The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by jcinstitute05, 2021-09-25 02:57:24

Ebook Dummy ZEU

Zulfa Eff Uliras

Manusia Pembelajar

lama tamat jika dibandingkan dengan jurusan lainnya.
Namun, dalam mendapatkan gelar sarjana, saya juga
mendapati dinamika yang tidak kalah sensasional.

Tahun 1976, di kala saya akan menjalani sidang akhir
sarjana muda, saya malah tidak datang. Saya mewakili IKIP
Padang dalam acara pertemuan Dewan Mahasiswa se-
Indonesia. Acara tersebut dihadiri oleh 8 IKIP se-Indonesia
yang bertempat di Malang. Maka, ujian tersebut terpaksa
saya tinggalkan, demi tanggungjawab organisasi. Seluruh
pembiayaaan ditanggung oleh pemerintah. Kegiatan tersebut
mendapat dukungan penuh oleh pemerintah.

Walaupun kegiatan kami dipantau oleh pemerintah, 183
namun kami tetap keluar dari intervensi oleh pihak-pihak
yang ingin mengambil kesempatan dan berdiri independen.
Tidak lari dari konsep untuk mengkritik pemerintahan Orde
Baru. Dan melayangkan protes terhadap presiden Soeharto.
Maka, pertemuan tersebut menghasilkan keputusan untuk
mengadakan seminar kode etik. Dimufakati bersama, IKIP
Padang diminta sebagai penyelenggara. Seminar kode etik
tersebut diadakan di Bukittinggi.

Seminar kode etik ini diadakan pada tahun 1977. Di
saat saya didaulat sebagai sekretaris mahasiswa. Oleh
karenanya, telah menjadi kewajiban saya untuk menyusun

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

konsep kegiatan. Saya mulai menentukan konsep kegiatan
dan menyusun proposal acara. Bagi saya, ini pengalaman yang
sangat bernilai. Saya selaku panitia, dituntut untuk
merangkul teman-teman mahasiswa, perwakilan dari Dewan
Mahasiswa seluruh Indonesia. Di sinilah saya belajar
mengorganisir orang banyak. Dan bertanggungjawab
terhadap kegiatan yang memiliki ruang lingkup lebih besar.

Selain itu, saya banyak mendapat ilmu seputar tata
tulis, karena proposal yang saya buat adalah atas koordinasi
dengan Pak Jakub Isman. Beliau merupakan ahli linguistik
sastra inggris. Maka, dalam dunia kepenulisan, ia orang yang
184 patut ditanyai. “Zul, menulis gagasan dalam proposal ini
mesti hati-hati. Harus dituliskan dengan kalimat yang pas.
Salah meletakkan titik koma itu berbahaya. Kalau di bahasa
hukum, akibat salah meletakkan tanda baca, orang yang tidak
kena sanksi hukuman mati, akan jadi mati,” tuturnya.

Saya mafhum, beliau orangnya detail. Apalagi
menyangkut susunan kata. “Kita mesti membacanya
berulang-ulang. Jangan sampai orang membaca, memiliki
penafsiran yang berbeda atas apa yang kita maksud.” Kata-
kata dari Pak Jakub yang masih pekat dalam ingatan. Hingga
kini, ilmu yang diajarkan Pak Jakub masih terpakai. Dalam
membuat surat pun demikian. Jarang saya serahkan ke

Manusia Pembelajar

petugas. Kecuali, memang petugas yang telah dipercaya dan
berpengalaman. Pengalaman ini lantas menjadikan saya
memegang posisi sekretaris di berbagai organisasi.

Niscaya untuk mendapat sesuatu yang besar, mesti
mengorbankan yang lebih besar pula. Saya memperoleh
hikmah demikian. Walaupun saya harus mempertaruhkan
sidang akhir, namun saya mendapatkan pengalaman yang
bukan kepalang. Setelah pulang dari Malang, rupanya,
Pembantu Rektor III, Pak Djamil Bakar, memberitahukan
ikhwal tersebut pada Papa. Jelas, saya ditegur Papa untuk
membereskan semuanya.

Saat yang sama, sewaktu saya menemui ketua jurusan, 185
Pak Darsun Pesmo, bermaksud untuk menanyakan perihal
sidang akhir saya yang sempat tertunda, langsung disudutkan
dengan sentimen yang bikin hati meradang. Saya hanya
menyampaikan komitmen kepada beliau bahwa segala
sesuatu terkait sidang akhir akan disegerakan dengan
langkah terbaik.

Saya sadar betul, ini adalah resiko atas pilihan yang
saya ambil. Saya mesti legowo dan
mempertanggungjawabkannya. Akhirnya, dengan segala
motivasi yang ditujukan pihak jurusan, saya diberi
kesempatan untuk ujian. Dan mempersiapkan segala

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

sesuatunya dengan tenggat waktu paling lama seminggu.
Sidang akhir saya berjalan lancar dan predikat Sarjana Muda
telah resmi bertengger di ujung nama.

Rupanya, seminar kode etik yang penyelenggaraannya
dinilai sukses, meninggalkan sekelumit masalah. Saat itu, saya
tengah menjalani masa studi program sarjana. Mengingat,
perkuliahan saya dibiayai oleh Bank Dunia, saya dianjurkan
untuk tidak aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Fokus
untuk menyelesaikan kuliah sekilat mungkin. Dan setelah itu
diangkat menjadi dosen. Adapun persyaratan mutlaknya
adalah mesti berijazahkan S1.

186 Di sela-sela perkuliahan, saya menyimak dan bahkan
ada yang melapor terkait gunjang-ganjing yang melibatkan
ketua dan bendahara seminar. Ternyata, gerak-gerik dan
perubahan yang sangat drastis oleh ketua dan bendahara,
menyulut kecurigaan banyak orang. Setelah acara selesai,
sang bendahara langsung membeli sepeda motor. Di tahun
itu, 1970-an, motor dikategorikan sebagai barang mewah yang
tidak semua orang punya. Tidak jauh berbeda, ketua juga
menampakkan gelagat yang tidak biasa.

Kejadian ini lantas memicu perhatian warga kampus,
mengingat ia hanya berasal dari kalangan biasa. Dimulailah
investigasi darurat oleh sebagian mahasiswa untuk mencari

Manusia Pembelajar

tahu sumber permasalahan. Beruntut dengan ditemukannya
kwitansi-kwitansi palsu. Tentunya ini semakin menyudutkan
dan menampakkan ketidakjujuran, baik ketua atau pun
bendahara secara gamblang.

Perkara ini berujung pada aksi unjuk rasa. Saya
diminta oleh teman-teman di Dewan Mahasiswa, agar terlibat
untuk mendinginkan suasana. “Zul memang harus turun
tangan. Tidak ada lagi orang yang bisa diajak berunding
dengan kepala dingin, selain Zul seorang,” kata salah seorang
teman saya di Dewan Mahasiswa.

Pada malam itu, saya dengan Sufyarma Marsidin, yang 187
juga sama-sama aktif di HMI, mencoba untuk bergerilya
menemui tokoh-tokoh yang memotori terjadinya unjuk rasa.
Kami berusaha untuk mengendalikan keadaan. Mereka kami
ajak berdiskusi dan mencari jalan keluar atas permasalahan
yang terjadi. Adapun gagasan yang saya sampaikan, sedikit
banyaknya dapat membuka pikiran dan membuat mereka
berfikir dua kali untuk melancarkan aksi.

“Bahwasanya, demo yang terjadi tidak hanya
menyangkut persoalan dua orang, antara bendahara dan
ketua. Namun juga besar kemungkinan menyeret nama
Rektor selaku pimpinan. Kalau Rektor sempat terbawa, maka
akan berimbas pada situasi krisis kepercayaan yang bisa

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

mengarah kepada dihentikannya bantuan Bank Dunia untuk
kampus kita. Bisa jadi, Pak Jakub Isman akan diturunkan,”
demikian saya menjelaskan. Demi kemaslahatan bersama,
didapatlah kata sepakat pada malam itu untuk membatalkan
aksi. Dan menyelesaikan persoalan melalui musyawarah
mufakat.

Pengalaman di kemahasiswaan inilah yang menjadi
dasar berpikir dan bertindak, yang masih saya terapkan
hingga kini. Saya mesti berpikir luas. Berpandangan jauh ke
depan. Tidak hanya menjawab persoalan di saat itu saja,
melainkan juga memikirkan akibat di masa yang akan datang.
188 Jika hendak menetapkan keputusan, saya akan menimbang-
nimbang dampak yang akan diterima. Jelas, saya lebih
mendahulukan kepentingan lembaga dari pada kepentingan
sekelompok orang.

Dedikasi itu Bermula

Sejumput asa telah dapat digapai. Gelar Sarjana Muda
telah di tangan. Namun untuk menjadi seorang dosen, saya
mesti menapaki jenjang pendidikan berikutnya. Pada tahun
1978, saya diwisuda untuk kedua kalinya. Ya, dengan titel
Sarjana, gelar Doktorandus pendidikan teknik. Secara resmi
pada bulan Maret 1979, saya diangkat menjadi dosen FKT
IKIP Padang.

Manusia Pembelajar

Selain itu, kewajiban saya sebagai dosen yang baru
diangkat, juga harus mengikuti pelatihan. Pelatihan pertama
yang saya ikuti bertempat di PT Pembangunan Jakarta,
perusahaan patungan DKI Jakarta dengan swasta, Ir. Ciputra.
Kurang lebih selama empat bulan saya di sana. Saya mesti ke
lapangan bersamaan dengan karyawan yang bekerja di
perusahaan tersebut. Agaknya, pengalaman ini semakin
memperkaya pengetahuan saya tentang dunia industri.

Kemudian, setelah pulang dari Jakarta, saya mengikuti 189
pelatihan kembali. Bertempat di Bandung. Namun, durasinya
sedikit lebih lama dibandingkan dengan pelatihan di Jakarta,
yakni sembilan bulan. Berbeda dengan pelatihan sebelumnya,
di Bandung saya diajari untuk menjadi seorang tenaga
pengajar yang terampil. Saya diberi pelatihan untuk menjadi
dosen yang kreati dan kompetitif. Khususnya, dapat
mentransformasikan ilmu teknik dengan cara yang mudah
dan gampang diserap mahasiswa. Pelatihan-pelatihan
tersebut merupakan rangkaian dari kegiatan yang menjadi
persyaratan atas diterimanya saya sebagai dosen di FKT.

Kami, empat sekawan, Nizwardi, An Arizal, Raudi
Syukur, dan saya, merupakan mahasiswa yang jauh-jauh hari
telah dipantau untuk menjadi tenaga pengajar di FKT.
Katakanlah kami empat orang mahasiswa, dari sembilan

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

orang mahasiswa terbaik yang diterima sebagai dosen di FKT.
Kami diberi kepercayaan sebagai tenaga pengajar, salah
satunya dilatarbelakangi oleh keaktifan dalam organisasi.
Inilah yang menjadi nilai plus, selain secara akademik kami
juga terbilang bagus.

Prof. Dr. Jalius Jama, selaku Dekan saat itu,
memberikan komentar, “Sebaiknya, yang diangkat menjadi
dosen adalah mahasiswa yang notabenenya berasal dari
kalangan aktivis. Biasanya, para aktivis tersebut telah
ditanamkan untuk bertanggungjawab. Namun, dengan
catatan, aktivis yang nilainya tidak di bawah,” katanya satu
190 waktu.

Di saat saya baru diangkat menjadi dosen, oleh Pak
Syukur Syafei, selaku PD III saat itu, diberikan tanggung
jawab untuk mengangkat sebuah acara. Saya dikasih uang Rp
80.000 untuk mengadakan kegiatan yang dimaksud. Artinya,
saya diberikan kepercayaan untuk membantu pekerjaan PD
III, bidang kemahasiswaan. Setelah kegiatan itu selesai, saya
menyampaikan laporan pertanggungjawaban, termasuk
laporan keuangan lengkap dengan melampirkan bukti-bukti
kwitansi. Rupanya, uang yang telah diberikan kepada saya
sebagai modal awal pada saat sebelum acara masih tersisa.
Lantas, uang tersebut saya kembalikan lagi kepada pimpinan.

Manusia Pembelajar

Saya tidak mau bertindak gegabah, apalagi menilap
uang yang bukan menjadi hak saya. Saya tidak mau
mengulang kembali kekhilafan yang sempat dilakukan.
Ketika itu di saat saya menjadi ketua senat fakultas. Kami
diberi kepercayaan untuk membeli sebuah kursi tamu untuk
keperluan kantor senat. Setelah berembuk dengan pengurus
lainnya, diputuskan bahwa saya dan Nizwardi yang pergi
membelinya.

Saat itu harga satu buah kursi Rp 27.000, namun kami 191
tuliskan di kwitansi menjadi Rp 30.000. Niat hati uang yang
berlebih, bisa dimasukkan ke kantong pribadi. Toh, orang lain
juga tidak akan tahu perihal yang sesungguhnya. Lalu, uang
yang berlebih Rp 3.000 tersebut kami bagi dua dan dibelikan
ke celana, masing-masing sehelai. Baru sekali dipakai, celana
tersebut raib diambil orang. Dicuri di saat kami menjemurnya
sehabis dicuci.

Saat itu saya dan Nizwardi tersadar. Kembali
mengingat bahwasanya uang yang dibelikan untuk membeli
celana tersebut, bukan didapat dengan cara yang baik. Hasil
dari perbuatan yang tidak jujur. Jelas, hal ini menjadi
cambukan keras dan pelajaran yang berharga. Jangan sesekali
mengambil, atas apa yang bukan menjadi hak kita. Papa telah
membangun nilai-nilai kehidupan ini di dalam rumah. Papa

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

akan sangat marah jikalau mendapati saya melakukan dua
hal: Pertama tidak jujur. Kedua, meninggalkan sholat.
Menurut Papa, tidak sedikit orang pintar di negeri ini, namun
cukup sulit menemukan di antaranya, orang yang jujur.

Segala perbuatan baik, tidak akan pernah didustai
dengan balasan pada kebaikan-kebaikan berikutnya. Setahun
setelah saya diangkat menjadi dosen, saya diberi
tanggungjawab untuk membimbing mahasiswa KKN. Ketika
itu, orang yang mengusulkan saya adalah Bapak Muslim Ilyas
(alm), selaku Ketua Pelaksana KKN IKIP Padang. Ia
merupakan seseorang yang ditokohkan di Kesatuan Aksi
192 Sarjana Indonesia (KASI) Sumatera Barat. Dan sempat
menjadi anggota MPR perwakilan Sumatera Barat.

Di sinilah saya dibina mengejawantahkan nilai-nilai tri
dharma perguruan tinggi. Di antaranya, pengabdian kepada
masyarakat. Salah satu wujudnya adalah program KKN ini.
Salah seorang teman saya yang paling akrab selama
membimbing mahasiswa KKN adalah Syafnil Effendi dan
Nazulis. Kami tergabung ke dalam satu tim yang dibawahi
oleh Bapak Muslim Ilyas untuk mensukseskan berbagai
kegiatan dan program KKN.

Pak Muslim begitu jeli melihat potensi dosen-dosen
muda yang dapat dikaderisasi. Salah satunya adalah saya. Ia

Manusia Pembelajar

kerapkali memberikan tugas-tugas dan tanggungjawab yang
mampu meningkatkan kapasitas saya sebagai tenaga pengajar
yang profesional. Termasuk melepaskan kepercayaan
sepenuhnya, tanpa ada sedikit pun keraguan. Seringkali,
keterlibatannya hanya ketika mengevaluasi di akhir kegiatan.
Apa yang patut untuk diubah dan ditingkatkan. Ilmu
leadership yang beliau terapkan begitu luar biasa. “Jika ingin
berhasil menjadi pimpinan, mesti menjadi anak buah yang
baik terlebih dahulu,” terang Pak Muslim Ilyas, yang kerap
dilontarkan kepada kami kala itu.

Dan lagi, karena rekam jejak aktivislah yang 193
melatarbelakangi, saya dapat melangkah melampaui garis
yang sepatutnya. Hal ini dapat terlihat dari keterlibatan saya
dengan beragam kegiatan kampus. Selain menjadi
pembimbing mahasiswa KKN, saya juga berperan dalam
kegiatan praktek industri. Khusus bagi mahasiswa FKT,
diwajibkan untuk mengikuti praktek industri dan praktek
mengajar. Nah, saya diberi tanggungjawab untuk mengurus
mahasiswa FKT yang akan mengikuti praktek industri ini.
Umumnya mereka magang pada perusahaan-perusahaan atau
instansi-instansi yang terdapat di luar daerah. Dan, semua
dapat berjalan, terlebih dahulu mendaftarkan diri kepada saya
sebagai penanggungjawab.

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Hikmah Dibalik Duka

Saya bersyukur, bahwasanya setelah menerima secarik
ijazah sarjana, saya langsung diamanahkan untuk mengabdi
di almamater. Saya menjadi bagian dari sistem yang lebih
konkret untuk mengaktualisasikan diri. Dan secara resmi
telah mengantongi status pekerjaan sebagai seorang dosen
FKT IKIP. Dibalik sepenggal kisah bahagia ini, sebelumnya
saya dihinggapi dengan nestapa yang cukup memilukan.

Peristiwa ini terjadi di saat saya akan merampungkan
skripsi. Di mana, saya tengah bersemangat untuk segera
menyelesaikan kuliah. Motivasi setelah tamat sarjana, saya
194 akan didaftarkan jadi dosen FKT memberikan energi.
Tentunya, saya tidak ingin berlama-lama mempersembahkan
kebahagiaan ini untuk keluarga. Terutama bagi Amak.
Seyogyanya, tiada seorang anak yang tidak ingin
mengupayakan kebahagiaan bagi orangtuanya. Termasuk
saya.

Hari itu, api semangat meredup sudah. Bahkan
berangsur-angsur padam. Tepat di penghujung tahun, pada
bulan Desember 1977, Amak pergi meninggalkan kami semua.
Berpulang ke keabadian, menghadap Sang Pencipta. Setelah
sebelumnya saya sempat menerima kabar bahwasanya Amak
tengah sakit. Kabarnya hanya penyakit biasa.

Manusia Pembelajar

Ketika itu, saya sedang mengadakan pelatihan
leadership training di Padang Basi. Mengingat, saya adalah
Sekretaris Dewan Mahasiswa, maka saya diminta untuk
menjadi panitia acara. Di tengah kesibukan acara, tiba-tiba
datang adik saya yang paling kecil dari kampung.
Memberitahukan bahwasanya Amak sakit. Akhirnya, kami
berdua langsung pulang ke rumah kos saya di Rindam. Dan
berkumpul di sana. Bersamaan dengan Syafrizal yang saat itu
kuliah di AAI, cikal bakal Universitas Eka Sakti.

Lantas, tidak begitu lama, datanglah Papa menjemput. 195
Dengan menggunakan mobil jip, lengkap dengan sopirnya.
Kami lekas menaiki mobil tersebut, maksud hati agar segera
tiba di kampung. Di dalam mobil, Papa berlagak tidak sedang
terjadi seperti apa-apa. Ia mengatakan, bahwa Amak hanya
sakit, dan kita harus menjenguknya. Meski Amak kakak ipar
atau istri dari kakaknya, namun Papa telah menganggap
Amak layaknya orangtua. Sebab, di masa kecil, Papa juga
pernah diasuh dan tinggal bersama Amak.

Hampir sampai, tidak jauh dari rumah, tetiba ada
kerabat yang menjemput. Di situlah dada saya bergetar hebat.
Mengisyaratkan, pasti telah terjadi sesuatu dengan Amak.
Sampai di rumah, saya menyaksikan tubuh Amak telah
terbujur. Ditutup kain. Kala itu, seakan dunia runtuh. Tulang

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

persendian seperti remuk, tidak berdaya. Pilu. Tanpa terasa,
air mata begitu deras mengalir menghujani pipi. Dan kami,
meraung kehilangan.

Kematian Amak, membuat saya cukup terpuruk. Lama
saya memendam duka. Pilu yang berkepanjangan. Hal ini
berimbas kepada skripsi saya yang tidak kunjung selesai.
Bahkan tidak disentuh sama sekali. Lebih dua bulan lamanya.
Karena, wafatnya Amak, bersamaan dengan waktu-waktu
yang seharusnya saya gunakan untuk menyelesaikan tugas
akhir tersebut. Ketika itu, yang menari-nari dalam pikiran
meneror psikologis saya. “Untuk apa lagi saya berjuang dalam
196 menyelesaikan kuliah ini? Toh orang yang akan saya
bahagiakan kini telah tiada.” Saya jatuh ke lubang penyesalan.

Betapa saya demikian sendu dan sedih hati. Saya telah
menyiapkan impian masa depan untuk hidup bersama dengan
Amak. Bahkan, dalam benak saya, telah tertanam, bentuk
rumah dan kamar yang saya rancang untuk ditempati Amak
di kemudian hari. Tapi, saat itu tentu saja harapan tersebut
pupus.

Meski saya tidak terlalu lama tinggal bersama Amak,
saya paham betul, ini sangat tidak mudah baginya.
Mengikhlaskan kepergian anak kandung untuk dirawat dan
dibesarkan oleh adik iparnya. Ya, setiap waktu, Amak mesti

Manusia Pembelajar

berusaha membuhul erat kerinduan, agar saya dapat
memperoleh kehidupan yang patut dan pendidikan yang
semestinya, ketika diasuh oleh Papa.

Jasad dalam pusara perlahan tertutup tanah merah.
Pada salam terakhir, saya bermunajat pada Tuhan, “Ya Allah,
lapangkan kubur Amak. Ampuni dosa-dosa Amak. Berikan
Amak tempat terindah disurga-Mu. Aamiin.” Dan, bulir
bening perlahan turun dari sudut mata, membasahi pipi saya.
Terasa hangat, namun hati ini demikian hampa.

Amak adalah pelita hati yang telah padam. Hanya iman 197
di dada yang membuat saya bangkit. Berangkat kembali ke
Padang. Berhenti meratapi kematian. Menjadikan semangat
perjuangan Amak selama ini sebagai motivasi kehidupan saya.
Di mana segala doa terbaik selalu saya persembahkan untuk
Amak dan Papa di surga.

***



















Cinta Tanpa Syarat

Cara Menemukanmu

Tidak salah kalau orang bijak pernah berucap: “Jika 207
dirimu sungguh-sungguh, maka dibukakan pintu kemudahan
dari jalan yang tidak kamu sangka”. Seperti menerima durian
runtuh, saya memanen buah manis dari bantuan Bank Dunia
untuk kampus IKIP. Hanya ada dua IKIP yang mendapatkan
bantuan tersebut di seluruh Indonesia, IKIP Yogyakarta
(UNY) dan IKIP (UNP) Padang. Selain bantuan tersebut
berupa gedung kuliah FKT, juga didirikan rumah dinas yang
diperuntukkan bagi seluruh dosen. Saat itu, saya juga
mendapatkan hak menempati rumah dinas.

Rezeki yang saya peroleh memberikan pandangan lain
dari beberapa pihak yang merasa tidak puas. Diprotes, karena
saya masih terbilang dosen muda. Beruntung, Pak Jakub
Isman, rektor kala itu, menanggapi dengan bijaksana. Ia
berpandangan bahwa saya memang pantas menerima.

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Mengingat, status saya sebagai dosen yang diputuskan secara
resmi, ditandai dengan mengeluarkan SK. Baginya, tidak ada
istilah dosen baru atau lama. Tidak ada istilah dosen junior
dan senior. Semua memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Rupanya, setelah melihat saya menjadi dosen,
berpenghasilan tetap, apalagi rumah tempat tinggal juga telah
ada, timbul niat Mak E untuk mencarikan pasangan. Urusan
jodoh saya telah memantapkan hati pada pilihan orang tua.
Saya dikira telah cocok untuk berumah tangga. Gadis yang
akan dikenalkan kepada saya adalah anak dari salah seorang
teman Mak E. Masih sekampung dengan kami. Saat itu ia
208 baru saja menyelesaikan sekolah perawat.

Kami sempat bertemu di saat halal bihalal IKPPS
(Ikatan Keluarga Pembangunan Pendidikan Simabur). Di
mana saat itu, saya adalah ketuanya. Sekilas, kami dahulu
sempat bertatap. Berdesir di dada, tetapi hanya sedikit.
Pertemuan hari itu berlalu begitu saja. Tidak ada kelanjutan
kisah dan jalinan komunikasi di antara kami berdua. Entah
kenapa, takdir akan mempertemukan saya kembali dengan
Eva. Begitu namanya disebut.

Mak E kenal betul dengan keluarga Eva. Apalagi
dengan ibunya. Latar belakang keluarganya tidak jauh
berbeda dengan keluarga kami. Sesuai dengan kriteria yang

Cinta Tanpa Syarat

Mak E inginkan. Terutama, sehaluan dalam persoalan selera
makanan. Pemenuhan soal ini menjadi syarat mutlak yang
tidak boleh tinggal. Meski tercukupi dengan baik dan tidak
boleh pelit. Mak E ingin, dimanapun cucunya berada, harus
selalu memakan makanan yang enak-enak.

Pagi itu, pertengahan bulan Agustus 1979, bersama 209
dengan Jon saya memberanikan diri untuk bertamu ke rumah
Eva. Kebetulan Jon dan Eva berteman, karena dahulu sempat
sekelas semasa SMP. Jon merupakan adik sepupu yang
disuruh oleh Mak E untuk menyampaikan maksud dan tujuan
keluarga di kampung. “Da, Mak E menyuruh saya untuk
menemani Uda pergi ke rumah Eva,” ungkapnya
menyampaikan amanat.

Kala itu, saya menanggapinya tidak terlalu serius.
Mengingat, tidak mungkin perasaan suka itu timbul hanya
satu kali berjumpa. Namun, dalam hati telah terjadi dialog
batin yang panjang. Tidak mungkin orang tua, terutama Mak
E mencarikan saya pendamping hidup yang berasal dari
sembarangan orang. Tentunya, telah melalui pertimbangan
yang matang dari Mak E sendiri.

Setelah menunaikan shalat Maghrib berangkatlah
kami berdua ke kost Eva. Di sana ternyata Eva sudah

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

diingatkan oleh ibu kosnya untuk tidak pergi dinas pada
malam itu, karena akan ada tamu yang datang menemuinya.

Setibanya di sana, kami dibukakan pintu dan disambut
ramah. Sebagaimana adab dalam menerima tamu pada
umumnya. Saya dijamu dengan baik dengan tangan terbuka.
Pembicaraan di antara kami mengalir, biasa saja. Tidak
canggung untuk membuka dialog dan menanyakan perihal
kegiatan dan aktivitas masing-masing. Setelah dirasa cukup
lama kami bertandang, dan kami akhirnya pamit undur diri
untuk segera pulang.

Pertemuan malam itu berlangsung singkat, namun
210 berkualitas. Lantas, keesokan harinya, Jon meminta jawaban

dari saya. Betapa tidak, ia diperintahkan oleh Mak E, tentu
meminta jawaban yang pasti. “Bagaimana Da Jun? kalau Da
Jun tidak jadi, biar saya saja yang maju,” tanya Jon tergelak.
Mendengar perkataan Jon tersebut, tanpa pikir panjang, saya
langsung mengiyakan. Rupanya, agregat dari Jon, berhasil
membulatkan kemantapan hati saya. Dan dengan lantang
mengatakan persetujuan untuk menerima perjodohan
tersebut.

Ternyata, perjumpaan malam itu, semakin
mengukuhkan hati saya untuk melabuhkan cinta pada Elva
Desima. Rupanya, pertautan hati untuk ingin membina

Cinta Tanpa Syarat

kehidupan bersama, tidak hanya datang dari saya seorang.
Eva juga merasakan hal yang kurang lebih sama. Hingga tidak
selang begitu lama, kami mantap untuk menikah. Sepakat
untuk melayari, susah senang kehidupan. Membina biduk
rumah tangga dengan segala suka-dukanya.

Elva Desima dilahirkan dari pasangan suami istri yang 211
bernama Syamsudin Sutan Mangkuto dan Rahima Manan.
Dipanggil dengan sebutan Amak dan Ayah. Amak Eva
bersuku Koto, dan ayah bersuku Simabua. Eva, anak ke
keempat dari tujuh bersaudara. Di mana, tujuh bersaudara ini
berasal dari dua ayah yang berbeda. Si sulung, Zainal Arifin
dan adiknya Asnizar. Ayah mereka diketahui pergi ke tanah
Jawa namun tiada kabar selanjutnya dan tidak pernah
kembali.

Akhirnya, Amak memutuskan untuk menikah kembali
dengan Syamsudin. Buah dari pernikahan kedua ini, Amak
melahirkan anak 5 orang. Di antaranya, Elvia Delta, Elva
Desima, Ihsanul Hadi, Irdam dan Ahmad Syafani Syukri. 7
bersaudara ini, kini tinggal pada berbagai wilayah di
Sumatera. Semuanya telah memiliki kehidupan dengan
takdirnya masing-masing.

Pekerjaan ayah Eva adalah “tukang baok oto”, sopir.
Kebetulan, mobil yang dibawa adalah milik sendiri. Biasanya,

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

ia membawa muatan berupa beras. Beras-beras tersebut
diperdagangkan hingga ke daerah Jambi. Wajar saja, dengan
jarak tempuh sejauh itu, dari Simabua ke Jambi, ia banyak
menghabiskan waktu di jalan.

Medan yang ditempuh, tentu tidak semulus yang kita
lihat hari ini. Belum di saat insiden pecah ban, tidak jarang ia
melihat harimau. Sedikit saja ia lengah, harimau tersebut akan
memangsanya. Barangkali tidak ada yang meragukan
kebuasan harimau Sumatera itu. Alamat akan tinggal nama
yang balik ke kampung. Cerita ini juga kerap diceritakan oleh
Amak kepada Eva kakak-beradik. Betapa, ayah bertaruh
212 nyawa untuk menghidupi anak-anaknya.

Bagi ayah, pekerjaannya memiliki tantangan yang
sangat berat. Apalagi, ia mesti berpisah dengan 7 buah hati,
sekaligus istri yang begitu dicintai. Akhirnya, atas
kesepakatan berdua dengan amak, ayah memutuskan untuk
menjual mobil itu, dan uangnya dipergunakan untuk
mendirikan sebuah heler penumbuk padi. Heler inilah yang
kemudian menghidupi Eva sekeluarga. Meski pada awalnya,
hasil yang didapatkan tidaklah seberapa, tetapi masih
terbilang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kegigihan dan ketekunan ayah, rupanya mampu
menghantarkan ia sebagai juragan. Berkecukupan.

Cinta Tanpa Syarat

Membesarkan anak-anaknya dengan penghasilan heler ini. Di
masa itu, tahun 1960-an, ia telah memiliki tiga buah heler, di
dua tempat berbeda. Apalagi ditambah dengan penghasilan
amak sebagai pedagang beras Padang-Batusangkar.

Keluarga Eva terbilang cukup berada di antara yang 213
lainnya. Meski demikian, anak-anaknya tetap ditanamkan
untuk hidup hemat. Terutama kepada Eva, Amak kerap
berucap “Kumpulkan beras-beras yang berserakan di heler
itu. Nanti uangnya ditabung. Belikan emas.” Meski bisa saja
Amak membelikan emas tersebut, namun ia senantiasa untuk
mengajarkan kepada anaknya, agar berusaha terlebih dahulu
untuk mendapatkan sesuatu.

Sebagai amak pedagang beras ternama, Eva kerap
diajak Amaknya ke Padang. Memasok beras ke toko-toko di
Pasar Kampung Jawa. Paling tidak satu kali dalam sebulan.
Sembari berjalan-jalan, amak akan bercerita-cerita. “Kalau lah
gadang, Va kuliah di siko yo.” Sambil menunjuk kampus
Unand dan IKIP. Soal ini Eva tidak serta merta
menyetujuinya. Bahkan ia mengutarakan keinginannya, “Va
nio sakolah kesehatan Mak. Va ka jadi bidan.” Memang,
sedari kecil, cikal bakal untuk menjadi seorang bidan telah
ditapakinya. Saat bermain dengan teman sebaya, ia lebih
senang untuk main alek-alek layaknya seorang bidan.

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Tentunya hal ini berbeda dengan anak-anak kebanyakan.
Lazimnya, bermain masak-masakan dan boneka.

Cita-cita yang sedari belia telah dirangkai Eva, agaknya
tidak dibiarkan terkubur begitu saja. Lantas, ia memilih
sekolah kebidanan sebagai jalan perwujudannya. Namun,
karena sesuatu hal terjadi pada tahun 1979, sekolah
kebidanan dihapuskan. Mau tidak mau, Eva mesti berputar
haluan. Jenjang setingkat SMA ditempuhnya dengan sekolah
perawat. Sedikit berbeda dengan sekolah kebidanan. Namun,
masih dalam rumpun ilmu yang sama.

Setelah tamat ia langsung diterima sebagai perawat
214 dan resmi sudah dibolehkan dinas di rumah sakit. Eva begitu

menikmati dan mencintai profesinya ini. Ia dikenal sebagai
perawat yang cekatan. Mengingat, ia telah ditempa dengan
banyak pengalaman medis yang beragam. Pada awal mula
dinas, ia telah ditempatkan pada kamar operasi Pak Ibrahim.
Salah seorang dokter di rumah sakit M Djamil kala itu. Di
ruang itulah ia banyak belajar. Belajar untuk terampil dan ahli
dengan pilihan karirnya.

Agakya, ia telah sampai di ujung dedikasinya. Dengan
pilihan yang telah diperjuangkannya semenjak masih belia.
Meski tidak menjadi seorang bidan, ia berprofesi sebagai
perawat profesional. Begitu banyak yang telah disumbangkan.

Cinta Tanpa Syarat

Sebagai seorang perawat, seorang istri, dan seorang ibu. Bagi
saya, kehadiran Eva tidak hanya mampu menyembuhkan
sakit dan duka kami sekeluarga, namun juga telah
memberikan sumbangan luarbiasa bagi dunia kesehatan.

Amak Eva dikenal sebagai pedagang beras yang jujur. 215
Tidak heran, selain urang awak, banyak orang Cina juga yang
berlangganan beras padanya. Ia tampak begitu telaten dengan
usahanya ini. Ia akan berterus terang kepada siapa saja yang
akan membeli beras miliknya. Sebut misalnya, di saat ia
membawa beras yang bagus, ia akan mengatakan itu bagus.
Namun juga sebaliknya, apabila ia membawa beras yang
kualitasnya kurang bagus, maka ia juga tidak akan sungkan
untuk mengatakannya. Sungguh, inilah yang menjadikan
Amak memiliki banyak pelanggan.

Kejujuran Amak ini yang sulit ditemukan. Hingga ia
tampak berbeda dan mudah dikenal oleh banyak orang.
Terutama oleh sesama pedagang. Ini jualah yang
mengantarkan kami pada perjodohan sebagai anak sesama
pedagang beras. Antara Mak E dan amak Eva. Notabenenya
sama-sama berprofesi sebagai pedagang beras. Kesepakatan
mereka untuk menjodohkan cucu dan anaknya satu sama lain.
Suatu ketika, Amak mengatakan kepada Eva. “Va ado dosen
IKIP, beko amak suruah nyo manamui Eva yo.” Seketika

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

perkataan itu tidak dihiraukannya. Dalam bayangan Eva, saya
sudah tidak muda lagi. Mengingat, saya berprofesi sebagai
dosen. Baginya, seorang dosen adalah guru dari guru. Sudah
barang tentu Eva berpikir, bahwasanya, saya sudah berumur,
tua, dan sudah pasti tidak sepadan dengannya. Ia sempat
tidak ingin menemui saya. Namun, Amak tetap bersikeras
untuk meyakinkan dan menyuruh untuk menemui saya.

Rupanya, semesta menyambut niat baik tersebut.
Garis takdir kami telah terpahat erat untuk berjodoh. Tidak
selang begitu lama, semenjak pertemuan malam itu, kami
mantap untuk saling mengenal satu sama lain. Saling
216 mengikat silaturahmi, agar menjadi kawan hidup dalam
menjalani ibadah terpanjang ini. 23 September 1979, sah. Tiga
huruf itu, kami mulai dengan komitmen untuk saling
mengasihi, saling mencintai, dan saling mengasihani.
Tentunya, berjanji di hadapan Sang Pencipta untuk saling
bersama, sehidup untuk meraih surga-Nya kelak.

ISMAL (India Singapura Malaysia)

Saya telah membuka lembaran baru. Bersama
perempuan yang saya pilih. Pastinya, turut serta didasari atas
pilihan keluarga. Mutlak. Hari demi hari saya telah
mengemban tanggungjawab. Baik ketika di rumah, dengan
menjadi kepala keluarga, atau pun di kampus sebagai dosen.

Cinta Tanpa Syarat

Barangkali tugas saya sebagai dosen tidak hanya mengajar di
kelas, juga merangkap menjadi koordinator untuk menghandle
berbagai kegiatan kampus.

Pada bulan Mei-Juni 1981, saya mendapatkan 217
kesempatan untuk melakukan kunjungan ke tiga negara.
India, Singapura Malaysia. Ke tiga negara ini dikenal sebagai
negara persemakmuran Inggris (commonwealth). Di mana
negara tersebut adalah negara yang dengan sukarela
membentuk persatuan, antar sesama negara yang pernah
didirikan maupun dikuasai oleh Kerajaan Inggris. Sekaligus
ini menjadi perjalanan luar negeri pertama bagi saya.

Agaknya, tugas saya selaku koordinator praktek
industri mahasiswa, yang melatarbelakangi penugasan saya
untuk mengunjungi tiga negara tersebut. Kurang lebih selama
tiga minggu saya di sana. Program tersebut berupa lawatan
untuk meninjau hubungan antara industri dengan lembaga
pendidikan. Terutama melihat perkembangan relasional
industri dan pendidikan di tiga negara itu.

Kunjungan pertama langsung terbang ke India, Kota
Mumbai. Kota yang paling padat penduduknya di India.
Setelah beberapa hari menetap di Mumbai, saya sempat ke
New Delhi dan terakhir di Madras yang kini dikenal dengan

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Chennai, tempat industri film Bollywood terbesar ke dua di
India.

India, selain disebut-sebut sebagai produsen film Asia
terbaik, juga dikenal sebagai negara penganut demokrasi yang
cukup unik. Tampak dari warga negaranya yang kerap
berunjuk rasa. Bebas menyampaikan aspirasi di jalanan.
Hampir setiap hari ada saja kejadian atau peristiwa yang
menuntut pemerintah. Seenaknya mengemukakan pendapat
dan berorasi langsung di depan kantor pejabat yang
berwenang. Bukan tidak mungkin dapat mendatangkan
kegaduhan, juga kerusuhan. Di samping juga pengaruh kasta
218 sangat dominan.

Di saat berkunjung ke Kedutaan Besar Indonesia di
India, saya menemukan ada seorang tukang kebun yang telah
bergelar doktor. Pekerjaan tersebut ia lakukan karena
menempati kasta yang rendah. Jika menginginkan posisi
strategis, sesuai dengan tingkatan pendidikan, ia mesti
pindah agama.

Kendati demikian, dalam bidang industri, India jauh
lebih baik. Begitupun dengan Singapura dan Malaysia. Di
sana, laju perkembangan industri diatur sedemikian rupa.
Lengkap dengan sistem perundang-undangan yang jelas.
Rupanya, memang wajib hukumnya bagi suatu lembaga

Cinta Tanpa Syarat

industri itu menerima siswa atau mahasiswa untuk praktek
kerja. Nantinya, bagi industri yang mendukung dan
menerapkan, akan diberikan insentif dari pemerintah berupa
keringanan pajak.

Kenapa sistem tersebut dapat berjalan secara terukur 219
dan berkelanjutan? Tiga negara tersebut menganut regulasi
perindustrian yang telah mapan. Di mana, Depnaker diberi
kewenangan sebagai penyalur, sementara Departemen
Pendidikan mengatur dalam hal pengajaran, sedangkan
perusahaan berfungsi sebagai wadahnya. Sulit menemukan
pelajar tamatan sekolah vokasional yang menganggur. Ada
wadah yang siap menampung. Kebutuhan akan tenaga kerja
telah jelas duduk perkaranya.

Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di
negara kita, tahun 1981. Di Indonesia, jangankan tamatan
SMK, lulusan sarjana saja banyak yang tidak bekerja. Di
samping, lowongan kerja yang memang sedikit, negara kita
juga tidak menetapkan peraturan dan undang-undang yang
terkait dengan ini. Sebenarnya, dalam hal ini, Indonesia
sungguh jauh ketinggalan.

Tatkala saya mengunjungi tiga negara tersebut, mereka
telah membuat sebuah kebijakan yang terukur, terkait
dengan industri dan tenaga kerja. Ada kontrol negara

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

terhadap industri-industrinya. Termaktub jelas dalam
konstitusi.

Hari ini, 2021, empat puluh tahun sejak hari itu,
Indonesia baru menerapkannya sekarang. Negara-negara
maju, telah menerapkannya. Oleh karenanya, tidak
mengherankan, sampai saat ini, kita masih dihadapkan
dengan permasalahan yang tak kunjung membaik, jumlah
pengangguran yang meningkat pesat dari waktu ke waktu.

Saya pernah mengutarakan dalam sebuah forum
seminar, berkaitan dengan pengalaman dan pengetahuan
yang didapat sekembalinya saya dari kunjungan tiga negara
220 itu. Bahwasanya perlu pembenahan dan upaya serius dari
pihak-pihak terkait, khususnya pemerintah untuk melakukan
penanganan dalam dunia industri tanah air. Setidaknya,
kewajiban untuk menyampaikan telah saya tunaikan. Kendati
upaya tersebut belum menemui ujungnya. Toh, untuk
menangani urusan vital ini, saya tidak dapat berdiri sendiri.
Butuh sokongan dan kesamaan pemikiran dengan para
pengambil kebijakan dan pihak yang berkepentingan.

Meski dihadapkan dengan segala keterbatasan untuk
mengabdikan pengetahuan, namun pengejawantahan dari
sebuah ilmu senantiasa harus dilakukan. Hendaknya,
kepulangan saya dalam kunjungan luar negeri di tahun 1981

Cinta Tanpa Syarat

itu, mesti membawa perubahan. Artinya, di manapun saya
berkegiatan, saya mengusahakan akan ada secercah
benderang ke arah kemajuan. Mutlak adanya. Maka,
disusunlah pedoman praktek industri mahasiswa FKT IKIP
Padang. Saya kemudian dipercayakan untuk menjadi
koordinator pembimbing. Di mana, saya diberi kewenangan
untuk membuat rancangan kegiatan industri, khususnya yang
dilaksanakan oleh mahasiswa FKT.

Saya mulai mendata perusahaan-perusahaan potensial 221
yang barangkali dapat diajak untuk berkolaborasi. Sebut
misalnya, Krakatau Steel. Kala itu, saya meminta kepada
masing-masing prodi FKT, agar memilihkan mahasiswa
terbaiknya untuk dimagangkan di sana. Dengan demikian,
mahasiswa pilihan yang dikirimkan tersebut sesuai dengan
keinginan standar perusahaan. Tentunya mereka akan
senantiasa dapat beradaptasi dan menyerap ilmu dengan
cepat.

Sempat ada mahasiswa magang, setelah tamat, ia
langsung diterima untuk bekerja di Krakatau Steel tersebut.
Artinya, kerjasama yang kita coba bangun menuai hasil yang
cukup signifikan. Baik bagi kampus, selaku pencetak tenaga
kerja ataupun untuk perusahaan, sebagai penyedia lapangan
kerja.

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Inilah perubahan yang saya maksud. Di manapun saya
bertugas, mesti ada tercipta inovasi. Sesuatu yang baru. Saya
terus memacu untuk melakukan perbaikan. Kreatifitas akan
mengiringi di setiap kaki ini melangkah. Saya tidak mau
hidup hanya sebatas hidup. Bekerja hanya sebatas kerja.
Namun, pada prinsipnya saya hidup harus memberi manfaat.
Bekerjapun juga demikian. Memberi arti dan makna bagi
segenap makhluk.

Catatan Kecil antar Negara

Perjalanan pertama saya ke mancanegara itu saya
kukuhkan dengan menyematkan istilah “Ismal” tersebut
222 menjadi nama jantung hati saya yang pertama, Muhammad
Ismal Zeva. Ismal lahir bertepatan sehari sebelum kepulangan
saya mengunjungi tiga negara tersebut. Rupanya, ekspedisi
Ismal bukanlah lawatan terakhir saya ke negara orang.
Namun berlanjut ke Italia. Tanah Eropa, yang sebelumnya
hanya bisa saya lihat di peta.

Berasal dari pedalaman Minangkabau, Simabua.
Betapa, tiada terbayang bagi saya untuk dapat menginjakkan
kaki di negara Pizza, pencipta makanan populer se dunia itu.
Tatkala itu, jabatan saya sebagai Pimpro, menjadi alasan
kenapa saya diutus kesana. Dimana, sebagai pimpinan proyek
pengembangan perguruan tinggi IKIP Padang, saya dibawa

Cinta Tanpa Syarat

ikut serta oleh kontraktor. Dalam hal ini meninjau design
bangunan di sana, yang dapat dijadikan sebagai model dan
rujukan. Kebetulan, ketika itu IKIP sedang membangun
gedung perpustakaan.

Meski ini bukan perjalanan luar negeri pertama bagi 223
saya, tetap saja Roma, membuat ketakjuban yang berbeda.
Kunjungan kami saat itu mengilhami pola arsitektur
bangunan yang kami bawa pulang. Pengalaman empirik
tersebut memberikan saya cara pandang yang baru terhadap
teknik. Banyak berjalan, banyak pula dilihat. Selama
seminggu saya di sana, banyak cerita yang hendak dikatakan.
Ragam corak teknologi dan model bangunan estetik
bercampur modern saya temukan di sana.

Muhibah ke Eropa kembali di tahun 2002. Saat itu ITP
diamanahkan untuk mendapat bantuan proyek TPSDP Asian
Development Bank (ADB). Kami bekerjasama dengan
Politeknik Negeri Bandung. Bersama Politeknik Negeri
Bnadung, kami mengunjungi Italia dan Austria. Tepatnya,
selama di Italia kami pergi ke Kota Milan, Roma. Sementara
di Austria, kami mengunjungi Kota Welles. Berjarak kira-kira
250 M dari ibukota negara, Wina.

Tentunya, ini perjalanan kedua bagi saya ke Italia.
Sedikit banyaknya, kunjungan kali ini mengobati kerinduan

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

saya akan kota penghasil keju terbesar di dunia ini. Berbeda
dengan lawatan yang pertama, kedatangan kami ke Italia dan
Austria kala itu dengan maksud untuk meninjau perusahaan
mesin las. Mesin las yang ada di sana, dari segi kualitas jauh
lebih baik daripada buatan dalam negeri. Akhirnya, antara
buatan Italia dan Austria, kami menetapkan untuk memilih
buatan Austria. Dengan pertimbangan, mesinnya lebih bagus
dan pemakainnya juga dinilai lebih efektif.

Sebagai seorang muslim, di manapun saya berada,
kewajiban untuk menunaikan perkara sholat lima waktu,
tidak boleh ditinggalkan. Namun, ketika berada di negara
224 barat, tidak sembarang tempat dapat menjalankan kewajiban
tersebut. Notabenenya mereka lebih inklusif dengan hal
teologis dan semacamnya. Terutama, kepada orang yang
berbeda dengan kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar
warga negaranya. Agaknya, Kota Welles adalah pengecualian.
Di sana, saya disediakan tempat sholat. Meski, mereka bukan
dari kalangan muslim. Hal ini berarti, masih ada perilaku
toleransi di ufuk barat, yang selama ini dinilai tertutup rapat.

Lantas, dengan menjadi asing di negeri orang, bukan
berarti tidak memperoleh kemudahan apapun. Tentu saja,
tetap ada sekat-sekat yang membatasi. Namun, dalam pada
itu, negara-negara yang pernah saya datangi di Benua Eropa,

Cinta Tanpa Syarat

terutama Belanda, ikhwal etika dan sopan santun mereka
dalam bersikap, patut diacungi jempol. Warga negaranya
begitu ramah. Murah senyum kepada siapa saja. Sekalipun
tidak saling mengenal satu sama lainnya. Tidak heran, sebuah
peradaban besar akan lahir dari tabiat baik yang dihadirkan
oleh masyarakatnya.

Hal yang tampak nyata terkait menghormati orang tua 225
dan para leluhur saya temukan di Cina. Sepuluh tahun
terakhir, segi ekonomi, budaya, politik bahkan militer Cina
memberikan pengaruh global. Pada tahun 2010, anak saya
memberikan hadiah tiket perjalanan ke Cina. Saya dan istri
berkesempatan mengunjungi Beijing dan Tianjin. Di sana,
kami disambut dengan sangat baik. Sama sekali tidak
dianggap berbeda. Sekelumit permasalahan di masa silam,
antara nusantara dengan komunisme Cina kala itu, tidak
pernah disebut-sebut. Tidak ada dendam.

Selain kebesaran hati, pelajaran yang saya dapatkan
selama di Beijing adalah perihal kebersihan. Sulit bagi saya
untuk menemukan sampah. Setiap sudut di ruang kota,
mengkilat dan jenih. Sangat bersih. Sebuah pemandangan
yang sejuk di mata. Namun, bagi saya ada yang lebih indah
dari sekedar pemandangan dan kebersihan kotanya. Etnis
Cina menaruh posisi orangtuanya pada tempat terhormat.

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Mereka begitu santun kepada orangtua. Tidak sekalipun
mereka menelantarkan orangtuanya.

Berada di tengah lapangan Tiananmen, saya
menengadahkan kepala keatas. Satu titik sentral yang
memasang foto Mao Tse Tung berdiri gagah menjaga gerbang
kedamaian surgawi itu. Tokoh revolusi kebudayaan yang
kontroversial itu tetap dihargai sebagai bapak bangsa
Republik Rakyat Tiongkok. Sosok yang dihormati dan
dihargai sebab perjalanan sejarahnya.

Sejatinya, di setiap perjalanan akan menawarkan
beragam pengalaman. Jelas, pengalaman itu memuat
226 pembelajaran. Media pengajaran, tidak satu-satunya berada di
ruang akademis. Melainkan dapat ditemukan pada alam, pada
perilaku seseorang, dan pada negara lain yang berbeda. Hal
inilah yang semakin mengukuhkan niat saya dan menguatkan
fisik saya, bahwa apabila diberikan kesempatan, dan
kesehatan, saya akan terus mengunjungi belahan dunia lain.

Terakhir, sebelum pandemi Covid-19 mulai mewabah,
pada tahun 2018, saya berkunjung ke Amsterdam. Saya selaku
ketua yayasan bersamaan dengan rektor, diundang untuk
menghadiri sidang terbuka Wakil Rektor I, Firmansyah
David, Ph.D, yang mengambil program doktoral di Vrije
Universiteit Amsterdam. Kedatangan kami kali ini, sekaligus

Cinta Tanpa Syarat

menjalin kerjasama dengan universitas tersebut. Tidak hanya
dengan Vrije Universiteit Amsterdam, kami juga membangun
jalinan hubungan internasional dengan Munster University di
Welle. Tidak akan menutup kemungkinan, pada kampus-
kampus lainnya, yang berada pada negara dan jagad dunia
lainnya.
***

227










Click to View FlipBook Version