ZULFA EFF ULI RAS;
Titik Arsitektural Perjalananku
Hak Cipta dilindungi
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014
Tentang Hak Cipta
All right reserved
ZULFA EFF ULI RAS;
Titik Arsitektural Perjalananku
FAJAR RUSVAN
SRI HARYATI PUTRI
©2021
ZULFA EFF ULI RAS;
Titik Arsitektural Perjalananku
Proof Reader:
Drs. H. Zulfa Eff Uli Ras, M.Pd.
Penulis:
Fajar Rusvan
Sri Haryati Putri
Komunikasi Visual & Tata Letak:
Fuji Fernanda
Foto Sampul:
Koleksi Zulfa Eff Uli Ras
Pengumpul Bahan:
Ria Candra Pola
Riyona Berliani
Tim Riset:
Kantor Fajar Rusvan & Rekan
Cetakan Pertama:
September 2021
ISBN:
978-623-94208-2-6
15x23 cm
xviii + 323 halaman
Diterbitkan oleh:
JC Institute
Jl. Beringin IV A No. 4
Padang Sumatera Barat
Indonesia 25136
+62818662110
[email protected]
Jl. Singgalang IV B.27 No 6
Mekarsari Cimanggis Depok 16952
Dicetak oleh CV. Frasa Indonesia
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
All right reserved
KATA SAMBUTAN
vii
viii
PENGANTAR
Dibesarkan dalam lingkungan dan budaya yang ix
berbeda-beda sejak kecil, memberikan ZULFA EFF ULI
RAS kearifan yang nyata. Kurun waktu enam tahun
pertama sekolah formalnya ia habiskan di daerah yang
memiliki ciri khas nusantara yang kental: Minangkabau,
Jawa, dan Aceh. Perbedaan bahasa, adat istiadat, juga cara
pandang memberikan khasanah wawasan bagi Zulfa kecil.
Hal yang mengakar kuat dalam membentuk kepribadian
dan karakter dirinya.
Perjalanan kehidupannya memberikan garis tegas
antara semangat dan sebuah pencapaian. Zulfa menjelma
menjadi sosok yang mampu mengayomi keluarga besar
hingga institusi perguruan tinggi yang dipimpinnya. Ia
selalu hadir dalam gagasan, tindakan hingga strategi jalan
keluar atas setiap permasalahan.
Baginya, kehidupan ideal merupakan gabungan
konstruksi kebaikan sesama makhluk dengan belas kasih
Tuhan. Aspek spiritual memang tidak pernah bisa
dilepaskan dalam keseharian seorang Zulfa Eff Uli Ras,
cucu seorang petani pembaca surat kabar ini.
Mencermati lintasan kehidupan Zulfa Eff Uli Ras,
kita dibawa pada sebuah pilihan-pilihan baru yang
bersumber dari kisah-kisah lama. Sebuah nilai yang
membentuk titik arsitektural kehidupan dari seorang
x tokoh yang memiliki sumbangsih dan dedikasi terhadap
dunia pendidikan teknik di Sumatera Barat.
Selamat membaca!
Padang, 26 Agustus 2021
Fajar Rusvan
Sri Haryati Putri
PROLOG
Garis takdir membawa saya mengarungi xi
pengembaraan hidup yang berliku. Di saat usia yang masih
cukup belia, saya telah menapaki jalan derita penuh
linangan air mata. Jelas, perasaian demikian menjadikan
saya tangguh bagaikan karang. Hempasan ombak tidak
membuat saya menepi. Justru mengokohkan pijakan, agar
tidak digulung badai kehidupan.
Banyak cerita pahit getir yang ingin coba diurai.
Dalam autobiorafi ini akan diungkapkan pengalaman
semasa kecil sampai masa kini. Mudah-mudahan ini
bermanfaat bagi anak-anak, cucu-cucu dan seluruh
keturunan Burhany dan semua orang yang membacanya.
Penulisan ini juga atas dorongan dan semangat serta
bantuan dari ananda Muhammad Ismal Zeva yang sudah
dikemukakannya sejak saya berusia 64 tahun yang silam.
Tepatnya sebelum saya menjejaki masa pensiun sebagai
pegawai negeri/dosen. Ungkapan dalam autobiografi ini
adalah tulisan apa adanya, segala sesuatu yang masih
teringat dan berkesan yang ditulis pada usia 69 tahun.
Penulisan ini telah dimulai tepatnya pada tanggal 15
Februari 2020 di Padang dan dilanjutkan di Jakarta pada
tanggal 12 Maret 2020 bersamaan dengan pandemi covid-
19. Semangat untuk menulis ini didukung oleh keluarnya
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tanggal 16 Maret
2020 oleh pemerintah. Oleh karenanya, peraturan tersebut
mengharuskan semua kegiatan dilakukan dalam rumah.
xii
Barangkali, kala itu banyak waktu senggang, yang
kemudian saya isi dengan kegiatan bermanfaat, salah
satunya adalah dengan menulis. Merebaknya wabah
corona telah meluluhlantakkan perekonomian bangsa,
namun di sisi lain juga bisa dipetik hikmah. Bagi saya
adalah dengan hadirnya autobiografi ini di hadapan sidang
pembaca.
DRS. H. ZULFA EFF ULI RAS, M.PD
LEMBAR HALAMAN xiii
TITIK I: KONSTRUKSI PERTAMA
Tanah |1
Orangtua dan Cerita tentang Mak E |5
TITIK II: PONDASI MENARA KEHIDUPAN
Sekolah Rakyat Sekolah Kehidupan |33
TITIK III: PILAR PERJUANGAN
Melangkah Pergi |261
Kota Pelajar; Yogyakarta |65
Menyambung Pelajaran yang Tertinggal |71
TITIK IV: RUANG BELAJAR KEDUA
Atjeh dan Segudang Cerita |93
Sekolah yang Tak Kunjung Usai |101
Keluh-Kesah Hati |108
Penanaman Karakter |113
Cerita-Cerita yang Menggugah |120
TITIK V: DIDIDIK DENGAN TEKNIK
Alam Guru Kehidupan |133
Kerikil-Kerikil yang Membangun |136
Start to be an Engineer |137
Kilas Balik Sejarah Organisasi Pergerakan |146
xiv TITIK VI: MANUSIA PEMBELAJAR
Kembali Pulang|173
Insan Akademik Teknik |178
Dedikasi itu Bermula |188
Hikmah Dibalik Duka |194
TITIK VII: CINTA TANPA SYARAT
Cara Menemukanmu |207
ISMAL (India-Singapura-Malaysia) |216
Catatan Kecil antar Negara|222
TITIK VIII: “RUMAH” PENDIDIKAN TEKNIK
SUMATERA BARAT
ATP Satu untuk Semua |241
Tangan Dingin Sang Direktur |256
TITIK IX: TULUS BERDEDIKASI
STTP dan Ketulusan Mengabdi |265
Optimisme Sang Pejuang |273
ITP: Aggregate Visi 2040 |281
SMK Nusatama, Benih Cita-cita Anak Bangsa |294
Epilog | xv
Beberapa Kesaksian |
Lampiran |323
Bibliografi |
Infografis |
Penulis |337
Konstruksi Pertama
Tanah
Saya dilahirkan pada tanggal 15 Februari 1951. 1
Pencatatan ini, sebenarnya agak sedikit berbeda dengan yang
tertera di ijazah. Semua surat-surat penting dan identitas
pribadi lainnya, menyuratkan bahwasanya saya lahir pada
tahun 1952. Perbedaan yang terjadi, seiring dengan banyaknya
jumlah Sekolah Dasar (SD) yang saya tempuh. Saya
menamatkan pendidikan SD mencapai 5 buah sekolah.
Perpindahan dari satu sekolah ke sekolah lain, dimulai dari
SD di Simabua hingga kemudian menamatkannya di Aceh.
Setelah sebelumnya juga pernah mencicipi bangku sekolah
Yogyakarta. Hal inilah yang barangkali memicu terjadinya
penyesuaian pada usia menjadi lebih muda satu tahun.
Ya, warsa 1951. Beberapa tahun setelah negara RI, atas
nama bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta, memproklamirkan
kemerdekaan. Bahkan, gejolak penjajahan sepenuhnya belum
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
juga lenyap. Di saat itulah saya lahir. Ketika marwah
perjuangan masih begitu pekat. Nagari Simabua, Kecamatan
Pariangan, hari ini berjarak 10 KM dari ibukota Kabupaten
Tanah Datar. Di sanalah tanah tempat saya bermula. Tepatnya
di suatu kampung di kaki Gunung Marapi.
Nama yang disematkan kepada saya adalah Zulfa
Effendi. Dalam keseharian biasanya dipanggil dengan sebutan
“Jun”. Barangkali bagi sebagian orang untuk mengucapkan
huruf Z dan L, membuat lidahnya kelu, berimbas kepada
perubahan nama panggilan saya yang seharusnya “Zul”,
berubah menjadi “Jun”. Hal ini tidak hanya berlaku bagi saya,
2 rata-rata orang berpangkal nama “Zul” atau “Zal” dipanggil
dengan “Jun” atau “Jan”. Otomatis dengan ini dapat terlihat
adanya perilaku masyarakat dalam pemanggilan nama yang
bisa saja diubah, sesuai dengan keinginan dan lebih
memudahkan pelafalan bagi mereka.
Berdasarkan cerita yang ditangkap dari penuturan
anggota keluarga, nama saya merupakan pemberian dari
seorang sahabat karib ibunda saya. Beliau bernama Kamsinar.
Ibunda saya dengan ibu Kamsinar masih memiliki hubungan
tali kekerabatan, yakni dunsanak sapasukuan. Ibu saya dan Bu
Kamsinar memiliki suku yang sama. Sampai hari ini,
hubungan tali silaturrahmi di antara kami tidak pernah
Konstruksi Pertama
putus. Saya bersahabat dekat dengan anaknya yang bernama
Kol. (U) Bujang Novizon.
Sejatinya, nama menjadi sebuah khasanah penting,
berupa panggilan yang melekat dan menyatu dalam diri
seseorang. Terlahir dengan nama Zulfa Effendi, namun, di
kemudian hari diganti menjadi Zulfa Eff Uli Ras. Ini memiliki
sebab pergantian nama. Ketika saya menamatkan SR di
Lamnyong Darussalam Banda Aceh/Aceh Besar pada tahun
1965. Kali ini merupakan saran dari Pa Etek Soufyan Ras
Burhani. Hal ini dimaksud agar menyertakan nama keluarga
besar di belakang nama saya.
Saya merupakan anak ke dua dari 6 (enam) 3
bersaudara. Anak tertua bernama Zuraida (almh) pada umur
kurang dari satu tahun meninggal dunia. Kemudian yang
kedua saya. Selanjutnya, pada bulan November 1952 lahir adik
laki-laki diberi nama Suwardi (Edi). Menyusul pada tahun
1954 lahir Syafrizal. Pada tahun 1957 lahir adik laki-laki diberi
nama Masrizal, namun umurnya tidak panjang, pada tahun
1959 meninggal dunia. Paling bungsu lahir pada 10 Maret
1960, bernama Ardizonal, juga telah meninggal dunia pada
tanggal 19 Agustus 2014 silam.
Kehidupan manusia tidak pernah ada yang kekal. Satu
persatu dari kita pasti akan berpulang keharibaan-Nya. Baik
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
adik maupun kakak saya, telah lebih dahulu dipanggil. Ya.
satu persatu dari kami telah menemui jalan keabadian.
Semuanya hanyalah persoalan waktu. Hingga pada akhirnya,
sembari menunggu giliran, semuanya akan berkalang tanah.
Tempat di mana kita berasal sebagai manusia.
Gemericik air mengalir tenang yang memagari
perkampungan kami selalu mengantarkan rasa rindu.
Tentang segala sesuatu di masa kecil yang tak pernah hilang
dari ingatan, Jorong Simabua, Nagari Simabua. Kami merasa
lebih beruntung secara geografis. Memiliki potensi alam yang
elok di kaki Marapi, dekat dengan pusat ekonomi (pasar
4 rakyat Simabur), juga jalan nasional yang menghubungkan
daerah kami dengan daerah penting lainnya di Sumatera
Barat.
Ada harmoni yang ditawarkan topografi kampung
kami. Tikungan tajam, pendakian curam, siluet pegunungan
kala pagi membentang, hingga senja dengan semburat jingga
menjadi saksi mentari hilang dibalik pepohonan. Satu waktu
yang lain, kebisingan di tengah pasar rakyat berkelindan
dengan teriak para agen bus merayu penumpang. Saling kejar
mereka yang bermain di tengah lapangan. Permintaan para
pembeli untuk harga yang kurang. Suara-suara yang melekat
di benak saya hingga hari ini.
Konstruksi Pertama
Orangtua dan Cerita tentang Mak E
Saya memiliki keberuntungan lagi, keluarga. Keluarga
yang menjadi dunia saya, pusat dari semuanya. Orang tua,
sosok yang menjelma seperti malaikat. Tiada kasihnya yang
mampu terbalas. Dan, tiada darmanya yang bisa dibayar.
Semua dilakukan atas dasar cinta, tulus dan ikhlas tanpa
berharap balas. Oleh karenanya, menjadi sangat penting
apabila menceritakan latarbelakang, siapa orang yang telah
melahirkan dan membesarkan saya. Hingga seorang Zulfa
dapat tegak berdiri. Melangkah untuk berbuat dan
bermanfaat bagi khalayak.
Papa saya bernama Rusli Ras Burhani dengan gelar 5
Sutan Ibrahim. Lahir pada tahun 1926. Meskipun, tidak ada
pencatatan yang valid tentang ini, namun dapat diperkirakan
berdasarkan cerita dari adik-adik beliau. Papa terlahir sebagai
sulung dari enam bersaudara. Figur yang justru saya kenal
lebih dekat dari kisah kerabat, sebab usia Papa yang terlalu
singkat.
Adik-adik Papa adalah: Latifah (meninggal sewaktu
masih kecil), Soufyan Ras Burhani (lahir tahun 1931 dan
meninggal pada tgl 12 April 1986), Akhir Ras Burhani (lahir
tahun 1935 dan meninggal Januari 1980), Djamrol (meninggal
waktu kecil), dan Danawir Ras Burhani kelahiran tahun 1937.
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
Di saat negeri ini masih di bawah pendudukan Jepang, pada
tahun 1942, lahir seorang adik perempuan yang bernama
Hanifah. Namun Hanifah berumur singkat, ia meninggal pada
usia yang masih bayi.
Menurut cerita Soufyan Ras Burhani, atau yang biasa
saya panggil Pa Pian, adik-adik Papa memanggilnya Ambak
Suli atau Mbak Uli. Ambak merupakan panggilan khas orang
Simabua kepada kakak laki-laki. Dan, kami anak-anaknya,
memanggil beliau dengan sebutan Papa. Sebagai anak tertua,
sedari kecil Papa telah diajarkan untuk tanggung jawab
kepada kelima adiknya.
6 Sewaktu kelas 5 Sekolah Rakyat (SR), Papa terpaksa
berhenti sekolah. Papa bekerja sebagai tukang jahit di pasar
untuk membantu orangtuanya. Jalan kehidupan itu ia tempuh
agar adik-adiknya bisa sekolah, sekitar tahun 1938. Tahun-
tahun di mana Pemerintah Hindia Belanda memberikan
kelonggaran bagi pribumi untuk mengenyam pendidikan.
Agar di masa depan mereka mampu membantu pemerintah di
bidang administrasi dan kerja kontrol di lapangan.
Papa menjadi dewasa di usia dua belas tahun. Turut
serta memikul tanggung jawab keluarga besar di umur yang
kecil. Kendati demikian, ia mesti berlapang dada untuk
Konstruksi Pertama
menerima kenyataan hidup, nasib adik-adiknya adalah laku
utama dan akan selalu ia diperjuangkan.
Sang Khalik tidak akan mengecewakan pengharapan
dari hamba-Nya. Pekerjaan Papa sebagai tukang jahit sempat
berkembang pesat di masanya. Era 1950-1960-an, Papa
termasuk seorang penjahit pakaian terkenal se-Pariangan.
Papa sangat ahli dalam membuat jas. Ia memiliki pekerja yang
membantu dalam melancarkan usaha jahitnya. Bahkan, Papa
memiliki karyawan di luar Nagari Simabua. Beberapa orang
dari Nagari Cubadak, Rambatan, dan lainnya.
Papa sangat sayang kepada kelima adiknya, terutama 7
kepada Soufyan Ras Burhani, yang sampai saat ini juga saya
panggil dengan sebutan Papa. Tidak hanya kepada adik
kandung, saudara-saudara sepupu juga tidak luput dari
binaan Papa. Sebut misalnya Jamal. Anaknya yang bernama
Jamrol Jamal adalah ayah dari Gubernur Sumatera Barat 2010-
2020, Irwan Prayitno.
Bagi Papa, seluruh anggota keluarga harus berdaya
bersama. Seluruh adik-adiknya dan keponakannya ini diajar
untuk bisa menjahit dan bekerja sambil sekolah. Menjahit
adalah kepandaian dasar untuk bertahan hidup. Jika
berkembang, menjahit akan membawa pada peruntungan
kehidupan lainnya.
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
Tetapi, ada perlakuan sedikit berbeda kepada seorang
Soufyan Ras Burhani. Pa Pian tidak dibenarkan untuk
bekerja. Sedari kecil, Pa Pian telah menampakkan sinar
akademik yang cemerlang. Ia sedikit diberi hak istimewa
untuk lebih fokus dalam bidang akademis saja. Barangkali
faktor itulah yang kemudian melatarbelakangi, ia
dipersiapkan khusus untuk fokus pada dunia pendidikan.
Harapan senantiasa akan berbanding lurus dengan
kenyataan. Setelah menamatkan studi di kampus PTAIN /
IAIN Yogyakarta pada tahun 1960, Pa Pian didaulat sebagai
putra Simabua pertama, yang mampu menyelesaikan studi
8 hingga ke perguruan tinggi dengan menyandang gelar sarjana.
Ia menjadi gerbang pembuka, sekaligus sarjana nomor wahid
yang dianggap sebagai percontohan dalam keluarga dan
bahkan seluruh masyarakat Simabua.
Usaha jahit yang dirintis Papa tidaklah sia-sia. Papa
berperan seperti lilin yang rela terbakar demi mendatangkan
cahaya. Bagi Papa, inilah tindakan seorang ksatria. Memberi
perlindungan dan penolong bagi siapa saja. Ia termasuk
tipikal orang yang tidak banyak bicara, namun sangat tekun
bekerja. Sebelum Papa terbilang sukses dengan usaha
jahitnya, ia telah melanglang buana kian kemari untuk
mencari peruntungan hidup. Sewaktu saya berumur kira-kira
Konstruksi Pertama
1,5 tahun, kata Ibu, Papa pernah merantau ke Bengkulu dan
Pekanbaru. Kemanapun kaki dilangkahkan, dimanapun
negeri akan diseberangi, Papa tidak pernah bertahan lama
hidup di rantau orang. Ia hanya sanggup berpisah beberapa
bulan saja. Dan kembali lagi ke kampung.
Tempaan hidup di negeri orang, tidak memudarkan 9
harapan Papa. Malahan ia semakin terpacu untuk
merumuskan keadaan. Agar lebih baik dan mendatangkan
kesejahteraan. Sejak pulang dari kedua rantau itulah, usaha
menjahitnya berkembang. Kehidupan memang seperti roda
yang berputar. Bagi siapa yang bisa mengolah rasa sakit dan
dengan segera bangkit, ada masanya segala pinta akan
didengar langit. Dari usaha menjahit inilah adik-adik Papa
bisa sekolah. Di antaranya adalah Akhir, Danawir, serta
sepupunya Thamsir dan keponakannya Jamrul.
Jika Pa Pian mendapat perlakuan agak berbeda.
Saudara Papa yang lain, mereka diajari untuk juga menekuni
profesi tukang jahit, sama halnya Papa. Alhamdulillah, dengan
hanya menggoyang-goyangkan kaki, begitu tukang jahit
disebut, mereka bisa melanjutkan sekolah hingga ke bangku
kuliah. Dan hari ini, mereka dikenal sebagai kaum intelektual
yang pernah menduduki posisi penting di masanya.
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
Jalan hidup tidak seorang pun yang tahu. Berjuang
untuk sesuatu yang baik, perkara wajib yang mesti
dilaksanakan. Masa depan memang selalu misterius. Tugas
manusia adalah meneroka jalan untuk mewujudkan mimpi-
mimpi yang tak berkesudahan itu. Papa dengan visinya yang
mulia, sukses mengantarkan adik-adiknya mencapai puncak.
Masing-masing dengan peranannya di masa itu, berhasil
mengemuka di ruang-ruang publik.
Di antaranya, Pa Etek Danawir Ras Burhani. Ia pernah
menjadi Dekan dan Pembantu Rektor I/II IAIN Alaudin
Makassar. Sama halnya dengan Pa Etek Danawir, Pa Etek
10 Thamsir Thaib Burhani juga pernah menjabat sebagai Dekan
Fakultas Tarbiah IAIN Imam Bonjol Padang di Batusangkar.
Sedangkan Papa Souyan Ras Burhani pernah menjadi
Pembantu/Wakil Dekan 1 di IAIN Ar Raniry Banda Aceh.
Kemudian pada tahun 1974, beliau juga pernah diamanahkan
sebagai Ketua Presidium Rektor, yang merupakan jabatan
Rektor untuk digilirkan selama satu tahun.
Setelah format baku kepemimpinan IAIN ditetapkan,
Pa Pian juga pernah menduduki posisi Pembantu Rektor II
dan III di IAIN Imam Bonjol Padang (sekarang UIN).
Kemudian pada bulan Januari 1961 menyusul adik Papa, Akhir
Konstruksi Pertama
Ras Burhani (Pa Akhia), yang akhirnya bisa menyelesaikan
pendidikannya sampai Sarjana Muda IAIN.
Perkara ini tidak luput dari cerminan diri dari seorang 11
Soufyan Ras Burhani. Keberhasilannya dalam ranah
pendidikan, membawa dampak kepada adik-adiknya dan
beberapa orang pemuda Simabua, untuk juga melanjutkan
sekolah ke Yogyakarta. Ketika ia memutuskan untuk
menimba ilmu di kota pelajar tersebut, selang beberapa
tahun, yakni pada tahun 1953, berangkatlah adik-adik beliau;
Danawir Ras Burhani dan Jamrol Jamal serta beberapa orang
lainnya: Nazifnir, Agusnizar, Bahar, di tahun 1955. Kemudian
menyusul pada tahun 1957 Thamsir Thaib Burhani, yang
masih memiliki hubungan darah dengan keluarga kami, untuk
melanjutkan pendidikan ke IAIN Yogyakarta.
Pada masa itu, kurun waktu 1940-1960, keluarga
Burhani, keluarga besar kami, seakan melawan kebiasaaan
yang tengah mengakar di masyarakat. Kala itu, khususnya di
Simabua, pendidikan bukanlah hal vital untuk mencapai
kesejahteraan. Toh, kekayaan materi merupakan klasifikasi
seseorang untuk lebih dihargai. Pendidikan tinggi belum
menjadi jawaban atas persoalan-persoalan kehidupan.
Di tahun-tahun itu, nama Sulaiman Sutan Kayo,
pengusaha transportasi adalah jaminan kehidupan layak bagi
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
masyarakat. Tak kurang dari 40 unit mobil bus APD yang
memiliki trayek beragam berada dibawah kekuasaannya.
Namanya adalah merek paten sumber kemapanan hidup.
Seorang yang mempunyai posisi tanpa seragam namun
dihormati setiap orang.
Beliau ini orang yang tidak pernah sekolah alias buta
huruf. Ia di cap berhasil dalam hidup. Maka, tidak jarang
ungkapan, “untuak apo sekola, nan kadicari pitih juo” (untuk apa
sekolah, yang dicari uang juga) tertanam dalam mindset
masyarakat awam. Banyak di antara generasi muda Simabua
kala itu yang berminat untuk menjadi sopir dan berjuang agar
12 bisa memiliki mobil kepunyaan sendiri.
Sopir bus menjadi sebuah cita-cita generasi muda
waktu itu. Sebuah jalur cepat mendaki kemapanan. Memiliki
seorang suami atau dapat menantu seorang sopir merupakan
suatu kebanggaan. Jumlah penghasilan yang menjanjikan dan
bentuk pekerjaan yang jelas adalah alasan. Wajar, jikalau
sebagian besar orang lebih memilih untuk menjadi sopir saja,
dan tidak peduli dengan sekolah. Bahkan, menempatkan
pendidikan di nomor yang ke sekian. Menjadi sopir adalah
jaminan uang masuk, sedangkan sekolah sudah pasti uang
keluar!
Konstruksi Pertama
Keadaan demikian tidak berlaku dalam keluarga
Burhani. Kendati hidup sederhana, namun tetap memegang
prinsip bahwa kesatuan dalam keluarga dan terjalinnya tali
persaudaraan, sangat penting ditopang oleh pendidikan yang
baik. Papa sebagai anak tertua dalam keluarga, turut
bertanggung jawab dan berjuang, agar Soufyan dan adik-
adiknya yang lain bisa mengenyam pendidikan di bangku
sekolah.
Dilihat dari silsilah keluarga pihak ayah, umumnya 13
memakai nama Burhani. Burhani adalah nama kakek atau
atuak dari Papa saya, bersuku Koto Simabua. Ia mempunyai
lima orang anak. Anak pertama adalah Abdul Samad Burhani
gelar Sutan Rangkayo, yakni kakek saya. Pa Pian di kemudian
hari menukarnya menjadi Rangkayo Abdul Samad (RAS),
atau disingkat menjadi Ras Burhani. Adapun masyarakat
Simabua memanggilnya dengan sebutan Rasyai.
Seperti masyarakat pada umumnya, RAS, kakek saya
hanyalah seorang petani sederhana. Namun, sedikit istimewa
dengan hobinya yang suka membaca. Kerapkali ia
berlangganan koran Haluan yang datang seminggu sekali dari
Padang. Biasanya, hasil bacaan yang beliau rangkum,
diceritakan kembali kepada anak-anaknya, yang dijadikan
sebagai bahan rundingan dan diskusi. Di sela-sela masa
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
tuanya dan tengah dalam kondisi yang cukup lemah, saya
sempat dekat dan suka bercerita bersamanya. Hingga pada
akhirnya, ia meninggal pada tahun 1956.
Kemudian, anak Burhani yang kedua adalah Abdul
Muthalib (AM) Burhani. Ia merupakan seorang aktifis dan
pendiri Muhammadiyah di Sumatera Tengah. Dan sempat
berkawan akrab dengan Buya Hamka ketika di Padang
Panjang. Beliau inilah yang memotivasi Pa Pian (Soufyan Ras
Burhani) untuk melanjutkan pendidikan di Pulau Jawa,
Yogyakarta.
Sewaktu Pa Pian menamatkan pendidikan SGHA
14 Bukittinggi, muncul dua tawaran sekaligus. Pertama, bekerja
sebagai guru di Tanjung Pinang dengan gaji standar dollar
Malaya. Kedua, melanjutkan pendidikan ke PTAIN
(Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri) Yogyakarta. Seluruh
biaya ditanggung oleh pemerintah. Pa Pian diberikan
beasiswa, sesuai dengan kondisi keuangan negara pada saat
itu. Perihal ini, Pa Pian meminta saran dari Atuak AM
Burhani, apa langkah terbaik yang harus ia pilih.
Kehalusan jiwa dan kearifan berfikir dari Atuak AM
Burhani membuka cakrawala pikiran yang tidak biasa. "Kalau
ke Tanjung Pinang jalan ke kiri dan kalau ke Yogyakarta jalan
kekanan, silakan pilih!" ucapnya menyiratkan jawaban.
Konstruksi Pertama
Makna kearifan yang ditangkap adalah: pilihan ke kiri artinya
akan mendapatkan kekayaan, dan ke kanan memperoleh ilmu
pengetahuan.
Begitulah kelebihan orang-orang tua dahulu, penuh 15
dengan pituah yang bernilai. Mengajar itu lebih banyak yang
tersirat dan halus penyampaiannya. Atuak ini, bukan
sembarang orang di masanya. Ia turut merasakan kepahitan
hidup dan berada di barisan pejuang yang melawan
kebengisan pendudukan Jepang. Ia disiksa dan mengalami
kebutaan. Petarung sejati akan memilih bertempur di medan
perjuangan. Baginya, menderita lebih mulia dari pada
menyerah dengan keadaan.
Setelah kemerdekaan, Atuak AM Burhani
mendarmabaktikan diri sebagai guru SR di Baringin,
Batusangkar. Pilihan untuk menjadi bermanfaat, adalah
konsistensi yang terus dijaga dari waktu ke waktu. Tidak
mengherankan, karakter inilah yang kemudian menurun
kepada anak cucu dan keturunannya. Dari sembilan orang
anak Datuak AM Burhani, yang berasal dari tiga orang istri,
sebagian besar mereka berhasil dalam pendidikan. Salah satu
cucu beliau dr. Amril Amirman AM Burhani, Sp.OG yang
pernah bertugas di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta.
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
Keturunan Burhani, di kemudian hari terbentuk
sebagai manusia yang menjadi. Setitik, didikan sedari kecil,
menuntun untuk selalu bangkit. Dan, hidup tidak boleh
disikapi dengan lemah. Sama halnya dengan kedua kakaknya,
Thaib Burhani, anak ketiga Burhani, juga mendapati
keturunan-keturunan unggul. Sebut misalnya, Thamsir Thaib
Burhani. Seorang dosen dan pernah menjabat sebagai dekan
Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol di Batusangkar.
Selanjutnya yang keempat, Asyiah Burhani. Ia satu-
satunya anak perempuan Burhani. Meskipun ia tidak
dikaruniai keturunan, tetap tidak terputusnya sebuah tali
16 turunan persaudaraan. Berbeda dengan kebiasaan di
Minangkabau pada umumnya yang lebih dekat kepada
keluarga pihak ibu (matriakhat), keluarga Burhani dan
turunannya lebih cenderung dekat kepada pihak keluarga
ayah. Hal ini bisa ditilik karena faktor jenis kelamin yang
didominasi oleh laki-laki. Minimnya kehadiran perempuan
dari segi jumlah, menjadikan interaksi yang tercipta lebih
banyak antar sesama keturunan pihak lelaki.
Selanjutnya, si bungsu, anak ke lima bernama Junaidi
Burhani. Ia memiliki ibu yang berbeda dengan ke empat
kakaknya. Ibunya merupakan istri kedua Burhani yang
berasal dari Jorong Tanjuang Limau Simabua. Meskipun beda
Konstruksi Pertama
ibu, ia tetap sangat dekat dengan kakak-kakaknya.
Kemungkinan ini karena pengaruh didikan dan pola asuhan
di lingkungan Muhammadiyah. Keluarga Burhani penganut
agama Islam yang taat. Maka, berdasarkan ajaran agama,
kecenderungan kedekatan ke pihak ayah (patriakhat) lebih
dominan. Ini menyiratkan adanya pertentangan dengan adat
Minangkabau, yang mengambil garis keturunan adat dari ibu.
Pengaruh mamak tidak begitu tampak peranannya dalam
lingkungan keluarga Burhani, terutama dalam pendidikan
dan pembentukan karakter dalam keluarga.
Selain memiliki sosok ayah yang tangguh dan pekerja 17
keras, saya juga dilahirkan dari rahim seorang perempuan
kuat berhati emas. Ibu saya bernama Khadijah binti Achmad.
Beliau lahir pada tahun 1930. Lebih muda empat tahun dari
Papa. Kami memanggil beliau dengan sebutan Amak. Di mata
kami, Amak berhasil menjadi ibu dan istri terbaik. Sikap
penyabar, santun kepada suami, hormat kepada orang tua,
dan terlebih sangat penyayang kepada anak-anaknya, cukup
menggambarkan bahwasanya dalam diri Amak, bernaung
sebuah cinta dan pengorbanan tanpa ujung.
Saudara kandung Amak berjumlah tiga orang. Amak
anak tengah. Kakaknya yang pertama bernama Jami’ah yang
lahir pada tahun 1926. Selisih empat tahun darinya.
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
Kemudian, paling kecil namanya Amiruddin yang lahir pada
tahun 1933. Ayah dari Amak bernama Haji Achmad, seorang
pedagang kain di Pasar Simabua. Kami memanggil kakek ini
dengan panggilan Ayah, bukan Atuak sebagaimana lazimnya
panggilan cucu di daerah Simabua terhadap kakeknya.
Sedangkan ibu dari Amak bernama Siah binti Sidik.
Sama halnya dengan suaminya, ia juga seorang pedagang.
Sehari-harinya, ia beraktivitas di pasar Simabua, sebagai
penjual beras. Kami memanggilnya dengan sebutan Mak E.
Panggilan ini telah popular bagi semua orang Simabua.
Bahkan, pada umumnya di Simabua, masyarakat lebih
18 mengenal dengan panggilan Mak E daripada Mak Siah, nama
aslinya.
Bagi kami, Mak E adalah sosok yang luar biasa. Dalam
dirinya melekat karakter yang kuat. Ia seorang wanita cerdas,
tangguh, jujur, keras hati, punya pendirian dan bertanggung
jawab serta tegas dalam mengambil keputusan. Mak E punya
suara keras yang menampilkan ketegasan. Seorang
perempuan yang memiliki peran sentral dalam rumah tangga.
Sosok ibu yang berperan di dua sektor, domestik dan publik.
Amak adalah perempuan yang tidak banyak menuntut
dan neko-neko kepada suaminya. Meskipun, beristrikan
seorang tukang jahit, tidak menjadikan Amak kekurangan.
Konstruksi Pertama
Kesederhanaan merupakan azimat Amak dalam menjalankan
hidup. Oleh karenanya, tidak heran kehidupan rumah tangga
Amak sangat rukun sekali. Bibir tetap dibalut dengan
senyuman, walaupun dalam kondisi ekonomi yang pas-pasan.
Dalam keseharian, kami tinggal dalam sebuah rumah 19
besar dalam arti fisik. Bukan rumah gadang dalam arti adat,
melainkan rumah biasa tetapi ditempati oleh sebuah keluarga
besar. Oleh karenanya, di dalam rumah tersebut dihuni oleh
beberapa orang anggota keluarga. Pada bagian utara,
ditempati oleh Uncu Kamisah (adik kandung Mak E) beserta
anak-anaknya Rosna, Rosmalini dan Rosmalidar. Di bagian
selatan oleh Mak E beserta anak-anak dan menantu serta
cucu-cucunya.
Hampir di tiap malam, rutinitas sebelum tidur kami
adalah mendengarkan cerita dari Mak Tuo Miah. Beliau
bercerita bak story telling profesional. Dengan alur yang runtut
disertai intonasi yang ciamik, menjadikan kami betah
berlama-lama untuk mendengarkan Mak Tuo. Kerapkali ia
bercerita tentang Si Kancil dalam berbagai versi. Sesekali juga
diselingi dengan kisah nabi. Setelah rasa kantuk melanda
kami, di saat itulah cerita akan bersambung di keesokan
malamnya. Dan saya juga memutuskan untuk masuk kamar
dan tidur bersama Amak.
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
Amak sebenarnya juga mewarisi kecakapan Mak Tuo
dalam bercerita. Amak juga juga sering bercerita tentang
kehidupan nabi. Terutama tentang nabi Yusuf yang selalu
dikaitkan dengan kerukunannya dalam hubungan sesama
saudara. Selain itu, juga kisah nabi Muhammad yang ditinggal
ayah sebelum lahir serta ditinggal ibundanya sewaktu masih
kanak-kanak. Dalam kehidupan nyata, Amak mencontohkan
kehidupan Papa dalam bersanak saudara. Kerukunan Papa
dengan adik-adiknya patut untuk diikuti. Bahkan, oleh
masyarakat Simabua, Papa telah menjadi sebuah role model,
dalam memperlihatkan kerukunan kakak beradik.
20 Ketika Agresi Militer Belanda ke II pada tahun 1948, di
saat negara masih porak-poranda dengan keinginan Belanda
untuk kembali berkuasa. Seluruh warga negara diminta
mencari perlindungan ke tempat yang dianggap aman dari
segala bentuk serangan. Amak mengungsi ke Kotobaru
Batubasa, di mana adik-adik Papa, Soufyan, Akhir, Danawir
juga ikut serta.
Bagi Amak, di saat itulah sebuah kerukunan adik dan
kakak terpampang nyata. Papa hadir sebagai pelindung bagi
semua anggota keluarganya. Ia memastikan bahwa tidak ada
anggota keluarga yang tertinggal. Hingga memenuhi segala
kebutuhan dasar selama mengungsi. Barangkali, itulah yang
Konstruksi Pertama
semakin membuat Amak begitu menanamkan kepada kami,
cara-cara suaminya dalam sanak bersaudara. Patut ditiru oleh
anak-anaknya kelak. Begitupun dengan Amak. Amak juga
sangat dekat dan sayang dengan kesemua adik iparnya. Tidak
ubahnya seperti saudara kandung.
Amak menjalani hari-hari yang menenangkan dengan 21
bahagia bersama Papa. Sebagai istri, ia telah menunaikan
segala kewajibannya dengan sempurna. Tak ayal, kehidupan
laksana buih lautan yang dengan mudah pergi dan hilang.
Amak kami berpulang. Tepat pada tanggal 17 Desember 1977
dalam usia 47 tahun. Masih muda. Dan masih sangat singkat
waktu kami bersamanya. Memang kehidupan dunia tiada
yang abadi. Akan selalu adanya kata selamat tinggal. Sesuatu
hal yang pasti.
Dari ketiga anak Mak E, Amak sangat disayang.
Barangkali ini adalah muara dari keelokan sifat yang dimiliki
Amak. Meskipun Amak telah bersuami dan memiliki keluarga
sendiri, tetap hubungan keduanya semakin erat dan saling
mengasihi. Hal ini juga berdampak kepada kami, cucu-
cucunya. Kami adalah cucu-cucu yang paling disayangi Mak
E. Dibandingkan dengan anak Mak Tuo, yakni kakak Amak
yang bernama Jami’ah. Saya merasa ada perlakuan lebih dari
Mak E kepada kami. Suami Mak Tuo adalah seorang
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
pedagang ternak yang cukup kaya di kampung. Kemungkinan
faktor inilah yang mendasari, Amak dan anak-anaknya
mendapat perlakuan berbeda dari Mak E. Mak Tuo dianggap
sebagai anak yang telah mendapati keberuntungan hidup, di
samping sikapnya yang terkadang suka membantah dan
kurang patuh kepada Mak E.
Mak Tuo mempunyai tiga orang anak, yang semuanya
perempuan. Di antaranya bernama, Jasiar/Yan (1947),
Martini/Tini (1950) dan Nurhayati/Ati (1955). Dari ketiga
anak Mak Tuo ini, yang sering bersama Amak adalah Tini.
Saat kecil, saya dan Tini sering bermain-main. Kami hampir
22 seumuran dan hanya terpaut usia 1 tahun saja. Biasanya, Tini
sering menolong Amak untuk menyetrika baju sekolah saya.
Kala itu, saya sering protes karena hasil setrikaannya kurang
licin. Sedari kecil, saya termasuk orang yang rapi dalam
berpakaian, sehingga sering disebut parlente dalam bergaya.
Begitulah saya di waktu kecil. Hingga ketika kami
telah menjadi yatim, Mak E tetap dan bahkan lebih
memanjakan kami. Segala keinginan selalu diwujudkan.
Khusus mengenai pakaian, kami tetap mengenakan baju yang
bagus-bagus. Tidak seperti anak yatim kebanyakan yang
tampak lusuh dan patut disantuni. Soal ini, ternyata
berdampak dihentikannya pembagian baju anak yatim
Konstruksi Pertama
kepada kami. Kami dianggap sebagai anak yatim yang tidak
perlu disantuni. Sempat dinilai oleh pengurus anak yatim
masjid, tidak layak mendapat pembagian tahunan.
Oleh Mak E, saya adalah cucu yang paling dimanjakan. 23
Mak E menyediakan uang belanja untuk saya setiap harinya.
Tidak hanya itu, ia kerap membelikan saya mainan. Bahkan, ia
pernah membelikan saya sepeda roda tiga, yang di masa itu,
bukan main mahal harganya. Inilah yang membuat
keberadaan Mak E begitu berbeda bagi saya. Lazimnya,
semua itu hanya didapat dari ayah dan ibu saja, namun Mak
E, juga berperan dan ikut serta dalam tumbuh kembang cucu-
cucunya.
Teman-teman Mak E sesama pedagang beras di pasar
sering berujar, bahwasanya Jun, merupakan cucu kesayangan
dan dimanjakan Mak E. Saya pun juga merasa demikian.
Hampir setiap pagi, sebelum berjualan di pasar, beliau
mengajak saya untuk minum susu dan ketan goreng di kedai
ayah Abu. Salah satu warung makanan yang terletak tidak
jauh dari rumah kami.
Mak E seorang perempuan yang zaklijk dan jelimet
dalam persoalan makanan. Baginya, kebutuhan makanan
merupakan hal urgen yang mesti diperhatikan
kesejahteraannya. Tidak jarang kami makan daging atau hati
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
dan ikan. Barangkali, di masa itu termasuk salah satu
makanan yang cukup sulit dijangkau oleh semua orang.
Setiap hari Senin, yaitu hari pakan di Simabua, Mak E telah
memesan daging ke Mak Muncak. Kemudian, Amak akan
menjemputnya, guna dimasak untuk menjadi rendang dan
gulai lainnya.
Kami cucu-cucunya dari kecil sudah diajar untuk
“gadang salero”, makan enak. Saya masih teringat akan kata-
kata Mak E, “Sedari kecil mesti dibiasakan untuk makan
enak. Supaya jikalau sudah besar, lebih kuat untuk bekerja
dan berusaha. Tidak boleh pelit terhadap pemenuhan
24 makanan yang enak dan bergizi, jadi prinsip.” Hal yang
melekat dalam diri Mak E.
Kami tidak diperbolehkan untuk makan di
sembarangan tempat. Dilarang keras untuk keluar malam. Di
saat waktu Magrib tiba, kami semuanya mesti telah berada di
dalam rumah. Setelah itu, barulah kemudian kami bersama-
sama menyantap hidangan makan malam. Tidak lupa, di
malam itu, kami juga menghitung uang hasil penjualan beras
pada hari itu. Kegiatan ini begitu jelimet. Kami menghitung
uang yang didapatkan. Merapikan uang kertas yang lusuh,
sekaligus menyusunnya sesama rupiah, suku dan sen.
Konstruksi Pertama
Itulah Mak E. Seorang perempuan dengan seumur 25
hidupnya bekerja keras demi kami, cucu-cucunya, dan
keluarga besarnya. Kehadirannya menyiratkan binar cahaya
bagi seisi rumah. Beliau meninggal pada tahun 2010 dalam
usia lebih kurang 100 tahun. Sebuah kehidupan yang panjang.
Sesuai dengan apa yang terus dipintanya kelangit:
“Cukupkanlah umur saya untuk mengurus anak yatim ini.”
Kata-kata yang paling sering terucap dari bibirnya. Tuhan
mendengar dan mengabulkan segala harapnya. Barangkali,
ketika beliau kembali dan berpulang, kami cucu-cucunya
telah mapan dengan hidupnya masing-masing. Tidak ada lagi
yang perlu dikhawatirkannya. Tenang di sana, Mak E kami.
***