Pilar Perjuangan
Bersama Papa, sedari kecil saya telah dikenalkan
dengan lingkungan kaum intelektual. Tidak hanya
dikenalkan dengan bahan bacaan yang menarik, tetapi
beragam cendekiawan, terutama asal Sumatera Barat telah
menyambangi kediaman kami. Terkadang kami yang turut
bertamu ke rumahnya. Sebut misalnya, Sanusi Latief, Nur
Anas Jamil, Bagindo Moh. Letter, Amir Thaib, Kamal dan
banyak tokoh-tokoh lainnya yang dikenal sebagai kaum
cerdik cendekia dan pernah menduduki posisi penting di
masanya.
Dengan senangnya Papa selalu memperkenalkan saya 83
kepada teman-temannya, baik sebagai anak atau pun
keponakan. Perbincangan Papa dan teman-temannya kerap
mendiskusikan topik terkait persoalan bangsa. Saat itu,
kondisi negara memang tengah kacau balau. Perekonomian
ambruk, apalagi keadaan politik juga menjadi masalah yang
tengah bergelimpangan. Sejak kecil saya telah terbiasa
mendengarkan pembicaraan isu tata kenegaraan. Inilah yang
barangkali, setelah dewasa apalagi di saat kuliah, saya
menceburkan diri dengan berbagai organisasi. Bergerak aktif
dan berpengaruh di segala lini.
Di antara teman-teman Papa, ada beberapa orang yang
kembali bertemu dengan saya di Padang. Seperti Prof. Nur
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
Anas Jamil. Kami bertemu di saat saya sebagai Dosen IKIP,
yang kebetulan memegang jabatan sekretaris senat periode
1992-1994. Saya langsung memperkenalkan diri kepada
beliau. Lantas dengan mendengar nama Papa, ia langsung
tersintak. “Ini Zulfa yang waktu kecil sering dibawa ke rumah
oleh Soufyan Ras ya?” tanyanya mencoba untuk mengingat.
Rupanya beliau masih ingat dengan saya. Kerinduannya
terhadap Papa demikian tidak terbendung. Pertemanan
mereka begitu karib. Saya menjadi curahan nostalgia oleh
Bapak Nur Anas Jamil. Ia begitu terkesan akan kebaikan dan
ketulusan Papa.
84 Demikian pula di saat saya menjadi Ketua Sekolah
Tinggi Teknik Padang (STTP), saya bertemu Bapak Kamal di
kantornya. Pada waktu itu ia menjabat sebagai Kepala BP7
Sumatera Barat yang bertanggungjawab sebagai pelaksana
Penataran P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila).
Saya sebagai pimpinan dari sebuah perguruan tinggi sering
terlibat dan berurusan dengan beliau. Mengingat adanya
Penataran P4 bagi mahasiswa baru. Dan Bapak Kamal
diminta sebagai pembuka acara. Tanpa banyak komentar
beliau langsung menyatakan kesediaan. Di tengah
pembicaraan, beliau menyatakan bahwa temannya “Soufyan
Ras orang yang jujur, bertanggung jawab dan aktif
berorganisasi. Sayang umurnya tidak panjang.” Itulah Papa
Pilar Perjuangan
saya. Sosok yang mengagumkan bagi banyak orang. Dan
tentunya adalah seorang paman yang paling berjasa dalam
hidup saya.
Selang setahun setelah si kembar menghiasi kehidupan 85
kami, lahir Mehanul Fikar pada tanggal 17 Maret 1962.
Kehadirannya menambah anggota keluarga sekaligus
penggenap kebahagiaan kami. Terutama bagi Etek dan Papa.
Setelah itu kami memutuskan untuk pindah rumah dari
Sindunegaran. Kami pindah ke jalan Notoprajan Ng IV/443.
Beriringan dengan itu juga diantar oleh famili Etek seorang
anak perempuan, yang saya panggil Kak Nur. Umurnya
sekitar 12 tahun. Sehari-hari Kak Nur bertugas membantu
pekerjaan rumah. Saya pun demikian. Ada tugas rutin yang
wajib saya lakukan. Biasanya pagi-pagi sekali, sebelum
berangkat sekolah, saya memasak bubur dari tepung maizena
untuk Ed, adik yang paling kecil. Tidak ketinggalan, bubur
nasi dengan campuran parutan wortel, ditambah dengan
bayam dan tomat, untuk si kembar Nova dan Novi.
Sehari-hari kami tumbuh dengan kehidupan yang
damai. Nyaris tanpa cela yang dapat menimbulkan riak-riak
pertikaian. Lain halnya dengan negara, pada saat itu di tahun
1961, tengah mengalami masa-masa pergolakan. Isu yang
paling hangat diberitakan di surat kabar adalah terkait
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
dengan perebutan Irian Barat dari Belanda. Hari itu, pada
tanggal 19 Desember 1961, koran Kedaulatan Rakyat
menuliskan pengumuman bahwasanya Presiden Soekarno
akan menyampaikan pidato di Alun-alun Utara. Diminta
seluruh masyarakat dapat menghadirinya. Seluruh kegiatan
kantor dan sekolah diliburkan.
Nama besar presiden Soekarno dapat memikat siapa
saja. Alun-alun Utara melimpah ruah dengan lautan manusia.
Tidak ketinggalan juga saya. Kebetulan, acaranya tidak jauh
dari Kauman, tempat tinggal kami. Pada waktu itulah saya
melihat Bung Karno berpidato 2 jam lamanya, tanpa jeda. Di
86 atas podium, Bung Karno tampak gagah dengan kharismanya
yang mempesona. Apalagi dengan suaranya yang lantang,
mampu membakar semangat pendengarnya. Inilah pertama
kalinya saya menyaksikan dan mendengarkan Soekarno
berbicara, secara langsung. Tidak salah, beliau didaulat
sebagai orator ulung.
Bung Karno membakar semangat rakyat dengan
konsepsi pelaksanaan Trikora (Tiga Komando Rakyat) yang
pada intinya merebut kembali Irian Barat ke wilayah
Republik Indonesia. Adapun isi dari Trikora itu adalah 1).
Gagalkan pembentukan negara Papua buatan Belanda, 2). Kibarkan
bendera merah putih di wilayah Irian Barat, 3). Bersiaplah mobilisasi
Pilar Perjuangan
umum untuk mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan
bangsa.
Demi terselenggaranya, pelaksanaan Trikora ini, 87
dibukalah kesempatan bagi rakyat Indonesia, khususnya
pemuda, untuk mendaftar sebagai sukarelawan. Mereka akan
dilatih sebagai seorang prajurit untuk merebut Irian Barat
kembali. Dan lagi, berita di keesokan harinya di koran
Kedaulatan Rakyat, ternyata sudah ribuan orang yang
mendaftar untuk menjadi sukarelawan. Begitu besarnya
pengaruh dan wibawa Bung Karno terhadap rakyat Indonesia
pada waktu itu. Padahal, kondisi perekonomian dalam
keadaan anjlok. Dijumpai banyak rakyat yang kelaparan.
Apa yang kami rasakan pun demikian. Pegawai negeri
digaji dengan sangat kecil. Gaji Papa hanya cukup memenuhi
kebutuhan hidup kami selama 3 minggu. Tidak ada celah
untuk pemasukan halal lainnya. Sebab uang itu memang tidak
ada. Pernah, kami mengganjal perut dengan hanya makan ubi
rebus. Beberapa hari tidak makan nasi, karena tidak ada uang
untuk membeli beras. Tidak hanya itu, situasi kian pelik,
ketika segala kebutuhan pokok sulit didapat. Adapun uang di
tangan, ketersediaannya juga sangat terbatas. Begitulah
kehidupan masa itu yang kami alami. Hingga akhirnya saya
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
dibawa ke Aceh beberapa bulan sebelum John Fitzgerald
Kennedy diberondong peluru pada November 1963.
***
88
Ruang Belajar Kedua
Atjeh dan Segudang Cerita
Gempa dengan magnitudo 9.3 skala Richter, yang 93
kemudian menimbulkan gelombang tsunami menyapu pesisir
Aceh. Disebut sebagai gempa terbesar ke-5 sepanjang sejarah
dan bencana paling mematikan di abad modern ini. Jutaan
nyawa melayang. Manusia mengerang kehilangan. Gumpalan
masa 26 Desember 2004 itu, menjadi peristiwa penting yang
takkan luput dalam balutan sejarah.
Jauh sebelum peristiwa dahsyat itu terjadi, Aceh
pernah menjadi daerah tempat kami berlabuh. Menggulung
waktu sekitar 57 tahun yang lalu, setengah abad lebih kalau
dihitung dari tahun ini dengan kalender masehi, Aceh dan
segala isinya merupakan sebait cerita yang penting untuk
diingat. Nyata dalam benak orang-orang, perihal tsunami
yang memakan korban jiwa. Saya mengenang Aceh sebagai
pilar dalam hidup.
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
Pada pertengahan Maret 1963, Papa dipindah tugaskan
ke Aceh. Tepatnya ia ditugaskan sebagai dosen di IAIN
Jami’ah Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh. Dengan demikian,
keluarga Papa, termasuk saya dan Kak Nur harus ikut pindah
ke Banda Aceh. Ketika itu, ketiga anak Papa, masih sangat
kecil-kecil sekali. Si kembar, Nova-Novi berumur 2 tahun,
dan Ed berusia 1 tahun. Hanya beda satu tahun dari kedua
kakaknya. Maka, tugas saya dan Kak Nur adalah mengurus
adik-adik yang masih kecil-kecil ini.
Belum selesai saya menamatkan Sekolah Rakyat di
Yogyakarta, dan lagi, terpaksa harus pindah. Saya melapor
94 kepada ibu Soemo guru kelas V, bahwa saya akan pindah ke
Aceh, karena orang tua pindah tugas ke sana. Di hari terakhir
saya menginjakkan kaki di sekolah, rasanya berat sekali
untuk berpisah. Teman-teman juga begitu. Kami telah
menjalin romantisme pertemanan yang cukup karib. Apalagi
saya sebagai ketua kelas, menjalankan tugas dan fungsi dalam
mengkoordinir teman-teman, belajar untuk melaksanakan
tanggung jawab. Tentunya mereka akan merasa kehilangan
sosok teman. Terutama di dalam pelaksanaan upacara
bendera.
Perpindahan ini sebenarnya bukanlah sebuah dilema.
Bagi kami, ini hanyalah putaran waktu yang telah demikian
Ruang Belajar Kedua
adanya. Tiada sehelai pun daun yang jatuh, tanpa ketetapan
dari-Nya. Semuanya telah diatur. Tidak ada yang kebetulan.
Pun begitu atas apa yang tengah kami alami. Pada malam hari
di tanggal 5 April 1963, kami sekeluarga berangkat ke Jakarta,
dengan menaiki kereta api. Keberangkatan kami dilepas oleh
Pa Akhia, Pa Nawir, Pa Thamsir dan beberapa orang
mahasiswa Minang yang kuliah di Yogyakarta.
Dikarenakan anak Papa yang masih kecil-kecil, 95
masing-masing dari kami mendapat jatah untuk
menggendong adik-adik. Saya menggendong Nova dan Kak
Nur menggendong Novi serta Etek menggendong Ed. Papa
bertugas menjaga barang-barang yang hendak dibawa.
Pembagian peran disepakati untuk dilaksanakan dalam
perjalanan.
Kami meninggalkan Yogyakarta dengan hati yang
lapang dan jiwa yang patut. Kereta api berangkat pukul 19.00
dan sampai di Stasiun Senen Jakarta pukul 07.00 pagi.
Diperkirakan lama perjalanan memakan waktu sekitar 12 jam.
Saat itu, kereta api belum dilengkapi dengan fasilitas seperti
di masa kini. Kereta api yang ber-AC itu masa kini. Saat itu
yang ada baru kipas angin. Tempat duduknya juga terbuat
dari bahan sofa yang sederhana. Jauh dari kata nyaman untuk
melukiskan hampir dua belas jam perjalanan tersebut. Itulah
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
yang membuat badan terasa lebih letih. Apalagi sembari
memangku adik yang masih kecil.
Dengan menumpang taksi, setibanya di Jakarta, kami
meluncur ke rumah saudaranya Etek yang terdapat di
Komplek Perumahan Tentara Jl. Kesatrian VIII/H 48
Matraman. Rumah tersebut milik Kapten (AD) Ghazali
Ismail, anak Datuak Gamuak, mamaknya Etek. Kami berada
di Jakarta kurang lebih empat hari lamanya. Sebagaimana
anak-anak biasanya, ketika berada di tempat baru, lebih
banyak menghabiskan waktu di Jakarta dengan bermain.
Sementara Mahdi, anak Pak Gazali, juga mengajak saya untuk
96 bermain bersamanya. Kami seumuran dan sama-sama duduk
di kelas V SD.
Setiap hari rumah Pak Gazali begitu ramai. Penuh
dengan anak-anak. Oleh karenanya, saya mendapatkan
banyak teman di sana. Mengingat, Pak Gazali salah satu dari
sedikit orang yang memiliki televisi di rumahnya. Siaran
televisi pada waktu itu hanya ada satu yaitu TVRI. Dan
siarannya baru mulai ada pada awal tahun 1962. Berarti,
rumah Pak Gazali layaknya bioskop di masa kini. Titik
kumpul orang banyak untuk mendapatkan asupan hiburan.
Agaknya acara televisi lebih banyak menayangkan berita dan
Ruang Belajar Kedua
hiburan. Jam tayangnya juga terbatas. Dimulai pada sore hari
pukul 16.00 sampai pukul 22.00 WIB malam.
Soal televisi ini saya punya pengalaman empirik. Tepat
pada tanggal 9 April 1963, di mana peringatan Hari
Penerbangan Nasional yang sekaligus Hari Lahirnya
Angkatan Udara Republik Indonesia dirayakan. Acara
tersebut disiarkan langsung dari lapangan Halim Perdana
Kusuma Jakarta. Acara ini dihadiri oleh Presiden Soekarno
dan seluruh Menteri Kabinet Trikora beserta Panglima 3
angkatan (AD, AU dan AL). Meskipun saya melihat di layar
kaca televisi, saya demikian takjub, namun sedikit takut.
Atraksi penerbangan yang dilakukan TNI tidak 97
berjalan sebagaimana mestinya. Beberapa pesawat tempur
menampilkan koreografi di udara dengan gaya terbang
kecepatan tinggi, namun tidak berhasil mendarat dengan
mulus di landasan. Pesawatnya langsung menghujam ke
tanah. Setelah itu terdengar bunyi menggelegar dan pesawat
mengeluarkan asap hitam pekat. Dengan kejadian itu, siaran
langsung juga dihentikan. Namun, tidak lama setelahnya,
kejadian tersebut begitu ramai menghiasi layar kaca dan
koran yang terbit besok harinya.
Belum habis trauma menyaksikan kecelakaan pesawat
di televisi, kami mesti berhadapan dengan burung besi itu.
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
Keesokan harinya, 10 April 1963, pukul 08.00 WIB pagi, kami
naik pesawat Garuda Airways jenis Dakota pakai baling-
baling dikedua sayapnya. Flight dari lapangan udara
Kemayoran Jakarta. Penerbangan pertama saya baru dimulai.
Rasa cemas membekap kuat. Bayangan di televisi tentang
tragedi AURI hari kemarin berkelebat dalam pikiran
Sekuat tenaga saya buang jauh-jauh perasaan yang
merundung psikologis. Teror kejiwaan yang berangsur hilang
setelah pesawat lepas landas dengan sempurna. Saya mencoba
menikmati perjalanan pertama diudara ini. Suatu keadaan
yang tidak pernah saya bayangkan pada masa sebelumnya.
98 Pepohonan yang terlihat kecil, area hutan Sumatera yang
mengukuhkan warna hijau sebagai identitas asli nan asri.
Lama perjalanan dengan menaiki pesawat dari Jakarta
menuju Banda Atjeh/Koetaradja memakan waktu 7 jam.
Dengan adanya transit di dua lapangan udara. Pertama, dari
lapangan udara Kemayoran menuju Tabing Padang memakan
waktu sekitar 2,5 jam. Lamanya transit di sana sekitar 30
menit. Kemudian, penerbangan dari Tabing, transit kembali
di Polonia Medan. Penerbangannya menghabiskan waktu
sekitar 1,5 jam, dan ditambah waktu transit selama 1 jam.
Setelah transit di Polonia, barulah pesawat akan sampai di
tempat pemberhentiannya yang terakhir, dengan lama
Ruang Belajar Kedua
perjalanan sekitar 1,5 jam lagi. Yakni lapangan udara Blang
Bintang Banda Atjeh/Koetaradja.
Di tahun 1963, pesawat terbang termasuk alat
transportasi yang sangat langka. Sangat jarang orang yang
mampu menggunakan jasa penerbangan. Terkecuali bagi
orang kaya, atau pun pegawai pemerintah, yang biayanya
ditanggung oleh negara. Saya adalah salah satu orang yang
beruntung atau bisa jadi buntung. Mengingat, kala itu dunia
aviasi Negara ini masih dalam tahap penyempurnaan.
Dikhawatirkan pada saat beroperasi akan mendapati
kecelakaan.
Bahkan, saking khawatirnya, sempat terlintas dalam 99
pikiran, di saat transit di Bandara Tabing, ada keinginan
untuk tinggal dan pulang ke Simabua saja. Namun, saya tidak
berani menyampaikan, karena Papa pasti tidak akan
mengizinkan. Lagi pula, amanat dari Etek agar
menghilangkan sikap manja, serta fokus terhadap sekolah,
mengikat buah pikir saya pada satu tujuan
Menikmati perjalanan itu merupakan paket komplit.
Turbulensi dalam skala kecil, atau besar, berulang kali terjadi.
Saya hampir muntah dibuatnya. Pemandangan langit yang
sangat artistik. Ketika pesawat tidak terbang terlalu tinggi di
daerah Medan dan sekitarnya. Nampak jelas bentangan
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
Danau Toba yang sangat luas. Elok sekali untuk dipandang.
Sementara itu, terdengar sebagian orang berbicara dengan
bahasa yang cukup membingungkan. Rupanya itulah bahasa
Aceh. Bahasa yang sangat asing terdengar ditelinga saya.
Setelah berjam-jam di perjalanan, akhirnya pesawat
mendarat di lapangan udara Blang Bintang. Sesampainya di
pintu kedatangan, mobil dinas kantor IAIN Ar-Raniry telah
tersedia menjemput kami. Kami langsung menuju kota Banda
Aceh yang jaraknya cukup dekat, sekitar 6 km dari Blang
Bintang. Tujuan kami adalah ke Kota Pelajar Mahasiswa
(Kopelma) Darussalam.
100 Kopelma Darussalam berdiri ditengah dua kampus
perguruan tinggi, Unsyiah dan IAIN Ar-Raniry. Kami tinggal
di rumah dinas yang diperuntukkan bagi dosen-dosen
Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) dan IAIN Ar-Raniry serta
beberapa orang pegawai administrasi. Kopelma Darussalam
ini dibangun oleh Pemda Aceh atas prakarsa Gubernur Ali
Hasymi. Uniknya, pembangunannya dilakukan atas dasar
kerjasama dan gotong royong oleh masyarakat Aceh.
Peletakan batu pertamanya yakni pada tanggal 17 Agustus
1958 yang kemudian diresmikan pada tanggal 2 September
1959.
Ruang Belajar Kedua
Tanggal tersebut ditetapkan selain untuk
memperingati hari ulang tahun Unsyiah, juga dijadikan
sebagai Hari Pendidikan Daerah khusus untuk Daerah
Istimewa Aceh. Kami tiba sebelum pagelaran hari jadi
tersebut dilaksanakan. Saya melihat Papa langsung tenggelam
dalam kesibukannya sebagai dosen baru disana ketika hari
baru saja bersalin rupa.
Sementara menjelang pembangunan rumah dinas 101
selesai, kami ditempatkan di mess dosen. Bersama satu
keluarga lainnya, Bapak Drs. Abidin Hasyim, dosen FKIP
Universitas Syiah Kuala. Kami menempati mess tersebut
hanya satu bulan saja. Setelah itu, barulah kemudian pindah
ke rumah dinas tersendiri yang letaknya kira-kira 100 m dari
mess tersebut. Dikarenakan rumah tersebut baru ditempati,
perabot rumah tangganya masih belum mencukupi. Bahkan,
kami masih tidur beralaskan tikar. Sembari menunggu
perabotan yang dibawa dari Yogya melalui kapal ekspedisi.
Selang dua bulan kemudian, barulah perabotan tersebut tiba
di Darussalam Banda Aceh.
Sekolah yang Tak Kunjung Usai
Harapannya, setelah pindah ke Aceh saya dapat
menamatkan sekolah yang tidak kunjung usai ini. Perihalnya,
ini adalah sekolah yang kelima yang sudah saya tempuh
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
sepanjang duduk di Sekolah Rakyat. Keesokan harinya, Papa
mendaftarkan saya ke sebuah sekolah yang letaknya tidak
jauh dari komplek di mana kami tinggal. Jaraknya kurang
lebih sekitar 1,5 km dari mess. Jika mau lebih cepat, bisa
dengan jalan alternatif, melewati areal persawahan.
Saya sekolah di SD Lamnyong, sebagai murid kelas V.
Tahun itu penamaan Sekolah Rakyat (SR) sudah diganti
dengan Sekolah Dasar (SD). Seiring dengan perpindahan
demi perpindahan yang dijalani, saya tidak lagi canggung
dengan hal yang baru. Saya menjadi lebih cepat beradaptasi.
Perkenalan diri, baik kepada teman-teman atau pun guru
102 berjalan lancar. Umumnya, mereka sulit untuk mempercayai
bahwasanya saya berasal dari tanah Minang. Mungkin karena
pernah tinggal beberapa tahun di Yogyakarta, kultural Jawa
telah melekat dalam pembawaan saya.
Bahkan Pak Usman, kepala sekolah yang juga
merupakan guru kelas kami, tidak juga percaya saya berasal
dari Padang. Ia mengira saya adalah orang Jawa, karena tata
cara bicara saya tidak memperlihatkan khas orang Sumatera
khususnya Minang. Sangat halus, seperti orang Jawa yang
santun. Hal ini dapat terjadi karena hampir 3 tahun bersama
lingkungan masyarakat Yogyakarta yang terkenal halus dalam
Ruang Belajar Kedua
bertutur kata. Kehidupan sehari-hari juga diatur dengan tata
krama pergaulan yang baik.
Sama halnya dengan apa yang saya lakukan ketika
tinggal di Yogyakarta, persoalan bahasa adalah hal urgent yang
harus dengan cepat saya pahami. Mengingat, bahasa adalah
alat komunikasi untuk menyampaikan suatu maksud. Beda
daerah, maka lain pula bahasa yang digunakan. Bagi saya,
Aceh memiliki bahasa yang sangat sulit dimengerti. Maka,
butuh sedikit waktu bagi saya untuk dapat berkomunikasi
dengan lancar bersama teman-teman.
Rerata murid-murid di sekolah saya berasal dari 103
kampung (gampong), sekitarnya. Seperti Gampong
Lamnyong, Gampong Rukoh, Gampong Tanjung Selamat,
Gampong Limpok dan Kopelma Darussalam. Di antara
teman-teman lainnya, saya sekelas dengan dua perempuan
kakak beradik, Cut Dara Adila dan Cut Nilawati. Kebetulan,
mereka juga tinggal di komplek yang sama dengan saya,
Kopelma Darussalam. Sama halnya dengan saya, mereka juga
anak dari salah seorang karyawan Unsyiah. Rumahnya juga
tidak jauh dari rumah kami. Dengan merekalah saya kerap
bermain. Berbeda dengan teman-teman saya yang lain, mereka
berbicara dengan bahasa Indonesia yang lancar. Hal ini
disebabkan oleh ibunya yang berasal dari Makassar
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
sedangkan ayahnya putra asli Aceh yang bergelar Teuku. Oleh
karenanya, mereka memakai gelar Cut di pangkal nama
masing-masing.
Sementara, ada tiga orang teman saya yang lain, juga
lancar berbahasa Indonesia. Mereka adalah Lukman, Muchtar
dan Abubakar. Dibandingkan dengan kawan-kawan lainnya
yang agak susah berbahasa Indonesia, mereka cukup lumayan
nyambung untuk diajak berkomunikasi. Selain Cut Dara
Adila dan Cut Nilawati, mereka juga termasuk kawan-kawan
yang sering diajak bermain dan belajar bersama. Dalam
keseharian, aktivitas yang kami lakukan bermacam-macam.
104 Namun yang kerap dilakukan adalah mendengarkan Lukman
bercerita.
Lukman suka bercerita tentang hikayat yang berupa
kisah kepahlawanan orang Aceh. Ia bercerita dengan
menggunakan bahasa Aceh, sembari didendangkannya. Maka,
tidak ada yang bosan apabila mendengarkan Lukman
bercerita. Selain itu, saya dan Mukhtar sering pergi berdua ke
pasar Lamnyong. Kami berdua sering meminjam buku cerita
ke Bang Daud, seorang tukang jahit dan juga sekaligus
membuka tempat peminjaman buku cerita dan komik.
Lukman termasuk anak cerdas yang suka membaca. Oleh
Ruang Belajar Kedua
sebab itu, kami berada pada frekuensi yang sama, dalam hal
kesenangan membaca.
Di tengah kami bermain bersama, ada-ada saja kejadian
jenaka yang timbul. Humoris dan mengundang gelak tawa.
Salah satunya, apabila mendengarkan bahasa Indonesia
dengan aksen bahasa daerah Aceh. Terdengar lucu dan
menggelikan. Logatnya totok sekali dan bercampur-campur
dengan bahasa daerah. Bagi saya, ini telah menjadi hiburan
tersendiri.
Hampir setiap hari bergaul dan bermain dengan 105
kawan-kawan, tidak sampai enam bulan, saya sudah mulai
bisa berbahasa Aceh. Bahasa Aceh, sifatnya hampir sama
dengan bahasa Inggris, karena apa yang tertulis tidak sama
dengan yang dibaca. Misalkan, nama pelabuhan Ole Le
tulisannya Oele Lheu yang juga berarti goreng kepala. Pak
Usman pernah bercerita, dahulu pada masa penjajahan,
kepala orang Belanda pernah digoreng oleh orang Aceh.
Bahasa Aceh termasuk bahasa yang sulit. Banyak kata-
katanya yang susah diterjemahkan. Di antaranya, jip Ie u=
minum air kelapa, eh = tidur, lon, long, lontuan =saya.
Tidak hanya belajar soal bahasa, saya juga harus
mengebut materi pelajaran yang sudah pasti jauh ketinggalan.
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
Mengejar ketertinggalan itu, saya mesti belajar ekstra.
Apalagi dengan melihat Cut Nila, sang bintang kelas yang
kepandaiannya di atas rata-rata. Ia termasuk salah satu
saingan terberat saya. Kami bersaing secara sehat, bahkan
berteman akrab. Ini juga dilatarbelakangi oleh rumah kami
yang berdekatan. Dalam keseharian, kami kerap belajar dan
berdiskusi bersama, dan sering diikuti oleh kawan yang lain.
Seperti Lukman, Abubakar dan beberapa orang anak dari
Gampong Rukoh.
Saya patut bersyukur, di tengah petualangan yang
mengharuskan untuk pindah kian kemari, saya senantiasa
106 dikepung oleh nasib baik. Di antara nasib mujur yang paling
saya syukuri adalah dikelilingi oleh orang-orang yang berhati
bersih. Setiap teman-teman baru yang saya jumpai, membawa
saya kepada jalan yang lurus. Maka, tidaklah keliru,
lingkungan adalah salah satu faktor yang membentuk tabiat
diri.
Saya dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang
mengasihi saya apa adanya. Saya diasuh dengan penuh kasih
oleh Pa Pian dan istrinya. Cinta yang lebih dari seorang
paman kepada keponakannya. Meski telah menjadi yatim di
usia kanak-kanak, sedikit pun saya tidak kekurangan kasih
sayang seorang bapak. Di sinilah kemudian saya dapat
Ruang Belajar Kedua
memahami arti kesungguhan dari sebuah cinta. Di mana
keberadaannya, bagi sebagian orang hanya didapat dari
pasangan, tetapi bagi saya, cinta yang sesungguhnya adalah
cinta dari keluarga. Dan, saya sangat mengasihi keluarga,
hingga detak nadi ini berhenti. Hidup terkadang terlihat
seperti sebuah tragedi yang berbalas-balasan. Apa yang kita
tabur, maka itu jugalah yang akan dituai.
Papa adalah orang super sibuk yang mengemban 107
tanggungjawab di sana sini. Kesehariannya dihinggapi dengan
aktivitas yang bermacam-macam. Apalagi semenjak kami
tinggal di Aceh, Papa aktif bergiat dalam organisasi
Muhammadiyah. Kerapkali aktivitasnya yang menggunung,
menjadikannya pulang ke rumah di larut malam. Saya
ditugaskan Etek untuk menunggu beliau pulang. Karena
kamar tidur berada di bagian belakang, biasanya saya tidur di
atas kursi ruang tamu, agar dengan cepat terdengar, apabila
suara ketukan pintu berbunyi.
Pada suatu malam, saya tengah tertidur dengan
lelapnya. Saya mendapati sebuah perjalanan di alam lain.
Sebuah mimpi di sepertiga malam. Ceritanya di dalam mimpi
tersebut saya bertemu dengan almarhum Papa. Orang tua
kandung saya. Dalam bayangan saya, beliau kembali pulang
setelah sekian lama pergi. Saya membukakan pintu untuknya.
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
Menyambutnya dengan perasaan yang sulit dipercaya.
Rupanya, kejadian tersebut tidak nyata adanya.
Malam itu, yang pulang adalah Pa Pian, bukanlah
Papa. Pa Pian membimbing dan menuntun saya ketempat
tidur. Setelah saya sampai di tempat tidur, barulah saya
dibangunkannya. “Mimpi Jun tadi, dengan Papa Jun ya?”
tanyanya keheranan.
“Ya, Jun mimpi dengan Papa Jun, Pa,” jawab saya
masih dengan setengah memicingkan mata. Lama beliau
mengelus kening saya sambil duduk mendekap erat badan
saya. Tiba-tiba air mata saya meleleh karenanya. Teringat
108 dengan Papa kandung yang sudah tiada. Sorot mata Papa
tampak nanar, seperti berair. Menyaksikan saya yang tengah
merindui seseorang. Tentunya, seseorang tersebut juga sangat
dikasihinya. Ayah kandung saya, yang merupakan kakak
kandung Pa Pian.
Keluh-Kesah Hati
Waktu tidak akan berjalan mundur, barang sedetik
pun jua. Tanpa terasa sudah hampir satu tahun kami tinggal
di Aceh. Seiring dengan itu, umur saya juga telah memasuki
usia ke 13 tahun. Boleh dikatakan telah mulai baligh dan
beranjak remaja. Saya belum menjalankan kewajiban bagi
Ruang Belajar Kedua
seorang pria muslim. Saya mengatakan kepada Papa
bahwasanya ingin segera dikhitan. Rencananya akan
diselenggarakan pada liburan sekolah mendatang. Papa
sangat menyetujuinya.
Pada tanggal 2 Ramadhan 1384 H, bertepatan
dengan hari Sabtu tanggal 28 Januari 1965, saya dikhitan.
Petugas yang melakukan sirkumsisi adalah Bapak Ampon
Abdullah, Mantri Poliklinik Kopelma Darussalam.
Proses khitanan saya berjalan lancar jaya, tanpa ada 109
kendala. Agaknya, saya akan bercerita tentang proses sebelum
acara digelar. Bagi saya, banyak drama yang terjadi. Dan
semuanya masih terekam jelas dalam memori. Seperti yang
juga telah saya singgung sebelumnya, bahwa tugas rutin saya
setiap hari adalah hal-hal yang berkaitan urusan dapur. Mulai
dari mencari kayu, belanja dan memasak. Barangkali
semuanya dapat saya kerjakan, sebagai upaya untuk
meringankan beban kerja Etek.
Apalagi Etek juga punya kegiatan di luar rumah,
sehingga tidak mungkin baginya untuk memegang semua
pekerjaan rumah tangga. Semua orang rumah, masing-
masingnya mendapat tugas. Selain mengasuh adik-adik yang
masih kecil, saya kebagian tugas untuk menggiling cabe.
Tugas ini tidak pernah alpa saya lakukan. Hampir setiap hari,
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
di kala akan mau memasak. Sesuatu yang saya hafal urutan
seutuhnya.
Tatkala sudah dikhitan, Papa menggelar hajatan.
Pertanda ucapan doa syukuran atas keselamatan.
Berdampingan dengan itu, kebetulan bertepatan dengan
bulan puasa, oleh sebab itu, sekalian untuk mengundang
orang-orang berbuka bersama. Otomatis Etek dan Papa akan
mengundang kerabat dan teman-temannya. Di antaranya,
Papa mengundang seorang Hakim Militer yang ditugaskan di
Banda Aceh. Namanya Datuak R. Mulia. Ia merupakan kawan
terdekat Papa, yang juga berasal dari Simabua. Maka, untuk
110 menyambut tamu yang datang, perlu persediaan makanan
yang lumayan cukup banyak dari biasanya.
Setelah selesai berbelanja kebutuhan memasak, Etek
menugasi saya untuk menggiling cabe. Pekerjaan yang sehari-
hari telah akrab saya lakukan. “Tidak mungkin Jun bisa
melakukannya, apabila nantinya telah selesai dikhitan,
sebaiknya dipersiapkan cabe yang sudah digiling untuk
beberapa hari,” jelas Etek. Hari itu, saya menggiling cabe lebih
banyak dari biasanya. Lazimnya, saya menggiling cabe untuk
masak harian sekitar 0,5 ons, sekarang sepuluh kali lipat lebih
banyak. Ditambah menggiling bumbu gulai, persiapan menu
buka puasa dalam menjamu tamu nantinya. Bayangkan, saya
Ruang Belajar Kedua
dapat menyelesaikan semua dengan hanya memakai peralatan
batu giling sederhana. Betapa hal itu membutuhkan waktu
yang cukup lama dan memerlukan tenaga ekstra.
Sembari saya menggiling cabe, Etek tidak hentinya 111
berbicara. Ia mengatakan akan ada banyak orang yang datang
melihat saya. Spontan, ini langsung membakar semangat saya.
Sebelum saya disunat, saya mesti menyelesaikan semua
pekerjaan tersebut. Hati siapa yang tidak senang jika
dipedulikan banyak orang. “Saya akan terlihat seperti seorang
raja,” saya membatin. Apalagi dengan membayangkan tamu-
tamu yang datang akan memberikan ucapan selamat sambil
menyerahkan hadiah. Tidak terbilang rasa suka cita hati ini.
Itu kejadian dan gambaran yang terbayang sebelum
sunat. Selesai disunat, tamu-tamu telah berdatangan. Saya
yang tengah terbaring di dalam kamar Papa, bersiap-siap
untuk menyambutnya, lengkap dengan pakaian terbaik yang
melekat di badan. Lama saya menunggu di dalam kamar.
Terdengar orang di luar juga telah selesai berbuka. Namun,
tidak seorang pun di antara mereka yang menyingkap pintu
kamar untuk menjenguk saya. Bahkan, menanyakan perihal
anak yang disunat pun tidak.
Selesai sholat tarwih berjamaah, tamu-tamu meminta
diri untuk segera pulang. Dan malam itu berlalu begitu saja.
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
Sejak awal kedatangan para tamu hingga mereka meminta
diri, tak ada satupun yang saya dengar menyinggung keadaan
saya, pun berbicara tentang saya.
Benar kata orang, janganlah terlampau berharap.
Tidak elok menaruh keinginan secara berlebihan. Harapan
yang tidak sesuai dengan kenyataan, akan berlabuh dengan
rasa kecewa. Ya, demikianlah perasaan yang saya alami. Sedih
bercampur kecewa. Apa yang telah saya harapkan, tidak
sepenuhnya terjadi. Jauh panggang dari api. Tanpa sengaja, air
mata saya tumpah. Membasahi pipi yang sedang menyeringai
menahan rasa sakit. Sakit akan obat bius yang mulai hilang.
112 Dan sakit akan rasa kecewa. Namun, hati yang terluka jauh
lebih sakit. Perihnya menusuk jantung. Dalam genangan air
mata, Etek masuk ke dalam kamar dan menyaksikan saya
tengah menangis. “Sakit bekas sunatannya ya?” tanya Etek
enteng. Saya menjawab hanya dengan sedikit anggukkan
kepala. Etek kemudian melangkah pergi.
Siapa pun pasti mengira, saya menangis karena luka
jahitan habis sunatan. Saat itu, saya tidak mengadu kepada
siapa-siapa. Sekalipun kepada Papa. Hanya saya dan Tuhan
yang tahu keadaan yang sebenarnya. Kendati saya
dihadapkan dengan realita yang menyakitkan, saya patut
mengambil hikmah dari segenap apa yang telah terjadi.
Ruang Belajar Kedua
Kesadaran saya timbul, agar lebih dewasa untuk memandang
hidup. Berhati lapang menerima sikap-sikap yang kurang
berkenan. Sejak saat itu, saya mulai menata hati dan perasaan.
Legowo untuk menerima segala kepahitan, tanpa berharap
banyak kepada orang-orang.
Di sela-sela menjalani masa pemulihan, saya juga 113
melakukan beberapa pekerjaan. Termasuk mencuci sendiri
kain-kain yang terkena darah bekas luka saya sendiri.
Sebagian pekerjaan rumah yang lain tetap dikerjakan. Seperti
memasak nasi, air dan pekerjaan ringan lainnya. Luka saya
sempat mengalami infeksi. Dan butuh waktu yang lebih lama
untuk pulih kembali.
Peristiwa ini tidak singgah begitu saja dalam benak
saya. Ini adalah suatu pengalaman yang sangat berharga.
Kenangan yang menyulut api semangat. Agaknya,
kebijaksanaan sikap bermula dari peristiwa ini. Kerasnya
hidup harus dihadapi dengan jiwa yang lapang.
Penanaman Karakter
Masa liburan telah usai. Saya juga telah sembuh seperti
sedia kala. Kesakitan yang terjadi biarlah menjadi perintang
hati agar lebih kokoh. Saya mesti perkasa dalam mengarungi
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
belantara kehidupan. Kaki saya mesti menapak kuat. Tidak
mudah tumbang apabila diterpa badai.
Saat itu, saya duduk di kelas VI SD. Saya naik kelas
dengan nilai terbaik, bersamaan dengan Cut Nila dan
Muchtar. Guru kelas kami masih sama. Pak Usman, kepala
sekolah yang pintar dan berwibawa. Saya kerap
direkomendasikan oleh Pak Usman untuk mewakili sekolah
pada iven-iven tertentu. Salah satunya adalah acara
perlombaan penulisan puisi. Pesertanya berasal dari seluruh
sekolah SD yang terdapat di kota Banda Aceh dan Aceh Besar.
Setiap peserta dibimbing untuk menulis puisi dan cerita. Dan
114 mengirimkan hasil tulisannya ke alamat tertentu via pos.
Kemudian editor akan menerbitkannya berupa majalah.
Seingat saya nama majalahnya Kridasana.
Saya mencoba membuat sajak dengan judul
“Sekolahku”. Sebagian besar isinya saya sudah lupa. Pada
penggalan syair puisinya yang saya ingat sebagai berikut:
Sekolahku-sekolahku, kau ku ingat selalu
Tempat kami menuntut ilmu
Guruku selalu membimbingku
Mendatangi kami dari bangku ke bangku…
..................
Puisi saya terpilih oleh dewan editor untuk naik cetak.
Nama pengarangnya tertulis “Zulfa Effendi, SD Lamnyong”.
Ruang Belajar Kedua
Semuanya turut bangga. Sementara sekolah saya terletak di
daerah perkampungan, jauh dari kota. Saya membawa nama
sekolah tertulis di dalam majalah. Harapannya, dengan
prestasi sederhana ini, sekolah saya lebih dikenal oleh
khalayak.
Karya puisi saya dapat menembus sistem penjurian 115
yang cukup ketat, tidak lain adalah berkat bimbingan Papa.
Biasanya, saya meminta kritik dan sarannya sebagai tahap
penyempurnaan. Papa boleh dikatakan seorang penyair juga.
Tulisan dan sajak-sajaknya cukup banyak berseliweran di
majalah Criterium, keluaran IAIN Sunankalijaga Yogyakarta.
Beliau sangat senang, tatkala saya memperlihatkan majalah
Kridasana yang di dalamnya ada puisi karangan saya.
Papa memberikan apresiasi luar biasa pada
kesempatan itu. Apalagi tulisan saya juga bersamaan dengan
siswa-siswa SD terbaik se-Kota Banda Aceh dan Kabupaten
Aceh Besar. Lain halnya dengan Etek. Bukannya ia tidak suka
atas apa yang telah saya raih, tetapi Etek mengingatkan agar
jangan terlalu berbangga hati dan senang bisa menulis sajak,
sehingga lalai dalam belajar. “Ingat! Jun sekarang sudah kelas
VI. Sebaiknya lebih fokus untuk persiapan ujian akhir saja,”
kata Etek menutup obrolan malam itu.
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
Benar kata Etek, mulai dari sekarang saya harus bisa
mengatur waktu. Antara belajar, bermain, mengasah bakat
dan membereskan pekerjaan rumah, mesti dikerjakan dengan
manejerial yang matang. Tidak hanya ketika tinggal di
Yogyakarta, sewaktu di Aceh, saya juga lebih banyak
berkegiatan dan membantu pekerjaan rumah. Adapun
rutinitas yang saya lakukan adalah: sebelum berangkat ke
sekolah, memasak air dan nasi. Sepulang sekolah, belanja
kebutuhan dapur ke pasar Lamnyong (kalau ada yang
kurang). Kemudian, ikut bantu-bantu memasak. Setelah
makan siang, mencari kayu bakar di hutan. Terkadang, jika
tidak ada kayu kering di hutan, maka saya harus memanjat
116 pohon kelapa untuk mengambil pelepahnya atau seludang
kelapa yang mudah dibakar.
Ini sebenarnya pekerjaan yang bukan tanpa resiko.
Pernah satu waktu, saat sedang asyik memotong pelepah
kelapa, tetiba menjalar lipan dan kalajengking di atas paha.
Barang sekian menit, saya mesti mematung, membiarkan
kalajengking tersebut menjauh pergi. Sedikit saja saya
bergerak, akibatnya bisa fatal, saya akan dijepit oleh kakinya
yang tajam. Parahnya, saya bisa jatuh dari pohon kelapa pada
ketinggian sekitar lima meter.
Ruang Belajar Kedua
Pekerjaan tersebut telah biasa saya lakukan. Tanpa
disuruh oleh Etek dan telah menjadi tanggungjawab sehari-
hari. Barangkali saya hanya menanyakan, apa bahan makanan
yang harus dibeli. Sekalian nanti saya singgah di pasar,
setelah pulang sekolah. Etek akan mencatat semua kebutuhan
yang akan dibeli. Sekaligus disiapkan tas, seperti sumpik
(anyaman) dari bambu. Tas tersebut saya tenteng ke sekolah.
Namun, tidak saya bawa masuk ke dalam kelas. Malu juga
jika ada teman-teman yang melihat. Terpaksa tas tersebut
saya simpan di bawah gorong-gorong sebelum masuk
halaman sekolah.
Pernah suatu ketika, Papa memeriksa barang-barang 117
yang telah saya beli. Dan kemudian menanyakan harganya
satu persatu. Sewaktu ia menanyakan botol yang berisi
minyak kelapa, Papa menoleh agak sedikit lama kepada saya.
Lantas tanpa ditanya saya menjawab harganya Rp 30.
Jawaban yang saya berikan membuat beliau terdiam, seraya
memperhatikan isi botol. Jelas, minyak kelapa hanya berisi ⅔
botol. Tentunya, harganya juga tidak sama dengan angka yang
saya sebutkan. Melihat gelagat Papa, hati saya berdesir hebat.
Jantung saya berdetak kencang, melawan rasa kekhawatiran.
Tak syak lagi, Papa mengetahui saya berdusta. Saya
terpaksa melakukannya. Sebenarnya, minyak yang saya beli
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
hanya berharga Rp 25. Sedangkan uang Rp 5 lagi telah habis
saya belikan jajanan di pasar. Karena kepepet dan takut
dimarahi, saya mengatakan harga minyak tersebut Rp 30.
Dengan kejadian ini, Papa sedikit pun tidak melontarkan
amarah. Ia hanya menginginkan saya menyampaikan sesuai
dengan harga yang sebenarnya. “Jujur itu suatu sikap yang
sangat mulia,” demikian Papa menutup pembicaraan.
Lain dari pada itu, meski pada bulan puasa, pekerjaan
rumah tetaplah dikerjakan. Sama seperti hari-hari biasanya.
Suatu hari, saya mencari kayu di saat matahari berada di
ubun-ubun kepala. Cuaca kala itu sangat terik dan begitu
118 menyengat. Saya tengah berada di atas pohon kelapa dan
bersiap-siap untuk memotong pelepah yang telah kering. Saat
itu, buah kelapa muda hanya berjarak sejengkal di atas
kepala. Dan timbul keinginan untuk menjatuhkannya juga.
Setibanya di bawah, dengan sigap saya mengupas buah kelapa
muda tersebut, dan langsung meminum airnya di tempat.
Satu masalah terselesaikan.
Namun, saya dihantui oleh perasaan bersalah. Saya
dengan sengaja meminum air kelapa muda, padahal saya
tengah berpuasa. Sungguh godaan buah kelapa, mampu
meruntuhkan pertahanan keimanan. Ingin rasanya nanti
setelah sampai di rumah, saya berlagak seperti orang yang
Ruang Belajar Kedua
berpuasa saja. Pura-pura lemah dan letih kehabisan tenaga.
Tetapi di tengah perjalanan, batin saya bergejolak. Seolah-
olah tidak menerima tindakan yang telah diperbuat.
Saya sangat menyesalinya. Ingat akan perkataan Papa, 119
“Bahwasanya Allah Maha Melihat apapun perbuatan
hambanya.” Meskipun, tidak ada seorang pun yang tahu, saya
telah dengan sengaja membatalkan puasa, tetapi Tuhan
melihat semuanya. “Bukankah saya menjalani ibadah puasa
ini, untuk menunaikan kewajiban saya sebagai makhluk
ciptaan-nya? Jikalau saya berkata jujur, pasti saya akan kena
marah. Namun, jika saya mendiamkannya, saya takut dosa.”
Begitu dialog yang terjadi dalam diri saya. Pergulatan batin
seorang anak kelas V yang akan naik kelas VI SD.
Semenjak peristiwa itu, saya mendapat pelajaran yang
luar biasa. Bahwa kejujuran adalah jenjang menuju
keberhasilan. Agaknya, hal itu jelas terlihat dalam diri Papa.
Beliau memiliki prinsip dan karakter kuat dalam mengayun
setiap langkah. Kebijaksanaan sikapnya begitu menggugah.
Saya dinasehati dengan nada bicara yang santun. Tuntunan
hidup yang diberikan, disampaikan dengan diksi yang arif.
Saya diminta untuk tidak mengulangi perbuatan ini lagi.
“Cukup ini untuk terakhir kalinya.” Relung jiwa saya seakan
memberi ketegasan.
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
Cerita-Cerita yang Menggugah
Nampaknya, semakin tinggi pepohonan, maka akan
semakin mudah angin merubuhkan. Saya cukup lumayan
menonjol di sekolah. Baik dari segi akademik atau pun
pergaulan. Keberadaan saya ada yang menyangka sebagai
sebuah ancaman. Mereka tidak ingin terhimpit gelombangnya
oleh saya. Pada suatu ketika ada seorang kakak kelas tanpa
tahu sebab, ia langsung memarahi saya. Ia melontarkan
amarah dengan nada yang keras. Berlagak sok jagoan. “Kah
Zulfa ya?” ungkapnya dengan mata terbelalak. Kah itu artinya
kamu. Saya tidak meladeninya.
120 Saya berhitung, kalau diajak berkelahi, saya pasti
kalah. Mengingat, badannya yang berukuran dua kali lebih
besar dari pada saya. Saya hanya diam tidak melakukan suatu
apapun. Beruntung, kawan-kawan yang melihat kejadian
tersebut langsung melindungi saya. Dan menanyakan inti
permasalahannya.
Belakangan, saya mengetahui dari teman lain bahwa
saya menjadi korban dari cemburu buta. Ia tidak senang akan
kedekatan saya dengan Cut Nila. Dan mengancam akan
memukul saya jika kami masih berdekatan. Nama kakak kelas
ini Tarmizi. Seantero sekolah, ia dikenal sebagai murid kelas
VI yang nakal. Tidak ada yang berani mencari masalah
Ruang Belajar Kedua
dengannya. Saya pun demikian. Saya tidak berani melawan.
Setiap kami bertemu, saya usahakan untuk menegurnya. Lucu
juga pikir saya. Kala itu saya belum sepenuhnya mengerti.
Manakala anak-anak seusia saya, tidak lebih dari sekedar
teman cinta-cintaan monyet belaka.
Puluhan tahun setelah kejadian itu, pada satu 121
kesempatan, memori saya ditarik kembali pada masa
tersebut. Pada tahun 1993, tatkala saya menjabat sebagai
Pimpinan Proyek P2T IKIP Padang, bersama Pak Sutjipto
selaku Pembantu Rektor 2, diundang untuk menghadiri
Rakor proyek P2T Perguruan Tinggi se-Indonesia. Rapat
Koordinasi tersebut diselenggarakan di Universitas Syiah
Kuala. Para tamu dijemput khusus oleh panitia dengan
menggunakan mobil dinas Unsyiah.
Di atas mobil saya ceritakan kepada Pak Tjipto, bahwa
saya pernah besar di Aceh, setelah pindah dari Yogyakarta.
Belum selesai saya bercerita, sang sopir langsung menimpali,
“Zulfa ya?, saya Tarmizi, kita satu SD dulu di Lamnyong,”
ujarnya berusaha meyakinkan. Saya terperangah. Sedikit
bungkam, antara percaya dan tidak. Kembali mengumpulkan
serpihan ingatan yang belum runut.
Kiranya, dunia berputar dalam pusaran yang relatif
sama dari waktu ke waktu. Kejadian akan berulang itu ke itu
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
saja. Hari itu, otak saya terinstal ulang dengan mengingat
memori lama. Dunia ini sempit. Siapa sangka, setelah
menempuh perjalanan panjang dengan kehidupan masing-
masing, saya dan Tarmizi dipertemukan oleh waktu.
Tentunya perkara Cut Nila dahulu, menjadi nostalgia
pengundang tawa. Saat itu saya merasa komunikasi kami
lebih cair dan akrab dengan cerita-cerita di masa silam.
Pertama-tama saya menanyakan kabar Pak Usman.
Guru kami yang paling populer dahulunya. Selain cerdas, ia
juga berperawakan sempurna. Kulit putih, hidung mancung,
tinggi seimbang, tidak kurus juga tidak gemuk serta murah
122 senyum. Siapa pun akan terkesima dengan ketampanannya.
Saya masih ingat, di saat peresmian SD Lamnyong sebagai SD
Percobaan/Latihan FKIP Unsyiah. Peran Pak Usman begitu
bagus.
Dikarenakan acara tersebut dihadiri langsung oleh
Menteri Pendidikan Syarief Thayeb, maka seluruh rangkaian
acara dibuat semeriah mungkin. Termasuk Pak Usman
didandani seperti pengantin dengan memakai pakaian adat
Aceh, didampingi oleh pengantin wanitanya. Satu gagah dan
yang satu lagi cantik, sungguh pasangan yang serasi. Rupanya
yang perempuan tersebut adalah mahasiswi FKIP Unsyiah
yang sedang menjalankan praktek mengajar di SD Lamnyong.
Ruang Belajar Kedua
Tarmizi bercerita sembari menarik nafas dalam. Ia
menjelaskan bahwa Pak Usman saat ini berada pada kondisi
memprihatinkan. Beliau tidak lagi menjadi seorang guru,
melainkan bekerja sebagai petugas kebersihan di Kampus
Darussalam. Lebih parah lagi Pak Usman ditinggal istrinya
dan menjalani hidup sebatang kara. Mendengar kisah
tersebut, mumpung sedang di Aceh, saya meminta kepada
Tarmizi untuk dipertemukan dengan Pak Usman. Tarmizi
langsung memberitahukan, bahwa acara yang saya hadiri
nanti malam, di sana Pak Usman juga bekerja sebagai petugas
kebersihan.
Pada malam hari sebelum acara dimulai, saya telah 123
berada di lokasi dan bertemu dengan Pak Usman. Benar, apa
yang disampaikan oleh Tarmizi, terkonfirmasi semuanya.
Pada pada waktu itu Pak Usman berumur sekitar 52 tahun.
Namun, ia terlihat lebih tua dari umurnya. Kelihatan sekali
wajahnya yang lelah. Saya langsung menyalami dan
memeluknya. Rasa hormat dan simpati saya tidak berkurang
sedikitpun.
“Beginilah keadaan dan nasib Bapak sekarang, Zulfa,”
ujarnya membuka cerita. Dengan setengah mengatupkan bibir
ia melanjutkan cerita. “Bapak menjadi tukang kebun dan
petugas kebersihan di kampus ini. Sudah lama berhenti jadi
ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku
guru. Masih ingatkah Zulfa pada waktu peresmian SD
Lamnyong jadi SD Percobaan dan diresmikan oleh Menteri
P&K Dr. Syarief Thayeb?”
Belum sempat saya menjawab, beliau kembali
berbicara. “Ketika itu Bapak berpakaian adat Aceh bersama
dengan seorang mahasiswi FKIP Unsyiah, layaknya
penganten baru. Itulah pangkal masalah, timbulnya keretakan
dalam rumah tangga atau karir Bapak di sekolah. Maka,
perceraian pun terjadi dan dihentikan menjadi guru.
Semenjak itu, Bapak bekerja tak menentu. Akhirnya bekerja
sebagai tukang bersih-bersih di kampus ini,” terangnya
124 dengan suara bergetar.
Batin saya turut merintih. Cerita tersebut langsung
keluar dari mulut Pak Usman. Kebenarannya tidak untuk
dipertanyakan lagi. Saya kira, Pak Usman adalah korban dari
sifat cemburu buta dari seorang istri yang tidak tentu arah.
Apalagi ditambah dengan anggapan yang beredar di tengah-
tengah masyarakat, acara itu seperti sebuah pesta
perkawinan. Hal yang dapat mengundang asumsi yang
bukan-bukan.
Kendati dihadapkan dengan jalan yang berliku, saya
melihat Pak Usman begitu tangguh. Ikhlas menerima segala
cobaan yang menghinggapinya. Pak Usman tidak henti-
Ruang Belajar Kedua
hentinya bercerita. Seolah-olah ia ingin menumpahkan semua 125
rasa di malam itu juga. Selain itu ia juga mengatakan, “Tadi
siang waktu bapak memotong rumput di depan rumah Pak
Ibrahim Husein (di samping rumah saya dahulu), Bapak ingat
Zulfa. Bapak langsung menanyakan kepada orang sekitar.
Saya punya murid dulu tinggal di sini, sekarang di mana dia
ya?”
Rupanya malam itu, pertanyaan Pak Usman terjawab
sudah. Saya berada di dekatnya. Berhadap-hadapan antara
seorang murid dengan gurunya. Tampaknya kontak batin
telah terjalin di antara kami berdua. Secara bersamaan saling
menanyakan. Saya menanyakan beliau ke Tarmizi sewaktu di
atas mobil, dan beliau menanyakan saya ke seseorang. Dalam
pada itu, pikiran saya dilempar jauh pada masa kanak-kanak.
Sewaktu sekolah di SD Lamnyong, masa yang memiliki ruang
tersendiri di sanubari saya.
***