"Nanti aku kabarin ya kalau besok jadi datang kerumah," ucap Natara dari gerbangPerpustakaan."OKE, SAMPAI JUMPA NATA!" jawab Biru dengan teriak sambil tetap menjalankan motornya. Natara Andya, berusia 23 tahun, memiliki banyak ketertarikan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan yang membuatnya merasa nyaman, tenang dan sejuk. Disamping itu Natara juga suka menyampaikan segala hal yang ada dipikirannya, semacam bertukar pikiran dengan teman? sahabat? atau mungkin kekasihnya? Biru Pramatya, dikenal sebagai "Pendebat Nasional" yang cerdas, ambisius dan pandai. Biru berumur 1 tahun lebih tua dari Natara. Biru lahir dari keluarga yang sangat makmur, disamping itu ia mendapat banyak sekali tuntutan dari ayahnya dan juga tuntutan dari dirinya sendiri yang harus selalu berada diposisi teratas. Biru adalah seorang yang selalu ada untuk Natara di segala kondisi. Walau Natara dan Biru saling menyimpan rasa hubungan mereka tidak pernah ada kepastian. Biru juga satu satunya orang yang selalu siap diajak bertukar pendapat kapanpun oleh Natara. Mereka memiliki hobi yang sama yaitu, berdebat. Natara dan Biru suka menghabiskan waktu bersama. Natara suka sekali pergi menjelajah kotanya dan Biru sangat suka menemani Natara pergi kemanapun. Mereka sangat suka menjadikan hal apapun menjadi suatu perdebatan, setiap mereka menyusuri kota dan disela istirahatnya mereka akan memperdebatkan suatu hal. Karena dari perdebatan itu Natara dan Biru akan merasa lebih dekat dan lengkap. Hari disaat Natara dan Biru bertemu, mereka membicarakan banyak hal lagi dan lagi, Natara juga membahas perlombaan debat yang akan diikutinya minggu depan. Biru tertarik dengan lomba itu, Natara dengan semangat setuju dengan keputusan Biru. Tapi di perlombaan kali ini mereka berada di tim yang berbeda. Hari-hari selanjutnya setelah Biru setuju untuk ikut lomba debat itu mereka menghabiskan waktu masing-masing untuk menyiapkan argumen debat, mereka tidak bisa menghabiskan waktu bersama saat ini. Percakapan mereka hanya sebatas menanyakan progress argumen masing-masing. Ada satu hari dimana mereka memiliki waktu luang dan mereka memutuskan untuk bertemu. Di hari itu mereka hanya menghabiskan waktu dengan berbincang dan bergurau. Melupakan sejenak argumen-argumen yang membuat mereka harus memutar otak. Di hari ini lagi dan lagi Biru memberanikan diri untuk menanyakan kejelasan hubungan mereka. Dan jawaban Natara adalah "Biru aku akan selalu anggap kamu sebagai Biru, bukan lebih dari itu, segala kekuranganmu maupun kelebihanmu tak kurang tak lebih, kau tetap biruku." Ucap Natara yang hanya dibalas helaan nafas oleh Biru. Biru paham maksud jawaban Natara. Pertemuan mereka di hari itu berakhir dengan suasana canggung, hanya selang 10 menit dari pertanyaan tadi Natara dan Biru akhirnya memutuskan untuk menyudahi pertemuan mereka, dan
berpisah di halte bus.Tiga hari setelah suasana canggung itu mereka akhirnya tidak sengaja bertemu di lorong kampus. Seperti tidak terjadi apa-apa diantara mereka sebelumnya, berbincang, bercanda, membuat kesal satu sama lain seperti seakan-akan mereka tidak ingat ada hari kemarin yang canggung dan hening. Pertemuan mereka hari itu tenang dan menyenangkan, mereka membicarakan dan memperdebatkan semua hal kecuali, hubungan keduanya. Hari dimana Natara dan Biru kembali sibuk dengan agendanya masing-masing, menyiapkan argumen debat dan juga berlatih. Sesekali Biru terpikirkan dengan hariitu, hari canggung dan hening bersama Natara kemarin. Hari berlalu dengan cepat, Hari puncak akhirnya tiba. Hari ini pelaksanaan lomba debat antara pihak Natara dan pihak Biru diselenggarakan. Suasana semenjak pagi hari terasa cerah, bersemangat, hangat dan sedikit membuat jantung berdetak lebih cepat. Kali pertama Natara dan Biru berada di pihak yang berbeda dalam suatu lomba perdebatan, tidak biasanya mereka berada di pihak yang berbeda sebelumnya, sudah banyak lomba debat yang mereka ikuti dan mereka selalu dipihak yang sama. Pukul 13.00 MC membuka perdebatan dan dilanjutkan dengan moderator. "Dengan berkembangnya zaman, bertambahnya tahun, dan berinovasinya teknologi, kehidupan sekarang akan dipenuhi dengan banyak sekali kemudahan, kenikmatan, dan pilihan. Sekarang kita sudah memasuki zaman dimana semua sudah bercampur dengan kebudayaan asing, baik dari kebudayaan, bahasa, bahkan kebiasaan sehari-hari. Kita pasti sudah sadar, bahwa sekarang dalam kehidupan sehari-hari segala hal yang kita lakukan pasti ada pengaruh dari budaya asing. Kali ini mosi kita adalah apakah bahasa di era digital ini merupakan sebuah tantangan? atau justru dapat menjadi suatu peluang?" Suasana di ruang debat sudah mulai serius semenjak moderator melanjutkan gilirannya. "19 Februari 2023, pukul 13.10 debat akan dimulai. Silahkan untuk tim kontra sayapersilahkan memulai argumennya." Lanjut moderator. Debat dimulai. Natara sebagai salah satu anggota tim kontra memulai debat. "Terima kasih moderator sudah mempersilahkan tim kami untuk menyampaikan argumen. Selamat pagi semua, saya Natara Andya dari tim kontra akan menyampaikan argumen. Menurut saya bahasa di era digital adalah sebuah tantangan, karena bahasa sangat berpengaruh bagi keberlangsungan kita dalam berbudaya. Seperti yang kita tahu bahasa kita di era sekarang sudah terkontaminasi oleh bahasa-bahasa asing, hal tersebut merupakan salah satu penyebab kebudayaan dan bahasa yang kita miliki bisa luntur. Hal ini sudah
jelas menjadi suatu tantangan untuk kita karena kita seharusnya dapat melestarikan dan memperkenalkan kebudayaan kita ke lingkungan luas". "Cukup, bagaimana tanggapan tim pro?" Ucap moderator "Tapi apakah sudah dapat dipastikan bahwa satu-satunya alasan budaya dan bahasa kita dapat luntur karena era digitalisasi ini? Menurut saya bahasa di era digital ini berpengaruh baik dalam memperkenalkan Indonesia, terutama kebudayaan. Sekarang dunia berlomba-lomba untuk terkenal, hal ini dapat kita sangkut paut kan dengan bahasa di era digital ini-" sambung Biru sebagai tim pro, yang langsung di sela oleh Natara. "Interupsi, era digital memang bukan satu-satunya alasan lunturnya kebudayaan Indonesia, tetapi era digital adalah salah satu alasan, walau hanya sebagai salahsatu alasan berarti hal tersebut juga memperbanyak dampak buruk yang ada bagi kelangsungan budaya kita, dan secara tidak langsung berarti lebih mendukung lunturnya kebudayaan yang ada." Natara menyela argumen Biru "Cukup tim kontra, sekarang bagian tim pro. Tim pro dipersilahkan" ucap moderator, sekalian memotong kalimat Natara. "Izin menyampaikan argumen saya yang belum tuntas, sekarang dunia berlomba-lomba untuk terkenal, hal ini dapat kita sangkut paut kan dengan bahasa di era digital ini, karena bahasa dapat dijadikan suatu sarana, yang berarti kita dapat menjadikan hal ini sebagai peluang, dengan hal ini kita dapat lebih mudah memperkenalkan Indonesia ke negara luar. Kita dapat dengan mudah menyampaikan keunikan-keunikan yang dimiliki oleh negara kita kepada khalayak luas di luar negeri dengan bahasa yang digunakan di era digital ini. mengapa tidak kita tidak mencoba untuk beraksi memperkenalkan budaya yang ada dengan memanfaatkan era digital," ucap Biru yang sudah mulai terbawa emosi perdebatan, dan sebenarnya rasa kesalnya juga dibalut rasa takut,” lanjut Natara menyampaikan argumennya. "Negara berlomba-lomba untuk terkenal, saya setuju dengan argumen tersebut, tetapi mengapa mereka yang ingin memperkenalkan negaranya ke masyarakat luar justru mencampurkan sedikit banyak hal asing, mengapa tidak hanya memperkenalkan tentang negara itu sendiri, mengapa harus melibatkan hal asing, dan juga kalau kita setuju terhadap argumen bahwa bahasa di era digital merupakan suatu peluang berarti walau kita mencoba memperkenalkan Indonesia kita tidak memperkenalkan Indnonesia yang murni, kita justru memperkenalkan Indonesia yang sudah tercampur." Balas Natara yang ikut terbawa suasana panas perdebatan dan argumennya yang sudah agak keluar pembahasan.
"Dalam konteks ini saya tidak menyampaikan bahwa kita memperkenalkan Indonesia dengan tambahan dari negara, budaya, bahasa asing manapun, saya menyampaikan bahwa kita dapat menjadikan bahasa di era ini sebagai salah satu sarana yang dapat mempermudah kita dalam memperkenalkan kebudayaan Indonesia ke masyarakat luas, bahkan luar negeri." Biru memperjelas argumennya, Natara memang sepertinya sudah lebih terbawa emosi dalam perdebatan ini, ada beberapa hal yang mulai tidak sinkron dengan argumen awal. Selama kurang lebih 37 menit berlalu, tim kontra dan tim pro masih tetap memberikan argumennya, sampai akhirnya suasana panas dan menyebalkan ini terjadi "Karena kita harus menetapkan bahasa indonesia sebagai bahasa yang memang seharusnya kita terapkan dikehidupan sehari hari dan menggunakan keahlian yang disebutkan tadi di saat yang memang seharusnya!" Saut Natara dari meja seberang dengan segala pendapat yang sudah ia pikirkan semenjak Biru mulai menyampaikan pendapat di persekian menit. “Sudah beberapa kali tim kami tekankan, kita menggunakan bahasa di era digitalisasi ini bukan sebagai bahasa pengganti terhadap bahasa Indonesia, KITA MENGGUNAKAN BAHASA DI ERA DIGITAL SEBAGAI SUATU SARANA YANG BISA MEMPERKENALKAN DAN MENGEMBANGKAN INDONESIA KE KHALAYAK LUAS. TOLONG JANGAN MELENCENG DARI MOSI NONA NATARA!" Kesal, itu adalah kata yang dapat mendeskripsikan apa yang tim pro rasakan. "Bukankah melenceng jika suatu perlombaan diikutsertakan main uang di belakang layar, dengan tujuan ingin memenangkan suatu perlombaan? bukankah itu hal yang justru lebih melenceng, saudara Biru?" Natara meluapkan apa yang ia tidak suka dari kejadian Februari, 2019. Seketika suasana hening, pikiran biru membeku, media sudah siap menyorot semua kejadian di ruangan. Perlombaan debat hari ini sangat berantakan dan kacau, debat akhirnya tidak dapat dilanjutkan, Biru langsung pergi meninggalkan ruang debat dan Natara mematung sambil mencerna apa yang telah dia ucapkan di hadapan banyak orang dan kamera. Bahkan belum ada 24 jam kejadian itu berlangsung, Biru sudah banyak masuk ke beranda media sosial masyarakat, dengan berbagai judul yang mengatakan bahwa “Biru ahli debat yang dibantu tangan belakang”. Berawal dari Februari, 2019. Hari dimana lomba perdebatan tingkat nasional antara Natara dan Biru, mereka berada di tim yang sama, saat itu mereka, terutama Biru sangat mengharapkan kemenangan pada tingkat ini, karena
keharusan dari kedua orang tuanya dan juga Biru ingin membuat perdebatan kali ini sebagai perdebatan berarti bagi dirinya dan Natara. Untuk perlombaan ini Natara benar-benar berusaha semaksimal mungkin untuk menyiapkan materi, argumen, dan berlatih, begitupun Biru. Tapi sayangnya satu hari sebelum lomba debat nasional itu dilaksanakan Pramatya Sangkoro seorang ketua dewan yang disegani banyak orang, ayah dari Biru Pramatya ini memberikan amplop coklat kepada sang anak, Biru. “Baca ini, pahami dan berusaha yang maksimal untuk besok. Kasih dokumen ini ke teman tim-mu, suruh mereka pahami dan maksimal untuk besok, suruh mereka tidak bertanya apapun tentang darimana kamu dapat dokumen ini. Kalian hanya perlu menang dan harus menang.” Ayah Biru yang langsung pergi setelah meletakkan amplop coklat itu diatas meja belajar Biru. Biru sudah tidak heran lagi dengan cara ayahnya yang seperti ini, dia tetap melakukan instruksi ayahnya tanpa berkutik sedikitpun, karena hal itu juga yang pasti dapat membuat Biru dan timnya menang. Sesuai dugaan, akhirnya tim mereka (Natara dan Biru) menang pada perlombaan debat nasional itu dengan campur tangan belakang layar. Sayangnya Natara tahu bagaimana timnya bisa menang, kemenangan mereka bukan hasil jerih yang mereka lakukan. Natara memilih untuk diam karena dia tidak pernah mau kehilangan Biru, untuk alasan apapun. Kembali ke keadaan dimana nama Biru sekarang menjadi cibiran banyak orang karena ucapan Natara yang mengungkapkan keegoisan tuntutan ayahnya agar Biru harus menang di lomba perdebatan saat itu. Sudah beberapa hari berlalu tetap masih banyak sekali cacian yang Biru dapatkan, banyak sekali orang yang menambahkan opini dan persepsi salah sehingga membuat nama Biru Pramatya semakin buruk. Biru mencoba meredakan konflik ini, ia membuat sebuah video penjelasan tentang kesalahannya dan meminta maaf sebesar-besarnya atas yang ia lakukan. Namun video tersebut sebenarnya tidak merubah kondisi apapun, hanya saja Biru mendapat beberapa simpati dan selebihnya kondisi masih sama, mengetahui hal itu Biru tidak bertindak apa-apa dan hanya diam. Membaca menjadi kegiatan yang Biru lakukan untuk mengalihkan pikirannya yang berantakan, Biru suka membaca e-book saat biru sedang membaca buku digitalnya, biru menemukan narasi yang menarik perhatiannya, dan narasi itu membuat iasadar dengan apa yang sebenarnya terjadi. “Di era digital ini kita semua bisa memenuhi banyak hal dengan mudah, memang membantu dan sekaligus merepotkan. Era dimana kita sangat dibantu oleh teknologi yang ada. Perkembangan pesat teknologi yang tidak dapat dihentikan oleh manusia menghasilkan banyak sekali hal baru, banyak sekali hal yang dapat kita manfaatkan dalam era ini, kita dengan mudah dapat
mengembangkan pola pikir kita melalui teknologi, dengan berbagai bahasa yang kita kuasai kita dapat mendapatkan banyak sekali peluang untuk lebih maju. Menjadi hebat, pandai dan cerdas bukan berarti harus unggul dalam segala hal, dengan hanya memanfaatkan peluang di era digital dengan baik itu sudah dapat membuat kita menjadi pribadi yang hebat, pandai dan cerdas. Gunakan teknologi untuk memperkenalkan hal baik dan berkualitas dari dirimu, lingkunganmu, dan negaramu. Peluang dapat berasal dari mana saja, maka gunakan peluang yang datang dengan maksimal dan jangan sesekali mengecewakan peluang yang datang.” Tersadar, Biru tersadar bahwa ia telah menyia-nyiakan peluang yang datang dan justru memberikan kekecewaan kepada banyak orang. Hari demi hari sudah berlalu, berganti minggu dan minggu berganti bulan. Sudah 3 bulan semenjak Natara dan Biru perang dingin, sama sekali tidak ada komunikasi diantara mereka. Menjalani kehidupan tanpa komunikasi satu sama lain, terasa berat awalnya tetapi keadaan memaksa mereka untuk terbiasa. Biru memilih vakum dari hobi debatnya, memilih untuk menyibukkan diri dengan aktifitas yang lain, begitu juga Natara. Setiap hari terlintas di benak ingin meminta maaf dan mencoba memperbaiki keadaan, Natara yang setiap hari merangkai kata di ruang pesan dan Biru yang setiap hari memandang kontak Natara untuk menghubungi teleponnya, yang pada akhirnya mereka tidak meninggalkan pesan apapun untuk satu sama lain.Tepat di bulan ke-5 mereka asing, Biru memberanikan diri untuk menghubungi Natara, namun sayang semua kontak Natara yang Biru miliki sudah tidak aktif. Biru mencari informasi tentang perempuan yang selalu bersamanya beberapa bulan ke belakang, apakah dia baik-baik saja? bagaimana keadaannya? apakah dia sibuk dengan tugas-tugasnya? atau dia sibuk mencari ketenangan? Selang 2 hari akhirnya Biru mendapatkan sepatah jawaban mengenai Natara. “Natara sekarang sudah tidak di Bogor, Nak. Dia minta izin ke tante dan om untuk melanjutkan pendidikan ke Yogyakarta.” Jawab Tante Nandiya, Bunda Natara sambil menatap Biru sedih . Hari itu Biru akhirnya memberanikan diri untuk berkunjung ke rumah Natara. Dan ya, Biru mendapat jawaban tentang keberadaan Natara, jawaban yang sangat tidak disangka olehnya, jawaban yang membuatnya menyimpulkan bahwa Natara bukan sibuk dengan tugas dan agendanya tetapi sibuk mencari ketenangan . Dan satu-satunya hal yang Biru lakukan adalah membiarkan semua berjalan sesuai keinginannya. Oktober, 2023.
Hari yang sangat cerah dan menyenangkan, akhirnya Biru mampu memberanikan diri untuk menghadiri acara seminar bahasa yang dihadiri oleh ramai orang. Biru mendapat ilmu baru yang dapat ia terapkan dalam kehidupannya, mendapat relasi baru, berbincang mengenai alasan kenapa suka kebahasaan, dan lain lain. Acara yang sangat menyenangkan ditutup dengan seluruh partisipan bernyanyi bersama dan bersenang-senang. Biru meninggalkan aula lebih awal, tanpa disangka ia berpapasan dengan seorang yang kini asing, Natara. Mereka saling lihat dan senyum tanpa mengucapkan sepatah kalimat, dan pergi. Talia (Auria Arinda Safira) murid Baru sebuah mobil Toyota Alphard berwarna putih berhenti di depan sebuah sekolah SMA Taruna Putih. Seorang remaja dengan seragam putih abu-abu pun keluar daridalam mobil. Rambutnya yang tergerai lurus sedikit berterbangan terkena angin. "Sweetie, belajarlah dengan semangat. Mama tidak bisa mengantarkanmu ke dalam, biar Bu Tari yang mengantarkanmu sampai ke kelas," ucap seorang wanita berumur tiga puluh lima tahun yang masih terlihat muda. "Iya, Talia sudah besar, nggak usah diantar ke dalam. Talia masuk dulu, ya," sahut remaja bernama Talia tersebut. "Iya, semangat, sweetie!" Wanita bernama Ratna itu sedikit berteriak hingga mengundang perhatian para murid-murid yang masih berada di situ. Di setiap langkahnya, Talia mengundang banyak pasang mata untuk memperhatikannya. Rambut sedikit pirang, kulit putih, dan postur tubuh tinggi membuatnya menjadi perhatian para murid-murid lain. Selain itu, alasan utamanya adalah karena ia murid baru di sekolah ini. "Selamat pagi, Nduk Talia. Perkenalkansaya Bu Tari, saya adalah guru BK disini. Saya yang akan mengantarkanmu sampaike kelas. Ngomong-ngomong, sampeyan iki ayu tenan, Nduk, koyo bule-bule gitu.” Seorang guru muda yang cantik menghampiri Talia dan memperkenalkan dirinya dengan logat jawanya yang medok. Talia tersenyum manis dan membalas, "Oh, salam kenal, Bu Tari. Terima kasih banyak." Mereka pun berjalan menuju kelas XI.3 yang merupakan kelas Talia selama setahunke depan.
"Selamat pagi, anak-anak. Minta perhatiannya sebentar, saya disini bukanuntuk razia tapi ada murid baru. Hayo, pada penasaran?". Para murid-murid seketika heboh dan menatap Talia dengan berbagai tatapan. Talia sedikit gugup ketika ditatap oleh seluruh murid di kelas dengan terangterangan. "Perkenalkan nama saya Talia Lizzie. Saya pindahan dari Jakarta. Semoga kita bisa berteman dengan baik," ujar Talia. "Baik, Talia, silahkan duduk di kursi yang masih kosong," ucap Bu Tari. "Baik, Bu." Talia pun berjalan menuju sebuah kursi kosong dan mendudukkan dirinya di kursi tersebut. "Murid-murid, saya ingin menyampaikan sesuatu terkait ulang tahun sekolah minggu depan. Jadi kelas ini disuruh menampilkan Sandrul, Langen Mandra Wanara2. Kalian sudah diajarkan seni teater tradisional kan? Kurang lebih kalian sudah mengenal definisi seni teater tradisional. Kenapa kalian disuruh menampilkan Sandrul, karena itu sebagai contoh ekspresi budaya. Dengan begitu, kita akan lebih mengenali dan mencintai budaya kita. Paham anakanak?" tutur Bu Tari. "Paham, Bu!" anak-anak menjawab kompak. "Baik, mungkin itu saja yang bisa Ibu sampaikan. Untuk selebihnya nanti akan ada guru yang membimbing kalian dalam menyiapkan pentas seni Sandrul. Ibu permisi dulu, selamat belajar!" Bu Tari pun melangkahkan kaki keluar dari kelas. Seketika murid-murid kembali heboh membicarakan pentas seni Sandrul yang akan mereka bawakan nanti. Bahkan mereka seolah lupa dengan kehebohan mereka tadimengenai Talia, si murid baru. Sementara itu, Talia mengeluarkan sebuah notebookkecil dari dalam tasnya lalu ia mulai menuliskan sebuah sastra berbentuk puisi. Sastra bagaikan sebuah penenang jiwa baginya. Karena sastra adalah bentuk ekspresi manusia dalam menyampaikan segala pemikiran, pendapat, pengalaman, dan perasaan. Bel istirahat telah berbunyi, para murid menyimpan buku catatan masing-masing dan mulai berkumpul dengan teman-temannya. Talia menghela nafas, ia menyimpan buku catatannya ke dalam laci sebelum kemudian mengeluarkan sebuah bekal dari tasnya.
"Hei, anak baru, kamu Talia ya? kemarilah!" Seru seorang perempuan dengan rambut dikuncir bagaikan ekor kuda. Talia pun bangkit dan menghampiri murid perempuan itu yang sedang berkumpul bersama teman- temannya. Talia menebar senyum meski respon yang ia dapatkan berbeda-beda." “Kita harus disibukkan dengan pentas seni minggu depan. Sesuai jenis seni yang dipilihkan untuk kita yaitu Srandul, maka kita akan berbagi tugas. Ada yang menjadi lakon, penembang, pemain gamelan, dan lain-lain," ujar murid perempuan itu yang ber-nametag Silika. "Aku lan poro konco-koncoku sek nabuh gamelan,"3 ucap seorang murid laki-laki seraya mengacungkan jari. "Ya, aku ngerti sampeyan sek bakal nabuh gamelan. Wong cah karawitan,4 " sahut Silika. “Hehehe." Anak laki-laki dengan nametag Badrul itu hanya menyengir saja."Sekarang kita butuh tujuh penari dan tiga lakon. Untuk penari diperanke aku lan anakanak ekskul tari. Sek lakon diperanke Bagas lan konco-koncone5 . Setuju?" ujar Silika. "Setuju!" "Tembangnya siapa?" Sebuah pertanyaan dari seorang murid ekskul tari membuat semua perhatian teralih. Semua murid-murid saling tatap satu sama lain. Talia nampak sedikit gelisah seperti ingin menyampaikan sesuatu. "Sampeyan iso6 ?" Bagas bertanya kepada Silika. "Suaraku jelek," jawab Silika seraya menyengir. "Untuk tembang kita pikirkan aja nanti!" ucap Rara-murid ekskul tari.Talia menghela nafas seolah kecewa karena tidak bisa mengutarakan keinginannya. "Ya sudah, kita pulang dulu. Selanjutnya kita diskusikan besok!" ucap Badrul yangdisetujui semuanya. Mereka pun kembali ke tempat duduk masingmasing termasuk Talia. Talia pun menyantap bekalnya untuk mengisi ulang tenaganya. Jangan Pernah RaguHari telah berganti dan disinilah kelas XI.3 berada, di ruang ekskul tari yang cukup luas. Banyak kaca-kaca besar yang
tertempel di dinding sehingga bisa merefleksikan seseorang dari segala arah. Tujuan mereka di ruangan ini untuk berlatih pentas seni Srandul. Sedari tadi kehadiran Talia seperti tidak dibutuhkan. Ia hanya duduk di pojokan dengan notebook di tangannya. Tangannya mulai menari-nari. "Terkadang diri ini bingung dengan apa yang dirasa Ketika seseorang yang dekat bisa menjadi luka meskipun bisa menjadi obat Lalu ketika seseorang itu pergi, hanya tersisa kenangannya yang abu-abu Diri ini sering bertanya, mengapa? Sudahlah, simpan saja kenangan itu untuk dikenang Kini aku harus pulang." Monolog itulah yang keluar dari mulut Talia saat menuliskan sebuah sastra puisi di notebook-nya. Bait-bait itu tertulis ketika kenangannya teringat pada sosok mendiang ayahnya. Selama hidupnya, ayahnya adalah sosok yang keras. Nadanya tinggi dan rautnya galak. Kira-kira seperti itulah pandangan Talia kepada sosok ayahnya. Namun kini ayahnya telah pergi sejak sebulan yang lalu karena kecelakaan tunggal akibat mabuk saat berkendara. "Heh, malah diam di pojokan. Ayo latihan!" seru Silika yang tiba-tiba menghampiri Talia. "Hah? Oh, iya maaf." Talia pun segera bangkit dari duduknya dan menghampiri yang lainnya. Nampak mereka mengalihkan pandangan ke arah Talia. Mereka saling berbincang satu sama lain membicarakan peran apa yang cocokuntuk Talia. "Kebetulan untuk bagian nembang kosong, gimana kalau dia saja?" celetuk Badrul. "Pfffttt, nembang? Ojo guyon7 Dia 'kan dari Jakarta, mana bisa nembang?" sahut Silika. Talia mematung seakan tak percaya. Bagaimana bisa kemampuannya dipertanyakan oleh seseorang yang belum lama kenal dengannya?. "Sampeyan ojongono8 , Ka!" tegur Bagas. "Aku mau ke kamar mandi dulu, permisi." Talia berjalan cepat dari ruangan itu menuju ke ruang guru. Setelah mengucapkan salam, ia pun masuk dan menghampiri meja Bu Tari. Kebetulan Bu Tari sedang ada di mejanya.
"Permisi, Bu. Boleh saya mengutarakan sesuatu?" "Oh, Talia. Silahkan." Hari terus berganti dan dua hari lagi akan diadakan pentas seni dalam rangka perayaan ulang tahun sekolah. Para murid kompak berlatih untuk membawakan pentas seni Sandrul. Tak hanya pentas seni, ada juga lomba membaca puisi dan menyanyi. Intinya semuanya mendapat bagian masing-masing kecuali Talia. Ia dianggap hanya seorang murid baru yang tidak terlalu dibutuhkan. Talia hanya terlihat diam dan menerima saja. Tapi mereka tidak tahu yang sebenarnya. Setelah selesai latihan di ruang tari, murid-murid kelas XI.3 pun beristirahat sejenak. Samar-samar mereka mendengar suara tembang Jawa yang sangat merdu. Mereka masih mengira kalau itu mungkin suara di sound yang diputar di ruangan sebelah. Hingga suara tersebut terdengar semakin keras. Suaranya sangat lembut dan mendayu-dayu. Mereka seolah terhipnotis sampai terdiam beberapa saat. "Siapa yang nembang sekarang dengan suara sekeras itu?" celetuk Rara. "Aku yo ndak tahu, mungkin murid kelas lain. Ngendikane Bu Tari, tembangnya bakaldigawakke murid lain tapi aku yo ndak tahu sopo9 ," balas Silika. "Kok bisa kita dipilih seni drama padahal gak ono sek iso nembang,10" timpal Rara. Pentas Seni Sandrul Hari yang telah ditunggu pun telah tiba. Semuanya sibuk dengan Persiapannya masing-masing. Sedari pagi acara dimulai dan Talia tak nampak batang hidungnya. "Eh, kok dari tadi Talia nggak kelihatan, ya?" tanya Rara. "Yo ndak tahu, sekarang fokus ro persiapan sek,11" sahut Silika. Waktu perlahan berlalu hingga tiba giliran mereka tampil di atas panggung. Mereka bersiap di belakang panggung dengan perasaan gugup luar biasa. Mereka gugup untuk tampil sekaligus penasaran dengan penembang yang akan membawakan tembang dalam pentas seni nanti. "Sekarang waktunya kelas XI 3 membawakan pentas seni Srandul: Langen Mandra Wanara. Mari kita sambut penampilannya!" Terdengar seruan MC yang diiringi tepuk tangan meriah. Lampu minyak oncor bersumbu lima diletakkan di tengah arena dengan tiang penyangga di bawahnya. Daun-daunan warna-warni yang berasal dari taman
kuburan nampak menghisasi tiang tersebut. Tujuh penari mulai naik ke atas panggung dan mengelilingi oncor. Saat itu juga sebuah tembang macapat pangkur mulai terdengar. "Sekar Pangkur kang Winarna Lelabuhan kang kangge wong aurip Ala lan becik punikaPrayoga kawruhana Adat waton punika dipun kadulu Miwah ingkang tatakrama Den kaesthi siyang ratri...."12 Tembang merdu itu terdengar dari Talia yang menembang dengan begitu anggun di atas panggung. Suaranya halus dengan gerakan yang lihai dan tatapan yang mendayu, sungguh mampu menghipnotis siapapun yang melihatnya. "Ayo, semangat, sweetie," seru Ratna, mama Talia yang menyaksikan penampilan kesayangannya dengan heboh. Selesai pentas seni, Talia duduk di pinggir taman sekolah dengan notebook di tangannya. Ia telah berhasil menyelesaikan sastra puisinya. Tangannya mulai menari-nari. "Terkadang diri ini bingung dengan apa yang dirasaKetika seseorang yang dekat bisa menjadi luka meskipun bisa menjadi obatLalu ketika seseorang itu pergi, hanya tersisa kenangannya yang abu-abuDiri ini sering bertanya, mengapa?Sudahlah, simpan saja kenangan itu untuk dikenangKini aku harus pulangRumah lama tempat kita bertumbuh akhirnya akan kembaliMeski kadang kehadiran kita hanya sebentarTak mengapa, tidak ada yang abadiWahai rumah lama, peluklah diri ini dengan kenanganmuMeski orang lain membenci, setidaknya engkau merangkulkuWahai rumah lama, aku akan kembaliUntuk hidup lebih lama." "Talia!" Terdengar suara seruan dari Silika. Talia menoleh dan mendapati Silika dan teman-teman kelasnya sedang berlari kecil menghampirinya. Tibatiba Silika memeluk Talia erat seraya menangis. "Kamu tadi hebat! Aku minta maaf sudah sempat merendahkanmu.". "Iya, kita semua minta maaf," timpal yang lainnya. CATATAN KAKI :
1 Kamu itu cantik banget, seperti orang luar negeri 2 Karya seni drama tari Jawa (Yogyakarta) dengan tokoh kera3 Aku dan teman-teman yang menabuh gamelan 4 aku ngerti kamu dan teman-temanmu yang akan menabuh gamelan karena anakkarawitan 5 Yang pentas diperankan Bagas dan temen-temennya 6 Kamu bisa?7Jangan bercanda8 Kamu jangan seperti itu 9 Dibawakan murid lain tapi aku juga tidak tahu siapa?10 Tidak ada yang menyanyi 11 Ya tidak tahu sekarang fokus persiapan dulu 12 Tembang Pangkur yang diceritakan,Pengabdian yang berguna untuk orang hidup,Jelek dan baik itu, Sebaiknya kamu ketahui,Adat istiadat itu hendaknya dilaksanakan,Juga yang berupa tata krama,Dilaksanakan siang dan malam.
Analogi Pena dan Bedil (Nadinda Shifani Rizkia)
Pukul dua belas siang. Matahari tepat di atas kepala tanpa berikan bayang, dan yang aku dengar hanya kerasnya napas yang kubuang. Meja kerja tak tampak macam punya bahan dasar kayu, melainkan sebaran kertas tak tentu arah yang begitu layu. Dari sudut mata kanan dapat kulihat Mayang, salah satu wartawan di kantor kami, berjalan resah menuju mejaku. Tangan kanannya genggam selebaran surat kabar yang aku tebak sudah pasti terbitan pagi ini. Air muka Mayang merah, dan dari situ aku sudah prediksikan dengan pasti topik macam apa yang akan ia layangkan. “Apa-apaan ini, Genis?!” Tahan napasmu, Genis, tahan napasmu. Padamkan api dengan air, jangan dengan minyak tanah. Erat-erat aku pejamkan mata sebelum kutengokkan kepala ke arah Mayang yang membara. Belum sempat aku layangkan tanya basa-basi, cerocosnya sudah lebih semangat menginvasi. “Ini bukan berita yang aku tulis! Jelas-jelas aku meliput pasal pemilik tanah yang tak dapat sewa tanahnya dengan benar. Kenapa pula malah berputar sembilan puluh derajat dan bawa-bawa Perang Asia Timur Raya? Hei, pemilik tanah itu hanya ingin dibayar sewanya dengan adil dan bersih. Supaya anak istrinya bisa menanak nasi tiap hari, bukannya menanak batu. Apa hubungannya dengan harus berikan peran dalam Perang Asia Timur Raya sebagai sesama saudara? Siapa juga yang mau berperang?!” Mayang bercakap dengan nada yang begitu cepat. Sampai aku bertanyatanya berapa banyak kapasitas udara dalam paru-parunya. “Genis, aku tahu aku anak baru di sini. Sejak pagi aku berkeliling menanyai kepala redaktur, bertanya mengapa pula beritaku dipalsukan begini. Tak ada yang beri jawab, Genis. Jadi aku mohon, jawab pertanyaanku. Sebagai teman.”
Aku tundukkan kepala dalam, bibir menipis bentuk satu garis tak nyaman. Satu yang aku syukuri, jam makan siang sudah berdengung sejak beberapa menit yang lampau. Membawa aku dan Mayang jadi manusia yang tersisa dalam ruangan. “Duduk. Aku jelaskan,” begitu ujarku mutlak. Mayang menurut, ia tarik sembarang kursi. Duduk diam, meniadakan tumpukan amarahnya yang beberapa detik lalu masih setia meletup-letup. “Kamu tahu Pusat Kebudayaan di Jakarta, Mayang?” “Keimin Bunka Shidoso? Lembaga Pusat Kebudayaan di bawah Sendenbu, departemen khusus bawahan Kekaisaran Jepang di Jawa?” “Betul. Surat kabar kita di bawah pengawasan mereka, Mayang.” “Aku tahu. Lalu apa masalahnya? Bukankah mereka menyediakan tempat untuk himpun para seniman, bantu sebar paham kesenian, dan kebudayaan kita?” Betul, begitu yang dipahami masyarakat. Realitasnya begitu melenceng sebarkan berita bahwa kedatangan saudara Timur memang sejatinya untuk bantu tanahku ini. Nyatanya badan propaganda kekaisaran Jepang telah menyebar di seluruh Jawa. Sebarkan paham untuk giring dukung Jepang.
“Mereka mengawasi dan mengatur keberadaan surat kabar. Menetapkan harga langganan, jumlah peredaran, penyediaan alat cetak, kertas, dan tentu saja mengarahkan berita-berita yang dimuat. Bukan kita yang punya kendali atas suratkabar kita, Mayang. Jepang yang punya. Lalu kamu berharap beritamu pasal Jepang yang tak bayar uang sewa dengan bersih akan dimuat?” Bisa aku lihat kening Mayang berkerut kebingungan. Tangan dan tubuhku bergerak maju, angkat untuk genggam tangan milik Mayang lembut-lembut. “Mayang, aku minta maaf. Aku sudah diskusikan segalanya dengan kepala redaktur, memohon agar berita liputanmu dimuat sebersih-bersihnya seperti yang kamu tulis. Maafkan aku karena tak bisa membujuk lebih jauh, sungguh maaf.” “Genis ... Genis, aku minta maaf berteriak seperti tadi.” “Aku akan mengundurkan diri,” dengan tak tahu malunya aku potong wicara Mayang. Bisa aku lihat bola matanya mendelik tak segan-segan. “Aku akan pulang. Satu tahun bekerja di Sinar Baroe sudah lebih dari cukup. Hari ini aku akan berikan surat pengunduran diri ke kepala redaktur. Maaf, Mayang. Sungguh, aku memohon maaf.” Lalu di sini lah aku berada. Berdiri di depan gerbang rumah orang tuaku dengan tas berat, dan hati yang lebih berat. Sejenak aku ucapkan terima kasih kepada sopir dokar, membawa bunyi tapak kuda berlari jauhi pekarangan. Lantas senyum lebarku tak bisa tertahan lagi tatkala lihat Ibu berlari dari dalam rumah kegirangan. Girang, karena anak perempuan semata wayangnya akhirnya pulang setelah lima tahun tinggalkan rumah. Bukan selebaran surat lagi, melainkan tubuh serta nyawaku yang menghadap. Cepat-cepat ia buka gerbang
dengan kasar, detik selanjutnya dapat aku rasakan pelukan hangatnya yang selalu dirindukan. “Genis, Ya Allah. Genis, pulang juga akhirnya. Ya Allah, anakku.” Aku peluk balik tubuh Ibuku. Tersenyum lebar tatkala rasakan air mata Ibu basahi pundakku. Tak berselang lama, Bapak telah berdiri di ambang pintu. Aku lihat samar-samar ia berdecak setelah kedua netranya berputar ke sana ke sini. Seolah mencari sesuatu yang selain aku dan Ibu. Lantas dengan tegasnya ia berujar, “Kau pulang tak bawa cucu untukku, Nduk?1 Berani betul. ”Tawaku pecah seketika. ~“Murung betul kau. Dicampakkan kekasih makanya pulang?” Bola mata kuputar malas, tak tanggapi lebih jauh guyonan Bapak. Sore ini kami berdua putuskan untuk duduk di pekarangan rumah sembari minum teh. Mengadakan kembali kebiasaan lama antara kami sejak aku masih bersekolah di MULO, Meer Uitgebreid Lager Ondewijs. Sekolah pendidikan dasar lebih luas. “Kapan pertama kali aku minta kau temani aku minum teh sore begini, ya, Nduk?” tanya Bapak setelah menyeruput teh panasnya dengan damai. “Ketika aku diterima di MULO. Sebelas tahun yang lalu, kira-kira.”
“Lama betul.” “Ya. Aku harus berterima kasih ke Bapak.” “Untuk?” “Untuk dapat gaji lebih dari seratus gulden sebulan.” Bapak terkekeh dengar ucapan tanpa filterku. Memang begitu kenyataannya. Aku bisa lulus dari AMS, Algemeene Middlebare School, sekolah menengah umum saat usiaku dua puluh tahun karena Bapak berpenghasilan lebih dari seratus gulden. Aku terlalu beruntung untuk berpijak di keadaanku saat ini. Lulusan AMS, tapi mengedarkan berita bersih saja tak sanggup. Begitu memalukan. “Jadi, mengapa kau pulang?” Ludah kuteguk berat-berat. Tak berani angkat kepala dan jawab pertanyaan tanpa basa-basi dari Bapak. Lebih pilih memainkan jemariku yang tiada menarik. “Mengundurkan diri dari Sinar Baroe karena tak tahan dengan sistem Jepang?” Sial. Dari mana pula Bapak tahu sampai sedetail itu?
“Ya. Memang begitu keadaannya,” aku menyerah untuk diam. “Bagus lah. Untuk apa pula kau berlama-lama di surat kabar anak buah Jepang begitu.” Bapak bungkam dan putuskan untuk ambil dadar gulung buatan Ibu dari piring yang berada di antara cangkir teh kami. Menjejalkannya ke dalam mulut dengan nikmat. Aku tunggu Bapak sampai selesai. “Masih suka menulis sajak, Nduk?” kembali Bapak angkat suara. “Aku punya tumpukannya di koperku.” “Mengapa tak kau terbitkan?” “Lalu biarkan aku diseret Kenpeitai?” “Memang apa salahnya?”Aku mendelik tak habis pikir. Sebenarnya apa yang ada di pikiran Bapakku ini? Ucapannya mudah disalah artikan seolah-olah sengaja mendorong anaknya untuk menyerahkan diri ke hadapan satuan polisi militer Jepang.
“Nduk, kau itu anak negeri ini bukan?” Bapak menyeruput lagi tehnya. Kedua alisku hampir menyatu, “Tentu.” “Lantas mengapa putuskan untuk buang bedilmu? Kau ini macam lupa diri saja makin Bapak perhatikan.” Aku melirik Bapak tak mengerti. Kedua alisku menyatu, sengaja memaksa Bapak untuk teruskan cakap. “Nduk, kau tahu Pim?” “Pim? Anak Tuan Administrator Pabrik Gula?” Samar-samar aku ingat wajahnya yang punya hidung mancung. Sejak aku lulus AMS, entah berada di mana keberadaan anak itu. Tak ada yang tahu. “Betul.” “Ada masalah apa dengannya?” “Dia itu contoh nyata, Nduk. Contoh sejati-jatinya contoh. Dia lupakan budaya Ibunya sendiri. Lupakan tanah leluhurnya sendiri. Tidak kenal rumah, malah sibuk bersolek dengan alas kaki dan baju Eropanya. Angkuh bukan main! Mana sudi ia baca koran bahasa Melayu, menyentuh saja bisa gatal-gatal katanya Mengagungkan pendidikan Eropa selayaknya Dewa.” Aku berdiam diri. Tidak memberikan respons berarti, sekaligus membiarkan Bapak lanjutkan wicara.
“Kau aku sekolahkan dengan guru Belanda dan di sekolah buatan Belanda bukan untuk menjadi seperti Pim. Kau lulus AMS bukan untuk jadi jongos orang-orang pendatang. Nduk, kau itu juru tulis. Penamu itu bedilmu. Kau itu macam genggam kuasa dunia. Itu kekuatan, bukan sebuah alasan untuk besar kepala dan penyelewengan. Maka dari itu, Nduk, jangan ragu tegakkan penamu untuk tegakkan pula kehidupan Bumi Pertiwi. Jangan takut, layangkan semua tulisanmu ke manapun angin dapat membawa. Kau tahu tidak, Nduk, apa yang tidak diajarkan di bangku-bangku Eropa?” Aku diam sejenak, berpikir. Menimang-nimang sembari menatap teh di cangkir yang tak lagi munculkan kepulan uap, entah sejak kapan. Tiada jawabanpasti yang bisa aku temukan. Tak ingin membuat Bapak menunggu lebih lama, akhirnya berterus terang, “Tidak tahu, Pak.” “Olah rasa, Nduk. Olah rasa itu kebudayaan Jawa. Eropa tak ajarkan itu, tanahmu ini yang ajarkan. Eropa hanya ajarkan pikir. Sedangkan kau, saat ini, punya keduanya. Berkesinambungan selayak-layaknya bijaksananya manusia. Gunakan perasaan dan pikiran kau itu. Menulis lah, Nduk, terus menulis dan jadikan sastra sebagai senjata di tanah ini.” Terkekeh aku dibuatnya. Membuat Bapak kerutkan kening dengan begitu dalam. “Mengapa kau tertawa? Ada yang lucu?” “Bapak bicara seolah tulisan-tulisan ini bisa dengan mudah hentikan segala penindasan. Kalau semudah itu sastra menjadi senjata, mengapa tak dari dahulu sajapara aktivis pergerakan tak menulis berjuta-juta eksemplar?” Bapak mengangguk. Ia raih cangkir tehnya dan didekatkan ke mulut dengan gerak lambat. Kumis tipis bergerak ringan selagi menyeruput. Lantas ia kembalikan ke tempat semula dengan bunyi dentingan yang mengudara.
“Karena memang tidak mudah. Taruhannya nyawa. Negeri kita selama ini digenggam Belanda, Nduk. Sekarang yang berlagak tuan tanah malah berganti Jepang, bagaimana bisa kau lupa itu? Bukan saudara kita sendiri yang pegang, orang asing yang pegang. Lalu kau berharap segala sastra yang lahir dari saudara kita bisa berjalan mulus tanpa dibakar atau berakhir di pengadilan? Jangan lugu. Itulah alasan utama mengapa tak ada jutaan eksemplar sastra mengenai budaya kita di tanah kita sendiri. Ha! Bapak ingin tertawa terpingkal-pingkal rasanya.” Aku meneguk ludah. Sebenarnya, aku sudah tahu jawaban dari pertanyaanku itu. Dasar manusia, segalanya perlu divalidasi sebegitunya. Aku maki diriku sendiri untuk menjadi pengecut. Ah sial, betapa bodohnya aku selama ini bersembunyi di balik kata ragu dan takut. “Jadi, bagaimana?” Bapak bertanya tanpa tatap diriku. Netranya mengawang lebih pilih perhatikan gerbang rumah yang terbuka lebar. Menampilkan jalanan tak rata yang diisi anak-anak tanpa alas kaki, berlarian. Seperti tengah mengejar layangan yang putus. Terdengar dari teriakan mereka panggil rakitan bambu dan kertas tipis yang entah sudah minggat seberapa jauh. “Harus aku jawab?” Bapak mengedikkan bahunya santai, “Terserah, itu hakmu.” “Kalau aku sampai digiring Kenpeitai, aku akan sebut nama Bapak paling awal.” Tertawa Bapak dibuatku.
Ia tepuk lengan kursi keras-keras, bawa dirinya angkat pantat dari sana. Berdiri di hadapanku dengan senyum khasnya. “Bapak anggap itu sebagai tekadmu. Bapak tahu betul kau bisa diandalkan. Ingat, jangan lupa diri. Sangkan paraning dumadi2 ingat asal dan tahu tujuanmu berdiri di dunia ini.”Aku mengangguk mantap. Hilang sudah segala raguku selama berminggu- minggu ini. Tergantikan dengan perasaan menggebu-gebu yang berhasil buat perutku mulas tanpa sopan santun. Benar. Sastra mengenai budaya rumahku, budayaku, budaya kita. Memang seharusnya singkirkan kekuasaan Eropa dan Jepang yang merampok tani-tani kami. Aku tidak tahu akan jadi apa nasibku kelak, lagi pula semua manusia sama saja pemikirannya denganku untuk satu itu. Entah apa yang menghadang di luar gerbang, yang terpenting telah aku kumandangkan dan tetapkan jalan paten hidupku. Aku dedikasikan eksistensi jiwa dan pola pikirku kepada sastra dan Bumi Pertiwi. Ha! Siapa takut dengan Kenpeitai? Penaku tak bisa mati mau dibedil bagaimanapun. Tulisanku tak bisa hilang nyawa mau dibakar seberapa pun. Aku pastikan itu. Ya, akan aku pastikan. “Nduk, Bapak tahu kau bukan takut pasal ditangkap Kenpeitai. Kau ragu ambil langkah karena tak ingin buat Bapak dan Ibu ikut terseret masalah. Tak payah khawatirkan kami. Khawatirkan negeri ini lebih dahulu. Siapa tahu langkah nekatkau hari ini bisa bawa keselamatan ke satu dua orang di esok hari.” Dengan begitu, Bapak tinggalkan aku tenggelam dalam tekad baruku di pekarangan rumah kami.~Satu titik terakhir aku bubuhkan dalam suratku. Secuil senyum tak sanggup tertahan-tahan, biarkan mengudara. Pena aku letakkan, berdirilah aku dari kursi kerja. Berderap menuju salah satu ruang. Tiga ketuk di pintu kayu sampai suara pria di dalam menyahut, memintaku untuk masuk. Kusembulkan kepala ke dalam, pasang senyum terbaik. “Pak Rosih, saya ijin untuk mengirim surat ke kantor pos sebentar apa tidakmasalah? Surat untuk keluarga.”
“Tidak makan siang dulu kau, Genis?”Aku diam sebentar untuk berpikir, “Sepulang dari kantor pos saja, Pak. Bisabeli mie ayam di jalan.” Mengangguk-angguklah Pak Rosih, “Bagus. Silakan, aku beri toleransi terlambat saat kembali.”Girang aku dibuatnya, “Terima kasih banyak, Pak!” Surat ini untuk Bapak, aku kirim dari Jakarta menuju Semarang. Tak begitu panjang, singkat saja karena aku buru-buru untuk saat ini. Begini kira-kira isinya: Bapak, perjalananku baru dimulai di usia 28 ini. Dimulai di kantor redaksi kecil ini, bersama rekan-rekan, bersama ribuan eksemplar majalah kami yang siap diterbitkan. Majalah baru, Pak. Nama penerbitnya sama seperti nama majalah kami,‘Siasat’. Tabloid mingguan dua belas halaman mengenai politik, ekonomi, kultural,dan sosial. Akan terbit tepat di 4 Januari 1947. Kira-kira 2 tahun lebih 7 bulan sejakteh soreku bersama Bapak yang membawaku ke Jakarta, dan kira-kira 1 tahun lebih4 bulan sejak kemerdekaan negeri kita, Pak. Tulisanku akan dimuat di sana, bersama dengan penulis serta jurnalis hebat yang sama-sama berhaluan republiken, dan beraliran sosialis. Majalah kami secara terbuka menjadi media massa tempat para intelektual beradu ide, bermuara pasal masa depan Indonesia. Bapak bisa percaya itu? Negeri kita digenggam oleh orang kita sendiri. Revolusi kemerdekaanjadi anugerah. Bapak, aku ucapkan selamat tahun baru. Sehat-sehat lah selalu bersama Ibu. Pak, nyatanya selama ini aku tidak sendiri maupun merasa sepi. Nyatanya tak pernah sendiri bahkan sejak dilahirkan. Dengan surat ini sangat ingin aku ucapkan terima kasih. Terima kasih banyak karena Bapak lah yang ajarkan aku untuk percaya akan harapan. Harapan yang digarap. Sampai aku bisa menulis surat ini dari tempatku berada. Aku, Genis, anak perempuanmu satu-satunya ini telah tegakkan pena seperti saranmu, Pak. Maka dari itu, restui lah aku untuk selanjutnya gaungkan kesastraan di negeri kita ini. Restui aku untuk jadikan penaku sebagai bedilku. Sungguh banyak terima kasih aku layangkan, Pak.
Selesai. 1 Berasal dari kata genduk, panggilan sayang untuk anak perempuan dalam Jawa. 2 Sangkan artinya asal, paran artinya tujuan, dumadi artinya segala apa yang diciptakan. Sebuah gagasan dalam budaya Jawa tentang asal dan tujuan segala apa yang diciptakan.
Cinta dan Sumpah (Callysta Felicia Azizach) Indonesia, 1500 tahun yang lalu.Terdapat sebuah suku bernama Anaira yang dipimpin oleh dua pasang Suami Istri, suku ini dikenal paling berjaya pada tahunnya, sebab mengalahkan para penjajah Belanda dan bahkan berhasil membuat para penjajah tak berkutik dan berhenti memiliki niat untuk menguasai kediaman di suku tersebut. Mereka yang berjasa membuat sumpah untuk seluruh masyarakatnya agar mengikuti pemimpin yang memimpin sukunya sebab pemimpin akan selalu dianggap unggul. Baik buruk seorang pemimpin jika itu masih dalam satu suku Maka harus dijunjung tinggi. Namun kejayaan tak selamanya berlambung tinggi dua pasang Suami Istri ini mengalami perpecahan, sang Suami tak bisa bersyukur atas apa yang telah dia dapati sehingga ia bermain
wanita di belakang kekasihnya. Perpecahan suku mulai terjadi saat pasangan ini bercerai dan suku tersebut terbagi menjadi dua, Anurai dan Inuari. Anurai beralih ke arah timur dan Inuari beralih ke arah barat. Namun kini kedua belah suku itu bertemu kembali sebab proyek politik etis yang dibuat oleh belanda yaitu transmigrasi. "Saudaraku, Meskipun berpisah sejak dahulu kala, Kau tetap saudaraku, takkan pernah hilang rasa. Ku persilahkan, datanglah dengan sejuta senyuman, Dalam kota ini, seperti dahulu, kau bagai sahabat yang tulus membantuku. Sejauh apapun perjalanan hidup membawamu, Ikatan kita tetap kuat, seperti benang di tangan halus. Kedatanganmu dinanti, pintu hatiku terbuka lebar, Sambutlah hangat, saudaraku sejati, dalam cinta dan kasih yang tulus." Sambut kepala suku Anurai. "Hai saudaraku, Terima kasih telah menyambutku, begitu senangnya melihat dirimu setelah ber-ribu tahun lalu, Terima kami sebagai kesatuan dari sukumu." Jawab kepala suku Inuari. Mereka saling memperkenalkan ulang diri mereka. Anurai memiliki ciri khas budaya yang sangat unik, yaitu cara berbahasa. Anurai merupakan keturunan dari nenek moyang suku Anaira yang memiliki khas berbicara menggunakan sastra gurindam untuk kepentingan saat memberi informasi. Kala itu, Indonesia, klimari 1985. "Anakku, Harita, Gema. Tolong kemari sebentar nak. Aku butuh pendapat kalian." Tegas seorang kepala suku Anurai yang memiliki kewajiban sebagai kepala keluarga pula. Harita merupakan perempuan satu satunya dari keluarga kepala suku Anurai, ibunya meninggal saat sedang melahirkan Harita, kini Harita Nara Larrasati menjadi seorang asisten tenaga kesehatan yang bertugas di Bentang(rumah adat) dengan bekal ilmu yang diberikan oleh tantenya, Harita biasa dipanggil Rita, ia memiliki seorang kakak laki laki yang bernama Gema
bimantara, laki laki yang sangat menyayangi adiknya lebih dari apapun. Laki laki yang siap membela keluarganya dalam keadaan sekarat sekalipun. "Iya ayah." Ucap mereka berdua serentak. "Belanda mulai datang menyerang nak. Tindakan apa yang harus suku kita ambil,Harita kau sebagai tenaga kesehatan dan Gema kau sebagai pemimpin pasukan pejuang, aku butuh masukan kalian." Tanpa basa basi ayahnya langsung membahas hal ini. Malam itu malam yang mencekam, setelah sekian lama Belanda menyerah namun sekarang kembali ingin menguasai. Saat sedang berbincang seseorang mengetuk pintu. Itu adalah kepala suku Inuari, ia datang untuk membahas hal yang sama dan mengajak untuk saling bekerja sama dalam melawan penjajah di tanah ini, suku Anurai memiliki kemampuan dalam ilmu Hitam dan persenjataan tradisional, dan suku Inuari memiliki kemampuan dalam menggunakan celurit. Tak lama setelah setuju, seluruh pasukan dari Inuari dan Anurai dipanggil dan untuk menggencarkan serangan pada jam 03.00 pagi dini hari. Perang itu bisu terjadi sangat cepat, diam diam dan tidak ada yang tahu. Kemampuan yang dimiliki dua suku ini sangat serasi untuk digabungkan, seperti dikala unggulnya suku nenek moyang mereka saat melawan para penjajah, kini mereka kembali mengungguli hal tersebut. Mereka hanya menyisakan satu orang dari pasukan Belanda hidup hidup untuk dijadikan Sandra dan untuk dipertontonkan bagaimana teman pasukannya di penggal dan disiksa di depan dirinya, setelahnya dirinya di paksa untuk menulis surat kepada pemimpin kolonial, berpesan untuk menyerah saja. Setelah menerima balasan suratberisikan mereka menyerah atas kota Klimari, sandra tadi dilepaskan begitu saja. Kemenangan ini dirayakan oleh kedua suku. Pada saat malam perayaan kemenangan Harita dan Gema berdiri di belakang ayahnya menyiapkan diri untuk menyambut para salam hangat suku Inuari, begitu juga dengan kepala suku Inuari diiringi oleh seorang laki laki gagah di belakangnya. Ia adalah anak dari kepala suku Inuari bernama Shaka Adjie Putro, mereka saling melontarkan senyum dan memberi salam, setelahnya Gema pamit untuk kembali kepada pasukannya dan ayah Harita dan Shaka berbicang 4 mata. Kini hanya adaSakha dan Harita.
"Salam kenal saya Harita Nara Larasati. Dan kau Sakha benar? " Ujar Harita meyakinkan ingatannya. "Iya benar, namamu indah, tak perlu malu, kau cantik. Kita akan semakin seringbertemu nanti." Jawab Shaka menggodanya. Wajah Harita memerah layaknya sebuah tomat, dan hal itu membuat percakapanmereka semakin dekat, mereka memiliki selera humor dan pengetahuan yang serupa sehingga percakapan mereka begitu serasi dan seru, namun saat di tengah pembicaraan suara ketukan gelas terdengar dari ruangan bagian tengah menahanpembicaraan semua orang yang ada disana. "Ting ting ting" "Perhatian semuanya, kini aku akan menyampaikan bahwasanya, akan ada kerja sama antara suku Anurai dan Inuari dalam pengolahan industri di kota kita. Keuntungannya akan dibagi menjadi dua. Dan suku Anaira akan memberikan sebagian tanahnya untuk tempat tinggal suku Inuari sebab di bagian Barat, tanah tersebut sudah dihabisi oleh para Belanda." Ujar kepala suku Anurai "Saya sangat amat berterima kasih telah diTerima disini." Sahut kepala suku Inuari. Sesuai dengan sumpah yang terikat dari zaman Anaira, masyarakat disana hanya bisa mengangguk setuju tak ada perlawanan sebab sifat hormatnya kepada kepala suku sangat dijunjung tinggi, dan percaya apa yang kepala suku perbuat adalah hal yang baik. Hari demi hari, bulan demi bulan. proyek kerja sama ini membuahkan hasil yang sangat baik, dua suku itu saling mendapatkan keuntungan, hubungan persaudaraan mereka semakin dekat, begitu juga dengan Harita dan Shaka, merekamenjadi sahabat yang saling melengkapi. Hingga pada saatnya seseorang datang kembali dan menyamar diantara suku suku tersebut, dia Belanda dan menyamar sebagai penasehat kepala suku Inuari. Saat itu Kepala suku Inuari sedang duduk sendiri di bentang yang sepi, Belanda itu menghampiri laki laki paruh baya itusambil mengatakan.
"Saya hidup di zaman Anaira, dan nenek moyang akan bangga apabila suku Inuarimenjadi kaya dan tak bergantung dengan Anurai." Setelah mengatakan hal tersebut ia pamit dan tak melakukan apapun, Kepala suku tersebut terhasut dengan omongannya seperti mendapatkan sebuah ilham bahwa sukunya harus makmur dengan memanfaatkan proyek kerjasama ini. Beberapa bulan setelah Sesosok orang tadi datang, kepala suku Inuari memulai kejahatannya dengan cara tidak memberi sepeser pun upah kepada pekerja Anurai dan bahkan keuntungan sedikit kepada suku tersebut. Kepala suku Anurai merasa ada hal yang tak beres dengan proyek ini, setelah menerima banyak laporan dari para pemilik tanah yang digunakan oleh sektor industri, Kepala suku Anurai mengambil keputusan untuk berhenti bekerja sama kepada suku Inuari, namun mengingat persaudaraan mereka suku Anurai memilihuntuk tidak mengusir saudaranya. "Kita putuskan saja kontrak kerja ini Lana." Ujar kepala suku Anurai dengan tegas "Kumohon tidak, Ro." Ucap Lana "Dasar tak tahu diri. Aku tak peduli kau akan tinggal bagaimana, yang pasti kau masih saudaraku dan aku tak ingin mengusir mu dari sini. Mengingat kau sudah takpunya tanah di bagian Barat pastinya kau tidak Akan pergi sendiri dari tanah ini. Aku tak masalah dengan itu tapi sekali kau menghina rakyatku, nyawamu habis di tanganku. Ingat hal itu Lana." Cakap kepala suku Anurai dengan sinis dan langsungpergi meninggalkannya. Saat itu juga Lana sebagai kepala suku Inuari membenci suku Anurai, Lana berfikirbahwa Ro atau kepala suku Anurai tidak bisa diandalkan. Hingga kala itu suku Inuari benar benar menjadi miskin, dan dendam yang dipendam oleh Lana kian hari semakin menjadi-jadi. Kembalinya seorang Belanda yang dipercaya sebagai penasehat, namun namanya tak dikenal di suku Inuari, dirinya
muncul mengatasnamakan utusan yang dipilih nenek moyang. Tanpa basa basi ia mengucapkan. "Musnahkan suku itu maka kau akan menang." Ketika mengucapkan itu ia berdiri dan pergi begitu saja dengan senyumnya yang tercetak di wajahnya dan tawanya yang menggelegar berfikir bahwa pembalasan Belanda mulai datang kembali. Tak lama setelah sesosok itu pergi, Lana memanggil Shaka anak dari kepala suku itu. Tanpa basa basi, Lana berunding mengenai serangan untuk membunuh suku Anurai perlahan lahan. "Tapi ayah, apa perlu kita bertindak sejauh ini! Saya tahu dan merasakannya sendirikemiskinan yang dialami suku kita, namun ini pula sebab ulah ayahanda yang terhasut seseorang. " Tegas Shaka berfikir jauh. "Kau tak tahu apa apa. Orang yang memberi tahu ayah selalu benar apa adanya." Sakha sementara sejak tadi masih termenung memikirkan nasib Harita, perempuandari suku Anurai yang selalu ada di pikiran Shaka akhir akhir ini, perempuan yang menjadi tempat keluh kesah Sakha beberapa hari kebelakang, hati kecil yang ada didalam diri Shaka menolak untuk menyetujui melakukan hal tersebut Namun sumpah yang telah dibuat oleh nenek moyang itu seperti layaknya sebuah kutukan,apabila tidak dikerjakan maka kesialan akan mendatangkannya atau bahkan kematian yang menunggunya, ia tak bisa melakukan apa apa selain menurut kepada ayahnya. Di Malam hari itu korban berjatuhan, dari mulai 10 orang menjadi 20 lalu naik menjadi 30 hingga pagi ini tercatat ada 40 korban. Saat sore hari Harita mendatangi Sakha yang sedang beristirahat di gubuk. "Sakha, apa kau disini?" Ucap Harita dengan lembut. "Harita! Apa kabar manis, duduklah sini. Ada apa dengan wajahmu yang cantikitu." Ucap Shaka yang baru bangun tidur langsung menggodanya.
"Kumohon janganlah menggodaku dulu, aku sedang lelah, banyak korban korban pembunuhan yang aku Terima di bentang. Mereka semua seperti bunuh diri, namunaku yakin Itu bukanlah aksi bunuh diri, sebab aku melihat luka tusuk. Sayangnya aku tak punya kemampuan membaca seperti tanteku. Aku ingin meminta bantuanmu, aku yakin ini bukanlah aksi bunuh diri melainkan pembunuhan." Ucap Harita dengan yakin. Harita bercerita banyak dan berkeluh kesah dengan apa yang terjadi di Bentang, Harita belum bisa beristirahat setelah memberi bantuan kepada pasien di Bentang, kini Harita beristirahat di Gubuk milik Shaka. Shaka yang mengetahui bahwa Harita menerima korban yang banyak dan kelelahan membuat hati kecil Shaka teriris. Ia tak rela perempuan yang dicintainya mengalami luka batin dan bekerja begitu lelah, hingga Shaka berjanji akan membantunya menemukan pembunuh itu. Hari demi hari hampir setengah dari pasukan penjaga suku Anurai terbunuh, hingga pagi itu Harita yang sedang sibuk akan korban yang dilarikan ke Bentang tiba-tiba mendapatkan kabar bahwa kakak laki laki satu satunya, Gema Bimantara terbunuh. Setelah di amati, Ada bekas celurit di lehernya, itu salah satu ciri senjata yang digunakan suku Inuari. Hari itu Harita hanya diam, kabut hitam yang melingkupi hati nya tak pergi, perasaanya kalut, mengingat begitu banyak kenangan dengan kakak laki lakinya itu, namun kini Ia harus mengikhlaskannya. Setelah upacara pemakaman, Ro kepala suku Anurai menyatakan bahwa ini adalah pembunuhan, bukanlah motif bunuh diri, dan menaruh curiga pada suku Inuari. Harati segera lari ke arah gubuk Sakha, dan melihat Shaka sedang termangu sendu, keringatnya menitik, seperti orang yang telah melakukan sebuah dosa. "Sakha! Kau kenapa?" Ucap khawatir Harita sambil mengelap keringat Sakha di jidat dengan sapu tangan khasnya. Lamunan Sakha terpecah ia terkejut sosok perempuan yang berbaik hati menyeka keringat dijidatnya. "Aku tak apa cinta, ada apa gerangan kau kesini adinda."
Sakha dengan natural mengubah mimik wajahnya. Harita tak menggubris godaan Sakha, hatinya sedang dipenuhi awan gelap. Ketika sudah tak tahan Ia menangis didepan Sakha, menunjukkan sisi lemahnya, lalu Shaka mendekapnya dengan erat. Kematian sang kakak laki lakinya adalah sebuah pilu besar yang ditanggung Harita. Saat ditengah tangisan, Harita mengucapkan kata yang membuat mimik wajah Sakha berubah. "Maaf untuk berbicara ini, tapi sepertinya salah satu dari suku mu telah membunuhbeberapa suku Anurai Sakha, dan Ro mencurigai bahwa itu dirimu, aku sudah berbicara kepadanya bahwa tak mungkin itu kau, sementara kau selalu menolongkusaat ku susah, namun dirimu akan tetap dipanggil ke pengadilan sakha. Aku meminta maaf tidak bisa membelamu, aku diikat sumpah oleh nenek moyang untukmenghormati kepala suku." 3 hari setelah Harita mendatangi Sakha, seluruh suku Inuari dan Anurai dikumpulkan di tempat persidangan, Harita tak berhasil meyakinkan Ro bahwa bukan Sakha pelakunya sebab Ia tak punya bukti kuat. Kini di tempat persidangan itu berdiri dua kepala suku didepan siap menghakimi dan membela, Sakha duduk di tengah sebagai tersangka dan Harita berada di belakangnya. Ruangan disana kecoh tak beraturan, Sakha pemuda suku Inuari yang telah mendapatkan kepercayaan sukunya dituduh telah membuat kekacauan semua ini, dan ayahnya yang semakin murka kepada Anurai sebab berfikir telah menghancurkan rencananya. Saat persidangan dimulai dan hendak memutuskan hukuman, saat itu juga pasukan penjaga Anurai lari ketengah tengah persidangan dan melapor bahwa ada korban pembunuhan, korban itu adalah Pak Dadang, bapak penjaga rumah kepala suku Anurai. Ketika memeriksa, sejenak Harita berucap. "Badannya masihhangat, ini masih bisa diselamatkan. BAWA DIA KE BENTANG." Saat ini Harita menyela pembicaraan antara dua kepala suku itu, dan menegaskan bahwa saat ini bukanlah saat untuk saling mencaci, setelah
mendengar nasihat yang diberikan Harita, dua kepala suku itu menyuruh para pasukan penjaganya untuk mencari, begitu juga kepala suku Inuari menyuruh Sakha dan pasukannya. Di saat yang lain mencari penghianat, kini Harita sedang menolong Pak Dadang, namun sayangnya ia tak selamat. Hasil pemeriksaannya adalah ditemukannua satu peluru yang berada di jantung Pak Dadang, dan dapat disimpulkan bahwa Belanda datang kembali. Tak lama setelah mengetahui peluru itu, Harita bergegas pergi ke pengadilan untuk menemui 2 kepala suku tadi, dan memberi informasi bahwa ini adalah ulah Belanda. Tak lama setelah Harita memberikan informasi, Shaka menyeret tubuh seorang pria yang berpakaian rapih dan membawa pistol. Alangkah terkejutnya Lana, sang kepala suku Inuari melihat bahwa orang yang di bawa Sakha itu adalah seorang Belanda yang menjadi penasihatnya. Penjajah itu sudah tahu nasibnya akan bagaimana dan dia tak gentar akan hal itu sebab menurutnya ia sudah berhasil untuk membunuh beberapa masyarakat di suku tersebut tanpa tangannya sendiri, dan merasa dendamnya telah terlampiaskan. Setelah pemberian hukuman yang diberikan pada penjajah Belanda, berita itu tersebar dengan cepat, masyarakat Inuari membenci masyarakat Anurai sebab telah mencoreng nama baik Shaka yang telah dituduh sebagai pembunuh. Saat ini Shaka sedang berunding dengan Lana, ayahnya. "Tidak bisa kah ayahanda mengaku saja? Sakha mohon." Bujuk Sakha. Kepala suku itu keras kepala, hingga beradu argumen dengan anaknya sendiri, sampai pada akhirnya Shaka mengucap. "Apakah ayahanda tak khawatir akan dibenci ibunda dari surga yang melihat ayahanda melakukan ini." Ucap Shaka geram. Sama dengan nasib Harita, Sakha merupakan anak tunggal sebab ibunya meninggal disaat dia umur 3 tahun, dikarenakan penyakit yang dideritanya. Lana kalah telak, jika sudah membawa cintanya ia tak bisa mengelak lagi, permintaan anak laki laki satu satunya adalah untuk mengaku dan berkata jujur. Maka pada esok harinya, Sakha dan Lana mendatangi Bentang kediaman Ro dan Harati, dengan berat hati ia menjelaskan bagaimana awal mula ia melakukan hal keji seperti ini, Ro sempat marah, sangat marah namun sudah seperti
biasanya Harita langsung meredakan amarah ayahnya. Ayahnya menghela nafas panjang, mengetahui saudaranya sendiri yang membuat perpecahan ini, kini mereka akan membuat perjanjian dengan nama Gurindam Klimari 85. Gurindam Klimari 85 Dalam kehidupan bersaudara, janganlah berbunuhan,Ikatan kekeluargaan, kuatkan hingga ke ujung, Tak usah mengikuti jejak Belanda yang dulu,Bersatu suku kita, seperti semesta yang bulat. Saudara seiman, jangan saling membunuh,Kita satu keluarga, kasih sayanglah alat perjuangan,Tak perlu permusuhan, tak perlu pertumpahan darah, Bersama-sama maju, kita tinggikan kedamaian. Bhinneka tunggal ika, semangat persatuan, Satukan suku, satukan hati dalam satu gerakan,Junjung tinggi kebersamaan, kearifan lokal,Bersama kita kuat, seperti samudera yang tenang. Lambat laun, kini kedua suku itu mulai berdamai setelah perjanjian tadi dikeluarkan, Lana dan Ro kembali menjadi saudara, seperti sebagaimana sifat ke- saudaraan adalah memaafkan kesalahan saudaranya sendiri, proyek kerjasama mulai dilanjutkan kembali dengan perhitungan yang tepat dan menempatkan Shaka sebagai pengurus industri di tanah itu, sejatinya Shaka hanyalah seorang pemuda yang ini membawa perdamaian. Kini Harita dan Shaka semakin dekat, satu sama lain saling menyimpan rasa cinta, hingga pada suatu hari Shaka datang ke kediaman Harita bersama ayahnya dan beberapa keluarga, mempersiapkan diri untuk melamar kekasihnya yang didambakan sejak lama. Tak lama setelah lamaran itu pernikahan mereka diadakan dengan sederhana, dengan ini kedua suku mereka menyatu kembali dan menjadi suku Anaira seperti nenek moyangnya dahulu. Namun pada malam sebelum pernikahannya Sakha menulis secarik surat dan memasukkannya kedalam botol yang nantinya akan dikubur di halaman belakang Bentang yang akan ditinggali oleh Harita dan Shaka. Masa kini. Klimari, tahun 1995. "Aini, sudahi dulu mainnya, masuklah mamak sudah memasak untukmu." Ucap Harita. "Iya mak sebentar." Jawab anak perempuan itu. Aini Permaeswari, anak dari pasangan Suami Istri yang memimpin kembali suku Anaira, Aini sekarang berumur 8 tahun, anak perempuan yang tangguh dan
kuat, Iagemar membuat bangunan dari balok atau memanjat pohon, namun kini yang Ia lakukan adalah menggali tanah yang ada di halaman rumahnya itu, seperti menemukan harta karun, Ia mengambil botol yang berisikan secarik surat dan mulaimembacanya. "Permintaan maafku, untukmu kekasihku, Harita Nara Larrasati." "Itukan nama mamak." ucap dalam hati kecil Aini. "Maafkan aku yang melukai hatimu Maafkan aku yang telat menyadari bahwa itu keluargamu Maafkan aku yang akhirnya jatuh cinta kepadamu Maafkan aku yang tak pernah mengaku Mungkin dengan ini kau akan tahu kesaksiannya Bahwa akulah pembunuhnya Akulah yang menjadi suruhannya Akulah yang berpura pura bodoh didepannya Hati kecilku teriris tak ingin mengikutinya Tapi mulutku kaku menentangnya Kutukan ini mengikatnya Kumohon maafkan aku yang dikau cinta Apabila kau membaca ini, aku sungguh meminta maaf, namun jika bukan kau yangmembaca tolong kubur lagi surat ini kembali
Untukmu yang ku cinta -Shaka Adjie Putro " "Ini nama ayah." Gumam Aini. Dengan cepat Ia mengubur kertas itu kembali seperti semula, dan pergi menghampiri mamaknya yang ada di meja makan bersama ayahnya, dengan lekat Ia melihat ayahnya, mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang pembunuh. "Ada apa Aini, mengapa anak cantikku melihatku dengan tatapan seperti itu." Celetuk ayahnya di meja makan "Tak apa ayah." Aini hanya tersenyum. Aplikasi Bahasa Isyarat Untuk Sahabatku (R. Hafiz Al Alif) Sinopsis Cerita: Jihan Murtiani Putri adalah siswi paling cerdas dalam pembelajaran bahasaIndonesia. Selain itu, Jihan juga murid paling pendiam di antara teman lainnya. Dibanding berteman dengan kawan sekolahnya Jihan justru berteman denganClaudia-perempuan bisu di kampung. Sering terkendala dalam obrolan namunpersahabatan mereka berdua sudah lama bisa dibilang tidak ada satu pun yang dapat memisahkan mereka.
Pagi ini, pada pukul 06.00 Jihan harus berangkat ke sekolah. Dikarenakan jaraksekolah yang lumayan jauh, Jihan harus mempersiapkan sepagi mungkin. Dalamrumah terlihat Anna-Ibu dari Jihan yang biasanya dipanggil Umi tengah masakuntuk mempersiapkan sarapan sekaligus bekal bagi anaknya. Selain itu, terlihatjuga Rio-ayah Jihan tengah bersantai di halaman teras rumah. Saat itu Jihan tengah mempersiapkan buku untuk mata pelajaran hari ini. Ada suatu hal yang membuatnya semangat hari ini. “Horee, ada pelajaran bahasa Indonesia,” ucapnya dengan perasaan senang. Bahasa Indonesia merupakan bahasa wajib bagi warga negara Indonesia. Selainitu, pembawaan guru yang mengajarnya juga menyenangkan. Hal inilah membuatJihan menjadikan pelajaran bahasa Indonesia harus ia tekuni. “Adek, sarapan sudah siap. Cepat sudah mau jam 06.15,” teriak Anna dari luarkamar. “Iyaa Umi,” balas Jihan dengan nada pelan. Jihan bergegas keluar dari kamaruntuk sarapan. Di ruang makan dengan satu meja dan tiga kursi saling berhadapan. Di sanamereka bertiga sarapan pagi dan mengobrol kegiatan yang akan mereka kerjakan. “Adek, hari ini sekolahnya sampai jam berapa?” tanya Anna. “Jam 12.00 adek sudah keluar dari kelas Umi,” jawab Jihan. “Yaudah nanti biar ayah yang jemput ya,” sambung Rio. Waktu untuk istirahatkerja Rio gunakan untuk menjemput anaknya.
“Harus rajin sekolahnya. Kalau gak rajin nanti Ayah gak jemput lagi,” timpalAnna memotivasi untuk anaknya rajin bersekolah. “Siapp Umiku tersayang.” balas Jihan dengan tangan hormat kepada Uminya. Setelah sarapan telah selesai. Jihan pergi ke sekolah dihantarkan oleh Rio denganmenaiki motor. Sekaligus pada saat itu, Rio berangkat menuju kantor untukberkerja. Suasana sekolah pagi ini begitu ramai. Banyak murid-murid berisik sebelumlonceng sekolah dibunyikan. Jihan duduk di bangku paling depan hanya diamtidak mengikuti temannya yang lain. “Berisikk.” gumam Jihan dalam hati. “Kringg” suara lonceng sekolah. Saat suara itu telah berbunyi, murid di kelaslangsung diam seketika. Guru berjalan menuju ruangan kelas. Pelajaran pertama pada hari ini adalah matematika dengan durasi tiga jam. Hal inilah membuat Jihan merasakan bosan di kelas hanya menyimak. Pembawaan guru matematika berbeda dengan Ibu Zahra-guru bahasa Indonesia. Rasa bosanmembuatnya tidak suka dengan pelajaran matematika. “Sekarang kalian kerjakan tugas halaman 34,” ujar guru matematika saat itu. “Baikk Ibu,” sahut semua murid. Semua murid mengerjakan tugas matematika saat itu. Bagi Jihan ini hanyalah terpaksa namun ia harus tetap mengerjakan tugas itu mengingat nasihat dari Uminya. Waktu yang diberikan tidak terlalu lama menyebabkan semua murid harusmengumpulkan tugas itu. “Sudah semua dikumpul?” tanya guru matematika.
“Sudah Ibuu,” jawab semua murid saat itu. Sekaligus pertanda jam pelajaran sudah habis. Lonceng sekolah berbunyi menandakan waktu istirahat dimulai. Jihan hanya tetapmenunggu di kelas dengan harapan pelajaran bahasa Indonesia cepat dimulai dan pulang menemui Claudia sahabatnya. Waktu istirahat berdurasi 30 menit, Jihan pergunakan untuk membaca bukubahasa Indonesia dengan mengulang pemahaman materi minggu lalu. Waktuistirahat telah selesai, semua murid harus kembali ke kelas. Inilah yang sangatditunggu oleh Jihan. Ibu Zahra memasuki kelas dengan membawa laptop yang ia gunakan untukmengajar. “Halo anak-anak,” sapa Ibu Zahra kepada semua murid di kelas 7A. “Iyaa Ibu,” balas semua murid dengan biasa kecuali Jihan yang sangat antusiassaat itu. Ibu Zahra menerangkan pentingnya bahasa Indonesia terutama pada generasimuda sekarang. Apalagi era modern ini sebagian generasi muda lebih bermaingame ketimbang memanfaatkan handphone untuk belajar. “Maka Ibu harap kalian sebagai generasi penerus bangsa bisa memanfaatkan teknologi itu dengan baik supaya dapat menolong seseorang melalui teknologi yang kalian buat,” pesan Ibu Zahra kepada semua murid. “Baik Ibu,” jawab Jihan memahami pesan gurunya. Setelah selesai menerangkan pembelajaran. Waktu sudah menunjukkan pukul11.30, Ibu Zahra berinisiatif untuk mengajak muridnya mengerjakan tugas denganhadiah siapa cepat mengerjakan dia akan pulang lebih awal. Hal itulah dimanfaatkan oleh Jihan. Dengan kepintarannya dalam pembelajaranbahasa
Indonesia, Jihan mengerjakan tugas yang diberikan dengan cepat. Diantara semua murid hanya Jihan yang beranjak terlebih dahulu dari bangku kelas. “Okee, bagus,” puji Ibu Zahra ketika Jihan mengumpulkan tugasnya. “Iya Ibu.” Jihan mencium tangan Ibu Zahran dengan sopan dan meninggalkan kelas. Di rumahnya, Jihan pamit kepada Uminya untuk pergi bermain bersama Claudia. Anna menyetujui anaknya untuk pergi bermain. Jihan bergegas langsung menemui Claudia. Di rumah Claudia terlihat perempuan tengah duduk di teras rumah dengan melamun. Itu adalah Claudia, Jihanmengetahui bentuk fisik dari Claudia. “Haii Claudia.” ucap Jihan sambil memperagakan bahasa isyarat kepada sahabatnya. Claudia membalas dengan bahasa isyarat. Jihan mengetahui apa yang dimaksudClaudia. Mereka berdua bermain dengan bahagia di halaman depan rumah Claudia. Namun Jihan ingin mengajak Claudia untuk keliling kampung supaya sahabatnya lebihbersemangat lagi dan tidak memikirkan apapun. “Claudia, ayok kita keliling kampung.” ujar Jihan sambil memperagakan bahasa isyarat kepada sahabatnya. Claudia menjawabnya dengan bahasa isyarat. Ajakan dari Jihan disetujui oleh Claudia. Jihan mengajaknya untuk berkeliling sambil menikmati suasana kampungnya. Dalam perjalanan mereka berdua menikmati suasana di kampung.
Hanya adakegembiraan dalam persahabatan mereka berdua. Setelah berjalan mereka beristirahat di sebuah pondok kampung sebelum melanjutkan perjalanan. Pada saat itu rombongan orang yang dipimpin oleh Zaytan menghampiri mereka berdua. Zaytan adalah anak nakal di kampung ini,dia juga suka membully Claudia. “Perempuan bisu.” ujar Zaytan beserta rombongan mengejek Claudia. “WOI, JANGAN GANGGU CLAUDIA!” teriak Jihan memperingati rombonganZaytan. “Memangnya kenapa kalau kami ganggu Claudia?” balas Zaytan menganggapremeh peringatan dari Jihan. “Atau aku teriak ke orang-orang? biar kamu digebukin,” jawab Jihan. “Dasar Pengadu!” cibir Zaytan kepada Jihan. “Terserah,” tegas Jihan. “Idihh. Mau aja berteman dengan Claudia,” ujar Zaytan. “SANA PERGI!” bentak Jihan menyuruh Zaytan dan rombongan untuk pergi darihadapan mereka berdua. Zaytan dan rombongan pergi dari hadapan mereka berdua, dikarenakan tidak maukalau Jihan mengadu kepada orang tuanya. Jihan sangat benci ketika ada orang menghina sahabatnya itu. Dia tidak
mausahabatnya menjadi sedih atau terluka. Kemudian dari kejadian itu, Claudia mengajak Jihan untuk segera pulang. Jihan menyetujui ajakan dari Claudia. Dirinya menghantarkan Claudia sampai kerumah. Saat itu, Jihan melihat sahabatnya hanya diam dengan tatapan kosong. “Claudia, kamu kenapa?” tanya Jihan memperagakan bahasa isyarat. Claudia menjelaskan kekurangannya, menurut Claudia orang seperti dirinya tidakakan bisa bergaul sama siapapun. Seperti sekarang ini, hanya Jihan yang bisamengerti bahasanya selain orang tuanya. Selain itu, Claudia berpikir apakah suatusaat nanti ketika dewasa dia akan hidup sendiri dikarenakan kekurangannya. Jihan memberikan semangat kepada Claudia. Menurut Jihan itu tidak bakal terjadikepada diri Claudia. Jihan bertekad dia akan membantu Claudia menyelasaikanpermasalahan itu. Jihan berpamitan kepada Claudia untuk pulang ke rumah. “Claudia aku pulangdulu ya.” pamit Jihan sambil melambaikan tangan ke arah Claudia. Claudia membalasnya. Dalam rumahnya, Jihan masih kepikiran apa yang dipikirkan oleh Claudia. Dia ingin membantu Claudia dari permasalahan ini. Bagaimana caranya orang dapat mengerti apa yang dibicarakan Claudia. Jihan ingat apa yang disampaikan oleh Ibu Zahra ketika di sekolah tadi. Jihan berpikir zaman sekarang adalah era modern yang dimana teknologi mempunyaiperan penting, dari hal itulah Jihan dapat membantu Claudia supaya orang dapat bisa memahami apa yang dibicarakan oleh Claudia secara langsung selain dirinya. Jihan bertekad untuk membuat sebuah aplikasi yang bisa menerjemahkan apa yang dibicarakan sahabatnya melalui gerak tubuh sahabatnya itu sendiri. Sebelumnya Jihan harus mencari di internet bagaimana cara membuat aplikasi. Dirinya mempelajarinya terlebih dahulu sampai benar-benar paham “Aku harus bisa bantu sahabat aku,” ucap Jihan membulatkan tekadnya untukmenolong sahabatnya. Akhirnya Jihan dapat memahami cara pembuatan aplikasi. Kemudian diamerancang sendiri program aplikasi bahasa isyarat melalui laptop miliknya. Keesokan harinya, Jihan tidak masuk ke sekolah dikarenakan masih merancangaplikasi yang dibuatnya.
“Adek, kenapa gak sekolah hari ini?” tanya Anna. “Kakak kelas lagi ujian. Jadi adek libur hari ini,” jawab Jihan dengan bohong. Dirinya mengetahui bohong kepada orang tua adalah perbuatan dosa tapi demi sahabatnya dia harus melakukan itu. “Memangnya berapa hari?” tanya Anna. “Enam hari Umi,” jawab Jihan. Sebelumnya Jihan juga telah izin kepada gurunyadengan alasan urusan keluarga di luar kota. Anna memahami hal itu, melihat anaknya sibuk dengan laptopnya dirinya punmeninggalkan kamar Jihan. Butuh waktu selamanya itu, untuk merancang program aplikasi bahasa isyarat. Selain untuk membantu sahabatnya, Jihan juga bertekad untuk membantu semuaorang yang memiliki kekurangan yang sama seperti sahabatnya. Tekad dan niat baik Jihan inilah dapat melancarkan rencana yang dirinya buat. Hari pertama pembuatan aplikasi masih dalam tahap awal. Jihan harus lebihbanyak menghadap ke laptop miliknya. Selain itu, Jihan juga tidak lupa untukmakan supaya tidak kehilangan energi dalam dirinya. Hari pertama sampai denganhari ketiga masih dalam tahap awal pembuatan apllikasi masih ada dua proseslagi. Memasuki hari keempat dan kelima, program aplikasi yang dibuat oleh Jihanmemasuki tahap menengah. Dalam tahap menengah ini, semua program sepertikamera untuk mendeteksi gerakan tubuh juga Jihan masukkan ke dalam aplikasi itu. “Horee berhasil,” ujar Jihan dengan bersemangat ketika berhasil memasuki program kamera mendeteksi gerakan tubuh.
Butuh waktu selama 12 jam sehari dalam pembuatan aplikasi. Waktu yang lamatidak membuat tekad Jihan menjadi hilang justru dirinya bersemangat lagi untukmewujudkan mimpinya itu. Pada hari terakhir pembuatan aplikasi. Jihan sangat senang aplikasi yangdibuatnya sudah memasuki tahap akhir. Tinggal beberapa jam lagi aplikasi yangdibuatnya berhasil. Sekarang Jihan hanya perlu memasuki aplikasinya ke dalamplay store. Sesudah memasuki aplikasi ke dalam play store, Jihan sangat senang aplikasi yang dibuatnya pun berhasil. Dirinya tidak menyangka bisa membuat aplikasi bahasa isyarat untuk sahabatnya. Besok di hari minggu, Jihan tinggal menemuisahabatnya untuk memberitahukan aplikasi yang dibuatnya. Pada malam hari, terlihat Anna dan Rio tengah menonton televisi di ruang tamu. Jihan segera mengahampiri kedua orang tuanya untuk memberitahukan apa yangdia buat selama ini. “Adek ada kabar sesuatu buat Ayah dan Umi,” ucap Jihan. “Kabar apa Adek?” tanya kedua orang tuanya. “Ini liat aplikasi yang Adek buat.” ujar Jihan sambil menunjukkan aplikasi yang ada di handphone miliknya. Orang tuanya terkagum melihat aplikasi bahasa isyarat yang anaknya buat dengansendiri. Setelah mengetahui untuk apa anaknya membuat aplikasi itu munculperasaan bangga kepada anaknya. “Umi sama Ayah bangga sama Adek,” ujar kedua orang tuanya. Jihan membalas dengan senyuman dan memeluk orang tuanya. Pada malam ini hanya terdapat suasana terharu dalam rumahnya. Tidak adakalimat yang terucap dari Rio dan Anna selain “bangga terhadap anaknya”.
Pada hari minggu pagi ini, Jihan segera menemui sahabatnya untuk memberitahukan informasi ini dengan harapan membuat sahabatnya kembali bersemangat dari apa yang ia buat untuk sahabatnya itu. Seperti biasanya, Claudia berada di teras rumah sambil berjemur dengan terik matahari pagi. “Claudia,” panggil Jihan. Claudia membalas sapaan Jihan. “Kamu harus liat ini.” Jihan memperlihatkan aplikasi bahasa isyarat kepadaClaudia. Claudia melihat yang ditunjuk oleh Jihan kepada dirinya. “Nahh sekarang coba kamu peragakan apa yang kamu mau ucapkan,” ujar Jihan. Claudia memperagakan bahasa isyarat di depan handphone milik Jihan. Dengan sendirinya, muncul terjemahan pada aplikasi itu yang mau diungkapkan olehClaudia. Terjemahan dalam aplikasi itu berisi “Jihan, kamu apa kabar?” “Ini aplikasi yang aku buat untuk kamu. Jadi kamu gak boleh mikir macammacam lagi ya tentang diri kamu,” ujar Jihan. Dia segera mengunduh aplikasi itu ke handphone milik Claudia.
“Makasih ya Jihan. Akhinya dengan aplikasi ini orang lain bisa paham denganaku,” ucap Claudia dalam terjemahan aplikasi itu. “Sama-sama. Sekarang kamu bantu temanin aku buat nyebarin aplikasi ini keorang yang membutuhkan ya,” ucap Jihan. Claudia membantu sahabatnya untuk menyebarkan aplikasi yang dibuatsahabatnya itu. Mereka berdua berkunjung ke sekolah-sekolah luar biasa danmelakukan sosialisasi aplikasi kepada orang berkebutuhan khusus. Harapan Jihan melalui aplikasi ini, orang berkebutuhan khusus dapat terlihat sama seperti orang-orang pada umumnya. Usaha dan tekad Jihan terbayar dengan sempurna. Murid baru kelas SMP sudahbisa membuat sebuah aplikasi yang dibutuhkan oleh masyarakat memiliki kebutuhan khusus. Kemudian berita ini menyebar sampai ke sekolah. Jihan diberikan penghargaanoleh guru-guru yang berada di sekolahnya. Salut kepada peserta didiknya yangmampu menolong seseorang melalui sebuah teknologi pada era modern ini. Keesokan harinya, sekolah mengadakan acara khusus. Jihan diumumkan dan dikalungkan sebagai murid berprestasi di sekolah. Rasabangga dari Rio, Anna, dan Claudia kepada Jihan. Terlebih lagi rasa bangga dari Ibu Zahra dikarenakan muridnya itu mendengarkan pesan yang disampaikan daridirinya. TAMAT
Tulisan Bersuara (Enni)