(Sabrina Rachel Assyifa) Pagi ini terasa melelahkan bagi Kirana, padahal ia baru masuk ke ruangan perkuliahannya. Semalam ia mengerjakan tugas kelompok, namun tak satupun anggot akelompoknnya memiliki niatan untuk berkontribusi dalam mengerjakan tugas kelompok itu. Tentu saja Kirana tidak jadi tidur sesuai dengan jadwalnya dan malah begadang demi menyelesaikan tugas. Jika saja dosen mata kuliahnya yang satu itu tida kpemarah, ia berani tidak mengerjakan satupun tugas kelompok itu. Namun, dari padamendapatkan nilai E, tentu saja lebih baik Kirana mengerjakannya, sekalipun sambil mencak-mencak menahan kantuk. Namanya Kirana Affa Kusuma. Ia merupakan salah satu mahasiswa tahunkedua di Universitas Andalas. Ia merupakan anak yang lumayan pendiam dan sering mengalah, buktinya Kirana tidak tidur untuk mengerjakan tugas kelompok yang seharusnya dikerjakan bersama-sama. Karena sifat introvertnya itu, ia lebih sering membuat cerita mengenai kehidupannya sehari-hari. Di tengah rasa kesal, Kirana membuka aplikasi dimana semua orang bisa mengupload apa yang mereka inginkan. Aplikasi bernama ‘Post It!’. Kening Kirana berkerut heran, ia merasa tak pernah menginstall aplikasi bernama Post It itu. Namun,ia tetap membuka aplikasi tersebut, menghilangkan rasa curiganya. Baru saja dibuka, banyak orang yang tak ia kenal mengupload berbagai macam kata-kata bahkan cerita. Ada orang yang kesal, bahagia, bahkan ada juga orang yang menertawakan berbagai hal. Tak lama, Kirana mulai terbiasa dengan aplikasi tersebut dan tentu saja ia ikut menikmati apa yang ada di dalamnya. Baru saja menikmati dan menyelam di media sosial, dosen killernya memasuki ruang perkuliahannya. Kirana langsung mematikan hpnya dengan cepat dan memasukkannya ke dalam tas. “Proposal semalem mana coy?” tanya Kirana panik sambil mengubrak-abrik isitasnya sampai tak lagi berbentuk. Sedangkan Aleia, teman Kirana yang duduk disebelahnya, dengan polos bertanya. ”Kenapa Kir?” Dengan kesal, Kirana menggebrak meja secara tak sadar,
“PROPOSAL GUEILANG ANJIRR!” TAK! Bunyi spidol yang menggelinding di lantai setelah mengenai kepala Kirana, membuat Kirana langsung terdiam sambil meringis pelan. Semua teman sekelasnya sibuk menertawakannya pelan, sambil menutup mulut agar tidak ketahuan. Sedangkan Kirana menutup mukanya malu, memaki dirinya sendiri kenapa bertingkah sampai seperti itu. ”Keluar kamu! Jangan masuk kelas saya hari ini!” Teriak dosennya dengan nadatinggi, menunjuk pintu seolah mengarahkan Kirana untuk keluar. Dengan lesu Kirana menjawab, “Baik, Pak.” Setelah diusir dari kelas, kaki Kirana berjalan ke arah kantin. Berkali-kali ia menabrak orang lain, tapi tatapannya tetap saja kosong. Akhirnya seseorang berhasil menyadarkan Kirana dengan menepuk pundaknya. Badan Kirana langsung berbalik, mencari keberadaan orang yang berhasil membuyarkan lamunannya. “Aleia?” tanya Kirana mengerutkan keningnya lagi. Maksudnya, kenapa Aleia disini bersamanya? Bukankah seharusnya ia sedang di kelas bersama dosennya itu? “Gak kelas lu Al? Apa lu ikutan diusir kaya gue?” Tanya Kirana sekali lagi, tak mengharapkan jawaban Aleia terhadap pertanyaan sebelumnya. Aleia tersenyum geli,
“Emang boleh gue ninggalin sohib gue? Gue mah bukan fake friend!” Mendengar ucapan Aleia, Kirana kembali tersenyum senang. Untung saja ia menemukan sahabat di antara manusia-manusia kurang ajar di kelasnya itu. Kiranadengan cepat menarik lengan Aleia agar mengikutinya ke kantin. “Rencana gue untuk ngabisin waktu sekarang adalah makan seblak level 12 biar gue sakit perut melupakan semua hal yang telah terjadi,” batin Kirana sambil menyeringai. Memang Kirana cendrung menyakiti dirinya sendiri di keadaanmemalukan ini. “Iya iya ... gue tahu lu mau makan seblak, jadi santai aja ye,” ujar Aleia, seolah mengetahui pikiran Kirana. Kirana mengulum senyum saat sahabatnya itu tak lagi melarangnya mengonsumsi makanan kesukaannya. Dengan cepat Kirana berjalan diikuti dengan Aleia. Setelah sampai, mereka langsung duduk di kantin yang bisa dikatakan sepi. Kirana langsung memesan, Sedangkan Aleia duduk sambil menunggu Kirana memesan makanan. Setelah mendapatkan pesanannya, Kirana duduk di hadapan Aleia yang sudah sibuk menyeruput teh es yang ternyata ia bawa dari rumah. “Makan gih!” suruh Aleia seolah tau keinginan Kirana untuk menyantap seblakyang ada dihadapannya itu sudah tak tertahankan. “Masih panas eheheh, bentar lagi deh!” jawab Kirana terkekeh pelan. Ia mengingat ada aplikasi bernama Post It di hpnya tadi. Kirana langsung merogoh tasnya,kembali membuka aplikasi tersebut. Sebenernya ia tidak tertarik dengan hal lain seperticurhatan hati orang lain, tapi ia lebih tertarik dengan cerita mengenai karakter fiksiyang bisa di posting disana. “Liat apa lu, Kir? Tadi sebelum Pak Andre masuk juga lu fokus banget rasanyake hp,” tanya Aleia menatap Kirana heran. Tak biasanya seorang Kirana memilih fokuske hpnya dibandingkan menghabiskan seblak yang jelas-jelas udah ada di depanmatanya.
“Oh iya, lu tau aplikasi Post It ga Al? Soalnya gue baru pake, banyak ceritacerita bagus di dalamnya.” Kirana memberikan pertanyaan dan pernyataan sekaligus,tapi tak membuat Aleia terkejut sama sekali seolah telah mengetahuinya. “Tau lah coy, udah empat tahun gue punya aplikasinya. Tapi jujur sekarang aplikasinya ga sebagus dulu,” ucap Aleia sambil menggelengkan kepalanya tak suka. Sesekali ia meniup kuah seblak dan menyantapnya. Kirana menatap Aleia dengan protes, “Lah, menurut gue bagus aja tuh? Lu kali gatau makainya gimana.” Aleia meletakkan sendoknya ke atas meja. Kemudian, ia menumpukan badannya di kedua tangannya, mengarahkan badannya lebih dekat dengan Kirana. Kirana ikutan mendekatkan mukanya ke arah Aleia. Otomatis hp yang dari tadi dipegang Kirana ia letakkan di atas meja demi mendengar penjelasan Aleia. “Gue gatau yah, tapi kemaren ini gue banyak nemu cerita porno disana. Ofcourse, gue ga baca. Tapi jujur, pas gue liat komenannya, anak-anak dari SD sampeSMA njir,” ujar Aleia dengan lirih. Kirana menjauhkan tubuhnya dengan kaget, ia merasa tak mungkin sastra yang notabenenya karya malah ikut dilecehkan. Terlebih, adanya keterlibatan pada anak-anak di bawah umur di dalamnya. Kirana masih tidak percaya hal itu terjadi.
“Yang bener aja! Ga mungkin kaya gitu coy!” Aleia menghela napas pelan mendengar penolakan yang sangat jelas dari Kirana, “Gue serius Kirana. Belum lagi banyak juga yang ngepost kata-kata kasar, gasopan, apalagi sama orang yang lebih tua. Lu tau kan Kir, gue se-sensitif apa kalo bahasorang tua? Gue sempat bales komen di salah satu postingan orang karena dia ngatain orang tuanya gak guna. Udah gue ceramahin pake kata-kata yang sopan pun, dia malah ngeremehin anjir. Setelah saat itu, gue jarang banget pake aplikasi itu.” Kirana langsung terdiam, tak percaya mendengar apa yang telah ia dengar darimulut Aleia, sahabatnya sendiri. Aleia akhirnya menatap Kirana dengan tersenyum, “Tapi, balik lagi ke lo ajasih. Kalo lo bisa jauh dari hal-hal itu, bisa regulasi diri lu, bahkan kalo lu bisakembangin diri lu disana, just do it. Gue ga ngelarang kok. Cuma gue mau lu hati-hatiaja, oke?” Kirana mengangguk paham. Sepertinya ia harus lebih memperhatikan diriny asendiri sekarang. Tidak lagi ikut-ikutan dengan orang lain, tapi bisa memilih apa yangmenurutnya benar. Tidak lagi menuruti perkembangan zaman, tapi mengikuti hal positif yang bisa terjadi dalam hidupnya.
Memperingati Sumpah Pemuda Dan Bulan Bahasa (Valerie Ashley Widjaja) Alkisah di sebuah desa yang dikelilingi pepohonan lebat dan pegunungan, bernama Desa Mutiara. Terdapat seorang pemuda yang merupakan pecinta seni dan sastra, pemuda itu bernama Harsa. Di desanya sendiri, dia merupakan orang yang terkenal ramah dan rendah hati. Semua orang disana juga mengetahui bahwa Harsa adalah pecinta seni dan sastra yang selalu mengadakan acara tiap tahunnya. Pada bulan Oktober tahun ini, dia ingin menyuarakan semangat Sumpah Pemuda dan kekayaan bahasa di Indonesia melalui ekspresi budaya. Ia membuat sebuah acara untuk memperingati Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa. Tidak hanya untuk memperingati sejarah tapi juga untuk menggali kekayaan bahasa yang dimiliki bangsa Indonesia. Suatu pagi, dia sedang menempelkan kertas poster di tiang-tiang dan di pohon. Seorang perempuan yang melihat hal itu pun bingung.
“Hey Harsa! Untuk apa kau menempelkan kertas di tiang-tiang dan pohon?” tanyaperempuan itu. “Oh, ini mbak, aku lagi mau mencari kelompok seni untuk membuat acara peringatan Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa”, jawab Harsa. ”Kelompok seni? Seni apa aja ini?” tanya perempuan itu. “Iya, mbak. Seni musik, vokal, tari, rupa, drama apa pun itu”, jawab Harsa. “Mbaknya tertarik? Kalau boleh tahu namanya siapa ya mbak?” tanya Harsa. “Aruna, mas”, jawab Aruna. “Oke, kalau mbak Aruna tertarik boleh dihubungi nomor telepon ini ya”, kata Harsa. “Sip mas, ntar saya hubungi”, ucap Aruna Sore pun tiba, Harsa mendapat beberapa pesan teks dari orang-orang yang tertarik. Ia membaca semua pesan yang masuk lalu mengumpulkan mereka semua esok hari di Lapangan Mutiara. Saat malam tiba, Harsa tidak dapat tidur karena terlalu bersemangat. Keesokan hari pun tiba, alarm yang berdering membangunkan Harsa dari pelukanmalam. Ia segera bersiap dan keluar rumah dengan penuh semangat. “Harsa! Tumben kau bangun sepagi ini”, ucap tetangga Harsa sambil menyapu halaman rumahnya.
“Hehe, iya Bu. Lagi ada acara ini”, sahut Harsa. “Ohh, ya sudah hati-hati dijalan ya!” kata tetangga Harsa. “Iya, makasih Bu!” jawab Harsa. Dengan penuh semangat, dia berjalan menuju Lapangan Mutiara. Melihat sudah adabeberapa orang yang berkumpul untuk membahas acara tersebut. Harsa sekali lagi cukup terkejut dengan banyaknya orang yang berada disana menunggu Harsa. “Mas Harsa, Mas Harsa, ada disana” teriak salah satu orang disana. Semua orang langsung menoleh ke arah Harsa yang sedang berjalan. Harsa pun tidak dapat menyembunyikan senyumnya yang terlihat gembira itu. Harsa juga melihat Aruna bersamateman-temannya yang sedang berbincang bareng. Harsa segera memasuki lapangannya dan menyambut semua orang disana. Terlihat beberapa orang disana adalah orang yang pernahberperan dalam acaraacara yang pernah diadakan oleh Harsa. Harsa yang sudah semangat pun bertambah semangat. Loka, sahabatnya, juga berada disitu. Loka yang melihat Harsa tiba pun langsung menyambutnya. “Sa, udah lama nih ga bikin acara ginian lagi. Pokoknya kita harus bikin acara ini lebihmeriah dari yang sebelumnya”, ucap Loka. “Tentu dong Lok”, ucap Harsa.
Harsa mulai menjelaskan rangkaian acara dan membahas peran-peran yang dibutuhkan. Kelompok seni yang beranggotakan lebih dari 80 orang akhirnya terlaksanakan. Harsa membagi mereka menjadi kelompok seni drama, musik, vokal, tari, dan juga rupa. Terdapat juga kelompok panitia seperti panitia konsumsi dan lain sebagainya. Semua orang yang bekerja disini melakukannya secara sukarela. Acara ini juga merupakan acara yang grati sdan tidak berbayar. Setelah selesai membahas kelompok dan panitia acara, mereka semua diperbolehkan untuk meninggalkan tempat. Berita bahwa Harsa akan mengadakan sebuah acara, akhirnya terdengar di kuping Pak Jagat, Kepala Desa dari Desa Mutiara. Pak Jagat segera menghubungi Harsa untuk membahas perihal dana yang dibutuhkan demi menyelenggarakan acara tersebut. Awalnya Harsa menolak karena sudah mendapatkan bantuan dana dari Pak Jagat di acaraacara sebelumnya. Akhirnya Pak Jagat berhasil membujuk Harsa agar Pak Jagat dapat memberi bantuan dana. Harsa segera ke rumah Pak Jagat untuk membahas rangkaian acara untuk memperingati Hari Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa. Sehari sebelum acara dilaksanakan, semua orang sibuk latihan untuk acara besar yang akan mulai. Harsa menyewa sebuah panggung dengan lampu kelap-kelip dan pengeras suara. Latar belakang panggung dilukis oleh tim seni rupa menggambarkan perjuangan dan persatuan. Dengan kuas dan cat warna-warni, tim seni rupa berhasil menciptakan lukisanyang memukau setiap orang yang melihatnya. Sementara itu, Loka, tim seni musik dan timseni vokal menciptakan syair dan melodi yang mampu menyentuh hati para penonton. Dengan pemilihan kata yang sempurna, mereka memadukan antara bahasa Indonesia danjuga tembang Jawa. Memadukan unsur tradisional dan modern menjadi satu padu. Arunadan tim tari dengan gerakan-gerakan luar biasa yang mampu mengikat mata penonton. Timdrama yang menampilkan drama bertema “Perjuangan Pahlawan Demi Kemerdekaan Indonesia”.Tibalah Hari Sumpah Pemuda, hari yang dinanti-nantikan oleh semua orang. Terlihatwarga-warga antusias yang berkerumun di lapangan. Acara belum mulai, penonton sudahdibuat tercengang oleh lukisan yang menjadi latar belakang panggung. Semuanya terlihatsempurna, lukisan yang dapat membangkitkan semangat patriotisme. Harsa selaku pemimpin dan pembuat acara, berdiri diatas panggung memberikan sambutan meriah. Harsa membuka pertunjukan dengan puisi tentang Sumpah Pemuda dan membacakan ikrar Sumpah Pemuda. Ia mengajak penonton untuk merenungi lukisan yang menjadi latar belakang panggung. Diiringi dengan musik yang ditampilkan oleh tim musik dan nyanyian pelan oleh tim vokal. Menciptakan atmosfer yang tak terlupakan. Membuat penontonmerasakan getaran semangat perjuangan pahlawan yang tewas saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Setelah selesai membaca puisi, Aruna dan sekelompok penari yang mengenakan baju tradisional memasuki panggung. Bersinar diatas panggung mengalahkanlampu panggung dengan gerakan anggun. Gerakan lembut yang diiringi melodi yangmengalir bagaikan sungai yang menari. Formasi dan langkah tiap penari yang memikat hatipara penonton. Panggung yang menjadi saksi bisu dari penampilan yang
mengagumkan. Setelah selesai, penonton memberikan tepuk tangan meriah dan sorak sorai. Kemudian masuklah tim drama mempersiapkan diri untuk menampilkan kisah “Perjuangan PahlawanDemi Kemerdekaan Indonesia”. Mulai memasuki puncak kisah, seketika panggung berubahmenjadi medan perang. Bendera berkibar, teriakan semangat dari segala arah, suara tembakan, dibarengi dengan pencahayaan merah yang melambangkan semangat dan kemarahan juga lagu kebangsaan yang dinyanyikan bersama. Pertunjukan drama pun berakhir. Penonton yang terpukau oleh kehadiran mereka diatas panggung masih tercengang. Puncak acara pun tiba, Harsa, Loka, dan tim musik menampilkan sebuah lagu. Memadukan unsur tradisional dan modern, mereka membawakan sebuah lagu B ahasa Indonesia dengan tembang jawa. Harmoni suara mereka yang memikat hati para penonton. Bait per bait mereka nyanyikan dengan sepenuh hati tanpa ada kesalahan satu pun. Hingga akhirnya selesai, sekali lagi para penonton bertepuk tangan meriah dan bersorak sorai. Dengan ucapan terima kasih oleh seluruh tim dan Harsa, itulah akhir dari acara “Memperingati Hari Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa”. Pengalaman seni yang mendalam dan tidak dapat terlupakan. Menginspirasi generasi-generasi yang akan datang. - TAMAT
Ketika Bahasa Indonesia Tersesat di Dunia Digital (Muhammad Rifqi Azmi Asshidiqi) Klakson mobil tak pernah terdengar seribut itu di telinga Bima, seorang remaja yg tinggal di kota kecil yang belakangan ini mulai hiruk-pikuk saking ramainya. Bima memiliki cinta mendalam pada Bahasa Indonesia. Dia selalu berusaha mempertahankan keelokan kata-kata dalam setiap kalimatnya, meskipun dunia di sekitarnya semakin terjerat dalam serba digital. Pagi itu, Bima duduk di sudut perpustakaan kota, tempat yang menjadi oase ketenangan bagi pemuda itu. Di hadapannya, buku-buku klasik dan kamus-kamus bahasa terbuka lebar. Namun, satu peristiwa tak terduga mengubah segalanya. Bima
menemukan temannya, Rani, yang sibuk dengan gawai terbarunya. Gawai itu menjadi pusat segala perhatiannya, membuatnya lupa bahwa di sekitarnya ada dunia kata-kata yang menggoda untuk dijelajahi. Bima menyadari, bukan hanya Rani yang terjebak dalam pesona digital, melainkan bahasa yang ia cintai. Dalam hari-hari berikutnya, Bima mencoba memahami dan menemukan tempat bahasa dalam era digital. Ia menulis blog tentang keindahan Bahasa Indonesia, tetapi hanya sedikit yang membacanya. Dalam dunia yang dipenuhi singkatnya perhatian, kata-kata panjang danindah seperti terbang begitu saja. Suatu hari, Bima mendapatkan ide untuk menciptakan podcast entang bahasa. Ia berharap suara dan ceritanya dapat mencapai generasi muda yang lebih suka mendengarkan ketimbang membaca. Namun, usahanya terhenti ketika ia menyadari bahwa persaingan di dunia podcast sangat sengit. Bima merenung di perpustakaan, di bawah kilau lampu yang hangat. Tiba-tiba, ide cemerlang menyapanya seperti kilat. Mengapa tidak menggabungkan kecintaannya pada bahasa dengan kecanggihan teknologi? Bima pun mengembangkan aplikasi ponsel yang membantu pengguna memahami dan mencintai keindahan Bahasa Indonesia. Aplikasi itu menjadi proyek besar dalam hidup Bima. Ia menyusun kamus modern dengan definisi yang jelas dan contoh kalimat yang menarik. Fitur terjemahan langsung dan permainan kata-kata membuat aplikasi itu semakin menarik bagi generasi yang lebih suka berselancar di dunia maya. Namun, tantangan belum berakhir. Bima menyadari bahwa dalam dunia digital, kebenaran sering kali terdistorsi. Bahasa sering kali disalahgunakan dan diterjemahkan dengan sembarangan. Bima tidak hanya ingin memberikan alat pembelajaran, tetapi juga melindungi keaslian dan keelokan bahasa. Ia pun memutuskan untuk mengajak beberapa teman bahasa untuk membentuk komunitas daring yang peduli pada Bahasa Indonesia. Bersama-sama, mereka memantau dan mengoreksi informasi yang tersebar di dunia maya. Mereka berusaha membangun kesadaran akan pentingnya menggunakan bahasa dengan bijak, bahkan dalam ruang digital. Aplikasi Bima menjadi populer, bukan hanya di kalangan pelajar dan mahasiswa, tetapi juga di kalangan profesional yang ingin meningkatkan keterampilan berbahasa mereka. Bima melihat keberhasilannya sebagai awal dari perubahan kecil yang dapat mengubah arah perjalanan bahasa dalam era digital. Suatu hari, Bima diundang untuk memberikan ceramah di sebuah konferensi internasional tentang bahasa dan teknologi. Di hadapan para ahli bahasa dari berbagai negara, Bima menceritakan perjalanan panjangnya mengubah cinta pada bahasa menjadi suatu bentuk yang dapat diterima dan diakses oleh semua orang, termasuk mereka yang terlena dalam dunia digital. Bima menyimpulkan ceramahnya dengan menekankan bahwa Bahasa Indonesia tidak hanya hidup di buku dan perpustakaan, tetapi juga dapat tumbuh dan berkembang di dunia digital. Kuncinya, menurut Bima, adalah menggabungkan kecintaan pada bahasa dengan kecanggihan teknologi, menjaga keaslian, dan berkomitmen untuk menggunakan bahasa dengan bijak. Konferensi berakhir dengan tepuk tangan meriah. Bima merasa bangga bisa menjadi bagian dari perubahan positif dalam dunia bahasa. Ia kembali ke
kotanya dengan semangat baru, siap untuk terus mengembangkan inovasi dan memberikan kontribusi pada keberlanjutan Bahasa Indonesia di era digital. Dengan tekad yang kuat, Bima melangkah ke depan, meyakini bahwa bahasa tidak hanya akan bertahan, tetapi juga akan terus berkembang dalam era digital yang penuh tantangan dan peluang. Bima mulai aktif di media sosial untuk mempromosikan aplikasinya. Ia juga menjalin kerja sama dengan beberapa lembaga pendidikan dan komunitas bahasa. Dengan kerja kerasnya, aplikasi Bima mulai dikenal oleh masyarakat luas. Selain itu, Bima juga terus mengembangkan aplikasinya agar semakin bermanfaat bagi pengguna. Ia menambahkan fitur-fitur baru, seperti fitur penyuntingan kata, fitur terjemahan otomatis, dan fitur permainan kata-kata. Aplikasi Bima mendapat sambutan positif dari masyarakat. Banyak orang yang merasa terbantu dengan aplikasi ini. Mereka mulai menyadari bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa yang indah dan kaya makna. Bima merasa senang karena usahanya telah membuahkan hasil. Ia berharap bahwa aplikasinya dapat menjadi inspirasi bagi orang lain untuk mencintai dan menjaga Bahasa Indonesia.(SELESAI). Keterangan:Terdistorsi adalah pemutarbalikan suatu fakta, aturan, dan sebagainya; penyimpangan. Oase adalah sumber mata air di padang pasir yang menjadi tempat singgah para pengembara. Tetapi disini maksudnya menggambarkan perpustakaan kota tempat Bima biasa menghabiskan waktu. Perpustakaan kota menjadi tempat yang tenang dan nyaman bagi Bima untuk belajar dan membaca. Gerai adalah tempat usaha yang menjual barang atau jasa. Podcastadalah hasil rekaman audio yang bisa didengarkan oleh khalayak umum melalui media internet.
Sandor Rellang di Tanah Mojan (Nurillah Achmad) Tiap kali ke makam lalu menabur kembang di dekat nisan, Mamak acapkali merintihmenyebut namaku berulang-ulang. Mamak betah berlama-lama di sini. Meski kadang taktega mendengar pilu suaranya yang menyayat hati, aku merasa beruntung memiliki ibuseperti Mamak. Bagi aku—anaknya yang mati padahal belum genap berusia 2 tahun—tak adayang lebih indah selain dibesuk orang tua sendiri.“Sepertinya Mamak belum ikhlas melepasmu,” katamu melihat air mata Mamak jatuhsatu per satu. Aku membenarkan lewat senyuman. Bahasa mata Mamak seolah bicara jika iamenyimpan pedih tak tertangguhkan. Andai aku tak meninggal, barangkali saat ini Mamaktengah mengajariku memanggil burung, kucing, cicak, atau apa pun di sekitar rumah. Seorang ibu tetaplah ibu meski anaknya mati, dan seorang anak harus tetap menjadianak meski tak lagi bersama orang tuanya. Begitu katamu saat mendapatiku menatap nanar. Sebagai adikmu yang dua hari lalu mati, aku hanya mampu meratap sembari berharap agaraku bisa kembali dalam dekapan Mamak.“Barangkali Mamak sulit ikhlas karena
jalan kematian kita sangat mirip.”Aku kembali menatapmu, takut salah bicara. Apalagi selama aku hidup, hanya sekaliMamak menyebut namamu, yakni saat aku mengerjap-ngerjap di atas dipan, saat itulahMamak memohon pada Tuhan agar aku tak ikut menyusulmu.“Aku juga mati saat Bapak mengirim sayur keluar kota, padahal keesokan hari adaSandor Rellang.”“Sandor Rellang?”Engkau memandangku sayu, lantas kau cerita kalau tiap tanggal 1 Suro, para pelakimelalukan ritual di atas makam leluhur Mojan.“Di sanalah letak makam para pembabat kampung,” kau mengajakku keluar danmenunjuk deret makam tua yang letaknya bersebelahan dengan tempat tinggalmu. “Dimakam itulah Sandor Rellang dilaksanakan. Kau tahu, tak semua lelaki bisa menjadi penari.”“Mengapa?”1Sandor Rellang adalah tradisi atau budaya sastra lisan yang diselenggarakan tiap tanggal1 Suro di Klungkung, Mojan yang berada di lereng Hyang Argopuro wilayah Jember. Biasanya dilakukan oleh beberapa lelaki dengan mengenakan pakaian khas sembarimerapalkan doa-doa dalam bentuk sastra lisan saat mengitari makam leluhur Mojan. Tradisiini kembali dihidupkan setelah bertahun-tahun mati suri.” Karena tak semua lelaki sanggup menghafal doa-doa Sandor yang tak boleh ditulis. Kalau mau menerima warisan doa, ia mesti menghafal dulu. Ini tradisi turun-temurun agartanah Mojan dalam perlindungan Lah Ta‟ala.”Malam telah larut. Mamak telah pulang, tapi aku mendengar suara tangis anak lelakidi sebelah utara. Engkau mengajakku menemui anak itu. Agaknya, ia baru meninggal.Tanahnya masih basah beraroma kembang.“Ia dikubur bersamaan denganmu. Tapi aku kira, dia tidak berasal dari dusun sini.”Aku mengikuti langkahmu menuju makam kecil di bawah pohon kamboja.“Arham?”Kau terperanjat saat aku mengenal anak itu. “Kau kenal?”Aku mengangguk meyakinkanmu. “Bapak pernah membawaku ke dusun sebelah danaku bertemu dengannya.”***Tak pernah aku kira, kalau kita bertemu lagi dalam keadaan begini. Ya, aku tahunamamu Randu ketika kau ke rumah sebulan lalu. Sebulan sebelum kita sama-sama bertemumenjadi ruh seperti ini. Sebulan sebelum hari naas itu terjadi hingga akhirnya kita bersuamalam ini.“Bagaimana bisa kamu di sini?” sela seseorang di sebelahmu. Sosok perempuan yangusianya sedikit lebih tua dariku.“Nina,” katamu. “Dia kakakku.”Aku tidak tahu kalau kau memiliki saudara di alam ini. Ah, seketika aku merasamemiliki keluarga saat bertemu kalian berdua. Apalagi, kakakmu tampaknya tak sabarmendengar apa yang terjadi pada malam itu. Pada malam di mana tulang belulang dalamtubuhku seakan melepuh, sementara kepala seperti diterjang seribu palu.“Apa yang terjadi padamu?” tanya kakakmu kembali.“Aku tengah sakit. Ibu memohon pada Bapak agar membawaku ke kota. Bapakbergeming sebab keesokan hari ada Sandor, dan harus memastikan ritual itu tetapberlangsung.”Lantas aku cerita bagaimana ibuku begitu panik malam itu. Ia mondar-mandir daridapur ke depan sembari menggendongku sementara air matanya luruh membasahi tubuh.“Aku mohon, bawalah anak kita ke bawah,” kata Ibu sembari bersujud ke kaki Bapak.“Pantang seorang perempuan nikah sirri sepertimu menunjukkan hasil persetubuhankita. Apalagi aku orang berpangkat.”Bapak bersikukuh. Ia enggan membawaku berobat. Menjelang
tengah malam,panasku kian menjadi-jadi.“Sandor Rellang bukan sekadar doadoa. Tapi juga perantara untuk menjaga tanahMojan dari incaran tangan luar,” ujar Bapak. Malam itu, Bapak mengoceh soal tanah Mojan yang mengandung emas layaknya diSilo dan Paseban. Kata Bapak, orang luar kampung mengetahui letak emas di lereng HyangArgopuro ini. Ibu tak menanggapi perkataan Bapak. Ia terus menimang tubuhku yang mulaikejang-kejang. Apalagi bola mataku memelotot ke atas, Ibu kian gelagapan.“Pak. Bapaaak,” teriak Ibuku. Tapi Bapak tak peduli. Ia malah menyebut Sandorharus tetap dilaksanakan agar tanah Mojan tetap lestari. Aku masih mengingat samar-samar kejadian menjelang kematian. Ibu membawaku kehalaman sembari teriak di bawah naungan malam. Saat itulah, saat lolongan binatangterdengar dari sudut kaki gunung ini, Ibu memekik tajam manakala sadar kalau aku telahdibawa malaikat maut.“Itulah yang terjadi. Bapak tak menangis saat aku mati, tapi malah mencak-mencakketika Sandor Rellang gagal terwujud lantaran pemimpin ritual tak datang,” katakumengakhiri cerita. Kakakmu tampak merundukkan kepala usai mendengarnya. Agak lama sampaiakhirnya dia bersuara.“Aku pernah melihat ritual Sandor setelah kematian. Beberapa lelaki bukan sekadarmengenakan pakaian dan odheng di kepala, atau saling bergandengan tangan sembari menarimengitari makam leluhur. Melainkan doa Sandor Rellang yang dipimpin Bapak teramatampuh, dan hanya Bapak satu-satunya pewaris doa.”“Bapakmu? Jadi bapakmu ketuanya?” tanyaku setengah tak percaya. Kakakmu mengiyakan. “Tahun pertama aku mati, tanah Mojan kecolongan. Beberapapenambang telah menggali tanah sebelah timur makamku dan untungnya mereka tertangkapdan dibawa ke balai desa. Ketika itu menjelang tanggal 1 Suro. Bapak dan beberapa penarisepakat memohon leluhur mengutuk penambang. Kalian tahu, apa yang terjadi selanjutnya?”Aku menggelengkan kepala. Kakakmu kembali menyambung cerita.“Sesaat sebelum Sandor Rellang dimulai, angin menghembus kencang. Pepohonantumbang. Bapak tetap memulai ritual. Baru beberapa putaran, tiba-tiba angin bertiup rendah. Hujan berhenti. Dan tiga lelaki itu, para penambang emas itu, tiba-tiba mati bersamaan. Semua orang percaya kalau doa leluhur begitu dekat dengan pintu langit lewat perantaraSandor Rellang.”Usai mendengar cerita kakakmu, aku sebetulnya ingin bertanya, tapi kakakmu pamitkembali ke makam. Aku kecewa saat melihatnya keluar dari makamku ini. Namun, belumsampai kakakmu berjalan jauh, ia memanggilku lewat suara bergetar.“Arham, cepat keluar. Arham!”Aku tergeragap mendengarnya. Aku hendak bertanya, gerangan apa ia memanggilkuketakutan, tapi aku terkesiap melihat beberapa lelaki tengah memasang garis danmengikatkannya pada pohon kapuk sebelah makam.“Pasti mereka,” kataku.“Siapa?”“Orang luar Mojan yang mengincar emas.”Derau angin merontokkan dedaunan. Tapi mereka seakan tak peduli.“Tidurlah. Esok kita bertemu.”“Bagaimana denganmu?” tanyaku“Tak usah risau. Aku bisa jaga diri.”Akhirnya, kalian pamit. Kau ke tepi barat sementara kakakmu menuju sebelah timur.“Tidurlah,” kata kakakmu mendapatiku tak lekas masuk ke makam. Aku ingin berujar „hati-hati‟, namun bibirku diam tak
bergerak.***Keesokan hari, tanah Mojan gempar. Sebagian orang melempar umpatan. Sebagianlagi terbungkam manakala makam leluhur dan beberapa makam lainnya telah dibongkar. Mereka mengutuk pelaku, tapi saat mata tertuju pada sisa bongkahan emas di bekas galian,mereka justru terdiam dan saling memandang.” Kakak, kau di mana, Kak? Kakak?”Tak tega aku mendengar suaramu, Randu. Suara yang begitu menyayat hati saat kaumencari keberadaan kakakmu.” Kakak? Tak dengarkah kau kalau aku mencarimu?”Kau terus berteriak memanggil kakakmu, Randu. Bisaku terdiam memandangmuyang ketakutan. Tak tega rasanya aku cerita padamu kalau semalam aku melihat makamkakakmu dibongkar. Tak tega rasanya kalau aku cerita, jika tulang belulangnya dibawa keluarMojan.“Mamak...” katamu menghampiri ibumu. Tapi perempuan paruh baya itu tak sanggupmendengar suaramu. Ia duduk meratapi makam kakakmu terbongkar. “Kakak tak ada, Mak. Kakak tak ada,” katamu lagi. Aku kian meringis melihatmu sesenggukan mencari kakakmu. Apalagi, tangismu kianmelengking manakala kain kafan kakakmu tertinggal di dalam lubang bersamaan dengansebongkah emas yang kini direbutkan orang.” Kakak, mengapa kau pergi, Kak? Kakak? Tak tahukah kau kalau aku mencarimu?”Kau terus teriak, Randu. Kau terus teriak memanggil kakakmu tapi percuma. Percumasebab semalam aku melihat sendiri siapa yang menggali makam kakakmu. Kau tahu siapapelakunya?Ibumu, Randu. Ia bersekongkol dengan ayahku dan menjebak ayahmu selaku ketuaSandor agar tak bisa memimpin ritual. Dengan begitu, keduanya mendapat jatah daritambang emas di bawah makam sana. Para Pemimpi dan Rasa Bangganya ( Raihanah Rahmania Rumy) Dahulu kala, pernah terdengar suara lantunan tembang di setiap rumah. Suara tawasehabis menonton pertunjukan yang diadakan di balai desa. Juga senyum danbusungnya dada para penduduk, atas karya-karya seni daerah mereka yang sudahdiakui banyak orang.“Berbanggalah kami akan budaya dan seni indah diwariskan kepada kami,” katamereka. Senyum bangga selalu hinggap di wajah para warga. Pun selaras dengan suasanadamai yang selalu hinggap pula di desa tersebut. Para warga hidup drngan penuhbangga dan damai dalam diri. Bangga akan budaya, dan penuh dengan rasa toleransiakan keberagaman budaya yang ada pada wilayah tersebut. Para lelaki desa berkumpul dan bermusyawarah demi
menjaga keamanan danketentraman desa. Terdengar suara tawa keras dari sebuah gubuk sederhana tempatbapak-bapak bergantian menjaga pos untuk menghindari gagal panen di desa itu. Pun para wanita hidup dengan keindahan budaya yang mereka turunkan turun-temurun dengan rasa bangga kepada anaknya. Mereka lantunkan lagu tradisionalyang dulunya Ibu mereka lantunkan sebagai pengantar tidur anaknya. Kadang pulaceritakan dongeng-dongeng tradisional penuh hikmah sebagai kisah pemgantartidur. Berkatalah mereka setiap harinya, “Jadilah anak baik. Dan penuhi hatimu denganrasa bangga terhadap warisan leluhurmu.”Seni, budaya, harmonisnya mereka, rasa bangga, dan banyak hal lainnya. Segalanyasangat indah. Begitu indah sampai-sampai mereka dibuat terlena oleh rasa banggadan congkak itu. Sayangnya, kenyataan dan arus besar menghantam kebanggaan mereka. Seiring dengan perjalanan waktu menuju modern, berbagai budaya dari luar mulaimasuk. Berbagai hal-hal modernisasi dipaksa timbul dan menggeser posisi warisanbudaya yang dulunya mereka banggakan. Kebanggan mereka hilang. Kebanggaan yang tertumpuk di dasar hati, perlahan tunduk di bawah kekuasaanbudaya negara lain dan mudahnya teknologi. Hari, bulan, bahkan tahun demi tahun berlalu. Orangorang yang diwariskankebudayaan-kebudayaan dengan penuh rasa bangga perlahan menghilang. Adayang memilih membelot dan memberontak dengan membiarkan dirinya diserangarus modernisasi tanpa batas. Adapula yang sudah berjuang, namun sayang,kematian menghentikan perjuangannya secara paksa. Hancur sudah kebudayaan yang sudah dipercayakan oleh para leluhur denganpenuh rasa bangga. Dan di sinilah ia. Seorang wanita biasa, dengan watak keras dan tangguh yangmasih keras kepala mempertahankan budayanya. Ia berjuang seorang diri. Sebabsemua sanak saudaranya sudah melupakan dan mengaku kalah pada hebatnyaperkembangan jaman. Namun, apa daya. Ia hanyalah seorang wanita miskin. Wanita miskin yangpendapatnya pun tak akan dihiraukan sama sekali oleh orang-orang. Yang apabilaia menyuarakan suaranya, hanya tatapan sinis dan cacian yang ia dapatkan dariorang lain. Sukma dipaksa kalah oleh keadaan, meski jiwa raganya memaksa berjuang. Sukma kalah dengan keras kepalanya orang-orang pedalaman lain yang memilihmembelot dan bersenang-senang dengan budaya luar, serta melupakan tugasmereka untuk menjaga dan melestarikan budaya yang telah diwariskan kepadamerekaNamun, biarlah. Sukma akan tetap berjuang. Berjuang untuk budaya, dan jati diriyang selama ini dijaga drngan penuh kehati-hatian oleh leluhurnya. Puluhan tahun berlalu, kini perjuangan Sukma diharapkan akan diteruskan kepadacucunya, Bathari. Bathari, anak perempuan pemalu yang dirawat oleh sang nenek seorang diri. Sebabstatus yatim-piatu yang melekat dirinya sejak umurnya yang masih satu tahun. Sang nenek, pejuang pada masanya, menaruh harap besar pada Bathari. Harap-harap agar Bathari bisa meneruskan perjuangannya yang sudah renta ini, untukmelestarikan kebudayaan-kebudayaan yang selama ini ia perjuangkan. Sang pewaris, nenek didik dengan penuh ketegasan. Nenek tanamkan prinsip dannorma-norma pada diri Bathara sejak ia masih kecil. Semua cara Nenek lakukan,agar nantinya
Bathara bisa menggantikan dan mewarisi kebanggaannya. Namun sayang, harap besar sang nenek harus berganti menjadi kecewa yangteramat. Sebuah kecelakaan buat cucunya jadi cacat. Cucunya bisu dan tuli. Sang nenek dibuat hancur sehancur-hancurnya. Saat mendapati fakta kejam yang ia sadari sesaat bangun dari tidur panjangnya,Bathara menangis kencang sekali. Sebab sekali lagi, ia hancurkan harap besar neneknya. Juga sebab kebudayaan-kebudayaan itu telah menjadi hidup dan teman Bathara. Namun, hidupnya ini akandipenuhi dengan keheningan. Dan kecil kemungkinannya untuk Bathara bisaterbebas dari keheningan ini. Dia tidak akan bisa lantunkan lagu tradisional seperti yang dulu neneknya lakukan,tak akan bisa lantunkan senandung tembang bersama keluarga serta temannya, jugatak bisa rasakan ekspresi budaya yang juga hidupnya ini, melalui perantara suara. Bathara putus asa. Tangis putus asa terus ia lantunkan setiap malamnya. Ia juga ingin turut serta jadi bagian dari perjuangan, namun keadaan seakanmenyuruhnya menyerah sebelum sempat memulai. Dengan kebisuan dan tulinyaitu, tak akan ada yang mau mendengarkan pendapatnya. Tak akan ada satupun. Lantas bagaimana pewaris dapat menjalankan dan meneruskan perjuanganneneknya?Tangis tak terima, berubah jadi putus asa, dan berakhir jadi penerimaan kenyataanyang selalu menyakitkan untuk dijalani. Kenyataan bahwa sampai kapanpun,dirinya akan selalu dihantui keheningan. Sampai akhirnya penerimaan menyakitkan itu berubah jadi lapang dada ketika iamenemukan sastra. Baginya, sastra dan tulisan lebih dari cukup untuk menjaditempat dirinya bisa mengeksplor dan mengungkapkan ide atau gagasan yangselama ini hanya berkeliaran di kepala. Berkat sastra, hidupnya yang awalnya dipenuhi keputusasaan jadi berwarna. Lantas, Bathara bertekad. Bertekad untuk tetap dan memulai karya serta hidupberwarna yang baru dengan sastra. Sebab dengan sastra-lah, Bathara dapat temukanbahagianya. Kecintaan Bathara terhadap sastra dan menulis semakin bertambah ketika Batharatemukan perpustakaan berjarak tiga jam dengan berjalan kaki tanpa pengunjung,yang dijaga oleh seorang kakek dengan senyuman hangat yang juga telah ajarkanbanyak hal pada Bathara. Dari bukubuku yang yang dibaca Bathara di perpustakaan itu, Bathara temukandan rasakan begitu banyak hal dan pemandangan yang tidak pernah ia temukansebelumnya. Dari buku-buku itu pula, Bathara rasakan kagum dan bahagia yangteramat besar. Dari pembicaraan mendalam tentang banyak hal dengan kakek penjagaperpustakaan, Bathari temukan dan sadari banyak hal.“Nduk, budaya tidak hanya bisa diekspresikan lewat lisan saja. Tulisan dan sastrajuga bisa menjadi wadah untuk melestarikan, merawat, dan menyebarkan budayapada khaayak ramai. Lewat penggambaran dan penulisan yang apik, banyak penulisbesar berhasil menggambarkan dan buat banyak orang tertarik dengan budaya yangmereka bahas di buku mereka,“ itu kata kakek pustakawan ketika Bathara bagikankegelisahannya selama ini. Benar juga. Budaya juga dapat diekspresikan melalui sastra dan bahasa. Danapabila banyak penulispenulis besar yang namanya tak bisa Bathara sebutkansaking banyaknya ini bisa, maka Bathara juga pasti bisa. Pemudi ini telah bertekad. Maka siapa pula yang
bisa mematahkan tekadnya ketikaketika pemudi ini sudah bertekad?“Nenek, tolong doakan Bathara untuk teruskan perjuangan dan mimpi-mimpi besarNenek.”Dengan keheningan hangat yang melingkupi dirinya, Bathara perlahan bangkitkembali. Dan perjuangannya akan dimulai untuk kesekian kalinya. Di awal tonggak perjuangannya dimulai, kakek pustakawan perkenalkan Batharadengan 3 pemuda-pemudi yang punya mimpi sama besarnya dengan Bathara. Mimpi untuk Indonesia, dan untuk budaya kebanggan mereka. Mereka Awan, Nala, dan Andanang. Perjuangan Bathara, Nala, Awan, dan Andanang dimulai sekarang!Dalam perjuangan mereka untuk mimpi-mimpi besar itu, dipenuhi dengan banyaktantangan dari orang di sekitar mereka. Di setiap langkah yang Bathari jalani untuk capai mimpi besarnya, terdaoat tatapansinis dan caci maki banyak orang yang pandang remeh “Si Cacat,” dan “Si Miskin.”Tapi, kelompok Amerta masih terus berjalan melewati jalanan berbatu itu.“Percuma! Tidak tahu diri sekali. Kalian itu orang miskin. Orangorang miskin danbodoh seperti kita ini tidak akan bisa bawa perubahan apa-apa.” Kadang ada keinginan untuk menyerah sebab kendala ekonomi dan keluarga yangsering tampar mereka dengan kata-kata menyakitkan. Tapi Awan dan teman-temannya masih tetap berjalan mantap lewati jalan yang menyakitkan.Walaupun kadang menyakitkan, namun Nala dan teman-temannya masih berjalandengan pasti, meskipun kadang jalannya masih tertatih-tatih untuk melewati jaluritu. Dan walaupun ada banyak isak tangis sakit hati atas penolakan dari banyak orangpada perjuangan mereka untuk melestarikan budaya, mereka tetap berjalan bersamademi tujuan besar mereka. Mereka kejar mimpi besar, dan ekspresikan budaya dengan sastra. Mereka perkenalkan indahnya budaya dan seni yang diturunkan turun temurun padacerita pendek yang mereka tulis sama hangatnya dengan keharmonisan yang nenekBathara rasakan dulunya di pedalaman. Mereka perkenalkan dan tarik minat para generasi muda akan budaya Indonesia,karena puisi dan karya tulis yang mereka tulis dengan penuh kehati-hatian. Mereka bawa kembali bahasa daerah yang lama dilupakan pada paragraf demiparagraf tulisan mereka. Mereka bungkam omongan orang-orang yang menganggap budaya Indonesia kalahindah indah dengan gemerlap budaya negara lain. Sebab mereka berhasil tunjukkankeindahan budaya Indonesia yang sesungguhnya lewat ekspresi bahasa dan sastraindah mereka. Mereka tanamkan prinsip lestarikan budaya pada diri pembaca karya artikel dancerita penggugah hati yang mereka tulis. Mereka berhasil tunjukkan indahnya tembang-tembang Indonesia, musiknya,pertunjukannya, tariannya, dan bahkan budaya sikap serta harmonisnya orang-orang jaman dahulu di Indonesia. Mereka berhasilkan tunjukkan sekaligus gugahhati banyak orang melalui tulisan dan sastra. Akhirnya... Mereka berhasil. Bathara yang dulu dipanggil cacat, serta Nala, Awan,dan Andanang yang dipanggil dan diejek miskin. Empat anak ini berhasil buktikanbahwa dengan perjuangan dan sastra yang mereka tulis, mereka bisa buat perubahansekaligus raih mimpi besar mereka untuk indonesia. Lihatlah sekarang. Meskipun penuh dengan ketidakcukupan, kelompok Amertaberhasil
bawa dan buat sastra yang mampu gugah dan ekspresikan budaya sertamimpimimpi besar mereka. Keheningan yang dialami Bathara, justru tidak patahkan semangatnya untukberkarya dan bermimpi. Kini Bathara bisa tunjukkan budaya kecintaannya ini, pada banyak orang dengansenyum bangga lewat tulisan dan sastranya. Kelompok Amerta yang awalnya hanya beranggotakan lima orang saja, sekarangberkembang menjadi sebuah kelompok besar yamg menaungi ratusan pemuda-pemudi yang punya mimpi sama berkobar dan besarnya seperti Bathara dan teman-temannya dulu. Jadi tempat banyak pemuda-pemudi bebas berekspresi dengan sastra dan karyalainnya. Jadi tempat banyak anak muda tuk berani curahkan semua mimpi-mimpiserta ekspresikan kecintaannya terhadap budaya Indonesia pada secarik kertas didepan mereka. Orang-orang hebat ini, berhasil jadi tempat bernaung bagi para anak-anak mudalainnya yang punya mimpi hebat di benaknya.“Nek, Bathara berhasil,” bisik Bathara dengan pandangan tertuju pada langit tempatneneknya mungkin sedang tersenyum mengamati perayaan kebahagiaan atas semuaperjuangan keras yang dilewati Bathara selama ini. Sekarang. Kisah Bathara dengan sastra sebagai tempatnya pulang. Sastra sebagaitempatnya menyampaikan dan berekspresi serta sampaikan kencintaannya padabudaya Indonesia, budaya yang diturunkan leluhurnya dengan penuh rasa bangga. Isak tangis yang dialami Andanang, Nala, Awan, juga Bathara berakhir di sini. Sebab kini, mereka dapat tersenyum lebar menikmati hasil dari perjuangan mereka. Kisah ini diakhiri dengan senyum lebar di wajah masing-masing pemuda-pemudipejuang ini. Pada akhirnya, akhir yang bahagia menunggu mereka. Meskipun begitu, ini bukan akhir yang sebenarnya. Sebab masih ada banyak mimpibesar mereka untuk Indonesia yang akan mereka kejar. Selamat berjuang, para Pejuang dan Pemimpi!
Memahami Keseimbangan Antara Dunia Digital dan Dunia Nyata (Raka Permana Trisna Wardhana) Pada suatu hari di zaman era serba digital ini, Dimas dan Siti adalah dua remaja yang saat ini sedang berada dalam tantangan besar. Mereka selalu bersama sejak kecil seperti seolah-olah saudara Adik dan Kakak. Akan tetapi kini mereka merasakan bahwa bahasa yang pernah menyatukan mereka mulai terancam oleh sebuah teknologi. Di tengah labirin peradaban digital yang semakin merajalela, bahasa yang selama ini menjadi ikatan mereka terancam sirna oleh pesona tak terelakkan oleh sebuah teknologi modern. Dalam upaya mereka menjelajahi dunia digital dan menjaga keseimbangan dengan kehidupan nyata, tantangan besar pasti sudah menanti. Yang kemudian akan mempertanyakan esensi persahabatan diera teknologi yang serba canggih. Sebuah pertualangan pun dimulai, dimana mereka berusaha memahami keseimbangan antara dunia digital
yang begitu canggih dan kehidupan nyata yang tetap eksis dalam era teknologi ini. Dalam perjalanan mencari keseimbangan antara dunia digital dan kehidupan nyata, Siti menemui tantangan yang tak terduga. Suatu hari, di tengah percobaannya menjalani hidup tanpa smartphone, dia menghadapi kesulitan dalam mengatur pertemuan dengan teman-temannya yang hanya mengandalkan pesan teks menggunakan smartphone. Sementara itu, Dimas menyadari bahwa dalam upayanya mempertahankan tradisi tatap muka, ada momen di mana teknologi membantunya memahami dunia lebih luas. Sebuah aplikasi penerjemah membantu Dimas berkomunikasi dengan seseorang dari luar negeri yang memiliki pandangan unik tentang penggunaan sebuah teknologi. Pertualangan Siti tidak hanya memunculkan kesadaran tentang tantangan, tetapi juga menginspirasi teman-temannya, termasuk Dimas untuk merenungkan sejauh mana pengaruh teknologi dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ini membuka diskusi mendalam tentang bagaimana mereka dapat memanfaatkan teknologi untuk memperkaya hubungan mereka tanpa mengorbankan kualitas komunikasi. Seiring dengan berjalannya waktu, Siti dan Dimas mulai melihat bahwa keberagaman cara berkomunikasi dapat menjadi kekuatan. Mereka merancang proyek bersama yang menggabungkan aspek teknologi dengan keaslian tatap muka untuk menciptakan pengalaman berbeda dan mendalam. Siti cenderung hanya lebih suka berbicara melalui pesan teks dan media sosial, sedangkan Dimas masih mencoba mempertahankan tradisi bertemu dan berbicara secara langsung atau tatap muka. Mereka sering kali berdebat mengenai apakah bahasa dalam era digital ini adalah peluang atau justru sebuah tantangan. Namun, suatu hari Siti mendengar sebuah cerita dari Neneknya tentang masa lalu di mana pada saat itu komunikasi dan belanja harus dilakukan secara fisik. Ia merasa penasaran tentang bagaimana tantangan hidup tanpa teknologi pada saat itu. Maka, Siti pun mengajak Dimas untuk memutuskan mencoba petualangan baru dengan hidup tanpa smartphone selama dua minggu. Kemudian, dalam perjalanannya tanpa smartphone Siti tidak sengaja bertemu oleh seorang seniman jalanan yang memperkenalkannya pada dunia seni tradisional. Seniman tersebut mengajarkannya seni lukis dan kerajinan tangan yang kini hampir dilupakan karena kecanggihan sebuah teknologi. Siti menyadari bahwa keindahan dan kekayaan budaya dapat ditemui tidak hanya terus menerus melalui layar gadget, tetapi juga melalui interaksi langsung dengan lingkungan yang ada sekitarnya. Disisi lain, Dimas tiba-tiba menemukan sebuah tempat perpustakaan tua yang menjadi tempat berkumpul para pencinta buku. Dalam era digital, Dimas merasa senang dapat menyaksikan secara langsung betapa pentingnya melestarikan buku fisik sebagai warisan budaya. Ia terpesona oleh aroma kertas dan cerita-cerita klasik yang tidak bisa digantikan oleh e-book. Ini membuatnya semakin yakin bahwa ada kekayaan bahasa dan pengetahuan yang tak tergantikan oleh teknologi digital. Selama perjalanan dua minggu itu, keduanya juga mengeksplorasi kembali tentang keindahan alam dan kebersamaan tanpa gangguan gadget. Mereka mulai mengerti dan menemukan bahwa tanpa tergantung pada sebuah ponsel, mereka dapat lebih fokus dan
menghargai momen-momen kecil dalam hidup. Pengalaman berharga ini mengubah pandangan mereka tentang pentingnya melestarikan interaksi sosial yang bersifat langsung. Selama pertualangan ini, Siti pun menyadari bahwa teknologi digital akan memberikan peluang besar dan lebih mudah mengakses informasi, tetapi juga menghadirkan tantangan tersendiri. Seiring berjalannya waktu, Siti mulai menemukan keseimbangan antara dunia digital dan kehidupan nyata. Kini, Siti tidak hanya terhubung secara online, tetapi juga tahu bagaimana menghargai dunia nyata yang ada di sekitarnya. Siti berpendapat bahwa teknologi memberikan peluang untuk berkomunikasi dengan orang dari seluruh dunia dan belajar bahasa asing melalui sebuah aplikasi. Sedangkan, Dimas merasa bahwa ini cepat atau lambat akan mengurangi kualitas komunikasi dan membuat mereka semakin berjarak antara satu sama lain. Siti belajar bahwa dalam era digital ini, kreativitas dan keberanian untuk berbagi cerita adalah kunci kesuksesan. Ia tidak hanya mengubah takdirnya sendiri, tetapi juga membuktikan bahwa dunia maya adalah ladang subur bagi bakat-bakat muda. Setelah berakhirnya masa pertualangan tanpa smartphone yang mereka hadapi antara kehidupan digital dan keaslian tatap muka. Siti menemui kesulitan dalam hidup tanpa smartphone, sementara Dimas merasakan manfaat teknologi dalam memahami dunia lebih luas. Siti dan Dimas menemukan keindahan seni tradisional, melestarikan buku fisik, dan menghargai momen kebersamaan tanpa gangguan gadget. Mereka menyadari bahwa keseimbangan antara dunia digital dan kehidupan nyata adalah kunci, memanfaatkan teknologi dengan bijak untuk memperkaya hubungan mereka. Tidak hanya itu mereka juga menyadari potensi dan peluang yang ditawarkan oleh teknologi. Mereka memutuskan untuk memanfaatkan teknologi dengan sebaik-baiknya, tetapi tetap menjaga keakraban melalui pertemuan langsung. Sambil tidak berhenti menggali peluang dan pengetahuan melalui dunia digital. Akhirnya, Dimas dan Siti memahami bahwa bahasa dalam era digital bisa menjadi peluang jika digunakan dengan bijak tergantung masing-masing individu. Mereka pun memutuskan untuk tetap menjaga keakraban mereka dengan bertemu secara langsung, sementara tetap memanfaatkan teknologi yang ada disekitar mereka untuk memperluas wawasan bahasa dan informasi. Sebuah Kisah dari Masa Digital
(Ardin Septa Dela) Kisah ini terjadi di tahun digital, dimana negara mengalami lompatan teknologi yang amat pesat di berbagai sektor. Ilmu pengetahuan berada di puncak. Seluruh sendi kehidupan tumbuh meroket, mengalami upgrade luar biasa. Sebaran gadget mulai meluas dan menyentuh segala usia dengan harga terjangkau. Negara mulai memberlakukan sistem digital dimana-mana. Mulai dari belanja, pariwisata, layanan publik, sebagian sistem sekolah, termasuk kegiatan literasi. Penggunaan kertas sudah mulai ditinggalkan dan seluruh aktivitas pencatatan dilakukan secara elektronik dan otomatis. Apapun yang berkaitan dengan digital, seketika meledak laris di pasaran. Pengadaan buku bacaan juga turut beralih mejadi digital. Jika dulu keluarga kalian sering langganan koran atau majalah, maka cukup men-download aplikasi koran atau berita berlangganan. Jika kalian adalah anak muda yang senang membaca ceritacerita fiksi fantasi, thriller, romansa atau cerita bersambung, cukup berlangganan pada aplikasi novel digital. Atau mungkin kalian adalah remaja yang gemar menulis, berbakat, penulis belajaran ataupun penulis karya best seller kalian bisa membuat akun pribadi di aplikasi platform menulis digital. Semua serba digital dalam genggaman. Dan semua aplikasi-aplikasi itu, dikelola oleh perusahaan penerbitan digital. Satu malam di masa itu, duduk seorang gadis di depan laptop. Usianyasekitar enam belas tahun. Layar laptop masih menyala. Sesekali ia mengetikkan sesuatu, menimbulkan suara tak beraturan. ”Kamu belum tidur, Nusa?” seseorang menegur. Tampak seorang laki-laki paruh baya telah berdiri di tengah pintu. Wajahnya kusut, juga rambut dan kemeja kerjanya. “Papa sudah lama di sana?” Gadis itu bernama Nusaiba dan yang menegur tadi adalah papanya yangbaru saja pulang dari kerja. Papa Nusaiba adalah salah satu penulis tersohor di negara itu. Karyakaryanya berupa e-book novel laris terjual di e-commerce langganan publik. Ia juga penulis cerita bersambung di novel digital, yang banyakd igandrungi pembaca dan seringkali menjadi trending nomor satu.
“Papa sepertinya lelah. Mau kubuatkan teh hangat?” tanpa menunggu jawaban papanya, Nusaiba telah berlari menuju dapur dan kembali beberapa menit kemudian sembari membawa secangkir teh hangat. Nusaiba memperhatikan lelaki di depannya. Ada guratan rasa lelah di wajah yang hampir menginjak usia kepala lima. Papanya tidak banyak bicara. Ia lebih memilih menikmati teh hangat spesial yang diseduh anak gadisnya. “Oh, iya, Pa, ada sesuatu yang ingin Nusa tunjukkan kepada Papa,” Nusaiba teringat sesuatu, lantas ia mengetikkan sesuatu. Terdengar suara printer menyaladan keluar beberapa lembar kertas. “Apa ini?” Papa Nusaiba mengernyit, menatap seksama tulisan di kertas. “Tadi Nusa ‘main’ di novel digital, membaca satu-dua episode di sana. Nusa menemukan beberapa kosakata asing, mungkin itu kosakata baru. Ada beberapa akata yang sepertinya mengarah ke pornografi, kata yang kurang sopan,” jelas Nusaiba. “Papa sudah tahu?” Papa Nusaiba mengangguk, ia menyeruput kembali tehnya. Pandangannya tak lepas dari kertas-kertas itu. “Papa sudah tahu ini. Staf di pusat kendali bagian literasi juga membahas ini beberapa hari terakhir. ”Nusaiba mengangguk pelan. Nusaiba adalah salah satu remaja yang gemar membaca. Setiap hari, ia menghabiskan waktu dengan membaca novel, ceritacerita, berita, apapun. Ada fasilitas yang memadai untuk mengakses bacaan digital di rumah. Ia juga sering membahas satu-dua hal dengan sang Papa
tentang literasi. E-book yang baru rilis, kosakata baru, permasalahan di dunia kepenulisan, dan banyak hal. Hari itu, dia membaca salah satu cerita, dan ia menemukan banyak kata-kata asing. Bahasa yang kurang sopan. “Setiap perkembangan hal baru, akan selalu muncul permasalahannya,Nusa. Tantangan-tantangan yang mengimbangi peluang yang muncul. Tidaksemuanya mulus,” sang Papa dengan senang hati menjelaskan. “Perubahan teknologi ini misalnya. Ketika semua beralih ke digital, peluangpun berubah. Dulu, buku-buku banyak yang terbit dan memenuhi rakrak di tokobuku dan perpustakaan. Sekarang, perusahaan penerbitan beralih ke buku digital,e-book. Kabar baiknya, semua akan lebih efisien, lebih murah produksi dan lebihmudah disebar.” “Para penulis seperti Papa juga lebih mudah lagi. Semua orang bisa menulis. Mereka berlomba-lomba menciptakan cerita baru dan lebih menarik dengan ideyang kreatif. Coba lihat ke aplikasi novel digital, setiap hari kamu bisa menemukanpuluhan judul baru di sana. Orang-orang akan lebih mudah mendapatkan uangdengan tulisan mereka. Kosakata baru bertambah. Dunia bahasa juga semakinberkembang.” “Tapi, kemajuan itu akan tetap dibuntuti tantangan-tantangan,” Papa Nusaiba berhenti sejenak, menghela nafas. “Sayangnya, aplikasi-aplikasi digital ituada yang belum dilengkapi sensor yang bisa mendeteksi kalimat-kalimat pornografi, kosakata yang kurang sopan seperti yang kamu data tadi. Bahkan, kadang ada cerita yang mengarah pada pelecehan seksual atau kebencian terhadap kelompok tertentu.”Nusaiba mengangguk.
Selalu seru ketika berbincang dengan sang Papa. Mereka lupa bahwa malam semakin larut. “Apakah ini yang selalu membuat Papaterlihat kusut setiap kali pulang kerja?” Papa Nusaiba menyeringai. “Ada yang membuat Papa lebih sebal lagi,Nusa.”“Apa itu?” tanya Nusaiba. “Pembajakan,” Papa Nusaiba menatap kosong. Raut wajahnya berubah. ”Ketika dunia literasi berubah menjadi digital, buku-buku diproduksi secar aelektrik, ternyata pembajakan tetap ada. Malah kali ini semakin merajalela. Padahal, setiap e-book yang terbit selalu dilengkapi dengan enkripsi keamanan yang tidak bisa disalin, tapi entah mengapa tetap bisa dibajak.” “Karya Papa juga?” Papa Nusaiba mengangkat bahu. “Hampir seluruh buku ada bajakannya. Tadi Papa dan teman-teman di penerbitan habis menelusuri seluruh e-commerce, dan semuanya selalu ada yang menjual e-book bajakan. Ada juga karya teman Papa yang sudah tersebar lebih dulu sebelum penulis aslinya merilis.” “Memangnya dari komite pusat tidak ada pengamanan soal ini, Pa?”
“Sudah, tapi juga tidak begitu serius. Sudah beberapa kali aliansi penerbitan digital melakukan pertemuan, meminta saran dan masukan dari Pemerintah soal ini.Tapi hasilnya masih mengecewakan.” Keduanya menghela nafas dalam. Permasalahan ini seperti terdengar sepele, tapi Papa selalu mengeluh bahwa permasalahan ini mengakibatkan kerugian yang amat serius. “Ada beberapa teman Papa yang kadang mogok masuk kerja, mogok menulis, mogok mengedit. Ya, karena itu. Sebelum buku-buku itu terbit, semua penulis akan melakukan riset. Banyak sekali risetnya. Riset isi bacaan, bahasanya, kebutuhan bacaan masyarakat. Dan itu menghabiskan biaya yang tidak murah. Eh,p as rilis, ada bajakannya. Dan pembaca akan memilih e-book yang lebih murah.” “Ada juga, akun teman Papa yang terkena phising ...” “Phising? Apa itu?” sela Nusaiba. “Itu seperti pembobolan data pribadi. Jadi, setiap penulis digital di kantor Papa akan membuat akun resmi sebagai penulis. Akun itu membutuhkan datadata asli untuk memastikan bahwa akun itu juga asli. Nah, phising ini adalah pancingan pembajak akun yang meminta data-data penulis secara tidak sadar. Kadang mereka mengirim e-mail yang menawarkan diskon tertentu, atau kode verifikasi apalah. Seperti itu.” Nusaiba manggut-manggut. “Seperti yang Papa bilang, Nusa, setiap hal akan ada peluang dan tantangannya. Transformasi digital di dunia kepenulisan ini banyak sekali peluangnya, seperti yang Papa sebut tadi. Tantangannya juga lebih banyak lagi. Tetapi kita bisa memilih, apakah memilih berhenti atau mencari solusinya. Dan Papa akan selalu berusaha mencari solusi terbaiknya.”
“Sudah, ya, Papa lelah. Papa belum salat. Papa juga ingin istirahat. Ada banyak hal yang akan Papa urus besok. Kamu juga segera istirahat,” Papa Nusaiba mengecup kening anak gadisnya, kemudian mengusap kepala. Itu adalah tradisi sebelum tidur yang selalu dilakukan sejak Nusaiba kecil. “Have a nice dream, Papa.” Nusaiba menatap punggung Papanya yang melangkah menjauh, kemudian hilang bersama pintu tertutup. Ia tahu, ada banyak permasalahan yang Papa hadapi,teman-teman penulis Papa, juga para penulis lain. Tapi, Papa benar, ada yang bisa dipilih. Apakah memilih berhenti, atau mencari solusi terbaiknya. nar, ada yang bisa dipilih. Apakah memilih berhenti, atau mencari solusi terbaiknya.
PERTEMUAN DIGITAL (Bayu Setyo Nugroho) Di suatu pagi cerah di kota yang penuh dengan kemajuan teknologi, Hans duduk di sudut kamar kecilnya yang penuh dengan perangkat canggih. Ponsel pintarnya menjadi iteman setia sejak bangun tidur hingga malam hari. Namun, di antara kerumunan teknologi, Hans adalah seorang pelajar yang gemar membaca. Ketika sedang sibuk mengerjakan tugas, mata Hans tertuju pada sebuah puisi yangtanpa sengaja ditemukannya. Ia tersenyum terpukau oleh katakata yang terpampang dilayar. "Pertemuan Lewat Digital" membuat hatinya tergetar, menciptakan keindahan dalam dunia maya yang begitu terkoneksi. Pada hari berikutnya, Hans kembali terpaku pada tugasnya yang belum selesai. Pada pertengahan perjalanan tugasnya, rasa jenuh menyergapnya. Tanpa ragu,
ia memutuskan untuk memberikan dirinya istirahat sejenak dengan bermain game. Begitu menyentuh layar perangkatnya, Hans tenggelam dalam dunia virtual yang penuh warna. Di dalam permainan, Hans bertemu dengan seorang wanita misterius. Mereka saling berinteraksi, bekerja sama dalam mengatasi tantangan yang muncul. Meskipun hanya berkomunikasi melalui karakter dalam game, Hans merasakan kecocokan dan kebersamaan yang luar biasa. Setiap tertawa dan setiap kemenangan, membentuk benang-benang keakraban di antara mereka.Waktu berlalu tanpa disadari oleh Hans. Pada suatu titik, ia menyadari bahwa perasaannya terhadap wanita di dalam game telah berubah. Tanpa bisa dijelaskan, Hans merasakan kehangatan dan kelembutan di balik setiap pertukaran kata. Maka, tanpa ragu,ia menyampaikan perasaannya kepada wanita tersebut. Mereka memutuskan untuk melanjutkan hubungan di luar permainan. Pertemuan pertama di dunia nyata terasa seperti kelanjutan dari kisah digital mereka. Hans dan wanita itu, yang bernama Mia, menemukan bahwa dunia maya telah membawa mereka bersama, tetapi kehidupan nyata memberikan dimensi baru yang tak tergantikan. Meski begitu, perjalanan cinta Hans dan Mia tidak selalu mulus. Mereka harus menghadapi tantangan dan perbedaan di antara mereka. Hans, yang begitu terikat dengan teknologi, belajar untuk memberikan perhatian lebih kepada dunia di sekitarnya. Sementara Mia, yang lebih terbiasa dengan kehidupan nyata, mulai memahami kepentingan teknologi bagi Hans. Pertemuan mereka melalui dunia digital menjadi cikal bakal kisah cinta yang unik. Hans dan Mia membagi waktu antara menjalani kehidupan nyata dan menjelajahi duniamaya bersama. Mereka menemukan bahwa keduanya memiliki keindahan dan pelajaranyang berbeda, saling melengkapi seperti puzzle yang akhirnya terbentuk sempurna. Namun, kebahagiaan mereka tidak luput dari ujian. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain game bersama, koneksi internet Hans tiba-tiba terputus. Kecemasan menyelinap ke dalam hatinya, dan ia menyadari betapa pentingnya kehadiran Mia dalam hidupnya. Dalam kegelapan dunia maya, Hans merasa kehilangan. Ketika koneksi internet kembali, Hans dengan cepat mencari Mia. Namun, seolah-olah dunia maya ikut merasakan kepanikan yang sempat melanda, karakter Mia telah menghilang. Hans panik, mencoba segala cara untuk mencari tahu keberadaannya. Hingga akhirnya, pesan muncul di layar, "Maaf, aku harus pergi dari dunia ini. Terimakasih untuk semua kenangan indah." Hans merasa hancur. Puisi "Pertemuan Lewat Digital" kembali memenuhi pikirannya. Namun, kali ini, maknanya lebih dalam. Ia menyadari bahwa meskipun koneksi digital bisa tiba-tiba terputus, kenangan dan pengalaman yang mereka bagi tetap abadi. Dalam kehilangan, Hans menemukan kekuatan untuk terus melangkah. Dengan hati yang penuh pengharapan, Hans kembali menyusun tugasnya yangtertunda. Namun, kali ini, setiap kata yang ia tulis terasa lebih hidup, karena di balik layar ponsel pintarnya, kenangan indah
bersama Mia tetap membimbingnya. Waktu berlalu, namun Hans tidak pernah melupakan Mia. Setiap kali ia melihat layar ponsel pintarnya, bayangan Mia tetap menghiasi pikirannya. Kegiatan sehari-hariterasa hambar tanpa kehadiran wanita yang pernah bersamanya melalui dunia maya. Hans memutuskan untuk menyibukkan diri dengan kegiatan baru untuk mengatasi kekosongan yang dirasakannya. Ia kembali menemukan kedamaian dalam membaca buku-buku fisik, mencoba meresapi setiap halaman dengan hati yang lebih terbuka. Namun, dalam diam, ia masih berharap akan kembalinya Mia, entah di dunia nyata ataumaya. Suatu hari, ketika sedang berjalan-jalan di taman, Hans mendengar suara familiar. Ia berbalik dan kaget melihat sosok yang ia kenal begitu baik. Mia berdiri di depannya, dengan senyuman hangat di wajahnya. Hans merasa hatinya berdebar-debar, seolah dunia memberinya kesempatan kedua. Mia menjelaskan bahwa kepergiannya dari dunia maya bukanlah suatu perpisahan. Ia butuh waktu untuk menyelesaikan beberapa urusan di kehidupan nyata, namun selalu menyimpan kenangan indah bersama Hans dalam hatinya. Perasaan Hans yang selama ini terpendam kini mekar kembali seperti bunga yang tumbuh di musim semi. Keduanya kembali membangun hubungan mereka, kali ini dengan lebih banyak keterlibatan dalam kehidupan nyata. Hans belajar untuk menemukan keseimbangan antara teknologi dan kebersamaan riil. Bersama Mia, ia menemukan keajaiban dalam momen-momen sederhana, seperti berjalan bersama di taman atau berbagi tawa di kedaikopi. Pertemuan mereka yang sebelumnya hanya melalui karakter dalam game, kini berkembang menjadi kisah cinta yang nyata dan mendalam. Setiap tantangan yang mereka hadapi, baik dalam dunia maya maupun dunia nyata, mereka lewati bersamasama. Mereka menyadari bahwa kekuatan cinta mereka melebihi batas antara dunia digital dan dunia nyata. Suatu hari, ketika sedang duduk bersama di tepi danau, Hans menarik sejuta kata-kata dari dalam hatinya. Ia merangkai sebuah puisi, bukan hanya untuk Mia, tetapi juga sebagai ungkapan syukur untuk setiap detik yang telah mereka lalui bersama. Puisi itumenjadi simbol cinta mereka, melebihi kisah "Pertemuan Lewat Digital" yang pernah Hans temukan. Puisi itu berkisah tentang perjalanan cinta yang dimulai dari dunia maya, tumbuh di dunia nyata, dan menciptakan satu cerita yang tak terlupakan. Mia tersenyum, merasa tersentuh oleh kata-kata Hans. Mereka menyadari bahwa, sejauh apapun teknologi membantu menghubungkan mereka, esensi cinta tetap ditemukan dalam kehidupan nyata yang riil. Cerita Hans dan Mia menjadi inspirasi bagi banyak orang di sekitar mereka. Kisah cinta yang dimulai dari pertemuan di dunia digital mengajarkan bahwa hubungan sejati tidak terbatas oleh media atau platform. Keberagaman kehidupan, baik yang nyata maupun maya, mampu menciptakan keindahan yang utuh. Dengan tangan yang saling bergandengan, Hans dan Mia melangkah ke depan, siap mengarungi liku-liku kehidupan bersama-sama. Pada akhirnya, mereka menyadari bahwa cinta sejati tidak hanya ditemukan di antara serangkaian kode dan sinyal digital, tetapi juga dalam detak jantung dan sentuhan nyata.
Menari Di Atas Kesedihan (Aurelia Imani Arindriaputri) Di hari Minggu yang cerah, Rani terlihat sedang termenung di kamar tidurnya. Seraya rebahan di kasur dan membuka handphone-nya, ia bergumam, “Aduh, aku bingung sekali. UKT semester ini harus dibayar maksimal minggu depan, tapi Ibu sedang tidak punya uang dan aku tidak enak merepotinya terus-menerus. Aku harus apa?”. Dengan keputusasaan, ia terus melamun. Sampai-sampai ia tidak sadar akan kehadiran sang Ibu di kamarnya. “Aduh anak gadis ini pagi-pagi sudah melamun saja. Lagi mikirin apa sih? Pasti lagi mikirin cowok ya?”, ucap sang Ibu sambil terkekeh kecil.
Mendengar ucapan Ibunya, Rani sontak tersadar dari lamunannya dan berkata, “Ah apa sih Bu? Aku tidak sedang memikirkan itu kok. Aku hanya sedang memikirkan tugas-tugas yang belum aku kerjakan.”. Rani berbohong kepada Ibunya karena ia merasa kasihan dengan Ibunya dan tidak mau merepotinya lagi. Ibu Rani hanya seorang pedagang kecil di pasar dengan penghasilan yang kecil pula. Meski demikian, Ibu Rani sangat menyayangi Rani, ia rela melakukan apapun asal Rani dapat hidup layak. Penghasilannya yang kecil membuatnya terpaksa harus meminjam uang di berbagai tempat sehingga tanggungan Ibu Rani sangat banyak. Rani yang mengetahui hal tersebut, merasa iba pada Ibunya, sehingga ia memutuskan untuk mulai mencari uang sendiri. Namun, Rani bingung harus memilih darimana, terlebih ia hanya merupakan seorang mahasiswi biasa dan tidak punya pengalaman sama sekali. Rani mempunyai seorang sahabat yang bernama Citra. Rani biasa curhat kepada Citra tentang masalah-masalah yang sedang ia hadapi, termasuk akan masalah ini. Citra pun memberikan solusi untuk Rani berupa ajakan untuk mengikuti berbagai perlombaan yang Rani bisa. Kemudian Citra pun bertanya pada Rani, “Sebenarnya, kamu itu paling berbakat di bidang apa sih?”. Rani berpikir sejenak, kemudian ia menjawab pertanyaan Citra, “Karena aku anak Sastra Inggris, menurutku sih kelebihanku ada di bidang itu. Seketika, wajah Citra menjadi sumrigah. “Eh Ran, kayaknya aku tahu deh perlombaan apa yang cocok buat kamu. Jadi kebetulan tadi pas aku lagi scroll Instagram, di berandaku ada lomba menulis cerpen dalam bahasa Inggris. Penyelenggaranya itu Harsard University, universitas dari Inggris itu loh. Dan kalau tidak salah lihat, hadiahnya untuk juara 1 nya itu sekitar 20 juta gitu. Tapi nanti kalau kamu ikut dan menang, jangan lupa bagi-bagi ya!”, ujar Citra dengan menggebu-gebu.
Rani pun tertarik dengan perlombaan yang Citra tawarkan. Segera, ia meminta info perlombaan tersebut. Setelah mendapatkan juknis perlombaan tersebut dari Citra, Rani semangat sekali karena ternyata memang benar bahwa hadiahnya adalah 20 juta untuk juara 1. Untuk biaya pendaftaran juga gratis 100%, sehingga ia membulatkan tekad untuk mengikuti perlombaan tersebut dan harus memenangkannya. Namun, semangat Rani tiba-tiba menurun drastis karena ketika ia melihat daftar peserta perlombaan tersebut yang ternyata kebanyakan merupakan penulis ahli. Rani merasa tidak percaya diri. Ia berpikir, bagaimana seorang mahasiswi biasa mampu mengalahkan penulis-penulis ahli itu? Hal tersebut membuat kepribadian Rani menjadi berubah. Ia merasa sangat insecure dan berubah dari yang semula ceria menjadi begitu pendiam. Teman sekelas Rani yang bernama Zaki adalah orang yang paling menyoroti kepribadian Rani yang berubah drastis. Suatu hari, ia pun memberanikan diri untuk bertanya kepada Rani. “Rani, aku lihat-lihat akhir-akhir ini kamu tidak seceria biasanya. Ada apa?”, tanya Zaki. Rani pun menceritakan hal yang membuatnya berubah drastis seperti itu. Zaki yang mendengar ceritanya pun merasa iba terhadap Rani, sehingga Zaki memutuskan untuk membantu Rani menyusun cerpen untuk perlombaan. “Ran, tidak ada yang tidak bisa kita lakukan di dunia ini. Mau sehebat apapun penulis-penulis di luaran sana, kalau Tuhan berkehendak kamu yang memenangan perlombaan itu, ya kamu akan jadi pemenangnya. Kita cuma bisa berdoa dan berusaha yang terbaik Ran. Soal menang kalah, itu urusan belakangan, yang terpenting kita sudah mencobanya. Bagaimana kita bisa tau hasilnya kalau kita tidak berani mencobanya kan?”, ujar Zaki menyemangati Rani. Mendengar ucapan Zaki, Rani menjadi senang dan bersemangat lagi. Ia mulai berpikir bahwa insecure yang sedang ia alami hanya akan mengganggunya untuk menjadi juara. Rani pun berterimakasih kepada Zaki,
“Makasih ya ki, udah mau bantu dan nyemangatin aku.” Di hari-hari selanjutnya, Zaki dan Rani menghabiskan waktu luang mereka untuk mengerjakan cerpen. Rani membuka laptopnya dan mulai mengetik judul cerpennya: Dancing on Sadness. Ia memilih tema kearifan lokal, yaitu tentang seorang anak perempuan yang tinggal di desa dan bercita-cita menjadi penari tradisional. Ia terinspirasi oleh kisah nyata yang pernah ia baca di internet. Rani menulis dengan penuh semangat. Ia menggambarkan tokoh utama cerpennya yaitu Zara, yang memiliki bakat dan minat dalam menari. Sari berasal dari desa yang terletak di pinggiran kota. Ia tinggal bersama ibunya yang bekerja sebagai penjual sayur di pasar. Ayahnya meninggal saat ia masih kecil akibat kecelakaan. Zara selalu bermimpi untuk menjadi penari profesional dan tampil di panggungpanggung besar. Ia sering menonton acara-acara tari di televisi dan menirukan gerakan-gerakan para penari. Ia juga sering berlatih menari di halaman rumahnya dengan menggunakan kain-kain bekas sebagai kostum, karena latar belakang keluarganya yang serba kekurangan. Rani menyusun cerpen seperti itu karena ia terinspirasi dari kisah keluarganya. Menurutnya, karakter Zara akan sangat menggambarkan kisah hidupnya, sehingga ia berharap pembaca cerpennya akan merasa bahwa cerpen itu ‘hidup’. Selanjutnya, adalah tugas Zaki untuk merevisi cerpen buatan Rani. Zaki membaca cerpen tersebut dengan seksama. Ia sesekali mengangguk, mengernyitkan dahi, atau menulis catatan di pinggir halaman. Setelah selesai membaca, Zaki memberikan beberapa saran dan kritik kepada Rani. Ia mengatakan bahwa cerpennya sudah cukup baik, tetapi masih bisa diperbaiki. Ia menyarankan Rani untuk menggunakan kosakata yang lebih variatif, memperbaiki tata bahasa dan ejaan, dan memberikan lebih banyak detail tentang karakter dan konflik cerita. Rani kemudian berterimakasih pada Zaki, dan langsung merevisi cerpennya itu. Cerpen yang telah dibuat oleh Rani akhirnya siap untuk dikirim ke panitia lomba. Setelah beberapa hari menunggu publikasi 10 besar cerpen terbaik, akhirnya Rani menerima sebuah e-mail dari panitia yang menyatakan bahwa cerpen yang ia tulis masuk di 10 besar cerpen terbaik dan akan diterbitkan di website Harsard University. Rani merasakan perasaan tidak percaya sekaligus bangga. Ia segera memberitahu Zaki dan Citra akan kabar yang menggembirakan tersebut dan mereka mengucapkan selamat serta bangga terhadap Rani. Sekarang, Rani hanya perlu menunggu pengumuman kejuaraan perlombaan tersebut. Di website Harsard University, ia melihat banyaknya komentar positif dari khalayak umum terhadap cerpennya. Ia pun menjadi yakin bahwa ia mampu menjuarai perlombaan tersebut. Tidak lupa dengan nasihat dari Zaki, Rani tetap berdoa kepada Tuhan agar dapat memenangkan perlombaan tersebut sehingga ia dapat membantu
Ibunya dan melunasi UKT-nya. Hari yang dinanti-nanti oleh Rani pun tiba. Ia mendapat notifikasi e-mail dari panitia perlombaan cerpen tersebut yang berisikan pengumuman bahwa cerpen Rani terpilih menjadi juara 1 dalam perlombaan tersebut dan Rani berhak menerima hadiah berupa uang tunai sebesar 20 juta. Rani membaca notifikasi e-mail tersebut dengan perasaan campur aduk. Ia bahagia dan sangat bersyukur kepada Tuhan. Rani pun menutup e-mail tersebut dan langsung menghubungi Citra dan Zaki. Mereka berdua mengucapkan selamat lagi kepada Rani. Tak lupa, Rani juga menghubungi ibunya yang saat itu sedang berdagang di pasar dan memberitahukan semuanya. Ibu Rani sangat senang dan bangga kepada Rani. “Kamu memang anak gadis Ibu yang sangat pintar dan berbakat, jadi Ibu sudah tidak heran.”, ujar sang Ibu kepada Rani. Rani merasa terharu dan bersyukur. Ia berjanji akan menggunakan uang hadiahnya dengan bijak. Ia berencana untuk membantu ibunya membayar tanggungan hutang dan menyisihkan sebagian untuk tabungan. “Ya sudah Bu, Rani tutup dulu ya teleponnya karena Rani sedang ada mata kuliah.”, pungkas Rani di ujung telepon.