201 mengungkapkannya. Aku merasa tidak ada gunanya lagi aku memendam trauma ini.” Willy berhenti mengerjakan PRnya dan pergi ke arah meja, lalu mengeluarkan sesuatu dari laci meja tersebut. Dan aku menjadi kebingungan melihat benda itu “ Baju bayi? Untuk apa kamu menyimpannya, Willy?” “ Dulu aku juga punya seorang adik.” “ Lalu dimana adikmu sekarang.” Willy mulai meneteskan air mata, dan mulai menangis karena pertanyaanku tadi. “ Sepertinya aku salah bicara, Willy. Maafkan aku.” “ Tidak apa, William. Lagipula, aku tidak ingin memendam kesedihan ini lagi. Adikku sudah meninggal, bersamaan dengan Ayah dan Ibuku. Ini seharusnya baju bayi yang akan dipakai oleh adikku tetapi dia meninggal sebelum memakainya. Ini
202 adalah satu satunya hal yang bisa mengingatkanku dengan Adikku.” “ Kamu bilang, Ayah dan Ibumu meninggal karena kecelakaan, bukan?. Berarti, adikmu juga…” “ Ya, adikku juga meninggal karena insiden itu.” “ Ya sudah, ceritakan saja kepadaku. Mungkin kamu bisa merasa lebih tenang setelah membagikan kesedihanmu kepadaku, Willy.” “ Hmm…Waktu itu, kami sekeluarga ingin mengikuti sebuah acara besar di kota Evercold. Kami pergi dengan menaiki mobil Ayahku. Ayah dan Ibuku duduk di depan, dan aku duduk di tengah, sedangkan bagian belakang penuh dengan barang barang bawaan. Adikku saat itu masih berumur 1 tahun dan dia duduk dipangkuan Ibuku. Kemudian sebuah mobil ngebut ngebutan dan mengganggu pengendara lain. Ayahku mencoba mengendalikan mobil agar tidak terganggu oleh pengendara ugal ugalan itu dan tiba tiba…” “ Tiba tiba apa Willy?” “ Sebuah mobil didepan mobil kami melakukan rem mendadak karena terganggu oleh pengendara ugal ugalan tadi. Ayahku yang tidak sadar dengan hal itu,
203 tidak sempat melakukan rem dan sebuah benturan keras merusak mobil kami, Ayah, Ibu, dan Adikku meninggal seketika dan aku tidak tau kenapa aku selamat. Walaupun selamat dari kematian, aku tidak sadarkan diri saat itu karena tekanan dari sabuk pengaman dan arah benturan yang bersamaan, aku menjadi tidak bisa bernafas dan tidak sadarkan diri. Lalu aku terbangun di rumah sakit. Dokter bilang kalau aku koma sudah mengalami koma selama 4 hari. Aku juga menangis saat itu karena tidak sempat mengikuti acara pemakaman keluargaku.” “ Dan kamu selalu dibayang bayangi oleh hal itu, Willy?” “ Tentu saja, sejak saat itu, aku menjalani pemulihan psikis bahkan hingga saat sekarang ini. Aku rutin memeriksakan kesehatan mentalku ke psikiater.” “ Apakah hal itu membantumu dalam memulihkan mentalmu?” “ Tidak juga, William. Psikiater itu hanya menyarankan aku untuk mencari kasih sayang dari orang lain, oleh karena itulah aku pacaran walaupun akhirnya aku tetap saja ditinggalkan oleh pacar pacarku.”
204 “ Pasti mentalmu sangat tertekan karena diputuskan ketika pacaran, bukan?” “ Ya, William.” “ Kamu tau, Willy. Pacaran itu bagaikan narkoba, terasa nikmat dan candu. tetapi merusak.” “ Mau bagaimana lagi, semua orang mendapatkan kasih sayang tapi tidak denganku. Makanya aku mencoba untuk pacaran. Aku harap, kamu tidak meninggalkanku William.” “ Apapun akhir dari hubungan percintaan kita, ingatlah selalu kalau aku akan terus menyayangimu, Willy.” “ Terima kasih, William atas perhatianmu kepadaku. Sekarang, trauma masa laluku tidak terlalu membebaniku lagi. Senang berbincang denganmu,” “ Sama sama, Willy. Aku senang ketika kamu senang.” “ Bagaimana kalau kita lanjut membuat PR, William?. Jika kita bercerita terus, PR ini tidak akan selesai selesai.” “ Baiklah, Willy.”
205 (…..Syukurlah, Willy tidak dibebani traumanya lagi….) See You Again! “ William, kamu sudah menyelesaikan PR mu?” “ Sudah Willy.” “ Boleh aku mencocokkan jawabanmu dengan jawabanku.” “ Tentu saja. Silahkan.” *Willy memegang dua buah buku di tangannya sambil mengamati keduanya secara bergantian. “ Sepertinya, jawabanmu untuk soal nomor 9 berbeda denganku, William.” “ Ya sudah, apa jawaban yang kamu buat.” “ Jawabannya C.” “ Oh, baiklah, aku akan menggantinya.”
206 “ Tunggu dulu, jawabanku belum pasti benar, William. Ini buku PRku, bukan buku kunci jawaban.” “ Bukankah wanita selalu benar?” “ Iiiiiih, William, kamu ada ada saja.” “ Ya sudah, kembalikan buku PRku, aku akan mengganti jawabannya sekarang juga.” “ Jangan salahkan aku kalau jawabannya salah.” “ Baiklah, cantik.” Sepertinya tidak ada lagi yang akan aku lakukan di rumah Willy. Membuat es buah, membuat PR, mendengarnya bercerita, semuanya sudah memakan waktu sekitar 3 jam. Aku bahkan lupa kalau aku belum shalat zhuhur. Jadi aku segera pulang. “ Willy, aku pulang dulu ya.” “ Kenapa cepat sekali, sekarang masih jam 3 loh.” “ Aku belum shalat zhuhur. Jadi aku akan langsung ke masjid, lalu pulang.”
207 “ Oh, baiklah. Kapan kapan datang lagi ya.” “ Ya sudah, aku pergi dulu, terima kasih es buahnya, Willy.” “ Tunggu, apakah kamu tidak mau menciumku dulu, William?” “ Lain kali saja ya, Willy.” “ Hahhhhh, William.” Aku pergi dari kediaman yang mewah itu, menyusuri dinginnya salju di musim semi dan tidak lama setelahnya, aku sampai di pusat kota. Aku menaiki bus dan akhirnya sampai di distrik tempat tinggalku dan pergi ke masjid kemarin. Daripada aku shalat di rumah, lebih baik aku shalat di mesjid, walaupun aku shalat sendirian karena sudah telat sejak tadi, aku tidak tau apakah pahalanya lebih besar atau sama saja dengan shalat sendiri di rumah. Setelah aku shalat di masjid, aku langsung bergegas pulang. Dan Ibuku langsung menyambut kedatanganku.
208 “ William, kenapa kamu tidak baca salam?” “ Maaf, Ibu. Aku masih belum terbiasa dengan keislaman Ibu.” “ Ya sudah, silahkan masuk. Lain kali, bacalah salam sebelum masuk rumah. Kalau tidak, Ibu akan menguncimu di luar.” (…..Palingan, sebentar lagi Ibu akan menarik kata katanya lagi….) *Ibuku melanjutkan kalimatnya lagi. “ Eh, tidak jadi deh, Ibu pikir Ibu akan terlihat kejam jika menguncimu di luar.” (…..Benar dugaanku, Ibu selalu saja begitu….) “ Ya sudah, aku tidak peduli dengan hukuman Ibu.” “ Eh nak, Ibu tadi mendengar ada kasus pembullyan di sekolahmu, apakah itu benar, William?”
209 “ Pembullyan, tidak kok. Kenapa Ibu bertanya seperti itu.” “ Ibu mendengarnya dari tetangga. Anak tetangga kita itu satu sekolah denganmu dan melihat tindakan pembullyan itu menceritakannya pada Ibunya. Jadi Ibu tidak sengaja mendengarnya.” “ Oh, begitu.” “ Ibu harap kamu tidak ada keterlibatan dalam kasus pembullyan.” “ Tentu saja, Bu. Lagi pula aku adalah anak baru di sekolah itu. Aku harus menjaga citraku.” “ Itu baru anakku, jangan pernah menyakiti siapapun ya, William.” “ Ya ya ya, baik Ibu.” “ Sekarang, makanlah terlebih dahulu, Ibu tau kalau kamu belum makan siang kan, William?” “ Baik Ibu.” Setelah aku selesai makan siang yang sangat terlambat ini, suara adzan langsung berkumandang dan aku langsung pergi shalat berjamaah ke masjid
210 tadi untuk shalat ashar berjamaah, aku juga bertemu dengan Zain dengan wajah penuh perban. Setelah selesai shalat, aku berbincang kepadanya. “ Kau bilang, kau tidak akan mengobati luka itu, Zain.” “ Hm…lama lama juga terasa sakit juga.” “ Hahaha, dasar…” “ ….Dasar pecundang kan? Aku tau apa yang kau pikirkan, William.” “ Tebakanmu benar dan kamu sadar diri juga ya, Zain. Hahaha.” “ William, mungkin kali ini adalah hari terakhirku mendengar tertawaanmu itu.” “ Ada apa Zain?” “ Aku akan pindah sekolah besok.” “ Kenapa?” “ Orang tuaku menganggap kalau aku adalah korban bullying karena melihat luka memarku. Ayahku juga sedang mengurus surat kepindahan sekolahku.”
211 “ Menurutku tidak apa apa, kita juga bakalan ketemu setiap shalat ashar disini, kan?” “ Tidak William. Ayahku mendaftarkanku di sebuah pesantren di pinggiran kota. Jadi, aku terpaksa diasramakan.” “ Oh, begitu ya.” “ Satu lagi, William. Apakah aku masih mempunyai hutang kepadamu? Aku akan melunasi semua hutang hutangku sebelum aku berangkat besok.” “ Kau tidak berhutang kepadaku sama sekali, Zain.” “ Syukurlah. Ya sudah, aku akan pergi ke restoran dulu ya, teman temanku sudah menunggu di sana.” “ Tunggu dulu, Zain.” “ Ada apa, William.” “ Kau tidak bercanda kan, Zain?” “ Tentu saja tidak. Buat apa aku bercanda denganmu. Aku tau kalau kau adalah orang yang disiplin dan serius. Jika aku berbohong, kau pasti akan langsung menyadarinya.” “ Oh, begitu.” “ Ya. Baiklah, William, sampai jumpa di lain waktu.”
212 “ Ya, Zain. Maafkan aku atas kesalahanku 2 hari yang lalu ya.” “ Ya, aku sudah memaafkanmu kok.” Aku berjalan meninggalkan masjid itu. Tidak ku sangka kalau persahabatanku dengan Zain dimulai dari masjid ini dan berakhir di masjid ini lagi. Aku baru pindah dari Kota Aurum 3 hari yang lalu dan Zain akan pindah ke pinggir kota esok hari. Persahabatan kami benar benar mencapai klimaks bahkan hanya dalam 2 hari. Kemarin, kami benar benar akrab dan hari ini, kami benar benar berselisih. Apalah dayaku, perpisahan pasti akan memutus hubungan hubungan yang ada. Aku hanya tinggal menerima keadaan saja dan biarkan saja. Aku teringat kalau Zain bilang mau pergi ke restoran. Pasti dia pergi ke restoran tempat Kak Zahra bekerja. Aku langsung menyusul jejaknya diam diam agar bisa memata matai apa yang akan dia lakukan dengan teman temannya sampai sampai melarangku untuk ikut serta. Aku memata matai mereka dengan duduk di bangku seberang jalan. Syukurlah mereka tidak menyadari kehadiranku di sekitar mereka. Mereka berkumpul dan berbincang
213 dengan keras sehingga aku bisa mendengar perbincangan mereka dengan baik. *Murad memesankan minuman untuk Zain. *Farhan memesankan steak kesukaan Zain. *Zaid memesankan hidangan penutup untuk Zain. Aku melihat Zain kebingungan dengan apa yang dilakukan teman temannya. Kemudian Zain bertanya kepada mereka. “ Apa apaan ini.” *Farhan menjawab pertanyaan Zain dan berbincang dengannya. “ Sudah lah, nikmati saja.” “ Aku lupa bawa uang.”
214 “ Sudah ku bilang, Zain. Nikmati saja hidangan yang telah kami pesan.” “ Baiklah.” Zain menikmati semua hidangan enak, tapi ekspresinya aneh sekali. Seolah olah dia tidak menikmati hidangan yang dipesan. Dan Akhirnya dia menghabiskan hidangan, lalu berbincang dengan Farhan lagi. “ Farhan, sekarang apa yang akan kau lakukan.” “ Apakah kau menikmatinya, Zain.” “ Ya, tapi..” “ Tapi apa, Zain?” “ Aku merasa tidak enakan, memakan sesuatu tanpa membayarnya.” “ Oh begitu, ya.” “ Kau bilang kalau kau mau menghukumku kan, Farhan?” “ Ya, itu hukumanmu.”
215 “ Apa?” “ Ya, kau memakan hidangan gratis yang semua biayanya kami tanggung.” “ Jadi kalian mentraktirku.” “ Ya, Zain. Bagaimana perasaanmu ketika tau kalau kami mentraktirmu.” “ Aku merasa seperti miskin mendadak, aku ingin membayar hidangan itu tapi tidak bisa. Dan aku juga merasa berhutang kepada kalian.” “ Akhirnya kau mengerti, Zain. Aku memberikanmu hukuman ini agar kau bisa mengerti perasaan kami. Aku mengakui kalau kau memang dermawan tapi terlalu dermawan membuat orang lain merasa hina.” “ Aku akan selalu mengingat hal ini, Farhan, Murad, dan Zaid. Terima kasih ya.” *Farhan, Murad, dan Zaid merespon ucapan terima kasih Zain dengan serentak. *Zaid melanjutkan pembicaraan lain dengan Zain.
216 “ Jangan senang dulu, Zain. Hukumanmu ini masih akan berlanjut sampai besok. Kami akan mentraktirmu di kantin sekolah besok.” “ Benarkah? Itu hanya akan terjadi jika kalian bisa.” “ Kenapa tidak, kami masih memiliki banyak simpanan dana.” “ Bukan itu yang ku maksud.” “ Lalu apa, Zain.” “ Aku akan pindah sekolah besok.” *Murad menyela. “ Pindah sekolah?” “ Ya, orang tuaku berpikir kalau aku sudah menjadi korban bully di sekolah. Makanya aku pindah sekolah. Jadi aku hanya bisa menerima kenyataannya.” “ Jangan lupakan kami ya, Zain.” “ Santai saja, aku tidak akan melupakan kalian.”
217 Aku memperhatikan mereka berpelukan dari luar restoran, tetapi Murad sedikit menoleh dan melihatku. Aku terpaksa berakting seperti orang yang kebetulan lewat. Kemudian, Farhan dan Zaid juga menoleh dan melihatku. Mereka mengajakku untuk ikut perpisahan dengan Zain. Ini sungguh keadaan yang mengharukan. Aku tidak tau kenapa, aku berteman dengan Zain sekitar 3 hari, tapi aku merasa sedih dengan perpisahan ini. Kami bersalaman dan berpelukan satu per satu dengan Zain. Kemudian Zain pergi dan kami juga bubar dari restoran itu. Dan sekarang, yang terbesit di pikiranku adalah Farrel. Aku pergi sebuah apartment untuk menemui Farrel. Aku sudah tau dimana alamat Farrel karena dia memberikan kartu namanya kemarin malam. Pada kartu itu juga tertera alamatnya. Aku mengetuk pintu kamarnya dengan kuat, karena aku kesal kepadanya. Jika Farrel tidak ikut campur dalam masalahku dengan Zain, Zain pasti
218 tidak akan pindah sekolah. Ketika dia membuka pintu, aku langsung melayangkan tinju kepadanya karena kesal. Farrel menangkisnya lagi. “ Begitu kah caramu bertamu ke rumah temanmu?” “ Teman?” “ Oh ya, aku lupa. Kita bukan teman, kita hanya menjalin hubungan mentorship.” “ Aku tidak peduli soal itu entah teman atau mentorship, aku tidak peduli.” “ Ya sudah, kau mau apa datang dan meribut ke sini.” “ Apakah kau tau akibat dari perbuatanmu tadi? Kau menghajar Zain sampai babak belur tadi di sekolah. Gara gara perbuatanmu, orang tua Zain memutuskan agar Zain pindah sekolah.” “ Ya, aku tau akibat perbuatanku. Wali kelasku sudah menelponku tadi. Dia bilang kalau diriku akan di skors dari sekolah selama 7 hari dan minggu selanjutnya, aku akan berada dalam masa percobaan.” “ Raut wajahmu santai sekali, kau seolah olah tidak merasa bersalah.”
219 “ Sudah ku bilang, aku tidak peduli dengan temanmu yang pecundang itu, lagipula pihak sekolah sudah menghukumku.” “ Farrel, kau lupakan saja soal program mentorship bodoh mu itu. Aku tidak ingin berhubungan lagi dengan orang aneh sepertimu.” “ Kau tau kan, apa resikonya jika kau membatalkan mentorship ini?” (…..Aku tau, kalau aku memutus hubungan mentorship ini, Farrel akan menghajarku sampai babak belur….) “ Ya, aku tau.” “ Jadi apakah kau mau membatalkan mentorship ini?” (…..Jika aku membatalkan mentorship ini, aku akan babak belur dan aku bisa terbebas dari pengaruh orang aneh ini. Baiklah, sudah ku putuskan…..)
220 “ Ya.” Farrel menarikku ke dalam kamarnya, dan aku terjatuh ke lantai. Dia pasti menghajarku sebentar lagi. Tapi dugaanku salah. Dia menarik bajuku sehingga aku berdiri kembali. Kemudian tangannya melesat dengan cepat menangkap leherku dan akupun tercekik oleh tangan Farrel. “ Kau masih lemah, William. Bagaimana bisa orang lemah sepertimu memperjuangkan toleransi. Kau pikir, untuk apa diriku memperoleh sabuk hitam dalam seni bela diri?. Aku tidak main main dalam meraih tujuan toleransiku.” “ Itu…tidak ada….hubungannya…dengan Zain…” “ Tentu saja ada. Si Zain, orang yang terus kau bela itu, hanyalah orang yang terlalu bawa perasaan. Bahkan dia tidak bisa membedakan siapa kawan dan lawan ketika marah. Kau muslim William dan Zain juga muslim, tapi dia tidak bisa memaafkan seorang muslim sepertimu. Sungguh, kau masih terlalu naif, William.”
221 *Farrel melepaskan tubuhku dengan keras, sehingga aku terlentang di lantai kamarnya. Kemudian dia membungkukkan punggungnya dan berbicara lagi. “ Aku tidak biasanya memberikan kesempatan kedua. Sekarang pilihlah, William. Menjadi lebih kuat karena aku melatihmu beladiri, atau aku menghajarmu karena kau ingin membatalkan mentorship denganku. Waktumu 10 detik mulai dari sekarang.” (…..Aku terpaksa menjalin hubungan mentorship yang bodoh dan menyebalkan ini dengan Farrel…..) “ Aku pilih opsi pertama.” “ Baiklah William, itu tadi adalah pelajaran kedua untukmu dalam mentorship ini. Lupakan kemarahan agar energimu bisa terfokuskan menjadi kekuatanmu.” “ Ya ya ya, punggungku benar benar sakit ketika kau membantingku ke lantai dengan keras.”
222 “ Baiklah, akan bertanggung jawab atas itu. Sekarang, tidurlah di kasurku dengan posisi menelungkup.” “ Mau apa kau?” “ Aku akan memijatmu, rasa sakit setelah dibanting ke lantai biasanya akan hilang dalam 3 hari. Apakah kau mau kesakitan selama 3 hari?” “ Tentu saja tidak.” “ Ya sudah, cepat lakukan apa yang ku suruh.” Aku tidur di kasur Farrel. Dia menekan punggungku sehingga tulang tulangku berbunyi semua. Dan pegalku langsung hilang. “ Maaf, William. Aku tidak akan memperlakukanmu seperti itu lagi.” “ Hadeh, kenapa orang orang di Kota Evercold ini sangat mudah mengubah emosi mereka?” “ Apa maksudmu, William?” “ Ya, seolah olah bermuka dua.” “ Tunggu, aku masih belum paham.”
223 “ Maksudku gini, Farrel. Kemarin Ibuku memarahiku, dan sifatnya langsung berubah menjadi baik setelah marah kepadaku. Ayahku juga begitu, Dia memarahiku kemarin malam dan pagi ini dia menjadi baik kepadaku. Zain juga begitu, dia marah, lalu tiba tiba baik kepadaku. Lalu kau, Farrel. Tadi kau membantingku dengan keras ke lantai dan sekarang kau malah memijatku.” “ Hmmm, aku sepertinya tau sesuatu mengenai hal ini.” “ Apa itu, Farrel?” “ Sebuah buku karangan filsuf terkenal pernah membahas hal kasus ini. Dan kejadian tersebut dinamakan Passive Power.” “ Apa maksudnya?” “ Ya, kira kira sama seperti yang kau ceritakan tadi.” (…..Hmm, aku malah jadi bingung. Kenapa Farrel membawa bawa topik kepada istilah yang sama sekali tidak ku kenal….) “ Ayolah, jangan bertele tele, Farrel.”
224 “ Apakah kau sadar, William? Semua hal yang telah kau ceritakan tadi adalah pengalamanmu?” “ Ya, aku tau itu.” “ Jadi, kau pahamkan apa yang aku maksud? Begini William. Jika kau menceritakan pengalamanmu, otomatis tokoh utamanya adalah dirimu. Dan jika semua orang tadi berubah 180 derajat, itu pasti karena pengaruh berinteraksi denganmu.” “ Tapi, kenapa aku tidak menyadarinya?” “ Itu karena kekuatanmu itu mempengaruhi seseorang secara tidak langsung tanpa sepengetahuanmu. Oleh karena itu, kejadian yang kau alami belakangan ini bisa disebut Passive Power atau kekuatan pasif.” “ Oh, begitu. Jika Passive Power bisa mempengaruhi seseorang, aku yakin, pasti Massive Power juga ada di dunia ini.” “ Ya, kau benar, Massive Power memang ada di dunia ini dan kasusnya jauh lebih banyak daripada Passive Power.”
225 “ Farrel, bisa kau sebutkan contohnya. Aku masih belum mengerti soal power poweran ini, hahahah.” “ Hah… baiklah. Contoh Passive Power, misalkan seorang anak melihat ayahnya merokok. Jika si anak ikut ikutan mencoba untuk merokok, berarti si anak telah terpengaruh Passive Power ayahnya. Kalau Massive Power, misalkan aku menyuruhmu untuk pindah agama, tetapi kau tidak mau. Lalu aku mengahajarmu dan akhirnya kau pindah agama karena Massive Powerku.” “ Berarti, Passive Power adalah dorongan dari dalam, sedangkan Massive Power adalah tekanan dari luar, bukankah begitu, Farrel?” “ Tepat sekali.” “ Andai saja aku bisa menggunakan Passive Power secara sadar, pasti toleransi sudah ditegakkan di Kota Evercold ini.” “ Aku juga pernah membaca tentang Hukum Zero.” “ Memangnya hukum itu membahas tentang apa?” “ Simpelnya, seseorang dapat menggunakan Passive Power kepada dirinya sendiri.” “ Lalu, apa manfaatnya.”
226 “ Hukum Zero berbunyi : Jika 0 dihadapkan dengan cerminan dari dirinya sendiri, yaitu 0 juga. Maka dia akan mengkalikan dirinya dengan cerminan dirinya dan selanjutnya mengkalikan angka lain.” “ Berarti, hasilnya akan tetap 0, walaupun dikali dengan angka berapapun.” “ Ya, kau benar. Apakah kau sudah mendapatkan kesimpulannya, William?” “ Jika seseorang ingin mengubah orang lain seperti kehendaknya, maka dia harus bercermin dalam artian menginstrospeksi diri. Dan setelahnya, orang lain akan terpengaruh dengan dirinya dan mulai mencoba untuk berubah seperti yang dia mau.” “ Ku rasa kau masih kurang paham dengan teorinya. Karena bahasamu itu juga masih berbelit belit. Kesimpulannya adalah, jika kau mau seseorang menjadi apa yang kau kehendaki, maka ubahlah dirimu terlebih dahulu.” “ Oh begitu ya, Farrel.” “ Ya, biar kau lebih paham akan aku beri contoh. Misalkan jika kau ingin orang lain menjadi baik, maka ubahlah dirimu menjadi lebih baik terlebih dahulu.” “ Baiklah, Farrel, sekarang aku paham.”
227 “ Ngomomg ngomong, kenapa kita membahas teori filsafat sampai sejauh ini?” “ Entahlah, aku juga tidak tau kenapa, hahaha.” “ Oh ya, Aku merasakan aura Passive Power yang sangat kuat dari dirimu, William. Walaupun aku kuat secara fisik, aku tidak akan macam macam denganmu, William.” “ Kau bisa merasakannya, Farrel?” “ Ya, begitu lah.” “ Bagaimana caranya.” “ Mudah saja, jika seseorang tidak bisa ku kendalikan, berarti dia memiliki Passive Power yang jauh lebih kuat dariku.” “ Hmm…aku juga merasa tidak suka dengan Passive Power yang aku miliki.” “ Kenapa?” “ Aku jadi kesulitan dalam membedakan siapa yang berbohong kepadaku, karena sifat mereka dapat berubah tiba tiba.”
228 “ Mungkin kau harus melihat dari sisi positifnya, William. Dengan Passive Power yang kuat, kau bisa mengubah seseorang menjadi yang kau inginkan.” “ Bagaimana jika karakterku menjadi lebih buruk? Orang orang di sekitarku akan menjadi buruk juga kan?” “ Hmm, walaupun aku tidak bisa mengendalikanmu, aku akan mencoba untuk mengawasimu jika se waktu waktu kau jatuh ke dalam jurang kegelapan.” “ Walaupun kau memiliki agama yang berbeda denganku, kau bisa mengerti isi hatiku ya, Farrel.” “ Agama tidak bisa membatasi seseorang dengan orang lain, jika mereka memiliki tujuan baik yang sama.” “ Sepertinya kau benar. Ngomong ngomong, soal keyakinan. Apakah benar kelompok atheis sering mempengaruhi warga kota ini dimalam hari agar menjadi bagian dari mereka, Farrel?” “ Kau juga tau soal itu ya, William.” “ Ayo cepat, jelasakan kepadaku.” “ Jujur saja, itu adalah kelompok gagal yang dulu pernah aku bentuk.”
229 “ Kelompok gagal?” “ Ya, mereka tidak benar benar mengerti soal toleransi.” “ Apa maksudmu, Farrel?” “ Mereka adalah kelompok yang pernah aku bentuk dulu. Aku menamainya Darkside of the Moon. Mereka adalah orang orang yang mendambakan toleransi sepertiku dan kau, William. Aku dan mereka bekerja sama dalam membangun sifat toleransi warga Kota Evercold. Tetapi, sebuah kekeliruan memasuki hati mereka ketika membahas suatu filsafat. Filsafat tersebut adalah filsafat yang hanya dapat dipahami oleh beberapa filsuf saja. Karena kesalahpahaman dan kekeliruan, mereka berpikir kalau Islam dan Kristen harus dihapuskan karena yang terpenting adalah toleransi. Jadi, mereka keluar dari agamanya dan memaksaku untuk keluar dari agamaku juga, tetapi aku lebih memilih untuk keluar dari organisasi itu dan melaporkan mereka kepada polisi.” “ Memangnya, apa bunyi dari filsafat itu.” “ Aku harap kau tidak salah paham dengan filsafat ini, William. Filsafat tersebut berbunyi : Untuk
230 menganggap telur ayam sama dengan telur itik, maka kamu harus membuang nama dari telur itu.” “ Oh begitu, ya.” “ Aku harap kau tidak terlalu memikirkannya, William.” “ Lagipula aku tidak peduli soal itu.” “ Hm, syukurlah kau tidak berniat mempelajarinya.” “ Tidak akan, Farrel.” Farrel berhenti memijatku. Dan badanku sekarang sudah merasa lega. Aku langsung beranjak dari kasurnya dan berterima kasih kepadanya, kemudian aku bergegas untuk pulang ke rumah dengan menaiki bus kota. Seperti biasa, jika aku berurusan dengan seseorang, pasti aku terlambat shalat. Ya, aku terlambat shalat magrib, lagi. Aku shalat maghrib dan ketika aku melakukan Tahiyyat akhir, adzan isya’ langsung berkumandang. Jadi, aku langsung saja shalat Isya’ dan tidur dengan segera. Aku terbangun di pagi hari dengan perasaan sangat nyaman. Aku tidak mengalami insomnia tadi
231 malam. Apalagi, Farrel juga memijatku tadi malam sebelum isya’. Badanku sekarang benar benar rileks. Dan yang membuatku lebih bersemanangat, aku melihat matahari bersinar lebih cerah setelah aku shalat subuh. Seperti biasa, aku bersiap untuk ke sekolah, lalu sarapan sambil berbincang dengan Ayah dan Ibuku, dan pergi ke sekolah. Aku pikir, aku akan mulai merasakan bosan jika hal ini rutin ku lakukan. Aku tiba di gerbang sekolah dan turun dari mobil serta melihat sekolah masih dalam keadaan sepi. Lalu seseorang menepuk pundakku untuk mengejutkanku. Ya, aku sudah menduganya, itu pasti Willy.” “WILLIAM!!!!” “ Apa?” “ Kenapa kamu tidak terkejut, William?” “ Baiklah, HAAA!!!.” “ Hmph, tidak ada gunanya, kamu terkejut dengan sengaja dan terlambat.”
232 “ Hahahah, maafkan aku, Willy. Aku sudah tau kalau kamu akan mengejutkanku tadi. Jadi aku tidak merasa terkejut.” “ William….” “ Oh ya, kenapa sifatmu pagi ini seperti anak kecil saja, Willy?” “ Hah? Apa?” “ Eh, maksudku, kenapa kamu ceria sekali pagi ini.” “ Ya, aku melakukan konsultasi ke psikiater tadi malam, dan aku dinyatakan sembuh dari trauma.” (…..Aku tidak percaya. Dan, apakah Passive Powerku yang membuat traumanya hilang ketika dia bercerita denganku kemarin? Tidak ku sangka kalau trauma bisa dihilangkan….) “ Wah, kali ini kamu benar benar mengejutkanku, Willy. Aku senang mendengarnya. Alhamdulillah.” “ Ya, William. Puji Tuhan.” *Kami terdiam sesaat. Dan aku baru sadar kalau Willy membawa sebuah kotak penyimpan.
233 “ Oh ya, Willy. Aku baru sadar kalau kamu membawa kotak itu, apa isinya?” “ Ini es buah yang kemarin kita buat, William. Aku akan membagikannya nanti ketika jam isitirahat.” “ Oh, begitu.” “ Tenang saja, William. Aku akan memberikan sesuatu yang spesial nanti. Jadi, jangan berkecil hati.” (…..Jujur saja, berpacaran dengan Willy membuat harga diriku menghilang. Dia tidak memberiku kesempatan untuk mengeluarkan uang. Dia selalu menanggung semua biaya. Seharusnya akulah yang melakukannya…..) Aku berjalan dengan Willy dengan menaiki anak tangga yang banyak agar bisa sampai ke kelas kami. Aku tidak merasa terlalu lelah karena kami berinteraksi satu sama lain. Dan ketika aku memasuki kelas, suasananya sama seperti dugaanku. Dan aku juga melihat bangku kosong milik Zain. Aku memikirkan banyak hal ketika menatapi bangku Zain. Dan pikiranku dikacaukan oleh Willy. Dia tiba tiba meletakkan tasnya di bangku Zain.
234 “ Willy, kenapa kamu meletakkan tasmu disini?” “ Zain sudah pindah sekolah, bukan? Jadi, aku tidak tega melihatmu duduk sendirian.” “ Bagaimana kalau guru nanti…..” “ ….Tenang saja, William. Guru di sekolah ini tidak peduli mengenai tempat duduk siswa.” Lalu, seorang siswa perempuan masuk ke kelas dan menyela obrolan kami. Siswa perempuan itu adalah Aurora. “ Wah, aku baru datang dan sudah berduaan.” *Willy menanggapi ucapan Aurora. “ Memangnya kenapa, Ha?” “ Aku harap kalian tadi tidak melakukan begituan.” “ Hey, Aurora. Aku sudah tau dengan sifat judesmu itu. Jadi aku tidak akan terpancing oleh kata katamu itu.”
235 “ Ya sudah, aku tidak peduli dengan hubunganmu, Willy.” Hmmm, menurutku asik juga melihat dua orang wanita bertengkar, karena mereka tidak akan mengalah dan selalu mencoba untuk membalas. Tapi, karena hal itu. Aku jadi tau sifat asli Aurora yang judes dan suka mengurus hidup orang lain. Kecantikannya sama sekali tidak mencerminkan sikapnya. Selang beberapa waktu, guru mapel pertama masuk dan semua siswa kelas ini sudah hadir. Mereka menunggu aba aba pembuka. Guru mapel memperhatikan seisi kelas dengan teliti. Dan menyadari kalau Zain tidak hadir. “ Anak anak, sebelum kita mulai belajar, Ibuk mau bertanya, dimana ketua kelas ini.” *Seisi kelas menjawab dengan serentak
236 “ Sudah pindah buk!” (…..Oh, jadi, Zain adalah ketua di kelas ini ya?.....) Seorang siswa mengusulkan kalau aku ditunjuk sebagai ketua pengganti Zain. Dan guru mapel itupun setuju, lalu menyuruhku menyiapkan pembukaan belajar. Entah kenapa hari ini terasa cepat saja, duduk berduan dengan Willy ketika belajar, bagi bagi es buah, dan mapel membosankan. Dan sekarang sudah waktunya pulang sekolah. Benar benar tidak ada hal yang spesial hari ini. Kecuali yang tadi, Willy menyuapiku es buah itu, apalagi di depan banyak siswa. Aku benar benar malu ketika itu. The end? Tidak terasa, sudah satu tahun aku tinggal di Kota Evercold. Dan sekarang adalah hari kelulusan.
237 Pihak sekolah memprosedurkan untuk murid laki laki memakai jaz dan murid perempuan memakai gaun. Selain itu, Orang tua para murid juga diundang untuk acara penyerahan ijazah. Seperti biasa, aku tiba di sekolah pada jam 7, tetapi sekolah sudah ramai karena murid lain sudah lebih dulu tiba dibandingkan aku. Aku juga bertemu dengan Farhan, Zaid, Dan Murad. Mereka bersalaman dengan Ayah dan Ibuku dan mengajakku untuk pergi bersama mereka ke kantin. Kami menikmati makanan ini sambil berbincang. Murad memulai perbincangan denganku, sedangkan Zaid dan Farhan sibuk berbincang tentang video game mereka. “ Apakah kau tau, William. Ini adalah hari terakhir makan makanan kantin sekolah ini. Aku sepertinya ingin memesan semua menunya.” “ Hmmm, Waktu terasa terlalu cepat ya, Murad?” “ Kau benar sekali, William.” “ Kira kira, Zain bagaimana ya kondisinya saat ini, aku sudah merindukannya.”
238 “ Aku juga, Murad. Aku masih ingat saat itu, kami baru saja berteman selama 3 hari dan berpisah.” “ Aku ingat sesuatu. Walikota Kota Evercold akan mengadakan lomba ice skating besok di Gunung Frozen White besok. Acara itu dilakukan sebagai perayaan atas kelulusan siswa di seluruh sekolah di Kota Evercold.” “ Berarti, kita akan bertemu dengan Zain kan, Murad?” *Karena mendengar nama Zain, Farhan dan Zaid berhenti mengobrol dan menyimak pembicaranku dengan Murad. “ Ya, kenapa tidak? Acara itu dihadiri oleh seluruh siswa di Kota Evercold.” “ Aku jadi tidak sabar.” “ Aku juga, William.” *Farhan dan Zaid menyela. “ Kami juga tidak sabar, bukan kah begitu, Zaid?”
239 “ Ya, kau benar, Farhan.” *Aku memotong pembicaraan. “ Ngomong ngomong, siapa ya yang akan menjadi pemuncak juara kelas dan juara umum nantinya?” *Farhan menanggapi pertanyaanku. “ Aku merasa kalau kau akan menjadi juara 1, William. Aku sudah melihat prestasimu selama 1 tahun ini dan membandingkannya dengan Murad, sepertinya kau lebih unggul dari Murad.” *Murad menyela. “ Jadi, kau menganggapku bodoh, Han?” “ Tidak, maksudku bukan begitu, Murad. William itu lebih pintar darimu, ku rasa, hehe.”
240 “ Itu artinya sama saja kalau kau menganggapku bodoh, Farhan!!!.” Aku dan Zaid tertawa melihat ekspresi Farhan dalam mengahadapi Murad yang sedang mengamuk. Sesaat setelah itu, Murad dan Farhan berhenti bertengkar dan ikutan tertawa. Umur kami sudah 18 tahun tapi sifat kami masih saja seperti anak kecil, itu lah yang membuat persahabatan kami awet sampai saat ini. Jika saja Zain ada disini, dia pasti tertawa paling keras, karena hatinya sangat emosional. Sekarang, sudah jam 9. Acara penyerahan ijazah dilakukan di aula. Selain itu, Pak Dallunt, Walikota Evercold juga ikut menghadiri acara tersebut. Para siswa dan siswi beserta orang tua dan wali mereka telah hadir di aula dan pembawa acara memulai acara. Setelah penyambutan dan pemberian kata sambutan oleh Pak Dallunt. Acara yang aku tunggu tunggu akhirnya mulai juga.
241 Aku tidak sabar siapa yang akan menjadi juara kelas dan juara umum sekolah kali ini. Kemudian, pembawa acara mengumumkannya juga. Dia memulainya dari pemuncak pemuncak kelas jurusan IPS dan hingga akhirnya, pemuncak kelasku di sebutkan. “ JUARA 3, DARI KELAS 12 IPA 2, DENGAN NILAI RATA RATA 94,77. JATUH KEPADA….. AHMAD MURAD.” (…..Wah, Murad menjadi juara kelas. Aku tau, dia adalah murid yang rajin dan jenius. Jadi wajar saja dia juara dan aku senang karenanya….) “ JUARA 2, DARI KELAS 12 IPA 2, DENGAN NILAI RATA RATA 95,62. JATUH KEPADA….. WILLY BAROQUE.” (…..Dan, Willy juga? Aku sangat senang mendengarnya menjadi juara kelas. Apalagi, dia juga mengalami masalah kesehatan mental yang cukup
242 lama. Aku yakin, jika Ayah dan Ibu Willy masih hidup, mereka pasti bangga….) “ DAN JUARA 1, DARI KELAS 12 IPA 2, DENGAN NILAI RATA RATA 97,2 JATUH KEPADA…..MUHAMMAD WILLIAM.” Aku tidak menyangka, siswa pindahan sepertiku dapat meraih juara 1 di sekolah ini. Dan aku sangat bersyukur atas itu kepada Allah dan orang tuaku sangat bangga kepadaku. Mereka memelukku dengan erat. Setelah pembawa acara selesai membacakan nama nama pemuncak kelas. Acara penyerahan piala dipersilahkan kepada Pak Dallunt. Dan para pemuncak kelas dipersilahkan maju ke atas panggung untuk menerima piala tersebut. Aku juga baru sadar, bagaimana siswa bermasalah seperti Farrel bisa menjadi juara kelas. Ya, walaupun dia cuma juara 3, tetapi hal itu tetap saja membuatku kagum dan tidak percaya.
243 Tiga puluh menit telah berlalu, semua pemuncak kelas sudah menerima piala mereka dan pembawa acara mengumumkan juara umum. “ DAN YANG PALING KITA NANTIKAN. PERAIH GELAR JUARA UMUM DARI SEKOLAH MENENGAH ATAS 1 EVERCOLD ADALAH….MUHAMMAD WILLIAM DENGAN NILAI RATA RATA 97,2 SEBAGAI NILAI TERTINGGI. KITA BERI A+ KEPADA MUHAMMAD WILLIAM!!!!!” Aku secara spontan melakukan sujud syukur, menjadi juara 1 saja membuatku merasa bermimpi. Apalagi menjadi juara umum. Aku benar benar tidak bisa membayangkan seperti apa rasa bangga orang tuaku kepadaku. Teman temanku juga bersorak dari tempat duduk mereka. Dan 1 jam kemudian, aku keluar dari aula tersebut bersama Ayah, Ibu dan teman temanku. Mereka memelukku karena bangga dan orang tuaku juga begitu. Semua peraih juara memeluk orang tua mereka kecuali Farrel dan Willy. Farrel hanya
244 memeluk Ibunya dan Willy hanya dipeluk oleh dinginnya udara. Dan yang membuatku lebih kasihan kepada Willy adalah karena Willy menyaksikan diriku dipeluk oleh orang tuaku. Dia menangis sambil tersenyum kepadaku. Aku melepaskan diri dari pelukan Ibu dan Ayahku, lalu pergi menemui Willy yang sedang menangis. “ William….haaaah…” “ Sudah lah Willy, jangan menangis…” *Aku memeluk Willy ditengah keramaian. Dan Willy mulai berhenti menangis. “ William, terima kasih, terima kasih, terima kasih…” “ Tunggu Willy, jangan pingsan dulu.” “ William, aku tidak akan pingsan kali ini, terima kasih karena sudah memelukku, hanya kamu lah yang mengerti perasaanku.” “ Sudahlah Willy, jangan bersedih lagi. Ayah dan Ibumu pasti bangga kepadamu di alam sana.” “ Apakah mereka memperhatikanku, William.”
245 “ Selama kamu masih menyayangi orang tuamu, mereka pasti memperhatikanmu, Willy.” Ketika aku sedang memeluk Willy, seseorang juga ikut berpelukan dengan kami. Ternyata itu Ibuku. Kemudian Ibuku berbicara kepada Willy dan Willy langsung terkejut melihat Ibuku yang tiba tiba ikut memeluknya. “ Nak, siapa namamu?” “ Namaku Willy,….” “…..Jangan canggung seperti itu. Namaku Anne, Ibunya William. Dan mulai sekarang, aku akan menjadi wali mu, dan kamu juga boleh memanggilku dengan sebutan Ibu.” “ Ibu?” “ Hahaha, bagaimana rasanya, Willy?” “ Aku, sangat menyukainya, Bu.” “ Ya, lain kali biasakan lah memanggilkku dengan sebutan Ibu. Jika kamu ada masalah, kamu boleh kok datang ke rumah kami.”
246 “ Sudah 13 tahun aku tidak pernah memanggil seseorang dengan sebutan itu, terima kasih….Ibu.” “ Ya, sama sama, Willy.” *Ibuku mengalihkan pembicaraan kepadaku. “ Sekarang, William. Pergilah bersama Willy kemanapun kamu mau hari ini. Ibu harap, kamu bisa menghibur hatinya, nak.” “ Baik, Ibu.” Sekarang masih sekitar pukul 11 siang, aku juga bingung mau pergi jalan jalan kemana dengan Willy apalagi di tengah hari ini seperti ini. Hari sekarang terasa lebih panas karena sudah berada ditengah musim semi. Aku juga sudah melakukan semua yang ku mau di kota ini, dimanapun aku mau, aku sudah bosan karena sudah pernah melakukannya ataupun mengunjungi tempat itu. Akhirnya kami berdua memutuskan untuk pergi ke pusat kota saja dan duduk di dekat restoran yang dulu sering aku dan teman temanku kunjungi.
247 Aku menyuruh Willy duduk di bangku itu dan aku pergi membelikan es krim untukku dan dirinya karena cuaca terik. Walaupun salju tidak pernah berhenti turun, cuaca yang panas ini cukup membuat kami gerah. Setelah itu, aku kembali ke kursi itu dan bercerita dengan Willy. Tapi, Willy lah yang memulai obrolan. “ Wah, tidak terasa ya, William. Kita akhirnya lulus.” “ Ya, Willy, Aku juga merasa begitu.” “ Rasanya, baru kemarin kamu pindah ke kota ini.” “ Hmm….” “ Aku kagum kepadamu, William. Kamu bisa meraih peringkat juara 1 dan juara umum.” “ Aku juga kagum denganmu, Willy. Kamu juga keren kok, bisa meraih peringkat juara 2 di kelas bahkan tanpa kasih sayang ora….” “ ….William.” “ Oh, maaf Willy, aku tidak sengaja berniat mengatakannya.”
248 “ Hm…..Sudahlah, William. Aku merasa sedih ketika seseorang membuatku mengingat orang tuaku yang sudah tiada.” “ Maaf Willy, maaf, aku tidak akan mengulanginya lagi. Lagi pula, aku pikir kalau kamu sudah tidak memiliki trauma masa lalu lagi.” “ Ya, aku memang tidak memiliki trauma tentang kecelakaan itu lagi, tapi kematian keluargaku tidak bisa ku lupakan.” “ Ya sudah. Ini, makanlah es krim. Aku dengar cuaca yang terik membuat perasaan seseorang mendidih dan berlebihan. Jadi tenangkanlah dirimu terlebih dahulu.” “ Wah, ini sepertinya adalah kali pertama dirimu mentraktirku, William. Hmm….Terima kasih ya, William.” “ Ya, sama sama Willy.” (…..Dalam satu tahun ini, kami telah melakukan dinner 90 kali, dan kencan 180 kali. Dan semuanya ditanggung Willy. Dia tidak memberiku kesempatan mengeluarkan uang sama sekali….)
249 “ Oh ya, William, apakah kamu sudah tau kalau sekolah kita dan sekolah lainnya akan mengadakan lomba ice skating sebagai school meeting?” “ Ya, aku sudah tau itu. Tapi aku tidak tau siapa saja yang akan ikut dalam ajang tersebut.” “ William, semua orang yang meraih gelar juara dari seluruh sekolah akan diundang nanti malam untuk menikmati sensasi menginap di resort dan hotel di kaki Gunung Frozen White. Seluruh biaya ditanggung oleh walikota dan pihak sekolah.” “ Hah, serius?” “ Ya! Lagipula, aku punya kejutan untukmu.” “ Apa, Willy?” “ Ini! Ambillah! Ini adalah tiket khusus yang tadi diberikan Walikota kepadaku. Beliau menyuruhku untuk membagikannya, dan ini milikmu.” “ Oh begitu ya, Willy.” “ Kenapa kamu jadi murung, William.” “ Aku tidak bisa membayangkan apa apa saja kesedihanmu ketika membagikan tiket tiket ini
250 kepada peraih juara. Mereka memeluk orang tua mereka dan kamu hanya bisa membagikan tiket tiket tersebut dengan memendam rasa kesepian.” “ Selama kita menjalin hubungan, dirimu selalu memberikan kekuatan kepada hatiku untuk menahan kesedihan. Aku tidak peduli dengan orang yang tidak menganggapku, William. Dan ketika dirimu dipeluk oleh orang tuamu, aku menjadi iri. Dan tangisanku tidak bisa ku bendung lagi ketika itu.” “ Kita sudah menjalin hubungan selama 1 tahun tapi kamu masih saja berbohong kepadaku, Willy.” “ Aku berbohong untuk menutupi kesedihanku, William. Dan aku bersyukur, Ibumu juga peduli dengan ku.” “ Hmm, begitu ya?. Ibuku sudah menganggapmu seperti anaknya sendiri.” “ Bagaimana kalau kita menikah saja, William?” (….Apa apaan ini Willy?....) “ Menikah?” “ Ya, kenapa tidak?”