The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Melanie Dwi Arofati, 2024-02-05 23:02:24

Hasil Modul FIX

Hasil Modul FIX

194 KERJASAMA Cidera muskuloskeletal, terutama fraktur terbuka, sering kali terlihat dramatis dan berpotensi mengalihkan perhatian anggota tim dari prioritas resusitasi yang lebih mendesak. Ketua tim harus memastikan bahwa anggota tim fokus pada cidera yang mengancam nyawa terlebih dahulu Karena cidera muskuloskeletal yang berpotensi mengancam jiwa dapat dideteksi selama penilaian sirkulasi, ketua tim harus dengan cepat mengarahkan tim untuk mengendalikan perdarahan eksternal dengan menggunakan pembalut bertekanan steril, bidai, atau tourniquet yang sesuai. Kemampuan tim trauma untuk mengerjakan berbagai tugas secara bersamaan sangat relevan dalam skenario ini. Lebih dari satu anggota tim mungkin diperlukan untuk memasang bidai traksi, dan ketua tim dapat mengarahkan asisten lain atau anggota tim spesialis (misalnya, ahli bedah vaskular dan ortopedi) untuk membantu tim. Tim harus dapat mengenali cidera yang mengancam anggota tubuh dan melaporkannya secara akurat kepada pemimpin tim sehingga keputusan dapat diambil untuk menangani cidera ini bersama dengan masalah yang mengancam jiwa yang melibatkan jalan napas, pernapasan, dan sirkulasi. Pastikan bahwa tim trauma melakukan survei sekunder yang lengkap, sehingga cidera tidak terlewatkan. Cidera okultisme sangat umum terjadi pada pasien dengan tingkat kesadaran yangmenurun, dan pemimpin tim harus memastikan evaluasi ulang anggota tubuh secara tepat waktu untuk meminimalkan cidera yang terlewatkan. RINGKASAN 1. Cidera muskuloskeletal dapat mengancam nyawa dan anggota tubuh. 2. Penilaian awal trauma muskuloskeletal dimaksudkan untuk mengidentifikasi cidera yang mengancam nyawa dan/atau anggota tubuh. Meskipun jarang terjadi, cidera muskuloskeletal yang mengancam jiwa harus segera dinilai dan ditangani. Pendekatan bertahap untuk pengendalian perdarahan digunakan dengan menerapkan tekanan langsung, bidai, dan tourniquet. 3. Sebagian besar cidera ekstremitas dapat didiagnosis dan ditangani dengan tepat selama survei sekunder. Riwayat yang menyeluruh dan pemeriksaan fisik yang teliti, termasuk menanggalkan seluruh pakaian pasien, sangat penting untuk mengidentifikasi cidera muskuloskeletal. 4. Sangatlah penting untuk mengenali dan menangani cidera arteri, sindrom kompartemen, patah tulang terbuka, cidera akibat himpitan, dan dislokasi secara tepat waktu. 5. Pengetahuan tentang mekanisme cidera dan riwayat kejadian yang menimbulkan cidera dapat memandu dokter untuk mencurigai adanya potensi cidera terkait. 6. Pembidaian dini pada fraktur dan dislokasi dapat mencegah komplikasi serius dan


195 gejala sisa. Pemeriksaan neurovaskular yang cermat harus dilakukan sebelum dan sesudah pemasangan bidai atau alat traksi.


196 BAB 13 MODUL TRAUMA TERMAL (BEDAH PLASTIK)


197 TATA LAKSANA LUKA BAKAR 24 JAM PERTAMA Prinsip-prinsip Primary Survey dan Secondary Survey pada trauma (ATLS) dan resusitasi secara simultan harus diterapkan. Tabel 1. Primary dan secondary survey pada trauma PRIMARY SURVEY First Aid SecondAry A B C D E F LOOK A.M.P.L.E History Airway Breathing Circulation Disabil ity Exposure Fluid Analges iaTests Tubes Head to Toe Examinati on Tetanus DO C-Spine O2 Haemorrhage control I.V. AVPU & Pupils Environm ental control Document ation and Transfer Support BAB 13. TRAUMA TERMAL (BEDAH PLASTIK) Triage


198 Sebelum melakukan pertolongan pertama, petugas medik diharuskan menggunakan alat pelindung diri (sarung tangan, goggle glass, dan baju pelindung khusus) sebelum menangani pasien. Rekomendasi Tata laksana 24 Jam pertama Luka Bakar Derajat Pasien luka bakar harus dievaluasi dengan menggunakan pendekatan yang sistematis, langkah pertama adalah berusaha mengidentifikasi ancaman hidup terbesar. B PRIMARY SURVEY Segera identifikasi kondisikondisi mengancam jiwa dan lakukanmanajemen emergensi. a. (Airway) : Penalataksanaan jalan nafas dan manajemen trauma cervical b. (Breathing) : Pernapasan dan ventilasi c. (Circulation) : Sirkulasi dengan kontrol perdarahan d. (Disability) : Status neurogenik e. (Exposure) : Pajanan dan Pengendalian lingkungan Dibawah ini adalah check list dalam mengidentifikasi dan tata laksana pasien luka bakar berat pada survey primer berdasarkan Fundamental Critical Care Support (FCCS course) oleh Asosiasi Critical Care dunia, Early Management of Severe Burn course, dan ABC of Burn (4, 8-10).


199 Tabel 2. Check List Survey Primer Pada Luka Bakar Berat Manajemen Cek Tindakan Airway Patensi jalan nafas Berbicara dengan pasien Bersihkan jalan nafas dari benda asing Lakukan Chin lift, Jaw thrust Hindari melakukan hiperfleksi atau hiperekstensi kepala dan leher Kontrol tulang cervical dengan rigid collar Breathing Periksa tanda - tanda hipoksia dan Hiperventilasi atau hipoventilasi Hati-hati pasien dengan intoksikasi carbon monoksida, tampak cherry pink dan tidak bernafas Hati-hati luka bakar yang melingkar pada dada (jikaada pertimbangkan eskarotomi) Inspeksi dada, pastikan pergerakan dinding dada adekuat dan simetris Berikan oksigen 100% high flow 10-15 liter per menit melalui masker non- rebreathing jika tetap sesak, lakukan bagging atau ventilasimekanik Circulation Tanda – tanda syok Cek nadi sentral Cek Tekanan darah Cek Capillary refill (normal kembali <2 detik) Cek luka bakar melingkar pada ekstremitas (pertimbangkan eskarotomi) Lakukan penekanan luka jika terdapat perdarahanaktif Pasang 2 jalur IV ukuran besar, lebih disarankan pada daerah yang tidakterkena luka bakar Jika pasien syok, berikan bolus ringer lactat hingga nadi radial teraba Ambil sampel darah untuk pemeriksaan darah lengkap, analisis gas darah arteri Cari dan tangani tanda – tanda klinis syok lainnya yang disebabkan oleh penyebab lainnya.


200 Disability Derajat kesadaran: A (Alert): Sadar penuh V (Verbal) : merespon terhadap rangsang verbal P (Pain) : merespon terhadap rangsang nyeri U (Unresponsive) : Tidak ada respon Periksa derajat kesadaran Periksa respon pupil terhadap cahaya Hati – hati pada pasien dengan hipoksemia dan syok karena dapat terjadi penurunan kesadaran dan gelisah. Exposure Exposure dan kontrol lingkungan Melepas semua pakaian dan aksesoris yang melekat pada tubuh pasien Lakukan log roll untuk melihat permukaanposterior pasien Jaga pasien tetap dalam keadaan hangat Menghitung luas luka bakar dengan metode Rules of Nine Fluid (Resusitasi Cairan) Resusitasi cairan yang adekuat dan monitoring Parkland Formula: 3-4 ml x Berat Badan (kg) x % TBSA Luka Bakar (+ Rumatan untuk pasien anak) Setengah dari jumlah cairan diberikan pada 8 jam pertama dan setengah cairan sisanya diberikan dalam 18 jam selanjutnya Gunakan cairan Kristaloid (Hartmann solution) seperti Ringer Lactat Hitung Urine Output tiap jam Lakukan pemeriksaan EKG, nadi, tekanan darah, respiratory rate, pulse oximetry, analisis gas darah arteri Berikan cairan resusitasi sesuai indikasi SIADH (IDAI)


201 Analgesia Manajemen nyeri Berikan morfin intravena 0,05 – 0,1 mg/kg sesuaiindikasi Untuk anak paracetamol cairan drip (setiap 6 jam) dengan dosis 10-15mg/kg BB/kali Test Menyingkirkan kemungkinan adanya trauma lain X-Ray: o Lateral cervical o Thorax o Pelvis Lainnya sesuai indikasi Tubes Mencegah gastroparesis Dekompresi lambung Pasang Nasogastric Tube (NGT)


202 Rekomendasi Primary Survey pada pasien Luka Bakar Derajat 1. Diagnosis luka bakar harus memperkirakan luas permukaan tubuh total body surface area (TBSA) dengan menggunakan metode standar dan menggambarkan karakteristik yang memerlukan perhatian segera dari pusat luka bakar yang ditunjuk. 2. Resusitasi yang tepat harus dimulai sesegera mungkin dan pemberian cairan disesuaikan berdasarkan parameter pasien untuk menghindari overresuscitation dan under-resuscitation. 3. Pasien dewasa dengan luka bakar lebih besar dari 20% TBSA dan pasien anak dengan luka bakar lebih besar dari 10% TBSA, harus dilakukan resusitasi dengan cairan salt-containing (Ringer Lactat); kebutuhan harus berdasarkan berat badan dan persentase lukabakar. 4. Ketika pemberian cairan IV dilakukan, antara 2-4 ml/KgBB/%TBSA, harus diberikan dalam waktu 24 jam pertama setelah trauma, dengan mewaspadai terjadinya over-resusitasi. 5. Jika hanya dilakukan pemberian cairan secara oral, cairan minuman setara dengan 15% berat badan setiap 24 jam dianjurkan selama 2 hari. Tablet 5 gram garam (atau setara) harus diberikan untuk setiap lier cairan oral. 6. Pemantauan cairan resusitasi dapat dilakukan dengan melihat urine output, untuk dewasa rata-rata urine output 0.3-0,5 mL/Kg/Jam dan anak 1 mL/Kg/Jam. Pada 3 jam pertama resusitasi, kemungkinan masih terjadi anuria, berapapun jumlah cairan yang diberikan. B B B C C C


203 SECONDARY SURVEY Merupakan pemeriksaan menyeluruh mulai dari kepala sampai kaki. Pemeriksaan dilaksanakan setelah kondisi mengancam nyawa diyakini tidak ada atau telah diatasi. Tujuan akhirnya adalahmenegakkan diagnosis yang tepat. A. Riwayat penyakit Informasi yang harus didapatkan mengenai riwayat penyakit yang diderita pasien sebelum terjadi trauma: A(Allergies) : Riwayat alergi M(Medications): Obat – obat yang di konsumsi P (Past illness) : Penyakit sebelum terjadi trauma L (Last meal): Makan terakhir E (Events): Peristiwa yang terjadi saat trauma B. Mekanisme trauma Informasi yang harus didapatkan mengenai interaksi antara pasien dengan lingkungan: 1. Luka bakar: a. Durasi paparan b. Jenis pakaian yang digunakan c. Suhu dan Kondisi air, jika penyebab luka bakar adalah air panas d. Kecukupan tindakan pertolongan pertama 2. Trauma tajam: a. Kecepatan proyektil b. Jarak c. Arah gerakan pasien saat terjadi trauma d. Panjang pisau, jarak dimasukkan, arah 3. Trauma tumpul: a. Kecepatan dan arah benturan b. Penggunaan sabuk pengaman c. Jumlah kerusakan kompartemen penumpang d. Ejeksi (terlontar) e. Jatuh dari ketinggian f. Jenis letupan atau ledakan dan jarak terhempas C. Pemeriksaan survei sekunder 1. Lakukan pemeriksaan head to toe examination merujuk pada pemeriksaan sekunder ATLS course (advanced trauma life support) 2. Monitoring / Chart / Hasil resusitasi tercatat 3. Persiapkan dokumen transfer


204 Rekomendasi Secondary Survey pada pasien Luka Bakar Derajat Status imunisasi Tetanus pasien harus di evaluasi dan diberikan jika ada indikasi B TATA LAKSANA BEDAH EMERGENSI A. Eskarotomi Tindakan insisi eskar yang melingkari dada atau ekstremitas. Tujuan: 1. Mencegah gangguan breathing. 2. Mencegah penekanan struktur penting pada ekstremitas (pembuluh darah, saraf). Eskarotomi dilakukan bila ada indikasi. Indikasi: pada luka bakar yang mengenai seluruh ketebalan dermis sehingga timbul edema yang dapat menjepit pembuluh darah, misalnya luka bakar melingkar di ekstremitas dan dada. Prosedur: 1) Diagnosis: a) Eskar melingkar di dada dan esktremitas. b) Eskar: struktur putih / pucat yang bersifat tidaknyeri dan umumnya akan mengeras. c) Tanda-tanda gangguan breathing: frekuensi napas meningkat. d) Tanda-tanda penekanan struktur penting: jari-jari terasa baal, nyeri, pucat, dingin, tidak bisa digerakkan. 2) Persiapan alat: a) Mata pisau No. 15 b) Betadine c) Kauter d) Kasa steril e) Perban elastik f) Plester 3) Tindakan a) Dilakukan tindakan asepsis dan antisepsis. b) Dilakukan insisi eskarotomi: Pada dada : di linea midaksilaris bilateral. Pada antebraki : di linea midulnar dan midradial. Padakruris: di linea medial dan lateral. Pada dorsum manus dan dorsum pedis : umumnya 3 insisi berbentuk kipas. c) Dilakukan hemostasis. d) Penutupan dengan kasa steril dan perban elastik pada ekstremitas dan plester pada dada.


205 Gambar 1. Rekomendasi EMSB terhadap garis insisi eskarotomi


206 No Rekomendasi Eskaratomi pada pasien Luka Bakar Derajat 1 Eskarotomi harus dilakukan jika terdapat luka bakar melingkar di dada dan leher karena dapat mengganggu pernafasan. Eskarotomi juga harus dilakukan jika terdapat luka bakar melingkar pada ekstremitas karena dapat mengganggu sirkulasi di daerah distalnya C 2 Eskarotomi Abdominal harus dilakukan jika terdapat eskar melingkar di abdomen, karena hal ini dapat menyebabkan hipertensi intraabdominal dan kompartemen sindrom abdomen C 3 Eskarotomi dilakukan secara melintang dibagian yang terdekat dengan daerahneurovascular yang terganggu. Luas daerahinsisi mulai dari kulit yang normal hingga kulit normal berikutnya. Jika tidak memungkinkan, daerah insisi meluas dari atas sendi hingga bawah sendi. Kedalaman insisi terbatas hingga mencapai jaringan sehat sebagai dasarnya D B. Fasciotomi Dilakukan bila ada indikasi tanda-tanda sindroma kompartemen: terasa keras pada palpasi, sensasi perifer menghilang secara progresif, dan nadi tidak teraba . Rekomendasi eskaratomi pada pasien luka bakar Derajat Selain pada luka bakar listrik, fasciotomi jarang diindikasikan sebagai prosedur utama luka bakar. Fasciotomi lebih sering dilakukan bila diagnosis kompartemen syndrome telah ditegakkan, terutama pada lukabakar yang sangat dalam, apapun penyebabnya. C


207 4) Dokumentasi a. Buat Catatan hasil resusitasi dan hasil pemeriksaaan b. Minta persetujuan pasien untuk dokumentasi fotografi danpersetujuan prosedur c. Berikan profilaksis tetanus jika diperlukan. 5) Re-Evaluasi a. Re-Evaluasi Primary Survey, khususnya untuk: 1. Gangguan pernafasan 2. Insufisiensi sirkulasi perifer 3. Gangguan neurologis 4. Kecukupan resusitasi cairan 5. Penilaian radiologi 6. Pencatatan warna urin untuk deteksi haemochromogens b. Pemeriksaan Laboratorium: 1. Hemoglobin / Hematokrit 2. Ureum / Creatinin 3. Elektrolit 4. Urin mikroskopik 5. Analisis gas darah 6. Karboksihemoglobin 7. Kadar gula darah


208 BAB 14 Trauma Pedriatik (Anestesi)


209 TRAUMA MULTIPLE PADA PEDIATRIK EPIDEMIOLOGI TRAUMA PEDIATRIK Trauma merupakan gangguan bermakna pada homeostasis, dan merupakan penyebab kematian utama anak dan dewasa muda di Amerika Serikat dan negara-negara berkembang. Trauma tumpul lebih banyak terjadi daripada trauma tajam meskipun trauma tajam lebih mematikan pada anak. Mekanisme trauma dapat digunakan untuk memprediksi pola trauma dan strategi penanganannya. (Roger, 2008) Ahli anestesiologi yang sering terlibat dalam evaluasi awal dan tatalaksana pasien trauma seyogyanya memiliki pemahaman perbedaaan antara pasien trauma pada pediatrik dan dewasa. Pentingnya hal tersebut diperkuat dengan fakta bahwa sebagian besar pasien trauma pada pediatrik dirawat di pusat trauma untuk orang dewasa. (Maze, 2002) MEKANISME DAN POLA Trauma intrakranial merupakan penyebab kematian utama akibat trauma (akibat gangguan patensi jalan nafas, kontrol pernafasan, perfusi serebral, dan anatomi yang unik pada anak). (Roger, 2008) TRAUMA TAJAM Trauma tajam akibat peluru dan pisau lebih sering terjadi di daerah urban (pedesaan). (Maze, 2002) NON-ACCIDENTAL TRAUMA (NAT) NAT sering terjadi pada anak kurang dari 1 tahun dan harus dicurigai suatu NAT apabila kita tidak dapat menjelaskan etiogi trauma pada kelompok usia tersebut. Diagnosis ini tidak boleh dilupakan, mengingat anestesi seringkali merupakan orang pertama yang bertemu dengan pasien NAT baik di ruang emergency ataupun kamar operasi (Maze, 2002). NAT merupakan penyebab tersering trauma kepala pada usia pertama kehidupan. Pada usia tersebut, perdarahan retina disertai dengan koma merupakan NAT sampai dibuktikan tidak. Perdarahan subdural merupakn temuan tersering dari CT Scan. Tanda-tanda lain meliputi fraktur pada shaft femur pada anak kurang dari 3 tahun, tanda-tanda gigitan, atau tanda terbakar rokok. Hal-hal lain yang mendukung adalah penundaan mencari pertolongan, riwayat anamnesis yang tidak sesuai dengan beratnya cedera, trauma beberapa kali pada usia berbeda pada pasien yang sama. (Cullen, 2012) PATOFISIOLOGI Efek trauma pada anak berhubungan dengan jumlah energy kinetik yang dijalarkan. Karena tubuh anak-anak lebih kecil, sehingga energi tersebut dijalarkan pada ruang yang lebih kecil. Akibatnya, trauma pediatrik yang bermakna akan menghasilkan kerusakan berbagai system organ. Selain itu, meningkatnya elastisitas pada tulang immature meningkatkan trauma jaringan lunak ketika BAB 14. TRAUMA PEDIATRIK (ANESTESI)


210 benturan disalurkan ke ruangan yang lebih sempit. (Roger, 2008) Keadaan hipermetabolisme akibat trauma pada anak melibatkan milieu hormonal dari mediator anabolik menjadi katabolik, yaitu peningkatan kortisol, epinefrin, dan glucagon. Keadaan tersebut dibarengi dengan penurunan aktivitas insulin dan hormon-hormon somatotropik. Stress Hyperglycemia (glukosa serum > 200 mg/dL) sering menyertai trauma pediatrik dan berhubungan dengan resistensi insulin dan growth hormone dengan adanya glukoneogenesis. (Roger, 2008) Di antara berbagai skor untuk memperkirakan outcome pada pasien pediatrik ktitis, Pediatric Trauma Score seringkali dipergunakan. Pediatric Trauma Score (PTS)< 9 berhubungan dengan meningkatnya risiko kematian. (Roger, 2008) TATALAKSANA Penanganan ABCD (airway, breathing, circulation, dan disability) berfokus pada survei primer berupa intervensi yang sesuai dalam masa “golden hour”. Gagal nafas merupakan komplikasi tersering pada trauma pediatrik mayor, sedangkan hipotensi jarang ditemui dan merupakan temuan yang lambat. Tujuan dari survey sekunder adalah secara definitive mengevaluasi anak-anak yang mengalami trauma, dengan menjalankan resusitasi yang dikerjakan oleh tim multidisiplin (Roger, 2008, 2008)


211 SURVEY PRIMER Airway ( dengan stabilisasi tulang belakang servikal) Evaluasi jalan nafas pada pediatrik yang mengalami trauma tidak selalu mudah. Trauma pada jalan nafas atau struktur di dekat jalan nafas dapat mengubah anatomi normal dan menyulitkan pemasangan sungkup ventilasi atau intubasi endotrakea. Keadaan sebelum trauma yang dapat mempersulit tatalaksana kegawatan jalan nafas misalkan kelainan congenital, antara lain mikrognatia (hipoplasia mandibula), makroglosia, palatoschiziz atau adanya obstructive sleep apneu dengan atau tanpa obesitas (Dutton, 2008). Pengambilan keputusan adanya gangguan jalan nafas atau obstruksi jalan nafas adalah yang utama. Kegagalan mengamankan jalan nafas akan berakibat pada gangguan oksigenasi dan ventilasi yang dapat mengakibatkan terjadinya hipoksia, bradikardia, dan henti jantung. Inspeksi pada jalan nafas meliputi wajah, mulut, mandibula, hidung, dan leher. Pemeriksaan dilakukan pada jalan nafas apakah adanya edema, benda asing, sekret, darah, goyah atau hilangnya gigi, dan fraktur mandibula, dagu, serta tulang belakang servikal. Semua pasien dengan trauma kepala tertutup dianggap mengalami cedera servikal sampai dibuktikan tidak. Kontrol dan perhatian adanya cedera servikal harus diutamakan dan teknik untuk mencegah terjadinya aspirasi harus diterapkan. (Dutton, 2008)


212


213 Jalan nafas pada pediatrik berbeda dalam diameter dan panjangnya dibanding dewasa sehingga meningkatkan risiko obstruksi akibat sekret atau darah. Ukuran occiput bayi lebih besar sehingga perlu diperhatikan posisi kepala saat intubasi. (Gambar 24-1). Posisi laring berada di C2-C5. Ukuran lidah relatif lebih besar dengan epiglottis yang lebih tebal dan berbentuk U. Posisi plika vokalis lebih anterior dan lebih caudal. Daerah tersempit pada jalan nafas adalah subglotis sehingga ukuran ETT harus disesuaikan dan ditentukan digunakan cuff atau tidak untuk meminimalkan trauma pada plika vokalis (Gambar 24-4). Pada pasien pediatrik yang mengalami hipotensi, aliran darah menuju mukosa trakea menurun sehingga dapat mencetuskan edema jika ukuran ETT yang digunakan terlalu besar. (Maze, 2002).


214 Perhitungan untuk menentukan kedalaman ETT dapat digunakan (dalam sentimeter dari bibir hingga ujung ETT) rumus sebagai berikut: pada anak-anak lebih besar daripada 2 tahun: 13 + (1/2) usia); untuk anak di bawah 1 tahun: 8 + berat badan di dalam kilogram. Kedalaman ETT yang sesuai dapat juga diperkirakan dengan mengalikan diameter internal ETT (dalam millimeter) dengan angka 3. (Dutton, 2008). Secara umum, pada bayi dan anak-anak, untuk intubasi diberikan pad di bawah badannya, bukan di bawah kepala. Neonates dan bayi hingga usia 3-5 bulan merupakan obligat nose breather sehingga semua secret atau darah dalam jalan nafasnya yang sempit dapat berisiko terjadinya obtruksi jalan nafas. (Dutton, 2008) Breathing Keputusan tentang kondisi pernafasan dan ventilasi perlu segera diambil. Anak-anak mempunyai tingkat oksigen yang tinggi, FRC (Functional Residual Capacity) yang lebih kecil, dan compliance dinding dada yang meningkat sehingga meningkatkan risiko terjadinya kolaps dan hipoksia. Diafragma mudah mengalami kelelahan dan pergeseran. Intervensi harus segera dilalukan pada kondisi pneumothoraks tension, pneumothoraks terbuka, hemothoraks, atau flail chest. (Cullen, 2012) Sirkulasi Kontrol perdarahan aktif. Koagulopathy akibat dilusi platelet dan faktor koagulasi plasma. Platelet kurang dari 50.000 dengan disertai klinis perdarahan merupakan indikasi untuk tranfusi sebanyak 0,1-0,2 unit/kgBB. Tranfusi platelet dan Fresh Frozen Plasma (FFP) diberikan secara empiris ketika lebih dari 2 kali volume darah (atau 80 cc/kgBB) telah diberikan selama resusitasi. (Roger, 2008) Keadaan syok hipovolemik lebih jarang ditemukan pada anak-anak karena berbagai alasan. Mediastinum yang lebih mobile akan lebih mudah bergeser pada keadaan tension dan lebih mudah berkompensasi untuk lesi obstruktif, pembuluh darahnya lebih mudah berkonstriksi pada keadaan hipovolemia. Anak-anak lebih dapat mempertahankan tahanan


215 vaskular sistemik (termasuk afterload dan tekanan darah sistemik) jauh lebih lama daripada dewasa dengan trauma yang sama. Hipotensi Frank merupakan tanda lambat syok pada pediatrik dan tidak akan muncul hingga 30-35% darah sirkulasi hilang. (Roger, 2008) Penggantian volume. Hipovolemia pada umumnya berespon dengan pemberian 20-40 cc/kg cairan isotonik yang dihangatkan. Akan tetapi hipotensi frank (secara klinis didiagnosis dengan adanya tekanan darah sistolik <70 mmHg ditambah dua kali usia dalam umur) membutuhkan tambahan 10-20 cc/kg PRC (Packed Red Cell) yang dihangatkan. (Roger, 2008)


216 Klasifikasi hipovolemia pada anak-anak menunjukkan bahwa secara klinis anak-anak tidak akan menjadi hipotensi hingga perdarahan lebih dari 30% estimated blood volume (EBV). Bila perdarahan 10-15% EBV maka hanya timbul tanda klinis takikardia ringan. (gambar 1) (Roger, 2008) Hipovolemik pada pasien pediatrik ditandai dengan suhu perifer yang menurun, memanjangnya pengisian kapiler ( lebih dari 2 detik), dan takikardia di luar nadi yang seharusnya pada usia pasien tersebut. Pada perdarahan akut, tekanan darah diastolik dipelihara oleh vasokontriksi. Oleh karena itu, hipovolemik pada pasien pediatrik memiliki tekanan nadi yang sempit bila dibandingkan dengan pasien dewasa hipovolemik teranestesi yang pada umumnya mempunyai tekanan nadi yang lebar (tekanan diastolik rendah). Ketika mekanisme proteksi mengalami kegagalan, tekanan darah akan turun mendadak. Pada bayi, denyut jantung (bukan stroke volume) sangat menentukan besarnya curah jantung. Compliance jantung bayi normalnya berkurang karena jenis serabut otot pada usia pasien tersebut. (Maze, 2002).


217 Ukuran tubuh. Pasien pediatrik mempunyai luas permukaan tubuh yang relatif lebih luas, sehingga lebih berisiko mengalamai kehilangan cairan dan hipotermi. Hipotermi (<35 C) mungkin bermanfaat pada neurotrauma, namun dapat menyebabkan gangguan fungsi jantung, aritmia, asidosis, dan peningkatan kebutuhan oksigen dan penurunan oxygen delivery (O2/Hb curve) pada pasien trauma. Hipotermi juga mengganggu koagulasi dengan menurunkan fungsi platelet dalam sistem imun. Komplikasi hipotermi pada ginjal meliputi poliuria, hilangnya elektrolit, menurunnya creatinine clearance, dan diikuti gangguan fungsi ginjal. (Maze, 2002) Jika tidak ditemukan akses intravena pada pasien anak dengan trauma berat dengan usia kurang dari 6 tahun maka dapat diusahakan akses intraoseus. (Cullen, 2012) Tatalaksana definitif trauma non-neurologik (Roger, 2008)


218 Trauma dada Trauma intrathorakal terjadi pada 6% korban trauma pediatrik, dengan mayoritas (86%) merupakan trauma tumpul yang sebagian besar merupakan kecelakaan kendaraan bermotor (74%). Sebagian besar trauma ini bermanifestasi selama survei primer (misalnya pada kontusio atau laserasi, trauma trakeobronkial), meskipun kadangkala teridentifikasi beberapa jam setelah trauma. Sekitar 50% anak-anak dengan trauma dada membutuhkan torakostomy. Trauma thoraks terdiri atas kontusio paru dan laserasi (48%), pneumothoraks dan hematothoraks (41%), dan fraktur costa dan sternum (32%). (Roger, 2008) Trauma abdomen Abdomen anak-anak lebih rentan terhadap trauma abdomen karena beberapa alasan. Tulang costa yang fleksibel hanya menutupi abdomen bagian atas, sedangkan sebagian besar abdomen hanya ditutupi oleh lapisan tipis otot, lemak, dan fascia. Ukuran kedalaman pelvis pada anak dangkal sehingga posisi kandung kemih terangkat kearah abdomen. Ukuran abdomen yang kecil membuat efek trauma lebih sering multiple daripada tunggal. Dilatasi lambung menyebabkan gangguan sirkulasi dan ventilasi dengan terangkatnya diafragma ke atas, peningkatan risiko aspirasi, dan menyebabkan berkurangnya respon takikardia terhadap hipovolemia akibat dampening. (Roger, 2008). Trauma viseral tersering pada anak adalah contusion, hematoma, dan laserasi paru-paru, liver, limpa, atau ginjal. Selain itu juga pneumothorasks, hematothoraks, fraktur iga, dan trauma traktus gastrointestinalis. Aspek penting trauma pada anak-anak adalah peranan tatalaksana nonoperatif dan besarnya peranan perawatan intensif. (Roger, 2008)


219 Pemeriksaan yang teliti dan CT Scan abdomen merupakan cara pilihan yang akurat untuk mendiagnosis trauma abdomen. Pada kasus trauma limpa, sebagian besar ahli bedah akan melakukan observasi kecuali terdapat ruptur limpa. Hal ini berbeda dengan bedah pada dewasa dimana pada umumnya trauma limpa akan dilakukan operasi. (Maze, 2002) Indikasi dilakukan laparotomi pada trauma abdomen adalah: Pasien anak dengan hemodinamik tidak stabil dengan distensi abdomen, meskipun telah dilakukan resusitasi yang adekuat Terbukti peritonitis Pneumoperitoneum Trauma vaskular ginjal (Cullen, 2012) Trauma skeletal Karakteristik tulang korteks imatur yang secara normal berporus akan menyebabkan peningkatan insidensi fraktur pada anak dibanding pada dewasa. Oleh karena tulang yang immature bersifat lebih elastis, fraktur pada anakanak seringkali berbentuk incomplete atau nondisplaced. Fraktur pada anak juga bersifat khas dengan adanya lempeng pertumbuhan (growth plates), penyembuhan yang cepat, kecenderungan untuk remodelling pada permukaan fraktur, dan insidensi tinggi trauma vaskular sistemik. Dislokasi sendi dan trauma ligament lebih jarang terjadi pada anak-anak. Periosteum pada anak-anak lebih tebal dan dapat berperan dalam stabilisasi fraktur underlying. (Roger, 2008) Trauma kepala, medulla spinalis, dan mata juga sering terjadi pada kelompok umur ini. Sangat penting juga untuk menemukan fraktur dan dislokasi dimana trauma ini dapat menyebabkan trauma vaskular perifer dan saraf serta meningkatkan risiko hilangnya ekstremitas. (Maze, 2002) Komplikasi tersering pada trauma pediatrik utama adalah pembatasan fungsi, kecemasan dan stress, dan infeksi yang semua hal tersebut harus segera dikenali dan ditangani. (Roger, 2008).


220 Skenario rapid sequence intubation pada anak-anak Obat-obat induksi yang digunakan dapat bervariasi, namun etomidate 0,1-0,2 mg/kgBB merupakan obat induksi pilihan pada pasien hipovolemik dengan cedera kepala. Etomidate memberikan kestabilan hemodinamik dan menurunkan konsumsi oksigen serebral, meskipun mungkin berefek pada sistem adrenokortikal. Benzodiazepine, ketamine, thiopental, dan propofol dapat juga digunakan. Karakteristik obat-obat induksi untuk RSI pada pasien dapat dilihat pada table 1. Relaksasi otot onset cepat dapat digunakan suksinilkolin atau rokuronium (Ivashkov, 2012).


221 BAB 16 TRAUMA PADA PASIEN HAMIL_ TIM TRAUMA (ANESTESI)


222 TRAUMA PADA PASIEN HAMIL Kehamilan menyebabkan perubahan fisiologis besar dan perubahan hubungan anatomi yang melibatkan hampir setiap sistem organ tubuh. Perubahan struktur dan fungsi ini dapat mempengaruhi evaluasi pasien hamil yang mengalami cedera dengan mengubah tanda dan gejala cedera, pendekatan dan respons terhadap resusitasi, dan hasil tes diagnostik. Kehamilan juga dapat mempengaruhi pola dan tingkat keparahan cedera. Dokter yang merawat pasien trauma hamil harus ingat bahwa ada dua pasien: ibu dan janin. Meskipun demikian, prioritas pengobatan awal pada pasien hamil yang cedera tetap sama dengan pasien tidak hamil. Penanganan awal terbaik pada janin adalah dengan memberikan resusitasi optimal pada ibu. Setiap wanita usia reproduksi yang mengalami cedera parah harus dianggap hamil sampai terbukti sebaliknya melalui tes kehamilan pasti atau USG panggul. Tersedia teknik pemantauan dan evaluasi untuk menilai ibu dan janin. Jika pemeriksaan rontgen diindikasikan selama perawatan pasien hamil, pemeriksaan tersebut tidak boleh ditunda karena kehamilan. Seorang ahli bedah dan dokter kandungan yang berkualifikasi harus dikonsultasikan sejak awal dalam evaluasi pasien trauma hamil; jika tidak tersedia, transfer dini ke pusat trauma harus dipertimbangkan. PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGIS KEHAMILAN Pemahaman tentang perubahan anatomi dan fisiologis kehamilan serta hubungan fisiologis antara pasien hamil dan janinnya sangat penting untuk memberikan perawatan yang tepat dan efektif kepada kedua pasien. Perubahan tersebut meliputi perbedaan anatomi, volume dan komposisi darah, dan hemodinamik, serta perubahan pada sistem pernafasan, pencernaan, saluran kemih, muskuloskeletal, dan saraf. PERBEDAAN ANATOMI Rahim tetap menjadi organ intrapelvis sampai kira-kira minggu ke-12 kehamilan, ketika rahim mulai keluar dari panggul. Pada minggu ke-20, rahim berada di umbilikus, dan pada minggu ke34 hingga ke-36, rahim mencapai tepi kosta. Selama 2 minggu terakhir kehamilan, fundus sering turun seiring kepala janin menempel pada panggul. Ketika rahim membesar, usus terdorong ke arah kepala, sehingga sebagian besar terletak di perut bagian atas. GAMBAR 12-1 Perubahan Tinggi Fundamental pada Kehamilan. Ketika rahim membesar, usus terdorong ke arah kepala, sehingga sebagian besar terletak di perut bagian atas. Akibatnya, usus agak terlindungi pada trauma tumpul perut, sedangkan rahim dan isinya (janin dan plasenta) menjadi lebih rentan. BAB 16. TRAUMA PADA PASIEN HAMIL_ TIM TRAUMA (ANESTESI)


223 Akibatnya, usus agak terlindungi pada trauma tumpul perut, sedangkan rahim dan isinya (janin dan plasenta) menjadi lebih rentan. Namun, trauma tembus pada perut bagian atas pada akhir kehamilan dapat menyebabkan cedera usus yang kompleks karena perpindahan ke arah kepala ini. Tanda-tanda klinis iritasi peritoneum kurang terlihat pada wanita hamil; oleh karena itu, pemeriksaan fisik mungkin kurang informatif. Jika diduga ada cedera besar, pemeriksaan lebih lanjut diperlukan. Selama trimester pertama, rahim merupakan struktur berdinding tebal dengan ukuran terbatas, terbatas pada tulang panggul. Selama trimester kedua, kelenjar ini membesar melampaui lokasi intrapelvis yang terlindungi, namun janin kecil tetap dapat bergerak dan terlindungi oleh sejumlah besar cairan ketuban. Cairan ketuban dapat menyebabkan emboli cairan ketuban dan koagulasi intravaskular diseminata setelah trauma jika cairan memasuki ruang intravaskular ibu. Pada trimester ketiga, rahim sudah besar dan berdinding tipis. Pada presentasi verteks, kepala janin biasanya berada di panggul, dan sisa janin terlihat di atas pinggiran panggul. Patah tulang panggul pada akhir kehamilan dapat menyebabkan patah tulang tengkorak atau cedera intrakranial yang serius pada janin. Berbeda dengan miometrium elastis, plasenta memiliki sedikit elastisitas. Kurangnya jaringan elastis plasenta mengakibatkan kerentanan terhadap gaya geser pada antarmuka uteroplasenta, yang dapat menyebabkan solusio plasenta (GAMBAR 12-2). Pembuluh darah plasenta melebar secara maksimal selama kehamilan, namun sangat sensitif terhadap rangsangan katekolamin. Penurunan volume intravaskuler ibu secara tibatiba dapat menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah uterus, mengurangi oksigenasi janin meskipun tanda-tanda vital ibu cukup normal. GAMBAR 12-2 Janin Cukup Bulan dalam Presentasi Vertex. Organ dalam perut dipindahkan dan ditekan ke perut bagian atas. Hal ini menghasilkan perlindungan relatif terhadap cedera tumpul, namun meningkatkan risiko cedera usus kompleks akibat cedera tembus perut bagian atas. Peninggian diafragma mungkin memerlukan penempatan chest tube melalui ruang interkostal yang lebih tinggi.


224 VOLUME DAN KOMPOSISI DARAH Volume plasma terus meningkat selama kehamilan dan stabil pada usia kehamilan 34 minggu. Terjadi peningkatan yang lebih kecil pada volume sel darah merah (RBC), yang mengakibatkan penurunan tingkat hematokrit (yaitu anemia fisiologis pada kehamilan). Pada akhir kehamilan, tingkat hematokrit 31% hingga 35% adalah normal. Pasien hamil yang sehat dapat kehilangan 1.200 hingga 1.500 mL darah sebelum menunjukkan tanda dan gejala hipovolemia. Namun, jumlah perdarahan ini mungkin mencerminkan gawat janin, yang dibuktikan dengan detak jantung janin yang tidak normal. Jumlah sel darah putih (WBC) meningkat selama kehamilan. Bukan hal yang aneh jika jumlah sel darah putih mencapai 12.000/mm3 selama kehamilan atau mencapai 25.000/mm3 selama persalinan. Kadar fibrinogen serum dan faktor pembekuan lainnya sedikit meningkat. Waktu protrombin dan tromboplastin parsial dapat dipersingkat, namun waktu perdarahan dan pembekuan tidak berubah. TABEL 12-1 membandingkan nilai laboratorium normal selama kehamilan dengan nilai laboratorium pada pasien tidak hamil. HEMODINAMIK Faktor hemodinamik penting yang perlu dipertimbangkan pada pasien trauma hamil meliputi curah jantung, denyut jantung, tekanan darah, tekanan vena, dan perubahan elektrokardiografi. CURAH JANTUNG Setelah minggu ke 10 kehamilan, curah jantung dapat meningkat sebesar 1,0 hingga 1,5 L/menit karena peningkatan volume plasma dan penurunan resistensi pembuluh darah rahim dan plasenta, yang menerima 20% curah jantung pasien selama trimester ketiga kehamilan. Peningkatan output ini mungkin sangat dipengaruhi oleh posisi ibu pada paruh kedua kehamilan. Pada posisi terlentang, kompresi vena cava dapat menurunkan curah jantung sebesar 30% karena penurunan aliran balik vena dari ekstremitas bawah. Tabel 12-1 Nilai laboratorium normal: hamil vs. tidak hamil Nilai Hamil Tidak hamil hematokrit 32%-42% 36%-47% jumlah WBC 5000-12000 μL 4000-10000 μL pH arteri 7.40-7.45* 7.35-7.45 Bikarbonat 17-22 mEq/L 22-28 mEq/L PaCO2 25-30 mmHg (3,3-4,0 kPa) 30-40 mmHg (4,0-5,33 kPa) Fibrinogen 400-450 mg/dl (3rd trimester) 150-400 mg/dl PaO2 100-108 mmHg 95-100 mmHg * Kompensasi alkalosis respiratorik dan berkurangnya cadangan paru


225 DETAK JANTUNG Selama kehamilan, detak jantung secara bertahap meningkat hingga maksimum 10–15 detak per menit melebihi batas normal pada trimester ketiga. Perubahan denyut jantung ini harus dipertimbangkan ketika menafsirkan respons takikardi terhadap hipovolemia. TEKANAN DARAH Kehamilan menyebabkan penurunan tekanan sistolik dan diastolik sebesar 5 hingga 15 mmHg selama trimester kedua, meskipun tekanan darah kembali ke tingkat mendekati normal pada saat cukup bulan. Beberapa ibu hamil menunjukkan hipotensi saat ditempatkan dalam posisi terlentang, akibat kompresi vena cava inferior. Kondisi ini dapat diperbaiki dengan mengurangi tekanan uterus pada vena cava inferior, seperti yang akan dijelaskan nanti dalam bab ini. Hipertensi pada pasien hamil dapat menunjukkan preeklampsia jika disertai proteinuria. TEKANAN VENA Tekanan vena sentral saat istirahat (CVP) bervariasi pada kehamilan, namun respon terhadap volume sama seperti pada keadaan tidak hamil. Hipertensi vena pada ekstremitas bawah terjadi pada trimester ketiga. PERUBAHAN ELEKTROKARDIOGRAFI Sumbunya mungkin bergeser ke kiri sekitar 15 derajat. Gelombang T yang mendatar atau terbalik pada sadapan III dan AVF serta sadapan prekordial mungkin normal. Denyut ektopik meningkat selama kehamilan. Kesulitan Pencegahan Tidak mengenali perubahan anatomi dan fisiologis yang terjadi selama kehamilan Tinjau fisiologi kehamilan selama time-out tim pratrauma SISTEM PERNAPASAN Minute volume meningkat terutama karena peningkatan volume tidal. Oleh karena itu, hipokapnia (PaCO2 30 mm Hg) sering terjadi pada akhir kehamilan. PaCO2 sebesar 35 hingga 40 mm Hg mungkin mengindikasikan akan terjadi gagal napas selama kehamilan. Perubahan anatomi pada rongga toraks menyebabkan penurunan volume residu yang berhubungan dengan elevasi diafragma, dan rontgen dada menunjukkan peningkatan tanda paru dan penonjolan pembuluh darah paru. Konsumsi oksigen meningkat selama kehamilan. Oleh karena itu, penting untuk menjaga dan memastikan oksigenasi arteri yang memadai saat melakukan resusitasi pasien hamil yang cedera.


226 Kesulitan Pencegahan Kegagalan untuk menyadari bahwa PaCO2 normal dapat mengindikasikan kegagalan pernapasan yang akan terjadi selama kehamilan • Memprediksi perubahan ventilasi yang terjadi selama kehamilan. • Pantau ventilasi pada akhir kehamilan dengan nilai gas darah arteri. • Sadarilah bahwa pasien hamil harus menderita hipokapnia. Pada pasien dengan kehamilan lanjut, bila diperlukan pemasangan chest tube, maka chest tube harus diposisikan lebih tinggi untuk menghindari penempatan intraabdominal karena elevasi diafragma. Berikan oksigen tambahan untuk mempertahankan saturasi 95%. Janin sangat sensitif terhadap hipoksia ibu, dan konsumsi oksigen basal ibu meningkat pada awal. SISTEM PENCERNAAN Pengosongan lambung tertunda selama kehamilan, sehingga dekompresi selang lambung secara dini mungkin sangat penting untuk mencegah aspirasi isi lambung. Usus ibu dipindahkan ke bagian atas perut dan mungkin terlindung oleh rahim. Organ dalam padat pada dasarnya tetap pada posisi anatomi biasanya. SISTEM SALURAN KENCING Laju filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal meningkat selama kehamilan, sedangkan kadar kreatinin serum dan nitrogen urea turun hingga kira-kira setengah dari tingkat normal sebelum kehamilan. Glikosuria umum terjadi selama kehamilan. SISTEM MUSKULOSKELETAL Simfisis pubis melebar hingga 4 hingga 8 mm, dan ruang sendi sakroiliaka bertambah pada bulan ketujuh kehamilan. Faktor-faktor ini harus dipertimbangkan dalam menginterpretasikan film rontgen panggul (GAMBAR 12-3) GAMBAR 12-3 Radiografi menunjukkan kepala janin menempel di panggul dengan simfisis pubis normal dan sendi sakroiliaka kanan agak melebar.


227 Pembuluh darah panggul yang besar dan membesar di sekitar rahim yang hamil dapat menyebabkan perdarahan retroperitoneal masif setelah trauma tumpul yang disertai dengan patah tulang panggul. SISTEM NEUROLOGIS Eklamsia adalah komplikasi kehamilan lanjut yang mirip dengan cedera kepala. Hal ini dapat terjadi jika kejang terjadi disertai hipertensi, hiperrefleksia, proteinuria, dan edema perifer. Konsultasi ahli neurologis dan obstetri yang sering dilakukan sangat membantu dalam membedakan antara eklamsia dan penyebab kejang lainnya. Kesulitan Pencegahan Mengira eklampsia sebagai cedera kepala • Lakukan CT scan kepala untuk menyingkirkan kemungkinan perdarahan intrakranial. • Pertahankan indeks kecurigaan yang tinggi terhadap eklamsia bila kejang disertai hipertensi, proteinuria, hiperrefleksia, dan edema perifer pada pasien trauma hamil. MEKANISME CEDERA Tabel 12-2 Distribusi mekanisme cedera pada kehamilan Mekanisme Persentase Tabrakan kendaraan bermotor 49 Jatuh 25 Menyerang 18 Luka tembak 4 Membakar 1 Sumber: Chames MC, Pearlman MD. Trauma selama kehamilan: hasil dan manajemen klinis. Clin Obstet Ginekol, 2008;51:398 Tabel 12-3 Distribusi cedera tumpul dan tembus perut pada kehamilan Mekanisme Persentase Tumpul 91 Tembus Luka tembak Luka tusuk Luka Senapan 9 73 23 4 Sumber: Data dari Petrone P, Talving P, Browder T, dkk. Cedera perut pada kehamilan: studi selama 155 bulan di dua pusat trauma tingkat 1. Cedera, 2011;42(1):47–49


228 Hal ini serupa dengan yang dialami oleh pasien tidak hamil, namun perbedaan tertentu harus diketahui pada pasien hamil yang mengalami cedera tumpul atau tembus. Distribusi cedera tumpul dan tembus perut pada kehamilan ditunjukkan pada TABEL 12-3 CEDERA TUMPUL Dinding perut, miometrium uterus, dan cairan ketuban bertindak sebagai penyangga untuk mengarahkan cedera janin akibat trauma tumpul. Adanya kontusio eksternal dan lecet pada dinding perut, seperti ditunjukkan pada GAMBAR 12-4, merupakan tanda kemungkinan adanya cedera tumpul pada uterus. Meskipun demikian, cedera pada janin dapat terjadi ketika dinding perut terbentur suatu benda, seperti dashboard atau setir, atau ketika pasien hamil terbentur benda tumpul. Cedera tidak langsung pada janin dapat terjadi akibat kompresi yang cepat, deselerasi, efek contrecoup, atau gaya geser yang mengakibatkan solusio plasenta. GAMBAR 12-4 Kontusio eksternal dan lecet pada dinding perut merupakan tanda kemungkinan trauma tumpul pada uterus. GAMBAR 12-4 Kontusio eksternal dan lecet pada dinding perut merupakan tanda kemungkinan trauma tumpul pada uterus.


229 Dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak menggunakan pengaman dan terlibat dalam tabrakan, ibu hamil yang tidak menggunakan pengaman memiliki risiko lebih tinggi mengalami kelahiran prematur dan kematian janin. Jenis sistem pengekangan mempengaruhi frekuensi ruptur uteri dan kematian janin. Penggunaan sabuk pengaman saja memungkinkan fleksi ke depan dan kompresi uterus dengan kemungkinan ruptur uterus atau solusio plasenta. Sabuk pengaman yang dikenakan terlalu tinggi di atas rahim dapat menyebabkan ruptur uteri karena sabuk tersebut meneruskan gaya langsung ke rahim saat terjadi benturan. Penggunaan penahan bahu bersama dengan sabuk pengaman mengurangi kemungkinan cedera langsung dan tidak langsung pada janin, mungkin karena sabuk bahu menghilangkan gaya deselerasi pada area permukaan yang lebih luas dan membantu mencegah ibu membungkuk ke depan di atas rahim yang sedang hamil. Oleh karena itu, dalam penilaian keseluruhan, penting untuk menentukan jenis alat pengekang yang dikenakan oleh pasien hamil, jika ada. Penggunaan airbag pada kendaraan bermotor tampaknya tidak meningkatkan risiko spesifik pada kehamilan. CEDERA PENETRASI Ketika rahim yang hamil membesar, organ dalam lainnya relatif terlindungi dari cedera tembus. Namun, kemungkinan cedera rahim meningkat. Otot-otot rahim yang padat pada awal kehamilan dapat menyerap sejumlah besar energi dari benda-benda yang melakukan penetrasi, sehingga menurunkan kecepatannya dan menurunkan risiko cedera pada organ dalam lainnya. Cairan ketuban dan janin juga menyerap energi dan berkontribusi memperlambat penetrasi benda. Rendahnya insiden cedera viseral pada ibu menyebabkan outcome ibu yang umumnya sangat baik dalam kasus luka tembus pada rahim gravid. Namun, hasil akhir janin umumnya buruk jika terjadi cedera tembus pada rahim. TINGKAT KEPARAHAN CEDERA Tingkat keparahan cedera ibu menentukan outcome ibu dan janin. Oleh karena itu, metode pengobatan juga bergantung pada tingkat keparahan cedera ibu. Semua pasien hamil dengan cedera berat memerlukan rawat inap di fasilitas yang memiliki kemampuan trauma dan obstetrik. Amati dengan cermat pasien hamil yang mengalami cedera ringan sekalipun, karena terkadang cedera ringan berhubungan dengan solusio plasenta dan kematian janin. PENILAIAN DAN PERAWATAN Untuk mengoptimalkan hasil akhir bagi ibu dan janin, dokter harus menilai dan melakukan resusitasi ibu terlebih dahulu, lalu menilai janin sebelum melakukan survei sekunder terhadap ibu. SURVEI PRIMER DENGAN RESUSITASI Ibu JALAN NAFAS Kaji stabilitas jalan napas: Pastikan jalan napas paten, ventilasi dan oksigenasi yang memadai, dan volume sirkulasi yang efektif. Jika bantuan ventilasi diperlukan, lakukan intubasi pada pasien hamil, dan


230 pertimbangkan untuk mempertahankan PCO2 yang sesuai dengan tahap kehamilannya (misalnya, sekitar 30 mm Hg pada akhir kehamilan). Namun, kemungkinan gagal intubasi lebih tinggi pada pasien hamil. Oleh karena itu, intubasi pada pasien hamil harus dilakukan oleh praktisi terampil jalan napas yang paling senior dan berpengalaman.3 Persiapan untuk intubasi yang sulit harus dimulai sejak dini, dengan semua peralatan yang tersedia untuk manajemen jalan napas yang sulit, termasuk laringoskopi kaku dengan beberapa bilah, laringoskop Mccoy (dengan ujung yang dapat digerakkan), berbagai ukuran saluran napas hidung dan mulut, tabung endotrakea ukuran kecil, perangkat supraglotis, stilet, stilet yang dapat menerangi, bougie (elastis gusi), dan laringoskopi dengan bantuan video jika tersedia. Ketersediaan serat optik akan sangat membantu untuk intubasi pasien dengan jalan napas yang diketahui sulit atau patah tulang wajah atau leher. Di negara-negara dengan sumber daya terbatas, dokter anestesi dapat menugaskan rekan kerja lain untuk mempertahankan stabilisasi in-line secara manual atau menjaga kerah tetap pada tempatnya selama intubasi.3 Tekanan krikoid dapat dipertimbangkan selama intubasi untuk mengurangi risiko regurgitasi isi lambung ke dalam faring. Namun, tekanan krikoid dapat disesuaikan atau dilepas jika mengganggu pandangan. PERNAPASAN Disarankan untuk memberikan oksigen dengan aliran tinggi (15L) untuk menjaga saturasi oksigen pada kehamilan yang mengalami trauma sekitar 100%14 atau setidaknya di atas 95%.3 Rekomendasi ini bertujuan untuk menghindari hasil yang buruk pada janin akibat hipoksia pada ibu. Auskultasi dada wajib dilakukan untuk mendeteksi bunyi mengi atau berkurangnya udara yang masuk yang disebabkan oleh cedera dada yang mendasarinya. Selang nasogastrik harus dimasukkan pada ibu hamil yang cedera setengah sadar atau tidak sadar untuk mencegah aspirasi asam lambung. Dugaan fraktur dasar tengkorak harus disingkirkan sebelum pemasangan selang nasogastrik.2 Trauma tumpul pada dada dapat dipersulit oleh cedera yang mengancam jiwa; pneumotoraks tegang, hemotoraks, atau ruptur aorta. Cedera ini harus didiagnosis dengan penilaian klinis, rontgen dada, computed tomography atau ultrasonografi di samping tempat tidur. Penatalaksanaannya meliputi torakostomi jarum atau selang dada.4,5 Pada pasien hamil yang mengalami trauma, selang dada harus dimasukkan satu atau dua ruang tulang rusuk lebih tinggi (pada ruang interkostal ketiga atau keempat) karena peninggian diafragma pada kehamilan.2 Setiap wanita usia reproduksi yang mengalami cedera parah harus dianggap hamil sampai terbukti sebaliknya melalui tes kehamilan definitif atau pemindaian ultrasonografi. Selang nasogastrik harus dipasang pada wanita hamil yang terluka dalam keadaan setengah sadar atau


231 tidak sadar untuk mencegah aspirasi kandungan asam lambung. Suplementasi oksigen harus diberikan untuk mempertahankan saturasi oksigen ibu > 95% untuk memastikan oksigenasi janin yang memadai. SIRKULASI Kompresi uterus pada vena cava dapat mengurangi aliran balik vena ke jantung, sehingga menurunkan curah jantung dan memperparah keadaan syok. Pindahkan rahim secara manual ke sisi kiri untuk mengurangi tekanan pada vena cava inferior. Jika pasien memerlukan pembatasan gerakan tulang belakang dalam posisi terlentang, miringkan pasien ke kiri 15-30 derajat (yaitu, tinggikan sisi kanan 4-6 inci), dan dukung dengan alat penguat, sehingga mempertahankan pembatasan gerakan tulang belakang dan dekompresi vena). Karena peningkatan volume intravaskular, pasien hamil dapat kehilangan sejumlah besar darah sebelum terjadi takikardia, hipotensi, dan tanda hipovolemia lainnya. Oleh karena itu, janin mungkin berada dalam kondisi tertekan dan plasenta kehilangan perfusi vital, sementara kondisi dan tanda-tanda vital ibu tampak stabil. Berikan resusitasi cairan kristaloid dan darah spesifik tipe awal untuk mendukung hipervolemia fisiologis kehamilan. Vasopresor harus menjadi pilihan terakhir dalam memulihkan tekanan darah ibu karena obat ini semakin mengurangi aliran darah uterus, sehingga menyebabkan hipoksia janin. Evaluasi laboratorium awal pada pasien trauma harus mencakup kadar fibrinogen, karena kadar fibrinogen dapat meningkat dua kali lipat pada akhir kehamilan; tingkat fibrinogen yang normal mungkin mengindikasikan koagulasi intravaskular diseminata dini. GAMBAR 12-5 Imobilisasi yang Benar pada Pasien Hamil. Jika pasien memerlukan imobilisasi dalam posisi terlentang, pasien atau papan tulang belakang dapat digeser 4 hingga 6 inci ke kiri dan ditopang dengan alat penguat, sehingga menjaga kewaspadaan tulang belakang dan mendekompresi vena cava. Kesulitan Pencegahan Kegagalan dalam menggeser rahim ke sisi kiri pada pasien hamil hipotensi • Logroll semua pasien yang tampak hamil secara klinis (yaitu, trimester kedua dan ketiga) ke kiri 15–30 derajat (tinggikan sisi kanan 4–6 inci)


232 Denyut jantung, tekanan darah, dan pembuluh darah leher ibu harus diperiksa, sementara tandatanda perdarahan diperiksa. Potensi perdarahan internal yang signifikan dicurigai berkaitan dengan mekanisme cedera. Namun, pasien hamil mungkin tidak menunjukkan tanda-tanda perdarahan hingga terjadi penurunan volume darah sebesar 30%. Takikardia dengan normotensi dapat dianggap sebagai tanda awal kehilangan darah yang berpotensi signifikan.2 Pemasangan 2 jalur intravena lubang besar (ukuran 14-16) direkomendasikan untuk semua pasien trauma yang terluka parah untuk memfasilitasi infus kristaloid cepat awal dan kemungkinan transfusi darah lebih lanjut jika diperlukan. Pemberian cairan dan produk darah selama resusitasi harus dilakukan sesuai dengan protokol trauma standar. Namun, beberapa modifikasi harus dilakukan pada korban trauma yang sedang hamil.3 Resusitasi cairan harus dimulai jika diduga terjadi hipovolemia untuk mempertahankan perfusi ibu dan janin. Dalam lingkungan dengan sumber daya terbatas, penggunaan larutan kristaloid yang lebih murah masih direkomendasikan karena kristaloid efektif dalam meningkatkan oksigenasi neonatal jika terdapat bukti adanya hipotensi pada ibu.5,6 Mulailah resusitasi dengan 1-2L larutan kristaloid. Transfusi darah atau produk darah harus dipertimbangkan dalam pemberian cairan selanjutnya. Jika darah yang tidak cocok diindikasikan, darah golongan O Rh-negatif harus digunakan untuk mencegah perkembangan antibodi. Tujuannya adalah untuk mentransfusikan darah dan kristaloid untuk mempertahankan hematokrit pada 25-30% dan keluaran urin lebih dari 30cc/jam. Dalam keadaan kehilangan darah akut yang memerlukan pemberian produk darah segera pada pasien trauma hamil, darah O-negatif harus ditransfusikan untuk menghindari sensitisasi Rh pada wanita Rh-negatif sampai tersedia darah donor dengan tipe spesifik atau cross-match. Vasopresor diketahui memiliki efek buruk pada perfusi uteroplasenta. Oleh karena itu, vasopresor pada wanita hamil hanya boleh digunakan untuk hipotensi yang tidak dapat diatasi yang tidak responsif terhadap resusitasi cairan.Pada kasus hipotensi ibu yang tidak responsif terhadap ekspansi volume intravaskular, vasopresor pilihan adalah efedrin. Efedrin memiliki sifat agonis β-2 dan α-1, sehingga meningkatkan aliran darah uterus dan tekanan darah ibu. DISABILITAS: STATUS NEUROLOGIS Penilaian status neurologis meliputi penilaian tingkat kesadaran menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) atau penilaian AVPU (Waspada, Merespon Suara, Merespon Nyeri, Tidak Merespon). Respons pupil dan kadar gula darah juga harus dinilai. PAPARAN Pakaian dan perhiasan pasien dilepaskan untuk menilai semua area tubuh. Wajib untuk menghindari hipotermia pada pasien hamil yang mengalami trauma, karena dapat menyebabkan


233 asidosis metabolik dan perdarahan. Oleh karena itu, disarankan untuk memantau suhu pasien yang bertujuan untuk menjaga suhu pasien di atas 36,5°C. Pasien dijaga agar tetap hangat dengan menjaganya tetap berada di lingkungan yang hangat dan menghangatkan cairan infus.2 Tabel Perubahan anatomi dan fisiologis dinamis kehamilan dan implikasinya terhadap manajemen trauma awal2 Sistem Perubahan berdasarkan jangka waktu penuh15 Implikasi Pengelolaan Saluran udara ↑Vaskularisasi jaringan dan edema ↑ Ukuran payudara dan leher adipositas ↑Tekanan intralambung ↓Nada sfingter esofagus Laringoskopi dan intubasi sulit Resiko tinggi terjadinya regurgitasi Perdarahan saluran napas lebih mungkin terjadi FONA yang sulit Pedoman Sulit Airway Society.16 Induksi urutan cepat dini. 30° angkat kepala. Lepaskan kerah leher dan berikan stabilisasi in-line manual. Menghindari intervensi saluran napas hidung atau buta. Sayatan memanjang selama FONA dapat membantu mengidentifikasi membran krikotiroid yang tidak teraba. Pernafasan ↓ FRC (30%) ↑Konsumsi oksigen (60%) ↑Ventilasi menit (50%) ↓Ketegangan CO2 arteri (4kPa) Hipoksemia berat dapat terjadi akibat gangguan pernafasan atau apnea. PaCO2 normal yang tinggi menunjukkan hipoventilasi. Suplementasi O2 liberal. 30° kepala up meningkatkan FRC. Pra/apnoeik teknik oksigenasi sebelumnya


234 Diafragma terangkat 4cm Diatrogenik diafragma/visceral cedera. Risiko trauma toraks cedera organ perut. intubasi. Targetkan PaCO2 sebesar 4.0kPa jika berventilasi mekanis. Pasang selang torakostomi 1-2 spasi lebih tinggi. Indeks kecurigaan yang tinggi. CT pencitraan Sirkulasi, pendarahan hebat, dan serangan jantung Kompresi aortocaval: ↓Pramuat,↑beban tambahan↓Curah jantung terlentang (30%) ↓Perfusi uteroplasenta terlentang Cadangan jantung tinggi: ↓ Resistensi vaskular sistemik ↑Curah jantung ↑Volume darah (40%) Ketika tinggi fundus mencapai umbilikus aortocaval, kompresi menjadi signifikan dan mengurangi curah jantung saat terlentang Kehilangan darah sebanyak 1,5L atau lebih (dalam jangka waktu tertentu) dapat terjadi sebelum tanda-tanda hipovolemia berkembang, sehingga terdapat peningkatan risiko serangan jantung. Dilatasi pembuluh darah rahim dan panggul - berpotensi menimbulkan bencana pendarahan setelah cedera Perpindahan uterus terus menerus: manual lebih disukai daripada miring karena menjaga keselarasan tulang belakang dan memungkinkan resusitasi jantung paru yang efektif. Histerotomi resusitasi dalam waktu 4 menit setelah serangan jantung Indeks kecurigaan yang tinggi; jalur arteri awal; penilaian janin untuk memberikan informasi mengenai status volume ibu dan perdarahan obstetrik; pengikat panggul yang diimprovisasi mungkin diperlukan; pengendalian kerusakan mungkin tidak dapat


235 Hilangnya autoregulasi uterus Perubahan hematologi: Hiperkoagulabilit as Anemia fisiologis Trombositopenia fisiologis Perfusi uteroplasenta bergantung pada tekanan arteri rata-rata ibu. Perubahan interpretasi tes darah laboratorium dan konsumsi faktor pembekuan tergantung pada sumber perdarahan dan kehamilan. dilakukan tanpa pengosongan rahim. Pertimbangkan kesesuaian strategi penggantian cairan yang restriktif. Hindari penggunaan vasopresor. Masukan hematologi dini; tes di tempat perawatan dan koagulasi yang sering; faktor pembekuan individual dan strategi penggantian fibrinogen; bidik fibrinogen >2gL-1 ; rasio waktu tromboplastin parsial teraktivasi dan waktu protrombin 100 x 109 L -1 . Disabilitas (neurologis) ↑Adipositas leher Penempatan kerah serviks yang tidak mungkin Stabilisasi in-line manual secara terusmenerus. Paparan dan lingkungan Perdarahan uteroplasenta Perdarahan yang tersembunyi dapat terlihat dari keluarnya darah dari vagina Pastikan penilaian kehilangan darah per vagina selama survei primer


236 JANIN Pemeriksaan perut selama kehamilan sangat penting dalam mengidentifikasi cedera serius pada ibu dan mengevaluasi kesejahteraan janin. Penyebab utama kematian janin adalah syok ibu dan kematian ibu. Penyebab kematian janin kedua yang paling umum adalah solusio plasenta. Abruptio plasenta ditandai dengan perdarahan vagina (70% kasus), nyeri tekan uterus, seringnya kontraksi uterus, tetani uterus, dan iritabilitas uterus (rahim berkontraksi saat disentuh; GAMBAR 12-6A). Pada 30% solusio setelah trauma, perdarahan vagina mungkin tidak terjadi. Ultrasonografi uterus mungkin membantu dalam diagnosis, namun tidak pasti. CT scan juga dapat menunjukkan solusio plasenta (GAMBAR 12-6A dan C) Pada akhir kehamilan, solusio plasenta dapat terjadi setelah cedera yang relatif ringan. Ruptur uterus, suatu cedera yang jarang terjadi, ditandai dengan adanya nyeri tekan perut, nyeri tekan, kekakuan, atau nyeri tekan balik, terutama jika terjadi syok berat. Seringkali, tanda-tanda peritoneum sulit diketahui pada usia kehamilan lanjut karena perluasan dan pelemahan otot-otot dinding perut. Temuan abnormal lain yang menunjukkan ruptur uteri adalah letak janin di perut (misalnya letak miring atau melintang), kemudahan palpasi bagian janin karena lokasinya di luar rahim, dan ketidakmampuan untuk meraba fundus uteri dengan mudah ketika terjadi ruptur fundus. Bukti ruptur pada sinar-X meliputi ekstremitas janin yang melebar, posisi janin abnormal, dan udara bebas intraperitoneal. Eksplorasi operatif mungkin diperlukan untuk mendiagnosis ruptur uteri. GAMBAR 12-6 Pecahnya plasenta. A. Pada solusio plasenta, plasenta terlepas dari rahim. B. Bagian aksial dan C. koronal pada perut dan panggul, menunjukkan solusio plasenta.


237 Pada kebanyakan kasus solusio plasenta dan ruptur uteri, pasien melaporkan nyeri perut atau kram. Tanda-tanda hipovolemia dapat menyertai setiap cedera tersebut. Bunyi jantung janin awal dapat diauskultasi dengan USG Doppler pada usia kehamilan 10 minggu. Lakukan pemantauan janin terus menerus dengan tokodinamometer setelah usia kehamilan 20 hingga 24 minggu. Pasien yang tidak memiliki faktor risiko kehilangan janin harus menjalani pemantauan terus menerus selama 6 jam, sedangkan pasien dengan faktor risiko kehilangan janin atau solusio plasenta harus dipantau selama 24 jam. Faktor risikonya adalah detak jantung ibu > 110, Injury Severity Score (ISS) > 9, bukti solusio plasenta, detak jantung janin > 160 atau < 120, ejeksi saat terjadi kecelakaan kendaraan bermotor, dan tabrakan sepeda motor atau pejalan kaki. TAMBAHAN PADA SURVEI PRIMER DENGAN RESUSITASI IBU Jika memungkinkan, pasien harus diawasi pada sisi kirinya setelah pemeriksaan fisik. Pantau status cairan pasien untuk mempertahankan hipervolemia relatif yang diperlukan pada kehamilan, serta oksimetri nadi dan penentuan gas darah arteri. Ketahuilah bahwa bikarbonat ibu biasanya rendah selama kehamilan untuk mengkompensasi alkalosis respiratorik. JANIN Dapatkan konsultasi kebidanan, karena gawat janin dapat terjadi kapan saja dan tanpa peringatan. Denyut jantung janin merupakan indikator sensitif terhadap status volume darah ibu dan kesejahteraan janin. Nada jantung janin harus dipantau pada setiap wanita hamil yang terluka. Kisaran normal detak jantung janin adalah 120 hingga 160 detak per menit. Denyut jantung janin yang tidak normal, deselerasi yang berulang, tidak adanya percepatan atau variabilitas detak demi detak, dan seringnya aktivitas uterus dapat menjadi tanda akan terjadinya dekompensasi ibu dan/atau janin (misalnya hipoksia dan/atau asidosis) dan harus segera berkonsultasi dengan obstetri. . Jika layanan obstetrik tidak tersedia, rencanakan pemindahan ke pusat trauma yang memiliki kemampuan obstetrik. Lakukan pemeriksaan radiografi apa pun yang diindikasikan karena manfaatnya tentu lebih besar daripada potensi risikonya pada janin. SURVEI SEKUNDER Selama survei sekunder ibu, ikuti pola yang sama seperti pada pasien tidak hamil, seperti diuraikan dalam Bab 1: Pengkajian dan Penatalaksanaan Awal. Indikasi untuk CT scan perut, penilaian terfokus dengan sonografi untuk trauma (FAST), dan diagnostik peritoneal lavage (DPL) juga sama. Namun jika dilakukan DPL, letakkan kateter di atas umbilikus dengan teknik terbuka. Waspadai adanya kontraksi uterus yang menandakan persalinan dini, dan kontraksi tetanik yang menandakan solusio plasenta. Evaluasi perineum mencakup pemeriksaan panggul formal, idealnya dilakukan oleh dokter yang ahli dalam perawatan obstetrik. Adanya cairan ketuban di dalam vagina, yang dibuktikan dengan pH lebih besar dari 4,5, menunjukkan


238 adanya pecahnya selaput korioamniotik. Perhatikan penipisan dan dilatasi serviks, presentasi janin, dan hubungan bagian presentasi janin dengan spina isiadika. Karena pendarahan vagina pada trimester ketiga dapat mengindikasikan gangguan pada plasenta dan kemungkinan kematian janin, pemeriksaan vagina sangat penting. Namun pemeriksaan vagina berulang kali sebaiknya dihindari. Keputusan mengenai operasi caesar darurat sebaiknya dilakukan dengan berkonsultasi dengan dokter spesialis kandungan. CT scan dapat digunakan untuk pasien trauma hamil jika terdapat kekhawatiran yang signifikan terhadap cedera intra-abdomen. Dosis radiasi CT scan perut/panggul mendekati 25 mGy, dan dosis radiasi janin kurang dari 50 mGy tidak berhubungan dengan anomali janin atau risiko tinggi kehilangan janin. Masuk ke rumah sakit adalah wajib bagi pasien hamil dengan perdarahan vagina, iritabilitas uterus, nyeri tekan perut, nyeri atau kram, bukti hipovolemia, perubahan atau tidak adanya nada jantung janin, dan/atau kebocoran cairan ketuban. Perawatan harus diberikan di fasilitas yang memiliki kemampuan pemantauan dan pengobatan terhadap janin dan ibu yang sesuai. Janin mungkin berada dalam bahaya, bahkan jika ibu mengalami cedera ringan. Pemeriksaan sekunder hanya boleh dilakukan setelah pasien dalam keadaan stabil dan tidak ada cedera yang mengancam jiwa. Pemeriksaan dari atas ke bawah secara mendetail dilakukan, diikuti dengan penilaian janin. Riwayat diperoleh dengan menggunakan singkatan AMPLE untuk membantu mengumpulkan informasi penting: A Alergi M Obat-obatan P Riwayat kesehatan masa lalu L Makanan terakhir E Kejadian yang menyebabkan cedera PEMERIKSAAN DARI KEPALA HINGGA KAKI: Pemeriksaan abdomen pada kehamilan merupakan hal yang menantang dan rumit karena rahim yang membesar. Perhatian khusus diberikan pada tanda-tanda cedera di sekitar panggul; nyeri di atas rahim, kontraksi rahim, perdarahan vagina atau ketuban pecah. PENILAIAN JANIN Pemantauan janin secara elektronik diindikasikan apabila viabilitas janin telah dipastikan (lebih dari 24 minggu) dan peralatan yang sesuai tersedia (kardiotokografi/CTG). CTG memungkinkan pemantauan denyut jantung janin dan kontraksi rahim. Denyut jantung janin yang normal berkisar antara 120 hingga 160 bpm.4 Jenis-jenis trauma Trauma tumpul: Laparotomi kontrol kerusakan (DCL) dianggap sebagai prosedur penyelamatan nyawa dengan potensi untuk mendiagnosis hasil klinis yang merusak yang dapat diharapkan dalam keadaan trauma abdomen tumpul dengan pemusnahan.8 Dalam sebuah tinjauan sistematis terhadap literatur terkini dari Januari 2006 hingga Juli


239 2016, yang mencakup total 95.949 pasien, kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma tumpul yang paling sering terjadi, diikuti dengan jatuh, penyerangan, baik kekerasan dalam rumah tangga maupun kekerasan antarpribadi.9 Cedera janin secara langsung jarang terjadi pada trauma tumpul karena adanya penyerapan kekuatan oleh rahim, plasenta, dan cairan ketuban. Namun, cedera dan kematian janin merupakan akibat tidak langsung dari syok dan kematian ibu.9 Selama trimester pertama, rahim dilindungi oleh panggul bertulang.24 Saat rahim membesar, rahim akan menggeser sefalad usus, sehingga janin menjadi lebih rentan terhadap cedera. Penipisan dinding rahim dengan pertumbuhan dan penurunan volume cairan ketuban secara relatif juga berkontribusi terhadap kerentanan janin. Cedera kandung kemih dan limpa serta perdarahan retroperitoneal merupakan cedera yang paling umum terjadi akibat trauma tumpul.10 Fraktur panggul umumnya berhubungan dengan trauma tumpul dan berhubungan dengan perdarahan retroperitoneal yang signifikan akibat pembuluh darah panggul yang membesar. Komplikasi obstetri dari trauma tumpul abdomen meliputi persalinan prematur, persalinan prematur, ketuban pecah dini prematur, solusio, perdarahan fetomaternal, dan jarang terjadi ruptur uteri. Trauma tembus: Trauma tembus disebabkan oleh luka pisau atau luka tembak dan membutuhkan eksplorasi bedah segera. Rahim gravid tumbuh mendorong semua jeroan dan bertindak sebagai penghalang pelindung dalam menembus trauma. Oleh karena itu, cedera uterus sering terjadi pada kasus-kasus ini, sehingga menyebabkan cedera janin secara langsung dan meningkatkan angka kematian ibu dan janin. Penatalaksanaan trauma tembus tidak berbeda pada pasien hamil dibandingkan dengan pasien yang tidak hamil.12 Laparotomi eksplorasi bukan merupakan indikasi untuk persalinan sesar, tetapi uterus yang besar menyulitkan pembedahan abdomen, sehingga operasi sesar mungkin diperlukan.4 PERAWATAN DEFINITIF Dapatkan konsultasi obstetri setiap kali ada atau dicurigai adanya masalah uterus tertentu. Dengan pemisahan plasenta yang luas atau embolisasi cairan ketuban, pembekuan intravaskular yang meluas dapat terjadi, menyebabkan penipisan fibrinogen, faktor pembekuan lainnya, dan trombosit. Koagulopati konsumtif ini dapat muncul dengan cepat. Jika terdapat emboli cairan ketuban yang mengancam jiwa dan/atau koagulasi intravaskular diseminata, segera lakukan evakuasi uterus dan ganti trombosit, fibrinogen, dan faktor pembekuan lainnya, jika perlu.


240 Sedikitnya 0,01 mL darah Rh-positif akan membuat sensitisasi 70% pasien Rh-negatif. Meskipun tes Kleihauer-Betke yang positif (smear darah ibu yang memungkinkan deteksi sel darah merah janin dalam sirkulasi ibu) menunjukkan perdarahan fetomaternal, tes negatif tidak mengecualikan perdarahan fetomaternal derajat ringan yang mampu melakukan isoimunisasi pada ibu dengan Rhnegatif. Semua pasien hamil dengan trauma Rhnegatif harus menerima terapi imunoglobulin Rh kecuali jika cederanya jauh dari rahim (misalnya, cedera ekstremitas distal yang terisolasi). Terapi imunoglobulin harus dimulai dalam waktu 72 jam setelah cedera. TABEL 12-4 merangkum perawatan pasien hamil yang cedera. Kesulitan Pencegahan Kegagalan dalam mengenali perlunya terapi imunoglobulin Rh pada ibu dengan Rh negatif • Berikan terapi imunoglobulin Rh pada semua ibu dengan Rh-negatif yang mengalami cedera kecuali jika cederanya terletak jauh dari rahim (misalnya, pada ekstremitas distal yang terisolasi)


241 Tabel 12-4 trauma pada pasien obstetri TANDA-TANDA VITAL Posisi Pengobatan dan profilaksis hipotensi > 20 minggu, dekubitus lateral kiri Hipotensi Lihat “terapi” di bawah Cairan IV Transfusi Hipertensi Kriteria: ≥140 sistolik, >90 diastolik Terapi: >160 sistolik, >110 diastolik Pemantauan Rahim Janin >20 minggu; memulai sesegera mungkin. Jika tidak dapat menawarkan intervensi OB, stabilkan dan atur transfer segera. Pendarahan Vagina Obati hipotensi seperti diatas, konsultasi OB, Rh negatif dapat RhIG. LAB (SEBAGAI STUDI TRAUMA BIASA) KBK Hematokrit Rendah Ketik layar Kleihauer-Betke Rh-negatif Profil Koagulasi INR, PTT, degradasi fibrin, fibrinogen, i-Coombs GAMBAR DIAGNOSTIK • Pesan indikasi umum yang sama seperti pada pasien tidak hamil. • Berkoordinasi dengan ahli radiologi dan pertimbangkan USG untuk menggantikan rontgen jika memungkinkan. • Lindungi perut, panggul, dan leher jika memungkinkan. PENGOBATAN (OBAT-OBATAN YANG TERDAFTAR UMUMNYA DIREKOMENDASIKAN) Cairan IV Pasien memerlukan kebutuhan cairan yang lebih besar bila mengalami hipotensi; hindari beban dekstrosa (D5). Oksigen Untuk menghindari hipoksia janin, berikan oksigen konsentrasi tinggi. Intubasi dan induksi urutan cepat Indikasi prosedur umumnya serupa dengan nonkehamilan Analgesia Gunakan sesuai kebutuhan, dan informasikan kepada OB mengenai dosis dan waktu jika diperkirakan akan terjadi persalinan. Antiemetik metoklopramid 5-10 mg IV atau IM pusat ondan 4-8mg IV Antibiotik seftriakson 1 gram IV (jika alergi penisilin) klindamisin 600 mg IV Transfusi Antibodi CMV—neg leukosit—berkurang


242 PENGOBATAN (OBAT-OBATAN YANG TERDAFTAR UMUMNYA DIREKOMENDASIKAN) Rh-negatif RhIG 1 ampul (300 g) IM Tetanus Td aman TD >160 detik, >110 hari Hipertensi labetalol 10-20 mg IV bolus Kejang eklampsia magnesium sulfat 4–6 Gm IV dimuat selama 15–20 menit Non- eklampsia lorazepam 1-2 mg/menit IV CPR ACLS >20 minggu Pasien harus dalam posisi dekubitus lateral kiri. Jika tidak ada kembalinya sirkulasi spontan setelah 4 menit CPR, pertimbangkan persalinan sesar pada janin yang masih hidup. WATAK Penerimaan dan Pemantauan Pemantauan janin selama 4 jam terhadap janin yang berpotensi hidup Memulangkan Tindak lanjut segera dengan OB Diadaptasi dengan izin dari American College of Emergency Physicians. Sumber Daya Manajemen Klinis dan Praktik. Trauma pada Pasien Kebidanan: Alat Samping Tempat Tidur, http://www.acep.org. Diakses 16 Mei 2016


243 KERJA TIM • Ketua tim harus mengingatkan tim tentang perubahan anatomi dan fisiologis utama yang berhubungan dengan kehamilan yang dapat mempengaruhi evaluasi pasien hamil yang mengalami cedera. • Tim harus ingat bahwa, meskipun ada dua pasien, misi utama tim adalah memastikan resusitasi ibu secara optimal. • Ketua tim harus memberitahukan dokter kandungan dan unit kebidanan yang bertugas mengenai kedatangan pasien hamil yang cedera sesegera mungkin sambil terus mengarahkan resusitasi secara keseluruhan. • Tim harus menjaga indeks kecurigaan yang cukup tinggi terhadap adanya kekerasan yang dilakukan oleh pasangan intim, dan dengan cermat mendokumentasikan semua cedera yang terjadi. RINGKASAN 1. Perubahan anatomi dan fisiologis yang penting dan dapat diprediksi terjadi selama kehamilan dan dapat mempengaruhi penilaian dan pengobatan pasien hamil yang mengalami cedera. Perhatian juga harus diarahkan pada janin, pasien kedua dari duo unik ini, setelah lingkungannya stabil. Seorang ahli bedah dan dokter kandungan yang berkualifikasi harus dikonsultasikan sejak awal dalam evaluasi pasien trauma hamil. Jika layanan kebidanan tidak tersedia, pertimbangkan untuk memindahkan dini ke pusat trauma yang memiliki layanan kebidanan. setuju dengan edit. 2. Dinding perut, miometrium uterus, dan cairan ketuban bertindak sebagai penyangga untuk mengarahkan cedera janin akibat trauma tumpul. Ketika ukuran uterus gravid meningkat, organ dalam perut lainnya relatif terlindungi dari cedera tembus, sedangkan kemungkinan cedera uterus meningkat. 3. Resusitasi volume yang sesuai harus diberikan untuk memperbaiki dan mencegah syok hipovolemik ibu dan janin. Kaji dan resusitasi ibu terlebih dahulu, lalu kaji janin sebelum melakukan survei sekunder pada ibu. 4. Pencarian harus dilakukan untuk kondisi unik pada pasien hamil yang cedera, seperti trauma tumpul atau tembus rahim, solusio plasenta, emboli cairan ketuban, isoimunisasi, dan ketuban pecah dini. 5. Perdarahan fetomaternal derajat ringan dapat membuat ibu dengan Rh-negatif menjadi peka. Semua pasien hamil dengan trauma Rh-negatif harus menerima terapi imunoglobulin Rh kecuali jika cederanya jauh dari rahim. 6. Adanya indikator-indikator yang menunjukkan kekerasan yang dilakukan oleh pasangan intim harus digunakan untuk memulai penyelidikan lebih lanjut dan melindungi korban.


Click to View FlipBook Version