The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Melanie Dwi Arofati, 2024-02-05 23:02:24

Hasil Modul FIX

Hasil Modul FIX

44 TATALAKSANA AWAL PADA SYOK PERDARAHAN PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik pada pasien multitrauma, harus segera evaluasi adanya kondisi mengancam nyawa dengan melakukan pemeriksaan ABCDE.2 - Airway and Breathing Patensi jalan nafas dan ventilasi yang adekuat serta pemberian oksigenasi yang cukup merupakan prioritas utama. Target pemerian oksigen dengan SpO2 > 95%1 - Sirkulasi dan kontrol perdarahan Prioritas pada tatalaksana syok perdarahan adalah kontrol sumber perdarahan, pemberian cairan intravena secara adekuat, dan menjaga agar perfusi perifer tetap baik. Penghentian sumber perdarahan dapat dilakukan secara pembedahan atau embolisasi.1 - Disability Pemeriksaan neurologis minimal menilai derajat kesadaran, dimana hal ini akan menunjukkan secara kasar gambaran perfusi otak. Penurunan kesadaran pada pasien multitrauma tidak langsung menunjukkan adanya cidera pada otak, bisa saja sebagai respon ensefalopati.1 - Exposure Melakukan pemeriksaan menyeluruh pada pasien multitrauma akan menyebabkan hipotermia yang dapat memperburuk pasien, sehingga harus dicegah dengan penggunaan cairan hangat dan selimut penghangat.1


45 AKSES VASKULAR Memasang infus intravena merupakan salah satu prioritas pada tatalaksana pasien trauma. Tindakan ini paling baik dilakukan dengan memasang dua kateter intravena perifer kaliber besar (minimal 18-gauge pada orang dewasa). Laju aliran sebanding dengan ukuran kanula dan berbanding terbalik dengan panjangnya, seperti yang dijelaskan dalam hukum Poiseuille. Oleh karena itu, jalur intravena perifer yang pendek dan berkaliber besar lebih disukai untuk infus cairan yang cepat, daripada kateter yang lebih panjang dan lebih tipis.2 Lokasi yang ideal untuk jalur pemasangan intravena perifer pada orang dewasa adalah lengan bawah dan vena antecubiti. Jika akses perifer tidak dapat diperoleh, pertimbangkan penempatan jarum intraosseus untuk akses sementara. Saat jalur intravena sudah terpasang, ambil sampel darah untuk mengetahui jenis darah yang dilakukan cross match, analisis laboratorium yang sesuai, analisa gas darah, studi toksikologi, dan tes kehamilan untuk semua wanita usia subur.2 TERAPI CAIRAN AWAL Berikan bolus cairan isotonik yang dihangatkan terlebih dahulu sambil menunggu darah datang. Dosis yang bisa diberikan adalah 1 liter untuk orang dewasa dan 20 mL/kg untuk pasien anak dengan berat badan kurang dari 40 kilogram. Volume cairan resusitasi harus didasarkan pada respons pasien terhadap pemberian cairan, dengan mengingat bahwa jumlah cairan awal ini termasuk cairan yang diberikan pada saat prarumah sakit. Penilaian respons pasien terhadap resusitasi cairan dan identifikasi bukti perfusi organ maupun oksigenasi jaringan yang harus dilakukan terus menerus. Infus cairan dan pemberian produk darah dalam jumlah besar secara terus-menerus dalam upaya mencapai tekanan darah normal bukan merupakan satusatunya tatalaksana, namun pengendalian sumber perdarahan juga harus dilakukan. Tujuan resusitasi adalah mengembalikan perfusi organ dan oksigenasi jaringan, yang dilakukan dengan memberikan larutan kristaloid dan produk darah untuk menggantikan volume intravaskular yang hilang. Namun, jika tekanan darah pasien meningkat dengan cepat sebelum perdarahan terkendali secara definitif, maka perdarahan masih dapat terjadi. Karena alasan ini, pemberian larutan kristaloid yang berlebihan dapat berbahaya. Resusitasi cairan dan menghindari hipotensi merupakan prinsip penting dalam penanganan awal pasien dengan trauma tumpul, terutama pasien dengan cedera otak traumatik. Mencukupi kebutuhan perfusi organ dan oksigenasi jaringan dengan menghindari perdarahan berulang dengan menerima tekanan darah yang lebih rendah dari normal disebut sebagai "resusitasi terkendali", "resusitasi seimbang", "resusitasi hipotensi", dan "hipotensi permisif". Strategi resusitasi semacam itu dapat menjadi jembatan menuju, tetapi bukan pengganti, pengendalian perdarahan melalui pembedahan yang pasti. Resusitasi dini dengan darah dan produk darah harus dipertimbangkan pada pasien dengan derajat perdarahan kelas III dan IV. Pemberian produk darah secara dini dengan produk darah low ratio PRC terhadap


46 plasma dan trombosit dapat mencegah perkembangan koagulopati dan trombositopenia. MENILAI RESPON PASIEN TERHADAP TERAPI CAIRAN Tanda dan gejala perfusi yang tidak adekuat sama dengan yang digunakan untuk mendiagnosis syok, dapat membantu menentukan respons pasien terhadap terapi. Kembalinya tekanan darah dan denyut nadi normal adalah tanda bahwa perfusi kembali normal, namun pengamatan ini tidak memberikan informasi mengenai perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Peningkatan status volume intravaskular merupakan bukti penting dari peningkatan perfusi, tetapi sulit untuk diukur. Produksi urin adalah indikator yang cukup sensitif dari perfusi ginjal, volume urin yang normal umumnya menyiratkan aliran darah ginjal yang memadai, jika tidak terbukti adanya cedera ginjal yang mendasari, hiperglikemia emergency atau pemberian agen diuretik. Karena alasan ini, output urin adalah salah satu indikator utama resusitasi dan respons pasien. Dalam batas-batas tertentu, keluaran urin digunakan untuk memantau aliran darah ginjal. Penggantian volume yang memadai selama resusitasi harus menghasilkan output urin sekitar 0,5 mL/kg/jam pada orang dewasa, sedangkan 1 mL/kg/jam merupakan output urin yang memadai untuk pasien anak. Untuk anak di bawah usia 1 tahun, produksi urin 2 mL/kg/jam harus dipertahankan. Ketidakmampuan untuk mendapatkan output urin pada tingkat ini atau penurunan output urin dengan berat jenis yang meningkat menunjukkan resusitasi yang tidak memadai. Situasi ini harus mendorong penggantian volume lebih lanjut dan penyelidikan diagnostik lanjutan untuk mengetahui penyebabnya. Pasien dengan syok hipovolemik awal mengalami alkalosis respiratorik akibat takipnea, yang sering kali diikuti oleh asidosis metabolik ringan dan tidak memerlukan pengobatan. Namun, asidosis metabolik yang parah dapat terjadi akibat syok yang berlangsung lama atau parah. Asidosis metabolik disebabkan oleh metabolisme anaerobik, akibat perfusi jaringan yang tidak memadai dan produksi asam laktat. Asidosis persisten biasanya disebabkan oleh resusitasi yang tidak memadai atau kehilangan darah yang berkelanjutan. Pada pasien yang mengalami syok, obati asidosis metabolik dengan cairan, darah, dan intervensi untuk mengendalikan perdarahan. Nilai defisit basa dan/atau laktat dapat berguna dalam menentukan keberadaan dan tingkat keparahan syok, dan kemudian pengukuran serial parameter ini dapat digunakan untuk memantau respons terhadap terapi. Jangan gunakan natrium bikarbonat untuk mengobati asidosis metabolik akibat syok hipovolemik. RESPON CAIRAN PASIEN Respons pasien terhadap resusitasi cairan awal adalah kunci untuk menentukan terapi selanjutnya. Pola respons potensial terhadap pemberian cairan awal dapat dibagi menjadi tiga kelompok: respon cepat, respons sementara, dan respons minimal atau tanpa respons. A. Rapid Respon/ Respon Cepat Pasien dalam kelompok ini, yang disebut sebagai "responden cepat", dengan cepat merespons


47 bolus cairan awal dan menjadi normal secara hemodinamik, tanpa tanda-tanda perfusi jaringan dan oksigenasi yang tidak memadai. Setelah hal ini terjadi, dokter dapat memperlambat pemberian cairan ke tingkat pemeliharaan. Pasien-pasien ini biasanya telah kehilangan kurang dari 15% volume darah mereka (perdarahan kelas I), dan tidak ada bolus cairan lebih lanjut atau pemberian darah segera yang diindikasikan. Namun, darah yang telah di cross match harus tetap disediakan. Konsultasi dan evaluasi bedah diperlukan selama penilaian awal dan penanganan pasien yang cepat, karena intervensi operatif mungkin masih diperlukan. B. Transient Respon/Respon Sementara Pasien dalam kelompok kedua, "responder sementara", merespons bolus cairan awal. Namun, mereka mulai menunjukkan penurunan indeks perfusi saat cairan awal diperlambat ke tingkat pemeliharaan, yang mengindikasikan adanya kehilangan darah yang sedang berlangsung atau resusitasi yang tidak memadai. Sebagian besar pasien ini pada awalnya telah kehilangan sekitar 15% hingga 40% volume darah mereka (perdarahan kelas II dan III). Transfusi darah dan produk darah diindikasikan, tetapi yang lebih penting lagi adalah mengenali bahwa pasien tersebut memerlukan kontrol perdarahan melalui operasi atau angiografi. Respons sementara terhadap pemberian darah mengidentifikasi pasien yang masih mengalami perdarahan dan memerlukan intervensi bedah yang cepat. Pertimbangkan juga untuk memulai protokol transfusi masif (MTP). C. Minimal atau No Respon / Respon minimal atau tanpa respon Kegagalan merespons pemberian kristaloid dan pemberian darah di UGD menunjukkan perlunya intervensi definitif yang segera (yaitu, operasi atau embolisasi) untuk mengendalikan perdarahan yang tidak dapat dihentikan. Pada kejadian yang sangat jarang, kegagalan merespons resusitasi cairan disebabkan oleh kegagalan pompa akibat cedera jantung tumpul, tamponade jantung, atau pneumotoraks tegang. Syok non-hemoragik harus selalu dipertimbangkan sebagai diagnosis pada kelompok pasien ini (perdarahan kelas IV). Teknik pemantauan lanjutan seperti ultrasonografi jantung berguna untuk mengidentifikasi penyebab syok. MTP harus dimulai pada pasien-pasien ini


48 PEMBERIAN PRODUK DARAH CROSSMATCHED, GOLONGAN DARAH Tujuan utama transfusi darah adalah untuk mengembalikan kapasitas pembawa oksigen dari volume intravaskular. RBC yang sepenuhnya cocok lebih disukai untuk tujuan ini, tetapi proses pencocokan silang yang lengkap membutuhkan waktu sekitar 1 jam di sebagian besar bank darah. Jika darah yang cocok tidak tersedia, RBC tipe O dapat diberikan. Untuk menghindari sensitisasi dan komplikasi, RBC Rh-negatif lebih disukai untuk wanita usia subur. Pengecualian terhadap aturan ini adalah ketika beberapa korban yang tidak teridentifikasi dirawat secara bersamaan, dan risiko pemberian unit darah yang salah secara tidak sengaja kepada pasien meningkat. PENCEGAHAN HIPOTERMIA Hipotermia harus dicegah dan diatasi. Cara paling efisien untuk mencegah hipotermia pada pasien yang menerima resusitasi masif kristaloid dan darah adalah dengan memanaskan cairan hingga 39°C (102,2°F). Hal ini dapat dilakukan dengan menyimpan kristaloid dalam penghangat atau memasukkannya melalui penghangat cairan intravena. Produk darah tidak dapat disimpan dalam penghangat, tetapi dapat dipanaskan melalui penghangat selang infus pada cairan intravena.1 AUTOTRANSFUSI Pertimbangkan pengumpulan darah yang keluar untuk autotransfusi pada pasien dengan hemotoraks masif. Darah ini umumnya hanya memiliki kadar faktor pembekuan yang rendah, sehingga plasma dan trombosit mungkin masih diperlukan.1


49 TRANSFUSI MASIF (MTP) Sebagian kecil pasien dengan syok akan membutuhkan transfusi masif, yang paling sering didefinisikan sebagai >10 unit RBC dalam 24 jam pertama setelah masuk rumah sakit atau lebih dari 4 unit dalam 1 jam. Pemberian RBC, plasma, dan trombosit secara dini dalam rasio yang seimbang untuk meminimalkan pemberian kristaloid yang berlebihan dapat meningkatkan kelangsungan hidup pasien. Pendekatan ini disebut sebagai resusitasi "seimbang", "hemostatik", atau "pengendalian kerusakan". Upaya simultan untuk mengendalikan perdarahan dengan cepat dan mengurangi efek merugikan dari koagulopati, hipotermia, dan asidosis pada pasien-pasien ini sangatlah penting.1 KOAGULOPATHY Cedera parah dan perdarahan mengakibatkan konsumsi faktor koagulasi dan koagulopati meningkat. Koagulopati ini terjadi pada hingga 30% pasien cedera parah saat masuk, tanpa adanya penggunaan antikoagulan sebelumnya. Resusitasi cairan secara besarbesaran dengan pengenceran trombosit dan faktor pembekuan yang dihasilkan, serta efek buruk hipotermia pada agregasi trombosit dan kaskade pembekuan, berkontribusi pada koagulopati pada pasien yang cedera. Protrombin time, partial thromboplastine time, dan jumlah trombosit adalah pemeriksaan dasar yang berharga untuk dilakukan dalam satu jam pertama, terutama pada pasien dengan riwayat gangguan pembekuan darah atau yang mengonsumsi obat yang mengubah pembekuan darah. Pemeriksaan di tempat perawatan tersedia di banyak UGD. Tromboelastografi (TEG) dan tromboelastometri rotasi (ROTEM) dapat membantu dalam menentukan defisiensi pembekuan dan komponen darah yang tepat untuk memperbaiki defisiensi tersebut. Beberapa penelitian memberikan asam traneksamat di tempat pra-rumah sakit kepada pasien yang cedera parah sebagai tanggapan terhadap penelitian terbaru yang menunjukkan peningkatan kelangsungan hidup ketika obat ini diberikan dalam waktu 3 jam setelah cedera. Dosis pertama biasanya diberikan dalam waktu 10 menit dan diberikan di lapangan; dosis lanjutan sebanyak 1 gram diberikan dalam waktu 8 jam. PEMBERIAN KALSIUM Sebagian besar pasien yang menerima transfusi darah tidak memerlukan suplemen kalsium. Bila perlu, pemberian kalsium harus dipandu oleh pengukuran kalsium terionisasi. Kalsium tambahan yang berlebihan dapat berbahaya. MELAKUKAN PEMERIKSAAN ULANG RESPON PASIEN DAN MENCEGAH KOMPLIKASI Penggantian volume yang tidak memadai adalah komplikasi yang paling umum dari syok hemoragik. Pasien yang mengalami syok membutuhkan terapi segera, tepat, dan agresif untuk memulihkan perfusi organ.


50 PERDARAHAN MASIH BERLANGSUNG Sumber perdarahan yang tidak terdiagnosis adalah penyebab paling umum dari respons yang buruk terhadap terapi cairan. Pasien-pasien ini, yang juga digolongkan sebagai transient responder, memerlukan pemeriksaan yang terusmenerus untuk mengidentifikasi sumber kehilangan darah. Intervensi bedah segera mungkin diperlukan. MONITORING Tujuan resusitasi adalah mengembalikan perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Kondisi ini diidentifikasi dengan produksi urin yang sesuai, fungsi saraf, warna kulit, serta kembalinya denyut nadi dan tekanan darah ke arah normal. Pemantauan respons terhadap resusitasi paling baik dilakukan untuk beberapa pasien di lingkungan yang menggunakan teknik canggih. Untuk pasien lanjut usia dan pasien dengan penyebab syok non-hemoragik, pertimbangkan pemindahan dini ke unit perawatan intensif atau pusat trauma. MASALAH LAIN Ketika seorang pasien gagal merespons terapi, penyebabnya dapat mencakup satu atau lebih dari yang berikut ini: perdarahan yang tidak terdiagnosis, tamponade jantung, tension pneumotoraks, masalah ventilasi, kehilangan cairan yang tidak dikenali, dispeningkatan tekanan intra abdominal, infark miokard, KAD, hipoadrenalisme, atau syok neurogenik. Evaluasi ulang yang konstan, terutama ketika kondisi pasien menyimpang dari pola yang diharapkan, adalah kunci untuk mengenali dan menangani masalah tersebut sedini mungkin.


51 BAB 7 TRAUMA DADA


52 Tujuan : Setelah membaca bab ini, anda akan mampu memahami: I. Identifikasi dan menjelaskan cedera yang mengancam jiwa berikut ini selama survei primer: obstruksi jalan napas, cedera trakeobronkial, tension pneumotoraks, pneumotoraks terbuka, hemotoraks masif, dan tamponade jantung. 2. Identifikasi dan menjelaskan penatalaksanaan survei sekunder berikut yang berpotensi mengancam nyawa: pneumotoraks sederhana, hemotoraks, flail chest, kontusio paru, cedera jantung tumpul, gangguan aorta traumatis, cedera diafragma traumatis, dan ruptur esofagus tumpul. 3. Pentingnya dan pengobatan emfisema subkutan, cedera dada, dan patah tulang dada, tulang rusuk, dan tulang selangka. Trauma toraks merupakan penyebab kematian yang signifikan. Faktanya, banyak pasien dengan trauma toraks meninggal setelah sampai di rumah sakit. Namun, sebagian besar kematian ini dapat dicegah dengan diagnosis dan penatalaksanaan yang cepat. Kurang dari 10% cedera dada tumpul dan hanya 15% hingga 30% cedera tembus dada memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan pasien yang mengalami trauma toraks dapat ditangani dengan prosedur teknis sesuai kemampuan dokter yang terlatih. Banyak prinsip yang diuraikan dalam bab ini juga berlaku untuk cedera toraks iatrogenik, seperti hemotoraks atau pneumotoraks akibat penemasangan akses vena sentral dan cedera esofagus selama endoskopi. The physiologic consequences of thoracic trauma are hypoxia, hypercarbia, and acidosis. Contusion hematoma, and alveolar collapse, or changes in intrathoracic pressure relationships (eg tension pneumothorax and open pneumothoras) cause hypoxia and lead to metabolic acidosis. Hyperbia cause respiratory acidosis and most often follows inadequate ventilation caused by changes in intrathoracic prelationships and depressed level of consciousness’ Initial assessment and treatment of patients with thoracic trauma consists of the primary survey with resuscitation of vital functions, detailed secondary survey, and definitive care. Because hypoxia is the most serious consequence of chest injury, the goal of early intervention is to por corect hypoxia. Injuries that are an immediate that to life are aquickly and simply as possible. Most lifethreatening thoracic injuries can be treated with airway co or decompression of the chest with a needs, finger, or tube. The secondary survey is influenced by the history of the injury and a high index of suspicion for Specific Injury Konsekuensi fisiologis dari trauma toraks adalah hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis. Kontusio hematoma, dan kolaps alveolar, atau perubahan hubungan tekanan intrathoracic (misalnya tension pneumothorax dan open pneumothoras) menyebabkan hipoksia dan menyebabkan asidosis metabolik. Hiperkarbia menyebabkan asidosis respiratorik dan paling sering terjadi setelah ventilasi yang tidak adekuat yang BAB 7. Trauma Dada Triage


53 disebabkan oleh perubahan hubungan intrathoracic dan penurunan tingkat kesadaran. Penilaian awal dan penatalaksanaam pasien trauma toraks terdiri dari survei primer dengan resusitasi fungsi vital, survei sekunder terperinci, dan perawatan definitif. Karena hipoksia adalah konsekuensi paling serius dari cedera dada, tujuan intervensi dini adalah untuk memperbaiki hipoksia. Cedera yang mengancam jiwa dapat terjadi dengan cepat. Sebagian besar cedera dada yang mengancam jiwa dapat bantuan menjaga jalan nafas terbuka, bantuan pernafasan atau dekompresi dada dengan jarum atau WSD. Survei sekunder dipengaruhi oleh riwayat cedera dan tingginya indeks kecurigaan terhadap Cedera Tertentu SURVEI PRIMER : CEDERA YANG MENGANCAM JIWA Seperti pada semua pasien trauma, survei utama pasien dengan cedera toraks dimulai dengan jalan napas, diikuti pernapasan, dan kemudian sirkulasi. Masalah-masalah besar harus diperbaiki ketika masalah-masalah tersebut teridentifikasi. MASALAH SALURAN PERNAFASAN Penting untuk mengenali dan mengatasi cedera besar yang mempengaruhi jalan napas selama survei awal. Obstruksi Jalan Nafas Obstruksi jalan nafas akibat pendarahan atau muntahan yang diaspirasi ke jalan nafas sehingga mengganggu pertukaran gas. Beberapa mekanisme cedera dapat menimbulkan masalah seperti ini. Cedera laring dapat menyertai nyeri toraks mayor akibat pukulan langsung ke leher atau penahan bahu yang salah tempat di leher. Dislokasi posterior kepala klavikula terkadang menyebabkan obstruksi jalan napas. Alternatifnya, trauma tembus yang melibatkan leher atau dada dapat menyebabkan cedera dan pendarahan, yang menyebabkan obstruksi. Meskipun gambaran klinisnya kadang-kadang tidak jelas, obstruksi jalan napas akut akibat trauma laring merupakan cedera yang mengancam jiwa. Selama survei primer, carilah bukti adanya retraksi interkostal dan supraklavikula. Periksa orofaring apakah ada benda asing yang menghalangi pergerakan udara pada bidang hidung, mulut, dan paru pasien. Dengarkan bukti adanya obstruksi parsial saluran napas atas (stridor) atau perubahan nyata pada kualitas suara yang diharapkan pada pasien yang mampu berbicara. Rasakan adanya krepitus pada leher anterior. Pasien dengan obstruksi jalan nafas dapat diobati dengan pembersihan darah atau muntahan dari jalan nafas dengan cara disedot. Manuver ini seringkali hanya bersifat sementara, dan penempatan jalan napas definitif diperlukan. Palpasi adanya defek pada daerah sendi novikular. Kurangi disasi posterior atau fraktur klavikula dengan memperluas jangkauan pasien dalam menggenggam klavikula dengan penjepit handuk tembus, yang dapat meringankan obstruksi. Pengurangan biasanya stabil ketika pasien tetap dalam posisi terlentang


54 Cedera Trakeobronkial Cedera pada trakea atau bronkus utama adalah kondisi yang biasa terjadi namun berpotensi fatal. Mayoritas cedera pohon trakeobronkial terjadi dalam jarak 2,54 cm dari karina. Cedera ini bisa parah, dan sebagian besar pasien meninggal di tempat kejadian. Mereka yang mencapai rumah sakit hidup-hidup memiliki angka kematian yang tinggi akibat cedera terkait, jarak yang tidak memadai, perkembangan tension pneumothorax atau tension pneumopericardium. Perlambatan yang cepat setelah trauma tumpul menyebabkan cedera dimana titik perlekatan bertemu dengan area mobilitas. Cedera akibat ledakan biasanya menyebabkan cedera parah pada antarmuka fluida udara. Trauma tembus menyebabkan cedera melalui laserasi langsung, robekan atau perpindahan cedera kinetik dengan kavitasi. Intubasi berpotensi menyebabkan atau memperburuk cedera pada trakea atau bronkus proksimal. Pasien biasanya datang dengan hemoptisis, emfisema subkutan sevikal, tension pneumothorax, dan/atau sianosis. Ekspansi paru yang tidak sempurna dan kebocoran udara dalam jumlah besar yang terus menerus setelah pemasangan chest tube menunjukkan adanya cedera trakeobronkial, dan pemasangan lebih dari satu chest tube mungkin diperlukan untuk mengatasi kebocoran udara yang signifikan. Bronkoskopi memastikan diagnosisnya. Jika dicurigai adanya cedera trakeobronkial, segera dapatkan konsultasi bedah. Perawatan segera mungkin memerlukan penempatan jalan napas definitif. Intubasi pada pasien dengan cedera trakeobronkial sering kali sulit dilakukan karena distorsi anatomi dari hematoma paratrakeal, cedera orofaringeal yang terkait, dan/atau cedera trakeobronkial itu sendiri. Keterampilan membuka jalan napas tingkat lanjut, seperti penempatan tabung endotrakeal dengan bantuan serat optik melewati lokasi robekan atau intubasi selektif pada bronkus yang tidak terkena, mungkin diperlukan. Untuk pasien tersebut, intervensi bedah segera diindikasikan. Pada pasien yang lebih stabil, pengobatan bedah cedera trakeobronkial mungkin ditunda sampai inflamasi akut dan edema teratasi. MASALAH PERNAPASAN Paparan dada dan leher pasien secara menyeluruh untuk memungkinkan penilaian vena leher dan pernapasan. Hal ini mungkin memerlukan pelepasan sementara bagian depan kerah serviks; dalam hal ini, batasi gerakan servikal secara aktif dengan memegang kepala pasien sementara kerah dilonggarkan. Lihatlah dinding dada untuk menilai gerakan dan menentukan apakah gerakannya seimbang. Kaji kecukupan pernapasan. Dengarkan dada untuk mengevaluasi suara napas yang sama dan identifikasi suara tambahan yang mungkin mengindikasikan efusi atau memar. Palpasi untuk menentukan apakah ada area nyeri tekan, krepitus, atau cacat.


55 Tanda-tanda cedera dada dan/atau hipoksia yang signifikan namun sering kali tidak jelas, meliputi peningkatan laju pernapasan dan perubahan pola pernapasan pasien, yang sering kali diwujudkan dengan pernapasan yang semakin dangkal. Ingatlah bahwa sianosis adalah tanda akhir hipoksia pada pasien trauma dan sulit terlihat pada kulit berpigmen gelap; ketidakhadirannya tidak selalu menunjukkan oksigenasi jaringan yang memadai atau jalan napas yang memadai. Tension pneumothorax, open pneumothorax (luka hisap di dada), dan hemothorax masif merupakan cedera toraks utama yang mempengaruhi pernapasan. Sangat penting bagi dokter untuk mengenali dan menangani cedera ini selama survei primer. Tension Pneumotoraks Tension pneumotoraks terjadi ketika terjadi kebocoran udara “katup satu arah” dari paru-paru atau melalui dinding dada (GAMBAR 4-1). Udara dipaksa masuk ke dalam rongga pleura tanpa ada jalan keluar, yang pada akhirnya membuat paru-paru yang terkena menjadi rusak. Mediastinum tergeser ke sisi yang berlawanan, menurunkan aliran balik vena dan menekan paruparu yang berlawanan. Syok (sering diklasifikasikan sebagai obstruktif Syok) akibat penurunan aliran balik vena yang nyata sehingga menyebabkan penurunan curah jantung.


56 Penyebab paling umum dari tension pneumothorax adalah ventilasi tekanan positif mekanis pada pasien dengan cedera pleura visceral. Tension pneumotoraks juga dapat menyulitkan pneumotoraks sederhana yang menyebabkan trauma dada tembus atau tumpul di mana cedera parenkim paru gagal menutup, atau setelah upaya pemasangan kateter vena subklavia atau jugularis interna. Kadang-kadang, cacat traumatis pada dinding dada menyebabkan tension pneumotoraks ketika balutan oklusif dipasang pada keempat sisinya atau cacat itu sendiri disebabkan oleh mekanisme katup penutup yang macet. Jarang sekali terjadi tension pneumothorax yang disebabkan oleh pergeseran tulang belakang dada. Pasien yang bernapas secara spontan menunjukkan takipnea ekstrem dan kekurangan udara, sedangkan pasien yang diberi ventilasi mekanis menunjukkan kolaps hemodinamik. Tension pneumothorax ditandai dengan beberapa atau seluruh tanda dan gejala berikut: Nyeri dada Pernafasan hipoksi Takipnea Takikardia Hipotensi Deviasi trakea menjauhi sisi cedera Tidak adanya bunyi kesehatan unilateral Peningkatan hemithorax tanpa gerakan pernapasan Distensi vena leher Sianosis (manifestasi lanjut) Lakukan penilaian pernapasan, seperti dijelaskan di atas. Hipersonor pada perkusi, deviasi trakea, distensi vena leher, dan tidak adanya bunyi napas merupakan tanda-tanda pneumotoraks. Saturasi arteri harus dinilai menggunakan pulse oximeter dan periksa dengan USG, tension pneumothorax dapat didiagnosis menggunakan extended FAST (eFAST). Tension pneumothorax memerlukan dekompresi segera dan dapat ditangani pada tahap awal dengan memasukkan Jarum berukuran besar ke dalam ruang pleura. Karena ketebalan dinding dada yang bervariasi, kateter yang tertekuk, dan komplikasi anatomi teknis lainnya, dekompresi jarum mungkin tidak berhasil. Dalam kasus ini, torakotomi jari merupakan pendekatan alternatif (Gambar 4-2).


57 Ketebalan dinding dada mempengaruhi kemungkinan keberhasilan dekompresi jarum. Bukti menunjukkan bahwa kateter di atas jarum sepanjang 5 cm akan menjangkau rongga pleura >50%, sedangkan kateter sepanjang 8 cm di atas kateter jarum akan menjangkau ruang pleura >90%. Penelitian juga menunjukkan bahwa penempatan kateter jarum di lapangan ke dinding dada anterior oleh paramedis terlalu medial pada 44% pasien. Bukti terbaru mendukung pemasangan kateter over-the-needle yang besar pada sela kelima sedikit di anterior garis midaxillary. Namun, bahkan dengan kateter overthe-needle dengan ukuran yang sesuai, manuver tidak selalu berhasil Dekompresi jarum yang berhasil mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothorax sederhana. Namun, ada kemungkinan pneumotoraks berikutnya akibat manuver tersebut, sehingga penilaian ulang pasien secara terus-menerus diperlukan. Pemasangan chest tube wajib dilakukan setelah dekompresi dada dengan jarum atau jari. Pneumotoraks Terbuka Cedera besar pada dinding dada yang tetap terbuka dapat menyebabkan pneumotoraks terbuka, yang juga dikenal sebagai luka yang menhisap udara kedalam rongga dadad di dada (Gambar 4-3). Keseimbangan antara tekanan intratoraks dan tekanan atmosfer segera terjadi. Karena udara cenderung mengikuti jalur yang hambatannya paling kecil, bila lubang di dinding dada kira-kira dua pertiga diameter trakea atau lebih besar, udara lebih disukai


58 melewati defek dinding dada pada setiap inspirasi. Ventilasi efektif terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkarbia.


59 Pneumotoraks terbuka umumnya ditemukan dan diobati di tempat kejadian oleh petugas prarumah sakit. Tanda dan gejala klinisnya adalah nyeri, kesulitan bernapas, takipnea, penurunan suara napas pada sisi yang terkena, dan suara bising pergerakan udara melalui cedera dinding dada. Untuk penanganan awal pneumotoraks terbuka, segera tutup bagian yang rusak dengan balutan steril yang cukup besar hingga menutupi tepi luka. Pembalut oklusif apa pun (misalnya bungkus plastik atau kain kasa petrolatum) dapat digunakan sebagai tindakan sementara agar penilaian cepat dapat dilanjutkan. Rekatkan dengan kuat hanya pada tiga sisi untuk memberikan efek katup bergetar (GAMBAR 4- 4). Saat pasien menarik napas, balutan menutup luka, mencegah masuknya udara. Selama pernafasan, ujung balutan yang terbuka memungkinkan udara keluar dari rongga pleura. Menempelkan keempat tepi balutan dapat menyebabkan udara menumpuk di rongga dada, menyebabkan tension pneumotoraks kecuali selang dada terpasang. Tempatkan selang dada yang jauh dari luka sesegera mungkin. Penutupan luka secara bedah definitif selanjutnya sering kali diperlukan. Hemotoraks Masif Akumulasi >1500 ml darah di satu sisi dada dengan hemotoraks masif dapat mengganggu upaya pernapasan secara signifikan dengan menekan paru-paru dan mencegah oksigenasi dan ventilasi yang memadai. Pasang chest tube untuk meningkatkan ventilasi dan oksigenasi, dan mulai resusitasi yang sesuai. Akumulasi darah akut dalam jumlah besar menyebabkan hipotensi dan syok. TABEL 4-1 menguraikan perbedaan gejala tension pneumotoraks dan hemotoraks masif. MASALAH SIRKULASI Cedera toraks utama yang mempengaruhi sirkulasi dan harus dikenali dan ditangani selama


60 survei primer adalah hemotoraks masif, tamponade jantung, dan henti sirkulasi traumatis. Pulseless Electrical Activity (PEA) dimanifestasikan oleh terekamnya gelombang elektrokardiogram (EKG) tanpa terabanya denyut nadi pasien. Disritmia ini dapat muncul dengan tamponade jantung, tension pneumothorax, atau hipovolemia berat. Cedera tumpul yang parah dapat mengakibatkan pecahnya atrium atau ventrikel secara tumpul, dan satu-satunya manifestasi yang mungkin terjadi adalah hentinya PEA. Penyebab lain henti PEA termasuk hipovolemia, hipoksia, ion hidrogen (asidosis), hipokalemia/hiperkalemia, hipoglikemia, hipotermia, racun, tamponade jantung, tension pneumothorax, dan trombosis (koroner atau paru). Periksa kulit apakah ada bintik-bintik, sianosis, dan pucat. Vena leher harus dinilai untuk mengetahui adanya distensi, meskipun mungkin tidak terjadi distensi pada pasien dengan hipovolemia yang terjadi bersamaan. Dengarkan keteraturan dan kualitas detak jantungnya. Kaji denyut nadi sentral untuk kualitas, kecepatan, dan keteraturan. Pada pasien dengan hipovolemia, denyut nadi distal mungkin tidak ada karena penurunan volume. Palpasi kulit untuk menilai suhunya dan menentukan apakah kulit kering atau berkeringat. Ukur tekanan darah dan tekanan nadi, dan pantau pasien dengan elektrokardiografi dan oksimetri nadi. Pasien dengan cedera dada tumpul berisiko mengalami disfungsi miokard, yang meningkat dengan adanya hipoksia dan asidosis. Disritmia harus ditangani sesuai dengan protokol standar. Hemotoraks Masif Hemotoraks yang masif diakibatkan oleh hal yang cepat. akumulasi lebih dari 1500 mL darah atau sepertiga atau lebih volume darah pasien di rongga dada (GAMBAR 4-5). Hal ini paling sering disebabkan oleh luka tembus yang mengganggu pembuluh darah sistemik atau hilus, meskipun hemotoraks masif juga dapat disebabkan oleh trauma tumpul. Pada pasien dengan hemothorax masif, vena leher mungkin datar karena hipovolemia berat, atau mungkin melebar jika berhubungan dengan tension pneumothorax. Jarang terjadi efek mekanis dari darah intratoraks yang masif yang menggeser mediastinum hingga menyebabkan distensi vena leher. Hemotoraks masif diduga terjadi bila syok dikaitkan dengan tidak adanya suara napas atau perkusi pada salah satu sisi dada terasa redup. Hemotoraks masif awalnya ditangani dengan memulihkan volume darah dan mendekompresi rongga dada secara bersamaan. Pasang jalur intravena kaliber besar, infus kristaloid, dan mulai transfusi darah. Jika diperlukan, darah dari chest tube dapat dikumpulkan dalam alat yang sesuai untuk autotransfusi. Sebuah chest tube (28-32 French) dimasukkan, biasanya pada ruang interkostal kelima, tepat di anterior garis midaxillary, dan pemulihan volume secara cepat berlanjut seiring dengan selesainya dekompresi rongga dada. Kembalinya 1500 mL atau lebih darah dengan segera umumnya menunjukkan perlunya torakotomi segera.


61 Pasien yang keluaran cairan awalnya kurang dari 1500 mL, namun terus mengalami pendarahan, mungkin juga memerlukan torakotomi. Keputusan ini didasarkan pada laju kehilangan darah yang berkelanjutan (200 mL/jam selama 2 hingga 4 jam), serta status fisiologis pasien dan apakah darah telah dievakuasi sepenuhnya dari dada. Sekali lagi, kebutuhan transfusi darah yang terus-menerus merupakan indikasi untuk torakotomi. Selama resusitasi pasien, volume darah yang awalnya dikeluarkan dari selang dada dan kecepatan kehilangan darah yang berkelanjutan harus diperhitungkan dalam kebutuhan resusitasi. Warna darah (menunjukkan sumber arteri atau vena) merupakan indikator yang buruk mengenai perlunya torakotomi. Luka tembus dada anterior di medial garis puting susu dan luka posterior di medial skapula (mediastinal box) harus mengingatkan dokter akan kemungkinan perlunya torakotomi karena potensi kerusakan pada pembuluh darah besar, struktur hilus, dan jantung, dengan potensi terkait untuk tamponade jantung. Jangan melakukan torakotomi kecuali ada ahli bedah yang memiliki kualifikasi pelatihan dan pengalaman.


62 Tamponade Jantung Tamponade jantung adalah kompresi jantung oleh penumpukan cairan di kantung perikardial. Hal ini mengakibatkan penurunan curah jantung karena berkurangnya aliran masuk ke jantung. Kantung perikardial manusia merupakan struktur berserat yang tetap, dan sejumlah kecil darah dapat membatasi aktivitas jantung dan mengganggu pengisian jantung. Tamponade jantung paling sering terjadi akibat cedera tembus, meskipun cedera tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah dari jantung, pembuluh darah besar, atau pembuluh darah epikardial (■ GAMBAR 4-6). Tamponade jantung dapat berkembang secara perlahan, sehingga evaluasinya tidak terlalu mendesak, atau terjadi secara cepat, sehingga memerlukan diagnosis dan pengobatan yang cepat. Trias klinis klasik berupa bunyi jantung teredam, hipotensi, dan distensi vena tidak selalu muncul pada tamponade jantung. Bunyi jantung yang teredam sulit dinilai di ruang resusitasi yang bising, dan vena leher yang distensi mungkin tidak ada karena hipovolemia. Tanda Kussmaul (yaitu, peningkatan tekanan vena saat inspirasi ketika bernapas secara spontan) adalah kelainan tekanan vena paradoks yang berhubungan dengan tamponade. PEA menunjukkan adanya tamponade jantung tetapi dapat disebabkan oleh hal lain, seperti yang dijelaskan sebelumnya. Tension pneumotoraks, khususnya di sisi kiri, dapat menyerupai tamponade jantung. Karena kesamaan tanda-tandanya, tension pneumothorax pada awalnya dapat disalahartikan sebagai tamponade jantung. Adanya hiperresonansi pada perkusi menandakan tension pneumothorax, sedangkan adanya bunyi napas bilateral menandakan adanya tamponade jantung. Penilaian terfokus dengan sonografi untuk trauma (FAST) adalah metode pencitraan jantung dan perikardium yang cepat dan akurat yang dapat mengidentifikasi tamponade jantung secara efektif. FAST memiliki akurasi 90-95% dalam mengidentifikasi keberadaan cairan perikardial bagi operator berpengalaman. Hemotoraks yang terjadi bersamaan dapat menyebabkan hasil positif palsu dan negatif palsu. Ingatlah bahwa tamponade dapat terjadi kapan saja selama fase resusitasi, dan pemeriksaan FAST berulang mungkin diperlukan. Penyedia layanan ultrasonografi yang berpengalaman mungkin juga dapat menilai disfungsi miokard dan pengisian ventrikel.


63 ■FIGURE 4-6 Cardiac Tamponade. A. Normal heart. B. Cardiac tamponade can result from penetrating or blunt injuries that cause the pericardium to fill with blood from the heart, great vessels, or pericardial vessels. C. Ultrasound image showing cardiac tamponade. Metode tambahan untuk mendiagnosis tamponade jantung meliputi ekokardiografi dan/atau jendela perikardiosentesis, yang mungkin sangat berguna ketika FAST tidak tersedia atau tidak jelas. Ketika cairan perikardial atau tamponade didiagnosis, torakotomi darurat atau sternotomi harus dilakukan oleh ahli bedah yang berkualifikasi sesegera mungkin. Pemberian cairan intravena akan meningkatkan tekanan vena pasien dan meningkatkan curah jantung sementara sementara persiapan dilakukan untuk pembedahan. Jika intervensi bedah tidak memungkinkan, perikardiosentesis dapat menjadi terapi, namun hal ini bukan merupakan pengobatan definitif untuk tamponade jantung. Ketika perikardiosentesis subxifoid digunakan sebagai manuver temporer, penggunaan kateter over-the-needle yang besar atau teknik Seldinger untuk memasukkan kateter fleksibel adalah pilihan yang ideal, namun prioritas mendesaknya adalah mengaspirasi darah dari kantung perikardial. Karena komplikasi umum terjadi pada teknik pemasangan tanpa penuntun, perikardiosentesis harus menjadi upaya terakhir untuk menyelamatkan nyawa jika tidak ada ahli bedah yang memenuhi syarat untuk melakukan torakotomi atau sternotomi. Panduan USG dapat memfasilitasi penyisipan kateter besar untuk memasukkan jarum secara akurat ke dalam ruang perikardial. Henti Peredaran Darah karena Traumatis Pasien trauma yang tidak sadarkan diri dan tidak memiliki denyut nadi, termasuk PEA (seperti yang diamati pada hipovolemia ekstrem), fibrilasi ventrikel, dan asistol (henti jantung sebenarnya) dianggap mengalami henti sirkulasi. Penyebab henti peredaran darah traumatis termasuk hipoksia berat, tension pneumotoraks, hipovolemia berat, tamponade jantung, herniasi jantung, dan kontusio miokard parah. Pertimbangan penting adalah bahwa kejadian henti jantung mungkin terjadi sebelum kejadian traumatis.


64 Henti peredaran darah didiagnosis berdasarkan temuan klinis (tidak sadar dan tidak ada denyut nadi) dan memerlukan tindakan segera. Setiap detik berarti, dan tidak boleh ada penundaan untuk pemantauan EKG atau ekokardiografi. Bukti terbaru menunjukkan bahwa beberapa pasien yang mengalami henti sirkulasi traumatis dapat bertahan hidup (1,9%) jika dilakukan resusitasi jantung paru (CPR) tertutup dan resusitasi yang tepat. Di pusat-pusat yang ahli dalam melakukan torakotomi resusitasi, angka kelangsungan hidup 10% atau lebih telah dilaporkan dengan henti sirkulasi setelah trauma tembus dan tumpul. Mulai CPR tertutup secara bersamaan dengan manajemen ABC. Amankan jalan napas definitif dengan intubasi orotrakeal (tanpa induksi urutan cepat). Berikan ventilasi mekanis dengan oksigen 100%. Untuk meringankan potensi tension pneumotoraks, lakukan pemasakan chest tube bilateral. Tidak diperlukan anestesi lokal, karena pasien tidak sadarkan diri. Pantau terus EKG dan saturasi oksigen, dan mulai resusitasi cairan secara cepat melalui selang infus besar atau jarum intraoseus. Berikan epinefrin (1 mg) dan, jika terdapat fibrilasi ventrikel, obati sesuai dengan protokol Advanced Cardiac Life Support (ACLS). Berdasarkan kebijakan setempat dan ketersediaan tim bedah yang ahli dalam memperbaiki cedera tersebut, torakotomi resusitasi mungkin diperlukan jika tidak ada kembalinya sirkulasi spontan (ROSC). Jika tidak ada ahli bedah yang dapat melakukan torakotomi dan tamponade jantung telah didiagnosis atau sangat dicurigai, perikardiosentesis jarum dekompresi dapat dilakukan, sebaiknya dengan panduan USG.


65 ■GAMBAR 4-7 menyajikan algoritma untuk penatalaksanaan henti peredaran darah traumatis.


66 SURVEI SEKUNDER Survei sekunder pasien trauma toraks meliputi pemeriksaan fisik lebih lanjut dan mendalam, pemantauan EKG dan oksimetri nadi, pengukuran gas darah arteri (ABG), rontgen dada tegak pada pasien tanpa dugaan ketidakstabilan tulang belakang. dan pemindaian tomografi komputer (CT) dada pada pasien tertentu yang diduga mengalami cedera aorta atau tulang belakang. Selain ekspansi paru dan adanya cairan, foto thorax juga harus ditinjau untuk mengetahui adanya pelebaran mediastinum, pergeseran garis tengah, dan hilangnya detail anatomi. Patah tulang rusuk multipel dan patah tulang rusuk pertama atau kedua menunjukkan adanya kekuatan yang signifikan yang diberikan ke dada dan jaringan di bawahnya. Extended FAST (FAST) telah digunakan untuk mendeteksi pneumotoraks dan hemotoraks. Namun, cedera lain yang berpotensi mengancam jiwa tidak terlihat jelas pada USG, sehingga radiografi dada merupakan bagian penting dalam evaluasi setelah cedera traumatis CEDERA YANG POTENSI MENGANCAM HIDUP Berbeda dengan kondisi yang langsung mengancam nyawa yang diketahui saat survei awal, cedera lain yang berpotensi mematikan seringkali tidak terlihat jelas pada pemeriksaan fisik awal. Diagnosis memerlukan indeks kecurigaan yang tinggi dan penggunaan studi tambahan yang tepat. Jika diabaikan, cedera ini dapat menyebabkan peningkatan komplikasi atau kematian. Delapan cedera yang berpotensi mematikan berikut ini harus diidentifikasi dan ditangani selama survei sekunder: Pneumotoraks sederhana Hemotoraks flail chest Kontusio paru Cedera jantung tumpul Gangguan aorta traumatis Cedera diafragma traumatis Ruptur esofagus tumpul PNEUMOTORAKS SEDERHANA Pneumotoraks terjadi akibat udara memasuki ruang potensial antara pleura visceral dan parietal (GAMBAR 4-8). Dada biasanya terisi penuh oleh paru-paru, yang menempel pada dinding dada oleh tegangan permukaan antara permukaan pleura. Udara di rongga pleura mengganggu kekuatan kohesif antara pleura visceral dan parietal, sehingga menyebabkan paru kolaps. Defek ventilasi-perfusi terjadi karena darah yang mengalirkan darah ke area yang tidak berventilasi tidak teroksigenasi. Trauma tembus dan nonpenetrasi dapat menyebabkan cedera ini. Laserasi paru-paru dengan kebocoran udara adalah penyebab paling umum dari pneumotoraks akibat trauma tumpul. Lakukan pemeriksaan fisik menyeluruh pada dada, termasuk pemeriksaan adanya memar. laserasi, dan luka memar. Kaji pergerakan dinding dada dan kaji serta bandingkan suara nafas secara bilateral. Jika terdapat pneumotoraks, suara napas sering kali menurun pada sisi yang terkena. Namun, perkusi mungkin


67 menunjukkan hiperresonansi meskipun temuan ini sangat sulit untuk didengar di ruang resusitasi yang bising. Rontgen dada ekspirasi tegak membantu diagnosis. Pasien dengan politrauma tumpul bukan kandidat untuk evaluasi ini, meskipun pasien dengan trauma tembus dada mungkin bisa menjadi kandidat. Setiap pneumothorax paling baik diobati dengan dada ditempatkan di ruang interkostal kelima, tepat di anterior garis midaxillary. Observasi dan aspirasi pneumothorax kecil tanpa gejala mungkin diperlukan namun dokter yang memenuhi syarat harus membuat keputusan yang tepat. Setelah pemasangan chest tube dan dihubungkan ke alat penyekat bawah air dengan atau tanpa tindakan, dilakukan pemeriksaan rongga dada untuk memastikan penempatan yang tepat dan ekspansi ulang paru tidak menjalani anestesi umum atau menerima ventilasi tekanan positif tanpa pemasangan chest tube. Dalam keadaan tertentu, seperti ketika "pneumothoras subklinis (yaitu, okultisme) telah didiagnosis, tim trauma dapat memutuskan untuk mengamati pasien secara hati-hati untuk melihat tanda bahwa pneumotorak meluas. Pendekatan yang paling aman adalah memasang chest tube sebelum tension pneumotoraks berkembang. Seorang pasien dengan pneumotoraks juga harus menjalani dekompresi dada sebelum melakukan transportasi melalui ambulans udara karena potensi risiko perluasan poenothorax di ketinggian, bahkan di kabin bertekanan.


68 HEMOTORAKS Hemotoraks adalah jenis efusi pleura di mana darah (<1500 ml) terakumulasi di rongga pleura. Penyebab utama hemothoras adalah laserasi pembuluh darah besar, pembuluh darah interkostal, atau arteri mamaria interna akibat trauma tembus atau tumpul. Fraktur tulang belakang toraks juga dapat dikaitkan dengan hemothorax. Perdarahan biasanya terbatas dan tidak memerlukan intervensi bedah. Paparkan area dada dan area cervical, serta amati pergerakan dinding dada. Carilah adanya cedera tembus pada dinding dada, termasuk thorax posterior. Kaji dan bandingkan suara napas pada kedua hemithorax. Biasanya, rasa tumpul pada perkusi adalah pada sisi yang terkena. Lakukan rontgen dada pasien dalam posisi terlentang. Sejumlah kecil darah akan diidentifikasi sebagai kekeruhan homogen pada sisi yang terkena Hemotera akut yang cukup besar untuk terlihat pada rontgen dada dapat diterapi dengan chest tube dengan ukuran 28-32 French. Chest tube mengevakuasi darah, mengurangi risiko hemothorax yang menggumpal, dan, memungkinkan pemantauan terus menerus terhadap hilangnya darah. Evakuasi darah dan cairan juga membantu dokter untuk menilai pasien secara lebih lengkap terhadap potensi cedera diafragma. Meskipun banyak faktor yang terlibat dalam keputusan untuk mengoperasi pasien dengan hemotoraks, status fisiologis pasien dan volume drainase darah dari chest tube merupakan pertimbangan penting. Lebih dari 1500 ml darah diperoleh segera melalui chest tube menunjukkan adanya masifmhemotoraks yang mungkin memerlukan intervensi bedah. Selain itu, jika terjadi drainase lebih dari 200 ml/jam selama 2 hingga 4 jam, atau jika diperlukan transfusi darah, tim harus mempertimbangkan eksplorasi operatif. Keputusan akhir untuk intervensi bedah didasarkan pada status hemodinamik pasien. PITFALL PREVENTION Retained hemothorax Ensure appropriate placement of chest tube Obtain surgical consultant FLAIL CHEST AND KONTUSIO PARU Flail Chest terjadi ketika segmen dinding dada tidak memiliki kontinuitas tulang dengan sisa rongga toraks. Kondisi ini biasanya diakibatkan oleh trauma yang berhubungan dengan trauma multipel (yaitu dua atau lebih tulang rusuk yang berdekatan patah di dua tempat atau lebih), meskipun kondisi ini juga dapat terjadi ketika ada pemisahan kostokondral pada satu tulang rusuk dari dada (gambar 4-9) Kontusio paru adalah memar pada paru-paru yang disebabkan oleh trauma toraks. Darah dan cairan lain menumpuk di jaringan paru-paru,


69 mengganggu ventilasi dan berpotensi menyebabkan hipoksia. Kontusio paru dapat terjadi tanpa patah tulang rusuk atau flail chest, terutama pada pasien muda yang tulang rusuknya tidak mengalami pengerasan total. Anak-anak memiliki dinding dada yang jauh lebih lentur dibandingkan orang dewasa dan mungkin menderita cedera dada internal lainnya tanpa disertai patah tulang rusuk. Pada orang dewasa, Kontusio paru paling sering terjadi bersamaan dengan patah tulang rusuk, dan merupakan cedera dada paling umum yang berpotensi mematikan. Kegagalan pernapasan yang diakibatkannya mungkin tidak kentara, berkembang seiring berjalannya waktu dan tidak terjadi secara instan. Keterbatasan pasokan ventilasi dapat menyebabkan pasien lanjut usia mengalami kegagalan pernapasan dini. Segmen yang gagal mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan fisik, terutama segera setelah cedera. Penurunan upaya pernapasan, dikombinasikan dengan memar dan atelektasis, dapat membatasi pergerakan dinding dada. Otot dinding dada yang tebal juga dapat membatasi visualisasi gerakan dada yang tidak normal. Jika cedera menyebabkan kontusio paru yang parah, hipoksia serius dapat terjadi. Pergerakan dinding dada yang terbatas disertai nyeri dan kontusio paru yang mendasarinya dapat menyebabkan gagal napas. Observasi gerakan pernapasan abnormal dan palpasi krepitus akibat patah tulang rusuk atau tulang rawan dapat membantu diagnosis. Foto rontgen dada mungkin menunjukkan adanya beberapa patah tulang rusuk tetapi mungkin tidak menunjukkan pemisahan kostokondral.


70 Perawatan awal flail chest dan kontusio paru meliputi pemberian oksigen yang dilembabkan, ventilasi yang memadai, dan resusitasi cairan secara hati-hati. Jika tidak terjadi hipotensi sistemik, pemberian larutan kristaloid intravena harus dikontrol secara hati-hati untuk mencegah kelebihan volume, yang selanjutnya dapat membahayakan status pernapasan pasien. Pasien dengan hipoksia yang signifikan (yaitu, PaO2, <60 mm Hg [8,6 kPa] atau SaO2, <90%) pada udara ruangan mungkin memerlukan intubasi dan ventilasi dalam satu jam pertama setelah cedera. Kondisi medis terkait, seperti penyakit paru obstruktif kronik dan gagal ginjal, meningkatkan kemungkinan memerlukan intubasi dini dan ventilasi mekanis. Perawatan definitif pada flail chest dan kontusio paru melibatkan memastikan oksigenasi yang memadai, pemberian cairan secara bijaksana, dan memberikan analgesia untuk meningkatkan ventilasi. Rencana penatalaksanaan definitif dapat berubah seiring waktu dan respons pasien, sehingga memerlukan pemantauan dan evaluasi ulang pasien secara cermat. Analgesia dapat dicapai dengan narkotika intravena atau pemberian anestesi lokal, yang menghindari potensi depresi pernafasan yang umum terjadi pada narkotika sistemik. Pilihan untuk pemberian anestesi lokal termasuk blok saraf intermiten dan anestesi intrapleural, ekstrapleural, atau epidural transkutan. Bila digunakan dengan benar, agen anestesi lokal dapat memberikan analgesia yang sangat baik dan mencegah perlunya intubasi. Namun, pencegahan hipoksia sangat penting bagi pasien trauma, dan intubasi dan ventilasi jangka pendek mungkin diperlukan sampai dokter mendiagnosis seluruh pola cedera. Penilaian yang cermat terhadap laju pernapasan pasien, saturasi oksigen arteri, dan kerja pernapasan akan menunjukkan waktu yang tepat untuk intubasi dan ventilasi, jika diperlukan.


71 CEDERA JANTUNG TUMPUL Tinjauan literatur terbaru menunjukkan 50% cedera jantung tumpul berhubungan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, diikuti oleh pejalan kaki yang tertabrak kendaraan, kecelakaan sepeda motor, dan kemudian jatuh dari ketinggian lebih dari 20 kaki (6 meter). Cedera jantung tumpul dapat menyebabkan kontusio otot miokard, ruptur ruang jantung, diseksi dan/atau trombosis arteri koroner, dan gangguan katup. Ruptur jantung biasanya muncul dengan tamponade jantung dan harus diketahui pada survei awal. Namun, terkadang tanda dan gejala tamponade berkembang lambat seiring dengan ruptur atrium. Penggunaan FAST secara dini dapat memudahkan diagnosis. Anggota tim trauma harus mempertimbangkan pentingnya cedera jantung tumpul akibat trauma. Pasien dengan cedera miokard tumpul mungkin melaporkan ketidaknyamanan dada, namun gejala ini sering dikaitkan dengan kontusio dinding dada atau patah tulang dada dan/atau tulang rusuk. Diagnosis sebenarnya dari cedera miokard tumpul hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan langsung pada miokardium yang cedera. Gejala sisa yang signifikan secara klinis adalah hipotensi, disritmia, dan/atau kelainan gerakan dinding pada ekokardiografi dua dimensi. Perubahan elektrokardiografi bervariasi dan bahkan mungkin mengindikasikan infark miokard nyata. Kontraksi ventrikel prematur multipel, takikardia sinus yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, fibrilasi atrium, blokade cabang berkas (biasanya kanan), dan perubahan segmen ST adalah temuan EKG yang paling umum. Peningkatan tekanan vena sentral tanpa penyebab yang jelas dapat mengindikasikan disfungsi ventrikel kanan akibat kontusi. Dokter juga harus ingat bahwa peristiwa traumatis mungkin dipicu oleh episode iskemik myokardial. Kehadiran troponin jantung dapat menjadi diagnostik infark miokard. Namun, penggunaannya dalam mendiagnosis cedera jantung tumpul tidak dapat disimpulkan dan tidak memberikan informasi tambahan selain yang tersedia dari EKG. Pasien dengan cedera tumpul pada jantung yang didiagnosis dengan kelainan konduksi (EKG abnormal) berisiko mengalami disritmia mendadak dan harus dipantau selama 24 jam pertama. Setelah interval ini, risiko disritmia tampaknya menurun secara signifikan. Pasien tanpa kelainan EKG tidak memerlukan pemantauan lebih lanjut. GANGGUAN AORTA TRAUMATIS Ruptur aorta traumatis adalah penyebab umum kematian mendadak setelah tabrakan kendaraan atau jatuh dari ketinggian. Orang yang selamat dari cedera ini sering kali sembuh jika ruptur aorta segera diidentifikasi dan diobati dengan cepat. Pasien dengan kemungkinan terbaik untuk bertahan hidup cenderung mengalami laserasi tidak lengkap di dekat ligamen arteriosum aorta. Kontinuitas dipertahankan oleh lapisan awal yang utuh atau terdapat hematoma mediastinum, sehingga mencegah pendarahan dan kematian (GAMBAR 4-10). Darah mungkin keluar ke mediastinum, tetapi salah satu karakteristik yang dimiliki oleh semua penyintas adalah adanya hematoma. Hipotensi yang persisten atau berulang biasanya disebabkan


72 oleh lokasi perdarahan yang terpisah dan tidak teridentifikasi. Meskipun pecahnya aorta yang transeksi ke dada kiri memang terjadi dan dapat menyebabkan hipotensi, hal ini biasanya berakibat fatal kecuali tim trauma dapat memperbaikinya dalam beberapa menit. Tanda-tanda dan gejala spesifik dari gangguan aortic traumatis sering kali berkaitan dengan mempertahankan indeks kecurigaan yang tinggi yang dipicu oleh riwayat kekuatan gerak perlambatan yang cepat dan temuan karakteristiknya pada X-Ray dada, dan evaluasi pasien lebih lanjut. Tanda-tanda radiografi lain dari cedera tumpul aorta meliputi: Mediastinum melebar Obliterasi knop aorta Deviasi trakea ke kanan Depresi bronkus maisteram kiri Elevasi bronkus mainsteam kanan Obliterasi ruang antara arteri pulmonalis dan aorta (obstruksi jendela aortopulmoner) Deviasi esofagus (slang nasogastrik) ke kanan Garis paratrakeal melebar paraspinal interfaces melebar Adanya penutup pleura atau apical cap Hemotoraks kiri Fraktur costae pertama atau costae kedua atau tulang scapula


73 Temuan positif palsu dan negatif palsu dapat terjadi dengan setiap tanda x-ray, dan, jarang (1% -13%), tidak ada kelainan mediastinum atau rontgen dada awal hadir pada pasien dengan cedera pembuluh darah besar. Bahkan sebuah sedikit kecurigaan terhadap cedera aorta memerlukan evaluasi pasien di fasilitas yang mampu memperbaiki cederanya. Helical contrast-enhanced computed tomography (CT) dada telah terbukti menjadi metode pemeriksaan yang akurat untuk pasien dengan dugaan cedera aorta tumpul. CT scan harus dilakukan secara bebas, karena temuan pada rontgen dada, terutama pandangan terlentang, tidak dapat diandalkan. Jika hasilnya samar-samar, lakukan aortografi harus dilakukan. Pada umumnya pasien yang yang hemodinamiknya abnormal tidak boleh dimasukkan pemindai CT. Sensitivitas dan spesifisitas heliks CT DENGAN KONTRAS TELAH TERBUKTI MENDEKATI CT scan harus dilakukan secara bebas, karena temuan positif palsu dan negatif palsu dapat terjadi pada masing-masing tanda, dan jarang (1%- 13%) tidak ditemukan kelainan mediastinum atau awal dada X-Ray pada pasien dengan cedera pembuluh darah besar. Bahkan kecurigaan adanya cedera sonik memerlukan evaluasi pasien di fasilitas yang mampu memperbaiki cedera tersebut. Computed tomography (CT) dada dengan kontras heliks telah terbukti menjadi metode skrining yang akurat untuk pasien yang diduga mengalami cedera tumpul aorta. CT scan harus dilakukan secara bebas, karena temuan pada rontgen dada, khususnya pandangan terlentang, tidak dapat diandalkan. Jika hasilnya samar-samar, aotografi harus dilakukan. Secara umum, pasien dengan kelainan hemodinamik sebaiknya tidak dilakukan pemeriksaan CT scan. Sensitivitas dan spesifisitas CT dengan kontras heliks telah terbukti mendekati 100%, namun hasil ini bergantung pada teknologi. Jika ini tes negatif untuk hematoma mediastinum dan aorta pecah, tidak ada pencitraan diagnostik lebih lanjut dari aorta mungkin diperlukan, meskipun konsultan bedah akan melakukannya menentukan perlunya pencitraan lebih lanjut. Transesofageal ekokardiografi (TEE) tampaknya kurang berguna alat diagnostik invasif. Ahli bedah trauma yang merawat pasien berada dalam posisi terbaik untuk menentukan yang mana, jika ada, tes diagnostik lainnya diperlukan. Denyut jantung dan kontrol tekanan darah bisa menurunkan kemungkinan pecah. Rasa sakit pertama-tama harus dikontrol Nyeri pertama-tama harus dikontrol dengan analgesik. Jika tidak ada kontraindikasi, direkomendasikan untuk mengontrol dengan beta blocker kerja pendek hingga sasaran detak jantung kurang dari 80 denyut per menit (BPM) dan kontrol tekanan darah dengan sasaran tekanan arteri rata-rata 60 hingga 70 mmHg. Ketika blokade beta dengan esmolol tidak cukup atau dikontraindikasikan, calcium channel blocker (nicardipine) dapat digunakan, jika gagal, glisin atau nitroprusside dapat ditambahkan dengan hati-hati. Hipotensi merupakan kontraindikasi yang jelas terhadap obat-obatan ini


74 Seorang ahli bedah yang berkualifikasi harus merawat pasien dengan cedera aorta traumatis tumpul dan membantu dalam diagnosis. Perbaikan terbuka melibatkan reseksi dan perbaikan segmen yang robek atau, yang jarang, perbaikan primer. Perbaikan endovaskular adalah pilihan paling umum untuk menangani cedera aorta dan memiliki hasil jangka pendek yang sangat baik. Tindak lanjut pasca keluar dari rumah sakit diperlukan untuk mengidentifikasi komplikasi jangka panjang. Fasilitas dengan sumber daya rendah tidak boleh menunda transfer dengan melakukan penilaian ekstensif pada mediastinum yang luas, karena hematoma yang ada dapat pecah dan kematian yang cepat akibat pendarahan dapat terjadi. Semua pasien dengan mekanisme cedera dan temuan X-Ray dada sederhana yang menunjukkan adanya gangguan harus dipindahkan ke fasilitas yang mampu memberikan diagnosis pasti dan pengobatan terhadap cedera yang berpotensi mematikan ini. CEDERA DIAFRAGMA TRAUMATIS Ruptur diafragma traumatis lebih sering didiagnosis pada sisi kiri, mungkin karena hati menghilangkan defek atau melindunginya pada sisi kanan, sedangkan tampilan mangkuk, lambung, dan/atau selang nasogastrik (NG) yang mudah dideteksi pada dada sisi kiri. Trauma tumpul menghasilkan robekan radial besar yang menyebabkan herniasi (gambar 4-11), sedangkan trauma tembus menghasilkan perforasi kecil yang tidak menunjukkan gejala selama bertahuntahun. Cedera diafragma sering kali luput pada awalnya ketika foto thoraks disalahartikan sebagai gambaran peninggian diafragma, dilatasi lambung akut, lokasi hemopneumotoraks, atau hematoma subpulmonik. Penampakan diafragma kanan yang menonjol pada rontgen dada mungkin merupakan satu-satunya temuan cedera sisi kanan. Jika dicurigai adanya laserasi diafragma kiri, selang lambung dapat dipasang jika selang lambung muncul di rongga dada di XRay dada, kebutuhan akan pemeriksaan kontras khusus dihilangkan. Kadang-kadang. kondisi ini tidak teridentifikasi pada film x-ray awal atau CT scan berikutnya, dalam hal ini pemakaian kontras saluran cerna bagian atas harus dilakukan. Munculnya cairan lavage peritoneal pada drainase chest tube juga menunjukkan diagnosis pasien yang telah menjalani lavage peritoneum diagnostic. Prosedur endoskopi invasif minimal (yaitu laparoskopi dan torakoskopi) mungkin membantu dalam mengevaluasi diafragma pada kasus yang tidak dapat ditentukan. Operasi untuk cedera perut lainnya sering kali menunjukkan robekan diafragma. Pengobatannya dengan perbaikan langsung. Kehati-hatian harus dilakukan saat memasang selang dada pada pasien yang diduga mengalami cedera diafragma, karena selang dapat secara tidak sengaja melukai isi perut yang tergeser ke dalam rongga dada.


75 RUPTUR ESOFAGUS TUMPUL Trauma esofagus paling sering terjadi akibat cedera tembus. Meskipun trauma esofagus yang ringan dan tumpul, yang disebabkan oleh keluarnya isi lambung secara paksa ke dalam esofagus akibat pukulan keras pada perut bagian atas, dapat berakibat fatal jika tidak diketahui. Pengeluaran yang kuat ini menghasilkan robekan linier pada esofagus bagian bawah, sehingga menyebabkan kebocoran ke mediastinum. Mediastinitis yang diakibatkannya dan ruptur segera atau tertunda ke dalam rongga pleura Gambaran klinis pasien ruptur esofagus tumpul identik dengan ruptur esofagus pascamuntah. Keadaan klinis dari cedera esofagus biasanya adalah pasien dengan pneumotoraks kiri atau hemotoraks tanpa patah tulang rusuk yang menerima pukulan hebat pada batang bawah atau epigastrium dan merasakan nyeri yang tidak sebanding dengan cedera yang terlihat. Materi partikulat mungkin mengalir dari dada jika darah mulai jernih. Adanya udara mediastinum juga menunjukkan diagnosis, yang seringkali dapat dipastikan dengan pemeriksaan kontras dan/esofagoskopi. Pengobatan ruptur esofagus terdiri dari drainase luas pada rongga pleura dan mediastinum dengan perbaikan langsung pada cedera. Perbaikan yang dilakukan dalam beberapa jam setelah cedera meningkatkan prognosis pasien. MANIFESTASI CEDERA DADA LAINNYA Selama survei sekunder, tim trauma harus mencari cedera dada signifikan lainnya termasuk emfisema subkutan; cedera remuk (asfiksia traumatis; dan patah tulang rusuk, tulang dada, dan tulang belikat. Meskipun cedera ini mungkin tidak langsung mengancam jiwa, namun berpotensi menyebabkan morbiditas yang signifikan.


76 EMFISEMA SUBKUTAN Emfisema subkutan dapat disebabkan oleh cedera saluran napas, cedera paru-paru, atau, yang jarang terjadi, cedera akibat ledakan. Meskipun kondisi ini tidak memerlukan pengobatan, dokter harus mengenali cedera yang mendasarinya dan mengobatinya. Jika diperlukan ventilasi tekanan positif, pertimbangkan untuk melakukan tube thoracostomy pada sisi emfisema subkutan jika terjadi tension pneumothorax. CEDERA REMUK DI DADA Temuan yang berhubungan dengan cedera dada akibat hantaman, atau asfiksia traumatis, meliputi sebagian besar batang tubuh bagian atas, wajah, dan lengan dengan petechiae sekunder akibat kompresi akut dan sementara pada vena cava superior. Mungkin terdapat pembengkakan masif dan bahkan edema serebral. Cedera terkait harus diobati. FRAKTUR TULANG RUSUK, TULANG DADA, DAN SKAPULA Tulang rusuk adalah komponen rongga dada yang paling sering mengalami cedera, dan cedera pada tulang rusuk merupakan bagian yang paling signifikan. Nyeri saat bergerak biasanya menyebabnan balut bidai pada dada, yang mengganggu ventilasi, oksigenasi, dan batuk efektif. Insiden atelektasis dan peumonia meningkat secara signifikan seiring dengan penyakit paru yang sudah ada sebelumnya. Skapula, humerus, dan klavikula, bersama dengan perlekatan ototnya, memberikan penghalang terhadap cedera pada tulang rusuk bagian atas (1 hingga 3) Fraktur pada skapula, tulang rusuk atau tulang rusuk kedua, atau tulang dada menunjukkan besarnya cedera yang menempatkan kepala , leher, sumsum tulang belakang, paru-paru dan pembuluh darah besar berisiko mengalami cedera serius. Karena tingkat keparahan cedera yang terkait, sebagian besar dapat mencapai 35%. Fraktur tulang dada dan tulang belikat umumnya disebabkan oleh pukulan langsung. Memar paru mungkin menyertai patah tulang dada, dan cedera jantung tumpul harus dipertimbangkan pada semua patah tulang tersebut. Perbaikan operatif pada fraktur tulang dada dan tulang belikat kadang-kadang diindikasikan. Jarang terjadi, dislokasi sternoklavikula posterior menyebabkan perpindahan kepala klavikula ke mediastinum disertai obstruksi vena cava superior. Reposisi segera diperlukan. Tulang rusuk tengah (4 sampai 9) menanggung sebagian besar efek trauma tumpul. Kompresi anteroposterior rongga toraks akan membengkokkan tulang rusuk ke arah luar dan menyebabkan patah tulang poros tengah. Penempelan langsung pada tulang rusuk cenderung membuat tulang rusuk patah dan mendorong ujung tulang rusuk ke dalam dada, sehingga meningkatkan potensi cedera intratoraks, seperti pneumotoraks atau hemotoraks. Secara umum, pasien muda dengan dinding yang lebih fleksibel cenderung tidak mengalami patah tulang. Oleh karena itu, adanya beberapa patah tulang rusuk pada pasien muda menunjukkan adanya transfer kekuatan yang lebih besar dibandingkan pada pasien yang lebih tua.


77 Osteopenia sering terjadi pada orang dewasa yang lebih tua, oleh karena itu, beberapa cedera kecil, termasuk patah tulang rusuk, dapat terjadi bersamaan dengan trauma minor. Populasi ini mungkin mengalami keterlambatan perkembangan hemotoraks klinis dan memerlukan tindak lanjut yang ketat. Adanya patah tulang rusuk pada lansia harus menimbulkan kekhawatiran yang signifikan, karena kejadian pneumonia dan kematian dua kali lipat dibandingkan pada pasien yang lebih muda Fraktur tulang rusuk bagian bawah (10 hingga 12) harus meningkatkan kecurigaan adanya cedera hepatosplenik. Nyeri lokal, nyeri tekan pada palpasi, dan krepitasi terjadi pada pasien dengan cedera tulang rusuk. Deformitas yang teraba atau terlihat menunjukkan adanya patah tulang rusuk. Pada pasien ini, lakukan rontgen dada terutama untuk menyingkirkan kemungkinan cedera intratoraks lainnya dan bukan sekadar untuk mengidentifikasi patah tulang rusuk. Fraktur tulang rawan anterior atau pemisahan sambungan kostokondral memiliki arti yang sama dengan patah tulang rusuk, namun tidak terlihat pada pemeriksaan rontgen. Teknik khusus untuk X-Ray iga tidak dianggap berguna, karena teknik tersebut mungkin tidak dapat mendeteksi semua cidera dan tidak membantu keputusan pengobatan; lebih jauh lagi, tindakan ini terlalu mahal dan memerlukan posisi pasien yang menyakitkan. Tape, rib belt, dan external splint merupakan kontraindikasi. Pereda nyeri merupakan upaya untuk memberikan ventilasi yang adekuat. Blok interkostal, anestesi epidural, dan analgesik sistemik efektif dan mungkin diperlukan. Pengendalian nyeri dini dan agresif, termasuk penggunaan narkotika sistemik dan topikal, anestesi lokal, meningkatkan hasil pada pasien dengan patah tulang tulang rusuk, sternum dan skapula Meningkatnya penggunaan CT telah mengakibatkan identifikasi cedera yang tidak diketahui atau didiagnosis dengan baik, seperti cedera aorta minimal dan pumotoraks dan hemotoraks tersembunyi atau sublinis. Dokter harus mendiskusikan pengobatan yang tepat untuk cedera gaib ini dengan konsultan khusus yang tepat KERJA TIM 1. Pemimpin tim harus: o Dengan cepat membangun kompetensi anggota tim dalam melakukan teknik dekompresi jarum dan drainase dada. o Pertimbangkan potensi kebutuhan untuk chest drain bilateral dan kaji sumber daya tim sesuai kebutuhan. o Mengenali pasien yang telah menjalani dekompresi atau drainase dada terbuka, mengatasi keadaan pasien, dan menentukan perlunya intervensi tambahan yang tepat waktu. o Kenali kapan torakotomi terbuka akan bermanfaat bagi pasien dan pastikan


78 o ada kemampuan untuk transportasi yang aman tanpa penundaan ke fasilitas bedah terampil. obstruksi jalan napas, cedera laring, cedera dada bagian atas, cedera trakeobronkial, tension pneumotoraks, pneumotoraks terbuka, hemotoraks masif, tamponade jantung, dan henti sirkulasi traumatis. 2. Survei sekunder mencakup identifikasi, menggunakan pemeriksaan tambahan seperti rontgen, tes laboratorium, dan EKG, dan pengobatan awal terhadap cedera yang berpotensi mengancam jiwa berikut ini: pneumotoraks sederhana, hemotoraks, kontusio paru, flail chest, cedera jantung tumpul, gangguan aorta traumatis, cedera diafragma traumatis, dan ruptur esofagus tumpul. 3. Beberapa manifestasi trauma toraks dapat mengindikasikan risiko cedera terkait yang lebih besar, termasuk emfisema subkutan, cedera dada akibat crush injuri, dan cedera pada tulang rusuk, tulang belikat, dan tulang dada.


79 BAB 8 Trauma Abdomen (Urologi) dan Trauma Tumpul Abdomen (Digestif)


80 PENILAIAN AWAL DAN PENGELOLAAN PADA TRAUMA ABDOMEN Pemeriksaan survei primer dan survei sekunder adalah pemeriksaan cepat, sistematis dan simultan yang dikerjakan sebagai manajemen awal pasien trauma di ruang emergensi care di IGD. Indikasinya adalah pada semua pasien trauma yang datang ke IGD. Persiapan yang perlu dilakukan yaitu persiapan tim, tempat, alat dan obat – obatan. a. Persiapan tim antara lain melakukan briefing oleh manajer trauma kepada tim trauma sebelum pasien datang, penentuan tim leader P1 berdasarkan jadwal jaga DPJP P1 dan penentuan tim leader P2 dan P3 sesuai regulasi umum DPJP IGD. b. Persiapan tempat antara lain mempersiapkan ketersediaan bilik Prioritas di IGD dan pengecekan kesiapan bilik dari aspek: kebersihan, pencahayaan, sikulasi, ruang gerak sesuai standar kebutuhan. c. Persiapan alat antara lain alat pelindung diri (APD) sesuai standar PPI berdasarkan area kerja/risiko. Selain itu juga menyiapkan antara lain: 1. Oropharyngeal set 2. Nasopharyngeal set 3. Magyl Forcep Set 4. Suctioning set 5. Rigid Cervical Collar 6. Intubation Set 7. Surgery airway set 8. Nasal Canule Set 9. Masker NonRebreathing set 10. Jackson Rees Set 11. Bag Valve Mask 12. NonInvasive Positive Pressure Ventilator 13. Mobile Ventilator 14. WSD Set 15. Gastric catheters 16. IV set, IO set, central venous access set, or venous cutdown set, fluid warming devices 17. Urethral catheter set 18. Chemical hemostat agent 19. Torniket untuk menghentikan perdarahan secara mekanik 20. Pelvic stabilizing device set, extremity splints set, skull traction set 21. Monitor: tekanan darah, denyut nadi, laju pernafasan, Saturasi Oksigen, end tidal CO2, EKG, suhu tubuh 22. Laboratorium: DL, ABG analysis, Lactate, Crossmatch, Screening Antibody dan Uncrossmatch Transfusion 23. USG: protokol EFAST 24. X-Ray 25. CT-Scan 26. Spuit semua ukuran 27. Abbocath semua ukuran 28. Blood warmer 29. Infus set dan Blood set d. Untuk persiapan obat, yang perlu dipersiapkan antara lain : 1. Infus kristaloid: NS, RA, RL dan BES 2. Adrenalin 3. Asam Traneksamat BAB 8. Trauma Abdomen (Urologi) dan Trauma Tumpul Abdomen (Digestif) Triage


81 4. Fentanil 5. Morpin 6. Dopamin 7. Norepinefrin 8. Mannitol 20% 9. Darah (PRC, TC dan FFP) 10. Ketamin 11. Midazolam 12. Sulfas Atropin 13. Diazepam Setelah melakukan persiapan tim, alat dan obat maka wajib dilakukan debriefing selama atau sesudah bekerja. Seluruh tim menggunakan APD dan menerima pasien trauma di Ruang Emergensi Care kemudian melakukan pemeriksaan survei primer dengan tindakan resusitasi simultan. Tim memeriksa pasien trauma dengan pendekatan ABCDE untuk mengindentifikasi kondisi mengancam nyawa dengan mengikuti langkah – langkah berikut: a. Airway maintenance with restriction of cervical spine motion Mempertahankan jalan nafas tetap terbuka (Airway) dengan alat atau tanpa alat. Alat yang digunakan seperti orofaringeal tube, nasofaringeal tube, set intubasi dan krikotiroidotomi sesuai indikasi dengan tetap meminimalkan gerakan leher dan memasang dengan rigid cervical collar. b. Breathing and ventilation support Memberikan bantuan upaya bernafas (Breathing) pasien dengan memberikan suplementasi oksgen dengan nasal kanul, simple mask, masker NonRebreathing, Jaction Rees, Bag Valve Mask dan Mobile Ventilator sesuai indikasi. Pertimbangkan pemasangan Chest tube/WSD bila terdapat indikasi. c. Circulation with hemorrhage control Menangani masalah sirkulasi (Circulation) evaluasi denyut nadi, tekanan darah, CRT dan kecukupan cairan pasien melalui produksi urin. Hentikan perdarahan dan mencari akses IV atau IO dengan double IV Line. Pemberian cairan kristaloid hangat (37 – 40◦C) dan menyiapkan tranfusi darah bila diperlukan dengan pemeriksaan golongan darah ABO, Crossmatch / Srcreening Antibody atau Uncrossmatch. Saat menangani masalah sirkulasi juga dilakukan pemasangan kateter urin bila tidak didapatkan kontraindikasi (Bloody meatal discharge) sebagai parameter observasi kecukupan cairan melalui produksi urin. d. Disability (assessment of neurologic status) Memeriksa kesadaran pasien (Disabilitas/Status neurology): GCS, ukuran dan respon pupil, lateralisasi, level cidera spinal cord, serta mencegah secondary brain injury e. Exposure/Environmental control Ekspose pasien dengan melepaskan pakaian pasien sesuai dengan kebutuhan. Simpan pakaian pasien sesuai kebutuhan legalformal. Berikan selimut. Khusus pada pasien trauma abdomen evaluasi tandatanda jejas pada abdomen maupun punggung pasien melalui inspeksi dengan teknik Log roll dan tanda-tanda akut


82 abdomen. Setelah melakukan survei primer, juga melakukan monitor tekanan darah, denyut nadi, laju pernafasan, saturasi oksigen, EKG dan suhu tubuh. Melakukan pemeriksaan penunjang, seperti X-ray Thorax, X-Ray Pelvis, eFAST, dan lab DL. Bila ditemukan adanya indikasi surgical resuscitation, maka tim berkoordinasi dengan tim kamar operasi untuk memesan kamar operasi. Setelah semua survei primer dan pemeriksaan penunjang dilakukan, bisa dilakukan survei sekunder. Survei sekunder dengan mengumpulkan riwayat lengkap terkait AMPLE (Allergies, Medications currently used, Past illnesses/Pregnancy, Last meal, Events/Environment related to the injury). Melakukan pemeriksaan fisik mulai dari kepala sampai ujung kaki (Head to Toe Examination, Fingers and Every Orificium) secara komprehensif untuk menemukan kelainan yang terlewatkan/belum diperiksa pada survei primer. Periksa kepala untuk identifikasi terkait neurologi dan cidera yang signifikan. laserasi, kontusio, dan tanda tanda patah tulang. Melakukan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dan melakukan pemeriksaan fisik berulang dan memastikan semua tindakan/intervensi kritis yang sudah dilakukan berfungsi. Setelah itu melanjutkan dengan perawatan definitif dengan menyerahkan pasien ke DPJP utama untuk melanjutkan perawatan dan pengobatan pasien (Definitive Care). dan transfer pasien ke ruang rawat inap yang tepat atau pasien dapat dipulangkan untuk rawat jalan. Setelah semua tindakan dikerjakan, tim juga mengisi rekam meds yang dibutuhkan (Records). Seluruh prosedur survei primer dikerjakan dalam waktu maksimal 2 jam pertama saat pasien datang dan survei sekunder dikerjakan dalam waktu maksimal 4 jam dari diselesaikannya survei primer. Paska dilakukan survei primer dan sekunder, wajib dilakukan pengawasan dan evaluasi pasien secara berkala. SECONDARY SURVEY TRAUMA ABDOMEN Pemeriksaan abdomen bertujuan mengidentifikasi dengan cepat cedera perut atau panggul dan menentukan apakah cedera tersebut dapat menjadi penyebab hipotensi. Riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dan alat diagnostik tambahan dapat menentukan adanya cedera perut dan panggul yang memerlukan pengendalian perdarahan segera. Pasien dengan hemodinamik normal tanpa tanda-tanda peritonitis dapat menjalani evaluasi lebih rinci untuk mengetahui adanya cedera yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas tertunda. Evaluasi ini harus mencakup pemeriksaan fisik berulang untuk mengidentifikasi tanda-tanda perdarahan atau peritonitis yang mungkin terjadi seiring berjalannya waktu. Riwayat Saat menilai pasien yang cedera dalam kecelakaan kendaraan bermotor, prinsip AMPLE dan informasi riwayat yang relevan mencakup kecepatan kendaraan, jenis tabrakan (misalnya benturan dari depan, benturan samping, gesekan ke samping, benturan dari belakang, atau


83 terguling), intrusi apa pun ke dalam kompartemen penumpang, jenis pengekangan, penggelembungan kantung udara, posisi pasien di dalam kendaraan, dan status penumpang lainnya merupakan tambahan informasi yang penting dalam penegakan Trauma abdomen. Bagi pasien yang cedera karena jatuh, ketinggian jatuh merupakan informasi riwayat yang penting karena meningkatnya potensi cedera perlambatan pada ketinggian yang lebih tinggi. Pasien, penumpang kendaraan lain, saksi, penegak hukum, dan personel medis darurat mungkin dapat memberikan informasi riwayat. Penyedia layanan pra-rumah sakit harus menyediakan data mengenai tanda-tanda vital, cedera yang nyata, dan respons pasien terhadap perawatan prarumah sakit. Saat menilai pasien yang mengalami trauma tembus, informasi riwayat yang relevan mencakup waktu cedera, jenis senjata (misalnya pisau, pistol, senapan, atau shotgun), jarak dari penyerang (terutama penting pada kasus luka tembak, sebagai kemungkinan terjadinya luka tembak). cedera visceral besar berkurang melebihi jarak 10 kaki atau 3 meter), jumlah luka tusuk atau tembakan yang terjadi, dan jumlah pendarahan luar yang tercatat di tempat kejadian. Informasi tambahan penting yang dapat diperoleh dari pasien meliputi besarnya dan lokasi nyeri perut. Ledakan dapat menyebabkan cedera tekanan berlebih pada organ dalam. Risikonya meningkat ketika pasien berada di dekat ledakan dan ketika ledakan terjadi di ruang tertutup. PEMERIKSAAN FISIK Empat komponen utama pemeriksaan perut adalah inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi. Inspeksi: Perut harus diperiksa apakah ada kelainan, seperti memar, bengkak, atau laserasi. Pasien juga harus diperiksa untuk mengetahui tanda-tanda kehamilan. Auskultasi: Auskultasi digunakan untuk mendengarkan bising usus. Ada tidaknya bising usus tidak serta merta berkorelasi dengan cedera. Perkusi: Perkusi digunakan untuk mengetuk perut untuk mengetahui tanda-tanda iritasi peritoneum. Jika timbul nyeri tekan kembali, jangan mencari bukti iritasi tambahan, karena dapat menyebabkan pasien semakin merasakan sakit yang tidak perlu. Palpasi: Palpasi digunakan untuk meraba perut apakah ada nyeri tekan, massa, atau organomegali. Penjagaan sukarela oleh pasien dapat membuat pemeriksaan perut tidak dapat diandalkan. Sebaliknya, pertahanan otot yang tidak disengaja merupakan tanda iritasi peritoneum yang dapat diandalkan. Berikut beberapa hal tambahan yang perlu diperhatikan: Pasien harus menanggalkan pakaian sepenuhnya agar pemeriksaan menyeluruh dapat dilakukan. Lipatan kulit pada pasien obesitas dapat menutupi luka tembus dan meningkatkan kesulitan dalam menilai perut dan panggul. Pasien harus ditutupi dengan selimut hangat untuk membantu mencegah hipotermia pada akhir pemeriksaan fisik cepat.


84 PEMERIKSAAN URETRA, PERINEUM, REKTAL, VAGINA, DAN GLUTEAL Pemeriksaan Uretra Adanya darah pada meatus uretra sangat menunjukkan adanya cedera uretra. Ekimosis atau hematoma pada skrotum dan perineum juga menunjukkan adanya cedera uretra, meskipun tanda-tanda ini mungkin tidak muncul segera setelah cedera. Pemeriksaan Rektal Pada pasien yang mengalami trauma tumpul, tujuan pemeriksaan rektal adalah untuk menilai tonus sfingter dan integritas mukosa rektum serta untuk mengidentifikasi adanya fraktur panggul yang teraba. Palpasi kelenjar prostat bukan merupakan tanda pasti adanya cedera uretra. Pada pasien dengan luka tembus, pemeriksaan rektal digunakan untuk menilai tonus sfingter dan mencari darah kotor, yang mungkin mengindikasikan adanya perforasi usus. Jangan memasang kateter urin pada pasien dengan hematoma perineum atau darah di meatus uretra sebelum penilaian pasti untuk cedera uretra. Pemeriksaan Vagina Fragmen tulang akibat patah tulang panggul atau luka tembus dapat mengoyak vagina. Lakukan pemeriksaan vagina bila dicurigai adanya cedera, seperti adanya laserasi perineum yang kompleks, patah tulang panggul, atau luka tembak transpelvis. Pemeriksaan Gluteal Daerah gluteal terbentang dari krista iliaka hingga lipatan gluteal. Cedera tembus pada area ini berhubungan dengan hingga 50% kejadian cedera intra-abdomen yang signifikan, termasuk cedera rektal di bawah refleksi peritoneum. Lukaluka ini memerlukan evaluasi terhadap cedera tersebut. PEMERIKASAAN TAMBAHAN Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL): Keuntungan: Dapat mendeteksi cedera usus, dilakukan dengan cepat, tidak memerlukan transportasi dari area resusitasi. Kerugian: Invasif, berisiko cedera terkait prosedur, memerlukan dekompresi lambung dan saluran kemih, tidak dapat diulang, mengganggu hasil CT atau FAST setelahnya Indikasi: Hemodinamik abnormal pada trauma tumpul/penetrasi abdominal. Focused Assessment with Sonography for Trauma (FAST): Keuntungan: Noninvasif, dilakukan dengan cepat, berulang, tidak memerlukan transportasi dari area resusitasi. Kerugian: Bergantung pada operator, dapat melewatkan cedera tertentu, gas usus dan udara subkutan dapat merusak gambar., dapat terlewatkan diafragma, usus, dan pankreas yang cidera, tidak dapat memevisualisasikan udadra extraluminal Indikasi: Hemodinamik abnormal pada trauma tumpul/penetrasi abdominal.


85 CT Scan Abdomen dengan Kontras Keuntungan: Memberikan diagnosis anatomi, non-invasif, berulang, memvisualisasikan struktur retroperitoneal, struktur tulang dan jaringan lunak, serta udara ekstraluminal. Kerugian: Biaya lebih tinggi dan waktu lebih lama, paparan radiasi dan kontras IV, dapat melewatkan cedera diafragma, usus, dan pankreas tertentu, memerlukan transportasi dari area resusitasi. Indikasi: Hemodinamik normal pada trauma tumpul/penetrasi perut, trauma tembus punggung/pinggang tanpa indikasi lain untuk segera laparotomi. Studi Kontras (Urethrography, Cystography, Intavenous Pyelogram, GI Contrast Studies) Studi kontras dapat membantu menegakkan diagnosis secara spesifik, namun pemeriksaan ini tidak boleh menunda penanganan pada pasien dengan Hemodinaik tidak stabil. Evaluasi trauma tembus perut dipengaruhi oleh etiologi cedera, lokasi anatomi, dan sumber daya yang tersedia. Untuk luka tusuk perut anterior, pilihannya meliputi pemeriksaan fisik serial, FAST, dan DPL. Untuk cedera torakoabdominal, laparoskopi diagnostik adalah pemeriksaan yang dapat diandalkan untuk menentukan penetrasi peritoneum dan diafragma. Untuk cedera panggul dan punggung, CT scan kontras ganda atau tiga kali lipat berguna. Dalam semua kasus trauma tembus, pembedahan segera mungkin diperlukan untuk diagnosis dan pengobatan. Kebanyakan luka tembak di perut ditangani dengan laparotomi eksplorasi. Insiden cedera intraperitoneal yang signifikan mendekati 98% ketika terdapat penetrasi peritoneal. Luka tusuk pada perut dapat ditangani secara lebih selektif, namun sekitar 30% menyebabkan cedera intraperitoneal. Dengan demikian, indikasi laparotomi pada pasien dengan luka tembus perut antara lain: Kelainan hemodinamik Luka tembak dengan lintasan transperitoneal Tanda-tanda iritasi peritoneum Tanda-tanda penetrasi peritoneum (misalnya pengeluaran isi) CEDERA THORACOABDOMINAL Pilihan evaluasi untuk pasien dengan kemungkinan cedera pada diafragma dan struktur perut bagian atas termasuk torakoskopi, laparoskopi, DPL, dan CT. LUKA TUSUK ABDOMEN ANTERION: NON-OPERATIVE Pasien dengan luka tusuk yang menembus peritoneum anterior dapat ditangani secara nonoperatif jika hemodinamiknya normal dan tidak terdapat tanda-tanda peritoneum atau eviserasi. Pilihan diagnostik non-invasif untuk pasien ini meliputi pemeriksaan fisik serial, pemeriksaan FAST, DPL, CT scan, atau laparoskopi diagnostik. Dokter bedah menentukan kapan DPL dan laparoskopi akan digunakan


86 CEDERA PUNGGUNG DAN FLANK: NONOPERATIVE Pasien dengan luka tusuk atau luka tembak di panggul atau punggung yang tidak memiliki indikasi untuk laparotomi segera dapat ditangani dengan pilihan diagnostik yang kurang invasif, seperti pemeriksaan fisik serial, CT scan kontras ganda atau tripel, dan DPL. Pilihan ini akurat dalam mendeteksi cedera retroperitoneal dan intraperitoneal. Tindak lanjut rawat jalan dini wajib dilakukan setelah observasi di rumah sakit selama 24 jam karena gambaran cedera kolon tertentu yang tidak kentara. CT scan, DPL, dan FAST tidak diindikasikan pada pasien dengan hemodinamik abnormal atau pasien dengan peritonitis atau pengeluaran isi perut dengan trauma tembus perut. INDIKASI LAPARAOTOMI Keputusan untuk melakukan laparotomi pada trauma tembus perut didasarkan pada presentasi klinis dan uji diagnostik. Indikasi berikut ini biasa digunakan: Trauma tumpul abdomen dengan hipotensi, FAST positif, atau bukti klinis perdarahan intraperitoneal. Hipotensi dengan luka perut yang menembus fasia anterior. Luka tembak yang melintasi rongga peritoneum. Pengeluaran isi (penonjolan organ perut melalui dinding perut). Pendarahan dari lambung, rektum, atau saluran genitourinari setelah trauma tembus. Peritonitis (radang peritoneum). Udara bebas atau udara retroperitoneal. Pecahnya hemidiafragma (bagian diafragma). CT dengan kontras yang menunjukkan ruptur saluran cerna, cedera kandung kemih intraperitoneal, cedera pedikel ginjal, atau cedera parenkim visceral yang parah. FRAKTUR PELVIS: Fraktur Pelvis diklasifikasikan menjadi empat jenis, berdasarkan pola kekuatan cedera: Kompresi AP, kompresi lateral, vertical shear, dan mekanisme gabungan/ campuran. Fraktur kompresi AP dapat memutus plexus vena posterior dan cabang dari internal iliaka. Perdarahan dapat mengancam nyawa. Fraktur kompresi lateral merupakan cedera yang sering yakni mengenai sisi samping dari pelvis akibat kecelakaan lalu lintas. Rotasi internal ini mungkin mendorong pubis ke sistem genitourinari bagian bawah, berpotensi menyebabkan cedera pada kandung kemih dan/atau uretra. Perdarahan dan gejala sisa lainnya dari cedera jenis ini jarang mengakibatkan kematian, namun bisa menghasilkan morbiditas yang parah dan permanen, dan kondisi lanjut usia pasien dapat mengalami pendarahan yang signifikan dari panggul patah tulang dari mekanisme ini. Pasien lemah dan lanjut usia mungkin mengalami pendarahan yang signifikan setelah trauma ringan fraktur kompresi lateral. Hemipelvis dapat mengalami rotasi internal yang sering menjadi penyebab trauma buli maupun urethra.


87 Pergeseran vertikal sendi sakroiliaka dapat mengganggu pembuluh darah iliaka dan menyebabkan perdarahan hebat. Proses ini terjadi gaya geser berenergi tinggi sepanjang bidang vertikal melintasi aspek anterior dan posterior dari cincin panggul. Pergeseran vertikal dapat mengganggu ligamen serta menyebabkan ketidakstabilan panggul. Angka mortalitas dari fraktur pelvis sebesar (5%-30%). Mortalitas meningkat menjadi (10%-24%) pada pasien dengan pelvic fraktur tertutup dan hipotensi. Pada pasien fraktur pelvis terbuka meningkat angka mortalitas menjadi 50%. Perdarahan menjadi faktor penentu dari mortalitas. MANAJEMEN FRAKTUR PELVIS Penegakan diagnosis syok hipovolemik dengan segera Kontrol perdarahan Stabilisasi pelvis dicapai melalui stabilisasi mekanis cincin panggul dan tekanan eksternal Kolaborasi antar tim trauma dan ahli bedah. Pre-peritoneal packing adalah metode alternatif untuk mengontrol perdarahan Ketika angioembolisasi tidak tersedia. Manajemen awal fraktur pelvis dengan primary survei, konsultasi dengan tim bedah serta mengaplikasikan pelvic binder untuk stabilisasi pelvis. Evaluasi ulang apakah terdapat perdarahan intraperitoneal atau tidak Jika terdapat perdarahan, segera persiapkan pasien untuk tindakan laparotomi lebih diutamakan kemudian dapat dipertimbangkan pre peritoneal packing, atau angiografi. Jika tidak ditemukan perdarahan, pertimbangkan untuk pre peritoneal packing atau angiografi. Sehingga manajemen definitif perdarahan akibat fraktur pelvis bisa diberikan pada pasien


88 TRAUMA TUMPUL ABDOMEN Anatomi abdomen dibagi menjadi beberapa area. Sebagian area abdomen berada di sisi thorax bagian bawah. Bagian anterior terbentang mulai dari area batas lengkung kosta, ligament inguinal, dan simfisis pubis, serta anterior dari axillary line di lateral. Daerah torakoabdominal adalah daerah mulai dari papilla mammae di superior dan garis infrascapula di posterior hingga superior dari batas kosta. Flank adalah area di anterior dan posterior dari axillary line dan membentang mulai ICS 6 hingga krista iliaka. Area punggung (back) adalah area di sisi posterior dari garis posterior axillary line mulai dari ujung skapula hingga krista iliaka. Hal ini termasuk daerah posterior dari torakoabdominal. Daerah flank dan back ini terdapat organ organ di rongga retroperitoneal. Lalu area pelvis adalah area yang dikelilingi tulang pelvis, dan juga terdapat organ intra maupun retroperitoneal. Gambar 1. Anatomi abdomen dikutip dari ATLS edisi 10.


89 MEKANISME CEDERA Mekanisme cedera pada abdomen terbagi menjadi trauma tumpul, trauma penetrasi, dan blast trauma. Ada beberapa mekanisme pada trauma tumpul abdomen yaitu direct blow, shearing injuries, dan cedera deselerasi. Yang pertama adalah direct blow, yaitu kontak langsung dengan benda, misalkan terkena setir atau terhantam pintu kendaraan. Cedera tersebut dapat mengakibatkan cedera pada organ solid maupun berongga yang bisa mengakibatkan perdarahan atau peritonitis. Selanjutnya ada tipe cedera shear yang timbul karena penggunaan alat pada kendaraan yang kurang tepat. Lalu juga ada cedera deselerasi, yaitu cedera yang terjadi karena perbedaan kecepatan antara organ yang bergerak dengan organ yang menjadi support nya. Yang menjadi contoh adalah bucket handle injury pada usus halus. Sangat penting prinsip pada trauma tumpul abdomen, adalah setiap pasien yang mekanisme dari cedera mengenai perut, dianggap mengalami trauma abdomen dan pelvis sampai terbukti sebaliknya. Gambar 2. Cedera bucket handle pada usus halus dikutip dari ATLS edisi 10.


90 PEMERIKSAAN FISIK Dalam melakukan pemeriksaan kasus trauma, tentu menggunakan prinsip ABCDE. Dalam fokus memeriksa abdomen, tetap berpegangan pada prinsip inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi (IAPP). Pada pasien yang dicurigai cedera abdomen, penting untuk melepas baju pasien sehingga dapat melakukan inspeksi dengan baik. Pemeriksaan mulai dari sisi anterior, posterior, bagian dada, flank, sampai perineum, skrotum, dan perianal termasuk vagina, dan meatus urethra. Jangan lupa mempertahankan prinsip logroll pada pasien. Auskultasi sendiri, walaupun penting, tapi ada atau tidaknya bising usus seringkali tidak berkorelasi dengan keparahan cedera. Apalagi dengan kondisi IGD yang sibuk dan ramai menyebabkan sulit mendengarkan auskultasi dengan baik. Perkusi dapat menyebabkan pergerakan peritoneum yang bisa menunjukan gejala iritasi pada peritoneum. Ketika teraba tenderness, jangan mengulang – ngulang mencari tanda iritasi peritoneum karena pasien akan merasakan nyeri terus menerus. Palpasi menjadi penting karena dapat membantu membedakan tenderness berasal dari bagian superfisial (abdominal wall) atau dari bagian yang dalam. Selain itu jangan dilupakan pada kasus pasien Wanita, apakah ada kehamilan sehingga perlu meraba uterus bila teraba membesar. Pemeriksaan fisik pada pelvis perlu mendapat perhatian khusus. Seringkali, tanda satu satunya fraktur pelvis adalah terjadinya hipotensi tanpa sumber perdarahan yang jelas. Pada kondisi seperti itu, pemberian pelvic binder menjadi prioritas utama sebagai salah satu tindakan life saving. Hal itu karena pelvic binder membantu membatasi volume perdarahan, dengan catatan melingkar setinggi dari trokanter mayor, bukan di krista iliaka. Temuan pemeriksaan fisik yang lain seperti tanda ruptur urethra (ada hematom skrotum, perdarahan di MUE, atau prostat melayang pada RT pada pasien pria) berkorelasi dengan tanda dari cedera pelvis. Perabaan yang gentle pada pada pelvis untuk mencari daerah yang nyeri dapat membantu penegakan dari fraktur pelvis, tapi mencoba menggerakan sendi pelvis dapat memperberat perdarahan pelvis. Pada kondisi fraktur pelvis, pemeriksaan ronsen pelvis Antero-posterior (AP) sangat membantu dalam penegakan diagnosis. PEMERIKSAAN PENUNJANG Terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan pada kondisi trauma tumpul abdomen X-Ray : Pada pasien dengan cedera multiple, Ro Thorax direkomendasikan. Pada pasien dengan hemodinamik stabil, cedera penetrasi diatas umbilikus, atau kecurigaan cedera torakoabdominal, ro thorax bisa membantu mengecek apakah ada pneumothorax atau hemothorax dan mengecek adanya udara dalam cavum peritoneum atau tidak. Foto ro pelvis juga disarankan pada kecurigaan fraktur pelvis Focus Assesment Sonography Trauma (FAST) : Merupakan pemeriksaan yang cepat, non invasif, bisa berulang, dan tidak memerlukan pasien di transport ke tempat


91 tertentu. Bahkan FAST bisa juga untuk melakukan pemeriksaan kecurigaan Tamponade jantung. FAST fokus melihat pada 4 tempat yaitu kantong perikardial, fossa hepatorenal, fossa splenorenal, dan pelvis / kantong douglas. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) : DPL juga termasuk pemeriksaan yang bisa dikerjakan dengan cepat, dan dapat mendeteksi cedera pada pencernaan. Tapi tindakan ini bersifat invasif, tidak bisa dilakukan berulang, dan dapat menyebabkan cedera akibat prosedur yang dilakukan. Bila ditemukan dari cairan DPL adanya isi dari gastrointestinal, serat sayur, atau ada cairan empedu, merupakan indikasi mutlak laparotomi. CT Scan abdomen : Pemeriksaan CT scan memiliki banyak kelemahan. CT scan memakan banyak waktu dan tidak bersifat mobile sehingga tidak boleh digunakan pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil. Selain itu CT scan juga memasukan kontras secara IV dan ekspos radiasi. Walau begitu, CT scan memberikan banyak informasi cedera pada organ secara spesifik, termasuk bagian retroperitoneal. Pada kondisi tidak adanya cedera hepar dan lien, adanya gambaran cedera pada GI Tract ataupun mesenterium, menurut beberapa ahli bedah trauma menjadi indikasi untuk tindakan laparotomi. Gambar 3. Contoh gambaran air fluid pada pemeriksaan FAST dikutip dari ATLS edisi 10. Laparoskopi diagnostik juga dapat digunakan pada pasien dengan hemodinamik stabil, cedera penetrasi dengan potensi cedera tangensial dan tidak ada indikasi ada laparotomi. Laparoskopi dapat melihat cedera pada diafragma dan penetrasi cedera pada peritoneum.


92 TERAPI Secara prinsip, tatalaksana trauma tumpul abdomen dibagi menjadi non operative management (NOM) dan operatif. Pada laparotomi trauma, target utama adalah mengidentifikasi dan tatalaksana pada kondisi yang mengancam nyawa pasien secepat mungkin. Kasus tersering yang paling mengancam nyawa adala eksanguinasi dan target utama adalah control perdarahan. Keberhasilan operasi bergantung pada kemampuan tim untuk melakukan identifikasi, ekspos, dan kontrol perdarahan sembari melakukan resusitasi pada pasien. Setelah kontrol perdarahan telah dilakukan, target selanjutnya adalah identifikasi dan tatalaksana kontaminasi karena cedera dari GI Tract. Target ketiga setelah itu adalah identifikasi dan tatalaksana segera semua cedera yang mungkin ada mulai dari dinding abdomen, mesenterium, traktus genitourinari, dan organ solid seperti ginjal, pankreas, lien, dan hepar. Tabel 1. Alur tatalaksana trauma tumpul abdomen dikutip dari Mattox trauma edisi 9. Trauma liver : Karena ukurannya yang besar, liver merupakan salah satu organ yang paling sering cedera. Ukuran dan posisi liver membuat mudah alami cedera baik trauma tumpul ataupun penetrasi. Terdapat derajat keparahan trauma liver sesuai dengan American Association for the Surgery of Trauma (AAST).


93 Tabel 2. Derajat keparahan trauma liver dikutip dari Mattox trauma edisi 9. Pada kondisi pasien dengan hemodinamik stabil, cedera liver paling sering karena cedera pada vena. Sehingga perdarahan seringkali berhenti ketika sudah terbentuk bekuan darah. Kondisi seperti ini dapat ditangani secara non operatif. Tapi perlu dipahami bahwa pasien cedera liver dengan grade III – V, 12,6% kasus mengalami komplikasi. Komplikasi yang sering terjadi adalah kebocoran bilier sampai terjadi biloma, hemobilia, abses perihepatik, devaskularisasi / nekrosis segmen liver, atau komplikasi yang jarang terjadi seperti kompartemen sindrom pada liver. Sebuah penelitian menunjukan bahwa 8% dari cedera dengan grade tinggi mengalami kebocoran bilier setelah menjalani terapi konservatif. Begitu juga dengan abses perihepatik, merupakan komplikasi yang jarang terjadi. Tapi bila muncul dapat menyebabkan gejala nyeri bahkan gambaran septik pada pasien. Pada beberapa kasus, indikasi operatif justru bukan karena perdarahan akibat trauma tumpul tapi karena abses perihepatik. Komplikasi lain yang perlu diperhatikan adalah hemobilia, yaitu terjadinya fistula antara saluran vaskuler dengan sistem hepatobilier. Seringkali pada pasien timbul trias nyeri perut kanan atas, ikterik, dan perdarahan saluran cerna. Tindakan embolisasi vaskuler dapat menjadi pilihan terapi pada kasus hemobilia. Bila pasien mengalami hemodinamik tidak stabil, maka dilakukan operasi untuk menangani perdarahan yang terjadi. Tindakan yang bisa dilakukan adalah omental packing, pringle manouver, atau bisa juga dilakukan ligase pembuluh darah untuk stop perdarahan.


Click to View FlipBook Version