(Amiira Mahdiyya) Matahari telah menenggelamkan dirinya di bagian barat, menandakan bahwa kini telah menjelang sore hari menuju malam. Jingga mewarnai langit. Sekelompok burung terbang tanpa tujuan. Diriku kini sedang berada di kamarku. Duduk di kursi meja belajarku. Dengan headphone yang terpasang di kedua telingaku. Pulpen di tangan kananku. Dan juga tumpukan buku yang saat ini terletakdi depan mataku. Salah satu buku yang terbuka penuh dengan coretan. Beberapa buku tertulis nama Arunika Sandra di sampulnya. Selembar daun berputar-putar karena tertiup angin sepoi-sepoi, kemudian menghampiri rumahku, mendarat tepat di mejaku. Tanganku meraih daun itu. Daun kering, berwarna cokelat gelap diikuti warna jingga. Daun yang rapuh, namun indah. Aku menghela napas, menundukkan kepalaku, lalu menatap buku yang menumpuk di mejaku. Tugas-tugas telah menghantui pikiranku. Keadaan ekonomi keluarga juga memburuk, karena itu aku pindah rumah sekaligus sekolah ke sebuah daerah yang belum pernah ku datangi. Saat aku bertanya, Ayah hanya menjawab, “Ayah dapat pekerjaan barudengan gaji yang lebih tinggi di sini.” Bohong. Aku tahu jika Ayah dipecat. Namun, aku hanya bisa diam. Keduaorang tuaku selalu bertengkar dalam diam. Mereka pikir, aku tidak mengetahuibahwa hubungan mereka sedang bersitegang. Padahal, mereka bertengkar tepat didepan mataku. Di sini aku tidak mempunyai teman. Setelah pindah, temanteman kumenghilang tanpa kabar. Sepertinya mereka bersenang-senang atau mungkin sedang dihantui oleh tugas-tugas yang menumpuk sama sepertiku. Sama seperti daun di pohon, satu demi satu, pergi meninggalkanku. Aku bingung. Apakah masa depanku akan indah? Saat melanjutkan tugasku, tibatiba terdengar suara langkah kaki dari balik pintu. Aku melepas headphone-ku dari kedua telingaku. Seseorang membuka pintu kamarku. Ya, dia adalah ibuku. Aku terus menatap ibuku. Sudah berapa lama aku tidak memperhatikan Ibu? Ekspresi lelah terlukis di wajahnya. Kantung mata yang tiap hari makin membesar. Sejak pindah, Ibu terus membanting tulang menjual aneka kue sepanjang hari. Tubuh Ibu menjadi lebih kurus. Apa tadi Ibu sudahmakan?
“Nak... Tolong belikan tepung di warung ya. Mau buat kue.” Ucapan Ibu berhasil memecahkan lamunanku. “Tapi, Aru lagi kerjain tugas, Bu,” ucapku sembari melanjutkan tugasku.” Kembaliannya buat kamu.”Satu kalimat itu berhasil membuatku tersentak. “Belinya 1 kilo, kan?” Aku bangkit dari posisi dudukku. Siapa yang tidak senang saat mendapatkan uang? “Iya, ini uangnya.” Ibu memberikan selembar uang berwarna hijau. “Cepat belinya, sebentar lagi Maghrib.” Ibu menunjuk jam dinding. “Siap, Bu.” Aku mengangkat tangan, hormat. Ibu hanya tertawa melihat tingkahku.Tanpa banyak pikir, aku langsung bergegas mengambil tas, lalu pergi keluar rumah menuju warung. Sepanjang perjalanan, angin sepoi-sepoi menyibak rambutku. Anak-anak bermain dengan sangat gembira. Beberapa anak disuruh untuk segera pulang oleh ibunya. Hari ini langit juga terlihat sangat indah. Di saat aku memandangi langit, selembar kertas berputar-putar tertiup angin lalu mendarat di tanah. Aku mengambil kertas itu. Kertas itu berisi iklan mengenai pertunjukan seni budaya yang akan diselenggarakan malam ini. Beberapa meter di depan, aku melihat seorang kakek yang sedang membungkukkan badannya sembari memungut kertas yang berserakan di tanah. Aku menghampiri kakek itu. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku langsung membantu kakek itu memungut kertas. Kakek itu mendongak menatapku dan mengangguk yang menunjukkan bahwa ia berterima kasih. Aku membalas rasa terima kasih itu dengan senyuman. Semua kertas telah dipungut. Aku merapikan tumpukan kertas itu lalu memberikannya kepada kakek itu. “Terima kasih, ya, Nak,” ucap kakek itu tersenyum dengan wajah yang berkeriput.
“Sama-sama, Kek.” Aku turut senang melihat senyuman kakek itu. “Itu acara pentas seni, ya, Kek?” Aku menunjuk kertas itu. Sejujurnya, akutertarik dengan pertunjukan itu. “Iya, hanya pertunjukan sederhana. Kakek hanya ingin orang muda mengenal budaya kita yang sangat indah dan terus melestarikannya agar tidakpunah pada suatu hari.” Ekspresi senang itu berubah menjadi murung. “Tapi, dengan adanya perkembangan zaman. Orang-orang mulai lupatentang budaya di negeri kita. Mereka terpaku pada gawai dan budaya luar. Memangbenar dengan adanya gawai hidup kita lebih mudah, budaya luar juga tidak kalah indahnya. Namun, mereka hanya tertuju pada satu keindahan tanpa menyadari keindahan di sekitarnya.” Kakek itu menatap anak-anak yang sedang bergembira bermain.“Tapi, masih ada harapan. Kita dapat mempertahankan budaya kita dimulai dengan hal kecil. Pentas seni inilah salah satunya,” ucap kakek itu sembari mengeluarkan sebuah buku dari tas selempangnya.“Buku ini Kakek berikan padamu, jaga baik-baik. Kamu juga boleh menonton pertunjukannya nanti malam,” ucap kakek itu tersenyum sambil memberikan selembar kertas tadi dan buku itu kepadaku. “Buku apa ini, Kek?” tanyaku bingung. “Hanya buku biasa. Kakek ingin memberikan buku ini kepada seseorang,tapi tidak tau siapa yang harus kuberi. Kamu mungkin menyukainya. Anggap sajaini tanda terima kasihku. ”Aku mengambil buku itu. Buku itu terlihat kuno, sampul berwarnakeemasan, di buku itu terdapat gambar semacam barang kuno dan pola-pola seperti batik, kata “Nusantara” terukir di cover buku itu. Selang beberapa detik, aku menaruh buku itu ke dalam tas, lalu pamit pergi. Dari
kejauhan, kakek itu melambaikan tangannya, aku membalas lambaian itu. Aku pun sampai di warung. Mengambil sebungkus tepung, lalu menujukasir. Aku meletakkan tepung itu di atas meja kasir. Tanganku mengeluarkanl embaran uang yang diberikan Ibu tadi dari sakuku. Petugas kasir itu mengambil uang hijau itu dari tanganku, lalu memasukkan uang itu ke mesin kasir dan mengeluarkan struk pembayaran. “Terima kasih telah berbelanja di sini,” ucap petugas kasir sembari tersenyum dan memberikan struk pembayaran. Tunggu dulu... Nggak ada kembalian? “Maaf, Mas. Uang kembaliannya,” ucapku. “Oh, maaf, ya, Mbak. Uangnya pas,” ucap petugas kasir. Aku mengerutkan dahi. Ternyata, Ibu membohongiku. Aku pun keluar dari warung, lalu berjalan menuju rumah. Sepanjang perjalanan, aku terus memasangmuka masam. Aku pun sampai di rumah. Aku membuka pintu, lalu masuk danmenutup pintu. Aku menaruh tas yang berisi tepung dan buku di atas meja. ”Kamu sudah sampai, Nak?” Ibu membawa sebuah keranjang yangdipenuhi baju. Aku menatap sinis Ibu.” Kamu kenapa, sih, Nak?” tanya Ibu. “Tadi uangnya pas,” ucapku sambil menunjukkan muka masam. Ibu tertawa mendengar ucapanku. Ia meletakkan keranjang penuh baju itudi atas meja. Lalu mendekatiku dan mengacak rambutku.
“Maaf, ya. Mau Ibu belikan apa?” Ibu tersenyum, lalu menurunkan tangannya. Aku menggelengkan kepala. “Jangan marah, dong. Kayak anak kecil saja. Ibu nggak tau kalau harganyanaik.” Ibu mencubit pipiku. “Lepas, Bu.” Wajahku merah merona. “Iya, iya.” Ibu melepas cubitan di pipiku. “Aru ke kamar dulu, ya, Bu.” Aku berjalan menuju anak tangga. Setelah aku pergi, Ibu melanjutkan kegiatannya. Aku sampai di kamarku. Aku langsung menjatuhkan tubuhku ke kasurku yang empuk. Aku menutup mataku sejenak. Lalu, aku teringat mengenai buku tadi. Aku beranjak dari kasur, lalu menuruni tangga. Mengambil buku itu dari tas, kemudian kembali ke atas lagi. Aku duduk di meja belajarku, lalu menyalakan lampu. Meletakkan buku itu di atas meja. Aku menatap buku itu selama beberapa detik. Rasa penasaran memenuhi kepalaku. Aku memberanikan diri untuk membuka buku itu. Belum sempat aku menyentuh buku itu, tiba-tiba buku itu mengeluarkan cahaya, lalu melayang menuju atap kamar. Badanku ikut melayang seolah-olah gravitasi lenyap di kamarku. Semua benda yang ada di kamar berubah menjadi serpihan cahaya, lalu lenyap. Begitu juga dengan dinding kamar, dinding kamar juga lenyap. Semuanya menghilang. Tubuhku masih melayang, aku berusaha menyeimbangkan diri. Aku menggenggam kedua tanganku sembari melihat sekeliling, tidak ada apapun. Diriku dikelilingi oleh warna putih polos tanpa ujung. Aku mulai memberanikan diri untuk menyentuhkan kakiku di dasar. Saat kakiku menyentuh tanah, tiba-tiba seluruh tempat berwarna putih itu berubah menjadi hutan. Pohon yang subur, bunga yang bermekaran, burung yang beterbangan. Tepat di depanku,berdiri sebuah rumah dengan bentuk atapnya yang bergonjong runcing menjulang. Itu adalah Rumah Gadang, rumah adat Minangkabau. Rumah itu berdiri dengan sangat megah. Ditengah ketakutan dan kebingungan itu, aku mendengar suara lantunan alat musik kecapi, bersatu dalam harmoni dan melodi memainkan lagu “Indonesia Pusaka”. Alat musik khas Jawa Barat itu terdengar sangat indah, bulu kudukku berdiri mendengar musik itu. Aku berjalan ke seluruh penjuru untukmencari sumber suara. Aku
tiba di sebuah air terjun, di sana terlihat seorang priasedang menggerakkan jari di tangan kanan untuk memetik tiga dawai yang berbedasecara bersamaan. Tibatiba, aku mendengar suara lantang seseorang sedangmembaca puisi legendaris karya Sapardi Djoko Darmono yang berjudul “Hatiku Selembar Daun”. “Hatiku selembar daun. Melayang jatuh di rumput.” Daun mulai berjatuhandari pohon. “Nanti dulu. Biarkan aku sejenak berbaring di sini.” Angin kencang membawa pergi daun itu. “Ada yang masih ingin kupandang. Yang selama ini senantiasa luput.” Daun itu terbang terbawa angin hingga tak terlihat lagi. “Sesaat adalah abadi. Sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.” Angin bertiup kencang seakan puisi itu dibacakan untuknya. Lalu, aku mendengar alunan suara alat musik saluang, talempong, gong, dan rebana. Di balik pohon, seorang wanita muncul dengan mengenakan baju kurungsambil membawa piring kaca di kedua tangannya. Wanita itu menari dengan anggun. Selang beberapa menit, muncul pecahan kaca di depannya, ia menari tepat di atas pecahan kaca itu sambil terus tersenyum. Alisku terangkat, aku kagum melihat tarian itu. Aku pergi ke tempat lain. Di gua kecil, sebuah kain putih atau biasa disebut kelir dibentangkan hampir menutupi gua, muncul bayangan wayang di balik kain tersebut. Alunan musik angklung, gamelan, gong, dan alat musik lainnya mengiringi pertunjukkan wayang tersebut. Seorang dalang dengan lihai memainkan wayang dan menyuarakan dialog para wayang. Ia menceritakan kisah Ramayana, yang bercerita tentang perjuangan Rama yang berjuang untuk mendapatkan kembali istrinya, yaitu Sinta dari penculikan yang dilakukan oleh Rahwana. Ini semua benar-benar indah. Mulai dari musiknya, tariannya, ceritanya, bahasanya, suaranya, pemandangannya. Semuanya sangat indah, aku terus menatap kagum. Indonesia kaya akan budaya, seperti cerita rakyat, bahasa daerah, seni tari, Seni rupa, dan budaya lainnya. Semua keberagaman budaya dan bahasa menjadi satu membentuk keindahan yang memesona. Tiba-tiba, tanah bergetar, permukaan bumi terbuka. Aku berusaha menghindari lubang. Semakin lama, lubang tersebut semakin banyak. Tanpa sengaja, aku tergelincir,
lalu terjatuh ke lubang dibelakangku. Tubuhku melayang. Aku menutup kedua mataku. Aku terbangun dari tempat tidurku. Ternyata, itu semua hanya mimpi. Tapi,buku itu nyata. Buku itu dalam keadaan terbuka terletak di atas meja belajarku. Aku bangun dari kasur, lalu mendekati meja belajar. “Budaya adalah warisan.” Itulah kalimat yang tertulis pada lembaran buku itu. Aku mendengar suara mesin motor, Sepertinya Ayah sudah pulang. Aku bergegas bangkit dari kasur, lalu menuruni tangga. Ayah sudah berada di depan pintu dengan wajah yang lelah dengan membawa tas di punggungnya. Aku dan Ibu menyambut kedatangannya. “Selamat datang, Ayah,” sapaku dengan senyum merekah. Ayah membalassapaanku dengan senyuman, kemudian mengusap rambutku. “Selamat pulang.” Ibu mencium tangan Ayah lalu melepasnya. “Capek banget....” Ayah menghela napas.“Yah, Aru punya pantun buat Ayah,” ucapku.“Apa itu?” Ayah mengangkat alis penasaran. “Di taman ada lebah.” Aku mengangkat tangan menghayati. “Cakep,” seru kedua orang tuaku. “Di pagar ada kawat.” “Cakep.”
“Jika engkau lelah. Tetaplah semangat.” Aku mengepalkan tangan ke atas. Ayah dan Ibu kompak bertepuk tangan. “Ibu, Ayah, mau nonton pentas seni, nggak?” tanyaku. “Boleh. Ayah juga butuh hiburan.” Mulut Ayah terbuka, memperlihatkan deretan gigi. “Pentas seni? Sekarang ‘kan jarang yang nyelenggarain pentas seni,” ucap Ibu. “Ada yang nyelenggarain.” Aku memberikan selembar iklan pentas seni. “Pentas seninya dimulai sebentar lagi, ayo bersiap,” ucapku bersemangat. “Tapi, Ayah ‘kan baru pulang. Butuh istirahat,” ucap Ibu. “Tidak apa-apa. Sudah lama kita tidak jalan-jalan sekeluarga. Ini juga tidak dipungut biaya,” ucap Ayah. ”Kalau Ayah bilang begitu, mau gimana lagi?” Ibu hanya bisa tersenyum.
Aku merasakan pancaran kebahagian, kebahagiaan bergema dalam diriku. Akhirnya, setelah sekian lama, kami pergi jalan-jalan. Sudah lama kami tidak pergi jalan-jalan. Aku pergi ke kamarku untuk bersiap-siap. Aku merapikan bajuku dan menata rambutku di depan cermin. Bayangan garis senyum di wajahku terpantul di cermin. Aku terus menari-nari. Kami pun selesai bersiapsiap. Kami menuju ke pentas seni dengan berjalan kaki karena lokasinya cukup dekat. Kami pun sampai di tempat di selenggarakannya pentas seni. Tempat yang sederhana, tetapi memesona. Banyak orang yang datang. Di sana, aku melihat kakek yang kutemui tadi. Ia menyadari keberadaanku langsung menyampiriku. Ia bersalaman dengan kedua orang tuaku. Ia berterima kasih karena telah mendidikku selama ini. Aku tidak mengerti mengapa ia berterima kasih. MC membuka acara tersebut dengan sambutan dan doa. Pentas seni berlangsung dengan meriah. Keindahan budaya Indonesia ditampilkan dengan menawan. Semua orang bersorak, suara tepuk tangan . Sayang sekali jika kita tidak menjaga warisan berharga ini. Setiap daun adalah karya seni alam yang unik dan bernilai. Mereka akan mati, kemudian terjatuh apabila pohon tempat ia tumbuh tidak dirawat dengan baik. Begitu juga dengan budaya, mereka akan punah apabila kita tidak melestarikannya.
Melodi Leluhur, Sebuah Warisan Budaya (Azra Khairunisa Hanifah) Di sebuah desa kecil, terletak di lereng gunung yang subur. Hiduplah Jani, Alle,Agas, dan Yasa, sekelompok sahabat yang sangat mencintai sastra dan seni. Setiaphari, ketika memiliki waktu luang, mereka menghabiskan waktu di perpustakaandesa, membaca karya-karya sastra klasik serta mengekspresikan diri melalui sastradan seni, seperti puisi dan lukisan. Keempat sahabat ini tumbuh bersama dengansastra sebagai pengikat yang kuat dalam persahabatan mereka.
“Aku suka sekali suasana perpustakaan sore ini. Membaca buku memang sangat menyenangkan ketika hujan turun,” ujar Jani sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling perpustakaan. “Ngomong-ngomong hujan, aku teringat kenangan kita tahun lalu. Ketika hujan-hujanan menonton Festival Melodi Leluhur. Melihat kelompok musik Yasamenampilkan lagu-lagu lama yang cocok sekali dengan suasana hujan!” sahut Alle. Desa tempat sekelompok sahabat ini tinggal adalah tempat yang kaya akan tradisi dan budaya. Salah satu tradisi yang paling berharga adalah Festival Melodi Leluhur. Kegiatan ini diadakan setiap tahun untuk memperingati para leluhur desa,k arena telah memberikan warisan seni dan sastranyal yang begitu berharga. Festival ini melibatkan pertunjukan musik, tarian, dan pertunjukan teater tradisional. “Hei, lihat! Aku menemukan naskah usang ini di sudut perpustakaan, dan akumerinding sekali membacanya.” Yasa, lelaki yang baru saja dibicarakan Alle itutiba-tiba muncul dari balik rak buku. Dengan wajah berbinar, dia menyerahkan naskah yang dia temukan pada Jani dan Alle. Setelah membaca isi naskah itu, Janidan Alle saling bertatapan, dengan wajah yang sama berbinarnya, seperti wajah Yasa. “Apa itu? Kenapa kalian seperti habis menemukan harta karun dalam sebuah naskah?” Agas mengambil naskah yang dipegang Jani, ikut membacanya dengan seksama. Kemudian Agas mengangkat wajahnya, paham apa yang terjadi dan apayang menyebabkan ketiga temannya mendadak bahagia. Bagaimana tidak? Yasa menemukan naskah lama berisikan lirik sebuah lagukuno yang telah hampir dilupakan. Lagu tersebut dinyanyikan oleh leluhur mereka dalam festivalfestival sebelumnya. Yasa sebagai anggota kelompok musik tentusaja sangat terinspirasi oleh lirik-lirik itu.
“Astaga, lirik-lirik ini menyeruak masuk ke dalam pikiranku, tapi aku tak bisa mengingat bagaimana melodinya,” ujar Alle sambil berusaha menyanyikan lirik-lirik itu, namun tidak menemukan melodi yang pas. ”Kita tanyakan saja pada Mbak Ayu dan Mas Danu, sepasang suami istri itusangat paham dengan sastra dan seni. Benar bukan, Jan?” Agas menolehkan pandangannya pada Jani, menyebut nama kakak dan kakak ipar Jani. Ketika sudah disetujui oleh Jani, mereka berempat segera membereskan buku-buku kembali ke rak sebelumnya dan mengurus peminjaman naskah kuno itu untuk dibawa. Yasa menyimpan naskah itu di dalam tasnya agar tidak basah oleh hujan, berlari bersama Agas menuju parkiran sepeda. Kemudian menyusul Jani dan Alle yang sedang menunggu. Tepat setelah Jani dan Alle naik ke sepeda, memposisikan diri diboncengan dengan baik. Yasa dan Agas segera mengayuh sepeda mereka,berlomba dengan hujan yang semakin deras. Kedua sepeda itu melaju menuju sebuah sanggar tari yang terletak di Tengah desa. Sanggar sederhana namun pekat dengan nuansa tradisional yang amat menyenangkan untuk disinggahi. Jani dapat melihat Mbak Ayu dan Mas Danu tengah bercengkrama di teras sanggar. Mbak Ayu, seorang penari tradisional berbakat. Semantara Mas Danu, seorang pemain alat musik tradisional. Mereka merupakan sepasang suami istri yang mendirikan sanggar tari ini, dengan harapan dapat melestarikan budaya desa yang sedikit demi sedikit mulai terlupakan. Setelah bersalaman dan sedikit bercengkrama, keempat sahabat ini mulai menjelaskan ntujuan kehadiran mendadak mereka di tengah hujan. “Wah, Mas juga rasanya pernah mendengar lagu dengan lirik ini, tapi sulit sekalimengingat melodinya, sepertinya lagu ini dinyanyikan ketika Mas masih kecil,” ujar Mas Danu yang ditanggapi oleh Mbak Ayu dengan anggukan setuju. Namun jiwa seni yang ada di dalam diri mereka semua menolak keras untuk menyerah, Sehingga beberapa hari kedepan, mereka bersama-sama bekerja keras untuk memahami lirik lagu dan menciptakan melodi yang pas. Mereka juga meminta bantuan Mbah Yayok, seorang guru besar di desa yang memiliki
pengetahuanmendalam tentang tradisi dan budaya leluhur.Tepat 3 minggu sejak dimulainya diskusi mengenai lirik itu, Alle datang membawa sebuah selebaran, berboncengan sepeda bersama Yasa menuju sanggar tari milik Mbak Ayu dan Mas Danu. Secara kebetulan mereka berpapasan dengan Jani dan Agas yang juga tengah bersepeda menuju tengah desa. “Hei, kebetulan sekali aku bertemu kalian disini. Lihat, aku menemukan selebaran ini!” Seru Alle setelah meminta Yasa dan Agas menghentikan sepedamereka. “Astaga! Festival Melodi Leluhur akan dilaksanakan bulan depan. Bukankah inikabar yang sangat menggembirakan? Aku tidak sabar ingin menonton anakanakdesa menari, berpuisi, dan menampilkan bakat seni mereka di festival itu!” Sahut Jani melihat selebaran itu, selebaran yang berisi informasi bahwa bulan depan akandiadakan Festival Melodi Leluhur. “Bukan, aku membawa ini bukan hanya untuk memberitahu kalian mengenai festivalnya, namun juga membawa sebuah ide cemerlang. Tapi akan aku ceritakan nanti ketika sampai di sanggar, jadi ayo kita segera menuju sanggar sekarang!” Alle kembali meloncat ke atas sepeda, menepuk-nepuk bahu Yasa agar segera mengayuhsepeda, disusul Agas di belakang. Sesampainya di sanggar, Alle memimpin langkah mencari Mbak Ayu dan Mas Danu yang ternyata tengah menonton anak-anak desa sedang berlatih. Yasa danAlle kompak menarik tangan Mbak Ayu dan Mas Danu menuju teras sanggar, menemui Agas dan Jani yang sejak awal diminta untuk menunggu di teras saja. Demi melihat wajah bingung Mbak Ayu, Mas Danu, dan kedua temannya. Alle tertawa dan mengajak semuanya untuk duduk, kemudian menceritakan maksud dari ide cemerlang yang sebelumnya dia bicarakan.
“Jadi maksud kamu, kita harus segera menyelesaikan lagu itu kemudianmenampilkannya di Festival Melodi Leluhur?” Mbak Ayu memastikan maksud dariide Alle. “Iya, Mbak. Walaupun kita belum menyelesaikan lagu itu, tapi aku sangat jatuhcinta pada liriknya, dan setelah beberapa hari memikirkannya, aku yakin lagu iniakan cocok jika disandingkan dengan sebuah tarian, benar ‘kan, Yas?” “Benar, Mbak. Kemarin aku sempat membicarakannya dengan temantemanmusikku, dan mereka juga setuju jika lagu ini diselesaikan dengan baik. Dan akanindah sekali jika ditampilkan bersama sebuah tarian,” jawab Yasa, menyetujui ucapan Alle. Tanpa berpikir lagi, Mas Danu tiba-tiba mengutarakan bahwa dia setuju. “Menurutku, ide Alle bukanlah hal yang harus kita pertimbangkan lagi. Lagu itusedikit lagi rampung, dan kita masih punya waktu satu bulan untuk persiapan. Kita tidak punya alasan untuk menolak ide cemerlang ini, kan? Mas yakin kalian semuapun sangat setuju mempersembahkan lagu indah ini kepada masyarakat desa. ”Maka dengan persetujuan Mas Danu yang disusul oleh anggukan semangat Mbak Ayu. Jani dan Agas juga memutuskan untuk menyetujui ide Alle. Mbak Ayu kemudian langsung merancang sebuah penampilan yang lengkap untuk dipersembahkan pada Festival Melodi Leluhur nantinya. “Jani dan tim tarinya yang akan menari untuk lagu ini, nanti Mbak sendiri yang akan melatihnya. Kemudian, Alle dan Agas bersama Yasa dan kelompok musiknya akan menampilkan lagu ini, nanti Mas Danu yang akan membantu persiapan. Tapi sebelum memulai semua persiapan, kita harus selesaikan dulu lagu ini. Bagaimana kita melanjutkannya, jika Mbah Yayok sedang
sakit?”Mereka semua terdiam, sejenak terlupa bahwa Mbah Yayok sang kunci lagu ini sedang sakit dan tidak bisa meneruskan penyelesaian melodi. “Tidak apa, kita coba lanjutkan saja dulu tanpa Mbah Yayok. Kita sudah taubukan polanya? Maka kita lakukan saja seperti yang biasa Mbah Yayok ajarkan.” Percaya diri sekali Yasa mengatakan itu, menarik yang lain untuk ikut setuju danpercaya diri. Namun, seperti sebuah pepatah, “Bagai mencari jarum di tumpukan jerami”. Usaha pencarian melodi yang tepat untuk lirik itu tak kunjung membuahkan hasil. Sudah 2 pekan sejak terakhir kali mereka memutuskan untuk menyelesaikan laguitu tanpa Mbah Yayok, namun hasilnya nihil. Dari pagi hingga malam, di sela kegiatan harian, bahkan kadang hingga tak tidur malam, karena tidak sempatdikerjakan di siang hari. Yasa dan kelompok musiknya bahkan sudah bulak-balik nyaris setiap hari mencoba memecahkan lagu itu, tapi selalu tidak berhasil. Kadan gkala terasa tidak cocok dengan melodi sebelumnya, atau malah jadi terkesan sepertimerusak lirik yang telah ada. “Astaga. Ini semua rumit sekali. Aku tidak pernah sampai se-frustasi ini dalam memikirkan sebuah lagu sebelumnya. Lirik ini seperti mempermainkan kita,” keluh Agas sambil menatap bintang yang bersinar terang di langit malam kala itu. “Waktu kita sudah tidak banyak. Apa yang harus kita lakukan? Aku sudah hampir menyerah dengan semua ini," sahut Jani. Saat itu hanya ada Jani, Yasa, Agas, dan Alle, duduk di teras sanggar sambil menatap langit malam. Mbak Ayu dan Mas Danu sedang pergi ke ibukota bersama anak-anak desa untuk sebuah pertunjukkan sejak kemarin sore. Dan sejak kemarin sore jugalah mereka berempat datang ke sanggar hanya duduk di teras dan meratapi naskah lirik itu. “Sejak kapan 4 jagoan desa jadi mudah menyerah seperti ini? Apalagi hanyakarena sebuah naskah lirik? Itu memalukan sekali.
”Tanpa basa-basi, keempat sahabat itu sontak menoleh ke arah gerbang sanggar,dan mata mereka berbinar, sama terangnya seperti bintang di malam itu. “Mbah Yayok? Syukurlah Mbah Yayok sudah sehat!” Jani memimpin berlari kearah Mbah Yayok, menyalami tangannya, disusul ketiga sahabatnya.Tanpa membuang waktu, setelah bercerita semua hal yang terjadi selama MbahYayok sakit. Mbah Yayok pun menyetujui untuk ikut membersamai langkah keempat sahabat ini sampai Festival Melodi Leluhur, maka dilanjutkan lahpenyelesaian lagu tersebut. Semudah membalik telapak tangan, Mbah Yayok hanya membutuhkan waktu 1hari untuk menyelesaikan lagu itu, tentunya dengan bantuan Jani dan ketigasahabatnya. Mbak Ayu dan Mas Danu kembali ke desa besok paginya. ”Kami tidak perlu beristirahat, kabar lagu itu sudah selesai saja cukup membuat energi kami terisi penuh lagi. Maka tidak perlu buang waktu, kita mulai semua persiapan pagi ini. ”Maka dimulailah seluruh persiapan. Menciptakan tarian, menjahit kostum, penyesuaian alat musik, dan penyesuaian nada nyanyian. Festival Melodi Leluhur pun tiba, semua persiapan sudah selesai sejak sebelumhari festival. Maka dengan persiapan yang luar biasa, tim yang dilatih oleh Mbak Ayu dan Mas Danu itu tampil dengan memukau. Warga desa benar-benar penuh haru menyaksikan penampilan indah itu. Jani dan ketiga sahabatnya pun sangat bangga atas apa yang sudah mereka persembahkan, hingga setelah tampil, Jani teringat untuk menanyakan sesuatu pada Mbah Yayok. Bagaimana bisa Mbah Yayok dengan sangat mudah menyelesaikan lagu itu ketika dia sembuh dari sakitnya? "Kalian tau? Aku sudah sangat tua untuk dapat mengingat banyak hal yangterjadi selama hidupku. Bahkan aku kadang lupa bahwa namaku adalah Yayok. Hari-hari sebelum aku jatuh sakit, ketika menemani kalian menyelesaikan lagu itu. Aku hanya mengikuti naluriku, perasaanku, dan butuh waktu yang panjang agarsemua melodi dalam pikiran tuaku ini bisa saling terikat. Sampai aku jatuh sakit,dalam kesendirian aku seperti dibukakan jendela masa laluku. Aku melihat diriku berpuluh-puluh tahun yang lalu, masih sangat
kecil, sedang bermain dengan ayahku. Hey, aku bahkan tidak ingat wajah ayahku sebelum dihampiri ingatan itu. Kemudian, aku dengan jelas melihat diriku yang kecil itu sedang berlarian diladang, menghampiri ayahku yang duduk di bale bambu tengah ladang. Dengan jelas, aku mendengar ayahku menyanyikan lirik lagu yang baru saja dia ciptakan. Aku duduk terdiam mendengar ayahku menyanyi kala itu, terpesona dengan lagudan suara ayahku sendiri.” Mbah Yayok terdiam, matanya menatap dalam ke arah panggung festival yang sedang menampilkan sekelompok anak desa menari. ”Ketahuilah anak-anak, bahwa lirik kuno itu adalah lirik indah yang ditulisayahku berpuluh-puluh tahun yang lalu. Jendela kenangan itu menghantarkaningatan akan melodi indah yang aku sampaikan pada kalian untuk lagu itu. Yang juga menghantarkan ingatan padaku, bahwa aku adalah Yayok, anak si PenciptaLagu terindah yang pernah mengalun merdu di desa ini. Ya, jika kalian ingin bertanya, maka izinkan aku menjawab terlebih dahulu, bahwa kini lagu indah itusudah jadi milik kalian. Ada di tangan dan suara emas paling terang yang dimiliki desa kita. Kalian berempat.”
Bahasa Tanpa Kata (Bernadetha Asri)
Suara gaduh pecahan piring terlempar satu demi satu di ruang makan keluargaku. Aku mengurung diri di dalam lemari baju kamarku. Melipat-lipat tubuhku hingga aku bisa masuk ke dalam lemari bajuku yang kecil. Suara gaduh itudatang dari amarah ibu tiriku yang tidak suka dengan kehadiranku di keluarga inisejak kecil. Ayahku jarang pulang ke rumah karena harus bertugas di luar kota. Suara amarah ibu tiriku semakin keras bunyinya. “Pergi saja kau dari rumahku, Alina! Jangan sampai kau merusak rencanakulagi,” teriak ibu tiriku dari ruang makan. Aku hanya bisa diam di dalam lemari dan membiarkan waktu menyelesaikan amarah ibu tiriku. Aku hanya bisa menangis, berharap bahwa aku bisa lepas dari situasi buruk seperti ini. Setelah semua kegaduhan ini berakhir, aku beranjak keluar dari lemariku. Aku tak bisa berhenti meneteskan air mata. Aku memukulmukul kepalaku dengan kedua tanganku, mengobrak-abrik kamarku yang baru saja dirapikan. Aku mencoba untuk tenang dengan duduk di meja belajarku. Tanpa sengaja, aku membuka laci kecil di bawah meja belajarku dan ditemukan fotoku dan ibu kandungku ketika aku masih kecil. Aku sangat berharap, ibuku bisa datang menjemputku dan keluar darirumah yang sesak ini. “Alina, ibu sudah memasakkan sayur bayam kesukaanmu. Sini, Alina, kitamakan bersama-sama,” kata ibuku dari dapur. Bau sedap sayur bayam masak ibu memang mampu membuatku langsung nafsu makan saat itu juga. Ibu membukapintu kamarku dan berkata, “Sini, Alina! Ibu gendong ya?” Ibu lalu menggendongku dan membawaku ke meja makan. Aku sangat bahagia sekali setiap melihat mata ibuku yang berbinar, nampak menyayangiku dengan kesungguhan hatinya.Tak lama, ayah yang baru saja pulang dari luar kota akhirnya sampai dirumah. Ayah mencium keningku dengan penuh kasih sayang dan berbisik kepada ibuku untuk mengajaknya berbincang. Ayah menarik tangan ibuku untuk menjauh dariku, sedangkan aku makan sendirian di meja makan. Sejenak, ada rasa penasaran terbesit tentang apa yang mereka perbincangkan sehingga aku tidak boleh mendengarnya. Tetapi aku mengacuhkannya dan tetap asik memakan sayur bayam kesukaanku.Tiba-tiba terdengar suara teriakan ayah memanggil-manggil
nama ibu dengan keras. Ketika aku sudah habis dengan sayur bayam masakan ibu, aku memalingkan kepalaku menuju arah ruangan dimana ayah dan ibu tengah berbincang. Tak lama, ayah melihatku dan segera menggendongku. Aku merasa kebingungan pada saat itu. Aku mencari-cari ibu dan sebagai anak kecil, aku hanya bisa menangis. Tangisanku makin kencang setelah melihat ibuku sendiri menuju pintu keluar rumah dengan membawa tas besar. Tiga tahun setelah kejadian itu, Ayah kembali pulang dengan seorang wanita muda. Ayah memperkenalkan padaku dan mengatakan bahwa wanita itu adalah ibu baruku. Aku merasa sangat kecewa dengan Ayah dan semenjak saat itu aku memutuskan untuk membenci ibu tiriku. Aku terbangun dari tidurku di meja belajar sembari masih memegang fotoku dan ibu semasa kecil. Ingatanku tentang masa kecil membuatku sadar bahwa kejadian itu sudah 20 tahun yang lalu. Aku secara spontan membuka pintu kamarku sedikit untuk mengetahui situasi rumah di luar kamar. Ternyata ada Ayah yang sedang berbincang dengan ibu tiriku. Ayah seperti marah dengannya karena merusak banyak perabotan rumah. Tak lama, Ayah seperti berjalan menuju arah kamarku. Aku langsung menutup pintu kamarku dan menguncinya. Ayah yang sudah tiba di depan pintu kamarku, mencoba memanggil-manggil namaku dan aku tidak memberi respon apapun. Ibu tiriku mengatakan, “Sepertinya anakmu sudah tidur karena kelelahan bertengkar denganku, mas. Beri dia waktu dulu.” Aku berpikir gila pada saat itu dengan memutuskan untuk kabur dari rumah. Aku mencoba mengemas baju-bajuku setelah aku sudah merasa ayah tidak ada didepan kamarku lagi. Aku mengumpulkan keperluan yang perlu kubawa dan mencoba mengatur strategi. Aku memeriksa sebuah barang yang sudah kusimpan dan kupikir, ada baiknya membawa fotoku dan ibu di masa kecil sebagai motivasi untuk memperjuangkan ketenangan. Ketika aku hendak mengambil foto itu, aku tidak sengaja menginjak mainanku sehingga terdengar suaranya sampai luar kamar. Ayahku sontak terkejut dan mulai kembali menggedor pintu kamarku. Sembari Ayahku mencoba untuk mendobrak kamarku, aku langsung pergi keluar jendela kamar dan pergi dari rumah. Aku berjalan mengikuti jalanan besar yang ada di Jakarta. Sesekali aku berhenti untuk beristirahat dan mengisi energi. Aku yang sudah kehabisan tenaga menjadi tidak fokus dalam melangkah. Aku secara tidak sadar berada di tengah jalan dan hal ini sangat berbahaya bagiku. Ketika aku semakin tidak sadar, ternyata ada mobil yang melaju kencang dari arah barat hingga aku terluka dan kecelakaan pada saat itu. Aku tak ingat apa-apa tentang kejadian itu selain
tatapan terakhir pad amatahari di atas kepalaku. Aku terbangun pada sebuah ranjang yang tidak begitu empuk. Terdapat secangkir teh hangat di samping ranjangku dan sejenak aku berpikir tentang keberadaanku. Apa mungkin aku pingsan setelah kecelakaan tadi dan seseorang membawaku ke rumahnya? Seorang perempuan masuk ke dalam ruangan dimana aku tidur dan iatersenyum kepadaku. Perempuan itu menyodorkan pisang goreng untukku makan. Dia tidak berkata apapun dan meninggalkanku begitu saja. “Kamu siapa? Apakahkamu yang menolongku tadi?” Perempuan itu memalingkan wajahnya dan tersenyum. Hanya itu balasan yang dia berikan kepadaku. Aku mencoba teh dan pisang goreng yang diberikannya untukku. Rasa pisang goreng itu sungguh gurih dan tehnya sungguh manis. Pisang goreng dan teh mampu menghangatkan tubuhku yang nampaknya berkeringat. Aku merasa hawa yang panas membuatku ingin mandi dan bersih-bersih. Aku sontak terkejut, teringat bahwa aku pergi dengan membawa tas berisi pakaian dan beberapa keperluan. Aku mengamati sekitar ruangan, ternyata tasku berada di dekat lemari pakaian ruangan itu. Ketika aku hendak bangun dan melangkah, aku merasakan sakit yang sangatdahsyat pada kaki kananku. “Aaaww!!” Teriakanku membuat perempuan itukembali datang kepadaku. Ia membawa beberapa obat luka yang ia punya dan mulaimembantu mengobati luka itu. “Terima kasih,” kataku dan tak ada jawaban apapun. Aku meminta izin perempuan itu untuk mandi dan perempuan itu mengarahkan pintu kamar mandi yang tidak jauh dari ruangan tersebut. Aku bergegas mengambil pakaianku dan mandi dengan jalan pincang. Perempuan ituhanya tersenyum melihat tingkahku dan masuk ke dalam sebuah ruangan yang lain. Entah apa yang akan dia lakukan, aku tidak begitu mengetahuinya. Selesai mandi, aku kembali ke kamar dan meminum teh yang sudah disiapkan. Aku kembali penasaran pada wanita itu
dan mulai mencari tahu keberadaannya saat ini. Saat kubuka ruangan itu, ada puluhan lukisan yang terpampang di dinding. Pintu ruangan itu sangat berisik untuk dibuka, tetapi perempuan itu tetap tidak memberi respon apapun. Perempuan itu sedang mulai melukis sebuah gambar dengan menghadap ke arah jendela. Aku semakin bingung, apa memang perempuan itu termasuk seseorang yang suka dengan kesendirian?Aku membelakangi perempuan dan mencoba untuk mengajaknya basa-basi. ”Kau sedang apa?” Tidak ada jawaban apapun. “Kau memang sedingin itu ya kalau berhadapan dengan orang?” Tetap tidak ada jawaban apapun dari perempuan itu. Aku yang semakin bingung dan marah dengan perempuan yang tidak memberikan respon itu, akhirnya aku memutuskan untuk menarik pundak perempuan itusehingga mencoret garis pada lukisannya. Perempuan itu nampak tetap tegar dengan kelakuanku yang terkesan seperti anak kecil. Perempuan itu menyodorkan kursi kecil yang ada di sampingnya untuk kududuk di sebelahnya. Ia kembali melukis meskipun lukisannya sudah tercoret warna yang sangat merusak. “Aku masih tak mengerti dengan diammu itu, sebenarnya kau kenapa?!” Perempuan itu keluar ruangan dan kembali dengan membawa sebuah buku. Ia menyodorkan buku itu padaku, berharap aku dapat memahaminya melalui sebuah karya. Rupanya, buku tersebut adalah sebuah novel langka berjudul ‘Berjalan Tanpa Rungu’ karya Thomas Gregory yang terbit pada tahun 2005. Mengisahkan seorang perempuan desa yang berjuang dalam hidupnya untuks enantiasa bertahan dalam kesunyiannya akibat terdiagnosa menjadi tuna rung untuk selama-lamanya. Perempuan itu kehilangan harta, benda, dan keluarganyaakibat gempa bumi yang dahsyat. Telinganya tertimpa batu ketika ia tidur. Semua orang meninggalkan dia ketika tahu bahwa perempuan itu menderita tuna rungu. “Jadi maksudnya, kamu adalah seorang tuna rungu?” Perempuan itumengangguk.
“Dan kamu, juga tidak bisa berbicara?” Perempuan itu mengangguk lagi, kali ini dengan tetesan air mata. Aku merasa sangat bersalah sekali dan ak umemeluk perempuan itu dengan erat. Entah mengapa dengan rasa bersalah ini, aku nyaman sekali memeluk perempuan itu. Seperti ada ikatan batin tersendiri terhadap cerita perempuan itu. Mungkin perasaan itu hadir karena perempuan itu telah baik kepadaku dan mengizinkan aku untuk tinggal di rumahnya. Aku meminjam buku itu untuk dibaca sekilas. Aku juga mencoba untuk mengitari ruangan tersebut dan melihat semua koleksi lukisan perempuan itu. Aku terpaku pada satu lukisan. Lukisan tersebut hanya terdiri dari kata-kata yangberhamburan membentuk wajah seseorang. Kata-kata yang tertulis pada lukisan itu,antara lain: membaca, berpikir, dan berkarya. Aku mengambil lukisan itu dari tembok dan menanyakan makna dari kata-kata tersebut kepada perempuan itu. “Darimana kamu bisa mendapatkan inspirasi untuk melukis seperti ini?” Perempuan itu menunjuk pada buku novel yang masih kupegang. “Darimana kamu bisa mengetahui apa yang hendak kamu lukis?” Perempuan itu menunjuk pada kepalanya dengan jari telunjuk. “Untuk apalukisanmu setelah ini?” Kali ini aku sedikit terkejut dengan responnya. Perempuanitu memberikan sebuah brosur. Brosur itu bertuliskan sebuah pengumuman bahwaakan diadakan pameran lukisan karya Ningsih Pratiwi. “Ini pameranmu,” tanyakupenuh bangga pada perempuan itu. Perempuan itu tersenyum sambil mengangguk. Keesokan harinya, aku membawa perempuan itu untuk menyiapkan pameran yang akan dibuka pada sore hari. Aku bergegas untuk membantu membawakan barang masuk ke dalam angkutan yang sudah disewa. Aku tak sabar ingin menyaksikan banyak orang menikmati karya lukis Ningsih Pratiwi. Singkat cerita, pembukaan pameran lukis Ningsih Pratiwi
berjalan sukses dan ramai. Banyak orang berbondong-bondong ingin menyaksikan karya-karyanya. “Termasuk, ayah?!”Aku sontak terkejut melihat ayahku bersama istrinya datang ke pameran Ningsih Pratiwi. Sungguh sebuah kebetulan yang aneh. Semua rencanaku gagal untuk menjadi seorang anak yang kabur dari rumah untuk selamanya. Ayah kumelihat dan mencoba mengejarku. Aku langsung kabur dan masuk ke dalam ruangan pribadi perempuan itu. Ketika ayah berhasil masuk ke dalam ruangan yang sama, ayah terkejut melihat sosok perempuan itu. “Sri, itu kamu?” Perempuan itu menoleh dengan perlahan. “Sri!!” Ayahku mendekati perempuan itu. Aku sangat heran karena itu artinya ayahtidak jadi mengejarku. “Sri, maafkan aku,” kata ayahku pada perempuan itu. “Aku meninggalkanmu, aku egois,” tegas ayah kembali pada perempuan itu. Aku terkejut dan mendekat, “Maksud ayah apa?” “Perempuan ini adalah ibumu, Alina. Dia adalah ibu kandungmu dan ayah meninggalkannya karena aku merasa kehadiran ibumu akan menjadi sanksi sosialbuat ayahmu. Maafkan ayahmu ini, nak!” Ayah menangis dengan keras danberusaha untuk memeluk kami berdua.
Ingatan ayah dan ibu kembali pada saat aku masih kecil. Saat itu, aku tengahasik memakan sayur bayam kesukaanku dan ayahku menyeret ibu menuju ruangtamu. “Sri, kamu mengerti maksudku?” Ibuku hanya terdiam, nampak kebingungan. “Sri, kamu dengar penjelasanku tidak dari tadi?! Fokus dulu! Apa yang sedang kamu pikirkan? Biarkan Alina makan. Jangan hiraukan dia, meskipun masih kecil, tetapi dia harus mandiri!” Ibu masih diam dengan perasaan resah. “Sri!!”Ayah membentak ibuku dengan sangat keras. Sekali lagi ayahkuberteriak di telinganya, “Sri!!! Kamu ini sedang pura-pura atau tuna rungu?!!!” Seketika ibuku berteriak dengan suara yang tidak jelas. Ayahku sangat terkejut, Sebab melihat telinga kanan ibuku yang berdarah. “Sri, apa yang terjadi padadirimu?!!”, teriak Ayahku. “Aaa.. Aaa... Aaaa..”, jawab ibuku dengan bahasa yang tidak jelas. Ayahku sangat kecewa dan merasa bersalah kepada dirinya sendiri. Ibuku ternyata cacat. Ayahku terlanjur ngamuk dan merasa malu memiliki istri yangcacat sehingga ayahku mengusir ibuku dari rumah disaat itu juga. Setelah tiga tahun berlalu, ayah datang dengan meminang seorang wanita yang akan menjadi ibu tiriku. Ibu tiriku sangatlah galak dan senang dengan kekayaan. Kehadiranku mengganggu kehidupannya karena aku sering memarahinya ketika melihat belanjaan yang di borongnya begitu banyak. Ayahku mengharapkan istri yang sempurna secara fisik, tetapi tidak mampu menyempurnakan keluarga kami. Setelah ingatan itu berlabuh, ibu mulai merasa sesak nafas. Ayahku panik dan mencoba mencari bantuan. Ambulance dipanggil untuk membawa ibuku ke rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, ibu diperiksa oleh dokter. Ternyata ibu sudah lama mengidap penyakit kanker. Aku menangis menyadari bahwa selama ini perempuan yang telah membantuku adalah sosok ibu yang selama ini kurindukan. Aku duduk di samping ranjang ibu sambil menunggu ibu tersadarkan diri. “Alina, ayah harus selesaikan urusan dengan ibu tirimu, Wulan.” “Hati-hati, ayah!”Aku kembali menatap ibu yang mulai pucat wajahnya. Aku yangsebenarnya kelelahan membantu mengurusi pameran, akhirnya tertidur di sampingranjang ibu bersandar pada kasur. “Alina, ini ibumu,” panggil seseorang untuk membangunkanku dari tidur. “Ibu?” Aku sontak terkejut dan berdiri untuk memeluk ibu. “Ibu sudah sembuh, ”tanyaku pada ibu yang terlihat sangat sehat dan bugar. “Iya, ibu sudah sembuh. Apa kabar, Alina sayang? Lama kita tidak bicara. Masih suka dengan sayur bayam kesukaan ibu,” tanya ibu padaku. Aku terharu dan menjawab, “Masih ibu.” Aku memeluk ibu dengan sangat erat kembali dan ibu mengajakku untuk duduk di sofa rumah sakit. Ibu memintaku untuk menyandarkan kepalaku pada bahu ibu. Ibu mulai mengelus-elus kepalaku. Aku sangat merindukan kehangatan ini, yang sudah sangat lama tidak aku dapatkan di rumahku sendiri.
“Nak, ibumu memang pernah menjadi seorang tuna rungu dan tuna bicara, tetapi bukan berarti bahasa yang sekedar tersampaikan lewat ucapan. Bahasa dapatkita ciptakan melalui banyak hal, termasuk karya seni. Seseorang dapat dikatakan memiliki penguasaan bahasa yang tinggi, jika ia memiliki tiga hal penting yang harus dilakukan. Membaca, berpikir, dan berkarya. Membaca artinya caramu untuk mendapatkan pengetahuan baru dan meningkatkan kemampuan berbahasa dan pemahamanmu tentang dunia. Berpikir artinya kemampuanmu dalam menganalisa dan kritis dalam mengevaluasi sebuah informasi. Hal ini juga berkaitan dengan ide kreatifmu dalam mengembangkan hal-hal baru serta reflektif dalam memperbaiki keputusan-keputusan yang dibuat di masa lalu. Terakhir, berkarya artinya penerapan ide dan konsep yang diperoleh dari hasil membaca dan berpikir. Berkarya dapat dilakukan dengan berbagai jenis karya seni, tulisan, dan banyak lagi. Berkarya dapat memberikan dampak positif bagi diri sendiri dan orang lain. Seseorang yang memenuhi ketiga hal tersebut mampu menciptakan sastra dan ekspresi budaya yang berbeda-beda dalam konteks berbahasa kepada orang lain.” “Seperti lukisan ibu waktu itu ya,” tanyaku. “Iya, nak.” Aku kembalimenjawab, “Terima kasih ibu karena sudah mengajari bagaimana cara mengekspresikan diriku dalam rangka berbahasa kepada orang lain. Meskipun ibu hidup dalam kesunyian, tetapi ibu dapat berkomunikasi kepada banyak orang melalui lukisan-lukisan yang ibu tunjukkan pada pameran tadi.” Ibu tersenyum kepadaku dan kembali mengelus rambutku dengan lembut. Aku kembali tertidurpulas. “Alina, bangun! Ibumu, Alina!” Ayah berteriak-teriak membangunkanku. Aku yang masih mencoba membuka mata berusaha bertanya kepada ayah, “Ada apa, ayah? Ibu ikut tidur bersamaku disini.
”Ayahku terkejut dan memelukku. Ayahku mendekatkan mulutnya ke salahsatu telingaku dan berbisik, “Ibumu sudah tidak ada.” Aku marah atas candaan ayah yang tak masuk akal. Ibu baru saja bersamaku dan memberikan nasihat tentang kehidupan. Mengapa ayah mengatakan bahwa ibu sudah tiada? Aku memperhatikan ruangan sekitar dan keluar masuk ruangan tersebut, tetapi tetap tidak menemukan ibu disana. Aku dan ayah menghadiri pemakaman ibu. Kami memutuskan untuk memakamkan jenazah ibu tidak jauh dari rumah kami agar kami bisa sering menjenguk ibu kesini. Sejak awal hingga akhir pemakaman, aku hanya bisa menangis. Ayah berusaha menguatkanku, tetapi dirinya sendiri sebenarnya lemah. Kami berdua harus ikhlas menghadapi kepergian ibu untuk selamalamanya. Ketika pemakaman selesai, ayah memberikan buku ‘Berjalan Tanpa Rungu’milik ibu untuk diberikan padaku. Ibu berharap bahwa aku bisa menjalankan amanahnya untuk memperjuangkan bahasa kehidupan, terutama bahasa yang bisa diterima oleh banyak kalangan yaitu karya seni. Setelah membaca novel itu sampai habis, aku terinspirasi untuk menulis kisah ibu menjadi novel juga. Judul buku karyaku sendiri, yaitu: ‘Bahasa Tanpa Kata’, mengenang Ibu Sri Ningsih Pratiwi.
Sinergi Bahasa Dalam Digitalisasi Generasi (Darmawi Safaril) Di suatu kota modern yang gemerlap dengan teknologi, terdapat sebuah toko buku tua yang telah berdiri sejak zaman dulu. Pemiliknya, Pak Joko, adalah seorang pria yang memegang erat nilai-nilai tradisional. Namun, bisnisnya merosot karena minimnya minat generasi muda terhadap buku fisik di era digital. Suatu hari, seorang pemuda bernama Andi datang ke toko tersebut. Andi, Seorang penggiat teknologi, tertarik pada keunikan toko tersebut dan memiliki ide untuk menghadirkan sinergi antara bahasa tradisional dan digital. Pak Joko,awalnya skeptis, akhirnya setuju untuk mencoba. Andi membantu mendigitalisasi koleksi buku di toko Pak Joko. Mereka membuat aplikasi yang memungkinkan pembaca membaca buku fisik melalui perangkat digital mereka. Sinergi antara buku tradisional dan digital menciptakan pengalaman baru yang menarik. Pada saat yang sama, Pak Joko dan Andi juga melibatkan komunitas lokal untuk menggelar diskusi dan lokakarya mengenai keindahan bahasa. Mereka mengajak generasi muda untuk lebih menghargai dan memahami makna di balik setiap kata. Tak lama, toko buku itu menjadi tempat bertemunya generasi yang berbeda. Dengan sinergi antara bahasa tradisional dan digital, toko buku itu menjadi pusat pembelajaran yang unik dan menarik. Pesan-pesan positif tentang pentingnya keberlanjutan budaya dan kekayaan bahasa tersebar luas di kalangan masyarakat. Generasi muda tidak hanya terhubung dengan teknologi, tetapi juga menghargai kearifan nenek moyang mereka. Melalui perpaduan harmonis bahasa tradisional dan digital, toko buku Pak Joko bukan hanya bertahan, tetapi berkembang menjadi simbol sinergi yang membawa nilai-nilai positif bagi generasi yang semakin terhubung dengan dunia digital. Pada suatu pagi yang cerah, toko buku Pak Joko menjadi saksi pertemuan dua dunia: buku fisik dan teknologi digital. Seiring waktu, aplikasi yang mereka kembangkan bersama mendapatkan perhatian dari komunitas pembaca online. Buku-buku klasik yang telah terdigitalisasi menjadi semakin populer, mengundangminat pembaca dari berbagai kalangan. Pak Joko dan Andi juga mengembangkan fitur interaktif di dalam aplikasi, Seperti forum diskusi, kuis literasi, dan pertemuan daring dengan penulis terkenal. Dengan demikian, pembaca tidak hanya membaca buku, tetapi juga terlibat aktifdalam menjaga keberlanjutan budaya literasi. Generasi muda mulai datang ke toko buku tersebut, bukan hanya untuk mencari bacaan, tetapi juga untuk mengikuti
berbagai acara literasi yang diselenggarakan secara berkala. Kegiatan ini menjadi sarana interaksi antargenerasi, di mana orang tua dan anak muda saling bertukar pandangan tentangdunia literasi yang terus berkembang. Pak Joko sendiri merasa terharu melihat perubahan signifikan dalam perilaku pembaca muda. Mereka tidak hanya terpaku pada layar gadget mereka, tetapi juga menyempatkan waktu untuk mengeksplorasi buku-buku klasik yang sebelumnya mungkin terabaikan. Sinergi antara teknologi dan bahasa tradisionalmenciptakan suasana yang harmonis di toko buku tersebut. Dalam satu acara literasi besar, toko buku Pak Joko menyelenggarakan kompetisi menulis bagi anak-anak dan remaja. Hasilnya sangat mengesankan. Karya-karya mereka tidak hanya memancarkan kreativitas, tetapi juga mengandung nilainilai kearifan lokal dan kecintaan terhadap bahasa. Para pemenang mendapatkan penghargaan yang tidak hanya berupa hadiah fisik, tetapi juga kesempatan untuk mempublikasikan karya mereka melalui platform digital toko buku tersebut. Toko buku Pak Joko tidak hanya menjadi tempat transaksi jual beli buku,melainkan telah bertransformasi menjadi pusat literasi yang memancarkan sinergiantara masa lalu dan masa depan. Pengunjung, terutama generasi muda, tidak hanya memperoleh pengetahuan dari buku-buku yang mereka baca, tetapi jugamembangun hubungan yang erat dengan budaya dan bahasa lewat inisiatif digitalyang digagas oleh Pak Joko dan Andi. Seiring berjalannya waktu, toko buku itu bukan hanya menjadi pusat literasi lokal, tetapi juga mendapatkan perhatian dari media nasional. Berita mengenai kesuksesan mereka menyebar, memotivasi pemilik toko buku di berbagai daerah untuk mengadopsi model serupa. Sinergi bahasa dalam digitalisasi generasimenjadi semacam gerakan, menghubungkan banyak komunitas di seluruh negeri. Pak Joko, dengan senyum penuh kebahagiaan, berbicara dalam sebuah wawancara, "Kita tidak bisa menghindari arus digitalisasi, namun kita juga tidakboleh melupakan akar budaya kita. Sinergi antara bahasa tradisional dan digital memberikan keindahan baru dalam perjalanan literasi kita. Mari kita bersamasama membangun jembatan antara masa lalu dan masa depan, agar kekayaan budaya kitatetap hidup dalam hati setiap generasi." Dengan tekad dan semangat untuk terus menghadirkan sinergi bahasa, tokobuku Pak Joko menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk tidak hanya melihat teknologi sebagai ancaman, tetapi juga sebagai peluang untuk
melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya kita. Namun, tidak semua perjalanan berjalan mulus. Sukses yang mereka raihjuga menarik perhatian pihak-pihak yang tidak setuju dengan visi toko buku PakJoko. Sebuah perusahaan besar yang mendominasi industri penerbitan digital mencoba merayu Andi untuk bergabung dengan mereka. Mereka menawarkan kekayaan dan kemewahan, menginginkan ide-ide inovatif Andi untuk diterapkan dalam skala yang lebih besar. Andi, dihadapkan pada godaan tersebut, merasa bimbang. Namun, setelah berdiskusi dengan Pak Joko dan merenungkan tujuannya awalnya, ia memutuskan untuk tetap setia pada proyeknya di toko buku. Keputusan itu membuatnya menjadi sosok inspiratif bagi banyak anak muda yang ingin mempertahankan nilai-nilai lokal di tengah gempuran globalisasi. Sementara itu, Pak Joko melihat bahwa tantangan tidak hanya berasal daridunia luar. Dalam menjalankan toko bukunya, ia mulai menyadari bahwa dia perlu memperbarui pengetahuannya tentang teknologi. Dengan semangat pembelajarannya, ia mengikuti berbagai pelatihan dan workshop untuk dapat lebih memahami perkembangan dunia digital. Hal ini memperkuat sinergi antara generasi yang berbeda di dalam toko buku tersebut. Keberhasilan toko buku Pak Joko menarik perhatian lembaga pemerintah yang peduli terhadap literasi dan keberlanjutan budaya. Mereka menawarkan bantuan dalam bentuk program pelatihan dan dana hibah untuk meningkatkan kapasitas toko buku. Dengan bantuan ini, toko buku dapat meningkatkan kualitas digitalisasi koleksi bukunya dan menyelenggarakan acara literasi yang lebih besar dan beragam. Saat acara literasi besar berikutnya diadakan, toko buku Pak Joko dihadiri oleh penulis terkenal, budayawan, dan bahkan pejabat pemerintah. Acara tersebut menjadi momen penting yang mempertegas bahwa sinergi bahasa dalam digitalisasi generasi dapat menjadi kekuatan untuk memajukan literasi dan melestarikan budaya. Pada akhirnya, toko buku Pak Joko bukan hanya menjadi tempat transaksi komersial, tetapi telah menjadi pusat kegiatan literasi yang berdampak pada masyarakat luas. Mereka menjalin kerjasama dengan sekolah-sekolah lokal untuk membantu meningkatkan minat baca anak-anak. Selain itu, mereka juga memberdayakan para penulis lokal untuk mempublikasikan karya-karya mereka, menjadikan toko buku sebagai tempat yang mendukung perkembangan bakatbakat lokal. Sinergi bahasa dalam digitalisasi generasi di toko buku Pak Joko bukan hanya menjadi model bisnis yang sukses, tetapi juga sebuah cermin keberhasilan untuk melestarikan dan mengembangkan kekayaan budaya. Melalui perjuangan dan tekad Pak Joko serta Andi, toko buku tersebut membuktikan bahwa keberlanjutan budaya dan perkembangan teknologi dapat saling mendukung. Dengan semangat yang tidak padam, toko buku Pak Joko terus menjadi pusat literasi yang menginspirasi banyak orang. Mereka meyakini bahwa melalui sinergi bahasa, kita dapat membuka pintu menuju dunia
pengetahuan yang lebih luas, tanpa kehilangan akar budaya yang membuat kita unik. Sebuah kisah inspiratif yang mengajarkan kita bahwa dalam menghadapi perubahan zaman, kita dapat menemukan kesinambungan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Puteri-Puteri Indonesia (Farah Fauqa Mihrabi) Sama seperti setiap tahunnya, SMA Purnama selalu mengadakan sebuah kegiatan bernama pentas seni, dimana para siswa-siswinya dapat bersantai atau menghibur diritatkala usai sudah penatnya ujian semester. Ada banyak sekali acara-acara di dalam pentas tersebut, terlalu banyak untuk menyapa tulisan kali ini. Namun, tidak perlu repot-repot melihat seluruh rangkaian acara. Hanya ada satu acara di dalam Pensi kali ini yang akan menjadi tempat saksi bisu lahirnya anak-anak muda pembela bangsa.
”Kita ngga boleh menyerah gitu aja, dong!” “Terus kita harus gimana, Ru? Kamu tahu sendiri kelompoknya Aya selalu menangsetiap tahunnya. Kita masuk 3 besar aja ngga pernah, gimana mau menggeser posisimereka coba?” “Yang dibilang Asha benar, Aruna. Mungkin buat tahun terakhir ini, kita lebih baiknonton aja. Ngga ada salahnya, `kan? Ini tahun terakhir kita, bukannya malah lebihbagus kalau kita menikmati apa yang tersaji?” “Ngga, aku setuju sama Aruna. Justru di waktu seperti ini kita harusnya lebih banyakmembuat kenangan, Vina. Tentang kalah menangnya nanti, itu bonus. Yang terpentingadalah mencoba terlebih dahulu.” “Aku suka gagasannya Dara.”Aruna, Asha, Kavina, Dara dan Mahira. Kelima gadis yang sudah menghabiskan 15menit waktu mereka hanya untuk berdebat satu sama lain. Perdebatan mereka tak laindan tak bukan perihal Ajang Bakat. Salah satu acara yang menjadi simbol ikonik daripentas seni SMA Purnama. Setelah beradu gagasan selama 15 menit terakhir, barulah mereka akhirnya setuju ataspendapat Dara. Tapi Asha yang sedari awal telah berada dalam kubu kontra, masih raguatas keputusan yang diambil oleh temantemannya. “Aya dan kelompoknya selalu menang. Setiap tahun, mereka mengambil tema budaya asing yang pastinya menarik perhatian publik. Terus gimana caranya kita bisa menandingi mereka?” Masih terselimuti khawatir, Asha kemudian bertanya. Berbeda dengan Asha yang masih belum beranjak dari keraguannya, Aruna justru memasangwajah penuh keyakinan. “Ya dengan budaya kita, lah.” Aruna menjawab santai.
Wajahnya tidak luput darisenyum bangga. Dapati hal itu, teman-temannya memasang wajah yang menuntut akan penjelasan. Namun tentu saja, Aruna langsung menyadarinya. Ia membuka bibirnya guna memberi penjelasan lebih lanjut kepada keempat gadis yang masih setia menunggu. “Gini, lho. Aku tahu semua hal yang bersangkut paut dengan budaya asing sekarang lebih menarik. Tapi, tetap aja. Kita orang Indonesia. Ada darah Indonesia yang mengalir di tubuh. Faktanya, kita ngga bisa menyangkal kalau kita akan selalu lebih tertarik dengan rumah daripada tempat singgah.” Ucap Aruna. Bohong dikata jikalau keempat temannya tidak tertegun atas jawaban yang keluar dari bibir Sang gadis berdarah Jawa. Itulah Aruna Maharani, gadis yang penuh akan kejutan, penuh dengan sejuta takjub kala dirimu mengenalnya lebih jauh. Dara mengerjap mata kagum, lalu sedetik kemudian terbitlah senyum bangga padaparas eloknya. “Aru, itu jawaban yang menarik. Sifat nasionalismemu selalu membuatorang-orang kagum. Aku bangga punya teman seperti kamu.” Disusul oleh anggukkan serentak oleh Asha, Mahira, dan Kavina, sebagai bentuk persetujuan atas perkataan Dara. ”Kembali ke topik, teman-teman. Apa yang akan kita tampilkan sebagai bentuk cintabudaya tanah air seperti yang dibilang Aru?” Pertanyaan dari Mira alias Mahira membuat mereka bungkam. Masing-masing beradu dengan otak, mencari jawaban ataspertanyaan sederhana yang buat kelimanya berpikir keras. “Aku tahu! Kita bisa menampilkan tarian, lagu dan puisi! Tapi tentunya semuabertemakan budaya-budaya Indonesia seperti yang dibilang Aru. Aku,
Dara, dan Mirayang menari, Asha bagian menyanyi, sementara Aruna berpuisi. Boom! Satupertunjukan, tiga bakat yang ditampilkan. Keren, `kan?” “Keren banget. Vin. Tapi, nih, ya... Memang kita diizinkan buat menampilkan lebih darisatu bakat? Selama 3 tahun, belum ada yang pernah buat kayak gitu.” Asha menyelutuk, yang disusul anggukan oleh Aruna dan Dara. “Tapi ngga ada salahnya buat mencoba, Sha. Lagian nih ya, di peraturan ngga ada yangmenyinggung soal larangan menampilkan lebih dari 1 bakat. Jadi ya... Boleh-boleh ajatuh, kayaknya.” Setelah kelimanya sudah sepakat akan keputusan akhir, Aruna mulai mengarahkan teman-temannya untuk mencari ide. Beberapa menit lalu mereka masih sibuk berdebat akan ikut tidaknya mereka dalam Ajang Bakat kali ini, namun sekarang kelima gadisi tu kompak terlihat sibuk dengan kegiatan masing-masing. Dara, Kavina dan Mira yang sibuk menonton video para penari di internet, sembari sesekali bertukar canda ketika salah satunya salah gerakan. Asha yang dengan khidmat mendengar lagu melaluie arphone miliknya, dan terakhir ada Aruna yang mengunci seratus persen atensinyapada selembar kertas putih dengan goresan tinta yang memenuhi. Detik, menit, bahkan jam telah beberapa kali jumpa sapa dengan kelima hawa. Sampai tak sadar, warna langit ‘tlah terganti tatkala netra beralih atensi. Tak ingin menghabiskan waktu terlalu lama, para remaja tersebut putuskan untuk segera kembalike rumah. Beberapa waktu setelahnya, barulah mereka lanjut persiapkan penampilan yang mendatang. Singkat cerita, setelah 1 bulan lebih mempersiapkan penampilan, hari penentuan telah tiba di depan mata. Gugup tentunya ada, cemas pun pasti turut serta. Namun, keyakinan para puteri tak dapat hirap dari daksa. Kelima remaja genggam keberanian padakepalan tangan, siap hadapi apa yang menunggu di hadapan. “Dan selanjutnya, mari kita sambut, Puteri-puteri Indonesia!!!” Arahan dilantangkan, menjadi perintah untuk kelompok selanjutnya menampilkan. Suara musik lirih bergema pada ruangan. Lampu mulai padam, satu sorotan tersisa pada panggung. Di atas sana, tiga gadis dengan baju adat khas Sulawesi serta kipas yang digenggam, buat ketiganya nampak elok dan mempesona. Tak luput serta, senyuman manis dari para penari telah berhasil mengunci seluruh
atensi yang ada. Mengikuti alunan musik, tubuh mulai bergerak dengan indahnya. Kala tarian telah berjalan 2 menit, alunan musik mulai terdengar lebih pelan. Lampu mulai berganti sorotan, memperlihatkan seorang gadis dengan kebaya dan selembar kertas di tangan miliknya. Aruna tersenyum, pandangi satu per satu penonton di hadapan. Bibirnya mulai bergerak, seiring dengan ekpresi wajah yang ikut berubah. “Waktu silih berganti... Sejarah perlahan terkubur mati... Orang-orang mulai tak peduliTentang indahnya budaya negeri kami. Ribuan bahasa penuh harsa Sandang pangan penggoda mataPerbedaan jadi sebuah alasan indahnya Indonesia dengan semua keragaman Hei, Putra-putri pertiwi! Buka matamu dan lihatlah ini Keindahan tak hanya milik Negeri tetanggaIndonesia-mu juga tak kalah hebatnya. Cobalah berbalik dan perhatikan baik-baik. Ada ribuan keragaman yang simpan banyak keindahan” Untaian sastra indah undang riuh tepuk tangan bentuk apresiasi. Berakhirnya puisi jadi tanda dimulainya lagu Ibu Pertiwi. Suara lembut milik Asha menggema di setiap telinga. Membuat beberapa diantaranya bahkan menitikkan air mata. Penampilan mereka berlima benar-benar berhasil mengambil hati setiap atma yang berada di sana. Tak henti-henti sorakan dilantangkan, kepada para pemenang yang pantas mendapatkan. Bukan tanpa alasan kelimanya mendapat penghargaan. Penampilan mereka bukan hanya tentang meraih kemenangan, mencuri atensi penonton, atau mengalahkan kelompok Aya dan teman-temannya. Tapi mereka berusaha untuk memperlihatkan dan mengingatkan kembali akan berbagai keindahan budaya-budaya di Indonesia.Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya-budaya asing seringkali menjadi minat utama bagi beberapa orang. Namun, cobalah berbalik. Lihatlah sekitarmu sekali lagi. Negerimu, Indonesia, menyimpan banyak keragaman yang tidak kalah indahnya. Kalian hanya perlu memandang lebih dekat, tidak perlu terlalu jauh. Ada harta karun yang terkubur jauh di dalam.
SUARA IBU (Faustina Marpaung)
Dalam keheningan purnama, jarum dan benang berpadu menjadi alat utama. Suara halus jarum menusuk kain terdengar, menciptakan irama yang menenangkan. Konsentrasi tampak di wajah wanita yang kucintai tengah memusatkan perhatian pada detail-detail kecil. Menjahit merupakan kegemaran sekaligus caranya membantuku menciptakan uang. Perlahan aku berlalu dari ruang tamu serbaguna tersebut dengan pikiran penuh berkecamuk. Kakiku bergerak gontai melangkah di atas lantai marmer. Tiba-tiba saja aku menyudahi langkahku, sejenak memandangi pintu kamar usang yang ditempelkan sketsa tangan anakku yang melukiskan keluarga kami. Tanpa sadar jari jemari ini membuka kenop pintu—memandangi dua jagoanku tengah tertidur pulas. Kapan terakhir aku bisa seperti itu? Bisa terbaring nyenyak tanpa harus memikirkan kenyataan hidup yang sebenarnya. Lamunanku membuyar seketika kala mendengar seseorang menyebutnamaku. Ternyata wanita yang selalu menjadi pendamping hidupku—Sarah. “Adam?” Kembang desa itu telah termakan usia bersamaku sepuluh tahun ini. Garis-garis halus dan kerutan mulai muncul di permukaan wajahnya dan kepenatanterlukis jelas pada air mukanya. “Pok kangen kek pok Ibu.” Bibir ini secara tak sadarmengatakan itu, tatapan tercengangnya terlihat wajar. Di rumah ini jarang sekali kami berkomunikasi menggunakan bahasa daerah apalagi dengan satu kalimat yang baru saja kuucapkan. Dia mengikuti punggungku dan kami berdua berjalan dibawah keheningan. Malam yang sunyi, hanya dihiasi oleh desiran angin lembut berbandingterbalik dengan isi kepala sibuk dengan segala kebisingan. Harusnya aku menerimarisiko atas pilihan yang telah dijalani dalam waktu bahkan tak terbilang singkat. Mencintai seni hingga meninggalkan tanah air demi terjebak di negeri asing ini. Semakin hari keadaan ekonomi mencekik keluarga kami. Kebutuhan hidup yang meningkat sementara sebagai seniman grafik penghasilan selalu labil. Industri seni sering kali tidak stabil dan kompetitif. Beberapa kali harus kehilangan dukungan dari pada lembaga, apalagi mengingat biaya produksi memerlukan biaya yang signifikan. Masalahnya di negara dengan gaya pakaiannya yang modis seperti Perancis saat ini produk tangan lokal rendahan sepertiku terus tertinggal. Selain itu dengan modal sedikit tak banyak yang bisa dibuat berkualitas terbaik.
“Besok ulang tahun ibu, “ Sarah mengingatkan, tapi aku tetap asik dalampikiran sendiri sampai tidak menyadari telah terlelap.Ternyata malam sulit itu terlewati begitu saja menyambut kedatangan fajar dan cerita baru. Sempat terbayang suara ibu, tidak biasanya aku jadi bangun lebih cepat dari semua orang. Seperti ritual pagi biasanya kami makan bersama di meja makan. Di tengah-tengah dentingan peralatan makanan, aku memotong aktivitas ketiganya. “What do you think if we go back to Indonesia?” Kelihatannya Sarah membeku di tempat seketika mendengar penuturanku yang entah berupa pertanyaan atau pernyataan. Jarang sekali aku mengungkit topik ini di meja makan, karena keterbatasan finansial kami. Tabungan yang dipunya hanya bisa mengantarkan kembali ke Indonesia tapi biaya pulang hanya bisa menjadi tanya. “That would definitely be a lot of fun.” Terlihat kedua putraku ekspresif menyampaikan kegembiraannya sedangkan Sarah menatapku nanar sembari menganggukkan kepalanya mencoba mengerti. Jujur saja perasaanku sedari tadi terasa ganjil, entahmungkin mengingat kejernihan serta kelembutan suara ibu menyambut pagiku membuat wajahnya sangat dirindukan. Tapi keceriaan yang terpancar tidak bertahan lama ketika aku menegaskan bahwa kami tidak akan kembali lagi ke Perancis. Putra pertamaku—Obed tampaknya yang paling kecewa. Sesaat Sarah mencoba menenangkannya, aku hanya diam memaku di tempat menengadahkan pandangan ke arah langir-langit rumah yang menyimpan banyak cerita keluarga inti kami. Inilah satu-satunya jalan, lagi pula tak banyak yang bisa diusahakan dari tanah asing ini. Mau bagaimana pun juga semuanya harus terjadi. Setiap mil yang dilewatij antung ini terus berdebar, setelah 10 tahun usai pernikahanku dan Sarah akhirnya kami pulang. Entah bagaimana ibu bereaksi melihat kami, terharu sampai menitikkan air mata atau kesal karena tak pernah mengunjunginya? Biarlah gerutukannya terus terdengar hingga kuping ini panas, celoteh panjang dari bidadari pertamaku akan ditunggu dengan lapang dada. Beberapa kali transit mengubahsuasana hati bungsuku— Daniel yang baru pertama kali menaiki pesawat, Sedangkan Obed tetap pada pendiriannya. Kami berdua mengerti, ia pasti kehilangan banyak hal dicintainya mulai dari teman hingga tempat favoritnya. Anakku itu, belum melihat pesona
Indonesia menawan. Apalagi banyak perairan diBangka yang eksotis. Bicara soal perairan ternyata kami sudah tiba di Tanjung Kalian, Muntok. Jari jemariku menggenggam pergelangan tangan Sarah, sembari menurunkan barang bawaan kelopak mata tidak lepas dari dermaga—tempat yang mengantarkan kami untuk pergi sekarang menjadi tempat untuk pulang. Netra hitam pekat mengarah kiri dan kanan tidak pernah lepas dari jendela bus. Vegetasi hijau terus bertengger di pinggir jalan, Bangka masih sama hanya. Bagaimana menurutmu jika kita kembali ke Indonesia?Itu pasti akan sangat menyenangkan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), transit artinya tempat singgah beberapa perubahan hutan yang diubah menjadi pemukiman penduduk maupun gedung. Sempat melupakan ketidakrelanya, Obed menikmati perjalanan yang dilalui. Sampai akhirnya tertidur menyenderkan kepala pada Sarah. Mataku terus memperhatikan keluar, aku masih ingat jelas bagaimana bentuk desa tempat diri berkembang dan bertemu Sarah. Yang dulunya hanya sebatas angan, sekarang desa tersebut nyata di depan mata. Jika memang membandingkan daerah ini dan desa lain, jelas kalah dari segi mana pun. Akan tetapi setiap bagian tempat ini berisikan banyak memori yang lebih indah untuk memuaskan pikiran. Kendaraan roda empat tersebut akhirnya berhenti setelah sekian lama bergerak di atas aspal. Langkah demi langkah mendebarkan, netraku menyapu bersih kampung halaman saksi perjalanan seorang anak kecil yang berhasil keluar ke dunia baru. Aku berusaha menegur salah seorang di sana sedangkan Sarah terus menatap ke sudut desa berharap menemukan rumah peninggalan kedua orangtuanya yang sudah lama tiada sayangnya nihil—rumah yang sudah sangat berbeda dengan jejak ingatan beberapa tahun lalu. Kedatangan kami berempat berhasil menghebohkan warga sekampung. Mantan kepala desa termakan usia tak pernah menebak hadirnya tamu luar negeri yang pernah menghabiskan waktu kanak-kanaknya di sini. Aku melihat keberadaan semua orang tapi tak menemuka nentitas yang menjadi alasan kuat kami kembali. “Ibu dimane? ” Entah bagaimana suara ini terdengar dengan bibir bergetar. Kebisingan kampung segera lenyap kalau aku mengeluarkan pertanyaan singkat itu. “Adam!” Kepalaku terdongak mengarahkan penglihatan ke asal suara tak jemu-jemu memanggil namaku.
Hari ini terlihat jelas tubuh kukuh dulu yang memanggul diriku sekarang telah rapuh, langkahnya terseok-seok seolah orang tak menyangka dia pernah berjalan ke ladang tetangga tiap pagi-pagi buta, mukanya sekarang dipenuhi kerutan halus dan garis-garis mendalam ada setiap lipatan di kening laksana mewakilkan seluruh kisah hidupnya. Dia adalah wanita yang menghantarkan aku ke dunia ini. “IBU! ” pekikku tak kuasa membendung cairan bening di pelupuk mata segera mengejarnya dan membawa tubuh rengkuhnya menyentuh dadaku. Dengan segala keadaan fisik tak seperti dulu, ibu tetap ibu, ia masih sama. Jari jemarinya mungkin telah keriput, tapi sentuhannya masih terasa hangat. Sorot matanya masih menyinarkan kasih yang sama sebelum aku meninggalkan dirinya. Sekarang, tidak peduli pemikiran orang terhadapku, aku ingin mengeluarkan segala rinduku padanya lewat tangisan. “Maafkan Adam Bu, jangan benci Adam. Adam pantas dikeruce Ibu.” Kesunyian ibu meredakan tangisku. Mungkin ini pertama kalinya Obed dan Daniel melihat kondisiku begini. “Bu?” beoku karena melihat mukanya pucat memandang dengan tatapan kosong. “Adam anakku.. Jika ini hanyalah mimpi sebelum Ibu mati, Ibu tidak akan pernah menyesal meninggalkan dunia ini. ” Kalimatnya menyayat hatiku, seberapa berdosanya aku meninggalkan wanita ini. “Adam ada di di sini, Bu! Ini Adam di depan Ibu. Ibu pacak ngeruce Adam sepuasnya.” Tapak tangannya mengambil sebilah punggung tanganku menggenggamnya dengan penuh kelembutan.
“Mana mungkin Ibu marahpada anak yang kedatangannya memang Ibu rindukan? ”Dia memang masih ibu yang sama, ku dekap ia lagi kemudian memperkenalkan pangeran-pangeran kecilku padanya. Kesehatannya tampak telah menurun, di sela-sela pujiannya terhadap Sarah terdengar suara batuk menggerogoti tenggorokannya. Senyum tipisnya memperhatikan Obed dan Daniel menyadari sekarang dia menjabat seorang nenek. Namun, ternyata itu tidak bertahan lama aku merengkuh ibu yang nyaris terkulai lemas di tanah. Di usianya lanjut, selama ini iahanya bisa terbaring si tempat tidur dan hanya bisa hidup berkat penghasilan menulisnya. Rasa bersalah semakin memakan habis tubuhku. Sejak kecil ayah pergi menempati surga, aku tidak mempunyai adik maupun kakak, dan kami memang tidak memiliki sanak saudara. Walaupun disambut dengan ramah, sebenarnya kehadiran kami menyiratkan tanda tanya bagi mereka. Bahkan mungkin mereka sudah mengirakami berdua sudah tiada sebelumnya. Langit senja berangsur malam, seisi rumah sudah tidur sementara aku memilih menyesap kopi untuk merencanakan bagaimana ke depannya nanti. Sekarang aku tidak lagi membuat rencana hanya untuk kami berdua, kehadiran Obed dan Daniel yang harus meneruskan sekolah dasar juga menjadi bahan pemikiranku. Manik hitam pekat milikku spontan menoleh ke arah jemari yang menyentuh bahuku. Ternyata ibu, wajahnya lebih segar daripada pertama kali bertemu hari ini. Air mukanya memandangku penuh arti mengangkat ujung sudut bibirnya lalu duduk di sampingmu terbatuk sesaat. “Ada apa nak? Kalian tidak bahagia di sana?” Tanpa perlu membiarkan ibu berucap lagi, aku segera mengeluarkan segala unek-unek yang selama ini aku tahan di negeri orang. Perancis adalah kota besar, bahkan terikat akan kesenian dan gaya pakaian. Karya tanganku hanya melesat tiga sampai empat tahun saja sisanya semakin bertambahnya tahu nperlahan mengalami kemunduran. Dan sekarang mungkin terancam tidak beroperasi lagi. Padahal dulu ibu telah menciptakan mimpi bagiku menjadi di marahi Bisa seniman. Aku bertanya padanya dengan nada frustrasi,
“Ibu ape pok berhenti bai?Begawe kebon kanti ibu. ” Kepalanya tidak mengangguk ataupun menggeleng, dia menatapku dengan sorot bijaksananya. “Adam, keputusan Adam adalah yang terbaik dari segala opini orang lain karena itu dari Adam dan memang untuk Adam. Selama ini dengan segala tantangan yang diambil Adam, Adam bisa melewatinya ‘kan? Buktinya sekarang kamu ada di depan ibu, membawa dua anak dan seorang istri yang sangat baik. ”Aku terus menyimak dan ibu melanjutkan perkataan yang dengan sabar. Suaranya amat kurindukan. “ Tapi kalau Ibu boleh menyarankan, coba kamu perhitungkan lagi soal berhenti melakukan pekerjaan yang kamu sukai. Ibu tau Adam sendiri bisa merasakan iya atau tidaknya profesi itu. Saat pekerjaan itu berada di posisi titik terberat dan kamu tetap mencintainya setelah melaluinya. ”Obrolan kami terus berlanjut. Sejak aku lahir ibu selalu menggunakan Bahasa Indonesia jika tengah berbincang perihal serius atau berada di situasi formal. Meski berada di desa, dia seorang yang terpelajar dan memiliki ambisi tinggi. Ia hobi membaca buku sejak kecil, terutama buku yang mengangkat masalah sosial. Mungkin karena itulah sampai saat ini saya ingatnya masih sangat tajam dan terhindar dari penyakit Alzheimer. Dari dulu ibu selalu mendukung apa yang menjadi keputusanku—waktu seusiaku cita-cita menjadi jurnalistik atau penulisberitanya hanya menjadi angan-angan karena hambatan restu kedua kakek-nenekku. Tujuannya baru tercapai setelah menikah dengan ayah. Satu hari telah terlewati, duduk aku di bawah pohon rindang menikmati semilir angin sembari menghabiskan buku yang kupinjam dari anak kepala desa—namanya Rahmat. Anak muda tersebut tengah menjalani bangku perkuliahan mengambil jurusan antropologi budaya, kumanfaatkan saja mencari referensi barang baru yang bisa dijadikan kerajinan tangan untuk diperjualbelikan. Bukannya mau ketinggalan zaman, tapi membaca buku itu sering kali menyajikan pengetahuan yang lebih mendalam dan komprehensif tentang suatu topik. Buku dapat memberikan konteks sejarah, teori, dan analisis mendalam yang mungkin sulit ditemukan secara lengkap di internet. Buku di genggaman ku terlepas momen beberapa anak-anak timbul dari balik ranting pohon menyapa. Yang bisa dilakukan hanyalah mengelus dada, mewajarkan kenakalan anak sebelas dua bekas dengan putraku. Pupil hitam mereka mengamati tumpukan buku di sebelahku dengan pekat. Salah satu alisku menaik,
ternyata tak lama kemudian mereka berkata penasaran dengan buku-buku tersebut. Memperhatikan air muka penasaran mereka, aku menggeser buku itu lebih dekat kepada mereka. Dan dalam sekejap tempatku Ibu apa aku berhenti saja? Bekerja di kebun menemani ibu. Bersantai menjadi perpustakaan alam. Perpustakaan alam? Hm, aku memiliki ide cemerlang. “Di rumah ikak ade buku dak?“ Biasanya di antara cahaya bulan dan bintang timbul ujaran alam mengisi ketenangan langit malam. Malam ini seluruh warga desa berkumpul di depan balaidesa. Beberapa obor api telah ditempatkan semestinya. Nada tawa dan obrolanruang memenuhi udara dari anak-anak tengah menunggu kedatangan para wanita membawakan sejumlah makanan di tangan mereka ditutup dengan dulang. Kala perbincangan diskusi soal panen dikumandangkan, kepalaku menoleh ke arah Obed dan Daniel yang tengah antusias. Padahal nyatanya mereka sama sekali tidak memahami bahasa daerah itu. Sejak kecil tinggal di Perancis membuatnya mahir tiga bahasa, Perancis, Inggris serta beberapa Bahasa Indonesia. Semoga dari sini mereka dapat mengerti arti bahasa yang sesungguhnya. Saatnya penampilan Tari Cempaka, aku duduk di barisan sedikit terbelakang. Sekumpulan anak-anak tadi siang ternyata bertanggung jawab— semuanya membawa buku lama mereka yang sudah jarang dibaca untuk didonasikan. Aku tersenyum lebar menatap mereka, membayangkan perpustakaan alam terealisasikan. Tak sabar memberitahu ibu soal rencanaku. Bicara soal ibu, dengan segala perubahan fisiknya yang menua. Dia agak sedikit berbeda, tapi kehangatannya masih sama. Mungkin efek dari kepergianku menghilang darinya. Setiap pagi, ibu akan berbaring di kamar yang ditutup tirai hijau dan ada peraturan baru dari ibu, selama di sana aku sama sekali tidak boleh memasuki kamar ibu. Pas sekali yang dipikirkan menghampiri diriku ibu membawa sesuatu di tangannya. Ia tersenyum, ternyata tidak butuh lama mengetahui proyek perpustakaan alam tersebut. Tampaknya Sarah yang membocorkannya. Ibu memberikan beberapa lembar kertas berisi tulisan sajak padaku untuk dipajang di perpustakaan alam atas permintaannya. Katanya helaian kertas itu telah ia buat sebelum dan sesudah kehilangan ayah. Sekarang ia ingin mewariskannya kepada diriku, katanya diantaranya ada beberapa surat untukku yang tidak pernah terkirim. Walaupun terus ditentang kakek dan nenek, ibu tahu sastra yang ia cintai itu yang selalu membantu hidupnya hingga akhir hayatnya mulai dari berkomunikasi sampai menghasilkan uang. Sambil mendengarkan lagu Yok Miak di dengungkan sorot mataku kosong termangu di depan memikirkan apa yang dibicarakan ibu. Aku hanya lulusan sarjana satu
seni rupa, pekerjaan apa yang harus kujalani? Anak-anak harus segera mendapatkan sekolah yang tepat. Aku sudah tak kepercayaan diri lagi menjadi seniman, seniman hanya cocok dijadikan hobi. Namun, aku tak bisa mengelak dari fakta setelah menyelesaikan suatu seni aku merasakan sukacita. Saat aku menengok Kamu atau kalian ibu, ternyata sorot netranya masih memandangku. Mungkin tengah menebakpikiran yang melesat di benak putra tunggalnya. “Adam masih ingin jadi seniman,Bu. ” Manik mata kami bertabrakan seolah dia memang telah menunggu ceritauntuk malam ini. Kepala ibu menengadahkan ke langit yang kunjung hitam. “ Hidup dan mati hanya sekali, Adam sebenarnya bisa melakukan hal apa saja di segala kesempatan yang Adam miliki. Tapi juga harus ingat akan ada yang namanya sebab-akibat dari segala pilihanmu. Lakukan apa yang Adam suka dan jangan sampai ilmu itu hanya berhenti pada dirimu. “ “Hanya itu yang ingin Ibu katakan pada Adam, Ibu senang Adam di sini,tapi Ibu tidak bisa egois,” timpal ibu sambil mengecup kening dan mengelus punggungku. Ia bangkit beranjak dari tempatnya hendak pergi, tapi aku menghentikannya. Maksud bertanya perihal pagi tadi. Ibu memanggil namaku dan ketika nyaris masuk ke kamar ibu justru mengusirku. Tatapannya mengarah pada diriku sendu beserta bibir masih terkatup rapat. Sampai kelereng hitam dalam mataku kehilangan punggung ibu, pertanyaanku masih belum terjawab. Ibu malah menitahkan membaca surat-surat yang sebenarnya ingin ia kirimkan untuk kami. Saking memikirkan hal itu aku tidak menyadari Daniel yang menarik tanganku untuk pulang. Kami berempat pulang ke rumah, banyak hal yang diceritakannya padaku selama perjalanan menuju rumah. Dua anak kecil itu tidak pernah mencoba masakan asli Bangka. Mereka gembira sekali ketika Sarah membuatkan lempah kuning beserta rusip—pedas, asam dan gurih. Sibuk mendengarkan celoteh mereka, kakiku bergerak berat melewati kamar ibu. Jujur aku ingin bertanya soal kertas ini padanya. Namun, mengingat ibu juga sekarang sudah renta, sebaiknya aku lebih memikirkan kondisi ibu yang lebih banyak membutuhkan istirahat. Jarum pendek telah mengacu ke angka empat tapi aku
tetap tidak bisa tidur. Perlahan, aku bangkit dari kasur lalu duduk di lantai membereskan bahan bacaan dari Ibu. Hatiku terenyuh seketika merasakan perasaan ibu lewat tulisannya harus menyerah soal impiannya karena kakek dan nenek. Kemudian surat-surat manis dari ibu untuk ayah, bahkan ayah sempat belajar menulis karena ibu. Tibalah deretan surat yang menyatakan kekalutan ibu tatkala kepergian ayah. Sampai akhirnya tumpukan surat yang tidak pernah ia kirimkan selama ini. Aku masih ingat sepenggal isi surat yang ibu kirimkan padaku intinya sama, tapi mungkin ibu ingin aku lebih merasakan apa yang dirasakan ibu. Hingga akhirnya aku bertemu suratitu, jari jemariku melemas menggenggamnya hingga jatuh ke atas lantai. Surat yang mampu mendorongku lari ke kamar ibu dengan sekuat tenaga. Baru kusadari tempat di rumah ini yang belum pernah kujamah adalah kamar ibu. “Adam...” Panggilan ibu kembali masuk panca indra, kendati demikian akutetap menyingkap kasar tirai kamar, memintanya memberikan maksud dari kalimatnya di sini. Namun, suatu peristiwa yang tidak akan bisa aku lupakan adalahketika membuka tirai aku menemukan diriku di rumah lamaku di Perancis sedang membuka kamar. Menyaksikan istriku—Sarah yang tengah memandangku sembari menggenggam ponsel genggamnya. Apa maksudnya semua ini? Aku hanya bisa membeku di tempat yang sama sementara Sarah melepaskan panggilannya dengan pelupuk mata yang sudah tergenang air. Ia berjalan cepat memeluk diriku dengan tubuh gemetar. “I-ibu baru saja meninggal, Bang. ” Entah sejak kapan mataku telah berair, memandang telapak tanganku. Memutar segala memori yang terjadi, Harihariku bersamanya hanyalah mimpi belaka? Nasihatnya, mimpi, harapan, perpustakaan alam, seniman, semua itu hanya sekedar bunga tidur yang dititipkan ibu padaku? Telapak tangan menutupi bibirku, aku tercengang dengan semua ini. Kami berdua terisak, menyesali semua yang telah terjadi. Penyesalan ada di dunia ini agar semua orang sadar untuk menghargai semua yang kita miliki. Sesuai mimpiku, aku kembali ke Indonesia meninggalkan segala yang kumiliki di Perancis. Ini pertama kalinya Obed dan Daniel melakukan perjalanan jauh, sayangnya mereka tidak memiliki kesempatan untuk menikmati. Alasan kami ke sana bukan lagi bertemu ibu, melainkan bertemu jasadnya. Tidak ada sambutan dari para warga, pandangan sinis tertuju pada keluarga kami. Bahkan Sarah tak sempat melirik rumah keluarganya dahulu. Akhirnya aku kembali ke rumah ini, dan memasuki kamar ibu untuk sekian lamanya. Segalanya masih utuh sama sebelum kami pergi dari sini, kamar ini menjadi saksi bisu akan kematian ibu. Kamar tempat kami beristirahat memang sudah
dibangun ibu mempersiapkan kedatangan aku dan Sarah. Ibu tidak ingin kami tidur dia sembarang tempat. Bahkan katanya sebelum menghembuskan napasnya, ia terus berulang kali menyebut namaku. Naas, ibu meninggal di hari ulang tahunnya. Lima tahun berlalu, sekarang selain bekerja sebagai seniman di ibukota, aku memiliki pekerjaan tetap sebagai guru di salah satu sekolah menengah atas. Disinilah aku mendapatkan gaji dan menebus dosaku atas ibu. Perpustakaan alam dalam mimpiku ada secara nyata. Bahkan telah memiliki nama ‘Perpustakaan Suara Ibu’ dimana memang didedikasikan secara gratis bahkan didominasi dengan banyak sumbangan buku para peminjam. Tentunya karya tulis ibu sebagai maskot utama perpustakaan tersebut masih dipajang hingga seterusnya. Jiwanya telah tiada, tapi tulisan dan karyanya tetap abadi di dunia ini. Di lorong waktu yang semakin sempit Sebagai hari terlahir ini hari terakhirku “Tuhan kabulkanlah satu permintaan ini Adam... Ibu memanggil, dalam bisikan hatiIbu berharap, dalam tidur yang terakhir Kita dapat bertemu di dunia mimpiMenyatukan hati yang terpisah oleh waktu Menghapus kerinduan yang tak terucapkan" Meretas Tantangan Bahasa Dalam Era Digital: Kisah SuksesLinguaLearn
(Febri Alhafis) Di era digital yang sedang berkembang pesat, Bahasa menghadapi tantangan dan peluang baru. Di tengah lautan data dan informasi, seorang pemuda bernama Arief merasa terdoronguntuk menggali potensi Bahasa dalam dunia maya. Arief, seorang pemuda berusia 25 tahun yang bersemangat, memiliki hasrat mendalam terhadap Bahasa. Ia melihat bagaimana penggunaan Bahasa telah berubah dengan pesatseiring dengan kemajuan teknologi dan internet. Pada suatu malam yang cerah, ketika ia sedang menelusuri berita dan artikel di internet, Arief mengalami pencerahan. Ia memutuskan untuk menciptakan platform pembelajaran Bahasa online yang interaktif dan inovatif. Arief percaya bahwa Bahasa adalah kunci untuk menghubungkan manusia diseluruh dunia. Dengan platform ini, ia berharap dapat membantu orang-orang memperkaya Bahasa mereka, tanpa batasan geografis. Arief mulai bekerja keras. Ia belajar tentang pengembangan web, desain grafis, dan caramengajar Bahasa secara efektif. Bersama sekelompok teman yang memiliki latar belakangberagam, mereka mulai merancang platform mereka, yang mereka beri nama "LinguaLearn."Tantangan pertama yang dihadapi Arief adalah bersaing dengan platform pembelajaran Bahasa besar yang telah ada. Mereka memiliki sumber daya yang lebih besar dan nama besardi dunia pendidikan online. Namun, Arief dan timnya memiliki semangat dan inovasi yang kuat. Mereka mengambil pendekatan yang berbeda. LinguaLearn tidak hanya menawarkan kursus Bahasa standar, tetapi juga menggabungkan elemen permainan dan kebudayaan dalam pembelajaran. Mereka menyadari bahwa belajar Bahasa tidak hanya tentang tata bahasa dankosakata, tetapi juga tentang memahami budaya dan konteksnya. Platform ini juga menekankan aspek komunitas. Pengguna dapat berinteraksi satu sama lain, berbicara dalam Bahasa yang mereka pelajari, dan berbagi pengalaman mereka. Hal ini menciptakan lingkungan yang mendukung pembelajaran Bahasa yang lebih efektif dan menyenangkan. Namun, dalam perjalanan mereka, Arief dan timnya juga menghadapi tantangan besar lainnya. Salah satunya adalah penyebaran informasi palsu atau hoaks. Dalam era digital yang penuh dengan informasi yang mudah tersebar, banyak orang sulit membedakan antara faktadan hoaks. Hal ini dapat merusak pemahaman yang benar tentang Bahasa dan budaya. Arief tidak tinggal diam. Dia memutuskan untuk melibatkan ahli Bahasa dan pakar dalam proyek mereka. Mereka bekerja sama untuk memeriksa dan menyaring konten yang disediakan oleh pengguna. Mereka juga menyediakan sumber daya dan panduan untukmembantu pengguna mengembangkan keterampilan pemahaman dan analisis Bahasa. Platform LinguaLearn mulai berkembang pesat. Ribuan orang bergabung dan merasa terinspirasi oleh inisiatif Arief. Mereka menyadari bahwa Bahasa adalah jendela ke dunia yang lebih luas dan budaya yang beragam. Mereka juga merasakan betapa pentingnya keterampilan Bahasa dalam era digital ini, dimana
komunikasi global semakin mendominasi. Keberhasilan LinguaLearn membuktikan bahwa Bahasa masih memiliki tempat yang penting dalam era digital ini. Dalam lautan informasi yang begitu besar, kemampuan untuk berkomunikasi dengan jelas dan efektif menjadi semakin berharga. LinguaLearn membantu orang-orang dari berbagai latar belakang untuk meraih potensi penuh Bahasa mereka. Arief dan timnya tidak hanya menciptakan sebuah platform pembelajaran Bahasa, tetapi juga membawa inspirasi kepada banyak orang. Mereka menunjukkan bahwa dengan tekad, Semangat, dan inovasi, kita dapat mengatasi tantangan dalam era digital ini dan memanfaatkan peluang untuk memperkaya Bahasa dan budaya kita. Kisah Arief dan LinguaLearn menginspirasi banyak orang untuk memanfaatkan peluangBahasa dalam era digital, sambil menghadapi tantangan dengan tekad dan keberanian. Mereka membuktikan bahwa Bahasa tetap relevan dan memiliki kekuatan untuk menghubungkan kita di tengah lautan data dan informasi yang tak terbatas. The Adventure of Luna (Febrian Kemal D.) Dahulu di sebuah kota kuno yang terletak di antara perbukitan dan sungai yang berkelok-kelok, hiduplah sebuah komunitas yang menghargai seni bahasa. Kota ini bukanlah tempat biasa; kota ini merupakan surga bagi para penulis katakata, penyair,dan pendongeng. Penduduknya percaya bahwa kreativitas mereka dengan bahasa adalah detak jantung budaya mereka. Di jantung kota berdiri sebuah perpustakaan yang telah berusia berabad-abad, yang menyimpan harta karun berupa literatur dari seluruh penjuru dunia. Di sinilah seorang calon penulis muda bernama Luna menghabiskan hari-harinya, menyerap
keajaibanyang terjalin dalam halaman-halaman buku yang tak terhitung jumlahnya. Pada suatu sore yang cerah, Luna menemukan sebuah buku kuno yang tersimpan di sudut perpustakaan yang berdebu. Sampulnya yang sudah usang dan lapuk,membisikkan janji-janji tentang kisah-kisah yang terlupakan. Dengan penuh rasa penasaran, Luna membuka buku itu, melepaskan ledakan energi yang memenuhi ruangan. Yang membuatnya takjub, karakter-karakter dalam cerita-cerita itu melompat keluar dari halaman-halamannya, mengambil bentuk tiga dimensi. Ada ksatria berbaju zirah, makhluk mistis, dan pahlawan dari alam yang terlupakan. Namun yang paling menarik perhatian Luna adalah makhluk halus yang nakal bernama Quill. Quill, seorang penjaga bahasa, menjelaskan bahwa buku tersebut adalah portal yan gmenghubungkan dunia sastra dan dunia nyata. Luna, yang secara tidak sengaja membuka portal tersebut, kini menjadi penjaganya. Quill dan Luna memulai petualangan untuk menjelajahi dunia magis di dalam buku tersebut. Saat mereka melakukan perjalanan melalui lanskap yang dilukis dengan kata-kata, Luna menemukan bahwa setiap frasa, setiap kalimat, memiliki kekuatan untuk membentuk lingkungan mereka. Di dunia Metaforia, kata-kata berubah menjadi metafora yang nyata. Luna dapat memetik "harapan" dari udara, dan harapan itu terwujud sebagai cahaya yang memandu jalan mereka. Di Simililand, perbandingan menjadi kenyataan, dan rumput menjadi selembut sentuhan kekasih. Ketika Luna dan Quill menggali lebih dalam, mereka menghadapi sebuah tantangan: sebuah kekuatan gelap mengancam untuk menghapus kata-kata dan cerita dari eksistensi. Struktur dunia sastra bergetar. Untuk menghadapi ancaman ini, Luna harus menggunakan pemahaman bahasa yangbaru ditemukannya secara kreatif. Dia membuat syair yang menyatukan keberanian, imajinasi, dan ketangguhan. Setiap kata beresonansi dengan kekuatan seribu cerita. Pertarungan epik antara kreativitas dan penghapusan terbentang di seluruh halaman. Kata-kata Luna berbenturan dengan keheningan kekuatan gelap. Metafora dan perumpamaan menari dalam simfoni puitis, menciptakan perisai yang melindungi esensi bahasa. Pada klimaks perjuangannya, Luna menyadari bahwa kekuatan yang sebenarnya tidakhanya terletak pada kata-kata itu sendiri, tetapi juga pada hubungan yang mereka bentuk. Cerita-cerita, metafora, perbandingan - semua itu adalah benang yang menenun permadani pengalaman dan emosi bersama. Dengan pengungkapan ini, Luna menenun sebuah akhir yang beresonansi dengan hati semua orang yang menghargai bahasa. Kekuatan gelap mundur, tidak dapat menghapus kisah kolektif dari jiwa manusia. Saat Luna dan Quill kembali ke kota mereka, portal yang dulunya tersembunyi di perpustakaan berubah menjadi mural yang menggambarkan petualangan mereka. Masyarakat merayakan kemenangan kreativitas bahasa, mengakui perannya dalam melestarikan budaya dan menjalin hubungan. Sejak hari itu, kota kuno ini menjadi mercusuar bagi para penulis dan pendongeng di seluruh dunia. Dan Luna, yang kini menjadi seorang penulis cerita berpengalaman, terus mengarang cerita yang menggemakan keajaiban dunia yang telah di jelajahinya. Warisan Kreativitas Bahasa terus hidup, mengingatkan umat manusia bahwa setiap kata