“Perusahaan sekarang sedang dalam kondisi buruk, kita lebih mengutamakan orang-orang yang berpengalaman lama.... Mulai besok anda tidak perlu absen lagi...” “Tidak! Saya tidak ingin balek lagi ke tempat itu!” Sebuah api tanpa nama membakar hangus semua pencapaianku bertahuntahun ini dalam waktu beberapa jam. Kecemasan akan kondisi ganggur masih mengikat pada leher saya. Mimpi adalah suatu hal yang paling indah, itu seperti bintang yang ada di langit mengarahkan saya agar tidak sesat di malam hari. kehidupan itu seperti bulan dilangit, tidak akan selalu sempurna, sering saja ada tantangan baru yangmengigitnya menjadi bulan sabit. Apa ya ? Cita-citaku yang paling dulu? Kalau taksalah ingat adalah mempengaruhi hidup banyak orang. Saya merasa sungguh terpuruk, semua hal yang dikejar saya terpaksa harusdilepas pada satu malam tanpa komen. Saya merasa dunia ini sudah menjadi gelapgulita bagi saya, mengapa hanya saya yang mengalami hal ini? Mengapa bukanorang lain ? Saya ingin mengutuk masa hidup yang penuh tantangan ini. Karena diasudah membuat masalah yang cukup banyak untuk saya. Saya sibuk kesana-siniuntuk mencari kerja baru seperti seekor lalat yang patah kepala tidak memiliki tujuan. Pada suatu hari saya menerima sebuah telepon yang tidak tercatat nama, disebeah situ adalah suara yang sudah lama tidak kudengar, itu adalah teman SMA saya. Dia dapat kabar saya sedang terpuruk dan menawarkan bantuan kepada saya. “Aku yakin kamu akan menemukan kembali jati dirimu disini!” Saya pindah ke sebuah desa ikut temanku. Mengapa saya tidak balek kampung? Maaf sekali, Saya merasa memalukan jika harus saya kembali dengan kondisi yang seperti ini. Berbeda dengan yang saya bayangkan udara disini tidak sejernih yang dikirain, bau-bau dari hewan peternakan sangatlah menyengat, itu membuat kepalaku pusing. Menjaga hewan ternak bukanlah hal yang disenangi saya, masker sudah menjadi bagian penting dalam menjalankan tugas. Walaupun begitu sulit beradaptasi, tetapi temanku tetap mengajari dan
menemaniku dengan sabar untuk menjalani semua hal ini. Saya masih bingung mengapa dia menjanjikan saya akan menemukan sesuatu dari sini, menurut saya, kedatangan saya hanya karena tidak ada pilihan lain. Saya hanya bisa menjalankan saja, sebab untuk sekarang saya tidak ada teman untuk pergi dan juga untuk kembali. Anak-anak disini kebetulan adalah anak kampung, mereka penasaran sama semua barang elektronik yang saya ada. Tripod saya, iPad saya, kamera saya semua ditanya oleh mereka dengan bahasa Indonesia yang berlogat dan bercampur aduk dengan bahasa daerah mereka. Saya sangat tidak biasa dengan bahasa yang campur aduk gitu. Mendengar mereka berbicara sudah membuatku pusing sekali. Saya orang yang tidak suka bermain dengan anakanak, walaupun begitu saya tetap mempertunjukkan hal apa yang mereka tanya. Namanya kita tamu, tentulah harus ramah juga, iyakan ? Diantaranya ada seorang anak yang berhasil menarik perhatian saya. Dia seperti seekor kucing putih yang tidak suka bergaul dan berbicara dengan anak-anak kecil, selalu menjaga jarak yang pas. Dalam observasi saya, anak itu jarang sekali bermain dengan anak-anak lain, dan setiap kali hanya melihat hal yang semua anak penasaran dari jauh-jauhan saja. Apakah dia anak pemalu ? Atau dia ada masalah apa dengan anak-anak lain sehingga selalu menjauhi. Melihat dia saya selalu teringat sama seseorang yang saya kenal, dia juga seorang anak yang tidak bisa bergabung dengan orang lain. Itu siapa ya? Bayangnya sudah kabur sekali saya tidak bisa mengingat dengan jelas mukanya. Saya hanya menyimpan pertanyaan itu dalam hati saja, kepo bukanlah kebiasaanku. Bekerja dengan hewan-hewan memang membosankan bagi saya, walaupun saya tetap menjalankan dengan baik-baik karena itu adalah harapan teman pada saya. Pada suatu hari, temanku meminta bantu saya untuk mengantarkan sembakoke rumah seorang kakek yang diujung desa. Iya, dia paham saya tidak suka dengan baubau disini , sehingga sengaja mengasih saya kesempatan untuk kabur sementara. "Semoga ini menjadi perjalanan yang menyenangkan!" Menaiki sepeda dengan doa singkat dari teman, saya berangkat dari rumah teman. Jalan di sini selaras saja, pemandangannya indah dan enak di mata. Tapi gaun merah dari bunga raya yang memekar juga tidak bisa menutupi kecemasanku, kebetulan saya kehilangan arah disini. Saya berhenti di suatu danau, airnya jernih seperti mata biru yang menatap ke langit. Disitu seorang anak sedang bergambar. Saya memanggilnya dia seperti tidak dengar saja. Saya harus maju kedepannya untuk menanyakan jalan. Saya menunjukkan selembar kertas yang berisi alamat dan lukisan sederhana, itu alamat yang diberikan oleh teman saya. Dia menyambut kertas itu, setelah beberapa saat dia berkemas buku
gambarnya dan pindah dari sini sambil melihat-lihat ke saya. Dia berjalan di depan saya, saya memegang sepe dasaya, kita melewati jalan yang belum rata, saya berhati-hati agar barang yang diantar saya tidak rusak keutuhannya. Kita melihat matahari dari atas kepala berguling ke pinggir danau. Tanpa sangkah dari awal saya berjalan kearah yang berlawanan, dengan bantuannya akhirnya saya menyampai ke tempat tujuan. Hari sudah menjelang malam, setelah bertelepon untuk izin sama orang di rumah, kita bermalam di rumah kakek ini. Di ruang tamu yang tidak seberapa besar, lampu kuning menyalahi malam ini. Secangkir teh tawar yang hangat melegakan tubuh yang sudah lelah, diiringi dengan angin sepoi-sepoi kita mulai bercerita. Kakek ini tinggal sendiri setelah istrinya meninggal, beliau seorang pecinta sastra, untuk sekarang kondisi kesehatannya sudah semakin hari semakin memburuk, tetapi dia tetap mempertahankan untuk melakukan hal yang dia paling suka, yaitu menulis puisi itu adalah janji dengan istrinya. Pada hari itu, orang yang berkomitmen untuk menjalani hidup bersama telah pergi duluan, beliau bukanlah seseorang yang pandai menyampaikan kasih sayang. “Janganlah menahan semua perasaan lagi, terimalah dan hadapi semua hal yang dicintaimu dan mencintaimu dengan tanpa menghindar,jadilah dirimu yang tak terganti” itulah pesan terakhir dari istrinya yang dijadikan pedoman hidupnya. Saya melihatkan salah satu buku puisi yang sudah berisi penuh, dalam penuh dengan kekesalan, keikhlasan dan rasa cinta, itu adalah buktinya bahwa kakek telah menjalankan perjanjiannya dengan baik. Jangan melupakan akan hal yang mencintai.... menjadi diri sendiri.... Saya berpikir lama akan pertanyaan ini. Dari kata-kata kakek itu, ternyata anak itu adalah teman tuli, dunia dia telah ditekankan tombol mute. Bagi dia dunia ini sunyi banget, dia bahkan tidak kenal apa itu bising, dia tidak tahu suara ketawa dari teman-teman bagaimana. Dia tidak pernah mendengarkan Suara dari air sungai, kerbau di sawah, dan burung di atap itu bagaimana. Saya hanya bisa membayangkan sekilas kondisi apa yang dialaminya, tapi kesulitan apa yang dihadapi dia selama masa hidup ini bukanlah hal yang bisa saya mengungkapkan dengan hanya sekedar membayangkan. Karena tidak bisa berbicara, dia sulit bergabung dengan teman-teman lain, kebanyakan waktu dia hanya bergambar sendiri kesana-sini. Di rumah kakek ada beberapa gambar karya dia, itu semuanya dipajang didinging. Saya melihat serambi yang penuh dengan lukisannya, walaupun hanya berwarna hitam putih, tapi bisa merasakan pengaturan cahayanya sangatlah cantik. Elang Itu seperti akan melayang keluar dari kertas
lembar ini. Tata ruang dalam gambarnya juga berirama seperti sedang melakukan paduan suara. Dia memiliki mata yang bisa menemukan keindahan. Di sampingnya adalah puisi yang ditulis oleh kakek itu, kata-kata yang dipakai sangatlah estetik. Jika gambar ini adalah makanan, maka puisi itu adalah bumbunya. Saya teringat pada awal mulanya menyukai sama poster, senyuman tanpa tahu sembunyi muncul pada muka saya. Tetapi teringat akan kejadian dekat-dekat ini ekspresi saya kembali jadi muram lagi. Kakek mengasih saya sebuah buku puisi yang ditulisnya “Jangan lupa untuk balas surat ya”. Itu kumpulan puisi yang dibuat olehnya pada saat seumuran dengan saya. Saya merapatkan jari tangan kananku, letakkan di depan mulut dan kemudian menggarah ke depan. “Terima kasih” itu bahasa isyarat yang saya baru belajar semalam. Anak itu nampak sedikit terkejut, lalu tangan kanannya membuat menjadi bentuk telepon bergerak maju-mundur dengan ibu jarinya menunjuk ke diri sendiri. “Sama-sama”, anak itu membalas bahasa isyarat saya. Tapi sebelumnya ada hal suatu yang membuat saya bingung. Kebetulan saya belajar bahasa isyarat dari internet, berdasarkan informasi-informasi yang didapatkan, bahasa isyarat yang resmi dan yang orang-orang pakai tiap hari tanpa belajar resmi belum tentu sama. Yang tanpa resmi itu bisa jadi berbedabeda di berbagai daerah sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat. Dan anak itu menjawab saya dengan menggunakan bahasa isyarat dengan benar. Saya bercerita kepada temanku tentang hal yang terjadi semalam. Mendengar pergaulan saya dengan kakek itu, dia bersenyum seperti orang tua yang melihat anaknya belajar berjalan.“ ”Kamu sudah bisa bergaul dengan baik sama orang-orang” makasih ya ... walaupun saya sendiri tidak merasa begitu. Selanjutnya diaberceritakan kepada
saya mengenai pertanyaan saya itu. Dulu disini pernah ada seorang wanita yang pandai bahasa isyarat, dialah satu-satunya cahaya bagi anak itu. Beliau mengajari anak itu bahasa isyarat, dan akhirnya itu menjadi bahasa khusus antara mereka berdua. Tangan mereka bergerak-gerik, dalam mata mereka hanya ada masing-masing. Dunia ini seperti terdiam saja untuk mereka sambil menunjukkan senyuman kepada mereka. Kakak itu hanya tinggal di desa ini untuk sementara saja. Awalnya dia datang ke tempat kampung-kampung ini hanya karena perlu menjaga orang tuanya yang sedang sakit. Saudaranya semua lebih sibuk daripada dia yang sebagai anak bungsu, sehingga mau tidak mau dia harus memikul tanggung jawab untuk menjaga orang tuanya. Tapi wanita kuat itu tetap menerima semua tantangan dengan ikhlas dan menghadapi dengan iman. Namun dia memikul dengan rela dan juga lelah. Langsung beradaptasi dengan lingkungan yang baru bukanlah suatu hal yang mudah, dan dia juga memiliki cita-cita, teman-teman dan pekerjaan dia sendiri. Tetapi jika tidak yang lelah berkorban, maka yang kehilangan adalah orang tuanya. Dia ikhlas, tapi bukan tanpa kekesalan. Ada kalanya diasempat menangis karena beratnya beban hidup yang harus dipikul. Pada malam yang sunyi hingga tersisa suara angin sepoi-sepoi dan kicauan jangkrik, hanyaseorang anak yang “mendengarkan” tangisannya. Itulah awalan perkenalan mereka. Sebagai seorang shadow teacher, dia lebih kurang bisa sedikit cara untukbergaul dengan anak-anak yang dianggap lebih unik. Wanita itu mengajarkan bahasa isyarat dan makna tulisan kepada dia, anak itu juga sering-sering diajak untuk menggambar bersama. Sejak kecil anak itu tidak bisa menyampaikan apa-apa dengan bagus, setelah bertemu dengan wanita itu perasaan dia dapat disampaikan dengan lebih jelas. Dia bisa menyampaikan terima kasih dengan melipatkan jari didepan mulut dan mengarahkan ke depan. Dia bisa menyampaikan rasa maaf dengan mengepalkan tangan sambil diputarkan di depan jantung. Beliau belum sempat mengajar cara menyampaikan “saya rindu kamu”. Orang Tuanya telah kembali kepada tuhan, dia juga kembali pada pekerjaannya. Semua hal seperti berpulang pada awal mulanya, kecuali anak itu. Mungkin pada saat-saat tergelap dalam masa hidup mereka telah menjadi suatu kecerahan bagi masing-masing. Namun itu hanya sekedar cahaya dari meteor yang datang dengan cepat dan pulang dengan sekilas. Setelah kejadian itu saya mulai banyak bergaul dengan teman tuli itu, Setiap berbicaranya akan akan membuka masker agar dia bisa melihat perubahan gerakan mulutnya, kayaknya saya sudah terbiasa dengan udara di sini. Kita sering ke tempat-tempat rahasia yang tidak diketahui oleh orang, disitu saya menggambar poster, dia melukis dan kakek itu akan menuliskan sebuah puisi untuk pemandangan ini. Saya juga mencoba mengajak dia untuk bergabung dengan anak-anak lain. Saya juga semakin akrab dengan anak-anak disini, mereka membawa saya kesungai dan padang lumput, tenyata bau desa bukanlah menyengat tetapi hanya saya mengambil kesimpulan ditempat yang salah. Saya merasakan suara air sungai yangmengalir, suara angin membelai rumput, dan suara anak-anak berketawa senang.Tetapi bagi anak itu tidak, di sudut pandang dia ini hanya sebuah film yang tak bersuara. Dia tidak bisa memahami secara
utuh betapa terkejutnya ketika saya menemukan seekor ular di tas saya, ketika ada yang ngelawak dia hanya bisa ikut bersenyum tanpa tahu sebab. Dalam proses pergaulan saya telah banyak merasakan kebahagiaan yangsudah terhilang sejak masa lalu, tetapi ini ada banyak hal yang dipikirkan oleh sayauntuk masa depan mereka. Diantara mereka masih banyak yang hanya sekedar bisa membaca, dan bahkan ada beberapa yang masih buta huruf. karena itu saya membuat suatu keputusan untuk membangun suatu tempat belajar disini. Saya bukanlah orang yang pandai, cara yang merubah masa depan yang bisa tercapai dengan akal saya hanyalah pendidikan. Saya mengajukan permohonan kepada kepala desa, tetapi hal itu ditolak karena masalah dana. Selain itu bapak ibu juga belum percaya sangat dengan orang asing yang dari kota ini. Saya meragukan, mungkin sekarang bukanlah waktu saya untuk melakukan kerja bakti yang tidak ada umpan baliknya. “Jika kamu berniat untuk melakukan, mengapa tidak mencoba ? Minimal kita bisa dari hal yang kecil dulu.” Sekali lagi, dia memotivasi diri ku yang suka ragu-ragu ini. Dengan asumsi “Tidak langsung mencapai tujuan juga gapapa, kita boleh mulai dari hal kecil dulu.” Kita mendirikan suatu tempat literasi kecil yang berupa gazebo. Ini bukan sekolah tetapi hanya suatu tempat main untuk membaca, menggambar, dan mengarang. Bahan bacanya hanya cerita pendek yang saya catat manual pada kertas kalender. Mereka berjelajah dalam cerita-cerita ini untuk menemukan mimpi, mereka meninggal karyanya disini sebagai jejak pernah sampai. Kadang hujan bisa membasahkan naskah kita, itu tandanya kita di semangati untuk membuat karya baru. Hampir setiap hari saya akan ke tempat ini bertemu dengan mereka yangpebuh dengan rasa ingin tahu. Saya bukan menjalankan perjuangan sendiri, Kakek dan teman saya juga sering bergabung untuk membagi ilmu disini. Kita belajar menggunakan bahasa Indonesia yang lembut tetapi berkekuatan dan juga bahasa isyarat yang tidak berbunyi tetapi menyampai ke hati orang. Akhirnya anak itu juga bisa bergaul dengan teman-teman lain. Saya memposting ceritacerita di desa ini ke internet, banyak orang yang menanyakan tentang program yang dilakukan oleh saya ini. Tulisan-tulisan karya mereka juga dikirim saya ke berbagai tempat koran dan majalah. Cerita desa initelah menarik perhatian banyak pecinta sastra diantaranya yang suka membagi telah menyumbangkan beberapa buku untuk anak-anak. Lama-kelamaan gazebo itumenjadi sebuah ruang kelas sederhana yang memiliki meja dan rak buku yang berisi, dinding dihiasi dengan lukisan anak itu dan juga teman-temannya. Akhirnya saya menemukan suatu tempat yang bisa dijadikan sebagai tujuan dan juga kampung. Tulisan adalah komunikasi yang tanpa gelombang suara. Sebagai seorang pecinta sastra dan seniman, tugas saya adalah menyampai informasi dalam bentuk gambar dan tulisan yang mudah dipahami oleh para pembaca. Bagi saya itu adalah suatu pekerjaan yang sangat dicintai saya, disini tulisan bukanlah
suatu hal yang bosan, gambaran juga akan lebih mudah dipahami tanpa ditebaktebak. Saya telah menemukan hal yang dicintai oleh saya, itu suatu hal yang tidak akan tercapai jika tanpa bantuan dari saudara-saudara yang selalu mendukung saya dengan bijak. Saya sudah menemukan jati diri saya sekarang saya akan meneruskan estafet ini kepada generasi selanjutnya. iPad : produk computer tablet buatan Apple Inc. mute : mendiamkan, membisukan. Shadow teacher : guru yang bekerja di sekolah inklusi, selain sebagai guru mereka juga sebagai orang tua disekolah untuk menjaga, membimbing dan menemani anak berkebutuhan khusus. Mandiri, Untuk Dan Karena Sendiri (Rifqy Apriansyah Basri) Seorang pria remaja sedang berlari dengan membawa beban berat di punggungnya melewati gerbang sekolah, pasrah saja ketika ia melihat barisanbarisan yang telah rapidi lapangan, dengan napas terengah-engah ia masuk ke dalam barisan khusus orang-orangyang telat. Jarang sekali untuk seorang Revan Hasibi berada di barisan khusus yangmenjadi tontonan siswa di lapangan di bawah teriknya sinar matahari, seseorang berdasidengan rambut hitam legam yang disisir ke belakang yang saat ini kemejanya basah oleh keringat. Setelah upacara selesai dan para siswa dibubarkan, Seorang guru datang menghampiri barisan Revan. Seperti biasa, sebelum memberikan hukuman ia menghitung jumlah orang yang ada.“ 15 orang yang terlambat!” Teriaknya “Sekarang tanggal empat, lima belas dikaliempat sama dengan...” potongnya menarik nafas sambil berhitung.
“Enam puluh, kalian lakukan push up sebanyak enam puluh kali!” Setelah menyelesaikan hukuman dan diceramahi panjang lebar. Barulah Revan danyang lainnya diperbolehkan kembali ke kelas masing-masing. Setelah sampai di kelas danmenaruh tasnya seseorang menyapa Revan. “Revan, kok, kamu bisa telat sih?” Tanya Kana seorang gadis cantik dengan rambuthitam sebahu yang berada di sebelah Revan. “Biasa, habis nganterin nenek ke pasar, habis itu jalanan malah macet, jadinya telat.”Jawab Revan sambil menyamankan posisi duduknya. Revan Hasibi dan Kana Aliya memang terbilang sangat dekat untuk seorang teman karena di dalam kelas hanya mereka saja yang duduk bersebelahan sesama lawan jenis diantara teman sekelasnya. Bahkan, ketika hari pertama masuk pun, ketika Revan terlambat masuk kelas karena jalanan macet setelah mengantar neneknya ke pasar. Kanalah yang pertama kali menawarkan kursi kosong di sebelahnya ketimbang menunggu Revan yang meminta izin berada di sebelahnya atau menunggu Revan dipaksa oleh guru karena hanya itulah kursi kosong yang tersisa Walaupun begitu mereka belum menyandangvstatus pacaran sama sekali. Bel istirahat berbunyi, para siswa berlarian ke kantin berharap merekalah yang pertama disana dan dapat menentukan menu sesuka hati tanpa takut menunggu antrian. Revan sedang berjalan menuju kantin. Tiba-tiba ada tiga orang datang menghalangi jalanRevan dengan wajah tertekuk. “Woy, lu dengerin gua!” Kata Arka, Salah seorang dari mereka sebelum menaikkan suaranya.
“Sekarang gua pengen lu jauhin Kana dan jangan sok akrab sama dia!” “Terus?” Tanya Revan dengan wajah tenang, walau suaranya agak menekan karenamerasa kesal dengan ucapan Arka. “Ya, lu jangan deketin Kana!” Kata Arka makin kesal “Terus?” Kata Revan mengulangi perkataannya, “Kalau gua nggak mau gimana?” Ya, kata itulah yang langsung membuat Arka semakin tidak tahan dan melayangkanpukulannya menuju wajah Revan. Tapi, Revan dengan segera menepis tangan Arka keatas sambil menurunkan badannya dan disambut pukulan menuju ulu hati Arka dengan telak yang membuat seluruh oksigen yang ada di dalam paru-paru Arka dikeluarkan melalui pukulan itu. “Seharusnya lu taukan kalau gua lebih kuat daripada lu,” Kata Revan menekan. “Berisik! Woi, lu berdua tangkap dia!” Perintah Arka kepada kedua temannya. Melihat kedua teman Arka maju menuju kepadanya, Revan langsung memasang kuda-kuda, persiapan mengurangi cedera. Mulailah baku hantam yang tidak terelakkan. Tapi, tetap Revan bukanlah lawan mereka berdua yang membuat keributan selesai denga ncepat tanpa adanya luka-luka di wajah, karena yang menjadi tujuan Revan adalah melumpuhkan bukan membabak belurkan karena yang ingin Revan hindari adalah masalah panjang jika guruguru tahu, yang menyebabkan neneknya dipanggil Revan pun meninggalkan mereka di lorong. Revan kembali menuju kelasnya karena sudah tidak nafsu
makan setelah kejadian tadi. entah apa yang dipikirkan oleh Revan sehingga ia tidak menyadari ada seseorangmelewati lorong. Bukk!!Tanpa disadari Revan menabrak seseorang yang sedang membawa buku-buku hingga buku-buku itu terjatuh, dengan cepat Revan membantu membersihkan buku-buku yang berserakan di lantai. Heran dengan apa yang dilihatnya, bukan buku-buku pelajaran atau buku paket negara yang biasanya diserahkan guru, tetapi buku-buku tebal seperti kamus dan buku dengan bahasa yang berbeda. Seorang pria yang sangat rajin membawa buku itu membuat Revan heran. “Maaf, ya, kepala saya sedang pusing,” Katanya setelah membereskan bukubukunyayang berserakan. “Nggak apa-apa, ngomong-ngomong buku-buku ini untuk apa?” Tanya Revanmengutarakan keheranannya. “Oh, ini, buku percakapan bahasa asing dan kamus,” Jawabnya “Persiapan untuk jadipresenter robotic di China, kan, kalau di negara orang lain kita harus paham bahasa.” “Hmm... Oke, semoga berhasil.” “Terima kasih.” Balasnya lalu pergi. “Masih muda sudah bisa jadi presenter di luar negeri,” Ucap Revan didalam hati. Bel pulang sekolah berbunyi, waktu kebebasan para siswa dimulai. Revan
menaikimotornya yang berada di parkiran samping sekolahnya dan berangkat menuju pasar,tempat neneknya berdagang. “Assalamu’alikum, Nek,” Sapa Revan sambil mencium tangan neneknya. “Wa’alaikumsalam, Revan cucu nenek udah makan belum? Kalau belum, adamakanan di tas nenek, Revan makan, ya.”Revan mengangguk dan mengambil makanan yang ada di tas neneknya, memang beginilah nasib Revan setiap hari etelah ditinggal kedua orangtuanya sejak kecil. Dan Revan mau tidak mau harus tinggal dengan neneknya dengan dibiayai oleh paman dan tantenya yang tinggal jauh dengannya dan beberapa peninggalan orang tuanya. Ketika pulang sekolah, Revan selalu menemani neneknya berdagang hingga sore hari, barulah mereka kembali ke rumah. Pernah Revan menyarankan kepada neneknya agar beristirahat untuk berhenti berdagang dan tetap di rumah -Karena uang bulanan yang diberikan paman dan tante sudah dapat mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari dan Revan dapat menggantikan neneknya berdagang juga karena usia neneknya yang telah lanjut Tapi, neneknya tidak mau dengan alasan tidak ada kerjaan dan merasa bosan karena siapapun di rumah juga untuk memenuhi kebutuhan tambahan jika perlu. Revanpun pasrah dan diam saja. “Revan nanti setelah lulus sekolah mau jadi apa?” Tanya neneknya setelah selesaimakan, pertanyaan yang membuat Revan terkejut. Dalam hati kecil Revan ia ingin menjadi seorang dokter, tetapi mustahil dengan uang yang mereka hasilkan dengan berdagang sehari-hari dapat memenuhi kebutuhan kuliahnya, yang ada nanti malah menjadi beban untuk neneknya. “Masih mikirin nek,” Jawab Revan pelan
“Yaudah, Revan pikirin aja dulu, nanti kalau udah kepikiran kasih tau nenek, biarnanti nenek siapin buat biaya kuliah kamu, jangan kelamaan, nanti kalau nenek nggak ada duluan gimana? Kan, nggak tau nanti Revan jadi apa.” Ucap neneknya yang membuat Revan merasa bersalah. “Baik, nek, Revan tidur dulu.” Balas Revan tersenyum. Lalu kembali ke kamarnya. Dikamarnya Revan tidak langsung tidur tapi masih memikirkan kata-kata neneknyatadi. Ia teringat kejadian di sekolah tadi.“Buku percakapan bahasa asing dan kamus.” “Buat persiapan jadi presenter di China.” Keesokkan harinya di sekolah, Selama jam pelajaran Revan selalu termenung danhanya gelagapan ketika ditanya guru. Perkataan neneknya semalam membuat Revanselalu memikirkannya. Bel pulang sekolah berbunyi, membuat semangat semua siswa kembali pulih tapitidak satu orang. “Revan, kamu kenapa?” Tanya Kana cemas karena sikap Revan dari pagi. “Nggak apa-apa.” Jawabnya singkat. “Tapi, kok, kamu dari tadi bengong sih? Mikirin apa?” Tanya Kana semakin cemasdengan sikap Revan. “Tenang aja, nggak apa-apa kok, aku pulang duluan ya.” Kata Revan setelah itu Revan meninggalkan Kana di kelas. Tolong bre, cari kerjaan yang gampanggampang buat gua”
“Kerjaan apa?” “Kerjaan apa aja, paruh waktu, yang gampang.” “Kok, tiba-tiba?” “Buat cari penghasilan gua nggak bisa ngeliat nenek gua dagang terus di pasar.” “Oh.. Coba aja kerja di cafe, penghasilannya lumayan untuk anak sekolah.” “Cafe dimana?” “Di Perempatan jalan dekat sekolah.” “Oke, Thanks bre.” “Ya.” Revan menutup teleponnya, berpikir apakah dengan begitu ia bisa menambahpenghasilan neneknya. “Oke, lebih baik dicoba daripada tidak sama sekali.” Keesokkan harinya Revan menuju tempat yang dimaksud. Ia mendaftarkan diri untuk bekerja
sebagai pekerja paruh waktu. Setelah menyanggupi syarat kontrak dan janji Revan pun diterima untuk bekerja disana. Dan bekerja setiap pulang sekolah. “Revan, belakangan ini kamu setiap habis sekolah pergi kemana?” Tanya neneknyaheran, karena Revan jarang menemaninya lagi di pasar. ” Kegiatan sekolah dan ekskul,” Jawab Revan natural. “Oh..Yang rajin ya Revan, buat nanti kamu besar,” Kata neneknya menasehati, tidak tahu kalau Revan berbohong. Seperti sudah menjadi kebiasaan, Revan bekerja di cafe setiap pulang sekolah tanpa ada paksaan apalagi rasa grogi ketika bekerja, tekadnya untuk membantu nenek lebih kuat. Suatu ketika Revan menghantarkan suatu pesanan salah satu pelanggannya. Ia melihat layar laptop pemilik pelanggan itu dengan jelas, betapa banyak garis-garis bar berwarna, gambaran seperti gelombang suara, angka-angka dengan titik dan koma, simbolsimbolyang ia tidak ketahui dan gambar yang ditengah-tengahnya. “Hei, kenapa?” Tegur si pelanggan heran , karena Revan memandangi layarlaptopnya. “Oh.. Maaf, ini pesanan punya anda,” Balas Revan merasa tidak enak menggantungkan pesanannya. ”Kamu tertarik?” Tawarnya. “Duduk sini,” Setelah dijawab dengan jelas oleh wajah penasaran Revan. “Tapi...”
“Nggak apa-apa, biar saya yang bilang ke manajer kamu,” Potongnya, seperti sudah paham apa yang Revan khawatirkan. Setelah ajakan itu akhirnya Revan duduk di sampingnya dan menyimak setiapperkataannya. Mulai dari After FX, blender, green screen, transisi, rendering dan AI. Semua itu terlihat menakjubkan dengan kumpulan gambar yang cerah menjadi gelap, mengubah latar belakang menjadi apapun itu sesuai keinginannya dan membuat seseorang berbicara seperti itu padahal tidak. “Benar-benar terlihat nyata,” pikir Revan. Keesokkan harinya, setelah bel istirahat Revan dengan segera menemui seseorang di ruang publikasi dan dokumentasi atau disebut juga studio. “Hei, Tefro, gua boleh minta tolong nggak?” Tanya Revan kepada Revan sang ketua penanggung jawab bagian, klub dan ruang publikasi dan dokumentasi. “Apa?” Tanya Tefro. “Tolong masukin gua ke bagian publikasi dan dokumentasi, tapi gua nggak punyakamera jadi masukin gua ke bagian editing,” “Hah, Kok, tiba-tiba,” Kata Tefro tidak percaya “Hanya ingin membuat suatu hal,” Jawab Revan percaya diri.
Setelah Tefro setuju untuk memasukkan Revan, Tefro terkejut kalau Revan sangatrajin mempelajari dunia multimedia. Hingga beberapa hari kemudian, ternyatakemampuan Revan lebih hebat daripada yang lainnya dan malah bagian publikasi dandokumentasi menjadi lebih baik olehnya. Contohnya ialah short movie yang diedit olehRevan tiga kali lebih banyak viewernya daripada sebelumnya.1 Bulan Kemudian. Setelah kebiasaan itu Revan, semakin mahir dalam dunia multimedia danmemindahkan waktu kerja paruh waktunya menjadi shif malam. “Wih, makin jago aja lu,” Puji Trefo. “Iya nih, kak Revan, tolong ajarin dong,” Sambar junior-juniornya. “Jago dari mana? Baru 2 bulan disini,” Kata Revan merendah. ” Masih bilang anak baru,” Trefo lalu mengambil sertifikat penghargaanyang didapat dari perlombaan pembuatan short movie Tingkat kabupaten setelah tigaminggu Revan berada di sini dan itu muruni hasil dari editan Revan seorang. “Terus ini apa?” Tunjuk Trefo yang membuat Revan tertawa. Brakkk!!Suara keras pintu yang terbuka lebar hingga menabrak dinding itu membuat semuaorang tertuju pada sumber suara. “Info!... Info! Ada perlombaan short movie Tingkat nasional tentang ‘Karya anak bangsa dalam membangun ekonomi negara’,” Kata Rasastra wakil penanggung jawabstudio.
“Wuih... boleh tuh,” Sahut Trefo. “Semuanya! Mari kita buat karya terbaik kita dan tunjukkan kepada negara,” Kara Trefo berproklamasi sambil mengangkat tangannya keatas dan disambut seluruh anak studio. Setelah petang, Revan kembali ke pasar untuk menjemput neneknya lalu pulang kerumah bersama. “Nek, nanti Revan ada perlombaan tingkat nasional membuat short movie, mohonridhonya nek,” Izin Revan setelah pulang ke rumah. “Tentu saja nenek meridhoi, Revan,” Kata neneknya terbatuk-batuk. “Nanti, kalau Revan sudah jadi editor, nenek berhenti berdagang ya? biar Revan yangnyari duit,” Bujuk Revan. “Tentu Revan, sekarang nenek sudah tenang,” Balas neneknya terharu.Setelah satu bulan berlalu, akhirnya short movie mereka akhirnya selesai dan sudah diedit lalu di upload. Dan akan diumumkan pemenangnya satu minggu kemudian. 1 Minggu kemudian “Revan, katanya hari ini pengumuman pemenang lomba film kan?” Tanya Kana. “Ya, aku nggak sabar buat liat siapa pemenangnya,”
“Semoga menang, ya, nanti kalau sudah lulus boleh nggak, kamu edit video kita berdua nanti,” Kata Kana tidak sadar. “Hah?” Revan terkejut dengan perkataan Kana tadi. “Eh, maksudnya itu... Nanti pas kita lulus kan ada study tour, maksudnya nanti kamumau nggak editin video-videonya,” Jelas Kana dengan cepat karena sadar akanperkataannya. “Haha... Iya deh, mau editin video tentang keluarga kita juga boleh,” Goda Revanmembuat wajah Kana memerah. Bel pulang sekolah berbunyi, dengan segera Revan menuju studio di sekolahnya dan disambut oleh penghuninya. “Wih, Van cepet nih, pengumumannya mau keluar,” Kata Trefo Revan pun langsung menuju komputer tempat mereka berkumpul dan melihat layarkomputernya. Tertulis disana juara pemenang pertama adalah sekolah milik Revan. “Wwwooooaaaaa... Meenaaaannnnggggg,” Sorak semuanya senang. “Malam ini kita pesta di cafe tempat Revan kerja, gua traktir,” Teriak Trefo bahagia. Akhirnya mereka berpesta di cafe tempat Revan bekerja, lalu Revan melanjutkan hidupnya dalam dunia multimedia dan bekerja di perusahaan film terkenal dan menikahi Kana dan tinggal bersama sambil menemani neneknya.
Pahlawan Perfeksionis (Sofi Rizqa Agustiani) Kepalaku yang berat mulai kusandarkan pada hamparan luas berbalut rasa. Perlahan mataku mulai tak mampu melawan kantuk yang merajai. Semester terakhir SMA menjadi momok menakutkan untuk orang-orang yang merasa taksempurna, seperti aku. Mungkin memang benar kata orang-orang, menjadi seseorang yang perfeksionis itu menyakitkan. Selama ini aku terus menuntut kesempurnaan, tetapi kesempurnaan itulah yang justru pelan-pelan menghancurkan mimpi-mimpiku. Haus kesempurnaan merebut atensiku pada satu titik dari ribuan titik yang terpatri dalam benakku. Bahkan tuntutan kesempurnaan itu mampumengoyak kepercayaan dan emosi orang lain. Sekarang aku sadar, aku hanya bisamenjadi diriku yang apa adanya, aku harus membuang kesempurnaan yang teruskugenggam erat. ” Kalau saya sudah besar, saya ingin jadi pahlawan, Bu,” celetuk aku kecildengan semangat. Suara itu tanpa sadar membangunkanku. Aku menyipitkan mataku di tengah bilik yang temaram, rupanya jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dari bilik seberang, aroma robusta sayupsayup memanggilku. Kulihat ayah sedang tenggelam dalam setumpuk berkas di mejanya. Pemandanganitu seolah mengetuk dalam sanubari. Jika besok aku tak seperti apa yang ayahbayangkan, akan seperti apa diriku kemudian. Bimbingan, bimbingan, bimbingan, setiap hari bukan waktunya menikmati secangkir kopi. Sepulang sekolah akan ada kelas tambahan untuk membekali siswa-siswi di sekolahku sebelum memasuki dunia perkuliahan. Berkali-kali sudah tatapan teduh guru BK membuatku terlarut dalam kebimbangan. Belum lagi nilaikuyang justru menurun. Tetapi, tak pernah setetes pun air mata lolos dari pelupuk mataapalagi wajahku yang berubah Semerah delima. Aku menolak sadar dengan realita. Dalam kegundahan, jemariku menggoreskan rangkaian kata. Sudah tak terhitung jumlahnya cerita-cerita dan puisi yang telah kucipta. Suatu ketika, buku catatan tempatku menuliskan cerita tak sengaja terselip di antara buku pelajaran kelasku. Aku baru sadar, kegundahan telah membuyarkan pikiranku, hingga yang kutumpuk bukanlah cacatan Bahasa Indonesia, melainkan catatan rahasia tempatku mencurahkan rasa lewat cerita. Saat itu, aku sudah berniat untuk mengendap-endapke ruang guru untuk menukar bukuku diam-diam,
tetapi kemudian aku urungkan. Hari Selasa, jam pelajaran pertama, aku mendengar ketukan suara sepatuyang renyah menuju kelasku. Seorang wanita yang telah berumur membawa setumpuk buku. Tatapan tajamnya tampak dari balik kacamata kotaknya yang khas. Aku yang duduk di kursi belakang sudah bersiap-siap menyiapkan seribu alasan tentang buku catatanku yang tertukar. Satu persatu nama telah terpanggil, tetapi takpernah sekali pun kudengar namaku dipanggil, bahkan tak ada satu pun buku yangtersisa di meja guru. Kakiku gemetar, aku merasa jantungku terpacu kencang, Sedang tanganku yang memegang buku catatan Bahasa Indonesia tak sengaja melepaskan kuasanya. “Ada yang belum dipanggil?” ucap ibu guru dengan tegas. “S-saya, Bu,” sahutku ragu. ”Kemarin saya mengoreksi tugas tidak menemukan buku kamu, justru bukuini yang saya temukan. Jadi, nilai kamu masih kosong. “Bukunya hilang?” Sahutan itu membuat tenggorokanku kaku, belum lagi tanganku yangbergetar hebat sesaat setelah kata terakhir dilontarkannya. “Maaf, Bu. Saya tahu, Saya memang teledor. Buku saya sebenarnya tidak hilang, saya cuma keliru saat menumpuk tugas. Saya minta maaf dan siap menerima konsekuensinya.” Bu guru mendecak pelan. “Hari ini saya maafkan. Lain kali jangan diulangi. Sudah mau lulus tapi masih begini. Ayo, kumpulkan sekarang bukunya. Bas, nantisore temui saya di ruang guru.”
Aku mengangguk mengiyakan, setidaknya satu kekhawatiranku telah sirna. Fana merah jambu mulai menyiratkan eksistensinya. Suara riuh menggema dari balik kelas-kelas, tak lupa dengan suara denting jam yang menggema. Ku ketuk pelan pintu kokoh di depanku. Dari dalam tak terdengar sahutan. Jemari kumemberanikan diri meraih gagang pintu dan membukanya. Wajah-wajah bahagia tampak jelas dari guru-guru yang telah bersiap menenteng tasnya, tetapi ada satu guru yang masih berkutat dengan kesibukannya. Dia adalah Bu Ratri, guru Bahasa Indonesia dengan kesabarannya yang seluas samudra. Aku mendekatinya, jemari lentiknya lantas mengulurkan dua buah buku yang berbeda kepadaku. Satu bukucatatan pelajaran dan yang satunya adalah buku ceritaku. “Saya sudah membaca ceritanya, saya tidak menyangka ternyata kamu mahir menulis cerpen. Sejak kapan suka nulis begini?” dia membuka pembicaraan. Aku yang sibuk meneliti lembaran demi lembaran tugasku dibuat terkejut. “Eh, itu sudah lama, Bu. Hanya saja ...,” ucapanku terpotong. ”Kamu punya bakat menulis, Bas. Saya kagum dengan tulisan kamu yangrapi, bukan sekedar dari goresan tanganmu, tapi juga tanda baca, ejaan, estetika, dan diksi yang kamu pilih jauh berbeda dari teman-temanmu. Sebenarnya saya sudah memantau ini sejak bimbingan beberapa waktu yang lalu. Ngomong-ngomong, apa kamu sudah menentukan mau lanjut ke mana besok?” tukasnya. “Sudah, tapi saya masih ragu.” Aku tertunduk, netraku mengisyaratkansendu yang tak bisa kubendung kala mengingat bayangan ayah dan sejuta riuh yang kuhadapi. ”Kenapa?” balasnya ringan. “Saya takut tidak bisa membanggakan orang tua saya, Bu. Saya sadar, saya punya banyak kekurangan, bahkan sekarang nilai saya menurun. Saya punya
keinginan masuk sastra, tapi gimana masa depan saya nanti. Orang-orang bilang, Sudah bukan waktunya belajar sastra. Saya minder lihat teman-teman saya yang punya cita-cita jadi programmer, youtuber, musisi, intel, sedangkan cita-cita saya, mana ada yang mau menerima saya.” Suaraku semakin memelan, tercekat air mata yang mengikat kata. Bu Ratri bangun dari kursinya, tangan dinginnya mengelus pundakku pelan. Tangisku semakin menjadi-jadi, sedang bisikan pelan terus menenangkan emosiku yang tak terkontrol. Bisikannya seolah meramu mantra penenang, terlebih setelahibu tiada, tak ada lagi sosok ibu yang merengkuh perasaanku lagi. Sosok wanita hebat itu terus berada di belakangku semenjak hari itu. Hari-hari berlalu dengan deretan huruf dan angka yang memenuhi catatanku. Goresan-goresan itu kemudian terganti oleh layar digital. Kalender rumahku bukan lagi dipenuhi oleh pengingat ulang tahun atau hari istimewa, melainkan jadwal-jadwal ujian yang harus kupenuhi. Kertas-kertas pengumuman pun kini banyak memenuhi majalah dinding sekolah. Setiap hari aku melewatinya, tak pernah sekali pun aku membayangkan namaku terpampang dan menjadi perhatian banyak orang. “Bas, lo udah liat pengumuman UKBI belum?!” Langit datang ke kelas dengan napasnya yang tak beraturan. Aku yang tengah membaca novel di sudut ruangan teralihkan atensinya. Segera selepas itu, Langit mengajakku berlari ke arahm ajalah dinding sekolah. Di sana, banyak orang sudah berdesak-desakan untuk mencari namanya. Tanpa perlu bersusah payah, netraku telah mampu menemukan nama empunya. Namaku berada di baris teratas dari ratusan nama yang ada. Takberapa lama, suara dari ruang penyiaran memanggil namaku, disusul dengan tepuktangan yang bersahutan dari orang-orang. “Bas, ini kesempatan lo. Sana, cepet!” perintah Atma. Mendengar itu,kepercayaan diriku seolah memelukku erat. Aku dengan cepat melangkahkan kakiku ke arah sumber suara dengan senyum yang merekah tanpa lelah. “Predikat Istimewa UKBI, ya. Cumlaude sastra. Juara lomba menulis cerpen, juara, juara,” gumam seorang wanita membaca satu persatu berkas yang kubawa.
Klik, klik, klik, suara kuku yang terpotong oleh deretan gigiku yang rapi memecah hening ruangan. Aku mulai merasa tidak enak, terlebih jendela ruangy ang terbuka mengundang dingin. Hanya ada aku seorang diri di sana. Saat aku hendak mencari udara segar di luar, tiba-tiba namaku terpanggil. Aku langsung merapikan kemeja dan tatanan rambutku. ”Kami akan mempertimbangkan keputusan kami untuk menerima Anda. Pengumuman penerimaan akan di-share melalui WhatsApp. Ini berkasberkasnya,ya, Pak. Kami tunggu anda untuk bisa bergabung di perusahaan kami.” Wanita itumenjabat tanganku dengan tegas. Aku menerima uluran tangannya dan pergi meninggalkan tempat interview dengan perasaan bimbang bercampur bahagiakarena sudah mendaftar di sana. Di perjalanan pulang, aku mampir ke warteg tempatku makan sepulang sekolah dulu. Tak ada yang tampak berbeda setelah empat tahun lamanya aku tak mengunjungi warung ini lagi. Seperti biasa, aku memesan perkedel dengan sayur nangka kesukaanku. Saat pemilik warung tengah membungkus pesananku, bayangan seorang wanita yang kukenal tengah memilah-milih lauk di depannya. “Bu Ratri?” aku memanggil wanita itu. Dia menoleh dan tersenyum padaku. “Nak Bas, gimana kabarnya?” Klik, klik, klik, suara ketikan laptop menemaniku di perpustakaan. Ditemani dengan segelas kopi, jemariku asyik menari mencipta kata demi kata. Sudah berjam-jam lamanya aku duduk menulis cerita. Aku kerahkan seluruh imajinasi ku untuk lomba cerpen terakhirku di SMA. Sesekali, aku senyam-senyum melihat hasil karyaku. Resolusi sudah tergambar di depan mata. Namun, sesaat kemudian, pikiranku hampa. Aku tak bisa menyelesaikan bagian akhirnya. Aku berdecakkesal, lantas kertas-kertas yang berserakan di mejaku kuremas erat-erat.
“Gimana progress-nya?” tanya Aruna. Dia berjalan ke arahku. Netra indahnya mencuri-curi kesempatan membaca cerpenku. Baru seteguk kopiku minum, aku kemudian meletakkan secangkir kopi itu dan beranjak merebutlaptopku dari Aruna. Bukannya marah, Aruna justru terkekeh geli. Aku yang takheran dengan tingkahnya, kembali melanjutkan cerpenku yang sejenak terhenti. “Apaan, sih. Jangan ganggu aku, Na,” celetukku kesal. Belum sempat kugenggam secangkir kopi di sampingku, Aruna sudah lebih dahulu menanyakan pertanyaan receh padaku. ”Kenapa, sih, Bas. Lo minum kopi enggak pernah diabisin. Cuma diseruput dikit, terus ditinggal sampai dingin. Ujung-ujungnya dibuang. Mau lo apaan coba?” “Enggak usah repot-repot ngurusin urusan orang.” “Gue pernah dikasih tau sama bokap gue dulu, waktu beliau masih ada. Setiap beliau bikin kopi, pasti gue selalu ikut-ikutan. Padahal paling gue minumdikit doang. Abis itu gue tinggal. Lama-lama bokap gue jengkel,” dia menghentikan ucapannya. “Terus, terus?” sahutku penasaran. ”Kata bokap gue, hidup orang itu kayak kopi. Enggak selamanya hidup itumanis, tapi bagi penikmatnya, kopi itu nikmat sekalipun pahitnya minta ampun. Kopi itu enaknya pas anget, kalau udah dingin bikin kembung. Sama
kayak masalah, semakin lama dibiarin malah bisa bikin celaka buat kita,” jelasnya. ”Kamu masih konsisten pengin jadi editor penyuntingan, kan?” lanjutnya. “Enggak tau. Aku udah bilang mau jadi pahlawan ke ayahku. Mending akujadi polisi lah. Editor itu cita-citaku pas pupus harapan aja, hahaha.” Aku tertawa renyah. “Lo salah, Bas. Editor juga pahlawan. Bayangin kalau enggak ada editor,tuh, buku lo enggak bakal serapi itu. Secara enggak langsung, editor itu pelestarisastra dan bahasa. Bukan cuma ngedit, editor bisa jadi konsultan penulis. Kerja itubukan sekedar uang atau harga diri, tapi pengorbanan dan value-nya juga, Bas.” Aku memikirkan pembicaraan kami hingga larut malam. Kurang dari duabulan lagi, aku harus menentukan pilihan. Malam-malamku kini ditemani overthinking dan secangkir kopi. Ayah akan pulang menjelang larut malam dan saatayah pulang, akan kusambut hangat untuk membantuku mendiskusikan masadepan. Selama ini, aku tak pernah menyinggung tentang apa yang sebenarnya aku inginkan. Tok, tok, tok. Suara pintu diketuk membuyarkan lamunanku. Aku bergegas ke ruang tamu. Kusingkap tirai penutup jendela dan kutemukan ayah dengan sekotak martabak di tangan kanannya. Aku membukakan pintu dan mempersilahkan ayah masuk. Sementara ayah membersihkan diri, aku menyeduh secangkir kopi kesukaan ayah. Perlahan aku membuka sekotak martabak yang dibeli ayah sepulang kerja, rupanya di luar sempat hujan dan martabak itu ayah beli sembari menunggu hujan reda. Kopi ayah tinggal setengah, tetapi aku belum berani membuka perbincangan. Netra ayah sejenak melirik padaku. Seolah paham, ayah segera menghabiskan martabak yang dikunyahnya dan membuka suara. “Gimana besok kuliahnya?”
“Kalau itu, sebenarnya Baskara mau minta ijin dulu ke ayah,” balasku ragu. “Lho, emang kenapa. Masalah kuliah itu senyaman kamu aja, tergantungminat dan bakat kamu. Kamu itu orangnya perfeksionis, kan. Siapa tau itu jadigolden ticket-mu ngeraih cita-cita.” “Gimana, ya. Sebenarnya Baskara pengin jadi pahlawan. Tapi, bukanpahlawan kayak orang-orang selama ini bayangin.”Ayah menepuk pundakku. “Apapun itu, Nak. Seyakin kamu aja.” “Baskara pengin masuk Sastra Indonesia, biar besok kalau udah lulus bisajadi editor. Gimana, Yah?” aku berucap dengan percaya diri. Sayangnya, ayah takmembalasku. Sesaat setelah tegukan terakhir dihabiskannya, ayah berpamitanpadaku dan pergi ke kamarnya. Tanpa sadar, pipiku telah terbasahi oleh air mata. Sejak hari itu, aku tak pernah membicarakan masalah itu dengan ayah. Aku meraih kalender yang bertengger di samping ranjangku. Hari ini adalah hari yang istimewa bagiku. Aku bergegas menenteng tasku dan mengendarai sepeda melewati keramaian kota. Kerumunan orang-orang menyebar di depan aula ,menunggu pengumuman akhir penerimaan mahasiswa baru. Tangisan haru perlahan mengetuk pendengaranku. Aku teliti satu persatu nama-nama di majalah dinding sekolah. Aku terkejut bukan main, aku berhasil lolos masuk Sastra Indonesia di kampus impianku. “Bas, lo lolos. Lo keren, sumpah!” “Selamat, Bas. Lo emang pantes jadi anak sastra.”
“Dih, apaan. Cari aman doang masuk sastra, coba masuk jurusan lain. Pastienggak keterima tuh, hahaha. ”Ucapan selamat terus membisikkan harsa ke dalam jiwa. Aku membenamkan kepalaku dalam pelukan teman-teman yang merengkuhku. Meski perlahan perasaanku terkoyak oleh kedengkian. Hari itu terasa cepat berlalu, ucapan selamat, tangis haru, serta perbincangan masa depan mewarnai buku bersampul kokoh yang terus kugenggam. Di depan gerbang, ayah rupanya sudah menunggu. Ayah tersenyum, lantas berkata, “Selamat, Nak. Kamu hebat.” Tangisku mengucur deras, kupeluk tubuh ayah erat-erat. Mulai hari itu, aku berjanji untuk terus membanggakan ayah dengan apa yang aku punya. Takdir yangt elah digariskan untukku mengajarkanku bahwa perfeksionis bukanlah hal yangsalah. Lewat jurusan yang kupilih, aku bertekad menjadi “Pahlawan Perfeksionis”. “Pahlawan Perfeksionis?” tanya Bu Ratri. “Iya, doakan saja, Bu. Semoga saya beneran bisa jadi editor, hehe.” “Kamu, ya, hahaha.”Beberapa hari selepas itu, aku diterima bekerja sebagai editor di salah satup erusahaan penerbitan ternama. Hanya berselang beberapa bulan, beberapa buku telah berhasil aku sunting dan telah dipasarkan. Mungkin hati ini ingin berserah pada lelah, tetapi tekad dan harapan ayah terus menguatkanku, hingga aku bisa menjadi orang yang bisa dibanggakan.
“Belajar sastra dan bahasa itu keren!” Harmoni Kreativitas Kesenian di Desa Kecil (Windi Juni Lestari) Dalam sebuah desa kecil yang terletak di lereng bukit, terdapat sebuah kehidupan yang penuh warna dan kreativitas. Desa ini tidak hanya menjadi tempat tinggal bagi penduduknya,tetapi juga menjadi panggung bagi sastra dan ekspresi budaya yang unik. Setiap harinya, Suasana desa dipenuhi dengan keceriaan dan imajinasi yang tak terbatas. Pada sebuah pagi yangcerah, di sebuah sudut desa yang tenang, hiduplah seorang pemuda bernama Rama. Rama adalah seorang pemimpi dan pencinta seni sastra. Dia memiliki kekreatifan yang melimpah dan selalu mencoba untuk mengekspresikan pemikirannya melalui kata-kata yang indah. Rumahkecilnya dipenuhi dengan buku-buku klasik dan catatan pribadi yang penuh dengan puisi dancerita pendek yang ia ciptakan. Desa itu sendiri menjadi sumber inspirasi bagi Rama. Setiap bangunan, setiap pohon, dan setiap wajah penduduk desa memiliki cerita sendiri. Rama senantiasa mencoba menggambarkan kehidupan sehari-hari melalui tulisantulisannya,menciptakan dunia imajiner yang memperkaya makna budaya desa. Pada suatu hari, desa tersebut mengadakan festival seni dan budaya. Semua pendudukdesa berbondong-bondong berkumpul, membawa karya seni mereka masing-masing. Ada tarian tradisional, lukisan, dan pertunjukan musik. Namun, Rama memilih untuk mengekspresikan kreativitasnya melalui sastra. Ia membacakan puisi-puisinya yang sarat makna di panggung, mengundang para pendengar untuk merenung dan terhanyut dalam kata-katanya. Ternyata, karyakarya sastra Rama tidak hanya memberikan hiburan, tetapi juga menggugah rasa kebanggaan akan warisan budaya desa. Puisi-puisinya mencerminkan keindahan bahasa sastra dan kearifan lokal, menjembatani masa lalu dan masa kini dalamsebuah alur kata yang indah. Dengan demikian, desa kecil itu menjadi lebih dari sekadar tempat tinggal. Ia menjadi tempat di mana kreativitas bahasa sastra dan ekspresi budaya bersatu, menciptakan warisan yang tak terlupakan bagi generasi-generasi mendatang. Rama, dengan kekreatifannya, berhasil membawa desa ke dalam sorotan, mengajak semua orang untuk merayakan keindahan kata-kata dan ekspresi budaya yang kaya. Suasana di desa semakin
hidup dengan kehadiran festival seni dan budaya. Pada hari itu, seluruh desa terasa seperti panggung besar yang memamerkan keberagaman kreativitas. Penduduk desa dengan bangga menampilkan hasil karya mereka, mulai dari seni rupa hingga tarian tradisional. Namun, sorotan khusus jatuh pada penampilanRama yang membacakan puisi-puisi indahnya. Ketika Rama berdiri di atas panggung, pandangan mata semua orang tertuju padanya. Dalam detikdetik itu, desa menjadi sunyi, hanya terdengar suara lembut angin yang menyapa pepohonan. Rama memulai pembacaan puisi pertamanya dengan penuh emosi, dan kata-katanya seolah menjadi benang yang menghubungkan hati setiap pendengar. Puisi-puisinya bukan sekadar rangkaian kata, melainkan jendela yang membuka pandangan baru tentang kehidupan di desa. Setiap bait puisi menciptakan gambaran yang jelas tentang kehidupan sehari-hari, keindahan alam, dan kebijaksanaan nenek moyang. Rama tidak hanya menunjukkan kreativitas bahasa sastra, tetapi juga berhasil menyentuh hati setiap pendengar. Saat ia menyampaikan kata-kata tentang kebersamaan, kepedulian, dan cinta terhadap tanahair, seisi desa terasa bersatu dalam kehangatan kebudayaan mereka. Pada akhir acara, tepuk tangan meriah bergema di seluruh desa. Rama bukan hanya menjadi pahlawan sastra lokal, tetapi juga simbol kebanggaan bagi desa kecil itu. Para penduduk menyadari bahwa kreativitas bahasa sastra dapat menjadi kekuatan besar untu merawat dan melestarikan ekspresi budaya mereka. Setelah festival, Rama menjadi semakin terkenal di antara penduduk desa dan bahkan di luar desa. Karya-karyanya menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk mengeksplorasi kreativitas mereka sendiri. Pusat desa menjadi tempat berkumpul bagi para seniman dan penulis muda yang ingin belajar dari Rama dan berbagi ide-ide mereka. Dengan demikian, kehidupan di desa kecil itu berubah. Kreativitas bahasa sastra dan ekspresi budaya tidak hanya menjadi hiburan, melainkan juga daya ungkit untuk memperkuat ikatan antar penduduk. Desa kecil itu menjadi cermin bagi bagaimana kreativitas dapat menjadi kekuatan yang merajut hubungan, merawat warisan budaya, dan membentuk identitas suatu komunitas. Meskipun kehidupan di desa tampak penuh keharmonisan setelah festival seni dan budaya, namun, seperti setiap kisah hidup, tak selalu terhindar dari konflik. Pada suatu hari, Sebuah perdebatan muncul antara para pemuda desa yang memiliki pandangan berbeda tentang bagaimana kreativitas seharusnya diekspresikan. Pertemuan itu berlangsung di bawah rindangnya pohon besar di tengah desa. Beberapa pemuda, yang termasuk di antaranya adalah teman-teman Rama, berpendapat bahwa ekspresi kreativitas harus lebih modern dan mengikuti tren global. Mereka berpikir bahwa desa harus berubah dan mengadopsi gaya hidup yang lebih kontemporer untuk tetap relevan. Namun, Rama dan sekelompok pemuda lainnya bersikeras mempertahankan keaslian dan kearifan lokal dalam ekspresi kreativitas. Mereka berpendapat bahwa kreativitas tidak hanya mengikuti tren,tetapi juga menciptakan tren yang bersumber dari kekayaan budaya mereka sendiri. Pemandangan desa yang damai dan tradisional tidak harus hilang hanya karena
kemajuan zaman. Rama, dengan kepemimpinan lembutnya, mencoba menyatukan kedua belah pihak. ”Kreativitas itu seperti aliran sungai yang tak terbatas," ucap Rama dengan bijak. "Kita bisa mengeksplorasi dan mengadopsi ide-ide baru, tetapi kita juga tidak boleh melupakan akar kita, kebijaksanaan nenek moyang yang telah menjadi landasan kehidupan kita. "Namun, pemuda yang ingin mengadopsi perubahan berpendapat bahwa untuk tumbuh,desa harus berinovasi dan beradaptasi. "Tanpa perubahan, kita akan terkungkung dalam masalalu," ujar salah satu dari mereka. Menciptakan ketegangan yang nyata di antara penduduk desa. Namun, denganbijaksana, Rama mencoba menengahi dan mengarahkan mereka untuk mencari solusibersama. "Mari kita cari jalan tengah yang menghormati tradisi kita tetapi juga membukapintu untuk inovasi," kata Rama dengan nada penuh harapan. Perdebatan pun berakhir dengan kesepakatan untuk membentuk sebuah kelompok kerja yang terdiri dari berbagai generasi, yang akan bekerja sama untuk menggabungkan kekayaan tradisional dan inovasi. Ini menjadi langkah awal bagi desa kecil tersebut dalam menciptakan harmoni antara kreativitas, tradisi, dan perubahan. Beberapa minggu berlalu, kelompok kerja yang terbentuk mulai bekerja sama. Meskipun ada ketegangan awal, mereka saling berbagi ide dan pandangan untuk menciptakan suatu ekspresi kreativitas yang mencakup kekayaan tradisional dan inovasi kontemporer. Mereka menyadari bahwa kreativitas sejati datang dari kerjasama antar-generasi dan pemahaman akan nilai-nilai budaya mereka. Mereka memutuskan untuk mengadakan sebuah
pertunjukan besar di desa. Pertunjukan itu akan mencakup segala bentuk seni, mulai dari tarian tradisional hingga instalasi senimodern. Namun, pembagian peran dan visi yang berbeda antara kelompok pemuda dankelompok tradisional menimbulkan ketegangan baru. Di malam pertunjukan, desa itu dipenuhi dengan antusiasme dan penasaran. Panggung yang dihiasi dengan indah menjadi simbol perpaduan antara masa lalu dan masa kini. Namun,d i belakang layar, ketegangan mencapai puncaknya. Pemuda dan kelompok tradisional terlibat dalam perdebatan panas tentang bagaimana seharusnya pertunjukan itu disajikan. Rama, sebagai penghubung di antara keduanya, merasa bertanggung jawab untukmencari solusi. "Kreativitas adalah tentang penemuan dan penerimaan," ucap Rama dengan lembut. "Mari kita lihat ini sebagai kesempatan untuk merayakan keberagaman kita, bukansebagai pertarungan antara tradisi dan inovasi. "Walaupun sulit, akhirnya kedua kelompok itu setuju untuk menciptakan pertunjukanyang mencerminkan harmoni antara tradisi dan inovasi. Mereka memutuskan untukmenyajikan tarian tradisional dengan sentuhan modern, serta memadukan musik tradisional dengan alat musik modern. Ini bukan hanya pertunjukan seni biasa; ini adalah upaya bersama untuk menciptakan karya yang mewakili roh dan identitas desa mereka. Saat tirai pertama terbuka, pandangan yang memukau memenuhi mata penonton. Pertunjukan yang beragam dan memukau menciptakan pengalaman yang tak terlupakan. Desa kecil itu bersatu dalam kebanggaan akan kekayaan budaya mereka, menunjukkan bahwa kreativitas sejati muncul ketika tradisi dan inovasi beriringan. Awalnya mengancam keharmonisan desa, malah menjadi titik balik positif. Desa itubelajar bahwa kreativitas bukanlah pilihan antara masa lalu dan masa kini, melainkan perpaduan yang indah dari keduanya. Dengan pertunjukan yang sukses itu, desa kecil itu tidakhanya merayakan kreativitas bahasa sastra dan ekspresi budaya, tetapi juga menyatukan penduduknya dalam cinta dan kebanggaan terhadap warisan mereka. Setelah pertunjukan selesai, suasana desa dipenuhi sorak-sorai dan aplaus. Kegembiraan terpancar dari wajah setiap penduduk, dan harmoni yang baru saja tercipta terasa begitu nyata. Rama, sebagai tokoh kunci dalam rekonsiliasi, merasa puas melihat bagaimana desa yang ia cintai telah bersatu dalam perbedaan mereka. Pada malam itu, para
pemuda dan kelompok tradisional berkumpul untuk merayakan keberhasilan pertunjukan. Mereka saling bertukar cerita, tertawa bersama, dan merayakan keanekaragaman kreativitas yang mereka hasilkan. Rama menyampaikan katakata penghormatan kepada kedua kelompok, mengingatkan mereka bahwa desa mereka menjadi indah bukan karena persamaan, tetapi karena perbedaan yang dihargai. Seiring waktu, kerjasama antar-generasi ini tidak hanya menciptakan satu pertunjukans pektakuler, tetapi juga membuka pintu untuk proyek-proyek kreatif berkelanjutan di desa. Desa itu menjadi terkenal di sekitarnya karena upaya mereka dalam melestarikan warisan budaya dan memadukannya dengan inovasi yang menarik. Suasana damai dan keharmonisan yang melingkupi desa kecil itu. Kreativitas bahasa sastra dan ekspresi budaya telah membantu mengatasi permasalahan, membuka pintu untuk pertumbuhan dan pemahaman yang lebih baikdi antara penduduk desa. Desa itu tetap menjadi tempat yang penuh warna, di mana kreativitasditerima sebagai kekuatan yang menggerakkan roda kehidupan mereka. Selesai Setapak Mimpi Yang Digenggam (Zahwa Almaliku Nilamsari) Mimpi itu kembali lagi, Era terbangun dan mengusap poninya ke belakang, dan bila diukur bisa sepanjang jari telunjuknya. Mimpi yang menyebalkan, sungguh. Mimpiitu terus membawanya pada pikiran buruk yang selalu muncul tanpa diundang,apabila perasaan mimpi dejavu itu bisa menjadi schedule tiap harinya bekerja, Erajamin; pagi yang mekar, siang yang bolong, dan sore sebagai redupnya akan membuat isi kepalanya ruwet. “Ngelamun nggak bikin kamu kaya, meratapi keadaan sekarang bisa buat sayamiskin.” Sekejap Era kembali menatap layar komputer dan menegakkan punggung, berpura-berpura jarinya menginjak keyboard, bibir yang tidak bisa
dibilang tebal dan tipisitu berdesis pelan, pengawas killer dan hari yang buruk, sudah Era pastikan setiaphari akan menimpanya. “Bakat tidur dan banyak melamun bisa mengundang surat PHK atau resign loh,Ra.” Meskipun pelan terucap, telinga Era dibuat meriang. ‘Siap bekerja di bawah tekanan’ apabila tekanan semacam ini Era lebih memilih self job, tapi apa yang bisa Era perbuat, perusahaan penerbitan ini gajinya lebih bisa memastikan kebutuhan bulanannya. ”Kok, diem aja, sih?” tanya Andaman, pria berumur itu melangkah hingga berdiri di samping Era. Bukan Andaman namanya yang galak berakhir romantis, Eraselama dua tahun bekerja justru tidak mendapatkan kisah romantis dari Andaman,yang ada hanya; pekerjaan sebagai interpreter novel harus selesai dengan baik,cekat, dan benar. “Maaf, Pak, saya akan memperbaiki dua kebiasaan buruk itu,” Era menundukkan kepalanya, “tapi izinin saya menyampaikan sesuatu yang sudah saya pikirkan satutahun terakhir apabila Bapak mengizinkan, saya ingin bekerja remote agar hasilnyaf leksibel, apabila saya duduk di kantor saya tidak bisa bekerja dengan nyaman, dansaya bisa menjamin pekerjaan akan saya kerjakan tepat waktu,” lanjutnya lagi. Era tidak yakin keluh kesahnya akan disetujui mengingat Andaman bukan pria loyalterhadap penulis yang bekerja di kantor penerbitannya. Era menunggu jawaban Andaman, pria berumur itu justru fokus pada suara di sakunya, dengan lirik alis dan dua mata yang mengerjap sekali bermaksud menyuruh Era menunggu. Gadis itu tersenyum tipis, Andaman pria sibuk, sampai-sampai ia juga ikut sibuk dengan ucapan Andaman yang sarkas. Era menepuk jidatnya, sungguh ia melakukan banyak kerugian hari ini. Naskah yang kemarin masuk belum ia kerjakan, dengan cepat Era langsung menyipitkan matanya dan fokus pada pekerjaannya. Rasa pusing dan kusut melihat kosakata naskah novel
Inggris membuat Era harus terus mencari inti dari alurnya, kemudian dengan imajinasinya ia merangkai penuh perasaan. Pekerjaannya ini tidak terlalu buruk, iaterlalu banyak mengeluh dengan pilihannya, dari kejadian-kejadian buruk itu Era masih dapat merasakan ia menjadi dirinya sebagai interpreter novel. "Silakan pulang, saya setuju." Era berbalik cepat ke belakang sambil menatap wajah Andaman. Wajah Era yang datar berubah jadi berbinar, gadis itu berdiri dan hendak memeluk, akan tetapi langsung ia urungkan. Andaman yang hampir mendapatkan serangan pelukan langsung melotot, Era terkekeh. "Baik, Pak. Terima kasih!" Ujarnya. ”Kenapa masih berdiri di sini?" "Eh?" Era mengerjapkan matanya beberapa kali, lalu melanjutkan ucapannya, "Saya boleh pulang sekarang?" Andaman hanya berdehem pelan. Saat hendak membereskan alat bekerjanya,Andaman tiba-tiba terbatuk kecil. "Kalau capek dengan pekerjaanmu, lihat saja bulan, setelah melihat bulan kamu akan merasa tenang." Era mengerjap mata-matanya berkali dan hendak berbalik badan, gadis itu dibuat bingung, Andaman sudah membelakanginya dan berjalan keluar pintu kantor. Penilaiannya terhadap Andaman tidak sepenuhnya benar. Andaman masih bersifat kemanusiaan, Era sungguh menghargai hal itu.
"AKU BISA HIDUP DENGAN DAMAI!" Sungguh, Era berteriak tak karuan saatmasuk ke dalam kamarnya. Andaman membuatnya bisa sebahagia ini. "Hah!" Era menghela napasnya dan menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, lalu terpejam pelan. Belum puas dengan pejaman mata, gadis itu dikejutkan suaraponselnya bergetar di dalam tasnya. Dengan lesu, Era mengambil tasnya danmencari ponsel dengan posisi masih memejamkan mata, rasa kantuk Era tak bisaterelak. "Ra!" Suara pekikan dari telepon membuat Era membuka matanya. "Gue barupulang dari kerjaan. Ada perlu apa, Ca?" "Gimana keadaan lo, Mama nunggu lo setahun ini buat pulang." "Gue belum bisa, Ca. Masih banyak kerjaan di sini, gue lebih nyaman ngekos, guejuga malu buat pulang." "Kerjaan lo masih jadi penerjemah naskah Bahasa Inggris ke Indonesia?" "Hum." Era berdehem pelan, entah kenapa menjawab pertanyaan Arca seakan ia tauarah ucapan pemuda itu.
"Mending lo—" "I don't need your advice, Ca. Ini kerjaan gue, gue ngejalaninya, udah cukup, gue capek denger ocehan lo berulangkali, kalau beda masih gue dengerin, tapi ini sama,Ca. Manusia mana yang nggak bosen denger ini?" "Ra, dengerin gue dulu,” pinta Arca. Mendengar itu, Era membalas, “Apalagi?" "Pekerjaan lo udah tua, Ra. Mana ada orang butuh jasa lo? Sekarang semua udah canggih, Ra, orang-orang buat baca novel asing tinggal google lens. "Perkataan Arca sungguh membuatnya seperti terhantam batu keras, ibaratnya iatidak sengaja hanyut pada air penuh lintah, perih dan mematikan. Apabila ditanya perasaannya setiap kali mendengar Arca berbicara hal yang sama, gadis itu kembali masuk pada mimpi buruknya yang sering ia mimpikan setiap terpejam; ia kehilangan pekerjaan, dibuang, dilupakan, dan ditertawakan karena masih padabudaya kuno yang tertinggal dengan zaman. "Cukup, Ca. Gue banyak kerjaan! Bye!" Arca saudaranya itu sangat menyebalkan! Bagaimana bisa seorang yang dekat dengan dirinya berkata semenyakitkan itu! Sudah cukup untuk semua tekanan, gadis itu kemudian terduduk tegak di ujungkasur dan menyunggingkan senyum. "Gue bisa, kok!"
Dua bulan berlalu, Era masih seperti biasa berkutat pada keyboard. Apa yang Arcakatakan kini menjadi kenyataan: tidak banyak orang membutuhkan jasanya lagi,dua bulan terakhir ini masalah sering muncul, perusahaan penerbitan milik keluarga Andaman sepi, peminat buku cetak menurun, kebanyakan mereka bisa mengakses bebas di internet berupa e-book, dan banyak buku dari penerbitan keluarga Andaman dibajak. Dampak krisis peminat membuat Era ikut merasakannya. "Pak, tidak bisa seperti ini dong! Naskah yang saya buat kenapa harus ditarik lagi?Saya juga sudah menyelesaikan naskah novel Robert, kalau ditarik, ini dapatmerugikan penerbitan dalam segi waktu, tenaga, dan beban pikiran!" "Maaf, Ra. Rekan yang bekerja sama dengan penerbitan kita memintanya sepertiitu. Perusahaan juga sudah mengalami kebangkrutan yang parah, dengan berat hatikamu terpaksa saya PHK, dan perusahaan penerbitan yang keluarga saya bangunharus tutup." Era mengusap wajahnya kasar, mendengar suara Andaman membuatpikiran Era kusut. "Pak, ayo pertahankan sekali lagi! Kita bisa cari solusi darimasalah ini." "Kalaupun ada solusi pasti dananya nggak murah, Ra. Semoga kamu bisa mendapatkan pekerjaan lebih baik, saya tutup, ya. Saya ada kerjaan, nanti saya bayar gaji kamu bulan ini. "Tut!” Pak? Pak!" Era memejamkan matanya berusaha menenangkan dirinya. "Argh!Masalah apa ini?" Rumit! Ia sekarang menjadi pengangguran, bagaimana ia makan setelah bulan ini berlalu? Mengandalkan gaji terakhirnya? Era tidak yakin. Gadis itu dengan geram memukul meja bekerjanya di rumah dan menelungkup wajahnya. Mimpi buruk yang selalu membayanginya
bersamaan ucapan Arca menjadikenyataan. Nasib dirinya akan menjadi seperti apa? Era dibuat gusar. Dua minggu lamanya Era masih meratapi nasibnya sebagai pengangguran. Tidakada keluhan lelahnya bekerja, dan pusingnya mendengar ocehan Andaman, semuaterasa kosong dan sia-sia. Era menggeram kesal, hidupnya hampa. Gadis itumengambil ponselnya berniat menelepon seseorang agar membantunya, belum redadengan kekesalannya, suara operator terdengar. "Maaf sisa pulsa Anda tidak mencukupi un—"Era menghela napas kasar. Setelah mendengar kalimat menyebalkan itu, ialangsung mematikan panggilan, tidak ingin membuang-buang waktunya. "Semiskin ini ya, gue?" monolognya. Gadis itu juga tidak bisa mengirimkan pesanWhatsApp karena kuotanya yang habis dua hari lalu dan menelepon pun ia tidakmemiliki pulsa. "Gue harus gimana?" Era berdiri dan merentangkan tangannya, ia harus menenangkan dirinya dengan berolahraga sekarang. Berusaha merelakan yangsudah terjadi, Era mengenakan sepatu untuk berjalan sore, setidaknya ini adalah halsederhana bermakna dalam untuk kesehatan mentalnya yang berantakan. Lingkungan tempat tinggal Era sepi, rumah-rumah yang terpampang memanjang pintu depannya tertutup seperti tidak ada kehidupan. Setidaknya kebahagiaan sedikit bagi gadis itu. Berjalan lebih jauh, di pinggir jalan raya, Era melihat beberapa orang berlalu lalang, pedagang kaki lima ikut serta di sekitarnya. Gadis itu tersenyum, ia mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu di note. Berdiri tak karuan dengan pikiran yang menabrak, aku tetap berkelana. Kubiarkanmasalahku, kupercayai skenario hidupku kepada penulis terbaik, tidak mungkinaku terus melarat. Lega rasanya, gadis itu menepi pada bangku di depan warung yang tutup, danmeluruskan kakinya. Gadis itu menghela napasnya dan tersenyum tenang.
"Ra!" Era sontak memandang ke kiri, ada gadis yang berdiri dengan tegak, dansenyuman lebar ke arahnya sambil melambaikan tangan. Era sedikit bingung, lalumengerutkan keningnya. ”Kamu nggak kenal aku lagi?" Era terus menyipit, wajah gadis di sampingnyaterasa tidak asing. Di mana Era bertemu dengan gadis ini? Ah, Era terkekeh, iaketerlaluan bisa melupakan gadis yang di sampingnya begitu saja. "Mbak Dewi?" Tebak Era. Dewi mengangguk dan duduk di samping Era. "Kamu abis jalan santai juga?" "Iya, Mbak, waktu yang bagus kan, sore hari?" Era terkekeh setelah mengatakanitu. "Ahahaha, kamu bisa aja. Tumben banget kamu pulang cepat, atau sekarang sedanglibur?" "Perusahaan penerbitan tempat bekerjaku bangkrut dua minggu yang lalu," ujar Era. Dewi memandang wajah sendu Era sontak memegang pundak Era. "Percaya samaTuhan ya, Ra, Dia nggak pernah menguji melewati kemampuan hambanya." Era mengangguk, meski sekarang sedang beratberatnya, ia tidak akan meragukan penulis semesta! Dewi yang hendak mengusap pundak Era terhenti ketika menyadari ponselnya berdering. Gadis itu segera mengangkat panggilan telepon.
"Halo, Mbak? Kenapa, ya?" Dewi memandang lurus sambil menggenggam teleponnya, Era menatap wajah yang berkerut itu nampak khawatir. "Baik, Mbak. Saya segera mengecek email yang masuk." Panggilan tertutup. Dewimenundukkan kepalanya sambil menghela napasnya. ”Kenapa, Mbak?" tanya Era.Wajah Dewi yang semula berseri nampak lebih redup. "Ada kasus penculikan yangbelum terpecahkan di Jerman, korbannya ada tujuh orang, dan tiga orangnya dari Indonesia, diduga seorang penulis yang menjadi pelakunya, semuanya diperiksa, pelaku mengatakan ia tidak akan pernah mengakui kejahatannya, tapi sebelum pelaku ditangkap, karyanya yang baru saja terbit seminggu yang lalu yang akan menjadi bukti terakhir.” Era terdiam sejenak. "Jadi, Mbak Dewi disuruh menulis jurnalnya?" "Tapi, Mbak belum fasih Bahasa Jerman, Mbak Dewi harus gimana?" tanya Mbak Dewi. Era, gadis itu menimbang-nimbang, kemudian langsung tersenyum. "Mbak, Era bisa sedikit-sedikit bisa Bahasa Jerman, nanti Era bantu terjemahkan!" "Kamu yakin, Ra? Kamu kan, terbiasa dengan Bahasa Inggris." "Serahkan ke Era, Mbak." Mbak Dewi mengangguk.
"Nanti Mbak Dewi hubungi kamu, ya, Ra." "Siap, Mbak." Era menoleh pada Mbak Dewi dengan wajah tidak enak hati . "Mbak,Era boleh pinjem lima puluh ribu nggak? Kuota Era nggak ada lagi, gaji terakhirEra sisa seratus ribu, itu pun untuk makan, kalau dibelanjakan Era nggak bisamakan besok. "Mbak Dewi mendengarnya terkekeh dan mengeluarkan dompetnya memberikandua lembar uang merah. "Astaga, Ra. Tentu saja, nggak perlu minjem! Ini buatkamu. "Era melotot sambil berujar, "Ini terlalu banyak, Mbak." "Udah kamu simpen, Mbak kemarin dapat rezeki. Besok ke rumah Mbak, ya, Ra. Nanti di sana kamu mulai bantu, Mbak." "Siap. Terima kasih, Mbak!” Terhitung sudah tujuh hari Era masih berkutat pada komputer untukmenerjemahkan novel berjudul 'Dunkles und Faules Loch' dengan bantuan Artificial Intelligence; ia dapat dimudahkan, Era mengerti, ada sesuatu yang istimewa dari teknologi saat ini, meskipun terasa dimudahkan, Era masih dibingungkan dengan translate otomatis tersebut. Selain hidupnya yang tertantang dengan kemajuan alat translate, Era juga punya peluang yang luar biasa untuk dimanfaatkan dan membuat pekerjaannya lebih cepat, perlu ia harus ingat Artificial Intelligence canggih tidak memiliki kemampuan seperti dirinya sebagai manusia yang harus memaknai setiap kosakata pada bantuan ilmu sastranya, berkomunikasi dengan orang Jerman sendiri untuk memastikan
pemaknaannya, dan perasaan khususnya pada kisah novel yang ditulis oleh Abe, penulis yang diduga menjadi pelaku penculikan. Diibaratkan ungkapan tulisan tanpa dibantu rasa oleh manusia hanya sekadar benda mati tanpa mesin. "Serem, sih." Bibirnya sontak bergumam, melihat judul novel dan membalikbalikan cover. "Lubang gelap dan busuk?" gumamnya lagi. Gadis itu menepis pikirannya yang bercabang dan mengamati halaman terjemahan sebelumnya. "Berpijak selangkah, mereka berhasil menggapai bulan, berpijak dua langkahmereka akan ke neraka. Biarkan semu adalah tantangan, biarkan lega obatnya." Era kembali bergumam, gadis itu menyandarkan punggungnya pada sofa. Ia memejamkan matanya memikirkan apakah ini adalah kata kunci yang selama ini kepolisian cari?Lupakan sejenak mengenai masalah di halaman novel yang ditulis Abe,, Era harus beristirahat sejenak dari aktivitas yang rumit. Era kembali menegakkan punggungnya dan disela-sela istirahat, ia juga menuangkan imajinasi menciptakan karya-karya sederhana, setidaknya ada yang ia lakukan selama di rumah Mbak Dewi. Era tersenyum lebar melihat tulisannya yangsudah selesai dan mulai mempublish karyanya di platform Wepwrites, di sana sedang hangat-hangatnya menjadi trending: aplikasi menulis digital yang bisa dijangkau semua orang."... setelah melihat bulan kamu akan tenang." Kalimat Pak Andaman terbayang-bayang dipikirannya membuat Era sejenak memasang puzzle yang masih belumjelas. "Berpijak selangkah, mereka berhasil menggapai bulan ... bulan dipandang menjaditenang. Jadi, menikmati indahnya bulan mereka akan tenang ...."Era menjentikkan jarinya, gadis itu tersenyum.
"Okay! Teori bulan dipecahkan!Terima kasih, Pak!" ujarnya, meskipun Pak Andaman tidak ada di hadapannya. "Berpijak dua langkah mereka akan ke neraka. Eh, bentar ... neraka bukannya tempat pembuangan? Di mana isinya buruk. Lalu, biarkan semu adalah tantangan, biarkan lega obatnya. Semu adalah ketidakpastian yang menjadi tantangan dan obatdari ketidakpastian menghasilkan lega! Apa ini ... jadi, penculikan itu berkaitandengan judul dan halaman tengah novelnya?" tanyanya menebak-nebak. "Gue harus nyamperin Mbak Dewi, nih!" Gadis itu berdiri dan keluar kamar tempat bekerjanya menuju dapur, tempat Mbak Dewi sedang mencuci piring."Mbak!" panggil Era. Mbak Dewi yang sedang mendengar alunan musik Darari milik Treasure langsung menoleh ke belakang dan langsung mematikan musik diponselnya. "Ayo makan dulu, Ra. Mbak sudah masakin makanannya." "Ah, gampang itu, Mbak. Tapi, Era menemukan sesuatu yang dicari polisi." "Seriusan kamu?" Mbak Dewi menarik tangan Era duduk di kursi meja makan. "Gimana, Ra?""Korbannya ada di rumah pelaku dan lebih khususnya di Septic Tank milik Abe." Berita yang ramai dikunjungi di Twitter beberapa hari ini kembali ramai saat kabarpenemuan mayat—warga negara Indonesia— berhasil ditemukan dan membuat Eraterkejut saat jurnal yang ditulis untuk dibawa ke pengadilan tertera namanyasebagai pemecah kasus.
"Mbak ... Instagramku ramai dan Twitterku banyak yangbertanya-tanya apakah aku Era yang memecahkan kasus itu." Mbak Dewi terkekeh. "Bagus dong! Kamu punya personal branding yang luarbiasa!" Era menggaruk kepalanya bingung, lalu merebahkan tubuhnya di kasur dan memejamkan matanya. Mbak Dewi yang melihat wajah lelah Era tersenyum, ia benar-benar harus berterima kasih dengan gadis ini. Usai terbangun, Era memilih kembali ke kos, seperti biasa ia menjadi pengangguran lagi. Era membuka laptopnya untuk mengunjungi akun menulisnya. Ia dibuat terkejut dua kali ketika menemukan banyak akun yang mengikutinya dan membaca novel yang ia buat dengan judul "Robots don't Have Feelings Like Humans". Banyak komentar yang mengatakan kesetujuan akan hal itu dan meminta Era menyelesaikan novelnya yang satu ini dan menerbitkannya. Era terkekeh, semua seperti keajaiban, saat hendak membalas satu komentar yang menarik perhatiannyatiba-tiba ponselnya bergetar. "Halo, Mbak. Kenapa?" "Halo, Ra. Mbak mau ngasih kabar gembira. Rabu depan kita diundang ke istana kepresidenan untuk mendapatkan penghargaan."Era melotot mendengarnya. "Mbak ... serius?" "Iya dong! Ada sesuatu istimewa menanti kita!"
Kelas Sastra (Ilham Al Badi Soewartono) Kakak sudah ke Amerika. Menuntut ekonomi dan bisnis di barat. Sahabatku sudah ke Jepang. Mencari pencerahan di Asia Timur. Sementara aku, masih di sini. Tanah Pasundan yang dikelilingi bukit. Kampus yang sederhana sebagai mahasiswa baru. Aku sampai berpikir, kenapa aku tidak mampu menembus batas-batas mereka atau setidaknya batas-batas yang aku buat sendiri. Sebatas masuk universitas terbaik di Indonesia saja aku tidak bisa, apalagi menembus batas mereka. Sekarang aku hanyadi sini saja. Menyiksa diriku pada batas-batas tersebut. Cahaya matahari menyorot kamarku. Sudah panas dan mataharinya sudah naik. Ini sudah jam 10 siang. Teringat semalam aku menulis novel untuk festival. Ragaku belum siap untuk memulai hari. Hari ini aku ada kelas, mata kuliah SejarahKesusasteraan Indonesia, Jam 10. Ini sudah terlambat berdiam diri. Wajahku begitu kotor dan rambut panjangku berantakan. Aku hanya cuci muka, langsung berganti baju dan membakar rokok. Memulai hari dengan terpaksa berjalan ke kampus. Kemarau Jatinangor menyiksa fisik dan batinku. Bukan sebatas masalah suhu. Tapi,melihat kampus ini saja terasa sakit. Rokok pun tidak bisa menyelamatkan batin yang sudah terjatuh seperti ini. Kampus ini titiknya. Masalah batin itu selalu ada karena aku tidak seharusnya disini dan aku tidak mau ada di sini. Selama aku kuliah, aku tidak mendapatkan hal yang aku inginkan. Ilmu yang istimewa, rekan yang sama gila, dan segalanya yangbisa menghidupi mimpiku. Kampus ini sudah membuktikan dirinya sendiri bahwa kampus ini belum sama derajatnya dengan universitas terbaik di Indoensia. Namun, mau bagaimana lagi. Arah dan alur yang Tuhan bawa pada diriku sekarang sudah mutlak sampai di sini. Aku sudah tidak bisa berusaha apa-apa lagi. Pikiran itu berjalan selama 20 menit sampai aku tiba di fakultas. Hal-hal yang terpikir dalam otakku begitu buruk. Namun, harus aku akui. Berjalan di fakultas ini begitu menenangkan. Terlihat pemandangan taman yang luas dengan berbagai bangunan antik dengan mahasiswa yang unik. Memang
Fakultas Ilmu Budaya adalah fakultas yang paling beragam. Di ujung taman, ada beberapa orang yang sibuk membuat video dengan segala atribut budaya Jepang. Di ujung taman, beberapa mahasiswa sibuk membuat video dengan segala atribut budaya Jepang. Setelah aku perhatikan, mereka sedang menari Yosakoi. Mengenakan kostum cerahdengan tenun khas yang mencerminkan sifat musiman Jepang. Aneh juga kenapa aku tahu hal ini. Di sisi lain, beberapa orang berdiskusi dengan membawa petabesar. Mungkin sedang belajar sejarah pelayaran kuno, aku tahu itu karena di petatersebut terlihat gambar naga. Di belakang jaket mereka tertulis “Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah”. Selama aku berjalan juga, beberapa orang berbicara bahasa inggris dengan fasih, beberapa orang lainnya yang melewatiku berbahasa mandarin. Setelah orangorang tersebut melewatiku. Aku jadi lebih memperhatikan fakultas ini. Arsitektur bangunan di sini adalah yang paling unik. Bangunan gaya kolonial yang masih terjaga baik konsepnya. Walau sudah menguning, retak, dan kotor. Mahasiswa yang hidup di sini berkembang dengan berbagai arah dan mempelajari budaya dari negri nan jauh. Keberagaman ini menjadi identitas mutlak dari Fakultas Ilmu Budaya. Setelah melamun sepanjang perjalanan. Aku melihat jam di tangan kiriku. Sudah jam 10.25. Aku sudah sangat terlambat. Rasa gemetar ini sedikit ada. Walau aku tau aku akan selalu bisa masuk kelas, tapi rasa malu akan selalu ada. Aku ketuk sedikit dan mulai masuk. Sepintas aku mendengar dosen ini sedang membicarakan Pramoedya Ananta Toer. Penulis orde lama dan pengguncang orde baru dengan tertaloginya. Di papan tulis juga dia sudah menulis beberapa penulis terkenal Indoensia. Buku Max Havelar juga dia tulis disamping daftar nama-nama penulis. Mungkin untuk penjelasannya. Ketika aku masuk, dosen itu langsung melihatku dan berbicara, "Aduh. Ampunsekali ini mahasiswa."Aku hanya menunduk malu berhadapan dengan dosen itu, "Maaf Prof, Izin sayaduduk.” Ketika aku duduk, dosen itu mulai berbicara tentangku di depan kelas. "Ini adalah contoh kawan-kawan. Pramoedya tidak pernah terlambat. Salah satu ciri penulis hebat dan besar adalah disiplin dan komitmen. Pramoedya dalam pengasingannya selalu rutin menulis. Disiplin dan berkomitmen. Setiap hari dia tulis tentangperubahan. Membawa ide dan gagasan luar biasa.” Kemudian pandangannya terlaihkan padaku dan berbicara sembari menunjuk nunjuk aku dengan spidolnya,
"Anda ini sebagai mahasiswa baru saja sudah telat. Apa yang kamu cari di kuliah ini? Mimpi besar menjadi apa? Bagaimana kamu ingin menulis buku atau menjadi orang yang besar, jika dalam menunjang dan menuntut ilmu saja kamu sudah tidak memiliki komitmen dan disiplin." Aku masih menunduk malu dan berbicara kecil menanggapi beliau, "Maaf Prof,ada hal yang terjadi sehingga saya telat."Dia langsung bertanya padaku dengan nada sinis, "Nama anda siapa?" "Saya Maha Putra Prof. Nomer Mahasiswa saya 120087951009" "Putra. Tolong anda berdiri dan menghadap pada rekan-rekan lainnya." "Baik." Aku langsung berdiri dari bangkuku menghadap rekan mahasiswa lainnya. Beberapa orang memperhatikanku dengan diam. Beberapa mahasiswa lainnya berbisik dengan teman di dekatnya, sedikit membicarakanku sepertinya."Coba anda ceritakan. Apa alasan anda telat. Mengapa anda memilih jurusan sastraIndonesia, dan apakah anda tau nama-nama yang ada di papan tulis ini. "Dosen itu menunjuk ke papan tulis dengan spidol di tangannya. Di papan tulisterdapat nama Chairul Anwar, Budi Darma, Pramoedya Ananta Toer, Rendra. Nama-nama di papan tulis tertulis secara acak tanpa hubungan yang
jelas. Mungkin nama-nama ini untuk menunjang pembahasan dosen dan namanama lainnya belumdi tulis oleh dosen ini. Aku tarik nafas dan berusaha menegakkan badanku, "Baik. Perkenalkan, saya Maha Putra Nanda Dewata. Pertama-tama, saya ingin meminta maaf karena saya telat dan mengganggu kelas mata kuliah ini. Namun, terima kasih Prof. Nazzan sudah mempersilahkan saya untuk masuk kelas ini. Alasan saya bisa terlambat lebih dari30 menit ke kelas ini adalah karena saya menulis beberapa tulisan untuk lomba dan festival kemarin malam. Seperti yang prof bilang sebelumnya. Memang saya kurang disiplin dalam menghadiri kuliah ini dan menyusun hidup saya, karena saya belum mampu mengatur waktu dengan baik. Namun, ada yang professor salah presepsi dari saya." "Jika Prof menilai saya sebagai orang yang tidak berkomitmen itu kurang tepat. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya. Saya mengerjakan tulisan saya, yang sudah saya susun dari tiga bulan lalu secara konsisten dan karya untuk festival sudah saya mulai dari dua tahun lalu. Ini berhubungan langsung dengan pertanyaa nkedua, mengapa saya memilih jurusan Sastra Indonesia. Tiga tahun lalu, saya mengenal menulis serta sastra dan dua tahun lalu saya memulai menulis karya saya. Saya sudah mendedikasikan hidup saya untuk sastra, mulai dua tahun lalu sampai saya berhasil berada dalam nama-nama yang ada di papan tulis lalu dan karya saya diajarkan dalam mata kuliah Sastra Indonesia. Jurusan ini bukan hanya formalitas pendidikan saja. Namun, saya menaruh harapan tinggi bahwa saya akan mendapatkan kebijaksanaan tinggi dari ini. Mendapat juga rekan yang sama gilanya dengan saya. Harapan saya bukan untuk lulus dan dapat sarjana, tapi saya ingin mendapatkan ilmu tinggi sehingga karya saya terjamin kualitasnya. Sampai banyak orang luas membaca karya saya serta mendapatkan ilham sama seperti ketika saya membaca Bumi Manusia Pramoedya tiga tahun lalu. Saya ingin menebar perubahan, menaikkan derajat hidup dan terasa sampai tinggi kualitas hidup saya. Kemudian, tulisan saya akan selalu hidup selamanya." Dosen itu terlihat terkesima dengan bagaimana aku menjawab pertanyaannya. Rekan-rekan lainnya juga fokus penuh terhadap aku, tidak ada yang berbicara. Akulalu melanjutkan bicara dan menunjuk tulisan yang ada di papan tulis, "Kemudia nini juga masih berhubungan langsung dengan pertanyaan ketiga. Daftar nama yang ada di papan tulis adalah tokoh-tokoh sastra Indonesia yang berhasil membawa perubahan dan mereka akan selalu hidup dengan tulisannya. Saya juga beruntung bisa mengenal dan membaca semua tulisan dari daftar
penulis yang Prof tulis. Chairul Anwar, seorang penyair ulung masa Hindia Belanda sampai Indonesia Merdeka. Puisi dan tulisannya masih terkenal dan terdengar sampai sekarang. Judul-judul seperi 'aku, taman, dan pelarian' masih relevan dengan zaman sekarang. Roman dan kehidupan manusia. Menunjukkan betapa rapuhnya manusia. Dia masih menjadi pelopor sastra Indonesia yang menjadi teladan penyair dansastrawan Indonesia." Aku masih menguasai ruangan ini, aku mulai lirik kiri dan kanan melihatbagaimana seisi ruangan terkesima dengan cara aku berbicara, "Lalu ada Budi Darma, saya tidak tau kenapa prof menaruh Budi Darma menjadi contoh dalam pembelajaran ini setelah Chairul Anwar. Namun, beruntung sekali saya mengenal Sastrawan ini. Budi Darma salah satu penulis Novel Indonesia yang mendapatkan penghargaan. Walau karya-karyanya asing di masyarakat umum Indonesia. Tapi inimasih menjadi favorit saya. Sangat berkesan. Dari banyaknya novel dan cerpen beliau. Olenka tetap menjadi terbaik. Pembawaan tokoh Fanton dalam obsesi terhadap Olenka adalah sebuah manifestasi dari masyarakat modern yang bergeser. Keluh dan buruknya asmara beserta gairah berhasil diciptakan oleh Budi Darma dalam Olenka." Pandanganku mulai digeserkan penuh pada rekan-rekan lainnya tanpa melihatpapan tulis, "Pramoedya Ananta Toer, Siapa yang tidak tahu beliau. Seorang maestro dan sastrawan terbaik yang dimiliki Indonesia. Satu-satunya yang berhasil masuk nominasi nobel sastra dan dengan tulisannya juga, dia berhasil memberi ketakutan pada Orde Baru. Seperti yang prof bilang sebelumnya. Pram adalah sebuah wujud dalam komitmen, disiplin dan konsisten, karena Pram sudah dimusuhi negara, diasingkan, dan dibatasi. Namun dia tetap menulis sebuah mahakarya yang diakui semua orang. Saya masih terkesan, karena dalam pengasingannya dia mampu menulis Bumi Manusia di mana dalam pengasingan itudia tidak dapat membaca buku atau mencari referensi dalam menulis novel ini. Tapi dia mampu menulis Bumi Manusia dengan apik dan detail tentang masa Kolonial Hindia Belanda akhir abad 19. Lalu ada W. S. Rendra..