The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Melanie Dwi Arofati, 2024-02-05 23:02:24

Hasil Modul FIX

Hasil Modul FIX

94 Tabel 3. Algoritma trauma tumpul abdomen dengan cedera liver pada kasus hemodinamik tidak stabil dikutip dari Mattox trauma edisi 9. Tatalaksana inisial terpenting pada kasus cedera liver adalah kompresi manual dengan kassa besar. Manual kompresi pada cedera dapat mengurangi perdarahan, dan memberikan waktu kepada tim anestesi untuk menyiapkan resusitasi, menyiapkan massive transfusion protocol untuk mengejar tranfusi karena kehilangan darah. Manuver hemostasis yang paling sering digunakan sebagai metode “bailout” pada tindakan damage control adalah packing perihepatik. Pack diletakan untuk melakukan kompres liver untuk menekan perdarahan di antara dinding dada, diafragma, dan retroperitoneum. Menurut penelitian, disarankan packing dipertahankan antara 36 sampai 72 jam. Hal ini didasarkan temuan bahwa kasus re packing lebih tinggi pada pack yang dilepas setelah 24 jam dibanding 48 jam. Sedangkan hasil temuan lain, pack yang dilepas setelah 72 jam memiliki angka kejadian sepsis perihepatis sebesar 83% dibanding yang dilepas sebelum 72 jam yang hanya 27%. Laserasi liver derajat III atau IV seringkali tidak berespon hanya dengan pack. Sehingga dapat juga dilakukan Tindakan penjahitan laserasi liver dengan benang 0 kromik jarum tumpul. Tindakan ini disarankan dilakukan pada laserasi dengan kedalaman maksimal 3 cm, untuk menghindari mengenai jaringan vaskuler yang lain atau duktus bilier.


95 Kondisi cedera yang berat sering tidak dapat ditangani dengan penjahitan, sehingga bisa dilakukan finger fracture, yaitu melakukan ekstensi pada daerah laserasi liver dengan jari hingga sumber perdarahan terlihat. Setelah sumber terlihat, dapat dilakukan ligasi atau jahit primer pada parenkim. Teknik lain yang juga bisa dilakukan adalah omental packing. Teknik ini dapat menutup laserasi pada liver dan bisa digunakan bersamaan dengan teknik yang lain. Gambar 4. Berikut ini adalah gambaran dari tindakan clipping pada pembuluh darah, penggunaan spons dan pisau untuk membuat fraktur pada parenkim, dan repair dari cedera pada vaskuler dikutip dari Mattox trauma edisi 9.


96 Trauma limpa: Tata laksana trauma limpa tetap mengikuti prinsip ABC trauma, dengan beberapa hal yang menjadi pertimbangan: 1. Selalu pikirkan adanya cedera lain bila ditemukan ada cedera limpa dari CT Scan. Cedera ogan pencernaan lain sangat sering terjadi. 2. Saat melakukan operasi pada pasien trauma limpa, penting untuk melihat organ lain yang mungkin terjadi, seperti pada daerah diafragma kiri atau pankreas. 3. Saat memobilisasi limpa, mobilisasi pankreas ke medial sehingga dapat melihat hilum limpa lebih jelas. 4. Walau mayoritas pasien dengan ruptur limpa sembuh dengan terapi non operatif, tetap ada sebagian pasien yang memerlukan laparotomi dan splenektomi. Focus Assesment Sonography of Trauma (FAST), menjadi modalitas paling penting dan yang menjadi pilihan utama pada pasien dengan trauma tumpul abdomen. FAST menjadi penting untuk melihat hemoperitoneum pada pasien trauma abdomen dengan hemodinamik tidak stabil, dan menjadi penanda butuhnya imaging tambahan pada trauma abdomen dengan hemodinamik stabil. Tapi FAST tetap punya kelemahan yaitu cedera yang kecil atau hanya hematom subkapsuler tidak dapat dilihat dengan FAST. Sehingga FAST hanya melihat apakah ada cairan bebas atau tidak. CT Scan abdomen menjadi pemeriksaan penunjang yang paling sering digunakan pada kasus trauma limpa dengan terapi konservatif. CT scan yang dilakukan adalah dengan kontras dan dual phase imaging. Fase arteri untuk melihat apakah ada pseudoaneurisma, dan fase vena untuk melihat apakah ada perdarahan aktif dan cedera parenkim.


97 Tabel 4. Algoritma trauma tumpul abdomen dengan cedera limpa pada kasus hemodinamik tidak stabil dikutip dari Mattox trauma edisi 9. Skala derajat trauma limpa dapat dilihat dari hasil CT scan dengan pembagian dari American Association for The Surgery of Trauma (AAST). Terdapat 3 patokan kriteria berdasarkan imaging, temuan durante operatif, dan temuan patologis.


98 Tabel 5. Derajat cedera pada limpa dikutip dari Mattox trauma edisi 9. Tata laksana non operatif memang menjadi pilihan pada mayoritas kasus trauma limpa, walau pada beberapa kasus dipilih tindakan segera. Bahkan di beberapa studi, angka tindakan splenektomi mencapai 40% dari kasus trauma limpa. Tindakan monitoring ketat harus dilakukan. Hingga saat ini belum ada angka pasti berapa lama, tapi dari banyak senter perawatan melakukan perawatan ketat 24 – 72 jam, termasuk pemeriksaan darah berkala. Sedangkan untuk bed rest sendiri sudah mulai ditinggalkan karena walau secara teoritis membantu mempercepat penyembuhan, tetapi hanya ada bukti evidence yang sangat sedikit bila bed rest memberikan perbedaan yang nyata. Pemberian vaksin juga perlu dipertimbangkan terutama pada pasien dengan risiko tinggi. Vaksin yang diberikan bisa untuk vaksin terhadap Streptococcus, H. influenza, atau golongan kuman meningokokus. Tapi angka efektifitas nya sulit dinilai karena angka kejadian infeksi post splenektomi yang rendah. Studi multi institusi memberikan data bahwa pasien dengan trauma limpa dirawat dalam jangka waktu 6-8 hari setelah cedera. Tapi banyak juga institusi lain yang merawat lebih dari itu untuk melihat apakah ada perdarahan yang tertunda. Hanya saja memang dilakukan secara terbatas karena memang berhubungan juga dengan jaminan pembiayaan dan asuransi. Karena itu penting sekali untuk melihat faktor


99 yang ada seperti apakah tempat tinggal pasien dekat dengan layanan kesehatan, apakah ada yang menemani, dan kesadaran pasien akan gejala yang mungkin timbul. Pasien yang dirasa tidak memiliki kemampuan atau akses menuju pelayanan kesehatan secara cepat apabila gejala dirasa memburuk, dapat dirawat lebih lama untuk observasi. Komplikasi tersering dari trauma limpa adalah perdarahan yang terjadi secara kontinyu. Pada kondisi ini seringkali menyebabkan hemodinamik tidak stabil sehingga perlu tindakan. Terdapat 10% kasus yang diketahui terjadi 1 minggu setelah kecelakaan. Perdarahan yang terjadi secara cepat dapat terlihat dari hemodinamik, tapi perdarahan yang terjadi secara lambat hanya dapat dilihat dari hematokrit yang menurun secara perlahan. Sehingga perlu observasi monitoring kapan dilakukan intervensi pembedahan. Komplikasi lain yang bisa terjadi adalah adanya cedera dari usus atau dari pankreas yang tidak terdeteksi. Dengan FAST kita memang tidak bisa melihat cedera tersebut. Bahkan dengan CT Scan terkadang dapat sulit dilihat apakah ada cedera pankreas atau usus halus. Sehingga hal ini bisa menyebabkan penundaan dilakukan laparotomi pada kasus dimana perlu tindakan operasi. Trauma lambung dan usus halus : Pada kasus trauma penetrasi, penegakan diagnosis pada cedera gaster dan usus halus adalah melalui tindakan laparotomi. Karena pasien dengan cedera penetrasi, maka usus halus sangat beresiko alami cedera. Temuan adanya darah pada NGT dan foto adanya udara bebas pada foto ronsen abdomen juga mengindikasikan adanya cedera rongga berongga.Pada kasus trauma tumpul, angka kejadian cedera organ berongga agak jarang. Berkisar 1,5 – 3 % dari angka kejadian. 90% kasus adalah perforasi pada usus halus. Trauma tumpul pada lambung sangat jarang, dan terjadi hanya karena energi yang sangat besar, misalkan pejalan kaki ditabrak oleh truk. Lambung memiliki dinding yang tebal dan relatif tahan terhadap trauma tumpul, hanya saja beberapa faktor dapat menjadi penyebab cedera, misalkan lambung dalam keadaan penuh, cedera di sisi kiri tubuh, atau penggunaan seat belt yang salah. Pada kasus cedera usus halus, ada beberapa mekanisme yang menyebabkan terjadinya cedera. Terhantamnya usus oleh tulang belakang, shearing force akibat gaya deselerasi yang tiba - tiba, dan peningkatan tekanan yang tiba tiba di intra abdomen menyebabkan kebocoran usus akibat pseudo closed akibat perubahan tekanan. CT Scan abdomen menjadi modalitas pada kasus pasien. Walau pada FAST akan menggambarkan adanya cairan bebas, pasien dengan hemodinamik yang stabil dapat dilakukan CT scan abdomen untuk melihat kemungkinan cedera organ berongga. Temuan yang mengarah ke kecurigaan cedera organ berongga adalah : 1. Fat stranding 2. Hematom pada mesenterium 3. Udara pada ekstra lumen 4. Penebalan dinding luman ( > 4 mm) 5. Kontur usus yang abnormal 6. Adanya cairan bebas tanpa cedera pada organ solid Pemeriksaan laboratorium tidak memiliki manfaat pada kasus cedera pada gaster maupun usus halus. Tapi pada kondisi tertentu, pada


100 cedera organ padat, adanya takikardi atau hipotensi yang tidak jelas penyebabnya dengan adanya leukositosis dan peningkatan amilase dan apalagi bila disertai dengan metabolik asidosis dapat membantu mengarahkan ke kecurigaan ke arah perforasi organ berongga. Evaluasi dengan laparoskopi saat ini terus dibahas apakah dapat menjadi tindakan untuk kasus trauma abdomen. Pada kasus dengan hemodinamik stabil, laparoskopi dapat membantu untuk menghindari terjadinya laparotomi yang tidak diperlukan terutama pada kasus kecurigaan cedera diafragma atau cedera penetrasi torakoabdominal. Karena laparoskopi sendiri membutuhkan jam terbang, laparoskopi evaluasi dapat dijalankan secara tertentu pada pasien dengan adanya cairan bebas dan nyeri perut yang menetap bahkan memburuk, tapi tidak ada tanda peritonitis. Operasi pada gaster pada kondisi trauma memerlukan beberapa perhatian sejak dari ekspose awal. Insisi yang dibuat harus bisa melihat proksimal dari gaster bahkan sampai distal esofagus. Bila perlu, bisa menggunakan retraktor untuk mempermudah ekspose. Penggunaan NGT untuk dekompresi juga akan mempermudah ekspose gaster. Jangan lupa juga untuk melakukan evaluasi dinding posterior, dengan cara paling mudah adalah membuka omentum gastrokolika di daerah avaskuler sepanjang antrum atau corpus gaster. Pada tindakan usus halus, penting untuk melakukan evaluasi menyeluruh sejak ligamentum treitz hingga katup ileosekal. Adanya adhesi harus dibebaskan untuk memudahkan melakukan pengecekan. Usus halus digeser semua ke sisi kanan abdomen untuk dilakukan evaluasi, termasuk cek dan kontrol bila ada perdarahan mesenterium. Pada trauma tumpul, cedera usus halus sangat sering berhubungan dengan hematom dan perdarahan mesenterium sehingga manuver untuk evaluasi ini sangat penting.


101 BAB 9 Trauma Kepala dan Manajemen Airway pada Trauma Maxillofacial


102 PENDAHULUAN Trauma kepala adalah gangguan struktur pada kepala yang meliputi scalp, tulang tengkorak, selaput dan parenkim otak dengan atau tanpa disertai gangguan fungsi neurologis yang disebabkan oleh gaya dari luar baik berupa benturan langsung pada kepala atau goncangan pada otak. Apabila disertai cedera otak baik secara fungsi ataupun struktural maka disebut traumatic brain injury (cedera otak traumatik). Trauma kepala merupakan trauma yang paling sering dijumpai di ruang gawat darurat. Kebayakan kasus trauma kepala termasuk kategori cedera otak ringan sekitar 75%, cedera otak sedang sekitar 15% dan cedera otak berat sekitar 10%. Ada sekitar 56- 60% dari pasienpasien dengan GCS score ≦ 8 akan mempunyai satu atau lebih cedera organ lain. 25% mempunyai lesi masa yang perlu evakuasi. Ada 4-5% terjadinya fraktur spinal. Outcome pada penanganan trauma kepala selain bergantung pada beratnya cedera, adanya cedera sistemik dan usia juga sangat bergantung pada kualitas penanganan awal dan pada kecepatan pasien mendapatkan terapi atau tindakan definitif, agar dapat mencegah terjadinya cedera otak sekunder. Oleh karena itu peran dokter spesialis dan maupun PPDS yang terlibat dalam tim trauma sangat besar. Untuk itu diperlukan strategi penatalaksanaan atas dasar praktek klinis dan ilmu-ilmu dasar. Pada bab ini akan disajikan berbagai hal termasuk klasifikasi, patofisiologi, pemeriksaan fisik dan penunjang, penatalaksanaan awal dan definitive termasuk medis dan operatif pada trauma kepala. Algoritma umum dalam penatalaksanaan trauma kepala ditunjukkan pada tabel 1. Tabel 1. Step-step manajemen cedera kepala (cedera otak traumatik) Manajemen Cedera Kepala sebelum dan saat di IGD bedasarkan kategori GCS skor. EPIDEMIOLOGI Cedera kepala merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting dengan estimasi kejadian pertahun hampir 500 dari 100.000 populasi dan lebih dari 200 per 100.000 pasien rawat inap di Eropa setiap tahunnya (Styrke et al., 2007). Cedera kepala merupakan kondisi klinis yang heterogen baik penyebab, patologi, keparahan dan prognosisnya. Outcome dapat bervariasi terutama pada cedera kepala berat. Tingkat mortalitas cedera kepala berat diteliti oleh Coronado et al. (2011), selama tahun 1997-2007 di Amerika Serikat rata-rata BAB 9. Trauma Kepala dan Manajemen Airway pada Trauma Maxillofacial Triage


103 setiap tahun terdapat 53.014 kasus kematian akibat cedera kepala berat atau sekitar 18,4 dari 100.000 populasi. Kematian akibat cedera kepala berat merupakan masalah kesehatan masyarakat yang besar. Kematian akibat cedera kepala berat hampir sepertiga dari kematian akibat trauma pada umumnya (CDC, 2010). Di USA kejadian cedera otak traumatika setiap tahun diperkirakan mencapai 500.000 kasus dan 10% diantaranya meninggal sebelum sampai di rumah sakit. 80% dari penderita yang sampai di rumah sakit dikelompokkan sebagai cedera otak traumatika ringan, 10% termasuk cedera otak traumatika sedang dan 10% sisanya adalah cedera otak traumatika berat. Lebih dari 100.000 orang, menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera otak traumatika setiap tahunnya di USA (Fane et al., 2011). Di Indonesia, cedera kepala berdasarkan hasil Riskesdas 2013 menunjukkan insiden cedera kepala dengan CFR sebanyak 100.000 jiwa meninggal dunia (Depkes RI, 2013). Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden yaitu pada kelompok umur 15-24 tahun (11,7%), laki-laki (10,1%), pendidikan tamat SMP/MTS (9,1%), yang tidak bekerja atau bekerja sebagai pegawai (8,4% persen), bertempat tinggal di perkotaan (8,7%) (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013). ANATOMI DAN FISIOLOGI Tengkorak terdiri dari bagian dalam dan luar yang ditutupi oleh lima lapisan kulit kepala dengan suplai pembuluh darah yang kompleks dan kaya: kulit, jaringan subkutan, galea aponeurotika, jaringan areolar yang longgar, dan periosteum. Yang melekat kuat pada bagian dalam tengkorak adalah dura mater, lapisan luar dari ketiganya meninges. Di antara lapisan dalam dan dura terdapat ruang epidural yang berisi kompleks arteri. Di dalam dura mater terdapat ruang subdural yang berisi pembuluh darah penghubung dan sinus vena besar. Di bawah ruang subdural terdapat arachnoid, lapisan tengah meninges, dan pia mater, lapisan meningeal internal yang melekat erat pada otak. Ruang subarachnoid, yang terletak di antara arachnoid dan pia mater, berisi cairan serebrospinal (CSF). Secara ringkas dapat dilihat pada gambar 1 dan 2 Trauma kepala merujuk pada cedera apa pun yang terjadi pada kepala, mulai dari gegar otak ringan hingga cedera otak traumatik berat (TBI). Memahami anatomi kepala sangat penting untuk memahami konsekuensi potensial dari trauma kepala. Berikut ini adalah tinjauan singkat tentang anatomi yang relevan (tabel 2).


104 Tabel 2. Anatomi Otak Tengkorak Tengkorak adalah struktur tulang yang melindungi otak. Tengkorak terdiri dari beberapa tulang, termasuk tulang frontal, tulang parietal, tulang temporal, tulang oksipital, tulang sfenoid, dan tulang etmoid. Tengkorak menyediakan pembungkus yang kaku untuk otak, tetapi rentan terhadap patah tulang saat terjadi trauma. Otak Otak adalah organ pusat dari sistem saraf dan dibagi menjadi beberapa bagian, termasuk otak besar, otak kecil, dan batang otak. Otak besar bertanggung jawab atas fungsi kognitif yang lebih tinggi, pemrosesan sensorik, dan kontrol motorik. Otak kecil memainkan peran penting dalam koordinasi dan keseimbangan. Batang otak mengontrol fungsi vital seperti pernapasan, detak jantung, dan refleks dasar. Meninges: Otak diselimuti oleh tiga lapisan pelindung yang disebut meninges: dura mater, arachnoid mater, dan pia mater. Lapisan-lapisan ini membantu melindungi otak dan memberikan penghalang terhadap infeksi. Cairan Serebrospinal (CSF): CSF adalah cairan jernih yang mengelilingi otak dan sumsum tulang belakang. Cairan ini memberikan daya apung dan bantalan pada otak, sehingga mengurangi risiko cedera selama aktivitas normal. Pembuluh Darah: Otak disuplai dengan darah oleh arteri karotis internal dan arteri vertebralis. Gangguan aliran darah ke otak dapat menyebabkan konsekuensi yang serius, termasuk iskemia dan kematian sel. Saraf Kranial: Terdapat 12 pasang saraf kranial yang muncul dari otak dan batang otak. Saraf ini mengontrol berbagai fungsi, termasuk fungsi sensorik dan motorik kepala dan leher Gambar 1. Ikhtisar anatomi kepala


105 Gambar 2. Selaput otak melindungi otak dan terdiri dari 3 lapisan : duramater, arachnoid dan pia mater Tinjauan fisiologis terhadap trauma kepala melibatkan pemahaman dampak cedera tersebut terhadap berbagai sistem tubuh, terutama sistem saraf dan kardiovaskular. Trauma kepala dapat menyebabkan serangkaian respons fisiologis, mulai dari reaksi langsung hingga konsekuensi jangka panjang. Berikut ini adalah ikhtisarnya (tabel 3)


106 Tabel 3. Ringkasan respon fisiologi cedera otak Immediate Physiological Responses Perubahan Aliran Darah Otak: Trauma kepala dapat mengganggu regulasi normal aliran darah otak, yang menyebabkan perubahan perfusi dan pengiriman oksigen ke otak. Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK): Pembengkakan, perdarahan, atau adanya lesi massa dapat meningkatkan TIK, yang berpotensi mengganggu aliran darah ke otak dan menyebabkan kerusakan lebih lanjut. Neurotransmitter Release Eksitotoksisitas: Cedera otak traumatik (TBI) dapat menyebabkan pelepasan neurotransmiter rangsang, seperti glutamat, yang menyebabkan masuknya ion kalsium ke dalam neuron dan berkontribusi pada kerusakan dan kematian sel. Inflammatory Responses Peradangan saraf: Sebagai respons terhadap cedera, otak memulai proses inflamasi, yang melibatkan pelepasan sitokin dan aktivasi sel-sel kekebalan tubuh. Meskipun peradangan adalah respons perlindungan, peradangan yang berlebihan atau berkepanjangan dapat menyebabkan cedera otak sekunder. Hormonal Changes Hormon Stres: Trauma kepala yang parah dapat memicu pelepasan hormon stres, seperti kortisol dan katekolamin, yang dapat memengaruhi respons stres tubuh secara keseluruhan. Autonomic Nervous System Dysfunction Aktivasi Simpatis: Trauma kepala dapat menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatik, yang mengakibatkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah, dan respons stres lainnya. Cerebral Edema Edema Vasogenik: Peningkatan permeabilitas pembuluh darah di otak dapat menyebabkan penumpukan cairan di jaringan di sekitarnya, yang berkontribusi terhadap edema otak. Secondary Insults Hipoksia dan Hipotensi: Suplai oksigen yang terganggu atau tekanan darah rendah dapat memperburuk cedera otak. Mempertahankan oksigenasi dan tekanan darah yang memadai sangat penting untuk mencegah cedera sekunder. Electrolyte Imbalances Ketidakseimbangan Ion: Kerusakan sel dapat mengganggu keseimbangan ion, yang menyebabkan gangguan pada tingkat natrium, kalium, dan kalsium, yang mempengaruhi fungsi sel Coagulopathy Koagulasi Intravaskular Diseminata (DIC): Trauma kepala yang parah dapat memicu koagulopati sistemik, yang menyebabkan pembekuan darah yang tidak normal dan perdarahan Long-Term Consequences Neurodegenerasi: Efek kronis dari trauma kepala dapat mencakup proses neurodegeneratif, yang berkontribusi pada kondisi seperti ensefalopati traumatik kronis (CTE).


107 KLASIFIKASI CEDERA KEPALA Klasifikasi cedera kepala didasarkan pada beberapa hal : ATAS DASAR BERATNYA SECARA KLINIS Skor GCS dipakai untuk menilai beratnya cedera otak secara klinis. Mengacu pada ATLS, cedera kepala berdasarkan beratnya cedera otak dibagi menjadi 3 yaitu : 1. Cedera otak ringan, GCS skore 13-15 2. Cedera otak sedang, GCS skore 9-12 3. Cedera otak berat, GCS skore 3-8 Dalam menilai skor GCS bila terjadi asimetris antara kanan/kiri, atau atas/bawah maka dipakai respon motorik terbaik dalam menghitung skor, karena hal ini yang paling dapat dipercaya sebagai prediktor outcome. Adapun cara penilaian skor GCS dapat dilihat pada tabel 4 Tabel 4. Glasglow Coma Scale Pemeriksaan Nilai Buka mata ( E ) Spontan 4 Dengan perintah 3 Dengan nyeri 2 Tidak buka mata 1 Respon verbal ( V ) Orientasi baik 5 Bicara kacau 4 Kata-kata yang tidak sesuai 3 Suara yang tidak jelas 2 Tidak ada 1 Respon Motorik Terbaik (M) Mengikuti perintah 6 Melokalisasi nyeri 5 Fleksi untuk menghindari nyeri 4 Fleksi abnormal 3 Ekstensi (deserebrasi) 2 Tidak ada 1 Skor GCS = (E(4)+V(5)+M(6) = nilai terbaik 15. ATAS DASAR MORFOLOGINYA Cedera kepala dapat mencakup fraktur tulang tengkorak dan lesi intracranial seperti kontusio, hematoma, cedera difus dan adema serebri (tabel 5) Tabel 5. Klasifikasi cedera otak / cedera kepala berdasarkan morfologi Morfologi Fraktur tengkorak - Kalvaria - Linier vs stellata - Impresi / non impresi - Terbuka/tertutup - Basis kranii - Dengan/tanpa kebocoran LCS - Dengan/tanpa kelumpuhan N.VII Lesi intraranial - Fokal - Epidural - Subdural - Intraserebral - Diffus - Konkusio - Kontusio multiple - Cedera hiopksik/iskemik - Axonal injury


108 Kalvaria Fraktur kalvaria adalah terjadinya diskontinuitas dari cranium walaupun memiliki struktur yang kuat, tangguh dan memberikan proteksi yang baik bagi otak. Fraktur kalvaria dapat dibagi menjadi fraktur linier, depressed, comminuted dan diastase Fraktur linier Secara umum, tulang kranium terdiri dari 3 lapisan yaitu tabula interna, diploe dan tabula externa. Fraktur linier terjadi ketika diskontinuitas tulang dalam garis lurus tanpa adanya displacement dari tulang. Fraktur depressed Fraktur depressed terjadi Ketika diskontunuitas tulang melebihi satu tebal tulang, yaitu Ketika tabula interna masuk hingga melewati tabula externa sisi tulang sebelahnya. Fraktur tipe ini beresiko mengekspos kandungan kranium ke ruang ekstrakranial sehingga mengakibatkan infeksi dan kontaminasi Fraktur kominutif Fraktur kominutif adalah fraktur dengan diskontinuitas tulang yang terbagi menjadi beberapa fragmen terpisah (>3 segmen tulang) Fraktur diastase Fraktur diastase adalah fraktur yang terjadi pada sutura tulang, sehingga diskontinuitas tulang pada area ini menyebabkan pelebaran dari sutura. Fraktur ini lebih sering terjadi pada bayi (karena sutura belum mengalami fusi), sedangkan pada dewasa sering terjadi pada sutura lambdoid. Fraktur Basis Cranii (FBC) Tanda pasien dengan fraktur basis cranii secara klasik meliputi ekimosis periorbital, CSF rhinnorrhea atau otorrhea dan Battle’s sign. Fraktur ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan lokasinya, yaitu fraktur fossa cranii anterior, media dan posterior (gambar 3). Gangguan fungsi saraf yang terjadi tergantung dari lokasi fraktur tersebut. Fraktur fossa cranii anterior Fossa anterior adalah porsi basis cranii yang berada anterior dari sphenoid ridge. FBC pada fossa ini dapat mengganggu fungsi nervus kranialis I (olfactorius) dan II (opticus). Tampilan klinis pasien berupa bloody rhinorrhea, brill hematoma, gangguan pembauan, gangguan penglihatan dan ophtalmoplegia. .


109 Fraktur fossa cranii media Fossa media adalah porsi basis cranii yang berada diantara sphenoid hingga os temporal pars petrosa. Fraktur disini dapat mengganggu fungsi nervus kranialis VII (facialis) dan VIII (vestibulocochlearis). Tampilan klinis pasien berupa bloody otorrhea, battle’s sign, gangguan pendengaran dan keseimbangan (vertigo). Fraktur fossa crani posterior Fossa cranii posterior adalah porsi basis cranii yang berada posterior dari os temporal pars petrosa. Fraktur ini dapat mengganggu fungsi cerebellum. Tampilan klinis pasien berupa gangguan pada fungsi cerebellum sepertik gangguan koordinasi, keseimbangan postur tubuh dll. Gambar 3. Klasifikasi FBC berdasarkan lokasi fraktur, fossa anterior (area merah), fossa media (area kuning), dan fossa posterior (area biru) Lesi intrakranial fokal Beberapa lesi fokal dapat terjadi pada pasien cedera otak pada pemeriksaan CT scan kepala dapat dilihat dari gambar 4. Hematoma yang terjadi pada pasien memiliki manifestasi klinis yang khas tergantung pada lokasi terjadinya lesi. o EDH Pasien dengan EDH dapat terjadi kehilangan kesadaran setelah trauma, terdapat kondisi lucid interval dan perburukan neurologis. Presentasi klasik ini terjadi pada <20% pasien. Gejala lain adalah nyeri kepala berat, mual, muntah, letargi, dan kejang.


110 o SDH SDH dapat terjadi pada cedera otak ringan maupun berat. Gejala utama adalah nyeri kepala, mual, muntah, tidak sadar, kejang atau letargis. Pada SDH kronis dapat muncul nyeri kepala, mual muntah, kebingungan, penurunan kasadaran, letargis, defisit motorik dan afasia o SAH Klinis pada SAH adalah nyeri kepala berat yang sangat menyiksa biasa disebut thunderclap headache. Gejala lain yang dapat muncul adalah mual muntah, pusing, diplopia, kejang, penurunan kesadaran dan kaku kuduk. Dapat muncul defisit neurologis dan gangguan pada nervus kranialis o Contusio / laserasi serebri Adalah tipe cedera fokal yang ditandai dengan memar pada otak, lesi ini potensial menyebabkan hemorragic contusion atau ICH. Klinis bervariasi dari concussion sampai dengan koma. Lesi ini bisa terjadi multifokal. Bila contusio disertai robekan pada piamater maka menjadi laserasi serebri dan bila berasal dari hemorrhagic contusion maka akan menjadi laserasi dengan SDH ( Burst’s lobe) o ICH Defisit neurologis dan penurunan kesadaran secara mendadak menjadi keluhan utama yang penting pada pasien dengan ICH. Gejala lain yang dapat muncul adalah nyeri kepala, mual muntah, kejang dan peningkatan tekanan darah diastolik lebih dari 110 mmHg. Gambar 4. Tampilan Radiologis (CT scan kepala) pasien dengan hematoma


111 Lesi intrakranial diffuse Cerebral concussion Lesi ini dibagi menjadi 2 tipe yaitu 1) ringan (grade 1) tipe ini tanpa hilangnya kesadaran, amnesia kurang dari 30menit, dan dapat disertai mual, muntah, sakit kepala dan pusing. 2) klasik (grade 2) tipe ini disertai hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau amnesia antara 30menit sampai 24jam. Pada lesi ini gambaran CT scan tampak normal. Diffuse axonal injury (DAI) Lesi ini melibatkan cedera axon di cortex, corpus collosum atau brainstem, yang dapat berakibat kecacatan dan kematian pada pasien. Gejala klinis umumnya pasien datang dalam keadaan koma sejak kejadian, dan yang selamat umumnya mengalami cacat berat. Pada CT scan dapat terlihat normal atau ptechial hemorrhage pada area antara gray-white-matter, corpus callosum atau brainstem. MRI lebih sensitif menunjukkan lesi tersebut. Hypoxic – ischemic injury Lesi diffuse ini umumya karena faktor ekstrakranial seperti hipoksia atau syok. Gambaran CT scan tampak sebagai edema serebri Diffuse vascular injury Mekanisme adalah rotational akselerasi-deselerasi, seperti halnya DAI, gejala seperti DAI berat (koma). Pada CT Scan tampak sebagai ptechial hemorrhage yang dapat berkembang menjadi secondary hemorrhage. PATOFISIOLOGI CEDERA OTAK TRAUMATIK Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap, yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Cedera ini dapat berakibat pada gangguan fisiologis dan metabolik, seperti robekan maupun putusnya akson, iskemia, edema otak, dan abnormalitas elektrolit. Lesi otak yang terjadi pada cedera kepala primer dapat berupa lesi neurologis fokal maupun difus. Lesi fokal dapat diakibatkan benda tajam yang memiliki daya tembus sehingga mengakibatkan laserasi parenkim otak seperti benda asing tajam, maupun patahan tulang. Patahan tulang cranium yang menukik ke dalam ruang intrakranial atau disebut juga fraktur impresi juga dapat mengakibatkan laserasi jaringan otak


112 di samping umumnya trauma tumpul yang menyebabkan patahan itu turut mencederai otak. Sementara lesi fokal yang diakibatkan benda tumpul misalnya benturan saat kecelakaan, tinju, dan sebagainya akan menyebabkan gaya akselerasi dan deselerasi, dan rotasional. Gaya percepatan dimungkinkan karena adanya perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi padat) dan otak (substansi semi padat) sehingga sesungguhnya tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Gaya akselerasi dan deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak pada saat terjadi trauma. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan. Akselerasi dengan kecepatan tinggi dalam waktu singkat akan menyebabkan kontusio serebral dan hematom subdural. Akselerasi dengan kecepatan tinggi dalam durasi yang lebih Panjang akan menyebabkan cedera akson difus dan kerusakan pada struktur otak yang lebih dalam. Sementara gaya rotasional terjadi umumnya karena kepala pasien mengalami perputaran sebelum menumbuk benda, atau sebaliknya. Gaya akselerasi, deselerasi, dan rotasional ini akan mengakibatkan lesi fokal berupa umumnya kontusio coup, counter coup, dan lesi intermediet. Lesi kontusio “coup” adalah lesi kontusio yang ada tepat di seberang benturan sesuai arah gaya trauma yang terjadi. Sementara lesi intermedier adalah lesi jaringan otak yang ada di tengah gaya yang terjadi antara coup dan counter coup, ataupun akibat gaya rotasional. Lesi dapat berupa robekan/putusnya akson maupun perdarahan intrakranial. Lesi kontusio atau perdarahan intrakranial dapat tampak pada gambaran pencitraan CT Scan atau MRI otak apabila terjadi benturan cukup berat. Kontusio adalah suatu lesi yang berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada duramater. Pada gambaran pencitraan sering disebut gambaran “salt and pepper”, yang menandakan “salt” adalah lesi kecil-kecil hiperdens yang berasal dari perdarahan pembuluh darah kecil di daerah kontusio tersebut, sementara “pepper” ada;ah lesi hipodens di sekitar lesi hiperdens yang berasal dari edema jaringan otak pada daerah kontusio tersebut. Pada benturan yang lebih ringan, sebenarnya tetap terjadi kerusakan setidaknya pada level aksonal pada lesi coup dan counter coup meskipun pada pencitraan otak tidak dijumpai lesi. Oleh karena itu, sebaiknya Pasien pasca trauma kepala tetap dipantau kondisi klinis neurologis dan neurobehaviornya setidaknya selama 6 bulan pasca trauma untuk mengantisipasi defisit neurologis dan neurobehavior yang tak kasat mata terdapat progresivitas. Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya akan merusak otak. Cedera sekunder dapat terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Beberapa perubahan adalah dilepaskannya glutamate secara berlebihan, kelaianan aliran kalsium, produksi laktat dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan


113 otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung pada suplai nutrient yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, sehingga sangat rentan sekali terhadap cedera metabolik jika suplai terhenti. Cedera akan mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia dan menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak. Perubahan pada metabolism glukosa merupakan respon yang terjadi setelah terjadinya trauma kapitis. Dari penelitian didapatkan bahwa pada awal terjadinya trauma kapitis, akan terjadi peningkatan uptake glukosa secara cepat yang akan diikuti penurunan metabolism glukosa. Peningkatan uptake glukosa dapat dilihat pada 30 menit setelah terjadi cedera. Peningkatan metabolism glukosa setelah trauma disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan glukosa oleh sel untuk menghasilkan energi agar bisa memperbaiki keseimbangan ion dan potensial membran sel. Periode akut hiperglikolisis telah diamati terjadi dalam 8 hari pertama sejak terjadinya trauma kapitis. Beberapa kondisi yang menyebabkan terjadinya cedera otak sekunder pada pasien cedera otak traumatik dapat dilihat dari gambar 5. Beberapa kondisi ekstrakranial ini dapat menyebabkan kondisi yang lebih buruk dari klinis pasien dan memerlukan tatalaksana yang optimal. Gambar 5. Kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya cedera otak sekunder pada pasien cedera otak traumatik


114 PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGIS Pemeriksaan fisik dan neurologi adalah dua aspek penting dalam evaluasi kesehatan seseorang, terutama jika terdapat keluhan atau gejala yang berkaitan dengan sistem saraf, akan tetapi pada cedera kepala urutan pemeriksaan berubah, dimana anamnesis dilakukan setelah primary survey dan pemeriksaan fisik umum dilakukan saat primary survey dan secondary survey. Adapun pemeriksaan neurologis dibagi menjadi 2 yaitu; pertama pemeriksaan minineurologis dilakukan saat primary survey (D), hanya untuk melihat derajat kesadaran, tanda-tanda herniasi dan tanda-tanda cedera spinal, yang kedua pemeriksaan neurologis yang lebih lengkap dilakukan saat secondary survey. PRIMARY SURVEY Primary survey adalah penilaian cepat dan sistematis untuk mengidentifikasi masalah yang dapat mengancam jiwa. Tahapan ini biasanya dilakukan dalam urutan ABCDE: A. Airway dan C Spine control Pastikan jalan nafas terbuka, jika ada tandatanda obstruksi lakukan manuver airway segera. Pada cedera otak berat umumnya dilakukan intubasi endotracheal, saat airway manuver lakukan pemasangan survical collar. B. Breathing Evaluasi pernafasan dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi, cari tandatanda trauma thorax, berikan oksigenasi dan bila perlu ventilasi mekanis. Tindakan emergensi berupa needle decompression dan chest tube kadang diperlukan sesuai indikasi. Pada cedera otak berat kadangkala ditemukan gangguan ventilasi sentral seperti hiperventilasi, cheyne stokes, ataxic dan apneustic breathing C. Circulation dan Haemorrhage control Evaluasi tanda-tanda syok, bila ada segera resusitasi dengan cairan RL. Bila ada perdarahan eksternal hentikan dengan penekanan atau penjahitan secara situasi D. Disability Evaluasi GCS skor, ukuran dan reflek pupil untuk mengetahui derajat cedera otak dan ada tidaknya herniasi uncal atau sentral. Juga periksa tanda-tanda cedera spinal seperti tetraparesis, paraparesis dll E. Exposure Periksa seluruh tubuh dengan melepas pakaiannya untuk mencari cedera yang mengancam jiwa (bedakan dengan secondary survey).


115 SECONDARY SURVEY Pada secondary survey dimulai dengan anamnesis (AMPLE) terutama mencari mekanisme trauma, riwayat pingsan dan lucid interval, riwayat muntah, kejang dan penanganan yang telah dilakukan di Rumah Sakit perujuk. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan head to toe examination. Adapun yang paling penting pada trauma kepala adalah: 1. Inspeksi cranium a. Cari tanda-tanda FBC: Raccoun’s eye yaitu periorbital ecchymosis Battle’s sign yaitu postauricular ecchymosis CSF Rhinorrhea/otorrhea Hemotympanum atau laserasi canalis auditorius externus b. Cek tanda-tanda fraktur maxillofacial Le forte fracture : palpasi instabilitas tulang-tulang wajah termasuk ancus zygometikus Fraktur Rima orbita : palpable step-off c. Periorbital edema, proptosis 2. Auskultasi kranioservikal a. Auskultasi diatas arteria carotis , adanya bruit menunjukkan diseksi carotid b. Auskultasi diatas orbita, adanya bruit menunjukkan carotid-cavernous fistula (CCF) 3. Tanda-tanda fisik trauma spinal seperti jejas deformitas dan nyeri tekan 4. Bukti-bukti kejang : single, multiple atau continuous (status epilepsi) Pemeriksaan neurologis 1. Pemeriksaan Nervus cranialis a. Pemeriksaan N. optikus Jika sadar penting untuk periksa visus setiap mata Jika tidak sadar cek gangguan pupil afferent dengan swinging flashlight test untuk menunjukkan cedera N. optikus Funduskopi untuk melihat adanya papil edema, pre-retinal harmorrhage, ablatio retina dll b. Pupil : Cek ukuran dan reaksi terhadap cahaya (direct dan consensual) c. N. facialis : cek adanya parese N. facialis (Asimetri dari seluruh wajah unilateral) d. N. abducens : dapat terjadi trauma N.VI akibat peningkatan TIK atau fraktur clivus 2. Pemeriksaan tingkat kesadaran a. GCS skore untuk mengukur tingkat kesadaran b. memeriksa orientasi bila pasien mampu berkomunikasi 3. Pemeriksaan motorik a. Jika pasien kooperatif cek kekuatan motorik ke 4 ekstremitas b. Jika tidak kooperatif cek respon motorik dengan stimulasi nyeri, ini juga menilai sensasi c. Jika ragu terhadap lesi spinal cord cek tonus spincter ani, dengan pemeriksaan rectal, evaluasi kontraksi volunteer


116 musculis spincter ani jika pasien kooperatif dan juga nilai reflek bulvocavernosus 4. Pemeriksaan sensoris a. Pasien kooperatif : • Cek dengan peniti pada badan dan ke 4 ekstremitas, cek pada dermatoma (C4, C6, C7, C8, T4, T6, T10, L2, L4, L5, S I dan Sacrococcygeal) • Cek fungsi calumna posterior: join position sense b. Pasien tidak kooperatif: cek respon sentral terhadap stimuli nyeri 5. Reflex a. Reflex regangan otot (deep tendon) b. Reflex babinski c. Jika curiga cedera spinal cord periksa reflex bulbocavernous dan reflek spincter an PEMERIKSAAN PENUNJANG X-RAY SKULL Jangan menggunakan pemeriksaan X-Ray Skull untuk mendiagnosis trauma kepala tanpa pertimbangan khusus. CT SCAN KEPALA Indikasi CT Scan Kepala pada kasus trauma kepala dapat mengacu pada kriteria New Orleans atau kriteria Canadian CT Head Rule (tabel 6). Kriteria New Orleans memiliki nilai sensitivitas 99% dan spesifisitas 5% dalam mendeteksi kelainan intracranial akibat trauma, sedangkan Canadian CT Head Rule mempunyai sensitivitas 87% dan spesifisitas 39%. Oleh karena nilai sensitivitas yang tinggi, maka kedua kriteria tersebut dapat digunakan untuk menapis pasien cedera otak traumatic ringan yang memerlukan pemeriksaan CT Scan Kepala. Tabel 6. Indikasi CT Scan pada Trauma Kepala (Dewasa) Canadian Head CT Rule New Orleans Criteria Usia > 65th Mekanisme trauma yang berbahaya Muntah > 1x Amnesia lebih dari 30 menit GCS <15 pada saat 2jam Terdapat kecurigaan fraktur basis cranii, fraktur terbuka, atau fraktur depresi Usia > 65th Intoksikasi Nyeri kepala Muntah Kejang Amnesia Terdapat trauma yang nyata di atas klavikula Lakukan CT Scan pada pasien dengan 1 kriteria atau lebih.


117 Pada kasus anak terdapat pula kriteria indikasi CT scan pada trauma kepala berdasarkan PECARN Rules dengan menggunakan pertimbangan usia pasien (tabel 7) Tabel 7. Indikasi CT Scan pada Trauma Kepala (Anak) berdasarkan PECARN Rules Usia < 2 tahun Usia 2-18 tahun GCS ≦ 14 atau perubahan status mental Mekanisme trauma yang berat Hilangnya kesadaran > 5 detik Hematoma temporal, parietal atau oksipital Fraktur kepala yang dapat teraba Nampak berperilaku abnormal menurut orang tua GCS ≦ 14 atau perubahan status mental Mekanisme trauma yang berat Hilangnya kesadaran Adanya riwayat muntah Adanya tanda fraktur basis cranii Nyeri kepala berat MRI KEPALA MRI lebih sensitif untuk menunjukkan area kecil kontusional atau perdarahan kecil, cedera aksonal, dan perdarahan kecil ekstra aksial. MRI dipertimbangkan pada kondisi ketidaksesuaian antara temuan klinis dengan gambaran radiologis. Hal ini sering dijumpai pada cedera aksonal difus (diffuse axonal injuri, DAI). Pada pasien cedera kepala ringan, didapatkan sebanyak 15% kelainan MRI yang pada CT Scan-nya normal (Zairinal, 2022). PEMERIKSAAN ANGIOGRAFI Pemeriksaan angiografi juga akdang dilakukan bila terdapat indikasi cedera otak traumatic tembus (penetrating traumatic brain injury), fraktur yang melibatkan system vena/sinus, atau kecurigaan penyebab vascular (rupture aneurisma, stroke iskemik). PEMERIKSAAN YANG TERPENTING CT-Scan adalah modalitas yang dipilih pada fase akut pada trauma dan sebaiknya dikerjakan secepatnya, dipilih untuk evaluasi di IGD. CTScan dilakukan pada pasien dengan cedera otak sedang atau berat, segera setelah status kardiopulmoner stabil. Jika ditemukan kelainan pada CT-Scan atau kondisi pasien terus menunjukkan kelainan neurologis, segera rujuk pasien ke bedah saraf atau rujuk ke trauma center. CT Scan kepala evaluasi dapat dikerjakan bila didapatkan deteriorasi neurologis. Temuan signifikan pada CT-Scan termasuk scalp swelling dan subgaleal hematoma pada regio yang mengalami trauma. Fraktur pada tulang tengkorak atau wajah dilihat lebih jelas pada fitur bone window, meskipun kadang dapat juga terlihat pada fitur soft tissue window. Temuan yang penting pada CT-Scan Kepala adalah mencari perdarahan intracranial, kontusio, pergeseran garis tengah/herniasi karena efek massa, dan hilangnya sisterna basalis. Herniasi ≥ 5 mm mengindikasikan tindakan operatif segera untuk evakuasi darah atau kontusio yang menyebabkan herniasi.


118 TATALAKSANA TRAUMA KEPALA Penatalaksaan trauma kepala harus segera dimulai di lokasi cedera, dengan menyelamatkan jalan napas pasien dan menjaga ventilasi dan sirkulasi adekuat. Pasien dengan cedera kepala sedang atau berat dan cedera kepala ringan dengan lesi massa atau luka terbuka harus segera di rujuk ke fasilitas kesehatan tersier yang memiliki fasilitas Bedah Saraf. TATALAKSANA CEDERA OTAK RINGAN (SKOR GCS 13-15) Cedera otak ringan adalah suatu kondisi dengan adanya riwayat disorientasi, amnesia, atau hilangnya kesadaran sesaat pada pasien yang sadar dan bicara. Ini artinya skor GCS berada antara 13 dan 15. Penanganan pasien dengan cedera otak ringan dijelaskan dalam gambar 6. Kebanyakan pasien dengan cedera otak ringan dapat sembuh tanpa gejala sisa. Kira- kira 3% mengalami gangguan yang tidak diharapkan, potensial menyebabkan disfungsi neurologis yang berat kecuali bila penurunan status mental dapat dideteksi sejak dini. Secondary survey penting dalam mengevakuasi pasien dengan COR. Perhatikan mekanisme trauma, khususnya Riwayat hilang kesadaran, meliputi lama hilangnya kesadaran, adanya kejang dan derajat kesadaran sebelumnya. Tentukan durasi amnesia sebelum (retrograde) dan setelah (anterograde) trauma. Pemeriksaan dan pencatatan skor GCS secara serial penting pada penderita dengan skor GCS <15. CT Scan adalah metode pencitraan yang terpilih dengan indikasi berikut (Tabel 8) Bila hasil CT Scan tidak ada kelainan dan bila pasien tidak ada keluhan, tidak ada kelainan neurologis, maka pasien di observasi selama beberapa jam, diperiksa ulang, dan bila tetap normal bisa dipulangkan. Idealnya pasien dipulangkan dengan diawasi oleh orang yang bisa mengawasi selama 24jam berikutnya. Lembar instruksi diberikan kepada pasien dan pengawasannya untuk melanjutkan pengawasan ketat dan kembali ke UGD bila pasien mengalami sakit kepala atau penurunan kesadaran atau defisit neurologis fokal. Pada semua kasus, instruksi tertulissaat pulang harus diberikan (tabel 9) dan dijelaskan kepada pasien dan /atau pendampingnya. Bila pasien tidak sadar atau orientasinya belum cukup baik untuk mengerti instruksi verbal dan tertulis, maka keputusan untuk memulangkan harus dipertimbangkan kembali.


119 Tabel 8. Indikasi untuk CT Scan pada COR CT Scan kepala dilakukan pada pasien cedera otak ringan (mis. disaksikan mengalami hilang kesadaran, amnesia yang jelas atau disaksikan mengalami disorientasi pada pasien dengan skor GCS 13-15) dan salah satu faktor berikut ini: Berisiko tinggi untuk dilakukan tindakan Bedah saraf : Skor GCS kurang dari 15 Dicurigai adanya fraktur impresi terbuka atau tertutup Adanya tanda fraktur basis kranii (hemotimpani, raccoon eyes, rhinore atau otorhe, Battle’s sign) Muntah (lebih dari dua kali) Usia lebih dari 65 tahun) Risiko sedang untuk terjadinya cedera otak pada CT: Hilang kesadaran (lebih dari 5 menit) Amnesia sebelum kejadian (lebih dari 30 menit) Mekanisme yang membahayakan (mis. pejalan kaki ditabrak kendaraan bermotor, penumpang sampai terlempar dari kendaraan, jatuh dari ketinggian lebih dari 3 kaki atau 5 lantai) Sakit kepala berat Defisit neurologis fokal


120 Penatalaksanaan Cedera Otak Ringan (GCS 13-15) Gambar 6. Algoritma tatalaksana cedera otak ringan


121 Tabel 9. Instruksi pulang kerumah untuk cedera kepala Cari pertolongan medis untuk hal-hal berikut: 1. Perubahan tingkat kesadaran (termasuk kesulitan bangun) 2. Perilaku tidak normal 3. Peningkatan sakit kepala 4. Bicara cadel 5. Kelemahan atau hilangnya rasa pada lengan atau tungkai 6. Muntah terus menerus 7. Pembesaran salah satu atau kedua pupil (bagian bulat hitam di tengah mata) yang tidak mengecil jika disinari cahaya terang 8. Kejang 9. Peningkatan pembekakan yang signifikan di lokasi cedera Jangan mengkonsumsi obat penenang atau obat Pereda nyeri yang lebih kuat dari asetaminofen (paracetamol di beberapa negara) selama 48jam. Jangan mengkonsumsi aspirin atau obat anti inflamasi lainnya karena mengganggu fungsi trombosit dan secara teoritis meningkatkan resiko perdarahan TATALAKSANA CEDERA OTAK SEDANG (SKOR GCS 9-12) Kira-kira 15% dari penderita cedera kepala di ruang gawat darurat mengalami cedera otak sedang. Kira-kira 10% sampai 20% dari pasienpasien ini mengalami perburukan dan jatuh dalam keadaan koma. Karena alasan ini, pemeriksaan neurologis serial perlu dilakukan sebagai tatalaksana pasien ini. Tatalaksana pasien cedera otak sedang dijelaskan dalam gambar 7. Pada saat masuk ruang gawat darurat , dapatkan Riwayat singkat dan yakinkan stabilitas kardiopulmoner sebelum melakukan pemeriksaan neurologis. Lakukan CT scan kepala, dan hubungi ahli bedah saraf. Semua pasien seperti ini perlu dirawat di ICU atau HCU untuk dilakukan pengawasan ketat dan pemeriksaan neurologis berkala selama 12 sampai 24 jam pertama. CT scan ulangan dalam waktu 24 jam dianjurkan bila CT scan awal tidak normal atau bila terjadi perburukan neurologis pasien (24-48 jam).


122 Penatalaksanaan Cedera Otak Sedang Gambar 7. Algoritme untuk tatalaksana cedera otak sedang TATALAKSANA CEDERA OTAK BERAT (SKOR GCS 3-8) Kira-kira 10% penderita dengan cedera kepala yang dibawa ke gawat darurat mengalami cedera otak berat. Penderita ini memiliki resiko terbesar untuk mengalami morbiditas dan mortalitas, dan tindakan untuk langsung mendiagnosis dan melakukan tatalaksana sangatlah penting. Tatalaksana awal untuk cedera otak berat dijelaskan dalam gambar 8.


123 Penatalaksanaan Cedera Otak Berat Gambar 8. Algoritme untuk tatalaksana awal cedera otak berat


124 PRIORITAS UNTUK EVALUASI INISIAL DAN TRIAGE PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA BERAT 1. Semua pasien yang koma dengan cedera kepala harus menjalani resusitasi (ABCDE) pada saat datang di IGD 2. Segera setelah tekanan darah normal, pemeriksaan neurologi dilakukan (skor GCS dan reaksi pupil). Bila tekanan darah tidak dinormalkan, pemeriksaan neurologi juga harus dilakukan dan kondisi hipotensi catat 3. Bila TD sistolik tidak dapat mencapai > 100mmHg, yang menjadi prioritas adalah mencari penyebab hipotensi, dan pemeriksaan neurologimenjadi prioritas kedua. Dalam kasus seperti ini, pasien menjalani USG FAST di IGD dan mungkin perlu langsung dibawa ke kamar operasi untuk dilakukan laparotomi. CT scan kepala dilakukan setelah laparotomi. Bila secara klinis terdapat massa intracranial, burrhole diagnostic atau kraniotomi bisa dilakukan di kamar operasi pada saat laparotomi dilakukan 4. Bila TD sistolik pasien > 100 mmHg setelah resusitasi dan secara klinis pasien dicurigai ada massa intracranial (pupil anisokor, hemiparesis motorik), prioritas pertama adalah melakukan CT scan kepala. Pemeriksaan USG FAST dapat dilakukan di IGD, ruang CT scan, atau kamar operasi, tetapi pemeriksaan dan tatalaksana neurologis penderita tidak boleh ditunda 5. Pada kasus-kasus borderline -mis, bila TD sistolik dapat diperbaiki namun cenderung untuk turun perlahan-lahan diusahakan agar pasien bisa menjalani CT kepala sebelum dilakukan laparotomi dan torakotomi. Kasus-kasus seperti ini membutuhkan pembicaraan dan kerja sama antara ahli Bedah saraf dan dokter Bedah yang menangani trauma lainnya. TATALAKSANA NON OPERATIF PADA CEDERA KEPALA Pada seluruh pasien, lakukan ABCDE dengan perhatian khusus pada hipoksia dan hipotensi. Tujuan utama tatalaksana pasien dengan cedera otak adalah mencegah kerusakan sekunder pada organ yang telah cedera. Prinsip utama ialah, bila jaringan saraf yang rusak diberikan kondisi optimal untuk penyembuhan maka akan dapat kembali berfungsi normal. Prinsip terapi cedera otak diantaranya pemberian cairan intravena, koreksi antikoagulasi, hiperventilasi sementara, pemberian mannitol, pemberikan cairan salin hipertonik, barbiturate, dan antikonvulsan. TATALAKSANA YANG DILAKUKAN PADA PASIEN CEDERA OTAK SECARA UMUM SEBAGAI BERIKUT Cairan Intravena Lakukan resusitasi dan jaga kondisi pasien normovolemia. Berikan cairan intravena dan produk darah sesuai kebutuhan, hindari hypovolemia karena merugikan. Dokter juga harus berhati-hati agar tidak overload dalam memberikan cairan dan menghindari cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang merusak otak. Cairan


125 intravena yang disarankan adalah Ringer Laktat atau Normal Saline. Monitor secara berkala level natrium serum ada pasien dengan cedera otak, dan hindari kondisi hyponatremia karena dapat menyebabkan edema serebri. Koreksi Koagulopati Penyebab cedera otak traumatic di negara berkembang di dominasi kecelakaan lalu lintas. Namun demikian, penyebab lainnya bisa berupa peristiwa jatuh dan terkait konsumsi obat antikoagulan atau antiplatelet, hal ini sering dijumpai di negara maju. Oleh sebab itu, pemeriksaan prothrombin time (PT), INR, dan activated partial thromboplastin time (APTT), jumlah trombosit, dan fibrinogen direkomendasikan pada kasus cedera otak traumatic sedangberat. Pada dasarnya, peristiwa trauma pada cedera otak traumatic itu sendiri berdampak pada koagulopati. Beberapa kemungkinan mekanisme yang mendasarinya adalah kerusakan jaringan atau pembuluh darah otak dan sawar darah otak akibat energi mekanik trauma, serta kondisi hipoperfusi atau renjatan yang terjadi karena perdarahan akibat trauma. Kedua hal tersebut menyebabkan disfungsi platelet, pelepasan faktor jaringan, serta gangguan sintesis dan aktivitas faktor koagulasi. Hasil akhirnya adalah iskemia jaringan dan progresi hematoma/perdarahan intraparenkim otak. Salah satu terapi untuk mencegah bertambahnya volume perdarahan tersebut adalah asam traneksamat yang diberikan terutama pada 3 jam pertama pasca awitan trauma, dengan dosis 1 gram intravena bolus selama 10 menit, diikuti 1 gram intravena selama 8 jam. Hiperventilasi Pada pasien kondisi yang diharapkan adalah normokarbia. Hiperventilasi akan menurunkan PaCO2 dan menyebabkan vasokonstriksi serebral. Hiperventilasi yang agresif dan berkepanjangan dapat menimbulkann iskemia serebral pada otak yang sudah cedera, dan menyebabkan vasokonstriksi berat dan menurunkan perfusi serebral. Risiko ini terjadi bila PaCO2 turun dibawah 30 mmHg (4.0 kPa). Hiperkarbia (pCO2 > 45 mmHg) akan mempromosikan vasodilatasi dan peningkatan tekanan intracranial, dan harus dihindari. Hiperventilasi hanya bila diperlukan dan durasi yang singkat, secara umum jaga tekanan PaCO2 pada 35 mmHg (4.7 kPa), dengan rata-rata sekitar 35 – 45 mmHg. Hiperventilasi yang singkat terkadang diperlukan pada kondisi deteriorasi neurologis akut. Hiperventilasi ini akan menurunkan tekanan intrakranial pada pasien dengan perdarahan intrakranial yang progresif hingga dokter dapat melakukan tindakan emergensi kraniotomi.


126 Manajemen Tekanan Intrakranial Peningkatan tekanan intrakranial pada cedera otak traumatic dapat disebabkan oleh faktor intracranial dan/atau ekstrakranial. Mengingat banyaknya cara untuk menurunkan tekanan intracranial, proses identifikasi penyebab peningkatan tekanan intracranial ini penting dilakukan untuk mengetahui pendekatan terapinya dan menyusun prioritas. Tatalaksana peningkatan tekanan intracranial dilakukan untuk mencapai target yakni ≤ 22 mmHg. Selain memperhatikan etiologi, tatalaksana juga dilakukan bertahap dimulai dengan yang paling sederhana yaitu elevasi kepala 30°, hingga yang membutuhkan sumber daya yang relative besar seperti kraniektomi dekompresi, hipotermia, atau koma barbiturate. Salah satu terapi yang sering digunakan untuk menurunkan tekanan intracranial adalah pemberian cairan hyperosmolar. Dua jenis cairan yang sering dan mudah diaplikasikan adalah Manitol dan Hipertonik Saline. Terdapat perbedaan pada kedua cairan tersebut (Tabel 10), dan salah satu pertimbangan dalam pemilihan adalah tekanan darah pasien. Pasien kasus trauma tekanan darahnya seringkali rendah akibat perdarahan atau renjatan neurogenic (neurogenic shock). Manitol tidak dianjutkan pada kondisi itu karena sifatnya diuretic poten dan bila digunakan menurunkan tekanan darah. Alternatifnya ialah hipertonik saline NaCl 3% dapat diberikan. Tabel 10. Perbedaan Manitol 20% dan NaCl 3% Parameter Manitol 20% NaCl 3% Osmolaritas 1100 1027 Sifat Diuretik Volume expander Pemantauan selama pemakaian Target osmolaritas darah 320 mOsm/kg Target serum natrium <160 mmol/L Dosis 0,5-1 gram/kgBB 2,5-5 ml/kgBB Cara Pemberian Drip intravena selama 15-30 menit Drip intravena selama 5-20 menit Efek Samping Dehidrasi Kelebihan cairan (overload)


127 Disamping menentukan penyebabnya, pemantauan tekanan intracranial (ICP monitoring) juga sangat diperlukan dan ditatalaksana agar tidak sampai ke dalam fase dekompensasi atau bahkan menunjukkan respons Cushing (peningkatan tekanan darah sistolik dan pulse pressure, bradikardia, dan pola napas ireguler). Profilaksis Kejang Pasien cedera otak traumatik sedang-berat mengalami risiko timbul kejang pascatrauma. Bangkitan epileptic ini dapat muncul pada 24 jam pertama (immediate), 1-7 hari (early), atau di atas 7 hari (late) pasca awitan trauma. Oleh sebab itu, penggunaan obat anti kejang direkomendasikan selama 7 hari pasca awitan trauma untuk menurunkan risiko kejang pasca trauma (early), walaupun pasien tidak terpantau mengalami kejang. Profilaksis ini tidak mencegah risiko kejang di kemudian hari (late post traumatic seizure). Jenis obat yang banyak diteliti dan direkomendasikan adalah fenitoin dan levetiracetam. Dosis yang dipakai adalah dosis loading, sama halnya dengan status epileptikus, dan selanjutnya dosis rumatan hingga 7 hari pasca awitan trauma. Walaupun demikian, kejang dapat terjadi pada 30% pasien cedera otak traumatik sedang-berat. Kejang ini dapat terlihat secara klinis ataupun tidak terlihat dan membutuhkan pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) untuk mendeteksinya. Mengingat besarnya dampak kejang ini terhadap cedera otak sekunder, maka penting sekali untuk memberikan profilaksis obat anti kejang dan melakukan pemeriksaan EEG pada pasien cedera otak traumatic sedang-berat. Namun, anti kejang dapat mengganggu penyembuhan otak, sehingga perlu perhatian dalam menggunakan hanya bila diperlukan. Beberapa kondisi yang meningkatkan resiko post traumatic seizure sehingga memerlukan profilaksis anti kejang lihat pada tabel 11. Acute subdural, epidural or intracerebral hematoma (SDH, EDH or ICH) Open-depressed skull fracture with parenchymal injury Seizure within the first 24 hrs after injury Glasgow Coma Scale score <10 Penetrating brain injury History of significant alcohol abuse ± cortical (hemorrhagic) contusion on CT Tabel 11. Conditions with increased risk of posttraumatic seizures


128 TATALAKSANA OPERATIF PADA CEDERA KEPALA Tatalaksana operatif pada cedera kepala diperlukan untuk luka pada scalp, fraktur depressed, lesi massa intracranial dan luka tembus intracranial LUKA PADA SCALP Penting untuk membersihkan dan memeriksa luka secara teliti sebelum melakukan penjahitan. Penyebab paling sering infeksi luka scalp adalah pembersihan dan debridement yang tidak adekuat. Kehilangan darah dari luka di scalp bisa sangat banyak, terutama pada anak-anak. Perdarahan scalp bisa ditangani dengan melakukan penekanan dan membakar dengan kauter atau meligasi pembuluh darah yang besar. Kemudian baru dilakukan penjahitan. Periksalah dengan seksama dengan cara melihat apakah ada fraktur atau benda asing. Kebocoran LCS menandakan adanya robekan dura. Ahli Bedah saraf harus dikonsulkan pada semua kasus luka pada scalp. Tidak jarang hematoma subgaleal dapat terasa seperti fraktur tengkorak. Pada keadaan ini , adanya fraktur dapat dipastikan atau disingkirkan dengan foto X-ray dan/atau CT scan. FRAKTUR DEPRESSED Secara umum, fraktur depressed memerlukan Tindakan operasi untuk pengangkatan bila bagian yang masuk lebih dalam daripada ketebalan tulang didekatnya, atau bila terbuka dan terkontaminasi. Fraktur depressed yang tidak terlalu menekan dapat ditangani dengan menjahit bila ada scalp yang robek. CT scan berguna dalam menentukan dalamnya penekanan, tapi lebih penting lagi, untuk menyingkirkan adanya hematoma intracranial atau kontusio. CEDERA OTAK TEMBUS PADA OTAK CT scan kepala benar benar dianjurkan untuk mengevaluasi pasien dengan cedera tembus pada otak. Foto polos dapat membantu untuk melihat lintasan dan pecahan peluru, dan adanya benda asing yang besar dan udara di intrakranial. Namun, bila ada CT scan, foto polos menjadi tidak penting. CT dan/atau angiografi konvensional dianjurkan pada setiap cedera tembus otak, atau bila lintasannya melalui atau dekat dengan dasar tengkorak atau sinus veosus dura yang besar. Perdarahan subarachnoid yang banyak atau hematoma yang terjadi belakangan juga merupakan pertimbangan untuk melakukan pencitraan terhadap pembuluh darah. Pasien dengan luka tembus yang melibatkan orbitofasial atau regio pterional harus menjalani angiografi untuk mencari adanya aneurisma traumatic intracranial atau arteriovenous (AV) fistula. Bila terdapat aneurysma atau AV fistula, maka diperlukan tindakan bedah atau endovaskuler. MRI dapat membantu dalam memeriksa cedera akibat tusukan kayu atau benda nonmagnetic lain. Adanya gambaran kontusio besar pada CT, hematoma, atau perdarahan intraventrikel, berhubungan dengan peningkatan mortalitas, apalagi bila mengenai kedua hemisfer. Pemberian antibiotik profilaksis berspektrum luas perlu pada pasien dengan cedera tembus otak. Dianjurkan untuk melakukan monitoring TIK secara dini bila dokter tidak mampu memeriksa kondisi neurologis secara tepat, tidak


129 jelas apakah perlu atau tidak melakukan evaluasi lesi massa, atau gambaran radiologis menunjukkan adanya peningkatan TIK. Perlu untuk merawat luka tembak kecil dengan perawatan luka lokal atau menutupnya pada pasien dengan scalp yang non-vital serta tidak ada kelainan intracranial yang bermakna. Benda yang menembus kompartemen intracranial atau fossa posterior dan sebagian masih berada diluar (mis., panah, pisau, obeng) harus dibiarkan sampe kemungkinan cedera pembuluh darah telah diselidiki dan penanganan bedah saraf telah siap. Mengganggu atau melepas benda yang menusuk secara terburu-buru dapat membuat cedera vaskuler yang fatal atau perdarahan intrakranial. LESI MASSA INTRAKRANIAL Lesi massa intracranial ditangani oleh ahli Bedah saraf. Seperti pada EDH, SDH, ICH, contusion haemoragik atau burst lobe. Secara umum indikasi operasi pada cedera otak traumatik adalah sebagai berikut: 1. Intrakranial hematoma dengan efek massa atau tanda-tanda peningkatan TIK 2. Cedera kepala terbuka Hal ini dilakukan pada Laterasi scalp dan fraktur depressed Luka tembus kepala seperti pada luka tembak atau benda tajam CSF Rhenorhea/otorrhea lebih dari 2-3 minggu 3. Operasi untuk pemasangan ICP monitoring 4. Operasi untuk kraniectomi dekompresi 5. Operasi pada cedera otak traumatik kronik: SDH kronis Subdural hygroma Post traumatic hydrocephalus Csf fistule Cranial defect atau growing skull fracture Hydrocephalus Osteomyelitis Subdural empyema Abses otak BRAIN DEATH Di Indonesia penentuan diagnosis brain death mengacu pada Permenkes RI No 37 tahun 2014, yang pada intinya memuat hal-hal berikut: 1. Penentuan kematian batang otak harus dilakukan oleh tim dokter yang terdiri dari 3 (tiga) orang dokter yang kompeten dan harus melibatkan dokter spesialis anestesi dan spesialis saraf, dimana masing-masing dokter melakukan secera mandiri dan terpisah. 2. Pemeriksaan seseorang mati batang otak dilakukan pada pasien dengan keadaan sebagai berikut: a. Koma dengan GCS skor 3 dan apneu (tidak ada nafas spontan) b. Tidak ada decorticate atau decerebrate c. Tidak ada gerakan yang tidak terkoordinasi atau kejang.


130 d. Terdapat kerusakan struktur otak irreversible e. Tidak ada penyebab yang reversible seperti intoksikasi, gangguan metabolik, hipotermia atau pengaruh barbiturat 3. Tanda-tanda mati batang otak sebagai berikut a. Hilangnya reflek batang otak seperti reflek cahaya, reflek cornea, reflek vestibula-okular, reflek muntah atau batuk b. GCS skor 3 c. Apneu test (+), prosedurnya sebagai berikut: Pre-oksigenasi dengan O2 100% selama 10 menit Cek PCO2 awal dalam batas 40- 60mmHg Lepas pasien dari ventilator, insuflasi trachea dengan O2 100% 6liter/menit Observasi selama 10menit, bila pasien tetap tidak bernafas, test dinyatakan positif atau henti nafas telah menetap Bila test apneu dinyatakan positif ulangi test 1 kali lagi dengan interval 25menit sampai dengan 24jam Bila test tetap positif, pasien dinyatakan mati batang otak, maka semua terapi bantuan hidup harus segera dihentikan MANAJEMEN AIRWAY PADA TRAUMA MAXILLOFACIAL 1. Pendahuluan Penetapan dan maintenance jalan napas mempunyai prioritas tertinggi dalam seluruh fase perawatan pra-rumah sakit dan intra rumah sakit. Penatalaksanaannya meliputi penilaian, penetapan, dan perlindungan jalan napas serta oksigenasi dan ventilasi yang tepat. Kebutuhan akan manajemen darurat dapat muncul kapan saja selama perawatan pasien. Benda Asing Gigi yang tidak stabil, implan buatan, atau gigi palsu perlu ditangani. Perawatan pra operasi harus dilakukan untuk menghilangkan benda apa pun yang menghalangi jalan napas. Pemeriksaan rontgen (leher/dada/abdomen) harus dilakukan apabila terdapat keraguan mengenai keutuhan gigi atau adanya kecurigaan adanya benda lain yang hilang. Perawatan pra operasi Prosedur yang perlu diperhatikan selama perawatan primer pasien trauma CMF: Suction Membersihkan saluran napas atau kotoran asing (gigi palsu, gigi goyang, dll.) Posisi/retraksi lidah Posisi pasien Alat bantu saluran napas sementara yang sesuai Stabilisasi sementara pada patah tulang Trakeotomi


131 Perawatan operatif Jenis maintenance jalan napas selama pembedahan harus sesuai untuk pasien dan memberikan akses operasi yang memadai bagi ahli bedah. Intubasi dapat terganggu karena pola fraktur yang parah atau ketidakmampuan membuka mulut, sehingga intubasi nasoendotrakeal yang dipandu secara endoskopi mungkin merupakan pilihan terbaik. Pilihan jalan nafas selama tindakan juga tergantung pada kebutuhan stabilisasi pasca operasi yang berkepanjangan, seperti adanya pembengkakan parah atau tingkat kesadaran yang terganggu. Diperlukan jalan napas yang terkontrol dengan selang endotrakeal atau trakeotomi. Pada beberapa kasus selang endotrakeal, beberapa pendekatan dapat dipertimbangkan, seperti nasoendotrakeal atau oral endotrakeal atau submental/submandibular. Selama operasi dianjurkan untuk memasang tampon tenggorokan yang harus dikeluarkan pada akhir prosedur. Pertimbangkan dekompresi lambung dengan pemasangan selang nasogastrik yang mungkin dibiarkan untuk perawatan pasca operasi. Perawatan pasca operasi Prosedur yang perlu diperhatikan selama perawatan pasca operasi pasien trauma CMF: Suction Pertimbangkan oksigenasi tambahan (alat hidung, masker, dll.) Posisi pasien Alat bantu saluran napas yang sesuai Metode untuk mengurangi pembengkakan - Dekongestan hidung - Kemungkinan penggunaan steroid - Kompres dingin 1. Alat Bantu Saluran Nafas Beberapa alat bantu tersedia untuk memfasilitasi jalan napas yang adekuat. Jalan napas dapat terganggu karena pendarahan, pembengkakan, benda asing, atau perubahan kondisi mental. Berbagai alat tersedia untuk membantu menetapkan jalan napas secara sementara atau permanen. Antara lain:


132 Alat saluran napas nasofaring Alat oropharyngeal Selang nasoendotrakeal dengan balon/cuff


133 Selang trakeostomi dengan balon/cuff 3. Pembengkakan Pembengkakan rongga hidung Setelah cedera bagian tengah wajah dan pembedahan, khususnya patah tulang Le Fort, terjadi pembengkakan mukosa yang signifikan. Pasca operasi, penggunaan obat antihistamin, obat tetes hidung vasokonstriktor, dan/atau obat steroid umum mungkin membantu seperti halnya peninggian kepala setelah operasi. Tabung nasoendotrakeal dapat dibiarkan di tempatnya setelah operasi dan/atau selama perawatan intensif sesuai kebutuhan sampai edema dan tingkat kesadaran membaik. Lidah bengkak/bengkak Edema parah pada lidah dapat menyumbat jalan napas. Dalam kasus sedang, alat saluran napas nasofaring sudah cukup. Dalam kasus yang parah, intubasi atau trakeotomi dapat menjadi indikasi. Pembengkakan faring Cedera wajah yang parah sering kali menyebabkan pembengkakan faring. Edema dapat menyebabkan disfungsi menelan. Penyempitan saluran napas disebabkan oleh pembengkakan mukosa, lidah, dan faring. Dalam kasus sedang, alat saluran napas nasofaring pasca operasi dapat bermanfaat. Dalam kasus yang parah, trakeotomi dapat menjadi indikasi, terutama jika pasien harus tetap menjalani MMF (Mandibulomaxillary fixation). Dalam beberapa kasus, ahli bedah mungkin memilih untuk membiarkan arch bar tetap terpasang, namun melepas MMF (karet atau kawat MMF) selama beberapa hari pertama pasca operasi sampai edema wajah membaik, pasien mengalami meningkatan kesadaran, dan jalan napas lebih baik. Pada kasus-kasus seperti ini salah satu pilihannya adalah mengembalikan pasien ke MMF untuk jangka waktu tertentu jika diperlukan.


134 4. Pendarahan Pendarahan menimbulkan risiko besar pada saluran napas. Hal ini dapat mengganggu jalan napas atau mengisi perut sehingga menyebabkan risiko muntah dan aspirasi. Peningkatan risiko aspirasi terjadi pada pasien dengan perubahan tingkat kesadaran. Penting untuk mendiagnosis penyebab perdarahan dan mengendalikannya. Selang lambung dapat digunakan untuk mendekompresi lambung dan mengurangi risiko muntah dan aspirasi. Jika perdarahan masif terus berlanjut, mungkin perlu dilakukan pemasangan selang endotrakeal. Hemostasis dapat diperoleh dengan: Pengendalian tekanan darah Dekongestan hidung berbasis vasokonstriktor Suntikan vasokonstriktor Bantalan hidung anterior dan/atau posterior Kauterisasi Embolisasi selektif Pendarahan Hidung Pada pasien nontrauma, lokasi perdarahan hidung yang umum terjadi adalah pada pleksus Kiesselbach. Dokter bedah harus menyadari bahwa pendarahan hidung setelah trauma mungkin berasal dari banyak lokasi lain termasuk dasar tengkorak. Perdarahan masif (tidak terkontrol) dapat diatasi dengan meninggikan kepala, kompres es, tamponade menggunakan tampon hidung, atau balon. Jika pendarahan hebat tidak terkontrol, pengobatan dimulai dengan tamponade. Jika perdarahan masih berlanjut setelah tamponade dilepas, elektrokoagulasi mungkin bisa membantu. Kadang-kadang, perdarahan masif dikendalikan dengan menggunakan tamponade anterior dan posterior (misalnya, tamponade Belloque, balon kateter Foley, atau perangkat balon lain yang dirancang khusus untuk tamponade hidung). Penempatan pengepakan yang tepat sangat penting. Posisi pasien yang memadai harus dipertahankan. 5. Fraktur dan trauma laring Trauma laring sering kali terabaikan, dan harus dipertimbangkan pada pasien mana pun yang mengalami trauma wajah berat. Trauma laring harus dicurigai pada pasien yang mengalami nyeri, bengkak, ekimosis, dan/atau emfisema subkutan di area laring. Ini jarang menjadi keluhan utama, dan sering kali merupakan temuan fisik yang tidak kentara dibandingkan dengan cedera lain yang terlihat jelas di wajah. Udara di dalam jaringan dapat terlihat pada pemeriksaan CT. Trauma laring umumnya terjadi akibat trauma tumpul pada laring. Hal ini juga dapat dilihat pada pasien setelah kejadian pencekikan atau percobaan gantung. Ini mungkin terkait atau tidak dengan fraktur laring. Pasien mungkin datang dengan jalan napas yang tidak memadai. Cedera ini mungkin berhubungan dengan hematoma laring, sehingga intubasi menjadi sulit atau tidak mungkin dilakukan.


135 Krikotiroidotomi/koniotomi darurat dapat dilakukan pada keadaan tertentu. Salah satu risiko krikotiroidotomi/koniotomi adalah prosedur ini sering dilakukan pada area cedera dan pembengkakan parah serta hematoma, yang mengakibatkan perdarahan signifikan dan hilangnya saluran napas sepenuhnya. Oleh karena itu, sebagian besar ahli bedah akan merekomendasikan trakeotomi (menetapkan jalan napas di bagian inferior zona cedera dan pembengkakan) daripada krikotiroidotomi/koniotomi darurat jika diduga terdapat fraktur laring yang signifikan. 6. Fiksasi mandibulomaxillary (MMF) Jalan napas mungkin terganggu pada pasien yang menjalani MMF (fiksasi mandibulomaxillary). Selain itu, muntah atau skor koma Glasgow (GCS) yang rendah dapat menyebabkan masalah saluran napas lebih lanjut. Untuk mengatasi masalah ini, jika terjadi maka MMF harus dilepaskan. Untuk pasien yang berisiko, fiksasi internal yang memadai dapat menghilangkan kebutuhan akan MMF. 7. Intubasi Intubasi nasotrakeal Ada dua mode intubasi hidung: 1) Selama operasi Tabung dimasukkan ke dalam trakea dan, setelah terpasang, manset diberi tekanan yang cukup untuk menutup trakea. Tabung harus diperbaiki pada tempatnya. Hal ini dapat dilakukan dengan menjahit septum hidung (disarankan dalam perbaikan patah tulang) atau dengan menempelkannya pada area hidung dan pipi. Pertimbangan jalan napas 2) Pasca operasi Jika selang ini digunakan pasca operasi, manset dilepaskan dan diberi tekanan lagi setiap 2-3 jam. Dalam mode ini, pengisapan air liur diperlukan dari waktu ke waktu. Trakeotomi Dalam beberapa kasus, trakeotomi mungkin diperlukan. Kanula dimasukkan ke dalam trakea dan distabilkan dengan pengikat dan jahitan trakeotomi. Sekresi harus sering disedot. Perawatan kulit yang tepat juga penting.


136 BAB 10 Trauma Laring


137 TRAUMA LEHER Anatomi leher dibagi oleh otot sternokleidomastoid menjadi 2 bagian yakni anterior dan posterior. Bagian anterior terdiri dari struktur anatomi mayor seperti laring, trakea, faring, esofagus, dan struktur vaskuler mayor. Bagian posterior yakni otot, nervus assesorius dan tulang spinalis. Selain pembagian ini leher juga dibagi menjadi 3 zona. Zona I yakni leher bagian bawah di bawah kartilago krikoid. Zona II yakni diantara mandibula dan kartilago krikoid. Zona III yakni bagian leher di atas mandibula hingga basis kranii. Zona II merupakan bagian paling luas dan lokasi tersering terjadinya trauma leher. Gambar 1. Pembagian zona horizontal pada leher dikutip dari Baileys tahun 2014. Cedera Zona I Cedera tembus yang melibatkan zona I leher berpotensi membahayakan karena cedera pada pembuluh darah besar dari leher dan mediastinum. Terjadinya cedera pada zona ini membutuhkan evaluasi rutin pada pembuluh darah arkus aorta dan evaluasi esofagus. Adanya cedera yang terlewat pada zona ini dapat menyebabkan sepsis dan mediastinitis. Pemeriksaan yang dapat digunakan yakni endoskopi, esofagogram menggunakan barium atau gastrografin, dan Computed Tomography (CT) Scan. Cedera Zona II Cedera pada zona II yang dapat bersifat simptomatik atau asimptomatik. Pemeriksaan dan tatalaksana yang perlu dilakukan yakni eksplorasi leher, atau dapat melakukan pemeriksaan serial seperti evaluasi pembuluh darah, endoskopi fleksibel, Computed Tomography (CT) Scan dan pemeriksaan serial lain. Cedera Zona III Cedera pada zona III memiliki potensi cedera pada pembuluh darah mayor dan nervus kranialis dekat dengan basis kranii. Beberapa pasien dengan cedera arteri mungkin dapat bersifat asimptomatik, namun pembedahan untuk melakukan kontrol perdarahan pada lokasi ini cukup sulit. Pemeriksaan dan tatalaksana yang dapat digunakan yakni angiogram. BAB 10. Trauma Laring


138 PEMBAGIAN TRAUMA LEHER Diagnosis Gejala dan Tanda Pemeriksaan Cedera vaskuler Syok Hematoma Perdarahan Defisit nadi Defisit neurologis Bruit atau thrill di leher Angiogram CT Angiogram Doppler ultrasound Eksplorasi leher Cedera laringotrakea Emfisema subkutan Obstruksi jalan napas Sucking wound Hemoptisis Dispnea Stridor Disfonia Laringotrakeoskopi Eksplorasi leher CT Scan Cedera faring / esofagus Emfisema subkutan Hematemesis Disfagia atau odinofagia Esofagogram kontras Esofagoskopi EKsplorasi leher Gambar 2. Diagnosis Pembagian Trauma Leher dikutip dari Baileys tahun 2014 Angka mortalitas trauma leher tembus yakni 3% sampai 6%. Penyebab kematian pada trauma tembus leher yakni kehilangan banyak darah karena cedera vaskuler, cedera korda spinalis, iskemia serebri, obstruksi jalan napas, emboli udara, dan emboli pulmoner. TRAUMA LARINGOTRAKEA TRAUMA TUMPUL Trauma tumpul pada laring dengan tekanan yang sedang, dapat menyebabkan robekan mukosa endolaring, edema atau hematoma. Trauma yang lebih berat menyebabkan fraktur kartilago laring dan disrupsi ligamen laring. Fraktur pada tulang hyoid dan cedera epiglottis dapat menyebabkan obstruksi saluran pernapasan. Selain itu, trauma tumpul pada leher juga dapat menyebabkan parese pita suara karena adanya subluksasi atau dislokasi dari kartilago arytenoid. TRAUMA TEMBUS Trauma tembus leher yang paling sering yakni karena pisau dan tembakan. Luka tembakan berkaitan dengan cedera jaringan yang lebih berat dan proyeksi velositas tinggi menyebabkan destruksi jaringan yang lebih berat. Luka karena pisau menyebabkan cedera jaringan lunak lebih sedikit dan lebih bersih, namun sulit menentukan kedelaman penetrasi. Kematian akibat trauma tembus disebabkan adanya disrupsi komplit laring, edema jaringan lunak masif, atau cedera neurovaskuler. GEJALA KLINIS: 1. Suara parau 2. Nyeri tenggorok 3. Dispnea 4. Disfagia


139 PEMERIKSAAN FISIK Periksa tanda-tanda obstruksi jalan napas baik parsial maupun total. Perhatikan tandatanda seperti agitasi (menunjukkan hipoksia), sianosis (tanda hipoksemia), retraksi dan penggunaan otot bantu napas tambahan, serta saturasi oksigen. Dengarkan suara napas abnormal. Stridor inspirasi mengindikasikan adanya obstruksi saluran pernapasan supraglottis parsial. Stridor ekspirasi mengindikasikan adanya abnormalitas saluran pernapasan bagian bawah yakni cedera trakea. Kombinasi stridor inspirasi dan ekspirasi menunjukkan adanya obstruksi parsial di level glottis. Lakukan pemeriksaan fisik pada leher yang berkaitan dengan cedera neurovaskuler. Perdarahan aktif, hematoma, bruits, hilangnya nadi merupakan tanda cedera vaskuler. Tanda khas trauma laring yakni stridor, hemoptisis, emfisema subkutan, dan deformitas tulang laringeal. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laring dengan bantuan direct fiberoptic laryngoscopy untuk memeriksa mobilitas pita suara, posisi kartilago arytenoid, hematoma, laserasi dan patensi saluran napas. Pemeriksaan esofagoskopi kaku diperlukan untuk memeriksa hipofaring dan esofagus dengan catatan cedera tulang servikal telah dieksklusi. Pemeriksan strobovideolaringoskopi diperlukan untuk melihat fungsi pita suara dan cedera laring minor lainnya Pemeriksaan Computed Tomography (CT) dilakukan pada seluruh kelompok cedera menengah dan berat untuk membantu visualisasi daerah yang kurang tampak yakni daerah subglottis dan komisura anterior Arteriografi digunakan untuk identifikasi cedera vaskuler Esofagografi kontras dengan menggunakan barium swallow atau gastrografin digunakan untuk identifikasi cedera dengan penetrasi mukosa faringeal dan esofageal, namun memiliki resiko terjadi aspirasi terkait cedera laring tersebut Foto rontgen servikal diperlukan untuk eksklusi cedera tulang vertebrae Ultrasonography dapat merupakan pemeriksaan tambahan pada trauma laring akut TATALAKSANA Evaluasi awal pada tatalaksana trauma yakni mempertahankan patensi jalan napas, resusitasi jantung, kontrol perdarahan, stabilisasi cedera neural dan spinal dan investigasi sistemik terhadap cedera sistem organ lain. 1. Penilaian awal jalan napas dan penilaian berkala patensi jalan napas serta ventilasi 2. Pastikan patensi jalan napas dengan tes berbicara hasil tes berbicara positif


140 3. menunjukkan jalan napas paten, ventilasi intak dan perfusi otak baik. Kegagalan berespon dengan baik menunjukkan gangguan kesadaran hasil dari gangguan jalan napas atau ventilasi atau keduanya. 4. Pasien dengan gangguan kesadaran menyebabkan resiko terjadinya gangguan jalan napas sehingga membutuhkan bantuan napas definitif. Pada pasien dengan cedera kepala, penggunaan alkohol atau obatobatan, dan cedera rongga dada dapat menyebabkan gangguan ventilasi. Pada pasien tersebut intubasi endotrakea merupakan suatu pilihan untuk memberikan jalan napas yang paten, mengirimkan kebutuhan oksigen, bantuan ventilasi dan mencegah aspirasi. 5. Obstruksi total saluran pernapasan atau gagal napas berat dari obstruksi parsial saluran pernapasan membutuhkan intubasi segera dengan visualisasi langsung oleh tenaga medis yang berpengalaman dengan menggunakan tube endotrakeal berukuran kecil dengan volume tinggi dan cuff tekanan rendah. 6. Bila intubasi tidak berhasil, maka pembuatan saluran pernapasan melalui pembedahan (cricothyroidotomy atau trakeostomi) diperlukan. Hal yang menyebabkan kegagalan intubasi diantaranya yakni edema glottis, fraktur laring, perdarahan orofaringeal berat yang mengobstruksi saluran pernapasan. Trakeostomi seringkali sulit dilakukan dalam kondisi emergensi, hal ini berkaitan dengan tingginya perdarahan dan membutuhkan waktu lebih, sehingga cricothyroidotomy dapat merupakan pilihan karena bersifat lebih mudah untuk dilakukan dan waktu lebih singkat. 7. Pada anak yang sulit untuk dilakukan trakeostomi dengan anestesia lokal, maka dilakukan intubasi bronkoskopi dan diikuti trakeostomi. 8. Tatalaksana definitif tergantung dari pemeriksaan fisik dan Computed Tomography (CT) Scan. Kondisi yang dapat membaik tanpa sekuel serius yakni edema, hematoma kecil dengan mukosa yang intak, laserasi kecil pada glottis atau supraglottis tanpa keterlibatan kartilago dan fraktur kartilago tiroid nondisplaced. Cedera yang membutuhkan tambahan stenting endolaring yakni gangguan komisura anterior, fraktur kartilago multipel, dan laserasi endolaring multiple dan berat.


141 Trauma Multisistem Jaga patensi jalan napas Resusitasi jantung Kontrol perdarahan Stabilisasi cedera tulang spinal Saluran napas dewasa Trakeostomi dengan anestesia lokal atau intubasi bronkoskopi kaku Alternatifnya dapat dengan intubasi endotrakea (petugas berpengalaman dan tube endotrakeal diameter kecil Saluran napas anak Intubasi bronkoskopi kaku diikuti trakeostomi Gambar 3. Tatalaksana Kegawatan pada Trauma Laring dikutip dari Baileys tahun 2014 TATALAKSANA MEDIKAMENTOSA Bed rest dengan kepala elevasi dalam beberapa hari menurunkan edema laring Istirahat bersuara menurunkan edema atau menurunkan progresi hematoma atau emfisema subkutan Penggunaan humidifier mencegah pembentukan krusta pada kerusakan mukosa dan paralisis silier transien Nebulisasi epinefrin dan kortikosteroid sistemik menurunkan edema dan fibrosis Antibiotik yang dapat menunjang untuk flora traktus aerodigestif bagian atas profilaksis melawan infeksi Diet cair dan suplementasi intravena untuk kebutuhan nutrisi. Hindari penggunaan pipa nasogastrik karena diduga dapat memperberat trauma pada lokasi cedera Penggunaan obat agen penghambat H2 dan penghambat pompa proton mencegah munculnya laringitis refluks yang mencegah pembentukan skar dan stenosis TATALAKSANA PEMBEDAHAN Trakeostomi Endoskopi Eksplorasi Thyrotomy Penutupan laserasi Insersi stens pada komisura anterior yang terganggu Grafting pada cedera mukosa berat Fiksasi bila terdapat fraktur


142 Gambar 4. Algoritma tatalaksana cedera leher dikutip dari Baileys tahun 2014. KOMPLIKASI TRAUMA LARINGOTRAKEA Jaringan granulasi Stenosis laring Parese pita suara


143 BAB 11 Trauma Medulla Spinalis (NEURO)


Click to View FlipBook Version