RISALAH CINTA DAN KEBAHAGIAAN
Penulis: Haidar Bagir Copyright © Haidar Bagir, 2012
All rights reserved
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Penyelaras
aksara: Agus Susanto
Penata letak: elcreative
Penyunting Artistik: dhar76
Tim digitalisasi: Aida Kania Lugina
Cover art © Freydoon Rassouli
www.Rassouli.com
Diterbitkan oleh Penerbit Mizan
(PT Mizan Publika) Anggota IKAPI
Jl. Jagakarsa Raya, No. 40 Rt007/Rw04
Jagakarsa, Jakarta Selatan 12620
Telp. 021-78880556, Faks. 021-78880563
E-mail: [email protected]
www.nourabooks.co.id
ISBN: 978-602-0989-85-3
Buku ini pernah diterbitkan dengan judul Islam Risalah Cinta
dan Kebahagiaan, dan dicetak ulang sebanyak dua kali pada
Februari 2013.
E-book ini didistribusikan oleh:
Mizan Digital Publishing
Jl. Jagakarsa Raya No. 40, Jakarta Selatan - 12620
Phone.: +62-21-7864547 (Hunting), Fax.: +62-21-7864272
email: [email protected]
Bandung: Telp.: 022-7802288
Jakarta: 021-7874455, 021-78891213, Faks.: 021-7864272
Surabaya: Telp.: 031-8281857, 031-60050079, Faks.: 031-
8289318
Pekanbaru: Telp.: 0761-20716, 076129811, Faks.: 0761-
20716
Medan: Telp./Faks.: 061-7360841
Makassar: Telp./Faks.: 0411-440158
Yogyakarta: Telp.: 0274-889249, Faks.: 0274-889250
Banjarmasin: Telp.: 0511-3252374
Layanan SMS:
Jakarta: 021-92016229, Bandung: 08888280556
Buku kecil ini saya persembahkan bagi anak-anak
saya: Muhammad Irfan, Mustafa Kamil, Ali Riza, dan
Syarifa Rahima dengan harapan semoga Allah
anugerahkan kepada kalian semua, cinta yang tulus
kepada Allah, kepada keluarga, sahabat, sesama
manusia, dan seluruh unsur alam semesta.
“Agama adalah mengenal Allah (ma’rifatullah).
Mengenal Allah adalah berlaku dengan akhlak (yang
baik). Akhlak (yang baik) adalah menghubungkan
tali kasih sayang (silaturahim).
Dan silaturahim adalah memasukkan rasa bahagia di
hati saudara (sesama) kita.”
—RANGKAIAN hadis yang dijalin oleh
Syaikh Yusuf Makassari
Pengantar
S aya tak ingat, kapan perhatian saya mulai tertarik pada
persoalan cinta dalam agama. Sedang mengenai
kebahagiaan, meski sesungguhnya temperamen
sentimental saya tampaknya tak urung menciptakan
concern ini sejak lama, ia baru menguat ketika saya sempat
mengalami gejala depresi. Ya, saya memang sempat
mengalami gejala depresi.
Saya menduga gejala itu lebih terkait dengan faktor-
faktor biologis atau hormonal. Maklum, saat itu saya baru
melewati usia setengah abad. Saya kira, itu sebuah gejala
yang biasa disebut orang andropause. Pasalnya, meski
hidup saya—sebagaimana hidup semua orang—bukannya
tak pernah sama sekali ditimpa masalah, saya merasa Allah
sangat banyak memberikan berkah kepada saya. Saya
merasa telah menjadi orang cukup berbahagia sepanjang
kehidupan saya. Oleh keluarga yang menbesarkan saya,
ataupun oleh keluarga yang saya miliki saat ini.
Alhamdulillah. Saya pun pada dasarnya adalah orang yang
agak ndablek dalam hal menghadapi masalah.
Betapa pun juga, gejala depresi adalah gejala depresi.
Saya harus mengatasinya. Saya pun menolak untuk pergi
ke dokter dan mengonsumsi obat-obatan pemulih mood.
Saya merasa, selama masih mampu, saya akan berusaha
mengatasinya dengan cara lain, sambil gejala ini
menghilang dengan sendirinya. Dan, alhamdulillah,
memang itulah yang terjadi. Saya mencoba untuk terus
kembali kepada Allah jika perasaan depresif yang amat tak
nyaman itu sesekali datang (dan, ada suatu masa dalam
hidup saya, sempat agak kerap datang). Saya pun berusaha
menimbuni berbagai kegelisahan spiritual saya dengan
mencoba mencari jawaban terhadap pertanyaan-
pertanyaan mengenai kegaiban yang belum bisa saya
jawab. Yang tak kalah penting, saya berusaha untuk terus
mengais-ngais makna yang bisa saya berikan kepada
kehidupan saya karena betapa pun gejala depresi selalu
melibatkan masalah tekor makna hidup. (Secara sepintas
mungkin perlu saya sampaikan di sini, relatif lancarnya
kehidupan saya, barangkali justru memberikan sumbangan
pada terciptanya gejala depresi saya karena—dalam satu
titik di kehidupan saya—saya merasa kehilangan
excitement. Segala yang saya harapkan dalam hidup saya,
sedikit-banyak, sudah saya capai. Maka, apalagi yang mau
saya kejar?).
Saya pun karena temperamen sentimental itu,
sesungguhnya sudah sejak dulu gampang jatuh iba kepada
orang-orang. Bukan saja kepada orang-orang susah,
bahkan kepada orang-orang berada, yang hidup sejahtera
secara material di kota-kota—tetapi seperti kehabisan
makna hidup. Termasuk ketika beberapa kali saya
berkesempatan tinggal di Amerika. Entah hanya perasaan
saya saja, saya merasa sesungguhnya banyak orang yang
tampak sejahtera itu seperti kehilangan kegairahan hidup
karena tak cukup punya makna dalam hidupnya. Sejak dulu
saya selalu merasa ingin membantu orang mengatasi
penderitaan dan kesengsaraan, dan mencari makna bagi
hidupnya.
Saya kira, concern keagamaan dan akademik saya
kepada sejenis spiritualisme atau mistisisme Islam—
tasawuf—banyak juga menyumbang di sini. Mungkin secara
timbal-balik dengan temperamen sentimental saya itu.
Selain mencari jawab bagi kegelisahan spiritual saya,
concern utama tasawuf memang adalah menjawab dahaga
orang terhadap persoalan spiritual, tentang makna hidup:
dari mana, untuk apa, mau kemana. Di sisi lain, jika
dipelajari dengan benar, tasawuf adalah suatu pemahaman
spiritual atas agama yang didasarkan atas hubungan cinta-
kasih timbal-balik antara manusia dan Tuhan, antara
manusia dan sesamanya, serta seluruh anggota alam
semesta.
Makin dalam saya mempelajari dan menginternalisasikan
secara eksistensial ajaran-ajarannya ke dalam diri saya,
makin yakin saya bahwa tasawuf adalah panacea bagi
problem-problem kemanusiaan zaman kita. Dan bukan saja
secara spiritual, tetapi juga dalam mengatasi konflik
berkepanjangan yang mendera umat manusia, masalah
intoleransi di segala bidang, kecenderungan nafsi-nafsi
yang makin mendominasi, juga merapuhnya ikatan
persaudaraan sesama manusia.
Maka, secara bertahap isu-isu kebahagiaan dan cinta-
kasih mulai mendominasi berbagai wacana yang saya
usung, dalam segenap kiprah keseharian saya. (Sampai-
sampai, seorang pengamat asing, dalam suatu konferensi
nasional, pernah menyampaikan bahwa—ketika mendengar
saya bicara—dia seperti sedang menyimak ceramah
seorang pastor).
Hingga akhirnya, pada tahun 2008, saya diwawancara
Harian KOMPAS. Dalam wawancara tersebut saya
berbicara tentang pentingnya pergeseran paradigma
pemahaman keagamaan dari paradigma Islam sebagai
agama berorientasi hukum (nomos atau law oriented
religion) ke agama berorientasi cinta (love atau eros
oriented religion). Karena, seperti diungkapkan oleh para
fenomenolog agama, termasuk Van der Leeuw,
sesungguhnya agama Islam tak kalah berorientasi cinta
dibanding agama Nasrani. Hal ini diperkuat oleh
Annemerie Schimmel yang mendapati bukti-bukti mengenai
hal ini dari karya para sufi di sepanjang sejarah pemikiran
Islam. Saya melihat bahwa ketidaktepatan paradigma
pemahaman ini telah menimpa bukan hanya orang-orang di
luar Islam, melainkan juga kaum Muslim sendiri. Hanya
dengan melakukan pergeseran paradigma ini Islam akan
dapat menampilkan wajahnya sebagai “rahmat bagi
semesta alam”, dan bukan seperti kenyataan sekarang
yang di dalamnya Islam lebih tampil sebagai agama politik
yang eksklusif, bahkan terkadang violent. (Meskipun, tentu
saja saya sadar bahwa citra Islam yang seperti ini
sebagiannya juga dibentuk oleh kesalahpahaman dan
penyalahpahaman oleh sementara media massa
internasional, khususnya media massa Barat).
Buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan ringan saya
yang merupakan hasil renungan saya tentang kedua hal ini.
Cinta dan Kebahagiaan. Tadinya berupa dua kumpulan
tulisan terpisah. Namun, kemudian saya satukan karena
keterikatannya yang sangat erat. Dan, mengingat buku ini
mengaitkan antara cinta dan kebahagiaan maka
pembahasan di bagian kebahagiaan dibatasi pada topik-
topik yang terkait dengan hubungan cinta dan ridha
kepada Allah Swt. serta cinta kepada sesama manusia
sebagai sumber kebahagiaan. Tiga tulisan pendek saya di
bagian Pendahuluan, berusaha menjelaskan kedua hal
tersebut, seraya melihat keterkaitan di antara keduanya.
Sengaja saya tambahkan kisah-kisah bijak di setiap awal
judul. Beberapa cuplikan tulisan asli beberapa filsuf dan
sufi sengaja saya sisipkan juga untuk menambah bobot
buku sederhana ini, sekaligus memberikan suatu
pengalaman unik bagi pembaca dalam mengecap karya
para tokoh besar dalam sejarah pemikiran Islam tersebut.
Saya berharap buku sederhana ini akan dapat membantu
pembaca untuk merenung lebih jauh tentang makna
hidupnya, dan juga menjadi penolong di sepanjang jalan
kita—anak manusia—untuk meraih kebahagiaan sejati yang
merupakan dambaan kita semua.
Saya juga berharap, meski hanya sebuah karya populer
nonakademis, buku ini bisa memberikan gambaran kepada
pembacanya bahwa sesungguhnya, secara genuine, Islam
adalah agama yang berorientasi cinta-kasih. Bahkan,
orientasi hukum agama ini, betapa pun tak kurang penting,
harus ditempatkan dalam konteks orientasi cinta-kasih
yang memang berada di jantung agama ini.
Akhirnya, saya sampaikan terima kasih kepada
mizan.com yang telah sempat menerbitkan sebagian tulisan
saya dalam buku ini; Lite Fm yang telah beberapa tahun
memberikan kesempatan saya untuk meng-eksplor
masalah-masalah ini dalam acara setiap Jumat pagi (Lite is
Beautiful), Pak Cecep Romli yang membantu melakukan
suntingan serta menambahkan beberapa kisah bijak,
kepada segenap kru Noura Books yang membantu tetek-
bengek kegiatan pracetak, dan kepada Penerbit Mizan yang
telah bersedia menerbitkan buku ini.
Semoga Allah Swt. mau mencatat karya sederhana ini
sebagai amal jariah saya di jalan menuju keridhaan-Nya.
Haidar Bagir
Isi Buku
Pengantar
Bagian 1: Pendahuluan: Menyelami Cinta,
Meraih Bahagia
1. Memberi Kebahagiaan, Mendapat Kebahagiaan
2. Apa itu Kebahagiaan?
3. Bagaimana Meraih Kebahagiaan?
4. Kebahagiaan adalah Persoalan Makna
5. Manusia Berbakat
Bahagia Bagian 2: Hidup adalah
Perjalanan Cinta
6. Kehidupan Manusia, Perjalanan Cinta
7. Cinta
—Ibn Hazm: Berbagai Bentuk Cinta
8. Allah Mahacinta
9. Segala Hal, Tanda Cinta
10. Cinta Allah, Cinta Manusia
11. Muhammad Nabi Cinta
12. Tali Cinta Manusia
13. Cinta Lelaki-Perempuan
—Al-Ghazali: Mahabbah, Syawq, Musyâhadah,
Mukâsyafah, Mawâ‘izh, dan Zawâjir
Bagian 3: Sumber-Sumber Kebahagiaan
14. Kesucian Fitrah
15. Kedekatan kepada Allah Swt.
16. Melazimkan Zikrullah
17. Berakhlak dengan Akhlak Allah Swt.
—Al-Ghazali: Menggapai Puncak Kebahagiaan
Bersama Allah
18. Mengembangkan Ridha (I)
19. Mengembangkan Ridha (II)
—Ibn Miskawaih: Bagian-Bagian Kebahagiaan
20. Bersyukur dan Bersabar Menghadapi Ujian-Nya
21. Hidup dengan Akhlak Mulia
22. Menebar Amal Saleh
23. Menjadikan Kerja sebagai Passion (Cinta)
24. Menaklukkan Egoisme
25. Melawan Obsesi kepada Harta
26. Hidup Berorientasi Sedekah
—Al-Ghazali: Menakar Kadar Cinta Dunia
—Al-Razi: Cara Menggunakan Harta untuk
Mencapai Kebahagiaan Spiritual
Lampiran: Peperangan dan Kekerasan dalam Islam
Bagian 1:
Pendahuluan:
Menyelami Cinta, Meraih
Bahagia
1
Memberi Kebahagiaan, Mendapat
“A Kebahagiaan gama adalah
mengenal Allah (ma’rifatullah).
Mengenal Allah adalah berlaku
dengan akhlak (yang baik). Akhlak
(yang baik) adalah menghubungkan
tali kasih sayang (silaturahim). Dan
silaturahim adalah memasukkan rasa
bahagia di hati sesama kita.”
Rangkaian hadis yang dijalin oleh Syaikh Yusuf Makassari
di atas sangat relevan dengan inti pembahasan buku ini. Ia
bukan saja mengandung kedua konsep—cinta (dalam hadis
di atas terungkap dalam gagasan tentang rahmah, kasih
sayang) dan kebahagiaan (terungkap dalam kata surur,
yang merupakan salah satu kata yang dipakai Al-Quran
untuk mengungkapkan gagasan tentang kegembiraan atau
kebahagiaan—di samping farah dan, yang lebih mendasar
lagi, sa’adah, thabah, serta falah1).
Pada kenyataannya, gagasan tentang kebahagiaan sangat
terkait dengan cinta dan kasih sayang. Bahkan, kita dapat
menyatakan bahwa memberi dan memberikan kebahagiaan
adalah hakikat dari cinta itu sendiri. Cinta tak lain dan tak
bukan adalah sumber dari keinginan untuk memberikan
kebaikan–yang mendatangkan kebahagiaan–kepada yang
dicintai. Sebagian ulama mendeskripsikan cinta sebagai
dorongan untuk selalu memberi. Mencintai adalah sebuah
prinsip menempatkan kebutuhan dan kepentingan kita di
bawah (atau setelah) kebutuhan dan kepentingan orang
yang kita cintai. Karena cinta, kita rela mengesampingkan
kebutuhan dan kepentingan kita demi terpenuhinya
kebutuhan dan kepentingan orang yang kita cintai. Inilah
filosofi dasar cinta dan kasih sayang. Ini berlaku bagi siapa
pun, bahkan bukan hanya terbatas pada makhluk yang
bernama manusia, melainkan juga hewan, tumbuhan,
benda-benda “mati”, tak terkecuali juga Allah, Tuhan
semesta alam. Meski tak memiliki karsa bebas sendiri,
sesungguhnya hewan, tumbuhan, bahkan benda-benda
“mati”, berada di alam semesta, tumbuh, beraktivitas
dalam rangka mengejar kesempurnaan, mengejar kebaikan
puncak yang mungkin dicapainya sesuai dengan potensi
(qadr, kadar)-nya masing-masing. Dengan kata lain, mereka
berada dalam suatu cara sedemikian, sehingga keberadaan
mereka dapat memberikan manfaat maksimum bagi
semesta. Kenyataannya, sudah merupakan suatu fakta
ilmiah bahwa alam secara ekologis berfungsi dalam
keseimbangan-maksimumnya. Bahwa, jika
keseimbangannya tak diganggu–oleh berbagai ulah
perusakan–alam akan memberikan manfaat atau kebaikan
maksimum kepada penghuninya: ... Tak akan kamu lihat
sesuatu yang tidak seimbang dalam ciptaan Yang Maha
Pengasih. Maka, lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat
sesuatu kekurangan di dalamnya? (QS Al-Mulk [67]: 3)
Manusia, lepas dari karsa bebas yang mungkin justru akan
mendistorsi fitrah-keberadaannya, juga diciptakan sebagai
susunan terbaik (ahsan taqwim) (QS Al-Tin [95]: 4).
Artinya, bukan saja ia mempunyai potensi dahsyat,
sesungguhnya potensi itu dikaruniakan oleh Tuhan untuk
melakukan kebaikan-kebaikan (hasanah, berasal dari kata
yang sama dengan ahsan). Sebagai khalifah-Nya dia
diharapkan untuk menjadi pembuat kebaikan (muhsin) dan
perbaikan (mush-lih, berasal dari akar kata yang sama
dengan ish-lah, perbaikan).
Pada puncaknya, kebaikan dan kebahagiaan jugalah yang
menjadi tujuan penciptaan oleh Tuhan yang Maha Pengasih
dan Penyayang. Hal ini, antara lain tampak dalam berbagai
ayat Al-Quran yang menjadikan kebahagiaan hidup–baik di
dunia maupun di hari kemudian–sebagai tujuan keberadaan
(penciptaan) manusia: Barangsiapa beramal saleh, baik
laki-laki maupun perempuan, sedang mereka beriman,
kepada mereka kami akan memberikan kehidupan yang
baik, dan Kami akan memberi mereka pahala yang lebih
baik dari apa yang mereka kerjakan. (QS Al-Nahl [16]: 97)
Ibn ‘Abbas, mufassir utama dari kalangan sahabat Nabi,
mengartikan ungkapan “kehidupan yang baik” (hayah
thayyibah) sebagai kebahagiaan (di dunia ini).
Memang, jika mengikuti–dan bukannya melanggar
fitrahnya–maka sesungguhnya manusia diciptakan untuk
kebahagiaan: Demi jiwa dan penyempurnaannya. Maka
setelah itu, Dia ilhamkan jalan keburukan (akhlak) dan
ketakwaannya. Pasti bahagia (aflaha) siapa yang
memelihara kesuciannya, dan pasti sengsara siapa yang
mengotorinya. (QS Al-Syams [91]: 7–10)[]
2
Apa itu Kebahagiaan?
R asanya, tak ada satu pun makhluk manusia yang tidak
sependapat bahwa tujuan hidup manusia di muka
bumi ini adalah mencapai kebahagiaan (happiness,
sa’adah). Meski kebahagiaan bisa dipahami dalam berbagai
bentuknya–ada yang melihatnya sebagai bersifat psikologis,
ada yang intelektual, dan ada yang spiritual–semua sepakat
pada sifatnya yang menjadikan manusia merasa bukan
hanya bergairah, bersemangat, dan menikmati hidupnya,
melainkan terutama menebarkan ketenteraman,
kedamaian, kepenuhan makna, dan kepuasan yang tak
menyisakan kekosongan. Sementara, penderitaan (misery,
syaqawah) sama dengan kegelisahan, kekacauan,
kehampaan makna, dan kekurangan yang menganga.
Perlu segera disusul, kebahagiaan tidak sama dengan
kumpulan kenikmatan (pleasure). Mungkin saja hidup
seseorang dipenuhi kenikmatan, tetapi dia tak bahagia.
Kebahagiaan juga bukan berarti ketiadaan kesulitan atau
penderitaan. Karena, boleh jadi penderitaan datang silih
berganti, tetapi kesemuanya itu tak merusak keberadaan
kebahagiaan. Inilah yang disebut sebagai underlying
happiness (kebahagiaan yang senantiasa melambari) hidup
kita.
Perlu dipahami juga, kebahagiaan tak sama dengan
kenikmatan sesaat, tanpa jaminan bahwa kenikmatan itu
tak akan segera berganti dengan perasaan hampa, tanpa
kebebasan dari kegelisahan terhadap prospek kehampaan
di masa setelah itu. Dengan demikian, kenikmatan itu tak
pernah betul-betul tertanam di dasar hati kita, melambari
segala pancaroba kejadian yang mungkin berlangsung di
sekitar hidup kita, sehingga ia terasa sebagai sekadar
sesuatu yang mengambang di kedangkalan permukaan
hidup kita. Begitu juga sebaliknya.
Dilihat (dirasakan) melalui fondamen underlying
happiness, apa saja yang terjadi di permukaan hidup kita
akan masuk ke hati sebagai sesuatu yang memberi makna
positif kepada diri kita, menenteramkan, dan
membahagiakan. Dapat saja saat ini kita sedang tertimpa
kesulitan dan kesedihan, tetapi keyakinan bahwa
kehidupan kita bersifat baik, positif, dan menyejahterakan
tak akan terganggu karenanya. Kebahagiaan memberikan
bayangan kedamaian dan ketenteraman yang lebih lestari.
Ini sebabnya, sebagian orang mengidentikkan kebahagiaan
dengan “kebaikan-kebaikan yang lestari” (al-baqiyat al-
shalihat) sebagaimana difirmankan-Nya: Harta dan anak-
anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Namun, kebaikan-
kebaikan yang lestari adalah lebih besar ganjarannya di sisi
Tuhanmu dan lebih layak dijadikan harapan. (QS Al-Kahfi
[18]: 46) Memang, kebahagiaan tidak bersifat fisikal,
bahkan tidak psikologis—jika psyche dipahami secara
dangkal sebagai kumpulan gejala yang semata-mata
bersifat conscious-serebral belaka. Kebahagiaan
sepenuhnya bersifat spiritual—meski tak mesti selalu sama
dengan hal-hal yang bersifat keagamaan-formal—yakni
terkait dengan hati. Spiritualitas adalah suatu daya dalam
diri manusia yang bukan hanya lebih tinggi dari daya
intelektual serebral, melainkan juga melampaui emosi dan
perasaan yang—betapa pun terkait dengan hati—masih
belum lagi mengatasi ketidakstabilannya, yang unsur-
unsurnya belum lagi terkombinasi dalam jumlah dan
ukuran yang seimbang, yang stabil. Memang emosi dan
perasaan memiliki semua unsur untuk stabil dan
mendatangkan kedamaian, ketenteraman, dan
kebahagiaan, tetapi tak selalu kombinasinya terjadi dalam
ukuran yang seimbang.
Nah, terhadap emosi yang seimbang ini, tak ada satu pun
kejadian di luar hati kita yang akan mampu mengusik
keseimbangan yang sudah tercapai itu, yakni kebahagiaan
yang melambari ini. Tak ada suka cita yang terungkap di
luar kendali sehingga dapat memukul-balik dan membuka
kemungkinan bagi kesengsaraan setelahnya, tak pula ada
kesedihan yang terlalu besar sehingga dapat mengoyak
fondamen kebahagiaan kita. Tak ada kejadian apa pun
dalam pancaroba kehidupan yang dapat memberikan
pengaruh yang terlalu dalam sehingga mengusik
kebahagiaan kita. Persis sebagaimana batu yang dilempar
ke air yang dangkal akan menghasilkan riak yang besar,
sementara benda yang sama di laut dalam tak akan
merusak ketenangan permukaannya.
Memang kebahagiaan bersifat intrinsik, ada di dalam hati
kita, bukan ekstrinsik dan tergantung pada pancaroba
kejadian dalam kehidupan sehari-hari kita di luarnya. Bagi
yang telah meraih kebahagiaan-yang-melambari ini, apa
pun bisa terjadi dalam kehidupan “luaran” kita, tetapi rasa
kebahagiaan akan tetap lestari. Bagi orang-orang yang
memilikinya, kenikmatan dan kesulitan bersifat
sepenuhnya relatif. Keduanya tak memiliki makna-
independennya sendiri. Relatif terhadap underlying
happiness ini, sesungguhnya tak ada kesulitan. Begitu
tertempatkan di lambaran atau fondamen kebahagiaan ini,
semuanya menjadi unsur yang membahagiakan.
Kenikmatan dan kesedihan pun menjadi terbatas pada
penampakan-luar atau kemasan. Pada hakikatnya dia selalu
bermakna sebagai unsur kebahagiaan. Inilah, yang secara
populer, membuat banyak orang menyatakan: pada
puncaknya kebahagiaan (dan kesengsaraan) sesungguhnya
produk persepsi. Apa saja, jika ia kita persepsikan secara
positif, akan menyumbang kepada kebahagiaan kita,
meskipun penampakan-luar atau kemasannya lebih
menyerupai kesulitan. Sebaliknya, jika kita persepsikan
secara negatif, apa saja akan melahirkan kesengsaraan,
meski penampakan-luar atau kemasannya indah.
Bahkan, dapat kita katakan bahwa sesungguhnya
kesedihan adalah sesuatu yang niscaya agar kita dapat
mengidentifikasi dan merasakan kebahagiaan. Orang yang
tak pernah merasakan kesedihan atau kesusahan akan
kebal atau tidak sensitif terhadap kebahagiaan. Sekadar
kesusahan justru dapat menjadi latar belakang yang di
atasnya kita benar-benar dapat merasakan dan
mengapresiasi kebahagiaan. Sayyidina ‘Ali karamallaha
wajhah pernah menyatakan, “Seseorang tidak akan
merasakan manisnya kebahagiaan (sa’adah), sebelum dia
merasakan pahitnya kesedihan (syaqawah).” Mungkin
bukan tidak pada tempatnya kita jernihkan di sini bahwa,
meski kata syaqawah sering dianggap sebagai lawan kata
dari sa’adah dan kata-kata lain yang mengungkapkan
kebahagiaan, ia tak pernah boleh diartikan sebagai
memiliki kemungkinan keabadian sebagaimana sa’adah.
Kasih sayang Allah sedemikian tak terbatas sehingga
menutup segala kemungkinan bagi syaqawah atau
kesengsaraan yang abadi. Betapa pun, syaqawah selalu
harus dilihat sebagai pendahulu bagi sa’adah. Dengan kata
lain, sa’adah adalah prinsip kehidupan manusia, sedang
syaqawah adalah pengecualian. Syaqawah diperlukan
sekadar sebagai tolok ukur, yang melaluinya orang bisa
mengidentifikasi dan mengapresiasi kebahagiaan. Paling
tidak, syaqawah juga hanya bisa dilihat sebagai sarana
Allah mengajar dan memberi pelajaran kepada kita agar
terdorong untuk menjadi lebih baik.
Pada kenyataannya, bahkan neraka pun harus dilihat
dengan cara demikian. Seperti dapat kita lihat dalam
berbagai ayat Al-Quran, selain melihat siksaan di neraka
sebagai alat pendidikan untuk menyucikan jiwa manusia
yang kotor, Allah selalu membuka kemungkinan bagi tidak
abadinya siksaan di neraka. Ayat di bawah ini adalah salah
satu contohnya: Maka, orang-orang yang sengsara
(menyandang syaqawah) itu, mereka kekal di dalam neraka
selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu
menghendaki .... (QS Hûd [11]: 107) Kenyataannya, bukan
saja langit dan bumi tidak abadi, bahkan–seperti,
dinyatakan oleh Ibn ‘Arabi–kata ganti milik “ha” dalam
ungkapan “khalidina fi ha” kembalinya kepada neraka,
bukan kepada siksa. Menurut ‘urafa’ seperti ini, boleh jadi
neraka akan abadi, tetapi siksaannya tidak. Demikian pula
halnya dengan syaqawah.[]
3
Bagaimana Meraih Kebahagiaan?
B agaimanakah cara untuk mengaktualkan dan
memelihara kebahagiaan dalam hidup kita?
Kebahagiaan seseorang akan muncul ketika tidak ada
kesenjangan antara apa yang kita dambakan dan hasil atau
keadaan aktual kita.
Dalam kaitan ini, ada tiga bentuk usaha yang mungkin
diupayakan manusia untuk mewujudkan kebahagiaan.
Pertama, bekerja keras untuk mengupayakan dan
memenuhi apa saja yang kita dambakan dalam hidup ini.
Sedikitnya ada dua kelemahan dalam cara ini. Satu, ada
banyak kemungkinan bahwa kita tak akan pernah bisa
memenuhi seluruh kebutuhan kita. Dua, setiap kebutuhan
kita terpenuhi, selalu muncul kebutuhan baru. Manusia tak
akan pernah puas. Maka, dengan cara ini hampir bisa
dipastikan kita tak akan pernah merasa bahwa semua yang
kita dambakan dalam hidup ini akan terpenuhi. Cara ini tak
akan pernah membawa kebahagiaan.
Kedua, mengurangi atau menekan kebutuhan. Dengan
berkurangnya kebutuhan, kemungkinan tak terpenuhinya
kebutuhan kita menjadi makin kecil. Demikian pula
kemungkinan ketidakbahagiaan kita. Masalahnya, manusia
diciptakan Tuhan dengan dorongan untuk selalu rindu
meraih pencapaian-pencapaian baru yang lebih baik. Ini
adalah manifestasi dari sifat fitri manusia untuk mencapai
kesempurnaan, betapa pun kesempurnaan ini tak mungkin
benar-benar dicapainya. Jadi, sebelum benar-benar bisa
mendatangkan kebahagiaan, cara ini sudah bertentangan
dengan fitrah manusia. Dengan kata lain, cara ini tidak
realistis. Dan semua yang bertentangan dengan fitrah
manusia akan justru menjadi sumber ketidakbahagiaan.
Kedua cara di atas masih bersandar pada konsep
kebahagiaan ekstrinsik. Yakni, bahwa kebahagiaan hanya
dapat tercapai jika semua dambaan kita dalam hidup
tercapai.
Ketiga, memiliki sikap batin sedemikian rupa sehingga
apa pun yang terjadi atau datang pada diri kita selalu kita
syukuri. Membangun suasana batin yang ditopang dengan
sikap sabar dan rasa syukur yang kokoh seperti ini, akan
mampu meredam kondisi-kondisi yang berpotensi
menimbulkan kegelisahan dalam hidup. Poin ketiga ini
sama sekali tak menihilkan cara dalam poin pertama di
atas. Mari kita bekerja keras, mari kita kejar
kesempurnaan, sebatas kemampuan kita. Akan tetapi, at
any point in time kita bersabar dan bersyukur atas apa saja
yang telah kita raih, rela kepada apa saja yang
dialokasikan-Nya kepada kita. Kita akan menemukan
kebahagiaan dengan selalu berpikir positif dalam keadaan
apa pun, selalu mencari hikmah di balik setiap keadaan,
seburuk apa pun ia tampil dalam persepsi kita.[]
4
TKebahagiaan adalah Persoalan Makna
ak akan ada yang membantah
bahwa hidup di dunia terkait
dengan kesejahteraan fisik dan
materi, karena memang Tuhan telah
merancang manusia dengan balutan
fisik sedemikian, sehingga dia hanya
bisa survive dengan mengoperasikan
aspek-fisiknya itu. Namun, tak sulit
juga untuk sepakat bahwa pada
puncaknya kebahagiaan bersifat
ruhani. Kebahagiaan memang bukan
sekadar kenikmatan fisik, melainkan
ketenteraman dan kepuasan hati.
Karena itu, secara logis bisa
dikatakan bahwa kebahagiaan tak
mungkin bisa diraih dengan berhenti
pada memuasi kebutuhan fisik kita.
Mengapa? Karena, ada lebih banyak
kebutuhan ruhani kita yang tak ada
hubungannya sama sekali dengan
kebutuhan fisik kita. Bahkan, lebih
sering kebutuhan ruhani atau hati
kita tak selalu sejalan dengan
kebutuhan fisik, malah tak jarang
bertentangan. Misal, kebutuhan
mencinta. Dalam hal seperti ini, kita
justru mendapatkan kebahagiaan
(ruhani) dengan memberi kepada
orang-orang yang kita cintai, bukan
justru menuntut dan mengambil
darinya demi kepuasan egoistik kita.
Kalau pun ada kaitannya, makanan
bagi ruhani atau hati kita adalah
makna yang bisa kita saring dari
keterpenuhan kebutuhan fisik kita,
dan bukan kebutuhan fisik itu sendiri.
Memang, baik terkait dengan
kebutuhan fisik maupun kebutuhan
ruhani, kebahagiaan hidup manusia
berkait dengan produksi makna
dalam hidupnya, yakni yang sejalan
dengan kebutuhan ruhaninya,
ketimbang dengan aktivitas-aktivitas
konkret itu sendiri.
Sebagai suatu ilustrasi, kebutuhan fisik kita menuntut
kesuksesan. Yakni keterpenuhan kebutuhan-kebutuhan kita
akan kekayaan, popularitas, atau kekuasaan. Tapi, pada
kenyataannya, betapa berlimpah contoh yang di dalamnya
seseorang justru mengalami kesengsaraan ketika
mendapatkan semuanya itu? Penyebabnya tentu saja
ketakmampuan unsur-unsur kesuksesan hidup itu untuk
dapat menyuplai makna yang merupakan kebutuhan ruhani
kita. Maka, betapa banyak contoh orang-orang yang
tampak telah memenuhi berbagai kebutuhan kesuksesan
ini tapi hidupnya justru berakhir dengan depresi, bahkan
bunuh diri?
Dengan demikian, mudah kita simpulkan bahwa
kebahagiaan kita terletak dalam keberhasilan kita
mendapatkan sebanyak mungkin makna positif dari hidup
dan kehidupan kita, dari apa saja yang kita kerjakan dan
hasilkan. Defisit makna hidup, sebaliknya, merupakan
sumber kesengsaraan.
Sayangnya, dalam kenyataan, makna positif tak selalu
tersedia begitu saja. Betapa pun kita percaya bahwa
sesungguhnya kehidupan ciptaan Allah ini dipenuhi dengan
makna positif, kita terkadang harus mencari makna
tersebut. Kegagalan menemukan makna positif ini bukan
saja akan menyebabkan kehampaan makna, melainkan
malah dapat mencuatkan makna negatif, yang destruktif
bagi prospek kebahagiaan hidup kita.
Nah, sering kita, mendapatkan makna yang kita
butuhkan hanya dengan sedikit menggeser sudut pandang
kita terhadap semua persoalan. Yakni, berbekal
persangkaan baik bahwa hidup ini diciptakan Allah dengan
penuh kebaikan, kita upayakan melihat setiap masalah dari
kaca mata yang positif. Bahwa, dalam peristiwa apa pun
sesungguhnya terkandung hikmah yang positif. Bahkan,
bahwa esensi semua peristiwa di alam semesta ciptaan
Allah ini bersifat positif dan membawa kebaikan untuk kita.
Untuk menjelaskan hal ini, tak ada ilustrasi yang lebih jelas
daripada apa yang pernah dikisahkan oleh Dr. Victor
Frankl, seorang psikolog yang dikenal luas dengan metode
logoterapinya.
Alkisah, menurut penuturan Dr. Frankl, datang ke tempat
praktiknya seorang laki-laki tua. Dari mimik muka dan
bahasa tubuhnya, tampak bahwa dia seperti sedang berada
dalam tekanan kesedihan yang luar biasa. Di hadapan Dr.
Frankl dia bercerita bahwa istri yang amat disayanginya,
yang telah menjadi menjadi pendamping hidupnya selama
puluhan tahun, baru saja meninggalkannya. Akibatnya, saat
ini dia merasa hidupnya sudah tak punya makna lagi.
Selama ini, setiap kebahagiaan dan kesulitan dia bagi
bersama istrinya. Tanpa istrinya, tak ada lagi yang bisa
menjadi tempatnya berbagi. Kalau saja bisa, mau rasanya
dia mati untuk menyusul istrinya.
Mendengar itu, Victor Frankl bertanya kepada laki-laki
yang malang itu; “Coba Anda bayangkan, apa yang akan
terjadi kalau istri Anda selalu bersama Anda, hingga Anda
mati meninggalkannya? Memang Anda tak akan mengalami
kesedihan luar biasa seperti yang Anda rasakan saat ini,
tetapi kira-kira apa yang akan terjadi dengan istri Anda jika
justru Anda yang lebih dulu meninggalkannya?” Laki-laki
itu terhenyak sambil berkata, “Jika itu yang terjadi maka
istri sayalah yang akan menanggung kesedihan yang luar
biasa karena saya tinggalkan.” “Nah,” kata Frankl,
“kematian istri Anda lebih dulu dari Anda, dan kesepian
yang Anda rasakan sekarang sebagai akibatnya,
sesungguhnya bermakna bahwa Anda telah menyelamatkan
istri Anda dari mengalami kesedihan luar biasa seperti
yang Anda rasakan sekarang.” Mendengar dan
merenungkan ucapan Dr. Frankl tersebut, tiba-tiba sebuah
kesadaran baru merasuki laki-laki itu. Tiba-tiba saja ia
sadar bahwa kesedihan yang dia rasakan sekarang
memiliki makna positif yang tak terkira besarnya. Yakni,
menyelamatkan istrinya dari kesedihan yang luar biasa
kalau saja ia yang terlebih dulu meninggalkannya. Maka,
kontras dengan sikap yang dia tunjukkan ketika datang, dia
meninggalkan tempat praktik Frankl dengan kebahagiaan
luar biasa.
Nah, apakah yang membedakan situasi ketika laki-laki itu
datang, dan ketika ia pergi dari tempat praktik Frankl?
Sesungguhnya tak ada perubahan situasi riil apa pun yang
dihadapi laki-laki itu. Namun, kalau sebelumnya dia datang
dengan kehampaan makna hidup, maka sekarang ia pergi
dengan kepenuhan makna hidup. Dan hasil yang luar biasa
itu terjadi hanya karena Dr. Frankl mampu mengajak laki-
laki itu “sedikit” menggeser sudut pandangnya terhadap
persoalan kematian istrinya.
Sesungguhnya, kebahagiaan tak kurang dan tak lebih
dari persoalan keberadaan atau absennya makna dalam
apa saja yang kita kerjakan, dalam kehidupan kita. Maka,
hendaknya kita terus berusaha menyuplai kehidupan kita
dengan makna, dan menghindarkannya dari kehampaan.
Kebahagiaan kita sesungguhnya dipertaruhkan di sini. Dan,
dalam hal apa saja, semuanya itu tergantung sepenuhnya
atas diri kita sendiri. Asal kita memiliki kemauan, tak akan
pernah ada istilah jalan buntu di sini. Kehidupan yang kita
jalani, di alam ciptaan Allah, tak pernah kurang dari
hikmah atau makna positif ini. Seperti apa pun
kejadiannya, seburuk apa pun ia tampak pada pandangan-
awalnya. Orang yang memiliki sikap positif dalam
memandang hidup pasti akan dapat menemukan makna
dalam segala hal. Dan orang seperti ini punya peluang
lebih besar untuk bahagia. Sementara yang cenderung
bersikap negatif dan sinis, sesungguhnya dia sedang
menjerumuskan dirinya ke dalam kesengsaraan yang
diciptakannya sendiri.[]
5
Manusia Berbakat Bahagia
D alam ajaran Islam, memang manusia diciptakan
dengan bakat dan tujuan-akhir kebahagiaan, bukan
kesengsaraan, sebagaimana mungkin diyakini oleh
sebagian aliran psikologi modern, seperti Freudianisme.
Jika hendak disejajarkan, ajaran Islam lebih sejalan dengan
Psikologi Positif (Positive Psychology), yang percaya bahwa
manusia berbakat berbahagia, dan bahwa tugas psikologi
hanyalah mencuatkan (meng-unleash) bakat berbahagia
itu. Ajaran Islam bertumpu pada prinsip kasih sayang
Tuhan Sang Pencipta sedemikian, sehingga seperti
psikologi positif, menolak model-model “psikologi bengkel”
seperti Freudianisme itu.
Sampai di sini, menjadi gamblang, bahwa kebahagiaan
terkait erat dengan kesiapan atau kesediaan—sebutlah
kemauan—untuk berbahagia. Untuk berbahagia, orang
harus siap-sedia untuk berbahagia, mau bahagia. Harus
memiliki sikap mental—atau tepatnya, sikap hati untuk
berbahagia. Dia harus mengembangkan persangkaan-baik.
Persangkaan baik kepada kehidupan, kepada Tuhan yang
menciptakan kehidupan. Bahwa sesungguhnya kehidupan
ini dirancang oleh Penciptanya dalam bentuk kebaikan,
yang lahir dari kecintaan-Nya kepada makhluk-Nya. Bahwa,
jika dilihat dalam kaca-mata positif, dalam kesadaran akan
keseluruhan (wholeness), sesungguhnya kehidupan tak
memiliki sifat lain, kecuali kebaikan. Bahwa (apa yang
tampak sebagai) kesusahan sesungguhnya adalah kebaikan
(juga), hanya dia tersamarkan. Kesusahan sesungguhnya
tak lain dari kegagalan kita menembusi permukaan luar
atau kemasan saja, ketidakmampuan kita menangkap
makna yang terdalam dari kejadian-kejadian.
Ketidakberhasilan kita meraih makna di balik fenomena.
Bahwa sesungguhnya (apa yang tampak) sebagai kesulitan
dan kesusahan itu pada hakikatnya hanyalah pembuka
jalan bagi kebaikan yang lebih tinggi, pada kebahagiaan.
Bahwa, kalau pun kita mentok di tengah jalan untuk
mencapai kebaikan-kebaikan yang kita inginkan maka
sesungguhnya ia adalah semacam pembelokan (detour)
menuju jalan yang justru akan membawa kita kepada
pencapaian kebaikan yang lebih besar. Bahwa
sesungguhnya, Tuhan telah menebarkan dalam kehidupan
manusia di muka bumi, tak terbatas jalan menuju kebaikan
dan kebahagiaannya. Ke mana pun kita mengarah dan
menuju, di situ terhampar jalan menuju kebahagiaan kita.
Nah, sikap hati seperti inilah yang harus kita
kembangkan, kita latih agar menjadi kebiasaan kita dalam
menjalani kehidupan, dalam melihat atau mempersepsi apa
saja yang terjadi di kehidupan kita. Ya, kebahagiaan
memerlukan latihan.
Bagaimana Cara Melatihnya?
Pertama, kuatkan kesadaran dan pengetahuan bahwa
hidup pada dasarnya adalah baik. Selalu lakukan refleksi
atas kehidupan kita, dan kehidupan sesama kita. Sama
sekali tak sulit melihat dengan hati yang terbuka, bahwa
sesungguhnya selalu saja ada hikmah atas apa saja yang
terjadi dalam kehidupan kita. Dan sesungguhnya,
kehidupan semua manusia, kapan saja dalam sejarah umat
manusia di muka bumi. Dan sesungguhnya keburukan
hanyalah sekadar konsep, sifatnya relatif. Jika kita
melihatnya secara parsial, bukan dalam keseluruhan maka
suatu kejadian bisa tampak (terasa) sebagai keburukan.
Akan etapi, jika kita tempatkan dalam suatu perspektif
yang komprehensif (menyeluruh) maka sesungguhnya ia
adalah suatu pendahulu (prekursor) bagi kebaikan yang
lebih besar. Lihatlah pengalaman hidup kita dengan pikiran
yang jernih, bacalah pengalaman hidup sesama kita, kapan
saja dan di mana saja. Maka, mudah-mudahan kita tak akan
gagal untuk memahami hakikat-kebaikannya. Makin
banyak kita meyakini hal ini, mudah-mudahan makin kuat-
menancap kesadaran kita mengenai sifat-dasar kebaikan
dalam kehidupan ciptaan Tuhan ini.
Kedua, timbulkan kemauan. Sebetulnya ini bukan suatu
hal yang sulit jika kita sadari bahwa kebahagiaan kita
dipertaruhkan di sini. Cobalah untuk selalu melihat ke
depan, melampaui kejadian-kejadian itu sendiri. Ke mana
kiranya ia membawa kita? Apa makna-positifnya?
Kemudian timbulkan sikap mental (sikap hati) sabar dan
syukur. Selalu menerima apa saja yang datang kepada kita
dengan hati yang lapang. Bahwa segalanya datang dari
Tuhan, dan bahwa Tuhan selalu menyimpan maksud baik
dalam segala kebijaksanaannya. Hampir-hampir
merupakan sisi lain dari koin yang sama, selalu
kembangkan sifat-hati syukur–berterima kasih–atas apa
saja yang datang kepada kita. Baik untuk kejadian-kejadian
yang di permukan tampak sebagai kesulitan—wujudnya
adalah kesabaran, dalam konteks keyakinan bahwa ia
sesungguhnya adalah pendahulu bagi kebaikan yang lebih
tinggi—maupun atas kebaikan-kebaikan yang datang
kepada kita, sehingga kita dapat bereaksi positif
kepadanya, dan menjadikannya benar-benar sumber bagi
sikap-sikap positif yang pada akhirnya benar-benar bisa
mendatangkan kebahagiaan kepada kita.
Ketiga, latihlah agar dalam diri kita terpatri kebiasaan
(habit) kebahagiaan. Selalu upayakan kesadaran-penuh dan
kendali atas kejadian-kejadian yang terjadi dalam
kehidupan kita. Setiap saat, selalu operasikan kesadaran
kita atasnya. Jangan pernah kejadian-kejadian itu
menguasai kita. Jangan biarkan kepanikan merampas
kewarasan kita. Setiap saat terjadi suatu kejadian yang
segera terasa tidak menyenangkan, coba cari maknanya,
merogohlah lebih dalam ke lubuk hati kita untuk dapat
menemukan makna positif darinya. Coba upayakan
hikmahnya. Coba terawang ke arah mana—yakni kepada
kebaikan apa—kejadian ini akan membawa kita. Lakukan
berkali-kali agar sikap seperti ini menjadi refleks kita
dalam menanggapi kejadian apa saja yang menimpa kita.
Jika sudah semua ini kita upayakan, kita bisa berharap
bahwa kebahagiaan akan selalu bersama kita tanpa kita
harus mengejarnya. Kenyataannya, kebahagiaan memang
selalu ada bersama kita, bersama kehidupan kita. Di mana
saja, bersama apa saja, ada kebahagiaan. Kebahagiaan ada
di hati kita. Hati kita memang diciptakan sebagai wadah
kebaikan, wadah kebenaran, dan wadah keindahan. Yakni,
total jumlah yang melahirkan kebahagiaan. Justru,
kebahagiaan akan mengelak jika kita kejar karena dia
tempatnya bukan di luar. Yang tidak di luar tidak bisa
dikejar. Yang di dalam hanya perlu kita sadari dan pahami.
Kita hanya perlu mengucapkan “selamat datang” kepada
kebahagiaan.
Catatan Akhir
Akhirnya, kiranya perlu kita ungkapkan juga suatu
hubungan lain yang menarik antara cinta dan kebahagiaan.
Seperti telah disinggung di awal pembahasan dalam bab
ini, cinta pada hakikatnya adalah kerinduan untuk
memberi. Di satu sisi, dikatakan bahwa cinta
mempersyaratkan ketanpapamrihan. Al-Quran pun
menegaskan: Dan orang-orang yang telah menempati Kota
Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan)
mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang
berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh
keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka
sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka
berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran
dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS Al-
Hasyr [59]: 9) Namun, jika hal ini berarti ketanpapamrihan
mutlak maka dari manakah lahir dorongan atau bahkan
kerinduan untuk memberi itu? Benar bahwa pemberian
yang didasarkan oleh rasa cinta yang sejati haruslah tulus.
Karena, jika tidak tulus maka apa bedanya dengan
egoisme, dengan narsisme? Bukankah esensi narsisme
adalah dorongan memberi dengan motif egoistik (ulterior
motive) untuk mendapatkan manfaat bagi diri sendiri?
Bagaimana cara mengatasi kontradiksi ini?
Sebetulnya tak ada kontradiksi di sini. Pemberian yang
egoistik atau narsistik hanyalah terjadi jika kita mengharap
balasan dari orang yang menjadi objek pemberian kita itu.
Artinya, kita memberi sambil mengharap ada pengurangan
pada “milik” objek yang kita beri untuk kepentingan kita.
Akan tetapi, jika yang kita harapkan adalah kebahagiaan—
bagi yang menyadarinya, sesungguhnya merupakan
imbalan puncak dari kegiatan memberi yang tulus—maka
tak ada tuntutan pengurangan pada objek pemberian kita.
Kebahagiaan sumbernya adalah diri kita sendiri. Seperti
kita singgung di atas, kebahagiaan sejati bersifat intrinsik,
bukan ekstrinsik. Dalam hal ini, siapa pun tetap dapat
mempertahankan ketanpapamrihan dalam ketulusan
memberi, tetapi pada saat yang sama tak kehilangan
dorongan untuk memberi karena memberi dengan
menjanjikan ganjaran paling tinggi yang semua orang
sepakat mengenainya.
“Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu kedudukan para
penyandang syahadah (syuhada’) dan kenikmatan para
penyandang sa’adah (su’ada).”
—Doa Rasulullah Saw.[]
1 Mengenai kata thabah, berasal dari kata yang sama
dengan thayyibah, yang bermakna kebahagiaan, lihat ayat
Al-Quran surah Al-Nahl ayat 97 dan penjelasannya di
bawah. Diskusi mencerahkan tentang makna falah sebagai
kebahagiaan, baca Jalaluddin Rakhmat, Meraih
Kebahagiaan, Simbiosa Rekatama Media, 2009, hal. 24-27.
Bagian 2
Hidup adalah Perjalanan
Cinta
6
Kehidupan Manusia, Perjalanan Cinta
Alkisah, terasinglah sebilah bambu dari rumpunnya, dan kini
ia lahir sebagai sebuah seruling. Ia dirundung duka dan
kerinduan yang tak berkesudahan. Setiap kali ditiup,
suaranya sendu menyayat hati. Rasa terpisah dari induknya
membuat dia menyanyi penuh duka dan kerinduan.
Dengarkan nyanyian sendu seruling bambu,
Menyayat selalu,
sejak direnggut dari rumpun rimbunnya dulu,
Alunan lagu sedih dan cinta membara
Rahasia nyanyianku, meski dekat
Tak seorang pun dapat mendengar dan melihat
Oh, andai ada teman yang tahu isyarat
Mendekap segenap jiwanya dengan jiwaku!
Ini nyala cinta yang membakarku,
Ini anggur cinta mengilhamiku.
Sudilah pahami betapa para pencinta terluka,
Dengar, dengarkanlah rintihan seruling…!
Dalam kisah ini, Jalaluddin Rumi mengibaratkan manusia
sebagai bilah-bilah bambu yang tercerabut dari rumpunnya.
Berasal dari Allah, kini kita terpisah dari-Nya. “Setiap orang
yang tinggal jauh dari sumbernya ingin kembali ke saat
ketika dia bersatu dengannya,” kata Rumi.
***
M emang kehidupan manusia, walau tak banyak yang
menyadarinya, sesungguhnya adalah perjalanan
penuh kerinduan. Dimulai dari kejatuhan dan disambung
dengan keinginan pulang. Ya, kehidupan manusia
sesungguhnya adalah perjalanan pergi dan pulang, dari
suatu tempat berangkat (mabda’) menuju suatu tempat
kembali (ma’ad), yang tak lain adalah tempat-berangkatnya
juga: manusia bersumber dan berawal dari Tuhan untuk
berjalan kembali kepada Tuhan.
Innâ lil-lâh wa innâ ilai-hi raji’un; Sesungguhnya kita
bersumber/kepunyaan/bagian dari Allah, dan
sesungguhnya kepada dialah kita akan kembali. (QS Al-
Baqarah [2]: 156) Kita tercipta–saya harus menyebutnya
sebagai terpancar (teremanasi)–dari Allah,
tertempatkan ke alam dunia, demi mencari jalan pulang
kembali kepada-Nya.
Dalam kebijaksanaan (hikmah) Islam, satu siklus lengkap
perjalanan hidup manusia melewati dua busur yang
membentuk sebuah lingkaran penuh: busur turun (al-qaws
al-nuzul) dari Allah ke alam ciptaan; dan busur naik (al-
qaws al su’ud) dari alam ciptaan kembali kepada Allah.
Seperti difirmankan-Nya:
Tsumma danâ fa tadallâ. Fa kâna qâba qawsayni aw
adnâ; Maka Dia pun mendekat dan makin mendekat
lagi. Maka, jadilah jarak antara-Nya dan manusia
(Dengan Muhammad Saw. dalam perjalanan mi’raj,
sebagai representasinya) adalah dua busur panah, atau
lebih dekat lagi. (QS Al-Najm [53]: 8-9) Dalam kaitan ini,
kebahagiaan sepenuhnya terletak pada kelancaran
perjalanan pulangnya. Kodrat manusia adalah damai
dalam kasih sayang Tuhan, Sang Maharahman, Sang
Maharahim. Keterpisahannya adalah penderitaan dan
kesengsaraan. Meski tak banyak di antara kita
menyadarinya.
Kita berjungkir-balik mengejar pencapaian dan
kesenangan duniawi–menumpuk harta, meraih kekuasaan,
menangguk popularitas–sebenarnya adalah ketersamaran
terhadap kerinduan ini. Kita merasa akan mendapatkan
kasih sayang yang kita dambakan jika kita miliki semuanya
itu. Kenyataannya semua itu hanya fatamorgana.
Kebahagiaan kita, kepuasan kita, kedamaian kita tak
terletak di situ. Yang kita kejar sesungguhnya tak kurang
dari cinta yang sepenuhnya dapat kita andalkan. Cinta
yang Sempurna. Cinta Tuhan.
Maka, pertaruhannya terletak pada seberapa besar kita
bisa mendekati-Nya, dengan berusaha menjadi seperti-Nya.
Menjadi memiliki akhlak-Nya: berakhlak dengan akhlak-
Nya (al-takhalluq bi akhlaq Allah), menjadikan hati kita
dipenuhi kasih sayang terhadap sesama. Karena, hanya
dengan mengembangkan kasih sayang kita baru memiliki
kesempatan mendapatkan kasih sayang-Nya. Kata pesuruh-
Nya: “Man lâ yarham, lâ yurham; “Barangsiapa tak
menyayangi, tak akan disayangi.”
Dan kasih sayang-Nya terletak pada kasih sayang kepada
sesama manusia, kepada sesama ciptaan-Nya. Masih kata
Rasul-Nya: “Barangsiapa menyayangi yang di bumi, akan
disayangi yang di langit.”
Namun, senyampang perjalanan-jauh pulang kepada
Sang Sumber, dia bisa dapati tempat pulang di bumi, di
antara orang-orang yang menyayangi. Ibu, Ayah, saudara,
kerabat, dan sahabat. Mereka yang kita rasa menyayangi
kita setulus hati, yang cintanya bisa kita andalkan. Yang
kasih sayangnya sesungguhnya merupakan pancaran kasih
Tuhan, yang ke dalam hati mereka, Tuhan pancarkan kasih
sayang-Nya. Merekalah sumber kebahagiaan dan
kedamaian di dunia. Di setiap ada kesempatan, kita selalu
terdorong pulang kepada mereka. Sebaliknya, sebagaimana
arti-aslinya, keterasingan dari para kekasih kita adalah
laknat.
Hidup sesungguhnya adalah perjalanan kembali ke Allah
karena atas fitrah-Nya kita diciptakan (QS Al-Rûm [30]:
30). Kita tak lain adalah soul mate-Nya. Dan, di ujung
perjalanan, menunggu Kekasih-sejati kita, Allah Yang Maha
Pengasih, yang hanya dalam pelukan-Nya pupus sudah
semua kerinduan kita, yang di haribaan-Nya, penuh sudah
hasrat kita.
“Wahai jiwa yang tenteram.
Pulanglah Engkau ke Pengasuh-Mu
dengan rela dan direlai-Nya.
Maka, masuklah ke kelompok pemuja-Ku.
Maka, masuklah ke surga-Ku.”[]