The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Alfathon Rameza, 2024-01-17 08:04:08

Cerpen 1

Cerpen 1

memiliki kekuatan untuk membentuk dunia, menjembatani kesenjangan, dan menyalakan api imajinasi lintas generasi. Setelah petualangan besar mereka, Luna mendapati dirinya berada di tengah-tengah kebangkitan sastra. Para penulis dan penyair dari negeri-negeri yang jauh berduyun-duyun datang ke kota ini, tertarik oleh bisikan dari perpustakaannya yang penuh pesona. Alun-alun kota yang dulunya kuno kini ramai dengan kreativitas, saat para penyair membacakan syair, pendongeng mengisahkan kisah-kisah yang rumit, dan para dramawan menghidupkan tokoh-tokoh mereka. Komunitas ini menyelenggarakan festival tahunan untuk merayakan keindahan kreativitas bahasa. Udara dipenuhi dengan irama manis dari kata-kata yang diucapkan, dan jalanan berbatu bergema dengan ketukan mesin ketik dan goresan pena di atas perkamen. Luna, yang kini menjadi sosok yang dihormati, berdiri di garis depan dalam kancah sastra yang semarak ini. Pada salah satu festival tersebut, seorang pelancong misterius tiba di kota. Orang asing itu, yang mengenakan jubah yang ditenun dengan kata-kata, mendekati Luna dengan sebuah permintaan. Dia berbicara tentang dunia tersembunyi di luar lanskap sastra yang dikenal, sebuah tempat yang tidak tersentuh oleh pengaruh kreativitas. Luna merasakan bahwa wilayah yang belum dipetakan ini memegang kunci untuk mengungkap misteri bahasa itu sendiri. Didorong oleh semangat eksplorasi, Luna dan Quill memulai pencarian baru. Kali ini, mereka mencari wilayah yang tidak tertulis, di mana kata-kata belum menemukan suaranya. Perjalanan ini membawa mereka melewati halaman-halaman kosong dan metafora yang belum dijelajahi, di mana ketiadaan bahasa adalah kanvas yang menunggu untuk dilukis. Ketika Luna menyelidiki Unwritten, ia menemukan bahwa keheningan memiliki bahasa yang mendalam. Jeda di antara kata-kata membisikkan kisah-kisah antisipasi, dan ruang-ruang kosong di halaman-halamannya bergema dengan potensi narasi yang tak terhitung jumlahnya. Luna, dengan Quill di sisinya, mulai memahami bahwa terkadang, kisah-kisah yang paling kuat adalah kisah-kisah yang belum diceritakan. Di dunia yanghalus ini, Luna bertemu dengan para Penjaga Esensi, makhluk-makhluk misterius yang menjaga blok-blok dasar bahasa. Para Penjaga ini, yang merupakan personifikasi darikata benda, kata kerja, dan kata sifat, memandu Luna melalui wilayah yang belum dipetakan. Bersama-sama, mereka mengungkap rahasia sintaksis, menyingkap keindahan tata bahasa, dan menikmati tarian tanda baca. Ketika Luna menggali lebih dalam tentang Unwritten, dia menemukan konsep "tanpa kata". Ini adalah keadaan di mana komunikasi melampaui kebutuhan akan bahasa yang eksplisit. Emosi, pikiran, dan ide terwujud dalam bentuk yang murni dan tak terucapkan. Luna menyadari bahwa, di dunia ini, ketiadaan kata-kata tidak sama dengan kekosongan, melainkan potensi yang tak terbatas. Berbekal kebijaksanaan yang baru ditemukan ini, Luna dan Quill kembali ke kota mereka, membawa esensi dari Yang Tak Tertulis di dalam diri mereka. Luna berbagi pengalamannya dengan masyarakat, memicu revolusi dalam cara pandang terhadap kata-kata. Para penulis mulai bereksperimen dengan hal-hal yang tidak terucapkan, membuat cerita yang tersimpan diruang-ruang di antara kalimat. Orang asing yang


memakai jubah tenun itu mengungkapkan dirinya sebagai Pengembara Kata, penjaga batas-batas bahasa yang belum dijelajahi. Bersyukur atas keberanian Luna dalam melintasi Yang Tak Tertulis, ia memberikannya sebuah penayang mengandung esensi dari ketiadaan kata. Pena ajaib ini memungkinkan Luna untuk menulis cerita yang melampaui batasan bahasa, menyentuh hati pembaca dengan carayang tidak bisa dilakukan oleh kata-kata. Festival di kota ini berubah menjadi perayaan yang tertulis dan tidak tertulis, dimana para pendongeng merajut kisah dengan jeda yang disengaja, dan para penyair merangkul kekuatan yang tak terucapkan. Perjalanan Luna tidak hanya memperkaya khazanah sastra di komunitasnya, tetapi juga memperluas definisi bahasa itu sendiri. Ketika Luna terus menulis, kisah-kisahnya menjadi jembatan antara dunia yang tertulis dan yang tidak tertulis, mengundang para pembaca untuk menjelajahi lanskap imajinasiyang luas. Warisan petualangannya terus hidup, sebuah bukti akan kemungkinan tak terbatas yang dimiliki kreativitas bahasa bagi mereka yang mau menjelajah melampaui batas-batas ekspresi tertulis. Setelah perjalanan transformatif Luna, kota ini menjadi surga bagi para penulis yang mencari inspirasi di luar batas-batas bahasa konvensional. Perpustakaan ajaib yang kini menjadi titik fokus eksplorasi linguistik, menarik para cendekiawan dan ahli bahasa yang ingin menguraikan rahasia yang telah dibawa Luna dari yang tak tertulis. Quill juga menjadi simbol dari pemahaman yang baru ditemukan ini. Dibuat dari bulu makhluk mitos yang berada di Dunia Tak Tertulis, pena ini memancarkan cahaya halus yang mengisyaratkan potensi yang belum tersentuh dalam setiap goresannya. Luna, juru tulis yang dihormati di kota ini, menghabiskan hari-harinya untuk membimbing paracalon penulis dan mendorong mereka untuk merangkul nuansa yang tak terucap kan dalam mendongeng. Festival ini berkembang menjadi perayaan keanekaragaman bahasa, di mana para penyair berbaur dengan para filsuf, dan para pendongeng berkolaborasi dengan para ahlib ahasa. Lokakarya tentang seni tanpa kata menjadi hal yang utama, menginspirasi para penulis untuk mengeksplorasi dampak keheningan yang disengaja dalam narasi mereka. Alun-alun kota bergema dengan perpaduan harmonis antara ekspresi yang diucapkan dan yang tidak diucapkan. Setelah perjalanan transformatif Luna, kota ini menjadi surgabagi para penulis yang mencari inspirasi di luar batas-batas bahasa konvensional. Perpustakaan ajaib yang kini menjadi titik fokus eksplorasi linguistik, menarik para cendekiawan dan ahli bahasa yang ingin menguraikan rahasia yang telah dibawa Luna dari yang tak tertulis. Quill juga menjadi simbol dari pemahaman yang baru ditemukan ini. Dibuat dari bulu makhluk mitos yang berada di Dunia Tak Tertulis, pena ini memancarkan cahaya halusyang mengisyaratkan potensi yang belum tersentuh dalam setiap goresannya. Luna, jurutulis yang dihormati di kota ini, menghabiskan hari-harinya untuk membimbing para calon penulis dan mendorong mereka untuk merangkul nuansa yang tak terucapkan dalam mendongeng. Festival ini berkembang menjadi perayaan keanekaragaman bahasa, di mana parapenyair berbaur dengan para filsuf, dan para pendongeng berkolaborasi dengan para ahli bahasa.


Lokakarya tentang seni tanpa kata menjadi hal yang utama, menginspirasi parapenulis untuk mengeksplorasi dampak keheningan yang disengaja dalam narasi mereka. Alun-alun kota bergema dengan perpaduan harmonis antara ekspresi yang diucapkandan yang tidak diucapkan. Dalam sebuah festival yang sangat memesona, Luna meluncurkan sebuah mahakarya yang ditulis dengan pena bulu ajaib - "SimfoniSenyap". Komposisi yang luar biasa ini memanfaatkan jeda, ruang, dan ketiadaan kata-kata untuk menyampaikan kisah yang melampaui keterbatasan bahasa. Saat Luna membacakannya dengan lantang, para penonton dibawa ke dalam dunia di mana emosi beresonansi tanpa artikulasi yang jelas. Berita tentang Simfoni Sunyi Luna menyebar ke manamana, menarik perhatian para penggemar sastra di berbagai penjuru dunia. Kota yang dulunya merupakan tempat tinggal sederhana dalam peta sastra, kini bersinar sebagai mercusuar inovasi. Para cendekiawan berduyun-duyun mempelajari teknik Luna, dan sang Pengembara Kata-kata pun kembali, mengakui peran penting kota ini dalam menjembatani dunia tertulisdan tak tertulis. Warisan perjalanan Luna tidak hanya terbatas pada festival dan kota ini. Para penulis dari berbagai tempat yang jauh merangkul konsep tanpa kata, memperkaya narasi mereka dengan keheningan yang disengaja. Dunia Unwritten menjadi sumber inspirasi bagi para pendongeng yang ingin membangkitkan emosi di luar batas-batasbahasa. Ketika Luna melanjutkan karyanya, dia menemukan dunia baru dalam Unwritten. Dia menjelajah ke dalam lanskap makna tersirat, di mana metafora menari dengan alegori,menciptakan permadani interpretasi yang kaya. Pena penanya, yang kini menjadi artefakyang dihormati, menjadi simbol keterkaitan antara dunia ekspresi dan wilayah yang belum dipetakan dari hal-hal yang tak terucapkan. Di sebuah sudut kota yang tenang, Luna mendirikan Sekolah Seni Linguistik, sebuah tempat perlindungan bagi mereka yang ingin menjelajahi batas-batas bahasa. Kurikulumnya melampaui tata bahasa dan sintaksis tradisional, mempelajari seni tanpakata dan nuansa komunikasi yang halus. Sekolah ini menarik siswa dari berbagai penjuru dunia, membina komunitas pelopor linguistik. Kota yang kini dikenal sebagai tempat lahirnya Renaisans Linguistik ini berkembang sebagai pusat di mana bahasa dan kreativitas berpadu dengan cara yang belum pernahterjadi sebelumnya. Simfoni Sunyi Luna menjadi karya klasik yang dipelajari oleh generasi penulis yang bercita-cita untuk menenun cerita yang melampaui batas-batas ekspresi konvensional. Maka, di kota yang selalu merayakan sastra ini, Luna dan Quill melanjutkan pengembaraannya melalui kata-kata, ruang, dan dunia yang memesona baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Warisan petualangan mereka bergema melalui halaman-halaman cerita yang tak terhitung jumlahnya, menginspirasi komunitas penulis kata-kata global untuk merangkul kemungkinan kreativitas bahasa yang tak terbatas. Ketenaran kota ini sebagai surga bagi kreativitas bahasa bahkan sampai ke makhluk halus yang tinggal di alam tak tertulis. Dewan Gema Fana, penjaga alam tak terucapkan, menganugerahi Luna dengan hadiah unik-benang perak penghubung yang memungkinkannya menarik inspirasi langsung dari Yang Tak


Tertulis. Benang ini, yang dijalin ke dalam penanya, menjadi saluran untuk ideide yang melampaui batas-batas kedua dunia. Ketika Luna menggali lebih dalam ke dalam Yang Tak Tertulis, ia menemukanf enomena linguistik yang menentang pemahaman duniawi. Metafora terwujud sebagai lanskap yang halus, dan alegori terbentuk sebagai rasi bintang yang berkilauan. Bisikan-bisikan sunyi dari Yang Tak Tertulis memandu Luna untuk menemukan makna tersembunyi di ruang-ruang di antara kata-kata. Festival ini, yang kini menjadi ziarah tahunan bagi para penulis kata-kata, berkembang menjadi perayaan multidimensi. Para seniman dari Unwritten, yang tertarik oleh resonansi kreativitas yang berasal dari kota,terwujud selama perayaan. Kolaborasi antara penulis duniawi dan makhluk halus menghasilkan kisah-kisah yang beresonansi lintas dimensi. Quill, yang diresapi dengan esensi dari Unwritten, menjadi saluran untuk bercerita secara kolaboratif. Para penulis dan makhluk halus berkumpul di alun-alun kota,masing-masing berkontribusi pada narasi kolektif yang terbentang dalam waktu nyata. Kata-kata yang ditulis oleh tangan-tangan manusia terjalin dengan jejak bercahaya yang ditinggalkan oleh makhluk halus, menciptakan sebuah karya sastra yang ada di keduaalam. Benang Perak, yang kini hanya dapat dilihat oleh mereka yang selaras dengan frekuensi dari Yang Tak Tertulis, menenun pola-pola rumit di langit selama festival berlangsung. Kilauannya yang berkilauan menjadi simbol hubungan simbiosis antarayang Tertulis dan yang Tidak Tertulis, menyoroti keterkaitan semua alam melalui bahasa universal kreativitas. Perpustakaan kosmik yang terletak di antara dimensi ini tidak hanya menyimpan cerita,tetapi juga esensi dari bahasa itu sendiri. Pena-pena Luna, yang kini menjadipeninggalan berharga, berada di dalam perpustakaan sebagai mercusuar bagi merekayang ingin menjelajahi alam kreativitas. Para penulis, baik dari duniawi maupun darialam gaib, akan melakukan ziarah ke tempat lahirnya Renaisans Linguistik, tertarik olehdaya tarik perpustakaan kosmik Festival ini, yang kini terjalin secara abadi dengan tarian kosmik, menjadi perayaan yang tak lekang oleh waktu. Para penulis dan makhluk halus hidup berdampingan, berbagi narasi yang melampaui batas ruang dan waktu. Benang Perak, sebuah bukti surgawi tentang kesatuan antara yang Tertulis dan yang Tidak Tertulis, terus menenun pola-pola bercahaya di langit. Generasi pendongeng mewariskan kisah Luna dan Quill, pionir yang menjembatani dunia dengan alkimia bahasa. Sekolah Seni Linguistik berkembang pesat, menghasilkan para visioner yang berani menjelajahi wilayah ekspresi yang belum dipetakan. Tempat lahirnya Renaisans Linguistik, yang kini menjadi tujuan para pencari kebijaksanaan universal, memancarkan energi yang dapat diraba - sebuah energi yang membisikkan kisah-kisah tentang keterkaitan semua hal. Luna, yang telah melampaui batasan keberadaan fana, menjadi roh penjaga perpustakaan kosmik. Kehadirannya yang halus bergema melalui koridor-koridor yangtak tertulis, membimbing mereka yang berusaha menerangi sudut-sudut bahasa yang takterlihat. Gema tawanya, terbawa oleh angin kosmik, menginspirasi para penulis diseluruh alam.


Desa Dalam Bahasa (Ira Fratiwi) Hari sabtu siang yang cerah di kamarnya yang rapi dan hangat Rani gadis berusia 18 tahun itu duduk dikursi belajarnya sembari sibuk membolak-balik kertas jadwal masa Pengenalan Masa Mahasiswa Baru (PMMB) yang akan dimulai pada Senin lusa. Rani telah ditetapkan diterima di Fakultas Informatika jurusan Multimedia di Universitas Swasta di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Siang yang cerah itu dentingan bunyi handphone Rani mendadak ramai tidak seperti biasanya bahkan bisa dibilang tidak kunjung berhenti. Sudah mencoba membisukan notifikasi yang masuk pada handphonenya karena sedang fokus mempelajari apa saja yang harus dia siapkan untuk PMMB tetap saja layar hitam handphonenya terus menyala. Rasa penasaran dalam hati Rani tidak bisa ditahan lagi. Sudah setengah jam mencoba fokus mencatat keperluan-keperluan kuliahnya tanpa memperdulikan keributan yang dibuat handphonenya Rani menyerah, dia tidak bisa menahannya lagi dan sigap mengambil benda hitam itu dan membukanya. Penuh dengan pemberitahuan dari sosial media miliknya, Rani membuka aplikasi berlogo mirip kamera berwarna merah keunguan yang banyak digandrungi kalangan Mahasiswi baru seperti dirinya saat ini, yaitu Instagram. Rupanya notifikasi yang muncul berasal dari konten perkenalan dirinya yang baru saja diunggahnya dua jam yang lalu dan banyak mendapat perhatian juga komentar dari pengikut akun pribadi Rani yang berjumlah dua ribu followers itu. Rani heran komentar postingan video perkenalan dirinya untuk tugas PMMB berdurasi satu menit itu sudah mencapai 45 komentar dan 55 penyuka. Bahkan karena video perkenalan dirinya itu Rani mendapat followers yang tidak dia kenal. Penasaran dan mulai membaca dari awal kenapa video perkenalan dirinya bisa seramai sekarang. Padahal video-video dirinya yang lain tidak seramai ini. Berawal dari akun @User5 yang memviralkan video perkenalan Rani dan meninggalkan komentar jahat pada video milik Rani dengan menyebut "Hahaha. desa Anjir? Satu desa isinya guk guk guk dong"


komentar dari @User5 itu mendapat banyak respon beragam dari para pengguna sosial media disebut bahasa digitalnya netizen. Rani mengusap kedua matanya yang sedikit berair setelah membaca komentar jahat itu. Bukannya ingin menghapus video perkenalannya yang terlanjur ramai, Rani justru mengambil screenshoot komentar-komentar jahat netizen di videonya. "Dimana salahnya sih video aku? Kenapa dikatain guk-guk padahal aku gak ada bilang Anjing" Rani mengulang-ulang video perkenalan dirinya mencari dimana kesalahan yang dikomentari @User5 itu Tok! Tok Ketukan di pintu kamar Rani mengalihkan perhatian gadis itu. Segera Rani membuka kunci kamarnya dan melihat siapa yang ada di balik pintu kayu berwarna putih itu. ”Kak Rena" Ucap Rani lega. Kakaknya Rena yang berstatus Mahasiswi Psikologi tingkat akhir itu sengaja pulang hari ini untuk menjemput Rani yang akan mulai berkuliah pada Senin lusa. Rena masuk kedalam kamar Rani guna mengecek kesiapan adiknya untuk pindah sementara selama berkuliah. Maklum saja mereka tinggal di kampung tepatnya di Kabupaten Anjir Muara Kalimantan Selatan yang berjarak tempuh sekitar dua jam untuk sampai di Kota Banjarmasin. "Ran kamu udah berkemas kan?" Tanya Rena melihat tas besar Rani yang masih terbuka dan tampak kosongRani menggeleng. "Belum kak habis ini aku kemas perlengkapan aku" Rena duduk di kasur Rani sambil melihat kertas berisi jadwal PMMB. "Besok pagi kita berangkat. Kamu udah siapkan?"


"Iya kak aku udah siap." "Sini aku bantuin kamu kemas-kemas pakaian." Rena beranjak dari kasur menghampiri lemari kaca milik Rani yang terlihat berantakan Rani segera menghampiri kakaknya dan dengan senang hati menerima bantuan dari Kakaknya itu. Selama satu jam mengemas perlengkapan kuliah Rani akhirnya Kakak beradik itu selesai dan segera ke dapur untuk makan sore bersama Ayah dan Ibu mereka yang baru pulang bekerja dari Kantor Desa Anjir Muara. Membantu Ibunya memasak ikan gabus yang baru Ibunya beli di pasar dekat kantor Rani sedikit melupakan kesedihannya atas komentar jahat di sosial medianya. Makan sore bersama Rani dengan cermat bertatapan sembari memandang wajah Ayah, Ibu dan Kakaknya berkumpul bersama dan bercengkrama hangat. Seketika hati Rani kembali sakit, dia tidak terima semua orang di desanya disebut guk-guk. Rani tidak terima! Dia berniat mencari pengguna akun @User5 dan membuat perhitungan! Malam hari Rani sebelum tidur mengirim pesan pribadi Instagram melalui fitur direct messenger kepada @User5 @Rani_A Aku gak terima kamu ngatain video aku! Dan bilang desa aku isinya guk-guk. Maksud kamu apa? Kalo berani sini hadepin akuSembari menarik nafas dan menghembuskannya berulangulang. Tidak disangka @User5 membalas pesan pribadi Rani dengan cepat@User5Lah kok tersinggung? Kan kamu sendiri yang bilang "Aku tinggal di desa Anjir Muara." artinya kamu tinggal di desa Anjing Muara kan? Rani semakin meradang. Rasa panas dalam dadanya bertambah sekian derajat Celcius. Dia mengetik pada papan layar handphonenya bersiap berselancar di mesin pencarian Google. Rani mengetikkan kata "Anjir" pada pencarian Google dia mengscreenshot layar dan mengirimnya pada @User5. @Rani_A Mengirim gambar


Tuh kamu lihat! Anjir itu nama Desa! Bukan nama Anjing. Seolah tak mau kalah @User5 mengirim gambar juga kepada Rani yang menunjukkan kata Anjir merupakan kata lain dari Anjing. @User5 Mengirim gambar. Hahaha! Ganti gih nama Desa kamu! Rani tergelak! Ternyata salah persepsi kata Anjir yang menjadi bahan olokolokan @User5 kepada dirinya. @Rani_A Sebenarnya kamu siapa sih? Aku gak punya teman namanya User5 @User5 Nanti kamu juga tau! Sampai jumpa di kampus. Rani tidak lagi membalas. Dia mulai sadar tidak ada gunanya melawan seorang netizen yang punya daya bahasa digital negatif kekinian tanpa mau memahami arti sesungguhnya. Plesetan kata Anjing menjadi Anjir merubah pikiran pembaca yang mengkonotasikan negatif kata Anjir itu sendiri yang sebenarnya baik-baik saja menjadi tidak baik. Agar citra Kabupaten Anjir tidak jatuh karena olok-olokan netizen yang tidak bertanggung jawab. Rani membuat konten video dari gambar-gambar pilihan yang dia unduh di Google. Dia menyertakan deskripsi pada tiap lembar slide foto yang bergonta ganti. Slide foto pertama berisi gambar pulau Kalimantan Selatan pada peta Rani menuliskan.


"Teruntuk semua penikmat konten sosial media yang budiman izinkan saya memperkenalkan Kabupaten tempat saya lahir dan tinggal yang begitu saya cintai.” Slide foto kedua berisi gambar tugu selamat datang di peta kawasan Kabupaten Barito Kuala, Rani menuliskan "Ini adalah salah satu dari enam Kabupaten di Kalimantan Selatan namanya Barito Kuala. Slide foto ketiga berisi gambar jembatan barito yang merupakan icon Kabupaten Barito Kuala, Rani menuliskan "Aku lahir dan tinggal di Desa Anjir Muara. Desa ini cantik dan asri.” Slide foto keempat berisi gambar Anjing puddle putih yang lucu, Rani menuliskan "Desa Anjir bukan nama atau istilah umpatan seperti yang ramai kalian komentari di video aku sebelumnya." Slide foto kelima berisi gambar Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Rani menuliskan, "Anjir punya makna yang baik dalam kamus bahasa Indonesia yaitu saluran air yang besar." Slide terakhir Rani menambahkan video pemandangan suasana jembatan Barito beserta kampung Anjir Muara dekat kediamannya yang dia rekam sendiri dengan handphonenya beberapa waktu yang lalu, Rani menambahkan rekaman suaranya berkata.


"Mungkin kata Anjir sering digunakan untuk mengumpat dalam dunia digital mengatakan Anjing secara tidak langsung dan kalian ganti dengan kata Anjir. Tapi mengatakan warga desa Anjir berisi guk-guk aku tidak bisa menerimanya! Lihat kan betapa indah desa Anjir. Kalian malah mengolok-oloknya.” Rani memposting video berdurasi empat puluh lima detik itu ke Instagram pribadinya dan mentag akun-akun Pemerintah Kabupaten Barito Kuala juga akun Kampusnya tidak lupa memberikan hastag #AnjirbukanAnjingSeharian berkutat dengan emosinya sendiri Rani singgah ke ruang obrolan dan mengirim kata-kata sampah emosi negatifnya ke ruang obrolan bernama "Push Egif" yang artinya Pungut Sampah Emosi Negatif yang sengaja dibuat oleh kakaknya Rena untuk menyediakan wadah menampung chat tulisan sampah emosi negatif yang bisa terhapus sendiri dalam rentang waktu tertentu. Disana Rani menuliskan semua emosi negatif yang dia rasakan hingga puas. Rani pun tertidur. Sampai di kampus dengan masih menggunakan seragam SMA, Rani segera masuk kedalam kelasnya. Pagi ini ada pengarahan dari dosen sekaligus Kepala Program Studi Informatika untuk mahasiswa baru di kelasnya. Rani duduk di deretan kursi baris kedua. Dia sudah bersiap untuk bertemu @User5 jika orang itu menampakkan dirinya hari ini. Pak Anang Kepala Program Studi Informatika masuk dan berdiri didepan seluruh mahasiswa. Memakai kemeja motif sasirangan putih kuning Pak Anang membetulkan kacamata bacanya sebelum bicara. "Salam kepada seluruh mahasiswa baru Informatika. Pagi ini saya ada pengarahan yang baru tahun ini ditemukan dan terjadi." Suara tegas berwibawa Pak Anang mampu membuat lima puluh tiga mahasiswa yang tadinya berisik menjadi diam dan kelas menjadi tenang. "Sebelumnya izinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya Anang Rahmadi panggil saja Pak Anang saya asli orang Banua Banjarmasin. Saya tertarik dengan alih bahasa yang menjadi pertikaian antara Rani dan Agam. Ada Rani dan Agam?" Rani mengangkat tangan kanannya dan melirik Agam pria yang duduk di belakang. Dalam hati Rani mendengus


"Oh User5 itu dia?"Agam menghela nafas dia tau hari ini tidak akan menyenangkan untuknya. "Agam punya olah bahasa kalau kata Anjir itu artinya Anjing dan Rani punya olah bahasa kalau Anjir itu nama Desa tempat tinggalnya. Menarik ya?" Pak Anang melanjutkan dengan bicara yang santai sembari mengembangkan senyum. "Bapak tidak menghakimi siapa yang salah siapa yang benar. Bapak tertarik dengan problematika ini ternyata setiap kita punya olah bahasa yang berbedabeda. Apalagi dengan kemajuan dalam era digital seperti sekarang bahasa sangat berkembang dan semakin syarat akan makna." "Setuju?" Pak Anang melanjutkan. Semua mahasiswa menyahut "Setuju" termasuk Rani dan Agam yang bertikai karena kata Anjir. "Di era digital seperti sekarang bahasa tetap menjadi sarana komunikasi untuk menjangkau yang lebih jauh itu adalah peluang teman-teman mahasiswa sekalian untuk kalian mengembangkan diri dan mengenal lebih banyak ragam budaya dan beraneka macam suku, ras hingga golongan." "Tapi ada tantangan yang menanti kalian! Dimana semua bahasa menjadi satu kesatuan dengan beragam latar belakang penggunanya. Disitulah kehatihatian dan saling memahami menjadi kekuatan kita dalam berbahasa di era digital." lanjut Pak Anang Rani mengangguk sendiri memahami maksud Pak Anang. Sedikit merasa malu Rani melirik Agam yang memasang wajah datar di belakang sana. Lebih daripada itu Rani patut berbangga atas rasa bela Desa kelahirannya berbuah manis, dia mendapat dukungan dari berbagai pihak termasuk netizen juga kampus dan Pemerintah Desa Anjir yang merepost ulang


konten #AnjirbukanAnjing milik Rani di sosial media mereka. Seusai kegitan PMMB di hari pertama Agam menghampiri Rani yang hendak pulang ke kosnya. "Ran." panggilnya terengah maklum saja dia berlari dari kelas menyusul Rani yang keluar duluan dan berjalan begitu cepat "Eh iya Ag-gam." Rani dengan ragu menyebut nama teman sekelasnya itu "Aku minta maaf soal komentar di video kamu itu""Iya aku juga minta maaf sudah emosi dan malah nantangin kamu." Agam tersenyum sembari membuka Handphonenya. "Nih aku kasih komentar positif dan hapus komentar yang kemarin." Rani tidak bisa menutupi rasa senangnya. "Iya. Makasih." "Oke Ran. Kapan-kapan nanti aku ke Anjir melihat langsung Desa yang pernah aku olok-olok. Aku menyesal." Rani mengangguk. "Iya. Lain kali cermati dulu ya sebelum komen." "Iya." Rani tersenyum hatinya lega. Dia memaafkan Agam. Dari kejadian ini mereka belajar jika bahasa itu berpengaruh besar bahkan diera digital. Selesai.


Takkan Hilang Meski Waktu Berganti (Karin aisya) “Ma, tapi kali ini biarin Alia yang nentuin masa depan Alia ma. ” Ujar Alia saat berdebat kecil dengan mama nya untuk menentukan jurusan perkuliahan yangakan Alia jalankan selama empat tahun kedepan. Selama ini Alia tidak pernahmengikuti apa yang dia inginkan dan selalu menuruti keinginan mamanya. Ia mengira bahwa pilihan orang tuanya adalah pilihan yang terbaik, pikirnya semasausia jagung. “Alia dengar mama, kamu mau jadi apa nak, kalau kuliah jurusan seni itu,kamu mau jadi seniman? Apa kerjanya nanti, Alia?” tanya mamanya yang sedikit ngotot kepada Alia. “Ma, setidaknya Alia mejalankan apa yang Alia inginkan ma, lagi pulakalau Alia jelasin alasannya mama juga tidak bakal mengerti. Kalau Alia ikutinmama untuk masuk jurusan arsitektur, apa Alia akan senang menjalankannya selama 4 tahun kedepan? Iya kalau Alia bisa mengikuti perkuliah yang tidak Aliainginkan dengan senang hati, kalau tidak ? apa mama mau tanggung ja...” putus Alia, “Maaf, ma” lanjut Alia dengan nada sendu. Akhirnya Alia meninggalkan mamanya di ruang tamu bersama ketukan jarum jam yang berjalan menyusuri lingkaran sempurna dan lampu hias yang menerangi ruangan kecil itu. Alia Kinanti Rahayu adalah namanya, merupakan seorang gadis remaja yang mempunyai ketertarikan di bidang seni baik bahasa daerah, kebudayaan dan hal-hal yang berbau dengan seni lainnya. Alia menyukai hal ini karena seiring berjalannya waktu, bahasa dan budaya mulai


tergerus dan bahkan hampir dilupakan dikalangan masyarakat. Alia juga anak satu-satunya dari kedua orang tuanya. Tak heran, mamanya selalu menaruh harapan kepada Alia. Alia juga gemar membaca dan menulis tentang bahasa dan budaya yang ia pelajari. Alia memiliki sedikit sifat introvert, pintar dan paras yang rupawan. Malam itu, Alia sangat emosional sehingga tidak sengaja melawan mamanya dengan argumen yang singkat. Selama ini, Alia tidak pernah melakukan hal itu kepada mamanya. Apalagi sampai mengeluarkan nada yang tegas dari mulutnya yang kecil. Malam pun menghampiri, kembali lagi pikirannya yang bimbang dan menghantui kepalanya setiap mengisi formulir minat studi dari sekolahnya. Jika Alia tidak di izinkan mengambil jurusan seni, maka dia akan mengambil jurusan sastra Bahasa Indonesia. Mau tidak mau, mamanya harus setuju karena menurutnya ini merupakan jalan tengah antara Alia dan mamanya. Benar saja, seiring berjalannya waktu mendekati pengumpulan formulir minat studi yang menghantui Alia setiap malam di kamar kecilnya, mamanya menyetujui jika Alia mengambil jurusan Sastra Bahasa Indonesia itu, walau dengan berat hati. Negosiasi yang dilakukan Alia setiap detik bak air yang terus mengalir pada aliran sungai membuahkan hasil. Tak lama lagi, impian-impian yang selama ini Alia tulis di kertas putih dan di tempelkan di tembok luas di singgasananya akan segera terwujud beberapa tahun kedepan. Setelah kelulusannya, Alia Kinanti Rahayu resmi menjadi seorang mahasiswa baru di salah satu kampus favorit di kotanya dengan jurusan Sastra Bahasa Indonesia. Alasan Alia mengambil jurusan ini karena ia mencintai tanah kelahirannya yaitu Negara Indonesia dan semua yang ada didalamnya. Alia sangat senang bak orang yang sedang jatuh cinta dan kehilangan akalnya. Tidak hanya itu,hal lain yang membuat Alia senang adalah ia satu kampus dengan sahabat kecilnya. Seperti takdir, mereka di pertemukan di kampus yang sama namun berbeda jurusan. Alin Candala namanya, sahabat kecil Alia yang sudah lama tidak bertatap mukadan hanya bertukar cerita melalui telepon pintar. Melalui telepon pintar itu mereka menceritakan kehidupan putih abu-abu mereka yang dikatakan orang-orang adalah masa paling indah di sekolah. Alin Candala merupakan seorang anak kecil yang dikenal Alia dari sebelahrumahnya alias tetangga Alia berberapa tahun yang lalu. Alin dikenal sebagai sosokyang ekstrovert dan lihai berbahasa inggris diusianya yang sangat muda. Kelihaian Alin berbahasa inggris ini dikarenakan Alin tumbuh di keluarga yang lebih moderndibandingkan Alia. Di keluarganya Alin dituntut untuk bisa berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris sejak kecil. Alin juga sangat berbeda dengan Alia bak hitam dan putih. Alin terkenal lebih ramah atau friendly dibandingkan dengan Alia yang suka menyendiri. Alin juga sedikit barbar dibandingkan dengan Alia yang tenang. Namun, perbedaan inilah yang menyatukan mereka. Seiring berjalannya waktu, terkadang Alin merasa salut kepada sahabatnya,yang rela melakukan segala hal dengan setulus hatinya dan jiwanya agar Bahasa Indonesia dan budaya tidak tergerus dan dilupakan oleh masyarakat. Padahalmenurut Alin, di era digital pada zaman ini masyarakat sudah banyak menggunakanbahasa gaul atau serapan, tetapi Alia tetap


menggunakan bahasa Indonesia yangbenar meskipun dalam pergaulannya. Bahkan, sesekali Alia mengirim pesansingkat kepada Alin dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Tahun pertama hingga tahun kedua perkuliahan Alia dan Alin sangat akrabbak teman satu jurusan. Mereka masih tetap nyambung meskipun berbeda jurusan. Mereka menghabiskan waktu bersama selama perkuliahan, berbagi cerita dansharing terkait kehidupan kampus yang membuat mereka sibuk dengan tugas yangmemenuhi hari-hari mereka seperti air yang dituang kedalam gelas hingga meluap.Tahun berikutnya Alia mulai mewujudkan satu persatu wishlist yang ia tulisdi kertas putih yang di tempelkan di tembok luas di singgasananya. Alia mengikuti berbagai perkumpulan mahasiswa yang ingin belajar bahasa dan budaya seperti wayang, menari daerah, hingga belajar bahasa daerah baru. Alia mengikuti ini karena ia ingin melestarikan bahasa dan budaya Indonesia agar tidak bergeser dan hilang dikalangan masyarakat pada era digital ini. Begitu juga dengan Alin yang sibuk membuat pameran seni di fakultasnya, Alin mempunyai impian membuat karyakarya nya menjadi Go Internasional. Alin yang dikatakan mahasiswa berbakat ini, terpilih menjadi mahasiswa yang akan mengikuti proyek bersama dosennya yang berkolaborasi dengan para dosen dan mahasiswa luar negeri dari jurusan arsitektur. Kemampuan berbahasa inggris Alin membuat Alin mudah mendapatkan teman dan berinteraksi dengan mahasiswa lain untuk mendiskusikan proyek ini. Salah satu mahasiswa tersebut bernama Rano Baswara. Alin sedikit terkejut mendengar nama Rano Baswara ini, karena nama tersebut sangat kental dengan orang Indonesia dan tidak ada sedikitpun unsur eropa didalam nama pria tersebut. Benar saja, setelah beberapa minggu bersama, Rano Baswara merupakan warga Negara Indonesia yang berkuliah dan tinggal di luar negeri. Namun, anehnya dia masih tetap lancar berbahasa Indonesia walau dengan logat eropanya. Proyek ini membuat mereka menjadi dekat, walau tidak sedekat nadi. AHAHAH. Memang benar kata orang-orang, jika perempuan dan pria tidak bisa berteman begitu saja tanpa ada salah satu yang menaruh perasaan. Alin jatuh hati kepada Rano karena Rano selalu membuat Alin kagum dengan kepribadiannya yang cerdas dan baik hati, ditambah lagi Rano mempunyai tubuh yang tinggi dan tampang yang menawan. Tetapi Alin lebih memilih untuk memendam perasaannya sementara waktu karena ingin fokus kepada proyek yang dikerjakannya ini. Alin ingin sekali mempertemukan Rano dengan Alia. Namun Alin tahu,Alia yang sangat sibuk dengan jadwalnya, pasti akan menolak jika bertemu denganorang yang tidak begitu berkepentingan dengan Alia. Walaupun Alin tidak dapatmemperkenalkan dan mempertemukan mereka, Alin selalu bercerita segala haltentang Rano Baswara tanpa terkecuali dan mencurahkan isi hatinya kepada Aliabak seorang yang sedang menuliskan sesuatu didalam buku diarinya. Hingga suatu hari akhirnya Alin hampir berhasil mempertemukan Alia danRano di pertunjukan wayang namun gagal. Pertunjukan wayang itu dimainkan olehAlia dan rekan organisasi wayang yang dikuti Alia di luar kampus. Perdana Aliamemainkan wayang di depan banyak orang dan menjadi salah satu impian Aliasejak lama. Alia dan Rano tidak sempat


bertatap muka dikarenakan Alia yang sibukmengurusi barang-barang setelah pertunjukan tu. Namun, Rano tetap menikmatipertujukan tersebut dan bahkan kagum terhadap Alia yang masih mau belajarbudaya dan menggunakan bahasa indonesia ditengah gempuran era digital yangserba modern ini. Selain itu, yang membuat Rano kagun, Alia tetap menggunakanbahasa indonesia meskipun pertunjukan itu didatangi oleh beberapa orang asing.Waktu terus berjalan menyusuri tanggal dan hari di kelender, hari dimanaRano Akan kembali ke Negara asalnya karena proyek itu telah selesai dan akan dilanjutkan di waktu yang akan mendatang. Namun, Rano tak langsungmeninggalkan indonesia begitu saja, Rano memberikan sebuah kotak kepada Alin. Kotak itu bukanlah untuk Alin, melainkan untuk Alia. Seketika senyuman Alin disudut bibir berubah menjadi datar dan menghilang perlahan. “Ini untuk, Alia?” Ucapnya dengan heran dan sedikit menahan cemburu. “Iya, ini Kado untuk Alia, tolong kasih ke dia ya, soalnya gue fans dia”Ucap Rano sambil bercanda. “Ooooh, Fans. Kirain..” Balas Alin dengan perasaan lega bak sebuah talilepas dari dadanya. Kotak itu telah sampai ke tangan Alia. Kotak itu berisi sesuatu yangmembelalak kan mata Alia dan membuat jantungnya berdegub kencang. Kotak ituberisi foto dan surat yang ditulis Rano. Foto itu berisi foto Alia di tempat latihanwayang yang di tangkap Rano secara diam-diam bak paparazi beberapa hari ketikaRano di Indonesia dan tidak sengaja berjumpa Alia di Kampus itu. Rano sering berkunjung ke tempat perkumpulan mahasiswa belajar budaya dan bahasa yangAlia ikuti, bahkan Rano juga sempat berpapasan dengan Alia, namun Alia tidak mengenali Rano karena penampilan Rano sudahlah berubah. Surat itu pula mengungkapkan bahwa Rano Baswara adalah teman SD Alia, Sekaligus ia meminta maaf karena telah memfoto Alia secara diam-diam. Di dalam surat itu juga Rano mengatakan bahwa ia menyukai Alia sejak SD bahkan sampai sekarang. Namun Rano tidak berani mengungkapkan perasaannya kepada Alia waktu itu dikarenakan dia minder, si kutu buku, pendek, berkacamata dan merasa tidak pantas dengan Alia. Melalui surat itu


juga, Rano berterimakasih kepada Alia karena selama ini ia membaca blog tentang bahasa dan budaya Indonesia yang ternyata penulisnya Alia. Alia terkagum membaca surat itu. Selama ini yang ia lakukan dengan menulisblog , ada yang membaca tulisannya. Di era digital yang serba bisa mengakses apasaja, rano tetap mau mempelajari dan mengenal tanah kelahirannya walau Rano berada di negeri orang. Dimana pun rano berada, Bahasa Indonesia adalah bahasa ibunya. Alia membisu membaca surat itu seolah mulutnya tertumpahan lem sehingga tidak bisa berkata-kata. Bait terakhir di dalam Surat itu adalah Rano ingin menyatakan perasaannya secara langsung sebelum beberapa jam ia kembali kenegeri orang. Petemuan itu akan dilakukan di sebuah kafe disekitar kampus Alia. Namun setelah beberapa jam Alia tak kunjung datang, karena Alia tahu bahwa cinta pertamanya juga disukai oleh sahabatnya sendiri. Alin tidak pernah mengetahui Rano Baswara adalah cinta pertama Alia. Selama ini, Alia tidak pernah memberitahu nama cinta pertamanya, dia hanya mengatakan bahwa ia memiliki cinta pertama dan tidak pernah berjumpa lagi semenjak lulus SD. Setelah beberapa jam Rano menunggu, akhirnya Rano mengirim pesan kepada Alin untuk bertanya keberadaan Alia. Ia juga memberi tahu bahwa ia telah mengenal Alia karena teman satu SD dan cinta pertama nya Alia. Sehingga, ia meminta tolong kepada Alin untuk memberi tahu Alia datang kebandara, karena beberapa jam lagi Rano resmi meninggalkan tanah airnya. Alin yang membaca pesan itu juga membisu seperti Alia membaca suratdari Rano. Namun, ia milih untuk membantu Rano bertemu dengan Alia walau hatinya tersayatsayat. Alin melemparkan panggilan suara kepada Alia dan herannya mereka memutuskan untuk berpura-pura tidak terjadi apa-apa, saling menutupi dan diam. Alin yakin bahwa Alia tidak akan semudah itu untuk menyusul Rano kebandara, Alin berbohong dan mengatakan bahwa Alin meminta tolong untuk mengantarkan berkas proyek ke bandara untuk diberikan kepada Rano, karena Alin sedang ada kelas matakuliah yang tidak bisa ia tinggalkan. Benar saja, dengan terpaksa Alia setuju untuk mengantarkan berkas itu. Diperjalanan menuju bandara Alia kecelakaan dan meninggal di perjalanan menuju rumah sakit. Sementara Rano sudah menaiki pesawat yang siap take off. Waktu begitu singkat memang. Namun kabar sangat cepat tersebar melalui jari jemari yangbergerak di telepon pintar. Rano mengucurkan air mata yang membasahi pipinya sambil mengirimkan pesan singkat kepada Alia yang berada di Indonesia walau ia tahu bahwa pesan itu tidak akan pernah terbaca sampai kapanpun. ”Kau akan selalu ada di hatiku, meskipun waktu akan membuatmu terlupakan.. Alia dan bahasaku”


Aku Suci, Citranya Realiti Bukan Angan-Angan (Mahsuri Binti Yusuf) Apakah kamu percaya sama yang namanya TAKDIR? Apakah kamu sering menyalahkannya? Atau malah menerima dengan hati yang terbuka? Ayo ikut bersamaku, akanku ceritakan bagaimana TAKDIR menyapa perjalanan hidupku. Jauh disebuah pendesaan terlihat pemandangan Hijau nan indah, sawah desa Bugisan, Klaten, Jawa Tengah. Sepertinya desa itu penuh dengan mimpi besar seorang gadis yang bernama Citra Suci. Citra atau Suci adalah orang yang sama, namun dia lebih dikenal sebagai Suci Citranya Angan-angan. Namun itulah gelar yang ia dapatkan dari masyarakat. Citra, gadis yang sangat sopan dan pintar. Diabercita-cita ingin ke luar negeri untuk memperkenal kebudayaan dan Kebahasaan Indonesia yang menurutnya istimewa. Citra sangat bijak dalam menyusun kata danbicara sehingga dia sering juara dalam perlombaan puisi, cerpen, karya tulis ilmiah dan beberapa lomba dibidang kesastraan Indoneisa. Oleh karena itu, dia ingin melanjutkan Pendidikan Tinggi Negeri program studi S1 Sastra Bahasa Indonesia. Dari kejauhan terlihat seorang ibu yang kebingungan mencari anaknya sembarimemangil nama penuhnya, “Citra Suci! Kamu dimana nak, ini sudah sore.” Teriakibu itu. Dari penghujung sawah terlihat seorang gadis yang tingginya sederhana, tidak kurus juga tidak gemuk, sederhana orangnya. Dia berlari sembari mengatakan “Ibu, Citra punya mimpi baru buat diceritakan ke ibu.” Ibu melihatnya dengansenyuman sembari berkata, “Alhamdulillah.... Nanti sahaja ceritanya, sekarang ayopulang. Ibu sudah masak makanan kesukaanmu.” Tanpa ragu, Suci yang sudahSMA kelas 3 dengan tahun terakhir menjabat status “Siswa.” Memeluk ibu dengan manja, layaknya anak SD. Ibu berkata, “Kamu ini seperti anak-anak sahaja, di carikemana-mana malah duduk merenung ke sawah.”


“Citra cuma mencari sudut yang bisa dirindukan dari desa ini bu.” Ujar Citradengan lembut. “Baiklah, ayo kita pulang.” Ujar ibu sambil tersenyum. Senja perlahan menuntun perjalanan ibu dan anaknya menuju rumah. Rumah yang sederhana, tetapi cukup bernilai buat ibu dan Citra. “Bu, hanya iniyang selalu mengingatkan Citra kepada Ayah.” “Iya Citra, ini adalah kenangan dari Ayahmu. Tetapi masih ada satu hadiahyang ditinggalkan oleh Ayahmu kepada ibu.” Ujar ibu sambil tersenyum sedih. “Wah.... Hadiah apa itu bu? kenapa Citra belum tahu.” Dengan ekspresipenasaran. Ibu tersenyum dan menjawab “Kamu Citra, adalah hadiah terindah yang Ayahmu tinggalkan untuk ibu.” Citra terdiam, menunduk dan menangis. “Andai sahaja Ayah masih bersama kita, pastikan akan lebih berwarnakan buk.” Ucap Citra sambil tersedu-sedu. Ibu memeluk mencoba menenangkan anak gadisnya. Suasana diselebungi kerinduanyang tanpa penghujung, lalu ditelan senja waktu itu. Waktu berlalu tanpa pamrih, kini sudah waktunya para siswa mencabut gelar 3 tahunnya itu.


Begitu juga Citra. Ada yang berbeda dari hati kecilnya, melihatfoto wisuda teman-temannya yang sepertinya lebih lengkap dari dirinya. Tetapi Citra menguatkan hati untuk tetap tabah dengan takdirnya. Setelah kelulusan SMA, Sebagai wajarnya setiap siswa itu menunggu keputusan untuk melanjutkan ke Pendidikan Tinggi Negeri dalam kata lain menunggu gelar “Mahasiswa”, tetapi itu tidak pada Citra. Ternyata setelah keluar pengumuman dia dinyatakan tidak lulusSNBP(Seleksi Nasional Berbasis Prestasi). Namun dia tidak menyerah, dilanjutkan dengan mengikuti beberapa test masuk ke Perguruan Tinggi Negeri. Tetapi entah mengapa, masih sahaja dengan hasil yang sama. Citra mulai tertekan. Dia merasa sedih akan ibunya yang sering diperkatakan oleh tetangga. Citra juga sering diberitahu untuk menghentikan niat untuk kuliah dan membantu ibunya menjual kuih sahaja. Tetapi, ibu tidak pernah berhenti menyemangati anaknya untuk tetap semangat karena, pasti selalu ada jalan untukorang yang ingin menuntut ilmu. Suatu hari disore yang sedikit mendung, ada yang mengetuk pintu dan memberi salam beberapa kali dengan tergesa-gesa sembari memanggil Citra,“ Citra! Citra! Citra!”Citra yang baru selesai melaksakan sholat asar, bergegas dengan mukenanya menuju pintu. “Sebentar ya.” Ucap Citra kebingungan. Citra dengan pantas menjawab salam dan membuka pintu. Citra terkejut karenayang mendatangi rumahnya di sore hari itu adalah Bu Sri Tya yang merupakan walikelasnya. “Alhamdulillah.... Citra maaf ya, ibu menganggu waktumu.” Ujar guru itu. “Tidak apa-apa bu, silahkan masuk bu Tya.” Ucap Citra. “Apakah ibumu sedang dirumah Citra?” Tanya guru itu. “Tidak bu Tya, ibu masih berjualan kuih di pasar.” Jawab Citra.


“Baiklah, maaf ibu tidak bisa menunggu ibumu. Ibu izin menyampaikan sebuah informasi dari instagram beasiswa luar negeri yang menurut ibu bisa menjadi peluang terbaik buat kamu. Ibu kenal kamu dengan baik Citra, kamu anak yang pintar dan kritis. Nilaimu juga sangat bagus.” Puji buk guru dengan semangat. Citra tersenyum malu dan berkata. “Terima kasih bu Tya.” “Ibu ingin menawarkan kamu sebuah beasiswa untuk melanjutkan Pendidikan Tinggi di luar negeri, ini sangat bermanfaat. Ibu yakin kamu bisa berkembang baik menjadi orang sukses yang nantinya bisa membangun pendesaanini Citra.” Ucap ibu guru dengan yakin. Citra terlihat bahagia, tetapi seketika ia mengingat bahwa ibunya hanya mempunyaidia sebagai teman hidup. Citra menunduk dan terdiam. “Bagaimana Citra, apakah kamu mahu mengikuti beasiswa ini?” Tanya Bu Tya dengan lembut. “Bu, Citra tidak yakin bisa lulus. Karena seleksi dalam negeri sahaja Citra tidak lulus bagaimana dengan yang peringkatnya internasional?” Jawab Citra datar. “Rezeki itu sudah pasti alamatnya Citra, bisa jadi ini adalah rezekimu yangdalam proses pengiriman.” Ujar guru itu. Citra tersenyum dan berkata,


“Terima Kasih bu, sudah jauh-jauh datang membawakan informasi ini. Citra akan bicarakan dulu ke ibunya Citra, untuk kelanjutan akan Citra informasi ke Ibu Tya lagi.” Ucap Citra. “Baiklah Citra, dibicarakan baik-baik ke ibumu ya. Semoga ini menjadipeluang terbaikmu.” Ujar Bu Tya. “Iya Buk.” Jawab singkat dari Citra.“ Ibu izin mengirimkan informasi beasiswa dan syaratnya ke Whatsapp Citraya. Disitu ada pranala yang akan menjelaskan tata cara pendaftaran, dan ibu izin mengingatkan bahwa besok siang adalah batas waktu pendaftaranya ya Citra. Ibu mohon kamu mempertimbangkan dengan sebaik mungkin ya.” Ujar guru itu dengan serius. Citra menganguk dan tersenyum, kemudian guru itu pamit dan pulang.Tinggallah Citra dengan perasaan yang bercampur gembira dan sedih memikirkan nasihat gurunya juga mengingat akan ibunya pasti akan bersendirian jika Citra memutuskan untuk ke luar Negeri. Kebingungan yang terus menyelimuti mindanya, Citra terlalu keliru sehingga berhenti untuk memikirkan beasiswa itu dan berdiri menuju ke dapur untuk mempersiapkan makan malam karena hari sudah menjelangmaghrib. Malam yang penuh tandanya, ibu baru saja pulang dari pasar menjual kuih. Ibu menoleh ke kiri dan ke kanan sembari membari salam dan memanggil anaknya. “Assalammu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh. Citra, ibu sudah pulang.” “Wa’alaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh ibu,” Jawab Citra sambil berjalan kearah ibunya. Dia menyalami ibunya, tetapi kali ini sedikit berbeda karenajedanya sangat lama. Sehingga menyentuh kepala Citra sembari berkata,


“Citra,kamu kenapa nak. Apakah ada masalah yang menganggumu?” Tanya ibu dengan serius. “Tidak Bu, Citra baik-baik sahaja. Ayo bu, kita makan bersama Citra sudahmemasak makanan kesukaan ibu.” “Alhamdulillah, ya sudah kalau begitu, ibu mandi dulu ya. Citra siapkan sahajadulu masakannya.” Ujar ibu. “Baik Bu.” Jawab Citra. Suasana terasa sedikit redup, seolah rumah itu hanya diterangi dua lilin yang sejajar posisinya. Ibu dan anaknya makan dengan tenang tanpa membahas keseharian mereka, mungkin saking redupnya suasana itu sehingga mereka merasa seperti sendiri tanpa teman bicara. Setelah selesai makan, Citra mengemaskan semuanya ke dapur. Ibu duduk bersila sambil melipat pakaian yang berada dibakul hijau itu. Citra yang telah selesai mengemas itu, berjalan kearah ibu yang sedang melipat kain dan duduk lalu membantu ibu. Citra seolah-olah ingin mengatakan sesuatu tetapi ragu. Ibu sadar atas kelakuan anaknya yang terlihat sedikit aneh daribiasanya. “Bicara sahaja Citra, akan ibu dengarkan.” Ujar ibu sembari tersenyum. “Hehehehe... Ibu sepertinya tahu Citra mahu mengatakan sesuatu.” Jawab Citrasambil tersenyum. “Bu tadi sore, rumah kita kedatangan Ibu Sri Tya.” Ujar Citra.


“Bu Tya, wakil kelas waktu SMA itu?” Tanya ibu.“Iya Bu, benar.” Jawab Citra. “Ibu Tya menyampaikan apa Citra, jauh-jauh ke rumah?” Tanya ibu. “Ibu Tya menyampaikan bahwa ada tawaran beasiswa untuk melanjutkanPendidikan Tinggi ke luar negeri bu.” Jawab Citra. “Maa Shaa Allah, Citra ini rezekimu nak. Kamu sudah mendaftarkan diri, kapanbatas waktu pendaftarannya?” Tanya ibu dengan semangat. “Batas akhirnya besok siang bu.” Jawab Citra. “Kalau begitu ayo sekarang kamu daftar malam ini juga ya, cepat ambil laptopmu Citra.” Ujar ibu dengan tegas. “Tetapi Bu,” sangkal Citra. “Sudah tidak usah lama-lama, ayo kamu daftar sekarang ibu mahu lihat prosesnya. Siapa tahu ibu juga bisa daftar” Ujar ibu sambil bercanda. Malam itu mulai cerah seolah sudah pagi, senyum dan semangat ibu dan anaknya menghiasi suasana rumah sederhana itu. Sebulan sudah berlalu, tetapi yang tidak dapat dihindari adalah cibiran dari tetangga yang terus mengetuk telinga Citra dan ibunya. “Negeri sahaja tidak lolos, bagaimana dengan luar negeri!”,


“Memangnya program studi Sastra Bahasa Indonesia ada diluar negeri?”, “Memangnya bisa dapat kerja?”, Angan-anganya tinggi sekali, jangan sampai jatuh nanti sakit loh!”. Begitulah cibiran yang diterima Citra dan ibunya. Tetapi itu seolah-olah menjadi penyemangat bagi Citra, dia bertambah yakin akan lulus dan kuliah S1 Sastra Bahasa Indonesia di luar negeri. “Aku yakin dan aku pasti akan pulang dengan kesuksesan untuk ibu dan desaku. ”Bisik Citra didalam hati.Tibalah saat yang dinantikan, Citra dan ibunya. Ibu dan anaknya dengan semangatduduk dihadapan laptop, dengan semangat melihat gerakan kursor yang kemudian menggerakkan anak panah ke sebuah dokumen dengan judul “Daftar Peserta DidikPenerima Beasiswa Penuh S1 Luar Negeri” dengan gugup Citra mengetik, dan tetapdiangka urut kesatu terlihat nama Citra yang jelas. “Bu! Bu! Bu! itu namanya Citra bu.” Ucap Citra dengan gugup. “Alhamdulillah, iya nak. Benar, nak itu namamu.” Tepat diwaktu itu ibu dan anakitu saling berpelukan adan menangis. Hari berlalu tanpa jeda, kini sudah waktunya seorang ibu melepaskan anaknya untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Hankuk University of Foreign Studies, berlokasi di Seoul, Korea Selatan akan menjadi rumah kedua buat Citra yang akan melanjutkan kuliahnya. Kelihatan beberapa kerumunan disekitar bandara, tetapi suasana terlihat lebih sedih ketika Citra tidak ingin melepas pelukan ibunya.


“Citra sudah ya nak, kamu harus kuat. Kamu harus membuktikan yang dikatakan orang tentang kita itu tidak benar maka sekarang saatnya ya nak.” Ucapibu dengan semangat. Citra tidak mampu mengucapkan sepatah katamu pun, diahanya terdiam sambil memeluk ibunya. Akhirnya, Citra melepas dakapan ibunyadan melontarkan senyum sambil berkata, “Bu, 3,5 tahun sahaja buk, tunggu ya. Putrimu akan pulang.” Ucapnya sambil menangis. Citra terus berjalan sambil menarik tas dan bagasi kearah pintu masuk untuk menuju ruang tunggu penerbangan.Waktu berlalu tanpa menyapa, ibu dan anaknya yang saling merindukan itu berkomunikasi dengan panggilan video, media sosial sehingga tidak terasa jarakdiantara mereka. Citra memanfaatkan semua peluang yang ia miliki, dia sering mendapatkan nominasi mahasiswa berprestasi dan aktif. Dan akhirnya dia lulus dengan waktu yang ia janjikan kepada ibu tersayang yaitu 3,5 tahun dengan penghargaan Summa Cum Laude. Berkat kinerja yang baik selama kuliah Citra terus mendapatkan tawaran kerja disebuah perusahaan penerbitan yang terkenal di Korea Selatan. Citra juga telah membangun kerjasama dengan beberapa pihak dari berbagai bidang pendidikan yang kemudian menyediakan beasiswa bagi siswa yang memiliki niat untuk ke luar negeri, layaknya mimpi Citra dulu yang kini menjadi realiti. Citra sudah sangat sukses di usianya yang terbilang masih muda, tetapi itu tidak mengubahnya untuk tetap menjadi Citra yang penuh kesopanan dan rendah hati. Setelah selesai kuliahnya, Citra meminta izin untuk pulang ke negeri tercintanya Indonesia. Citra kembali ke desa Bugisan, Klaten, Jawa Tengah yang menjadi tempat awal dia membangun angan-angannya. Citra bisa menahan rasa rindu dan gembira untuk bertemu ibu tercinta. Ibu melihat anaknya berlari keluardari bandara yang membuat mengingat bagaimana Citra berlari kearah pada senja itu. Berpelukan adalah komunikasi terbaik saat itu, karena beratnya rindu yang disimpan selama ini. Citra dan ibu pulang kedesa yang dimana sudah begitu ramai tentangga yang berkumpul didepan rumah mereka menyambut Citra dengan girang. Ada yang memuji sambil menangis, ada juga yang berdoa


semoga anaknya seperti Citra dan ada tidak henti-henti terkagum pada Citra. Citra hanya mengucapkan Alhamdulillah, dan berterima kasih. “Terima kasih ya Allah SWT. ucapan yang menyakitkan dulu telah berubahmenjadi pujian dan rasa kagum. Sungguh Engkau Pemilik Segala Kesempurnaan.” Bisik Citra dengan rasa syukur. Itulah Citra seorang gadis dengan penuh rasa rendah hati dan sering bersyukur. Hidup bukan tentang bagaimana ketika menghadapinya, tetapi bagaimana kita sabar dan bersyukur dalam menerima segala bentuk situasi dan takdir yang terjadi di setiap perjalanan yang kita alami. Oleh karena itu, tetap semangat karena bisa jadip intu itu sudah terbuka dan kita sedang menuju puncak kejayaan. TAMAT.


Alinea dan Aksara (Mega Anindyawati) Permintaan Alinea untuk kuliah di luar negeri tak serta merta disanggupi oleh Prayoga. Ia sangsi Alinea akan serius belajar. Setelah kepergian mendiang istrinya, Prayoga baru menyadari bahwa anak semata wayangnya itu kelewat manja. Prayoga pun mengajukan syarat pada Alineaj ika gadis itu ingin kuliah di luar negeri. Alinea harus belajar mencintai ilmu pengetahuan. Prayoga pun menantang Alinea untuk membuka perpustakaan. Alinea mendapat fasilitas tempat berupa kafe Prayoga yang sudahlama gulung tikar. Prayoga juga mengizinkan asisten rumah tangga, sopir atau pegawainya untuk membantu Alinea di hari libur atau saat mereka sudah menyelesaikan pekerjaan masingmasing. Akan tetapi, Alinea juga harusturun tangan, tidak hanya main tunjuk. Alinea memutar otak. Ia butuh bantuan. Namun rasanya seperti memasukkan unta ke dalam lubang jarum kalau ia meminta gengnya untuk turun tangan. Alinea pun menghubungi Aksara, kawan lamanya yang hobi membaca. Setelah mendengar bahwa papa Alinea punya banyak koleksi buku Anne Brixen, Aksara setuju untuk membantu. Mereka pun janjian bertemu di hari libur pada jam 9 pagi. “Alinea, ya?” sapa seorang pemuda bermata bening. Alinea mengernyitkan kening, berusaha mengingat-ingat apa ia mengenal sosok asing di depannya. Namun, hasilnya nihil. “Siapa, ya?” “Aksara.” “Aksara!” seru Alinea takjub. Seingat Alinea, Aksara yang dulu adalah sosok nerd, berkacamata ,dan cupu. Tapi, Aksara yang sekarang benar-benar berbeda. Tak ada lagi kacamata dan


gaya berpakaian kuno. Ia mengenakan kaus lengan pendek berwarna putih, celana jeans, dan sepatu kets hitam. Rambutnya dipotong model terkini dan diberi pomade. Wangi musk menguar dari tubuhnya. “Lo beneran Aksara? Aksara yang dulu pakai kacamata itu, kan?” Alinea kembali bertanya untuk memastikan. Aksara mengangguk singkat. “Aku pakai kontak lens sekarang.” Alinea manggut-manggut. ”Kamu bisa kasih apa kalo aku berhasil bantuin kamu bikin perpustakaan?” todong Aksara tanpa basa-basi. “Apa aja yang lo mau, tapi jangan minta yang aneh-aneh, ya. Awaslo!” “Oke, aku pegang janji kamu. Sekarang, kamu harus tanda tangan disini.” Aksara mengeluarkan sebuah kertas berisi surat perjanjian bermaterai. “What?!” Alinea mendelik. “Tenang aja, aku nggak akan minta yang aneh-aneh. Udah aku tulis di sini.” Aksara menunjuk satu pasal tentang kewajiban pihak pertama. “Resmi banget, sih. Udah kayak kontrak. Gue jadi takut lo tuntutntar.” Alinea menolak.


”Kalau kamu nggak mau, nggak papa.” Aksara hendak berlalu. “Oke, oke, gue baca dulu.” Alinea meminta kembali kertas perjanjian yang sudah ditandatangani Aksara. Setelah lima menit, ia membubuhkan tanda tangannya. “Ini, ya, tempat yang mau dijadiin perpus.” Aksara berjalan mendahului Alinea. Alinea mengekor masuk ke dalam kafe. Beberapa orang sudah sibuk membersihkan ruangan. Alinea mengambil sapu dan kemoceng lantas menyerahkan kemoceng pada Aksara. “Apaan nih?” “Ya lo bantuin lah.” “Ogah. Aku kan udah bilang kalo mau bantu bikin konsepnya aja. ”Aksara mengambil sebuah buku dari kardus dan mulai membaca. “Iih, nyebelin banget nih anak. Kalo aja gue nggak butuh sama lo,udah gue bejek-bejek!” batin Alinea sembari melayangkan tatapan menusukpada Aksara. Merasa diperhatikan, Aksara mengangkat kepalanya dari buku yang sedang ditekuninya. “Kenapa kamu?”


“Nggak, nggak papa. Ya udah, aku bersihin dulu, ya. Ntar kalau udah,kita bikin konsepnya.” “Jadi gimana nih?” tanya Alinea setelah beberapa jam yang melelahkan. Gadis itu merebahkan punggungnya ke sandaran kursi dan meneguk air mineral hingga separuh. Aksara sudah menamatkan dua judul buku. Ia meregangkan kepalanya ke kanan dan kiri. “Sebelum buku-buku ini ditata di rak, kamu harus bikin identitas bukunya. Labelin semuanya. Trus kamu juga harus bikin kartu peminjaman buku.” Mulut Alinea terbuka beberapa senti. Baru selesai satu pekerjaan, pekerjaan lain telah menunggu. Lelahnya saja belum hilang. “Cara ngelabelinnya gimana?” “Bikin kertas kecil-kecil. Isinya ada nama perpustakaan, nomor klasifikasi, nama pengarang, dan judul. ”Alinea meletakkan jari-jarinya di dagu. “Nama perpustakaannya abelum ada. Apa, ya, enaknya .... Perpustakaan Prayoga? Rumah BacaPrayoga? Cahaya Ilmu? Jendela Dunia?” “Terserah kamu aja,” sahut Aksara cuek.


“Bantuin mikir kek. Ngonsep juga termasuk mikir.” “Alinea Pertama,” celetuk Aksara asal. “Aneh banget namanya.” “Ya itu kan nama kamu.” “Hmm, ya udah deh itu aja. Gue udah nggak bisa mikir.” Alinea melemparkan tubuhnya yang seolah remuk ke atas sofa. *** Prayoga mengecek perkembangan Alinea dalam menjalankan tugas. Perpustakaan yang sudah lama diimpikan bersama istrinya perlahan mulai terwujud. Namun, Prayoga masih belum merasa puas karena perpustakaan itu masih sepi pengunjung. Alinea memutar bola matanya sebal saat mengetahui kalau ia juga harus membuat perpustakaan itu ramai. Ia pikir tugasnya sudah selesai, ternyata ini baru permulaan. “Jadi gimana, nih? Gue udah mumet,” keluh Alinea begitu Aksara tiba.


Hari itu Aksara memakai kaus bergaris yang dipadu dengan jas dan celana panjang hitam. Aroma parfumnya menggelitik sel-sel syaraf di hidungAlinea. “Apanya?” “Bokap minta gue buat datengin pengunjung ke sini.” “Gampang itu. Kamu bikin aja pelatihan atau lomba apa gitu buat narik pengunjung. Bisa juga ngasih hadiah buat yang aktif minjem buku.” “Oh, ya, ya. Kenapa gue nggak kepikiran.” “Karena pikiran kamu isinya cuma hang out sama shopping.” “Ugh, nyebelin banget sih lo!” Aksara menyembunyikan senyumnya di balik punggung Alinea. Dan dimulailah hari-hari panjang Alinea untuk mempromosikan perpustakaan barunya. Membuat beberapa program untuk menarik pengunjung. Dari menyebarkan brosur hingga mengunggah informasinya ke media sosial. Memang ada satu dua yang mampir, tapi itu belum cukup untuk Prayoga. “Perpustakaan masih baru ya maklumlah, Pa. Belum banyak yangtahu.” “Ini udah sebulan loh.” “Ya kan Alinea udah berusaha bikin program buat narik pengunjung.”


“Tapi hasilnya mana?” “Ada beberapa orang yang dateng, baca, dan pinjem kok.” Alinea berusaha membela diri. “Papa maunya perpustakaan ini ramai, memberi banyak manfaatuntuk orang-orang.” Alinea mengembuskan napas berat. Prayoga meliriknya dari balikkacamata. Ia sengaja melakukan itu untuk menguji seberapa tangguhgadisnya bertahan. “Aksara, tolongin gue napa. Kasih ide lain yang lebih brilian gitu buatnarik pengunjung.” Alinea memijat pelipis kanan dan kirinya yang belakangsering berdenyut nyeri. “Ini kan tugas dari papa kamu, harusnya kamu ikut mikir.” Aksara asyik menyusuri rak yang berisi karya sastra. “Lha, kok jadi kebalik, lo yang nyuruh-nyuruh gue! Lo kan di sini di bayar buat bantuin gue.” “Dibayar apaan! Nerima satu rupiah aja enggak!” “Ntar kalau berhasil, lo kan bisa dapetin juga apa yang lo mau.”


“Makanya pakai otaknya juga, dong. Katanya pengen kuliah di luarnegeri,” sindir Aksara. “Lo tuh ya, bener-bener!” Alinea mengepalkan telapak tangannyageram. “Gue kira dulu lo tuh pendiem gitu, tapi ternyata mulut lo lebih parahdari golok.” Angkasa membuka kedua telapak tangannya, tanda tak acuh. “Coba kamu baca buku-buku ini. Kali aja dapet inspirasi. ”Sebenarnya Alinea malas menyentuh buku-buku itu, tapi bulanpendaftaran kuliah sudah semakin dekat. Mau tak mau, Alinea mengambil sebuah buku pengembangan diri karya Anne Brixen, buku yang sering dibaca dan menjadi favorit papanya. Alinea mulai menyusuri lembar demi lembar buku tersebut. “Gue punya ide!” Teriakan Alinea membuat Aksara hampir menjatuhkan bukunya. Aksara menghampiri Alinea. “Apa?” “Kita buat perpustakaan plus kafe.” “Udah biasa. Udah ada yang bikin juga.”


“Nggak, ini bukan kafe aja tapi plus tempat nonton.” “Ada tempat shopping sama perawatannya juga?” Alinea mendelik, membuat Aksara mengulum senyum. Baru kali ini Alinea melihat senyum pemuda itu. Ternyata kalausenyum manis juga. Aksara menaikturunkan telapak tangannya di depan wajah Alinea. “Hei, malah ngelamun. Terpesona, ya, sama aku?” “Idih, ge-er!” Alinea membuang muka. “Emang kamu dapet inspirasi dari mana?” “Anne Brixen. Katanya gini, hal-hal kecil yang kau anggap remeh bisa berarti banyak untuk orang lain saat kau bisa melihat dengan mata orang lain, mendengar dengan telinga orang lain, dan merasakan dengan hati oran glain.” “Trus ide kamu apa?” “Intinya gini. Kita bikin perpustakaan ini tempat yang nyaman buat semua orang. Kita buat pelatihan menjahit dan bikin kerajinan yang bisa dijual untuk ibu-ibu. Kita hadirkan pendongeng untuk anak-anak. Kita puterin film buat remaja. Trus kita buat seminar usaha minim modal kayak pre-order baju sampai droship usaha gitu.”


“Aku pikir, kamu cuma anak manja yang kerjanya ngerepotin orangtua. Ternyata jalan juga otaknya.” “Lo mau muji apa jatohin gue, sih! Emangnya gue gue sebego itu apa!” “Emang kalau nggak bego, kenapa bisa kamu sampai hampir ngga klulus?” “Gue nggak mau aja. Kalau gue mau, gue pasti bisa kok. Eh, tapi tunggu dulu, kenapa lo bisa tau kalau gue hampir nggak lulus? Gue kan nggak pernah cerita. Lo kepoin gue, ya.” Alinea mengacungkan telunjuknya ke arah Angkasa. Aksara membalikkan tubuhnya dan mundur beberapa langkah. Iaberusaha mengontrol aliran darahnya yang tiba-tiba berdesir saat Alinea mendekat ke arahnya dan hanya menyisakan jarak kurang dari satu meter. Proyek Alinea yang kedua pun dimulai. Tidak seperti program pertamanya yang hanya menghasilkan segelintir pengunjung, proyeknya kali ini terbilang sukses. Anak-anak, remaja, dan orang dewasa berbondong-bondong datang ke perpustakaan “Alinea Pertama” karena mereka mendapatkan apa yang mereka butuhkan. “Papa bangga sama kamu, Lin. Kamu memang layak kuliah ke luar negeri.” Prayoga menepuk-nepuk pundak Alinea. “Tapi sekarang Alinea nggak lagi pengen kuliah di luar negeri. Alinea kuliah di Indonesia aja, Pa. Sisa uangnya bisa dipakai buat bantu anak-anak yang nggak bisa sekolah.” Prayoga meraih kedua bahu Alinea dan menatap manik matanya dalam. “Kamu yakin?”Alinea mengangguk mantap.


“Yakin banget, Pa.” “Kamu hebat. Kamu udah banyak berubah sekarang.” “Ini karena buku-buku Anne Brixen. Tapi, yang Alinea heran, adasatu novelnya yang mirip banget sama kisah cinta papa dan mama.” Papa menyunggingkan seulas senyum. “Kamu tau Anne Brixen itusiapa?” Alinea menggeleng. Prayoga menunjukkan foto seorang wanita cantik yang tengahberpose bersama setumpuk buku dan beberapa orang fans. Di belakangmereka terdapat banner bertuliskan “Peluncuran Buku Anne Brixen.” “Mama?” Alinea menutup mulut tak percaya. “Iya. Anastasia pasti bangga sama kamu.” Prayoga mengusap-usapkepala Alinea lembut. “Perpustakaan ini kan udah sukses. Kamu harus penuhin janji kamu,” todong Aksara setelah Prayoga berlalu. “Lo mau apa?”Aksara tampak ragu. “Sebenernya aku ... Dari dulu aku—"


“Yang jelas ngomongnya,” sela Alinea tak sabar. “Aku suka sama ....” Aksara memilih jemari. Ia tak kuasamelanjutkan ucapannya. Jantung Alinea tiba-tiba berdegup tak beraturan. “Anne Brixen.” “Hah?” “Sebenernya aku nggak enak ngomong sama kamu. Aku takut kamu jdi sedih atau apa. Tapi, boleh nggak minta foto dan buku-buku yang adat anda tangan Anne Brixen? Aku udah lama ngefans banget sama dia.”


Happines Over Trauma (Putri Salsabilla) PROLOG TEGAL , 1 APRIL 2007 Di tengah guyuran derasnya hujan dan kerasnya sambaran petir. Seorang gadis berusaha meredam suara kekacauan yang sedang ia rasakan malam ini. Isakan tangisnya bercampur menjadi satu dengan suara hujan, petir, dan beberapa kali suara jeritan dari luar ruangan yang gelap ini. Hatinya semakin sakit mendengar semua itu. Kapankah ini semua akan berakhir? Sudah hampir tiga bulan hidupnya selalu diisi dengan tangisan pilunya. Di sudut ruangan yang berukur 5x5, seorang gadis duduk dengan tatapan kosong dan tak tau tujuan. Dengan pencahayaan yang sangat minim, gadis itu tersenyum simpul yang hadir menghiasi wajah murung nya. Ia berfikir jika waktu terus berjalan seperti ini, ia merasa bahwa ia adalah seorang gadis yang tidak punya tujuan hidup, tiada guna untuk kehidupan selanjut nya dan ia tak mau dianggap lemah oleh kehidupan yang mungkin membutuhkan nyaJadi ia meyakinkan hati dan tekadnya untuk bangkit dari semua masalah yang ia hadapi saat ini dan harus mengubah nya demi masa depan. Ia tak butuh seseorang untuk mendukung hal ini, karena tokoh pendukung dalam hidupnya kini sudah lama menghilang di telan realita yang membuat nya trauma dengan masa-masa yang seharusnya ia mendapat kan kebahagiaaan hangat nya keluarga tapi malah yang ia dapatkan sebalik nya.


“Happy birthday to me, happy birthday to me, happy birthday, happybirthday, happy birthday to me” nyanyian singkat di tengah kesedihannya. Ya... Ini seharusnya hari kebahagiaannya, dimana seharusnya hari ini diisi dengansenyuman kebahagiaan, tapi hari ini, di hari spesialnya ini, hanya diisi dengan kesunyian serta isak tangis yang membuat hatinya merintih kesakitan. Disini, dimana ia di lahirhan ke dunia ini. Yang seharusnya ia dapatkan dengan kehangatan, kebahagiaan, dan keharmonisan yang abadi. Tetapibelakangan ini tuhan sedang memberikan ia cobaan yang menurutnya pahit untukia lewati terus dalam kehidupan. Seandainya, diberi pilihan untuk memilih dilahirkan dengan ketulusan hati tapi retaknya sebuah hal yang berarti atau tidak perlu dilahirkan sama sekali ke dunia ini jika akhir nya keadaan bisa menjadi tenang terkendali. Gadis itu pasti memilih opsi yang kedua, karena mungkin kalauia tidak ada di sini mungkin semuanya akan baik-baik saja bukan?. Ini adalah tulisan kehidupan singkat dari gadis malang yang rela bertahandi tengan hancurnya keadaan demi indah nya sebuah masa depan. Gadis malangitu adalah Clarisa Kaliviona Sagara. Derap langkah yang begitu nyaring didengar saat menuruni langkah demilangkah anak tangga. Dengan senyum cerianya dan riangnya suasana di pagi hariini, semua mata di ruang makan menatapnya dengan tatapan kebahagiaan, seolah– olah melupakan kejadian yang sedang terjadi dan seolaholah tidak terjadi apa-apa dengan keadaan yang bisa di bilang rumit ini. “Sayang... sini duduk di samping Mama... Sarapan dulu sebelum berangkat ke sekolah yah” suara lembut Mama yang menyapanya di pagi hari ini. Raut wajah yang menampakan kebahagiaan kepada sang buah hati di hadapannya. Namun sebenarnya pikiran dan hatinya saat ini sedang berperang dingindengan kenyataan. “Mau makan nasi atau roti?” tanya Mama dengan sangat lembut. “Mau ROTI!!!! Pakai selai STRAWBERRY!!!!!!” jawab ku ceria.


“Siap cantik nya Mama”Mama membuatkanku roti selai strawberry yang sangat aku sukai. Bagiku tidak ada roti yang enak selain roti buatan Mama. Di ruang makan hanya ada aku, Mama, dan mas Vino, kakak laki-lakiku. Aku mengedarkan pandanganku mencari keberadaan Papa yang pagi ini tak hadir bersama di meja makan. “Papa mana Mah?” tanyaku sembari mengunyah roti strawberry milik ku. Mama menatap ku. “ohh..tadi Papa udah berangkat duluan. Nanti Ona berangkat sekolahnya bareng mas aja yah sayang” jelas Mama. “oh..” Jawabku singkat. Suasana di meja makan semakin hening setelah jawabanku tadi. Keadaan yang hanya dilatari dengan dentingan sendok yang bersentuhan dengan piring. Jam tanganku menunjukan pukul 06.30 setengah jam lagi pukul 07.00. Aku segera menyelesaikan sarapanku pagi ini dan ditutup dengan meminum susu yangsudah disiapkan Mama tadi. “Mas ayo berangkat” ucapku pada kakakku. Lalu aku beranjak dari kursi menuju posisi Mama, kemudian meraih tangan Mama dan aku mencium punggung tangannya. Mama juga mencium keningku. “Belajar yang rajin yah sayang, buat Mama bangga okee?”


“oke ... dadah Mama.” Ucapku sambil melambaikan tangan kepada Mama. “Dadahhh sayang...” Aku berlari ceria keluar rumah menuju garasi di susul mas Vino dibelakang ku. Hari ini mas mengantar ku menggunakan mobil milik Mama untuk ke sekolah. Di sekolah, sebenarnya Clarisa mempunyai teman cowok yang wataknya sangat random sekali, sampai Clarisa Lelah mengadapi teman nya itu. Awal Clarisa mengenal teman nya itu, disaat Clarisa menangis karena tas sekolahnyamenyangkut di atas pohon dan yang mengembalikan tas nya itu ternyata kakak kelas yang bernama David. “Apa aku boleh berteman denganmu Clarisa?” tanyanya takut-takut dansedikit malu kemudian Clarisa menggangguk dan tersenyum. Hari – hari berikutnya David selalu menemani Clarisa. Semakin lama pertemanan Clarisa dan David semakin erat. Sampai kedua orang tua David mengenali Clarisa tapi tidak untuk sebalik nya, Clarisa masih takut untuk mengenalkan David kepada orang tuanya. Sementara Clarisa diterima baik oleh keluarga David, bahkan Clarisa sudah dianggap sebagai putri kecilnya sendirioleh Sonia-Mama David. Karena tidak ada anak perempuan di keluarga Algaflen. Mungkin tuhan belum menghendakinya sehingga Sonia sangat senang bisabertemu dengan Clarisa. Setelah puas bermain di rumah David, Clarisa meminta izin untuk pulangkarena hari sudah semakin sore, takut kalau nanti Mamanya khawatir karenasemenjak pulang sekolah Clarisa belum pulang ke rumah. “Bunda Clarisa pulang dulu yah” Pamitku. Yah Sonia lah yang meminta Clarisa memanggil nya dengan sebutan bunda.


“Bunda antar yah sayang .. Ini udah sore takut kamu kenapa-napa pas jalanpulang,tunggu sebentar yah bunda ambil mobil di garasi sekalian bunda inginbertemu Mama kamu dulu, tunggu yah” Ujar bunda. Langit senja begitu indah di depan mata tapi sekejap hilang terganti dengan suara orang yang saling teriak – meneriaki di dalam rumah. Sementara mobil bunda Sonia sudah di depan rumah Clarisa. Bunda Sonia menatapku sebentar sembari bertanya. “Sebenarnya ada apa Clarisa?” Tanya bunda Sonia,aku hanya tersenyum. Aku menggeleng. “Nggak ada apa-apa bunda. Clarisa turun dulu yah bun makasih udah anterin Clarisa pulang” Pamit ku. Baru saja aku ingin menarik knop pintu tiba-tiba bunda menahan tangankudan memelukku secara tiba-tiba. Kini bunda memelukku sembari menangis,kemudian bunda melepaskan pelukannya, menatapku dengan senyumannya. “Bunda tahu kamu masih kecil dan nggak seharusnya merasakan hal yang seperti ini, bunda minta Clarisa jangan nangis yah, bunda tahu Clarisa itu anak yang kuat dan Clarisa jangan berfikir kalau dunia itu jahat dan nggak adil untukClarisa tentang keluarga, dunia itu sebenarnya baik tapi orang – orang yang salahmengganggap nya. Kalau Clarisa berfikir Mama Papa jahat itu salah, sebenarnyamereka sayang kepada Clarisa, sayang banget. Mungkin mereka ada masalah danlagi berusaha menyelesaikannya biar cantik nggak lihat Mama papah berantemlagi. Udah Clarisa jangan nangis lagi yah, putri cantik bunda harus kuat yahhh. Dahh sana masuk dan langsung lari ke kamar yah,tapi harus janji sama bundajangan nangis... janji?” Ucap Bunda Sonia.


Mata Clarisa sudah sembab lalu nggengangguk dan menautkan jarikelingking nya ke kelingking bunda Sonia. “Janjii” Enam tahun sudah. Saat Clarisa menduduki kelas VI, Vio-Mamanya meninggalkannya dan keluarganya. Di titik ini Clarisa dan Vino-kakaknya sangatterpukul. Bagi Clarisa saat itu adalah masa-masa kelamnya dimana Clarisa sangatkehilangan sesuatu yang paling berharga di dunia. Dari informasi yang beredar Vio-Mamanya di temukan tak sadarkan diri di kamar Clarisa sembari mendekap bingkai foto keluarga kecilnya. Pertama kali yang menyadarinya adalah Vinoyang ingin mengambil buku bacaan yang adiknya pinjam semalam. Saatmembuka pintu kamar adiknya, Vino terkejut melihat Mama nya sudah terbaringlemah di samping tempat tidur Clarisa. Dengan sigap Vino langsung membawa Mama nya ke rumah sakit. Tapi ternyata Vino terlambat, karena Vio dinyatakan sudah tak bernyawa sebelum Vino menemukannya. Di situ Vino merasa sangat terpukul, Vino langsung menelpon Papanya namun tak pernah terjawab, disitu Vino mulai membenci sang Papah. Sudah cukup dengan 6 tahun lalu yangmembuat nya dan Clarisa terpuruk. Satu minggu setelah kepergian Vio, Vino mengajak Clarisa pergi meninggalkan rumah nya. Awal nya Clarisa menolak karena banyak sekali kenangan di rumah ini yang ia lakukan bersama sang Mama, tapi Vino selalu mengingatkan, semakin lama di rumah ini, semakin susah kita untuk belajar mengikhlaskan. Akhirnya Clarisa pun mau mengikuti ajakan kakaknya. Jauh dari Tegal, Vino membawa Clarisa pergi meninggalkan kenanganlamanya dan mereka berdua sedang berusaha mengubur luka lama serta membuka lembaran baru. JAKARTA , 25 OKTOBER 2017 10 Tahun kemudian... Kini Clarisa sudah dewasa, banyak perubahan yang melekat pada diri nya. Mulaidari penampilan, perbuatan serta sikapnya. Penampilannya sudah sangat terlihatdewasa. Perbuatannya kini lebih cenderung rajin dan bicara hanya disaat pentingsaja. Soal sikap sejak kejadian 10 tahun yang lalu, Clarisa sikapnya sangatbertolak belakang dengan 10 tahun silam. Sekarang ia lebih pendiam, cuek, acuh– tak acuh, dan kini tatapannya tak seceria dulu.


“Hufttttt... Sabar Clarisaa..” Clarisa menghela nafas lelah dengan sikap sahabat kecilnya dulu. Ya... Dia David, sejak Clarisa dan kakaknya memutuskan untuk pergi dari rumah dan meninggalkan kota kelahirannya. Tanpa Clarisa tau ternyata David pun ikut meninggalkan kota itu dan sekarang malah menetap sebagai tetangga Clarisa. Saat Clarisa berjalan di koridor sekolah, tiba-tiba David menarik rambutnya yang di kuncir kuda. Sementara David hanya tersenyum smrik dan Clarisa sebenarnya kesal tapi ia tak peduli. David menyamakan langkahnya agar sama dengan langkah Clarisa. “Mau kemana?” Tanya David yang malah dapat lirikan sinis dari sang empu. Clarisa berhenti di depan ruangan yang bertulisan KEPSEK . Karena tadi dipanggil kepala sekolah untuk menemuinya di ruangannya. Tanpa menunggu Clarisa langsung memutar knop pintu sehingga menimbulkan suara deritan pintu. Semua pasang mata tertuju padanya, sementara David yang tak tau apa – apa pun langsung pergi dari sana, mungkin ini penting untuk Clarisa. “Silahkan duduk nak Clarisa” Pinta kepala sekolah. Clarisa pun hanyamenurut. sepertinya kepala sekolah ingin bicara serius. “Dua minggu lalu kamu mengikuti lomba matematika sains kan?” Tanya kepala sekolah dan di angguki Clarisa sebagai jawaban. ”Kabar baiknya kamu memenangkan lomba itu untuk ke sekian kali nya Clarisa!!! HEBAT bapak bangga banget sama kamu Clarisa.” Ucap kepala sekolah.


Sementara Clarisa hanya tersenyum, ternyata usahanya selama ini mengikuti lomba tidak sia – sia. Mah.. Bun.. Mas.. Clarisa berhasil lagii. Teriak Batinnya. Saat di parkiran, David sudah menunggu Clarisa untuk pulang bersama. David hanya menunggu Clarisa selama 10 menit saja, sebab Clarisa sudah menampakan batang hidung nya. “Tadi dipanggil kepsek disuruh ngapain?”tanya David sembari menyodorkan helm full face nya kepada Clarisa dan di terima oleh Clarisa. “Ohh biasa..” Jawabku sembari naik ke motor ninja milik David. “Menang lagi?” Clarisa tersenyum sembari menganggukan kepalanya bahagia. Ia sangatbersyukur, banyak banget pelajaran yang ia ambil dari masa lalu nya dulu, bahwa ia tidak perlu berlarut – larut dalam kesedihan dan keterpurukan. Tapi ia harus bangkit untuk kedepannya dan ia rasa ini sudah saat nya untuk melangkah lebih jauh berusaha untuk menggapai mimpi yang dulu hilang. 10 tahun lalu adalah tantangan kehidupan yang pahit untuk Clarisa bahkan ia hampir tumbang ditengah jalan. Dan sekarang ini sudah saatnya Clarisa mewujudkan mimpi –mimpinya.


Post It!


Click to View FlipBook Version