The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by jcinstitute05, 2021-09-25 02:57:24

Ebook Dummy ZEU

Zulfa Eff Uliras

Dididik dengan Teknik

Alam Guru Kehidupan

Alam takambang jadi guru, suatu adagium bertuah yang 133
berasal dari suku Minangkabau, dan juga dikenal luas oleh
publik. Ungkapan ini merupakan suatu pernyataan yang
mengajak manusia agar selalu membaca. Membaca tidak
hanya berupa kalimat yang tersurat di atas kertas, melainkan
juga dapat mengartikan yang tersirat. Di tengah budaya yang
mengakar kuat itu, saya lahir menjadi manusia yang dituntut
menggunakan potensi akal secara maksimal. Common sense.
Berfikir kreatif untuk menelaah alam sebagai guru kehidupan.

Mendulang semua pengetahuan dari alam dan
lingkungan sekitar, menjadikan saya mampu mewujudkan
sesuatu. Sebuah benda, yang kemungkinan besar belum bisa
dibuat oleh seorang bocah kelas V SD, namun saya bisa
melakukannya. Ada kejadian yang sangat membekas bagi

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

saya. Saat itu kami baru pindah dari mes ke rumah dinas
tersendiri. Kebetulan, kamar saya berada di ruangan
belakang, lebih dekat ke dapur. Di dalam kamar itu tidak
terdapat dipan atau semacamnya. Saya tidur hanya di atas
sebuah papan triplek yang dialas dengan tikar pandan. Tanpa
kasur.

Rumah dinas yang baru selesai dibangun itu
menyisakan limbah kayu yang menumpuk. Melihat banyak
papan bekas, timbullah ide saya untuk memanfaatkan papan
tersebut untuk dijadikan tempat tidur. Sewaktu di Simabua,
saya pernah melihat Atuak Syamsuddin, adik Mak E
134 bertukang. Beliau begitu terlatih, dan tampak telaten dalam
menyelesaikan pekerjaannya.

Barangkali, dengan sering melihat pekerjaan Atuak
bertukang, muncul keberanian dalam diri saya untuk
mencoba pertukangan secara otodidak. Dengan peralatan
sederhana, seperti gergaji, palu yang dipinjam dari tetangga,
dan paku-paku bekas, terciptalah sebuah tempat tidur. Meski
hanya berbentuk sederhana, tapi ini adalah hasil tangan dan
buah pemikiran saya sendiri. Saya mengerjakan tempat tidur
tersebut, selesai dalam tempo tiga hari lamanya. Terlihat
kokoh jika ditiduri oleh tubuh mungil saya.

Dididik dengan Teknik

Walau Etek disiplin dan tegas dalam mendikte segala
tindak tanduk yang saya lakukan, kali ini Etek mengapresiasi
atas apa yang saya kerjakan. Spontan ia melayangkan
komentar: “Tampaknya Jun memiliki bakat jadi tukang,
sebaiknya masuk Sekolah Teknik (ST) saja tamat SD ini,”
katanya sambil lalu. Begitu cara Etek mencurahkan
perhatiannya kepada saya. Melalui hal yang tak terduga.

Kata-kata Etek tersebut akhirnya masuk ke alam 135
bawah sadar saya. Subconscious, semakin menguatkan saya
untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Teknik (ST)
setelah tamat SD nanti. Harapannya, ilmu teknik yang saya
tekuni, nantinya dapat memberikan saya pengetahuan
seputar ilmu pertukangan, membuka perusahaan, dan jikalau
postur tubuh mendukung, akan memudahkan saya untuk
bisa masuk AMN, Akademi Militer Nasional.

Sekilas, cerita masa depan yang dirajut bersama teman-
teman SD, seperti Muchtar dan Cut Nila, buyar. Saya tidak
melanjutkan ke SMP seperti yang pernah dibicarakan
bersama teman-teman lainnya. Ada cakrawala baru yang saya
temui dari semangat sekolah teknik ini. Sebuah pengharapan
yang perlahan muncul dari informasi lingkungan sekitar,
bahwa di sekolah teknik, siswa dididik untuk terampil dan
berdaya guna setelah tamat.

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Kerikil-Kerikil yang Membangun

Tarikh 1965, republik ini dijangkiti oleh perkara yang
amat pelik. Tragedi G 30 S/PKI. Nyatanya, peristiwa G 30 S
tersebut telah menjadi bagian dari sejarah yang mendalam.
Saya turut menjadi saksi perjalanan kelam bangsa ini dalam
menempuh situasi yang sangat rumit. Seperti negeri yang
runyam, dengan komplikasi permasalahan.

Pada waktu itu situasi keamanan, politik dan ekonomi
tidak menentu. PKI menjadi dedengkot, dalang dibalik
terjadinya situasi kalut itu. Sebagian besar anggota PKI dan
ormasnya ini kalau ditemukan, akan hilang malam, alias
136 dibunuh dan dibuang kelaut. Kala itu, orang-orang takut
makan ikan. Sebagian dari mereka menemukan bagian tubuh
manusia ditemukan dalam perut ikan. Saya pernah melihat
dengan mata kepala sendiri, salah seorang mahasiswa
Unsyiah, aktifis CGMI (Central Gerakan Mahasiswa
Indonesia), ditembaki layaknya binatang. Ia diduga, salah
satu anggota yang disebut onderbownya PKI. Orang yang
dicurigai sebagai anggota PKI dan ormasnya bisa saja hilang
tak tentu rimbanya. Entah kemana hendak dicari.

Bersamaan dengan itu, kami baru selesai mengikuti
ujian nasional. Pertanda selesainya masa belajar, menempuh
pendidikan tingkat SD. Di tengah kemelut itu, kami terpaksa

Dididik dengan Teknik

menunggu ijazah yang tidak kunjung dibagikan. Ini
merupakan akibat dari kacaunya pengelolaan administrasi
pendidikan. Saya mendaftar ke Sekolah Teknik (ST), hanya
dengan menggunakan Surat Keterangan Tanda Tamat Belajar
dari kepala sekolah dan dinas pendidikan DI Aceh.

Start to be an Engineer

Almanak masehi bertaut pada Desember 1965. Hiruk 137
pikuk persoalan kebangsaan semakin mengapung, dan
bahkan menjadi-jadi. Di tengah situasi sulit itu, saya mesti
melanjutkan pendidikan. Merampungkan cita-cita menjadi
seorang engineer. Istilah sederhananya, saya menamakan
dengan sekolah pertukangan. Dengan menaiki sebuah bus,
saya diantar oleh Papa untuk mendaftar di Sekolah Teknik
Negeri. Sekolah tersebut terletak di Kampung Peunayong
yang jaraknya sekitar 6 km dari Darussalam, rumah kami. Bus
hanya mengantarkan kami di persimpangan jalan. Terpaksa,
kami melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sejauh 1,5
km lagi, baru kemudian tiba di sekolah.

Tepat pada hari Senin tanggal 3 Januari 1966, ditandai
sebagai hari pertama saya menginjakkan kaki di sekolah.
Siswa Jurusan Bangunan Gedung. Sebuah jurusan yang telah
direncanakan sedari awal. Saya memulai pagi itu dengan
mengikuti upacara bendera. Kala itu yang bertindak sebagai

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

inspektur upacara adalah bapak kepala sekolah, Bapak
Oesman.

Bapak Oesman memimpin upacara dengan hikmatnya.
Sembari didahului dengan perkenalan wali kelas beserta
guru-guru yang hadir. Bapak Kep-Sek, memperkenalkan
masing-masing wali kelas per-jurusannya. Wali kelas jurusan
saya, Bangunan Gedung, bernama Syamsinar. Ia mengampu
mata pelajaran Bahasa Inggris. Galib ia dipanggil dengan
sebutan Bu Syam. Di antara guru-guru yang masih saya ingat
adalah Bapak Marzuki Wongso, mengajar pelajaran
Menggambar Proyeksi dan Praktek Kerja Kayu. Bapak
138 Abubakar Siddik mengajar Menggambar Teknik, dan Bapak
Gustia Purba guru Ilmu Ukur Ruang. Selain itu, saya tidak
ingat lagi.

Setelah upacara bendera selesai dilaksanakan, kami
kembali ke ruang kelas masing-masing, diiringi oleh wali
kelas. Pada pertemuan pertama itu, masing-masing dari kami
memperkenalkan diri. Beberapa di antara teman-teman yang
saya ingat adalah Syarwan Is, Effendi Jalil, Suparman, Ruslan,
Amran, Said Muchtar, Yansen Purba dan Ruslan Mansyur.
Total keseluruhan kami berjumlah 25 orang, yang semuanya
laki-laki. Jurusan kami yang sangat maskulin. Identik dengan
kaum lelaki. Rata-rata kawan-kawan ini tinggal di kota

Dididik dengan Teknik

Banda Aceh. Hanya beberapa orang yang dari luar kota,
seperti saya di Darussalam dan Ruslan di Olhe-lheu,
pelabuhan.

Ditunjuk sebagai ketua kelas kami waktu itu adalah 139
Ruslan dan saya sebagai wakilnya. Harus diakui, Ruslan
memang terlihat agak berbeda dari kami. Ia termasuk anak
yang sangat berani. Terlihat dari perawakannya yang berlagak
seperti preman. Dari segi penampilan, ia juga terlihat berbeda.
Baju yang dipakainya sama sekali tidak ada yang lusuh.
Seperti tampilan anak orang berada. Bagus-bagus semuanya.
Ini semakin menjadikannya memukau di hadapan teman-
teman yang lain.

Rupanya, Ruslan bukanlah seperti seorang anak yang
disangkakan. Ia hanya berasal dari keluarga sederhana.
Namun, di sela-sela aktivitasnya sebagai siswa sekolah, ia
juga sering berjualan barang selundupan dari pulau Sabang.
Saat itu Sabang merupakan pelabuhan bebas, di mana kapal
dari luar negeri beserta barang-barang bebas masuk kesini.
Ruslan menjalankan fungsi sebagai jengek atau penyelundup
barang-barang ilegal dan kemudian dijualnya kembali di
Banda Aceh.

Sempat ada beberapa orang teman lain yang diajak
untuk membantunya dalam pekerjaan ini. Mereka sering

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

bolos dan tidak masuk kelas. Pernah suatu ketika, Pak
Marzuki Wongso terlambat datang. Telah menjadi kebiasaan,
apabila ada guru yang telat, maka murid-murid akan cabut,
bolos sekolah. Saat itu mereka cabut atas komando ketua
kelas, Ruslan. Saya tidak ikut cabut bersamaan dengan
teman-teman yang lain. Mengingat, saat itu jam baru
menunjukkan pukul 10.00. Saya tinggal sendiri di ruangan
kelas. Sementara, kawan-kawan telah berlalu pulang. Bus
yang saya tumpangi menuju rumah baru ada pukul 13.00.

Sembari menunggu-nunggu waktu kedatangan mobil
yang akan saya tumpangi untuk pulang, tiba-tiba, Pak
140 Marzuki Wongso datang. Kurang lebih 15 menit setelah
teman-teman berhamburan pergi. Ia menanyakan kepada saya
kemana yang lain?. Saya jawab mereka sudah pulang, karena
dikiranya bapak tidak datang. Jawaban saya, menyulut
emosinya. “Kamu selaku wakil ketua kelas punya tanggung
jawab, karena membiarkan kawan kamu pulang,” tuturnya
geram.

Akibatnya saya mendapat hukuman. Menanggung
resiko, ulah dari teman-teman. Saya dihukum dengan berdiri
di lapangan, disertai mengangkat kaki sebelah, sambil hormat
ke bendera. Cuaca saat itu lumayan terik, karena waktu telah
hampir siang. Beruntung, karena saya telah terbiasa dengan

Dididik dengan Teknik

berpanas-panas sewaktu mencari kayu, hukuman tersebut
bukanlah hal yang sulit. Saya menjalankannya, sebagai
pelajaran untuk diajar supaya lebih bertanggung jawab.

Keesokan harinya, saya menceritakan kejadian ini
kepada kawan-kawan. Reaksinya bermacam-macam. Ada
yang prihatin, merasa bersalah, bahkan ada yang
menyalahkan saya karena tidak kompak untuk cabut
bersama-sama. Memang, sebagian anak teknik dikenal
sebagai murid yang nakal. Murid-murid yang nakal ini,
seperti Ruslan dan beberapa teman yang lain, tidak jadi tamat
dan mereka menghilang dari peredaran.

Di waktu berbeda, saya juga pernah mendapati kasus 141
lain dengan Pak Marzuki Wongso. Ketika itu, kami tengah
belajar praktek mengetam kayu dan menyambung papan
dengan menggunakan paku. Di mana paku tersebut harus
menancap tepat sasaran. Untuk memudahkan pekerjaan,
kami dibantu dengan sebuah alat yang dinamakan drip.
Setelah kami selesai praktek, drip tersebut tidak lagi
ditemukan. Menghilang. Saya selaku ketua kelas, diminta
untuk bertanggungjawab atas kehilangan ini. Saya disuruh
untuk membuat surat pernyataan akan berusaha mencarinya
kembali, jika tidak juga bertemu, saya harus bersedia untuk
menggantinya.

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Bagi para murid, Pak Marzuki Wongso terkenal
sebagai guru paling killer di sekolah. “Kejam”. Barangkali saya
juga sependapat. Atas kejadian tersebut, saya baru
diperbolehkannya untuk pulang pada pukul 17.30 sore.
Dengan langkah seribu, saya berjalan dengan terburu-buru,
menuju Simpang Lima. Setibanya di sana, saya tidak
menemukan mobil yang saya tuju. Karena kendaraan satu-
satunya dengan rute Darussalam hanyalah bus kampus. Apa
yang saya cemaskan, ternyata terjadi juga. Maka, dengan
sangat terpaksa saya harus jalan kaki menempuh jarak 6 km,
agar bisa sampai di rumah.

142 Saya menyusuri jalan seorang diri. Di tengah jalan
suasana kelam temaram. Perasaan cemas, takut bercampur
sedih, menari-nari dihati. Betapa tidak, kondisi jalan pada
saat itu memang begitu sunyi. Apalagi setelah tiba di
Lampineung, nyaris tidak ada pencahayaan sedikitpun. Di
situasi kelam pekat tersebut, ada pesawangan yang disebut
paling mengerikan. Dari Lingke menuju Lamnyong. Selain
gelap, daerah ini juga dipenuhi dengan tambak-tambak ikan
yang mengeluarkan bau tak sedap, anyir. Ditambah dengan
mitos, adanya pembantaian PKI yang kemudian mereka
menjadi hantu. Semakin membuat bulu kuduk berdiri.

Dididik dengan Teknik

Setelah menempuh perjalanan yang memicu adrenalin,
saya sedikit lega. Mengingat, saya telah tiba di Pasar
Lamnyong. Dari kejauhan Kopelma Darussalam telah terang
oleh pencahayaan listrik. Saya tiba di rumah pukul 20.30
WIB. Papa dan Etek, juga tidak kalah cemasnya menunggu
kepulangan saya. Tidak biasanya, saya pulang sekolah selarut
ini. Lantas, saya menceritakan peristiwa yang terjadi. Lalu,
Papa dan Etek memakluminya dan meminta saya untuk
mengambil pelajaran atas apa yang telah dialami. Saya
menutup malam itu dengan raga dan perasaan yang letih.

Dua hari setelah kejadian, saya dipanggil oleh Pak 143
Marzuki Wongso untuk datang ke rumahnya. Beliau
menyampaikan bahwa drip yang hilang itu sudah ditemukan.
“Kamu tidak usah memikirkannya lagi,” kata Pak Marzuki
Wongso dengan senyum mengembang di pipi. Saya lega. Saya
tidak harus memutar otak, hendak kemana mencari uang
mengganti drip yang hilang. Tentunya, harganya jauh lebih
besar dari uang saku saya sehari-hari. Kemudian, Pak
Wongso dengan ramah menanyakan di mana saya tinggal,
dan dari mana asal-muasal. Saya ceritakan semuanya dengan
detail. Bagaimana kondisi dan latar belakang kehidupan saya.
Pak Marzuki Wongso terkesima mendengar kisah yang saya
alami.

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Semenjak pertemuan itu, kami semakin bertambah
akrab. Jika belum terlalu kenal, Pak Marzuki Wongso
tampak seorang guru yang galak. Setelah pertemuan di rumah
beliau tempo hari, saya melihat Pak Marzuki Wongso tidak
sekejam yang dibayangkan teman-teman. Ia juga
memperkenalkan saya dengan adik sepupunya yang bernama
Hermansyah. Ia sepantaran dengan saya, sama-sama kelas 1
ST, tetapi di jurusan Mesin. Hubungan kami terus berlanjut.
Ketika Pak Marzuki mendapatkan pesanan untuk membuat
membuat kursi, meja, lemari, mengetam dan memotong kayu
dengan menggunakan mesin, saya kerap diajaknya. Biasanya,
kami bekerja bertiga. Pak Wongso, saya dan adiknya
144 Hermansyah.

Saya meraup ilmu Pak Marzuki, langsung dari orang
yang telah pakar dalam ranah perkayuan. Saya merasa, telah
memiliki keterampilan yang semakin baik, karena sering
diasah, sembari bekerja di tempat Pak Marzuki. Jika di
sekolah mendapatkan teori dan belajar praktek di bengkel
sederhana, maka di rumah Pak Marzuki saya memperhalus
kerja dengan professional. Hal demikian mendorong
semangat saya untuk kelak setelah tamat ST atau pun STM,
dapat membuka usaha perabot sendiri. Di samping, saya juga
tidak mau selamanya untuk menengadahkan tangan pada

Dididik dengan Teknik

Papa. Saya harus segera membalas kebaikan Papa dan Etek
yang telah ikhlas merawat saya seperti anak kandung sendiri.

Pekerjaan yang saya lakukan, sama sekali tidak 145
mengganggu pendidikan saya. Kami bekerja selepas pulang
sekolah. Papa dan Etek, tidak terlalu banyak komentar atas
apa yang saya lakukan, selagi itu tidak membuat saya lalai
dalam melakukan pekerjaan rumah. Biasanya saya pulang
setelah selesai bekerja. Kira-kira pukul lima sore. Dengan
menaiki sepeda, Hermansyah selalu mengantarkan saya ke
Simpang Lima, agar saya tidak ketinggalan bus. Pak Marzuki
tidak pernah memberikan imbalan atas jerih payah saya
berupa uang. Baginya, tidak elok terlalu dini
memperkenalkan uang kepada anak-anak seusia saya. Ia
menggantinya dengan membelikan saya pakaian dan barang-
barang kebutuhan sekolah.

Setelah sekian lama bekerja, saya semakin terampil.
Setiap hari saya diasah untuk menjadi profesional. Oleh
karena itu, saya berhasil membuat sebuah tempat tidur, rak
buku, serta pajangan bunga dan foto. Hasilnya, tampak
seperti barang produksi toko perabot yang dibuat oleh tangan
terlatih. Maka, barang-barang tersebut saya bawa pulang dan
dipajang di ruang tamu. Papa dan Etek ikut senang. Melihat
saya dapat membuahkan karya dengan cukup baik.

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Kendati saya disibukkan dengan berbagai kegiatan,
namun pekerjaan rutin di rumah tetap berjalan, di samping
saya juga bergiat pada beberapa organisasi. Di antaranya,
bersama pemuda-pemuda komplek Darussalam, saya ikut
kegiatan latihan bela diri Jiu Jitsu. Dengan gurunya Bapak
Ucu Alibasyah, Dosen FKIP Unsyiah. Adapun kawan-kawan
yang saya ingat sampai sekarang antara lain; Rismawan
Ismuha (Irjen. Pol. pernah Kapolda Aceh tahun 2007-2009),
Imran Usman, Mahdi Sulaiman, Rusydi Ali Muhammad
(Rektor IAIN Ar-Raniry Banda Aceh 2001-2005), Muzakir,
Muhammad Ibrahim, Nurcahyo, dan Syamsulbahri.

146 Selain itu, saya juga aktif di Pelajar Islam Indonesia
(PII) Cabang Kopelma Darussalam. Saya sempat mengikuti
Latihan Dasar Kepemimpinan Dasar/Bastra (Basic Traning)
pada organisasi tersebut. Berkat pengalaman yang saya
peroleh dari organisasi-organisasi di atas, membuat saya juga
memegang peran penting di sekolah, dengan menjadi
sekretaris umum dalam organisasi Ikatan Warga Siswa
(IWS) yang sekarang dikenal dengan nama OSIS.

Kilas Balik Sejarah Organisasi Pergerakan

Berguru kepada pengalaman dan melihat pada yang
sudah-sudah. Gerakan perjuangan itu berawal dari gerakan
mahasiswa di kampus. Stereotype ini barangkali telah sahih

Dididik dengan Teknik

yang kebenarannya sulit dipungkiri. Semenjak kemerdekaan
telah di tangan, organisasi-organisasi mahasiswa dan pelajar
kian bermunculan. Pada tahun 1947, diadakan kongres
mahasiswa untuk pertama pertama kali, yang bertempat di
Malang. Maka, hasil kongres tersebut terbentuklah PPMI
(Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia).

Indonesia tengah berbenah dalam menerapkan sistem 147
pemerintahan yang dapat menyejahterahkan seluruh rakyat.
Pada era 1950-1959, pemerintah mempraktikkan Demokrasi
Liberal. Seiring dengan itu, juga diterapkan sistem kepartaian
yang majemuk. Maka, di kalangan organisasi mahasiswa,
sebagian besar beraliansi dengan partai sesuai dengan
ideologinya. Sebut misalnya, GMKI (Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia) berafiliasi dengan Partai Kristen; PMKRI
(Persatuan Mahasiswa Katholik Indonesia) berafiliasi
dengan Partai Katholik; dan GMNI (Gerakan Mahasiswa
Nasional Indonesia) memiliki afiliasi dengan PNI (Partai
Nasional Indonesia).

Dikenal dengan istilah underbow, CGMI (Consentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia) menginduk dengan PKI
(Partai Komunis Indonesia); PMII (Pergerakan Mahasiswa
Islam Indonesia) afiliasi dengan Partai Nahdhatul Ulama;
HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) yang dekat dengan Partai

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Masyumi; juga IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)
yang berafiliasi dengan Organisasi Perserikatan
Muhammadiyah.

Pada Pemilu pertama tahun 1955, PKI muncul sebagai
tiga besar pemenang pemilu. Hal ini semakin membuat CGMI
sebagai underbow PKI, merasa di atas angin. Dan semakin
berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi
mahasiswa lainnya. Bahkan, organisasi ini semakin berani
bergerilya untuk mempengaruhi PPMI. Maka, perseteruan
antara HMI dan organisasi yang berbasis Islam lainnya, juga
tidak bisa dielakkan. Terutama dipicu oleh banyaknya
148 jabatan kepengurusan PPMI yang diduduki oleh CGMI dan
GMNI, setelah Kongres V pada tahun 1961.

Di samping, organisasi tingkat mahasiswa menuai
dinamika yang kompleks, di tingkat pelajar juga terbentuk
pula organisasi. Seperti, PPK (Perhimpunan Pelajar Kristen);
IPNU (Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama); IPM (Ikatan Pelajar
Muhammadiyah); PPI (Persatuan Pelajar Indonesia) yang
berafiliasi dengan PKI; PII (Pelajar Islam Indonesia) dan lain-
lain.

Seperti yang juga pernah disinggung sebelumnya,
dampak dari adanya peristiwa G30S PKI pada tanggal 30
September 1965 tersebut, timbul pergolakan secara besar-

Dididik dengan Teknik

besaran. Terutama gerakan para pemuda, pelajar dan
mahasiswa untuk mengganyang dan menumpas PKI. Dimulai
dengan aksi demonstrasi akbar yang berpusat di Jakarta,
dibawah komando KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia)
dan kesatuan-kesatuan aksi lainnya.

Terbentuknya KAMI merupakan hasil kesepakatan 149
sejumlah organisasi kemahasiswaan. Di antaranya, HMI,
PMKRI, PMII, GMKI (keagamaan), Sekber Organisasi
Mahasiswa Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila
(Mapancas) yang berbeda aliran dan ideologi dengan CGMI
yang “komunis” dan GMNI yang terkesan “nasionalis kiri”.
Pertemuan tersebut dilaksanakan pada 25 Oktober 1965.
Tentunya, ini dapat terinisiasi dengan baik, berkat usaha
Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Dr.
Syarief Thayeb.

Tujuan didirikannya organisasi KAMI adalah untuk
menciptkan sebuah wadah bagi aktifis mahasiswa, agar
ketika dalam menjalankan aksi, terutama perlawanan
terhadap PKI, menjadi lebih terkoordinasi. Pada saat itu
muncullah tokoh-tokoh mahasiswa, motor penggerak
perjuangan. Muncul nama seperti Akbar Tanjung, Fahmi

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Idris, Cosmas Batubara, Sofyan Wanandi, Mar’ie Muhammad
dan banyak lainnya.

Berdirinya KAMI, dengan ruang lingkup cukup besar
dalam menghimpun beberapa organisasi lain. Diikuti oleh
berbagai kesatuan aksi lainnya, seperti KAPI (Kesatuan Aksi
Pelajar Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar
Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia) dan lain-
lain. Namun dari beberapa kesatuan aksi yang paling
menonjol dan terkordinir penyebarannya sampai ke daerah-
daerah adalah KAMI dan KAPPI.

Sama halnya dengan KAMI, yang diinisiasi oleh
150 kelompok mahasiswa Islam, maka KAPPI juga didirikan atas

atas prakarsa organisasi pelajar dan pemuda yang beraliran
agama juga. Seperti PII (Pelajar Islam Indonesia); IPM (Ikatan
Pelajar Muhammadiyah); IPPNU (Ikatan Pemuda dan Pelajar
Nahdhatul Ulama) dan lain-lain. Karena digerakkan dan
dimulai pada tahun 1966, maka lahirlah istilah “Angkatan 66”
bagi penggerak perjuangan ini. Angkatan 66 ini memiliki
peranan dalam mendirikan Orde Baru, dibawah kekuasaan
Soeharto dan menumbangkan Orde Lama dibawah rezim
Soekarno.

Gerakan Angkatan 66 ini berhasil membangun
kepercayaan rakyat untuk mendukung aksinya guna

Dididik dengan Teknik

menentang kaum komunis yang didalangi oleh PKI dan
antek-anteknya. Gerakan ini dimulai dengan aksi
demonstrasi yang dimotori dan disponsori oleh KAMI dan
KAPPI dan diikuti hampir sebagian besar masyarakat ibukota
pada waktu itu.

Tuntutan pembubaran PKI semakin keras dari seluruh 151
eksponen masyarakat. Namun pemerintah yang masih
dikuasai oleh Soekarno pada waktu itu belum mengambil
tindakan. Ditambah dengan keadaan ekonomi dan politik
yang sudah semakin bobrok. Maka dari itu, pada tanggal 12
Januari 1966, ribuan masyarakat turun ke jalan dibawah
komando KAMI dan KAPPI. Mereka tergabung dalam Front
Pancasila mendatangi DPR-GR menuntut 3 (tiga) tuntutan
yang dikenal dengan Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). 1).
Bubarkan PKI dan Ormas-ormasnya; 2). Rombak Kabinet
Dwikora; 3). Turunkan Harga.

Tuntutan ini tidak digubris oleh pemerintah.
Akibatnya terjadi lagi demonstrasi besar-besaran pada
tanggal 24 Februari 1966. Pemerintah dinilai represif dengan
mengerahkan Cakrawibawa (pasukan khusus Pengawal
Presiden) sehingga tertembaknya Arief Rahman Hakim
(mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Zubaedah (pelajar anggota PII/KAPPI Jakarta). Dari

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

serentetan gaduh yang terjadi, tanggal 25 Januari 1966 KAMI
dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Namun ini tidak
mengurangi gerakan-gerakan mahasiswa dan masyarakat
untuk melanjutkan tuntutan Tritura.

Kegiatan demonstrasi semakin kuat bahkan sudah
mulai menjalar keluar Jakarta. Akhirnya keluarlah Surat
Perintah 11 Maret 1966 yang dikenal dengan Supersemar.
Intinya Presiden Soekarno memerintahkan Mayor Jenderal
Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat untuk mengambil
tindakan untuk pemulihan keamanan dan ketertiban.

Saya berada di bagian penting dalam organisasi
152 pergerakan ini. Dari ujung Sumatera, saya menggabungkan

diri dengan gerakan yang diletuskan di Jakarta. Saya tercatat
sebagai anggota Lasykar Ampera Iskandar Abdul Jalil Banda
Aceh sekaligus merangkap Sekretaris KAPPI Rayon ST
Negeri Banda Aceh. Beberapa kegiatan yang kerap kami
lakukan adalah mencari para simpatisan PKI yang berasal dari
PNI Marhaen, untuk diinterogasi di Kantor KAPPI di Jalan
Diponegoro Banda Aceh. Abdul Jalil sebagai salah seorang
Lasykar Ampera Iskandar yang berasal dari STMN Banda
Aceh, berhasil menginterogasi Wakil Ketua PNI Marhaen
Cabang Banda Aceh, yang dibawanya langsung ke kantor
KAPPI.

Dididik dengan Teknik

Saya menyaksikan adegan itu. Bagaimana anggota
lasykar Abdul Jalil mengancam dan bahkan menusukan pisau
belati. Namun, tidak juga membuat ia terluka. Konon, Wakil
Ketua PNI Marhaen ini, memiliki kepandaian debus dan bela
diri. Seiring berjalannya waktu, kejadian tersebut seolah-olah
menghilang ditelan bumi. Wakil Ketua PNI Marhaen tersebut
tidak tau lagi nasibnya, apakah dihabisi atau dilepas saya
tidak tahu lagi, karena itu termasuk rahasia organisasi.

Terkait dengan nama lasykar kesatuan, Iskandar 153
Abdul Jalil, diambil dari nama seorang siswa SMA yang gugur
pada demonstrasi besar-besaran pada bulan Oktober 1966 di
kota Lhoksemawe, Aceh Utara. Di era perjuangan tahun 1966,
gerakan yang diinisiasi oleh pelajar dan mahasiswa menuai
cukup banyak korban. Adapun mahasiwa dan pelajar yang
gugur tersebut disebut sebagai Pahlawan Ampera, Amanat
Penderitaan Rakyat.

Beberapa di antaranya, Hasanuddin Madjedi
(Mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin,
bulan Februari 1966), Muhd. Syarif Al Kadri (Mahasiswa
UNHAS bulan Februari 1966), Aris Munandar (pelajar SMP
Muhammadiyah Yogyakarta), Margono (pelajar SPG
Muhammadiyah Yogyakarta) bulan Maret 1966, Yulius
Usman (Mahasiswa Unpad Bandung bulan Agustus 1966),

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Ahmad Karim (pelajar STM Bukittinggi, Desember 1966),
Iskandar Abdul Jalil (pelajar SMA Lhokseumawe, Oktober
1966). Pada umumnya tiap-tiap daerah baik KAMI maupun
KAPPI membentuk Lasykar Ampera dengan memakai nama
pahlawan Ampera pada daerah masing-masing.

Keikutsertaan saya dalam dunia pergerakan ini,
membuat saya tumbuh menjadi anak yang tangguh. Terlibat
dalam berbagai kejadian memilukan, memprihatinkan,
bahkan lebih tragis dan mengenaskan, mau tidak mau,
membentuk diri saya lebih berani. Tidak mudah takut dan
bermental kuat, menghitung setiap langkah yang akan
154 diambil.

Satu waktu di September 1967, Panglima Daerah
Militer (Pangdam) Bukit Barisan Brigjen Sarwo Edhi
Wibowo, berkunjung ke Banda Aceh. Ia merupakan tokoh
yang dielu-elukan oleh masyarakat pada saat itu. Mengingat,
keberhasilannya dalam operasi melumpuhkan
Pemberontakan G30S PKI. Sementara, yang menyambut
kedatangan dan mendampingi beliau adalah Anggota KAMI
dan KAPPI beserta Lasykar Ampera Iskandar Abdul Jalil
berpakaian lengkap, dengan baret merah seperti baretnya
pasukan RPKAD. Agenda pertemuan membahas terkait
dengan pengenyahan dan mengikis habis PKI dan antek-

Dididik dengan Teknik

anteknya. Sudah terlalu banyak korban yang berjatuhan.
Ajaran komunis sangat bertentangan dengan pancasila dan
ajaran agama Islam. Dan perilaku orang-orangnya sangat keji
dan kejam.

Bapak Sarwo Edhi Wibowo sangat kagum dengan 155
perjuangan tokoh-tokoh Islam yang berani melawan
ketidakadilan dan sangat anti komunis. Beliau juga
mengatakan kedekatan beliau secara sebagai umat Islam dan
kedekatan Angkatan Darat dengan Islam. Ketika pertemuan
dengan Daud Beureueh, salah seorang tokoh Islam Aceh,
mengatakan bahwa pemberontakan DII/TII itu terjadi tidak
dengan tiba-tiba.

Sebelumnya telah ada upaya untuk mengingatkan
Presiden Soekarno beberapa hal, yaitu; 1) Jangan gabungkan
Aceh dengan Sumatera Utara. Aceh merupakan sebuah
daerah yang menganut agama Islam dan adat kental. Atau
dikenal dengan istilah Adat bak po teumerhum hukom bak Syiah
Kuala, yang artinya adat berpegang kepada norma yang telah
berakar di masyarakat, namun ketentuan hukum tetap
berpedoman kepada agama Islam. 2) Pemerintah pusat jangan
dekat dengan Komunis (PKI). Hal ini ditandai pada 1950-an
Soekarno semakin mesra dengan kelompok Komunis
(padahal tahun 1948 PKI melakukan pemberontakan),

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

sehingga PKI semakin dapat angin. Maka, pada Pemilu 1955
PKI dapat 4 besar bersama dengan PNI, Masyumi, NU, dan
PKI.

Sarwo Edhie Wibowo begitu menghormati Ayahanda
Daud Beureueh. Ayahanda Daud Beureueh sangat sederhana
sekali dalam kehidupannya, orangnya berwibawa dan tegas.
Pada waktu kami bertemu dengan beliau telah berumur 68
tahun (kelahiran 1899) namun beliau masih gagah, tegas dan
lugas dalam berbicara dan tegap dalam berjalan. Sebelum
peristiwa DI/TII beliau menjabat sebagai Gubernur Militer
Aceh dari tahun 1947 - 1949 untuk wilayah Aceh, Langkat dan
156 Tanah Karo. Tidak lama setelah kunjungan Brigjen Sarwo
Edhie Wibowo menemui Daud Beureueh, beredar kabar
bahwasanya beliau ditarik lagi ke Jakarta dan dipindahkan
jadi Pangdam XVII/Cenderawasih di Irian Barat.

Kegiatan organisasi yang saya ikuti, terutama di
KAPPI, menyita perhatian orang lain. Terutama oleh guru-
guru di sekolah. Sebagian dari guru-guru tersebut ada yang
merasa senang dan ikut mendukung, namun ada juga yang
merasa berlawanan dengan ideologinya. Lain dari pada itu,
Bapak Abubakar Siddik, guru saya di ST, sangat antusias atas
keterlibatan saya dalam organisasi. Beliau ini sebenarnya
orang Bukittinggi, tetapi lahir dan menetap di Aceh. Ia biasa

Dididik dengan Teknik

dipanggil Pak Abu. Dikenal sebagai seorang guru yang sangat
ramah dan baik hati. Selain mengajar, ia juga populer dengan
olahragawan Aceh yang sering mengikuti pertandingan
tingkat nasional, cabang olahraga Anggar. Saya termasuk
murid yang sering diajak kerumahnya. Dan pernah diberikan
cat air untuk menggambar.

Di sela-sela pembicaraan kami, ia kerap menanyakan 157
kegiatan saya di KAPPI. Dan turut menasehati agar lebih
memprioritaskan pendidikan dan belajar. “Zulfa harus tetap
jadi juara di kelas, lihat banyak orang yang aktif berorganisasi
tetapi gagal dalam akademik,” jelasnya. Ia mencontohkan
seperti Rahmat, yang sempat menjadi Ketua KAPPI Rayon
ST, merangkap ketua OSIS. Kesibukannya dalam mengurus
organisasi, menyita waktu belajar seutuhnya. Ia menjadi
jarang masuk kelas dan nilai rapornya menurun drastis.
Walhasil, Rahmat tidak dapat melanjutkan pendidikannya,
dan entah kemana sesudah itu.
***































Manusia Pembelajar

Kembali Pulang

Mematut apa yang telah ditanam, sekiranya, saya telah 173
memulai untuk menempuh pilihan hidup yang seperti apa di
kemudian hari. Semenjak saya duduk di bangku ST, saya telah
menampakkan bakat di bidang teknik. Saya tidak dihadapkan
untuk menempuh jalur yang berbeda, selain memilih sekolah
teknik. Ya, pada tahun 1968, saya sepenuhnya
mengaktualisasikan diri, dengan resmi tercatat sebagai
seorang siswa STM Negeri Peunayong Banda Aceh. Pak
Anwar Bustam adalah kepala sekolahnya. Beliau Urang awak
yang berasal dari Bonjol.

Saya kembali mendapat kepercayaan untuk “ditinggikan
sarantiang dan didahulukan salangkah”. Setelah mengikuti jalur
pemilihan yang cukup alot, saya berhasil mendapatkan suara
terbanyak dan didapuk sebagai ketua OSIS, yang dahulu

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

dikenal sebagai Ikatan Warga Siswa STM. Menjadi ketua
OSIS ini, tentunya tidak bim salabim mengilhami diri saya, juga
seiring dengan tempaan-tempaan pada organisasi lain yang
pernah saya ikuti sebelumnya. Di antaranya, Pelajar Islam
Indonesia (PII), Kesatuan Aksi Pemuda Indonesia (KAPI),
dan organisasi lainnya. Cikal bakal kepemimpinan yang telah
menjadi ruh dalam perilaku dan sikap saya.

Lazimnya, kegiatan-kegiatan yang saya jalani dalam
sebuah organisasi, menuntut untuk lebih berani mengambil
tanggungjawab, berbicara di depan umum, dan segala hal
yang memaksa diri untuk berkembang. Sekiranya, dengan
174 bekal tersebut, tidak menjadikan saya gamang dalam
mengemban amanah yang ditujukan.

Pernah sewaktu menjabat sebagai ketua OSIS, kami
pernah mengadakan acara ulang tahun sekolah. Acara
tersebut dilaksanakan tanpa adanya persetujuan dari Bapak
Anwar Bustam, selaku kepala sekolah. Mengingat, beliau
memiliki karakter yang sangat agamais. Beliau menentang
adanya segala perayaan yang dimaksudkan tidak sesuai
dengan tuntunan agama Islam.

Inilah kali pertama, sekolah kami mengadakan
peringatan ulang tahun. Di saat saya sebagai ketua OSIS.
“Untung dia anaknya Pak Soufyan Ras, kalau tidak, ada

Manusia Pembelajar

kemungkinan Zulfa akan saya keluarkan dari sekolah,”
ungkapnya kepada Papa, yang kebetulan sama-sama aktifis
Muhammadiyah.

Rupanya, jalan hidup saya ditakdirkan untuk selalu 175
berkelana. Belum sempat menyelesaikan STM di Aceh, saat
kelas tiga STM baru berjalan dua bulan, Papa mendapat surat
panggilan untuk pindah ke Padang. Pada tahun 1971, ditandai
awal mula berdirinya IAIN Imam Bonjol Padang, yang
dahulunya terletak di jalan Sudirman. Di kampus inilah Papa
mengajar. Panggilan tugas tersebut, terpaksa membuat kami
bertolak ke Padang. “Bisa lebih dekat ke kampung, Simabua,”
gumam saya.

Kembali menjejakkan kaki di Padang, kami tidak
langsung pulang kampung. Selama seminggu kami menginap
di Hotel Sriwijaya di daerah Sawahan. Papa belum punya
tempat tinggal. Papa baru mendapatkan rumah sewa yang
layak setelah mendapatkan informasi dari seorang guru Etek
di Tarandam. Kami menghuni rumah guru Etek yang
disewakan berikut paviliunnya.

Di rumah sewa itu, Suardi, adik saya dari kampung
bertamu. “Da Jun,” sapanya haru. Kami berpelukan melepas
rindu. Ia sudah tidak mengenal saya saat itu. Sesaat kikuk,
setelah itu tawa lepas mengisi ruangan mungil tempat kami

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

bercengkrama. Sesama yatim yang berjuang untuk hidup dan
kehidupannya.

Saya melanjutkan sekolah di STM Simpang Haru,
sebagai satu-satunya STM yang terdapat di Kota Padang pada
masa itu. Adapun orang yang pertama kali saya kenal di
sekolah adalah An Arizal. Ia merupakan orang nomor satu
yang berkawan dengan saya. Dan kemudian kami menjadi
sahabat dekat. Hingga kami berdua, sama-sama mengabdikan
diri sebagai dosen di IKIP Padang (sekarang UNP).

Teman saya yang lainnya adalah Emzalmi dan Boy
Sarbaini. Selain kami berada pada kelas yang sama, keakraban
176 kami dipupuk di saat kebersamaan ketika kami pergi sholat
berjamaah di masjid. Kebetulan jarak antara sekolah dan
masjid tidak terlampau jauh, maka setiap masuk waktu
sholat, kami berinisiatif pergi bersama-sama untuk
menunaikan kewajiban lima waktu tersebut.

Sampai saat ini, hubungan silaturahmi di antara kami
tetap terjaga. Khususnya angkatan 71, tetap solid dan sering
berkumpul. Barangkali hanya untuk bernostalgia dan
mengulang cerita-cerita lama. Bahkan, pertemuan angkatan 71
ini, rutin kami adakan sekali dalam dua bulan. Saya ditunjuk
sebagai sekretaris dan Ketua adalah Emzalmi.

Manusia Pembelajar

Sebagai siswa baru, saya mesti cepat menyesuaikan
diri. Terutama terkait dengan pelajaran. Apalagi, saya telah
duduk di bangku kelas tiga dan tentunya tidak lama lagi juga
akan mengikuti ujian akhir. Entah kenapa, nilai saya
mendapati angka merah di nilai rapor, jauh berbanding
terbalik ketika di Aceh, saya memperoleh juara. Saya
menyadari bahwa, STM Padang, sedikit lebih baik dari pada
STM Aceh. Baik dari segi mutu ataupun kualitas.

Sekali lagi, saya mesti menyesuaikan diri dengan 177
sistem belajar-mengajar di sini. Jika tidak berlari kencang,
kalau tidak bisa lebih cepat, setidaknya sama dengan teman-
teman lainnya. Namun alasan lain dari guru yang memberi
angka merah pada salah satu mata pelajaran saya adalah
ketidakikutsertaan pada beberapa kali pertemuan, karena
saya masih mengurus proses perpindahan dari Aceh ke
Padang.

Setiap pagi, saya pergi ke sekolah dengan hanya
berjalan kaki. Menyusuri jalan dengan langkah pasti. Sedikit
menyita tenaga, dikarenakan jaraknya yang lumayan jauh dari
rumah kami. Sesekali, jika hendak pulang, saya ditumpangi
Emzalmi dengan sepedanya. Pada masa itu, tahun 1970,
Emzalmi telah memiliki kendaraan pribadi. Di mana masa itu,
sepeda dipandang sebagai barang mewah yang tidak semua

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

orang punya. Termasuk saya. Saya paham, gaji Papa terlebih
dahulu ditabung untuk membeli rumah. Mengingat kami
hanya tinggal di rumah sewaan. Meskipun demikian, kami
hidup tentram dan damai di sana. Masa itu, rumah tersebut
berada di depan kantor pajak Tarandam.

Insan Akademik Teknik

Di tengah kebersahajaan hidup yang kami jalani,
apalagi saya dihadapkan dengan kenyataan diasuh oleh
seorang Paman dan istrinya. Semakin membuat saya
mematut-matut diri agar secepatnya bisa hidup mandiri.
Apalagi di saat kuliah, saya tidak ingin bertopang sepenuhnya
178 kepada Papa. Saya menggantungkan harapan seutuhnya
kepada ilmu teknik. Disiplin ilmu yang telah saya dalami,
dimulai semenjak tingkat ST. Harapannya, suatu saat nanti,
rumpun keilmuan inilah yang akan memanggul saya untuk
mewujudkan mimpi dan cita-cita.

Setelah mengikuti alur seleksi yang cukup ketat,
dengan jumlah penerimaan mahasiswa maksimal berjumlah
50 orang. Sementara, yang ikut mendaftar sebanyak ratusan
orang. Pada tahun 1972, nama saya sahih terhitung, masuk ke
dalam 1 dari 50 orang yang diterima sebagai mahasiswa
Fakultas Keguruan Teknik (FKT) IKIP Padang. Saya pemilik
nomor Buku Pokok urutan ke-7. Di mana, pada saat itu, untuk

Manusia Pembelajar

pemilikan nomor Buku Pokok diurutkan berdasarkan nilai
yang didapatkan. Cukup lumayan baik, karena saya masuk
pada urutan sepuluh besar.

Rektor kala itu Bapak Isyrin Nurdin. Ia merupakan
seorang rektor yang sebelumnya menjadi dosen di ITB. Kami
adalah angkatan pertama FKT atas kebijakan-kebijakan yang
dibuatnya. Jelas, maksud dan tujuannya adalah untuk
meningkatkan sumber daya dari segala lini.

Betul adanya. Barangkali mahasiswa yang berhasil 179
diterima sebagai mahasiswa IKIP, terutama bagi mereka yang
mengambil FKT, adalah para siswa pilihan. Mereka yang
memiliki kemampuan akademik yang bagus. Kendati yang
menempati posisi di atas saya, pada peringkat enam adalah
Nizwardi Jalinus. Seorang pendidik yang telah bergelar
Profesor, yang pernah menjadi Pembantu Rektor 2 & 3 UNP.
Berselisih hanya satu angka, menjadikan nama kami tertulis
berdekatan dalam segala bentuk pengadministrasian.

Secara tidak langsung, kedekatan nomor kelulusan
tadi menjadikan kami berdua bersahabat dekat. Selain
Nizwardi Jalinus, teman akrab saya yang lain juga An Arizal.
Di mana kami berdua, telah berkawan karib semenjak STM.
Dan semakin solid, ketika sama-sama menetapkan pilihan
untuk kuliah di FKT. Terakhir, kawan yang tidak saya

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

lupakan semasa kuliah adalah Raudi Syukur (alm). Beliau ini,
tidak hanya dekat dengan saya, melainkan juga berhubungan
baik dan kenal betul dengan keluarga saya.

Stereotype yang umum didengar adalah perumpamaan
terkait dengan cinta sejati. Namun, bagi saya Nizwardi
Jalinus, An Arizal, dan Raudi Syukur, mereka adalah teman
sejati. Banyak suka duka yang telah kami lewati bersama. Di
masa-masa kuliah, kami dikenal sebagai empat sekawan. Di
manapun dan kapanpun kami selalu berbarengan. Selalu
bersama, nyaris setiap waktu. Kalau hilang satu, pasti di
antara kami ada yang bertanya. Zulfa mana?. Mana An
180 Arizal?. Begitu juga dengan Nizwardi Jalinus dan Raudi
Syukur. Ibarat sebuah perangko dan surat, yang tidak bisa
terpisah satu sama lain.

Dalam pada itu, untuk urusan jodoh dan pendamping
hidup, kami berempat juga sepakat untuk
mempercayakannya atas pilihan orang tua. “Tidak mungkin
orang tua akan mencarikan gadis yang tidak baik. Sudah
barang pasti, akan diikhtiarkan perempuan terbaik yang akan
dijadikan menantunya.” Obrolan yang kerap terlontar di
antara kami berempat. Agaknya, ini terbukti, kami mendapati
pasangan hidup, yang dicarikan oleh orang tua masing-
masing.

Manusia Pembelajar

Keakraban kami terukir erat karena memiliki ideologi
dan pandangan hidup yang relatif sama. Yakni, kami sama-
sama menetapkan pilihan untuk menjadi aktifis. Tumbuh dan
menempa diri dengan beragam organisasi. Pernah, dalam
sebuah organisasi, kami semua bintangnya. Dalam banyak
kesempatan, kami sering terlibat secara bersamaan. Di mana,
saya adalah ketua senat. Sementara, Raudi Syukur ketua II.
Kemudian, Nizwardi Yunus dan An Arizal, menjabat sebagai
sekretaris umum dan sekretaris I.

Sejatinya, dinamika dalam organisasi menjadi peletak 181
dasar pembentukan karakter. Saya berterimakasih kepada
situasi yang menempa keras, karena telah melecut saya
menjadi pribadi yang berperilaku arif. Tidaklah menampik,
ini saya dapatkan ketika dalam organisasi. Kedewasaan sikap
tampak pada saat pemilihan Dewan Mahasiswa IKIP. Saya
didukung penuh oleh Makmur Hendrik, ketua sebelumnya,
untuk maju dipencalonan. Ia mengharapkan saya dapat
memenangkan pemilihan dengan suara terbanyak. Dan, itu
terjadi. Saya memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan
Ketua Dewan Mahasiswa tersebut.

Kendati demikian, saya tidak dapat menyanggupi
permintaan tersebut. Pasalnya, saya mengakui akan kelebihan
kompetensi yang dimiliki oleh pesaing yang lain. Adapun

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

orang yang akan menjadi rival saya adalah Asrul ZA.
Kemampuannya dalam berpidato jauh di atas saya. Orasinya
di atas podium dapat menghipnotis siapa pun pendengarnya.
Saya mesti memendapkan ego pribadi. Mengakui kelebihan
yang dimiliki oleh lawan. Saya melapangkan jalan baginya,
biarlah Asrul ZA yang menjadi ketua, sementara saya sebagai
sekretaris.

Kami menjalankan roda organisasi, layaknya seperti
memimpin sebuah negara. Tetapi dengan ruang lingkup
tingkat perguruan tinggi. Maka, kami juga bermitra dengan
kampus tetangga. Di antaranya, kampus Unand, yang pada
182 saat itu Ketua Dewan Mahasiswanya adalah Alis Marajo dan
sekretarisnya Firman Hasan. Angkatan kami disebut-sebut
sebagai pemersatu antara Unand dan IKIP. Di mana,
sebelumnya sulit untuk membebaskan diri dari pertarungan
ego kampus masing-masing.

Meski, kegiatan organisasi menyita sebagian besar
waktu saya, hal ini sungguh tidak melalaikan saya dalam
memenuhi kewajiban akan tugas-tugas kuliah. Saya seorang
aktivis yang bisa menamatkan studi Sarjana Muda selama 4
tahun. Termasuk lebih cepat. Mahasiswa jurusan teknik,
diwajibkan untuk mengikuti praktek lapangan selama enam
bulan. Maka, tidak jarang, mahasiswa teknik relatif lebih


Click to View FlipBook Version