The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Melanie Dwi Arofati, 2024-02-05 23:02:24

Hasil Modul FIX

Hasil Modul FIX

144 TRAUMA MEDULA SPINALIS DEFINISI Trauma medula spinalis adalah cedera yang terjadi pada medula spinalis, disebabkan oleh trauma langsung maupun tak langsung yang mengenai medula spinalis dan menimbulkan gangguan neurologis atau kematian. Trauma medula spinalis merupakan keadaan darurat neurologi yang memerlukan tindakan cepat, tepat dan cermat untuk mengurangi angka kecacatan dan kematian. Gejala dapat bervariasi mulai dari nyeri, paralisis, hingga inkontinensia bergantung pada letak kerusakan medulla spinalis. EPIDEMIOLOGI Data epidemiologi menunjukkan bahwa angka kejadian cedera spinal atau spinal cord injury bervariasi berdasarkan ras, gender, dan usia. Secara umum, anak-anak dan remaja kurang dari 16 tahun memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan orang dewasa. Secara global, diperkirakan sebanyak 250.000 hingga 500.000 orang setiap tahunnya mengalami spinal cord injury. Di negara maju, insiden tahunan dari keseluruhan kasus spinal cord injury sekitar 11,5 hingga 53,4 per 1.000.000 juta orang.6 Di Amerika Serikat, diperkirakan terdapat 40 kasus per 1.000.000 populasi, atau sekitar 12.000 pasien setiap tahunnya. Kelompok usia anak dan remaja berusia kurang dari 16 tahun memiliki risiko lebih rendah daripada orang dewasa, yakni hanya menyumbang 5% dari semua kasus spinal cord injury. 6,8 Namun, Belum ada data nasional mengenai angka kejadian spinal cord injury di Indonesia. Berdasarkan jenis kelamin, laki-laki dilaporkan lebih sering mengalami cedera spinal, dengan rasio 2:1 dibandingkan perempuan. Kelompok usia paling tinggi mengalami spinal cord injury adalah 16 hingga 30 tahun. Pada kelompok anak, kelompok tersering adalah usia kurang dari 10 tahun. Tidak ada perbedaan signifikan berdasarkan jenis kelamin pada kelompok anak. Kasus tersering spinal cord injury pada kelompok anak adalah jatuh dan kecelakaan kendaraan. Pada kelompok neonatus, kasus terbanyak diakibatkan oleh penyebab non trauma.[8] ANATOMI MEDULA SPINALIS Medula spinalis merupakan massa jaringan saraf yang berbentuk silindris memanjang dan menempati ⅚ atas canalis vertebra yaitu dari batas superior atlas (C1) sampai batas atas vertebra lumbalis kedua (L2), kemudian medula spinalis akan berlanjut menjadi medula oblongata. Pada waktu bayi lahir, panjang medula spinalis setinggi ± Lumbal ketiga (L3). Medula spinalis dibungkus oleh duramater, arachnoid, dan piamater. Fungsi sumsum tulang belakang adalah mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks.3 BAB 11. Trauma Medulla Spinalis (NEURO) Triage


145 Gambar 1. Segmen – Segmen Medula spinalis3 Gambar 2. Segmen – Segmen Medula spinalis4


146 Gambar 3. Segmen – segmen Medula spinalis3 Medula spinalis berawal dari ujung bawah medula oblongata di foramen magnum. Pada dewasa biasanya berakhir di sekitar tulang L1 berakhir menjadi konus medularis. Selanjutnya akan berlanjut menjadi kauda equina yang lebih tahan terhadap cedera. Piamater berlanjut ke caudal dari puncak conus medullaris sebagai filum terminalis sampai ke segmen pertama vertebrae coccygeus. Pia- arachnoid dan duramater berlanjut sampai setinggi V.sakralis ke 2, ditempat ini bersatu dengan filum terminalis.


147 Subarachnoid space dengan cairan cerebrospinal meluas sampai vertebra sakralis ke 2.4 Pada penampang transversal medula spinalis, dapat dijumpai substansia alba (putih) yang mengelilingi substansia grisea (kelabu) berbentuk seperti kupu- kupu atau huruf H dikenal dengan istilah fray iattnr. Area ini mengandung badan sel neuron beserta percabangan dendritnya. Di area ini terdapat banyak serat-serat saraf yang tidak berselubung myelin serta banyak mengandung kapiler- kapiler darah. Hal inilah yang mengakibatkan area ini berwarna menjadi lebih gelap. Frayiattnr dapat dibagi kedalam 10 lamina atau 4 bagian, yaitu : 4,5 1. Kornu anterior/dorsalis, yang mengandung serat saraf motorik, terdiri atas lamina VIII, IX, dan bagian dari lamina VII. 2. Kornu posterior/ventralis, yang membawa serat-serat saraf sensorik, terdiri atas lamina I-IV. 3. Kornu intermedium, yang membawa seratserat asosiasi, terdiri atas lamina VII. 4. Kornu lateral, merupakan bagian dari kornu intermedium yang terdapat pada segmen torakal dan lumbal yangmembawa serat saraf simpatis. Gambar 4. Anatomi Medula Spinalis 4


148 Terdapat perbedaan regional antara substansia alba dan grisea pada beberapa ketinggian medulla spinalis. Jumlah substansia grisea pada tiap ketinggian medulla spinalis sebagian besar berhubungan dengan banyaknya persarafan perifer. Substansia grisea yg paling besar terdapat pada segmen spinal setinggi intumesensia servikal dan lumbosakral mensarafi anggota gerak atas dan bawah. Segmen torakal dan lumbal atas mempunyai substansia grisea yang relatif sedikit, oleh karena mensarafi daerah torak dan abdomen.5 Setiap segmen medula spinalis memiliki empat radix, sebuah radix ventralis dan sebuah radix posterior pada sisi kiri dan sepasang di sisi kanan. Radix saraf ini keluar dari kolumna vertebralis melalui foramina intervetebralis. Pada spina servikalis, radix keluar melewati bagian atas kolumna vertebralis, sedangkan pada segmen bawah T1 radix keluar melewati bagian bawah korpus vertebralis.5 Setiap saraf spinal mempunyai radiks dorsalis dan radiks ventralis. a. Radiks Dorsalis (Sensorik) - Terdiri dari serabut aferen/sensorik yang meneruskan rangsang (input) dari reseptor sensorik dalam tubuh ke medulla spinalis - Mengandung ganglion spinal (akar dorsal sensorik) yang terletak didalam foramen intervertebralis.5 Saraf yang keluar dari medula spinalis melalui foramen intervertebralis menuju saraf spinal. Tiap saraf spinal didistribusikan ke segmen ataupun daerah spesifik pada tubuh (dermatom) Gambar 6. Dermatom Saraf Spinal4


149 b. Radiks ventralis (motorik)4 • Terdiri dari serabut saraf eferen (motorik) yang badan selnya terletak di dalam substansia grisea melalui radiks motorik dan saraf spinal menuju otot dan kelenjar tubuh • Pada bagian distal terdiri dari empat ramus : ➢ ramus dorsal : otot-otot intrinsik punggung ➢ ramus ventral : otot leher, dada, abdomen, ekstremitas ➢ ramus komunikans : truncussympaticus ➢ ramus mening rekuren : selaput menings Ramus ventral saraf spinal akan membentuk pleksus yang akan menjadi tempat asal saraf perifer Gambar 7. Ramus Ventral Saraf Spinal4 Perjalanan serabut saraf dalam medula spinalis terbagi menjadi dua jalur, jalur desenden dan asenden.1 Jalur desenden terdiri dari: a. Traktus kortikospinalis lateralis b. Traktus kortikospinalis anterior c. Traktus vestibulospinalis d. Traktus rubrospinalis f. Traktus retikulospinalis g. Traktus tektospinalis h. Fasikulus longitudinalis medianus Jalur ascendent: a. Sistem kolumna vertebralis b. Traktus spinothalamikus c. Traktus spinocerebellaris dorsalis d. Traktus spinocerebellaris ventralis e. Traktus spinoretikularis. Jalur desenden sebagian besar berfungsi untuk mengatur gerakan motorik, baik yang disadari maupun mengatur derajat refleks. Jalur asenden lebih merupakan pembawa informasi pada otak seperti rasa nyeri, suhu, getaran, raba, dan posisi tubuh.3


150 Gambar 8. Traktus Medula Spinalis KLASIFIKASI CEDERA MEDULLA SPINALIS Cedera medulla spinalis diklasifikasikan berdasarkan level, tingkat keparahan defisit neurologis, sindrom medulla spinalis, dan morfologi1 . LEVEL Tingkat cedera tulang meruju kepada level vertebra yang spesifik dimana kerusakan tulang terjadi. Cederal level neurologis menjelaskan sebagian besar segmen kaudal dari medulla spindalis yang memiliki fungsi sensoris dan motorik normal pada kedua sisi tubuh. Level neurologis dari cedera ditentukan utamanya melalui pemeriksaan klinis. Istilah level sensoris digunakan ketika mengacu pada segmen paling kaudal medulla spinalis dengan fungsi sensorik normal. Level motorik didefinisikan serupa sehubungan dengan fungsi motorik sebagai otot kunci terendah yang memiliki tingkat kekuatan otot minimal 3 pada skala 6 poin. Zona preservasi parsial adalah area dibawah lesi level cedera dimana terdapat gangguan fungsi sensorik dan/atau motoric ditemukan1 .


151 Seringkali, terdapat perbedaan antara level tulang dan level neurologis dari cedera karena nervus spinalis memasuki kanal spinalis melalui foramina dan berjalannaik atau turun di dalam kanal spinalis sebelum benar-benar memasuki medulla spinalis. Menentukan level cedera pada kedua sisi adalah hal yang penting1 . Terlepas dari manajemen awal untuk stabilisasi cedera tulang, semua deskripsi tingkat cedera selanjutnya didasarkan pada level neurologis1 . TINGKAT KEPARAHAN DEFISIT NEUROLOGIS Cedera medulla spinalis dapat dikategorikan berdasarkan1 : Paraplegi inkomplit atau komplit (cedera thorakal) Kuadriplegia/ tetraplegia inkomplit atau komplit (cedera servikal) Setiap fungsi motorik atau sensorik di bawah tingkat cedera yang merupakan cedera tidak lengkap dan harus diklasifikasikan dengan tepat. Tanda dari cedera inklomplit termasuk sensasi apapun (termasuk sensasi posisi) atau gerakan volunter pada ekstremitas bawah, sacral sparing, kontraksi spingter anal volunter, dan fleksi ibu jari kaki volunter. Refleks sacrum, seperti refleks bulbocavernosus atau “anal wink”, tidak dikualifikasikan sebagai sacral sparing1 . SINDROM MEDULA SPINALIS Pola karakteristik cedera neurologis ditemui pada pasien dengan cedera medulla spinalis, seperti central cord syndrome, anterior cord sundrome, dan Brown-Séquard syndrome. Mengenali polapola ini akan sangat membantu karena prognosisnya berbeda dengan cedera medulla spinalis komplit dan inkomplit1 . Central cord syndrome ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik yang jauh lebih besar pada ekstremitas atas dibandingkan ekstremitas bawah, dengan tingkat kehilangan sensorik yang bervariasi. Sindrom ini biasanya terjadi setelah cedera hiperekstensi pada pasien dengan cervical canal stenosis yang sudah ada sebelumnya. Mekanisme umumnya adalah terjatuh ke depan yang mengakibatkan benturan pada wajah. Central cord syndrome dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur atau dislokasi tulang belakang leher. Prognosis untuk pemulihan central cord injury agak lebih baik dibandingkan dengan cedera inkomplit lainnya. Cedera ini sering ditemukan pada pasien, terutama orang lanjut usia, yang menderita stenosis spinalis dan terjatuh pada leveli permukaan tanah1 . Anterior cord syndrome terjadi akibat cedera pada jalur motoric dan sensorik di bagian anterior medulla spinalis. Hal ini ditandai dengan paraplegia dan hilangnya sensasi nyeri dan suhu secara bilateral. Namun, sensasi dari kolom dorsal yang utuh (yaitu, posisi, getaran, dan rasa tekanan yang dalam) tetap terjaga. Sindrom ini mempunyai prognosis yang paling buruk dari jenis cedera yang inkomplit dan paling sering terjadi setelah iskemia medulla spinalis1 . Brown-Séquard syndrome terjadi akibat hemiseksi medulla spinalis, biasanya akibat trauma tembus. Dalam bentuknya yang murni, sindrom ini terdiri dari hilangnya motorik ipsilateral (tractus kortikospinal) dan hilangnya sensasi posisi (kolumna dorsalis), berhubungan


152 dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu kontralateral yang dimulai satu hingga dua tingkat di bawah tingkat cedera (traktus spinothalamic). Meskipun sindrom ini disebabkan oleh cedera tembus langsung pada medulla spinalis, pemulihan biasanya dapat dicapai1 . MORFOLOGI Cedera tulang belakang dapat digambarkan sebagai fraktur, dislokasi fraktur, spinal cord injury without radiographic abnormalities (SCIWORA), dan cedera tembus/penetrasi. Masing-masing kategori ini selanjutnya dapat digambarkan sebagai stabil atau tidak stabil. Namun, menentukan stabilitas jenis cedera tertentu tidak selalu sederhana dan bahkan para ahli pun mungkin tidak setuju. Khususnya selama pengobatan awal, semua pasien dengan bukti radiografi cedera dan semua pasien dengan defisit neurologis harus dianggap mengalami cedera tulang belakang yang tidak stabil. Gerakan tulang belakang pasien ini harus dibatasi, dan memutar dan/atau reposisi memerlukan personel yang memadai menggunakan teknik logrolling hingga berkonsultasi dengan spesialis, biasanya ahli bedah saraf atau ahli bedah ortopedi1 . JENIS SPESIFIK CEDERA SPINALIS/ TULANG BELAKANG Cedera tulang belakang yang menjadi perhatian khusus bagi dokter dalam situasi trauma termasuk fraktur spinalis leher, fraktur spinalis thorakal, fraktur thoracolumbar junction, fraktur lumbal, cedera tembus/penetrasi, dan potensi cedera tumpul karotis dan pembuluh darah vertebrae1 . FRAKTUR SPINAL SERVIKAL Cedera tulang belakang servikal dapat disebabkan oleh salah satu atau kombinasi mekanisme cedera berikut: pembebanan aksial, fleksi, ekstensi, rotasi, pembengkokan lateral, dan distraksi1 . Cedera tulang belakang leher pada anak-anak merupakan kejadian yang relatif jarang terjadi, terjadi pada kurang dari 1% kasus. Perlu dicatat, cedera tulang belakang leher bagian atas pada anak-anak (C1–C4) hampir dua kali lebih umum dibandingkan cedera tulang belakang leher bagian bawah. Selain itu, perbedaan anatomi, distress emosional dan ketidakmampuan berkomunikasi membuat evaluasi tulang belakang menjadi lebih menantang pada populasi ini1 . Jenis cedera tulang belakang leher tertentu yang perlu diperhatikan oleh dokter dalam situasi trauma adalah dislokasi atlanto-oksipital, fraktur atlas (C1), subluksasi putar C1, dan fraktur aksis (C2) 1 . Dislokasi Atlanto-Oksipital Cedera akibat gangguan craniocervical jarang terjadi dan diakibatkan oleh fleksi dan distraksi traumatis yang parah. Kebanyakan pasien dengan cedera ini meninggal karena kerusakan batang otak dan apnea atau mengalami gangguan neurologis berat (misalnya ketergantungan ventilator dan quadriplegia/tetraplegia). Pasien dapat bertahan hidup jika mereka segera diresusitasi di lokasi


153 cedera. Dislokasi atlanto-oksipital adalah penyebab umum kematian pada kasus shaken baby syndrome1 . Fraktur Atlas (C1) Atlas adalah cincin tipis bertulang dengan permukaan artikular lebar. Fraktur atlas mewakili sekitar 5% dari fraktur akut tulang belakang servikal, dan hingga 40% dari fraktur atlas berhubungan dengan fraktur aksis (C2). Fraktur C1 yang paling umum adalah burst fracture (Jefferson fracture). Mekanisme cedera yang khas adalah pembebanan aksial, yang terjadi ketika beban besar jatuh secara vertikal ke kepala atau pasien mendarat di atas kepalanya dalam posisi yang relatif netral. Jefferson fracture melibatkan gangguan pada cincin anterior dan posterior C1 dengan perpindahan lateral dari massa lateral. Fraktur paling baik dilihat pada pandangan mulut terbuka pada daerah C1 hingga C2 dan dari pemeriksan CT scan aksial1 . Fraktur ini biasanya tidak berhubungan dengan cedera tulang belakang; namun, tidak stabil dan harus ditangani terlebih dahulu dengan cervical collar yang kaku dan berukuran tepat. Fraktur massa cincin unilateral atau lateral bukan hal yang jarang terjadi dan cenderung merupakan cedera yang stabil. Namun, perlakukan semua patah tulang tersebut sebagai patah tulang yang tidak stabil sampai pasien diperiksa oleh dokter spesialis, biasanya ahli bedah saraf atau ahli bedah ortopedi1 . Gambar. Jefferson Fracture. Gambaran radiologi dengan open-mouth view menunjukkan fraktur Jefferson. Fraktur ini melibatkan gangguan pada kedua cincin anterior dan posterior C1, dengan perpindahan lateral dari massa lateral1 .


154 Subloksasi Putar C1 Cedera subluksasi putar C1 paling sering terlihat pada anak-anak. Penyakit ini dapat terjadi secara spontan, setelah trauma mayor atau minor, infeksi saluran pernapasan atas, atau artritis reumatoid. Pasien datang dengan rotasi kepala yang terusmenerus (tortikolis). Dengan cedera ini, odontoid tidak berjarak sama dari dua massa lateral C1. Jangan memaksa pasien untuk mengatasi rotasi, tetapi batasi gerakan pasien dalam posisi memutar dan rujuk untuk perawatan khusus lebih lanjut1 . Fraktur Aksis (C2) Aksis adalah vertebra serviks terbesar dan bentuknya paling tidak biasa. Oleh karena itu rentan terhadap berbagai fraktur, tergantung pada kekuatan dan arah benturan. Fraktur akut C2 mewakili sekitar 18% dari seluruh cedera tulang belakang leher. Fraktur aksis yang perlu diperhatikan oleh penyedia layanan trauma meliputi fraktur odontoid dan fraktur elemen posterior1 . FRAKTUR ODONTOID Sekitar 60% fraktur C2 melibatkan proses odontoid, tonjolan tulang berbentuk pasak (pegshaped) yang menonjol ke atas dan biasanya berkontak dengan lengkung anterior C1. Prosesus odontoid terutama ditahan oleh ligamen transversal. Fraktur odontoid tipe I biasanya melibatkan ujung odontoid dan relative jarang terjadi. Fraktur odontoid tipe II terjadi melalui dasar dens dan merupakan fraktur odontoid yang paling umum. Pada anak-anak di bawah usia 6 tahun, epifisis mungkin menonjol dan menyerupai fraktur pada tingkat ini. Fraktur odontoid tipe III terjadi pada dasar dens dan meluas secara oblique ke dalam badan aksis1 . Gambar. Fraktur Odontoid. Gambaran CT scan Fraktur Odontoid Type II, yang terjadi melewati basis dens1 .


155 FRAKTUR ELEMEN POSTERIOR Fraktur elemen posterior, atau hangman’s fracture, melibatkan elemen posterior C2—pars interartikularis. Fraktur jenis ini biasanya disebabkan oleh cedera tipe ekstensi. Pastikan bahwa pasien dengan fraktur ini dipasangi cervical collar kaku dengan ukuran yang sesuai sampai perawatan khusus tersedia1 . Gambar. Hangman’s fracture (tanda panah). Ditunjukkan pada rekonstruksi CT scan. A. axial; B. sagittal paramedia; dan C. sagittal midlne. Perhatikan angulasi anterior dan jarak berlebih antara prosesus spinosus dari C1 dan C2 (tanda panah ganda) 1 . Dislokasi dan Fraktur (C3 hingga C7) Area fleksi dan ekstensi terbesar pada tulang belakang leher terjadi pada C5 – C6 dan karenanya paling rentan terhadap cedera. Pada orang dewasa, tingkat fraktur vertebra serviks yang paling umum adalah C5, dan tingkat subluksasi yang paling umum adalah C5 pada C6. Cedera lainnya termasuk subluksasi proses artikular (termasuk faset terkunci unilateral atau bilateral) dan fraktur lamina, proses spinosus, pedikel, atau massa lateral . Jarang sekali gangguan ligamen terjadi tanpa adanya fraktur atau dislokasi faset1 . Insiden cedera neurologis meningkat secara signifikan pada dislokasi faset dan lebih parah pada faset bilateral yang terkunci1 . FRAKTUR SPINAL THORAKAL Fraktur tulang belakang torakal dapat diklasifikasikan menjadi empat kategori besar: cedera kompresi anterior wedge, cedera pecah (burst), fraktur Chance, dan fraktur dislokasi1 . Pembebanan aksial dengan fleksi menghasilkan anterior wedge compression injury. Jumlah irisan biasanya cukup kecil, dan bagian anterior dari tulang belakang jarang lebih dari 25% lebih pendek dari posterior. Karena kekakuan tulang rusuk, sebagian besar patah tulang ini stabil1 .


156 Cedera pecah (burst) disebabkan oleh kompresi aksial vertical Chance fracture adalah fraktur transversal yang menembus badan vertebra. Hal ini disebabkan oleh fleksi pada sumbu anterior kolom tulang belakang dan paling sering terlihat setelah kecelakaan kendaraan bermotor di mana pasien hanya tertahan oleh sabuk pangkuan yang tidak dipasang dengan benar. Chance Fracture dapat dikaitkan dengan cedera visceral retroperitoneal dan perut1 . Karena orientasi sendi facet, dislokasi fraktur relatif jarang terjadi pada tulang belakang toraks dan lumbal. Cedera ini hampir selalu diakibatkan oleh fleksi ekstrem atau trauma tumpul parah pada tulang belakang, yang menyebabkan gangguan pada elemen posterior (pedikel, faset, dan lamina) vertebra. Kanal tulang belakang toraks sempit dibandingkan dengan sumsum tulang belakang, sehingga terjadi subluksasi fraktur pada tulang belakang thorakalis yang biasanya menyebabkan defisit neurologis lengkap1 . Fraktur kompresi sederhana biasanya stabil dan sering kali ditangani dengan penyangga kaku. Fraktur pecah (burst fracture), Chance fracture, dan dislokasi fraktur sangat tidak stabil dan hampir selalu memerlukan fiksasi internal1 . Gambar. Chance fracture. Radiografi menunjukkan fraktur chance, dimana fraktur transversus melewati badan vertebra1 .


157 FRAKTUR THORACOLUMBAR JUNCTION (T11 HINGGA L1) Fraktur pada tingkat persimpangan torakolumbalis (thoracolumbar junction) disebabkan oleh imobilitas tulang belakang dada dibandingkan dengan tulang belakang lumbal. Karena fraktur ini paling sering disebabkan oleh kombinasi hiperfleksi dan rotasi akut, maka fraktur ini biasanya tidak stabil. Orang yang jatuh dari ketinggian dan pengemudi yang terkekang dan mengalami fleksi parah dengan transfer energi kinetik tinggi mempunyai risiko khusus untuk jenis cedera ini1 . Medulla spinalis berakhir sebagai konus medularis sekitar setinggi L1, dan cedera pada bagian sumsum tulang ini biasanya menyebabkan disfungsi kandung kemih dan usus, serta penurunan sensasi dan kekuatan pada ekstremitas bawah. Pasien dengan patah tulang torakolumbal sangat rentan terhadap gerakan rotasi, jadi berhati-hatilah saat melakukan logroll1 . FRAKTUR LUMBAR Tanda-tanda radiografi yang berhubungan dengan fraktur lumbal serupa dengan fraktur toraks dan torakolumbal. Namun, karena hanya cauda equina yang terlibat, kemungkinan terjadinya defisit neurologis total jauh lebih rendah pada cedera ini1 . CEDERA PENETRASI Cedera tembus sering mengakibatkan defisit neurologis total akibat jalur peluru yang terlibat (paling sering berupa peluru atau pisau). Defisit ini juga dapat diakibatkan oleh transfer energi yang terkait dengan peluru kendali berkecepatan tinggi (misalnya peluru) yang melintas di dekat medulla spinalis, bukan melalui medulla spinalis. Cedera tembus pada medulla spinalis biasanya stabil kecuali jika misil tersebut menghancurkan sebagian besar vertebra1 . CEDERA ARTERI KAROTIS DAN VERTEBRA Trauma tumpul pada leher dapat menyebabkan cedera arteri karotis dan vertebra; pengenalan dan tatalaksana cedera dini dapat mengurangi risiko pasien terkena stroke. Indikasi spesifik tulang belakang dalam skrining untuk cedera ini termasuk patah tulang C1-C3, patah tulang belakang leher dengan subluksasi, dan patah tulang yang melibatkan foramen transversarium1 . PEMERIKSAAN PENUNJANG TRAUMA MEDULA SPINALIS LABORATORIUM: • Darah perifer lengkap • Urine lengkap • Gula darah sewaktu • Ureum dan kreatinin • Analisa gas darah PEMERIKSAAN LAIN - EKG bila terdapat aritmia jantung


158 RADIOLOGI • Foto vertebra posisi AP/Lat/odontoid dengan sesuai letak lesi • CT scan/MRI jika dengan foto konvensional masih meragukan atau bila akan dilakukan tindakan operasi 1. Cervical Dalam melakukan skrining pasien dengan kecurigaan cedera cervical dapat menggunakan alat skrining Canadian CSpine Rule dan NEXUS. Canadian C-Spine Rule merupakan salah satu alat skrining untuk membuat keputusan klinis evaluasi tulang leher bagian atas (cervical). Diadaptasi dari Stiell IG, dkk. Berdasarkan garis besar pasien yang memiliki faktor risiko tinggi seperti usia >65 tahun, mekanisme trauma yang membahayakan, didapatkan kesemutan pada ekstremitas maka diperlukan evaluasi radiologis. Gambar. Canadian C-Spine Rule


159 NEXUS (National Emergency X-Radiography Utilization Study) merupakan alat skrining untuk evaluasi cervical spine. Gambar. NEXUS (National Emergency X-Radiography Utilization Study) Berikut penjelasan dari NEXUS: - Nyeri tekan di garis tengah cervical pada bagian belakang leher dari punggung leher sampai menonjolnya vertebra torakal pertama, atau jika pasien merasakan nyeri saat ditekan langsung pada setiap proses spinosus leher. - Pasien dicurigai terdapat intoksikasi bila riwayat oleh pasien atau saksi adanya konsumsi yang memabukkan atau adanya bukti intoksikasi pada pemeriksaan fisik, seperti bau alkohol, bicara yang terbata-bata, ataksia, dismetria, atau temuan cerebellar lainnya, atau perilaku apa pun yang konsisten dengan keadaan mabuk/intoksikasi. Pasien juga dapat dianggap mabuk jika uji cairan tubuh positif untuk obat-obatan lainnya.


160 - Penurunan kesadaran - Adanya defisit neurologis fokal baik pada temuan sensorik maupun motorik - Didapatkan trauma lain yang dapat mendistraksi atau mengalihkan keluhan nyeri seperti fraktur pada tulang panjang, organ visceral, laserasi, degloving, crush injury, luka bakar, atau trauma lain yang mengganggu fungsi. 2. Thoracal dan Lumbar Indikasi pemeriksaan radiografi penyaringan pada tulang belakang toraks dan lumbal pada dasarnya sama dengan indikasi pada tulang belakang leher. Jika tersedia, multidetector Computerized Tomography Scan (MDCT) pada tulang belakang toraks dan lumbal dapat digunakan sebagai modalitas penyaringan awal. Tampilan yang diformat ulang dari MDCT dada/perut/panggul juga dapat digunakan. Jika MDCT tidak tersedia, dapatkan foto polos anteroposterior (AP) dan lateral. Perlu dicatat bahwa MDCT memiliki sensitivitas yang lebih unggul. Pada tampilan AP, amati penyelarasan vertikal pedikel dan jarak antara pedikel setiap vertebra. Fraktur yang tidak stabil umumnya menyebabkan pelebaran jarak antarpedikular. Foto lateral mendeteksi subluksasi, fraktur kompresi. Pemindaian CT sangat berguna untuk mendeteksi fraktur pada posterior (pedikel, lamina, dan proses spinosus). Seperti pada tulang belakang leher, serangkaian rontgen berkualitas tinggi harus diinterpretasikan dengan benar sebagai tanda tidak adanya cedera oleh dokter yang terkualifikasi sebelum tindakan pencegahan pada tulang belakang dihentikan. Namun, karena kemungkinan terjadi luka tekanan, jangan menunggu interpretasi radiografi akhir sebelum mengeluarkan pasien dari spineboard. TATALAKSANA TRAUMA MEDULA SPINALIS PERAWATAN UMUM Lanjutkan A, B, C sesuai keperluan. Usahakan suhu badan tetap normal (jika lesi diatas C-8, termoregulasi tidak ada) Jika ada gangguan miksi pasang kondom kateter atau dauer kateter dan jika ada retensi alvi, berikan laksan PEMERIKSAAN NEUROFISIOLOGI KLINIK MEDIKAMENTOSA a. Lanjutkan pemberian metilprednisolon (mencegah proses sekunder) b. Anti spastisitas otot sesuai keadaan klinis c. Analgetik d. Mencegah dekubitus, kalau perlu pakai kasur khusus e. Mencegah trombosis vena dalam (DVT) dengan stoking kaki khusus atau fisioterapi. Kalau perlu dapat diberikan antikoagulan (heparin atau LMWH) f. Mencegah proses sekunder (free radikal, dll) dengan pemberian antioksidan (vit C, vit E) g. Stimulasi sel saraf dengan pemberian


161 GM1-Ganglioside. Dimulai dalam kurun waktu 72 jam sejak onset sampai dengan 18-32 hari h. Terapi obat lain sesuai indikasi, seperti antibiotik bila ada infeksi, dll i. Memperbaiki sel saraf yang rusak dengan stem sel (di masa mendatang) OPERASI a. Waktu operasi Waktu operasi antara 24 jam sampai dengan 3 minggu Tindakan operatif awal (< 24 jam) lebih bermakna menurunkan perburukan neurologis, komplikasi, dan keluaran skor motorik satu tahun paska trauma b. Indikasi operatif Ada fraktur, pecahan tulang menekan medula spinalis Gambaran neurologis progresif memburuk Fraktur, dislokasi yang labil Terjadi herniasi diskus intervertebralis yang menekan medula spinalis Konsultasi ke bagian Bedah Saraf / Spinal Ortopedik berdasarkan indikasi NEURORESTORASI DAN NEUROREHABILITASI Tujuan: a. Memberikan penerangan dan pendidikan kepada pasien dan keluarga mengenai b. trauma medula spinalis c. Memaksimalkan kemampuan mobilisasi dan self care (latihan mandiri) dan/atau d. latih langsung jika diperlukan e. Mencegah komorbidit (kontraktur, dekubitus, infeksi paru, dll) FISIOTERAPI Penyebab utama kematian pada pasien trauma medula spinalis adalah penyakit pernapasan, infeksi saluran kencing dan penyakit jantung. Dengan diberikannya terapi latihan dapat meingkatkan usia harapan hidup dan kualitas hidup. Tipe latihan pada pasien trauma medulla spinalis ada 3 macam: a. Latihan aerobik/kebugaran Latihan kebugaran berupa latihan selama 20-60 menit atau beberapa period dengan aktivitas 10 menit. - Pasien dengan trauma medula spinalis diatas Thoracal 6 : latihan seharusnya tidak boleh melebihi maksimal heart rate 65- 95%x/menit. - Pasien dengan trauma medula spinalis dibawah thoracal 6: latihan dapat sesuai dengan standar intensitas latihan yang tidak melebihi 70% denyut nadi maksimal. - Untuk mengetahui tingkat kelelahan dapat menggunakan talk test, adalah tes dengan percakapan selama melakukan latihan, bila pasien tidak dapat berkata-kata selama latihan berarti intensitas latihan terlalu keras.


162 b. Latihan penguatan otot Latihan aktif dengan diberikan taapan yang optimal, dengan prinsip: - Latihan dapat dilakukan dalam 3-5x/minggu - Latihan disertai istirahat selama 30-60 meint tiap pengulalngan atau pada akhir tiap gerakan. - Jangan melakukan latihan penguatan pada group otot yang sama dalam 2x berurutan, variasi gerakan dibutuhkan untuk mencegah over use - Bila memungkinkan beban ditambah dengan mempertahankan keseimbangan kondisi kulit. c. Latihan kelenturan Latihan kelenturan untuk menjaga lingkup gerak sendi, dapat dilakukan dengan active assisted dan pasien menggerakan sendiri, dengan prinsip: - Penguluran dapat dilakukan dalam 3x pengulangan ganti tiap gerakannya, dan ditahan selama 30 detik tiap akhir gerak tanpa ada gerakan mengeper. - Gerakan dapat diulang 5-10 kali. d. Latihan Berdiri Pada trauma medula spinalis dapat dilatih berdiri, walaupun belum mampu berdiri dapat dilatih dengan tilting table. Latihan berdiri juga dapat dengan menggunakan standing frame adalah alat yang bisa menahan posisi berdiri. Gambar. Latihan berdiri pada pasien trauma medulla spinalis dengan menggunakan standing frame (Richard W, 2018) e. Latihan Berjalan Pasien trauma medula spinalis dapat juga dilatih berjalan dengan mengguanakan paralel bar. f. Latihan aktif fungsional Pasien trauma medula spinalis dapat diberikan latihan aktif pada anggota geraknya. Latihan aktif fungsional ini bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas fisik dan meningkatkan kekuatan otot yang sangan diperlukan agar pasien mampu melakukan aktivitas fungsional sehari-harina secara mandiri. g. Latihan lainnya seperti terapi okupasi, latihan miksi dan defekasi rutin, terapi psikologis


163 BAB 12 Musculoskeletal (ORTHO)


164 CIDERA MUSKULOSKELETAL Cidera musculoskeletal sering terjadi pada pasien trauma. Diagnosis dan penanganan yang terlambat pada cidera ini dapat menyebabkan perdarahan yang mengancam jiwa atau kehilangan anggota gerak. Kebanyakan pasien yang mengalami trauma tumpul juga mengalami cidera pada sistem muskuloskeletal. Cidera ini sering kali tampak dramatis, tetapi jarang sekali menyebabkan ancaman langsung terhadap nyawa atauoun ekstremitas. Namun, cidera muskuloskeletal berpotensi mengalihkan perhatian anggota tim dari prioritas resusitasi yang lebih mendesak. Terutama, klinisi perlu mengenali adanya cidera ekstremitas yang mengancam jiwa selama survei primer dan memahami hubungannya dengan cidera toraks dan abdomen yang parah. Penyedia layanan juga harus memahami anatomi ekstremitas agar dapat melindungi pasien dari kecacatan lebih lanjut, serta mengantisipasi dan mencegah komplikasi. Cidera muskuloskeletal mayor mengindikasikan bahwa tubuh mendapatkan gaya yang signifikan (GRAFIK 8-1). Sebagai contoh, pasien dengan fraktur tulang panjang di atas dan di bawah diafragma memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami cidera internal dari trunkus. Fraktur pelvis yang tidak stabil dan fraktur tulang paha terbuka dapat disertai dengan perdarahan yang cepat. Crush injury yang parah menyebabkan pelepasan mioglobin dari otot, yang dapat mengendap dalam tubulus ginjal dan mengakibatkan gagal ginjal. Pembengkakan pada ruang muskulofasial yang utuh dapat menyebabkan sindrom kompartemen akut yang, jika tidak didiagnosis dan ditangani, dapat menyebabkan gangguan fungsi yang berkepanjangan dan kehilangan ekstremitas. Emboli lemak, komplikasi yang jarang terjadi tetapi sangat mematikan pada fraktur tulang panjang, dapat menyebabkan gagal pulmonal dan gangguan fungsi otak. ■ GAMBAR 8-1 Cidera berat menunjukkan bahwa pasien mengalami kekuatan yang signifikan, dan kehilangan darahyang signifikan mungkin terjadi. BAB 12. Musculoskeletal (ORTHO) Triage


165 Trauma muskuloskeletal tidak mengharuskan pengurutan ulang prioritas resusitasi ABCDE, tetapi jenis trauma ini memang menjadi tantangan bagi para klinisi. Cidera muskuloskeletal tidak dapat diabaikan dan ditunda penanganannya; sebaliknya, dokter harus menangani pasien secara keseluruhan, termasuk cidera muskuloskeletal, untuk memastikan hasil yang optimal. Meskipun telah dilakukan asesmen yang cermat, patah tulang dan cidera jaringan lunak mungkin tidak dikenali pada asesmen awal pada pasien dengan cidera multipel. Evaluasi ulang pasien secara terus-menerus diperlukan untuk mengidentifikasi semua cidera yang ada. SURVEI PRIMER DAN RESUSITASI PASIEN DENGAN CIDERA EKSTREMITAS YANG POTENSIAL MENGANCAM NYAWA Selama survei primer, sangatlah penting untuk mengenali dan mengendalikan perdarahan yang berasal dari cidera muskuloskeletal. Cidera ekstremitas yang berpotensi mengancam jiwa antara lain perdarahan arteri besar, fraktur femur bilateral, dan crush syndrome. (Cidera pelvis dijelaskan dalam Bab 5: Trauma Abdomen dan Pelvis). Laserasi jaringan lunak yang dalam dapat melibatkan pembuluh darah mayor dan menyebabkan perdarahan yang tidak dapat dihentikan. Kontrol perdarahan paling baik adalah dengan melakukan penekanan langsung. Perdarahan akibat fraktur tulang panjang dapat menjadi signifikan, dan fraktur femur khususnya sering menyebabkan kehilangan darah yang signifikan ke dalam rongga paha. Pembidaian fraktur yang tepat dapat secara signifikan mengurangi perdarahan dengan mengurangi gerakan fragmen fraktur dan meningkatkan efek tamponade dari otot dan fasia. Pada fraktur terbuka, penggunaan bebat tekan steril biasanya dapat mengendalikan perdarahan. Resusitasi cairan yang tepat merupakan pelengkap yang penting untuk tindakan mekanis ini. PITFALL PREVENTION Kehilangan darah akibat cidera muskuloskeletaltidak segera dikenali. Kenali bahwa fraktur femur dan fraktur tulang panjang terbuka dengan keterlibatan jaringan lunak mayor merupakan lokasi potensial terjadinya perdarahan yang signifikan.


166 CIDERA ARTERI MAYOR DAN AMPUTASI TRAUMATIK Luka penetrasi pada ekstremitas dapat menyebabkan cidera pada arteri mayor. Trauma tumpul yang mengakibatkan fraktur pada ekstremitas atau dislokasi sendi di dekat arteri juga dapat melukai arteri. Cidera ini dapat menyebabkan perdarahan yang signifikan melalui luka terbuka atau mengakibatkan perdarahan ke dalam jaringan lunak. Pasien dengan amputasi traumatik berisiko tinggi mengalami perdarahan yang mengancam nyawa dan mungkin memerlukan pemasangan turniket. PENILAIAN Periksa ekstremitas yang cidera untuk mengetahui adanya perdarahan eksternal, hilangnya denyut nadi yang sebelumnya dapat diraba, dan perubahan kualitas denyut nadi, tonus Doppler, dan ankle/branchial index. Ankle/branchial index ditentukan dengan mengambil nilai tekanan darah sistolik pada pergelangan kaki yang cidera dan membaginya dengan tekanan darah sistolik pada lengan yang tidak cidera. Ekstremitas yang dingin, pucat, dan tidak berdenyut mengindikasikan adanya gangguan pada suplai darah arteri. Hematoma yang meluas dengan cepat menunjukkan cidera vaskular yang signifikan. MANAJEMEN Pendekatan bertahap untuk mengendalikan pendarahan arteri dimulai dengan tekanan manual pada luka. (Bleedingcontrol.org menyediakan pelatihan masyarakat awam tentang pengendalian perdarahan.) Bebat tekan kemudian dilakukan, dengan menggunakan setumpuk kain kasa yang difiksasi menggunakan perban elastis melingkar untuk memusatkan tekanan pada luka. Jika perdarahan berlanjut, berikan tekanan manual pada arteri proksimal dari cidera. Jika pendarahan terus berlanjut, pertimbangkan untuk menggunakan turniket manual (seperti alat kerek/windlass device) atau turniket pneumatik yang diaplikasikan langsung ke kulit (■ GAMBAR 8-2). ■ GAMBAR 8-2 Penggunaan tourniquet yang bijaksana dapatmenyelamatkan nyawa dan/atau menyelamatkan anggota tubuh jika terjadi perdarahan yang berkelanjutan.


167 Kencangkan turniket hingga perdarahan berhenti. Turniket yang dipasang dengan benar harus menutup aliran masuk arteri saja, karena menutup hanya sistem vena dapat meningkatkan perdarahan dan mengakibatkan ekstremitas menjadi bengkak dan sianotik. Tourniquet pneumatik kemungkinan memerlukan tekanan setinggi 250 mmHg pada ekstremitas atas dan 400 mmHg pada ekstremitas bawah. Pastikan bahwa waktu pemasangan tourniquet didokumentasikan. Dalam kasus ini, konsultasi bedah segera sangat penting, dan pemindahan dini ke pusat trauma harus dipertimbangkan. Jika waktu untuk intervensi operasi lebih lama dari 1 jam, upaya tunggal untuk mengempiskan tourniquet dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kondisi stabil. Risiko penggunaan tourniquet meningkat seiring dengan waktu; jika tourniquet harus tetap terpasang untuk waktu yang lama untuk menyelamatkan nyawa, pilihan menyelamatkan nyawa di atas ekstremitas harus diambil. Penggunaan arteriografi dan alat diagnostik lainnya hanya diindikasikan pada pasien resusitasi tanpa kelainan hemodinamik; pasien lain dengan cidera vaskular yang jelas memerlukan Tindakan operasi segera. Jika didapatkan atau dicurigai adanya cidera arteri mayor, segera konsultasikan dengan dokter bedah yang ahli dalam trauma vaskular dan ekstremitas. Penggunaan klem pembuluh darah pada luka terbuka yang berdarah saat pasien berada di UGD tidak disarankan, kecuali jika pembuluh darah berada di lokasi superfisial dan teridentifikasi dengan jelas. Jika pada fraktur didapatkan luka terbuka dengan perdarahan, lakukan traksi dan pembebatan sementara penolong kedua memberikan tekanan langsung pada luka terbuka tersebut. Dislokasi sendi harus direduksi jika memungkinkan; jika sendi tidak dapat direduksi, intervensi ortopedi darurat mungkin diperlukan. Amputasi traumatik, suatu bentuk fraktur terbuka yang parah yang mengakibatkan hilangnya ekstremitas, merupakan peristiwa traumatis bagi pasien, baik secara fisik maupun emosional. Pasien dengan amputasi traumatis dapat memperoleh manfaat dari penggunaan tourniquet. Cidera ini memerlukan konsultasi dan intervensi oleh dokter bedah. Cidera ekstremitas tertentu yang hancur dengan iskemia yang berkepanjangan, cidera saraf, dan kerusakan otot mungkin memerlukan amputasi. Amputasi dapat menyelamatkan nyawa pasien yang mengalami kelainan hemodinamik oleh karena suatu cidera ekstremitas. Meskipun kemungkinan replantasi harus dipertimbangkan pada ekstremitas atas, cidera lain pada pasien juga harus menjadi bahan pertimbangan. Pasien dengan cidera multipel yang membutuhkan resusitasi intensif dan/atau operasi darurat untuk cidera ekstremitas atau cidera lainnya bukan merupakan kandidat yang baik untuk replantasi. Replantasi biasanya dilakukan pada pasien dengan cidera ekstremitas tanpa adanya cidera lain. Guna mendapatkan pengambilan keputusan dan manajemen yang diperlukan, rujuklah pasien dengan amputasi traumatik


168 pada ekstremitas atas ke tim bedah yang tepat yang ahli dalam prosedur replantasi. Dalam kasus seperti itu, cuci bagian yang teramputasi secara menyeluruh dengan larutan isotonik (misalnya, Ringer Lactate) dan bungkus dengan kasa steril yang lembap. Kemudian bungkus amputat dengan handuk steril yang dibasahi dengan cara yang sama, masukkan ke dalam kantong plastik, dan pindahkan bersama pasien di dalam kotak pendingin berinsulasi yang berisi es yang dihancurkan. Berhati-hatilah agar amputat tidak membeku. FRAKTUR FEMUR BILATERAL Pasien yang mengalami patah tulang femur bilateral memiliki risiko komplikasi dan kematian yang jauh lebih besar. Fraktur ini menunjukkan bahwa pasien telah mengalami trauma dengan energi yang signifikan dan harus mengingatkan dokter tentang kemungkinan cidera lain yang terkait. Dibandingkan dengan pasien dengan fraktur femur unilateral, pasien dengan fraktur femur bilateral memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kehilangan darah yang signifikan, cidera terkait yang parah, komplikasi paru, kegagalan multi organ, dan kematian. Pasien-pasien ini harus dinilai dan ditangani dengan cara yang sama dengan pasien dengan fraktur femur unilateral. Pertimbangkan pemindahan segera ke pusat trauma. PITFALL PREVENTION Penundaan pemindahan ke pusat trauma • Pindahkan pasien dengan fraktur yang disertai cidera pembuluh darah ke pusat trauma yang memiliki kemampuan bedah vaskular dan ortopedi. • Fraktur femur bilateral mengakibatkan peningkatan risiko komplikasi dan kematian secara signifikan; pasien-pasien ini mendapatkan manfaat dari transportasi dini ke pusat trauma.


169 CRUSH SYNDROME Crush syndrome, atau rhabdomyolysis traumatik, mengacu pada dampak klinis dari kerusakan otot yang, jika tidak ditangani, dapat menyebabkan gagal ginjal akut dan syok. Kondisi ini diamati pada individu yang mengalami cidera kompresi pada massa otot yang signifikan, dan paling sering terjadi pada paha atau betis. Kerusakan otot yang terjadi merupakan kombinasi dari cidera otot secara langsung, iskemia otot, dan kematian sel dengan pelepasan mioglobin. PENILAIAN Mioglobin menyebabkan urin berwarna kuning gelap yang menunjukkan hasil positif untuk hemoglobin. Pemeriksaan mioglobin dapat diminta untuk memastikan keberadaannya. Urin berwarna kuning gelap dengan serum kreatin kinase 10.000 U/L atau lebih merupakan indikasi rhabdomiolisis ketika pemeriksaan kadar mioglobin urin tidak tersedia. Rhabdomyolysis dapat menyebabkan asidosis metabolik, hiperkalemia, hipokalsemia, dan koagulasi intravaskular diseminata. MANAJEMEN Hal penting yang harus dilakukan adalah memulai terapi cairan intravena secara dini dan agresif selama resusitasi untuk melindungi ginjal dan mencegah gagal ginjal pada pasien dengan rhabdomyolysis. Gagal ginjal yang diinduksi mioglobin dapat dicegah dengan melakukan ekspansi cairan intravaskular, alkalinisasi urin dengan pemberian bikarbonat intravena, dan diuresis osmotik. ADJUNCT DARI SURVEI PRIMER Penanganan tambahan (adjunct) pada survei primer pasien dengan trauma muskuloskeletal meliputi imobilisasi fraktur dan pemeriksaan Xray, ketika fraktur dicurigai sebagai penyebab syok. IMOBILISASI FRAKTUR Tujuan imobilisasi fraktur secara dini adalah untuk meluruskan kembali ekstremitas yang cidera seanatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada lokasi fraktur. Hal ini dilakukan dengan melakukan traksi sejajar untuk mengatur ulang posisi ekstremitas kemudian mempertahankan traksi dengan alat imobilisasi (Gbr. 8-3). Penggunaan bidai yang tepat dapat membantu mengontrol kehilangan darah, mengurangi rasa sakit, dan mencegah gangguan neurovaskular lebih lanjut dan jugacidera jaringan lunak. Jika terdapat fraktur terbuka, tarik tulang yang terbuka kembali ke dalam luka, karena fraktur terbuka memerlukan debridemen secara bedah. Bersihkan kontaminasi dan benda-benda partikulat dari luka dan berikan antibiotik dengan dosis sesuai berat badan sedini mungkin pada pasien dengan fraktur terbuka. (Lihat Lampiran G: Keterampilan Sirkulasi).


170 GAMBAR 8-3 Tujuan imobilisasi fraktur awal adalah untuk memposisikan ulang ekstremitas yang cidera sedekat mungkin denganposisi anatomis dan mencegah gerakan lokasi fraktur yang berlebihan. A. Pemendekan dan rotasi eksternal tungkai kanan akibat fraktur femur bagian tengah B. Aplikasi traksi inline dengan stabilisasi tungkai pada posisi anatomis yang normal. Dokter yang kompeten dapat mencoba mereduksi suatu dislokasi sendi. Jika reduksi tertutup berhasil mengembalikan sendi, imobilisasi sendi pada posisi anatomis dengan bidai, bantal, atau plester yang telah disiapkan sebelumnya untuk mempertahankan ekstremitas pada posisi yang tereduksi. Jika reduksi tidak berhasil, bidai sendi seperti pada posisi saat ditemukan. Pasang bidai sesegera mungkin, karena bidai dapat mengontrol perdarahan dan nyeri. Upaya resusitasi harus tetap diprioritaskan di atas pemasangan bidai. NIlai status neurovaskular ekstremitas sebelum dan sesudah manipulasi dan pembidaian. PEMERIKSAAN X-Ray Meskipun pemeriksaan X-ray pada sebagian besar cidera tulang lebih tepat dilakukan pada saat survei sekunder, pemeriksaan ini dapat dilakukan pada saat survei primer jika dicurigai adanya suatu fraktur sebagai penyebab syok. Keputusan mengenai posisi foto rontgen apa yang harus diambil dan kapan harus diambil didasarkan pada temuan klinis awal dari pasien, status hemodinamik pasien, dan mekanisme cidera. SURVEI SEKUNDER Elemen penting dari survei sekunder pasien dengan cidera muskuloskeletal adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. A B


171 ANAMNESIS Aspek-aspek kunci dari riwayat pasien adalah mekanisme cidera, lingkungan, status pra-cidera dan faktor predisposisi, serta observasi dan perawatan pra-rumah sakit. Mekanisme Cidera Informasi yang diperoleh dari pasien, keluarga, petugas pra-rumah sakit dan transportasi, serta pengamat di lokasi cidera harus didokumentasikan dan disertakan sebagai bagian dari riwayat pasien. Sangat penting untuk menentukan mekanisme cidera karena dapat membantu mengidentifikasi cidera yang mungkin tidak segera terlihat. (Lihat Biomekanika Cidera). Dokter harus merekonstruksi secara mental tempat kejadian cidera, mempertimbangkan potensi cidera lain yang mungkin dialami pasien, dan menentukan sebanyak mungkin informasi berikut ini: 1. Di mana posisi pasien sebelum kecelakaan? Pada kecelakaan kendaraan bermotor, posisi pasien sebelum tabrakan (misalnya, pengemudi atau penumpang) dapat menunjukkan jenis frakturmisalnya, fraktur kompresi lateral panggul dapat diakibatkan oleh tabrakan benturan samping. 2. Di mana posisi pasien setelah kecelakaan - di dalam kendaraan atau terlempar keluar? Apakah sabuk pengaman atau kantung udara digunakan? Informasi ini dapat mengindikasikan pola cidera tertentu. Jika pasien terlontar, tentukan jarak pasien terlempar serta kondisi saat mendarat. Lontaran umumnya menghasilkan pola cidera yang tidak dapat diprediksi dan cidera yang lebih parah. 3. Apakah eksterior kendaraan mengalami kerusakan, misalnya bagian depan yang berubah bentuk akibat tabrakan langsung? Informasi ini menimbulkan kecurigaan adanya dislokasi panggul. 4. Apakah interior kendaraan rusak, misalnya dasbor yang berubah bentuk? Temuan ini mengindikasikan kemungkinan lebih besar terjadinya cidera ekstremitas bawah. 5. Apakah pasien terjatuh? Jika ya, berapa jarak jatuhnya, dan bagaimana pasien mendarat? Informasi ini membantu mengidentifikasi spektrum cidera. 6. Apakah pasien tertindih oleh suatu benda? Jika ya, kenali berat benda yang menghimpit, lokasi cidera, dan durasi himpitan pada lokasi tersebut. Bergantung pada apakah permukaan tulang subkutan atau area otot hancur, berbagai tingkat kerusakan jaringan lunak dapat terjadi, mulai dari kontusio sederhana hingga cidera degloving ekstremitas yang parah dengan sindrom kompartemen dan kehilangan jaringan. 7. Apakah terjadi ledakan? Jika ya, berapa besar ledakannya, dan berapa jarak pasien dari ledakan? Seseorang yang berada dekat dengan ledakan dapat mengalami cidera ledakan primer akibat kekuatan gelombang ledakan. Cidera ledakan sekunder dapat terjadi akibat


172 serpihan dan benda-benda lain yang terakselerasi oleh ledakan (misalnya, pecahan bangunan), yang menyebabkan luka tembus, robekan, dan memar. Efek ledakan juga dapat menyebabkan pasien terlempar dengan keras ke tanah atau ke benda lain, sehingga menyebabkan cidera tumpul dan cidera lainnya (cidera ledakan tersier). 8. Apakah pasien terlibat dalam tabrakan antara kendaraan dan pejalan kaki? Cidera muskuloskeletal mengikuti pola yang dapat diprediksi berdasarkan ukuran dan usia pasien (GRAFIK 8-4). GAMBAR 8-4 Titik benturan bervariasi berdasarkan kendaraan dan individu, yaitu ketinggian bumper dan usia serta ukuran pasien. Lingkungan Sekitar Jika memungkinkan, tanyakan kepada petugas perawatan pra-rumah sakit informasi berikut tentang lingkungan sekitar pasca-kecelakaan: 1. Apakah pasien mengalami fraktur terbuka di lingkungan yang terkontaminasi? 2. Apakah pasien terpapar suhu ekstrem? 3. Apakah ada pecahan kaca yang pecah, yang juga dapat melukai pemeriksa, di tempat kejadian? 4. Apakah ada sumber kontaminasi bakteri, seperti kotoran, kotoran hewan, dan air tawar atau air asin? Informasi ini dapat membantu dokter untuk mencegah masalah potensial dan menentukan pemberian antibiotik awal.


173 Status Pra-Cidera dan Faktor Predisposisi Jika memungkinkan, tentukan kondisi awal pasien sebelum cidera. Informasi ini dapat meningkatkan pemahaman tentang kondisi pasien, membantu menentukan rejimen pengobatan, dan mempengaruhi hasil. Riwayat AMPLE harus diperoleh, termasuk informasi tentang toleransi olahraga dan tingkat aktivitas pasien, konsumsi alkohol dan/atau obat lain, masalah emosional atau penyakit, dan cidera muskuloskeletal sebelumnya. Pengamatan dan Perawatan Pra-Rumah Sakit Semua pengamatan dan perawatan prarumah sakit harus dilaporkan dan didokumentasikan. Temuan di lokasi kejadian yang dapat membantu mengidentifikasi potensi cidera meliputi Waktu terjadinya cidera, terutama jika terjadi pendarahan yang terus menerus, patah tulang terbuka, dan keterlambatan mencapai rumah sakit Posisi di mana pasien ditemukan Pendarahan atau genangan darah di tempat kejadian, termasuk perkiraan jumlahnya Tulang atau ujung patah tulang yang mungkin telah terpapar lingkungan luar Luka terbuka yang dekat dengan patah tulang yang terlihat jelas atau dicurigai Deformitas atau dislokasi yang jelas Mekanisme penekanan apa pun yang dapat menyebabkan crush syndrome Ada atau tidak adanya fungsi motorik dan/atau sensorik pada setiap ekstremitas Keterlambatan dalam prosedur ekstraksi atau transportasi Perubahan fungsi anggota tubuh, perfusi, atau kondisi neurologis, terutama setelah imobilisasi atau saat dipindahkan ke rumah sakit Reduksi patah tulang atau dislokasi selama ekstrikasi atau belat di tempat kejadian Pembebatan dan pembidaian, dengan perhatian khusus pada tekanan yang berlebihan pada penonjolan tulang yang dapat mengakibatkan kompresi saraf tepi atau sindrom kompartemen Waktu penggunaan tourniquet, jika ada PEMERIKSAAN FISIK Untuk pemeriksaan menyeluruh, lepaskan seluruh pakaian pasien, berhati-hatilah agar tidak menimbulkan hipotermia. Cidera ekstremitas yang jelas sering kali telah dilakukan pembidaian sebelum pasien tiba di UGD. Tiga tujuan dalam menilai ekstremitas adalah: 1. Mengidentifikasi cidera yang mengancam jiwa (survei primer) 2. Mengidentifikasi cidera yang mengancam anggota tubuh (survei sekunder) Lakukan peninjauan sistematis untuk menghindari terlewatnya cidera muskuloskeletal lainnya (yaitu, evaluasi ulang secara terus menerus). Penilaian trauma muskuloskeletal meliputi melihat dan berbicara dengan pasien, palpasi pada ekstremitas pasien, dan melakukan


174 peninjauan sistematik yang logis terhadap setiap ekstremitas. Penilaian ekstremitas harus mencakup empat komponen berikut ini untuk menghindari terlewatnya cidera: kulit, yang melindungi pasien dari kehilangan cairan yang berlebihan dan infeksi; fungsi neuromuskuler; status sirkulasi; dan integritas skeletal dan ligamen. (Lihat Lampiran G: Survei Sekunder). LIHAT DAN TANYAKAN Amatilah warna dan perfusi ekstremitas, luka, deformitas (misalnya, angulasi atau pemendekan), pembengkakan, dan memar. Inspeksi visual yang cepat pada seluruh pasien akan membantu mengidentifikasi lokasi perdarahan eksternal yang besar. Ekstremitas distal yang pucat atau putih mengindikasikan terganggunya aliran arteri. Ekstremitas yang bengkak di daerah kelompok otot besar dapat mengindikasikan crush injury dengan resiko sindrom kompartemen. Pembengkakan atau ekimosis di dalam atau di sekitar sendi dan/atau di atas permukaan subkutan tulang adalah tanda cidera muskuloskeletal. Deformitas adalah tanda yang jelas dari cidera ekstremitas mayor. TABEL 8-1 menguraikan kelainan bentuk dislokasi sendi yang umum terjadi. Tabel 8-1 DEFORMITAS UMUM PADA DISLOKASI SENDI SENDI ARAH DEFORMITAS Bahu Anterior Posterior Tampak jatuh Terkunci dalam internal rotasi Siku Posterior Olecranon tampak menonjol pada sisi posterior Panggul Anterior Ekstensi, abduksi, dan eksternal rotasi Posterior Fleksi, adduksi, dan internal rotasi Lutut Anteroposterior Hilangnya kontur normal, ekstensi Dapat tereduksi secara spontan sebelum evaluasi Pergelangan kaki Lateral adalah yang palingsering Eksternal rotasi, malleolus medialis tampak prominen Sendi subtalar Lateral adalahyang paling sering Os calcis (tulang tumit) yang bergeser ke lateral


175 Inspeksi seluruh tubuh pasien untuk mengetahui adanya luka robek dan lecet. Luka terbuka mungkin tidak terlihat jelas pada bagian punggung; oleh karena itu, lakukan logroll dengan hati-hati untuk menilai kemungkinan adanya luka yang tersembunyi. (Lihat video Logroll di aplikasi seluler MyATLS.) Setiap luka terbuka pada tungkai dengan fraktur dianggap sebagai suatu fraktur terbuka sampai dibuktikan sebaliknya oleh ahli bedah. Amati fungsi motorik ekstremitas spontan pasien untuk membantu mengidentifikasi gangguan neurologis dan/atau otot. Jika pasien tidak sadar, tidak adanya gerakan spontan dari ekstremitas dapat merupakan satu-satunya tanda gangguan fungsi. Pada pasien yang kooperatif, anggota tim trauma dapat menilai fungsi otot volunter aktif dan saraf tepi dengan meminta pasien untuk mengontraksikan kelompok otot mayor. Kemampuan untuk menggerakkan semua sendi utama melalui berbagai gerakan biasanya menunjukkan bahwa unit saraf-otot masih utuh dan sendi dalam keadaan stabil. RASAKAN Raba ekstremitas untuk menilai sensasi pada kulit (yaitu, fungsi neurologis) dan mengidentifikasi area dengan nyeri tekan, yang dapat mengindikasikan fraktur. Hilangnya sensasi nyeri dan sentuhan menunjukkan adanya cidera tulang belakang atau saraf tepi. Area nyeri tekan atau nyeri pada otot dapat mengindikasikan adanya kontusio atau fraktur. Jika nyeri, nyeri tekan, dan bengkak berhubungan dengan deformitas atau gerakan abnormal pada tulang, maka patut dicurigai adanya suatu fraktur. Jangan mencoba menimbulkan krepitus atau menunjukkan gerakan abnormal secara sengaja. Stabilitas sendi hanya dapat ditentukan dengan pemeriksaan klinis. Gerakan abnormal pada segmen sendi merupakan indikasi adanya ruptur tendon atau ligamen. Raba sendi untuk mengidentifikasi pembengkakan dan nyeri tekan pada ligamen serta cairan intraartikular. Setelah itu, penekanan yang hati-hati pada ligamen tertentu dapat dilakukan. Nyeri yang berlebihan dapat menutupi gerakan ligamen yang tidak normal akibat penjagaan sendi oleh kontraksi atau kejang otot; kondisi ini mungkin perlu dinilai kembali nanti. EVALUASI SIRKULASI Raba denyut nadi distal pada setiap ekstremitas, dan nilai pengisian ulang kapiler pada jari. Jika hipotensi membatasi pemeriksaan nadi secara digital, penggunaan pemeriksaan Doppler dapat mendeteksi aliran darah ke ekstremitas. Sinyal Doppler harus memiliki kualitas tripfasik untuk memastikan tidak adanya lesi proksimal. Hilangnya sensasi dengan distribusi glove and stocking adalah tanda awal dari suatu gangguan vaskular. Pada pasien dengan tekanan darah normal, cidera arteri dapat diindikasikan dengan perbedaan denyut nadi, rasa dingin, pucat, parestesia, dan bahkan kelainan fungsi motorik. Luka terbuka dan patah tulang yang dekat dengan arteri dapat menjadi petunjuk


176 adanya suatu cidera arteri. Dislokasi lutut dapat tereduksi secara spontan dan mungkin tidak tampak secara kasat mata ataupun secara radiologis sampai pemeriksaan fisik sendi dilakukan dan ketidakstabilan terdeteksi secara klinis. Ankle/branchial index kurang dari 0,9 mengindikasikan aliran arteri yang tidak normal akibat cidera atau suatu penyakit pembuluh darah perifer. Hematoma yang meluas dan perdarahan yang berdenyut dari luka terbuka juga mengindikasikan suatu cidera arteri. PEMERIKSAAN X-RAY Pemeriksaan klinis pada pasien dengan cidera muskulo-rangka sering kali mengindikasikan perlunya pemeriksaan X-ray. Nyeri tekan disertai dengan deformitas tulang yang terkait mengindikasikan kemungkinan besar adanya suatu fraktur. Lakukan pemeriksaan X-ray pada pasien dengan hemodinamik yang normal. Efusi sendi, nyeri tekan sendi yang abnormal, dan kelainan bentuk sendi mengindikasikan cidera sendi atau dislokasi yang juga harus dievaluasi secara radiologis. Satu-satunya alasan untuk tidak melakukan pemeriksaan X-ray sebelum menangani dislokasi atau patah tulang adalah adanya gangguan pembuluh darah atau kerusakan kulit yang akan terjadi. Kondisi ini biasanya terlihat pada fraktur dislokasi ankle (Gbr. 8-5). ■ GAMBAR 8-5 Kulit yang pucat yang pada suatu fraktur-dislokasi akan dengan cepat menyebabkan nekrosis jaringan lunak. Tujuan untuk segera mereduksi cidera ini adalah untuk mencegah pressure necrosis pada jaringan lunak pergelangan kaki bagian lateral.


177 Jika penundaan untuk melakukan pemeriksaan X-ray tidak dapat dihindari, segera reduksi atau luruskan kembali ekstremitas untuk mengembalikan suplai darah arteri dan mengurangi tekanan pada kulit. Keselarasan dari ekstremitas dapat dipertahankan dengan teknik imobilisasi yang tepat. CIDERA YANG MENGANCAM ANGGOTA GERAK Cidera ekstremitas yang dianggap berpotensi mengancam anggota gerak antara lain fraktur terbuka dan cidera sendi terbuka, cidera pembuluh darah iskemik, sindrom kompartemen, dan cidera neurologis akibat fraktur-dislokasi. FRAKTUR TERBUKA DAN CIDERA SENDI TERBUKA Patah tulang terbuka dan cidera sendi terbuka diakibatkan oleh adanya hubungan antara lingkungan luar dan tulang atau sendi (Gbr. 8-6). Otot dan kulit harus terluka agar hal ini terjadi, dan tingkat cidera jaringan lunak sebanding dengan energi yang diberikan. Kerusakan ini, bersama dengan kontaminasi bakteri, membuat patah tulang terbuka dan cidera sendi rentan terhadap masalah infeksi, penyembuhan, dan fungsi. ■ GAMBAR 8-6 Contoh patah tulang terbuka. Fraktur terbuka dancidera sendi rentan terhadap masalah infeksi, penyembuhan, dan fungsi.


178 PENILAIAN Adanya fraktur terbuka atau cidera sendi terbuka harus segera dikenali. Diagnosis fraktur terbuka didasarkan pada pemeriksaan fisik ekstremitas yang menunjukkan adanya luka terbuka pada segmen tungkai yang sama dengan fraktur yang terkait. Luka tidak boleh dimanipulasi. Dokumentasi luka terbuka dimulai pada fase prarumah sakit dilengkapi deskripsi awal cidera dan perawatan apa pun yang diberikan di tempat kejadian. Jika luka terbuka terdapat di atas atau di dekat sendi, maka harus diasumsikan bahwa cidera tersebut terhubung dengan atau memasuki sendi. Adanya cidera sendi terbuka dapat diidentifikasi dengan menggunakan CT. Adanya gas intraartikular pada CT pada ekstremitas yang terkena sangat sensitif dan spesifik untuk mengidentifikasi adanya suatu cidera sendi terbuka. Jika CT tidak tersedia, pertimbangkan untuk memasukkan larutan garam atau pewarna ke dalam sendi untuk menentukan apakah rongga sendi berkomunikasi dengan luka. Jika dicurigai adanya sendi yang terbuka, mintalah konsultasi dengan ahli bedah ortopedi, karena eksplorasi bedah dan debridemen mungkin diindikasikan. MANAJEMEN Keputusan manajemen harus didasarkan pada riwayat lengkap kejadian dan penilaian cidera. Berikan antibiotik intravena untuk semua pasien dengan fraktur terbuka sesegera mungkin dengan dosis sesuai berat badan. Sefalosporin generasi pertama diperlukan untuk semua pasien dengan fraktur terbuka (TABEL 8-2). Penundaan pemberian antibiotik lebih dari tiga jam terkait dengan peningkatan risiko infeksi.


179 Tabel 8-2 Panduan dosi berbasis berat badan berdasarkan berat badan FRAKTUR TERBUKA SEFALOSPOR IN GENERASI PERTAMA (CAKUPAN GRAM POSITIF) CEFAZOLIN JIKA ALERGI PENISILIN ANAFILAK SIS(BUKAN SEFALOSPO RIN GENERASI PERTAMA) KLINDAMISIN AMINOGLIKO SIDA (CAKUPAN GRAM NEGATIF) GENTAMISIN PIPERASILI N/ TAZOBAKT AM (SPEKTRUM LUASGRAM POSITIF DAN NEGATIF) Luka <1 cm; <50 kg: 1 gram Q 8 jam <80 kg: 600 mg Q 8 jam minimal con- 50-100 kg: 2 gram Q 8 jam >80 kg: 900 mg Q 8 jam taminasi atau lunak >100 kg: 3 gram Q 8 jam kerusakan jaringan Luka 1-10 cm; <50 kg: 1 gram Q 8 jam <80 kg: 600 mg Q 8 jam lembut sedang 50-100 kg: 2 gram Q 8 jam >80 kg: 900 mg Q 8 jam kerusakan jaringan; >100 kg: 3 gram Q 8 jam kominusi dari patah tulang Kerusakan <50 kg: 1 gram Q 8 jam <80 kg: 600 mg Q 8 jam Memuat dosis di UGD: jaringan lunak 50-100 kg: 2 gram Q 8 jam >80 kg: 900 mg Q 8 jam yang parah dan >100 kg: 3 gram Q 8 jam 2,5 mg/kg untuk substansial anak (atau <50 kg) kontaminasi dengan cidera pembuluh darah terkait 5 mg / kg untuk orangdewasa (yaitu, 150-lb pt = 340mg) Luka yang terjadi di 3,375 gram Q 6 jam


180 lahan pertanian, tanah atau genangan air, terlepas dari ukuran atau tingkat keparahan luka (<100 kg) 4,5 gram Q 6 jam (>100kg) **Jika alergi penisilin anafilaksis, konsultasi kan dengan Departeme nPenyakit Menular atau Farmasi Bersihkan kontaminasi kotoran dan partikulat dari luka sesegera mungkin, dan tutup luka dengan balutan steril yang lembap. Lakukan imobilisasi yang tepat setelah mendeskripsikan luka secara akurat dengan menentukan keterlibatan jaringan lunak, status sirkulasi, dan kondisi neurologis yang terkait. Konsultasi pembedahan yang cepat sangatlah diperlukan. Pasien harus dilakukan resusitasi secara memadai dan, jika memungkinkan, hemodinamik normal dicapai. Luka kemudian dapat dilakukan debridemen, fraktur distabilisasi, dan denyut pulsasi distal dikonfirmasi. Profilaksis tetanus harus diberikan. (Lihat Imunisasi Tetanus). PITFALL PREVENTION Kegagalan memberikan antibiotik tepat waktu kepada pasien dengan fraktur terbuka • Ketahuilah bahwa resiko infeksi tinggi pada pasien dengan fraktur terbuka. • Berikan antibiotik yang sesuai dengan dosis yang sesuai dengan berat badan segera setelah dicurigai adanya suatu fraktur terbuka.


181 CIDERA VASKULAR Pada pasien yang menunjukkan insufisiensi vaskular yang terkait dengan riwayat cidera tumpul, hantaman, puntiran, atau cidera tembus atau dislokasi pada ekstremitas, dokter harus mencurigai adanya cidera vaskular. PENILAIAN Tungkai pada awalnya mungkin tampak viabel karena ekstremitas sering kali memiliki sirkulasi kolateral yang memberikan aliran darah yang memadai. Cidera vaskular non-oklusif, seperti robekan intima, dapat menyebabkan rasa dingin dan pengisian ulang kapiler yang memanjang pada bagian distal ekstremitas, serta berkurangnya denyut perifer dan ankle/branchial index yang tidak normal. Selain itu, ekstremitas distal dapat mengalami gangguan aliran darah secara total dan menjadi dingin, pucat, dan tidak berdenyut. MANAJEMEN Sangatlah penting untuk segera mengenali dan menangani ekstremitas avaskular akut. Revaskularisasi operatif dini diperlukan untuk memulihkan aliran arteri ke ekstremitas yang mengalami iskemiA. Nekrosis otot dimulai ketika ada kekurangan aliran darah arteri selama lebih dari 6 jam. Saraf mungkin lebih sensitif terhadap lingkungan yang anoksik. Jika terdapat kelainan deformitas fraktur yang terkait, tangani dengan melakukan traksi pada tungkai secara perlahan-lahan hingga memanjang, menyelaraskan kembali fraktur, dan dapat dilakukan pemasangan bidai pada ekstremitas yang cidera. Manuver ini sering kali mengembalikan aliran darah ke ekstremitas yang mengalami iskemia ketika arteri tertekuk karena pemendekan dan deformitas di lokasi fraktur. Ketika cidera arteri terkait dengan dislokasi sendi, dokter dapat mencoba melakukan manuver reduksi yang lembut. Jika tidak, dokter harus membidai sendi yang mengalami dislokasi dan mendapatkan konsultasi bedah darurat. CT angiografi dapat digunakan untuk mengevaluasi cidera pembuluh darah ekstremitas, tetapi tidak boleh menunda revaskularisasi dan hanya diindikasikan setelah berkonsultasi dengan dokter bedah. Potensi kompromi vaskular juga ada setiap kali ekstremitas yang cidera dilakukan pembidaian. Oleh karena itu, penting untuk melakukan dan mendokumentasikan pemeriksaan neurovaskular yang cermat pada ekstremitas yang cidera sebelum dan sesudah reduksi dan pemasangan bidai. Kompromi vaskular dapat diidentifikasi dengan hilangnya atau perubahan denyut nadi distal, tetapi rasa sakit yang berlebihan setelah pemasangan bidai juga harus dievaluasi. Pasien yang dilakukan pemasangan gips juga dapat menyebabkan kompromi pembuluh darah. Segera lepaskan bidai, gips, dan pembalut melingkar lainnya jika terdapat tanda- tanda kompromi pembuluh darah, lalu kaji ulang suplai pembuluh darah.


182 SINDROMA KOMPARTEMEN Sindrom kompartemen terjadi ketika tekanan di dalam kompartemen muskulofasial meningkat hingga menyebabkan iskemia dan nekrosis. Peningkatan tekanan ini dapat disebabkan oleh peningkatan volum kompartemen (misalnya, perdarahan ke dalam kompartemen atau pembengkakan setelah revaskularisasi ekstremitas yang iskemik) atau penurunan volum kompartemen (misalnya, pembalutan yang mengkonstriksi). Sindrom kompartemen dapat terjadi di mana pun otot berada di dalam ruang fascia yang tertutup. Ingat, kulit bertindak sebagai lapisan pembatas dalam keadaan tertentu. Daerah yang sering mengalami sindrom kompartemen meliputi tungkai bawah, lengan bawah, kaki, tangan, daerah gluteal, dan paha (Gbr. 8-7). GAMBAR 8-7 Sindrom Kompartemen. Kondisi ini berkembang ketika peningkatan tekanan di dalam kompartemen menyebabkan iskemia dan nekrosis. Ilustrasi penampang melintangtungkai bawah menunjukkan anatomi dan hubungan keempat kompartemen muskulofasial. Keterlambatan dalam mengenali dan menangani sindrom kompartemen merupakan bencana besar dan dapat mengakibatkan defisit neurologis, nekrosis otot, kontraktur iskemik, infeksi, penyembuhan patah tulang yang tertunda, dan kemungkinan amputasi. PENILAIAN Cidera apa pun pada ekstremitas dapat menyebabkan sindrom kompartemen. Namun demikian, cidera atau aktivitas tertentu dianggap berisiko tinggi, antara lain:


183 • Patah tulang tibia dan lengan bawah • Cidera yang dilakukan imobilisasi dengan balutan atau gips yang ketat • Crush injury yang parah pada otot • Tekanan eksternal yang terlokalisasi dan berkepanjangan pada ekstremitas • Peningkatan permeabilitas kapiler akibat reperfusi otot iskemik • Luka bakar • Olahraga yang berlebihan KOTAK 8-1 merinci tanda dan gejala sindrom kompartemen. Diagnosis dini adalah kunci keberhasilan penanganan sindrom kompartemen akut. Tingkat kesadaran yang tinggi sangatlah penting, terutama jika pasien mengalami gangguan sensoris dan tidak dapat merespons rasa sakit dengan tepat. Tidak terabanya denyut nadi distal merupakan temuan yang jarang atau muncul terlambat dan tidak diperlukan untuk mendiagnosis sindrom kompartemen. Waktu isi ulang kapiler juga tidak dapat diandalkan untuk mendiagnosis sindrom kompartemen. Kelemahan atau kelumpuhan otototot yang terlibat pada tungkai yang terkena merupakan tanda yang terlambat dan mengindikasikan kerusakan saraf atau otot. Diagnosis klinis didasarkan pada riwayat cidera dan tanda-tanda fisik, ditambah dengan indeks kecurigaan yang tinggi. Jika terdapat kelainan denyut nadi, kemungkinan cidera vaskular proksimal harus dipertimbangkan. Pengukuran tekanan intrakompartemen dapat membantu dalam mendiagnosis sindrom kompartemen jika dicurigai. Tekanan jaringan yang lebih besar dari 30 mmHg menunjukkan penurunan aliran darah kapiler, yang dapat mengakibatkan kerusakan otot dan saraf akibat anoksia. Tekanan darah juga penting: Semakin rendah tekanan sistemik, semakin rendah tekanan kompartemen yang menyebabkan sindrom kompartemen. Sindrom kompartemen adalah diagnosis klinis. Pengukuran tekanan hanya merupakan penunjang untuk membantu diagnosisnya. MANAJEMEN Sindrom kompartemen adalah kondisi yang bergantung pada waktu dan tekanan. Semakin tinggi kompartemen tekanan dan semakin lama tekanan tetap tinggi, semakin besar tingkat kerusakan neuromuskuler yang terjadi dan defisit • • • •


184 fungsional yang dihasilkan. Jika dicurigai adanya sindrom kompartemen, segera lepaskan semua pembalut, gips, dan bidai yang dipasang pada ekstremitas yang terkena dan segera lakukan konsultasi bedah. Satu-satunya penanganan untuk sindrom kompartemen adalah fasciotomi (Gbr. 8-8). Penundaan dalam melakukan fasciotomi dapat menyebabkan mioglobinuria, yang dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Segera lakukan konsultasi bedah untuk sindrom kompartemen yang dicurigai atau telah terkonfirmasi. ■ GAMBAR 8-8 Fasciotomi untuk Menangani Sindrom Kompartemen. A. Foto intraoperatif yang menunjukkan fasciotomi sindrom kompartemen ekstremitas atas akibat crush injury. B. Dekompresi pasca operasi sindrom kompartemen pada tungkai bawah, menunjukkan insisi medial. CIDERA NEUROLOGIS SEKUNDER TERHADAP FRAKTUR ATAU DISLOKASI Fraktur dan terutama dislokasi dapat menyebabkan cidera neurologis yang signifikan karena hubungan anatomis dan kedekatan saraf dengan tulang dan sendi (misalnya, kompresi saraf sciatic pada dislokasi pinggul posterior dan cidera saraf aksilaris dari dislokasi bahu anterior). Hasil fungsional yang optimal tergantung pada pengenalan dan penanganan cidera yang cepat. A


185 PITFALL PREVENTION Diagnosis sindrom kompartemen yang tertunda. • Pertahankan kecurigaan yang tinggi terhadap sindrom kompartemen pada setiap pasien yang mengalami cidera muskuloskeletal yang signifikan. • Ketahuilah bahwa sindrom kompartemen dapat sulit dikenali pada pasien dengan perubahan status mental. • Sering-seringlah mengevaluasi kembali pasien dengan perubahanstatus mental untuk mengetahui tanda-tanda sindrom kompartemen. PENILAIAN Pemeriksaan menyeluruh terhadap sistem neurologis sangat penting pada pasien dengan cidera muskuloskeletal. Penentuan gangguan neurologis adalah penting, dan perubahan progresif harus didokumentasikan. Penilaian biasanya menunjukkan kelainan bentuk ekstremitas. Penilaian fungsi saraf secara tipikal membutuhkan pasien yang kooperatif. Untuk setiap saraf perifer yang signifikan, fungsi motorik volunter dan sensasi harus dikonfirmasi secara sistematis. ■ TABEL 8-3 dan ■ TABEL 8-4 menguraikan penilaian saraf perifer pada ekstremitas atas dan ekstremitas bawah. (Lihat juga Penilaian Saraf Tepi pada Ekstremitas Atas dan Penilaian Saraf Tepi pada Ekstremitas Bawah pada aplikasi seluler MyATLS). Pengujian otot harus mencakup palpasi otot yang berkontraksi. Pada sebagian besar pasien dengan cidera multipel, pada awalnya sulit untuk menilai fungsi saraf, tetapi pemeriksaan harus terus diulang, terutama setelah kondisi pasien stabil. Penurunan Fungsi neurologis merupakan indikasi dari kompresi saraf yang terus berlanjut. Aspek terpenting dari setiap pemeriksaan neurologi adalah mendokumentasikan perkembangan temuan neurologis. Hal ini juga merupakan aspek penting dalam pengambilan keputusan pembedahan.


186 Tabel 8-3 Penilaian Saraf perifer pada ekstremitas atas SARAF MOTOR SENSASI CIDERA Ulnar Abduksi telunjuk dan jari kelingking Jari kelingking Cidera siku Median distal Kontraksi otot thenar dengan oposisi Ujung distal jari telunjuk Fraktur atau dislokasi pergelangan tangan Median, anterior interosseous Fleksi ujung indeks Tidak ada Fraktur suprakondiler pada humerus (anak-anak) Muskulokutaneus Fleksi siku Lengan bawah sisi radial Dislokasi bahu anterior Radial Ibu jari, ekstensi metocarpophalangeal jari Ruang antarjai pertama bagian dorsal Shaft humerus distal, dislokasibahu anterior Axillary Deltoid Bahu lateral Dislokasi bahu anterior, frakturhumerus proksimal Tabel 8-4 Penilaian Saraf Tepi pada Ekstremitas Bawah SARAF MOTORIK SENSASI CIDERA Femoralis Ekstensi lutut Lutut anterior Fraktur rami pubis Obturator Adduksi panggul Paha bagian medial Fraktur cincin obturator Tibialis posterior Fleksi jari kaki Telapak kaki Dislokasi lutut Superficial peroneal Eversi ankle Punggung kaki bagian lateral Fraktur neck fibula, dislokasi lutut Deep peroneal Dorsofleksi ankle/jarikaki Ruang antarjari pertama dan kedua Fraktur leher fibular, sindromkompartemen Sciatic nerve Dorsofleksi ankle atau plantarfleksi Kaki Dislokasi pinggul posterior Superior gluteal Abduksi panggul Bokong bagian atas Fraktur asetabulum Inferior gluteal Ekstensi panggul gluteus maximus Bokong bagian bawah Fraktur asetabulum


187 MANAJEMEN Reduksi dan lakukan pembidaian pada fraktur. Dokter yang berkualifikasi dapat mencoba untuk melakukan reduksi dislokasi dengan hati-hati, setelah itu fungsi neurologis harus dievaluasi kembali dan dilakukan pembidaian. Jika reduksi berhasil, dokter yang merawat selanjutnya harus diberitahu bahwa sendi tersebut sebelumnya mengalami dislokasi dan berhasil direduksi. CIDERA EKSTREMITAS LAIN Cidera ekstremitas yang signifikan lainnya antara lain kontusio dan laserasi, cidera sendi, dan patah tulang. KONTUSIO DAN LASERASI Cermati kontusio dan/atau laserasi sederhana untuk menyingkirkan kemungkinan cidera vaskular dan/atau neurologis. Secara umum, laserasi membutuhkan debridemen dan penutupan luka. Jika laserasi meluas lebih dalam dari level fasia, mungkin diperlukan intervensi operasi untuk membedah luka secara lebih sempurna dan menilai kerusakan pada struktur di bawahnya. Kontusio biasanya dikenali dari rasa nyeri, pembengkakan lokal, dan nyeri tekan. Jika pasien menunjukkan tanda-tanda ini lebih awal, kontusio diobati dengan membatasi gerakan bagian yang cidera dan memberikan kompres dingin. Crush injury dan interal degloving bisa jadi tidak terlihat dan harus dicurigai bergantung pada mekanisme cidera. Pada crush injury, devaskularisasi dan nekrosis otot dapat terjadi. Avulsi jaringan lunak dapat melepaskan kulit dari fasia dalam, sehingga memungkinkan terjadinya akumulasi darah yang signifikan di dalam rongga yang dihasilkan (lesi Morel-Lavallée). Selain itu, kulit dapat juga kehilangan suplai darah dan mengalami nekrosis setelah beberapa hari. Area ini mungkin terlihat lecet atau memar pada kulit di atasnya, yang merupakan pertanda tingkat kerusakan otot yang lebih parah dan potensi sindrom kompartemen atau crush syndrome. Cidera jaringan lunak ini paling baik dievaluasi dengan mengetahui mekanisme cidera dan dengan meraba komponen spesifik yang terlibat. Pertimbangkan untuk mendapatkan konsultasi bedah, karena drainase atau debridemen mungkin diindikasikan. Risiko tetanus meningkat pada luka yang berumur lebih dari 6 jam, kontusio atau laserasi, dengan kedalaman lebih dari 1 cm, luka akibat proyektil berkecepatan tinggi, luka akibat luka bakar atau kedinginan, dan luka yang terkontaminasi secara signifikan, terutama luka dengan jaringan yang mengalami denervasi atau iskemik (Lihat Imunisasi Tetanus). CIDERA SENDI DAN LIGAMEN Ketika sebuah sendi mengalami cidera ligamen yang signifikan tetapi tidak terjadi dislokasi, cidera tersebut biasanya tidak mengancam anggota tubuh. Namun demikian, diagnosis dan penanganan yang cepat penting untuk mengoptimalkan fungsi anggota tubuh.


188 PENILAIAN Pada cidera sendi, pasien biasanya melaporkan adanya gaya yang tidak normal pada sendi, misalnya, benturan pada bagian anterior tibia yang menimbulkan subluksasi ke arah posterior, benturan pada sisi lateral kaki yang menyebabkan gaya valgus pada lutut, atau jatuh dengan posisi tangan terjulur yang menyebabkan hiperekstensi siku. Pemeriksaan fisik umumnya menunjukkan adanya nyeri tekan di seluruh bagian sendi yang terkena. Biasanya ditemukan hemarthrosis kecuali kapsul sendi terganggu dan perdarahan menyebar ke jaringan lunak. Pemeriksaan ligamen secara pasif pada sendi yang terkena umunnya menunjukkan ketidakstabilan. Pemeriksaan X-ray biasanya tidak menunjukkan adanya kelainan, meskipun beberapa fraktur avulsi kecil dari insersi ataupun origo dari ligamen dapat terlihat dalam pemeriksaan radiografi. MANAJEMEN Lakukan imobilisasi pada sendi yang mengalami cidera, dan lakukan pengkajian ulang secara serial status vaskular dan neurologis ekstremitas distal dari cidera. Dislokasi lutut sering kali kembali ke posisi yang mendekati posisi anatomis dan mungkin tidak terlihat jelas pada saat pemeriksaan. Pada pasien dengan cidera lutut multi-ligamen, dislokasi mungkin terjadi dan menyebabkan tungkai berisiko mengalami cidera neurovaskular. Konsultasi bedah biasanya diperlukan untuk stabilisasi sendi. FRAKTUR Fraktur didefinisikan sebagai diskontinuitas korteks tulang. Fraktur dapat disertai dengan gerakan abnormal, cidera jaringan lunak, krepitasi tulang, dan nyeri. Fraktur dapar bersifat terbuka atau tertutup. PENILAIAN Pemeriksaan pada ekstremitas biasanya menunjukkan nyeri, bengkak, deformitas, nyeri tekan, krepitasi, dan gerakan abnormal pada lokasi fraktur. Evaluasi untuk krepitus dan gerakan abnormal akan terasa menyakitkan dan dapat meningkatkan kerusakan jaringan lunak. Manuver ini jarang diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan tidak boleh dilakukan secara rutin atau berulang-ulang. Pastikan untuk menilai kembali status neurovaskular anggota tubuh yang mengalami fraktur secara berkala, terutama jika terpasang bidai. Foto X-ray yang diambil pada sudut yang tegak lurus satu sama lain dapat mengkonfirmasi temuan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik (Gbr. 8-9). Tergantung pada status hemodinamik pasien, pemeriksaan X-ray mungkin perlu ditunda sampai pasien stabil. Untuk menyingkirkan adanya dislokasi yang tidak terlihat jelas dan cidera lain terkait, foto X-ray harus memperlihatkan sendi di atas dan di bawah lokasi fraktur yang dicurigai.


189 ■ GAMBAR 8-9 Foto X-ray yang diambil pada sudut yang tegak lurus satu sama lain mengkonfirmasi temuan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik fraktur. A. Pencitraan AP dari tulang femur distal. B. Pencitraan lateral femur distal. X-ray yang layak pada cidera tulang panjang harus mencakup dua tampilan ortogonal, dan seluruh tulang harus divisualisasikan. Dengan demikian, gambar saja tidak akan memadai. MANAJEMEN Imobilisasi harus mencakup sendi di atas dan di bawah dari fraktur. Setelah pembidaian, pastikan untuk menilai kembali status neurologis dan vaskular ekstremitas. Konsultasi bedah diperlukan untuk penanganan lebih lanjut. PRINSIP IMOBILISASI Kecuali terkait dengan cidera yang mengancam jiwa, pembidaian pada cidera ekstremitas biasanya dapat dilakukan saat survei sekunder. Namun, semua cidera tersebut harus dilakukan pembidaian sebelum pasien dipindahkan. Periksalah status neurovaskular ekstremitas sebelum dan sesudah pemasangan bidai atau meluruskan fraktur. FRAKTUR FEMUR Fraktur femur diimobilisasi sementara dengan bidai traksi (lihat ■ GAMBAR 8-3; lihat juga video Bidai Traksi di aplikasi seluler MyATLS). Gaya bidai traksi diberikan di distal yaitupada pergelangan kaki. Di proksimal, penyangga didorong ke dalam lipatan gluteal untuk memberikan tekanan pada bokong, perineum, dan selangkangan. Traksi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan kulit kaki, pergelangan kaki, dan perineum. Karena gangguan neurovaskular juga dapat terjadi akibat penggunaan bidai traksi, dokter harus menilai status neurovaskular tungkai sebelum dan sesudah penggunaan bidai. Jangan gunakan traksi jika terdapat fraktur diafisis tibia ipsilateral. Fraktur panggul dapat diimobilisasi A


190 A dengan cara yang sama dengan bidai traksi, tetapi lebih cocok diimobilisasi dengan traksi kulit atau foam boot traction dengan lutut sedikit fleksi. Metode pembidaian sederhana lainnya adalah dengan mengikatkan kaki yang cidera ke kaki sisi berlawanan. CIDERA LUTUT Penggunaan alat imobilisasi lutut komersial atau bidai Plaster of Paris kaki panjang pada bagian posterior efektif dalam menjaga kenyamanan dan stabilitas. Jangan melakukan imobilisasi lutut dalam posisi ekstensi penuh, tetapi pada sekitar 10 derajat fleksi untuk mengurangi ketegangan pada struktur neurovaskular. FRAKTUR TIBIA Imobilisasi fraktur tibia dilakukan untuk meminimalkan rasa sakit dan cidera jaringan lunak lebih lanjut serta mengurangi risiko sindroma kompartemen. Jika tersedia, lebih disarankan untuk menggunakan bidai plester yang mengimobilisasi paha bawah, lutut, dan pergelangan kaki. FRAKTUR ANKLE Fraktur ankle dapat diimobilisasi dengan bidai yang empuk, sehingga dapat mengurangi rasa sakit sekaligus menghindari penekanan pada bagian tulang yang menonjol (Gbr. 8-10). GAMBAR 8-10 P e m b i d a i a n pada fraktur pergelangan kaki. Perhatikan penggunaan bantalan yang ekstensif dengan bidai posterior dan sugartong. A. Bidai plester posterior dan sugartong diamankan pada tempatnya dengan balutan perban elastis. B. Bidai yang sudah terpasang.


191 Tangan dapat dibidai sementara dalam suatu posisi anatomis, fungsional dengan pergelangan tangan sedikit dorsifleksi dan jari-jari ditekuk dengan lembut dengan sudut 45 derajat pada sendi metakarpofalangeal. Posisi ini biasanya dilakukan dengan mengimobilisasi tangan secara perlahan di atas gulungan kain kasa yang besar dan menggunakan bidai lengan pendek. Lengan bawah dan pergelangan tangan diimobilisasi rata pada bidai empuk atau bantal. Siku biasanya diimobilisasi dalam posisi fleksi, baik dengan menggunakan bidai empuk atau dengan imobilisasi langsung pada tubuh menggunakan perangkat sling and swath. Lengan atas dapat diimobilisasi dengan membebatnya ke tubuh atau menggunakan sling atau swath, yang dapat dilengkapi dengan perban torakobrachial. Cidera bahu ditangani dengan alat sling and swath atau jenis pembalut kait dan lingkaran. MANAJEMEN NYERI Penggunaan bidai yang tepat secara signifikan mengurangi ketidaknyamanan pasien dengan mengontrol gerakan yang terjadi di lokasi cidera. Jika rasa sakit tidak berkurang atau kambuh lagi, bidai harus dilepas dan anggota tubuh diperiksa lebih lanjut. Analgesik diindikasikan untuk pasien dengan cidera sendi dan patah tulang. Pasien yang tampaknya tidak mengalami nyeri yang signifikan atau ketidaknyamanan akibat patah tulang yang besar mungkin memiliki cidera terkait lainnya yang mengganggu persepsi sensorik (misalnya lesi intrakranial atau sumsum tulang belakang) atau berada di bawah pengaruh alkohol dan/atau obatobatan. Kontrol nyeri yang efektif biasanya membutuhkan pemberian narkotika, yang harus diberikan dalam dosis kecil secara intravena dan diulang sesuai kebutuhan. Berikan obat sedatif dengan hati-hati pada pasien dengan cidera ekstremitas yang terisolasi, seperti saat melakukan reduksi dislokasi. Setiap kali analgesik atau obat penenang diberikan pada pasien yang cidera, perlu diingat adanya potensi henti napas. Oleh karena itu, peralatan resusitasi yang tepat dan nalokson (Narcan) harus tersedia. Blok saraf regional berperan dalam meredakan nyeri dan reduksi patah tulang. Sangatlah penting untuk menilai dan mendokumentasikan cidera saraf tepi sebelum melakukan blok saraf. Selalu perhatikan risiko sindrom kompartemen, karena kondisi ini dapat tersamar pada pasien yang telah dilakukan blok saraf. PITFALL PREVENTION Penggunaan traksi pada ekstremitas dengan fraktur tibia/fibula dapat mengakibatkan cidera neurovaskular. • Hindari penggunaan traksi pada ekstremitas dengan fraktur femur disertai fraktur tibia/fibula. • Gunakan backslab kaki panjang dengan tambahan bidai sugartong untuk kaki bagian bawah.


192 CIDERA TERKAIT Karena mekanismenya yang sama, cidera muskuloskeletal tertentu sering kali berhubungan dengan cidera lain yang tidak segera terlihat atau mungkin terlewatkan (■ TABEL 8-5). Tabel 8-5 Juri muskuloskeletal: Juriyang tidak hadir atau yang membantu CIDERA CIDERA YANG TERLEWAT/TERKAIT • Fraktur klavikula • Fraktur skapula • Fraktur dan/ataudislokasi bahu • Cidera toraks mayor, terutama kontusio pulmonum dan fraktur costae • Disosiasi skapulotorakik • Fraktur/dislokasisiku • Cidera arteri brakialis • Cidera saraf median,ulnaris, dan radial • Fraktur tulang paha • Fraktur kolum femur • Cidera ligamen lutut • Dislokasi panggul posterior • Dislokasi lutut posterior • Fraktur femur • Dislokasi panggul posterior • Dislokasi lutut • Displaced tibial plateau • Cidera arteri poplitea dan saraf • Fraktur kalkaneus • Cidera tulang belakang atau fraktur • Fraktur-dislokasi talus dan kalkaneus • Fraktur tibial plateau • Fraktur terbuka • 70% disertai dengan cidera non-skeletal


193 Langkah-langkah untuk memastikan diagnosis dan penanganan cidera ini meliputi: 1. Tinjau kembali riwayat cidera, terutama mekanisme cidera, untuk menentukan apakah ada cidera lain. 2. Periksa kembali semua ekstremitas secara menyeluruh, dengan perhatian khusus pada tangan, pergelangan tangan, kaki, dan sendisendi di atas dan di bawah patah tulang dan dislokasi. 3. Periksa punggung pasien secara visual, termasuk tulang belakang dan panggul. 4. Dokumentasikan cidera terbuka dan cidera jaringan lunak tertutup yang mungkin mengindikasikan cidera yang tidak stabil. 5. Tinjau kembali X-ray yang diperoleh dalam survei sekunder untu mengidentifikasi cidera ringan yang mungkin terkait dengan trauma yang lebih berat. CIDERA SKELETAL TERSEMBUNYI Tidak semua cidera dapat didiagnosis selama pemeriksaan awal. Sendi dan tulang yang tertutup atau terlindungi dengan baik oleh otot mungkin saja mengalami cidera yang tersembunyi. Mungkin sulit untuk mengidentifikasi fraktur yang tidak terlihat atau cidera ligamen sendi, terutama jika pasien tidak responsif atau mengalami cidera parah lainnya. Faktanya, cidera biasanya ditemukan beberapa hari setelah kejadian - misalnya, ketika pasien sedang dimobilisasi. Oleh karena itu, sangat penting untuk menilai ulang pasien berulang kali dan berkomunikasi dengan anggota tim trauma lainnya dan keluarga pasien tentang kemungkinan adanya cidera tulang yang tersembunyi. PITFALL PREVENTION Cidera tersembunyi mungkin tidak teridentifikasi selamapenilaian primer atausurvei sekunder. • Catat data pasien dan lepaskan semua pakaian untuk memastikan evaluasi yang lengkap dan menghindari cidera yang terlewatkan. • Ulangi pemeriksaandari ujung kepala hingga ujung kaki setelah pasien stabil untuk mengidentifikasi cidera tersembunyi.


Click to View FlipBook Version