The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Ghani Chaniago, 2023-11-08 08:07:43

DOC-20231108-WA0017

DOC-20231108-WA0017

51 “ Memang, tapi ketiga laki laki itu sudah merusak 3 kesempatanku dalam bercinta.” “ Merusak?” “ Ya, mereka hanya memanfaatkan diriku.” “ Kau tau kan, mereka memanfaatkanmu, tetapi kenapa kau menjalin hubungan dengan mereka.” “ Sudah ku bilang kan, William? Aku butuh kasih sayang untuk mengimbangi hinaan yang ku terima.” “ Jika kau mau, aku bisa menjadi teman bicaramu, Willy.” “ William, kau adalah laki laki paling baik yang pernah ku temui.” “ Kita baru berkenalan 4 jam yang lalu, kau tidak akan tau kepribadianku secepat itu.” “ Sebelum aku mati, aku harap cinta keempatku dapat ku berikan kepada seseorang. Dan orang itu adalah kau, William.” “ Willy….” “ Sepertinya sekolah sudah mulai sepi, ya.” “ Apa maksudmu Willy.”


52 “ Terima kasih, William. Kau adalah cintaku yang keempat. Aku tidak ingin dikecewakan siapapun lagi.” “ Sebenarnya, apa yang kau inginkan, Willy. Bagikan semua penderitaanmu kepadaku.” “ Bagaimana pendapatmu jika aku melompat ke bawah, dari sini.” “ Tu…Tunggu, apa apaan ini, Willy.” *Dia berusaha untuk memanjat pembatas. Dan dia sudah berdiri diatas tembok pembatas itu, bersiap untuk melompat kebawah. “ William, aku adalah orang yang baik,” *Dia mulai menangis, sedangkan aku tidak bisa berkata kata. “ Aku sudah mendengar semua hal yang diucapkan temanmu tentangku, apakah kau mempercayai semua perkataannya?.”


53 “ Willy tunggu, aku, aku….” “ Ayah, Ibu, aku…. Aku…. Aku…. Aku rindu kasih sayang kalian, aku ingin memeluk kalian di alam sana.” Willy, seorang wanita yang sangat cantik, tetapi hidupnya sangat menderita. Apakah Ayah dan Ibunya sudah….mati? Aku tidak tau pasti. Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana hidup tanpa kedua orang tua dan selalu dianggap rendah. Angin yang berhembus membuat Willy jatuh ke arahku. Mau tak mau, aku harus menangkap tubuhnya. Tangisannya masih belum berhenti, dan dia menyalurkan emosinya dari lubuk hati terdalam kepadaku. Entah kenapa, hatiku ikut membuatku menangis. Seolah-olah, aku berada dalam posisi Willy. “ William, kau lihat, aku sudah tidak berdaya dipangkuanmu. Silahkan, kau rusak diriku, bahkan bunuh saja diriku. Aku sudah tidak sanggup hidup seperti ini, William.”


54 “ Willy, sudah cukup, apakah kau menjalani hidupmu seperti ini setiap hari?” “ Ya, William, cepat bunuh aku, aku sudah tidak sanggup lagi.” “ Kau hanya kesepian, Willy. Masa depanmu yang indah masih menanti. Aku yakin, sifatmu sama seperti wajahmu yang cantik, begitu pula masa depanmu. Aku akan bersamamu.” “ William, kau tidak tau arti kesepian yang sebenarnya. Ibu, dan Ayahku, mereka sudah tiada. Tidak ada yang menyayangiku lagi.” “ Aku….aku….” “ William, aku tau, kau tidak bisa menyakitiku. Emosi yang aku rasa juga tersalurkan ke hatimu. Aku tau isi hatimu, William.” “ Wajah cantik yang kau miliki, Willy. Bolehkah Aku…..” “ William, aku mencintaimu. “ “ Willy, kau….” “ Ya, William, aku mencintaimu. Batin kita terhubung satu sama lain. Aku tau, kau adalah laki laki yang


55 baik. Bahkan sejak pertama kali kau masuk kelas tadi.” “ Willy, akan ku isi kekosongan hatimu itu, dengan kasih sayang. Aku juga menyayangimu, Willy.” “ William, Terima kasih, terima kasih, terima kasih, terima…..kasih…..” Willy perlahan lahan kehilangan kesadaran dan pingsan dipangkuanku. Mungkin karena hawa dingin tadi, dia berdiri terlalu lama diatas tembok pembatas. Atau mungkin karena terlalu senang. Aku tidak percaya, dengan wajah secantik ini, dia masih saja direndahkan. Dia hanya kesepian, dan mencoba menjalin hubungan untuk menggantikan kasih sayang dari Ayah dan Ibunya yang sudah lama dia rindukan. Dan aku masih penasaran, apakah dia sering melakukan percobaan bunuh diri? Aku membawa tubuhnya yang tidak berdaya dan mencari ruangan UKS. Ternyata, ruangan itu telah terkunci. Untunglah aku mempunyai uang lebih, jadi aku memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit dengan naik taksi.


56 Ketika aku sampai di gerbang sekolah, mobil Ayahku kebetulan lewat dan aku memanggil Ayahku. Ayahku mendengarnya dan memberhentikan mobilnya. Dia keluar dari mobil dan menyuruhku membaringkan Willy di dalam mobil. Sedangkan aku duduk di depan bersama Ayahku. Ayahku yang penasaran bertanya kepadaku. “ William, apa yang terjadi dengan anak ini?” “ Dia pingsan, Yah. Mungkin karena sedang tidak enak badan.” “ Dimana dia tinggal?” “ Aku tidak tahu yah, bagaimana kalau kita membawanya ke rumah sakit saja.” “ Baiklah.” Kami tiba di rumah sakit terdekat, dia langsung dibawa ke sebuah kamar dan dokter disana tidak mengizinkan kami untuk masuk.


57 Setelah 10 menit, dokter tersebut keluar dari ruangan. Dia bilang Willy akan baik baik saja dan kami sudah diperbolehkan melihatnya. Aku dan Ayahku masuk ke kamar Willy itu. Aku mencoba membuat Willy sadar. Tangannya sangat dingin, sepertinya, dengan mengelus telapak tangannya dapat membuatnya sadar. Sedangkan Ayahku, dia malah sibuk mengacak acak tas Willy. Dan menemukan ponsel Willy. Ayah pasti mencoba menghubungi keluarga Willy. Ternyata, ponselnya tidak dilindungi oleh kata sandi atau semacamnya. Jadi, Ayahku mudah saja membuka aplikasi telepon dan hanya ada satu nomor di ponsel Willy, nomor pamannya. Ayahku segera menghubungi nomor itu dan untunglah pamannya Willy fast respon. “ Halo.” “ Halo, ini siapa? Dari suaramu, aku tau kau bukan Willy.” “ Aku adalah orang tua dari temannya Willy. Aku dan anakku telah membawa Willy ke rumah sakit.


58 Segeralah datang ke rumah sakit…… haaaahhh…aku lupa namanya.” “ Apa kau mencoba menipuku?” “ Aku justru menyelamatkan keponakanmu, datanglah ke rumah sakit yang jaraknya 3 km dari SMA 1 Evercold.” “ Aku tidak akan percaya sebelum melihat foto keponakanku.” “ Aku akan mengirim fotonya di aplikasi pengirim pesan.” “ Baiklah” Ayahku memotret Willy yang sedang terbaring lemah di kasur dan mengirim foto itu kepada pamannya Willy. Pamannya Willy langsung membalas kalau dia sedang dalam perjalanan. Dan usahaku menyadarkan Willy berhasil. Dia perlahan lahan siuman dan membuka matanya. Aku senang sekali karena dia sudah membaik. “ William,….” “ Jangan terlalu banyak bergerak, kamu baru siuman tau!.”


59 “ Dimana ini, William?” “ Jangan cemas, Willy. Kita sekarang di rumah sakit.” “ Lalu, siapa itu?” “ Oh itu, dia Ayahku.” ” Terima kasih, William atas bantuanmu.” “ Sama sama, Willy.” Tiba tiba seseorang datang ke ruangan kami. Dia adalah pamannya Willy. “ Apa kau tidak apa apa, Willy?” “ Ya, paman.” Orang itu langsung menoleh kehadapan Ayahku dan berterima kasih. “ Terima kasih ya, sudah menyelamatkan Willy, dan kau tadi, karyawan baru ya?” “ Oh, ya pak. Saya karyawan baru di perusahaan bapak.”


60 “ Kau rela jam istirahatmu terpakai untuk menyelamatkan keponakanku, Oleh karena itu, Gajimu selama 3 bulan akan ku naikkan 30 persen dan tunjanganmu akan ku naikkan 90 persen. Selain itu, pajak penghasilanmu akan ku tanggung.” “ Wah terima kasih pak.” “ Ya, sama sama. Oh ya, saya memberimu dispensasi waktu 10 menit untuk istirahat, saya harap kamu tidak terlambat masuk kerja, pak….” “ …..Basyar.” “ Ya,…Pak Basyar. Oh ya, aku juga berterima kasih kepadamu, nak. Siapa namamu?” *Dia mengalihkan pembicaraanya kepadaku “ Namaku William, pak.” “ Oh, baiklah William. Biayamu selama sekolah akan ku tanggung selama 3 bulan. Belajarlah dengan giat.” “ Baik pak.”


61 “ Ya sudah, Saya akan mengurus administrasi dan kembali ke kantor, sampai jumpa.” *Ayahku menyela. “ Ayah akan pergi lebih dulu ya, William. Jaga Willy baik baik.” “ Baik yah.” Akhirnya sepi, aku tidak tau apa yang akan aku lakukan. Jika aku pulang, Willy belum sehat sempurna. Jika aku disini, pasti sangat membosankan. Willy mencoba untuk bangkit dan berbicara denganku. “ William…” “ Willy, sudah ku bilang, istirahatlah dulu.” “ Aku sudah membaik kok.” Willy memaksakan diri untuk turun dari kasurnya. Tapi, kakinya masih lemah dan tidak dapat


62 menahan tubuhnya. Willy sepertinya akan terjatuh, aku langsung menopang tubuh lemahnya. Kemudian, Willy membalikkan tubuhnya, sehingga aku dan dirinya berhadapan. Aku merasa tidak enak. “ William, kau menyayangiku kan?” “ Tentu saja, Willy.” “ William, ciumlah aku.” “ Aku tidak bisa.” “ Ayolah William, Aku ingin kasih sayangmu.” “ Willy, aku menyayangimu.” “ Baiklah, William. Biar aku saja yang menciummu.” Aku tidak percaya, aku berciuman dengan orang yang baru ku kenal 5 jam yang lalu. Dia menciumku sangat lama. Sepertinya, di benar benar tidak mendapatkan kasih sayang dalam waktu yang sangat lama. Untunglah, tidak ada orang yang melihat kami berciuman.


63 Setelah kami selesai berciuman, Willy kembali menangis dan mengucapkan terima kasih berulang ulang. Tak lama kemudian, suara adzan berkumandang, aku terpaksa meninggalkan Willy sendirian dan pergi ke masjid yang tak jauh dari rumah sakit. Aku harap, Willy dapat menjaga diri selagi aku shalat. Setelah shalat, aku meminta ampun kepada Allah, atas kemaksiatan yang aku lakukan, walau bukan didasari atas keinginanku. Aku hanya merasa kasihan dengan Willy yang sudah lama berpisah dengan kedua orang tuanya. Aku juga berdoa agar kesehatan mental Willy kembali pulih. Aku kembali ke ruangan Willy dirawat. Dia ternyata sudah sanggup berdiri lagi. Biaya administrasi juga sudah diurus oleh pamannya Willy. Kami pulang dengan memesan taksi. Willy meyakinkanku kalau dia bisa pulang sendiri.


64 “ William, sekali lagi terima kasih atas bantuanmu dan….yang tadi.” “ Willy, apakah kamu sudah tidak apa apa?” “ Tenang saja, aku sudah tidak apa apa kok. Oh ya, boleh kah aku menyimpan nomormu, William?” “ Tentu saja, ini nomorku” *aku mengejakan nomorku kepada Willy, kemudian melanjutkan pembicaraan. “ Willy, hubungi aku ya, jika ada apa apa.” “ Baiklah, William.” Sebuah taksi datang menghampiri kami, dan itu adalah taksi yang dipesan oleh Willy melalui sebuah aplikasi online. Willy segera meninggalkan tempat dan pulang dengan taksi itu. Tak lama waktu berlalu, taksi yang ku pesan akhirnya datang dan aku segera menaikinya.


65 Di perjalanan, aku merenungkan apa apa saja kejadian hari ini. Mulai dari teman teman baru, kasus rasisme agama, dan hal yang paling tidak bisa ku lupakan adalah waktu waktu yang ku habiskan hari ini bersama Willy. Aku juga senang mendapatkan hadiah dari pamannya Willy, bahkan aku juga baru tau kalau pamannya Willy adalah bos di perusahaan tempat Ayahku bekerja. Setelah 10 menit perjalanan, aku tiba di rumah. Ibuku langsung beranjak dari dapur meninggalkan masakannya dan menyambut kedatanganku. “ Wah, anakku sudah pulang.” “ Iya bu. Tolonglah bu, jangan perlakukanku seperti anak kecil lagi, aku sudah kelas 12.” “ Bagiku, kamu tetap saja anak kecil dimata Ibu, William.” “ Ya sudah, itu terserah Ibu.” Aku melepas sepatu tetapi Ibuku masih saja melihatku dengan tatapan aneh.


66 “ Ada apa bu?” ” Apakah kamu memakai lipstik Ibu, William?” “ Tidak kok.” “ Lalu kenapa bibirmu terlihat lebih merah.?” Aku mengambil selembar tisu di ruang tamu. Kemudian mengusap bibirku. Permukaan tisu itu berubah menjadi kemerahan. Aku teringat, tadi aku berciuman dengan Willy. Dan warna lipstiknya menempel di bibirku. Sepertinya, Willy menggunakan lipstik mahal sehingga tidak mudah luntur jika terkena air. Aku jadi paham kalau air wudhu tadi tidak dapat menghilangkan bekas kecupan ini. Ibuku kembali bertanya kepadaku. “ Apakah anak kecil Ibu sudah berani berciuman dengan gadis lain?”


67 Aku tidak tau mau menjawab apa? Sepertinya Ibuku sedang menginterogasiku. Sepertinya aku harus berbohong. “ Iya bu, aku memang berciuman tadi.” ( Ayahku tidak mewariskan sifat pembohongya kepadaku, jadi aku tidak sanggup berbohong.) “ Ibu tidak percaya. Anakku yang dulu polos ternyata sudah melangkah sangat jauh.” “ Ibu, tolong jangan beritahu Ayah. Aku bisa menjelaskan ini semua, nanti, di waktu yang tepat.” “ Ibu tidak akan menjatuhkanmu ke dalam permasalahan Ayah dan anak. Hanya kita yang tau hal ini. Tenang saja , William.” “ Wah, terima kasih bu.” ( Untunglah Ibuku bisa menjaga rahasiaku)


68 “ Ngomong ngomong, William. Seperti apa pacarmu itu?.” “ Dia cantik, baik, dan itu saja.” “ Kalau Ibu boleh tau, siapa namanya?” “ Willy.” “ Wah, nama kalian sangat cocok. Willy-William. Hahahaha.” “ Hah….. Ibu, sudahlah.” “ Kalau agamanya, Apa William.?” “ Aku belum tau bu, aku belum tau banyak soal latar belakang dan identitasnya.” “ Dari namanya, sepertinya dia kristen.” “ Aku juga merasa begitu, bu.” “ Jika kamu menjalin hubungan dengannya, bimbinglah dia untuk masuk islam.” “ Lalu, bagaimana dengan Ibu sendiri? Ayah islam, aku islam, sedangkan Ibu…..” “ Oh, soal itu Ibu lupa memberitahukanmu. Ibu sudah yakin dengan agama Islam. Ibu juga sudah


69 belajar tentang nazar. Jika Ayahmu mendapat pekerjaan di kota ini, Ibu akan masuk Islam.” “ Serius kan, bu?” “ Tentu saja. Ibu harap, Ayahmu bisa membawaku ke masjid nanti untuk mengajariku cara masuk islam.” “ Bagaimana kalau sekarang saja bu?.” “ Ibu lebih memilih untuk dibimbing oleh Ayahmu.” “ Oh begitu. Ya sudah lah, aku akan ke kamarku. Ibu jangan lupa, soal makanan yang sedang Ibu masak ya.” “ Waduh, Ibu kelupaaaaaaaaan.!!!” Ibuku langsung berlari kearah dapur bagaikan rusa yang dikejar harimau. Tapi, nasibnya sekarang terlalu apes. Makanan yang dia masak sudah hangus. Dari aroma hangus itu, aku langsung tau kalau Ibuku memasak ikan goreng. Ya, seharusnya Ibu tidak boleh lalai ketika memasak, apalagi ketika memasak ikan.


70 Ibuku menatapi ikan ikan yang sudah hangus dan merebahkan badannya ke lantai. Ibuku berteriak dengan nada kecewa. Aku tau ini adalah kejadian yang apes bagi Ibuku. Tapi, ketika mendengar Ibuku merintih dengan nada kecewa, mulutku tiba tiba saja tertawa. Oh ya, aku lupa kalau guru mapel di sekolah tadi memberikan PR. Waduh…….kenapa aku harus mengerjakan banyak PR. Padahal, hari ini adalah hari pertamaku di sekolah itu. Aku bangkit dari kasurku dan mengambil beberapa buku. Aku mengerjakan PR dengan cara sesingkat mungkin. Terkadang, aku juga mencontek hasil jawaban di media online. Akhirnya selesai juga. 1 jam aku benar benar menulis tanpa henti, sehingga pangkal jempolku terasa ngilu jika digerakkan ke arah lain. Tak lama kemudian, ponselku sering berbunyi dalam jeda singkat. Sepertinya seseorang


71 telah mengirimkan pesan spam, sehingga ponselku sering mengaktifkan nada dering notifikasi. Hah….ternyata memang benar. Seseorang mengirim 100 buah pesan ke nomorku. Dan orang itu adalah Willy. Dia menyebut namaku 96 kali, kemudian melanjutkan dengan 4 kalimat lain. “ Halo, William (96x), Apakah kamu sibuk sekarang? Jika kamu tidak keberatan, maukah kamu menemaniku makan malam nanti? Soal biaya, biar aku yang bayar. Terima kasih.” Aku tidak menyangka, Willy adalah gadis yang sangat nekad. Dia menganggapku sudah seperti orang yang ia cintai sejak lama. Lagi pula, apa yang dipikirkan Willy, sampai sampai hatinya terniat mengetikkan namaku 96 kali. Dia benar benar gadis yang unik. Dan yang aneh, kenapa orang yang pertama kali ku lihat di kota ini selalu mentraktirku? Padahal


72 aku mampu membiayai diriku sendiri untuk memesan makanan. Pertama Zain, kemudian Willy. Mereka adalah dua orang yang paling kuat usahanya dalam menjalin hubungan denganku. Zain ingin sekali mendapatkan sahabat sepertiku, sedangkan Willy langsung menyatakan perasaannya di awal perjumpaan kami. Lagi pula, aku bisa menjalin hubungan dengan siapapun itu, tidak penting apakah dia miskin atau kaya. Hari cepat berlalu. Sekarang sudah sekitar jam 4 sore dan aku juga sudah shalat ashar. Semua PR ku juga sudah selesai. Aku juga teringat, kalau Zain mengajakku mengobrol di restoran kemarin. Jadi aku memutuskan untuk pergi keluar dan pergi ke restoran kemarin. Benar saja dugaanku, Zain sudah terlebih dulu sampai di restoran itu. Selain itu, Han dan Zaid juga sudah duduk bersama Zain. Mereka langsung mengajakku duduk bersama. Dan Zain memulai obrolan terlebih dulu. “ Hai, William.”


73 “ Oh, hai semua.” “Kenapa kau lama sekali” “ Hmm…aku tadi mengerjakan PR terlebih dulu dan shalat ashar.” “ Oh, begitu. Ternyata kau orangnya rajin juga ya, William.” “ Hah….tidak. Aku hanya tidak mau citraku sebagai siswa baru menjadi rusak di sekolah karena tidak buat PR.” “ Hahahaha, kau liat William? Bahkan Farhan saja belum bikin PR, benar kan, Han?” *Farhan menjawab pertanyaan Zain “ Ya. Kau benar, Zain.” *Aku mengalihkan pembicaraan kepada Farhan. “ Han, dimana Murad.?”


74 “ Entahlah, mungkin dia sedang di rumah. Sama sepertimu, dia juga tidak suka menunda nunda PR. Walaupun dia anak rajin dan pintar, dia tidak ahli dalam menulis cepat.” “ Apakah dia akan ke sini juga.?” “ Hmmm, entahlah.” “ Oh ya, Han, aku belum tau banyak mengenai dirimu. Misalnya seperti hobimu?” “ Hobiku? Aku biasanya suka bermain game online di ponsel sih.” “ Oh, begitu ya.” “ Ya, kalau kau juga memiliki hobi yang sama, kita bisa bermain bersama.” “ Hmmm, lain kali saja ya. Aku tidak terlalu suka bermain game online, karena moodku mudah rusak karenanya.” “ Itu adalah hal yang wajar jika kau seorang player game online, William.” “ Tapi, kenapa kau tetap saja cerdas walau suka bermain game online.”


75 “ Aku bersyukur kepada Allah atas hal itu. Ibu dan Ayahku adalah guru dan profesor. Jika aku kesulitan dalam memahami pelajaran, aku tinggal meminta mereka membimbingku dalam belajar. Ibaratnya, aku punya bimble gratis. Walaupun aku sering bermain game, aku juga belajar setiap harinya di rumah.” “ Wah, hidupmu enak sekali ya, Han.” “ Tidak juga, William. Jika aku kedapatan bermain ponsel lebih dari 3 jam sehari, ponselku akan disita selama seminggu.” “ Oh, begitu,” Rasa penasaranku terhadap Farhan sedikit berkurang. Tak heran dia tetap pintar walau hobi bermain game online. Orang tuanya adalah orang orang yang cerdas dan tegas dalam mendidik anaknya. Mungkin latar belakang tentang Farhan yang ku peroleh hari ini sudah cukup. Jika aku terlalu banyak tanya, dia pasti merasa kalau aku menginterogasinya untuk mendapatkan informasi.


76 Lagi pula, aku masih penasaran dengan latar belakang Zaid. Jadi aku mengalihkan pembicaraanku kepada Zaid. “ Hmm, kalau kau, Zaid? Apa hobimu?” “ Hobiku ya? Hmmm….. apa ya? Ku rasa, aku paling suka menonton film komedi sih.” “ Ngomong ngomong, tadi , di sekolah, kau bilang kalau Zain adalah sepupumu kan?” “ Iya, memangnya kenapa?” “ Apakah kau adiknya kak Zahra?” “ Da…..darimana kau tau itu, aku bahkan belum pernah menyebutkan itu kepadamu.” “ Kemarin aku bertemu dengan seorang pegawai restoran wanita di restoran ini. Dia melihatku dan mengajak berkenalan. Dia bilang kalau dia adalah kakak sepupunya Zain.” “ Oh begitu ya, ternyata kau sudah menjalin kekerabatan lain ya sebelumnya?” “ Hmmm, tidak juga.” “ Aku harap, kau bisa mempertahankan kemampuanmu dalam menjalin relasi, William.”


77 “ Apa maksudmu, Zaid?” “ Ini hanya diantara kita kita saja. Jujur saja, kami tidak akan pernah serius dalam berrelasi dengan orang non-muslim.” “ Kenapa? Aku rasa, mereka cukup ramah.” “ Diluar memang terlihat ramah, tapi sebenarnya mereka adalah orang orang yang licik.” “ Apakah kau pernah dirugikan karena kelicikan mereka, Zaid?” “ Kurasa, tidak.” “ Lalu, kenapa kau masih berprasangka buruk kepada mereka, Zaid?” “ Aku tidak tau kenapa, hal hal itu terbesit di pikiranku dengan sendirinya.” “ Zaid, jika aku boleh memberi saran kepadamu, kenapa kau tidak mencoba untuk menjalin relasi dengan orang non-muslim.” “ Aku tidak akan mengambil resiko, William.” “ Lalu, sebenarnya apa yang kau mau, Zaid?” “ Aku harap kau dapat menjadi jembatan antara muslim dan non-muslim, William.”


78 Jembatan antara muslim dan kristen? Sepertinya orang orang di Kota Evercold menginginkan perdamain diantara perbedaan agama. Hanya saja hati mereka sudah membeku untuk itu. Kurasa ini adalah langkah awalku dalam mencapai tujuanku di kota ini. Karena suasana terlalu monoton, Zain mengajak kami untuk memesan makanan. “ Daripada bosan, bagaimana kalau kita memesan makanan?” *Aku menjawab. “ Tentu saja.” ( Sepertinya, Farhan dan Zaid merasa sedikit tertekan, ada apa ya dengan mereka?) *Farhan menjawab dengan nada tertekan dan Zaid ikut ikutan saja dengan jawaban Farhan.


79 “ Hehhehe, tidak usah. Kami lupa membawa uang, bukan kah begitu, Zaid?” “ I…..iya…iya. Kau benar, Han.” “ Kalau begitu, kami pulang dulu ya, Zain, William.” *Zain sepertinya merasa tidak enakan. “ Eh eh eh. Kalian mau pulang?” *Farhan menanggapi pertanyaan Zain dengan opini dengan makna yang cukup dalam. “ Zain, sudah kami bilang, uang kami tertinggal. Lagi pula, aku masih punya hati, aku selalu merasa tidak enakan karena kau sering mentraktir kami. Bahkan, hal itu membuatku terlihat miskin dan terlilit hutang.” Sepertinya, ucapan Farhan menampar mental Zain. Aku tau, Zain adalah orang baik. Dia suka membantu orang lain. Orang lain menganggapnya terlalu baik, sedangkan dia secara tidak sadar


80 menganggap orang lain memanfaatkan dirinya. Dari mereka berdua, aku belajar bahwa sifat terlalu baik hanya menimbulkan perasaan tidak enak diantara dua pihak. Zaid dan Farhan meninggalkan restoran. Sekarang hanya tinggal kami berdua, aku dan Zain. Aku tau, mood Zain pasti rusak setelah mendengar ucapan Farhan. Aku mencoba berbicara dengannya agar moodnya kembali membaik. “ Zain, ucapan Farhan tidak usah kau anggap serius.” “ Tidak, William. Farhan benar, aku hanya terlalu baik kepadanya.” “ Kau memang orang baik, tapi……” “……. Tapi apa, William?. Bukankah agama kita selalu mengajarkan untuk berbuat baik kepada sesama manusia?” “ Kau baik, bahkan terlalu baik, Zain. Aku mengakuimu, kau adalah orang paling baik yang pernah aku temui.”


81 *Sepertinya, aku salah bicara. “ Tch, orang orang miskin seperti kalian tidak tau cara berterima kasih.” “ Kau salah paham, Zain. Dan kau mulai terlihat sombong sekarang.” “ Sombong?” “ Tidak tidak, aku tidak bermaksud menghina kebaikanmu, Zain.” “ Hmmm…. Sombong ya? Bukankah itu sifat tercela?” “ Ya, tapi aku tidak bermaksud mengatakannya…..” “ Akhirnya, satu per satu bibit bibit sifat buruk mulai bersarang dalam diriku.” “ Apa maksudmu, Zain?” “ Jujur saja, aku sudah bosan menjadi orang baik. Tidak ada orang yang menganggap keikhlasanku dalam berbuat baik. Bahkan kau, William. “ Zain bangkit dari duduknya. Dan kembali melanjutkan pembicaraannya denganku. Dari gaya


82 nya berdiri, sepertinya dia juga mau meninggalkan restoran. “ William, lain kali, kau tidak usah mencoba berbicara denganku. Kau hanya orang miskin, kau tidak pernah memberikanku manfaat sedikitpun.” “ Apa yang sebenarnya kau mau, Zain?” “ Menjauhkan diriku dari pengaruhmu dapat membuatku terlepas dari hal hal yang baik. Simpan kata kata ini di otakmu, William. Orang baik hanya akan menjadi alas kaki dari kaki orang orang jahat. Kau bisa menjadi baik seperti apa yang kau pikirkan, lama lama kau juga akan sadar, berbuat jahat dan maksiat akan jauh lebih memuaskan.” “ Kau tau kan, Zain? Dosamu akan menumpuk dengan berbuat maksiat dan kezhaliman.” “ Kau terlalu naif, William. Allah itu Maha Penerima Taubat. “ “ Pahammu mengenai taubat benar benar keliru, Zain.” “ Aku tidak peduli dengan itu.”


83 Setelahnya, Zain pergi meninggalkanku bersama orang asing di restoran. Dia bahkan tidak jadi memesan makanan. Aku juga baru tau mengenai sifat lain Zain, dia terlalu mudah terbawa suasana. Kemarin dia sangat baik kepadaku karena aku mencoba untuk akrab dengannya. Sekarang, dia bahkan sama sekali tidak menunjukkan sifat baiknya kepadaku. Bagus, Farhan. Gara gara kau memberi tamparan mental kepada Zain, dia meluapkan semua kemarahannya kepadaku. Aku pulang ke rumah dengan perasaan tidak enak. Kenapa aku selalu membayangkan apa yang baru saja terjadi. Apalagi, sekarang rumahku kosong. Aku juga tidak melihat Ibuku. Apakah Ibuku benar benar serius dengan perkataannya siang tadi? Apakah Ibuku serius menjadi muallaf? Aku tidak tau pasti dan hanya bisa menebak serta berharap hal itu terjadi. Karena, di keluarga kami, hanya Ibuku lah yang belum menjadi muslim.


84 Tas Ayahku sudah tergeletak di sofa. Aku pikir Ayah sudah pulang. Aku mencoba memanggil Ayahku di semua ruangan dirumah, tapi tidak ada respon. Aku sadar pasti aku sendirian di rumah. Karena merasa kesepian, aku mencoba untuk chatting dengan Willy. Lagi pula, dia kan memang kesepian. Dengan saling bertukar pikiran, kami pasti dapat mengusir kesepian kami. “ Hai, Willy” *Ternyata dia langsung online setelah sapaan yang ku kirim. “ Oh, hai William, ada apa?” “ Ya, aku merasa sedikit kesepian disini, jadi…” “ Apakah aku harus ke rumahmu.?’” “ Ti….tidak….tidak. Maksudku bagaimana kalau kita bertemu?”


85 “ Ya, aku memang mengajakmu dinner nanti malam.” “ Bukan itu, bagaimana kalau kita bertemu sekarang” “ Sekarang?, apa yang akan kita lakukan?” “ Hmm….. aku berencana untuk jalan jalan di Kota Evercold ini.” “ Baiklah, kita ketemuan dimana?” “ Aku akan menunggumu di pusat kota, bagaimana?” “ Hah? Pusat kota? Tempat itu sangat membosankan.” “ Ya, mau bagaimana lagi.” “ Begini saja, William. Kita akan bertemu di Mall Money Time. Jika kamu menaiki bus Frozen Way, kamu bisa sampai di mall itu.” “ Baiklah Willy, Sampai jumpa.” Aku segera mengambil bebarapa uang tambahan di tabunganku. Ya, seharusnya uang di dalam tabungan itu aku gunakan untuk menunjang biaya di universitas kelak ketika aku sudah lulus SMA.


86 Tapi, kurasa tidak masalah, aku hanya mengambil sekitar 5 persennya saja. Aku berjalan ke halte bus terdekat. Agar lebih cepat kesana, akupun berlari dengan secapat mungkin. Akhirnya aku sampai juga di halte bus. Aku juga baru teringat sesuatu. Ketika aku berlari tadi, aku berpapasan dengan orang yang sepertinya ku kenal. Aku tidak terlalu memperhatikan wajah kedua orang itu dengan jelas, tapi aku yakin, mereka adalah Ayah dan Ibuku. Mereka sepertinya tidak sadar dengan pergerakanku tadi. Syukurlah, aku bisa pergi malam ini tanpa sepengetahuan mereka. Ayahku, dia tidak menyadari kalau aku berpapasan dengannya karena dia sedang asik menggunakan ponselnya, apalagi dia memainkan ponselnya sambil berjalan. Sedangkan Ibuku, dia sibuk merapikan hijab barunya, karena itu lah, dia menunduk dan tidak menyadari gerakanku. Dan aku juga bersyukur, Ibuku akhirnya menjadi muallaf juga.


87 Tak lama setelah aku duduk di tempat pemberhentian bus, akhirnya bus Frozen Way datang dan aku segera menumpanginya. Aku duduk di sebelah pemuda yang kellihatannya ramah. Dan instingku benar, pemuda itu langsung mengajakku mengobrol. “ Hai, dek. Kau mau pergi kemana sore sore ini? Sendirian pula?” “ Heheh….tidak kok bang, aku cuma mau pergi ke mall.” “ Ke mall? Jam segini?” “ Memangnya kenapa bang?” “ Hahhh, tidak…..apa apa?” “ Lalu, kenapa abang menanyakan hal itu?” “ Ya, biasanya orang yang pergi ke mall di Kota Evercold, apalagi di sore hari, mereka adalah orang yang saling berhubungan, misalnya orang tua dan anak, suami dan istri, adik dan kakak, dan orang yang sedang pacaran.” “ Oh, begitu ya. Apakah semua orang yang memiliki hubungan melakukannya?”


88 “ Ya, itu sudah seperti tradisi di Kota Evercold. Jika kau pergi sendirian ke mal pada waktu seperti ini, kau akan merasa kesepian karena setiap orang hanya akan sibuk dengan orang terdekat mereka.” “ Aku tidak peduli soal itu, bang. Lagipula aku…” " Dari wajahmu, sepertinya kau masih anak sekolahan ya, siapa namamu?” “ Namaku William, bang” “ Kau kristen?” “ Soal itu, aku tidak bisa menjawabnya karena akan menghabiskan banyak waktu.” “ Oh baiklah. Jadi William, lupakan saja pertanyaanku tadi. Sekarang, aku mau bertanya, apakah kau sudah punya pacar?” “ Aku tidak bisa menyimpulkannya.” “ Apakah kau menyayangi seorang perempuan?” “ Ya” “ Siapa?” “ Ibuku”


89 *Pemuda itu mendesis seperti ular “ Hisssssss, Bukan itu yang ku maksud, BOCAHHHH. Apakah kau mempunyai hubungan dekat dengan wanita selain ibumu?” “ Ya” “ Berarti kau sudah mempunyai pacar, kan?” “ Sudah ku bilang aku tidak bisa menyimpulkannya.” “ Jika kau memiliki hubungan dekat dengan perempuan, pasti ada rasa cinta diantara dirimu dengannya.” “ Aku tidak mencintainya, tapi aku sayang kepadanya.” “ Maksudmu?” “ Kasih sayang datang karena rasa kasihan. Sedangkan cinta datang karena ketidaktahuan atas suatu hubungan.” “ Hah bocah. Jadi kau hanya menyayangi seseorang tanpa mencintainya. Bukankah kedua hal itu tidak bisa dipisahkan.”


90 “ Kau bisa menganggap cinta dan kasih sayang sebagai sinonim, tapi tidak denganku.” “ Lalu, bagaimana jika dia tau, kalau kau tidak mencintainya, William?” “ Dia akan berterima kasih dengan berulang ulang dan pingsan.” “ Baiklah, aku tidak tau pasti tentang pacarmu yang mengucapkan terima kasih berulang ulang dan pingsan. Aku dulu juga punya seorang pacar. Tidak ku duga, dia meninggal bahkan ketika itu, kami masih seumuranmu, William. Aku menyanginya karena dia hidup dibawah garis kemiskinan dan sekarang, aku harap dia menjadi orang kaya di surga.” “ Aku turut beduka atas kematiannya, bang. Kau bilang, kau menyayanginya, bukan? Lantas kau pasti bisa mencintai wanita lain” “ Jika kau mengucapkannya, memang terasa mudah. Rasa cintaku juga ikut terkubur bersama jasadnya. Aku tidak bisa mencintai orang lain.” “ Seseorang punya kesempatan mencintai 4 kali dalam hidupnya. Kau terlalu sentimental, bang.” “ Bukannya cuma 3 ya?”


91 “ Ya, aku tidak tau pasti. Aku juga mendengar kata kata itu dari orang lain.” “ Btw, Mall Money Time sudah dekat. Kau harus turun sebentar lagi, William.” “ Ok bang, Terima kasih telah mau bertukar pikiran denganmu.” “ Ya, sama sama. Aku pun juga begitu, kesedihanku atas kematiannya sudah sedikit berkurang.” “ Aku pergi dulu ya, bang. Sampai jumpa” “ Ya, Charles” “ ……William!” “ Oh ya, maksudku William, heheheh, sampai jumpa.” Bus sudah berhenti di seberang Mall Money Time, mallnya sangat besar dan luas. Aku jadi bingung mau melakukan apa saja di tempat se megah ini. Apalagi ukurannya 2 kali ukuran mall pada umumnya. Aku yang sudah tidak sabar segera berjalan ke seberang. Ketika aku baru saja sampai di seberang,


92 bus Frozen Way lain juga berhenti. Dan dari bus itu, Willy keluar dan lari ke arahku. “ William!!!!” “ Willy” *Willy langsung merangkul tanganku, sehingga kami sudah seperti suami istri saja. “ William, karena kamu belum tau banyak soal mall ini, biar aku mangajakmu mencoba apa saja sarana di mall ini” “ Oh, tentu tentu, tapi apakah kita harus bergandengan seperti ini?” “ Jadi, kamu tidak suka kalau aku merangkulmu? William?” “ Tidak tidak, aku suka kalau kamu merangkulku, Willy. Hanya saja, aku akan terlihat jelek karena kamu sangat cantik hari ini.” “ Hah……kamu ada ada saja, William. Hahahaha”


93 “ Nggak kok, aku serius, kamu benar benar cantik, Willy.” Aku tidak tau apakah harus bersyukur atau beristighfar karena hal yang aku lakukan hari ini. Aku tau, pacaran adalah hal yang dilarang. Tapi, aku terlahir dengan sifat tidak-tegaan. Aku tidak sanggup membiarkan orang lain menderita, karena aku selalu membayangkan diriku pada posisi itu. Aku juga bersyukur, karena Allah telah mempertemukanku dengan wanita yang sangat cocok denganku. Dia butuh kasih sayang dari orang lain. Tetapi, dia bisa memberikan kasih sayang yang lebih. Apakah aku harus mencintainya? Apalagi dia juga mudah tertawa dan itu dia menjadi lebih cantik ketika tertawa. Dan ketika pipinya menjadi kemerahan karena tersipu malu, aku kehabisan kata kata untuk mengungkapkan kecantikannya. Kasihan sekali mantan mantan Willy yang hanya melihat Willy dari sisi harta dan kekayaan. Willy menarik tanganku dengan kuat sambil berlari ke arah pintu masuk mall. Tidak hanya cantik,


94 kekuatannya juga melebihiku. Aku pernah menumbangkan orang yang membully ku dulu dalam pertarungan satu lawan satu, tapi kenapa aku tidak bisa menahan tarikan tangan Willy. Aku rasa, perasaan cinta Willy mulai mempengaruhi cintaku sehingga tubuhku dikendalikan cinta dan melemah. Ketika aku memasuki mall, aku kagum dengan kemegahannya. Tapi, hal itu tidak berlangsung lama, karena aku ditarik Willy lagi. Dia mengajakku ke sebuah bioskop dalam mall. Aku kebingungan, kenapa harus ke bioskop dulu?, padahal aku ingin mencoba hal lain yang lebih menarik terlebih dahulu. “ Willy, memangnya kita mau nonton apa disini?” “ Sebuah film horor terbaru telah rilis, aku ingin mencoba menontonnya.” (…….Jujur saja, aku takut menonton film horor….) “ Hmm…aku mau menonton yang lain saja, heheh”


95 “ William, aku takut kalau nonton film horor sendirian” (……..Ternyata dia sama saja, sama sama penakut…) “ Kan masih ada penonton lain, kamu tidak sendirian, Willy.” “ Bagaimana kalau mereka semua berubah menjadi hantu dan aku sendirian di sana.” “ Tidak akan, tenang saja.” “ William, temani aku nonton film ini sekali saja, setelah ini, aku tidak akan menontonnya lagi.” (………Dia bertingkah seperti anak kecil. Kehilangan kedua orang tua membuat sifat kedewasaanya sedikit tertunda…….) “ Apa boleh buat, ya sudah. Ayo kita pesan tiket.” ” Yeayyyy, terima kasih, terima kasih, terima kasih” “ Ya, sama sama. Ayo masuk.”


96 Kami kebetulan mendapat kursi di tengah. Kurasa, viewnya tidak terlalu menyilaukan. Filmnya baru saja dimulai, tapi Willy sudah menghabiskan setengah cup popcornnya. Akupun berbisik kepadanya. “ Apakah kamu lapar, Willy?” “ Kok kamu tau sih, William?” *Willy langsung melihat kearah popcornnya “ Popcornmu saja sudah tinggal setengah cup.” “ Hehehhe, iya nih.” “ Jika kamu mau, ambil saja popcornku.” “ Serius? William?” “ Ya, tentu saja, kekasihku yang cantik.” Ya, walaupun aku sebenarnya juga belum makan, tapi aku rasa Willy lebih butuh. Lagipula, dia juga yang membayar biaya menonton termasuk


97 snack popcorn ini, aku merasa tidak enak walaupun aku sebenarnya sanggup untuk membayarnya. Kami baru menonton sepertiga dari durasi film dan Willy sudah tertidur di pangkuanku. Mungkin karena dia kekenyangan atau masih tidak enak badan sepulang rumah sakit tadi siang. Rambutnya yang panjang terurai kebawah sampai sampai kaki kiriku tertutupi sempurna oleh rambutnya. Aku mencoba mengelus elus rambutnya supaya dia tidur lebih nyenyak. Dan baru 9 kali aku mengelus rambutnya, dia langsung terbangun. Willy terbangun sekaligus terkejut. Suaranya yang spontan dan tiba tiba membuat penonton di sekeliling kami menatap kearah kami. “ AYAH!!!” “ Willy, kamu tidak apa apa? Tenanglah sedikit, penonton lain merasa terganggu.” Dia langsung berlari menuju pintu luar bioskop sambil menangis. Apakah ucapanku tadi


98 membuatnya sedih? Aku tidak tau kalau Willy benar benar sensitif terhadap bentakan. Aku merasa bersalah kepadanya dan langsung menyusulnya keluar. Ternyata dia menangis di sebuah bangku. “ Willy, jangan menangis lagi.” “ William…..” “ Sudah, sudah, aku minta maaf kalau tadi kamu tersinggung dengan bentakanku.” “ William….bukan itu…” “ Kakiku juga tidak menginjak kakimu, lalu apa yang kamu tangisi, Willy?” *Willy menyelipkan tertawaanya ditengah tangisannya , dan tangisannya mulai reda. (…….Sepertinya, hati kami memang terkait satu sama lain, bahkan dia sepertinya tau jokes apa yang aku maksud…..) “ William, aku bermimpi bertemu dengan ayahku tadi.”


99 “ Lalu, apa yang dia katakan?” “ Tidak ada, aku hanya berbaring di pangkuannya, dan dia mengelus kepalaku. Lalu dia menghilang setelah mengelus rambutku.” “ Bukankah itu baik bagimu? Ayahmu datang di mimpimu yang singkat tadi. Bahkan dia belum tentu akan datang di mimpi panjangmu. Kamu harus mensyukurinya, Willy.” “ Tapi itu hanya membuatku semakin rindu dengan ayahku. Pangkuannya, caranya mengelus rambutku, adalah hal yang tidak bisa terulang kembali.” “ Sudahlah, jangan menangis lagi, Willy. Kamu tau kau? Kalau kita ke sini untuk bersenang senang.” “ Tapi tetap saja tidak bisa, William.” “ Bagaimana kalau kita makan sesuatu” “ Jadi, jadi kamu mau kalau kita dinner sekarang?” “ Tentu saja, jika kamu mau, Willy.” “ Baiklah, William” Terlalu banyak restoran dan gerai makanan di mall ini, aku juga sempat bingung. Karena, setiap


100 restoran dan gerai makanan menampilkan makanan terbaik mereka di daftar menu. Dan semuanya terlihat enak. Aku yang kebingungan mencoba meminta saran Willy. “ Kamu mau makan dimana, Willy?” “ Aku tidak tau, William. Semua makanan disini enak semua.” “ Kira kira, apa ya yang dipesan orang yang lagi dinner?” “ Aku pikir, dinner adalah sesuatu yang terdengar eksklusif?” Akhirnya, kami memutuskan untuk pergi dinner di Restoran De Classico. Restoran itu, hanya dipenuhi oleh pasangan pasangan dewasa. Pelayannya juga memakai tuxedo dan membuat kesan dari restoran ini semakin klasik dan mewah. Apakah tidak apa apa? Kami yang masih duduk di bangku SMA menjalankan rencana dinner disini?. Jujur saja, aku merasa cukup canggung. Karena aku tidak memakai tuxedo ataupun pakaian


Click to View FlipBook Version