151 Beban dihatiku mulai berkurang karena Ayahku sudah sedikit peduli dengan perasaanku. Sekarang, aku tinggal memperbaiki hubunganku dengan Zain. Seperti kemarin, Ayahku mengantarkanku ke sekolah dengan mobilnya. Aku berpamitan dengan Ibuku. Ibuku benar benar berubah 180 derajat. Dia bahkan sudah memaika cadar di hari keduanya sebagai muallaf. Ibuku benar benar cantik hari ini dan entah kenapa aku menjadi lebih bersemangat karenanya. Aku sudah sampai di sekolah setelah 10 menit perjalanan. Aku harus menaiki banyak anak tangga lagi agar sampai ke kelasku. Sesampainya aku di kelas, ternyata belum ada siswa yang datang. Aku meletakkan tasku di kelas dan kembali keluar untuk menyaksikan cerahnya musim semi ditengah salju. Ya, ini bagaikan bayangan dari cahaya. Salju tidak berhenti bahkan ketika musim semi telah datang. Dan bagaimana bisa warga Kota Evercold menyatakan musim semi di kalender padahal musim salju tidak akan bisa berhenti di kota ini.
152 “ DUARRRR!!!!!!” Seseorang mengejutkanku dari belakang. Dan orang itu adalah Zaid. “ Dih….Zaid, Ada ada saja, kau mau ku pukul hah? Pagi pagi sudah membuat orang lain kesal.” “ Hahahhahaa, William. Wajahmu lucu sekali ketika kau terkejut. Andai saja aku memotretnya tadi, aku pasti akan menjadikannya template meme ku.” “ Itu tidak lucu, Zaid. Bagaimana kalau aku terkejut dan jatuh ke bawah.” “ Kau bahkan lebih pandai melucu daripada aku, William. Bahkan kau butuh lebih banyak waktu untuk memanjat tembok ini. Ada ada saja, hahahahah.” “ Dasar Pememe. Humormu terlalu rendahan, makanya leluconmu garing.” “ William William, kau tidak tau apa apa soal meme, jadi tidak usah sok berargumen. Setelah menonton video ini, kau akan humor yang sebenarnya.”
153 *Zaid menayangkan sebuah video dari ponselnya. “ Bagaimana William? Tertawa saja, aku tau kalau kau sebenarnya ingin sekali tertawa.” (…..Apa apaan ini, perasaanku benar benar tergelitik oleh video meme yang diperlihatkan Zaid kepadaku. Roti yang terjatuh, katak yang melompat backflip, dan lainnya. Semua itu tidak ada lucunya sama sekali, tapi kenapa aku tertawa melihatnya…..) “ Hmmph…” “ Ayolah, William, wajahmu bahkan terlihat lebih lucu ketika menahan tawa.” Akhirnya aku melepaskan tawaku, aku mencoba agar suaranya tawaku tidak terlalu keras sedangkan Zaid tertawa dengan terbahak bahak. Humorku sekarang benar benar telah dirusak oleh Zaid. Kemudian seseorang dengan tatapan dingin menatap kearah kami berdua sambil berjalan kearah kelas. Orang itu adalah Zain. Zaid yang kebingungan dengan sikap Zain bertanya kepadaku.
154 “ William, Zain kenapa. Apa dia baik baik saja? Kenapa dia melihat kita seperti itu ya?” “ Aku tidak tau dengan pasti, Zaid.” “ Mungkin dia merasa kalau kita tadi menertawakannya. Aku akan menyusulnya Zain dulu, William. Soalnya dia itu orang yang sensitif. Aku tidak mau kalau dia salah paham kepada kita.” “ Tidak usah, Zaid. Zain sepertinya masih tertekan dengan ucapan Farhan kemarin.” “ Oh, ketika Farhan menolak tawaran Zain ya?” “ Iya.” “ Lalu, Apa yang akan kita lakukan? Aku harap, hubungan pertemanan kita dengan Zain tidak terputus.” “ Tunggulah sampai Zain sedikit rileks dan nyaman.” “ Terserah apa katamu. Ngomong-ngomong, kau sudah menyelesaikan semua PR kan, William? Pinjam dong, aku belum sempat menyelesaikan semua PRku.”
155 “ Baiklah, tapi aku akan meminjamkan rumusnya saja, dan kau harus mencari jawabannya sendiri, Zaid.” “ Tapi aku tidak sepandai dirimu, William.” “ Semua pisau itu tajam, dan akan berkarat jika tidak digunakan, kau paham kan, Zaid?” Strange feeling Aku duduk sebangku dengan Zain, tapi belum ada reaksi darinya. Aku mencoba meminta maaf dan dia tidak mempedulikannya. Bahkan dia menundukkan kepala begitu lama, yaitu sejak kelas masih sepi sampai semua siswa hadir di kelas. Apakah dia benar benar membenciku. Bahkan, ketika guru mapel telah masuk dan menerangkan pelajaran, dia masih saja tidak menoleh kearahku. Farhan dan Murad yang duduk disamping mejaku memberikan kode agar aku menyentuh pundak Zain, mana tau dia akan berreaksi.
156 Sepertinya Zain paham dengan kode kodean ku dengan Farhan dan Murad. Ketika tanganku berada dibelakang punggungnya, dia langsung berdiri dan meminta izin untuk pergi ke toilet. Sepertinya dia tidak mau diganggu. Bahkan ketika waktu istirahat masuk, dia belum kembali dari toilet. Sebesar itukah kebencian Zain kepadaku. Aku berinisiatif mencari Zain ke toilet, sedangkan Zaid, Farhan, dan Murad pergi ke kantin duluan. Dan akhirnya aku menemukan Zain yang sedang merokok di toilet. “ Tch, William. Kenapa kau mengikutiku kesini. Aku yakin kalau kau tidak terdesak untuk buang air.” “ Kenapa kau merokok disini?” “ Tidak ada yang peduli denganku, William. Kalian orang orang miskin hanya peduli dengan uangku, bukan? Dan ketika aku memberikannya, kalian malah berlindung dibalik kata kata ‘Kau terlalu baik’, bahkan tidak ada satupun sikap sikapmu atau sikap teman temanku yang menunjukkan perasaan menghargai.”
157 “ Ternyata, kau masih belum bisa melupakan masalah yang kemarin ya?” “ Mau bagaimana lagi, aku adalah orang yang overthinking.” “ Padahal, Farhanlah yang menolak kebaikanmu dan kau melampiaskan kemarahanmu kepadaku.” “ Apa boleh buat, aku tidak bisa memikirkan kepada siapa aku harus marah. Lagi pula kau juga cukup menyebalkan, William.” “ Akui saja, kalau Farhan jauh lebih kuat dibandingkan dirimu. Jadi, kau tidak bisa marah kepadanya.” “ Jadi, Apakah kau menganggap diriku lemah, William?” (…..Ya, ini dia, adrenalinku sudah mulai memuncak karena aku tau kalau Zain mau melawanku…..) “ Kau tidak lemah, tapi aku tidak pernah mengakui dirimu lebih kuat dariku.”
158 “ Tch, sia sia saja aku menghabiskan 3 batang rokok dan pada akhirnya, aku harus melawanmu juga agar hidupku sedikit tenang.” “ Kau menantikan hal ini, bukan?” “ Ya, akhirnya aku mendapatkan seorang sam sak hidup disini.” Zain melangkahkan kakinya dengan kuat, sehingga dia melesat dengan cepat kearahku. Bahkan abu rokok di lantai berterbangan di udara karena tekanan udara dari kaki Zain. Selain itu, dia menyiapkan sebuah pukulan di tangan kanannya. Aku yang belum bisa bertarung dengan baik terpaksa mengambil ancang ancang pertahanan. Aku menyilangkan tanganku didepan wajahku agar serangan Zain tidak langsung menyakiti kepalaku. Lalu seseorang keluar dari WC dan menjatuhkan Zain dengan kakinya. Lalu dia mengunci pergerakan Zain agar tidak menyerangku. Dan dia adalah Farrel.
159 “ Selamat siang, William.” “ Farrel? Kenapa…kenapa bisa kau…keluar…” “ Sudah, tenang saja William. Kau tidak perlu memikirkannya.” “ Terima kasih sudah menyelamatkanku, Farrel.” “ Kau berterima kasih terlalu cepat, William. Apakah orang ini mengganggumu, William?” “ Ya, sepertinya.” “ Aku mendengar percakapanmu tadi dengannya, William. Sepertinya dia hanya orang yang berani menyerang orang yang lemah.” “ Aku tidak tau pasti soal itu. Dia hanya merasa kurang dihargai dan….” “….Pecundang, orang ini hanyalah seorang pecundang, William. Kenapa kau harus berteman dengan seorang pecundang seperti dia.” “ Cukup, Farrel.” “ Tidak William, aku tidak akan menahan diriku hari ini. Kita sudah menjalin hubungan mentorship, bukan? Jadi, ini adalah pelajaran pertamamu,
160 William. Bagaimana cara memukul seorang pecundang dengan benar.” “ Kau tidak perlu melakukan kekerasan kepadanya, Farrel. Aku akan bicara baik baik dengannya.” Aku menundukkan badanku dan menatap kearah Zain yang tidak berdaya di lantai. Aku memulai pembicaraan dengannya. “ Zain, Sudah lah, kau tidak perlu melakukan kekerasan kepada orang lain. Ketika marah, kau akan digerakkan oleh hatimu, bukan akalmu. Kau sekarang benar benar terlihat seperti pecundang.” “ Justru, kau lah yang merupakan seorang pecundang. Kau tidak bisa melawanku, bukan? Kau lebih lemah dariku dan terimalah kenyataannya.” “ Relasi membuatku lebih kuat, Zain.” “ Relasi hanyalah kekuatan dari orang lain, dan kau terlihat seperti pecundang dengan kekuatanmu itu.” “ Terimalah kenyataanmu, Zain. Relasi jauh lebih kuat dari rasa kesepian. Dan aku berusaha untuk menjadi
161 teman baikmu, lalu kau dengan mudahnya memutuskan ikatan persahabatan itu,” *Farrel menyela pembicaraan kami. “ Sudahlah, William. Kau pergi saja jajan di kantin. Oh ya, aku mau minta tolong kepadamu untuk membelikanku es teh. Nanti, antarkan saja ke kelas 12 IPS 1.” “ Lalu bagaimana dengan Zain?” “ Biar aku saja yang mengurusnya disini.” “ Jadi, kau mau menghajarnya, Farrel?” “ Ya tentu saja. Orang lemah sepertimu tidak akan bisa menang jika lawanmu lebih kuat darimu, William. Akan ku buat dirinya lemah sepertimu atau setidaknya kekuatannya berkurang dan setara denganmu. Setelah itu, kau bisa bertarung dengannya, William.” “ Bukankah nanti dia akan merasa kesakitan.”
162 “ Keadilan memang menyakitkan, William. Jika seseorang bertarung dengan orang lain yang setara, itulah pertarungan yang adil.” “ Kurasa aku juga tidak perlu menanggapi perlawanan Zain, Farrel. “ “ Perasaanmu masih lugu bahkan kau sudah kelas 12. Coba kau bayangkan, William. Bagaimana jika Zain berlaku semena mena terhadapmu nanti di masa yang akan datang. Aku tidak bisa melindungimu setiap saat.” “ Semua itu tidak akan terjadi kecuali aku memperbaiki hubungan pertemananku dengannya. Jadi, aku memohon kepadamu, Farrel. Lepaskan saja dia dari teknik penguncianmu itu.” *Aku menatap kembali ke arah Zain. “ Aku minta maaf atas semua kesalahanku kepadamu, Zain.” “ Tch.”
163 Aku pikir, akan timbul masalah yang lebih besar jika aku tetap disini. Jadi, aku pergi dari toilet. Tetapi, Farrel masih menahan pergerakan Zain di sana. Ku rasa, aku tidak perlu mengurus mereka saat ini. Aku berjalan menyusuri lorong antar kelas dengan melamun sampai sampai aku menabrak seseorang. Ternyata dia adalah guru mapel yang mengajar di jam pelajaran sebelumnya. Dia bertanya kepadaku. “ Maaf nak, Ibuk sedikit lengah ketika berjalan, karena sedang memainkan ponsel.” “ Tidak apa apa, Buk. Aku juga salah. Aku sedikit melamun tadi.” “ Kamu siswa yang satu kelas dengan Zain kan? Apakah kamu tau Zain pergi kemana?” (……Sepertinya aku harus berbohong……)
164 “ Tidak Buk.” “ Baiklah, terima kasih, nak. Ibuk pergi dulu. Jika kamu bertemu dengan Zain, suruh dia untuk menemuiku di ruangan guru.” “ Baik Buk.” Zain, Zain, bahkan dia juga membuat masalah dengan guru. Lain kali aku akan meminta ucapan terima kasih darinya karena aku telah menyelamatkannya kali ini. Sekarang aku jadi lapar dan sepertinya aku harus membeli makanan di kantin. Aku merasakan sesuatu yang buruk akan segera terjadi kepadaku dari arah belakang. Dan benar saja, aku melihat Zain berlari ke arahku dengan mengepal tinju di tangan kanannya. Tapi, kondisinya saat ini sangat buruk, wajahnya sudah babak belur. Tapi dia tetap saja bersemangat untuk menyerangku. Haruskah aku memberikan perlawanan kepadanya? Atau menahan serangannya? Aku sangat bingung. Ku rasa, aku akan
165 mencoba untuk memberikan sedikit perlawanan kepadanya. Oh, sial. Aku mencoba membalas perlawanannya tadi dan aku keliru. Aku tidak cukup kuat dalam menghadapinya. Zain berhasil menjatuhkanku ke lantai, siswa lain langsung mengerumuni kami berdua. Zain kembali membentuk kepalan tinjunya dan berniat melayangkan tinju tersebut kepadaku. Tapi dia dihentikan oleh beberapa siswa, sedangkan siswa lain mencoba membantuku berdiri. Dia masih marah dan melontarkan kalimat kalimat kasar kepadaku. “ Bagaimana, William? Aku kuat bukan?” “ Ternyata kau bisa melepaskan diri dari teknik penguncian Farrel ya, Zain?” “ Itu tidak mudah, William. Aku harus membayar kebebasanku itu dengan babak belur di wajahku. Dan sekarang, kau harus menggantinya.” “ Tentu saja, apa yang harus aku lakukan?”
166 “ DIAM!!!! Dan terima saja pukulanku ini. Dengan begitu, kita imbas.” “ Jika kau menggunakan waktu pembicaraan ini untuk mengahajarku sejak tadi, mungkin aku sudah tidak sadarkan diri.” “ DIAM!!!.” “ Bagaimana jika kita akhiri saja semua permasalahan ini, Zain.” “ Kau takut dengan ku, William?” “ Untuk apa aku takut kepadamu.” “ Aku jauh lebih kuat darimu, bahkan kau tidak bisa menahan serangan dari diriku yang sudah babak belur ini.” “ Walaupun aku penakut, tapi lihatlah! Aku tidak babak belur sama sekali. Sekuat apapun seseorang, jika dia menderita karena ulahnya sendiri, dia tetap saja lemah.” “ Terlalu banyak omong kosong yang telah kau ucapkan, William.” “ Ya sudah, jika kau tidak suka dengan diriku yang lemah dan penuh omong kosong, kenapa kau terus mencoba mengejarku. Kau tidak butuh aku,
167 seharusnya kau lupakan saja mengenai hubungan pertemanan kita, Zain.” Zain melepaskan dirinya dari siswa yang menahanannya dan langsung menerjang ke arahku dengan kakinya yang bersiap menendangku. Jujur saja, aku tidak tau bagaimana caranya agar Zain mau mengakhiri masalah ini. Aku sepertinya harus membiarkan Zain menyerangku agar kebenciannya hilang. Aku menutup mataku karena sudah pasrah kalau Zain pasti menendangku. Dan suara langkah datang dari belakakangku. Aku sudah tidak peduli apakah hal itu akan berakibat baik atau buruk. Aku sudah menutup mataku selama 5 detik. Seharusnya, tendangan seseorang mengenai targetnya paling lama sekitar 1 detik, aku membuka mataku, kenapa tendangan Zain tidak mengenai tubuhku. Ternyata, Murad dan Farhan menahan kaki Zain. Pasti, suara langkah kaki tadi adalah langkah kaki mereka. Farhan dengan sikap terlalu percaya diri berbicara denganku. “ Apakah kau terluka, William?”
168 “ Wah, terimakasih, Murad dan Farhan.” “ Sepertinya, sebuah keributan terjadi di sini, dan sepertinya, teman dekat kita, Zain, telah memulai keributan ini.” *Zain menarik kembali kakinya setelah serangannya yang ketiga gagal. Dia mulai mengalihkan pembicaraan kepada Farhan. “ Teman dekat katamu, Farhan?” “ Ya, kenapa tidak?” “ Memangnya, sejak kapan aku memiliki seorang teman yang munafik seperti mu?” “ Munafik apanya, Zain?” “ Suatu waktu kau memanfaatkan kebaikanku, seolah olah aku adalah mesin ATM mu. Dan kenapa, kemarin, ketika hari pertama William bertemu dengan kita, kau bertindak seolah olah kau adalah orang yang tidak membutuhkan uang sama sekali?” “ Soal itu….” “ Kau tidak bisa menjawabnya kan, Farhan?”
169 “ Aku bahkan belum menyelesaikan 1 kalimat pun, dan kau sudah menyela, Zain. Diam dan dengarkan saja apa yang aku katakan.” “ Baik baik.” “ Aku masih ingat ketika kau, aku, Murad, dan Zaid bertemu. Lebih tepatnya, aku sudah bersahabat dengan Murad dan Zaid, kemudian kau datang kepada kami untuk berteman.” “ Lalu, dimana letak kesalahanku, Farhan?” “ Aku juga masih mengingatnya, kau mentraktir kami hanya untuk menjalin pertemanan. Aku merasa, kalau harga diriku terjual ketika kau membeli hubungan pertemanan dengan modus traktiran. Mungkin Zaid dan Murad juga merasa begitu.” “ Jika aku jadi kau, aku pasti akan bersyukur, Han!” “ Aku bersyukur atas apa yang telah aku terima waktu itu dan aku juga berterima kasih kepadamu atas traktiranmu selama ini.” “ Tch, dasar kau pecundang. Kau hanya kufur nikmat, Farhan.”
170 “ Jika kau bukan pecundang, datanglah ke restoran kemarin. Akan ku buat kau mengerti apa arti dari persahabatan yang sesungguhnya.” “ Baiklah, tapi dengan satu syarat, Farhan.” “ Apa itu.” “ William tidak boleh diikutsertakan karena ini adalah masalah kita berempat.” *Farhan melihatku dengan tatapan yang tajam. “ Baiklah, ini memang masalah internal kita. Dan orang baru tidak boleh ikut campur.” “ Aku akan menunggu kalian di restoran kemarin jam 5 sore. Jika kalian tidak datang, aku akan memanggil kalian dengan sebutan pecundang setiap kali bertemu.” “ Tunggu dulu, apa alasanmu tidak membolehkan William ikut serta, Zain?” “ Apakah kapas menyumbat telingamu, Farhan? Sudah ku bilang, dia orang baru, dia tidak perlu ikut campur atas masalah kita.”
171 “ Lalu, kenapa kau menyerangnya tadi, Zain? Bukankah aku yang bermasalah denganmu.” “ Ya mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur marah.” “ Itu hanyalah jawaban seseorang yang tidak tau harus menjawab apa. Sekarang, minta maaflah kepadanya, Zain.” “ Untuk apa? Aku tidak merasa bersalah ketika menyerangnya tadi. Lagipula, William itu sangat menyebalkan.” “ Jika kau mau mempertahankan hubungan pertemanan denganku, Murad, dan Zaid. Kuncinya adalah permintaan maaf kepada William. Jika kau tidak bersedia, posisimu dalam hubungan persahabatan kita bisa saja tergantikan oleh William, dan kau menjadi kesepian di sekolah ini karena kau hanya bisa membuat onar dan tidak bisa menjalin hubungan pertemanan dengan siswa lain.” “ Terima kasih, Han. Aku jadi teringat sesuatu.” *Zain bersalam denganku dengan raut wajah sedih. “ William, aku minta maaf atas semua kesalahan yang telah aku perbuat.”
172 “Baiklah, Zain. Aku sudah memaafkan mu kok.” “ Oh ya, William. Apakah hubungan pertemanan kita bisa diperbaiki? Kurasa kau akan membenciku karena semua kejahatanku kepadamu.” “ Tentu saja! Aku tau, sejak kemarin, kau dikendalikan oleh amarahmu sendiri. Orang bilang kalau seseorang sedang marah, dia tidak tau apa yang dia lakukan. Jadi, ku biarkan saja.” “ Isi pikiran ku dan kau sama, William. Jujur saja, aku baru menyadarinya juga. Aku tidak tau apa yang aku lakukan atau apapun yang aku ucapkan tadi, seolah olah hilang saja dari pikiranku.” “ Itu adalah hal yang wajar, Zain. Apalagi argumen panjang Farhan tadi berhasil menyadarkanmu dari sisi kemarahan.” *Setelah itu, Zain memulai pembicaraan dengan Farhan, tetapi Murad sesekali menyela pembicaraan mereka. “ Terima kasih, Farhan. Karenamu, aku menyadari banyak hal yang aku lupakan ketika marah.”
173 “ Sama sama, Zain. Aku harap, kau bisa mengontrol kemarahanmu lebih baik lagi dikemudian hari.” “ Aku juga meminta maaf kepada kalian, Farhan dan Murad.” “ Tidak usah dihiraukan, Zain. Itu hanyalah hal yang sudah berlalu. Benar kan, Murad?” *Murad menyela “ Benar Farhan.” *Zain sedikit tersenyum dan melanjutkan pembicaraan dengan Farhan. “ Jadi, apakah kau masih menganggapku sebagai temanmu kan, Farhan?” “ Jangan bertingkah seperti anak kecil, Zain. Teman tetaplah teman. Tapi karena sikap pecundangmu itu, kau tetap saja harus dihukum, Zain. Jangan lupa untuk datang ke restoran kemarin, jam 5 sore.”
174 “ Dihukum ya? Tentu saja.” “ Ya sudah, aku dan Murad harus menemui Zaid” (……Oh ya, aku baru sadar kalau Zaid tidak ke sini…..) *Aku bertanya kepada Farhan mengenai keadaan Zaid saat ini. “ Han, Zaid kemana.” “ Oh, dia tadi pergi membeli makanan ke kantin. Sedangkan aku dan Murad menitipkan makanan kami kepadanya. Jadi aku dan Murad akan pergi duluan ya.” “ Ya baiklah.” Akhirnya, Farhan dan Murad meninggalkan kami berdua disini, aku juga melihat, luka memar Zain semakin parah karena banyak darah sudah bercucuran di lantai tempat dia berpijak. Aku berinisiatif untuk mengajaknya ke UKS.
175 “ Zain, sepertinya lukamu semakin parah, bagaimana kalau kita ke UKS.” “ Tidak apa apa kok Zain, ini tidak terlalu sakit.” “ Zain, lukamu bisa saja terinfeksi.” “ Hah, tidak apa apa, William. Jika lukaku terinfeksi, aku tinggal menjalankan proses operasi, bukan? Lagi pula, luka memar ini bagaikan tanda yang diukir seseorang di tubuhku sebagai bukti tertulis atas kebodohanku sendiri.” Zain dan Ibuku memiliki sifat yang sama, sifat mereka langsung berubah 180 derajat ketika mereka terlalu banyak bicara. Selain itu, mereka juga sangat emosional dan terlalu sentimental terhadap apa yang telah terjadi. Misalnya saja Zain, tadi dia ingin membuatku babak belur seperti apa yang dia alami saat ini atau mungkin lebih parah. Tapi dia malah membuang buang waktunya hanya untuk berbicara. Dia berbicara terlalu banyak dan akhirnya tersudut pada jalan buntu karena mengucapkan sesuatu dengan hati, bukan dengan pikirannya.
176 Lalu dia bilang kalau dia menyadari sesuatu dan tiba tiba menjadi baik. Dan ketika aku menyarankannya untuk pergi mengobati luka ke UKS, dia malah menolaknya seolah olah merasa yakin sekali kalau lukanya tidak akan infeksi. Sepertinya Zain masih dibawah kendali hatinya. Zain pergi ke arah kelas, sedangkan aku ingin menanyakan sesuatu kepada Farrel. Aku berjalan ke arah wc tadi dan aku yakin kalau dia masih disana. Dugaanku tidak sepenuhnya benar, kami bertemu di lorong tidak jauh dari wc. “ Farrel, sudah ku bilang, kan. Kau tidak perlu menghajar Zain.” “ Aku hanya menahannya.” “ Jika kau hanya menahannya, dia tidak akan mendapati luka memar di wajahnya, Farrel!” “ Lagipula, itu salahnya juga, William.” “ Salahnya?” “ Ya, dia mencoba melawan teknik kuncianku dan dia bilang kalau dia ingin menghajarmu, William. Karena
177 aku sudah lelah dan bosan, aku melepas teknik kuncianku dan menghajarnya agar kau tidak kesulitan melawannya, William.” “ Ngomong ngomong, agamamu kristen, bukan? Farrel?” “ Ya, aku memang kristen.” “ Apakah kau menghajar Zain karena dia seorang muslim.” “ William, kau sangat keliru. Pernyataan tuduhanmu kepadaku itu tidak pantas kau lontarkan, karena tuduhanmu itu sangat berlawanan dengan prinsipku.” “ Apa maksudmu?” “ Aku sudah memberitahumu bukan? Kita bertemu tadi malam dan berbincang bincang soal prinsip toleransi yang aku idam idamkan. Aku tidak akan menjadikan suatu urusan pribadi menjadi urusan antar agama.” “ Semua orang memiliki kemungkinan untuk berbohong, tidak terkecuali kepadamu, Farrel. Mungkin saja kau berlindung dibalik kata toleransi yang kau dambakan itu.”
178 “ Aku tidak bisa memaksakan seseorang untuk percaya kepadaku. Terserah padamu untuk percaya atau tidak kepadaku.” Setelah mengatakan hal itu, Farrel langsung meninggalkanku dan dia kembali ke kelasnya. Aku tidak bisa mempercayainya untuk saat ini karena dia adalah orang yang baru ku kenal. Mungkin saja dia berbohong dan mungkin saja dia jujur. Ya sudah lah, lama kelamaan sifat aslinya akan terungkap. Dan ya, aku tidak punya urusan lagi disini, jadi aku akan ke kantin saja, karena aku sudah lapar sejak tadi. Ketika aku baru berjalan beberapa langkah dari lorong tadi, bel masuk langsung berbunyi. Ah, sial, aku terlambat. Saking banyaknya halangan aku tidak sempat ke kantin. Apa boleh buat, sepertinya aku harus masuk ke kelas. Bel sudah berbunyi dan guru mapel berikutnya belum masuk. Aku jadi ragu, apakah aku harus ke kantin dulu untuk membeli makanan, atau tetap disini menunggu guru itu masuk. Jika aku membeli makanan ke kantin dan guru mapel lebih
179 dulu masuk kelas daripada diriku, aku pasti akan dihukum karena terlambat mengikuti pembelajaran. Seseorang melihatku ketika aku sedang melamun. Dan dia pergi ke mejaku dan tiba tiba menyuapiku. “ Haaaph!” (……Ternyata hanya Willy. Hah…dia benar benar membuatku terkejut. Apalagi dia menyuapiku dengan tiba tiba dan disaksikan oleh teman teman lain…..) “ Willy, ke…kenapa ka..kamu menyuapiku seperti ini.” *Teman satu lokal langsung meribut setelah melihat apa yang Willy lakukan kepadaku. “ Kunyah dulu suapan itu, William. Setelah itu baru bicara.”
180 “ Baik, aku sudah menelannya. Sekarang, kenapa kamu menyuapiku tiba tiba?” “ Oh, maaf William. Aku hanya iseng. Kamu melamun dengan mulut terbuka. Ada apa, William?” *Seorang siswa perempuan menyela perkataan Willy. “ Willy, apakah William adalah pacarmu?!.” (…..Aku tidak tau apa yang akan terjadi selanjutnya jika Willy mengiyakannya.....) *Willy menjawab dengan percaya diri “ Ya, William adalah pacarku.” (…..Oh Willy yang sangat lugu dan polos, kenapa dia menjawabnya dengan jujur seperti itu…..)
181 Seisi kelas langsung meribut kembali, mengucapkan selamat kepada aku dan Willy. Bahkan Farhan, Murad, Zaid juga meribut di belakangku. Saking ributnya, aku bahkan tidak sadar kalau Zain tidak ada di kelas. Ya, aku tidak akan memikirkan keadaan Zain dulu. Yang terpenting saat ini adalah bagaimana caranya aku bersikap agar aku tidak salting. Aku sedikit menarik lengan Willy dan berbisik kepadanya. “ Willy, kenapa kamu membocorkan hubungan kita?” “ Tidak apa apa, William. Lagipula, kita memang pacaran, bukan?” “ Hah, mau bagaimana lagi.” *Murad menyenggol kursiku dari belakang dan menyela pembicaraanku dengan Willy. Sepertinya dia punya niat lain.” “ Hey, William. Bagaimana kalau kau mentraktir kami nanti, ya, kau sudah jadian kan? Jadi ayolah rayakan bersama kami.” “ Hah, dasar kau, Murad. Kau menyebalkan.”
182 “ Hahahaha, ayolah.” Aku yang sudah terlanjur kesal berbalik dari hadapan Murad dan Willy kembali melanjutkan pembicaraan kami. “ Ngomong ngomong, kenapa kamu tadi melamun, William?” “ Aku memikirkan banyak hal.” “ Pasti karena kamu lapar ya, William?” “ Kenapa kau bisa tau, Willy?” “ Tanganmu saja menahan perutmu sejak tadi.” “ Oh, benar juga, tanganku reflek saja melakukannya. Hehe..” “ Ya sudah, makanlah ini.” “ Ba..baiklah Willy, terima kasih.” “ A…a…a, kamu tidak boleh memakannya sendirian.” “ Apa?”
183 “ Aku akan menyuapimu, William.” “ Ap…apa…Tidak usah, aku bisa memakannya sendiri.” “ Hah, jangan menolaknya, William.” “ Tapi Willy.” “ Diam saja, dan buka mulutmu.” Hal yang terjadi kemarin terulang lagi hari ini, aku merasa tidak berdaya untuk mengendalikan tubuhku. Mulutku yang tertutup dengan mudah terbuka ketika Willy menyentuh daguku. Beberapa teman dikelas apalagi yang perempuan, tertawa melihatku disuapi seperti itu. Aku merasa kalau Willy sudah cukup nekad, bisa bisanya dia berani menyuapiku didepan keramaian. Apakah Willy ingin memperlakukanku bagaikan anak kecil? Dan pada situasi yang canggung ini, aku tidak tau harus berbuat, bertingkah, berkata , atau merasakan apa. Selain aku, Willy juga memakan bekalnya sendiri, dan menggunakan sendok bekasku.
184 Sehingga bekal makanan itu cepat habis. Akhirnya, aku merasa cukup kenyang. Setelah kami menghabiskan makanan tersebut, Willy kembali ke mejanya dan meminum beberapa tegukan air dari botol minumnya. Kemudian dia kembali ke mejaku dengan membawa botol itu. Aku memang membutuhkan hal itu untuk saat ini, karena aku butuh minum setelah makan. Dia memberikan botol itu sambil tersenyum dengan cantiknya. Aku meminum air tersebut dan tidak lupa berterima kasih kepada Willy. “ Terima kasih, Willy. Kamu sudah banyak membantuku hari ini.” “ Sht sht sht, Tenang saja, William. Kau tidak perlu berterima kasih.” “ Hmm…ok lah.” “ Bangku disebelahmu kosong, bukan?” “ Ya, tapi Zain lah yang duduk disini.” “ Tidak tidak, dia sudah pulang, William.” “ Sudah pulang?”
185 “ Ya, seorang guru melihatnya dengan kondisi babak belur, lalu menyuruh Zain pulang.” “ Oh, begitu ya.” “ Jadi, aku boleh duduk disampingmu kan, William?” “ Memangnya tidak apa apa?” “ Kenapa tidak, aku pacarmu bukan.” *Mendengar hal itu, seorang siswa perempuan bertanya kepada Willy. “ Hey, Willy!. Kau tidak mau merayakan hari jadianmu, ayo dong, traktir kami.” *Siswa siswa lain ikutan meminta di traktir dan Willy menyetujuinya. “ Baiklah, kalian akan ku traktir besok.”
186 *Aku bertanya kepada Willy tentang keputusannya itu. “ Willy, kau tidak bercanda kan? Mentraktir satu kelas dengan uang pribadimu?” “ Tenang saja, William. Aku sudah merencanakan semuanya dengan matang.” (…..Kira kira, apa ya yang akan dilakukan Willy, bagaimana kalau uangnya terkuras habis?....) Semua temanku di lokal merasa kegirangan karena akan di traktir oleh Willy besok. Sedangkan Willy menjemput tasnya di tempat duduk semula dan memindahkannya di bangku sebelahku. Kemudian bersandar di bahuku. Kami telah menunggu guru mapel lebih dari 30 menit, sepertinya sesi kali ini adalah jam kosong. Karena insomnia tadi malam, aku memutuskan untuk tidur. Tidak hanya aku, beberapa teman sekelasku juga ada yang tidur, termasuk Willy.
187 Akhirnya aku bisa tidur dengan nyenyak. Tidur siang di Kota Evercold yang dingin ini memang terasa nyaman sekali. Tunggu dulu, Kota Evercold memang dingin, tapi kenapa aku malah merasakan kehangatan ya?. Aku terbangun dari tidur enakku karena bel pulang sudah berbunyi. Aku melihat kalau Willy tidur dengan kepala dan tangan menyilang di pundakku. Bagaimana bisa dia tidur dalam posisi seperti itu, aku yakin sekali posisi seperti itu sangat tidak nyaman. Willy juga terbangun tak lama setelah bunyi bel tersebut. “ Hey, Willy, ayo cepat, bereskan alat tulismu, kita akan pulang.” “ Kita?” “ Tidak, tidak, maksudku aku kerumahku dan kamu kerumahmu, Willy.” “ Bagaimana kalau kamu pulang ke rumahku saja William?” “ Tidak tidak tidak, Willy. Aku tau, kamu hidup sendirian di rumahmu. Jika aku pergi kerumahmu, dan kita berduaan, kamu tau kan, siapa yang menjadi pihak ketiga?”
188 “ Jadi kamu menganggap pembantuku adalah setan, William?” “ Oh, jadi kamu punya pembantu, Willy?” “ Tentu saja. Jadi, kamu mau kan pergi ke rumahku?” “ Bagaimana ya?” “ Ayolah, ikut saja, William.” “ Ya, ya, baiklah. Aku akan memberitahukannya kepada Ibuku dulu.” Sepulang sekolah, aku langsung menaiki taksi bersama Willy ke rumahnya. Aku tidak tau apa yang dia rencanakan. Aku harap dia tidak berbuat yang aneh aneh, karena kami sudah sampai di rumah Willy setelah 5 menit perjalanan. Rumahnya lumayan besar dengan 2 tingkat dan berwarna putih membuat tampilan rumahnya semakin mewah. Willy mengajakku masuk dan aku kagum dengan desain interiornya yang sangat mewah. Beberapa sisi dilapisi marmer dan lainnya dihiasi dengan motif bewarna emas.
189 Willy mempersilahkan aku duduk di ruang tamu dan menyuruh pembantunya membuatkan minuman untukku. Sedangkan Willy, dia pergi ke lantai 2, atau lebih tepatnya dia pergi ke kamarnya untuk mengganti pakaian. Sesaat setelah itu, pembantu tadi membawakanku segelas kopi. Dan pembantu itu mulai berbicara denganku. “ Silahkan minum, tuan muda.” (…..Kenapa aksen pelayan yang ku temui selalu memberikan kesan eksklusif…..) “ Heheh, terima kasih, Bi.” “ Bagaimana rasanya, tuan muda?” “ Enak kok, Bi.” “ Syukurlah tuan muda menyukainya.” “ Memang pas kok, Bi. Tidak kemanisan dan tidak terlalu pahit.” “ Kalau saya boleh tau, nama tuan muda siapa ya?”
190 “ Namaku William, Bi. Lagipula Aku lebih suka kalau dipanggil dengan nama panggilan, Bi.” “ Baiklah, William. Jadi kamu pacarnya Nona Willy ya?” “ Bisa dibilang begitu, Bi.” “ Bibi harap, kamu bisa menjaga Nona Willy dengan sepenuh hati, William. Belakangan ini, Nona Willy sering mengalami gangguan kesehatan mental.” “ Apakah Bibi tau penyebabnya.” “ Sejak dia diputuskan oleh laki laki dalam hubungan percintaan, dia benar benar stres.” “ Apakah Bibi tidak mencoba menenangkannya.” “ Bibi tidak bisa melakukannya, Nak William. Hatinya Nona Willy sudah tertutup kepada kami, para pembantunya. Sepertinya, Nona Willy hanya ingin membuka hatinya kepada lelaki saja.” “ Hmm…Begitu ya, Bi.” *Kemudian Willy dari lantai atas menuruni tangga dan memanggilku untuk ikut ke kamarnya.
191 “ William, ayo kesini.” “ Kamu mau apa, Willy.” “ Ikut saja.” Aku mengikuti Willy ke kamarnya. Ternyata dia sedang membuat jus dengan blender. “ Willy, kamu mau buat jus.” “ Tidak, William. Aku mau membuat es buah.” “ Es buah? Padahal suhu disini saja sudah cukup dingin.” “ William, kamu bantu saja aku terlebih dahulu. Nanti akan aku jelasakan alasannya.” “ Baiklah, apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu, Willy.” “ Tolong ambilkan 3 buah blender di dapur dong.” “ Kamu mau buat es buah sebanyak itu.?” “ Ya, kenapa tidak. Stok buah buahanku di lemari es masih banyak.”
192 *Aku mengambil 3 buah blender di dapur dan kembali ke kamar Willy. “ Ini, Willy.” “ Terimakasih, William.” “ Sekarang, jelaskanlah kenapa kamu membuat es buah sebanyak ini.” “ Ini semua untuk teman di kelas kita.” “ Oh, Jadi kamu mentraktir teman sekelas dengan es buah es buah ini? Boleh ku akui itu cukup kreatif.” “ Terimakasih atas pujiannya, William.” Kami juga dibantu oleh pembantu di rumah Willy, mereka mengupas buah buahan, Willy memblender buah buahan itu, dan aku yang mencetaknya di cetakan. Pekerjaan kami selesai lebih awal karena pembantu di rumah ini menolong kami dengan sigap dan cepat, lalu kembali bekerja lagi. “ Hah, akhirnya selesai juga ya, Willy.”
193 “ Sekali lagi terima kasih ya, William.” “ Ya, sama sama, Willy. Ngomong ngomong, apakah es buah ini tidak akan meleleh besok di sekolah?” “ Udara dan suhu di kota ini cukup dingin untuk membuat es buah ini membeku.” *Tiba tiba, Willy menahan perutnya yang tiba tiba sakit. “ Kamu tidak apa apa, Willy?” “ Perutku sakit sekali.” “ Ada apa? Kenapa perutmu tiba tiba sakit, Willy?” “ Mungkin karena aku sedang haid dan perutku sedikit kram.” “ Maaf, Willy. Aku tidak terlalu berpengalaman dengan wanita yang sedang haid. Apa yang harus aku lakukan.” “ Aku sudah menyimpan obat anti nyeri di kotak obatku, di laci meja bagian paling atas. Tolong aku William, ambilkan obat itu.”
194 “ Baiklah.” *Aku mengambil obat yang dimaksud di laci paling atas. Dan segera membawakannya kepada Willy. Willy langsung menelan obat itu tanpa minum air. Sepertinya, rasa sakit yang tiba tiba itu membuatnya lupa dengan segala hal, bahkan meminum air ketika mengkonsumsi obat, yang dia ingat hanyalah meminum obat agar sakitnya hilang. Aku langsung menanyakan kondisi Willy setelah meminum obat itu. “ Willy, apakah keadaanmu sudah lebih baik.” “ Tidak juga, William. Kata dokter, obat ini akan bereaksi setelah 1 menit. Aku sekarang masih merasa sakit walaupun tidak sesakit tadi.” (…..Hahhhh, aku bersyukur atas 2 hal kali ini. Yang pertama, aku bersyukur karena rasa sakit Willy sedikit demi sedikit berkurang. Dan yang kedua adalah, aku bersyukur karena terlahir sebagai laki
195 laki. Karena aku tidak bisa membayangkan betapa sakitnya kram perut ketika haid…..) “ Syukurlah, Willy. Lalu, sekarang kita mau apa lagi?” “ Hmm….aku juga bingung, William.” “ Apakah es buahnya sudah membeku? Aku mau mencoba 1, Willy. Boleh, kan?” “ Ya, kamu boleh mencobanya, William. Itupun kalau es buah tersebut sudah membeku.” “ Ya sudah, biar aku cek dulu.” Aku membuka kulkas dan melihat beberapa es buah sudah membeku. Dan aku mengambil es buah tersebut dari cetakannya dan Willy memanggilku. “ William, setelah aku pikir pikir, aku mau es buah juga.” “ Apakah tidak apa apa jika kamu memakan makanan dingin ketika sedang sakit perut?”
196 “ Tidak apa apa, lagi pula aku hanya mencobanya sedikit, jadi tidak usah ambil es buah lain. Aku mau mencoba es buah yang kamu ambil saja.” “ Baiklah, ini.” *Willy langsung menjilati es buah itu “ Ini William. Terima kasih karena sudah mau berbagi denganku.” “ Santai saja, lagi pula ini kan memang es buah buatanmu.” (…..Haruskah aku menghabiskan es buah ini? Jujur saja aku ragu untuk memakannya karena Willy sudah menjilati es buah ini. Jika aku membuangnya, itu sama saja dengan mubadzir….) “ Kenapa William, apakah ada yang salah dengan es buah itu?” “ Tidak kok, hehe.” “ Ya sudah, ayo habiskan, kalau tidak es itu akan meleleh.”
197 “ Meleleh?” “ Ya, kamarku ini memiliki sistem penghangat ruangan. Lama kelamaan nanti es buah itu meleleh karena suhu yang tidak terlalu dingin.” (…..Ah sial, aku terpaksa menghabiskan es buah ini. Ini sama saja dengan ciuman secara tidak langsung karena es buah ini telah dijilat Willy sebelumnya…..) Aku pikir, rasa es buahnya akan terasa aneh. Ternyata tidak, rasanya masih sama dengan apa yang aku bayangkan walaupun sudah dijilat Willy. Ketika aku sedang mengecap rasa es buah ini, Willy bertanya kepadaku. “ William, apakah rasa es buahnya menjadi aneh karena sudah aku coba duluan.” “ Tidak kok, rasanya masih sama dengan apa yang aku bayangkan.” “ Walaupun begitu, berarti kamu memakan bekasku. Aku merasa tidak enakan kepadamu karena hal itu.” “ Aku tidak terlalu mempedulikannya sekarang. Karena es buah ini…Hmmmph…rasanya enak sekali.”
198 “ Hmm, setelah kamu menghabiskan es buah itu, bagaimana kalau kita mengerjakan PR bersama.” “ Hmmph…. Itu ide yang sangat….hmmph…bagus, Willy.” Karena rasanya yang pas dan enak, aku menghabiskan es buah itu dalam waktu kurang dari 5 menit. Gigiku sedikit ngilu karena dihantam suhu es yang dingin tanpa jeda. Tapi aku tidak mempedulikannya, karena es buah ini enak sekali. Aku mengeluarkan buku buku PR dari tasku untuk mengerjakan PR bersama Willy. Karena jam pelajaran terakhir adalah jam kosong, PR yang harus kami kerjakan tidak sebanyak kemarin. Bibi pembantu tadi bilang kalau Willy sering mengalami masalah kesehatan mental. Tapi aku tidak melihat sedikitpun gejala gangguan mental pada Willy. Bahkan setelah aku mengamatinya selama 20 menit dalam mengerjakan PR, dia merasa baik baik saja. Orang dengan kesehatan mental buruk pasti tidak bisa mengerjakan PR yang cukup sulit ini. Aku yakin, Willy tidak mengalami stress,
199 mungkin saja dia mengalami trauma yang masih berlanjut dari masa kecilnya hingga saat ini. Willy menyadari kalau aku mengamatinya sejak tadi, lalu dia bertanya kepadaku. “ Apakah ada yang salah dengan ku, Willliam?” “ Tidak kok, Willy.” “ Atau dengan PR yang sudah ku kerjakan. Bisakah kamu memeriksanya agar aku tidak mengalami kesalahan lebih lanjut.” “ Hmmm, baiklah, aku akan memeriksanya.” *Aku mengambil buku Willy dan mengamati PR yang telah dia kerjakan. (…..MasyaAllah, dia mengerjakannya semua dengan sempurna. Semua jawabannya pasti benar semua karena dia menuliskan langkah langkah penyelesaian…..) *Aku mengembalikan buku Willy setelah memeriksanya.
200 *Willy bertanya kepadaku “ William, apakah ada yang salah dengan PRku?” “ Tidak, Willy. Ku rasa semua jawabanmu sudah benar.” “ Lalu, kenapa kamu menatapiku sejak tadi, William?” “ Aku hanya penasaran dengan dirimu, Willy?” “ Penasaran seperti apa?” “ Apakah kamu sering mengalami gejala trauma, Willy?” “ Hmm….Begitulah. Kenapa kamu bisa tau, William?” “ Pembantu sudah memberitahuku tadi, Willy.” “ Oh, begitu.” “ Jika kamu tidak mau menceritakannya, ya sudah. Karena aku tau itu adalah hal yang sangat menyedihkan” “ Hmm, seberapa kuatpun aku menyembunyikan trauma ini, ada saja orang lain yang