The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-04-25 21:02:08

Risalah Cinta dan Kebahagiaan

By Haidar Bagir

Keywords: Risalah Cinta dan Kebahagiaan,Haidar Bagir,Sastra indonesia

7

Cinta

Alkisah, dua sejoli putra putri bangsawan dibakar api cinta.
Qais, nama pemuda itu, begitu rupa dimabuk asmara
sehingga yang teringat hanya kekasihnya, Laila. Saat mata
tak lagi dapat bertemu pandang, Qais terus menyusuri jalan
mencari kekasihnya dengan memanggil-manggil namanya.
Maka, orang pun menertawakannya dan memanggil dia
dengan julukan “si gila”, Majnun.

Cinta mereka terbentur oleh adat. Majnun pun kian lupa
diri. Anak hartawan ini jadi hidup layaknya seorang
pengemis. Tak pernah mandi, kumal, dan terasing dari
masyarakatnya hingga hidup terpencil bersama binatang
liar. Ia hanya meracau, bergumam syair cinta, dan berbicara
pada air sungai dan angin agar menyampaikan cintanya
kepada Laila. Sementara sang kekasih pun, di penjara
kamarnya, merana didera rindu yang tak berkesudahan;
sampai ia bersuami pun jiwanya hanya hidup dengan
Majnun.

Singkat cerita, Laila wafat, dan setahun kemudian Majnun
pun ditemukan terbujur tanpa nyawa di pusara kekasihnya
sehingga mereka dikubur bersebelahan seolah disatukan
kembali di alam keabadian.

Konon, masih menurut sahibul hikayat, tak lama setelah
itu seorang Sufi bermimpi melihat Majnun berada di sisi-
Nya. Tuhan pun membelainya dengan penuh kasih dan

berkata, “Majnun, tidakkah kau malu memanggil-Ku dengan
nama Laila, setelah engkau reguk anggur cinta-Ku.” Ketika
bangun sang Sufi masih diliputi penasaran dengan nasib
Laila yang malang itu. Tuhan pun mengilhaminya bahwa
Laila lebih agung karena ia menyembunyikan segenap
rahasia cintanya di dalam dirinya.

***

D alam bahasa Al-Quran, cinta disebut dengan hubb.
Kata Al-Qusyairi, penulis Rîsalah, hubb adalah cinta
dan kasih sayang yang paling murni, sebagaimana orang
Arab mengatakan habab al-asnân untuk menunjukkan
orang yang giginya putih-murni. Penulis Kasyf Al-Mahbûb,
Al-Hujwiri mengatakan bahwa hubb boleh jadi berasal dari
habb yang bermakna benih. Hubb bermakna demikian
karena ia bersemayam di benih-benih hati, tetap tak
tergoyah sebagaimana benih tetap berada di tanah dan
menjadi sumber kehidupan meski hujan-badai menerpa dan
panas matahari membakar. Hubb juga disebut demikian
karena kata itu berasal dari hibbah yang berarti benih
tetanaman. Cinta disebut hubb karena sebagaimana hibbah
adalah benih tanaman, ia adalah benih kehidupan.

Selain kata hubb atau mahabbah, kaum Sufi senang
menggunakan kata ‘isyq—yang juga merupakan akar kata
“asyik” dalam bahasa Indonesia. ‘Isyq berarti cinta yang
meluap-luap. Kaum Sufi senang menggunakan kata ini
boleh jadi karena ia menunjukkan cinta yang lebih
mendesak, atau karena pada tingkatnya yang belum
mencapai puncak, ia masih meluap-luap dan belum
mencapai ketenangan. ‘Isyq memang adalah persiapan
menuju hubb atau mahabbah.

Kemudian, ada wudd yang meliputi perwujudan konkret
rasa cinta itu, seperti jalinan mawaddah suami istri

melahirkan kemesraan. Sedangkan rahmah adalah kasih
sayang yang mendorong seseorang berbuat baik kepada
yang dikasihsayanginya. Seperti kasih ibu yang tanpa
pamrih kepada anak-anaknya. Namun, jika rahmah bisa
dipakai untuk manusia maka rahmân hanyalah untuk
menyatakan kasih sayang-Nya kepada segenap alam
semesta. Semua itulah cinta.

Hujwiri meriwayatkan bahwa Allah Yang Mahatinggi
mewahyukan kepada Nabi Isa a.s.: “Jika Kujenguk hati
seseorang dan tak Kudapati cintanya kepada dunia dan
akhirat maka Aku penuhi dia dengan cinta-Ku.”

Menurut Imam Al-Ghazali, cinta hanya dapat dilihat dari
akibat yang dihasilkannya. Lalu, apa tanda-tanda cinta?
Seperti dikatakan kaum ‘ulama’, cinta meruntuhkan
kesombongan merupakan sumber kekuatan dan pemusatan
perhatian, melembutkan, menghilangkan pamrih,
menjadikan orang dermawan, dan penuh pemaafan.[]

Lampiran I:

Berbagai Bentuk Cinta1*

—Ibn Hazm

I bn Hazm Al-Andalusi (994-1064), secara menarik
pernah memaparkan tentang aneka ragam bentuk
cinta: Aku pernah diminta untuk secara khusus
membahas cinta dan berbagai bentuknya. Semua bentuk
cinta bersumber dari satu rumpun. Cinta ditandai oleh
rasa rindu kepada yang dicintai, takut berpisah, harapan
untuk mendapatkan balasan cinta. Konon bahwa
perasaan itu berbeda-beda menurut objeknya. Namun,
sang objek berbeda-beda hanya karena hasrat si
pencinta, apakah hasrat itu sedang menguat, melemah
atau pupus sama sekali. Dengan demikian, cinta kepada
Allah Swt. merupakan cinta yang sempurna; itulah yang
menyatukan makhluk dalam mencari cita-cita yang sama.

Cinta—seorang ayah, anak, kedua orangtua, sahabat,
penguasa, istri, penolong, yakni orang yang menjadi
tempat berlabuhnya harapan, pencinta—secara generik
semuanya sama, semuanya cinta. Namun, ada perbedaan
pada masing-masing yang telah aku sebutkan. Yang
membedakan hanyalah besarnya cinta yang diilhami oleh
apa yang dapat dipersembahkan oleh sang kekasih. Oleh
karena itu, cinta dapat memiliki berbagai bentuk: Kita
telah menyaksikan banyak orang yang bunuh diri karena
anak-anak mereka, persis seperti si pencinta yang
menderita karena sang kekasih. Kita telah mendengar
tentang orang yang terbakar oleh rasa takut dan cinta

kepada Allah sehingga dia rela mati karenanya. Kita tahu
bahwa orang dapat menjadi pencemburu karena rajanya
dan temannya seperti cemburu karena istrinya, pencinta
karena kekasihnya.

Hasrat terkecil yang dirasakan pencinta kepada
kekasihnya adalah memenangkan cintanya, perhatiannya
dan kedekatan kepadanya—dan tak berani
mengharapkan yang lain. Inilah yang menjadi cita-cita
orang yang saling mencinta karena Allah Swt.

Tingkatan berikutnya adalah ketika cinta tumbuh
dalam kebersamaan, berbincang, dan saling
memperhatikan satu sama lain. Inilah tingkatan cinta
kepada seorang pria kepada raja, teman atau
saudaranya.

Namun, puncak yang dapat didambakan seorang
pencinta dari sang kekasih adalah memeluknya saat dia
menginginkannya. Inilah mengapa kita melihat seorang
pria yang benar-benar mencintai isrtinya mencoba
berbagai posisi dan tempat dalam bercinta, agar dia
merasakan bahwa dia sungguh-sungguh menjadi
miliknya. Dalam kategori inilah kita memeluk dan
mencium. Sebagian dari hasrat ini terdapat pada seorang
ayah terhadap anaknya dan mendorongnya untuk
(mengungkapkannya) melalui pelukan dan ciuman.

Semua yang baru saja kami sebutkan secara unik
merupakan fungsi hasrat (yang ekstrem). Jika karena
beberapa alasan, hasrat terhadap sesuatu ditekan, jiwa
akan berpaling kepada objek hasrat yang lain.

Oleh karena itu, kami dapati orang yang percaya
kepada kemungkinan berjumpa dengan Allah Swt.
merindukan hal itu, memiliki rindu yang mendalam

terhadapnya dan tak akan terpuaskan oleh apa pun
selainnya sebab itulah yang memang didambakannya.
Sebaliknya, orang yang tidak meyakininya tidak
mendambakan ekstase ini dan tidak menginginkannya
karena memang tidak berhasrat terhadapnya. Dia merasa
puas dengan melaksanakan shalat dan pergi ke masjid.
Dia tak memiliki ambisi yang lain.[]

 

 

1 Ibn Hazm Al-Andalusi, Psikologi Moral untuk Hidup Bijak
dan Bahagia, hal 84, Serambi, September 2005.

8

Allah Mahacinta

Suatu kali, seorang laki-laki yang baik sedang menghadapi
perhitungan (hisab) di hadapan Allah Swt. Karena banyak di
antara anggota keluarganya melakukan dosa-dosa, maka
dia memutuskan untuk menghadiahkan pahala amal-amal
baiknya kepada anggota-anggota keluarganya itu. Maka,
habislah tabungan pahalanya. Allah pun bertanya
kepadanya, “Sekarang dengan apalagi engkau dapat
berharap bisa selamat dari hisab-Ku?” Laki-laki itu
menjawab, “Dengan rahmat-Mu.” Karena itu Allah
memerintahkan para malaikat-Nya untuk memasukkan laki-
laki tersebut ke dalam surga.

***

M emang begitulah firman-firman-Nya mengajarkan;
Telah Kutetapkan atas Diri-Ku Kasih Sayang
(Rahmah). Kasih Sayang-Ku meliputi segala sesuatu.
Bahkan, seperti terungkap dalam sebuah hadis, “Tuhan
adalah Cinta.”

Dengan ungkapan yang berbeda, esensi Cinta Ketuhanan
ini disabdakan-Nya dalam sebuah hadis qudsi–yang
merupakan favorit para Sufi: “Aku ingin mengenalkan Diri-
Ku bahwa Aku Pengampun, Penutup Aib, Yang Mahaindah,
Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Oleh karena itu, Aku
menciptakan makhluk supaya diri-Ku dikenal.”

Selanjutnya, dalam suatu hadis qudsi yang lain
diungkapkan-Nya:

“Allah memiliki seratus rahmat. (Hanya) satu yang
ditebarkan-Nya ke atas alam semesta, dan itu sudah
cukup untuk menanamkan kecintaan di hati para ibu
kepada anak-anaknya.” Sehingga, “seekor induk kuda
mengangkat kakinya agar tak menginjak anaknya, dan
seekor ayam betina mengembangkan sayapnya agar
anak-anaknya berlindung di bawahnya.”

Fitrah suatu Zat Yang Penuh Cinta dan Kasih Sayang
adalah mengungkapkan kebaikannya itu, meluapkan kasih
sayangnya itu. Setiap peluapan kasih sayang membutuhkan
objek. Nah, dalam rangka peluapan kasih sayang-Nya
inilah, alam semesta tercipta. Yakni, sebagai objek
peluapan kasih sayang-Nya itu.

Aku (awalnya)2 adalah Perbendaharaan Yang
Tersembunyi. Aku cinta (rindu) untuk diketahui. Maka,
Aku ciptakan alam agar Aku dikenali.

Jadi, sesungguhnya alam tercipta karena cinta, prinsip-
penggeraknya adalah cinta, pengikatnya adalah cinta.
Tujuan-akhirnya pun adalah cinta.

Dalam kaitan ini, tradisi Islam membagi sifat-sifat Allah
ke dalam dua kelompok: Jalal (tremendum, keagungan) dan
Jamal (fascinans, keindahan). Keduanya bersatu dalam Dia
sebagai Kamal (Kesempurnaan). Keagungan bersifat keras
dan tajam, menggabungkan sifat murka, kecongkakan,
kekerasan, dan sejenisnya. Keindahan di sisi lain adalah
sintesis dari belas kasihan, kemurahan hati, belas kasih,
dan sifat-sifat sejenisnya. Jalal membuat manusia taat dan
mematuhi hukum-Nya, sementara Jamal membuat manusia
terpesona dan jatuh cinta dengan-Nya. Kedua sifat ini, Jalal

dan Jamal (Keagungan dan Keindahan) juga disebut dengan
nama-nama ‘Adl dan Fadhl (Keadilan dan Kebaikhatian)
atau Ghadhab dan Rahmah (Murka dan Kasih sayang), atau
Qahr dan Luthf (Kekerasan dan Kelembutan).

Al-Quran menyebut Allah sebagai bersifat rahman dan
rahim (umumnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
sebagai Yang Maha Pemurah dan Yang Maha Penyayang).
Akan tetapi, kata rahmah dalam bahasa Arab, yang kedua
kata-kata ini berasal, memiliki konotasi yang sangat
komprehensif yang terdiri dari cinta, kasih, berkah, dan
banyak lagi makna serumpun. Dalam prinsip cinta ini,
kepercayaan Islam secara keseluruhan dan cara hidupnya
diringkaskan. Salah satu kata yang digunakan Al-Quran
untuk menunjukkan cinta adalah wudd, yang dalam bahasa
Arab berarti bentuk tertinggi dari cinta, dan disebutkan
dalam Al-Quran: Sesungguhnya mereka yang percaya dan
melakukan hal-hal yang baik, Yang Pemurah akan
menentukan bagi mereka cinta. (QS Maryam [19]: 96) Di
sini rahmah (kasih) dan wudd (cinta) digunakan bersama-
sama. Di tempat lain dalam Al-Quran, wudd (cinta) dan
ghufran (ampunan) disebutkan secara bersamaan: Dan Dia
adalah Maha Pengampun dan Pencinta (QS Al-Buruj [85]:
14) Sedangkan rahmah (kasih) dan wudd (cinta) disebutkan
bersama-sama dalam ayat ini: Mintalah pengampunan dari
Tuhanmu dan kemudian bertaubatlah kepada-Nya
Sesungguhnya, Tuhanku adalah Maha Penyayang,
Pencinta. (QS Hûd [11]: 90) Al-Wadud adalah salah satu
dari nama-nama indah Allah yang berarti sumber Cinta. Dia
telah menganugerahi manusia dengan kapasitas tidak
terbatas untuk mengembangkan cinta. Hubb adalah kata
lain yang digunakan dalam Al-Quran yang juga berarti
cinta, sebagaimana dinyatakan dalam: ... Tuhan akan
mendatangkan orang yang Dia kasihi dan yang mengasihi
Dia. (QS Al-Mâidah [5]: 54) Sesungguhnya, cinta adalah
sifat hakiki Allah. Dia menekankan dalam Al-Quran bahwa,

Dia telah mewajibkan atas diri-Nya kasih sayang (QS Al-
An’am[6]: 12). Juga, Kasih sayang-Ku meliputi segala
sesuatu (QS Al-A’râf [7]: 156), dan Sesungguhnya Tuhanku
adalah Yang Maha Pemurah, dan Yang Maha Penyayang
(QS Hûd [11]: 80). Selain itu, dalam beberapa hadis qudsi
Allah mengungkapkan dengan tegas bahwa ”Kasih sayang-
Ku mendominasi Murka-Ku”.

Kasih sayangnya menerpa bintang-bintang di galaksi
yang paling jauh, sel-sel atau bahkan unsur kehidupan yang
lebih kecil dari itu, hewan, tanaman, bebatuan, apalagi
manusia. Manusia yang jahat sekalipun, apalagi manusia
yang baik. Tak ada sesuatu pun yang tercipta, tak ada
sesuatu pun yang terjadi, kapan saja, dan di mana saja,
kecuali itu adalah kebaikan, yang lahir dari kasih sayang-
Nya.

Kita bisa menemukan lebih lanjut bahwa dalam Al-Quran
Dia menyatakan diri-Nya melalui nama-nama yang
termasuk dalam kelompok Sifat Memesona dan Indah-Nya
(Jamal) dalam ayat-ayat yang jumlahnya 5 kali lipat jumlah
ayat yang di dalamnya Dia menyatakan diri-Nya melalui
Sifat Dahsyat dan Agung-Nya (Jalal) [7]. Sejalan dengan itu,
Sifat Pembalas-Nya—yaitu Sifat yang melaluinya Dia
menghukum orang-orang berdosa—muncul hanya sekali
dalam Al-Quran, sedangkan sifat sebaliknya—Pengampun—
berulang sekitar 100 kali.

Memang, salah satu nama Allah, salah satu sifat-Nya
adalah Al-Wajid. Kata ini memiliki beberapa arti. Selain
memiliki arti cinta yang kuat, kata ini juga berarti
mewujudkan. Dapat disimpulkan dari sini bahwa ada
hubungan yang sangat erat antara cinta dan penciptaan.

Dinyatakan oleh Ibn ’Arabi bahwa, “Tidak satu hadis yang
disampaikan oleh para Nabi-Nya yang mengisyaratkan

Keagungan yang tanpa disertai oleh sesuatu dari
Keindahan untuk menyeimbangkannya.” Yakni, kenyataan
bahwa cinta dan belas kasih adalah prinsip-prinsip Allah
tidak meniadakan kenyataan lain bahwa Dia tidak tanpa
murka dan keadilan. Murka dan penerapan keadilan tentu
termasuk tindakan-Nya. Namun, itu semua adalah
manifestasi dari prinsip yang sama, yaitu cinta dan belas
kasihan. Adalah kasih dan belas kasihan terhadap manusia
yang membuat Dia menerapkan keadilan dan menegakkan
hukum. Artinya, sebagai bagian dari Sifat Pemeliharaan-
Nya (Rububiyah) atas manusia dan alam semesta.[]

9

Segala Hal, Tanda Cinta

Alkisah, seorang petani memiliki kuda yang sangat bagus.
Seorang hartawan sangat ingin membeli kuda itu. Harganya
tak tanggung-tanggung, 50 ribu dirham. Akan tetapi, sang
petani dengan sopan menolak karena dia pun menyukai
kuda tersebut. Banyak orang menyesali sang petani yang
tak menukar kudanya dengan uang sebegitu besar. Tak
dinyana, tak diduga, suatu hari hilanglah kuda si petani.
Maka, orang pun mulai menyalahkannya. “Mau dibeli
sebegitu mahal tak boleh, sekarang kuda pun raib.” Rugi
besar dia. Mendengar itu, sang petani berkata, “Yang aku
tahu kudaku hilang, tetapi aku tak tahu apakah aku menjadi
rugi karenanya.” Dia memilih bersabar.

Kenyataannya, beberapa hari kemudian kuda itu kembali,
sambil membawa bersamanya puluhan kuda liar yang
bagus-bagus. Sang petani bersyukur. Namun, sekali lagi
cobaan menimpanya. Karena sesuatu hal, suatu hari kuda
tersebut mengamuk dan menendang kaki anaknya yang
belia, sehingga kaki sang anak cacat. Sekali lagi orang-
orang menyalahkan si petani. “Coba saja kuda itu dijual, kau
akan dapat uang banyak, dan anakmu tak akan cacat.”
Lagi-lagi si petani menjawab, “Ya, anakku memang cacat,
tetapi aku tak tahu apakah itu merugikanku.” Sekali lagi si
petani memilih bersabar.

Tak lama setelah itu, datanglah serombongan tentara
suruhan raja untuk merekrut anak-anak muda menjadi

tentara yang akan dikirim ke medan perang melawan
musuh. Anak si petani tak jadi direkrut karena kakinya
cacat. Terbukti belakangan, banyak anak muda yang dikirim
ke medan perang menjadi korban jiwa. Maka, sekali lagi, si
petani pun bersyukur.

***

M emang dari Tuhan yang Maha Pengasih, tidak ada
yang terpancar darinya, kecuali kebaikan. Bahkan
hal-hal yang tampaknya buruk sesungguhnya ada demi
terciptanya suatu kebaikan yang lebih besar, yakni dalam
rangka mewujudkan kasih-Nya atas alam semesta. Sekali
lagi, yang terlihat sebagai murka-Nya dalam kenyataan
adalah wajah lain dari rahmat-Nya. Dalam sebuah hadis,
Rasul Saw. bersabda, “Jika Allah mencintai seorang hamba
maka Dia akan mengujinya.”

Sebelum yang lain-lain, Allah sendiri menyatakan bahwa
alam semesta dan manusia diciptakan dalam komposisi
atau bentuk terbaik, bahwa segala sesuatu dari-Nya adalah
baik, dan bahwa segala sesuatu yang buruk sebenarnya
buatan manusia atau, lebih tepatnya, distorsi atau korupsi
kebaikan Ilahi.

Sesungguhnya, Kami menciptakan manusia dalam
bentuk terbaik .... (QS Al-Tin [95]: 4) ... dan (Terpujilah)
Dia yang menciptakan tujuh langit penuh harmoni
dengan satu sama lain, tidak ada kesalahan yang akan
kamu lihat dalam penciptaan Yang Maha Pemurah. Dan
palingkankah penglihatan kamu (atasnya) sekali lagi:
dapatkah kamu lihat cacat apa pun? Ya, palingkanlah
penglihatan kamu (atasnya) lagi dan lagi: (dan setiap
kali itu) penglihatan kamu akan kembali kepadamu,
benar-benar terpesona dan tertundukkan .... (QS Al-
Mulk [67]: 3-4) Tuhan tidak akan dengan cara apa pun

menzalimi manusia, tetapi manusialah yang menzalimi
diri mereka sendiri dengan melakukan tindakan-
tindakan yang merugikan diri mereka sendiri dan dunia.

Apa pun yang baik terjadi pada kamu adalah dari Allah,
dan apa pun bencana yang menimpa kamu adalah dari
dirimu sendiri. (QS Al-Nisâ [4]: 79) Sesungguhnya Allah
tidak akan menzalimi manusia, tetapi manusialah yang
menzalimi diri sendiri. (QS Yûnus [10]: 44) Dalam ayat
lain Allah Swt. dengan jelas berfirman: ... Tuhan tidak
pernah akan merusak (kebaikan) yang Dia telah
diberikan kepada sekelompok orang, kecuali mereka
sendiri merusak apa yang ada dalam diri mereka
sendiri. (QS Al-Anfâl [8]: 53)31

Sesungguhnya cobaan adalah cara Allah untuk
mengetahui tingkat (maqam) manusia dalam keimanan dan
menjadikannya siap memasuki surga, sebagaimana antara
lain Dia ungkapkan dalam firman-Nya: Apakah kamu
mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum
datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-
orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh
kesulitan dan kesempitan, serta digoncangkan (dengan
bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan
orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah
datangnya pertolongan Allah.” Ingatlah, sesungguhnya
pertolongan Allah itu amat dekat. (QS Al-Baqarah [2]: 214)
Dalam sebuah hadis qudsi, Allah bahkan pernah berfirman:
“Jika aku mencintai seorang hamba maka Aku turunkan
ujian (kesulitan dan kesempitan) kepadanya, agar ia
memohon kepada-Ku (agar ujian itu diangkat darinya. Dan
dengan cara ini dia mendekat kepada-Ku).”

Jadi, sekali lagi, seperti diungkapkan dalam hadis yang
dikutip di awal tulisan ini, sesungguhnya ujian tak lain
adalah tanda cinta-Nya.

Kiranya inilah, seperti terungkap di beberapa tempat
dalam Al-Quran, yang Allah maksudkan ketika menyatakan
bahwa betapa pun cobaan dan kesulitan di permukaan
tampak tidak menyenangkan, sesungguhnya di dalamnya
ada hikmah, bagi manusia yang tertimpa cobaan itu.

Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat
baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu, Allah
mengetahui sedang kamu tidak mengetahui. (QS Al-
Baqarah [2]: 216) Yang pasti, seperti tampak dalam ayat
sebelumnya, Allah akan memberikan pertolongan di
saat-saat yang tepat, apalagi Dia sendiri sudah berjanji:
Allah tidak membebani seseorang itu, melainkan sesuai
dengan kesanggupannya. (QS Al-Baqarah [2]: 286)
Sebaliknya, Allah menjanjikan kebaikan bagi orang-
orang yang sabar dalam menerima cobaan: Dan
sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu
dengan ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa,
dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang sabar. Yaitu mereka yang
apabila tertimpa musibah mengucapkan, “Kami berasal
dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.” (QS Al-
Baqarah [2]: 155-156).

Berita gembira itu, tak lain dan tak bukan, adalah makin
dekatnya perjalanan kembali kita kepada-Nya.

Pada analisis lebih jauh, bahkan sesungguhnya Allah tak
menciptakan neraka sebagai tempat penyiksaan yang di
dalamnya orang-orang yang berdosa mendapatkan
hukuman pembalasan. Sesungguhnya semua kesulitan
yang ditimpakan di neraka sebagai cobaan (bala’) yang
berfungsi bagi peningkatan kualitas seorang manusia, di
alam setelah kiamat tiba. Dan, mengingat semua yang
datang dari Allah Swt. adalah kebaikan maka hanya orang-

orang yang jiwanya kotor sajalah yang akan gagal melihat
kebaikan ini. Oleh karena itu, jadilah kebaikan itu terasa
sebagai siksa.

Dengan kata lain, manusia sendiri yang menciptakan
siksa bagi dirinya sendiri. Yakni, manusia yang memiliki
jiwa yang sakit atau kotor, akibat keburukan hidupnya di
dunia, gagal mengapresiasi kebaikan cobaan sebagai
pembersihan jiwa ini. Sama halnya dengan udara panas
bagi orang yang temperamen tubuhnya panas. Ia akan
terasa menyiksa. Akan tetapi, bagi orang yang temperamen
tubuhnya dingin, udara panas justru akan menghangatkan.
Dalam kaitan ini, perlu dipahami bahwa kata “siksa atau
siksaan” adalah terjemahan dari kata ‘adzab dalam bahasa
Arab. Kata ini berasal dari akar kata ’a-dz-b. Dari akar kata
yang sama bisa dibentuk juga kata ’adzb, yang justru
berarti “manis”, dengan kata lain sesuatu yang baik.

Bagaimana pun, fenomena neraka tetap berada dalam
kerangka kasih sayang Allah. Bukankah Allah sendiri
berfirman, “Kasih sayang-Ku meliputi segala sesuatu.”
Maka, neraka pun tak terkecualikan darinya. Azab di
neraka, sebagaimana juga azab di barzakh—bahkan juga
cobaan (bala’) di dunia—tak lain adalah purgatorio (tempat
penyucian). Yakni, tempat kotoran jiwa manusia
dibersihkan. Agar pada akhirnya manusia kembali siap
mempersepsi surga apa adanya. Yakni, sebagai sumber
kenikmatan. Masuk ke dalamnya, kembali kepada-Nya.

Memang, sebagian dari kaum Arif, azab di neraka
tidaklah abadi. Pertama, sebagian ahli menerjemahkan kata
abada dalam berbagai ayat Al-Quran yang menyebut hal
ini, bukan sebagai bermakna abadi, melainkan “berabad-
abad”. Betapa pun terasa lama, ia ada batasnya. Kalau pun
ia berarti abadi maka—antara lain, menurut Ibn ‘Arabi—
yang abadi adalah nerakanya, bukan siksanya. Kata ganti

ha dalam ungkapan khalidina fi ha abada (kekal-abadi di
dalamnya) adalah kembali kepada kata neraka (nar, yang
memang merupakan kata benda yang bersifat feminin),
bukan ‘azab (‘adzab, yang mengambil bentuk kata benda
maskulin). Dengan kata lain, kata khalidina fi ha abada
mesti diterjemahkan sebagai “(mereka) berada di neraka
secara kekal abadi”, dan bukan “mereka berada dalam
azab secara kekal abadi”. Ada saatnya neraka akan
kehilangan sifat membakarnya, persis seperti hilangnya
sifat membakar dan menyiksa dalam kasus Nabi Ibrahim
a.s.4

Bahkan, bukan tidak ada pendapat yang menyatakan
bahwa kelak Allah tak jadi melaksanakan janjinya untuk
menyiksa manusia. Karena, bukankah Allah sendiri
menyatakan: Dan balasan suatu kejahatan adalah
kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan
dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka
pahalanya dari Allah .... (QS Al-Syûrâ [42]: 40) Bagi yang
berpendapat seperti ini, jika Allah memerintahkan sikap
pemaaf seperti ini kepada manusia, mungkinkah Dia
sendiri tak melakukannya? Wal-lah a’lam bish-shawab.[]

10

Cinta Allah, Cinta Manusia

Tersebutlah seorang wanita salehah yang menjadi pelayan
di sebuah rumah. Ia senantiasa melaksanakan shalat
malam. Suatu hari, sang majikan mendengar doa-doa yang
ia baca dalam sujudnya. Katanya, “Ya Allah, aku mohon
kepada-Mu dengan cinta-Mu kepadaku agar Engkau
memuliakanku dengan bertambahnya ketakwaan di hatiku
… dan seterusnya.” Begitu ia selesai shalat, sang majikan
bertanya kepadanya, “Dari mana Engkau tahu kalau Allah
mencintaimu? Mengapa Engkau tidak kaukatakan saja, Ya
Allah, aku mohon kepada-Mu dengan cintaku kepada-Mu?”
Ia menjawab, “Wahai tuanku, kalau bukan karena cinta-Nya
kepadaku, mana mungkin Dia membangunkan aku pada
waktu-waktu seperti ini. Kalau bukan karena cinta-Nya
kepadaku, mana mungkin Dia membangunkan aku untuk
berdiri (shalat) menghadap-Nya. Kalau bukan karena cinta-
Nya kepadaku, mana mungkin Dia menggerakkan bibirku
untuk bermunajat kepada-Nya.”

***

S esungguhnya Islam memang mempromosikan
hubungan penuh cinta kasih dan kerinduan di antara
manusia dan Tuhan–persis seperti hubungan perindu dan
yang dirindui (‘asyiq dan ma’syuq). Al-Quran pun
menegaskan bahwa seharusnya cintalah yang melandasi
hubungan antara manusia dan Allah: … Barangsiapa di
antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah

akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai
mereka dan mereka pun mencintai-Nya .... (QS Al-Maidah
[5]: 54) Juga, Orang-orang yang beriman itu, sangat dalam
kecintaan mereka kepada Allah. (QS Al-Baqarah [2]: 165)
Nabi, melalui doa yang diajarkan kepada Imam ‘Ali bin Abi
Thalib—sepupu, sahabat-terkasih Nabi, dan guru para Sufi
awal—dengan sangat indah mengungkapkan hal ini: “…
kalaupun aku sabar menanggung beban-penderitaan (di
neraka) bersama musuh-musuh-Mu dan Kaukumpulkan aku
dengan para penerima siksa-Mu, dan Kauceraikan aku dari
para kekasih dan sahabat-Mu … kalaupun aku, wahai Ilâh-
ku, Tuanku, Sahabatku, dan Rabb-ku, sabar menanggung
siksa-Mu, bagaimana kubisa sabar menanggung perpisahan
dengan-Mu ....”

Kiranya “keintiman” manusia dan Allah inilah yang
dimaksud dalam sebuah hadis qudsi yang sangat populer di
kalangan para Sufi, berikut ini: “Seorang hamba mendekat
kepadaku dengan menyelenggarakan ibadah-ibadah yang
Aku wajibkan atasnya. Kemudian, ia terus mendekat
kepadaku dengan (menambah ibadahnya) dengan berbagai
amalan sunnah, hingga Aku Mencintainya. Maka, Aku akan
menjadi matanya untuk melihat, telinganya untuk
mendengar, tangannya untuk memegang, kakinya untuk
berjalan, hatinya untuk berpikir, dan lidahnya untuk
berbicara; jika ia memanggil-Ku, Aku menjawabnya; jika ia
meminta kepada-Ku, Aku memberinya .... ”

Sesungguhnya, “hubungan penuh kecintaan” ini jugalah
yang dimaksud ketika Allah berfirman, Dan tidak aku
ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk menghamba
(beribadah) kepada-Ku.

Ibn ’Abbas, salah seorang sahabat Nabi yang paling
berilmu, pernah menafsirkan kata li ya’budun (untuk
menyembah Allah) dengan li ya’rifun (untuk mengetahui

Allah). Dengan kata lain, adalah wajib, bahkan merupakan
inti tujuan penciptaan, bahwa kita harus selalu belajar
untuk mengenal Allah dengan sebaik-baiknya.

Para ulama dan kaum Sufi melanjutkan eksplorasi
tentang makna kata ‘ibâdah ini. Yakni, pemujaan. (Merujuk
padanan bahasa Inggrisnya, yakni to worship, kiranya juga
membantu memahami makna ini dengan lebih baik,
mengingat kata ini dapat diterjemahkan baik sebagai
menyembah maupun memuja. Bahkan juga mengidolakan,
menjadikan idola—ingat juga bahwa kata “idola” berasal
dari kata idol, yang bermakna sesuatu yang disembah,
berhala). Dalam bahasa Arab pun, kata ber-gender feminin
dari ma‘bûd (yang disembah)—yakni ma’budah—berarti
perempuan yang dipuja atau dicinta.

Kiranya pemberian arti ini mudah diterima, mengingat
kenyataan bahwa orang yang mencinta begitu butuh
kepada orang yang dicintainya sehingga ia siap melakukan
apa saja yang menyenangkan orang yang dicintainya.
Persis sebagaimana sikap seorang budak kepada tuannya,
seperti penyembah kepada yang disembahnya. Orang yang
mencinta memang, praktis, menyembah (menghamba)
kepada orang yang dicintainya.

Lebih dari itu, seperti terungkap dalam hadis kanz
(perbendaharaan) di atas, ada hubungan identitas antara
mengenali (Allah) dan mencinta-Nya. Bukankah
difirmankan-Nya di sana bahwa keinginan-Nya untuk
dikenali (u’raf) bersumber dari kerinduan atau kecintaan-
Nya?

Nah, sudah seharusnya setiap manusia merindukan
hubungan dengan Allah yang diikat dengan kecintaan sejati
seperti ini. Manusia kepada Allah, Allah kepada manusia.
Yakni, ketika segenap kedirian serba-duniawi kita telah

sirna oleh mujâhadah (perjuangan keras membersihkan

hati dari kotoran akibat memperturutkan nafsu duniawi),
dan jiwa kita yang telah lebur (fanâ’) dan tinggal tetap
(baqâ’) menyatu dengan-Nya. Hubungan seperti ini adalah

puncak dari seluruh perjalanan spiritual manusia (kembali

kepada Allah).[]

11

Muhammad Nabi Cinta

Tersebut seorang perempuan tua miskin, bersahaja. Setiap
hari dia mengelilingi kota untuk mengerjakan apa saja, demi
mencari nafkah ala kadarnya bagi diri dan keluarganya.
Setiap sore, dia pun mendatangi sebuah masjid yang sama,
demi membersihkan halamannya, dengan memunguti
dedaunan yang rontok dari pepohonan yang rindang di
sana. Begitulah hari demi hari, minggu demi minggu, bulan
demi bulan, dan tahun demi tahun. Sehingga semua jamaah
masjid sudah tak lagi asing dengannya.

Perempuan itu pun menjadi makin tua dan uzur. Sehingga
suatu hari, jama’ah masjid mengambil inisiatif
membersihkan halaman masjid dari daun yang berguguran,
dengan maksud membebaskannya dari pekerjaan yang
mungkin sudah mulai menjadi terlalu berat baginya.

Seperti biasa, hari itu sang ibu tua datang ke masjid.
Betapa kagetnya ketika ia mendapati halaman masjid telah
bersih dari rerontokan dedaunan. Dia pun menangis. Para
jama’ah terkejut, dan jatuh iba kepadanya. Ketika ditanya
apa gerangan yang membuatnya begitu bersedih,
perempuan itu menjawab. “Aku sudah tua, tak ada yang
bisa kulakukan untuk Kanjeng Nabi. Maka, setiap hari
kupunguti dedaunan yang rontok untuk membersihkan
halaman masjid ini. Namun, bukan itu saja yang membuatku
bersedih. Setiap saat memungut selembar daun, aku
membacakan shalawat bagi beliau. Kini tak ada lagi

kesempatan bagiku untuk menyatakan cintaku kepadanya
....”

***

M enurut Ibn ‘Arabi, puncak kemuliaan manusia–sesuai
dengan hadis takhallaqû bi akhlâq Allah—adalah
berakhlak dengan akhlak Allah. Dan Muhammad Saw.
adalah manifestasi puncak dari akhlak Allah. Suatu kali,
ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah, Siti ‘A’isyah
menyatakan, “Akhlak Rasulullah adalah Al-Quran.” Padahal,
bukanlah Al-Quran adalah manifestasi sempurna Allah Swt.
dalam bentuk firman?

Kiranya hal ini terkait erat dengan kenyataan bahwa
tajalli (teofani, manifestasi) Allah yang paling sempurna
adalah dalam Muhammad Saw. yang dalam hadis
dikatakan, “Yang pertama kali diciptakan oleh Allah adalah
(Nur) Muhammad.” Bahkan, dalam sebuah hadis qudsi
dinyatakan bahwa: “Kalau bukan karenamu (Muhammad)
maka Aku tak akan menciptakan alam ciptaan ini.”

Dengan kata lain, kesempurnaan alam semesta
diwujudkan oleh Allah dengan mengambil (kepribadian)
Nabi Saw. sebagai modelnya. Memang sesungguhnya alam
semesta diciptakan dalam citra Allah. Dalam pandangan
Ibn ’Arabi, alam ini terwujud berkat manifestasi “gagasan-
gagasan Ilahi” yang disebut sebagai al-a’yan al-tsabitah
(esensi-esensi permanen) yang menjadi bagian kesatuan
wujud Allah Swt.: Kemudian akan kami tunjukkan tanda-
tanda kekuasaan kami pada alam dan dalam diri mereka,
sampai jelas bagi mereka bahwa ini adalah kebenaran. (QS
Fushshilat [41]: 53)

Dan Nabi Muhammad menggabungkan semuanya itu di
dalam dirinya. Ya! Meski sesungguhnya semua manusia

diciptakan sebagai model alam semesta—alam adalah
makrokosmos (al-’alam al-kabir, jagad gede) dan manusia
adalah mikrokosmos (al-’alam al-saghir, jagad cilik), Nabi
Saw. adalah mikrokosmos yang paling sempurna
merepresentasikan segenap ciptaan-Nya. Itu juga
sebabnya, mengapa Nabi disebut sebagai al-insan al-kamil
(manusia paripurna) sedemikian, sehingga Allah sendiri
bersama para malaikatnya ber-shalawat atasnya, lalu
memerintahkan orang-orang beriman untuk ber-shalawat
pada beliau juga.

Apa inti kesempurnaan Nabi itu? Allah sendiri
menyebutnya: Sungguh engkau (Muhammad) berada di
atas akhlak yang agung. (QS Al-Qalam [68]: 4) Dan jika kita
simpulkan semuanya itu, kita dapat menyatakan bahwa
letak kesempurnaan Muhammad Saw. adalah bahwa
akhlaknya adalah akhlak Allah (al-takhalluq bi akhlaq
Allah).

Pernah suatu kali seseorang meminta kepada Sayidina Ali
untuk menggambarkan akhlak Nabi. Sayyidina Ali berkata,
“Allah melukiskan keindahan dunia dengan menyebutkan,
katakanlah, sesungguhnya keindahan dunia ini kecil saja”.
Akan tetapi, bagaimana Allah menggambarkan akhlak Nabi
Saw. Allah berfirman, Dan sesungguhnya Engkau
(Muhammad) memiliki akhlak yang agung. Demikian
penjelasan Sayyidina Ali.

Pada gilirannya, apa inti akhlak Nabi itu? Cinta dan kasih
sayang, persis seperti akhlak Allah. Di dalam kitab suci-
Nya, Dia kabarkan: Dan hanya karena rahmat dari Allah
maka Engkau bersikap lembut kepada mereka. Dan kalau
saja Engkau bersikap keras dan berhati kasar, niscaya
mereka semua sudah menjauh darimu. (QS Al-Imran [3]:
159) Namun, di atas segalanya, akhlak Nabi mengambil
bentuk solidaritas kemanusiaan pada tingkat yang paling

tinggi: Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang
rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya
penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan
keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang
terhadap orang-orang mukmin. (QS Al-Taubah [9]: 128)
Hidup Nabi memang dipenuhi concern (keprihatinan)
kepada manusia. Penderitaan manusia selalu dirasakannya
sebagai beban. Dia menginginkan manusia bebas dari
masalah-masalah yang menimpa mereka. Sebaliknya, dia
terus berharap dan berupaya agar setiap manusia bisa
hidup bahagia. Sedemikian, sehingga sejak sangat muda
Muhammad Saw. dia sudah menjadi tumpuan
masyarakatnya. Bahkan sebelum usia perkawinannya, dia
sudah melakukan tapa (khalwat), demi mencari solusi bagi
kejahiliyahan kaumnya. Maka, setelah menjadi Nabi dan
Rasul, seluruh hidupnya dibaktikan bagi kesejahteraan
sesamanya. Tak ada sisa bagi diri dan keluarganya hingga
di pembaringan-kematiannya, yang dia seru hanya,
“Ummatku ..., ummatku .... Apa yang akan terjadi atas
mereka sepeninggalku.” Kelak di akhirat pun, ketika
kekhawatiran oleh bayangan perhitungan Tuhan
mencengkram semua manusia, ketika bahkan para ibu
akan mencampakkan bayi-bayi mereka, Muhammad Saw.
tetap hanya akan memikirkan umatnya. Di atas sebuah
bukit dia akan memanggil ke sana-kemari. “Halumma-
halumma ... ke sinilah kalian, datanglah kepadaku agar
kalian semua mendapatkan syafaatku. Terhindar dari
hukuman-Nya, dan masuk surga semua saja.” Sedemikian,
sehingga dia sendiri meringkaskan semuanya: ”Cinta
adalah asasku”.

Kiranya, semua sifat penuh kasih dan kelembutan itu
adalah suatu kenyataan logis mengingat Tuhannya
Muhammad Saw. telah berfirman: Kami tidak mengutus
engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi
seluruh alam. (QS Al-Anbiya [21]: 107) Dia adalah utusan

Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dia adalah penopang
dan pemelihara alam keseluruhan. Lebih dari itu semua,
dialah sang insân kâmil (manusia paripurna), perwujudan
sempurna sifat-sifat (kasih sayang) Allah Swt.

Dialah exemplar par excellence Allah Swt. Dialah pintu
gerbang bagi kita untuk dapat kembali kepada-Nya.
Dengan mengikutinya dan menjadikannya teladan, maka
sesungguhnya kita sedang menjalani proses pendakian
spiritual untuk mengembangkan al-takhalluq bi akhlaq
Allah (berakhlak dengan akhlak Allah) Mencintainya adalah
mencintai Allah, mencintai Allah adalah mencintainya.
Persis seperti firman Allah Swt. yang diajarkan kepadanya,
Barangsiapa mencintai Allah, ikutilah aku. Maka Allah akan
mencintai kalian ....[]

12

Tali Cinta Manusia

Di malam hari, ia mendengarkan kata-kata ibunya yang
berdiri menghadap kiblat di sudut kamarnya. Dengan penuh
perhatian, ia mengamati ibunya shalat; bersujud, ruku’,
duduk, pada Jumat malam itu. Ia masih kanak-kanak; ia
melihat dan mendengarkan ibunya berdoa untuk seluruh
Muslim, pria dan wanita, menyebut nama-nama mereka dan
meminta agar Allah menganugerahkan rezeki, kebahagiaan,
dan rahmat pada mereka. Dengan saksama ia
mendengarkan, apakah ibunya menyebut dan meminta
sesuatu dari Allah untuk dirinya sendiri?

Anak itu adalah Imam Hasan yang terjaga hingga pagi,
tak melepaskan tatapannya dari sang ibu, Siti Fatimah.

Ia menanti-nanti, apakah ibunya akan berdoa untuk
dirinya sendiri dan apa yang akan dimintanya dari Allah
Swt.?

Fajar pun menyingsing dan malam berlalu dengan shalat
dan permohonan bagi orang lain, namun Imam Hasan a.s.
tak mendengar sepatah kata pun dari doa sang ibu, yang
ditujukan untuk dirinya sendiri.

Di pagi itu ia bertanya, “Ibu! Semalam aku mendengar
doa di sepanjang shalatmu. Ibu berdoa untuk orang lain dan
tidak meminta sama sekali untuk diri sendiri?”

Ibunya yang penuh kasih menjawab, “Anakku sayang,
pertama adalah tetangga, baru rumah kita.”

***

T ali cinta manusia dengan manusia lainnya dalam Islam
diungkapkan dengan istilah silaturahim. Ungkapan
silaturahim adalah kata majemuk yang terambil dari kata
shilâh dan rahim. Kata shilâh berakar dari kata yang
berarti menyambung dan menghimpun. Ini berarti bahwa
hanya yang putus dan yang terseraklah yang dituju oleh
kata shilâh. Sedangkan kata rahîm pada mulanya berarti
kasih sayang, kemudian berkembang sehingga berarti pula
peranakan (kandungan) karena anak yang dikandung selalu
mendapatkan curahan kasih sayang.

Terkait dengan ini Rasulullah Saw. bersabda, “Allah Azza
wa Jalla berfirman, ’Aku Al-Rahîm (Yang Maha Pengasih),
Aku telah menciptakan rahim yang Aku ambilkan dari
nama-Ku. Barangsiapa menjalin hubungan silaturahim, Aku
akan menyambungkan hubungan dengannya, dan
barangsiapa memutus hubungan silaturahim, Aku akan
putuskan hubungan dengannya.”

Pernah pula dikisahkan bahwa pada suatu kesempatan
seorang Arab Badui menghadang Nabi Saw. Di tengah
salah satu perjalanannya, lalu berkata, “Ceritakanlah
kepadaku hal-hal yang mendekatkan aku ke surga dan
menjauhkan aku dari neraka.” Nabi Saw. Menjawab,
“Sembahlah Allah dan janganlah engkau menyekutukan-
Nya dengan apa pun, dirikanlah shalat, bayarlah zakat, dan
sambunglah silaturahim.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Begitu pentingnya silaturahim ini sehingga di dalam kitab
suci-Nya Dia berfirman: Orang-orang yang melanggar
perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan
memutuskan apa (silaturahim) yang diperintahkan Allah

(kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat
kerusakan di muka bumi, mereka itulah orang-orang yang
rugi. (QS Al-Baqarah [2]: 27) Silaturahim sering dipahami
sebagai menjaga atau memelihara relasi yang baik, bahkan
sekadar saling kunjung-mengunjungi atau menjalin
komunikasi dengan berbagai macam cara. Makna
silaturahim sesungguhnya jauh lebih luas dari itu.
Silaturahim bermakna semua upaya untuk berbuat baik—
beramal salih—kepada orang. Silaturahim adalah semua
perbuatan yang kita lakukan untuk membahagiakan orang,
khususnya membantu melepaskan orang-orang dari beban-
beban yang menyengsarakan mereka. Dan ini pun tak
hanya terbatas pada keluarga atau kaum-kerabat. Meski
Islam menekankan agar kita mendahulukan kerabat dan
kaum keluarga, silaturahim tidak berhenti sampai di situ
saja. Perbuatan baik dalam kerangka silaturahim ini harus
meluas kepada manusia seluruhnya, bahkan segenap unsur
alam semesta.

“Apakah Islam yang paling baik itu?” Suatu kali Nabi
Saw. ditanya. Nabi Saw. menjawab, “Islam yang paling baik
adalah memberi makan orang yang lapar dan menebarkan
kedamaian di tengah orang-orang yang kaukenal maupun
yang asing.”

Sedemikian pentingnya silaturahim seperti ini sehingga,
di suatu kesempatan, Nabi mengajarkan kepada kita:
“Berjalan bersama orang yang memiliki hajat (keperluan
atau kesulitan, dan berusaha membantunya) lebih aku
sukai ketimbang shalat 1.000 raka’at di masjidku, di Bulan
Ramadhan Pada gilirannya, menjalin tali silatuurahim
dalam wujud amal-amal saleh yang membantu
memecahkan kesulitan manusia seperti ini justru dapat
terus memperkuat jalinan kasih sayang di antara manusia.

Bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh,
Yang Maharahim akan menanamkan di hati mereka
kasih-sayang. (QS Maryam [19]: 96) Pernah pula suatu
kali Allah swt. bertanya kepada Nabi Musa a.s., ”Wahai
Musa, mana ibadahmu untuk-Ku?” Nabi Musa a.s.
menjawab, “Sesungguhnya ibadahku adalah untuk-Mu,
ya Allah!”. “Tidak, wahai Musa!” Allah Swt. menjawab,
“sesungguhnya ibadah-ibadahmu itu adalah untukmu
sendiri.” Musa a.s. pun bertanya, “lalu, apakah
ibadahku untuk-Mu, ya Allah?” Allah menjawab,
“memasukkan rasa bahagia ke dalam diri orang yang
hancur hatinya.”

Suatu kali sahabat mendengar Nabi Muhammad Saw.
bersabda, “Orang-orang yang saling mencinta karena
mengakui kebesaran-Nya, hidupnya akan penuh cahaya,
sehingga bahkan para nabi dan syuhada iri kepadanya.”
Memang, “Tak akan masuk surga ..., kecuali kalian saling
mencinta,” begitu dinasihatkannya.

Dalam nasihat Nabi Saw. kepada sahabat yang
dijadikannya Gubernur Mesir, Malik Al-Asytar, Imam ‘Ali
menyatakan, “Insafkan hatimu agar selalu memperlakukan
rakyatmu dengan kasih sayang, cinta, dan kelembutan hati.
Jangan kaujadikan dirimu laksana binatang buas lalu
menjadikan mereka sebagai mangsamu. Mereka itu (apa
pun keyakinan agamanya) sesungguhnya hanya satu di
antara dua: saudaramu dalam agama atau makhluk Tuhan
sepertimu.”

Memang cinta dan kasih sayang identik dengan dorongan
untuk selalu memberi, bukan menuntut. Mencintai adalah
sebuah prinsip menempatkan kebutuhan dan kepentingan
kita di bawah (atau setelah) kebutuhan dan kepentingan
orang yang kita cintai. Bahkan karena cinta, kita rela
mengesampingkan kebutuhan dan kepentingan kita demi

terpenuhinya kebutuhan dan kepentingan orang yang kita
cintai. Inilah filosofi dasar cinta dan kasih sayang. Dalam
Al-Quran Allah berfirman: Dan mereka mengutamakan
(orang lain) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
sendiri memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, merekalah
orang-orang yang beruntung. (QS Al-Hasyr [59]: 9) Dengan
memberi dan berbuat baik pada manusia, kita pun akan
mendapatkan cinta-Nya. Nabi Saw. bersabda,
“Sesungguhnya umat manusia adalah kerabat Allah. Maka
barangsiapa mencintai Allah, dia akan mencintai kerabat-
Nya.” Akhirnya, dalam kesempatan lain, Nabi Saw.
bersabda: “Aku melihat sebuah hubungan persaudaraan
yang menggantung di ’Arsy (Singgasana Allah), mengeluh
di hadapan Allah mengenai seseorang yang telah
memutuskannya. Aku bertanya kepada Jibril; ‘Pada berapa
generasi di atasnyakah mereka yang bertemu?’ Jibril
menjawab, ‘Tujuh Generasi’.”

Kata “tujuh” dalam ungkapan bahasa Arab dipakai untuk
menunjukkan sesuatu yang banyak. Dalam hadis ini ia
dipakai untuk menunjukkan betapa kita perlu berbuat baik
kepada semua orang, seberapa pun jauh ia dipisahkan dari
kita dalam hubungan kekerabatan.[]

 

13

Cinta Lelaki-Perempuan

Diriwayatkan bahwa Abu Thalhah memendam rasa cinta
yang begitu besar kepada Ummu Sulaim, dan memutuskan
untuk meminangnya. Namun, meski Ummu Sulaim berkata
dengan sopan dan rasa hormat di luar dugaan, jawaban
Ummu Sulaim sungguh menyesakkan dada.

“Sesungguhnya aku tidak pantas menolak orang yang
seperti engkau, wahai Abu Thalhah. Hanya, sayang, engkau
seorang kafir dan aku seorang muslimah. Maka, tak pantas
bagiku menikah denganmu. Coba Anda tebak apa
keinginanku?”

“Engkau menginginkan dinar dan kenikmatan,” kata Abu
Thalhah.

“Sedikitpun aku tidak menginginkan dinar dan
kenikmatan. Yang aku inginkan hanya engkau segera
memeluk agama Islam,” tukas Ummu Sualim tandas.

“Tetapi, aku tidak mengerti siapa yang akan menjadi
pembimbingku?” tanya Abu Thalhah.

“Tentu saja pembimbingmu adalah Rasululah Saw.
sendiri,” tegas Ummu Sulaim.

Maka, Abu Thalhah pun bergegas pergi menjumpai
Rasulullah Saw. yang tengah duduk bersama para sahabat.
Melihat kedatangan Abu Thalhah, Rasulullah Saw. berseru,

“Abu Thalhah telah datang kepada kalian dan cahaya Islam
tampak pada kedua bola matanya.”

Ketulusan hati Ummu Sulaim benar-benar terasa
mengharukan relung-relung hati Abu Thalhah. Ummu Sulaim
hanya akan mau dinikahi dengan keislamannya tanpa
sedikit pun tergiur oleh kenikmatan yang dia janjikan.
Wanita mana lagi yang lebih pantas menjadi istri dan ibu
asuh anak-anaknya selain Ummu Sulaim? Hingga tanpa
terasa di hadapan Rasulullah Saw. lisan Abu Thalhah basah
mengulang-ulang kalimat, “Saya mengikuti ajaran Anda,
wahai Rasulullah. Saya bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang
berhak disembah, kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa
Muhammad adalah utusan-Nya.”

Menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah,
sedangkan maharnya adalah keislaman suaminya. Hingga
Tsabit—seorang perawi hadis—meriwayatkan dari Anas,
“Sama sekali aku belum pernah mendengar seorang wanita
yang maharnya lebih mulia dari Ummu Sulaim, yaitu
keislaman suaminya.”

***

Dan di antara tanda-tanda-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan
dijadikannya di antaramu rasa cinta dan belas-kasih.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar

Dterdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS Al-
Rûm [30]: 21) alam ayat yang dikutip di atas, Allah
menyebut perkawinan sebagai tanda-tanda-Nya.
Maka, kita pun bertanya, tanda-tanda apa?
Sesungguhnya apa saja yang baik, yang benar, dan yang
indah adalah tanda-tanda Allah—yang Dia sendiri
adalah yang Mahabaik, Mahabenar, dan Mahaindah.

Akan tetapi, tak ada tanda Allah yang lebih agung
daripada cinta. Karena sesungguhnya, yang merangkum
semua sifat Allah adalah cinta. “Tuhan adalah Cinta”,
demikian disabdakan dalam sebuah hadis. Nah, sebelum
melanjutkan diskusi ini, Allah sendiri telah memberikan
isyarat terhadap pertanyaan di atas dengan firman-Nya
yang lain: Dan segala sesuatu kami jadikan berpasang-
pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah.
(QS Al-Dzâriyât [51]: 49) Kata “berpasang-pasangan”
adalah terjemahan dari kata azwâj, yang berakar-kata
sama dengan kata zawâj (berarti perkawinan). Makna
asli kata ini adalah “bergabung menjadi satu,
menggenapkan”. Dengan kata lain, sebelum terjadi
pemasangan, unsur-unsur yang terlibat belumlah genap,
yakni masih merupakan pecahan. Terkait dengan
makhluk manusia, “kebelum-genapan” atau
“keterpecahan” ini membuatnya selalu rindu untuk
mendapatkan unsur lain penggenapnya, yang dengan
demikian menjadikan dirinya tak lagi belum genap atau
terpecah.

Nah, kerinduan seorang laki-laki terhadap seorang
perempuan, dan sebaliknya, adalah tanda (sekaligus
pengingat) bagi kerinduan yang seharusnya hadir dalam
hubungan manusia dengan Allah Swt. Cinta Allah kepada
manusia dan alam semesta, serta cinta manusia kepada-
Nya. Cinta yang tulus, yang berintikan kebahagiaan dalam
berbakti kepada yang dicintai, dan seharusnya tercipta
dalam perkawinan akan memberikan kilasan tentang cinta
dan kerinduan yang seharusnya mewarnai hubungan setiap
makhluk dengan Sumbernya.

Sesungguhnya orang-orang beriman itu amat dalam
cintanya kepada Allah. (QS Al-Baqarah [2]: 165)
Memang, Allah Swt. telah menciptakan manusia dengan
fitrah kecintaan kepada-Nya. Bukankah, manusia

menyimpan di dalam dirinya tiupan Ruh-Nya, bagian
Diri-Nya? Maka, seperti tetesan-tetesan air, entah itu air
sungai, air hujan, atau embun pagi, ia selalu rindu
untuk kembali ke laut, sumbernya. Sesungguhnya, yang
benar-benar merupakan soul mate (belahan jiwa)
manusia adalah Allah Swt. Hanyalah bungkusan aspek
fisik manusia dan keterikatan dengan badan yang terus
didorong-dorong oleh nafsu saja yang menyebabkannya
lupa kepada Kekasih-sejatinya ini.

Sekali lagi, perkawinan, pemujaan, dan cinta-kasih yang
tulus, yang seharusnya terkembang dalam sebuah
perkawinan yang baik adalah tanda hubungan pemujaan
dan penuh kasih antara manusia dan Allah Swt. Sebuah
penanda yang pada gilirannya, semestinya dapat
mengingatkan setiap laki-laki atau perempuan yang saling
mencinta itu akan cinta sejatinya.

Jadi, perkawinan dalam Islam memiliki nilai spiritual
yang amat mendalam, bukan saja karena ia adalah
tindakan menyalurkan syahwat dalam bingkai aturan
syari‘ah, bahkan juga bukan hanya sebuah bentuk
hubungan kasih sayang yang memang dianjurkan Islam.
Jauh lebih dalam dari itu, perkawinan adalah tanda Allah
yang melaluinya, manusia diingatkan akan hubungan
penuh kecintaan-nya dengan Kekasih-sejatinya itu.

Ini sebabnya Rasulullah Saw. menyatakan, “Tiga hal dari
duniamu telah dibuat menyenangkan bagiku, yakni
perempuan, wewangian, dan shalat. (Tetapi) cahaya
mataku terdapat dalam shalat.” Dia menyebut shalat
terakhir karena shalat adalah tujuan dari ketiganya.
Artinya, perempuan (istri) dan wewangian menenangkan
serta memperkuat hati5 yang dengan kekuatan hati itu,
beliau menyibukkan diri dengan (ibadah) shalat dan
mendapatkan cahaya-mata (kecintaan)-nya di situ.

Selain sebagai sarana manusia untuk beranak-pinak agar
para pelakunya melalui kehidupan dunia ini di jalur agama,
ia juga adalah sarana mendapatkan ketenteraman dan
ketenangan. Akan tetapi, di atas segalanya, ia adalah
sarana untuk mencapai puncak tujuan kehidupan, yakni
beribadah kepada Allah dan memujanya, sesuai dengan
firman-Nya dalam QS Al-Dzâriyât [50]: 56: Dan tak kami
ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.6[]

 

 

2 “Awal” di sini tentu maksudnya bukanlah awal dalam
waktu serial (zaman) karena Tuhan tidak terikat waktu. Dia
tak pernah berubah. Awal di sini terkait dengan sifatnya
sebagai sumber, asal-muasal segala sesuatu, yang selalu
dalam keadaan yang sama dan tak pernah berubah.

3 Penafsiran ini—yakni mengartikan kata “ma” (apa-apa)
sebagai kebaikan—dipilih dengan merujuk secara
perbandingan (muqâran) dengan ayat berikut ini.

Sesungguhnya Allah tak sekali-kali merusak nikmat yang
telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, kecuali jika
kaum itu merusak apa yang ada dalam diri mereka. (QS
Al-Anfâl [8]: 53)

4 Siksa Kekal Abadi pun sesungguhnya bisa ditafsirkan
sebagai suatu perasaan (kesedihan) kejiwaan yang timbul
dari perasaan ketiadaan harapan bagi membaiknya
keadaan, atau suatu perasaan hampa psikologis, perasaan
ketiadaan makna hidup sebagaimana dialami penderita
depresi. Persis seperti dalam firman-Nya: Dan adakah yang
membuatmu tahu tentang huthamah. Itulah api Allah yang

menyala. Yang jilatannya sampai ke hati .... (QS Al-
Humazah [104]: 5-7)

5 Menurut Al-Ghazali, hati manusia memperoleh ketenangan
dan keintiman bercengkrama dengan pasangannya.
Ketenangan ini dapat meningkatkan hasrat untuk
beribadah karena kegiatan untuk beribadah dapat
menguras tenaga dan menimbulkan kelelahan.
Ketenangan yang diperoleh dengan cara ini memulihkan
kekuatan hati. Sayyidina ‘Ali r.a. berujar, “Jangan
sepenuhnya menghilangkan kerehatan dan ketenangan
hati agar ia tak menjadi buta.”

Kadang terjadi, jiwa Rasulullah merasakan beban berat
ketika menerima wahyu, dan beliau Saw. akan memegang
tangan ‘Aisyah dan berkata, “Bicaralah kepadaku,
‘Aisyah.” Kemudian, beliau mendapatkan kembali
kekuatannya maka kehausan untuk melanjutkan dakwah
dan beribadah kepada Allah akan menguasainya kembali,
dan beliau akan berkata, “Buat kami senang, wahai Bilal,”
dan beliau pun akan kembali melakukan shalat.

6 Ada perbedaan penting antara seorang pemikir Sufi seperi
Imam Al-Ghazali dan seorang ‘arif seperti Ibn ‘Arabi. Meski
melihat manfaat perkawinan sebagai sarana penghiburan,
Imam Al-Ghazali cenderung melihat hubungan seksual
suami-istri sebagai sah, sejauh untuk menyalurkan
syahwat yang memang diciptakan Allah dalam rangka
kebutuhan manusia untuk beranak-pinak—bukan untuk
sepenuhnya memuaskannya. Berbeda dengan itu, Ibn
‘Arabi bahkan lebih jauh melihat bahwa hubungan seksual
suami-istri yang terjadi di dalamnya, ketika ia berlangsung,
sebagai hubungan seksual murni yang—meski pada
puncaknya adalah kesadaran ketuhanan yang lebih kuat—
bertujuan mendatangkan kebahagiaan (baca: kenikmatan)
yang luar biasa. Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi menyatakan

bahwa kuasa kenikmatan (qahr al-ladz-dzah) seksual yang
mendominasi, menundukkan, dan membuat tak berdaya
pelakunya mengajarkan kepada keduanya perasaan
’ubudiyah (kehambaan atau ketundukan) manusia kepada
Allah. Yakni, ’ubudiyyah yang pada puncaknya sejalan
dengan makna ayat tentang penciptaan manusia yang
dikutip di atas. Inilah juga rahasia mengapa Allah
menggambarkan kebahagiaan di surga, antara lain dalam
bentuk kenikmatan seksual. Jika kita ikuti pandangan Ibn
’Arabi ini, hal ini sekaligus memberi tahu kita bahwa,
sebaliknya dari melihat hubungan seksual (suami-istri)
sebagai sesuatu yang tabu. Islam memandangnya sebagai
sesuatu yang sakral. (memang, Islam hanya melihat
hubungan seksual sebagai sesuatu yang buruk jika ia
dilakukan tidak dalam bingkai syari’ah. Karena, siapa yang
dapat mengatakan bahwa hubungan seksual adalah buruk
jika ia dilandasi cinta yang tak kurang-kurang bersifat
spiritual?).

Lampiran 2:

Mahabbah, Syawq, Musyâhadah,
Mukâsyafah, Mawâ‘izh, dan Zawâjir1

—Al-Ghazali

 

Mahabbah (Cinta)

Mahabbah (cinta) itu—pertama-tama—ada dan berlaku

di antara Allah dan para walinya. Al-Quran telah
mengisyaratkan hal itu. Allah Swt. Berfirman, Adapun
orang-orang yang beriman itu sangat cinta kepada Allah
(QS Al-Baqarah [2]: 165). Allah mencintai mereka dan
mereka pun mencintai-Nya (QS Al-Mâidah [5]: 54).

Jika Anda berkata dan nafsu Anda yang buruk itu

memberontak, “Bagaimana engkau mencintai orang yang

tidak engkau lihat dan ia bukan dari jenismu?”

Sesungguhnya Anda mencintai Sang Pencipta melalui

keindahan ciptaan-ciptaan-Nya yang tampak.

Perhatikanlah tanah yang luas beserta isinya berupa

berbagai lukisan indah, sayuran, pepohonan, buah-

buahan, dan sungai-sungai. Lihatlah angkasa dan

seisinya berupa pergantian siang dan malam; matahari,

bulan, serta planet-planet yang besar dan yang kecil. Ini

semua merupakan tanda-tanda ciptaan Pencipta dan

bukti keabadian Keberadaan-Nya. Mahasuci Tuhan Yang

Mencipta segala ciptaan. Bahkan, diri Anda akan takjub

manakala Anda memikirkan yang lebih agung dari yang

Anda lihat dan Anda dengar. Yang menunjukkan kepada
Anda sebagai bukti terkuat dalam kecintaan kepada-Nya
adalah kenikmatan orang yang mendengarkan kalam-
Nya. Sebab, ia merupakan mukjizat yang tiada
bandingannya. Dengan itu, ditunjukkan kecintaan kepada
Yang Maha Berbicara. Tidaklah Anda pernah mendengar
syair berikut:

Ka‘ab berkata kepada teman-temannya
wahai kaumku, betapa menakjubkan jiwa ini
apakah manusia cinta pada yang tak terlihat
maka kukatakan, dan air mataku meleleh
Jika mataku tak melihat sosoknya
tetapi ia terbayang di dalam kalbu

 

Syaikh Abû Al-‘Ala’ Al-Ma’arî mendendangkan syair:

 

Wahai kaum, kupingku mencintai makhluk
kadang kuping jatuh cinta sebelum mata
Jika mata yang di depannya menjadi sakit
ia membunuh kita dan tak menghidupkan lagi
membanting orang yang berakal hingga tak berkutik
padahal ia ciptaan Allah yang paling lemah

 

Adapun hadis-hadis yang menunjukkan pada hal itu
amatlah banyak. Saya telah menyebutkan di dalam Ihyâ’
‘Ulûmiddîn. Sebagai isyarat dari sejumlah itu, saya
sebutkan beberapa hadis saja.

Di dalam sebuah hadis, diriwayatkan bahwa Allah Swt.
berfirman, “Berdusta orang yang mengaku mencintai-Ku,

yaitu orang yang apabila malam telah gelap, dia tidur
(lalai) dari-Ku.” Di dalam hadis lain disebutkan bahwa
Allah Swt. berfirman, “Hamba-Ku yang mukmin
senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-
ibadah sunnah sehingga Aku mencintainya. Apabila Aku
telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang
dengannya dia mendengar dan menjadi penglihatannya
yang dengannya dia melihat.”

Ketahuilah bahwa hubb (cinta) dan ‘isyq (kerinduan)
adalah satu makna. Yang utama di dalam hal itu adalah
cinta membara seseorang kepada kekasihnya, yaitu
pandangan yang menganggap baik segala hal karena api
cinta yang menembus pikiran hingga mengobarkan api
mujâhadah. Lalu, muncul asapnya di balik bagian
belakang otak, tampak isyarat-isyarat pikiran tentang
cinta dari bagian depan ubun-ubun dan terbuka pintu-
pintu kekosongan kalbu. Dudukkanlah khayalan kekasih
di depan ‘ayn al-yaqin. Jiwa mengkilapkan cermin
mujâhadah (perjuangan melawan hawa nafsu) di dalam
memandang keindahan kekasih.

Asalnya di dalam mahabbah adalah kebersamaan,
keakraban, dan kepercayaan pada ucapan kekasih. Ketika
itu, keinginan pendambaan berkobar dengan nyala api
kerinduan. Lalu, keadaan ‘isyq mengalahkannya. Jadilah,
di jalan-jalan itu, dia tergila-gila pada sesuatu yang
menjadi cahaya melankolis. Ucapan bercampur aduk,
rongga tenggorokan terbakar, dan langit kalbu tertutup
karena penampakan rembulan kekasih. Kekasih itu tetap
merindukan, mencintai, dan kebingungan terhadap
penampakan keagungan kekasih. Ketika rongga-rongga
tenggorokan itu terbuka, pasangan mempelai kalbu
berhamburan dan pasangan angan-angan menari di
majelis keintiman (al-wishâl). Seruling harapan ditiup

dan kecapi harap-harap cemas dipetik, sebagaimana
dikatakan penyair:

Kuharapkan hingga ia terbayang
aku bimbang seakan telah memanggil,
tetapi ia tetap diam
Kuharapkan hingga ia kuimpikan
jangan kalian lupa bahwa Allah mengampuni
dan celalah jika kalian shalat di tempat ia shalat
Alangkah baiknya jika aku jadi batu dinding masjid
sungguh mulia karena di situ ia shalat dan berkuasa

Kemudian, debu bergerak, Anda melihat asap harapan.
Asap kepayahan menguat, Anda melihat kebimbangan di
dalam kalbu. Di sana, tidak ada ratapan dan tidak pula
ketenangan. Tampak kekurusan dan kepucatan. Terlihat
bekas-bekas keterjagaan. Api kerinduan menyebabkan
badan kurus. Al-Mughnî melantunkan syair:

Wajah orang yang jatuh cinta sudah dikenal
sebab ia pucat dan kurus
Tak seperti yang menampakkan tubuhnya
seakan hewan untuk sembelihan

Di dalam sebuah hadis disebutkan, “Pada setiap malam,
seorang penyeru menyeru, ‘Ketahuilah, bahwa Allah
melaknat orang yang banyak makan dan banyak tidur.’
Apakah anak Adam diciptakan untuk itu?” Merasa
cukuplah dengan yang sedikit agar menjadi ringan
penghisaban Anda, sehat tubuh Anda, sedikit penyakit
Anda, menjadi baik perangai Anda, dan terjaga diri Anda
dari kemaksiatan. Perbanyaklah ibadah-ibadah sunnah,
niscaya Anda beroleh kemenangan dan keselamatan.

 

Syawq dan Mukâsyafah (Kerinduan dan
Ketersingkapan)

Syawq (kerinduan) merupakan pendorong bagi
keadaan mukâsyafah (ketersingkapan). Syawq adalah
harapan untuk bertemu dengan kekasih. Sedangkan
pertemuan dengan kekasih tidak diperoleh, kecuali
dengan mukâsyafah. Mukâsyafah itu ada dua, yaitu
dengan penglihatan dan dengan perasaan kalbu. Ia
merupakan penampakan diri kekasih di dalam keadaan
yang dirasakan kalbu pencinta. Namun, mukâsyafah
dengan penglihatan adalah lebih utama, tetapi dengan
syarat adanya gabungan antara perasaan kalbu dan
penglihatan, seperti keadaan Rasulullah Saw. Pada
malam Isrâ’, Allah tersingkap baginya melalui
penampakan diri dengan perasaan kalbu dan dengan
penglihatan—menurut dua riwayat yang sahih dari Siti
‘Aisyah, Imam ‘Alî, dan Ibn ‘Abbâs. Hakikat mukâsyafah
adalah memandang kekasih. Namun, hal ini berbeda-
beda menurut kadar tingkatan para pencinta. Pandangan
manusia itu tidaklah sama. Yang paling rendah tingkatan
mereka adalah pandangan dengan perasaan kalbu.
Adapun pandangan dengan penglihatan pada suatu kaum
merupakan ‘aradh (aksiden, bukan esensi) yang tidak
menetap. Yang paling agung di antara kedua kedudukan
itu adalah gabungan antara pandangan dengan
penglihatan dan perasaan kalbu. Apabila tabir-tabir
kelalaian terangkat, kekasih akan menampakkan diri.
Pencinta menjadi lenyap hingga keluar dari tabir
kemanusiaan dan hijab jasmani. Lalu, dia melihat hijab
dan mendengar perkataan, Tidak ada bagi seorang
manusia pun bahwa Allah berkata-kata dengan dia,
kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang hijab
(QS Al-Syurâ [42]: 51). Ketika itu, terdengar olehnya
perkataan dari langit yang menyingkap baginya semua

yang terjadi pada makhluk. Jadilah dia memiliki sifat
seperti Nabi Isa. Aku kabarkan kepada kalian apa yang
kalian makan dan apa yang kalian simpan di rumah
kalian (QS Ali Imran [3]: 49). Para malaikat dan bangsa
jin yang beriman tunduk pada perintah-Nya dan menaati-
Nya. Celah yang ada di antara dia dan Allah pun
terkoyak. Dari celah itu, dia mengetahui kejernihan
rahasia segala ciptaan.[]

 

 

1 Risalah Al-Ghazali, Pustaka Hidayah, 2010, h. 215.



Bagian 3

Sumber-Sumber
Kebahagiaan

14

Kesucian Fitrah

Syahdan, di suatu masa, berkuasa seorang tiran yang sangat
jahat. Rakyat menderita luar biasa di bawah kekuasaannya.
Hingga suatu saat, sang tiran menjelang ajalnya. Dia pun
memanggil perdana menteri kerajaannya dan
memerintahkan, “Nanti, setelah aku mati bakarlah jenazahku
dan tebarkan abunya di tujuh lautan.” Rupanya, dalam
kejahatannya yang luar biasa, fitrah sang tiran tetap
berbicara. Ia tetap takut dan percaya pada perhitungan
(hisab) oleh Allah Swt. atas segala perbuatannya. Konon,
karena ketakutannya kepada Allah itu, Allah mengampuni
dosa-dosanya dan memasukkannya ke surga.

***

Dan hadapkanlah wajahmu dengan hanif kepada agama
Allah. (Tetaplah atas) fitrah Allah yang manusia
diciptakan atasnya. Tak sekali-kali ada perubahan dalam
ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus .... (QS Al-Rûm
[30]: 30)

K ata fitrah—bahasa Arab fith-rah—berasal dari akar kata
f-th-r. Arti kata ini adalah “keawalmulaan sesuatu,
sementara sebelumnya sesuatu itu tidak ada”. Dengan kata
lain, “sesuatu yang tercipta untuk pertama kalinya dan tanpa
preseden (contoh)”. Sinonimnya adalah al-khalq atau atau al-
ibda’. Contohnya, air susu yang pertama kali keluar dari
induk unta disebut sebagai fithr. Maka dalam ayat di atas,
fitrah berarti unsur manusia yang diciptakan pertama kali.

Bukan itu saja, fitrah manusia itu tak pernah berubah
sepanjang hidupnya--dengan kata lain, selama-lamanya.
Bukan kebetulan juga bahwa makna lain kata fitrah adalah
cetakan atau patrian, yang sekali dicetak atau dipatri, tak
akan bisa diubah atau dilepaskan.

Di atas semuanya itu, penting kita sadari bahwa
sesungguhnya unsur kemanusiaan-bawaan, tak lain dan tak
bukan, terbentuk atas model sifat atau “tabiat”—yakni fitrah
—Allah sendiri.

Selanjutnya, disebutkan juga dalam ayat 30 tersebut,
bukan saja bahwa fitrah manusia merupakan perwujudan ruh
Allah, tetapi ia juga identik dengan agama itu sendiri,
tepatnya “agama yang lurus”. Yakni, suatu pandangan dunia
(world-view atau weltanscahauung) dan cara hidup (way of
life) yang benar, yang berorientasi keimanan kepada Allah,
dan kepada kebenaran—suatu cara pandang dan cara hidup
yang, dalam ayat yang sama, disebut juga dengan cara hidup
yang hanif.

Dalam analisis lebih jauh, kita mendapati bahwa fitrah
memiliki dua unsur utama dan fundamental. Pertama,
keimanan kepada Tuhan sebagai Rabb kita, sebagai Pencipta
dan Perawat kita: Dan ingatlah ketika Allah mengeluarkan
(cikal-bakal) anak-cucu Adam dari punggung atau tulang
sulbi ayah-ayah mereka (yakni di alam sebelum alam dunia
ini) dan menarik persaksian atas diri mereka, “Bukankah Aku
ini Rabb-Mu?” Mereka pun berkata, “Benar, kami bersaksi.”
Agar kelak mereka tidak berkata, “Sesungguhnya mengenai
hal ini kami lupa.” (QS Al-A’raf [7]: 172) Unsur kedua fitrah
adalah pengetahuan tentang jalan kebaikan dan jalan
keburukan yang telah diilhamkan kepada manusia sejak awal
penciptaannya: Dan demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaan)-
Nya. Maka diilhamkan kepadanya jalan keburukan dan jalan
ketakwaannya. Pasti berbahagia siapa saja yang memelihara
kesuciannya, dan pasti sengsara siapa saja yang

mengotorinya. (QS Al-Syams [91]: 7–10) Berdasarkan itu
semua, kita dapat menyimpulkan bahwa setiap manusia
diciptakan dengan kecenderungan bawaan beriman kepada
Allah dan kepemilikan pengetahuan tentang kebaikan atau
ketakwaan dan keburukan. Akan tetapi, yang lebih penting
dari itu adalah bahwa kepenuhan dan kebermaknaan hidup
kita, yakni kebahagiaan kita, terletak dalam keberhasilan
kita memelihara kesucian keyakinan kita kepada-Nya dan
kemampuan kita dalam berbuat baik dan menghindar dari
keburukan–yang pengetahuan tentangnya telah diilhamkan
kepada kita tersebut. Kegagalan dalam hal ini–jauhnya kita
dari Tuhan, dan kurangnya orientasi amal saleh dalam
kehidupan kita—hanya akan meninggalkan kehampaan hati,
betapa pun mungkin kehidupan kita berlimpah materi dan
dikerumuni banyak orang. Karena, bukankah
kecenderungan-kecenderungan ini telah menjadi fitrah
(tabiat-bawaan) hidup kita yang tak akan pernah berubah?

Inilah kiranya yang dimaksud William James, seorang filsuf
dan psikolog Amerika awal abad 20 ketika menulis dalam
buku-klasiknya, Varieties of Religious Experience bahwa
betapa pun kehidupan akan menarik manusia ke arah yang
bertentangan (materialistik), dan betapa pun dikerumuni
banyak orang, manusia tak akan pernah berbahagia sebelum
ia bersahabat dengan The Great Socius (Sang Kawan Agung)
Tuhan![]

 

 


Click to View FlipBook Version