The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

Kepemimpinan dan Manajemen Pelayanan Keperawatan

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Nurse ''TRISN@'', 2023-08-09 09:55:22

Kepemimpinan dan Manajemen Pelayanan Keperawatan

Kepemimpinan dan Manajemen Pelayanan Keperawatan

Keywords: PERAWAT

TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 133 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Jenis tenaga perawat yang dibutuhkan ditentukan dengan cara berikut: a. Siang: • RN: 28,4 x 75% = 21,3 • LPN: 28,4 x 15% = 4,26 • NA: 28,4 x 10 % 2,84 b. Malam: • RN: 23,2 x 75% = 17,4 • LPN: 23,2 x 15% = 3,48 • NA: 23,2 x 10% = 2 ,32. 8. Berdasarkan pengelompokan unit kerja di rumah sakit (Depkes, 2011). Kebutuhan tenaga keperawatan (perawat dan bidan) harus memperhatikan unit kerja yang ada di rumah sakit. Secara garis besar terdapat pengelompokan unit kerja di rumah sakit sebagai berikut. a. Rawat inap Berdasarkan klasifikasi pasien cara perhitungannya berdasarkan: • Tingkat ketergantungan pasien berdasarkan jenis kasus; • Jumlah perawatan yang diperlukan/hari/pasien; • Jam perawatan yang diperlukan/ruangan/hari; • Jam kerja efektif tiap perawat atau bidan 7 jam per hari. Jumlah tenaga keperawatan yang diperlukan adalah: Jumlah jam perawatan jam kerja efektif per sif Untuk penghitungan jumlah tenaga tersebut perlu ditambah (faktor koreksi dengan hari libur/cuti/hari besar (loss day), Loss day = Jumlah tenaga keperawatan yang mengerjakan tugas-tugas nonkeperawatan (non-nursing jobs), seperti: membuat perincian pasien pulang, kebersihan ruangan kebersihan alat-alat makan pasien dan lain lain, diperkirakan 25 % dari jam pelayanan keperawatan. Jumlah hari minggu 1 tahun + cuti + hari besar jam kerja efektif per sif x jumlah perawat tersedia


134 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan (Jumlah tenaga keperawatan + loss day ) x 25 % jumlah tenaga: tenaga yang tersedia + faktor koreksi • tingkat ketergantungan pasien: Pasien diklasifikasikan dalam beberapa kategori yang didasarkan pada kebutuhan terhadap asuhan keperawatan/kebidanan. 1) Asuhan keperawatan minimal (minimal care), dengan kriteria: a) Kebersihan diri, mandi, ganti pakaian dilakukan sendiri; b) Makan dan minum dilakukan sendiri; c) Ambulasi dengan pengawasan; d) Observasi tanda-tanda vital dilakukan setiap sif; e) Pengobatan minimal, status psikologis stabil. 2) Asuhan keperawatan sedang, dengan kriteria: a) Kebersihan diri dibantu makan minum dibantu; b) Observasi tanda-tanda vital setiap empat jam; c) Ambulasi dibantu, pengobatan lebih dari sekali. 3) Asuhan keperawatan agak berat, dengan kriteria: a) Sebagian besar aktivitas dibantu; b) Observasi tanda-tanda vital setiap 2-4 jam sekali; c) Terpasang kateter Foley, intake dan output dicatat; d) Terpasang infus; e) Pengobatan lebih dari sekali; f) Persiapan pengobatan memerlukan prosedur. 4) Asuhan keperawatan maksimal, dengan kriteria: a) Segala aktivitas dibantu oleh perawat; b) Posisi pasien diatur dan observasi tanda-tanda vital setiap dua jam; c) Makan memerlukan NGT dan menggunakan suction; d) Gelisah/disorientasi. Jumlah perawat yang dibutuhkan adalah: Jumlah jam perawatan di ruangan/hari jam efektif perawat


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 135 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Untuk penghitungan jumlah tenaga tersebut perlu ditambah (faktor koreksi) dengan: Hari libur/cuti/hari besar (loss day) Loss day = Jumlah hari minggu dalam 1 tahun + cuti hari besar jam hari kerja efektif + Jumlah perawat yang diperlukan Jumlah tenaga keperawatan yang mengerjakan tugas-tugas nonkeperawatan (non-nursing jobs) seperti contohnya: membuat perincian pasien pulang kebersihan ruangan, kebersihan alat-alat makan pasien, dan lain-lain diperkirakan 25% dari jam pelayanan keperawatan. (Jumlah tenaga keperawatan + loss day) x 25% b. Jumlah tenaga untuk kamar operasi 1) Dasar penghitungan tenaga di kamar operasi: a) jumlah dan jenis operasi; b) jumlah kamar operasi; c) Pemakaian kamar operasi (diprediksi 6 jam per hari) pada hari kerja; d) Tugas perawat di kamar operasi: instrumentator, perawat sirkulasi (2 orang/tim); e) Tingkat ketergantungan pasien: - Operasi besar: 5 jam/ operasi; - Operasi sedang: 2 jam/operasi; - Operasi kecil: 1 jam /operasi. Rumus: Jumlah jam perawatan / hari jumlah operasi x jumlah perawat dalam tim jam kerja efektif / hari c. Jumlah tenaga di ruang penerimaan 1) Ketergantungan pasien di ruang penerimaan: 15 menit 2) Ketergantungan di RR: 1 jam


136 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan Jumlah jam perawatan x rata-rata jumlah pasien per hari jam kerja efektif / hari Perhitungan di atas dengan kondisi: alat tenun dan set operasi dipersiapkan oleh CSSD. d. Jumlah tenaga di instalasi gawat darurat Dasar perhitungan di gawat darurat adalah: 1) Rata-rata jumlah pasien per hari. 2) Jumlah jam perawatan per hari 3) Jam efektit per hari rata-rata jumlah pasien x jumlah jam perawatan per hari jam kerja efektif / hari Ditambah lost day 86/279 x jumlah kebutuhan e. Critical Care Rata-rata jumlah pasien/hari = 10 Jumlah jam perawatan/hari = 12 rata-rata jumlah pasien per hari x jumlah jam perawatan per hari jam kerja efektif / hari Ditambah lost day 86/279 x jumlah kebutuhan. f. Rawat Jalan Jumlah pasien/hari = 100 orang Jumlah jam perawatan/hari = 15 menit rata-rata jumlah pasien per hari x jumlah jam perawatan per hari jam kerja efektif per hari (7 jam) x 60 menit Ditambah koreksi 15% g. Kamar Bersalin Waktu pertolongan kala I-IV = 4 jam/pasien Jam kerja efektif =7 jam/hari Rata-rata jumlah pasien setiap hari = 10 orang


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 137 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS jumlah setiap hari rata-rata x 24 jam 7 jam/hari Ditambah lostday Penghitungan Beban Kerja Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan beban kerja perawat antara lain: 1. Jumlah pasien yang dirawat setiap hari/bulan/tahun di unit tersebut 2. Kondisi atau tingkat ketergantungan pasien; 3. Rata-rata hari perawatan; 4. Pengukuran keperawatan langsung, perawatan tidak langsung dan pendidikan kesehatan; 5. Frekuensi tindakan perawatan yang dibutuhkan pasien; 6. Rata-rata waktu perawatan langsung, tidak langsung dan pendidikan kesehatan. Ada tigacara yang dapat digunakan untuk menghitung beban kerja secara personel antara lain sebagai berikut. 1. Work Sampling Teknik ini dikembangkan pada dunia industri untuk melihat beban kerja yang dipangku oleh personel pada suatu unit, bidang maupun jenis tenaga tertentu. Pada metode work sampling dapat diamati hal-hal spesifik tentang pekerjan antara lain: a. Aktivitas apa yang sedang dilakukan personel pada waktu jam kerja; b. Apakah aktivitas personel berkaitan dengan fungsi dan tugasnya pada waktu jam kerja; c. Proporsi waktu kerja yang digunakan untuk kegiatan produktif atau tidak produktif; d. Pola beban kerja personel dikaitkan dengan waktu dan jadwal jam kerja. Untuk mengetahui hal-hal tersebut perlu dilakukan survei tentang kerja personel dengan langkah-langkah sebagai berikut. a. Menentukan jenis personel yang akan disurvei.


138 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan b. Bila jumlah personel banyak perlu dilakukan pemilihan sampel sebagai subjek personel yang akan diamati dengan menggunakan metode simple random sampling untuk mendapatkan sampel yang representatif. c. Membuat formulir kegiatan perawat yang dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan produktif dan tidak produktif dapat juga dikategorikan sebagai kegiatan langsung dan tidak langsung. d. Melatih pelaksana peneliti tentang cara pengamatan kerja dengan menggunakan work sampling. e. Pengamatan kegiatan personel dilakukan dengan interval 2-15 mentergantung karakteristik pekerjaan yang dilakukan. Pada teknik work sampling kita akan mendapatkan ribuan pengamatan kegiatan dari sejumlah personel yang kita amati. Oleh karena besarnya jumlah pengamatan kegiatan penelitian akan didapatkan sebaran normal sampel pengamatan kegiatan penelitian. Artinya data cukup besar dengan sebaran sehingga dapat dianalisis dengan baik. Jumlah pengamatan dapat dihitung. 2. Time and motion study Pada teknik ini kita mengamati dan mengikuti dengan cermat tentang kegiatan yang dilakukan oleh personel yang sedang kita amati. Melalui teknik ini akan didapatkan beban kerja personel dan kualitas kerjanya. Langkah-langkah untuk melakukan teknik ini yaitu: a. Menentukan personel yang akan diamati untuk menjadi sampel dengan metode purposive sampling. b. Membuat formulir daftar kegiatan yang dilakukan oleh setiap personel. c. Daftar kegiatan tersebut kemudian diklasifikasikan seberapa banyak personel yang melakukan kegiatan tersebut secara baik dan rutin selama dilakukan pengamatan. d. Membuat klasifikasi atas kegiatan yang telah dilakukan tersebut menjadi kegiatan medis, kegiatan keperawatan dan kegiatan administrasi. e. Menghitung waktu objektif yang diperlukan oleh personel dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang dilakukan.


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 139 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Penelitian dengan menggunakan teknik ini dapat digunakan untuk melakukan evaluasi tingkat kualitas suatu pelatihan atau pendidikan yang bersertifikat atau bisa juga digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan suatu metode yang ditetapkan secara baku oleh suatu instansi seperti rumah sakit. Dari metode work sampling dan time and motion study maka akan dihasilkan output sebagai berikut. a. Deskripsi kegiatan menurut jenis dan alokasi waktu untuk masingmasing pekerjaan baik yang bersifat medis, perawatan maupun administratif. Selanjutnya dapat dihitung proporsi waktu yang dibutuhkan untuk masing-masing kegiatan selama jam kerja. b. Pola kegiatan yang berkaitan dengan waktu kerja, kategori tenaga atau karakteristik demografis dan sosial. c. Kesesuaian beban kerja dengan variabel lain sesuai kebutuhan penelitian. Beban kerja dapat dihubungkan dengan jenis tenaga, umur, pendidikan, jenis kelamin atau variabel lain. d. Kualitas kerja pada teknik ini juga menjadi perhatian karena akan menentukan kompetensi atau keahlian yang harus dimiliki oleh personel yang diamati. 3. Daily log Daily log atau pencatatan kegiatan sendiri merupakan bentuk sederhana work sampling yaitu pencatatan dilakukan sendiri oleh personel yang diamati. Pencatatan meliputi kegiatan yang dilakukan dan waktu yang diperlukan untuk melakukan kegiatan tersebut. Penggunaan ini tergantung kerja sama dan kejujuran dari personel yang diamati. Pendekatan ini relatif lebih sederhana dan biaya yang murah. Peneliti biasa membuat pedoman dan formulir isian yang dapat dipelajari sendiri oleh informan. Sebelum dilakukan pencatatan kegiatan peneliti menjelaskan tujuan dan cara pengisian formulir kepada subjek personal yang diteliti, tekankan pada personel yang diteliti yang terpenting adalah jenis kegiatan, waktu dan lama kegiatan, sedangkan informasi personel tetap menjadi rahasia dan tidak akan dicantumkan pada laporan penelitian. Menuliskan secara rinci kegiatan dan waktu yang diperlukan merupakan kunci keberhasilan dari pengamatan dengan daily log.


140 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan Analisis Kebutuhan Tenaga Berdasarkan Beban Kerja (WISN) WISN (Workload Indicator Staff Need) adalah indikator yang menunjukkan besarnya kebutuhan tenaga kerja di suatu tempat kerja berdasarkan beban keria, sehingga alokasi/relokasi akan lebih mudah dan rasional. Metode perhitungan kebutuhan SDM berdasarkan beban kerja (WISN) adalah suatu metode perhitungan kebutuhan SDM berdasarkan pada beban pekerjaan nyata yang dilaksanakan oleh tiap kategori SDM pada tiap unit kerja di suatu tempat kerja. Kelebihan metode ini mudah dioperasikan, mudah digunakan, secara teknis mudah diterapkan, komprehensif dan realistis. Adapun langkah perhitungan kebutuhan SDM berdasarkan WISN ini meliputi 5 langkah, yaitu sebagai berikut. 1. Menetapkan waktu kerja tersedia Menetapkan waktu kerja tersedia tujuannya adalah diperolehnya waktu kerja tersedia masing-masing kategori SDM yang bekerja selama kurun waktu satu tahun. Data yang dibutuhkan untuk menetapkan waktu kerja tersedia yaitu: a. Hari kerja, sesuai ketentuan yang berlaku di tempat kerja atau Peraturan Daerah setempat, pada umumnya dalam 1 minggu 5 hari kerja. Dalam 1 tahun 250 hari kerja (5 hari x 50 minggu). (A) b. Cuti tahunan, sesuai ketentuan setiap SDM memiliki hak cuti 12 hari kerja setiap tahun. (B) c. Pendidikan dan pelatihan, sesuai ketentuan yang berlaku di tempat kerjauntuk mempertahankan dan meningkatkan kompetensi/profesionalisme setiap kategori SDM memiliki hak untuk mengikuti pelatihan/kursus/seminar/lokakarya dalam 6 hari kerja. (C) d. Hari Libur Nasional, berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Terkait tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama, tahun 2002-2003 ditetapkan 15 Hari Kerja dan 4 hari kerja untuk cuti bersama. (D) e. Ketidakhadiran kerja, sesuai data rata-rata ketidakhadiran kerja (selama kurun waktu 1 tahun) karena alasan sakit, tidak masuk dengan atau tanpa pemberitahuan/izin. (E) f. Waktu kerja, sesuai ketentuan yang berlaku di tempat kerja atau Peraturan Daerah, pada umumnya waktu kerja dalam 1 hari adalah 8 jam (5 hari kerja/minggu). (F)


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 141 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Waktu Kerja Tersedia = {A - (B+C+D+ E)} x F Keterangan: A = Hari Kerja D = Hari Libur Nasional B = Cuti Tahunan E = Ketidakhadiran Kerja C = Pendidikan dan Pelatihan F = Waktu Kerja Apabila ditemukan adanya perbedaaan rata-rata ketidakhadiran kerja atau perusahaan menetapkan kebijakan untuk kategori SDM tertentu dapat mengikuti pendidikan dan pelatihan lebih lama dibanding kategori SDM lainnya, maka perhitungan waktu kerja tersedia dapat dilakukan perhitungan menurut kategori SDM. 2. Menetapkan unit kerja dan kategori SDM Menetapkan unit kerja dan kategori SDM tujuannya adalah diperolehnya unit kerja dan kategori SDM yang bertanggung jawab dalam menyelenggarakan kegiatan baik di dalam maupun di luar tempat kerja. Sebagai contoh di rumah sakit, data dan informasi yang dibutuhkan untuk penetapan unit kerja dan kategori SDM adalah sebagai berikut. a. Bagan Struktur Organisasi RS dan uraian tugas pokok dan fungsi masing-masing unit dan sub-unit kerja. b. Keputusan Direktur RS tentang pembentukan unit kerja struktural dan fungsional, misalnya: Komite Medik, Komite Pangendalian Mutu RS Bidang/Bagian Informasi. c. Data Pegawai Berdasarkan Pendidikan yang bekerja pada tiap unit kerja di RS. d. PP 32 tahun 1996 tentang SDM kesehatan. e. Peraturan perundang-undangan berkaitan dengan jabatan fungsional SDM kesehatan. f. Standar profesi, standar pelayanan dan standar operasional prosedur (SOP). Langkah awal yang dilakukan adalah membuat unit kerja dan sub unit kerja sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Setelah unit kerja dan subunit kerja di RS telah ditetapkan, langkah selanjutnya adalah menetapkan kategori SDM sesuai kompetensi atau pendidikan untuk menjamin mutu, efisiensi, dan akuntabilitas pelaksanaan kegiatan/pelayanan di tiap unit kerja RS.


142 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan Langkah awal yang dilakukan adalah membuat unit kerja dan subunit kerja sesuai dengan peraturan yang ditetapkan. Setelah unit kerja dan subunit kerja di RS telah ditetapkan, langkah selanjutnya adalah menetapkan kategori SDM sesuai kompetensi atau pendidikan untuk menjamin mutu, efisiensi dan akuntabilitas pelaksanaan kegiatan/pelayanan di tiap unit kerja RS. 3. Menyusun standar beban kerja Standar beban kerja adalah volume/kuantitas beban kerja selama 1 tahun perkategori SDM. Standar beban kerja untuk suatu kegiatan pokok disusun berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaiakannya (rata-rata waktu) dan waktu yang tersedia per tahun yang dimiliki oleh masing-masing kategori tenaga. Data dan informasi yang dibutuhkan untuk menetapkan beban kerja masing-masing kategori SDM utamanya adalah sebagai berikut. a. Kategori SDM yang bekerja pada tiap unit kerja sebagaimana hasil yang telah ditetapkan pada langkah kedua. b. Standar profesi, standar pelayanan yang berlaku. c. Rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh tiap kategori SDM untuk melaksanakan/menyelesaikan berbagai pekerjaan. d. Data dan informasi kegiatan pelayanan pada tiap unit kerja. Beban kerja masing-masing kategori SDM di tiap unit kerja adalah meliputi hal-hal berikut. a. Kegiatan pokok yang dilaksanakan oleh masing-masing kategori SDM. Kegiatan pokok adalah kumpulan berbagai jenis kegiatan sesuai standar pelayanan dan standar operasional prosedur (SOP) untuk menghasilkan pelayanan perusahaan yang dilaksanakan oleh SDM dengan kompetensi tertentu. b. Rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tiap kegiatan pokok Rata-rata waktu adalah suatu waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu kegiatan pokok, oleh masing-masing kategori SDM pada tiap unit kerja. Kebutuhan waktu untuk menyelesaikan kegiatan sangat bervariasi dan dipengaruhi standar pelayanan, standar operasional prosedur (SOP), sarana dan prasarana medik yang tersedia serta kompetensi SDM.


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 143 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Rata-rata waktu ditetapkan berdasarkan pengamatan dan pengalaman selama bekerja dan kesepakatan bersama. Agar diperoleh data ratarata waktu yang cukup akurat dan dapat dijadikan acuan, sebaiknya ditetapkan berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tiap kegiatan pokok oleh SDM yang memiliki kompetensi, kegiatan pelaksanaan standar pelayanan, standar operasional prosedur (SOP) dan memiliki etos kerja yang baik. c. Standar beban kerja per 1 tahun masing-masing kategori SDM Standar beban kerja adalah volume/kuantitas beban kerja selama 1 tahun per kategori SDM. Standar beban kerja untuk suatu kegiatan pokok disusun berdasarkan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya (waktu rata-rata) dan waktu kerja tersedia yang dimiliki oleh masing-masing kategori SDM. Adapun rumus perhitungan standar beban kerja adalah sebagai berikut: Standar Beban Kerja = 4. Menyusun standar kelonggaran Penyusunan standar kelonggaran tujuannya adalah diperolehnya faktor kelonggaran tiap kategori SDM meliputi jenis kegiatan dan kebutuhan waktu untuk menyelesaiakan suatu kegiatan yang tidak terkait langsung atau dipengaruhi tinggi rendahnya kualitas atau jumlah kegiatan pokok/ pelayanan. Penyusunan faktor kelonggaran dapat dilaksanakan melalui pengamatan dan wawancara kepada tiap kategori tentang: a. Kegiatan-kegiatan yang tidak terkait langsung dengan pelayanan pada pelanggan, misalnya: rapat, penyusunan laporan kegiatan, menyusun kebutuhan bahan habis pakai. b. Frekuensi kegiatan dalam suatu hari, minggu, bulan. c. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kegiatan. Selama pengumpulan data kegiatan penyusunan standar beban kerja, sebaiknya mulai dilakukan pencatatan tersendiri apabila ditemukan kegiatan yang tidak dapat dikelompokkan atau sulit dihitung beban kerjanya karena tidak/kurang berkaitan dengan pelayanan pada pelanggan untuk selanjutnya digunakan sebagai sumber data penyusunan faktor kelonggaran tiap kategori SDM. waktu kerja tersedia rata-rata waktu kegiatan pokok


144 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan Setelah faktor kelonggaran tiap kategori SDM diperoleh, langkah selanjutnya adalah menyusun Standar Kelonggaran dengan melakukan perhitungan berdasarkan rumus di bawah ini: Standar kelonggaran = 5. Perhitungan Kebutuhan Tenaga per Unit Kerja Perhitungan kebutuhan SDM per unit kerja tujuannya adalah diperolehnya jumlah dan jenis/kategori SDM per unit kerja sesuai beban kerja selama 1 tahun. Sumber data yang dibutuhkan untuk perhitungan kebutuhan SDM per unit kerja meliputi: a. Data yang diperoleh dari langkah-langkah sebelumnya yaitu: • Waktu kerja tersedia; • Standar beban kerja; • Standar kelonggaran masing-masing kategori SDM. b. Kuantitas kegiatan pokok tiap unit kerja selama kurun waktu satu tahuan. Contoh di Rumah Sakit: Kuantitas kegiatan pokok disusun berdasarkan berbagai data kegiatan pelayanan yang telah dilaksanakan di tiap unit kerja RS selama kurun waktu satu tahun. Kuantitas kegiatan pelayanan Instalasi Rawat Jalan dapat diperoleh dari laporan kegiatan RS (SP2RS), untuk mendapatkan data kegiatan tindakan medic yang dilaksanakan di tiap poli rawat jalan perlu dilengkapi data dari Buku Register yang tersedia disetiap poli rawat jalan. Untuk penyusunan kuantitas kegiatan pokok Instalasi Rawat Inap dibutuhkan data dasar sebagai berikut. a. Jumlah tempat tidur. b. Jumlah pasien masuk/keluar dalam 1 tahun. c. Rata-rata sensus harian. d. Rata-rata lama pasien di rawat (LOS). Data kegiatan yang telah diperoleh dan Standar Beban Kerja dan Standar merupakan sumber data untuk perhitungan kebutuhan SDM di setiap instalasi dan unit kerja dengan menggunakan rumus sebagai berikut. Standar SDM = + standar kelonggaran total produk layanan standar beban kerja waktu per faktor kelonggaran waktu kerja tersedia


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 145 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Berdasarkan rumus perhitungan tersebut, kebutuhan SDM untuk tiap kegiatan pokok terlebih dahulu di jumlahkan sebelum ditambahkan dengan Standar Kelonggaran masing-masing kategori SDM.


146 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 147 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS A. Operan Sif dalam Keperawatan Operan sif atau serah terima keperawatan terjadi ketika seorang perawat memindahkan tanggungjawabnya dalam merawat pasien kepada perawat yang bertugas berikutnya. Seperti pada setiap akhir jaga yang terjadi tiga kali sehari (Smeulers, Lucas & Vermeulen, 2014). Operan sif dalam keperawatan merupakan wadah bagi perawat untuk bertukar informasi. Operan sif dalam keperawatan juga sebagai tempat yang memberi kesempatan dalam pencegahan kesalahan. Melalui operan sif tindakan yang tidak aman dapat dicegah dengan mengimplementasikan strategi operan sif yang lebih sadar akan risiko (Drach-Zahavy & Hadid, 2015). Istilah operan sif dalam praktik klinik memiliki berbagai sinonim seperti tim - bang terima, serah terima, operan, shift report dan laporan jaga. Konsep dari pada operan sif cukup kompleks termasuk komunikasi diantara perawat. Komponen komunikasi yang terstruktur dengan penggunaan metode SBAR dalam literatur mendukung pelaksanaan operan sif yang efektif. Pendokumentasian juga bagian dari operan sif sehingga harus dikelola dengan baik (Evans, Grunawalt, McClish, Wood, & Friese, 2012). OPERAN SIF ATAU TIMBANG TERIMA 6 BAB


148 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan Harapan dari pelaksanaan operan sif menurut Standar Nasional Akrditasi RS tahun 2018 yang juga bagian dari program Patient safety goal Joint Commision, pertama adanya interaksi komunikasi timbal balik antara pemberi layanan dan yang menerima layanan yang memberi kesempatan untuk saling bertanya. Kedua, informasi perawatan pasien yang terkini termasuk pengobatan, pelayanan dan perubahan kondisi pasien yang terakhir. Ketiga, ada proses verifikasi informasi yang disampaikan termasuk mengulang kembali dan membaca kembali dokumen sesuai kebutuhan. Keempat, kesempatan bagi sipenerima informasi khususnya perawat untuk mengulang kembali data riwayat pasien termasuk perawatan sebelumnya, pengobatan dan pelayanan lainnya. Kelima, interupsi selama proses serah terima harus dibatasi untuk mencegah adanya komunikasi yang lupa tersampaikan atau komunikasi menjadi terputus. B. Jenis Metode Operan Sif Keperawatan Berbagai metode yang digunakan dalam melakukan operan sif pasien diantaranya operan sif secara terekam atau audiotape operan sif, bedside operan sif, operan sif tertulis dan operan sif verbal. Namun, belum ditemukan bukti yang mendukung kesimpulan tentang model operan sif yang jenis apa yang paling efektif dan cocok untuk digunakan dalam keperawatan untuk memastikan kesinambungan informasi pasien rawat inap (Smeulers et al., 2014). Berikut adalah berbagai jenis operan sif yang sering digunakan dipelayanan kesehatan: 1. Bedside operan sif: dilaksanakan dekat tempat tidur pasien, mendukung perkenalan pasien dan perawat secara tatap muka. Mendorong pasien berpartisi secara verbal dalam selama serah terima dan perawatanya. Kegiatan ini memberikan tanggung jawab perawat kepada sekelompok pasien untuk di serahterimakan kepada perawat berikutnya. 2. Verbal operan sif: pertukaran informasi dan dokumenstasi yang relevan dari sekelompok pasien yang dipertanggung jawabkan, kepada perawat berikutnya, yang dilaksanakan di dalam ruangan. 3. Taped operan sif: pertukaran informasi satu arah. Perawat yang bertanggungjawab kepada sekelompok pasien mengumpulkan informasi dan rencana perawatan yang berkaitan dengan pasien lalu direkam agar perawat jaga berikutnya bisa mendengarkannya pada waktu luang.


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 149 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS 4. Non Verbal operan sif: perawat yang bertanggung jawab kepada sekelompok pasien yang akan jaga berikutnya, datang dan membaca langsung seluruh kegiatan perencanaan pasien yang sudah ditulis agar mereka mengetahui prioritas dan beban kerja saat mereka bertugas. C. Bedside Operan Sif Bedside operan sif adalah kegiatan serah terima informasi klinis pasien disebelah tempat tidur pasien. Bedside operan sif juga membicarakan tentang rencana perawatan pasien yang dilakukan disamping tempat tidur pasien. Serah terima ini terjadi antara perawat yang bertugas saat ini kepada perawat jaga berikutnya (Randell, Wilson, & Woodward, 2011). Bedside operan sif adalah salah satu inisiatif atau strategi dalam satu model program peningkatan mutu keperawatan yang diinisiai pada tahun 2003. Bedside operan sif diperkenalkan oleh Robert Wood Johnson Foundation (RWJF). Institute for Healthcare Improvement (IHI) juga termasuk tim yang memperkenalkan kegiatan ini. Transforming Care at the bedside (TCAB) adalah satu strategi untuk mewujudkan perubahan pemberian perawatan disebelah pasien berbaring (Needleman & Hassmiller, 2009). Kerangka kerja pewujudan perubahan pemberian perawatan di tempat tidur ini memiliki 4 pilar. Pilar pertama safety dan reliability. Kedua, mengutamakan kerjasama tim dalam perawatan pasien. Ketiga, kegiatan perawatan yang berpusat pada pasien. Keempat, proses kegiatan yang bernilai tambah dalam pelayanan keperawatan (Chaboyer et al., 2009). Bedside operan sif adalah salah satu inisiatif dari pilar ketiga kegiatan yang berpusat pada pasien. Tujuan dari pelaksanaan bedside operan sif untuk melibatkan perawat lini depan. Melibatkan pimpinan rumah sakit untuk membuat perbaikan dalam empat aspek juga termasuk tujuan pelaksanaan bedside operan sif. Perbaikan aspek pertama, meningkatkan kualitas keamanan perawatan. Kedua, memastikan lingkungan kerja keperawatan berkualitas tinggi untuk menarik dan mempertahankan perawat. Ketiga, memperbaiki pengalaman pasien/keluarga saat dirawat. Keempat, meningkatkan efektivitas seluruh tim perawatan (Needleman & Hassmiller, 2009). Menurut Tucker & Fox (2014) ada beberapa kelebihan dari metode bedside operan sif. Pertama, proses kegiatannya melibatkan pasien. Kedua, pendokumentasi bagan obat-obatan bisa dicek kembali sehingga kesalahan bisa


150 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan diperbaiki. Ketiga, bila ada informasi yang kurang tepat bisa segera diklarifikasi. Kelemahan dari metode bedside operan sif juga ada. Pertama, kegiatan ini dilakukan diforum publik sehingga sulit untuk mendiskusikan masalah pribadi pasien. Kedua, informasi yang bersifat rahasia sering terungkap. Ketiga, proses kegiatannya menghabiskan waktu. Keempat, perawat sering teinterupsi dengan masalah pasien kadang suka mengobrol. D. Rasionalisasi Pelaksanaan Bedside Operan sif 1. Menciptakan keterlibatan pasien dan keluarga Bedside operan sif adalah pernyataan klinis pelibatan pasien dan keluarga. Pasien dan keluarga sebagai mitra penting dalam tim perawatan kesehatan pasien. Pelaksanaan bedside operan sif dapat meningkatkan keterlibatan pasien. Keterlibatan keluarga terlihat dengan menunjukkan perilaku berpartisipasi dalam kesehatan anggota keluarga itu sendiri. Perilaku melibatkan pasien dalam perawatan di rumah sakit tercermin dari kebijakan organisasi dan prosedur yang mendukung perilaku ini. Keterlibatan perawat, dokter dan perawat rumah sakit sangat berperan serta. Memberikan kesempatan kepada pasien untuk ikut dan terlibat selama perawatan, memungkinkan pasien untuk dapat mendengar langsung perkembangan perawatannya. Memberikan kesempatan untuk bertanya dan memberi masukan terhadap proses perawatannya. Terciptanya keterlibatan pasien dan keluarga selama proses perawatan adalah rasionalisasi pelaksanaan bedside operan sif. Ketika lingkungan di mana pasien, keluarga, dokter dan perawat rumah sakit semuanya bekerja sama sebagai mitra kualitas perawatan akan tercapai. Kerjasama diantara tim juga akan meningkatkan keamanan perawatan. Menurut (Agency for Healthcare Research and Quality, 2013) manfaat keterlibatan pasien bagi rumah sakit: a. Meningkatkan kualitas dan keamanan. b. Meningkatkan kinerja keuangan. c. Meningkatkan nilai kepuasan pasien. d. Meningkatkan outcome pasien. e. Meningkatkan daya saing pasar. f. Meningkatkan kepuasan dan mempertahankan karyawan.


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 151 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS g. Merespon standar Joint Commission. 2. Meningkatkan keamanan lingkungan perawatan Kegagalan dalam berkomunikasi adalah faktor utama yang menyebabkan terjadinya kejadian yang tidak diharapkan. Melibatkan pasien dengan mengikut sertakan keluarga dapat mengklarifikasi informasi yang tidak sesuai. Misalnya dengan menanyakan pasien dan keluarga apakah ada pertanyaan atau informasi yang perlu diklarifikasi. Menganjurkan pasien dan keluarga untuk berbicara bila ada informasi yang disampaikan tidak sesuai atau meminta pasien dan keluarga untuk meminta perawat mengulang kembali informasi yang masih belum dipahami. 3. Keterlibatan perawat Menurut Dempsey & Reilly (2016), konsep keterlibatan perawat sering digunakan untuk menggambarkan komitmen perawat terhadap pekerjaannya. Keterlibatan perawat juga menggambarkan kepuasannya dalam pekerjaan. Ada dua bentuk keterlibatan perawat. Bentuk keterlibatan pertama ditunjukkan dengan komitmen terhadap organisasi. Bentuk keterlibatan perawat lainnya adalah komitmen terhadap profesi perawat itu sendiri. Keterlibatan perawat berhubungan langsung dengan patient safety, kualitas, dan outcome pengalaman pasien. Alasan lain mengapa bedside operan sif adalah metode yang cocok digunakan dalam serah terima adalah menurut Derby (2017) adalah karena bedside operan sif mendukung keterlibatan pasien, meningkatkan lingkungan perawatan yang aman, menurunkan kecemasan pasien, mempersonalisasi perawatan pasien, meningkatkan kepuasan pasien, menghemat waktu perawat saat serah terima, meningkatkan ketanggapan perawat, menurunkan angka pasien jatuh, dinilai dan dipilih perawat sebagai metode untuk serah terima dan menghemat keuangan rumah sakit dengan menurunnya angka overtime.


152 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan E. Evidence Based Pelaksanaan Bedside Operan Sif Menurut Agency for Healthcare Research and Quality (2013), telah terbukti, bedside operan sif dapat meningkatkan: 1. Patient safety dan quality Kesempatan dalam pertukaran informasi untuk memastikan efektifitas komunikasi antara pasien, keluarga dan perawat dapat terjalin. Melalui bedside operan sif studi menunjukkan 70% kejadian yang tidak diinginkan terjadi karena terputusnya komunikasi diantara perawat dan pasien (Sand-Jecklin & Sherman, 2013). Studi juga menunjukkan bahwa bedside operan sif meningkatkan pemberian asuhan dan keamanan pasien. Contoh, kejadian pasien jatuh saat pergantian jaga berkurang dari 1-2 per bulan menjadi 1-6 per bulan (Athwal, Fields, & Wagnell, 2009). 2. Pengalaman pasien saat dirawat Terdapat peningkatan skor kepuasan pasien dan hubungan perawat pasien terjalin setelah menerapkan bedside operan sif. Penurunan jumlah panggilan bel pasien juga secara drastis menurun diakhir masa shift (Cairns, Dudjak, Hoffmann, & Lorenz, 2013; McMurray, Chaboyer, Wallis, Johnson, & Gehrke, 2011). 3. Kepuasan perawat Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Principe (2017) tentang penilaian kepuasan perawat terhadap pelaksanaan bedside operan sif di Minneapolis, USA, mengemukakan bahwa pelaksanaan serah terima dengan metode bedside operan sif meningkatkan kepuasan pasien. Rasionalisasinya adalah karena proses kegiatan bedside operan sif memfasilitasi perawat untuk memferifikasi isu-isu masalah kesehatan pasien yang penting hubungan sosial yang positif. 4. Manajemen waktu dan tanggung jawab antara perawat Setelah menerapkan bedside operan sif, perawat melaporkan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk memprioritaskan masalah. Perawat juga melaporkan pekerjaan mereka lebih efisien sehingga menurunkan jumlah kelebihan jam jaga (Athwal et al., 2009).


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 153 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS F. Proses Implementasi Bedside Operan Sif Menurut Chaboyer, Mcmurray, & Wallis (2008) terdapat 5 prinsip penting yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan bedside operan sif antara lain: persiapan, pengaturan, kewaspadaan lingkungan, perpindahan tanggungjawab dan tanggung gugat serta pelibatan pasien. Proses implementasi bedside operan sif ini berdasarkan SOP bedside nursing operan sif yang dilakukan oleh Chaboyer, Mcmurray, & Wallis (2008) di dua rumah sakit di Queensland dan Western Australia pada tahun 2007 sampai dengan 2008. Berdasarkan panduan implementasi bedside operan sif yang dilakukan, komponennya terdiri dari struktur, proses dan outcome. 1. Struktur Komponen struktur bedside operan sif terdiri dari perawat, pasien, lembar serah terima dan lembar observasi, obat-obatan, balance cairan, pengkajian risiko (risiko jatuh dan dekubitus). Perawat dalam komponen ini ditentukan 2-3 tim per ruangan. Ketua tim perawat jaga yang akan berakhir jam dinasnya dan semua anggota tim yang akan jaga berikutnya. Penanggung jawab shift mengikuti bedside operan sif satu tim kemudian menerima laporan singkat dari ketua tim lainnya. Kondisi pasien yang terlibat dalam studi ini dibatasi seperti pasien yang sedang tidur, penurunan kesadaran dan pasien isolasi tidak dilakukan bedside operan sif. Lembar serah terima yang digunakan adalah lembar serah terima yang perbaharui pada computer setiap sit. Lembar serah terima tersebut berisi informasi riwayat pasien, discharge planning, perubahan kondisi pasien, informasi prioritas lainnya dan informasi sensitif yang bersifat rahasia. Lembar observasi pasien juga digunakan seperti kardex, medication record, balance cairan, pengkajian risiko jatuh dan pengkajian dekubitus. 2. Proses Tahap proses pelaksanaan bedside operan sif terdiri dari tahap persiapan sebelum pelaksanaan, selama pelaksanaan dan sesudah pelaksanaan. a. Proses sebelum pelaksanaan bedside operan sif terdiri dari: 1) Mengalokasikan pasien yang dilakukan oleh perawat yang masih sedang bertugas saat itu.


154 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 2) Memperbaharui informasi semua pasien pada semua lembar serah terima yang dikerjakan setiap sif dan membuat kopiannya untuk perawat yang akan jaga berikunya. 3) Pasien diinformasikan bahwa serah terima akan dilakukan sebentar lagi. 4) Keluarga pasien bisa tinggal di dalam kamar dengan persetujuan dari pasien. 5) Pengunjung diminta untuk menunggu diluar atau di ruang tunggu. b. Proses selama pelaksanaan bedside operan sif 1) Perawat yang akan habis jaga memperkenalkan perawat jaga berikutnya. 2) Isi laporan: alasan pasien dirawat, riwayat, pemeriksaan, pengobatan, ADL, renpra, perubahan kondisi pasien, hasil pemeriksaan yang masih belum selesai. 3) SBAR digunakan sebagai panduan penyampaian informasi klinis pasien. 4) Safety scan: pengecekan visual terhadap pasien, lingkungan (alat yang terpasang, IV lines, mendekatkan bel pasien), pemeriksaan terhadap lembar observasi, pengobatan dan lembar pengkajian risiko. 5) Pasien diajak untuk memberi komen atau diberi pertanyaan. 6) Kehadiran pasien mendorong masalah utama lainnya untuk dibahas. 7) Kerahasian/informasi sensitif dalam lembar serah terima dapat dibahas diluar kamar pasien dan jauh dari pengunjung. c. Proses setelah operan sif 1) Ketua tim memberikan operan sif shit kepada perawat yang tidak dapat mengikuti serah terima. 2) Lembar serah terima adalah komponen kunci operan sif. 3) Perawat yang baru datang saat serah terima sudah mulai berlangsung dapat menggunakan lembar serah terima sebagai panduan kegiatan dengan bantuan ketua tim yang menjelaskan.


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 155 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS 3. Outcomes Outcomes dari bedside operan sif ini ditemukan dari hasil interview: a. Pasien merasa bagian dari proses operan sif dan memberi masukan terhadap perawatan. b. Informasi lebih akurat dikomunikasikan. c. Didapatkan pemahaman kondisi pasien yang lebih baik. d. Ketersinambungan perawatan meningkat. e. Pasien dapat mudah menyebutkan masalah dan kejadian penting. f. Meningkatkan komunikasi perawat saat pertukaran jaga. g. Lebih berkesempatan untuk pembelajaran dan menunjukkan perilaku contoh. h. Bisa lebih menghabiskan waktu sedikit. G. Komunikasi SBAR Kerangka komunikasi efektif yang digunakan di rumah sakit adalah komunikasi SBAR (Situation, Background, Assessment, Recommendation), metode komunikasi ini digunakan pada saat perawat melakukan operan sif ke pasien. Komunikasi SBAR adalah kerangka teknik komunikasi yang disediakan untuk petugas kesehatan dalam menyampaikan kondisi pasien. SBAR memberikan kesempatan untuk diskusi antara anggota tim kesehatan atau tim kesehatan lainnya. Tujuan komunikasi SBAR menawarkan solusi kepada rumah sakit serta fasilitas perawatan untuk menjembatani kesenjangan dalam komunikasi. Komunikasi SBAR digunakan termasuk serah terima pasien, transfer pasien, percakapan kritis dan panggilan telepon. Komunikasi ini menciptakan harapan bersama antara pengirim dan penerima informasi sehingga keselamatan pasien dapat tercapai. Menggunakan SBAR, laporan pasien menjadi lebih akurat dan efisien (Kwong, 2011). Komunikasi yang efektif antara penyedia layanan kesehatan sangat penting untuk keselamatan pasien. Kebanyakan perawat kurang pengalaman dalam berkomunikasi dengan dokter dan penyedia layanan kesehatan lainnya. Teknik komunikasi SBAR merupakan teknik komunikasi yang memberikan urutan logis, terorganisir dan meningkatkan proses komunikasi untuk memastikan keselamatan pasien (Dunsford, 2009; Kwong, 2011).


156 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan Berikut adalah komponen komunikasi SBAR: S = Situation (kondisi terkini yang terjadi pada pasien) 1. Perawat menyebutkan nama dan umur pasien. 2. Perawat menyebutkan tanggal pasien masuk ruangan dan hari. 3. Perawatannya. 4. Perawat menyebutkan nama dokter yang menangani pasien. 5. Perawat menyebutkan diagnose medis pasien/masalah kesehatan yang dialami pasien (penyakit). 6. Perawat menyebutkan masalah keperawatan pasien yang sudah. 7. Dan belum teratasi. B = Background (Info penting yang berhubungan dengan kondisi pasien terkini) 1. Perawat menjelaskan intervensi/tindakan dari setiap masalah keperawatan pasien. 2. Perawat menyebutkan riwayat alergi, riwayat pembedahan. 3. Perawat menyebutkan pemasangan alat invasif (infus, dan alat bantu lain seperti kateter dll), serta pemberian obat dan cairan infuse. 4. Perawat menjelaskan dan mengidentifikasi pengetahuan pasien terhadap diagnose medis/penyakit yang dialami pasien. A = Assessment (hasil pengkajian dari kondisi pasien terkini) 1. Perawat menjelaskan hasil pengkajian pasien terkini seperti TTV 2. Perawat menjelaskan kondisi klinik lain yang mendukung seperti hasil Lab, Rontgen dan lain-lain. R = Recommendation/Rekomendasi Perawat menjelaskan intervensi/tindakan yang sudah teratasi dan belum teratasi serta tindakan yang harus dihentikan, dilanjutkan atau dimodifikasi. H. Intervensi Edukasi Bedside Operan Sif Edukasi adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang melalui teknik praktik belajar atau instruksi dengan tujuan untuk mempengaruhi orang lain mulai dari individu, kelompok, keluarga dan masyarakat agar


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 157 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS terlaksananya apa yang ingin dicapai. Intervensi edukasi adalah kegiatan pemberian pengetahuan tentang tata laksana bedside operan sif kepada perawat. Tujuan dari pada intervensi ini adalah untuk meningkatkan pelaksanaan bedside operan sif itu sendiri. Studi kajian literatur yang dilakukan oleh Gordon dan Findley tahun 2011 di Manchester, UK, tentang educational interventions to improve operan sif in health care: a systematic review, menyebutkan 2 kesimpulan topik yaitu metode pembelajaran dan isi tema. Kesimpulan metode yang pada umumnya digunakan saat memberikan intervensi serah terima adalah tatap muka/dengan kelompok, simulasi/ tanya jawab, latihan bermain peran dengan feedback dan pemberian materi secara online: video, teks atau protokol. Kesimpulan kedua tentang tema isi terdiri dari: 1. Pengelolaan informasi, ceklist terstruktur, cara-cara mudah menghafal, sistem elektronik yang digunakan yang berhubungan, diskusi secara lisan. 2. Kerjasama tim/kepemimpinan dan komunikasi meliputi: kekuatan komunikasi, latihan semua level perawat, memastikan bahwa semua peserta masih berada dalam tahap yang sama, mencontoh cara senior melakukan serah terima, mengetahui cara penyampaian dan menerima informasi, egocentric heuritics. 3. Kewaspadaan pada kesalahan dan perilaku profesionalisme meliputi: bertukar pengalaman dalam situasi nyata, cara menangani bila terjadi kesalahan di lapangan, implikasi serah terima terhadap keamanan pasien, membangun pertahanan perilaku menjaga keamanan pasien, proses pemetaan untuk mengerti tanggung jawab. Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah tatap muka di kelas/ dengan kelompok, simulasi/tanya jawab, latihan bermain peran dengan feedback dan pemberian materi tambahan pengetahuan secara online: video dan ceklist panduan pelaksanaan bedside operan sif. Komponen isi materi intervensi bedside ini adalah meliputi latar rasionalisasi pelaksanaan bedside operan sif, tujuan bedside operan sif, proses pelaksanaan bedside operan sif dan komunikasi SBAR.


158 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan I. Peningkatan Pelaksanaan Bedside Operan Sif Peningkatan pelaksanaan operan sif dengan metode bedside operan sif adalah outcome yang diharapkan dari pelaksanaan intervensi edukasi Bedside operan sif ini. Pelaksanaan bedside operan sif ini dikembangkan untuk memperbaiki perubahan proses serah terima yang semula berfokus di nurse station lalu dilanjutkan dengan melihat pasien kekamarnya. Tujuan dari peningkatan pelaksanaan bedside operan sif ini untuk melihat kepatuhan perawat melakukan serah terima langsung dekat dengan pasien berbaring (Herceg, 2015). Penilaian terhadap peningkatan pelaksanaanya dilakukan dengan menilai kualitas pelaksanaan dari prinsip pelaksanaan bedside operan sif yaitu: 1. Persiapan: Terdapat 4 aspek dalam persiapan bedside operan sif: a. Alokasi Perawatf dan pasien; b. Memperbaharui lembar operan sif; c. Menginformasikan pasien; dan d. Keluarga terdekat dan pengunjung lainnya. 2. Pengenalan Pada prinsip ini perawat primer atau perawat pelaksana yang akan berakhir masa tugasnya memperkenalkan kepada pasien perawat jaga berikutnya, siapa yang akan bertanggung jawab selama masa jam perawatannya. 3. Pertukaran informasi Serah terima yang akurat dan terperinci sangat penting untuk memastikan perawat yang akan datang dapat melakukan atau memberikan perawatan yang aman. Secara umum, informasi yang disampaikan saat Bedside operan sif tidak berbeda dengan apa yang yang disampaikan saat serah terima di nurse station. Namun, perawat harus menyadari bahasa yang mereka gunakan. Bahasa yang digunakan harus mudah dimengerti pasien, membatasi istilah medis bila memungkinkan. Selanjutnya, pasien memiliki kesempatan untuk mengklarifikasi konten serah terima. Perawat harus berusaha untuk mengkomunikasikan informasi secara akurat, ringkas dan profesional.


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 159 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS 4. Keterlibatan pasien Pendekatan keperawatan berpusat pada pasien. Sangat penting untuk melibatkan pasien dalam proses serah terima ini. Memberikan kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk mengajukan pertanyaan dan mengklarifikasi informasi dalam perawatannya akan meningkatkan keamanan pasien. 5. Peninjauan Keselamatan Pasien/Safety Scan Dalam serah terima bedside operan sif, melakukan tinjauan keselamatan dapat mempromosikan keselamatan pasien. Peninjauan ini meliputi lingkungan, pasien dan papan serah terima yang ada di kamar pasien. Selama bedside operan sif, anggota tim perawat sif berikutnya harus melakukan cek keamanan lingkungan pasien dan peralatan. Hal-hal yang harus diperhatikan: • Bel dalam jangkauan pasien. • Suction, oksigen atau peralatan lain bekerja dengan baik dan mudah diakses. • Balutan, drains, cairan intravena dan infusion pumps dalam keadaan aman dan benar. • Kerapihan secara umum lingkungan pasien merupakan hal yang kondusif untuk melakukan mobilitas dengan aman dan memudahkan akses. • Cek rutin lainnya yang khusus untuk pasien misalnya penggunaan pengaman tempat tidur, ketinggian tempat tidur dan lain-lain. J. Bedside Operan Sif yang Dirasakan Pasien Penelitian yang pernah dilakukan oleh (McMurray et al., 2011) dengan judul Perspektif pasien tentang serah terima di samping tempat tidur”, hasil yang ditemukan: pertama pasien merasa dihargai sebagai mitra dalam perawatan, kedua pasien juga merasa terlibat dalam mengklarifikasi apabila ada data yang kurang akurat dan ketiga, beberapa pasien memilih untuk passive dan tidak terlibat sepenuhnya. Keempat, serahterima dengan pendekatan disebelah tempat tidur pasien dirasakan ada interaksi yang inklusif antara perawat dan pasien.


160 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan Berdasarkan study yang dilakukan oleh (Sand-Jecklin & Sherman, 2014) tentang pengkajian kuantitatif dampak dari serah terima disisi pasien yang dilakukan di Amerika, menyebutkan: pasien mengetahui siapa yang merawatnya. Pasien menjelaskan, perawat memperlakukan saya dengan hormat, perawat membantu saya dengan nyaman, memperlakukan saya dengan sopan dan ramah, mendengar saya penuh perhatian tanpa menginterupsi, menjelaskan apa yang ingin saya ketahui. Selain itu perawat juga menjelaskan apa yang ingin saya ketahui tentang prosedur/tindakan, menjelaskan perencanaan pulang, menanyakan pasien apakah ada pertanyaan, perawat juga menjawab pertanyaan dan pertimbangan saya. Perawat juga mendorong saya untuk terlibat dalam perawatan saya, bekerja dengan saya untuk memenuhi kebutuhan saya, mengajarkan saya dengan cara yang dapat saya mengerti dan menjelasakan kepada saya apa yang harus saya lakukan untuk kesehatan saya. Perawat juga bekerja bersama-sama dengan baik. Selain itu informasi penting dikomunikasi dari sif ke sif, perawat juga mengikut sertakan saya saat berdiskusi dan menjaga privasi informasi kesehatan saya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh (Bradley & Mott, 2014) tentang persepsi pasien terhadap pelaksanaan bedside operan sif secara kualitatif. Dari penelitian ini ditemukan persepsi pasien terhadap serah terima antar perawat disebelah tempat tidur pasien, ada 3 tema utama yaitu sosial, perawat dan perawatan pasien. Tema pertama dari sosial: pasien mengatakan kesehariannya menyenangkan, perawat menghabiskan waktu beberapa menit dengan saya, waktu saya juga terhabiskan beberapa menit. Dari tema tentang perawat: saya bertemu perawat, mengingat nama mereka, mengenal mereka dan saya tau siapa yang merawat saya. Tema terkhir dari perawatan pasien: bagus sekali saya bisa terlibat, rasanya pendapat saya didengarkan, perawat menanyakan saya jika saya merasa ada keluhan nyeri atau jika saya membutuhkan sesuatu, saya juga dapat memberi informasi kepada perawat, saya berkesempatan menanyakan pertanyaan apa saja tentang kesehatan saya, saya juga bisa mendengarkan apa yang dibicarakan perawat tentang kesehatan saya secara langsung, saya juga senang mengetahui apa yang sedang terjadi tentang kesehatan saya, saya bisa belajar apa yang akan direncanakan perawat untuk saya dan perawat dapat memberi informasi kepada saya.


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 161 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS K. Tantangan yang Dihadapi Saat Pelaksanaan Bedside Operan Sif Menurut Chaboyer, Mcmurray, & Wallis (2008) isu-isu yang dihadapai saat pelaksanaan Bedside operan sif ini adalah bagaimana mengelola dan menangani kerahasiaan pasien. Tantangan berikutnya bagaimana menangani waktu mulainya bedside operan sif. Tantangan terakhir bagimana memastikan koordinator shif menerima informasi serah terima. L. Konsep Kepuasan Pasien Kepuasan pasien sering digunakan sebagai indikator pengukuran kualitas perawatan pasien. Kepuasan pasien juga sebagai indikator keberhasilan perawatan pasien (Prakash, 2010). Istilah kepuasan pasien dalam literatur beragam. Definisi kepuasan pasien dalam literatur tidak ditemukan adanya kesepakatan tentang desinisi kepuasan pasien dalam pelayanan kesehatan (Al-Abri & Al-Balushi, 2014; Berkowitz, 2016). Kata ‘kepuasan’ ditemukan dalam kamus sebagai terpenuhinya keinginan seseorang. Terpenuhinya harapan membuat orang akan puas. Selain itu, terpebuhinya kebutuhan seseorang juga akan membuat seseorang puas. Apabila istilah kepuasan pasien digunakan dalam layanan kesehatan, maka definisi kepuasan pasien adalah kesesuaian antara layanan kesehatan yang diterima dengan kebutuhan yang diharapkan pasien (Al-Abri & Al-Balushi, 2014; E Batbaatar, Dorjdagva, Luvsannyam, & Amenta, 2015). Kepuasan pasien menurut Donabedian quality mesuarement model adalah hasil pelaporan pasien. Struktur dan proses perawatan dapat diukur melalui laporan pengalaman pasien (Bjertnaes, Sjetne, & Iversen, 2012). Kepuasan pasien juga didefinisikan sebagai emosi, perasaan dan persepsi pasien terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan (Hanae Ibn El Haj, 2013). Definisi lain tentang kepuasan pasien adalah kesesuaian antara persepsi perawatan ideal yang diharapkan dengan kenyataan perawatan yang diterima pasien (Al-Abri & Al-Balushi, 2014). Aspek kepuasan pasien mengikuti pendekatan Donabedian mengevaluasi efisiensi layanan kesehatan. Pendekatan Donabedian juga mengevaluasi efektifitas layanan. Efisiensi dalam konteks ini diartikan sebagai hubungan antara output yang dihasilkan dengan sumber-sumber yang sudah dihabiskan. Efektifitas dalam konteks ini adalah kemampuan mencapai hasil yang


162 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan diharapkan contoh: angka keselamatan pasien, kepuasan pasien (Ferreira, Marques, Nunes & Figueira, 2017). Melalui kerangka Donabedian dengan 3 kategori: struktur, proses dan outcome dapat mengukur kinerja sistem pelayanan kesehatan. Struktur terdiri dari atribut organisasi yang mempengaruhi pemberian pelayanan. Struktur tersebut seperti perbaikan fasilitas, peralatan pendukung dan perawat. Keterangan perawat dalam konteks ini adalah jumlah karyawan fulltimer. Rasio antara perawat dan pasien adalah termasuk komponen struktur (Gardner, Gardner & O’Connell, 2014; Kobayashi, Takemura & Kanda, 2011). Proses adalah semua kegiatan/tindakan yang dilakukan oleh perawat untuk menyediakan pelayanan kesehatan. Aktifitas yang dilakukan pasien dan keluarga untuk mengikuti anjuran medis juga termasuk dalam proses. Outcome meliputi dampak dari pemberian pelayanan kesehatan kepada sasaran, yaitu pasien/populasi. Outcomes tersebut adalah angka kematian, angka kesakitan, angka keselamatan, angka pasien dirawat kembali dan kepuasan pasien (Ferreira et al., 2017; Gardner et al., 2014). M. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Iannuzzi et al. (2015), faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien terjadi dari dua sisi. Pertama berdasarkan karakteristik yang berhubungan dengan pasien. 1. Faktor Usia Usia mempunyai pengaruh terhadap kepuasan pasien. Usia secara konsisten mempengaruhi kepuasan pasien sebagai variabel yang menentukan kepuasan pasien. Berdasarkan kajian literatur yang dilakukan oleh (Enkhjargal Batbaatar, Dorjdagva, Luvsannyam, Savino, & Amenta, 2016) kepuasan pasien secara umum pasien lebih tingi diantara usia tua dari pada usia muda pada kelompok Asia dan African American. 2. Faktor Jenis Kelamin Menurut (Enkhjargal Batbaatar et al., 2016) jenis kelamin berhubungan dengan kepuasan pasien. Dari 15 literatur yang dikaji tentang bukti jenis kelamin, 7 literatur menyebutkan wanita cenderung lebih puas terhadap layanan kesehatan dari pada laki-laki. Sebaliknya 6 literatur menyebutkan


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 163 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS laki-laki lebih cenderung memiliki nilai kepuasan lebih tinggi dari perempuan terhadap pelayanan keperawatan, kenyamanan dan kebersihan. 3. Status Kesehatan Status kesehatan yang dirasakan pasien adalah salah satu dari prediktor terkuat kepuasan pasien (Mikael Rahmqvist & Bara, 2010). Kondisi kesehatan pasien yang buruk menyebabkan kepuasan pasien secara keseluruhan lebih rendah dari pada pasien yang dengan kondisi kesehatannya yang lebih baik. Seperti pasien yang selalu mengalami nyeri dan gejala yang lebih parah melaporkan kepuasannya lebih rendah. Selanjutnya pasien yang memiliki penyakit kronis dan mengidap lebih dari satu penyakit memiliki nilai kepuasan yang rendah (Enkhjargal Batbaatar et al., 2016). 5. Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan berbanding terbalik dengan tingkat kepuasan pasien terhadap asuhan asuhan keperawatan. Terlebih lagi, orang yang teredukasi lebih rendah tingkat kepuasannya terhadap layanan kesehatan dibandingkan dengan orang yang kurang teredukasi. Fakta ini tidak konsisten dengan hasil beberapa penelitian yang menyatakan bahwa mereka yang kurang tereduaksi cenderung kurang puas. Suatu studi kuasi eksperimental mempelajari bahwa kepuasan pasien tidak meningkat meskipun pendidikan meningkat. Faktor kedua yang mempengaruhi kepuasan pasien berdasarkan sisi penyedia layanan kesehatan adalah persepsi interaksi pasien dengan tim kesehatan, kecepatan perawat dalam berespon, lingkungan rumah sakit dan kontrol nyeri. Sopan santun perawat, rasa hormat, mendengar dengan baik dan kemudahan dalam mengakses pelayanan menjadi faktor yang mempengaruhi nilai kepuasan pasien lainnya (Al-Abri & Al-Balushi, 2014). Komunikasi dari pemberi layanan kesehatan menjadi prediktor utama dalam kepuasan pasien (Kahn, Iannuzzi, Stassen, Bankey & Gestring, 2015). Berdasarkan kajian sistematika yang dilakukan oleh Enkhjargal Batbaatar, Dorjdagva, Luvsannyam, Savino, & Amenta, (2016) tentang faktor-faktor penentu kepuasan pasien antara lain adalah:


164 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 1. Technical Care Teknik perawatan mengindikasikan profesionalisme, kompetensi, kemampuan, pengalaman, etika secara profesi termasuk menjaga kerahasiaan. Teknis perawatan juga mengarah pada mematuhi standart dan norma diagnosa klinis dan pengobatan termasuk pengelolaan nyeri yang baik. Dukungan terhadap pengelolaan penyakit pasien seperti memberikan pendidikan tentang pengelolaan diit, cara memonitor penyakit, dan aktifitas atau latihan apa yang dapat dilakukan pasien harus diajarkan oleh pemberi layanan kesehatan. 2. Interpersonal Care Interpersonal care merujuk pada seberapa banyak perawat/dokter peduli kepada pasien melalui perhatian, partisipasi, berbagi, aktif mendengar, menemani, memuji, memberi kenyamanan, memberi harapan, memaafkan dan menerima mereka. Interpersonal Care adalah prediktor kedua dari penilaian kepuasan pasien. Studi lain menunjukkan, interaksi saat menerima telepon juga sebagai salah satu penentu kepuasan pasien. Prediktor lain yang mempengaruhi nilai kepuasan pasien adalah perilaku afektif perawat dan dokter seperti sikap ramah, tulus, peduli, perhatian, simpati, empati, bersikap baik, bertata krama kepada paien dan keluarganya, menghormati privasi pasien serta menghargai keinginan pasien juga menjadi prediktor kepuasan pasien (Akyuz & Ayyildiz, 2012). Keadekuatan informasi tentang penjelasan penyakit, pengobatan, pemeriksaan dan kemungkinan komplikasi saat pasien pulang. Bukti lain menunjukkan bahwa melibatkan pasien dalam menentukan keputusan klinis juga meningkatkan nilai kepuasan pasien (M. Rahmqvist & Bara, 2010). 3. Physical Environment Berdasarkan analisa Parasuraman SERVQUAL, physical environment disebut dengan istilah tangibles untuk aspek fisik. Faktor yang berhubungan dengan lingkunagan diantaranya adalah atmosfir, ruangan yang nyaman, tempat tidur pasien termasuk tempat tidur penunggu pasien, kebersihan tingkat kebisingan, kenyamanan suhu ruangan, pencahayaan, pengaturan perabot, fasilitas dan tempat parkir. Kualitas makanan dan juga suhu penyajian makanan menjadi penentu nilai kepuasan pasien.


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 165 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS 4. Akses Akses terhadap layanan kesehatan adalah penentu multi dimensi. Mengukur bagaimana organisasi bisa dijangkau, ketersediaan sumber layanan dan penghambat pribadi (kemampuan mendapatkan) layanan yang menyebabkan masyarakat sulit mengakses fasilitas kesehatan. a. Accessibility: dijelaskan dengan kenyamanan atau kemudahan dalam mengakses lokasi pelayanan, waktu tunggu yang tidak lama, pendaftaran dan discharge yang cepat dan mudah. Lebih jauh lagi termasuk kemudahan dalam membuat appointment (Bjertnaes et al., 2012; M. Rahmqvist & Bara, 2010), waktu tunggu yang lama diruang ambulatory tanpa pemberitahuan juga mempengaruhi tingkat kepuasan pasien. Prediktor lainnya adalah kebebasan memilih dokter yang merawat juga termasuk prediktor dimensi accessibility dalam kepuasan pasien. b. Availibility: merujuk pada ketersediaan jumlah dari dokter, perawat, fasilitas dan peralatan. c. Affordabiliy: dijelaskan mengenai keterjangkauan layanan, fleksibilitas metode pembayaran dan status penjaminan. 5. Organisational Characteristic Karakteristik organisasi dikaitkan dengan reputasi dan image dari fasilitas layanan. Jenis atau latar belakang institusi seperti Rumah Sakit pendidikan. Pasien yang dirawat melalui perjanjian atau masuk melalui emergency mempengaruhi kepuasan pasien. Penjelasan lain, apakah dokternya fulltimer dan partimer juga mempengaruhi nilai kepuasan pasien. Dokter dan perawat yang menunjukkan perasaan yang bermakna dalam merawat pasien menunjukkan perbedaan nilai kepuasan pasien. 6. Continuity Hubungan antara kepuasan pasien dengan kesinambungan pelayanan dijelaskan dengan kondisi tidak terputusnya proses pelayanan kesehatan dari fasilitas yang sama, lokasi dan pemberi layanan. Pemberi layanan seperti dokter dan pasien secara kooperatif terlibat dalam pengelolaan pasien dengan tujuan bersama untuk mencapai kualitas dan cost efective pelayanan.


166 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 7. Efficacy/Outcome of care Hasil atau dampak dari perawatan menentukan nilai kepuasan pasien. Seberapa membantu perawatan tersebut miningkatkan derajat kesehatan pasien menjadi penentu kepuasan pasien juga. Pasien yang merasakan ada peningkatan kesehatannya saat dirawat menunjukkan tingkat kepuasan yang bermakna dibandingkan dengan pasien yang mengalami komplikasi (Schoenfelder, Klewer & Kugler, 2011). Berdasarkan konseptual model penelitian yang berjudul making transition to nursing bedside shift reports yang mendorong pasien puas dalam penelitian yang dilakukan oleh Wakefield, Ragan, Brandt & Tregnago tahun 2012 di Columbia, Amerika menyebutkan: a. Caring/compassion dari perawat yang dirasakan pasien Keperawatan adalah satu kesatuan bagian yang utuh dari ketersinambungan perwatan pasien. Caring dalam keperawatan ditunjukkan dalam hubungan perawat dengan pasien. Secara umum dapat diartikan sebagai suatu kemampuan perawat untuk berdedikasi bagi orang lain, peduli, menunjukkan perhatian, perasaan empati pada orang lain dan perasaan cinta atau menyayangi yang merupakan kehendak keperawatan. Compassion adalah kepekaan terhadap kesulitan dan kepedihan orang lain dapat berupa membantu seseorang untuk tetap bertahan, memberikan kesempatan untuk berbagi, dan memberi ruang bagi orang lain untuk berbagi perasaan, serta memberikan dukungan secara penuh (Granados GÁmez, 2009). b. Komunikasi antar perawat dan perawat dan pasien yang dirasakan pasien selama perawatan Survei kepada pasien dalam penelitian (Radtke, 2013) tentang Improving Patient Satisfaction With Nursing Communication Using Bedside Shift Report yang dilakukan di Wisconsin, Amerika, setelah pasien keluar dari rumah sakit menunjukkan bahwa komunikasi antar perawat dan antar perawat kepada pasien selama mereka pasien dirawat mempengaruhi kepuasan pasien. Standarisasi pelaporan di samping tempat tidur adalah satu langkah menuju perbaikan komunikasi antara perawat, pasien, dan keluarganya. Komunikasi ditunjukkan juga dengan hubungan antar perawat dan pasien. Komunikasi


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 167 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS aktif dalam perawat melalui adanya pertukaran informasi, mendengar aktif dan melibatkan pasien. c. Ketanggapan perawat yang dirasakan pasien Ketanggapan perawat ditunjukkan dengan kesediaan untuk membantu pasien, berespon dan memberikan pelayanan yang cepat yang meliputi kecepatan perawat dalam menangani keluhan pasien serta kesigapan perawat dalam melayani pasien. d. Kualitas perawat yang dirasakan pasien Kualitas perawat keperawatan adalah pengetahuan yang dimiliki dalam melakukan praktik keperawatan yang memberi arti dari kualitas asuhan keperawatan yang diberikan. Kualitas mendorong dan memfasilitasi perubahan praktik, mendorong perbaikan dalam kualitas asuhan keperawatan. Menurut pendapat dari sisi perawat dalam praktik keperawatan, kualitas perawat adalah kemampuan perawat memberikan pelayanan sesuai kebutuhan pasien. Apabila pelayanan yang diberikan memenuhi kebutuhan pasien, maka pasien akan puas. Kebutuhan tersebut dipenuhi melalui kepedulian, empati, interaksi, rasa hormat dimana tanggung jawabnya sebagai perawat, keinginannya dan advokasnyai merupakan hal yang esensial dan mendasar. dasar. Kualitas keperawatan juga sebagai pengalaman yang hidup dalam interaksi perawat pasien yang secara konsisten dapat dirasakan oleh pasien dan perawat (Burhans & Alligood, 2010). e. Kualitas teknik pelayanan yang dirasakan pasien Kerangka analitik untuk menilai kualitas kerja pelayanan yang diajukan oleh Institute of Medicine (IOM) mencakup enam tujuan berikut: 1) Aman: pasien terhindar dari bahaya selama perawatan. 2) Efektif: Memberikan layanan berdasarkan pengetahuan ilmiah kepada semua orang yang dapat menguntungkan semua pihak (menghindari penggunaan yang tidak tepat dan penyalahgunaan). 3) Berpusat pada pasien: Memberikan perawatan yang menghormati dan menghargai keinginan pasien. Responsif terhadap preferensi, kebutuhan, dan nilai pasien secara individual dan memastikan bahwa nilai pasien memandu semua keputusan klinis.


168 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 4) Tepat waktu: Mengurangi waktu tunggu, penundaan tindakan yang merugikan pasien yang menerima dan yang memberikan pelayanan. 5) Efisien: Menghindari pemborosan, termasuk pemborosan peralatan, persediaan, waktu dan energi. 6) Equitable/Pemerataan: Memberikan perawatan yang tidak membeda-bedakan kualitasnya karena sifat personal seperti jenis kelamin, etnisitas, lokasi geografis, dan status sosial ekonomi. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam bentuk misalnya, ketika pasien diberi penjelasan singkat tentang penjelasan tentang perawatannya. N. Pengukuran Kepuasan Pasien Pendekatan yang sering digunakan untuk mengevaluasi kepuasan pasien adalah pendekatan secara kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan ini memberikan metode yang akurat untuk mengukur kepuasan pasien. Kuesioner terstandardisasi yang baik dilaporkan sendiri atau diwawancarai melalui telepon yang paling umum digunakan (Al-Abri & Al-Balushi, 2014). Beberapa instrumen yang sudah terstandarisai seperti patient satisfaction questionnaires (PSQ-18) dan penilaian Consumer Assessment Health Plans (CAHPS). Instrumen ini memiliki keuntungan keandalan dan validitas yang baik. Terdiri dari 27 item survey yang mengukur persepsi pasien terhadap pengalaman mereka saat dirawat di rumah sakit. Salah satu fokus survey ini adalah komunikasi perawat. Pasien ditanyakan seberapa sering perawat mendengar pasien dengan baik. Apakah perawat menjelaskan sesuai dengan pemahaman pasien. Alat ini juga menilai apakah perawat memperlakukan pasien dengan hormat dan sopan. Jawaban pasien dalam pertanyaan ini, dirating dengan nilai 4 tingkatan. Tidak pernah, kadang-kadang, biasanya dan selalu. Topik pertanyaan gabungan terdiri dari: komunikasi perawat (Pertanyaan 1,2,3), komunikasi dokter (pertanyaan 5, 6, 7), kecepatan perawat berespon (pertanyaan 4 dan 11), pengelolaan nyeri (pertanyaan 13, 14), komunikasi tentang obatobatan (pertanyaan 16, 17), informasi pasien pulang (pertanyaan 19, 20). Pertanyaan personal terdiri dari: kebersihan lingkungan rumah sakit (pertanyaan 8) dan ketenangan lingkungan rumah sakit (pertanyaan 9). Pertanya Umum terdiri dari: penilaian keseluruhan rumah sakit (pertanyaan 21) dan


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 169 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS kesediaan untuk merekomendasikan rumah sakit (pertanyaan 22) (Centers for Medicare & Medicaid Services, 2014). Survei besar lainnya Picker Patient Experience Questionnaire for Inpatient Experience (PPEQ- 15). Instrumen ini menunjukkan korelasi yang tinggi dari item yang dipilih, konsistensi dan validitas yang tinggi. Oleh karena itu, pemilihan terhadap instrumen kepuasan pasien yang tepat merupakan tantangan penting bagi organisasi kesehatan (Al-Abri & Al-Balushi, 2014). O. Penelitian Terkait Tentang Bedside Operan Sif Studi yang dilakukan oleh Scheidenhelm & Reitz (2017) tentang perbaikan bedside shift report di 2 unit ruang perawatan bedah dan kebidanan rumah sakit komunitas State University, Amerika. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan skor kepatuhan perawat terhadap pelaksanaan bedside operan sif. Penelitian ini juga membandingkan kepuasan pasien sebelum dan sesudah implementasi. Metode penelitian yang digunakan dengan quasi ekperimental antar grup. Selama 5 bulan setelah implementasi skor kepuasan perawat dan kepuasan pasien meningkat. Hasil studi kajian literatur yang dilakukan oleh (Vines, Dupler, Van Son, & Guido, 2014) juga menilai tentang penggunaan bedside operan sif terhadap peningkatan kepuasan pasien dan perawat. Hasilnya bedside operan sif meningkatkan kepuasan dan kepercayaan pasien. Bedside operan sif juga memfasilitasi kerjasama tim dan tanggung jawab perawat. Studi deskriptif tentang pandangan pasien terhadap pelaksanaan bedside report yang dilakukan oleh McMurray, Chaboyer, Wallis, Johnson, & Gehrke (2011). Tujuan penelitian ini untuk melihat perspektif pasien tentang partisipasi mereka dalam pelaksanaan bedside report disetiap shift. Metode yang digunkan adalah studi kasus deskriptif kepada 10 pasien rawat inap di satu rumah sakit Queensland tahun 2009. Responden diberi pertanyaan tentang pandangan mereka terhadap pelaksanaan bedside operan sif termasuk manfaat dan keterbatasannya. Analisa data isi tematik digunakan dalam studi ini. Hasilnya ada empat tema muncul dari analisis. Pertama, pasien merasa dihargai karena diakui sebagai mitra dalam perawatan mereka. Kedua, pasien melihat bedside report sebagai tempat yang memberikan kesempatan untuk melakukan kroscek terhadap informasi tang tidak akurat. Ketiga, beberapa pasien memilih untuk lebih


170 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan pasif tidak terlibat penuh dalam operan sif. Keempat, kebanyakan pasien merasa dihargai dan bedside operan sif diangap sebagai metode pendekatan yang inklusif hubungan pasien dan perawat. Studi lain yang menguji dampak dari sistem operan sif yang terintegrasi terhadap kepuasan perawat dan peningkatan praktik kerja oleh Johnson & Cowin (2013). Peneliti terlebih dahulu memperkenalkan sistem serah terima yang teristegrasi lalu perubahan nilai kepuasan perawat dievaluasi denggan menggunakan pendekatan mix-methode. Focus group discussion dilakukan kepada dokter, nurse manager dan nurse educator. Analisa data kuantitatif menggunakan Wilcoxon rank sum test dan data kualitatif menggunakan transkrip verbatim dan dinalisa dengan NVIVO. Hasil pelaksanaan operan sif yang terintegrasi meningkatkan kepuasan perawat. P. Teori Keperawatan yang Digunakan Keberhasilan pelaksanaan bedside operan sif ini tergantung dari komunikasi diantara perawat sehingga teori digunakan sebagai panduan dalam menyusun skrip prosedur bedside operan sif ini. Teori kedua yang digunakan adalah teori perubahan terencana oleh Kurt Lewin (Scheidenhelm & Reitz, 2017; Vines et al., 2014). 1. Teori hubungan Interpersonal Hildegard Peplau Teori Peplau tentang hubungan interpersonal memusatkan perhatian pada interaksi antara perawat dan klien. Usaha untuk membentuk hubungan terapeutik dan hubungan saling percaya terbentuk dalam teori ini. Aplikasi teori Peplau membantu peneliti untuk memberi panduan dalam penyusunan pelaksanaan bedside report saat perawat keliling ke kamar pasien. Tahapan perawat sat memasuki kamar pasien; memperkenalkan diri, mengidentifikasi kebutuhan pasien, meriview perkembangan pasien dan bekerjasama untuk membuat rencana keperawatan selanjutnya (Scheidenhelm & Reitz, 2017). Peplau mengidentifikasi tiga fase dalam teori hubungan interpersonal. Fase pertama yaitu fase orientasi, fase kedua fase kerja dan fase ketiga fase terminasi. Pada fase orientasi kegiatan bedside operan sif, perawat memperkenalkan dirinya sendiri, menjelaskan proses bedside operan sif, mendapatkan persetujuan klien lalu dilanjutkan pada fase berikutnya (Wayne, 2014).


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 171 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Fase kedua yaitu fase kerja. Selama fase ini, perawat dan klien berkolaborasi untuk mengidentifikasi kebutuhan dan menentukan metode untuk mencapainya. Perawat juga bersama klien membuat rencana keperawatan. Fase ketiga, fase terminasi atau fase diakhir hubungan. Kegiatan yang dilakukan dalam fase ini adalah mempertanyakan pasien apakah kebutuhan klien sudah terpenuhi. 2. Teori Perubahan Terencana oleh Kurt Lewin Teori Kurt Lewin tentang perubahan yang direncanakan digunakan sebagai dasar untuk memfasilitasi kelancaran proses transisi dari operan sif cara tradisional menjadi bedside operan sif. Ada tiga tahap teori perubahan Lewin: unfreezing, mooving dan refreezing (McMurray, Chaboyer, Wallis, & Fetherston, 2010; Scheidenhelm & Reitz, 2017). Gambaran besar tahapan unfreesing menguraikan kegiatan yang berkaitan dengan mengedukasi perawat. Pada tahap ini juga, perawat akan diberi informasi untuk mengubah pola fikir mereka. Tahap unfreezing termasuk juga bagaimana menginspirasi, mengarahkan, dan menggerakkan perawat untuk melakukan kegiatan yang baru yaitu mengimplementasikan Bedside operan sif (Vines et al., 2014). Usaha dalam menjadikan kegiatan bedside operan sif ini menjadi norma setelah perubahan terbentuk, perlu penjelasan terhadap perawat tentang alasan dibalik pelaksanaan kegiatan ini. Apa tujuan pelaksanaan bedside operan sif, motivasinya serta kekuatan yang dapat membantu yang memungkinkan perawat mau bergerak ketahap berikutnya (McMurray et al., 2010; Reinbeck & Fitzsimons, 2013). Tahap moving adalah fase dimana kegiatan bedside operan sif mulai dilakukan. Kegiatan diawali dengan pengenalan tentang bedside operan sif yang dilanjutkan dengan pelaksanaannya. Tahap akhir adalah refreezing, dianggap sebagai kegiatan yang eksklusif karena bedside operan sif sudah dilakukan disetiap akhir shift (Chaboyer et al., 2009).


172 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan Gambar Kerangka Teori Penelitian


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 173 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS A. Konsep Dasar Mutu Pelayanan Keperawatan Definisi Peningkatan mutu pelayanan adalah derajat memberikan pelayanan secara efisien dan efektif sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan yang dilaksanakan secara menyeluruh sesuai dengan kebutuhan pasien, meman - faatkan teknologi tepat guna dan hasil penelitian dalam pengembangan pelayanan kesehatan/keperawatan sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal. Pengukuran Mutu Pelayanan Menurut Donabedian, mutu pelayanan dapat diukur dengan menggunakan tiga variabel yaitu input, proses, dan output/outcome . 1. Input adalah segala sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan seperti tenaga, dana, obat, fasilitas peralatan, teknologi, organisasi dan informasi. 2. Proses adalah interaksi profesional antara pemberi pelayanan dengan konsumen (pasien dan masyarakat). Setiap tindakan medis/keperawatan harus selalu mempertimbangkan nilai yang dianut pada diri pasien. Setiap tindakan korektif dibuat dan meminimalkan risiko terulangnya keluhan MUTU PELAYANAN KEPERAWATAN 7 BAB


174 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan atau ketidakpuasan pada pasien lainnya. Program keselamatan pasien bertujuan untuk meningkatkan keselamatan pasien dan meningkatkan mutu pelayanan. Interaksi profesional yang lain adalah pengembangan akreditasi dalam meningkatkan mutu rumah sakit dengan indikator pemenuhan standar pelayanan yang ditetapkan Kementerian Kesehatan RL ISO 9001:2000 adalah suatu standar internasional untuk sistem manajemen kualitas yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses pelayanan terhadap kebutuhan persyaratan yang dispesifikasikan oleh pelanggan dan rumah sakit. Keilmuan selalu diperbarui untuk menjamin bahwa tindakan medis/keperawatan yang dilakukan telah didukung oleh bukti ilmiah yang mutakhir. Interaksi profesional selalu memperhatikan asas etika terhadap pasien, yaitu: a. Berbuat hal-hal yang baik (beneficence) terhadap manusia khususnya pasien, staf klinis dan nonklinis, masyarakat dan pelanggan secara umum; b. Tidak menimbulkan kerugian (nonmaleficence) terhadap manusia; c. Menghormati manusia (respect for persons) menghormati hak otonomi, martabat, kerahasiaan, berlaku jujur, terbuka, empati; d. Berlaku adil (Gustice) dalam memberikan layanan. 3. Output/outcome adalah hasil pelayanan kesehatan atau pelayanan keperawatan, yaitu berupa perubahan yang terjadi pada konsumen termasuk kepuasan dari konsumen. Tanpa mengukur hasil kinerja rumah sakit/keperawatan tidak dapat diketahui apakah input dan proses yang baik telah menghasilkan output yang baik pula. Konsep Mutu berdasar SERVQUAL (Service Quality) Tinjanan memgenai konsep kualitas layanan sangat ditentukan oleh berapa besar kesenjangan (gap) antara persepsi pelanggan atas kenyataan pelayanan yang diterima, dibandingkan dengan harapan pelanggan atas pelayanan yang harus diterima. Kelima kesenjangan (gap) tersebut disajikan dalam skema grand theory Parasuraman, Zeithaml dun Berry (1985) dan diuraikan berikut ini.


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 175 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Figur The lntegrated Gags Model of Service Quality (Parasuraman, Zeithaml, Berry, 1S85) Grand teori yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry dalam Muninjaya (2011), penyampaian jasa oleh pihak penyedia jasa bisa terancam gagal kalau berbagai kesenjangan dibiarkan berkembang tanpa ada intervensi untuk mencegahnya, atau tidak ada upaya khusus untuk mengurangi dampak buruknya. Penjelasan mengenai kelima kesenjangan tersebut yaitu sebagai berikut. 1. Kesenjangan antara harapan pengguna jasa dan persepsi manajemen. Manajemen institusi pelayanan kesehatan belum mampu secara tepat mengidentifikasi dan memahami harapan (ekspektasi) para pengguna jasa pelayanan kesehatan.


176 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 2. Kesenjangan antara persepsi manajemen dan spesifikasi kualitas jasa. Kesenjangan akan terjadi jika pemahaman manajemen RS (Puskesmas) tentang harapan pengeuna jasa pelayanan kesehatan tidak diterjemahkan menjadi aksi nyata yang spesifik. Misalnya, standar prosedur pelayanan atau pelaksanaan penyampaian jasa belum dikemas sesuai dengan harapan pengguna jasa yang semakin menuntut pelayanan yang bermutu (cepat, ramah, tepat dan biaya terjangkau). 3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaiannya. Standar pelayanan dan cara penyampaian jasa sudah tersusun dengan baik, tetapi muncul kesenjangan karena staf pelaksana pelayanan di garis depan (Front Line Staff) seperti perawat, bidan dan dokter umum di sebuah rumah sakit belum mendapat pelatihan khusus tentang teknik penyampaian jasa pelayanan tersebut. Akibatnya, jasa pelayanan kesehatan yang ditawarkan kepada pasien tidak sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan oleh komite medik rumah sakit tersebut. 4. Kesenjangan antara penyampaian jasa dan harapan pihak eksternal. Harapan pengguna jasa sangat dipengaruhi oleh cara staf dan manajemen rumah sakit berkomunikasi dengan masyarakat calon pengguna jasanya. Cara seperti ini akan memunculkan kesenjangan. Harapan pengguna jasa pelayanan kesehatan yang sudah mulai terbentuk melalui pemasaran tidak dapat terpenuhi karena pelayanan teknis medis dan kelengkapan mutu pelayanan berbeda dengan ekspektasi mereka. 5. Kesenjangan antara jasa yang diterima pengguna dan yang diharapkan. Kesenjangan ini terjadi jika konsumen mengukur kinerja institusi pelayanan kesehatan dengan cara yang berbeda, termasuk persepsi pengguna yang berbeda terhadap kualitas jasa pelayanan kesehatan yang diharapkan. Menurut Parasuraman (2001: 162) bahwa konsep kualitas layanan yang diharapkan dan dirasakan ditentukan oleh kualitas layanan. Kualitas layanan tersebut terdiri atas daya tanggap, janminan, bukti fisik, empati dan keandalan. Selain itu, pelayanan yang diharapkan sangat dipengaruhi oleh berbagai persepsi komunikasi dari mulut ke mulut, kebutuhan pribadi, pengalaman masa lalu dan komunikasi eksternal, persepsi inilah yang memengaruhi pelayanan yang diharapkan (Ep Expectation) dan pelayanan yang dirasakan


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 177 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS (Pp = Perception) yang membentuk adanya konsep kualitas layanan. Lebih jelasnya dapat ditunjukkan pada gambar di bawah ini: Figur Penilaian Pelanggan terhadap Kualitas layanan (Parasuraman, 2001) Parasuraman (2001: 165) menyatakan bahwa konsep kualitas layanan adalah suatu pengertian yang kompleks tentang mutu, tentang memuaskan atau tidak memuaskan. Konsep kualitas layanan dikatakan bermutu apabila pelayanan yang diharapkan lebih kecil daripada pelayanan yang dirasakan (bermutu). Dikatakan konsep kualitas layanan memenuhi harapan, apabila pelayanan yang diharapkan sama dengan yang dirasakan (memuaskan). Demikian pula dikatakan persepsi tidak memenuhi harapan apabila pelayanan yang diharapkan lebih besar daripada pelayanan yang dirasakan (tidak bermutu). Konsep kualitas layanan dari harapan yang diharapkan seperti dikemukakan di atas, ditentukan oleh empat faktor, yang saling terkait dalam memberikan suatu persepsi yang jelas dari harapan pelanggan dalam mendapatkan pelayanan. Keempat faktor tersebut antara lain sebagai berikut. 1. Komunikasi dari mulut ke mulut (word of mouth communication), faktor ini sangat menentukan dalam pembentukan harapan pelanggan atas suatu jasa/pelayanan. Pemilihan untuk mengonsumsi suatu jasa/pelayanan yang bermutu dalam banyak kasus dipengaruhi oleh informasi dari


178 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan mulut ke mulut yang diperoleh dari pelanggan yang telah mengonsumsi jasa tersebut sebelumnya. Promosi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu program pemasaran. Betapapun berkualitasnya suatu produk ataupun jasa, bila konsumen belum pernah mendengarnya dan tidak yakin bahwa produk tersebut dapat berguna, maka konsumen tidak akan pernah membeli produk tersebut. Salah satu alat promosi yang paling ampuh adalah dengan sistem WOM (Word of Mouth) (Trarintya, 2011). WOM merupakan sebuah komunikasi informal di antara seorang pembicara yang tidak komersial dengan orang yang menerima informasi mengenai sebuah merek, produk, perusahaan atau jasa. WOM dapat diartikan sebagai aktivitas komunikasi dalam pemasaran yang mengindikasikan seberapa mungkin pelanggan akan bercerita kepada orang lain tentang pengalamannya dalam proses pembelian atau mengonsumsi suatu produk atau jasa. Pengalaman pelanggan tersebut dapat berupa pengalaman positif atau pengalaman negatif. Sebenarnya hubungan dari mulut ke mulut berbentuk U, apabila seseorang puas maka ia akan menyebarkan berita positif dari mulut ke mulut, tapi apabila mengeluh tidak puas maka ia akan menyebarkan berita negatif dari mulut ke mulut. Pengalaman yang kurang memuaskan pada pelanggan dapat memunculkan berbagai respons kepada perusahaan. Perusahaan dapat menanggapi respon tersebut dengan berbagai cara yang dinamis. Peluang meningkatnya aktivitas WOM tersebut dapat memberikan pengaruh yang hebat. Usaha WOM, memuaskan pelanggan adalah hal yang sangat wajib. Dalam sebuah studi oleh US Office of Consumer Affairs (Kantor Urusan Pelanggan Amerika Serikat) menunjukkan bahwa WOM memberikan efek yang signifikan terhadap penilaian pelanggan. Dalam studi tersebut disebutkan bahwa secara rata-rata, satu pelanggan tidak puas akan mengakibatkan sembilan calon pelanggan lain yang akan menyebabkan ketidakpuasan. Sementara itu pelanggan yang puas hanya akan mengabarkan kepada lima calon pelanggan lain. 2. Kebutuhan pribadi (Personal Need), yaitu harapan pelanggan bervariasi tergantung pada karakteristik dan keadaan individu yang memengaruhi kebutuhan pribadinya.


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 179 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS 3. Pengalaman masa lalu (Past Experience), yaitu pengalaman pelanggan merasakan suatu pelayanan jasa tertentu di masa lalu yang memengaruhi tingkat harapannya untuk memperoleh pelayanan jasa yang sama di masa kini dan yang akan datang. 4. Komunikasi eksternal (Company’s External Communication) yaitu komunikasi eksternal yang digunakan oleh organisasi jasa sebagai pemberi pelayanan melalui berbagai bentuk upaya promosi juga memegang peranan dalam pembentukan harapan pelanggan. Berdasarkan pengertian di atas terdapat tiga tingkat konsep kualitas layanan yaitu: 1. Bermutu (Quality Surprise), bila kenyataan pelayanan yang diterima melebihi pelayanan yang diharapkan pelanggan. 2. Memuaskan (Satisfactory Quality), bila kenyataan pelayanan yang diterima sama dengan pelayanan yang diharapkan pelanggan. 3. Tidak bermutu (Unacceptable Quality), bila ternyata kenyataan pelayanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan pelanggan. Parasuraman (2001:26) mengemukakan konsep kualitas layanan yang berkaitan dengan kepuasan ditentukan oleh lima unsur yang biasa dikenal dengan istilah kualitas layanan “RATER” (Responsiveness, Assurance, Tangible, Empathy dan Reliability). Konsep kualitas layanan RATER intinva adalah membentuk sikap dan perilaku dari pengembang pelayanan untuk memberikan bentuk pelayanan yang kuat dan mendasar, agar mendapat penilaian sesuai dengan kualitas layanan yang diterima. Inti dari konsep kualitas layanan adalah menunjukkan segala bentuk aktualisasi kegiatan pelayanan yang memuaskan orang-orang yang menerima pelayanan sesuai dengan daya tanggap (responsiveness), menumbuhkan adanya jaminan (assurance), menunjukkan bukti fisik (tangible) yang dapat dilihatnya, menurut empati (empathy) dari orang-orang yang memberikan pelayanan sesuai dengan keandalannya (reliability) menjalankan tugas pelayanan yang diberikan secara konsekuen untuk memuaskan yang menerima pelayanan. Berdasarkan inti dari konsep kualitas layanan “RATER” kebanyakan organisasi kerja yang menjadikan konsep ini sebagai acuan dalam menerapkan aktualisasi layanan dalam organisasi kerjanya, dalam memecahkan berbagai


180 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan bentuk kesenjangan (gap) atas berbagai pelayanan yang diberikan oleh pegawai dalam memenuhi tuntutan pelayanan masyarakat. Aktualisasi konsep “RATER” juga diterapkan dalam penerapan kualitas layanan pegawai baik pegawai pemerintah maupun nonpemerintah dalam meningkatkan prestasi kerjanya. Lebih jelasnya dapat diuraikan mengenai bentuk-bentuk aplikasi kualitas layanan dengan menerapkan konsep “RATER” yang dikemukakan oleh Parasuraman (2001:32) sebagai berikut. 1. Daya tanggap (Responsiveness) Setiap perawat profesional dalam memberikan bentuk-bentuk pelayanan, mengutamakan aspek pelayanan yang sangat memengaruhi perilaku orang yang mendapat pelayanan, sehingga diperlukan kemampuan daya tanggap dari perawat untuk melayani paisen, keluarga dan masyarakat sesuai dengan tingkat penyerapan, pengertian, ketidaksesuaian atas berbagai hal bentuk pelayanan yang tidak diketahuinya. Daya tanggap (responsiveness) memerlukan adanya penjelasan yang bijaksana, mendetail, membina, mengarahkan dan membujuk agar menyikapi segala bentukbentuk prosedur dan mekanisme kerja yang berlaku dalam suatu organisasi, sehingga bentuk pelayanan mendapat respon positif (Parasuraman, 2001:52). Tuntutan pelayanan keperawatan yang berkualitas, diperlukan daya repon yang dapat menanggapi berbagai keluhan dari berbagai macam, keluhan, complain, ketidakpuasan akan pelayanan kesehatan yang diberikan menjadi suatu respek positif dari daya tanggap pemberi pelayanan supaya dapat memberikan kepuasan kepada pasien, keluarga dan masyarakat penerima pelayanan keperawatan. Sebaiknya sebagai perawat profesional, apabila apabila menemukan pasaien, keluarga dan masyarakat yang kita layani kurang mengerti atas berbagai syarat prosedur atau mekanisme, maka perlu diberikan suatu pengertian dan pemahaman yang jelas secara bijaksana, berwibawa dan memberikan berbagai alternatif kemudahan untuk mengikuti syarat pelayanan yang benar, sehingga kesan dari orang yang mendapat pelayanan memahami atau tanggap terhadap keinginan orang yang dilayani. Pada prinsipnya, inti dari bentuk pelayanan yang diterapkan dalam suatu instansi atau aktivitas pelayanan kerja yaitu memberikan pelayanan se


TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan 181 TIDAK UNTUK DI PUBLIKASIKAN, HANYA UNTUK KEPENTINGAN DINAS suai dengan tingkat ketanggapan atas permasalahan pelayanan yang diberikan. Kurangnya ketanggapan tersebut dari orang yang menerima pelayanan, karena bentuk pelayanan tersebut baru dihadapi pertama kali, sehingga memerlukan banyak informasi mengenai syarat dan prosedur pelayanan yang cepat, mudah dan lancar, sehingga pihak pegawai atau pemberi pelayanan seharusnya menuntun orang yang dilayani sesuai dengan penjelasan-penjelasan yang mendetail, singkat dan jelas yang tidak menimbulkan berbagai pertanyaan atau hal-hal yang menimbulkan keluh kesah dari orang yang mendapat pelayanan. Apabila hal ini dilakukan dengan baik, berarti pegawai tersebut memiliki kemampuan daya tanggap terhadap pelayanan yang diberikan yang menjadi penyebab terjadinya pelayanan yang optimal sesuai dengan tingkat kecepatan, kemudahan dan kelancaran dari suatu pelayanan yang ditangani oleh pegawai (Parasuraman, 2001). Suatu organisasi sangat menyadari pentingnya kualitas layanan daya tanggap atas pelayanan yang diberikan. Setiap orang yang mendapat pelayanan sangat membutuhkan penjelasan atas pelayanan yang diberikan agar pelayanan tersebut jelas dan dimengerti. Untuk mewujudkan dan merealisasikan hal tersebut, maka kualitas layanan daya tanggap mempunyai peranan penting atas pemenuhan berbagai penjelasan dalam kegiatan pelayanan kepada masyarakat. Apabila pelayanan daya tanggap diberikan dengan baik atas penjelasan yang bijaksana, penjelasan yang mendetail, penjelasan yang membina, penjelasan yang mengarahkan dan yang bersifat membujuk, apabila hal tersebut secara jelas dimengerti oleh individu yang mendapat pelayanan, maka secara langsung pelayanan daya tanggap dianggap berhasil, dan ini menjadi suatu bentuk keberhasilan prestasi kerja. Kualitas layanan daya tanggap adalah suatu bentuk pelayanan dalam memberikan penjelasan, agar orang yang diberi pelayanan tanggap dan menanggapi pelayanan yang diterima, sehingga diperlukan adanya unsur kualitas layanan daya tanggap sebagai berikut: a. Memberikan penjelasan secara bijaksana sesuai dengan bentuk-bentuk pelayanan yang dihadapinya. Penjelasan bijaksana tersebut mengantar individu yang mendapat pelayanan mampu mengerti dan menyetujui segala bentuk pelayanan yang diterima.


182 Kepemimpinan Dan Manajemen Pelayanan Keperawatan b. Memberikan penjelasan yang mendetail yaitu bentuk penjelasan yang substantif dengan persoalan pelayanan yang dihadapi, yang bersifat jelas, transparan, singkat dan dapat dipertanggungjawabkan. c. Memberikan pembinaan atas bentuk-bentuk pelayanan yang dianggap masih kurang atau belum sesuai dengan syarat-syarat atau prosedur pelayanan yang ditunjukkan. d. Mengarahkan setiap bentuk pelayanan dari individu yang dilayani untuk menyiapkan, melaksanakan dan mengikuti berbagai ketentuan pelayanan yang harus dipenuhi. e. Membujuk orang yang dilayani apabila menghadapi suatu permasalahan yang dianggap bertentangan, berlawanan atau tidak sesuai dengan prosedur dan ketentuan yang berlaku. Uraian-uraian di atas menjadi suatu interpretasi yang banyak dikembangkan dalam suatu organisasi kerja yang memberikan kualitas layanan yang sesuai dengan daya tanggap atas berbagai pelayanan yang ditunjukkan. Inti dari pelayanan daya tanggap dalam suatu organisasi berupa pemberian berbagai penjelasan dengan bijaksana, mendetail, membina, mengarahkan dan membujuk. Apabila hal ini dapat diimplementasikan dengan baik, dengan sendirinya kualitas layanan daya tanggap akan menjadi cermin prestasi kerja pegawai yang ditunjukkan dalam pelayanannya. 2. Jaminan (Assurance) Semua bentuk pelayanan kesehatan memerlukan adanya kepastian dan jaminan atas pelayanan yang diberikan. Bentuk kepastian dari suatu pelayanan keperawatan sangat ditentukan oleh jaminan dari perawat yang memberikan pelayanan keperawatan, sehingga pasien yang menerima pelayanan merasa puas dan yakin bahwa segala bentuk urusan pelayanan keperawatan yang berikan tuntas dan selesai sesuai dengan kecepatan, ketepatan, kemudahan, kelancaran dan kualitas layanan yang diberikan (Parasuraman, 2001). Jaminan atas pelayanan yang diberikan oleh perawat sangat ditentukan oleh performance atau kinerja pelayanan keperawatan, sehingga diyakini bahwa perawat tersebut mampu memberikan pelayanan keperawatan yang handal, mandiri dan profesional yang berdampak pada kepuasan pelayanan keperawatan yang diterima oleh pasien dan keluarganya selaku customer. Selain dari performance tersebut, jaminan dari suatu


Click to View FlipBook Version