air matanya tak jatuh. Berhasil. Ia tak menangis. Kalau ia sampai menangis, dia tahu dirinya rapuh. Dan ia tak ingin jadi rapuh. Juleha memutuskan untuk duduk di pinggir jendela dan memandang bulan yang malam ini warna biru. Ia tak ingin merusak kasur yang rapi. Tidak tanpa suaminya, sebab kemarin-kemarin dengan suaminyalah ia biasa memberantakkan kasur itu. Pernah pula hingga spreinya membulat di tengah kasur, dan selimut http://facebook.com/indonesiapustaka


52 terpental ke lantai sementara ia dan suaminya telanjang bulat. Waktu itu, yang ada hanya malam-malam panas yang tiga tahun terakhir ini tak pernah dirasakannya lagi. Juleha bisa melihat dengan jelas pagi ini, wajah suaminya dan perempuan keduanya yang berbinar-binar ketika mengucap ijab kabul. Sementara dia diam di belakang. Juleha meremas kain kebayanya. Ketika ia menikahi Jiih, suaminya, ia tak pernah menyangka hidupnya akan mirip dengan kehidupan ibunya dulu. Hanya saja, ibunya punya nasib yang lebih baik. Ada tiga anak yang tak segan-segan merepotkannya, memberinya pekerjaan untuk membunuh waktu saat menunggu suaminya tak pulangpulang dari berkunjung ke rumah istri keduanya. Bahkan tak jarang anak-anaknya membuat ia tersenyum. Ini adalah alasan yang cukup untuk membuatnya bertahan. Tapi dirinya? Juleha tak punya alasan yang cukup untuk terus bertahan, sementara satu-satunya orang yang ia pikir akan menghabiskan sisa hidup dengan dirinya seorang, kini harus ia bagi pula. Ini tak seperti membagi bolu, yang bisa dipotong-potong dan dinikmati bersama. Juleha ingat betul, perubahan demi perubahan yang ada pada suaminya, Jiih. Waktu itu Jiih akan naik haji. Masa’ kah Juleha akan tak setuju jika suaminya hendak naik Haji, pergi ke tanah suci. Bukanlah itu impian setiap umat Islam? Bukankah itu Rukun Islam yang kelima? Yang mengikuti syahadat, salat, puasa dan zakat, hingga puncaknya untuk berhaji jika mampu. Suaminya, Jiih, jelas sudah mampu secara inansial. Juleha mengingat-ingat kembali prasyarat melakukan haji lainnya yang didapatnya dari guru mengaji dulu; jelas-jelas orang yang ditinggal berhaji tetap bisa makan, tak ada kesulitan inansial atau kesulitan suatu apa pun. Orang yang berangkat haji pun http://facebook.com/indonesiapustaka


53 sehat wal aiat. Tak ada pula perang baik di negara yang ditinggal, negara yang dituju, maupun di perjalanan. Semuanya baik-baik saja. Tetapi kenapa, batin kecilnya tak menginginkan suaminya pergi menunaikan haji. Apa karena Juleha tak diajak? Perempuan yang belum juga dikaruniai anak itu bertanya-tanya pada dirinya, apa yang salah sehingga ia tak menginginkan suaminya pergi haji kendati ia tak berani melarangnya. Bukan, bukan karena ia tak diajak. Itu kan karena memang mereka baru mampu untuk memberangkatkan haji satu orang. Dan orang itu, tentu saja, suaminya yang patut untuk berangkat. Lelaki itu telah mencari uang dengan keras dan menafkahi keluarga mereka. Lagipula, Juleha sejujurnya tak terlalu ingin pergi naik haji dan menjadi Hajjah. Entah kenapa. Suaminya yang sudah menabung ONH, ongkos naik haji, dengan girang pulang dan bilang pada Juleha, bahwa ia bisa naik haji tahun ini. Lelaki itu lekas-lekas sujud syukur berulangulang. Lalu tiba-tiba, ”duh… gue pengen beol!” dan melesat ke kamar mandi. Juleha tersenyum kulum, membiarkan lelakinya pergi ke kamar kecil untuk buang hajat. Ini adalah kebiasaan suaminya jika ia merasa euforia terhadap sesuatu. Kebiasaan ini pertama Juleha ketahui saat malam pertama mereka sepuluh tahun yang lalu. Waktu itu, ketika mereka halal satu sama lain untuk pertama kalinya, Jiih mendadak mules dan ingin ke belakang. Rumah yang masih penuh tamu pun heboh karena Jiih, si pengantin, keluar kamar dan bergegas ke pembuangan hajat yang letaknya di belakang. Juleha yang belum diapa-apakan tetapi sudah separuh baju pengantinnya terbuka, mendadak dikerumuni ibu-ibu tetangga yang masih kumpul di rumah pengantin. Mereka segera menghujamnya dengan pertanyaan-pertanyaan; http://facebook.com/indonesiapustaka


54 ”Gimana… enak kagak?” ”Udah diapain aja?” ”Kok cepet banget?” tanya salah seorang dari mereka dengan curiga. ”Eh, justru bagus… kalo cepet itu memang buktinya dia masih perjaka! Kalo tahan lama sih, berarti sering latihan. Baru musti curiga!” sangkal seorang ibu lainnya. Juleha, yang wajahnya semerah kulit rambutan karena malu, berkata sambil menunduk, ”ehm… belom. Itu, Bang Jiih mau ke belakang dulu. Kebelet.” Spontan ibu-ibu yang mengelilingi tertawa. Mereka sepakat menyimpulkan bahwa Jiih masih perjaka yang gugup menghadapi malam pertama. Para perempuan yang sudah berpengalaman di tempat tidur itu pun cekikikan. Lalu mereka mulai menjadi konsultan seks dadakan yang saling bersahut-sahutan; ”Elo jangan kampungan, coba gaya macem-macem, ya!” ”Iya, pasang kuda-kuda, samping, belakang, depan…, sikat semua!” ”Emang silat?!” sahut seorang ibu bertubuh tambun. ”Eh…, emang hampir sama ama silat! Emang lakinya situ kagak kayak gitu?!” yang dicolot seperti itu membuang muka dengan sebal. Lakinya memang lebih suka gaya konvensional. ”Gaya 69!” sahut si ibu yang tadi menyuruh Juleha untuk pasang kuda-kuda. ”… enam sembilan?” Juleha melongo bego. ”Iya, kalo perlu jangan cuma gaya 69 doang. Gaya 152, gaya 48, gaya 321 juga!” sahut ibu konvensional dengan sok tahu. ”Gaya apaan, tuh?!” si ibu kuda-kuda protes. ”Nah, lo kagak tahu kan!” sahut ibu konvensional bangga. Tiba-tiba Jiih sudah di depan pintu, mendapati istrinya http://facebook.com/indonesiapustaka


55 dikerubuti ibu-ibu tetangga. Dia berdehem, ”rame nih, mau arisan ya?” Ibu-ibu yang melihat Jiih langsung permisi sambil cekikikan keluar kamar. Sementara Jiih yang tadinya perutnya masih sedikit mules tiba-tiba lupa akan rasa itu. Ketika Jiih menutup pintu, dari luar terdengar cekikikan ibu-ibu lebih keras lagi. Juleha dan Jiih memasang telinga mereka, hingga tawa itu habis dan yang terdengar gambang kromong yang akan dimainkan semalaman. Malam itu masih ramai, kendati acara inti sudah selesai pagi hari. Tapi maklum, namanya saja perkawinan. Orang tua Juleha, dengan alasan mumpung ada uang, ingin mengadakan pernikahan yang meriah di rumah. Juleha anak terakhir, perempuan pula, kedua orang tuanya, Bung Juned dan Ipah yang sadar tidak bisa mengadakan tiga hari tiga malam, sudah berniat ingin merayakan sehari semalam. Juleha, seperti perawan-perawan Betawi lainnya, menginginkan lelaki yang saleh. Pintar mengaji, rajin sembahyang. Itu saja prasyaratnya. Jaman ia cari suami, ia tak berpikir harus setinggi apa pendidikan calon suaminya dan harus seberapa banyak penghasilan suaminya per bulan. Baginya, jika agama sudah dipegang, maka semua akan berjalan dengan mudah. Seperti itu yang dicari, seperti itu pula yang didapat. Hatinya tertambat pada Jiih, pemuda yang biasa mengumandangkan adzan di masjid dengan suaranya yang lantang dan merdu mengundang tiap umat untuk datang ke masjid. Juleha ke masjid tak hanya untuk bertandang dengan Allah, lebih dari itu untuk melihat si empunya suara merdu yang mengumandangkan adzan. Cinta Juleha tak lama-lama. Gayungnya cepat sambut. Jiih jatuh cinta pada perempuan saleh yang tak absen magriban di masjid. Suatu sore setelah selesai magriban, Juleha sengaja http://facebook.com/indonesiapustaka


56 berlama-lama berdoa dan melipat mukenanya. Diam-diam dia curi pandang pada pemuda yang sedang membenahi alat sembahyang yang selesai dipakai ummat. Pemuda itu juga diamdiam curi-curi pandang. Ketika Juleha selesai melipat mukena, ketika itu pula ia melirik, bersamaan dengan pandangan pemuda masjid itu melirik. Mereka bertemu pandang. Juleha deg-degan dan malu-malu merpati. Ia langsung menundukkan kepalanya dan berlalu dari masjid itu cepat-cepat. Juleha cepat-cepat mengenakan sandal jepitnya dan berjalan keluar pagar masjid. Juleha mempercepat langkahnya, ketika ia sadar ada seseorang yang mengikutinya di belakang. ”Neng…! Neng…!” panggil suara itu. Mengetahui yang memanggil-manggil adalah suara laki-laki, sementara dia perempuan sendiri di malam hari, tentu saja membuat Juleha ketakutan. Ia mengekap mukenanya rapat-rapat ke dada, dan mempercepat langkahnya. ”Neng! Tunggu…, sendal!” Juleha semakin mempercepat langkahnya, dan bruk! Ia terjerembab, mengaduh kecil sambil berusaha berdiri tetapi suaranya keseleo. ”Neng….” ujar suara yang kini betul-betul di belakang Juleha. ”Jangan!” teriak Juleha. ”Eh, maaf… maaf…., sendal, Neng!” kata suara itu lagi, masih di belakang Juleha yang belum berhasil berdiri karena dirasakannya kakinya sakit. ”Apa lo, aye bukan sundel!” teriak Juleha sambil berbalik dan melempar mukenanya. Mukena itu jatuh ke tanah. Sementara yang dilempar mukena berhasil menampik. ”Astagirullah…!” ujar pemuda itu ketika tahu yang ditam- http://facebook.com/indonesiapustaka


57 piknya adalah mukena, jatuh ke tanah. Kain putih itu jadi kotor. Betapa terkejutnya Juleha ketika ia melihat si empunya suara itu adalah orang yang kerap menyuarakan adzan dan tadi liriklirikan dengannya. Sedetik kemudian ia melupakan pikiran itu, sebab ia merasa lega yang memanggil-manggilnya bukan orang jahat. ”Neng, mukena jangan dilempar.” Juleha masih terdiam, takjub tak tahu harus berbuat apa. ”Neng… sendal,” sambung pemuda itu lagi. ”Gue bukan sundel!” teriak Juleha panik. ”Yee…, sendal! Bukan sundel! Sendal! Tuh, sendal yang Eneng pakai kiri semua.” Juleha melihat sandalnya, yang dipakai kiri semua. Tak heran dia tersandung. Kini dirasakan wajahnya sehangat kue cucur baru keluar penggorengan. Ia malu bukan kepalang. Untung gelap, kalau tidak lelaki pujaan hatinya itu pasti bisa melihat wajahnya berubah warna serupa gula merah yang bercampur dalam kue cucur. Ia pasti tadi sangat gugup sebab tak sengaja bertemu pandang dengan pemuda itu, hingga ia terburu-buru pakai sandal kiri semua. ”Itu sandal saya,” sambung pemuda itu lagi, ”yang kiri…. Ini punya Eneng yang kanan saya bawain.” Ia melepas sandalnya, dan menukar dengan sandal kiri yang dipakai Juleha. Sandal jepit karet warna putih dengan karet jepit warna hijau. Sandal dengan model sama dengan milih Juleha, tak heran Juleha tertukar saat memakainya. Hanya berbeda satu nomor lebih besar. Tak lama setelah tukaran sandal, keduanya saling memperkenalkan diri. Dengan malu-malu, tentu saja. Dan karena Juleha masih berjalan terseok-seok, Jiih membantu menuntunnya sam- http://facebook.com/indonesiapustaka


58 pai rumah. Ketika di ujung pagar, Juleha berterimakasih dan meminta agar Jiih tidak mengantarnya sampai pintu rumah, sebab ayahnya pasti marah jika tahu ia jalan bersama laki-laki bukan muhrim. Namun begitu, tak lupa Juleha memberikan senyum manis yang mengingatkan Jiih akan manisnya kue cucur. Dua hari Juleha tak datang magriban di masjid karena masih keseleo. Tiba-tiba hari ketiga, selesai waktu magrib, seorang tamu mengetuk pintu rumah Juleha. Ibunya membukakan pintu, seorang pemuda tepat di depan pintu berkata sopan, ”Salam mualaikum.” ”Alaikum salam, cari siape ye?” ”Ehm… Julehanya ada Bu?” ”Situ siapa?” ”Jiih, Bu. Saya mau tahu, apa Juleha sudah sehat?” ”Sehat? Juleha baik-baik aja, kagak impluenza.” ”Bukan, Bu… maksud saya, apa kakinya masih keseleo? Sebabnya, waktu dia keseleo kemarin saya yang bantu,” Jiih menjelaskan. ”Oooo…, elu yang bantuin Leha. Masuk deh!” ibunda Juleha spontan jadi ramah, ”Leha….! Nih, ada yang cari!” teriak ibunya. ”Siapa Mak?” tanya suara dari dalam. ”Siapa nama lu tadi?” tanya ibunya Juleha kepada Jiih, tanpa menunggu jawaban si ibu berteriak lagi kepada Juleha yang masih di dalam rumah, ”ini, katanya yang bantuin elo waktu keseleo kemaren!” Juleha langsung kaget bukan kepalang. Ia panik sendirian, ibarat lupa meninggalkan nasi di dandang hingga gosong. Ia lalu menarik napas. Didengarnya ibunya teriak lagi memanggil namanya. http://facebook.com/indonesiapustaka


59 ”Iya Mak…, sebentar,” jawab Juleha dengan suara keras. Ia mengambil sisir dan menyisir rambutnya, berkaca sejenak. Lalu dengan cepat agak membuat rambutnya sedikit acak-acakan, karena tadi ia bersisir terlalu rapi. Ia tak ingin orangtua maupun si tamu laki-laki tahu kalau ia sengaja bersolek. Lalu ia mengambil selembar selampe, dan mengusap wajahnya agar tidak terlalu mengilap. Mencubit-cubit pipinya agar kelihatan sedikit merona. Ia menarik napas satu kali lagi, lalu keluar kamar. Dilihatnya pemuda itu berdiri dari dudukannya ketika melihat Juleha keluar. ”Udah sehat, Neng?” ”Udah rada baikan…,” jawab Juleha. Suaranya sengaja ditahan agar tak terdengar melengking. Sejak itu, orang tuanya tahu kalau setiap selesai magriban di masjid, pasti Jiih mengantarkan Juleha pulang. Dan seperti layaknya laki-laki yang bertanggungjawab, Jiih mengantarkan Juleha tepat di depan pintu rumah, sampai ke tangan orang tuanya utuh bulat-bulat tak kurang dan tak lebih suatu apa pun. Jiih tak ingin zinah, sementara keinginan syahwatnya sudah naik, ibarat lelacur ngudak-ngudak ayam biang. Maka ia cepat-cepat minta bapaknya melamarkan anak perempuan Bung Juned itu. Takut keduluan jejaka lain. Bagaimana kalau tiba-tiba orangtua Juleha menyetujui lamaran lelaki dari negeri antah berantah. Tentu akan hancur hati Jiih, dan pasti susah buatnya untuk jatuh cinta lagi. Meskipun ia anak yang patuh, tetapi ia bukan lelaki yang mau dijodohkan oleh orang tuanya. Keberuntungan menyertai Jiih, Bung Juned menerima lamarannya tanpa syarat yang aneh-aneh pula. Bapak Juleha sudah terkesan lebih dahulu dengan predikat Jiih yang terkenal alim. Ia sangat mementingkan agama. http://facebook.com/indonesiapustaka


60 Ketika mereka menikah, hujan monyet mengguyur. Hari terang tetapi rintik-rintik. Tak ada tanda-tanda mendung sedikit pun, tak pula ada pengumuman prakiraan cuaca di radio bahwa hari akan hujan. Orang-orang bilang, pernikahan seperti itu diberkahi Yang Kuasa. Seperti juga kematian yang dibarengi hujan monyet, yang konon merupakan kematian yang diterima langit dan bumi. Setelah tiga tahun mereka menikah, tak juga Juleha dikaruniai anak. ”Elu mandul ye Ha?” tanya Jiih suatu hari. Pertanyaan ini membuah Juleha kecil hati sekaligus marah. Itu kali pertama Jiih mengucap perkataan yang membuatnya betul-betul sakit hati. ”Bang, semua orang juga tau kalo soal hamil enggak hamil itu ada dua faktornya; laki ama perempuan. Mending kita ke dokter kandungan aje, lihat ada masalah ape.” Saran Juleha sambil meredam kekesalannya. Senyatanya Jiih memang orang yang kolot, sudah bukan jaman mesin ketik masih saja mengira yang bisa mandul hanya perempuan. Mereka mengunjungi dokter kandungan, tak ada masalah di tubuh keduanya. Kata dokter, ”memang belum diberi oleh Yang Kuasa,” itu saja masalahnya. Diam-diam Juleha meminta dokter itu untuk memberi pengertian kepada suaminya bahwa mandul juga bisa diderita laki-laki. Setelah itu, mereka pun menunggu. Mereka juga mengikuti saran-saran dokter untuk melakukan hubungan seksual ketika masa-masa ovulasi. Hingga suatu hari Jiih bisa menabung untuk ongkos naik haji. Dalam hati, Jiih membatin, mungkin Allah belum memberinya anak karena Dia ingin memberinya kesempatan bertandang ke Tanah Suci terlebih dahulu. Coba, seandainya ia punya anak, maka belum http://facebook.com/indonesiapustaka


61 tentu ia bisa pergi ke Tanah Suci karena kebutuhan anak pasti harus didahulukan. Untuk inilah Jiih bersujud syukur. Satu hari sebelum Jiih berangkat ke Tanah Suci, rumah mereka ramai didatang para kerabat handai taulan yang mengantar dengan doa, juga beberapa orang yang menitip doa agar dipanjatkan di Masjid Nabawi. Tak sedikit pula yang menitip air zamzam untuk dibawakan bagi mereka yang anggota keluarganya sakit. Jiih, yang betul-betul menyadari pesanan orang lain adalah amanah, dan amanah berarti hutang, bahkan mencatat semua doa yang orang-orang pesankan untuk ia panjatkan di Masjid Nabawi. Mulai dari Bang Betot yang minta didoakan anaknya segera dapat jodoh, Mpok Neni yang ingin usaha suaminya lancar, Bang Opik ingin juga bisa naik haji, hingga Bang Duloh yang ingin perkutut kesayangannya dapat jodoh super biar keturunannya bisa menang kejuaraan suara indah perkutut. Hingga hari kepulangan Jiih dari tanah suci, tak pernah terucapkan dari mulut Juleha rasa keberatannya suaminya naik haji. Toh, sudah terjadi. Juleha, sebagai istri yang baik, sebagaimana doa orang-orang lainnya, meminta agar suaminya dijadikan haji yang mabrur, bisa kembali pulang ke tanah air dalam keadaan sehat wal ’aiat tanpa kurang suatu apa pun. Selembar selendang sutra putih dengan ronce manik-manik putih di pinggirannya dioleh-olehkan Jiih untuk istrinya. ”Ma-de in In-do-ne-si-a,” baca Juleha pada label kerudung itu ketika ia berpatut-patut di cermin. ”Bang, kok made in Indonesia? Abang gimana sih, beli kerudung jauh-jauh di Arab bikinan orang kita juga.” ”Masa’?” Jiih melihat label bertuliskan made in Indonesia yang Juleha baca dengan logat Indonesia. ”Gue kagak tau, gue lihat http://facebook.com/indonesiapustaka


62 bagus buat lu, ya gue beli aja. Udah, ga pa-pa… pake aja. Belinya jauh tu!” Selain selendang, sebuah tas anyaman dengan tulisan ’MAKKAH’ besar-besar di dua sisinya juga dioleh-olehi untuk Juleha. ”Buat belanja di pasar,” ujar Jiih. Selain itu ada pula parfum dengan bau menyengat yang tak pernah digunakan Juleha, juga celak mata di dalam sebuah wadah kuningan dengan gagang berukir. Celak ini kerap dipakainya untuk membentuk alis seperti bulan muda dan mempertegas garis mata. Sedang air zamzam yang Jiih bawa lumayan banyak, dengan adil ia masukkan ke dalam botol-botol kecil lalu dibagi-bagikan kepada handaitaulan. Ã Sejak Jiih pulang berhaji, orang-orang memanggilnya Pak Haji, tentu saja. Sedang Juleha, karena sudah jadi istri pak haji, maka orang-orang memanggilnya bu haji, walaupun secara teknis ia belum berhaji. Demi mempersopan status suaminya yang sudah jadi pak haji, Juleha mulai lebih rajin pergi ke mana-mana dengan kerudung menutupi sebagian rambutnya. Walau begitu, ia belum merasa los untuk berjilbab meskipun pakaian yang dipakainya tak pernah sama sekali berlengan pendek ataupun ketat. Jiih yang pada dasarnya memang anak masjid, kini mulai kerap diundang sebagai pembicara di mana-mana. Ia memberikan kultum jumatan, diundang memberi ceramah agama saat arisan ibu-ibu RT, hingga pengisi kutbah saat selesai salat Id di hari Lebaran. http://facebook.com/indonesiapustaka


63 ”Ha…, lu pake jilbab ngapa?” tegur Jiih suatu hari, ketika mereka berdua akan keluar untuk kondangan. Jiih melihat istrinya berpatut-patut di cermin dengan kerudung putih made in Indonesia yang dibelinya di Arab. ”Masa lu kagak malu dilihat orang-orang, gue tukang ceramah agama istrinya buka-bukaan?” ”Buka-bukaan gimana maksud Abang? Pakaian saya enggak sopan, gitu?” Juleha balik bertanya. ”Bukan…, sopan sih sopan. Tapi gue kan malu, Ha. Orangorang panggil elu bu haji tapi kagak jibaban.” ”Aye bukan bu haji. Yang haji kan Abang,” sahut Juleha. ”Ha…, dosa tau. Itu rambut kan aurat. Wajib ditutupin! Nanti di neraka rambut lu ditarik-tarik lho!” Jiih menakut-nakuti. Juleha urung mengenakan kerudung. Dia duduk di tempat tidur, katanya, ”kalau Abang malu pergi sama saya, berangkat aja kondangan sendiri.” ”Yaah, jangan gitu dong Ha. Nanti orang kata kita berantem lagi.” ”Abis, daripada Abang malu jalan sama saya?!” ”Yaah…, ya udah deh, gue juga kagak berangkat. Gak mau gue diomongin jelek ama orang-orang.” Jiih melepas baju kondangannya, lalu merebahkan dirinya di sebelah istrinya yang tidur memunggunginya. Ia tak berkata apa-apa lagi hingga tertidur. Besoknya seorang ibu tetangga menanyainya, ”Pak Haji, kok semalem gak dateng kondangan di tempatnya Bu Rogaye?” Jiih gelagapan, tak siap akan ditanya pertanyaan macam ini. ”Ehm… iya, istri saya kurang enak badan.” Dosa berbohong! Batin Jiih mendengar jawabannya sendiri. ”Ooo… sakit apa?” Tambah bingung Jiih ditanya pertanyaan ini, ”Eem…, mun- http://facebook.com/indonesiapustaka


64 tah-muntah. Masuk angin kali.” Bohong lagi, dosa lagi! Kembali Jiih membatin. Ia seperti bisa merasakan goresan pena malaikat Nankir di pundak kirinya sedang mencatat perbuatan dosanya dalam perkamen yang panjang. ”Ah! Hamil jangan-jangan! Aih… periksain ke dokter, Pak Haji!” tiba-tiba ibu tetangga itu berkata dengan girang. ”Eh… he he…,” Jiih memaksa dirinya tersenyum, ”iya,” jawabnya singkat lalu masuk ke rumah agar tak ditanya macammacam lagi. Hamil Ha mil H a m i l . . . . Kata itu terngiang-ngiang di telinganya. Sudah tujuh tahun, dan tak ada tanda-tanda kehamilan pada tubuh istrinya. Ia ingat, dokter kandungan bilang tak ada yang salah pada tubuh istrinya, juga pada tubuhnya. Hanya saja belum diberi oleh Yang Kuasa, itu saja alasannya. Ia ingat, berdoa dengan keras di hadapan ka’bah, meminta diberi keturunan. Tapi Tuhan punya rencana lain, rupanya. Sudah lewat empat tahun sejak Jiih pulang dari naik haji, tak sedikitpun tanda-tanda kehamilan itu muncul. ”… Bang…!” ”… Bang, makan dulu….” Teguran istrinya membuyarkan lamunannya. ”Eh, iya…,” mereka beranjak ke meja makan. Hanya ada suara sendok bergeser-geser dengan piring dan garpu. Jiih sesekali memperhatikan istrinya yang sedang makan. Keduanya makan dengan tenang. Terlalu tenang…. Tak ada suara anak-anak. Ã http://facebook.com/indonesiapustaka


65 Bertahun-tahun lalu, Juleha ingat memergoki ibunya menangis di dapur sambil masak. Awalnya, ia pikir ibu menangis karena memotong bawang merah, tetapi Juleha salah. Sebab yang dipotong ibunya adalah timun. Maka ia meletakkan buku yang sedang dibacanya, Nyai Dasima. Lalu kenapa ibunya menangis? Ia bertanya. Ibunya bilang, ”sebentar lagi lu punya ibu baru.” ”Emang Enyak mau ke mana?” ”Enggak ke mana-mana. Cuman, sebentar lagi lu ama kakakkakaklu punya ibu dua orang.” Perempuan yang melahirkannya itu menyunggingkan senyum di antara tangisnya. Membuat Juleha bingung, apa ia harus senang atau tidak. Tapi yang pasti, ada sesuatu yang tiba-tiba menusuk di hatinya. Membuatnya susah tersenyum. Waktu ia sudah duduk di kelas empat SD. Sejak ibunya bilang ia punya ibu baru, sejak itu pula bapaknya kerap tak di rumah, meskipun ia masih terus melatih pencak silat pada murid-muridnya di Karet. Katanya, bapak pergi ke Serang. Katanya lagi, di Serang tempat ibu baru tinggal. Juleha tidak mengerti, kenapa ibu baru tidak tinggal di rumah bersama-sama keluarga mereka. Bukankah keluarga seharusnya tinggal dalam satu rumah? Namun, setiap bapak pergi ke Serang, ibu menangis sendirian di rumah. Ini membuat Juleha mulai benci ibu barunya yang tak pernah ia lihat. ”Eha benci ama ibu baru,” ucapnya suatu hari ketika mendapati ibunya menangis lagi. ”Eha…, gak boleh. Kagak baek benci ama orang. Lu bisa dibenci Alloh. Lu bisa masuk neraka,” nasehat Ipah sambil mengelap air matanya. Ia tersadar, tangisnya telah memperkenalkan kebencian kepada putrinya. Ia tak ingin itu. Bagaimana pun, Juleha sudah memutuskan untuk membenci ibu barunya, mes- http://facebook.com/indonesiapustaka


66 kipun ia tak pernah kenal. Demi tidak membuat ibu kandungnya menangis, Juleha bermuka dua. Berkata ia tak membenci orang, agar tidak dibenci Tuhan. Dan lagi, ia selalu menunjukkan sikap sebagai anak manis yang tak pernah lupa mencium tangan bapak-ibunya ketika pergi dan pulang sekolah. Ia juga tak pernah membuat masalah di sekolah, malah bisa dibilang ia seorang anak yang rajin. Tak pernah membolos, bahkan suatu hari ketika lu pun ia lebih suka mengenakan seragamnya dan bergegas ke sekolah sebelum bel masuk berbunyi. Ia ingat, pagi itu ia hanya mencium tangan ibunya, sebab sejak kemarin bapak pergi ke Serang dan belum kembali. Sebelum waktu pulang tiba, ia sudah dikirim pulang ke rumah oleh pihak sekolah karena lunya tambah parah dan ia terus berbaring di ruang klinik sekolah. Juleha dikejutkan oleh seorang anak kecil yang berdiri di depan pintu rumahnya. Belum sampai teras, Juleha menghentikan langkahnya. Anak tetangga mana ini? pikirnya. Ia mendekati anak itu, dan memegangmegang tangannya. Ia mencubit pipinya dengan gemas. Anak kecil itu langsung menghambur ke dalam rumah sambil teriak. Bapaknya keluar dari kamar. Anak itu menabrak kaki bapak, memeluknya erat-erat. ”Eh, lu udah pulang Ha?” sapa Bung Juned, bapaknya. Juleha tak berkata apa-apa, ia bergeming melihat anak kecil itu menggelendot di kaki bapaknya. Tiba-tiba ibunya keluar menyusul muncul dari kamar. ”Eha? Lu ngape ari gini udah pulang?” perempuan itu terlihat cerah dengan kebaya encim merah. Tak ada tanda sembab di matanya, memang selalu seperti itu ibunya. Selalu cerah ketika suaminya pulang ke rumah. Juleha masih bergeming, ”Ha… lu gak ape-ape?” ibunya mendekati Juleha, dipegangnya dahi dan http://facebook.com/indonesiapustaka


67 leher Juleha, ”ya ampun… panas. Lu demam?” tanya ibunya panik. Juleha melihat ke arah ibunya dan mengangguk pelan, ”udah salin dulu gih deh… terus tidur, jangan ngelayap. Enyak bawain makan ke kamar lu.” Ibu lalu beranjak menuju dapur, sementara Juleha menuju ke kamarnya. ”Ha?” tegur bapaknya. Juleha menghentikan langkahnya, ia melihat ke arah bapaknya, ”ini adek lu. Kenalan dulu dong,” Bung Juned menyuruh anak kecil itu memberikan salam, tangannya dijulurkan oleh Bung Juned. ”Aaaa…!” anak kecil itu malah menarik tangannya dengan malu-malu dan kembali menggelendot di kaki Bung Juned, bapaknya. ”Eh… ck, jangan alem gitu. Kenalin dulu, ini Mpok lu, ayo mamet dulu. Pake tangan manis!” kembali Bung Juned menjulurkan tangan anak kecil itu, ”siape nama lu…?” momong Bung Juned pada putranya, ”ayo, bilang siape nama lu…, Fajar…” Bung Juned berbicara dengan suara dibuat-buat seperti suara anak kecil. ”Pajal…,” kata anak itu malu-malu dengan cadelnya. Ia cepat-cepat menarik tangannya lagi. Juleha tak menyebutkan namanya. Ia cepat-cepat ke kamarnya. Berbaring, wajahnya terasa panas. Adik? Adik? Suara ayahnya yang bilang bahwa anak itu adalah adiknya terngiang-iang di telinganya. Kapan ia melihat ibunya hamil lagi?! Junaedi anjing! Sumpahnya dalam hati. Bahkan laki-laki itu tak pernah berbicara dengan suara dibuat seperti anak-anak ketika Juleha masih kecil dulu. Tak pernah sekali pun. Seingat Juleha, tak pernah pula ia menggelendot dengan kencang di kaki bapaknya. Ia hanya menggelendot pada ibunya, sebab bapaknya adalah seorang yang tegas dan http://facebook.com/indonesiapustaka


68 galak. Seorang guru silat yang disegani di Karet, seseorang yang karena keberaniannya dipanggil ’Bung Juned’ seperti Bung Karno. Di manakah seorang yang hangat itu ia sembunyikan? Dan kenapa tak seorang dari ketiga anak dari istri pertamanya yang bisa mengungkap sisi hangatnya seorang bapak dalam diri Bung Juned? Ibunya masuk, membawakan sepiring nasi dan segelas teh. ”Kok belum salin?” tegurnya, ia meletakkan nasi dan air minumnya di meja belajar. Lalu menuju lemari, mengambil baju daster yang kerap dipakai Juleha tidur, ”ayo, salin dulu.” Juleha melepas seragam merah putihnya, dan mengganti dengan baju yang diberikan ibunya. Seragam itu ibu cantelkan di gantungan baju di balik pintu. Perempuan itu duduk di pinggir kasur sambil mulai menyendokkan nasi untuk Juleha. ”Nyak…, itu tadi anak Babeh?” tanya Juleha ragu. Sendok nasi yang tadi sudah disodorkan di depan mulut Juleha urung masuk. Ipah, ibunya menurunkan sendok berisi nasi itu ke piring dan menarik napas panjang. ”Iya…,” katanya lemah. Lalu kembali mengangkat sendok berisi nasi tadi, menyuapkan ke mulut putri tercintanya. Keduanya diam, terdengar kunyahan nasi yang tak terasa enak turun di tenggorokan Juleha. Tiba-tiba air mata Ipah meleleh, meluncur cepat di pipinya yang licin. Ia tak dapat mencegahnya. Ipah mengangkat sesuap lagi sendok berisi nasi, mendekatkan ke mulut Juleha yang sebetulnya belum selesai memamah nasi sebelumnya. Ia menatap wajah ibunya yang basah, sambil memakan sesendok nasi lagi. Juleha mulai mengunyah, dan air matanya tiba-tiba meleleh, menyusul air mata ibunya yang sudah turun dari tadi. Ibu dan anak perempuannya; dalam kebisuan. http://facebook.com/indonesiapustaka


69 Ã Cita-Citaku. Jika aku sudah besar aku ingin menjadi seperti Hayati, istrinya Samiun. Aku akan menyuruh Samiun membunuh Nyai Dasima. Kalau tidak, aku akan mengusir Nyai Dasima dan menyuruh dia jadi gundik Tuan Edward lagi. ”Juleha!” suara ibu guru Soetari memanggilnya keras-keras, Juleha maju ke depan kelasnya, ”kamu mengarang apa ini?” ibu guru Soetari menunjuk-nunjuk selembar kertas berisi karangannya. Juleha diam saja. Ia dapat surat panggilan dari kepala sekolah, besok ibunya harus datang ke sekolah. ”Masyaallaaaah….” ucap Ipah, ketika membaca karangan putrinya. Ia tak percaya anak itu bisa menulis macam begitu. ”Iya, itu ditulis Juleha saat mengarang, pelajaran bahasa Indonesia yang diampu Ibu Soetari,” Pak Kepsek menjelaskan. Ipah membaca ulang karangan yang hanya satu paragraf itu sekali lagi. Ia tak tahu harus berkata apa akan karangan Juleha. ”Bu, saya tidak tahu bagaimana putri Ibu bisa dapat kata ’gundik’. Apa di rumah Ibu atau siapa saja keluarga Ibu pernah menyebutnyebut ’gundik’? Ini adalah kata yang tidak pantas diucapkan, sangat kasar.” ”Saya enggak pernah menyebut-nyebut ’gundik’ Pak, saya juga heran kok Eha bisa ngarang kayak gini.” ”Saya minta kesediaan Ibu untuk mengawasi pergaulan Juleha. Mungkin dia salah berteman. Karena dia anak yang tidak pernah bikin masalah di sekolah, rajin, dan nilainya bagus, maka saya tidak akan menyetrap Juleha. Saya hanya memberi teguran keras.” http://facebook.com/indonesiapustaka


70 ”Iya Pak…, terimaksih ya Pak, tulung kalo ada apa-apa saya dikasih tau lagi,” pinta Ipah. ”Baik, Bu,” lalu Pak Kepsek mempersilakan Ipah keluar. Juleha cepat-cepat duduk lagi di bangku panjang depan ruang kepala sekolah. Dia telah menguping pembicaraan ibunya dengan kepala sekolah, perihal karangan yang ia buat kemarin. Ipah menutup pintu ruang kepsek, ia melihat ke arah Juleha yang berlagak duduk tenang di bangku depan walau sebetulnya ia sudah deg-degan. Kertas karangan Juleha masih dipegang Ipah. Juleha sudah ngeri ibunya bakal ngamuk, namun perkiraannya salah sebab tiba-tiba sedikit demi sedikit senyum Ipah mengembang. ”Ayuk, lu pulang aja ini ari. Kagak usah sekola!” Ipah menggandeng tangan putrinya erat-erat. Tak pernah hubungan ibu dan anak seindah itu. Juleha ingat, mereka berjalan dengan ceria dengan langkah cepat-cepat. Bahkan saking cepatnya, Juleha merasa langkahnya melayang, mengikuti ibunya yang tak lepas menggenggam tangannya. ”Kita mau ke mana Mak?” tanya Juleha kecil. ”Plesir!” jawab Ipah dengan semangat. Neng… neng… neng…, bel berbunyi. Dari kejauhan muncul satu angkutan yang berisik, ”kita naek bletak bleneng!” sambung Ipah lagi. Itu adalah kali pertama Ipah naik trem. Saat Juleha dan ibunya naik, mereka harus berebut dan berdesak-desakkan dengan para penjual yang memenuhi ruang trem dengan dagangannya. Ada sekeranjang sawi, ada pula yang bawa buah-buahan. Yang paling mengganggu adalah tukang dagang ikan yang baunya amis. Tetapi tetap, Juleha girang bukan kepalang. Ipah membayar dua puluh sen, masing-masing sepuluh sen untuk ia dan putrinya. Ceessss…, bunyi trem ketika angkutan itu mulai jalan. http://facebook.com/indonesiapustaka


71 Mulanya pelan, kemudian makin cepat. Heeeee, tremku lari gagah berani jreng-jreng-jreng-jreng! Nyanyi Juleha dalam hati. ”Sudare-sudare, rada masuk! Rada masuk!” ujar kondektur, mengkomando penumpang yang sejak tadi berdiri di tangga, agar tidak terjatuh. Di Pasar Baru mereka turun. Berjajar toko dengan penjualpenjual yang kebanyakan orang Arab dan Cina. Namun begitu, pengemislah yang pertama meyambut mereka. Mengangkat tangan, memohon-mohon diberi uang untuk makan dan mengaku sudah tiga hari tidak makan apa pun. Para pengemis itu tak lupa pula mengucapkan doa yang muluk-muluk kepada orangorang yang memberinya uang. Siang itu Ipah membelikan putrinya selembar kain bakal rok. Ã Diam-diam, setelah bertahun-tahun, Juleha masih menyimpan rok yang kainnya ibunya belikan di Pasar Baru waktu itu. Sudah tak muat lagi, tentu saja. Mana cukup dipakai lagi… badan Juleha sudah berkembang banyak melampaui tubuhnya ketika ia kelas tiga SD dulu. Tapi ia juga tak tega menjadikan rok itu sebagai kain pel atau lap dapur. Meski begitu ia tak pernah membuangnya, bahkan ketika ia menikah dengan Jiih, rok itu turut serta pindah ke rumah mereka yang baru. Jika saja dia dikaruniai anak, pasti ada yang membela dan menghiburnya. Pasti pula, saat suaminya menikah lagi dengan perempuan lain, saat ini anaknya akan mengijinkan ia menangis di bahunya. http://facebook.com/indonesiapustaka


72 http://facebook.com/indonesiapustaka


73 4 [Haji Jaelani:] Orang pada kurang paham, kalau Menteng itu nama buah, Bintaro itu nama pohon dan Kebon Jeruk, memang dulu di sana ada hamparan tanaman yang benar-benar jeruk buahnya. Sekarang, pendatang hanya kenal nama-nama itu sebagai kawasan gedongan. Tidak tahu di mana buahnya, tidak kenal mana pohonnya, karena ditebang habis tanaman-tanamannya. Banyak yang hilang dimakan waktu, atau mungkin lebih tepatnya, dimakan peradaban. Walaupun saya tidak setuju menyebut musabab kehilangan itu adalah ’peradaban’ sebab menurut saya sebutan itu hanya tameng bagi orang-orang yang serakah. Berkali-kali saya bertanya, tanpa tahu jawaban sebenarnya; apakah yang namanya peradaban itu berarti membangun banyak gedung? Yang hilang tidak cuma tanaman-tanaman saja, yang menyisakan nama, tetapi sejarahnya juga ikut terkubur. Siapa yang tahu kampung Jaga Monyet sekarang ini? Bagi generasi baru dan pendatang-pendatang yang coba cari untung di Jakarta, nama ini tidak familiar. Dulu, waktu masih jaman VOC, Jakarta yang namanya masih Batavia sering diserang gerilyawan Grogol dan Tangerang. Untuk melawan gerilyawan Islam Banten ini, Belanda membangun benteng. Konon, orang-orang http://facebook.com/indonesiapustaka


74 kumpeni lebih sering direpotkan monyet-monyet ketimbang musuh. Makanya, tempat itu dinamai Jaga Monyet, letaknya di kawasan antara Harmoni dan Petojo. Dulu, waktu empang di dekat kebun kecapi itu belum diurug, banyak anak-anak yang main di situ sambil sambil bawa serokan. Cari kodok atau cari icuk, anak nyamuk yang bentuknya mirip tanda koma, padahal tak cuma kodok dan icuk penghuni empang itu. Jamban umum ada di situ, dibuat berbentuk kubus dari anyaman gedek tanpa atap dan ada lubang di bagian bawahnya selain sanggaan untuk berjongkok langsung menuju empang. Dari lubang itulah pisang goreng yang keluar dari perut jatuh. Entah siapa yang menaruh sekumpulan ikan lele di empang, yang pasti, seingat saya, sejak pertama saya suka setor pisang goreng di empang situ, sejak itu pula ikan lele-ikan lele itu suka menunggu tepat di bawah jamban. Semakin hari ikanikan itu semakin besar, dan kelihatannya beranak-pinak pula. Saya sempat melihat ikan lele sebesar lengan lelaki dewasa, menunggu dengan mulut terbuka pisang goreng yang jatuh dari dubur saya ketika kebelet. Biasanya, tiap anak laki-laki jaman segitu selalu punya peliharaan ikan cupang buat diadu. Icuk itulah santapan sang ikan. Padahal anak-anak sudah dikasih tahu; tidak baik ngadu ikan. Dosa, Itu sama dengan judi, dilarang agama. Tapi yang namanya anak-anak, nasihat masuk kuping kanan-kiri, keluar jadi kentut. Termasuk saya. Malah, saya bisa dibilang yang memimpin kelompok anak-anak kampung di daerah Karet. Pernah suatu hari waktu bulan puasa, bilang ke orang tua mau Teraweh, tapi kami malah main; ngadu gundu dan biji para. Demi menghormati bulan suci, maka kami tidak mengadu ikan cupang. Lagipula, kan ketahuan kalau niat mengadu ikan. http://facebook.com/indonesiapustaka


75 Sebab ikan cupang aduan harus dibawa di dalam plastik berisi air. Tidak mungkin Teraweh bawa-bawa ikan. Entah kenapa, waktu itu saya merasa hanya adu ikanlah yang disebut judi. Sedang, adu biji para dan gundu hanya sekedar permainan. Sekarang, kalau dipikir-pikir lagi; baik adu cupang, main biji para ataupun gundu, kesemuanya adalah judi. Waktu itu, saya juga merasa, bahwa mengadu ikan cupang hanya dosa kalau dilakukan pada bulan puasa. Prinsipnya, selama sebelas bulan hidup asal-asalan bisa dibayar dengan satu bulan puasa. Lagipula, kalau hanya biji para dan gundu, bisa dibawa di saku, tak akan ketahuan orang tua dan guru ngaji. Teman mengadu biji para yang paling saya segani adalah Somad. Entah dia dapat biji para dari mana, tetapi yang pasti di antara teman-teman yang lain, biji para miliknyalah yang paling keras. Ketika ditumpuk untuk kemudian dipukul, biji paranya jarang betul-betul pecah. Paling-paling retak. Somad tak pernah mau bilang pada kami, dari mana ia mendapatkan biji paranya. Sedang main gundu, Dilah jagonya. Sewaktu kecil, kalau Dilah sudah datang bergabung untuk bermain, saya kerap berhenti adu gundu karena tahu gundu-gundu yang sudah saya menangkan sebelumnya bisa habis jatuh ke tangannya. Saya paling mahir main layangan, senang pula mengejar layangan yang putus. Saya punya teknik canggih untuk membelit senar dan memutuskan layangan lawan. Biasanya, saya main layangan di lapangan Karet yang ternyata lama-kelamaan penuh untuk tanah pekuburan. Di sana anginnya lumayan kencang, jadi layangan cepat naik tanpa kesulitan. Jika sebuah layangan sudah saya kalahkan, saya tidak ikut mengejar layangan putus itu. Saya sudah cukup senang dengan kemenangan di tangan. Saya lebih suka melihat ekspresi teman yang layangannya putus. Anak- http://facebook.com/indonesiapustaka


76 anak lainlah yang kemudian mengejar layangan itu. Lain cerita, kalau saya tidak sedang main layangan, tetapi tiba-tiba melihat layangan putus, pasti saya kejar. Ada kesenangan tersendiri saat mengejar layangan, bahkan jika tidak dapat layangannya sekali pun. Hingga remaja, kalau ada layangan putus, saya masih suka mengejarnya. Kalau dapat, biasanya saya kasihkan kepada anakanak kecil yang juga mengejar layangan tersebut. Ampek rasanya dada ini, melihat anak-anak sekarang tidak punya tanah lapang lagi untuk bermain. Lihat anak-anak sekarang, butuh perempatan jalan untuk main bola. Terus, kalau ada mobil lewat harus berhenti dulu kasih jalan buat mobil. Padahal sekarang nyaris tiap rumah punya mobil atau setidaknya motor. Kalau semua kendaraan bermotor itu lewat di jalan yang sama yang sedang dipakai anak-anak buat main bola, sama saja permainan bola tidak segera dimulai. Padahal, dulu tanah lapang ada di mana-mana. Sekarang, semua diganti jadi gedung. Sekarang tak lagi bisa main layangan pula. Jalan raya bukanlah tempat yang cukup luas untuk mengambil ancang-ancang menaikan layangan. Lagi pula bahaya. Beberapa kali saya dengar, anak tetangga ada yang tertabrak waktu mengejar layangan, masih untung kalau cuma patah tulang. Ada juga yang sampai meninggal dunia. Lain itu, ada juga yang kesetrum, karena layangan jatuh di atas kabel listrik, dan nekad mengambilnya. Untung anak itu tidak mati, hanya saja badannya gosong. Luka bakarnya lama sembuh dan dia tidak bisa bermain dengan teman-temannya untuk waktu yang lama. Dulu, waktu saya masih kecil, paling-paling masalah yang paling berat dalam hal layangan adalah kesurupan, karena bermain layangan sampai magrib tiba di pekuburan Karet. Itu pun bisa sembuh setelah didoakan dan disembur beberapa kali oleh guru Mughni, guru ngaji kami. http://facebook.com/indonesiapustaka


77 Sampai bangkot begini, Somad dan Dilah masih berteman dengan saya. Kami tetanggaan. Mereka, dan masing-masing keluarganya, tinggal juga di daerah Karet sini. Si Somad jadi juragan kontrakan. Dia dapat warisan banyak tanah dari orang tuanya, lalu dia dirikan banyak rumah petak untuk disewakan. Kebanyakan penyewa rumah petaknya adalah pendatang, orang-orang dari Jawa atau Sumatera yang ngadu nasib di Jakarta. Mereka belum sukses, mangkanya nyewa rumah petak. Kalau sudah sukses kan tidak mungkin tinggal di rumah sangat sederhana dan sempit sekali. Kalau tidak mereka masih jejaka atau perawan, biasanya mereka berkeluarga belum punya anak, kalaupun ada anak paling-paling baru seorang, itu pun masih kecil. Maklum, sekali lagi, rumah petak. Kamar tidurnya cuma satu biji. Ada juga sih yang kamar tidurnya dua, tapi tetap saja sempit. Heran, orang-orang itu bela-belain datang jauh-jauh ke Jakarta cuma buat hidup berhimpit-himpitan. Apa betul hijrah ke Jakarta itu sama dengan memperbaiki nasib? Apa tidak sama saja susahnya dengan tinggal di kampung asal atau malah lebih susah? Saya tidak mengerti. Tapi, buktinya Jakarta tetap saja makin banyak penduduknya, makin padat penduduknya. Apalagi setelah usai Lebaran, pembantu-pembantu yang biasanya pulang kampung datang kembali ke Jakarta membawa temannya, untuk kerja di Jakarta menjadi pembantu pula. Semua numpuk jadi satu. Saya yakin, kalau semua penduduk Jakarta pendatang dijejer di Jalan Sudirman, pasti mirip ikan sardin. Mepet-mepet. Somad, sekarang kerjanya cuma ongkang-ongkang kaki dan terima uang setoran tiap bulan dari para penyewanya. Mereka biasanya bekerja di pabrik jadi buruh atau bahasa kerennya; operator mesin, atau bekerja di toko, di mall-mall. Ada juga yang http://facebook.com/indonesiapustaka


78 jaga konter kecantikan. Ada juga yang bekerja jadi pelayan di restauran asal Amerika yang jualan ayam goreng tepung atau donat di Jalan Hayam Wuruk. Jabatan yang paling keren adalah cleaning service, saya tidak terlalu yakin artinya apa, pakai bahasa Inggris. Kalau pendatang dari Padang, biasanya bekerja di Tanah Abang, jualan kain atau baju jadi. Kadang pula mereka berkeliling kampung dan menawarkan baju jualannya secara langsung. Nah, orang-orang seperti inilah penghuni rumah sewa milik Somad. Pokoknya, dia hidup sejahtera tanpa harus mikir. Paling-paling harus berani menagih uang sewa kepada penyewa yang nunggak. Itupun bisa dilakukan oleh anak-anaknya. Beda dengan saya, masih mikir kasih makan sapi, kasih upah pegawai, waktu-waktu tertentu untuk memerah sapi, susu harus cepatcepat disetor biar tidak basi, bagaimana bikin sapi sehat terus. Macam-macam. Saya sebetulnya ingin juga punya kehidupan seperti Somad, apalagi karena sudah tua begini, ingin rasanya hanya menikmati hari tua. Tak perlu pergi ke mana-mana, tempat yang dituju hanya rumah dan masjid saja. Menabung pahala untuk persiapan sebelum betul-betul dipanggil Allah. Kenapa pula, dulu saya tidak mendirikan bangunan saja, ya? Jadi bisa seperti si Somad, jadi juragan kontrakan. Ã Ada dua belas ekor sapi yang saya punya. Tadinya saya urus sendiri, dibantu Iman, seorang anak kampung yang biasa bantubantu saya bebersih kandang, buang tahi hingga memandikan sapi. Iman seumuran Japri. Sedari kecil Japri dan Juned juga sudah sering saya ajak ke kandang, ikut bantu memerah sapi. http://facebook.com/indonesiapustaka


79 Mereka sebetulnya sudah pintar, tapi seiring mereka besar, mereka semakin jarang mau saya ajak ke kandang. Bau, katanya. Memang, sih. Mereka tidak salah. Ya sudah, saya tidak mau memaksa anak. Katanya, orang tua moderen itu tidak memaksa keinginannya kepada anaknya. Saya tidak mau dibilang mengekang keinginan anak, maka saya turuti saja. Termasuk ketika mereka bilang tak ingin melanjutkan sekolah dan nyaris betul-betul menganggur. Kerjanya hanya luntanglantung. Paling-paling mereka mengantar susu ke koperasi susu untuk dijual. Itu pun lama kelamaan jarang. Imanlah yang mengerjakan semuanya, ditemani Enoh dan Fauzan yang masih semangat mengantar susu ke koperasi susu. Saya juga menuruti ketika Juned minta kawin, lalu disusul Japri minta kawin pula. Japri dan Juned lumayan lengket. Kelakuan Juned, abangnya, biasanya ditiru Japri, adiknya. Toh, saya bisa membiayai mereka, maka saya turuti keinginan mereka untuk menikah. Biarlah, daripada jadi zinah. Daripada melendung di tengah jalan, lebih baik saya kawinkan. Lagipula istri mereka juga anak baik-baik. Untunglah, untuk yang satu ini Japri dan Juned tidak salah pilih. Tapi kemudian Iman menikah. Dia pindah ke Kebumen, tempat asal istrinya. Katanya, bapak mertuanya memberinya modal buat beli dua ekor sapi, walaupun bukan sapi perah, melainkan sapi potong yang ia harap harganya akan melambung saat Lebaran Haji. Meskipun demikian Iman dan calon istrinya senang sekali memulai hidup barunya. Saya ikut senang karena anak itu juga bahagia, meskipun akhirnya kandang jadi agak terbengkalai. Saya menjadi orang yang mengkomando dan sekaligus turun tangan sendiri untuk mengurus sapi-sapi perah yang saya miliki, dengan Japri dan Juned yang kemudian terpaksa http://facebook.com/indonesiapustaka


80 membantu saya. Tapi lebih sering mereka absen pura-pura kena sakit atau apalah sehingga tak datang ke kandang. Yang menyebalkan, kalau yang satu tak datang, yang lain juga tak akan datang. Cari alasan yang dibuat-buat, dan saya yang mengurus sapi-sapi yang ada. Sendirian. Japri dan Juned pun sudah memberi saya cucu, sementara saya tetap memberi mereka makan. Saya mulai capek. Kena asam urat. Salomah, istri saya, bilang, ”aye nggak mau Abang kena stroke, kebanyakan ngurus sapi.” Saya menurut, lagi pula… lama kelamaan saya mulai tidak tahan melihat Japri dan Juned yang enak-enakan menadah dari saya. Walaupun Salomah kadang-kadang mengomel soal anak-anak saya, tapi saya tahu bahwa dia mengomel bukan dalam rangka benci, melainkan sayang. Juga dalam rangka mengingatkan saya bahwa saya tak selamanya bisa diandalkan, saya sudah tua dan perlu istirahat. Japri dan Juned perlu mendiri untuk punya penghasilan sendiri. Maka saya memercayakan kandang sapi saya kepada kedua anak itu. Toh sapinya hanya dua belas ekor. Diurus dua orang, cukuplah. Salomah perempuan yang sering mencereweti saya, adalah istri yang sebetulnya sayang pada saya dan anak-anak. Dia keras, terutama kepada Fauzan, anak kandungnya. Kepada Japri dan Juned, sewaktu mereka meminta ijin saya untuk tidak meneruskan sekolah, Salomah sempat menegur keduanya. Sempat pula berbicara pada saya, meminta saya kembali mempertimbangkan kembali keputusan saya mengijinkan dua anak laki-laki saya untuk putus sekolah. Waktu itu dia bilang, ”Bang, sekola tu penting. Kesian anak-anak kalo kagak punya ijazah.” Perkataannya memang terdengar klise. Saya ragu mau menjawab apa. Sejujurnya saya juga inginnya http://facebook.com/indonesiapustaka


81 Japri dan Juned tetap sekolah, karena saya bisa membiayai. Tapi saya lebih tak ingin dimusuhi anak sendiri, dibilang kolot, dan anak jadi berontak karena keinginannya tak dituruti, maka saya turuti mereka walaupun ragu. Salomah tak bisa berbuat apa-apa lagi karena saya sudah menyetujui. Beda Japri-Juned, beda pula dengan Fauzan. Salomah seperti merasa tak punya hak untuk ikut cawe-cawe akan kemauan Japri dan Juned, terutama karena dia bukan ibu kandung mereka. Terlebih lagi setelah Salomah menegur Japri dan Juned, kedua anak itu lantas mencemberutinya. Maka, apa-apa yang diminta Japri dan Juned yang sebetulnya tidak disetujui Salomah, perempuan itu hanya akan mengutarakannya pada saya. Sebaliknya, dengan Fauzan ia sangat keras. Pernah suatu hari kami dapat surat panggilan dari sekolah karena Fauzan bolos tiga hari berturut-turut, padahal setiap pagi Fauzan selalu berangkat lengkap dengan seragam merah-putihnya dan selalu pulang ke rumah tepat waktu. ”Elu mau jadi tukang becak ya! Sana! Terus-terusin bolos, biar jadi bodo, jadi tukang pulung aja sekalian. Cari makan di comberan ama tempat sampah!” seprot Salomah. Anak itu menangis sesunggukan, ”Bang Juned gak sekola kagak apa-apa!” Fauzan membela diri. ”Lu tinggal di bawah jembatan kalo gue udah mati!” sekali lagi Salomah nyemprot. Tangis Fauzan makin keras. Salomah mengamuk habis-habisan, dan malamnya ia tak diberi makan. Japri dan Juned yang saat itu sudah putus sekolah dan nganggur tenang-tenang di rumah, tentu saja mendengar Salomah nyapnyap. Tapi mereka berlagak kopok. Fauzan tak berani masuk sekolah karena dipalak anakanak yang badannya lebih besar. Salah satu orang tua anak itu http://facebook.com/indonesiapustaka


82 adalah polisi, ia kerap mengancamnya dengan berkata, ”Bapak gue pulisi, berani? Dikerangkeng baru tahu rasa lu!” Tentu saja Fauzan keder, tanpa tahu betul salah ancaman itu. Besoknya Salomah mengantar Fauzan sampai pintu sekolah, tak peduli anak itu malu dilihat teman-temannya karena sudah kelas lima SD masih diantar ibunya. Bahkan ditunggu sampai bel berbunyi tanda masuk kelas. Ketika pulang Fauzan lapor pada ibunya, bahwa ia masih dipalaki, Salomah malah menyuruh saya mengajarinya silat. Memang, dulu sewaktu saya masih kecil, babeh saya adalah pelatih pencak silat di Karet. Dia belajar dari Haji Ung, jagoan Betawi yang namanya sekarang diabadikan jadi nama jalan di daerah Kemayoran. Disuruhnya Fauzan belajar silat, untuk melawan anak-anak nakal yang badannya lebih besar. Saya, dari dulu sebetulnya pengen anakanak saya belajar silat. Tapi sekali lagi, Japri dan Juned tidak mau, dan saya tidak pernah memaksanya. Selalu yang menjadi penghalang di pikiran saya adalah, mereka sudah cukup menderita ditinggal ibu kandungnya. Dalam hati, sebetulnya saya senang, akhirnya kesampaian juga cita-cita saya punya anak yang bisa silat. Terlebih lagi, saya yang mengajarkan. Biarpun sudah lama tidak dipergunakan, tapi sedikit-sedikit saya masih ingat. Fauzan, anak saya yang paling bontot, mau tidak mau patuh pada ibunya. ”Kalo lu udah belajar silat masih kalah kelahi, jangan pulang! Empet gue lihat lu nangis-nangis kayak perempuan.” Salomah mewanti-wanti, suatu pagi ketika Fauzan tak mau sekolah karena masih takut dipalak. Hari itu Fauzan berangkat sekolah dengan segan. Saya berbisik pada Salomah, ”Mah, lo galak amat ama anak sendiri,” sindir saya. http://facebook.com/indonesiapustaka


83 ”Biarin. Biar dia berani,” jawabnya cuek sekaligus tegas. Kalau dia sudah begini saya lebih baik tak berkata apa-apa lagi. Tapi ketika sampai pukul empat sore Fauzan belum juga pulang dari sekolah, Salomah kelimpungan sendiri. Biasanya anak itu sudah sampai rumah pukul satu siang. Ketika saya datang dari mengurus sapi, dia langsung berhambur menyeruduk saya mirip orang kebelet. ”Bang! Bang! Gimana ini, si Paujan belum balik. Gimana ini?!” sosornya. ”Lah, kapan elu tadi yang nyuruh dia jangan balik kalo kelahi kagak menang.” ”Iya, tapi kalo die ngapa-ngapa, pegimane Bang?” ”Ck… aaaah, elu sih! Ada-ada aja nyuruh anak yang kagak bener!” ”Maap Bang, maap… aye salah…,” katanya mulai berurai air mata. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara yang kami kenal. ”Nyak… Beh…?” ”Paujan!” kami terkejut berbarengan, saya dan Salomah mengerubunginya. Seragam putihnya sudah berganti warna, dekil penuh tanah dan ada bercak darah. ”Masyaallah…, lu kenapa? Luka? Betulan berantem ya? Mana yang sakit? Kasih unjuk Emak! Siapa yang jahat ama lu?” Salomah memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan panik sambil memeriksa tubuh kecil Fauzan yang tak keruan. Anak itu malah tersenyum, ”menang, Nyak!” ia mengacungkan jempol, lantas menuju ke kamar mandi di belakang. Kami melihatnya dari kejauhan sambil keheranan. Saya dan Salomah saling pandang, kemudian melihat punggung anak kami yang dengan terpincang-pincang memaksa berjalan menuju kamar mandi. Pintu seng kamar mandi kelontangan ketika dibuka- http://facebook.com/indonesiapustaka


84 tutup, setelah itu terdengar suara air digebyur. Kami tahu Fauzan sendang bebersih. Ia meletakkan seragam sekolahnya yang kotor ke ember cucian. Salomah merawat luka-luka Fauzan dengan obat merah. Tak ada yang serius, hanya luka-luka gores. Setelah membawa makanan untuk anak itu, Salomah mencuci seragam sekolahnya. Besoknya, ia tak masuk sekolah, dan Salomah mengijinkannya. Badannya pegal-pegal, dan kaki kirinya keseleo. Salomah memanggil tukang pijat buta langganan kami. Fauzan menjerit tulung-tulung ketika tukang pijat meluruskan urat-uratnya yang salah tempat. Tapi itu bukan yang terparah…, sebab siangnya seorang ibu datang ke rumah kami dengan seorang anak ingusan berbadan besar dan kepala dibalut perban. Salomah harus merelakan kalung emasnya untuk anak ibu itu yang kepalanya benjut akibat kalah berkelahi dengan Fauzan. Salomah tidak terlalu cocok dengan Japri, meskipun dengan Enoh mereka dekat. Salomah pernah bertengkar mulut dengan Japri ketika anak itu minta kawin. ”Aye kagak setuju, Bang!” tegasnya ketika Japri mengutarakan maksudnya. Saat itu sebetulnya saya berpikiran sama dengan Salomah. ”Pri…, elo kan belom punya kerjaan. Terus bini lu mau dikasi makan apa?” ”Bisa! Entar aye cari kerja, Mak!” dengan nada tak terima merasa dilecehkan oleh ibu tirinya. ”Kerja apa? Elo dari dulu kerjanya ongkang-ongkang kaki doang! Kagak lihat nih Babeh lu ngempanin lu sampe bongkok?!” ujar Salomah dengan nada mulai tinggi. ”Heh, kagak usah bawa-bawa nama Babeh. Elo tu cuma istri sambungan. Bukan emak gue! Udah untung lu dikawinin Babeh http://facebook.com/indonesiapustaka


85 gue!” Japri menunjuk-nujuk Salomah tepat di depan mukanya. Kontan saja Salomah panas. Ia berdiri dan gantian menunjuknunjuk tepat di depan hidung pesek Japri. ”Eh, eh, eh…, anak kurang ajar, kagak tahu diuntung. Biarpun gue cuma istri sambungan tapi gue juga emak lu, tauk! Gue sumpain lu jadi batu! Durhaka ama orang tua!” Salomah betulbetul naik pitam, menyumpah-nyumpah ibarat kisah Malin Kundang. ”Emak gue udah mati! Elo kalo Babeh gue kagak ngawinin elo juga lo udah jadi perawan kagak laku!” Japri menyolot. ”JAPRI!” saya membentak, betul-betul perkataan yang tak pantas. ”Kurangajar lu ye! Anak songong! Kagak tau diuntung! Emang gue cuma ibu tiri lu, tapi lu lihat ya… ibu kota lebih kejam dari gue! Lu mati dipites orang-orang Jakarta kalo Babeh lu kagak ada! Gue kagak bakalan mau bantu lu! Sini lu kalo berani!” Salomah menarik lengan panjangnya hingga siku dan hendak menyerang Japri yang sudah keburu keluar rumah dengan bersungut-sungut. Juned, Enoh dan Fauzan yang ada di situ kebingungan melihat ganti-gantian antara Salomah dan Japri. Juned bergegas ikut menyusul abangnya berlalu dari rumah. Dua anak itu memang seperti pantat dan taik, ke manamana selalu nempel. Sementara Enoh membantu saya menahan Salomah untuk mengejar Japri. Perempuan itu berteriak-teriak menyumpah-nyumpah, semua penghuni kebun binatang di Ragunan sudah disebutkannya satu-satu ”Gedeg, Bang ati ini rasanya. Gedeg!” Lalu Salomah menangis sejadi-jadinya, menepuk-nepuk dadanya sendiri sambil berurai air mata. Saya dan Enoh membimbingnya ke kamar tidur. Enoh http://facebook.com/indonesiapustaka


86 mengambil segelas air, memberikannya kepada Salomah yang masih sesunggukan, ”aye memang cuma istri sambungan, Bang. Tapi aye begitu ke Japri karena aye peduli ama Abang, ama anakanak.” ”Iye… iye… gue ngerti,” jawab saya berusaha menenangkannya. Enoh mengelus-elus lengan ibu tirinya. Seharian itu Enoh berusaha momong ibu tirinya, hari berikutnya juga. Ia sengaja menemani ibunya memasak dan bersih-bersih walaupun itu bukan hal baru yang kerap dilakukan Enoh. Salomah juga kelihatan senang menerima perhatian dari Enoh. Walaupun dari perkawinan yang kedua ini saya telah diberi seorang anak dari rahim Salomah; Fauzan, tetapi tak ada anak perempuan yang sebetulnya itulah yang diinginkan Salomah. Sejak itu keduanya saya perhatikan jadi semakin lengket. Enoh memberi perhatian lebih kepada Salomah, begitu pula sebaliknya. Keduanya jadi lebih mirip teman baik ketimbang ibu tiri dan anak tiri. Saya lega akan hal ini. Enoh pulalah yang duduk di sebelah Salomah ketika Juned akhirnya ikut-ikutan meminta ijin untuk kawin. Anak itu tidak seberani Japri, ia berkata takut-takut kepada seluruh keluarga. Salomah kali itu diam saja seribu bahasa meski tahu Juned juga betul-betul belum bekerja, ia memalingkan muka dengan Enoh memegang lengannya. Permintaan Juned untuk dilamarkan berjalan mulus tanpa geronjalan, sebab saya juga langsung meluluskannya. Saya tak ingin anak-anak saya menghamili perempuan di luar nikah. Sebab itu saya nikahkan mereka. Ã Suatu hari, ketika Jumatan, saya tak sengaja bersebelahan http://facebook.com/indonesiapustaka


87 dengan Dilah, teman main saya ketika kecil. Ketika kutbah Jumat dimulai, dia malah berbisik-bisik, bercerita bahwa dia akan melepas sebidang tanahnya untuk seorang pengembang. Katanya, akan ada proyek pembangunan di kawasan Kuningan, dan kemungkinan akan banyak warga yang tanahnya kena proyek. ”Jadi Ni, kite kudu pinter-pinter pasang harga.” ”Kok, elu mau ngelepas tanah lu?” ”Iya…, buat modal anak gue. Kesianan kalo ngurus sapi mulu kayak bapaknya. Gue kasi duit buat usaha lain, terserah dia.” Sepulang dari Jumatan saya berjalan sambil berpikir keras. Memang saya dengar sudah beberapa orang di sekitar kami yang akan melepas tanahnya. Saya sebetulnya tahu, tanah yang saya tempati memang sedang diburu para pembeli. Diam-diam saya sebetulnya sudah pernah menghadapi ular-ular yang sedang sigap akan membuat sarang di tanah saya. Rongrongan pertama datang dari pokrol yang mengatasnamakan keluarga Sultan Agung. Suatu siang dua orang perlente datang mengendarai mobil sejenis sedan warna hitam. Bukannya ’assalamu’alaikum’, mereka malah teriak-teriak ’spada’ sambil mengetok-ngetok pintu rumah. Salomah yang sedang tidur siang jadi terbangun dan segera mengenakan jilbabnya menyambut tamu yang tak diundang tersebut. Salomah lekas-lekas mendatangi saya di belakang rumah yang sedang memotong jantung pisang dari pohonnya untuk disayur, setelah sebelumnya dua orang perlente bilang pada Salomah hendak membeli tanah. Dengan wajah panik dan ketakutan Salomah tergopoh-gopoh menyuruh saya cepat-cepat menemui dua orang perlente yang songong itu, ”Bang, Abang mau jual tanah kite?” http://facebook.com/indonesiapustaka


88 ”Tanah yang mana?” ”Ya yang ini, yang kite tempatin ini!” ujar Salomah terburuburu sambil menunjuk-nunjuk ke tanah. ”Kagak! Emang kita mau tinggal di mana kalau tanah ini dijual?” ”Lah… entu… kok pada mau beli?” ”Ah, ngaco tuh orang-orang!” saya mulai merasa naik darah. Lekas-lekas saya berikan jantung pisang yang sudah terpotong pada Salomah, dan menyelipkan golok yang sedang saya gunakan di ikat pinggang. Saya berjalan menuju depan rumah, Salomah mengintil di belakang. Dua perlente itu mengenakan jas dan dasi, lengkap dengan tas jinjing yang kelihatannya penuh dengan kertas. Saya amati mereka dari atas sampai bawah dan dari bawah kembali ke atas lagi. Makhluk dari mana dua orang ini? Astaghirullah, kaget saya melihat salah satu dari mereka pakai dasi bergambar Marilyn Monroe, setengah telanjang dengan pandangan mesum. Porno kok dipamer-pameri gitu, digantung di leher pula. Di neraka itu dasi buat cekek leher dia! ”Ya? Ada apa?” tanya saya dengan muka ditekuk. Tak saya persilakan mereka duduk. ”Apa anda Bapak Jaelani?” ”Saya.” Lalu mereka, dengan penuh percaya diri, mulai menjelaskan dengan bahasa planet lain soal urut-urutan kepemilikan tanah. ”Begini pak, kami datang membawa arsip-arsip ini,” lelaki dengan dasi Marylin Monroe menyerahkan segepok berkas yang agak lecek kepada lelaki yang berbicara pada saya. Berkas dari dalam tas yang kelihatannya kekecilan dengan bawaannya yang penuh. Mereka menunjukkan copy arsip jaman kuda gigit besi dari Balai Harta Peninggalan. ”Ini adalah surat-surat resmi, http://facebook.com/indonesiapustaka


89 bukti-bukti dari Balai Harta Peninggalan yang dimiliki Sultan Agung. Tanah yang Bapak dan…,” ia melirik Salomah yang bersembunyi di balik punggung saya, ”…istri Bapak tempati saat ini sebetulnya properti Sultan Agung, dari kerajaan Mataram. Karena waktu itu Belanda menjajah, tanah ini kemudian dijarah.” ”Terus?” tanya saya sinis. Ngomong kok muter begitu, dalam hati saya membatin. ”Nah…, keturunan keluarga besar Sultan Agung, yaitu para ahli warisnya, menginginkan tanah ini kembali. Tanah ini bersejarah, Pak. Demi kelangsungan pelestarian sejarah negara kita yang mulai mengikis, para pewaris kerajaan Mataram, khususnya keturunan langsung Sultan Agung, menginginkan tanah ini kembali. Nah, bukti-bukti tertulisnya bisa Bapak dapatkan dalam arsip-arsip ini, silakan Bapak pelajari,” kata laki-laki perlente tersebut dengan penuh percaya diri sambil menyerahkan suratsurat lecek itu. Mereka pikir, mungkin dengan istilah-istilah yang sulit saya tidak mengerti, mentang-mentang saya tidak makan sekolahan. Kali ini, sambung perlente yang menggunakan dasi Marylin Monroe, ”Jadi Pak, berdasarkan arsip-arsip yang kami bawa ini, jelaslah bawa tanah ini milik Sultan Agung dari kerajaan Mataram, sebelum Belanda datang menjarah.” ”Dengan kemurahan hati dari para keturunan Sultan Agung, tanah yang sudah terlanjur Bapak tempati, yang merupakan milik kerajaan Mataram,” di kalimat terakhir ia memberi tekanan pada nada suaranya, ”akan kami beli kembali,” sambung perlente yang sejak tadi berkicau dengan penuh percaya diri, diikuti sunggingan seutas senyum ala penjilat. Saya benar-benar naik pitam mendengar itu. Tak ada angin http://facebook.com/indonesiapustaka


90 tak ada hujan, tiba-tiba tanah keluarga turun temurun dibilang bukan milik?! Saya sudah tahu apa mau mereka. Paling-paling mereka orang proyek yang mau membangun properti di sini dan cari cara untuk dapat tanah dengan harga murah. Dengan emosi, saya tarik golok yang di pinggang, saya damprat si pokrol dengan gaya preman! ”Heh! Duluan mana orang asli Betawi sama ente punya Sultan datang kemari?! Sembarangan aja ente ngomong!” Gebrakan saya kiranya telah membuyarkan mimpi orang yang mengaku pengacara itu, untuk membeli tanah dengan harga murah. Dua perlente itu seraya kaget dan mundur. Saya maju. ”… eeh…, Bapak… sebaiknya Bapak dengar dulu penawaran dari kami,” si dasi Marilyn Monroe berusaha membujuk sambil ketakutan. ”Penawaran-penawaran…! Siapa yang mau jual tanah?!” Golok masih teracung-acung di udara. Salomah yang melihat saya seperti itu teriak-teriak, ”Bang! Jangan, Bang! Bang!” tapi tak berani mendekati saya. Perlente yang cerewet mirip burung kacer tadi jatuh terjerambab ke tanah dan arsip-arsip yang tadi ditunjukkan tercecer. Keduanya lari tunggang langgang, masuk ke dalam mobil dan tancap gas pergi dari tanah milik saya. Saya pungut kertas-kertas yang jatuh tadi dan saya sobek-sobek jadi kecil. ”Sapu!” perintah saya pada Salomah yang masih takjub melihat saya murka. Kertas yang sudah jadi kecil-kecil itu tersebar di lantai. ”Iya Bang,” ujarnya lekas-lekas ke belakang mengambil sapu ijuk. Sultan Agung-Sultan Agung…! Apa orang-orang itu tidak tahu sejarah? Saya saja yang tidak pernah makan sekolahan tahu http://facebook.com/indonesiapustaka


91 sejarah. Bukan cuma Belanda yang datang ke Sunda Kelapa, semua orang dari suku yang beda-beda dulu datang ke tanah ini walaupun sempat dijadikan budak para kumpeni. Orangorang pribumi itu hidup di tanah yang sama, di sini, di Batavia. Awalnya mereka berkelompok-kelompok, tapi lama kelamaan mereka mereka tidak lagi beragam. Nah, orang-orang pribumi yang ada di Batavia ini memanggil dirinya orang Betawi, yang kemudian dianggap sebagai etnis asli Batavia. Orang Betawi berbicara dengan bahasa sendiri, punya adat istiadat sendiri, yang adatnya merupakan percampuran dari beberapa suku yang awalnya berimigrasi ke Batavia. Misalnya, rumah tradisional Betawi sebenarnya merupakan kombinasi antara arsitektur Bugis, Makasar, Cina dan Belanda. Selain itu, busana pernikahan untuk pengantin gabungan antara Bali dan Cina. Orang pribumi memang awalnya selalu di posisi sosial terendah. Jadi, dulu untuk meningkatkan keberanian melawan, banyak beredar cerita-cerita kepahlawanan jago Betawi, yang ceritanya berani melawan para tuan tanah. Mungkin karena itu sampai sekarang orang Betawi tidak suka main di belakang. Kalau tidak suka, maju ke depan bawa golok. Setelah rongongan pertama terjadi, mata saya mulai terbuka, bahwa tanah yang saya tempati pasti memiliki harga tinggi. Saya harus bersiap-siap jika ada orang menawar tanah ini untuk saya lepas. Jika pun saya betul-betul akan melepasnya, maka saya harus mendapat harga yang pantas. Betul saja, tak lama dari kejadian dua perlente kiriman Sultan Agung dari Mataram itu, datanglah rongrongan berikutnya. Kali ini dari Badan Otorita, yang ditugasi Pemerintah membenahi wilayah Kuningan, untuk dibangun kawasan diplomatik. Tetangga-tetangga sudah pada didatangi petugas Badan Otorita, giliran http://facebook.com/indonesiapustaka


92 saya belum, dan saya sejujurnya sudah menanti-nantikannya. Saya pikir, karena kali ini alasannya masuk akal, bukan mengada-ada segala warisan tetek bengek Sultan Agung, maka saya akan menerimanya baik-baik. Setelah mengeluarkan arsip-arsip dan berkicau panjang lebar, petugas itu akhirnya berkata, ”jadi… Pak Haji dan para penduduk di sini sebetulnya hanya berstatus sebagai penggarap tanah negara. Dan saya pikir, seharusnya Pak Haji… dan penduduk di sini, merasa berterimakasih memperoleh kompensasi tempat tinggal dan tempat usaha yang layak.” Saya, yang tadinya mau menerima baik-baik, kontan jadi berang, ”Heh! Ente tau… engkong aye sudah di sini sejak engkong lu belum lahir!” Salempang menenangkan saya, lalu dia angkat bicara, ”Pak, saya Salempang… menantu Pak Haji Jaelani. Saya sudah periksa, bahwa kami menduduki tanah bersertiikat jaman Belanda dan menurut peraturan, bapak saya punya hak untuk mengajukan sertiikat yang dikeluarkan Negara Republik. Benar tidak?” ”Benar, menurut catatan agraria, Pak Haji menduduki tanah seluas 2.000 meter persegi di atas sertiikat Eigendom Verponding, yang terkena program Land Reform. Tetapi karena sampai batas waktu yang ditentukan Pak Haji tidak memohonkan hak, maka tanah yang Pak Haji duduki, menurut ketentuan kembali ke Negara. Jangan khawatir, Pak Haji tetap terdaftar sebagai penggarap!” Sambil keheranan, saya letupkan kekesalan, ”Lucu amat yak? Tanah milik aye, hanya gara-gara terlambat mengajukan permohonan, jadi milik Negara?! Sedang orang-orang pendatang dikasih sertipikat Prona. Mana adilnya?!” Petugas Badan Otorita yang kelihatannya lebih pintar dari- http://facebook.com/indonesiapustaka


Click to View FlipBook Version