The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by jcinstitute05, 2021-09-25 02:57:24

Ebook Dummy ZEU

Zulfa Eff Uliras

Pondasi Menara Kehidupan

Sekolah Rakyat, Sekolah Kehidupan

Saya dibesarkan dalam lingkungan dan budaya yang 33
berbeda-beda sejak kecil. Diasuh dengan kasih sayang penuh
dari seorang nenek, Mak E, rupanya hanya berlangsung
singkat. Saya diajak oleh hidup untuk berjalan di belahan
bumi yang lain. Keluar dari daerah asal tumpah darah, dan
pergi dari rumah di mana saya pertama kali membuka mata.

Bahkan, untuk menamatkan Sekolah Rakyat (SR), saya
menempuh lima sekolah. Kelima sekolah tersebut tersebar di
berbagai wilayah dan di dua pulau berbeda. Yakni, Sumatera
Barat, Yogyakarta dan Aceh. Dan sudah barang tentu,
perbedaan budaya, lingkungan, pasti akan mempengaruhi
pembentukan karakter dan kepribadian saya.

Warsa 1957, pertama kalinya saya didaftarkan di
sekolah formal. Sekolah Rakyat (SR) di kampung, Simabua.

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Sekolah itu biasanya kami sebut dengan “Sikola Bawah”. Atau
yang lebih dikenal dengan SR No 2 Simabua. Kala itu, saya
diantar oleh Amak. Amak mengurus berbagai kepentingan
terkait pendaftaran siswa baru, yang tentunya tidak terlalu
rumit, seperti di masa kini. Syarat yang mesti saya penuhi
adalah ujung jari tangan kanan harus bisa menyentuh telinga
kiri melalui atas kepala dan sebaliknya. Saya tidak bisa
menyanggupi persyaratan ini. Saya ditolak. Alasan lain yang
menguatkan saya tidak bisa diterima adalah sebenarnya saya
juga belum genap berusia tujuh tahun. Saya dianggap belum
mencukupi batas umur yang layak untuk diterima.

34 Tahun berikutnya, 1958. Saya mendaftar kembali.
Namun, tidak pada sekolah di tahun sebelumnya yang telah
menolak saya. Saya memutuskan untuk mendaftar ke SR No 1
Simabua, atau yang biasa dikenal “Sikola Ateh”. Tidak sama di
tahun sebelumnya, kali ini saya lulus kualifikasi. Barangkali,
tidak ada alasan untuk tidak menerima saya. Bu Ina dengan
senyum manisnya menyambut saya. Bu Ina masih memiliki
hubungan sanak famili dengan saya. Ia adalah sepupu Amak
dan nenek mereka bersaudara.

Bu Ina dikenal sebagai guru favorit di sekolah kami.
Pembawaannya yang ramah, pintar dalam mengajar, dan tidak
pernah marah, menjadikan ia disenangi oleh murid-muridnya.

Pondasi Menara Kehidupan

Apalagi ditambah dengan raut wajahnya yang mempesona,
siapapun akan betah berlama-lama berada dalam kelasnya..
Berdasarkan cerita dari anak-anaknya, ia tetap menjadi guru
SD, tempat di mana saya sekolah dahulu, hingga masa
pensiun. Selain didorong oleh bakat sebagai pendidik, ia juga
senang dengan anak-anak. Barangkali ini yang
melatarbelakanginya untuk setia dan piawai mengajar di
kelas 1.

Hal ini dibenarkan oleh para murid yang pernah 35
diajarnya. Jikalau saya bertemu dengan kawan-kawan atau
siswa yang pernah sekolah di SR/SD No 1 Simabua, mereka
selalu menceritakan kesan yang sama. Bu Ina melambangkan
definisi seorang guru terbaik. Baginya, tugas seorang guru
bukan hanya transformasi ilmu dan mata pelajaran,
melainkan juga berkewajiban menyampaikan pesan-pesan
moral. Saya masih teringat akan pesannya, terkesan
sederhana, tetapi sangat bernilai. “Jikalau kita akan
mendahului seseorang, terutama orang yang lebih tua dari
kita, hendaklah menyapa dan sekaligus meminta izin untuk
mendahuluinya.” Dan banyak lagi nilai kepribadian yang
beliau tanamkan, barangkali dewasa ini mulai terkikis.

Masa kanak-kanak adalah dasar pembentukan
kelakuan dan penanaman nilai-nilai baik. Agar nantinya

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

dapat terbawa dan menjadi kebiasaan setelah dewasa. Bukan
tidak mungkin, segala kelakuan elok di masa kecil, akan
menjadi pondasi kehidupan di masa depan.

Di samping belajar di sekolah formal, kami juga
menimba ilmu di surau. Terutama belajar alquran, ilmu agama
lainnya dan budi pekerti. Saya belajar mengaji di Surau
Patalian. Surau ini berjarak tidak jauh dari rumah saya.
Terletak di jalan menuju Masjid Makmur Simabua. Dan juga
jemaahnya terdiri dari pasukuan Simabua. Kerabat saya. Oleh
karenanya, surau ini juga kerap digunakan sebagai tempat
pertemuan kaum suku Simabua.

36 Tidak hanya itu, Surau Patalian juga digunakan sebagai
tempat tinggal beberapa keluarga. Sebagian ruangannya bisa
dijadikan hunian. Di Minangkabau, surau menjelma seperti
rumah gadang. Bahkan, seorang lelaki bujang yang telah
beranjak dewasa, tidak ada kamar baginya di rumah.
Melainkan ia tidur dan tinggal di surau. Keberadaan surau
begitu penting. Selain sebagai tempat ibadah dan belajar ilmu
agama, surau juga berfungsi untuk transformasi nilai-nilai
budaya.

Dunia kecil saya dihiasi dengan beragam kenangan.
Khususnya di saat kami mengaji di surau ini. Ada pengalaman
yang tidak pernah terlupa bagi saya. Ketika itu saya pernah

Pondasi Menara Kehidupan

dibentak oleh seorang dewasa, usia paruh baya. Ia merupakan 37
salah seorang yang tinggal di surau itu. Sewaktu akan masuk
ruangan mengaji, saya melihat ada sebuah benda aneh yang
berukuran kecil, terletak di tembok. Reflek saya memegang
benda tersebut. Belum sempat tangan saya menyentuh benda
itu, tiba-tiba ada suara keras yang membentak dengan kasar.
“Hei, jangan dipegang!” serunya. Ia kemudian mendekati dan
memarahi saya bukan kepalang. Rupanya benda aneh itu
adalah jam tangan yang tengah sedang diperbaiki. Dan ada
jarum sebagai pengganjal. Apabila jarum ini lepas, maka
pekerjaannya akan sia-sia. Sulit untuk memperbaikinya
kembali.

Saat itu saya sangat trauma. Bentakan kasar tersebut
tidak pernah terjadi dalam lingkungan orang tua dan keluarga
saya. Apalagi hardikan tersebut dilontarkan dan terngiang
jelas di telinga. Kejadian ini saya ceritakan kepada Mak E.
Saya menjadi takut. Saya tidak ingin mengaji di surau itu
kembali. Otomatis dengan kejadian ini, membuat saya selama
beberapa hari tidak datang ke surau. Hingga akhirnya Mak E
menemui guru mengaji dan menjelaskan kejadian yang sedang
menimpa saya.

Masih di tahun 1958. Tahun penuh gejolak dan
guncangan hebat. Kurun masa itu Sumatera Tengah, sebuah

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

provinsi yang pernah tercatat di Indonesia, di dalamnya juga
termasuk daerah Sumatera Barat, melakukan sebuah aksi
protes ke Jakarta.

Gerakan ini biasa dikenal dengan Pemerintah

Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Gerakan yang

muncul karena adanya rasa ketidakadilan dalam hal

ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah. Di

bawah pimpinan Kol. Achmad Husein, PRRI

diproklamasikan, dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai

Perdana Menterinya.

Usia saya belum genap delapan tahun. Saya turut
38 menjadi saksi peristiwa berdarah itu. Suasana menjadi kian

pelik, di saat terjadinya baku tembak antara tentara pusat
yang dikenal dengan Angkatan Perang Republik Indonesia
(APRI) dengan pasukan pemberontak (PRRI). Terjadi
kegaduhan di mana-mana. Melanda hingga pelosok kampung
Sumatera Barat, termasuk Simabua. Sehingga untuk
mengatasi kegaduhan yang terjadi, didatangkanlah tentara
dari pemerintah pusat untuk mengamankan gejolak ini.

Papa yang ternama dengan bisnis jahitnya di Simabua,
terpaksa pindah. Mencari tempat teduh dari segala gaduh.
Saya pun juga. Pindah ke sekolah yang baru. Kami akhirnya
pindah ke Batusangkar, pusat kota. Dan saya masuk ke SR No

Pondasi Menara Kehidupan

3 Batusangkar. Sementara Amak dan adik-adik lainnya tetap
di Simabua untuk beberapa bulan, dan kemudian baru pindah
menyusul kami ke Batusangkar.

Semua keadaan berubah. Tidak sama seperti di 39
Simabua. Daerah asal kami. Semula di Simabua saya mengaji
di Surau Patalian, kini mengaji di surau dekat rumah potong
sapi. Beruntung keadaan ini tidak bertahan lama. Akhir tahun
1959, saya pindah lagi ke Simabua. Namun, Papa tetap
menjalankan usaha jahitnya di Batusangkar, seminggu sekali
baru pulang ke Simabua. Saya sekolah di Batusangkar hanya
sampai naik kelas 2 SR. Kemudian, setelah situasi mulai
aman, saya pindah sekolah dari Batusangkar dan masuk ke SR
Nomor 2 atau Sikola Bawah. Sekolah yang sebelumnya pernah
tidak menerima saya.

Di sekolah saya yang baru, sosok guru seperti Bu Ina
saya temukan kembali. Namanya Ibu Kamsinar. Ia dikenal
sebagai guru yang ramah dan lembut, namun tetap tegas
kepada murid-muridnya. Sama halnya dengan Bu Ina. Pada
waktu mulai belajar di kelas 2 ini, saya ditunjuk sebagai ketua
kelas. Kedudukan ini menjadikan saya sering berinteraksi
dengan guru. Termasuk dengan kepala sekolah. Namanya
Nursila Taher, atau saya panggil Bu Sila. Ia merupakan
seorang kepala sekolah yang tegas, sangat ditakuti dan

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

disegani oleh murid-murid. Layaknya sikap sebagai seorang
pimpinan. Tentunya, segala tindak tanduk yang diterapkan di
sekolah, juga terbawa ke rumah. Mendidik anak-anaknya
dengan disiplin yang ketat.

Bu Sila saya anggap sebagai seorang guru yang tidak
hanya sukses di sekolah, tetapi juga sukses di rumah dalam
mendidik anak-anaknya. Tidak mengherankan, anak-anak
beliau menjadi orang yang berhasil di kemudian hari. Di
antaranya, Prof. Dr. Rismawati Munaf, dosen Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas. Kemudian, Prof. Dr. Ir.
Yulman Munaf MSIE. Pernah menjadi Rektor ITP dan Dosen
40 Fakultas Teknik Unand, Dra. Maimunah Munaf, M.Pd (dosen
FIP UNP) dan dr. Yanti Munaf.

Belajar boleh di mana pun dan dengan siapa saja. Ambil
contoh dari hal-hal baik yang pernah didapat. Bagi saya, baik
Bu Ina, Bu Kamsinar, atau pun Bu Sila, tiga orang guru saya
yang layak disebut. Mereka telah memberikan kesan yang
mendalam selama sekolah di Simabua. Kehadiran mereka di
masa kecil saya, telah menjadi sekolah kehidupan dengan
segala tunjuk ajarnya.

Memasuki tahun 1960, gejolak yang sempat terjadi di
Sumatera Tengah mulai reda. Tatanan kenegaraan mulai
relatif stabil. Sumatera Barat telah dikuasai oleh tentara

Pondasi Menara Kehidupan

pusat. Oleh karenanya, kegaduhan antara pusat dan daerah
dapat teratasi.

Papa yang masih bolak-balik Batusangkar-Simabua, 41
dua kali dalam seminggu, lama kelamaan juga menyerah oleh
lelahnya keadaan fisik. Sekitar bulan Maret 1960, Papa
divonis mengidap penyakit gula. Tidak sampai disana,
pengobatan modern menurunkan diagnosis yang lebih
mengejutkan: kadar gula darah Papa yang tinggi telah
menjalar dan merusak ke fungsi hati Papa. Disaat bersamaan,
Papa terkena penyakit lever yang biasa disebut penyakit
kuning. Warna kulit Papa mulai menguning. Papa tidak boleh
terlalu lelah.

Papa diasumsikan oleh banyak orang “tamakan” atau
disebut “diagiah”. Semacam penyakit kiriman dari seseorang
yang tidak bertanggungjawab, yang kemungkinan besar tidak
menyukai Papa. Jikalau di kota kita hanya dihadapkan oleh
tindakan kriminal, seperti pembunuhan, perampokan, dan
tindakan keji lainnya, yang tampak oleh panca indera. Lain
halnya dengan hidup di kampung, kita justru dihadapkan
dengan perbuatan halus. Praktek perdukunan telah menjadi
budaya.

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Kelakuan yang berbau mistis masih begitu tinggi.
Penyakit yang diderita oleh Papa salah satunya. Papa
dipercaya mendapat sakit keras adalah akibat dari hantaran
penyakit yang diberi orang. Saya masih ingat, banyak yang
beranggapan dan mengatakan Papa “tamakan” yang
dikirimkan melalui makanan. Otomatis, anggapan demikian
secara tidak langsung tertuju kepada Amak dan Mak E, yakni
perempuan yang tinggal serumah dan setiap harinya
menyiapkan makanan untuk Papa.

Hal yang tidak pernah ditangkap logika saya hari itu,
pun saat ini. Sebagai anak usia sepuluh tahun, kisah ini begitu
42 berat untuk dicerna. Sesuatu yang tidak mungkin.
Menghubung-hubungkan penyakit dengan mistik. Meski
dikatakan dengan beragam tudingan, Amak dan Mak E tetap
tidak menggubrisnya. “Biarlah orang berkata apa, yang jelas
bukan kita yang melakukannya,” ungkap Amak dengan nada
bicara yang terdengar sesak.

Tuduhan inilah yang tidak masuk akal. Amak dan Mak
E adalah orang yang taat beragama. Apalagi Amak. Ia seorang
yang santun dan penyayang kepada suami. Inilah bahayanya
kalau percaya kepada dukun. Setan telah berhasil membuat
kekeliruan dengan menyesatkan persangkaan orang yang
mempercayainya.

Pondasi Menara Kehidupan

Jamak ditemui yang akan terjadi pada lelaki Minang, 43
apabila ia telah terbaring lemah dan sakit di rumah istri, maka
pihak keluarganya akan menjemput untuk pulang. Hal yang
sama terjadi pula dengan Papa. Saat itu ia dijemput oleh
saudara perempuannya untuk dirawat di rumahnya di
Galanggang. Kala itu, Amak hanya bisa pasrah. Mata Amak
nanar melepas keberangkatan Papa. Sedih sekali. Namun, ia
tidak bisa melawan adat yang tengah mengakar kuat.
Semenjak keduanya berjanji untuk hidup bersama, yang
diikat oleh tali pernikahan, baru kali ini mereka berpisah.
Itulah namanya hidup. Kita akan diuji dengan hal yang sulit.
Tinggal sejauh mana ujian tersebut dijadikan sebagai kunci
jawaban untuk naik kelas. Dan kami, tengah sedang
menjalani ujian tersebut.

Papa dibawa berobat kepada dukun, bukan ke dokter
di rumah sakit. Saya masih ingat Papa dibawa berobat pada
dukun berulang kali. Ke Sikaladi dan Lubuk Atan dikaki
Gunung Marapi. Kadang-kadang dukun itu yang datang ke
Simabua pada hari Senin, di hari pasar. Papa kami hanya
diobati dengan tumbuh-tumbuhan, ditambah sedikit komat-
kamit mantra sang dukun. Bukan bertemu penawarnya, sakit
Papa malah bertambah parah.

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Meskipun Papa tidak tinggal bersama kami lagi, Amak
selalu mengingatkan dan mengajak kami, anak-anaknya
untuk terus melihat Papa ke rumah induak bako di Galanggang.
Dalam situasi seperti itu, Amak terlihat kuat dan tabah
menghadapi semuanya. Kesabaran sikapnya mengalir seperti
air yang mampu menembus batas. Segala harap dan pinta
dimunajatkan pada-Nya. Hampir di tiap malam, Amak
mengaji dengan lantunan suara merdunya. Dan, saya
menyaksikan air mata Amak jatuh, pelan.

Begitu cara Amak untuk menghilangkan perasaan
risau yang memahat hatinya. Amak menghilangkan gundah.
44 Amak percaya, sakit yang diberikan Tuhan kepada Papa
adalah salah satu cara bagi Papa untuk menjalani
penghapusan dosa. Kalau lah terlalu sedih Amak akan
menangis sambil berdoa kehadapan Allah sembari memeluk
kami. Biar bagaimanapun, Amak juga manusia biasa. Luapan
kesedihannya juga tidak bisa direda. Menangis, tidak berarti
kita lemah bukan?.

Begitulah hidup, harus siap dengan segala kenyataan,
yang terburuk sekalipun. Hari itu telah tiba. Di mana kami
tidak pernah menginginkan hari itu ada. Akhirnya, kabar itu
sampai ke telinga. Papa kami telah tiada. Ya, patah hati yang
paling sengsara adalah tentang kematian orangtua. Papa

Pondasi Menara Kehidupan

meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Segala
pengharapan menjadi kandas. Putusnya tali impian yang
dirangkai indah. Dan, tulang punggung kami telah berkalang
tanah.

Selasa, 30 Agustus 1960. Papa pergi untuk selamanya. 45
Waktu itu saya sedang bermain di halaman sekolah, tengah
jam istirahat. Tetiba, saya dipanggil oleh Tek Ai, adik seayah
dengan Amak. Ia juga sekolah di sekolah yang sama dengan
saya. Tetapi, ia duduk di kelas VI, sementara saya masih di
kelas III. Sembari memegang pundak saya, “Papa Jun telah
meninggal, mari kita pulang sekarang ya,” ujarnya berkaca-
kaca. Kemudian, kami juga membawa Edi, adik saya yang
masih kelas 1, untuk pulang bersama.

Sampai di rumah, bersama dengan Amak dan Mak E,
kami langsung pergi ke Galanggang, di mana Papa
disemayamkan. Sebelumnya, kami menyaksikan air mata
Amak tumpah. Tidak terbendung derasnya. Ia memeluk kami
sambil berkata: “Telah menjadi yatim anak-anakku,” ucapnya
terisak. Apalagi setelah melihat jasad Papa terbujur,
kesedihan Amak semakin tidak terbendung. Kuat dan
tegarnya seorang perempuan, akan dikalahkan oleh perasaan
cinta. Mendalamnya kasih Amak kepada Papa, membuatnya

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

tidak bisa mengatupkan kesedihan. Separuh jiwanya pergi. Di
saat anak-anak mereka sedang tumbuh.

Papa dimakamkan di Ateh Lakan Bulakan, di dekat
kuburan Mak Gaek, amaknya Mak E. Menjelang senja, jasad
Papa telah terkubur. Satu-satunya orang yang menjadi pilar
kokoh bagi keluarga kami sudah tidak ada lagi. Bibir saya
kering, tenggorokan tercekat, bulir bening tumpah basahi
pipi. Saya terpaku di ujung pusara, menatap hampa ke
gundukan tanah merah dihadapan. Kematian yang selalu
menorehkan misteri dalam kehidupan. Lutut saya terasa
goyah, tak mampu menahan beban tubuh yang kecil ini.
46 Dunia saya terasa berhenti berputar, perlahan runtuh.

Sewaktu Papa meninggal, kami masih kecil-kecil. Adik
kami yang paling kecil Ardizonal (Nang) masih berumur 5
bulan, Syafrizal (Zal) berumur 5,5 tahun dan Suwardi (Edi)
berumur 7,5 tahun dan saya sendiri berumur 9,5 tahun. Kami
telah menjadi yatim diusia yang sangat belia. Menjalani hari-
hari tanpa kasih sayang seorang ayah.

Kehidupan mesti terus berlanjut. Kami harus cepat
bangkit. Berlarut-larut dalam kesedihan juga perbuatan yang
tidak baik. Dua hari setelah Papa meninggal, sebagai anak
lelaki tertua, saya diperintahkan oleh Amak ke Batusangkar
untuk mengambil mesin jahit dan perkakas lainnya milik

Pondasi Menara Kehidupan

Papa. Bagi Amak, mesin jahit itulah harta peninggalan Papa
yang paling berarti. Barang warisan yang penuh kenangan.
Itulah azimat perintang hati, pengobat rindu. Tidak ada yang
boleh memiliki, selain Amak.

Menaiki sebuah mobil bus SOS, saya bertolak ke 47
Batusangkar pagi sekali. Kebetulan sopirnya adalah Pak Etek
Buyung Nazar suami Etek Rosna, sepupu Amak. Pak Etek
langsung mengantar saya ke Sigarungguang, tempat di mana
Papa menjahit. Dengan peralatan kunci yang dibekali Amak,
saya mulai membuka satu persatu komponen mesin jahit
tersebut. Saya terpaksa membongkarnya, mengingat tidak
memungkinkan untuk dibawa dalam keadaan masih
terpasang.

Saya kemudian, menyusunnya dengan rapi sesuai
dengan kelompoknya masing-masing. Setelah semuanya
selesai, barulah kemudian saya membawanya ke terminal bus
Jati Batungsangkar, yang jaraknya dari tempat menjahit lebih
kurang 500 meter untuk dinaikkan ke mobil SOS tadi. Habis
setengah hari pulang pergi menjalankan misi tersebut.
Sebelum sore mendarat di Simabua, saya ketuk pintu rumah.
Disambut Amak dengan tatapan pilu.

Di rumah, mesin yang telah dibongkar tersebut, saya
rakit kembali. Dengan keyakinan, hingga bisa digunakan

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

seperti sedia kala. Saya bekerja bak profesional. Kendati Papa
dikenal sebagai tukang jahit terkenal di Simabua, ia tidak
pernah menurunkan bakatnya kepada saya. Waktu itu, saya
masih terlalu kecil untuk melakukan pekerjaan yang
menuntut keterampilan itu.

Saya tidak pernah belajar menjahit apalagi urusan
bongkar pasang mesin jahit. Hingga detik ini, saya masih
belum percaya, kenapa hari itu saya dapat melakukannya.
Anak bau kencur yang masih berumur 9,5 tahun, mampu
membongkar dan memasang kembali mesin jahit dengan
sangat baik. Malah tanpa ada kekurangan. Inilah kekuasaan
48 dan petunjuk dari Allah yang Maha Besar. Pertolongan-Nya
senantiasa datang bagi siapa saja yang membutuhkan.

Mesin jahit tersebut menjadi sejarah yang sangat erat
kaitannya dengan kronologi kehidupan kami sekeluarga.
Menjadi monumen bagi perjalanan kehidupan keluarga kami.
Keberadaannya menjawab segala kesulitan hidup kami
sekeluarga. Ketika Papa masih hidup, juga masa-masa
berikutnya. Amak adalah seorang ibu rumah tangga. Ia tidak
memiliki keterampilan apa-apa selain terbiasa dengan
kegiatan domestik. Memasak, mencuci dan beragam
pekerjaan rumah tangga sebagaimana biasanya.

Pondasi Menara Kehidupan

Tahun 1962, dua tahun setelah Papa wafat, kami
mengalami masa-masa pailit. Perekonomian pada saat itu
betul-betul kacau. Bahkan, jikalau boleh disebut, untuk
makan saja susah. Maka teringatlah oleh Amak mesin jahit
peninggalan Papa yang tidak terpakai. Timbul keinginannya
untuk belajar dengan niat mudah-mudahan bisa dijadikan
sebagai penghasilan tambahan.

Amak mulai belajar menjahit. Belajar otodidak tanpa 49
ada pendampingan dari seorang guru atau pun orang yang
telah ahli. Awalnya, Amak membuat kutang dan sengaja
menanggalkan benang baju bekas, untuk dijahitnya kembali.
Hal ini dilakukan Amak berkali-kali. Amak menikmati
prosesnya. Hingga ia mendapatkan hasil yang semakin baik.
Setelah dirasa hasil jahitannya cukup rapi dan bagus, Amak
memberanikan diri untuk menjualnya ke pasar.

Awalnya Amak hanya pandai membuat kutang
sederhana. Pembeli umumnya berasal dari kalangan ibu-ibu
penjual kayu bakar langganannya saja. Harganya tentu sangat
miring dan terjangkau. Inilah kemungkinan besar, dagangan
Amak ada yang membeli. Amak tampil sebagai kepala
keluarga yang menggenggam optimisme. Ia mematahkan
segala pandangan yang menyudutkan tentang
ketidakmampuan atas sesuatu. Saya melihat kemajuan pada

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

diri Amak. Perlahan, satu dua orang di kampung mulai
bertanya tentang: berapa upah yang mesti saya bayar untuk
menyelesaikan sehelai kebaya?

Ia telah bisa menjahit baju kebaya, meskipun itu masih
dalam bentuk sederhana. Tetapi, ia tetap bisa menemukan
pangsa pasarnya. Dan langganannya juga semakin bertambah
banyak. Uang hasil penjualan ini disimpan. Berangsur-angsur
dikumpulkan. Di tahun 1971, Amak dapat membeli Rupiah
Emas dari hasil jerih payahnya sendiri. Kegiatan ini dilakukan
Amak tanpa sepengetahuan Mak E. Saya pun mengetahui
cerita ini, sekembalinya saya dari Aceh. Mak E tetap tidak
50 membiarkan Amak untuk banting tulang. Sama ketika Papa
masih hidup, Amak hanya dibolehkan untuk memasak dan
menjaga anak di rumah.

Sejak meninggalnya Papa, suasana kehidupan kami
mulai berubah, walaupun kami tetap dibantu dan ditanggung
oleh Mak E. Amak tidak mau berdiam diri dan
menggantungkan hanya kepada bantuan Mak E. Beliau ingin
bertanggung jawab untuk anak-anaknya yang sudah mulai
besar. Sudah barang tentu, membutuhkan biaya untuk bisa
mendapatkan pendidikan yang baik.

Meskipun dilarang oleh Mak E, Amak kukuh dengan
pendiriannya untuk bekerja. Amak mencoba menjemur cabe

Pondasi Menara Kehidupan

untuk dikeringkan, kemudian dijualnya lagi. Apapun itu akan
dilakukan oleh Amak. Asalkan halal. Saya dan Edi juga turut
membantu Amak dengan berjualan jagung rebus keliling
kampung. Tidak hanya itu, sambil mengaji kami juga
berjualan di surau. Seperti gula tare, rakik maco dan tebu. Soal
ini, saya akui kalah banyak dari Edi. Bakat dagangnya telah
nampak sedari kecil. Maka, barang jualannya lebih cepat laku
dibandingkan saya. Inilah modal pertama adik saya Edi untuk
menumbuhkan jiwa bisnisnya. Kemudian dapat berkembang
pesat dan mampu menyekolahkan adik-adik dan anak-
anaknya.

Amak telah menjalankan amanah Papa dengan sebaik- 51
baiknya. Untuk menjaga dan merawat buah hati mereka
berdua. Amak sadar betul, itulah kewajiban yang mesti
ditunaikan. Menyandang dua peran sekaligus. Baik sebagai
ibu, maupun sebagai ayah. Amak sangat menyayangi kami
semua. Sikap lembutnya begitu menenangkan. Kami selalu
dipanggilnya dengan menyebutkan nama. Tidak pernah
barang sekalipun melontarkan sapaan waang, hal yang biasa
diucapkan oleh sebagian masyarakat Minang untuk
memanggil orang laki-laki sebaya maupun lebih kecil usianya.
Tetapi panggilan ini tetap mengandung unsur dialek yang
kasar.

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Waktu kembali berputar di tahun 1960. Kira-kira ini
terjadi pada bulan Desember di tahun itu. Inilah petualangan
hidup saya dimulai. Zona waktu yang membawa kabar
penting tentang pengembaraan hidup saya selanjutnya.
Ketika itu saya tengah asyik mengendong Nang, adik saya
yang pada waktu itu baru berumur 10 bulan. Amak kemudian
memberitahukan bahwasanya telah datang sepucuk surat
yang dialamatkan kepada saya. Ternyata, surat tersebut
dikirimkan oleh Pa Pian. Ia menginginkan agar saya ikut
dengan Pa Akhia untuk pergi ke Jawa.

Saya yang masih belia, mendengar kabar akan pergi ke
52 Jawa, alangkah riang gembiranya. Saya menyambut berita ini

dengan sukacita penuh gempita. Mengingat ini perjalanan
pertama dan paling jauh yang akan saya tempuh. Tanpa
banyak pertimbangan dan juga tanpa meminta persetujuan
dari Amak terlebih dahulu, saya langsung mengiyakan isi
surat dari Pa Pian. “Jun akan pergi Mak,” tutur saya dengan
wajah ceria. Amak tidak memberikan respon pembicaraan
saya. Ia hanya sedikit mengernyitkan dahi. Entah pertanda
apa, yang jelas, saya harus pergi ke Jawa, tinggal bersama Pa
Pian.

Pada relung hati terdalam, Amak sebenarnya sangat
tidak berkenan dengan keinginan saya yang satu ini. Saya

Pondasi Menara Kehidupan

bisa menangkap ada raut muka sedih yang beliau simpan.
Setiap orang tua, pasti juga berlaku demikian. Berpisah
dengan anak sama artinya kehilangan separuh jiwa.
Meskipun demikian, Amak tetap tegar dan menabahkan hati.
“Inilah jalan Tuhan, agar Jun dapat mewujudkan segala angan
dan cita-citanya, biarlah raga ini berpisah,” Amak membatin.

Apabila dilihat kisah junjungan Nabi Muhammad 53
SAW. Ia juga dibesarkan oleh pamannya. Kurang lebih sama
dengan apa yang akan saya jalani nantinya. Di samping itu,
besarnya keinginan saya untuk tinggal bersama Pa Pian,
adalah kedekatan kami yang telah terikat erat. Hubungan
kami berdua begitu dekat. Memang di setiap Pa Pian pulang
kampung, saya kerap diajaknya bermain bersama. Bahkan, Pa
Pian adalah sosok panutan yang saya idolakan. Sampai-
sampai ketika kecil, saya menyalin gaya Pa Pian dalam
berpakaian. Termasuk meniru model rambut yang
dikenakannya, sibak tepi Elvis Presley.

Dari cerita dalam keluarga, nampaknya sudah
membagi-bagi kami yang berempat dengan empat orang
saudara Papa yang lain. Di antaranya, Edi sayang Papa
(Rusli), Jun sayang Pa Pian (Soufyan), Zal sayang Pa Nawin
(Danawir) dan Nang sayang Pa Akhia (Akhir). Memang kami
semua telah menjadi yatim. Agama menganjurkan apabila

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

salah seorang saudara kita telah tutup usia, dan ia
meninggalkan anak-anak yang masih kecil, maka saudara-
saudaranya yang lain juga bertanggungjawab untuk
membesarkan.

Sewaktu saya menyampaikan keinginan untuk tinggal
bersama Pa Pian kepada Mak E, beliau langsung tidak
mengizinkannya. Berbeda dengan Amak, Mak E dengan
lantang menegaskan ketidaksetujuannya. Ia membujuk saya
untuk tidak jadi pergi. Sekeras apapun Mak E melarang saya
untuk pergi, lebih keras lagi kemauan saya untuk segera
berangkat. Saya tidak menghiraukan segala bujuk rayu Mak
54 E. Saya hanya membayangkan perkara yang indah-indah
ketika hidup di Jawa bersama Pa Pian.

Mak E sangat paham ikhwal kenapa saya bersikap
demikian. Sedari kecil, saya memang dinilai sebagai anak yang
memegang kuat keinginan. Karakter kuat yang terbuhul erat,
tidak mudah untuk diganggu gugat. Akhirnya dengan sangat
berat hati, Mak E terpaksa mengalah. Beliau kemudian
mengizinkan saya untuk pergi ke Jawa bersama Pa Akhia.

Seiring dengan kepergian saya ke Jawa, Mak E jatuh
sakit. Hampir sebulan lamanya ia dirawat di Rumah Sakit
Padang Panjang. Ditengarai kepergian saya rupanya
meninggalkan kisah pilu. Terutama oleh Mak E. Perasaannya

Pondasi Menara Kehidupan

sungguh demikian nestapa. Mak E terluka. Ihwal ini saya 55
ketahui, setelah pulang di tahun 1971. Semua keluarga di
rumah sengaja untuk tidak memberitahukannya. Mengingat
mereka tidak ingin mengganggu aktivitas sekolah saya.
Kemudian, cerita yang membuat saya makin berkaca-kaca
adalah, Mak E kerap memanggil nama saya. Di tengah
sakitnya, ia selalu berdoa untuk memohon kesembuhan.
Alhamdulillah do’a beliau ijabah. Setelah sekian jauh saya
berkelana, Tuhan masih memberikan saya kesempatan untuk
bertemu dengan Mak E. Bahkan, kesempatan itu berjalan
dalam durasi yang begitu lama. Hingga Mak E, dapat melihat
saya berdiri kokoh.
***











Pilar Perjuangan

Melangkah Pergi

Pagi itu, gunung Marapi tampak gagah. Bak piramida 61
agung yang menjulang tinggi. Ketinggiannya mencapai 2891
meter di atas permukaan laut. Konon, gunung Marapi juga
disebut sebagai asal dari nenek moyang orang Minangkabau,
yang dipercaya pada saat itu hanya terlihat sebesar telur itik.
Simabua, berada di kaki gunung Marapi itu. Sebuah desa nun
jauh dari gemerlap kota.

Hari itu, saya akan meninggalkan Simabua. Tepatnya
ini terjadi pada pertengahan Januari 1961. Setelah mendapati
banyak drama akan kepergian saya, akhirnya keinginan ini
terwujud juga. Yogyakarta, kota tujuan saya. Sebuah kota
dengan lambing kebudayaan adiluhung. Tempat Raja-raja
Jawa membagi tahta mereka. Di sana terbilang khasanah
intelektual terbentuk. Barangkali inilah yang memikat

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

kedatangan kaum muda, yang berasal dari seluruh penjuru.
Saya adalah salah satunya.

Bus APD setia membawa kami menuju Kota Padang.
Jelas, tidak ada kendaraan langsung via Simabua-Yogyakarta.
Kami mesti ke Padang terlebih dahulu. Saya bersama Pa
Akhia turun di Pasar Goan Hoat. Terminal angkutan kota dan
dikenal sebagai terminal paling sibuk yang ada di Kota
Padang pada saat itu. Saya menyaksikan mobil berjejer,
dengan aktivitas menaikkan dan menurunkan penumpang.
Suasana bongkar muat barang saling pacu dengan turun naik
penumpang. Ramai sekali. Suasana yang sangat jauh berbeda,
62 dibandingkan dengan pasar dan terminal di Simabua.

Saya melangkah dengan degup pasti. Tiada terbersit
sedikit pun rasa ragu. Pun, kesedihan meninggalkan keluarga
besar di kampung halaman juga tidak terasa. Sekalipun
terhadap Amak dan Mak E. Dua orang yang selalu
menyayangi dan memanjakan saya. Bagi saya, Pa Pian
memiliki magnet yang kuat untuk tinggal bersamanya.
Apalagi membayangkan Kota Yogyakarta dengan segala
pernak perniknya. Sungguh, khayalan yang membahagiakan.
Yogyakarta, sebuah nama yang saya kenal dari buku-buku.

Keberangkatan kami dijadwalkan pada esok harinya.
Malam itu kami menginap di perjalanan yang mengarah ke

Pilar Perjuangan

Teluk Bayur. Dengan menggunakan bendi, kami berangkat
menuju penginapan di daerah Pasar Mudiak dekat Muara.
Kami memilih menginap di Hotel Sumatera. Sebuah
penginapan yang tidak jauh dari pelabuhan Teluk Bayur, di
mana kami akan berlayar menuju tanah Jawa.

Tenggat waktu untuk perjalanan kami telah tiba. 63
Kapal Koan Maru telah merapat di pelabuhan Emmahaven
yang mahsyur itu. Satu persatu, penumpang berangsur
menaiki kapal. Begitu pun dengan kami, yang tengah
mempersiapkan diri. Penumpang kapal tersebut tidak hanya
ke Pulau Jawa, melainkan juga ada sebagian penumpangnya
dengan tujuan ke Bengkulu. Ketika itu, jalur laut adalah alat
transportasi utama. Jalan darat belum primadona seperti di
masa kini.

Saya masih ingat, penumpang dengan tujuan Bengkulu,
di tengah perjalanan diturunkan. Mereka dipindahkan ke
kapal kecil, seperti boat, dan melompat dari kapal Koan
Maru. Layaknya seperti transit, tetapi ini terjadi di tengah
laut lepas. Ketika itu saya menyaksikan Anwar, seorang
pemain bola yang berasal dari Tabek, begitu lihai melompat.
Pandangan saya melayang jauh ke mendiang Papa. Papa
pernah pergi merantau ke Bengkulu. Tentunya, ia akan

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

mengalami hal yang kurang lebih sama, dengan apa yang baru
saja saya saksikan.

Jarak tempuh dari pelabuhan Teluk Bayur ke
pelabuhan Tanjung Priok memakan waktu sekitar 3 hari 2
malam. Perjalanan kami tiada mengalami gangguan. Berjalan
lancar dan tanpa ada hambatan yang berarti. Beruntung,
perut saya bisa diajak kompromi. Tidak mabuk laut. Biasanya,
naik mobil dari Simabua ke Padang Panjang, bukan kepalang
muntah yang dikeluarkan. Demikian juga kalau mendengar
bunyi pluit kereta api di Padang Panjang, saya langsung
menutup telinga. Hari itu, tekad saya jauh lebih besar
64 dibandingkan dengan perkara yang pernah saya takuti
sebelumnya. Energi saya bertambah sepuluh kali lipat dari
biasanya.

Sehabis menyusuri lautan, dua malam menghantam
badai, kami menurunkan sauh. Berlabuh di pelabuhan
Tanjung Priok. Bersama Pa Akhia, saya menaiki oplet menuju
Cempaka Putih. Kebetulan, saya tidak hanya berdua dengan
Pa Akhia, tetapi Ambak Khaia atau Khairuddin juga ikut serta.
Ia masih memiliki hubungan persaudaraan dengan kami, suku
Simabua. Dan rumahnya, juga tidak jauh dari rumah kami di
Simabua. Ia telah mahir dengan seluk beluk Jakarta.
Dikarenakan memang telah sering mengunjunginya. Beliau

Pilar Perjuangan

mengajak kami menginap di rumah saudaranya yang bernama
Mak Rohana terlebih dahulu. Melepaskan penat sejenak
sebelum berangkat ke Yogyakarta.

Selama beberapa hari di Jakarta kami sempat 65
berkunjung ke Pasar Senen. Di sini banyak ditemui orang
Simabua. Umumnya mereka bermata pencaharian sebagai
pedagang. Dimulai dari pedagang kecil kaki lima, hingga
memiliki toko besar, seperti Toko Bata. Kami disambut
dengan hangat oleh orang sekampung maupun sepesukuan
yang kami temui di Jakarta. Tidak Jarang, mereka pasti
mengajak untuk singgah kerumahnya. Apalagi, mereka sangat
kenal baik dengan mendiang Papa. “Oo, anaknya Mbak Suli
tukang jahit,” sambut mereka ramah.

Kota Pelajar: Yogyakarta

Kami menghabiskan waktu dua hari di Jakarta.
Kesempatan itu kami manfaatkan untuk bersilaturahmi
dengan kerabat yang menetap di ibukota. Ya, Jakarta
hanyalah tempat persinggahan sementara, sebelum akhirnya
meneruskan perjalanan ke rumah Pa Pian di Yogyakarta.
Sekitar tanggal 22 Januari 1961, kami berangkat.
Meninggalkan Kota Jakarta dan segala kenangannya. Stasiun
Pasar Senen, melepas kepergian kami dengan ikhlas. Seolah-

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

olah mewakili perasaan kami, supaya cepat sampai di tujuan
yang seharusnya.

Agaknya, kami tiba di stasiun Tugu Yogyakarta pada
sore hari. Kala itu, kami dijemput oleh Pa Nawin dan Pa Etek
Thamsir. Keduanya begitu bersemangat menyambut
kedatangan kami. Kami berempat naik becak ke kediaman Pa
Pian yang beralamat di jalan Sindunegaran nomor 16. Masih
tetap sama dengan yang sudah-sudah, Pa Pian tampak senang
dengan kehadiran kami di rumahnya. Bahkan kali ini lebih
sumringah, mengingat saya akan tinggal bersama dengannya.

Selepas makan malam, Pa Akhia pergi bersama adik-
66 adiknya. Tinggallah saya dengan Pa Pian dan penghuni rumah

yang lain. Kami tinggal di sebuah rumah, di mana Pa Pian
hanya menyewa salah satu kamar di dalam rumah tersebut.
Pemiliknya, juga berasal dari Sumatera Barat, yakni dari Koto
Panjang Batusangkar.

Tanah Jogja. Banyak perbedaan yang saya dapati. Dan
beragam hal baru yang saya temukan. Di antaranya, kenangan
yang paling membekas adalah perihal suatu permainan. Saya
sebagai orang yang berasal dari kampung belum mengenal
permainan anak kota. Salah seorang orang anak gadis dari
pemilik rumah, kira-kira seumuran dengan saya, tengah
bermain sebuah benda yang berbentuk lilin. Gadis, begitu

Pilar Perjuangan

kami memanggilnya. Ia kemudian memberikan kepada saya
sebuah benda, sama dengan benda yang telah dipegangnya.
Kemudian, dalam saku celananya, ia mengeluarkan korek api.
Lalu dinyalakan di atas sumbu benda yang saya pegang. Tiba-
tiba datang seseorang, kakak dari Gadis. Ia langsung
mengambil benda di tangan saya dan melemparkannya ke
udara. Benda itu meledak dengan kerasnya. “Duuaarr!”

Otomatis, saya terkejut bukan kepalang. Menggigil, 67
keluar peluh dingin. Pasalnya, inilah kali pertama, saya
melihat benda seperti itu dapat mengeluarkan suara yang
lantang lagi kerasnya. Itulah, awal mula saya mengenal
mercon. Saya hanya menyangka, itu hanya sebuah lilin biasa.
“Dasar orang kampung,” saya mengutuk diri pelan, sambil
tersipu malu.

Saat kedatangan saya ke Yogya, ketika itu istri Pa Pian
sedang hamil mengandung anaknya yang pertama. Saya
memanggil beliau Etek, yang bernama Mariana. Etek berasal
dari Gurun Batusangkar yang merupakan kawan sama
sekolah dengan Pa Pian di SGHA Bukittinggi. Pa pian
mengenalkan saya kepada istrinya dengan mengatakan “Inilah
si Jun yang paling disayang oleh Mak E itu,” ungkapnya
setengah berseloroh. Ini disampaikan di waktu makan malam
pada hari pertama kedatangan kami. Jelas ini menyadarkan

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

saya akan kasih sayang Mak E yang tidak terhingga. Kini,
saya berharap kasih sayang itu saya dapatkan dari Pa Pian
dan istrinya. Meski terlintas sedikit keraguan, mengingat
Etek tengah mengandung buah cinta mereka berdua.
Tentunya, lebih menyayangi anak kandung dari pada saya,
yang hanya seorang keponakan.

Kehadiran saya sebagai anggota keluarga Pa Pian,
menandakan bertambah pula kebutuhan. Apalagi, rumah
yang kami tempati pada saat itu, memiliki kamar yang
terbatas. Oleh sebab itu, kami pindah dari sana dan
mengontrak rumah baru yang beralamat di daerah Kauman
68 V/305. Berdekatan dengan Kraton, jikalau kita masuk dari
Alun-alun Utara. Sebenarnya, pemilik rumah ini masih ada
hubungan saudara dengan KH. Achmad Dahlan, ulama besar
pendiri Muhammadiyah. Semoga saja, keberkahan
menyelimuti kami selama tinggal di sana. Rumah yang kami
tempati kali ini, berukuran lumayan besar. Cukup untuk
menampung kami bertiga. Dan sebentar lagi juga akan
bertambah seorang lagi, calon bayi yang masih dikandung
Etek.

Kehidupan baru ini juga saya tandai dengan
permintaan Pa Pian. Saya dimintanya untuk memanggil
dengan sebutan Papa, tidak diiringi dengan namanya Pian.

Pilar Perjuangan

Cukup Papa saja. Baginya ini terdengar lebih santun.
Terkecuali Pa Pian, adik-adik Papa yang lain saya sebut
dengan Pa Etek dengan menyebutkan namanya setelahnya.
Sejak itu, saya memanggil Pa Pian dengan sebutan Papa
hingga akhir hayatnya.

Tujuan saya ke Yogyakarta, adalah untuk 69
mendapatkan akses pendidikan yang baik. Oleh Papa, saya
didaftarkan di SDN Ngabean. Saya mengalami penolakan
kembali, sama halnya dengan Sikola Bawah dahulu.
Meskipun kali ini disebabkan oleh hal yang berbeda. Pada
waktu itu saya ditolak dengan alasan tidak membawa surat
keterangan pindah sekolah. Apalagi pembelajaran kelas 3
telah dimulai sudah cukup lama. Oleh karenanya, saya
dianjurkan untuk mendaftar pada tahun depan, ajaran baru
bulan Juli 1961.

Saya ketinggalan satu tahun, karena harus memulai
kembali duduk pada kelas 3 yang baru. Saya membolak-
balikkan rapor sekolah saya di kampung. Timbul keinginan
ntuk mengubah tahun lahir pada raport yaitu angka 1951
dirubah menjadi 1952. Biar saya tetap sebaya dengan teman
seangkatan nantinya. Perkara ini bisa saya atasi dengan
mudah. Pasalnya, rapor hanya ditulis dengan pena, jadi tidak
sulit untuk mengubahnya.

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Sementara beberapa bulan tidak sekolah, saya
menghabiskan waktu dengan bermain bersama anak-anak
tetangga. Ini sengaja saya lakukan, mengingat saya mesti
beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Bahasa adalah
faktor utama yang mesti saya kejar. Setelahnya, saya dapat
mengerti dengan cepat bahasa Jawa. Bersisian dengan itu saya
juga diberi tanggungjawab pekerjaan, yang rutin saya lakukan
setiap harinya. Di antaranya, menimba air di sumur untuk
diisikan ke bak kamar mandi dan mencuci piring.

Saya melakoni pekerjaan ini adalah atas nasehat dari
Etek. Ia kerap mengatakan: “Jun tidak boleh menjadi anak
70 yang manja. Hidup tidak akan ramah bagi orang yang
pemalas. Akan sengsara di kemudian hari,” jelasnya. Ini
merupakan pukulan bagi saya yang notabene selama di
kampung selalu dimanja. Mak E selalu memperturutkan
kehendak hati. Saya diperlakukan layaknya anak emas. Di
mana, kasih sayang tercurah tak berkesudahan. Hal-hal yang
tidak dapat saya bayangkan sebelumnya dengan sifat kanak-
kanak kami yang gaduh.

Saya menyadari bahwa saat ini telah berbeda. Saya
mesti berpandai-pandai membawa diri. Tidak menjadi beban
dan tahu di untung. Saya tahu betul, Papa berusaha keras
untuk memenuhi segala kebutuhan kami. Terlebih semenjak

Pilar Perjuangan

Papa dikaruniai anak kembar, Aria Nouva dan Seria Nouvi.
Mereka lahir pada tanggal 14 Maret 1961. Seiring dengan
bertambahnya anggota keluarga, otomatis segala keperluan
juga semakin banyak. Saya mesti bisa meringankan beban
keluarga yang telah dengan senang hati menerima dan
merawat saya. Salah satunya adalah dengan membantu Etek
dalam menyelesaikan pekerjaan rumah. Termasuk,
menjemput susu si kembar ke Rumah Sakit Pugeran. Tugas
ini rutin saya kerjakan, meski dengan berjalan kaki melintasi
Taman Sari dan Alun-alun Selatan.

Menyambung Pelajaran yang Tertinggal

Hari di mana saya akan kembali ke sekolah telah tiba. 71
Tepat pada permulaan tahun ajaran 1961/1962. Setelah hampir
setahun saya menunggu. Kali ini saya akan masuk di kelas III.
Walaupun sebenarnya tahun ini saya telah duduk di kelas IV.
Tetapi biarlah. Resiko anak pindahan. Saya sekolah di
Sekolah Dasar Negeri (SDN) Ngabean. Sebagaimana halnya
dengan kedatangan anak baru, saya langsung diperkenalkan
kepada murid-murid lainnya. Seingat saya nama gurunya Ibu
Soemo. Saya langsung didaulat sebagai ketua kelas. Entah
kenapa, teman-teman langsung sepakat untuk menunjuk saya
sebagai ketua kelas. Ibu Soemo menyetujuinya. Sedari awal,
saya agak sedikit heran atas pengusulan nama saya.

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Mengingat, sekolah yang saya tempati bukanlah sembarangan
sekolah. Saya diberi amanah untuk memimpin teman-teman
yang notabene lebih cerdik, dibanding saya yang hanya
berasal dari kampung.

Tugas saya selaku ketua kelas adalah menertibkan
teman-teman. Termasuk memimpin untuk memberikan salam
penghormatan kepada guru. Demikian juga halnya sewaktu
hendak akan pulang. Saya menyiapkan kelas, supaya tertib
meninggalkan kelas. Selain itu, setiap upacara bendera pada
tiap hari Senin, saya bertugas melafalkan teks Pancasila. Saat
itu, saya hafal diluar kepala dan tanpa melihat teks.
72 Pengalaman ini sangat berbekas bagi saya sebagai penghalau
rasa cemas dan menjadi penawar bagi kecemasan yang
terkadang muncul karena keadaan di rumah.

Situasi yang menumbuhkan rasa percaya diri saya
ditengah masyarakat yang sangat berbeda adat istiadat dan
budaya. Sikap adaptif dan toleransi terhadap teman-teman
satu sekolah yang muncul karena posisi saya sebagai ketua
kelas. Menjaga tutur kata dan perilaku hingga cara bicara
kepada guru. Rangkaian kejadian ini membentuk saya
menjadi pribadi yang halus yang selalu berpikir win solutions.

Sesuai dengan ketentuan yang terkandung dalam
peraturan pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY),

Pilar Perjuangan

bahasa pengantar yang digunakan sewaktu proses belajar
mengajar adalah bahasa Jawa, dicampur dengan sedikit
bahasa Indonesia. Murid kelas I-V, wajib menerapkannya.
Beruntung, pada saat itu saya sudah hampir menguasai
bahasa Jawa. Khusus untuk daerah DIY dan Surakarta, Solo.
Masyarakatnya memakai dialek bahasa Jawa yang halus, atau
disebut dengan kromo inggil. Apalagi kita berbicara dengan
orang yang lebih besar, harus disertai dengan sikap
menundukkan kepala.

Kondisi seperti ini berlaku dalam keseharian, secara 73
otomatis saya harus mengikuti kebiasaan yang ada. Apalagi
jikalau di sekolah, saya sebagai ketua kelas mesti aktif
berbicara dengan guru-guru. Maka, tidak jarang juga saya
menjawab dengan bahasa Indonesia. Kemudian Ibu Soemo
akan membantu meluruskan dengan bahasa Jawa yang halus
dan benar. Demikianlah seterusnya sehingga saya fasih dalam
berkomunikasi dengan teman-teman dan lingkungan dengan
menggunakan bahasa Jawa sesuai dengan tatakrama yang
berlaku.

Di samping itu, di sekolah kami juga mendapat mata
pelajaran bahasa dan tulisan Jawa kuno. Buku yang kami
gunakan berjudul Tataran, yang tulisannya mirip
tulisan/huruf orang India dengan abjad bacaannya (“ha na ca ra

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

ka da ta sa wa la”.....dan seterusnya. Ejaan a dibaca o. Maka
dibaca ho no co ro... dst). Pelajaran ini diberikan sampai kelas
V SD.

Saya menikmati seluk-beluk Yogyakarta dan seisinya.
Dan tanpa disadari, saya menuntaskan segala sesuatunya
dengan baik dari waktu ke waktu. Tidak hanya di sekolah, di
rumah pun juga. Selepas pulang sekolah, saya juga diberi
tanggungjawab untuk membantu Angah. Ia sehari-hari
bertugas untuk membereskan pekerjaan rumah. Memasak,
mencuci dan menyiapkan keperluan sehari-hari. Angah ini
merupakan adik dari ibu kandung Etek. Sesuai dengan apa
74 yang kerap dikatakan Etek, saya diminta untuk membantu
Angah di dapur. Barangkali hanya sekedar cuci piring dan
pekerjaan-pekerjaan ringan lainnya.

Sekitar bulan Desember 1961, Angah jatuh sakit. Dan
tidak lama setelahnya ia meninggal dunia. Ia dikuburkan di
pemakaman Kuncen Yogyakarta. Sejak saat itu, Etek mencari
seorang pembantu. Tetapi tugasnya hanya mencuci.
Sedangkan untuk memasak, ditangani langsung oleh Etek.
Sebagaimana biasanya, saya juga membantu Etek
menyelesaikan pekerjaan dapur. Kali ini saya mendapati tugas
pokok yang agak berat. Yakninya memarut kelapa. Satu hal
yang menjadikan pekerjaan ini cukup sulit bagi saya adalah

Pilar Perjuangan

terletak pada cara memarut kelapa yang berbeda dengan di
kampung. Kami di kampung biasanya hanya dengan
mengukur kelapa, lalu diperas menjadi santan. Sedangkan, di
Yogya sedikit berbeda. Kelapanya harus dibelah menjadi
beberapa bagian, kemudian isinya dicongkel, barulah diparut
untuk mendapatkan santannya.

Pada suatu ketika, Etek akan membuat rendang. Saya 75
disuruhnya untuk memarut kelapa. Lazimnya, untuk 1 kg
daging, diperlukan tiga buah kelapa yang telah tua. Otomatis,
jumlah kelapa yang diparut cukup banyak. Apalagi setelah
kelapa tersebut dicongkel, akan dipotong-potong menjadi
beberapa bagian. 1 buah kelapa dibagi menjadi 8 potong.
Maka jumlah keseluruhannya sebanyak 24 potong. Butuh
waktu 1 jam lebih bagi saya untuk menyelesaikannya.
Ditambah dengan kelapa tersebut begitu keras, sehingga
menyulitkan saya untuk memarutnya. Terlampau semangat
bekerja, tanpa sengaja jari tangan saya terluka terkena
parutan. Jemari saya berdarah. Perihnya terpaksa saya tahan.
Saya tetap berlagak tangguh di hadapan Etek.

Sungguh, kala itu tiada terpintas rasa sakit, apalagi
penat. Motivasi Etek mampu melahirkan kekuatan dalam diri
saya. Kecelakaan-kecelakaan kecil ketika memasak, telah
menjadi biasa. “Jun, kalau bisa memasak, nanti sudah besar,

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

bisa buka restoran,” tuturnya santai. Etek dengan sabar
menjelaskan bumbu-bumbu yang akan dimasak. Sebut
misalnya, cabe, jahe, lengkuas, sarai, dan lainnya. Sembari
menggiling bumbu, ia juga menguraikan cara menggiling
bumbu yang praktis supaya lebih cepat halus.

Pada waktu itu, kami memasak dengan tungku, yang
disebut dengan anglo. Saat itu keberadaan minyak tanah
sangat langka, kalau pun ada, tentunya dibandrol dengan
harga yang tinggi. Maka, jarang orang yang memasak dengan
menggunakan kompor. Pada umumnya, dengan menggunakan
kayu. Terutama bagi orang seperti kami yang berasal dari
76 kondisi ekonomi yang pas-pasan. Memasak rendang ini betul-
betul pengalaman yang penuh kepahitan. Memasaknya butuh
waktu yang lama, agar mendapatkan hasil yang sempurna.
Misalkan, dinaikkan ke atas anglo pukul 09.00 WIB pagi,
kemudian akan matang pada pukul 17.00 WIB. Apinya juga
tidak boleh terlalu besar dan harus selalu diaduk, supaya
tidak lengket di kuali.

Pekerjaan rumah lainnya yang biasa saya lakukan
adalah menggiling cabe. Ini pekerjaan yang tidak kalah
sulitnya dari memarut kelapa dan memasak rendang. Cabe
tersebut digiling sampai lumat. Maka, tangan saya sering
kepanasan dibuatnya. Apalagi ketika mengupas dan

Pilar Perjuangan

menggiling bawang, air mata mengalir deras. Perih tak
tertahankan. Kendati demikian, pada waktu itu tidak
terbayang sedikitpun untuk pulang ke Simabua.

Nasehat Etek mampu menghilangkan segala gundah 77
yang dirasa. Anak yatim memang butuh kerja keras untuk
bisa menjadi orang di kemudian hari. Etek sering
mencontohkan dirinya, yang juga seorang yatim piatu. Ia juga
dibesarkan oleh mamaknya Datuak Gamuak, di Batusangkar.
Sedari kecil sudah diajar memasak dan mencuci. Berangkat
dari cerita Etek, hal itu amat mempengaruhi dan memotivasi
saya untuk mau bekerja dan menolong Etek memasak dan
mengerjakan pekerjaan rumah lainnya.

Dari waktu ke waktu saya menapaki metamorfosa
hidup yang mengharuskan untuk bisa melakukan banyak hal.
Upaya Etek untuk membekali saya dengan pekerjaan berat
perlahan tapi pasti. Anak kecil seusia dengan saya, lazimnya
sepanjang waktu lebih banyak dengan bermain. Lain halnya
dengan yang saya alami. Saya juga dilibatkan untuk melakoni
pekerjaan vital di rumah.

Namun, tidak selamanya hati dapat berkompromi
dengan keadaan. Lipatan semangat dan kekuatan yang telah
terbuhul erat, lama kelamaan juga sedikit tercerai. Ada satu
peristiwa yang membuat hati ini sangat sedih dan sampai

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

menangis terisak-isak. Ketika tanpa sengaja, saya
memecahkan piring kesayangan Etek. Insiden Ini terjadi
sewaktu saya mencuci piring. Namanya juga bekerja dengan
tangan, sesekali tentu ditemui kesalahan.

Saya menjatuhkan sebuah piring antik. Kabarnya
piring peninggalan di zaman Belanda. Tentunya piring
tersebut bukan piring sembarang. Punya nilai lebih dan
sangat dijaga oleh Etek. Ada kata-kata yang terucapkan oleh
Etek yang membuat hati saya terluka. Tidak tahu kenapa, air
mata mengucur lagi derasnya. Saya menangis pilu. Inilah kali
pertama, timbul keinginan bagi saya untuk pulang kampung.
78 Teringat akan Amak dan Mak E. Terlebih, perkataan Etek
menyulut kesedihan yang tidak terbendung. Namun, pada
saat itu pulalah timbul kesadaran di mana saya harus berhati-
hati dan bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang
ditugaskan.

Jelas kentara, perbedaan Etek dan Papa dalam merawat
saya. Etek secara terang-terangan berlaku tegas, cenderung
keras. Tiada nilai tawar untuk bersikap manja. Sedangkan,
Papa lebih cenderung bersikap manis dan lembut. Papa
sehari-hari bertugas sebagai seorang dosen. Ia mengajar di
IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta. Di samping kesibukannya
di kampus, ia juga aktif berorganisasi. Di berbagai organisasi,

Pilar Perjuangan

Papa selalu diangkat sebagai ketua. Di antaranya, sebagai
Ketua Forum Komunikasi Mahasiswa Sumatera Tengah.
Ketua Baringin Mudo, yakni persatuan orang muda Minang
di Yogyakarta. Kesibukan tersebut membuat beliau jarang di
rumah. Kendati demikian, saya dan anak-anak Papa yang lain
tetap peroleh kasih sayang dari seorang ayah, tanpa
kekurangan.

Hampir setiap bulan, kami sering diajak Papa ke 79
sebuah restoran. Memanjakan selera dan makan besar.
Namun, saya dan Papa juga kerap pergi berdua. Seringkali
kami pergi ke restoran Jamu Ngabean. Sembari kami jalan-
jalan dan makan, Papa selalu memberikan nasehat hidup.
Terutama terkait dengan tatakrama, sopan santun, termasuk
kebersihan diri dan kerapian berpakaian. Berulangkali ia
menyampaikannya dengan pemilihan kata yang halus. Sejuk
didengar dan menenangkan.

Suatu ketika, saya pernah dibawa oleh Papa ke
Malioboro. Nama jalan paling populer yang terdapat di
jantung kota Yogyakarta. Di sana menjual beragam item
barang dagangan khas Yogya, termasuk kuliner. Kala itu, saya
dan Papa minum es, di mana ukuran gelas dan isinya sama
banyak. Sontak Papa menanyakan apakah saya sanggup
menghabiskannya. Mengingat porsi es tersebut adalah untuk

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

ukuran orang dewasa. Saya langsung menjawab iya.
Meskipun terlihat Papa seperti menyangsikannya.

Ketika hendak pulang, ia bertanya kepada saya,
“Habiskah oleh Jun es tadi?” Saya menjawab dengan senyum
menyungging, pertanda es tersebut telah saya seruput hingga
tetesan terakhir. Papa menatap saya dan juga melempar
senyum dengan diiringi sedikit gelengan kepala. “Papa dan
Jun dari segi umur berbeda. Sebaiknya, Jun menghabiskan
minuman, normalnya ukuran anak-anak juga,” tuturnya
dengan sedikit menarik nafas dalam. Di sini beliau secara
halus menyuruh saya untuk berpikir, bahwasanya
80 sesuaikanlah keinginan dengan kebutuhan menurut porsinya
dan jangan cangok (rakus).

Meskipun disampaikan secara tersirat, tetapi saya
dapat memahami maksud Papa dengan baik. Setiap amanat
yang diutarakan, ia selalu mencontohkannya dengan kisah
orang lain. Ia begitu pandai bercerita. Seolah-olah tokoh yang
dikisahkan, terkesan sangat menarik dan luar biasa. Dari
cerita-cerita yang sekaligus berisi nasehat tersebut, Papa
tidak pernah menyampaikan dengan nada kesal apalagi
marah. Semuanya dituturkan dengan lembut, mencerminkan
hati yang lapang.

Pilar Perjuangan

Papa mengikuti pertumbuhan dan perkembangan yang
ada pada diri saya. Termasuk mengetahui apa yang saya suka
dan yang tidak. Mengingat kegemaran saya dalam membaca.
Saya dibelikan oleh Papa buku cerita Si Doel Anak Betawi,
karangan Aman Datuk Majoindo. Ketika itu saya masih
duduk di bangku kelas IV SD. Barangkali buku tersebut
cocok dibaca oleh anak-anak seumuran saya.

Ceritanya kurang lebih mengisahkan tentang si Doel, 81
yang dahulunya dikenal sebagai anak yang bandel dan manja.
Kemudian, tingkah lakunya berubah drastis setelah Babe-nya
meninggal dunia. Tinggallah ia bersama dengan ibunya, yang
dipanggil dengan Nyak. Hal ini lantas menyadarkan Doel agar
menjadi anak yang berbakti kepada ibunya. Hingga akhirnya
ia tumbuh besar menjadi seorang anak yang bertanggung bagi
keluarga.

Cerita si Doel sangat berkesan dan berpengaruh dalam
transformasi hidup saya. Kisahnya kurang lebih sama dengan
apa yang tengah saya alami. Seakan-akan saya seperti berkaca.
Saya merasakan betul sebagai seorang Doel. Oleh karenanya,
saya mesti juga berubah. Beretika yang santun dan
bersungguh-sungguh dalam belajar, supaya nantinya dapat
membanggakan kedua orangtua.

ZULFA EFF ULI RAS; Titik Arsitektural Perjalananku

Membaca bagi saya merupakan kebiasaan yang tidak
bisa ditinggalkan, baik buku maupun koran. Biasanya, di
pagi-pagi buta tukang loper koran dengan rutin menunaikan
kewajibannya. Membawa sejumput informasi bagi pembaca
setia. Saya selalu menunggu-nunggu kedatangannya. Hal ini
yang membuat saya kerap diomeli Etek, “Jun selesaikan
pekerjaan rumah ini terlebih dahulu, selesai itu, baru boleh
membaca.” Keingintahuan yang tinggi dan kesenangan
membaca ini terkadang saya rasakan berlebihan juga. Di kala
menggiling cabe, kertas koran pembungkus cabe tersebut
juga dibaca. Hal ini juga sering dapat teguran dari Etek sambil
berkata: “Kalau sedang bekerja itu jangan membaca juga,"
82 tegasnya.

Demikian pula buku-buku dan majalah, seperti
Criterium, majalah IAIN yang ada tulisan Papa, yang terletak
didalam rak-rak buku. Kalau waktu luang saya gunakan
untuk membaca. Ada novel perjuangan yang saya baca,
berjudul “Revolusi di Nusa Damai”, karangan seorang wanita
Amerika dengan nama samaran Ktut Tantri. Buku ini
tebalnya lebih dari 500 halaman yang sering dibaca malam
hari sebelum tidur dengan sembunyi-sembunyi. Buku ini baru
selesai dibaca, pada waktu kami sudah pindah ke Aceh pada
tahun 1963.


Click to View FlipBook Version