The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Ghani Chaniago, 2023-11-08 08:07:43

DOC-20231108-WA0017

DOC-20231108-WA0017

101 mewah dan eksklusif seperti pria pria yang ada disini. Tidak masalah tentang Willy, dia memakai gaun seperti wanita wanita di restoran ini. “ Willy, bukankah restoran ini terlalu eksklusif untuk dinner kita? Aku rasa kita bisa memilih restoran yang lebih relate dengan jiwa masa muda kita.” “ Shhhhtttt…..Diam lah, William. Cintaku kepadamu jauh lebih eksklusif dari restoran ini.” “ Bukan itu” “ Lalu?” “ Busana yang ku pakai saat ini terlalu santai dan biasa. Lagi pula, disini juga banyak orang orang dewasa.” “ Hah, tidak masalah kok. Bagaimanapun busana yang kamu pakai, aku tidak merasa keberatan dengan itu.” “ Tapi, Willy………” *Willy mengangkat tangannya dan memanggil pelayan


102 “ Pelayan!!!” “ Ada yang bisa saya bantu? Nona?” “ Hmm…aku ingin pesan makanan paling mahal di restoran ini dua porsi.” (……Aku bertanya di dalam hati, apa yang rencanakan Willy dengan memesan makanan paling mahal? Tidak masalah bagiku untuk membayar hidanganku walau hidangan itu sangat mahal. Tapi, apakah Willy sanggup membiayai dirinya?.......) “ Maaf, Nona. Apakah Nona yakin untuk memesan makanan tersebut? saya menyarankan Nona untuk meminta pendapat orang tua Nona, karena makanan ini sangat mahal.” “ Aku sudah tidak punya orang tua, dan aku merasa cukup mandiri dalam mengatur keuanganku. Lagi pula, mereka mewariskanku banyak uang.” “ Tapi, setidaknya mintalah saran dari pasangan Nona agar tidak ada…..”


103 “ Sudah ku bilang, aku ingin makanan paling mahal di restoran ini dua porsi. Lagi pula aku sudah cukup dewasa untuk menikmati kesan eksklusif restoran ini.” “ Ok, baiklah Nona. Makanan anda akan disajikan sesegera mungkin.” “ Ya, ya.” (……..Aku merasa tidak enak, Willy menanggung semua biaya…..) “ Willy, apakah kau tidak berlebihan dalam membelanjakan uangmu?” “ William, aku hidup sendirian di dunia ini. Pamanku selalu mengirimkan uang kepadaku setiap minggu, tapi aku merasa nominal yang dia kirimkan sangat cukup untuk hidupku sebulan.” “ Jadi, pamanmu itu sangat kaya ya, Willy?” “ Ya, perusahaan yang dia kelola, adalah perusahaan Ayahku. Karena Ayahku meninggal ketika aku masih kecil dan perusahaan itu diwariskan ke pamanku.”


104 “ Pamanmu selalu mengirimkanmu uang lebih karena warisan ayahmu, Willy. Berarti pamanmu menyayangimu bukan?” “ Menyayangi? Tidak tidak, kamu salah besar, William. Harta itu memang hak ku, itu adalah warisan ayahku dan sudah sewajarnya aku menerima uang sebanyak itu. Hanya saja dia memberikan uang yang banyak, bukan berarti dia menyayangiku,” “ Maksudmu?” “ Salah satu contohnya, dia hanya menanyakan bagaimana keadaanku setelah siuman di rumah sakit tadi, lalu mengurus administrasi dan kembali ke kantor. Dia sudah gila harta dan tidak peduli apakah aku sudah sehat atau tidak. Dia tidak bisa dianggap sebagai wali ku.” “ Lalu, bagaimana soal kematian Ayah dan Ibumu? Kamu mengatakan kalau mereka meninggal ketika kamu masih kecil.” “ Itu adalah suatu kejadian yang sangat menyedihkan, aku tidak bisa menceritakannya kepada siapapun.” “ Willy, kamu mau memendam penderitaanmu sendirian?”


105 “ William, kejadian itu selalu membuatku sedih.” “ Kamu pernah bilang kepadaku, kalau hatiku dan hatimu saling terhubung. “ “ Cukup, William.” *Willy menunduk dan tangannya sibuk melakukan sesuatu dibawah meja makan. “ Willy, maafkan aku. Sepertinya aku terlalu menekanmu untuk menceritakan hal itu.” *Willy kembali mengangkat kepalanya dan menatapku dengan senyuman manisnya (……Sepertinya ada hal yang aneh dengan hal yang barusan dilakukan Willy……) “ Tidak apa apa William, aku tidak merasa tertekan karena ucapanmu.” “ Willy, sepertinya ada hal yang aneh denganmu?”


106 “ Apanya yang aneh, William?” “ Kenapa kamu tadi tiba tiba menunduk.” “ Aku….aku…” “ Apakah kamu baik baik saja, Willy?” “ Tidak apa apa kok, William.” *Aku mencoba melihat ke bawah meja, dan aku melihat bungkus obat tergeletak di lantai. “ Willy, kamu tadi minum obat?” “ Hmm… I… Iya.” “ Obat apa yang kamu minum, Willy?” *Wajah Willy terlihat cemas, sepertinya dia mencoba membohongiku pada kalimat berikutnya. “ Soal itu, hmm… Itu cuma obat yang biasa diminum perempuan ketika menstruasi.” “ Jadi, sekarang kamu….”


107 “ Ya, begitu lah.” (…….Aku tidak percaya dengan kalimat Willy tadi. Tapi aku mencoba untuk tetap percaya kepada Willy…….) “ Pantas saja, dari tadi kamu sangat emosional.” “ Iya, heheheh” Akhirnya, setelah obrolan yang cukup lama, pelayan restoran itu kembali ke meja makan kami dengan dua porsi hidangan di tangannya. Aku kira makanan mahal memiliki porsi yang besar dan dugaanku salah. “ Hmm….Tuan, aku tidak tau makanan apa ini?” “ Baiklah, Tuan Muda. Nama makanan ini adalah Spicy roasted Glass Crab. Atau bisa dibilang Kepiting kaca yang dibakar dan dilumuri saus kaya rempah.” “ Kepiting kaca?”


108 “ Ya, itu adalah jenis kepiting yang sangat langka dan hanya terdapat di Danau Kaca, Kota Evercold. Disebut kepiting kaca karena cangkangnya yang transparan.” “ Wah, kepiting cangkang transparan. Kok bisa ya?” “ Itu karena mereka melakukan adaptasi fenotipe dengan lingkungan yang dingin. Mereka hidup dibawah danau dengan permukaan beku sepanjang tahun. Cahaya matahari juga sukar untuk menembus lapisan es di permukaan danau. Adaptasi fenotipe juga membuat daging dan cangkang mereka lebih tebal sehingga dapat menyimpan energi yang telah mereka dapatkan dari cahaya matahari yang sedikit dalam proses siklus energi khusus.” “ Wah, Tuan tau banyak tentang hewan ini ya. Apakah tuan juga ahli di bidang biologi?” “ Jujur saja, Tuan Muda, Saya tidak terlalu ahli dibidang biologi. Kami, para pelayan dituntut untuk mengetahui seluk beluk makanan yang dimasak oleh koki, termasuk bahan, alat, dan metode pengolahan. Karena orang penting seperti Walikota Evercold sering mengunjungi restoran ini bersama istrinya.” “ Oh, begitu ya. Apakah…”


109 *Willy langsung mencubit tanganku “ Ada apa Willy? Kenapa kamu mencubitku?” “ Sudah lah, William. Tuan pelayan ini juga harus melayani meja lain. Jadi, kamu tidak perlu banyak tanya.” “ Ok ok. Tuan, kamu boleh meninggalkan meja kami sekarang.” *Pelayan itu segera melangkahkan kaki dari meja kami “ Dengan senang hati, Tuan Muda.” Hmmm….restoran ini cukup bagus. Dan yang paling ku suka dari restoran ini adalah cara pelayanannya yang sangat menjunjung tinggi rasa penghormatan terhadap pelanggannya. Buktinya, diumurku yang masih 17 tahun, aku sudah dipanggil


110 “Tuan”. Dan itu membuatku sedikit merasa lebih dewasa. Selain mahal, makanan ini cukup enak. Jika saja kepiting kaca tidak langka, pasti hidangan ini akan disajikan di kantin kantin sekolah. Selain enak, daging kepiting ini juga tebal dan bumbu dari luar cangkangnya meresap ke dalam, gurih sekali. Ya, walau porsi yang disajikan cukup banyak, Willy sudah menghabiskan lebih dari setengahnya. Dia makan apapun dengan lahap, tetapi badannya tetap ideal menurutku. Jika orang lain memakan makanan dengan cara seperti ini, setiap hari, pasti orang itu akan gendut. Tapi tidak dengan Willy. Ketika aku menyantap hidangan ini, tiba tiba rombongan bertuxedo lain masuk ke restoran ini. Dan salah satunya memakai tuxedo putih serta menggandeng seorang wanita. Orang orang di restoran langsung bersalaman dengan orang bertuxedo putih dan wanita itu. Orang itu bernama Joseph S Dallunt, atau biasa disebut Pak Dallunt. Dia


111 adalah Walikota Kota Evercold. Jadi, wajar saja orang orang menghormatinya. Sepertinya dia memiliki ketertarikan kepadaku. Ketika aku melihatnya, dia langsung menatap balik pandanganku. Dia segera meninggalkan rombongan dan berjalan ke arah meja makanku. Sepertinya dia ingin mengobrol sedikit denganku. “ Hai, nak. Sepertinya kamu cukup kaya ya? Duduk di restoran eksklusif dan menikmati hidangan termahal.” “ Tidak kok pak…..” “ Kenapa kamu tidak memilih untuk pergi makan di restoran kekinian, atau bahkan di caffe.” “ Hmm….pacarku mengajakku dinner disini, Pak.” “ Hahahah, ternyata kalian menghabiskan waktu berpacaran dengan dinner disini ya?” (……Jujur saja, aku cukup gugup ketika berbicara dengan orang penting…..)


112 “ I…iya, pak” “ Hah….tidak apa apa nak, dinner disini, dikeliling orang dewasa yang sudah menikah, membuat mentalmu terlatih untuk menjadi lebih dewasa dan membuatmu lebih mencintai pasanganmu.” “ Tentu saja, Pak.” “ Ya sudah, saya akan pergi ke meja makan saya dulu. Oh ya, saya lupa sesuatu. Siapa namamu, nak?” “ Namaku William, Pak.” “ Baiklah William, silahkan menikmati hidanganmu kembali. Sampai jumpa.” “ Baik pak.” Ku rasa, Pak Dallunt adalah orang yang cukup ramah. Wajar saja dia dihormati di Kota ini. Tapi, aku merasa suatu hubungan takdir buruk mengikat kami berdua. Aku merasa tidak enakan, bahkan sejak pertama kali kami bertemu dengan Pak Dallunt itu. Aku memang sedang menoleh ke arah lain dan memikirkan apa yang akan terjadi denganku dan


113 Pak Dallunt di masa depan. Tetapi, hatiku yang sangat waspada merasakan sebuah pergerakan aneh. Sesuatu sedang menggeliat di piringku. Dan aku berhasil menangkapnya! “ Willy, maaf, aku sudah menangkap tanganmu dengan keras, aku kira tadi… tadi….” “ William, kenapa kamu termenung seperti itu, apa yang kamu pikirkan?” “ Hmmm, tidak ada….Lagi pula, apa yang kamu lakukan dengan hidanganku.” “ Aku pikir, kamu tidak akan menghabiskan makanan ini. Jadi, daripada kepiting yang enak ini terbuang sia sia, jadi aku mengambilnya sedikit.” “ Jadi, kamu mau makananku? Ya sudah, makan saja.” “ Benarkah?” “ Ya, tentu. Ambillah.” “ Kok aku merasa tidak enakan ya, William?. Aku tidak tega memakan hidangan yang telah ku pesan untukmu.” “ Harusnya, aku yang bilang begitu. Aku merasa tidak enakan memakan hidangan yang dipesan diluar pengaruh keuanganku. Ini semua telah kamu pesan


114 dengan uangmu, Willy. Kamu berhak atas makananku.” “ Baiklah, William. Jika kamu bilang begitu.” (……Willy makan dengan lahap sekali, dan membuat pipinya terlihat semakin imut saja ketika dia mengunyah banyak sekali makanan di mulutnya….) Kami, ekhm, lebih tepatnya Willy telah menghabiskan semua makan yang dipesan. Pelayan tadi kembali ke meja makan kami dan memberikan surat tagihan. Jika di total, harganya kira kira 2 minggu uang jajanku. Aku juga tidak ingin membuat Willy menanggung biaya sebanyak ini sendirian. Dia boleh makan banyak, tapi tidak dengan biaya yang harus dia keluarkan. “ Willy, biar aku saja yang membayar.” “ Tidak, William. Hal itu terlalu mahal bagimu.” “ Tidak kok, aku sudah bawa uang lebih hari ini.” “ Tabung saja uangmu itu, William. Lagipula, aku tadi juga memakan hidangan bagianmu.”


115 *Pelayan tadi sedikit terkejut mendengar pernyataan Willy. “ Tapi, Willy.” “ Cintaku jauh lebih mahal daripada tagihan ini, William.” Seseorang menghampiri meja makan kami. Dan orang itu adalah Pak Dallunt. “ Ada apa ribut ribut disini?” *Willy menjawab pertanyaan Pak Dallunt. Bahkan dari raut wajahnya tidak menampakkan kesan gugup sedikitpun. “ Begini pak, aku dan pacarku ini sedang membahas siapa yang akan membayar makanan ini. Aku hidup dengan uang yang berlebih dan sanggup membayar makanan ini. Sedangkan pacarku bersikeras untuk


116 membayar makanan ini. Aku tidak mau menyusahkan dia, Pak.” “ Kalau begitu, biar aku saja yang membayarnya. Kalian berdua, adalah orang orang yang saling peduli satu sama lain. Kalian pantas menerima kebaikanku.” “ Hah? Tidak Pak….tidak usah repot repot pak.” “ Hahaha, tidak kok. Aku juga hidup dengan harta yang cukup banyak. Aku pikir, berbuat baik kepada kalian tidak akan mengurangi hartaku.” Aku dan Willy mengucapkan terima kasih dan bersalaman dengan Bapak itu. Lalu melangkahkan kaki kami dari restoran ini. Tapi, Willy berjalan lebih lambat dari biasanya. “ Willy, kamu tidak apa apa?” “ Aku….huagh….Kekenyangan, William.” “ Hah, ada ada saja.” “ William, gendong aku dong.” “ Ah? Serius?”


117 “ Ya, aku serius, William.” “ Waduh, aku merasa….” “ Kamu merasa tidak enakan kan, William? Kamu selalu saja begitu.” “ Bukan itu maksudku.” “ Lalu apa?” “ Baiklah, aku akan mencoba menjelaskannya sesopan mungkin. Jika aku menggendongmu, nanti dadamu menyentuh punggungku dan kamu merasa tidak nyaman.” “ Soal itu? dadaku tidak akan mudah sensitif ketika tersentuh hal lain.” “ Baiklah, terserahmu. Ayo, naik ke punggungku, Willy.” Tidak bisa ku percaya, aku menggendong wanita yang ku temui 8 jam yang lalu, apalagi ini dikeramaian mall. Wangi parfumnya tercium lumayan kuat karena tubuh kami berdekatan. Dan tubuhnya tidak terlalu berat, walau baru selesai makan.


118 Kemudian Willy mengajakku duduk sebentar, walau aku tidak kecapean sama sekali. Sepertinya dia ingin mengobrol. “ Terima kasih ya, William. Untuk semua yang terjadi hari ini.” “ Sama sama, Willy.” “ Apakah kamu tau, Ini adalah hari paling membahagiakan di dalam hidupku sejak….” “ Ya, aku tau itu. Kamu tidak perlu menyisipkan penderitaanmu ditengah kebahagiaan.” “ Oh ya, William. Maaf tadi, aku sudah menghabiskan makan malam dan pop cornmu juga.” “ Ya, ya, kamu sudah sering meminta maaf mengenai itu tadi.” “ Apakah kamu marah, William?” “ Tidak kok.” “ Apakah menurutmu, aku terlalu banyak bicara?” “ Ya.”


119 “ Apakah kamu tidak suka kalau aku banyak bicara, William?” “ Menurutku wajar wajar saja.” “ Wajar?” “ Ya, Willy. Dulu, hidupku di Kota Aurum cukup menyedihkan. Aku dibully setiap hari di sekolah. Selain itu aku juga banyak bicara jika mengobrol dengan sahabatku dulu dan mereka menerima diriku dengan ramah. Sejak itu, kesedihan dalam hidupku berkurang bersamaan dengan kebiasaan banyak bicara ku.” “ Jadi, jika seseorang banyak bicara, berarti dia orang yang menderita ya, William?” “ Tepat sekali, Willy.” (…..Aku teringat kalau aku belum shalat maghrib. Sepertinya masih ada waktu shalat sekitar 15 menit sebelum waktu Isya…..) “ Oh ya, Willy. Aku mau pergi ke mesjid dulu. Aku belum shalat magrib dan waktu isya’ segera masuk.”


120 “ Baiklah, William. Aku pulang saja. Pasti sangat lama menunggumu selesai shalat.” “ Ya, baiklah. Aku pergi dulu ya, Willy. Sampai jumpa” “ Ya, William. Sampai jumpa.” Shadow Of Light Dan benar saja, setelah aku mendirikan shalat maghribku yang sangat terlambat, waktu isya’ langsung datang. Aku memutuskan untuk langsung shalat berjamaah di masjid ini. Ya, aku memang muslim yang lemah. Aku tidak bisa menahan diriku untuk menyentuh tubuh Willy. Tadi siang, aku mau tak mau memegang pahanya agar dia tidak terjatuh dengan keras ke lantai sekolah setelah percobaan bunuh dirinya gagal. Dan barusan, punggungku juga bersentuhan dengan dadanya. Ya, walau semua yang ku lakukan hanya untuk membantu Willy, tapi aku tidak yakin kalau Allah mau mengampuni dosa dosaku tadi. Padahal aku juga berusaha untuk selalu dekat


121 denganMu, Ya Allah. Tapi rantai dosa selalu terselubung didalam niat niat baikku. Semoga Engkau mau mengampuniku, Wahai Tuhanku. Aku masih terdiam di masjid, merenungi hal hal yang terjadi hari ini. Lalu seorang ustadz mendatangiku. “ Assalamualaikum,nak” “ Waalaikum salam ustadz.” “ Kenapa kamu masih saja termenung disini, sepertinya kamu punya banyak masalah.” “ Tepat sekali, Ustadz.” “ Ya sudah, sini ceritakan masalahmu. Mungkin aku bisa membantumu.” “ Aku merasa tidak enak, ustadz.” “ Gak apa apa, ceritakan saja.” “ Jadi gini, Ustadz. Aku menolong seorang wanita dan tidak sengaja menyentuh auratnya. Apakah Allah akan mengampuni dosaku?” “ Nak, perkara itu sudah pernah dibahas oleh para ulama. Sebagian besar ulama berpendapat kalau hal


122 itu boleh boleh saja dan tidak berdosa ,atau mubah. Selama tidak ada nafsu yang tercipta.” “ Aku masih belum paham ustadz, bagaimana sebagian besar ulama bisa menyimpulkan hal itu mubah.” “ Begini saja, biar kamu mengerti. Coba kamu analisis peristiwa seorang dokter laki laki yang membantu seorang wanita melahirkan. Menurutmu, apakah dokter itu berdosa?” “ Hmmm…” “ Ya sudah, silahkan kamu merenungi perkataanku tadi, aku mau pergi dulu. Assalamualaikum.” “ Waalaikum salam.” Ustadz itu membuatku menyadari sesuatu, jika seorang dokter laki laki tidak membantu seorang wanita melahirkan, mungkin wanita tersebut ataupun bayinya tidak akan selamat. Itu sama saja, jika aku tadi tidak menangkap tubuh Willy ketika dia terjatuh tadi, mungkin saja Willy tidak akan selamat dan mengalami cidera.


123 Aku rasa, hari sudah larut malam. Lagi pula aku juga tidak meminta izin orang tuaku tadi sebelum pergi. Mereka pasti mencemaskanku. Sepertinya aku harus segera pulang. Aku pergi ke halte bis, dan disana sudah terlihat sepi. Walaupun sepi, aku tidak merasa ketakutan karena gemerlap lampu jalanan dan toko toko di sekitar halte menghilangkan kesan seram. Lagipula, aku bisa memainkan ponselku untuk menghilangkan kebosanan menunggu bis. Seseorang berjalan ke halte. Akhirnya aku tidak sendirian lagi disini. Tapi aku juga sedikit takut, bisa jadi dia adalah orang yang jahat. “ Hei, kau, kenapa menunggu bis sendirian?” (…..Dia sepertinya anak seumuranku atau mungkin sedikit lebih tua dariku…..) “ Ya, karena tidak ada orang lah! Makanya aku menunggu bis sendirian disini.”


124 “ Hahahah, ayolah. Aku mencoba basa basi denganmu. Perkenalkan, namaku Farrel.” “ Salam kenal, Farrel. Namaku William.” “ Dari namamu, sepertinya kau orang kristen.” “ Tidak, aku adalah orang Islam. Oleh karena itu, orang tuaku memberiku nama depan MUHAMMAD!” “ Tidak usah ngegas, santai saja. Aku juga tidak terlalu peduli dengan agamamu, bahkan…” “ Bahkan apa?” “ Aku tidak peduli soal agama.” “ Apakah kau Atheis, Farrel?” “ Tidak tidak, maksudku bukan begitu.” “ Lalu?” “ Aku tidak menyalahkan orang orang yang muslim ataupun kristiani. Aku hanya membenci Ayahku yang memulai permasalahan intoleran ini.” “ Memangnya, Ayahmu sangat berpengaruh di kota ini?”


125 “ Kenapa tidak, dia adalah Walikota Evercold, dan dia juga memasangkan namanya yang menjijikkan sebagai nama belakangku.” “ Jadi, nama lengkapmu Farrel Dallunt bukan?” “ Ya, kau benar. Aku harap ini adalah terakhir kalinya kau menyebutkan nama itu didepanku. Aku sangat jijik mendengarnya.” “ Lagipula, kita tidak akan bertemu dan berbincang setiap hari, bukan?” “ Terserah apa yang kau pikirkan.” “ Kenapa kau sangat membenci Ayahmu, padahal dia adalah Walikota Kota Evercold.” “ Bagiku, jabatan seseorang tidaklah penting. Dia hanya menganggap agama sebagai permainan. Aku tidak bisa bicara lebih banyak. Perbincangan di sini sangat mudah didengar oleh orang lain.” “ Jika kau merasa tidak aman disini, kenapa datang berbincang denganku.” “ Aku hanya mengawasi gerak gerik Ayahku dari sini dan kebetulan bertemu denganmu.” “ Kau pasti memiliki niat buruk kepada Ayahmu, kan?”


126 “ Tentu saja, aku bahkan tidak sabar untuk membunuhnya.” “ Ku rasa, ucapanmu terlalu berlebihan, Seburuk itukah sosok seorang Ayah dimatamu, Farrel?” “ Ya, bahkan dirinya dalah pelopor terjadinya rasisme dan intoleransi di Kota Evercold.” “ Memangnya ada hubungannya ya?” “ Simplenya, muslim dan kristen di kota ini, sebagian besar diantara mereka saling membenci. Dan sebagian kecil menerapkan toleransi. Golongan yang toleran itu selalu dihina, dikambing-hitamkan, difitnah, bahkan dituduh atheis oleh kaum intoleran. Itu semua karena propaganda yang diterapkan pemerintah melalui media online dan cetak.” “ Ku rasa kau tidak perlu mencampur adukkan masalah keluarga dengan masalah politik, Farrel. Bagaimanapun, kau tetaplah anaknya.” “ Aku kecewa melihat muslim sepertimu, William” “ Apa maksudmu?” “ Bukankah agamamu mengajarkan untuk menerapkan sikap toleransi?” “ Ya, pasti.”


127 “ Sekarang, aku mau bertanya kepadamu, apakah kau mengerti soal toleransi itu?” “ Soal itu…..” “ Aku tau, kau tidak bisa menjawabnya. Kau membiarkan orang lain saling menghina ditengah perbedaan. Akidahmu sangat lemah.” “ Lemah?” “ Ya, imanmu lemah, bahkan kau hanya menonton keributan yang terjadi terhadap Islam dan Kristen disekitarmu seolah olah kau tidak melihatnya.” “ Aku memanglah orang pindahan di Kota Evercold. Bukan berarti kau bebas menghinaku.” “ Apa? Kau marah? Teruslah tenggelamkan dirimu dalam lautan pecundang, William. Kemudian kau menjadi buta terhadap kebenaran.” (……Aku pikir, Farrel sudah berbicara terlalu jauh. Aku ingin sekali memukulnya…..) *Aku melayangkan tinjuku kepada Farrel, dan dia mudah saja menangkisnya.


128 “ Ah, sial.” “ Sudah ku bilang kan, William? Kau itu adalah muslim yang lemah. Bahkan dari segi fisikpun, kekuatanmu jauh dibawahku.” *Aku menjauhkan tinjuku dari Farrel karena menyadari potensi kekuatannya. “ Aku tidak lemah, dan aku tau hal itu. Aku hanya kurang melatih fisikku belakangan ini.” “ Ya, sekali lagi kau tenggelamkan kenyataan didalam lautan para pecundang. Terima saja kenyataan kalau aku lebih kuat daripadamu.” (……Dari sebagian orang yang pernah ku temui di kota ini, Farrel adalah orang paling genius dan menyebalkan. Tidak hanya kuat dalam fisik, dia juga ahli dalam menjatuhkan mental lawan debatnya. Sepertinya, aku tidak boleh main main dengannya…..) “ Tch, baiklah. Apa yang kau mau, Farrel.”


129 “ Menurutmu apa? Tujuan kita sama. Hanya saja rantai kebodohan sedang mengikatmu dan aku mencoba membebaskanmu dari rantai itu.” “ Aku hanya ingin, kota ini berjalan tanpa sikap intoleran. Aku ingin toleransi dapat diterapkan di kota ini. Hanya saja, aku belum mendapat dukungan.” “ Lihat, kau dan aku, sama sama menginginkan toleransi. Aku akan mendukungmu dan akan menjadi mentormu mulai saat ini. Jadi, kau harus patuh kepadaku.” “ Buat apa, aku tidak butuh dukunganmu dan mentor-mentoran itu. Karena tidak ada manfaatnya bagiku.” “ Aku telah menyewa seorang pelatih beladiri dengan kontrak selama 1 tahun. Jika kau mau menerima dukunganku dan menjadikanku sebagai mentormu, aku akan mengizinkanmu berlatih beladiri setiap hari dan kapanpun kau mau.” “ Hmm…cukup menarik” “ Baiklah, aku rasa tidak ada lagi yang ingin ku bicarakan denganmu saat ini. Jadi, jika kau menerima


130 penawaran itu, hubungi saja nomorku yang ada di kartu nama itu.” “ Aku akan memikirkannya terlebih dahulu.” “ Ya sudah.” “ Kau tidak jadi membunuh Ayahmu, Farrel? Kenapa kau langsung bergegas pergi dari sini?” “ Tidak, aku disini hanya untuk mengawasi dia. Soal pembunuhan itu, aku belum mempersiapkannya. Masih banyak rencana yang akan aku lakukan.” “ Walaupun kau orangnya radikal, ternyata kau tidak punya pendirian ya, Farrel?” “ Terserah apa katamu, aku tidak peduli dengan ucapan orang lemah sepertimu, hahahah. Ya sudah, aku pergi dulu, sampai jumpa.” “ Hah, dasar kau.” Farrel, seorang anak yang sangat membenci ayahnya. Aku tidak tau apakah dia benar benar anak dari Pak Dallunt. Sikap Pak Dallunt yang aku lihat tadi benar benar berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan Farrel.


131 Lagipula, aku juga bingung, kenapa Farrel benar benar tertarik menjalin kerjasama denganku. Apalagi dia juga berniat menjadi mentorku. Jika saja, aku sedikit lebih kuat darinya, aku tidak akan setuju untuk menjadikannya mentorku. Aku tau, aku terpaksa menerima tawarannya, karena dia lebih kuat dariku. Jika aku menolak tawarannya tadi, dia pasti akan melakukan hal yang buruk kepadaku. Tapi, kenapa dia merekrutku sebagai kadernya? Padahal, dia bisa saja mencari orang yang lebih kuat dariku untuk dia rekrut. Hah….. merepotkan. Setelah Farrel pergi, bis kota langsung menghampiri halte. Aku duduk di bis memikirkan apa yang akan ku lakukan. Terlalu banyak yang terjadi hari ini. Bahkan, rasanya 10.000 kata tidak akan cukup mengekspresikan suasana dan peristiwa yang ku alami di Kota Evercold. Bahkan, ini baru hari kedua ku mendiami kota ini.


132 Akhirnya aku sampai di persimpangan dekat rumah. Aku berjalan dari persimpangan ke rumah dengan menundukkan kepala karena otakku sedang sibuk berpikir. Aku berjalan ke arah pintu rumahku dan kepalaku menabrak perut Ibuku yang sedang menungguku di depan pintu rumah. Dan Ibuku langsung mencubit telingaku dan membawaku dengan paksa masuk ke rumah. “ Haduh, Ibu. Santailah sedikit,…. Telingaku jadi sakit” “ William William, kamu dari mana saja hah?…..blablablablablablabla” (……Aku tidak menyimak perkataan Ibuku karena kagum dengan kecantikannya ketika pertama kali memakai hijab. Ternyata, Ibu benar benar serius menjadi muallaf…..) “ Aku tadi cuma pergi keluar sebentar kok, sama teman teman baruku.” “ Pergi keluar? Kemana?” “ Hm…ke mall, Bu.”


133 “ Kenapa kamu tidak memberitahu kami dulu kalau kamu mau keluar. Ibu mencemaskanmu William, apalagi di malam hari para aliran sesat sering berkeliaran. Ibu takut kalau kamu kenapa kenapa, William.” “ Habisnya sih, Ibu dan Ayah tidak ada di rumah tadi. Jadi aku langsung pergi saja.” “ Ibu harap, kamu tidak melakukannya lagi.” “ Iya bu, janji.” *Ayahku beranjak dari sofa dan berjalan kearahku dan Ibuku dengan tatapan aneh, ia sepertinya juga mencium sesuatu dan bertanya kepada Ibuku. “ Anne, apakah kamu memakai parfum aroma cherry hari ini?” “ Suamiku, kamu tau kan kalau aku benar benar tidak suka aroma cherry.” *Ayah menolehkan pandangannya kepadaku


134 “ William, apakah kamu memakai parfum dengan aroma cherry?” “ Ya, Ayah.” “ Ayah tidak pernah melihat satupun toko yang menjual parfum pria beraroma cherry.” “ Hmm…..” *Ayahku pergi ke kamarku untuk mencek apakah ada botol parfum beraroma cherry itu. Sedangkan ibuku mulai berbicara dengan suara kecil dan berbisik. “ William, benarkah kamu membeli parfum beraroma cherry? Ibu akan merasa mual jika mencium aroma itu cukup lama.” “ Tidak bu, lagipula itu adalah aroma parfum wanita.” “ Jadi, jujur saja William. Apakah kamu pergi ketemuan sama wanita yang kamu ceritakan siang tadi?” “ Ya, bu.” “ Hadeh, William. Ibu sudah berusaha menjaga rahasiamu, tapi kamu malah menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam masalah.”


135 “ Maaf bu.” “ Ibu merasa mual, sepertinya Ibu mau muntah.” *Ibu pergi ke kamar mandi karena mual sedangkan Ayah keluar dari kamarku dengan raut wajah kecewa dan bertanya kepadaku. “ William, apakah kamu sudah berbohong kepada ayah.” “ Maaf, Yah.” “ Sekarang, kamu masuk ke kamarmu.” “ Kenapa tidak bicara disini saja?” “ Sudah ku bilang, MASUK KE KAMARMU, SEKARANG!!! Kita akan bicarakan ini berdua” Aku masuk ke kamarku setalah di bentak Ayahku. Apakah aku harus jujur atau berbohong lagi kepadanya nanti?. Hatiku sangat risau saat ini.


136 Aku duduk di kasurku sedangkan Ayahku berdiri dengan melipatkan tangannya. Ayahku mulai bertanya kepadaku. “ William, aku telah memeriksa semua bagian kamarmu dan tidak menemukan parfum aroma cherry. Dan itu hanyalah aroma parfum wanita. Apakah kamu dekat dengan seorang wanita belakangan ini?” “ Iya, Ayah.” “ Jadi kamu sekarang sudah punya pacar?” “ Iya, Ayah.” “ Kau tau kan? Islam melarang untuk pacaran, karena hal itu adalah perzinaan.” “ Tapi ini semua bukanlah atas dasar keinginanku, Ayah.” “ Orang yang berpacaran pasti didasari keinginan kedua pihak.” “ Aku hanya menyayanginya, Ayah. Aku tidak mencintainya.” “ Tch, omong kosong.”


137 “ Aku serius, Ayah. Aku hanya bisa menyayanginya, aku tidak bisa mencintainya.” “ Memangnya kenapa?” “ Dia bukan muslimah.” “ Jika dia bukan seorang muslimah, untuk apa kamu menyayanginya?” “ Dia sudah menjalani hari hari berat sejak kehilangan orangtuanya ketika dia masih kecil.” “ Oh, begitu ya. Jadi, apa yang dia mau darimu, William?” “ Dia mau kalau aku memberinya kasih sayang untuk mengisi kekosongan hatinya, Yah.” “ Alasanmu benar benar hanya sekedar omong kosong, William. Kasih sayang orang tua tidak dapat disamakan dengan kasih sayang orang lain.” “ Ucapan Ayah memang benar, tapi tidak ada orang lain yang menyayanginya.” “ Dirimu sudah dimanfaatkan, William. Dia bisa saja berbohong kepadamu.” “ Tidak, Ayah. Aku tau, dia bukanlah seorang pembohong seperti ayah. Lagi pula, raut wajah


138 pembohong dan orang yang jujur sangat berbeda. Aku juga merasa tidak tega-an atas kesepian yang dia alami dalam hidupnya.” “ Memangnya kenapa, William?” “ Aku selalu merasakan diriku seolah olah menjadi dirinya. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan aku rasakan jika Ayah dan Ibu meninggal, dan orang lain tidak peduli denganku.” “ Jika itu yang kamu ucapkan, baiklah. Ayah tidak melarangmu untuk dekat dengan wanita itu. Tapi, Ayah menyarankanmu untuk menjalin hubungan pertemanan saja dengannya, tidak lebih dan tidak kurang, hanya berteman saja. Jika kamu menganggapnya lebih dari seorang teman, bahkan mencintainya, Ayah tidak akan mengizinkanmu untuk menikah dengannya kelak ketika dewasa, kecuali jika dia masuk islam terlebih dahulu.” “ Ayah berbicara terlalu jauh. Lagi pula, dulu Ayah juga menikahi Ibu dalam status beda agama.” “ Dan lihat hasilnya sekarang. Ayah mempunyai anak dengan iman lemah sepertimu, dengan mudahnya mendekati wanita yang bukan mahram.” “ Ya, Ayah memang benar….”


139 “ Oh ya, memangnya siapa nama wanita itu?” “ Willy, orang yang Ayah antar ke rumah sakit tadi siang. Dan pamannya adalah bos Ayah, kan” “ Oh, anak itu. Pokoknya, Ayah tidak mau mendengar kalau kamu berpacaran lagi, William. Bahkan dengan anak yang bernama Willy itu. Jika kamu ketahuan berpacaran dengan Willy, Ayah akan urus surat adopsi anak dan menjadikannya saudari angkatmu. Apakah kamu mau seperti itu?” “ Tidak, Yah. Aku janji tidak akan berpacaran lagi.” “ Nah, itu baru anakku. Sekarang tidurlah, kamu harus bangun lebih pagi untuk bersiap siap sekolah besok.” “ Baik,Ayah.” Ayahku keluar dari kamarku dan bertemu Ibuku yang baru saja keluar dari kamar mandi. Aku menyadari kalau Ibu sebenarnya sudah keluar dari kamar mandi sejak tadi dan menguping pembicaraan kami. Hanya saja Ayah tidak sadar. Ibuku masuk ke kamarku, sepertinya dia ingin menceramahiku juga.


140 “ William, apakah Ayahmu menyakitimu tadi.” “ Tidak, Ibu.” “ Syukurlah, kamu tidak apa apa.” (……Jujur saja, Ibu. Hatiku sedang tidak baik baik saja. Bagaimana tidak? Ayahku tidak paham apa yang aku maksud…..) “ Apanya yang tidak apa apa. Ayahku melarangku untuk dekat dengan Willy.” “ Dia tidak melarangmu untuk dekat dengan Willy, tapi kamu harus menjaga batasan antara laki laki dan wanita yang bukan mahram.” (……Ibu, dirimu mengajakku bicara diwaktu yang salah. Akal pikiranku tidak bisa menahan hatiku yang marah. Maaf, Ibu. Maafkan aku….) “ Ibu baru saja 1 hari menjadi seorang muslimah dan mengajari seorang muslim 17 tahun sepertiku?”


141 “ Ya, Tuhan. William.” “ Ibu bahkan belum bisa menyebutkan Astaghfirullah, jadi jangan sok mengajariku tentang agama islam.” *Ibuku mulai menangis mendengar hal itu, dan memelukku. (……Maaf ibu, aku, aku, aku tidak bisa menahan hatiku yang sedang kesakitan ini. Aku tidak punya niat untuk berkata kasar sama sekali kepadamu, Ibu…..) “ Anak Ibu yang dulu, dimana dia? Dimana William yang dulu.” (……Rasa sakit di hatiku mulai reda sejak pelukan hangat Ibuku menyentuh tubuhku. Akal pikiranku mulai mengambil allih diriku dan aku tersadar kembali…..)


142 “ Ibu, maafkan aku, Ibu. Aku….tidak bermaksud untuk berkata kasar kepadamu.” “ Williamku yang dulu, sepertinya sudah melangkah sangat jauh.” “ Tidak, Ibu. Aku disini, aku…aku…tetaplah William yang dulu, maafkan aku, Ibu. Aku secara tidak sadar membentakmu.” “ Anakku yang dulu, yang tidak sanggup berkata kasar kepada orang lain. Sekarang sudah sanggup melakukannya, bahkan kepada Ibunya sendiri…..” “ Ibu, percayalah, aku tidak sadar mengatakannya.” “ William…” “ Ibu….maafkan aku.” “ William, anakku satu satunya. Ibu selalu memaafkanmu. Akankah dirimu selalu berkata kasar kepadaku, nanti.” “ Tidak Ibu, aku…aku tidak akan mengulanginya.” *Ibuku meletakkan tanganku ke kepalanya


143 “ Bersumpahlah Demi Allah, William.” “ Demi Allah. Ibu, aku tidak akan mengulanginya.” “ Jika kamu mengatakan hal itu lagi, jangan panggil diriku dengan sebutan Ibu lagi.” “ Ibu.” “ Sekarang, Ibumu memelukmu, William. Apakah masih ada rasa sakit hati di dalam dirimu?” “ Hatiku masih saja merasa tertekan, Bu.” “ Maafkan Ibu, William. Sepertinya, tadi Ibu tidak peka dengan perasaanmu yang baru saja tertekan oleh Ayahmu.” “ Ibu tidak perlu meminta maaf, lagi pula itu adalah kesalahanku, tidak dapat menahan amarahku.” “ Ibu pikir, Ibu akan menarik kata kata Ibu tadi. Seorang Ibu tidak pantas menyumpahi anaknya yang susah payah dilahirkan bukan? Lagipula, hatimu akan terbeban dengan sumpah kan, William?”” “ Tanpa bersumpahpun, aku tidak akan pernah berkata kasar atas kemauanku sendiri.”


144 “ William, kamu adalah anak yang baik, hanya saja kamu masih dalam fase remaja yang labil. Ibu tidak akan menaruh perasaan lagi ketika kamu berkata kasar lagi karena itu adalah hal yang wajar bagi remaja yang labil.” “ Terima kasih, Bu. Hanya Ibu yang bisa mengerti perasaanku saat ini. Hati dan perasaanku memang labil dan susah ku kendalikan belakangan ini.” “ Tapi, kamu jangan pernah berkata kasar kepada siapapun ya, William. Bukankah agama kita mengajarkan untuk bersabar dan menahan diri?” “ Tentu saja, Bu.” “ Sekarang, jelaskan kepada Ibu mengenai hubunganmu dengan Willy selanjutnya.” “ Jika aku memutuskan hubungan ini segera, Willy pasti akan sakit hati dan menjadi asing denganku. Kemungkinan terburuknya, dia akan menyusul Ayah dan Ibunya ke alam Baqa sana. Jika aku tetap mempertahankan hubungan ini, Ayah akan mengurus surat adopsi anak dan menjadikan Willy sebagai saudariku.” “ Ayahmu memberikan pilihan yang sulit juga ya di masa remaja yang labil sepertimu.”


145 “ Ya, bagaimana lagi.” “ Ibu punya ide yang terasa cukup gila.” “ Apa itu?” “ Bagaimana, jika kalian tamat SMA, kalian langsung menikah saja.” “ Tidak bisa, Bu. Willy bukan seorang muslimah. Lagipula, pernikahan dini juga punya banyak resiko, Bu.” “ Kamu bilang, Willy adalah anak yatim piatu bukan?” “ Ya” “ Kalau begitu, kamu bisa membimbing dia agar masuk islam.” “ Percuma saja, Bu. Ujung ujungnya Willy menganggapku meninggalkannya karena kami putus pacaran.” “ Begini saja, Ibu anggap kamu sudah dewasa, William. Terserah apa yang akan kamu lakukan, Ibu tidak akan menekanmu. Ibu hanya mengulur sedikit rantai kepadamu, jika sewaktu waktu dirimu terjatuh dalam dosa, Ibu akan menarikmu kembali.” “ Lalu, bagaimana dengan Ayah.”


146 “ Ibu akan membicarakan hal itu dengannya.” “ Baik, Bu. Maaf dan terima kasih atas semua yang telah ku katakan.” “ Satu lagi, William. Jika kamu mendapati hari yang buruk, ceritakan lah kepada Ibu secepat mungkin. Jika kamu memendamnya sendiri, kebiasaan untuk berkata kasar akan mulai tumbuh dari dalam hatimu.” “ Tentu saja, Bu.” “ Ya sudah, tidurlah.” Apa yang terjadi dengan Ibuku? Dia membuat diriku terikat dengan sumpah, dan mencabut sumpah itu secara tiba tiba. Kenapa sikap Ibu benar benar aneh tadi? Apakah hati Ibu juga tertekan karena ucapanku tadi? Lagipula, aku sudah meminta maaf dan Ibu menerima maafku. Ini pertama kalinya Ibuku plin plan seperti itu. Zain juga begitu. Hah…aku baru teringat soal Zain. Dia memarahiku dengan sebab yang benar benar tidak masuk akal. Farhanlah yang menolak tawarannya dan dia malah melampiaskan kemarahannya kepadaku. Kenapa dia tidak mencoba


147 untuk memberikan kepada Farhan? Apakah Zain benar benar marah? Atau bisa jadi Zain tidak berani melakukan perlawanan kepada Farhan karena Farhan mungkin lebih kuat daripada Zain? Hmm…entahlah. Lagipula, kenapa aku terlahir dengan sifat overthinking?. Memang, aku bersyukur dengan sifat overthinking karena aku lebih mudah dalam menghafal sesuatu. Tapi di sisi lain, aku juga susah melupakan masalah. perasaan kecemasan selalu mengikatku bagaikan pulpen di meja administrasi. Hah, sial…aku tidak bisa tidur. Sepertinya aku akan tertidur setelah otakku lelah karena overthinking. Pagi ini terlihat lebih cerah dari sebelumnya dan salju yang menumpuk di halaman juga tidak sebanyak hari hari yang lalu. Aku melihat ke kalender dan ternyata ini adalah awal dari musim semi di Kota Evercold. Setelah serangkaian aktivitas persiapan sekolah, Aku pergi ke meja makan untuk sarapan pagi. Sedangkan ayahku sibuk membaca artikel di


148 ponselnya. Kemudian Ayah mematikan ponselnya dan memulai pembicaraan denganku. “ William. Tumben persiapanmu lebih cepat?” “ Ya, Ayah. Aku tidur lebih cepat malam tadi.” (……Maafkan aku Yah. Karena aku telah membohongimu kali ini. Jujur saja, aku tidak bisa tidur tadi malam, aku mengalami insomnia…..) “ Baguslah. Jika kamu seperti ini setiap hari, kamu pasti akan terbiasa disiplin.” “ Ya” “William, Ibumu berbicara dengan Ayah tadi malam.” “ Lalu.?” “ Ayah rasa, Ayah terlalu menekan perasaanmu tadi malam, apalagi Ayah juga mengancammu, padahal dalam masa remaja, mental seseorang sangatlah labil. Oleh karena itu, Ayah meminta maaf kepadamu, William.”


149 “ Ayah tidak perlu seperti itu, lagi pula aku lah yang lebih dulu berbohong kepada Ayah.” “ Jadi, kamu tidak memaafkan Ayahmu, William?” “ Bukan begitu, Ayah. Aku merasa tidak enakan kalau orang tuaku meminta maaf kepadaku. Padahal aku juga bersalah.” “ Ayah sudah terlebih dahulu memaafkanmu, William. Ingat ini baik baik, maaf bukanlah sesuatu yang ditentukan oleh usia, tetapi dilakukan oleh siapa yang salah.” “ Aku juga sudah memaafkan Ayah.” “ Terima kasih, William.” “ Hah….biasa sajalah, Ayah. Jangan alay seperti itu.” “ Hahahahah. Baiklah, anakku. Oh ya, satu lagi.” “ Ayah terlalu sering mengatakan oh ya oh ya. Kenapa tidak langsung ke intinya saja. Ayah tidak perlu basa basi kepadaku.” “ Baiklah. Ayah memutuskan untuk tidak terlalu mencampuri urusanmu di masa yang akan datang lagi.” “ Maksud Ayah?”


150 “ Ayah sudah menasihatimu dengan sungguh sungguh tadi malam. Ayah pikir, tanggung jawab Ayah sebagai orang tua sudah sedikit berkurang. Dan kamu sudah baligh dan berakal. Jadi, lakukanlah apa yang kamu pikir baik bagi kehidupanmu.” “ Jadi, aku boleh kan? Dekat dengan Willy lagi.?” “ Willy siapa?” *Ibuku yang sedang memasak di dapur langsung tertawa kecil. “ Itu lho Ayah, gadis yang ku bicarakan tadi malam. Masa Ayah mudah saja lupa dengan hal itu.” “ Oh, jadi maksudmu kamu mau berpacaran dengan gadis itu?” “ I….iya.” “ Terserah padamu, William. Ayah harap kamu bisa menjaga batasan hubunganmu dengannya.” “ Wah, terima kasih, Ayah.”


Click to View FlipBook Version