The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Alfathon Rameza, 2024-01-17 08:04:08

Cerpen 1

Cerpen 1

"Dosen ini lalu melambaikan tangannya ke bawah, menyuruhku untuk duduk, "Sudah-sudah. Silahkan duduk kembali." Aku duduk. Lalu dosen ini berjalan perlahan ke tengah kelas, "Putra, saya akan selalu ingat namamu dan jangan khawatir. Kamu sudah pasti mendapatkan A dalam kelas ini."Aku hanya bisa tersenyum tersanjung dan masih sedikit menunduk. "Putra, kamu sudah menjelaskan dirimu. Kamu paham sastra dengan baik dan kamu sudah hidup dengan sastra. Anugrah datang padamu dan kamu berhasil menjemputnya. Jarang saya menemukan orang seperti kamu. Jujur saja, saya juga terlambat mengenal orang-orang ini terutama Pramoedya. Dan ketika kamu menjelaskan itu. Saya teringat teman saya yang mirip denganmu. Seseorang yang hidup dengan gairah dan mimpi untuk suatu tujuan mulia. Saya ingin bilang padamu. Bahwa saya bisa pastikan, kamu akan mendapatkannya suatu saat nanti." Dia melihatku dengan tersenyum dengan giginya terlihat. Dia menghormatiku. Sepanjang kelas, aku dibakar semangat untuk kuliah. Sepanjang hari juga aku terpikir kejadian ini. Mungkin, aku akan ingat kejadian ini sampai aku mati. Obrolan ini adalah suatu keberuntungan untukku. Alur kejadian yang tidak dikiraini adalah pengalaman acak yang hadir dalam belangnya alasan aku ada di kampusini. Bagaimana cara dia berbicara dan menaruh hormat padaku adalah hal istimewa. Caranya elegan dan seperti Plato mengajari murid-muridnya. Merangsang kebijaksanaan dan meneteskan cara berpikir lebih tinggi. Di malam hari aku melanjutkan novelku sembari merokok. Bermain dengan setiapsilabel, menciptakan metafora yang belum pernah ada. Terus menerus kata itumengalir sampai kata itu menemukan bentuknya sendiri. Ketika aku menghisap rokokku kembali, pikiranku berhenti sebentar. Layar laptop yang begitu terang memusingkanku. Ketika aku melihat ke arah jendela dan menghisap rokokku. Akujadi kembali ingat mengapa aku bisa sampai di sini. Mengapa aku bisa menjadisegila ini dengan sastra.Tiga tahun lalu, buku “The History of Western Philosopy” aku temukan di perpustakaan kota. Beberapa halaman pertamanya sudah menyihirku masuk dalampikiran abstrak. Kebijaksanaan Yunani dan segala arah ilmu pengetahuan bergerakm elewati kepalaku berkali-kali. Sampai ini menjadi candu untuk mencari hal yangl ebih.


Buku-buku selanjutnya terus datang. Sosial politik, novel, dan segala hal mencerahkan diriku. Pramoedya, “Bumi Manusia”. Sarte, “Eksistensialisme adalah Humanisme”. Olenka oleh Budi Darma, dan semuanya datang di waktu bersamaan. Dua tahun lalu ketika aku kembali membaca Bumi Manusia kedua kalinya beserta semua catatan dan biografi Pram. Anugrah kembali datang padaku dengan lebih radikal. Inspirasi tentang roman dan sejarah Indonesia mengalir dalam diriku. Itu titik di mana aku memilih untuk menulis novel pertamaku. Aku menambahkan begitu banyak detail seperti bagaimana Pram menulis Bumi Manusia. Membawa sejarah dan kehidupan sederhana manusia menjadi sebuah kereta kecil untuk mengantar cerita yang besar. Ini masih aku kerjakan sampai saat ini dengan komitmen kuat. Sampai pada bulan lalu. Aku mendapat poster untuk festival sastra. Aku percaya, bahwa novel “Kematian Matahari” akan menjadi tempatnya. Sedari awal, aku sudah dimaki oleh orang tuaku. “Memilih sastra adalah mimpiburuk,” kata orang tuaku. Pengangguran dan tidak punya uang selalu ada dalambenak mereka sehingga takut menyerahkan pilihan padaku. Tapi aku begitu radikal sampai aku memaksa begitu keras untuk memasuki kehidupan abu-abu yang dinamakan seniman dan penulis.Walau ketika ini dimulai. Darah pesimis tentang kampus di tanah Pasundan inibegitu buruk. Tapi Prof. Azzan sudah membuktikan, bahwa memang tempatku disini dan sebuah keberuntungan aku masuk di kampus ini. Terlambat juga menjadi puncak keberuntunganku sehingga dia bisa mengungkapkan segala pencerahan kebijaksanaan padaku. Membakar gairah kembali untuk menulis perubahan. Aku sadar. Hal buruk yang terjadi dalam hidupku adalah anugerah dari alur Tuhan. Bagaimana dia menempatkan aku. Menyimpan aku di tanah Pasundan adalah bentuk kepedulian tinggi Tuhan padaku sebagai manusia rendahan. Sekarang, Sampailah padaku sekarang. Mengejar lomba dan festival. Menaiki tangga karirsatu per satu untuk mimpi yang aku mulai dua tahun lalu. Pembuktian bahwa aku mampu dan akan menjadi salah satu yang terbaik. Untuk mimpi lama menjadikan tulisanku dibaca banyak orang. Sama seperti bagaimana penulis-penulis sebelumnya datang padaku dengan mukzizat tulisan mereka padaku. Aku menghisap rokokku kembali ketika melihat bulan sempurna dari jendela. Menutup pikiran buruk bahwa hidupku adalah kesalahan. Bara rokok sudah mencapai ujungnya, aku mematikan rokokku di asbak dan mulai untuk menulis karya terbesarku kembali. Untuk sastra yang selalu aku idamkan.” Kematian Matahari” - Maha Putra Nanda Dewata.


Bermimpilah yang tinggi, ketika kau jatuh. Kau akan jatuh dalam kilauan bintang. Bintang itu pun akan menampungmu sebelum kamu jatuh ke tanah. Derajat mumasih tinggi dalam kejatuhan itu dan sebagai manusia, dirimu itu diuji untuk sampai pada bintang kedua kalinya yang lebih tinggi. Newton tidak langsung menemukan kalkulus beserta teori gravitasi. Indonesia tidak langsung merdeka dengan damai ketika proklamasi. Pramoedya harus diasingkan dan dipenjarasampai menulis Bumi Manusia. Mereka semua sampai pada titik tertingginyamelalui jatuh berkali-kali. Dihina, berdarah, memukul mimpi berkali-kali hinggabegitu tinggi. Sampai kejatuhan kesekian kalinya. Batas itu berhasil ditembus daritempaan dan komitmen mereka pada mimpi agung manusia. Semua hal yang agung dan tinggi. Tidak diciptakan dengan jalan yang mulus. Tidak dalam sekali tidur tercipta. Mereka yang mendapatkannya dengan mudah, akan kehilangan juga dengan mudah. Kemudian diujilah kamu. Betapa setia dan kuatnya iman terhadap mimpi untuk melawan itu semua. Alurnya sudah diciptakan oleh Tuhan untuk kebijaksanaan itu. Hanya kembali padamu. Apakah kamu mauuntuk mengambilnya?Aku masih di Tanah Pasundan, berada di antara bukit-bukit dan kampus sederhana. Mungkin tidak seindah Amerika atau Jepang. Namun aku sadar sekarang, bahwa ditempat ini lah perubahan dimulai. Aku memahami bahwa kebijaksanaan dapatditemukan di tempat yang paling tak terduga dan di mana saja. Aku mungkin belumseperti kakakku di Amerika atau sahabatku di Jepang, tapi aku telah membuatperubahan dengan kebijaksanaan dari tulisanku. Ini akan terus hidup kepada semua.


Pulih (Muhammad Faiq Akbar) Riuh tepuk tangan terdengar memenuhi atmosfer aula. Siang ini, di salah satu gedung, di ibukota ini, seorang wanita menyampaikan seminarnya.


“Ya, baiklah. Untuk yang terakhir. Yang terakhir, harap diperhatikan para pendengar yang saya hormati. Negeri kita ini, negeri Nusantara. Sebuah negeri yang terkenal dengan budayanya, keindahan alamnya. Namun sayangnya, saat ini negeri indah itu sudah diambang oleh kematian!” Para pendengar terhenyak kaget. Tetapi mata mereka masih betah menatap pemateri itu. Tak ada yang bergeming satu pun. “Ya! Saya katakan negeri diambang kematian! Mengapa demikian?!” Menunjuk ke arah layar, pemateri itu menggeser slide layar. “Tonggak negeri kita, adalah generasi muda sekarang. Merekalah, cikal bakal yang kelak akan meneruskan perjuangan, pembangunan, pemerintahan, dan segala aspek yang ada di negeri ini. “Tapi sayang. Sayang beribu sayang. Kita bisa menengok sendiri, bagaimana kondisi anak muda saat ini?! Bagaimana keadaan moral dan etika generasi muda masa kini?! Turun! Sangat drastis bahkan!!” Pemateri itu menggeser lagi ke slide berikutnya, “Sebagai contoh simpel, Saya ambil data statistik dari salah satu lembaga pemeriksa keuangan negara.” Klik!Slide berikutnya muncul, menampilkan data statistik milik badan keuangan.“ Berdasarkan data yang ada di hadapan anda sekalian ini, bisa kita lihat, data peminjaman uang yang ada. Dan mencengangkannya, peminjam dengan taraf usia 19 hingga 34 tahun, mempunyai porsi pinjaman sebesar 26,9 triliun rupiah!! Wow! Nilai yang begitu banyak tentunya.“


Tetapi sebentar, ada yang lebih mengejutkan. Anak-anak seusia sekolah menengah atas, SMA. Atau lebih dikenal dengan Generasi Z! Anak-anak yang mungkin masih di bawah usia 19 tahun, mempunyai saldo pinjaman mencapai 169 miliar rupiah!!“Dan tahukah Anda, dampak yang akan terjadi jika terus menerus begini? Maka secara perdata, mereka anak-anak muda ini akan mati secara perdata. Artinya, mereka tidak akan bisa mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan, karena masuk blacklist. “Yah, tentu ini hanya contoh kecil yang mungkin bisa kita ambil pelajaran. Atau juga yang tampak dalam keseharian kita! Soal etika dalam berbahasa.“ “Negeri kita ini, juga merosot sekali soal etika berbahasa. Bahkan, jika kita tanya hal-hal sederhana saja, banyak yang tidak tahu cara pemanggilan yang benar kepada yang lebih tua, kepada sesama, atau kepada yang lebih muda. Lantas bagaimana reaksi kita menanggapi persoalan demikian?Terlebih soal gagdet! Generasi akhir saat ini tidak bisa dipisahkan dari satu perangkat ini. Yaitu gadget.“ “Dalam ranah berkomunikasi, gadget membuat generasi muda semakin mudah dan luas dalam mengakses sesuatu. Teman obrolan mereka pun berbagai macam. Termasuk dari luar negeri. Maka kemudian hal itulah yang membuat seseorang menjadi malas, atau bosan menggunakan bahasa nasionalnya. Sampai-sampai, ada bahasa gaul yang mereka ciptakan. Dan tak perlu saya sebutkan di sini, karena tentu kalian sudah mengerti.“ “Saya pun yakin, semua yang hadir di sini, tidak ada yang tidak berkaitan dengan gadget. Baik ponsel, maupun laptop. Benar bukan?” Para pendengar mengangguk-angguk setuju. Beberapa ada yang justru mengangkatnya, mengambil jepret-jepret foto. Pemateri itu berhenti sejenak. Duduk di kursi, meraih botol minumnya, meneguknya. Kemudian kembali berdiri.


“Baiklah. Akhir kata, semoga apa yang hari ini kita sama-sama belajar bisa membawa kebaikan untuk di masa depan. Membawa perubahan yang semakin baik. Sebagai penutup, saya akan mengutip kata-kata dari presiden pertama kita, Bapak Insinyur, Haji Sukarno, ‘Beri Aku 10 Pemuda! Niscaya Akan Kuguncangkan Dunia!!’ Terima kasih semuanya!!” Riuh tepuk tangan kembali memenuhi seisi ruangan. Pemateri itu melangkah turun, menuju ke belakang panggung. “Penampilan yang masih selalu memukau, Bu Retna. Sungguh saya sebagai teman merasa bangga. ”Seorang wanita paruh baya datang menyalami pemateri tersebut.“Ah, Bu Tami terlalu berlebihan. Bukankah itu memang tugas kita sebagai guru, sekaligus orang tua?” “Ya, Bu. Betul sekali itu.” Sementara itu, ratusan kilometer dari gedung tersebut. Di sebuah tanah lapang. Puluhan anak sekolah, masih lengkap dengan seragam sekolah mereka, berkumpul. Di tangan mereka terhunus beberapa benda tajam, tongkat besi, bahkan gir hingga rantai.Tinggal menunggu waktu dan aba-aba, kericuhan sebentar lagi akan meletus. “Jangan takut teman-teman! Apapun yang mereka bawa! Apapun senjata mereka, mental kita tetap tangguh!!SIAPA KITA!!!?ZERO!!SIAPA KITA!!!?ZERO!!MAJU!! SERANG!!!Dari pihak seberang pun tak kalah hebohnya. Pemimpin dari sana sama-sama telah memberi komando


penyerangan. Dan, dua kubu. Dua kelompok siswa, yang seharusnya berada di sekolah saat itu, harus maju bertempur. PRAK! BUK! WUSSH! KROSAK!!Rangkaian suara kekerasan campur aduk di sini. Hantaman tangan kosong, balok kayu yang melayang bebas, belum lagi kibasan rantai yang begitu liar. Ditambah lagi lantunan-lantunan kata kasar yang keluar dari mulut mereka. Debu, pasir di tanah lapang itu mulai beterbangan, menambah atmosfer tawuran semakin memanas. “Mana nih Bosnya!!? Woy! Mana Bos Lu!!?” “Ngapain Lu nyari-nyari Bos Gua!?” “Bawel Lu!! BRUAKK!!” Hantaman demi hantaman saling baku membaku. Tak ada rasa kepedulian sesama lagi. Beda sekolah. Beda rasa. Darah halal tuk terkucur di sana. Sungguh tragis! DOR! DOR! DOR!BERHENTI!! DOR! DOR! DOR! Spontan mendengar letupan peluru. Pertanda bahaya bagi anak muda seperti mereka. Aparat! Polisi! Satpol-PP! yang kali ini, tanpa komando pun mereka sudah kalang kabut berlarian mencari tempat sembunyi. Ada yang melompat pagar warga. Masuk ke dalam masjid. WC masjid. Bahkan ada yang merangsek masuk ke warung makan yang sedang ramai-ramainya.Tapi bagi polisi, hal seperti ini bukan kasus pertama kalinya. Mereka sudah membuat taktik, puluhan personil sebelum adanya aba-aba peringatan sudah bersembunyi, mengitari lapangan itu. Ada yang berusaha kabur, langsung tangkap. Melawan? Jangan salahkan. Kasus tawuran kali ini, sedikit sekali yang berhasil kabur. Itu pun karena memang polisi-polisi itu kewalahan menghadapinya. “Bawa masuk ke dalam mobil! Jangan sampai ada yang lolos lagi! Cepat, langsung bawa semuanya ke dalam mobil!”


Empat mobil tahanan yang sudah terparkir di beberapa meter dari lokasi kejadian sigap meringkus kawanan pemuda rusuh itu. Dan beruntungnya, kali ini, pemimpin, dalang dari keributan ini berhasil tertangkap. Meski sebelumnya ia selalu lolos melarikan diri. “Ayo semuanya, langsung masuk ke dalam. Kita bicarakan lebih lanjut di kantor polisi!” Beberapa petugas yang lain turut menarik anak-anak siswa tadi, memaksa masuk ke dalam mobil tahanan. Hampir sekitar dua puluh lima siswa tertangkap. Setelah semua siswa masuk ke dalam mobil, barang-barang bukti, seperti benda tajam juga telah diamankan sebagai barang bukti, empat mobil itu segera meluncur ke kantor kepolisian pusat. Di kantor kepolisian. Dua puluh lima siswa, yang masih lengkap dengan seragamnya, digiring masuk ke dalam. Mereka diletakkan di satu aula luas, untuk ditindak lanjuti. Di aula, beberapa petugas polisi sudah siap menyambut mereka. “Hei anak-anak muda! Sungguh miris kondisi kalian!”, salah satu petugas polisi berseru. Tubuhnya besar, tegap. Tampak dari raut wajahnya, keras, tegas .“Untuk apa kalian melakukan tindakan bodoh seperti itu? Untuk apa tawuran?! Berbuat keributan!!? Supaya terlihat hebat? Terlihat lebih jagoan!!?” Para siswa yang berada di aula itu hampir rata menunduk malu, bercampur ketakutan. Tak ada yang berani menatap jendral kepolisian itu. “Bukan!! Bukan itu yang kalian dapat!! Yang kalian dapatkan hanyalah tindakan bodoh dan sia-sia saja!!”Di tengah-tengah berkoar-koarnya petugas itu memarahi mereka, seorang Polisi dengan lencana bintang 4 melangkah mendekatinya. Petugas-petugas lain yang berada di situ bergeser memberi jalan.” Komjen Bambang, permisi menyela orasi Anda. Ijinkan saya mengambil salah


satu anak dari mereka.” Komjen itu mengangguk, mempersilahkan. Tak mungkin ditolaknya permintaan jenderalnya itu. “Itu! Kau yang memakai topi hitam! Ya, kamu ikut saya!!” Para siswa itu rata terbelalak. Itu bos mereka. Gagah, namanya. Yang dipanggil, berdiri perlahan, melangkah patah-patah menuju petugas polisi itu. Semua pandangan tertuju ke Gagah yang berjalan mengikuti jenderal kepolisian tersebut. Yang kemudian langkahnya hilang masuk ke dalam ruangan khusus. “Duduk di situ! Tatap wajah saya!”, jenderal kepolisian itu berseru tegas pada Gagah. Hanya berdua di ruangan itu.“ Gagah Pratama. Seorang pemimpin Geng Zero, katanya! Benar begitu!!?” “Ii.. iya Pak. Heem..”BRAKK!!“Jawab dengan sopan dan tegas!!”, jenderal kepolisian itu memkul meja di hadapannya. Membentak Gagah. “Tidak ada kata ‘Heem’ dalam kosa kata bahasa kita, bahasa Indonesia!” Gagah terhenyak. Lantas kaku menjawab, “I.. ii.. Iya Pak. Benar. Sa.. Saya Gagah Pratama, ketua Geng Zero.” Jenderal polisi itu tersenyum. “Ya. Bagus, jawab lain kali dengan seperti itu! Tapi tidak usah dengan grogi! Kau ini laki-laki, dibentak sedikit saja langsung ketakutan seperti perempuan saja!” “Baiklah, Gagah. Sebenarnya saya sudah lama ingin menangkap kamu. Tapi sayang, kamu lincah dalam tiap-tiap pertempuran. Sebelum petugas kepolisian


datang, kamu selalu berhasil melarikan diri.” Gagah kembali terhenyak. Tapi kali ini bukan karena bentakan dari jenderal itu, tapi soal bagaimana tahu jenderal itu dengan dirinya? Apalagi namanya?! Bagaimana jenderal ini juga tahu kalau ia selalu kabur dalam tiap-tiap pertempuran sebelumnya?Benar begitu? Gagah!!? ”Gagah mengangguk-angguk. BRAK!!Jenderal polisi itu memukul meja di depannya lagi,“Kalau ditanya itu dijawab! Bukan hanya menganggukanggukkan kepala saja!! Kecuali kau bisu!!” “Sungguh menurun memang kondisi moral pemuda jaman sekarang...”, gumam jenderal itu. Set! Jenderal itu tak melanjutkan interogasinya. Justru berdiri, melangkah mendekati salah satu meja di ruangannya. Menekan proyektor yang ada di atasnya. Proyektor itu lalu menampilkan layar hologram. “Gagah, di video ini kamu akan melihat seorang anak muda, yang hidup dalam jaman teknologi.. Hampir saja ia hancur, beruntung ada yang berhasil menyelamatkannya...”, jenderal polisi itu menjelaskan kembali. Kemudian video hologram itu mulai disetel olehnya. Tampilan awal video menceritakan seorang pemuda yang hidup di lingkungan yang kurang baik. Di rumah, ia bersosialisasi dengan para preman, anak-anak jalanan, yang rusak kondisi keseharian mereka. “Woy Bang, Lo kalau punya sebat bagi-bagi dong!!”, salah seorang dari kumpulan preman dan anak jalanan itu berseru ke yang lain. “Ya Elah, makanya jadi orang jangan kere. Susah hidup Lo kan!? Noh, satu aja ye..”. “Ye.. Pelit amat jadi orang!! Ya udah, mana sini!?”. Tampilan video berganti menunjukkan keseharian pemuda itu ketika di sekolah. Sama seperti


sebelumnya, pergaulannya bebas, berkata seenaknya, sudah tak ada tata krama dan sopan santunnya sama sekali. “Oi kampret nggak ni... Kemarin ad yang ngajakin geng kita ribut ni..”, pemuda itu berseru di gerombolan teman-temannya. Mereka biasa bergerombol, berkumpul sambil terkadang membuat onar di sekitarnya. “Buset... Parah bet!! Siapa tuh orangnya?! Gas, samperin aja, Bang!!” “Iya dong! Harus itu.. Gue nggak sabaran pengen nimpuk pala mereka satusatu pake tangan Gue ini..”, ujar pemuda itu sambil mengepalkan tangannya.TIIIT.. KLIK!Jenderal itu menekan tombol proyektor. Video yang barusan disetelnya terjeda. Ia bertanya pada Gagah, “Baik. Bagaimana Gagah? Apa reaksi, serta hasil yang kamu dapatkan setelah menonton secuplik video barusan...,”. Gagah menoleh kepada jenderal kepolisian tersebut. “Bagus Pak. Video itu begitu banyak meninggalkan pesan dan kesan.”Jenderal itu mengangguk-angguk mendengar jawaban Gagah. “Begitulah Gagah. Keadaan anak zaman sekarang, lebih tepatnya Generasi Z. Begitu mengkhawatirkan! Mulai dari kebiasaan hidupnya, moral, etika, hingga cara bicaranya! Benar-benar membuat elus dada. ”Jenderal polisi itu menatap wajah Gagah sejenak. Menatap matanya tajam. “Pak? Pak? Ada apa ya?!”, Gagah bertanya risih.“Ah! Tidak, tidak. Oh ya, sekarang kita bahas sedikit bagaimana penurunan kondisi moral anak zama


sekarang menurun?!”Jenderal polisi itu kembali menekan proyektor di sampingnya Set! Klik!Kali ini video menunjukkan keadaan belajarnya anakanak muda zaman sekarang. “Lihat Gagah! Seperti dirimu. Kebanyakan anak zaman sekarang, mereka sudah malas belajar. Paling yang memperhatikan hanya segelintir orang yang duduk di baris depan. Sisanya? Entah kemana pikiran mereka? Ada yang saling menjahili temannya. Ada yang tidur. Parahnya, ada yang bermain game di belakang sana.” “Maka berarti, poin pertama di antara penyebabnya adalah, turunnya minat belajar para pemuda. Semangat mereka seperti pudar entah hialg kemana.” Gagah tersenyum malu melihat cuplikan-cuplikan video itu. Benar, benar semua yang ditampilkan oleh Pak Jenderal polisi ini. Semuanya hampir ada pada kepribadian Gagah. Tapi sebenarnya masih ada yang mengganjal dalam lubuk hati Gagah. Siapa sebenarnya polisi ini? Berbeda sekali cara ia menginterogasi dirinya. Diajak berpikir, bahkan sampai ditampilkan video seperti ini. Juga kenapa dia menatap mataku tadi dengan tatapan tajam begitu? “Kemudian yang kedua...”, layar hologram berganti menampilkan suasana di taman kota. Rata-rata yang mengisi kepadatannya adalah anak-anak muda. “Remaja-remaja yang saling berpacaran, bergandengan tangan. Ada juga beberapa duduk sendiri di bangku-bangku. Membalas pesan-pesan yang masuk. Dan karena budaya malas sudah menjalar, sampai soal mengetik pesan pun banyak kata-kata yang disingkat. Dirubah dengan bahasa gaul, bahkan bahasa lain. Semisal, “kmu dmna syg??” . Dijawab dengan hal yang sama, “Aq lgi sibuk bget d kantor.. Sorry ya, kagak bisa nemenin...”


“Ya, kira-kira begitulah contohnya. Banyak kata yang disingkat, dirubah ejaannya, bahkan bercampur aduk dengan bahasa negara lain.” “Jadi, faktor kedua adalah, pergaulan bebas dan merebaknya budaya malas.”, Jenderal polisi itu mengisyaratkan dengan dua jarinya. Melihat potonganpotongan video barusan, Gagah semakin tak kuat. Ia merasa benar-benar sudah berantakan sekali kondisi moral kebanyakan anak muda saat ini. Tak perlu dari video yang ia tonton, di realita kehidupan nyata saja, ia bersama temantemannya. Hampir semuanya sama. “Baiklah, kita lanjut faktor yang ketiga....”, saat Jenderal polisi itu hendak menekan tombol proyektor lagi, Gagah berseru lebih dulu .“Tidak usah Pak Jenderal! Cukup. Apa yang sudah saya tonton tadi sudah cukup untuk membuat saya merasa hancur. Saya mungkin bahkan tahu, apa-apa yang akan ditampilkan oleh video itu selanjutnya.” Pak Jenderal itu terdiam. Ia urung menekan tombol proyektor. Lalu justru mematikannya. “Baiklah Bapak Jenderal yang saya hormati. Saya mengaku salah. Salah atas apa yang telah diperbuat selama ini. Dan sekaligus mengakui kesalahan saya sebagai ketua dari Geng Zero, yang selama ini mengarahkan teman-teman pada kondisi moral yang begitu buruk. Maka, saya terima untuk menjalani hukuman yang seharusnya.” Ruang interogasi lengang sejenak. Jenderal polisi itu tak langsung menjawab tanggapan Gagah. Ia tampak diam termangu, seperti memikirkan sesuatu.


“Ehm..”, jenderal polisi memperbaiki posisi duduknya. “Gagah Pratama, anak dari seorang Guru Sekolah Menengah. Sebenarnya pembicaraan ini belum tuntas. Masih ada hal-hal yang ingin saya tanyakan, saya ajak pikirkan. Bahwa mengapa...”, ucapan jenderal polisi itu terputus ketika pintu ruangannya terbuka. Seorang polisi bawahan melangkah masuk. “Maaf mengganggu, Jenderal. Lapor, di depan ruangan ada seorang wanita yang ingin bertemu dengan Anda.” “Coba tanyakan, ada keperluan apa. Kalau tak begitu penting, suruh tunggu saja dulu.” “Siap, jenderal.” Kurang dari satu menit, polisi bawahan itu kembali masuk, melaporkan jawaban dari wanita itu. Dia menyampaikan bahwa dirinya bersangkutan dengan anak yang sedang diinterogasi. “Baiklah, suruh saja dia masuk.”Polisi bawahan tersebut mempersilahkan wanita tersebut masuk. Dan baru saja sampai di depan pintu, jenderal kepolisian itu terkejut. Begitu pula dengan Gagah. “Retna?” “Mama?!” Wanita itu berhenti melangkah. Dia tidak meneruskan langkahnya. Berhenti beberapa langkah di depan pintu. Berkata dari situ,“Gagah! Sudah kesekian kalinya kamu berbuat keonaran lagi. Apa kamu tidak malu berbuat seperti ini terus? Hampir setiap bulan Mama harus dipanggil ke Ruang Kepala Sekolah. Untuk menyelesaikan urusanmu.


“Dan hari ini, Mama bukan lagi dipanggil ke Ruang Kepala Sekolah. Tapi di kantor kepolisian, sebab diberitahu oleh pihak sekolah. Beberapa detik, ruangan kembali lengang. Tak ada yang angkat bicara, sampai jenderal polisi itu bangkit berdiri dari kursinya.“ Sepertinya ini sudah waktunya. Waktunya untuk semuanya kembali pulih. Setelah sakit di beberapa masa, saat ini kita pulihkan bersama. ”Gagah tak paham dengan apa yang sebenarnya terjadi. Mamanya baru saja memarahinya, tapi selanjutnya Jenderal polisi ini yang menanggapi. Apa? Apa yang sebenarnya terjadi di sini?!“ “Jadi begini Gagah. Kondisi ini benar-benar ingin sekali saya alami bertahun-tahun lamanya. Tapi takdir selalu berkata lain. Hingga hari ini. Ketika semuanya berkumpul. Aku, kamu, dan juga ibumu.” Benar-benar pusing sudah kepala Gagah dibuat oleh situasi ini. ”Kamu sebenarnya adalah, anak kandung Saya.” Bak terkena sambaran petir, Gagah yang mendengar kata-kata Jenderal barusan mendadak lemas di tempat duduknya. Mulutnya ingin sekali banyak bertanya. Memastikan, apakah ini mimpi yang selama ini dilaluinya? Apakah ia berada di bawah alam sadar? Tapi itu semua tak mampu ia lakukan. Lidahnya mendadak kelu. Sulit sekali ia bicara. “Dan untuk kamu, Retna. Mantan istriku tersayang. Ibu dari Gagah. Sepertinya ini waktunya kita tuk berdamai dengan masa lalu. Pulih. Itu saja sebenarnya yang kita inginkan bukan? Sudah terlalu sakit kita melalui masamasa menyakitkan itu.”


“Dan kamu sepertinya sudah tahu dampak nyata yang terjadi sebab perceraian kita. Ya, Gagah. Kasihan dirinya. Kurangnya kasih sayang orang tua, tak ada obrolan yang bisa mengontrol kendalinya. Hingga anak-anak seusianya, tentu akan berusaha mencari jati diri. Dan bahaya bila terlambat sehingga kehilangan kendali.” “Jadi, bagaimana? Pulih?” Bu Retna yang masih berdiri terdiam di depan pintu menunduk, tangisnya tak terbendung kan lagi. Kedua matanya yang sudah berkaca-kaca kini akhirnya pecah. Gagah bangkit dari kursinya, melangkah pelan menuju Mamanya. “Maafkan Gagah, Ma!”, Gagah berseru sambil mendekap Mamanya. Tangisnya turut pecah di situ. “Ya. Maafkan Mama juga, Gagah. Selama ini, di belasan tahun terakhir, Mama menyembunyikan apa yang sebenarnya terjadi. Saat itu, kamu masih berusia satu tahun. Masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi. Pertengkaran Mama dan Papa. Hampir setiap hari, kita berdua berselisih.“ Sampai di satu waktu, Papa memutuskan untuk menceraikan Mama. Dan merantau ke luar pulau. Maka, runtutan cerita itu dikisahkan oleh Bu Retna hingga usai. Gagah kini telah paham dengan kondisi yang selama ini, bahkan yang baru saja terjadi. Selama ini, Gagah bahkan tidak tahu jawaban pasti, ketika ditanyakan soal keberadaan ayahnya. Dan cerita ini pun berakhir dengan kondisi pulih. Semuanya sama-sama mau tuk berdamai dengan masa lalu. Memilih pulih, dan membangun pondasi kehidupan baru yang lebih baik. Dua hari setelah kejadian di kantor polisi itu, akhirnya Jenderal polisi itu, kembali rujuk dengan Bu Retna. Dan Gagah telah benar-benar berubah. Ia mencoba bertutur kata dengan baik. Belajar dengan rajin, tak lagi menjadi sosok yang penuh ego dan arogan. Bahkan,


Gagah yang mempunyai pengaruh kepada Geng Zero, satu kumpulan siswa yang cukup ditakuti di sekolahan, membuat perubahan. Mereka tak lagi berbuat onar, tetapi beralih menjadi satu organisasi pergerakan menuju perbaikan. Gagah bersama kawan-kawannya, sama-sama mencari para siswa yang belum paham soal pelajaran. Belajar bersama. Menghidupkan suasana berbahasa dan bertutur kata yang baik dan benar, sesuai kaidah. Perlulah diingat, dari satu hal kecil saja, bisa menjadi satu perubahan yang besar. Berbahasa yang baik, memahami kaidahnya, cara bertuturnya, bisa menciptakan suasana dan kondisi yang baik.Tetapi sebaliknya, bermula dari berbicara yang kasar, seenaknya, melupakan bahasa nasionalnya yang benarbenar indah sejatinya, bisa menimbulkan kondisi, dan suasana buruk yang mengerikan. Seperti saling mengejek, membully, hingga berujung saling baku hantam dan tawuran besar-besaran. Maka saatnya, kita Pulihkan! Siapa lagi yang bisa memulihkannya? Kalau bukan anak muda? Generasi Z katanya, yang kelak akan menjadi penerus bangsa, memikul amanat keadaan di tanah air ini. Sekian. Sang Mentor (Wahyu Ramadhan) Setelah memenangkan sayembara cerpen se Kota Tercinta, nama Berto menjadi perbincangan hangat di tempat ia kuliah. Naskah cerpen karya Berto yang memenangi sayembara tersebut menjadi bahan analisis mahasiswa saat mata kuliah Kritik Sastra. Pada diskusi-diskusi sastra bulanan tak jarang cerpencerpen Berto yang lain juga dijadikan objek untuk diulas. Dikaji dalam berbagai perspektif, pendekatan dan teori sastra–dari teori strukturalisme hingga psikologi sastra. Kemudian bagaimana cara Berto dalam membangun narasi cerita, teknik yang digunakan Berto dalam menulis, komposisi yang digunakan Berto, pendekatan seperti apa yang sering Berto pakai dalam menarik perhatian


pembaca dan makna-makna tersirat yang ada pada cerpen Berto. Bukan hanya karya Berto yang mendapatkan apresiasi, Berto sebagai penulis karya juga mendapatkan apresiasi. Ada dosen yang mentraktir Berto makan di kantin fakultas setelah ia memenangkan sayembara tersebut. Para senior yang menekuni dunia penulisan kreatif, mulai mengakrabkan diri dengan Berto. Ada yang mentraktir Berto kopi di kantin fakultas sambil mengajak Berto mendiskusikan perihal menulis kreatif. Beberapa junior dan teman yang baru mulai menaruh minat menulis juga beberapa kali meminta Berto mengulas cerpen-cerpen mereka. Para junior yang tergabung dalam kepanitiaan acara Pekan Sastra mengajukan nama Berto sebagai salah satu pembicara. Menanjaknya popularitas Berto di kampus beriringan dengan meningkatnya nilai akademiknya. Terutama pada mata kuliah kajian ilmu sastra. Indeks Prestasi (IP) Berto meningkat setiap semester setelah menekuni dunia kepenulisan. Jika tulisan Berto dimuat di media cetak atau digital, Berto akan mendapatkan nilai A. Berto tidak perlu mengikuti kelas, ujian tengah semester dan ujian akhir semester. Dengan catatan tulisan Berto yang dimuat, baik itu berupa esai, artikel, cerpen, dan feature ada kaitannya dengan mata kuliah yang sedang Berto pelajari. Hal yang memotivasi Berto untuk belajar menulis berawal dari dimuatnya tulisan teman angkatan Berto di media cetak lokal Kota tercinta. Nama teman Berto itu Riko Baper. Karya Riko berupa puisi. Puisi Riko sempat menjadi perbincangan hangat oleh dosen pengampu mata kuliah Kajian Puisi. “Karya saudara Riko mengingatkan saya kepada karya-karya awal Chairil Anwar pada masa awal-awal kepenyairannya. ‘Aku lirik’ puisi saudara begitu tajam dan sajak-sajaknya begitu menusuk sanubari. Selamat Riko, semoga konsisten dalam berkarya.” Riko mendapat tepuk tangan oleh dosen pengampu dan mahasiswa yang mengikuti mata kuliah Kajian Puisi tersebut. Mata Riko Baper langsung berbinar-binar mendapatkan tepuk tangan dan pujian itu. Sesekali ia menutupi mukanya yang memerah karena pujian tersebut. Semenjak puisinya yang pertama terbit, puisi-puisi Riko yang lain rutin terbit hampir setiap bulannya di berbagai media cetak lokal di Kota Tercinta. Pernah suatu kali Berto ingin bergabung nongkrong dengan Riko dan para senior penulis, tapi Riko mengatakan kepada Berto kalau ingin nongkrong dengan mereka harus berkarya dulu. Kalau tidak menulis tidak bisa bergabung dengan mereka.


“Makanya kau harus belajar menulis Ber. Biar luas pertemananmu di kampus.” ucap Riko kepada Berto pada suatu sore setelah selesai kelas mata kuliah Pengantar Ilmu Komunikasi. Setelah percakapannya dengan Riko yang terakhir, mulailah Berto belajar menulis. Ia belajar dengan senior dua tingkat diatasnya yang bernama Kosmik. Kosmik merupakan salah satu mahasiswa yang sudah banyak tulisannya terbit di media cetak dan digital. Tulisan Kosmik berupa esai film, cerpen, dan puisi. Redaktur salah satu media cetak lokal kenamaan di kota Tercinta yang juga seorang sastrawan menilai cerpen Kosmik sudah menyamai level cerpen-cerpen karya A. S Laksana. Sebelum belajar menulis kreatif, Kosmik bertanya kepada Berto “Kau mau fokus menulis apa? Mau menulis esai, cerpen atau puisi?” Sambil membakar rokok Sampoerna Mild dengan korek api kayu, lalu menghembuskan asap pertama ke langit-langit kamar kosannya. Bukannya menjawab pertanyaan Kosmik, Berto malah balik bertanya “Dari ketiga jenis tulisan tersebut, apa bedanya dari segi manfaat bang Kosmik?” Tanya Berto kepada Kosmik sambil mengisap minuman di kantong kresek hitam di tangannya lalu ikut juga membakar rokok. “Kalau menulis cerpen, kemampuan imajinasi kau terasah dan handal menuliskan sesuatu secara deskriptif. Kemudian menulis esai, bisa meningkatkan daya pikir kritis kau terhadap sesuatu. Kau bisa menggunakan berbagai perspektif dalam menganalisis suatu fenomena dan permasalahan. Dan terakhir, jika kau tekuni menulis puisi bisa membantu kau dalam mengekspresikan emosi dan perasaan yang mungkin sulit selama ini kau ungkapkan lewat perkataan. Kemudian juga bisa melatih kemampuanmu dalam memadatkan paragraf yang deskriptif menjadi sebaris kalimat tajam yang multitafsir.” Jawab Kosmik kepada Berto, sambil mengetik di laptop, melanjutkan tulisannya yang terbengkalai sesaat.


Setelah Berto beberapa menit melihat Kosmik mengetik “Aku tertarik untuk belajar ketiganya bang. Tapi untuk awal ini aku mau belajar menulis cerpen dulu bang Kosmik.” Jawab Berto kepada Kosmik sambil terus menghisap minuman kresek hitam yang ia cekek dengan tangan kirinya. “Baiklah kalau begitu, ini ada satu buku teori menulis kreatif dan beberapa buku kumpulan cerpen. Kalau mau membaca buku lain, silahkan pilih di rak buku ya.” Ucap Kosmik sambil mengeluarkan buku-buku tersebut dari dalam tasnya. Ada buku teori yang berjudul ‘Menulis Kreatif Sastra dan Beberapa Model Pembelajarannya’ karya Andri Wicaksono, kumpulan cerpen ‘Saksi Mata’ karya Seno Gumira Ajidarma, kumpulan cerpen ‘Bidadari yang Mengembara’ karya A. S Laksana dan satu kumpulan cerpen penulis luar negeri berjudul ‘Insomnia’ yang diterjemahkan oleh Anton Kurnia. “Kau tuntaskan membaca satu buku setiap minggunya ya Ber. Lalu setiap malam Senin kau setor satu cerpen kepadaku. Hal itu kau lakukan rutin sampai tulisan kau terbit di koran. Bukan kolom remaja ya, langsung ke kolom umum. Kalau kau sepakat kita mulai proses diskusi ini.” Ucap Kosmik kepada Berto sambil melipat laptop yang telah ia matikan beberapa menit yang lalu dan memasukkannya ke dalam tas sandang Bodypack warna abu-abu berukuran 18L. “Baik bang, akan aku usahakan semampuku. Kalau bisa dua cerpen akan aku setor setiap minggunya bang.” Jawab Berto sambil merapikan buku-buku yang dipinjamkan Kosmik, lalu memasukannya ke dalam slingbag Dickies birunya. Setelah pertemuan malam itu, rutinitas Berto bertambah. Sebelumnya rutinitas Berto hanya kuliah, main di rental PS dua sampai tiga jam dan latihan silat. Kini setelah sholat Subuh, Berto akan membaca buku-buku yang dipinjamkan Kosmik dan mencatat poin-poin penting buku tersebut lalu menuliskannya pada sebuah notebook. Kemudian pada malam harinya sepulang


latihan silat dari kampus, Berto akan mulai mengetik cerpen, mengangsur paragraf demi paragraf hingga menjadi satu naskah yang utuh. Dua hari menjelang pengumpulan cerpen, Berto akan mengedit cerpen yang ia tulis dengan teliti. Berto akan melihat ulang keselarasan antar paragraf, membaca ulang naskah apakah masih ada kalimat yang rancu, dan meneliti kata demi kata lalu memperbaikinya jika masih ada yang salah ketik. Rutinitas tersebut Berto lakukan hampir dua bulan lamanya. Diskusi malam Senin di kosan Kosmik fokus membahas naskah cerpen yang ditulis Berto. Kosmik akan mengkaji naskah tersebut secara teknis, kemudian mengkritisi isi dan teknik Berto dalam membangun tokoh-tokoh fiktif pada cerpen-cerpennya. Jika semuanya telah selesai, Kosmik akan menyuruh Berto untuk mengirim naskah cerpennya ke media cetak lokal. “Ingat ya Ber, jangan kau kirim ke rubrik remaja. Rubrik umum! Tidak masalah lama terbitnya, mungkin redaktur sedang melihat konsistensi dan perkembangan naskahmu.” Ucap Kosmik mengingatkan Berto. Memasuki minggu terakhir di bulan ketiganya berproses, Berto mulai jenuh. Ia sudah mau menyerah karena tulisannya tidak kunjung dimuat juga di media. Berto juga sering tidak datang ke agenda diskusi malam Senin di kosan Kosmik. Pertemuan tersebut sering diakalinya dengan alasan sibuk mengerjakan tugas kuliah. Kosmik sesekali mengirim pesan singkat kepada Berto via Line. “Pokoknya percaya proses, meskipun kau sudah jenuh coba jugalah sesekali menulis satu dua cerpen. Ingat janji kita, kalau masih belum terbit di bulan keempat proses, kembalikan saja buku-buku yang aku pinjamkan. Mungkin bukan jalanmu di dunia kepenulisan. Silahkan kau tekuni bidang lain.” Diiringi dengan kiriman emote icon ketawa tiga kali. Memasuki bulan keempat proses menulis cerpen, setelah puluhan kali mengirim naskah akhirnya cerpen Berto terbit. Cerpen karya Berto dimuat pada rubrik umum edisi hari Minggu edia cetak lokal Kota Tercinta. Berto mengetahui karyanya dimuat setelah ia ditelpon oleh Kosmik pada hari Minggu pagi. Awalnya, ketika panggilan telpon dari Kosmik masuk, Berto enggan menjawabnya. Karena Berto berpikir tujuan Kosmik menelponnya untuk meminta Berto mengembalikan buku-bukunya yang ia pinjam empat bulan yang lalu. Berto masih enggan mengembalikan karena ia masih punya keyakinan


kalau naskah cerpennya akan dimuat suatu hari nanti di koran. Namun dengan berat hati Berto mengangkat telpon via Line tersebut. “Halo selamat pagi bang Kosmik. Ada apa bang?” Tanya Berto sambil menguap. Kepalanya terasa masih berat karena efek begadang main PS bersama teman-teman satu kontrakannya. “Selamat ya, kita tidak perlu diskusi nanti malam ya. Besok aku traktir kau makan di kantin fakultas. Aku tunggu jam setengah satu siang ya.” Lalu Kosmik mematikan telpon. Dengan badan yang masih oyong dan kepala pusing, Berto masih bingung dan sulit mencerna maksud dari perkataan Kosmik kepadanya. Sampai ada dua pesan via Line masuk dari kontak baru. “Selamat ya Ber, you made it!” kemudian disusul masuk dua kiriman pesan yang berisi potongan foto koran yang memuat cerpen karya Berto. Ternyata yang mengirim pesan tersebut adalah kekasihnya Kosmik. Seketika Berto bersorak “Yuhu! Terbit juga kau! Terbit kau terbit!” Sontak teriakan tersebut membangunkan teman sekamar Berto dan bertanya kenapa Berto berteriak. Berto hanya menjawab “Terbit bos terbit!” sambil memperlihatkan isi pesan yang dikirim kekasih Kosmik barusan kepadanya. Setelah cerpen pertamanya terbit, semua sayembara cerpen tingkat kampus digasak oleh Berto. Ia selalu keluar menjadi pemenang. Hadiah dari lomba biasanya akan Berto belikan buku-buku sastra, lalu sesekali mentraktir Kosmik rokok dan makan. Setiap premis cerpen yang ditulis Berto untuk ia ikutkan lomba, akan didiskusikan terlebih dahulu dengan Kosmik. Setelah Berto bertukar pendapat, sudut pandang, metode penulisan dan cara garap, barulah ia akan mengembangkan menjadi naskah dan mengirimnya ke panitia lomba. Pertemanan Berto dengan Kosmik dari tahun ke tahun makin akrab. Mereka sering berbagi pengalaman hidup, membahas hal apa saja dari berbagai perspektif masing-masing. Dalam proses kreatif masing-masing antara


Berto dan Kosmik tidak pernah ada terjadi silang pendapat. Mereka berdua saling support. Kosmik tekun sebagai periset film dan menulis cerpen, puisi dan esai tentang film. Sedangkan Berto menekuni kesenian tradisional Minangkabau seperti pencak silat tradisional dan mengkaji ilmu beladiri modern. Dalam hal kepenulisan Berto lebih banyak menulis cerpen dan esai-esai bela diri. Beberapa artikel-artikel tentang bela diri yang ditulis oleh Berto juga tidak lepas dari campur tangan dan buah pikir Kosmik. Pernah ada beberapa komentar-komentar sentimen dari mahasiswa di kampus kepada Berto. Mereka berpendapat kalau Berto hanya bisa menulis karena meniru gaya penceritaan dan teknik menulis Kosmik. Ada juga penulis-penulis lama yang pernah bersinar namun redup popularitasnya oleh Berto, mengatakan kalau cerpen-cerpen dan tulisan Berto berupa esai dan artikel adalah epigon dari karya-karya Kosmik. Dengan senang hati Berto membenarkannya. “Iya memang begitu adanya. Banyak tulisan-tulisan bang Kosmik yang menjadi acuan saya dalam menulis. Tidak mungkin dong yang saya jadikan pedoman dan referensi untuk menulis karya-karya yang kualitasnya menurut saya masih di bawah bang Kosmik. Kadang tulisan-tulisan mereka bagi saya bercita rasa buruk dan terkesan menor.” Jawab Berto kepada divisi humas fakultasnya dalam sebuah sesi wawancara untuk buletin kampus. Tidak ada lagi diskusi rutin setiap malam Senin antara Kosmik dan Berto. Mereka lebih fleksibel perihal waktu diskusi menulis. Kadang sekali sebulan bahkan lebih. Hal ini terjadi karena Berto dan Kosmik punya kesibukan masingmasing. Tapi komunikasi antara Berto dan Kosmik tidak pernah putus. Komunikasi harmonis tersebut bukan hanya dalam menulis, tapi dalam banyak hal di kehidupan sehari-hari. Apabila Berto sedang kehabisan uang saku, ia akan meminjam uang Kosmik dan meminta beberapa batang rokok Kosmik. Begitu juga sebaliknya, jika Kosmik sedang terkendala uang, Berto juga akan melakukan hal yang sama. Meskipun kalau dihitung sebenarnya yang sering meminjam adalah Berto kepada Kosmik. Berto juga merasakan terjadi perubahan yang signifikan dalam hal presentasi materi kuliah setelah belajar menulis dengan Kosmik. Dulu Berto sering dikritik oleh dosen karena bahan presentasinya yang tidak kompeten. Ia sering diganjar nilai C oleh dosen pengampu. Sekarang ia sudah menjadi mahasiwa yang tangguh dalam hal riset dan presentasi. Jika dulu sebelum bisa menulis dan seering berdiskusi, pada saat rapat jurusan dan organisasi Berto enggan menyatakan pendapatan dan ide. Karena ia sadar kalau ia minim referensi dan merasa minder dengan kemampuannya berbicara di depan khalayak ramai. Lebih baik dia diam dan


menjadi pendengar setia jalannya rapat saja. Menekuni dunia kepenulisan menuntut Berto untuk tekun membaca dan harus banyak berdiskusi. Hal tersebut menambah referensi Berto dan mengasah kemampuan intelegensinya dalam berpikir. Berto sudah mampu berbicara secara lancar di depan orang banyak. Saat mengerjakan tugas kuliah, opini-opini dan perspektif Berto sering dipuji dosen. Ide dan gagasannya sering menjadi acuan penting dalam mengambil keputusan saat rapat organisasi. Semua itu terasah setelah ia belajar menulis kreatif dan sering berdiskusi dengan Kosmik. Waktu melaju begitu cepat bagai seorang tiran yang tidak bisa digugat. Berto sudah memasuki tahap akhir masa kuliah. Sebagai bentuk rasa terimakasih dan sayang Berto kepada Kosmik, Berto menjadikan salah satu buku kumpulan cerpen yang dipinjamkan Kosmik saat awal belajar menulis sebagai objek penelitian skripsinya. Saat skripsi Berto telah rampung dan sudah layak untuk diuji pada sidang komprehensif, pada halaman persembahan Berto menulis “Kalaupun ada hal-hal yang baik aku dapatkan semasa kuliah, kenal dan berproses dengan Kosmik adalah salah satunya.” Jika ada yang menanyakan kepada Berto bagaimana proses awal dia bisa menulis, dengan senang hati ia akan menceritakan bagaimana Kosmik mengajarinya. Baginya Kosmik bukan hanya sekedar mentor dalam menulis, tapi sosok kakak yang bisa membuatnya bersemangat dalam menjalani hidup. Memang Kosmik bukan tipikal orang yang setiap hari rutin bertanya kabar kepada Berto, dan juga bukan orang yang setiap saat hadir dalam hidup Berto. Tapi Kosmik selalu ada disaat yang tepat bagi Berto.


Tuhan, Apa Aku Bisa ? (Afni Chairani Nasution) "Tiur ooo Tiur...,” Seperti biasa suara lantang khas Batak teriakan mamakkumembuka pagi hariku, menonjok telingaku untuk segera bangkit dari peraduan nyamanku. Rasanya berat sekali bangun dari tempat nyaman ini, selimut yang hangat , kasur yang hangat, bantal yang empuk, meski sederhana bukan produ kmahal, cukuplah membuatku merasa nyaman merebahkan tubuh lelahku disanasampai terlelap tidur nyenyak semalam. "Ooo Tiur ....,” panggilan kedua dari mamakku merupakan panggilan pamungkas, Seperti terompet sangkakala, dimana kalau Aku tak segera bangunmenghampirinya, berarti kiamat dunia segera menjelang. "Olo mak.... tongkin jolo, u parapi jolo kamaron da", sahutku biar emosi mamak ku tak sampai ke puncak Bukit ini. Bergegas kurapikan tempat tidur dan selimutku,kuletakkan masing- masing ditempatnya, serapi mungkin, kuraih sapu yang bersandar di dinding kayu kamarku, kutepis debu - debu lantai dari kamarku sampai keluar rumahku. Segera kuganti busanaku dengan perlengkapan yang bias aku kenakan ke sawah. Mataku sedikit melirik jam dinding sambil terus mengerjakan aktifitasku mempersiapkan diri, Oh sudah jam 06 : 30 wib rupanya , pantas suara mamakku lebih keras dari biasanya, rupanya kami kesiangan, bergegas aku menghampiri mamakku yg sudah menunggu didepan pintu rumah. "Ayo mak, sahutku", Mamakku langsung bangkit dari duduknya, Saat melangkah keluar rumah, seketika, brrbrbrbr .... tubuhku sedikit bergetar, menahan udara dingin yang menyapa kulitku, angin sejuk pengunungan


menyentuh tubuhku dariujung rambut ke kaki, kutarik ujung lengan bajuku, sampai melewati pergelangantanganku, dan kurapatkan jaket yang kupakai menutupi tubuhku, untuk menepisrasa dingin yang tak henti berusaha menyerang tubuhku. "Paipas ma ...", suara mamakku didepanku mengagetkanku, aku berjalan lebihcepat, mensejajari langkah kakinya. Kamipun berjalan beriringan sekarang. Seperti biasa jam 06 :00 pagi kami berangkat kesawah, sekedar melihat sawah, Mencabut rumput liar, atau menghalau burung-burung yang mengganggu padi yang kami tanam. Wah sebentar lagi kami akan panen. Sawah keluargaku tak luas, cukuplah untuk memenuhi kebutuhan kami setiap bulannya, jika berlebih akan kami jual kepasar, ketetangga atau kami barter dengan lauk ikan dipasar. Yah begitulah kehidupan didesaku, kadang kami bertani dan beternak untuk memenuhi kebutuhan kami sendiri, jika berlebih baru kami jual atau barter dengan tetangga atau pasar. Tanganku tak henti bergerak memburu rumput liar yang tumbuh di sekitar tanaman padi kami, sesekali kuseka keringat yang mengucur deras dari keningku, Mamakku juga sigap menggerakkan alat sederhana yang kami buat untuk menghalau hewan melayang yang sangat tergiur dengan bulir- bulir padi kami yang hampir matang sepenuhnya. O iya Aku lupa memperkenalkan diriku, namaku Tiur Dwi Zulekha, usiaku 18tahun, Aku anak ke 3 dari 3 bersaudara dikeluargaku, kakakku yang paling tuabernama Risma dan abangku yang nomor 2 bernama Binsar. Kami keturunancampuran Batak Mandailing dengan Batak Toba, ayahku bermarga Haloho (BatakToba), dan ibuku bermarga Pulungan (Batak Mandailing ), Bahasa batak yang sering kugunakan Bahasa Batak Mandailing, biasalah karena sehari- hari Aku bersama Mamakku dari kecil, makanya Bahasa Mandailing lebih akrab di telingaku dari pada Bahasa Batak Toba, tapi kalau orang lain menggunakan Bahasa Batak Toba, aku mengerti artinya tapi tetap kujawab dengan Bahasa Batak Mandailing dan alhamdulillah mereka juga paham bahasaku. Ya benar, ada sedikit perbedaan antara Bahasa Batak Toba dengan Bahasa Batak Mandailing, dalam hal pengucapan, tulisan dan lain - lain, tapi kami yang sesama orang Batak sedikit banyak bisa paham jika berkomunikasi. Kami sekeluarga muslim, Bapakku masuk Islam saat menikahi Mamakku.


Bapakku sudah lama meninggal dunia, jadi Ibu adalah tulang punggung keluargak usaat ini, Kak Risma sekarang sudah ikut suaminya menetap di Medan, sedangkan abangku Bang Binsar sudah memboyong istrinya ke Berastagi, katanya berbisnis buah - buahan disana lebih menguntungkan daripada membuka warung di pinggiranDanau Toba. Tinggallah Mamakku dan Aku di kampung kami ini, Aku dan Mamakku tinggal di Desa Sampur Toba, Kecamatan Harian Boho Kabupaten Samosir. Kecamatan kami ini punya 13 Desa. Yah bukan wilayah yang sangat luas,tapi cukup luas buat kami yang terbiasa tinggal didesa. Sepeninggal Bapakku , Ibuku diwariskan sepetak sawah yang masih produktif, Sepetak tambak ikan mas di kolam penangkaran Danau Toba, dan sebuah warung kopi di pinggiran Danau Toba, Alhamdulillah ketiga usaha ini cukuplah untuk memenuhi kebutuhan hidup kami berdua, bahkan kadang lebih dari cukup, tapi tidak sampai hidup mewah hehehe... . Dari ketiga sumber ekonomi kami itu, aku bisa memiliki sebuah telepon seluler buatin Taiwan terbaru, sebagai upah dari Mamakku karena Aku rajin membantunya, alhamdulillah dari alat canggih ini Aku jadi tahu banyak hal- hal baru tentang alamsekitarku, tentang informasi kota lain bahkan negara lain, hampir 80 % informasi yang ada didunia ini bisa Aku cari melalui benda canggih ini. Wawasanku menjadi lebih luas meskipun aku tinggal di desaku yang kecil ini. Hobbyku menulis, bisa puisi, syair, atau menulis cerita tentang kegiatanku sehari-hari atau tentang indahnya desaku. Tapi tulisan- tulisan itu hanya ku nikmati sendiri, kadang Aku berbagi dengan teman- temanku Rika, Hotma, Risma, Duma dan Nina,hampir semua temanku mengatakan tulisanku sangat bagus , kenapa tidak diterbitkan ?, tanya mereka setiap kali selesai membaca tulisanku. Aku hanyamenggaruk kepala dan menjawab. "Hasil karyaku belumlah sebagus itu", ujarku merendah. Selesai merawat sawah, Mamak memanggilku dari gubuk ditepi sawah kami, kulihat mamak membuka rantang yang ia bawa tadi dari rumah, saatnya sarapan, Aku bergegas menghampiri Mamak karena memang sudah sangat lapar perut ini ditambah udara dingin rasa lapar itu semakin tak tertahankan. Wah Mamak sudah menyiapkan lauk kesukaanku, sambal kering ikan mas dan gulai daun ubi tumbuk, "Mantap sekali,” ujarku dalam hati, dengan lahap Aku makan.


Mamakku jugalahap makan, rupanya beliau juga sudah lapar. Selesai dari sawah biasanya kamilangsung ke danau, memeriksa tambak ikan sederhana peninggalan Bapakku,memberi makan ikan, mengecek keadaan tambak, dan memeriksa kondisi ikanapakah sehat atau ada yang sakit. Kegiatan ditambak ikan ini biasanya lebih lama yah karena biasalah yah kalauMamak - Mamak sudah ketemu sesamanya pasti bergosip. Kadang sampai lupawaktu. Hanya suara teriakanku saja yang bisa menyudahi acara bergosip mereka, "Mak cepatlah ayok buka lapo kita" "O iya iya,” jawab Mamakku kelabakan ketahuan asik menggosip sambil senyum-senyum." hiburan Mamak ini loh, silaturrahmi, jangan marah kau nanti cepat tua,” jawabnya sambil bercanda. “Cari hiburan yang lain aja Mak, yang tidak tambah dosa,” kataku mengingatkan. "Ih berdosa rupanya ?, palalah itu sampai berdosa,” ujarnya. "Berdosalah Mak menceritakan keburukan orang,” ujarku kesal." Dia yang cerita, Mamak cuma mendengarkan saja,” ujarnya membela diri." Sama saja Mamak, berdosa,” jelasku. "Ih yaudahlah kalau gitu, tidak maulah Aku lagi kalau diajaknya ceritacerita,” jawabnya. Buru- buru kami berdua jalan beriringan menuju rumah, untuk mandi, berdandan rapi, lalu bergegas ke lapo untuk membuka lapo kami yang berada


ditepi d anau. Semua barang dagangan tidak kami bawa kerumah, cukup kami kunci di dalam warung insyaallah aman, karena penduduk disini sangat takut melakukan pencurian atau kejahatan lainnya, karena hukumannya sangat berat bisa sampai dikeluarkan dari desa. Sesampainya di lapo, aku langsung menyambar sapu dan serbet, guna mencemerlangkan penampilan lapo sederhana kami ini, biar terlihat menarik oleh para wisatawan. Menu dilapoku ini biasalah, kalau kelen pernah main ke Danau Toba, pasti taulah menu umum semua lapo disekitaran Danau Toba, ya.. mie instant ,kopi panas , susu panas , teh panas, kadang ada kacang rebus, gorengan, kacang panggang khas Batak produksi lokal, dan lain lain sejenis makanan ringan. Hari ini Mamakku tak sempat memasak Ubi rebus, karena waktunya sudah habis buat bergosip tadi. Jadi menu dilapo kami hari ini cuma : kacang panggangproduksi lokal, kacang rebus, pisang rebus, pulut kelapa, dan aneka minumanpanas, karena udaranya sudah dingin ya kan, kalau minum atau makan dingin beku nanti wisatawannya disini, hehehehe.. bercanda. Lapo sudah kinclong, semua menu sudah siap saji, tinggal menunggu wisatawan mampir nih. Jam di ponselku menunjukkan pukul 10 : 00 wib. Sambil menunggu wisatawan aku meraih ponselku dan duduk menghadap Danau, suasana seperti inilah yang kadang membuat naluri penulisku keluar dengan mudahnya, ya... keindahan alam disekitarku, tanpa sadar tanganku tergerak menguntai sebuah puisi. Beberapa menit kemudianAh untung saja sudah selsai , beberapa tamu sudah mulai menghampiri lapo kami, Aku dan Mamakku mulai sibuk melayani kebutuhan para wisatawan, dan melayani mereka dengan ramah. Setelah selesai, aku duduk kembali dikursi yang sama , menghadap Danau. Kubuka lagi akun sosial media yang menginformasikan perlombaan menulis cerita pendek, aku sangat tertarik untuk ikut serta, apalagi terbuka untuk umum, dan tidak berbiaya, tapi apa Aku pantas, apa karyaku sudah pantas disejajarkan dengan penulis - penulis Indonesia yang mungkin lebih bagus dariku. "Heh melamun aja kau,lagi ngapain,” aku kaget suara keras Risma dan tepukantangannya dipundaku menyadarkanku dari lamunanku. "Oh lomba itu, sudah ikut saja Kau, jangan Kau minder duluan, hasil karya Kaubagus kok, Sangat bagus malah, begini,” yakinnya sambil mengacungkanjempolnya kearahku.


"Apa iya ?” tanyaku ragu. "Ah jangan buat malu orang Batak Kau, sudah cepat daftar saja, mumpung belum lewat tanggal pendaftarannya, nanti Kau menyesal, kan tidak ada salahnya dicoba kawan, sekalian mengetest hasil karyamu apakah diajui Indonesia atau tidak, iya kan ? , kesempatan tidak datang dua kali kawan,” profokasinya. "Benar juga ujarku dalam hati, bagaimana Aku bisa tahu apakah karyaku bagusatau tidak kalau tak pernah diadu, baiklah aku daftar sekarang juga,” ujarku dalam hati. Dengan sigap kuraih ponselku yang sempat kuletakkan diatas meja, segera aku mendaftarkan diri dan mengupload karya yang sudah kubuat jauh hari sesuaidengan tema yang diminta, "Semoga aku menang, aamiin.” Doaku dalam hati. "Ah gitulah kawan, harus percaya diri, Kau pasti jadi juara 1, insyaallah yakin Aku,heh,” ujarnya sambil mengacungkan jempolnya lagi kearahku." “Bisa saja Kau, kutraktir kacang rebus dan teh Hangat mau Kau ?" tawarku sebagai balasan terimakasih karena sudah berhasil meyakinkan Aku. "Ih mantap kalilah itu, hahaha,” tawa kami pecah memenuhi ruangan sekitar lapoku.


Beberapa hari kemudian hari pengumuman pemenang pun tiba, Aku sangat tak percaya hasil karyaku dinobatkan sebagai salah satu juara dalam kompetisi tersebut. “Alhamdulillah,” ujarku dalam hati penuh Syukur. Sebagai ungkapan rasa Syukur Mamak mengadakan acara syukuran kecil - kecilan di rumah dengan mengundang beberapa teman – teman terdekatku dan keluarga terdekatku. Pesan penting dari kisahku ini adalah, jangan pernah takut mencoba sesuatu,karena kita tidak akan pernah tahu apakah kita mampu atau tidak jika kita tak pernah mencoba, dari mencoba kita bisa tahu kapasitas diri, jika kurang baik bisa ditingkatkan, jika sudah baik maka bisa diusahakan menjadi lebih baik lagi. Jadi, buat teman – teman semua jangan pernah takut memulai sesuatu ya, semangaaat.. .– Selesai – Arti kosa kata :* Mamak= Ibu* Olo mak.... tongkin jolo, u parapi jolo kamaron da", = "Iya Bu sebentar, Sayarapikan dulu kamar ini ya"* " Paipas ma ..." = " Cepatlah",* daun ubi = daun singkong* tumbuk = dihancurkan dengan alu kayu* Lapo = warung/ kedai* kelen = Kalian* pulut kelapa= ketan kukus kelapa* kinclong = bersih dan rapi* Kau = kamu


Buku Wasiat Pak Dosen (Abdi Galih Firmansyah) Seperti biasa pagi ini aku berkunjung ke perpustakaan kota dengan besi tua kesayanganku, Vespa Super keluaran tahun 1979. Mentari sangatlah anggun, Sinarnya yang hangat menyelimuti sekujur tubuhku membawa semangat baru yangberbeda dari pagi yang kemarin. Pohon-pohon dengan gagah melambaikan daunnyadi pinggir jalan, seolah menyapaku dengan bahasa mesra yang tak bisa kutuliskandengan kata-kata. Kubalas lambaian itu dengan gelora antusiasme pencarian bukuwasiat dosenku. Alam Sastra Jawa karya Sastro Koestono. Semoga aku menemukan buku itu. Sesampai di halaman parkir kulihat tempat itu tampak sepi sekali, tak sepertibiasanya yang selalu ramai para pembaca yang sedang bermesraan bersama buku-buku. Padahal hari Sabtu, seharusnya tempat ini lebih ramai dari biasanya. Akupun bergegas masuk menuju bangunan itu, belum sampai aku menginjakkan kaki diambang pintu, tiba-tiba mendarat telapak tangan yang lembut dengan tenang di ataspundakku.


"Hei Bim, mau pinjam buku ya?""Eh, Mas Budiman, tahu saja sampeyan1ini” “Wah sayang sekali untuk hari ini perpustakaan sedang tutup Bim, karena masih dalam proses renovasi. Jadi, untuk hari ini dan hari-hari selanjutnya kamu tidak bisa meminjam buku disini, ya kira-kira selama sebulan.” “Oh begitu ya Mas, ya sudah kalau begitu saya mau pamit pulang kembalisaja” “Sebentar, memangnya kamu mau meminjam buku apa?” “Saya mencari buku berjudul Alam Sastra Jawa karya Sastro Koestono apakah sampeyan mengenalnya?” "Ada apa gerangan kamu mencari buku itu? Disini tidak ada buku itu, hanyaorang-orang tertentu saja yang masih menyimpan itu buku. Sekarang sudah tak Berarti “Anda” dalam bahasa jawa. Diterbitkan lagi, kalau tidak salah terakhir terbit tahun 1980 lalu, tetapi, akumengenal orang yang agaknya bisa meminjamkan buku yang kamu cari itu"Mas Budiman adalah salah satu penjaga perpustakaan kota, Suka memberidan ramah sekali orangnya. Selama ia menjaga disini, para peminjam buku selaludiberinya untaian kata “terima kasih” dengan senyuman yang khas ketika telahdistempelnya buku yang dipinjam hingga diberikan dengan kedua tangannyakepada si peminjam buku. Ia juga tak pernah ketinggalan bingkisan kue pasardengan jumlah yang kira-kira cukup dibagikan kepada 20 orang, jadi, setiap 20orang peminjam buku pertama selalu dikantongi satu kue oleh Mas Budiman.


"Maukah Anda mengantarkan saya ke tempat orang itu Mas?" "Tentu, dengan senang hati. Kebetulan aku ada janji ke rumah beliau pagiini" ah senyum itu muncul lagi, gumamku dalam hati. “Sudah lama aku tak naik motor vespa, bolehkah aku memboncengmu?” “Tentu saja Mas” “Kamu kalau naik vespa hiduplah seperti vespa, jangan berpenampilansama seperti teman-temanmu, kamu harus nyentrik. Hindari gaya hidup serbamewah dan kelebihan”“Kenapa begitu Mas?” “Ada dua karakter vespa, yakni eksentrik dan sederhana” “Kenapa wajahmu serius begitu, aku cuma bercanda” ditepuknya pundakkudengan tangan lembutnya itu sedang mulutnya tertawa melihat wajahku. Itulah MasBudiman, lisannya filosofis tapi wataknya sangat humoris. Kamipun berangkat menuju kediaman orang yang istimewa buatku pagi ini,karena disanalah buku wasiat dosenku bersemayam. “Mas, siapakah orang yang sampeyan maksud itu? Apakah dia dosen? Atau sastrawan?” rupanya Mas Budiman tak mendengar suaraku, jalanan yang ramaimembuatnya tak mendengar suaraku yang bariton ini. “Nanti kamu juga akan tahu” singkat saja jawabnya.


Batas Kota Malang sudah terlampaui. Kini kami telah memasuki kawasan Kabupaten Malang. Jalan yang kami lewati sudah agak sepi, yang terlihat kebanyakan adalah para wisatawan saja. Rupanya ini adalah jalan menuju daerah pesisir pantai. Sampailah kami di depan gapura bertuliskan Kecamatan Pagelaran. Di sini banyak kutemui becak berlalu lalang serta ada juga delman. Bangunan rumah nyarata-rata bermodel seperti rumah kakekku, langit-langitnya tinggi dan halamannya luas. Masjidnya adalah hasil akulturasi Hindu dan Islam, mirip seperti Masjid Agung Demak. Fenomena yang tak kutemui di kota adalah beberapa orang disini masih memakai blangkon. Aku merasa seperti hidup di film yang berlatar Jawa zaman dahulu. “Nah, sudah sampai!”Kami berdiri di depan rumah bergaya joglo. Bangunan itu semuanya terbuatdari kayu. Di pojok kiri dan kanan teras rumah itu terdapat tiang berukiran kepalanaga yang sedang tertutup mulutnya, tetapi matanya menatap kami dengan siaga. Meja bundar setinggi dada orang duduk dan tiga kursi tertata rapi di depan rumah, Seolah sang pemilik sudah merasakan kedatangan kami. Selain itu, tersaji teko dantiga cangkir yang terkurap melingkar, semuanya berbahan dasar gerabah. Sejuruskemudian, keluarlah sosok manusia paruh baya dengan langkah berwibawa, memakai kaos putih dan celana hitam kain, dengan rokok kretek yang menyala ditangan kanannya. “Hei, kenapa masih berdiri disitu. Monggo-monggo2 mari masuk” seru bapak itu. “Bim, kamu jaga etika ya, bersikaplah yang sopan, karena di depan kita iniadalah orang yang terhormat” bisik Mas Budiman. Kami bertiga duduk di kursi yang sudah disiapkan tadi. Aku tak mau berkataapa-apa sebelum si pemilik rumah memulai pembicaraan. Kepala


kutundukkan sedikit dan tanganku tak berani kutaruh di atas meja. Kuletakkan tanganku di atas paha dan kesepuluh jemariku menyatu dalam genggaman layaknya sang murid yang sedang bertamu di kediaman gurunya. Bapak itu melihat kami dengan wajah tersenyum ramah. Berarti “silakan” dalam Bahasa Jawa. “Bagaimana kabarmu Bud?”. “Alhamdulillah, kabar baik Pak Yon.” “Perkenalkan ini Bimo, pengunjung setia perpustakaan kota.” Mas Budiman memperkenalkanku dan akupun tersenyum sambil menundukkan wajahku dihadapan wajahnya. “Nama saya Mulyono. Anda bisa memanggil saya Yon saja” “Monggo-monggo silakan diminum tehnya, ayo jangan sungkan-sungkan.” Pak Rampal menuangkan ketiga cangkir itu sambil melanjutkan obrolan. “Ayo sambil diminum, Ngomong-ngomong maksud kedatangan kaliankesini itu apa ya? mau pinjam buku?” Aku tersentak mendengar pertanyaan Pak Yon, mataku terbelalak menatapwajah Pak Yon yang mesem.


Lagi-lagi ia menggoda kami. Kesemuanya tak mungkin terjadi secara kebetulan. Mulai dari tiga kursi, tiga cangkir, dan sekarangia menanyakan buku itu. Orang jawa memang pandai menebak sesuatu. “Benar sekali Pak Yon, adapun maksud kedatangan kami kesini adalah untuk meminjam buku Alam Sastra Jawa karya Sastro Koestono, apakah anda masih menyimpan buku itu?” jawab Mas Budiman. “Buku itu tidak familiar di kalangan seumuran saya, apalagi generasi kalian. Memangnya kalian tahu dari mana?” “Sebetulnya, ini adalah wasiat almarhum dosen saya pak, beliau yang meminta saya membaca buku itu sehari sebelum beliau meninggal” kataku “Prof. Abdul Jalil! Kamu mahasiswanya Prof. Jalil?” jawabnya spontan “Betul Pak” Kulihat wajah Pak Yon berlari ke masa lalunya. Beliau tersenyum sambil memandang langit-langit. “Prof. Jalil itu kawanku semasa kuliah di Jogja dulu. Dia itu orangnya kalem sekali, lembut tetapi tegas terhadap nilai-nilai. Pertemananku dengannya sangat penuh makna. Pernah suatu ketika aku menemukan duah buah Apel yang jatuh daripohon, yang satu kuberikan kepadanya dan yang satu kumakan sendiri. Kami menikmati Apel itu di kamar kos Prof. Jalil. Kemudian di tengah-tengah makan ia bertanya.


”Kamu beli dimana Apel ini?” “Aku menemukannya jatuh dari pohon tadi saat perjalanan kesini” “Sudah izin yang punya?” “Belum” jawabku. Sontak Prof. Jalil tak melanjutkan makan, ia menarik tanganku dan menyuruhku untuk mengantar ke tempat dimana aku mengambil Apel untuk meminta izin kepada yang punya. Ia tak mau memakan barang yang tak jelas asal-usulnya. Sungguh budi pekerti yang mulia. “Buku yang engkau cari itu adalah hadiah Prof. Jalil waktu ulang tahunkuyang ke 25, silakan kalau engkau mau membacanya, mari kuantarkan ke dalam.” Aku dan Mas Budiman memasuki area perpustakaan Pak Yon. Terdapat duarak buku besar dengan ukuran lebar dua meter dan tinggi empat meter. Semuanya tersusun rapi, terkumpul sesuai genrenya. Aku dipersilakan beliau membaca buku itu, namun sayang aku tak bisa membawanya pulang, hanya diizinkan membacanya disini saja. Sehingga aku harus bolak-balik ke rumah Pak Yon untuk mengkhatamkan buku itu, Sementara, Mas Budiman sibuk membaca buku yanglain. Namun pada pertemuan kedua, kejadian yang tak kusangka membuatku berhenti membaca buku. Buku ini berisi tentang pituturpitutur jawa kuno beserta penjabarannya.


Pitutur pertama, heneng-hening-henungArtinya: Dalam diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam heningkita akan mencapai ketenangan yang hakiki. Pitutur kedua,Jroning suka kudu éling lan waspada artinya: Dalam keadaan gembira kita harus tetap ingat dan waspada Berarti “nasihat” dalam bahasa jawa. Pitutur ketiga, Mèpèr Hardaning Pancadriya artinya: Kita harus selalu mengekang hawa nafsu. Sudah, tiga pitutur itu kamu amalkan dulu, kalau sudah mengamalkan kemarilah lanjutkan ke pitutur selanjutnya, karena pada dasarnya ilmu tanpa amal tiada lain adalah kemunafikan, dan mencari ilmu itu bagaikan orang yang sedang meneteskan tinta ke dalam mangsi, harus sedikit demi sedikit dan penuh ketelitian, kalau langsung ditumpahkan ya bisa meluber kemana-mana. Itulah yang diajarkan Prof. Jalil kepadaku ”Sebenarnya dalam hatiku sedikit kesal, kenapa tak kubawa saja buku itu, daripada aku harus bolak-balik kesini, menghabiskan bensin saja, apalagi motorku butut begini.” Kalau kamu membawa buku ini pulang, kamu sudah pasti membacadengan buru-buru, sudah manut5saja. Sekarang kamu pulang, amalkan tiga pituturtadi. Kalau sudah kau amalkan, kembalilah kesini, lanjutkan” Aku sudah tak heran lagi, beliau ini bukan orang sembarangan. Kalimat dalam hati pun bisa di dengarnya. Pitutur kedua dan ketiga sudah ku amalkan, tetapi pitutur yang pertama rasanya sulit sekali untukku mengamalkan, sehingga akupun memutuskan kembali ke tempat Pak Yon dengan sedikit putus asa. “Pak Yon, pitutur kedua dan ketiga sudah kuamalkan, tapi pitutur yangpertama sangat sulit kuamalkan, aku tak mampu” “Ya sudah, kalau begitu mari kita amalkan bareng-bareng disini saja” Aku dan Pak Yon duduk berhadapan di atas kursi depan teras yangdipisahkan oleh meja bundar, seperti aku pertama kali bertemu beliau. Kami memejamkan mata bersama-sama, sambil mengikuti intruksi dari Pak Yon.


“Rasakan getaran semesta yang ada di dalam batinmu, masuklah ke dalam alam keheningan, masuklah lebih dalam, lebih dalam lagi hingga kamu menemukan ketenangan itu. Jangan berhenti menyebut asma Allah dalam hati. Teruslah menyebut hingga kamu seakan tak merasakan apa-apa.” Wadah tinta yang digunakan oleh santri di pesantren untuk menulis dengan cara menyelupkanpena ke dalam wadah secara berkala. Berarti “nurut” dalam bahasa jawa. Aku merasakan ketenangan yang tak pernah kurasakan selama hidupku! Tetapi, Pak Yon tak meneruskan intruksinya. Mataku pun kubuka pelan dan kulihat Pak Yon termangu dengan mata tertutup dan bibir yang tersenyum, serta nafas yang tak berhembus. Aku dan beliau telah mencapai ketenangan hakiki, namun dalam semesta yang berbeda.


Tumbuh Bersama, Pelestarian Mengikuti (Adhira Kurnia Adhwa) Gadis itu membuka halaman buku perlahan-lahan. Membaca setiap kata yang menyusun alur menjadi satu kesatuan. Tangannya menopang dagu, tatapan matanya tampak malas. Jika kegiatannya sekarang membaca buku, berbeda dengan jalanpikiran yang sedang amburadul. Sekelilingnya terdapat rak buku berjejer rapi, memenuhi isi toko. Dari buku abad 19 sampai 20 pun masih tersimpan di sana walaupun sudah berjamur. Toko kelontong itu sudah berdiri


sejak buyutnya masih muda. Diwarisi sampai sekarang Kartika harus mengurusnya agar bisa diturunkan kepada anaknya, lagi. Boro-boro meneruskan, hingga generasi ayahnya saja sudah mulai kehilangan banyak pelanggan. Berhenti di Kartika, mungkin terhitung segelintir orang untuk meminjam buku. Syukur-syukur kembali dengan selamat, terkadang buku yang kembali tidak dalam keadaan utuh. Berjamur, robek, ketumpahan, dan banyak lagialasannya. Di sanalah Kartika berpikir untuk menghentikan bisnisnya. ”Kak Tika.” Kepalanya mendongak, melihat tetangga sebelah menghampiri tokonya. “Maupinjam buku? Atau mau ajak aku tutup toko lagi?” tebaknya. Cakra tahu sekali tokonya sepi, makanya sering mengajak jalan untuk menghibur dirinya. Cakra terkekeh. “Kali ini mau pinjam buku,” ucapnya percaya diri. “Tapi KakTika ada buku bahasa daerah? Aku cari di perpustakaan, kebanyakan sudah tidak ada,” beritahunya. “Seingatku ada banyak. Cuma aku kurang tahu masih ada di rak atau tidak.” Kartika berdiri, mencari buku itu. Maklum Kartika baru enam bulan mengurus toko,jadi ia belum terlalu hafal tata letak setiap buku yang dibutuhkan pelanggan. “Tidak ada. Berarti ada di kardus. Kamu mau menunggu?” tanyanya setelah mencari. “Aku ikut,” ujar Cakra tidak mau ditinggal.


Ada sebuah gudang kecil untuk menyimpan buku-buku. Kata ayahnya, bukubuku itu disimpan karena sudah tidak ada lagi yang mencarinya. Kartika tersenyum kecil, sebegitu minimnya masyarakat ingin belajar daerah jika bukan karena paksaan dari ajaran sekolah. “Wah banyak sekali,” ucap Cakra kagum. Matanya ikut berbinar melihat Kartika mulai mengubek-ubek isi kardus. Ikut terbatuk ketika debu beterbangan ke sana-kemari. “Bukannya kamu bisa mencari bahasa daerah di internet?” Kartika menumpuk buku bahasa itu, membiarkan Cakra memilih. “Aku lihat sudah banyak websiteyang bisa langsung menerjemahkan kata daerah yang kamu cari,” ungkapnya. “Memang banyak.” Kartika terperengah. Menunggu Cakra melanjutkan kalimatnya. “Tapi bukan berarti yang ada di internet, betul semua `kan?” Mata mereka salingbertemu. “Aku tahu Kak Tika sedikit skeptis dengan orang yang meminjam bukudi sini. Tapi aku punya tujuan yang berbeda. Aku sungguh ingin meminjam buku, membaca buku, dan mempelajari semua dari buku-buku ini.” Jawaban Cakra sangat meyakinkan Kartika.


Sepanjang ia kenal dengan Cakra, tingkahnya selalu membuatnya sakit kepala. Suka bermain, membolos, mencari masalah dengan warga sekitar, dan banyak lagi. Makanya ia agak terkejut mendengar anak ini ke perpustakaan hanya untuk ... mencari ini. ”Kenapa kamu mau pelajari semuanya?” “Cukup simpel. Aku mau mewarisi bahasa sekaligus kebudayaan kita, Kak.” Matanya mengerjap, terkejut ketika Kartika menyentuh keningnya denganpunggung tangan. “Ke – kenapa, Kak?” tanyanya tergagap. ” Kamu sedang tidak demam `kan? Aku khawatir ini bukan Cakra yang aku kenal,” gumamnya. Perlahan menjauhkan tangannya dari wajah Cakra. “Wajahkamu merah,” beritahunya. Berusaha mungkin Cakra menstabilkan raut wajahnya. Berdiri setelah berjongkok cukup lama. “Kak, aku punya saran untuk Kak Tika,” ujarnya membuat Kartika mendongak kepala. “Coba Kak Tika buat terobosan baru biar toko ini tidaksepi lagi. Misalnya berdamai dengan perubahan jaman. Aku yakin toko ini akanbisa berlanjut lagi,” sarannya buru-buru keluar sembari memeluk buku yang dipinjamnya barusan.


“Wajahnya masih merah, sepertinya memang demam,” duga Kartika memperhatikan bayangan Cakra yang hampir menghilang dari pandangan. Namun usul dari Cakra membuatnya berpikir ulang. Agaknya ia perlu mengusung ide terbaru, tentunya perlu berdiskusi dengan ayahnya. Kartika pernah berpikir tentang ucapan Cakra kala itu hanya omongan belaka. Bisa saja ia sungguhan belajar, kemudian menyerah begitu saja karena banyak bahasa yang harus dipelajari. Karena Kartika tahu sikap Cakra seperti itu. Tapi tidak. Ucapan Cakra benar-benar diwujudkan dengan dirinya sendiri setelah sekian tahun anak itu menghilang. Kartika saja masih terbengong melihat televisi dengan mulut setengah terbuka. Tanpa berkedip, Kartika ingin memastikan yang dilihatn yaitu benar-benar Cakra atau bukan. “Dek, iku anak tetangga iringaning toko dudu? Raine kaya ora asing1 ,” sahut Ibu Kartika membenarkan kacamata. Menyipitkan mata selagi menunggu jawaban Kartika. “Iya, Bu. Dia dulu sering ke toko,” jawab Kartika. Kali ini Kartika yakin. Melihat pemberitaan sedang membawakan suatu acara pentas dari pemerintahan. Tertera jelas pada headline berita jika Cakra terpilih menjadi duta bahasa pada tahun tersebut. Hati mungilnya merasa tersakiti. Awal anak ini belajar bahasa darinya, tapi kenapa juga Cakra tidak pernah menghubungi Kartika untuk memberikan kabar itu. Toko tidak pernah pindah, nomor telepon toko juga tidak pernah diganti, apalagi Kartika masih rajin melewati rumahnya, memberi tanda kalau ia masih ada di sanamengurus toko. “Dheweke asring menyang toko? Pantesan bisa dadi duta mangkono, anake pinter2 ,” kekeh Ibu Kartika.


Lanjut melipat baju bersih di depan televisi. Kartika ikut terkekeh canggung. Andai ibunya tahu tujuan Cakra ke toko untukapa, pasti ucapan ibunya langsung berbanding terbalik dengan yang tadi. Tidak. Justru Kartika yang akan mendapat omelan dari ibunya karena dulu sering menutup toko tanpa sepengetahuan mereka. “Nduwe vidhio sinau basa laladan uga? Pinter pisan anake bu mayang iki3 .” Kartika melihat kembali televisi. Sekarang sedang membanggakan seorang Cakra yang mengajar di suatu platform. Tentang berbagai bahasa. Entah sudah berapa kali Kartika merasa bangga sekali dengan perubahan Cakra. Anak ini ... sekalinya bermimpi, tidak pernah main-main. “Akh ... sakit, Bu,” rintih Kartika saat ibunya memukul pelan bahunya. “Alon ngono, kamune ringkih4,” sindir Ibu Kartika, membuat Kartika mendengkus. “Arep budhal jam pira? Bisa wae pelanggan kowe wis nyelinapmlebu5 ,” ingatkannya. Buru-buru Kartika pamit, lupa akan waktu. Untunglah jaraknya tidak terlalu jauhdari rumah, ia bisa berlari secepat mungkin. Jangan berpikir jika toko Kartika tidak akan berubah konsep. Atas persetujuan ayahnya, akhirnya Kartika dapat menarik pelanggan lagi seperti sedia kala. Pelanggan yang agaknya tidak hanya sekali datang, melainkan berkali-kali datang hanya untuk meminjam buku. Jumlah pelanggan yang sama dengan pertama kali buyutnya menjalankan bisnis. Konsep sekarang adalah mempromosikan buku yang sudah berpuluh-puluh tahun terbit ke media sosial. Menyediakan seluruh seri penulis lama agar menarik pembaca. Tidak lupa mengadakan permainan kecil untuk mendapat reservasi dengan antrean teratas. Konsepnya sungguh sesederhana itu, tetapi dampaknya terasa sampai sekarang. Ternyata tidak sedikit orang yang masih tertarik buku-buku lama, ia pikir sudah mulai punah. Cakra benar, kalau saja ia mengikuti perkembangan jaman, tokonyaakan selalu ramai seperti ... ini.


“Hai, Kak Tika.” Tubuh Kartika seakan membeku ketika melihat siapa yang sudah menetap didepan tokonya. Masih ada jarak jauh di antara mereka, anak itu lebih memilih hampiri Kartika. “Kak Tika?” Cakra melambaikan tangan depan wajahnya. Kartika menggosok matanya, masih tidak percaya yang ia lihat. “Ini betulanCakra? Mungkin aku cuma halusinasi. ”Ia menepuk pipinya, mencoba menyadarkan diri. Dilihat lagi, tidak hilang. “Kok tidak hilang?” herannya. Cakra tertawa kecil. “Ini aku benaran, Kak. Lihat nih.” Tangannya sudah berani mencubit pipi Kartika sampai perempuan itu merintih. “Itu bukti kalau aku nyata. Di depan Kak Tika,” akuinya. “Baru ingat aku sekarang? Ku pikir kamu sudah lupa karena sudah sukses sekarang,” sindir Kartika. Pura-pura merajuk di depannya. “Ah ... Kak Tika sudah tahu rupanya.” Cakra mengusap tengkuknya, merasatidak enak. “Padahal aku sengaja baru muncul sekarang untuk memberitahu hal itu. Mau memberi kejutan,” gumamnya nyaris tak terdengar.


“Apa?” Cakra tersenyum lalu menggeleng. “Tapi sepertinya aku yang lebih dikasihkejutan sama Kak Tika. Agak kaget aku lihat sudah banyak yang menunggu didepan toko. Aku tanya, ternyata mereka mau pinjam buku,” ujarnya sesekali menunjuk ke arah toko. Kartika menepuk kening, lagi-lagi lupa dengan toko sendiri. “Aku buka toko dulu,” pamitnya. “Aku melu6.” Cakra mengejar Kartika dari belakang. Perempuan itu tersenyum, ternyata Cakra masih seperti orang yang ia kena ldahulu. 1 Dek, itu anak tetangga sebelah toko bukan? Mukanya tidak asing.2 Dia sering ke toko? Pantesan bisa jadi duta begitu, anaknya pintar. 3 Punya video belajar bahasa daerah juga? Pandai sekali anaknya Bu Mayang ini.4 Pelan begitu, kamunya lemah.5 Mau berangkat jam berapa? Bisa saja pelanggan kamu sudah nyelinap masuk.” 6 Aku ikut.


Buku Nusantara


Click to View FlipBook Version