21
Hidup dengan Akhlak Mulia
Suatu kali, Khalifah Umar bin Abdul Aziz menghampiri seorang
anak yang sedang menggembalakan kambing milik
majikannya. Khalifah melihat ada puluhan kambing yang
digembalakan anak muda itu. Untuk menguji kejujuran si
anak muda, Khalifah Umar berkata, “Wahai anak muda,
maukah kaujual satu kambingmu kepadaku?” Anak muda
tersebut menjawab, “Kambing-kambing ini bukan milikku,
tetapi milik majikanku.” “Tapi,” kata Khalifah Umar, “kalau
kaujual satu saja, pasti majikanmu tidak akan tahu.” Anak
muda itu menatap khalifah Umar sambil berkata, “Memang
majikanku mungkin tidak tahu, tetapi Allah Swt. akan tahu.”
***
R asulullah Saw. menyatakan bahwa, “Kebaikan adalah
apa-apa yang jika kamu lakukan, hatimu tenang
(damai), sedang kejahatan adalah apa-apa yang jika kamu
lakukan, hatimu gelisah.” Memang, ketenangan dan
kedamaian hati hanya bisa diraih oleh orang yang memiliki
integritas. Kata “integritas” berasal dari “integer” (integer),
berarti bulat, penuh, sebagaimana bilangan bulat disebut
integer. Makna umumnya adalah kesetiaan kepada moralitas
(kebaikan), yang tanpa itu orang tak dapat menikmati hidup
yang penuh, damai, atau bahagia (fulfilled). Intinya adalah
penyatuan perkataan dengan perbuatan, yakni keserasian
antara pernyataan tentang nilai-nilai moralitas atau budi
pekerti yang diyakini dan kenyataan tindakan-tindakan yang
dilakukannya. Orang yang mempunyai integritas akan
memiliki budi pekerti yang luhur karena sesungguhnya
setiap manusia yakin akan keniscayaan budi pekerti yang
luhur. Sementara orang yang tak memiliki integritas dalam
praktiknya memiliki budi pekerti yang rendah, bertentangan
dengan apa yang diyakini setiap orang.
Orang yang tidak mempunyai integritas seperti ini otomatis
akan mengembangkan kepribadian yang terpecah (split
personality). Dalam bahasa kitab suci Al-Quran, dikatakan,
Sungguh besar murka Allah (atasmu, jika) kamu mengatakan
apa-apa yang kamu tak (berkeinginan) untuk melakukannya.
Jika surga kita pahami sebagai perolehan ridha (ridhwan)
Allah Swt. maka sesungguhnya murka Allah sama dengan
neraka atau kesengsaraan hidup.
Dalam terminologi Islam, kiranya bisa dikatakan bahwa
kepemilikan integritas sama dengan kepemilikan akhlak yang
baik atau terpuji (al-akhlaq al-karimah). Makna kebahasaan
akhlaq atau (bentuk-tunggalnya) khuluq itu sendiri sudah
mengisyaratkan pada pengertian yang mendasar itu. Satu
akar kata dengan khalq (penciptaan), khaliq (pencipta), dan
makhluq (ciptaan), istilah akhlaq atau khuluq mengacu pada
pandangan dasar Islam bahwa manusia—sebagai “sebaik-
baik ciptaan” (ahsanu taqwim)—diciptakan dalam (memiliki
kecenderungan kepada) kebaikan, kesucian, dan kemuliaan.
Maka, seperti disinggung sebelumnya, orang yang memiliki
integritas sesungguhnya adalah orang yang tindakannya
baik, sesuai dengan keyakinannya akan fitrah kebaikan
manusia.
Begitu pentingnya peran akhlak dalam ajaran Islam,
sehingga Nabi Muhammad menyederhanakan seluruh tugas
risalahnya sebagai tugas penyempurnaan akhlak. “Aku ini
diutus hanyalah untuk menyempurnakan budi pekerti luhur.”
Dalam sabdanya yang lain, beliau bahkan mengajarkan,
“Yang paling banyak memasukkan orang ke surga adalah
ketakwaan (berakhlak mulia) dan amal saleh.” Akhlak yang
baik adalah konsekuensi dari iman. Maka, tak bisa dikatakan
beriman seseorang yang tidak memiliki akhlak yang baik.
Nabi Saw. bersabda, “Orang yang imannya paling sempurna
adalah orang yang terbaik akhlaknya.” Bahkan sulit untuk
memisahkan iman dari akhlak yang baik. Maka, tidak ada
iman yang absah bisa diterima oleh Allah Swt., kecuali
terwujud dalam akhlak yang baik.
Akhlak menyangkut perilaku yang bersifat individual dan
sosial. Akhlak individual berarti kebersihan hati dan
kepenuhan hati dengan rasa cinta dan kasih sayang, baik
kepada Allah, sesama manusia, maupun seluruh unsur alam
semesta selebihnya. Sedangkan akhlak sosial berarti amal
saleh, yakni semua karya untuk memperbaiki kondisi
lingkungan, termasuk mengatasi kemiskinan, penindasan,
perbaikan kualitas pendidikan, perusakan lingkungan, dan
kemerosotan akhlak.
Dari uraian ringkas di atas, tampak dengan jelas bahwa
bukan saja kebahagiaan kita di akhirat dipertaruhkan dengan
cara kita berbudi pekerti, baik sebagai individu maupun
anggota masyarakat, bahkan kebahagiaan kita di dunia ini
juga sepenuhnya bergantung padanya. Orang yang berakhlak
baik, yang memiliki integritas yang tinggi, adalah orang yang
hidup sebagai manusia yang utuh dan penuh. Dan hanya
manusia yang utuh yang bisa hidup dalam keseimbangan dan
kestabilan dalam ketenteraman dan kebahagiaan.[]
22
Menebar Amal Saleh
Suatu kali, di tengah perjalanan, Syaqiq Al-Balkhi bersama
gurunya, Ibrahim bin Ad-ham, menemukan seekor burung
yang menggelepar-gelepar di atas tanah karena patah
sayapnya. Belum sempat keduanya berbuat sesuatu,
datanglah seekor burung lain yang kemudian melolohkan
makanan ke burung yang patah sayapnya itu. Kemudian
Syaqiq berkata, seolah pada dirinya sendiri, “Kenapa aku
khawatir tentang rezekiku padahal Allah telah menjamin
rezeki seekor burung yang telah patah sayapnya.” Mendengar
itu, Ibrahim bin Ad-ham berkata, “Aneh kamu, wahai Syaqiq.
Kenapa hanya kamu lihat burung yang patah sayapnya itu,
tetapi tidak kamu lihat burung yang sehat yang dapat
memberi makan kepada sesamanya yang membutuhkan?”
Dengan itu, sang guru seperti hendak memberi tahu
muridnya bahwa melakukan amal saleh dengan apa-apa yang
kita miliki adalah lebih baik ketimbang bersikap pasrah.
***
A llah menciptakan hidup agar kita mengisinya dengan
memperbanyak amal-amal saleh. Amal saleh ini Dia
sebutkan sebagai modal bagi terpenuhinya harapan kita
untuk dapat bertemu (kembali) dengan-Nya.
Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya,
hendaklah dia beramal saleh .... (QS Al-Kahfi [18]: 110)
Kata saleh (shalih) berasal dari kata shalaha yang
bermakna baik, memiliki manfaat, atau sehat, dan ditemui
terulang sebanyak 180 kali dalam Al-Quran. Amal saleh
dapat dipahami sebagai setiap tindakan yang memberikan
manfaat, menyelesaikan, atau menghilangkan kesulitan
dan membuahkan perbaikan (kerusakan). Lebih dari
“sekadar” berbuat baik, seorang yang saleh selalu bekerja
keras, menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya dan
memberikan kontribusi kepada masyarakat, untuk
membuat perbedaan dalam kehidupan manusia. Begitu
sentralnya konsep amal saleh ini sehingga—di antara 180
ayat yang mengandung kata ini dalam Al-Quran—Allah
Swt. banyak sekali mengaitkannya dengan keimanan
dalam satu napas.
Barangsiapa yang melakukan amal saleh, baik pria
maupun wanita dalam keadaan ia beriman maka pasti
akan kami hidupkan ia dengan al-hayat al-thayyibah
(hidup bahagia). (QS Al-Nahl [16]: 97) Ayat di atas dengan
gamblang mengajarkan kepada kita bahwa Allah akan
menganugerahkan kebahagiaan hidup, bukan hanya di
surga, melainkan di dunia ini kepada orang-orang yang
beramal saleh. Jaminan kebahagiaan bagi orang-orang
yang beramal saleh bahkan diungkapkan sekali lagi dalam
suatu ayat berbeda, sebagai berikut: Orang-orang yang
beriman dan beramal saleh, bagi mereka kebahagiaan
dan tempat kembali yang baik (QS Al-Ra‘d [13]: 29) Masih
di dalam Al-Quran, di tempat lain Allah Swt. berfirman:
Harta dan anak-anak—yang sukses dan membanggakan—
adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amalan-amalan
yang kekal lagi saleh (al-baqiyat al-shalihat) adalah lebih
baik imbalannya di sisi Tuhanmu, dan lebih baik untuk
dijadikan harapan. (QS Al-Kahfi [18]: 46) Menurut
sebagian mufasir, istilah al-baqiyat al-shalihat juga bisa
dipahami sebagai (sumber) kebahagiaan.
Sementara itu, di dalam surah Al-‘Ashr, Allah menyatakan
bahwa orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta
saling menasihati tentang kebenaran dan kesabaran,
dikecualikan dari kerugian: Demi waktu. Sesungguhnya
manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang
beriman dan beramal-saleh. Juga yang saling menasihati
dalam kebenaran dan dalam kesabaran. (QS Al-‘Ash [103]: 1-
3) Dalam sebagian tafsir, pengaitan amal saleh dan waktu
menunjukkan perintah agar kita mengisi waktu hidup kita
dengan sebanyak-banyak amal saleh. Sehubungan ini,
Rasulullah Saw. bersabda, “Bagi orang mukmin, tidak henti-
hentinya kesibukan (beramal saleh) datang kepadanya
hingga maut menjemputnya.”
Kiranya ini sejalan dengan apa yang difirmankan Allah Swt.
di dalam surah Al-Insyirâh ayat 7-8, Dan jika kamu telah
selesai (dengan suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh
urusan yang lain. Dan hanya kepada Allahlah kamu berharap.
Pada kenyataannya, persis seperti inilah yang diajarkan
Rasulullah Saw. lewat hidupnya yang secara keseluruhan
dibaktikannya untuk selalu memperbaiki keadaan
masyarakat, menghilangkan kesulitan dan mendatangkan
kebaikan bagi mereka.
Maka, marilah kita mengisi hidup kita dengan amal-amal
saleh agar Allah memberkahi hidup kita di dunia dan di
akhirat dan menjadikannya dipenuhi dengan kebahagiaan
yang sejati.[]
23
Menjadikan Kerja sebagai Passion
(Cinta) Tersebutlah tiga orang tukang
batu yang bekerja berdampingan
membangun sebuah dinding yang
sama. Ketika salah satunya ditanya
tentang apa yang sedang dia kerjakan,
si tukang batu pertama menjawab,
sedang mendirikan tembok. Yang
kedua menjawab, sedang membangun
rumah. Sementara yang terakhir
menyatakan bahwa dia sedang
membangun sebuah tempat tinggal
agar keluarga muda yang akan
menempatinya dapat hidup dengan
nyaman dan penuh kebahagiaan.
***
J ika dilihat dengan kasat mata, tampak bahwa ketiga
tukang batu itu sedang mengerjakan pekerjaan yang
sama: menata dan melekatkan bata demi bata dengan semen.
Akan tetapi, jika kita lihat dari cara mereka memberi makna
terhadap apa yang mereka kerjakan, kita akan melihat
betapa berbedanya sikap yang mereka tunjukkan kepada
pekerjaan mereka. Yang pertama tak melihat pekerjaannya,
kecuali semata-mata sebagai gerakan fisik, yang bisa juga
dikerjakan oleh hewan atau robot. Yang kedua sudah
menyadarinya sebagai sebuah pekerjaan kreatif. Namun,
makna maksimum telah diberikan oleh tukang batu ketiga
ketika dia melihat pekerjaannya sebagai wujud kecintaannya
kepada orang lain, yakni dalam bentuk keinginan
memberikan tempat tinggal yang nyaman dan
membahagiakan bagi calon penghuninya.
Maka, kita pun dengan mudah dapat meramalkan,
manakah di antara ketiga tukang batu itu yang akan
melahirkan performa yang maksimum, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif?
Kerja, memang harus menjadi sumber makna hidup. Lebih
dari itu, pekerjaan yang bermakna akan juga melahirkan
kecintaan serta semangat (passion) kepada apa saja yang
kita kerjakan. Ini saja sudah merupakan suatu sumber
kebahagiaan kita. Tanpa ini, kerja dapat hanya akan menjadi
beban yang memberati punggung kita setiap hari. Pada
gilirannya, bekerja dengan landasan cinta akan mendorong
kita untuk menumpahkan seluruh daya upaya kita, sehingga
apa pun yang kita lahirkan dari kerja kita akan melahirkan
karya-karya berkualitas. Pada puncaknya, kerja yang penuh
makna seperti ini, bukan saja akan menjadi sumber
kebahagiaan hidup secara ruhaniah, melainkan juga akan
menjadi sumber kesuksesan duniawi.
Pertanyaannya kemudian, kerja seperti apa yang bisa
menjadi sumber makna hidup positif? Al-Quran mengajarkan:
Dan tuntutlah (kebahagiaan) hidup akhirat dalam apa-apa
yang dikaruniakan Allah kepadamu. Tetapi jangan juga
lupakan bagianmu dari dunia (QS Al-Qashshash [28]: 77).
Melalui ayat ini, secara eksplisit dan implisit Allah
memerintahkan agar kita bekerja sebaik-baiknya untuk
mengumpulkan karunianya, tetapi hendaknya itu semua
diarahkan tidak hanya untuk dunia, melainkan untuk akhirat.
Artinya, beri surplus makna pada kegiatan bekerja kita.
Selain untuk mengambil jatah-adil kita dari kehidupan dunia,
kita arahkan semua kesibukan itu untuk akhirat. Dan, pada
saat berupaya memenuhi kebutuhan ukhrawi itu,
sesungguhnya kita sekaligus sedang berusaha memenuhi
kebutuhan ruhani kita—yang, pada saat yang sama, adalah
sumber kebahagiaan sejati kita dalam kehidupan di dunia ini.
Allah Swt. lebih lanjut mengajarkan tentang bagaimana
sebaiknya kita melihat kegiatan bekerja, Sesungguhnya
orang-orang yang membaca kitab Allah, mendirikan shalat,
menafkahkan sebagian dari yang telah Kami rezekikan
kepada mereka, baik secara sembunyi ataupun terang-
terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak
akan merugi (tijarah lan tabur) (QS Fathir [35]: 29).
Dari ayat ini, kita bisa merasakan bahwa Allah hendak
mengajarkan kepada kita tentang bagaimana seharusnya kita
memberi makna pada kegiatan bekerja. Betapa pun fungsi
bekerja adalah untuk mencari harta, tetapi semuanya itu
hanya akan bermakna (meaningful) jika didasarkan pada
pengenalan yang benar akan hakikat hidup, dibubuhi warna
pengembangan dan pemeliharaan hubungan spiritual kita
dengan Tuhan, dan semangat filantropisme atau amal saleh.
Ya, hanya dengan cara mengaitkan seluruh aktivitas kita
dengan Tuhan, maka kegiatan bekerja akan benar-benar
menjadi sumber makna positif bagi hati atau ruhani kita. Dan
hanya dengan cara ini bekerja akan dapat menjadi sumber
kebahagiaan kita.[]
24
Menaklukkan Egoisme
Suatu kali, pengikut Nabi Musa meminta kepada Nabi Musa
agar Allah mau datang menemui mereka. Karena desakan
kaumnya itu, Nabi Musa berdoa kepada Allah agar
mengabulkan permintaan itu. Allah pun setuju. Dia meminta
Nabi Musa membawa kaumnya ke suatu gua dan menunggu
di sana. Tiga hari berlalu, Nabi Musa dan kaumnya menunggu
dengan harap-harap cemas. Akan tetapi, Allah tidak datang
juga. Maka, sekali lagi atas desakan kaumnya, Nabi Musa
berdoa kepada Allah, “Ya Allah, Engkau berjanji akan datang,
tetapi tiga hari telah berlalu, dan Engkau belum datang-
datang juga.” Allah menjawab, “Sesungguhnya Aku datang
kepadamu selama tiga hari itu. Hari pertama datang
kepadamu seseorang yang kelaparan dan tak kauberi makan
dia. Itu Aku.” Setelah itu Allah berkata lagi, “Hari kedua
datang kepadamu seseorang yang kehausan dan tak kauberi
minum dia. Itu Aku. Hari ketiga datang kepadamu seorang
pelarian dan tak kauterima dia. Itu Aku.”
***
A pa yang menyebabkan kita dekat dengan Allah Swt.?
Jawabannya adalah kebebasan dari egoisme. Sebaliknya,
jika kita membesar-besarkan ego maka kita makin jauh dari
Allah Swt. Itulah yang disebut syirik, menjadikan
(kepentingan) diri kita Tuhan.
Sesungguhnya, Allah Swt. ada di dalam hati kita. Allah
Swt. bersemayam dalam hati setiap manusia. Namun,
kehadiran-Nya sering kita tutupi dengan mengumbar nafsu
dan egosime. Akibatnya akses kita kepada Allah Swt.
tertutupi, sehingga kehadiran-Nya itu tidak memberikan
dampak pada kualitas kehidupan kita.
Dalam Al-Quran disebutkan bahwa Allah Swt. tidak
menciptakan dua hati di dalam rongga dada manusia. Allah
Swt. menciptakan satu hati. Jika satu-satunya hati itu
dipenuhi dengan yang serba duniawi dengan mengumbar
egoisme, berarti tidak ada tempat bagi Allah Swt. di
dalamnya. Lebih buruk dari itu, egoisme adalah sumber
segala penyakit hati (sombong, hasad, adu domba, dan
bakhil) yang akan memutus hubungan antara manusia dan
Sang Khaliq. Maka, tak heran jika para Sufi mengatakan,
puncak hubungan tertinggi dengan Allah Swt. adalah ketika
kita mencapai fana. Fana terjadi ketika manusia mampu
menaklukkan kedirian/keakuan dan egoisme yang kemudian
menyebabkan kita kembali menyatu dengan Allah Swt.,
sumber kita.
Bagaimana Mengatasi Egoisme?
Musuh egoisme adalah berkorban dan memberi. Karena
memberi berarti mengambil dari yang kita punyai, untuk
diserahkan kepada orang lain. Memberi berarti mengurangi
suplai bagi pengumbaran nafsu diri. Islam menegaskan
bahwa kita tidak akan mencapai kebaikan, kecuali kita
berinfak atau memberi. Dalam Al-Quran dikatakan, “wa âtal
mâla ‘ala hubbihi” (dan memberikan harta yang kita cintai).
Bukan sekadar berbagi dengan kelebihan harta yang sedikit.
Dan itu harus dilakukan dengan keikhlasan semata-mata
demi kebaikan dan keinginan mendapatkan ridha-Nya.
Bahkan, kalau masih muncul perasaan eman-eman (sayang
pada milik kita yang akan kita berikan), berarti kita belum
mencapai tahapan “memberi yang kita cintai”.
Seperti direkam dalam Al-Quran, ketika Rasulullah Saw.
ditanya, “mâ dzâ yunfiqûn?” (apa yang mesti diberikan?).
Allah Swt. mengajarkan agar Rasulullah mengatakan,
“al-‘afwu”. Al-afwu adalah kelebihan dari kebutuhan kita.
Semua kelebihan harta dari kebutuhan kita harus diberikan
kepada orang lain.
Seorang Muslim yang baik, dalam Al-Quran digambarkan
sebagai seorang yang seharusnya memiliki semangat
berkorban (îtsar), yakni mengutamakan orang lain atas diri
sendiri.
Itu sebabnya, dalam Al-Quran Allah Swt. pun selalu
menyandingkan shalat dengan memberi (infak). Shalat,
meski disebut ibadah yang paling utama, tidak ada artinya
jika tidak diikuti dengan aktivitas memberi. Dalam perspektif
yang lebih dalam, shalat dikategorikan batal jika tidak
memberikan dampak sosial.
Kisah fenomenal mengenai semangat pengorbanan
tergambar dalam diri Nabi Ibrahim a.s. Bayangkan, dalam
satu riwayat, umurnya sudah mencapai 80 tahun dan belum
dikaruniai anak. Ketika mendapatkan anak, kemudian Allah
Swt. memerintahkan agar anak yang ditunggu-tunggu
kelahirannya itu disembelih. Perintah itu pun dilaksanakan
oleh Nabi Ibrahim dengan tanpa keraguan, dan sebaliknya,
penuh dengan keikhlasan. Adakah pengorbanan yang lebih
besar dari itu? Atas sebab pengorbanan tersebut, Nabi
Ibrahim dijadikan sebagai teladan manusia yang hanif, yaitu
manusia yang punya kecenderungan bersatu kepada Allah
Swt.
Hal ini membuktikan bahwa Nabi Ibrahim tidak hanya
mengamalkan tauhid dalam arti literal, tetapi beliau telah
mencapai derajat takwa yang tinggi. Dalam Al-Quran
disebutkan berkaitan dengan ibadah kurban, “daging dan
darah yang kita sembelih tidak akan sampai kepada Allah
Swt.” Yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan pelakunya.
Terjemahan arti takwa yang paling tepat adalah kesadaran
akan Allah Swt. di mana pun kita berada, sehingga kita akan
selalu berupaya untuk berbuat sesuatu yang menyenangkan
Allah Swt.
Manusia sejatinya adalah percikan ruh Allah Swt., yang
dibungkus oleh fisik. Fitrah manusia pun, disebut oleh Allah,
diciptakan atas model fitrah Allah. Nah, fitrah asasi Allah
Swt. adalah cinta. Nabi Saw. pernah bersabda, “Allah adalah
cinta.” Dan hakikat cinta adalah semangat memberi dan
berkorban. Jadi, pada dasarnya fitrah manusia adalah
memberi. Kebahagiaannya terletak pada kesesuaian cara
hidupnya dengan fitrah memberi ini. Jika tidak memberi,
fitrahnya akan sengsara dan kebahagiaan akan menjauh
darinya. Sebaliknya, dengan banyak memberi, kita menjamin
kebahagiaan hidup kita sendiri.
Kesimpulannya, agar kita bisa hidup bahagia di dunia, di
alam barzakh, dan di akhirat maka cara praktisnya adalah
dengan cara menjaga kedekatan kita dengan Allah Swt. Di
dunia akan bahagia, di barzah kita lebih bahagia, dan di
akhirat kita akan mendapat kebahagiaan tertinggi karena
kita akan terus bersatu dengan kekasih kita, yaitu Allah Swt.
Dan satu-satunya jalan agar kita dekat dengan Kekasih kita,
Allah Swt., adalah dengan memberi dan mengorbankan milik
kita bagi orang-orang lain yang membutuhkan uluran tangan
kita. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]
25
Melawan Obsesi kepada Harta
Ibrahim ibn Ad-ham, seorang Sufi, dulunya menjadi khalifah di
Balkh, tetapi kemudian ia tinggalkan.
Suatu saat, ia berjumpa dengan seorang lelaki yang ingin
memberinya sedikit uang. Ibrahim ibn Ad-ham berkata, “Jika
kau kaya, aku akan menerima pemberianmu, tetapi aku tidak
akan mau menerima jika kau ternyata miskin.”
Lelaki tadi mencoba meyakinkan bahwa ia sangat kaya.
“Berapa banyak uang yang kau punya?”
“Aku punya 5 ribu keping emas.”
“Apakah kau ingin punya 10 ribu keping emas?”
“Ya, tentu saja.”
“Apakah kau akan lebih senang jika punya 20 ribu keping
emas?
“Ya, itu tentu lebih baik.”
“Kalau begitu, kau sama sekali tidak kaya! Kau lebih
membutuhkan uang ini daripada aku. Aku puas dengan apa
pun pemberian-Nya. Tidak mungkin aku menerima apa pun
dari orang yang selalu mengharap lebih banyak.”
***
B elakangan ini, kita merasakan betapa hidup kita terobsesi
oleh uang dan harta-benda. Betapa nafsu materialistik
mendorong kita untuk terus mengejar benda-benda, dengan
harus membayar mahal dalam bentuk hilangnya kesadaran
kemanusiaan kita, kaburnya pemahaman tentang tujuan
hidup dan penciptaan kita, serta kacaunya perspektif kita
mengenai cara-cara meraih kebahagiaan hidup kita.
Akibatnya, banyak di antara kita—manusia-manusia
modern, khususnya yang tinggal di kota-kota besar—tidak
lagi hidup sebagai manusia, tetapi lebih tepat disebut
sebagai “zombie”. Zombie adalah manusia yang sebetulnya
sudah mati, tetapi dapat bergerak ke segala penjuru, namun
tanpa kesadaran. Kita jungkir-balik mengejar uang, untuk
membeli benda-benda, bergegas pergi ke sana kemari, lupa
waktu, lupa keluarga dan manusia lainnya, akibat kehilangan
perspektif tentang tujuan kita mengejarnya. Padahal kita
tahu, esensi kemanusiaan sejatinya tidak terletak pada
gerakan fisik, tetapi ada pada ruh kita, pada kesadaran kita.
Kesadaran bahwa kita diciptakan Allah Swt. di muka bumi ini
bukan sia-sia, melainkan untuk tujuan yang serius; beribadah
kepada-Nya sebaik mungkin. Yakni, menjalin silaturahim—
hubungan penuh kasih sayang—beramal saleh kepada orang
lain sebanyak-banyaknya, dan menjadikan kehidupan di
lingkungan sekitar lebih baik.
Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya. Lewat berbagai
media yang menembus seluruh sudut kehidupan kita, kita
diiming-imingi dengan kebutuhan-kebutuhan artifisial. Yakni
“kebutuhan” yang sebenarnya tak memiliki fungsi untuk
menjadikan hidup kita lebih berbahagia. Dahulu, sebelum
datang dan berkuasanya modernisme dan era industri, orang
bekerja untuk tujuan yang jelas; meraih kesejahteraan.
Dalam konteks ini, benda dan uang dipahami sebagai sarana,
bukan tujuan itu sendiri. Dengan cara itu, sesungguhnya,
pada masa-masa terdahulu manusia lebih hidup “sebagai
manusia”. Meski ilmu pengetahuan dan teknologi telah
berkembang luar biasa pesat di masa-masa sekarang ini,
manusia masa lampau tampak lebih terampil dalam
mengatur hidupnya, menjaga perspektifnya dalam bekerja
dan berusaha. Dengan kata lain, mereka lebih terampil
dalam berupaya mencapai kebahagiaan ketimbang manusia-
manusia sekarang. Sekarang, banyak di antara kita yang
justru mengorbankan kebahagiaan demi mengejar uang.
Tidak jelas lagi perbedaan antara “tujuan” dan “sarana”
hidup. Sebagai bukti, tak jarang kita melihat seseorang
justru mengalami kehampaan makna hidup setelah
mendapatkan uang yang dikejarnya. Ternyata uang yang
berlimpah tidak memberikan kebahagiaan dan makna hidup.
Nah, pertanyaannya sekarang, bagaimana memaknai uang
dengan tepat?
Pertama, agama tidak anti kepada orang yang mencari
uang, tidak anti pula pada upaya-upaya mencari karunia
Allah Swt. seperti disebutkan sebelumnya, dalam Al-Quran
disebutkan, Carilah kebahagiaan hidup di akhirat itu dengan
apa-apa yang dikaruniakan Tuhan kepadamu dan jangan
lupakan porsimu dari kehidupan dunia (QS Al-Qashash [28]:
77). Yang penting, kita senantiasa dapat memelihara agar
tetap memiliki perspektif yang benar sehubungan dengan
kepemilikan uang atau harta. Bahwa uang, sekali lagi, adalah
sarana, bukan tujuan hidup itu sendiri. Dengan perspektif
yang lurus seperti ini, tak ada orang yang mau
mengorbankan kebahagiaannya, tujuan hidupnya, demi
mengejar uang. Uang harus dijadikan pelayan bagi upaya
mendapatkan kebahagiaan hidup.
Kedua, kita juga perlu meluruskan prioritas, bahwa tugas
hidup adalah beribadah kepada-Nya, dengan jalan
menebarkan rahmat bagi alam semesta. Bahkan,
sesungguhnya kebahagiaan kita terletak di sini. Manusia
telah diciptakan Allah dengan fitrah mencinta. Kebahagiaan
dan kepuasan hidup tak akan pernah bisa diraihnya jika ia
tidak mencinta dan mengungkapkan fitrah kecintaannya itu
dengan berbuat baik pada orang lain. Uang atau harta benda
yang kita miliki hanyalah sarana pendukung untuk kita
menyelenggarakan upaya-upaya seperti ini.
Ketiga, kita perlu membangun dan memelihara kesadaran
bahwa kebahagiaan dunia dan akhirat tidak terletak pada
banyaknya uang dan harta benda, melainkan pada
bagaimana kita memandang fungsi dan cara
menggunakannya. Yaitu dengan mensyukuri, memanfaatkan
untuk hal-hal yang halal dan baik, menghindarkan diri dari
gaya hidup berlebihan, serta menggunakan kelebihan rezeki
yang kita miliki untuk berbuat baik kepada orang lain. Hanya
dengan itu kita akan mendapat kebahagiaan, termasuk
kebahagiaan di dunia ini, dan pada saat kita dibangkitkan
kelak.
Jangan sampai, seperti kisah Pedang Damocles dalam
mitologi Yunani, bukannya bermanfaat untuk membunuh
musuh dalam peperangan, ia malah bergerak sendiri dan
menusuk pemiliknya. Jangan sampai uang, yang seharusnya
membantu kita dalam mendapatkan kebahagiaan, malah
menjadikan kita egois, berbangga hati sambil melecehkan
orang lain, merusak kedamaian keluarga, memutuskan
silaturahim, dan berbagai ekses merusak lainnya. Jangan
sampai pula, seperti pada kisah Ibrahim ibn Ad-ham di atas,
malah kita yang lebih kaya lebih “fakir” membutuhkan uang
dibanding orang miskin.[]
26
Hidup Berorientasi Sedekah
Oprah Winfrey mengumpulkan sekitar 100 orang untuk
melakukan percobaan sosial. Mereka diminta menabung
sebagian uang yang biasa digunakan untuk rekreasi.
Tabungan tersebut kemudian diberikan kepada orang-orang
yang membutuhkan. Beberapa bulan kemudian, 100 orang
tersebut dikumpulkan dan ditanya, apakah ada yang berubah
dalam kehidupan mereka? Jawabannya, mereka merasakan
bahwa hidup mereka lebih bahagia setelah berbagi dengan
orang lain.
***
P ercobaan Oprah tadi merupakan suatu cara yang cerdas
dalam mendorong diri kita untuk menguji diri kita
sendiri. Dan sesungguhnya, memberikan infak atau sedekah
adalah salah satu ujian terbaik karena ia merupakan
perlawanan frontal pada egoisme, yakni sumber dari semua
sifat-sifat buruk. Memberi sama dengan mengorbankan
kepentingan kita demi kepentingan orang lain.
Di dalam Al-Quran dikatakan bahwa di antara kebajikan itu
(al-birr) adalah menafkahkan harta yang kita cintai: Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu
cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka
sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS Ali Imran [3]: 92)
Menguji diri kita sendiri dengan menafkahkan sesuatu atau
harta yang kita cintai, sejatinya sama dengan ujian dari Allah
Swt. Karena menafkahkan harta seolah seperti upaya
mempersulit diri, menjadikan kita relatif lebih miskin, lebih
berkurang harta. Seperti firman-Nya: Dan sungguh Kami
akan menguji kamu dengan sekadar ketakutan, kelaparan,
kekurangan/kehilangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan
sampaikan kabar gembira bagi orang yang sabar. Yaitu
orang-orang yang bila ditimpa musibah, berkata,
“Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya
kepada-Nya jugalah kami akan kembali.” (QS Al-Baqarah [2]:
155) Bedanya, ujian ini cenderung berada dalam kendali kita
dan kita (bisa) tidak terpaksa untuk menjalankannya. Oleh
karena itu, dalam tradisi kita diajarkan bahwa sedekah
adalah suatu cara menolak bala’. Jika kita bersedekah dan
mau memberikan apa yang kita cintai maka Allah Swt. tidak
harus menurunkan bala’ karena kita sudah menguji diri kita
dengan cara menjalankan perintah-Nya; yakni dengan
menciptakan bala’ (ujian) untuk diri kita sendiri.
Sifat saling menetralisasi antara sedekah dan ujian dari
Allah ini sesungguhnya sudah tertanam dalam sunnatullah
(hukum Allah). Bagaimana penjelasannya sehingga sedekah
bisa menolak bala’?
Dalam ajaran Islam, suatu peristiwa akan terjadi jika
persyaratan untuk beroperasinya hukum (sunnah) Allah Swt.
yang menghasilkan kejadian itu telah terpenuhi. Misalnya,
benda yang punya massa akan jatuh kalau berada pada jarak
tertentu dari permukaan bumi karena beroperasinya gaya
gravitasi. Roket yang memiliki massa bisa naik karena
memiliki hukum kekekalan momentum yang melawan
gravitasi. Hukum Allah Swt. sebetulnya tidak hanya ada di
alam empiris ini. Akan tetapi, ada juga di alam lain yang
disebut alam al-amr, alam ruhani. Kedua alam itu masing-
masing punya hukum sendiri, dan bisa saling memengaruhi.
Nah, jika hukum alam empiris harusnya menghasilkan suatu
peristiwa, namun hukum alam al-amr beroperasi melawan
hukum alam empiris maka bisa saja kejadian di alam empiris
tidak terjadi. Memang, yang bisa memengaruhi hukum di
alam al-amr itu, selain doa, adalah sedekah.
Sebagai ilustrasi, suatu kali Rasulullah Saw. bersama para
sahabatnya berkumpul, kemudian lewatlah seorang Yahudi.
Lalu Rasulullah berkata, “Orang Yahudi ini sebentar lagi
akan meninggal.” Beberapa waktu kemudian, lewatlah orang
Yahudi tadi dengan membawa kayu bakar. Ternyata dia tidak
meninggal seperti yang disampaikan Rasulullah sebelumnya.
Para sahabat pun bertanya-tanya. Rasulullah kemudian
memanggil orang Yahudi tersebut dan memintanya
menurunkan serta membuka ikatan kayu bakarnya. Setelah
ikatan dibuka, tiba-tiba keluarlah ular berbisa.
Rasulullah Saw. berkata, “Seharusnya kamu meninggal
dipatuk ular ini. Apa yang kamu lakukan?” Orang Yahudi
berkata, “Dalam perjalanan mencari kayu, saya memberi
sedekah kepada seorang miskin yang kesulitan.” Rasulullah
Saw. berkata, “Sedekah itulah yang menyelamatkanmu dari
patukan ular berbisa ini.”
Nah, di sinilah justru letak persoalan orang-orang dewasa.
Kita hidup dengan penuh perhitungan untung-rugi.
Persisnya, bagaimana memaksimumkan keuntungan bagi
kita, sering tanpa peduli berapa besar kerugian orang lain
dalam proses kita memaksimalkan kerugian itu. Kita tidak
melihat orang apa adanya, tetapi membentuk kesan-kesan
yang menyebabkan timbulnya rasa tidak suka. Kita iri kepada
milik orang yang tidak kita punya. Hidup kita pun dipenuhi
penyesalan atas apa yang tidak bisa kita raih di masa
lampau, dan kekhawatiran bahwa di masa depan tak semua
yang kita cita-citakan bisa kita raih. Kita pun kehilangan
perspektif tentang tak terhitung berkah yang sebenarnya
sudah kita miliki. Ini semua yang menyebabkan hidup kita
kosong dari spiritualitas, kosong dari kebahagiaan. Maka,
jika kita ingin bahagia, mari belajar dari anak-anak, dan
terus berupaya mempertahankan sifat kepolosan batin anak-
anak dalam diri kita.
Selayaknya, kita tidak perlu menunggu “dipaksa” oleh
Allah Swt. melalui kondisi yang sempit, yang dengan kondisi
tersebut kita merasa perlu untuk berbagi atau membantu
orang lain, agar dapat keluar dari kesempitan itu.
Sebaliknya, kita perlu terus mendidik diri kita dengan cara
menguji diri kita, dalam bentuk berbagi (berbuat kebajikan)
dalam segala situasi.
Selamat berbagi dengan harta terbaik yang kita cintai,
sekaligus jalan meraih makna dan berkah kehidupan,
melapangkan jalan dan mendatangkan kebahagiaan dalam
hidup kita, menghindarkan ujian dari Allah Swt., serta
menggapai kedekatan dengan dan kasih sayang-Nya.
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah)
dan bertakwa (melakukan amal-amal yang dapat
mendatangkan ridha Allah dan menjauhkan kita dari
murka-Nya), dan membenarkan adanya pahala yang
terbaik (surga) maka Kami kelak akan menyiapkan
baginya jalan yang mudah. (QS Al-Lail [92]: 5-7)[]
Lampiran 5:
Menakar Kadar Cinta Dunia1
—Al-Ghazali
D unia ini adalah sebuah panggung atau pasar yang
disinggahi oleh para musafir di tengah perjalanannya
ke tempat lain. Di sinilah mereka membekali diri dengan
berbagai perbekalan untuk perjalanan itu. Jelasnya, di sini
manusia dengan mempergunakan indra-indra
jasmaniahnya, memperoleh sejumlah pengetahuan tentang
karya-karya Allah serta, melalui karya-karya tersebut,
tentang Allah sendiri. Suatu pandangan tentang-Nya akan
menentukan kebahagiaan masa depannya. Untuk
memperoleh pengetahuan inilah, ruh manusia diturunkan
ke alam air dan lempung ini. Selama indra-indranya masih
tinggal bersamanya dikatakan bahwa ia berada di “alam
ini”. Jika semua itu pergi dan hanya sifat-sifat esensial saja
yang tinggal, dikatakan ia telah pergi ke “alam lain”.
Sementara manusia berada di dunia ini ada dua hal yang
perlu baginya. Pertama, perlindungan dan pemeliharaan
jiwanya; kedua, perawatan dan pemeliharaan jasadnya.
Pemeliharaan yang tepat atas jiwanya, sebagaimana
ditunjukkan di atas, adalah pengetahuan dan cinta akan
Tuhan. Terserap ke dalam kecintaan akan segala sesuatu
selain Allah berarti keruntuhan jiwa. Jasad bisa dikatakan
sebagai sekadar hewan tunggangan jiwa dan akan musnah,
sementara jiwa terus abadi. Jiwa mesti merawat badan
persis sebagaimana seorang peziarah, dalam perjalanannya
ke Makkah, merawat ontanya, kafilah pun akan
meninggalkannya dan ia akan mati di padang pasir.
Kebutuhan-kebutuhan jasmaniah manusia itu sederhana
saja, hanya terdiri dari tiga hal; makanan, pakaian, dan
tempat tinggal. Akan tetapi, nafsu-nafsu jasmaniah yang
tertanam di dalam dirinya dan keinginan untuk
memenuhinya cenderung untuk memberontak melawan
nalar yang lebih belakangan tumbuh dari nafsu-nafsu itu.
Sesuai dengan itu, sebagaimana kita lihat di atas, mereka
perlu dikekang dan dikendalikan dengan hukum-hukum
Tuhan yang disebarkan oleh para nabi.
Adapun mengenai dunia yang mesti kita garap, kita
dapati ia terkelompokkan dalam tiga bagian: hewan,
tetumbuhan, dan barang tambang. Produk-produk dari
ketiganya terus-menerus dibutuhkan oleh manusia dan
telah mengembangkan tiga pekerjaan besar; pekerjaan
para penenun, pembangun, dan pekerja logam. Sekali lagi,
semuanya itu memiliki banyak cabang yang lebih rendah
seperti penjahit, tukang batu, dan tukang besi. Tidak ada
yang bisa sama sekali bebas dari yang lain. Hal ini
menimbulkan berbagai macam hubungan perdagangan dan
sering mengakibatkan kebencian, iri hati, cemburu, dan
lain-lain penyakit jiwa. Oleh karena itu, timbullah
pertengkaran dan perselisihan, kebutuhan akan
pemerintahan politik dan sipil serta ilmu hukum.
Demikianlah, pekerjaan-pekerjaan dan bisnis-bisnis di
dunia ini telah menjadi makin rumit dan menimbulkan
kekacauan. Penyebab utamanya adalah manusia telah lupa
bahwa kebutuhan-kebutuhan mereka sebenarnya hanya
tiga; pakaian, makanan, dan tempat tinggal, bahwa
semuanya itu ada hanya demi menjadikan jasad sebagai
kendaraan yang layak bagi jiwa di dalam perjalanannya
menuju dunia berikutnya. Mereka terjerumus ke dalam
kesalahan yang sama sebagaimana sang peziarah menuju
Makkah yang karena melupakan tujuan ziarah dan dirinya
sendiri, terpaksa menghabiskan waktunya untuk memberi
makan dan menghiasi ontanya. Seseorang pasti akan
terpikat dan tersibukkan oleh dunia—yang oleh Rasulullah
dikatakan sebagai tukang sihir yang lebih kuat daripada
Harut dan Marut—kecuali jika orang tersebut
menyelenggarakan pengawasan yang paling ketat.
Watak penipu dari dunia ini bisa mengambil berbagai
bentuk. Pertama, ia berpura-pura seakan-akan bakal selalu
tinggal dengan Anda, sementara nyatanya ia pelan-pelan
menyingkir dari Anda dan menyampaikan salam
perpisahan, sebagaimana suatu bayangan yang tampaknya
tetap, tetapi kenyataannya selalu bergerak. Demikian pula,
dunia menampilkan dirinya di balik kedok nenek sihir yang
berseri-seri, tetapi tak bermoral, berpura-pura mencintai
Anda, menyayangi Anda, dan kemudian membelot kepada
musuh Anda, meninggalkan Anda mati merana karena rasa
kecewa dan putus asa.
Isa a.s. melihat dunia terungkap dalam bentuk seorang
wanita tua yang buruk muka. Ia bertanya kepada wanita
itu, berapa banyak suami yang ia miliki, dan mendapat
jawaban jumlahnya tak terhitung. Ia bertanya lagi, telah
matikah mereka ataukah diceraikan. Kata si wanita, ia
telah memenggal mereka semua. “Saya heran,” kata Isa
a.s., “atas kepandiran orang yang melihat apa yang telah
kamu kerjakan kepada orang lain, tetapi masih tetap
menginginkanmu.” “Wanita sihir ini mematut dirinya
dengan pakaian indah-indah dan penuh permata, menutupi
mukanya dengan cadar, kemudian mulai merayu manusia.
Sangat banyak dari mereka yang mengikutinya menuju
kehancuran diri mereka sendiri. Rasulullah Saw. bersabda
bahwa di Hari Pengadilan, dunia ini tampak dalam bentuk
seorang nenek sihir yang seram, dengan mata yang hijau
dan gigi bertonjolan. Orang-orang yang melihat mereka
akan berkata, “Ampun! Siapa ini?” Malaikat pun akan
menjawab, “Inilah dunia yang deminya engkau bertengkar
dan berkelahi serta saling merusak kehidupan satu sama
lain.” Kemudian wanita itu akan dicampakkan ke dalam
neraka sementara dia menjerit keras-keras, “Oh Tuhan, di
mana pencinta-pencintaku dahulu?” Tuhan pun kemudian
akan memerintahkan agar mereka juga dilemparkan
mengikutinya.
Siapa pun yang mau secara serius merenung tentang
kebaikan yang telah lalu, yaitu selama dunia ini belum ada,
dan keabadian masa depan, saat dunia sudah tidak ada
lagi, akan melihat bahwa kehidupan dunia ini seperti
sebuah perjalanan yang babakannya dicerminkan oleh
tahun, liga-liga (ukuran jarak, kira-kira sama dengan tiga
mil) oleh bulan, mil-mil oleh hari, dan langkah-langkah oleh
saat. Kemudian, kata-kata apa yang bisa menggambarkan
ketololan manusia yang berupaya untuk menjadikannya
tempat tinggal abadi dan membuat rencana-rencana untuk
sepuluh tahun mendatang mengenai apa-apa yang boleh
jadi tak pernah ia butuhkan karena sangat mungkin ia
sepuluh hari lagi sudah berada di bawah tanah.
Orang-orang yang telah mengumbar diri tanpa batas
dengan kesenangan-kesenangan dunia ini, pada saat
kematiannya akan seperti seseorang yang memenuhi
perutnya dengan bahan makanan terpilih dan lezat,
kemudian memuntahkannya. Kelezatannya telah hilang,
tetapi ketidakenakannya tinggal. Makin berlimpah harta
yang telah mereka nikmati—taman-taman, budak laki-laki
dan perempuan, emas, perak, dan lain sebagainya—akan
makin keraslah mereka rasakan kepahitan berpisah dari
semuanya itu. Kepahitan ini akan terasa lebih berat dari
kematian karena jiwa yang telah menjadikan ketamakan
sebagai suatu kebiasaan tetap akan menderita di dunia
yang akan datang akibat kepedihan nafsu-nafsu yang
terpuasi.
Sifat berbahaya lainnya dari benda-benda duniawi adalah
bahwa pada mulanya mereka tampak sebagai hal-hal
sepele, tetapi hal-hal yang dianggap sepele ini masing-
masing bercabang tak terhitung banyaknya sampai
menelan seluruh waktu dan energi manusia. Isa a.s.
bersabda, “Pencinta dunia ini seperti seseorang yang
minum air laut; makin banyak minum, makin hauslah ia
sampai akhirnya mati akibat kehausan yang tak terpuasi.”
Rasulullah Saw. bersabda, “Engkau tak bisa lagi
bercampur dengan dunia tanpa terkotori olehnya,
sebagaimana engkau tak bisa menyelam dalam air tanpa
menjadi basah.”
Dunia ini seperti meja yang terhampar bagi tamu-tamu
yang datang dan pergi silih berganti. Ada piring-piring
emas dan perak makanan dan parfum yang berlimpah-
limpah. Tamu yang bijaksana makan sebanyak yang ia
butuhkan, menghirup harum-haruman, mengucapkan
terima kasih pada tuan rumah, lalu pergi. Sebaliknya,
tamu-tamu yang tolol mencoba untuk membawa beberapa
piring emas dan perak dengan akibat semua itu
merenggutkan dari tangannya dan ia pun dicampakkan
dalam keadaan kecewa dan malu.
Kita tutup gambaran sifat menipu dunia dengan tamsil
pendek berikut ini. Misalkan, sebuah kapal akan sampai
pada sebuah pulau yang berhutan lebat. Kapten kapal
berkata kepada para penumpang bahwa ia akan berhenti
selama beberapa jam di sana, dan mereka boleh berjalan-
jalan di pantai sebentar seraya mengingatkan mereka agar
tidak terlalu lama. Para penumpang pun turun dan
bertebaran ke berbagai arah. Meskipun demikian, orang
yang paling bijaksana akan segera kembali, menemukan
bahwa kapal itu kosong, lalu memilih tempat yang paling
nyaman di dalamnya.
Kelompok penumpang yang kedua menghabiskan waktu
yang agak lebih lama di pulau tersebut, mengagumi
dedaunan, pepohonan dan mendengarkan bunyi burung-
burung. Ketika kembali ke kapal mereka temui tempat-
tempat yang paling nyaman di kapal tersebut telah terisi
dan terpaksa puas dengan tempat yang agak kurang
nyaman.
Kelompok ketiga berjalan-jalan lebih jauh lagi dan
menemukan batu-batu berwarna yang amat indah lalu
membawanya kembali ke kapal. Keterlambatan itu
membawa mereka untuk mendekam jauh di bagian paling
rendah kapal itu, tempat mereka dapati batu-batuan yang
mereka bawa—yang ketika itu telah kehilangan segenap
keindahannya—mengganggu mereka di perjalanan.
Kelompok terakhir berjalan-jalan sedemikian jauh
sehingga tak bisa dijangkau lagi oleh suara kapten kapal
yang memanggil mereka untuk segera kembali ke kapal.
Sehingga kapal itu pun akhirnya terpaksa berlayar tanpa
mereka. Mereka luntang-lantung dalam keadaan tanpa
harapan dan akhirnya mati kelaparan, atau menjadi
mangsa binatang buas.
Kelompok pertama mencerminkan orang-orang beriman
yang sama sekali menjauhkan diri dari dunia, dan
kelompok terakhir adalah kelompok orang kafir yang hanya
mengurusi dunia ini dan sama sekali tidak mengacuhkan
yang akan datang. Dua kelompok di antaranya orang-orang
yang masih mempunyai iman, tetapi menyibukkan diri
mereka, sedikit atau banyak, dengan kesia-siaan benda-
benda sekarang.
Meskipun telah kita katakan banyak hal yang menentang
dunia, mesti diingat bahwa ada beberapa hal di dunia yang
tidak termasuk di dalamnya, seperti ilmu dan amal baik.
Seseorang membawa bersamanya ilmu yang ia miliki ke
dunia yang akan datang, meskipun amal-amal baiknya
telah lampau, efeknya tetap tinggal dalam pribadinya.
Khususnya dengan ibadah yang menjadikan orang terus-
menerus ingat dan cinta kepada Allah. Semuanya ini
termasuk “hal-hal yang baik”, dan sebagaimana
difirmankan dalam Al-Quran, “Tidak akan terhapus”.
Ada hal-hal baik di dunia ini, seperti perkawinan,
makanan, dan pakaian, yang oleh orang bijaksana
digunakan sekadarnya untuk membantunya mencapai
dunia yang akan datang. Benda-benda lain yang memikat
pikiran yang menyebabkan setia kepada dunia ini dan
ceroboh tentang dunia lain adalah benar-benar kejahatan
dan disebutkan oleh Rasulullah Saw. dalam sabdanya,
“Dunia ini terkutuk dan segala sesuatu yang terdapat di
dalamnya juga terkutuk, kecuali zikir kepada Allah dan
segala sesuatu yang mendukung perbuatan itu.”[]
1 Al-Ghazali, Meramu Kebahagiaan, hal. 33, Penerbit
Hikmah, 2002.
Lampiran 6:
Cara Menggunakan Harta untuk
Mencapai Kebahagiaan Spiritual2*
—Al-Razi
A nda harus tahu bahwa ada banyak ayat yang memuji
harta kekayaan, tetapi sebagian ayat mencelanya.
Ayat-ayat pujian itu merupakan kata-kata langsung Allah:
Jawablah, “Apa saja harta yang kamu nafkahkan
hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat?”
(QS Al-Baqarah [2]: 215) Hai orang-orang yang
beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari
rezeki yang telah Kami berikan kepadamu … (QS Al-
Baqarah [2]: 254) … dan carilah karunia Allah …. (QS
Al-Jumu’ah [62]: 10) Adapun ayat-ayat yang mengecam
kekayaan adalah: Hai orang-orang beriman, janganlah
hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari
mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian
maka mereka itulah orang-orang yang merugi. (QS Al-
Munâfiqûn [63]: 9) Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan
anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan … (QS Al-
Anfâl [8]: 28) Bermegah-megahan telah melalaikan
kamu. (QS Al-Takatsur [102]: 1) Karena ayat-ayat di
atas tampak saling bertentangan maka perlu dijelaskan
sisi-sisi keharmonisannya. Satu-satunya cara yang
mungkin untuk mengharmoniskan ayat-ayat di atas
adalah dengan menjelaskan derajat-derajat keutamaan,
sebagai berikut:
1. Keutamaan jiwa seperti ilmu dan akhlak;
2. Keutamaan tubuh seperti kesehatan dan
kecantikan;
3. Keutamaan atau kekayaan eksternal; yang
sebagiannya berada dekat kita (sangat primer)
seperti makanan dan minuman yang melayani
tubuh, sedangkan tubuh melayani jiwa dan jiwa
pun menyempurnakan dirinya dengan ilmu dan
akhlak—dalam hal ini tubuh dan jiwa menjadi dua
tuan yang dilayani. (Sedangkan sebagian lagi
jauh dari tubuh seperti harta kekayaan yang
umumnya sangat berguna). Karena kekayaan,
jika digunakan untuk mencapai ilmu dan akhlak
maka terpujilah dia, sebaliknya jika dihabiskan
untuk berbagai kesenangan jasmani yang telah
disadari buruk maka buruklah ia.
Demikianlah, cara untuk menemukan kecocokan antara
berbagai ayat di atas. Karena, dengan penggunaan harta
pertama, kebahagiaan abadi akan terjamin. Sebaliknya,
melalui penggunaan yang buruk, kemalangan abadi pun
akan mendera.
Kekayaan bisa digunakan pemiliknya untuk keperluan
dirinya maupun untuk keperluan orang lain. Mengenai
keperluan dirinya, manusia memang diciptakan begitu
rupa sehingga tak bisa mengelak dari kebutuhan pangan,
sandang, papan, dan pernikahan. Jika ia tidak memenuhi
kebutuhan-kebutuhan ini, pasti ia tak dapat mencapai
kesempurnaan pengetahuan dan jiwanya. Kebutuhan-
kebutuhan ini tak dapat dipenuhi, kecuali melalui
kekayaan. Dalam hal ini, kekayaan menjadi sarana
pendukung untuk mencapai kebahagiaan spiritual.
Adapun penggunaan kekayaan untuk keperluan orang
lain, hal ini bisa untuk orang-orang tertentu ataupun untuk
kepentingan umum.
Kasus pertama, misalnya kekayaan yang digunakan
untuk mengatasi kesulitan. Kekayaan yang diberikan
kepada penguasa tiran agar ia membebaskan seseorang
dari penjara. Atau misalnya, kekayaan yang diberikan
kepada penyair yang ditakutkan akan menggubah satir.
Penggunaan kekayaan bisa untuk tujuan-tujuan duniawi
maupun ukhrawi.
Untuk tujuan duniawi ada dua macam. Pertama,
seseorang bisa saja selalu sibuk untuk mencapai
keutamaan jiwa—ilmu dan akhlak—dan dia tidak pernah
bisa lepas dari mengejar urusan-urusan duniawinya,
sehingga dapat mempekerjakan seseorang dan
membayarnya. Kedua, menghabiskan sebagian hartanya
demi menjaga harga diri dan menghormati tamu. Semua ini
adalah baik dan terpuji.
Adapun pengeluaran untuk tujuan akhirat, contohnya
zakat dan sedekah.
Selanjutnya, pengeluaran untuk kepentingan umum,
seperti pembangunan masjid, jembatan, pemondokan
musafir, rumah sakit, sumur umum, pabrik, dan penyediaan
sarana minum di jalan-jalan. Semua ini baik dan
menjelaskan bagaimana seseorang bisa mendapat manfaat
dari hartanya.
Adapun kekayaan yang membawa kesengsaraan,
penyebabnya lebih dari satu alasan:
1. Dorongan syahwat sangatlah kuat menguasai
diri. Jika kemampuan untuk mendapatkan
berbagai kesenangan itu tersedia, sedangkan
dorongan syahwat yang kuat tidak menemukan
rintangan maka terjadilah tindakan buruk itu.
2. Bila harta tersedia, seseorang bisa bersenang-
senang dengan hal-hal yang diperbolehkan
karena dorongan kuat ada, dan tidak ada
halangan maka tindakan pun dapat terulang.
Namun, ketika dia mulai keranjingan, sementara
harta terus berkurang, ia tidak dapat menahan
diri untuk menunda kesenangan. Akibatnya,
jatuhlah ia pada cara-cara mencari harta yang
terlarang, dan terbukalah di depannya pintu-
pintu berbagai macam kebiasaan buruk.
3. Mengelola kekayaan dengan keseimbangan
antara untuk keperluan jasmani dan ruhani
tidaklah mudah. Dan sekiranya seseorang tidak
berusaha keras, kekayaannya tak bakal terkelola
dengan cara yang baik. Perhatian hatinya pada
pengusahaannya, (jika ia tidak berhati-hati) pun
akan mencegahnya dari mengikatkan diri untuk
mengingat Allah Swt. karena “Allah sekali-kali
tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati
dalam rongganya”.[]
2 Imam Razi dalam ‘Ilm Al-Akhlaq, Kitab Bhavan, New Delhi,
1978. h. 198-199.
Lampiran:
UPeperangan dan Kekerasan dalam
Islam ntuk melengkapi
pembahasan mengenai Islam
sebagai agama cinta dan kasih
sayang, baiklah secara ringkas kita
singgung masalah kekerasan dan
peperangan dalam Islam—yang
selama ini dijadikan dasar
pengembangan stereotype untuk
mengidentifikasi Islam sebagai agama
pro-kekerasan, mendukung perang,
dan aksi terorisme. Ayat-ayat perang
dalam Al-Quran, sejauh yang saya
pahami, sangatlah kontekstual—
yakni, terkait dengan upaya melawan
kejahatan dan penindasan.
Sedangkan penggunaan kekerasan,
dalam ajaran Islam, selalu terkait
dengan situasi dan kondisi
peperangan.
Sebelum itu, baiklah kita overview secara sepintas
diskusi tentang makna jihad dalam ajaran Islam. Di
kalangan umat Islam sendiri, memang tidak ada satu
persepsi dalam memahami istilah “jihad”. Ada yang
memaknai jihad sebagai perang, sementara sebagian besar
yang lain memandang jihad sebagai konsep yang mencakup
aspek yang lebih luas. Untuk menyikapi perbedaan itu, tak
ada cara lain, kecuali kita mesti membaca dan memahami
ayat-ayat terkait tentang jihâd, qitâl, dan harb. Kemampuan
untuk memahami ayat-ayat itu akan membawa kita kepada
pengertian yang utuh tentang jihad.
Seperti dibahas oleh banyak ahli, termasuk Khaled Abou
el-Fadl, Al-Quran tidak menggunakan istilah jihad semata-
mata untuk maksud perang atau pertempuran. Untuk
menunjuk perang atau pertempuran, Al-Quran
menggunakan kata qitâl (perang). Al-Quran menyebut jihad
sebagai mutlak dan tak terbatas. Hal yang sama tak
berlaku untuk qitâl. Jihad adalah sesuatu yang pada
dasarnya baik, sementara qitâl tidak demikian. Perintah
qitâl dalam Al-Quran itu dibatasi oleh kondisi tertentu;
tetapi, desakan akan jihad, seperti acuan pada keadilan dan
kebenaran, mutlak dan tak bersyarat.
Nah, bahkan dalam peperangan sekalipun, Al-Quran
selalu segera mengaitkan perintah berperang dengan
perintah agar tidak melampaui batas, siap memaafkan, dan
mendahulukan perdamaian. Jelaslah bahwa Islam melihat
perang, dan penggunaan kekerasan pada umumnya,
sebagai pengecualian, bukan prinsip umum dalam
memecahkan masalah pertentangan. Bahkan, Al-Quran
mengisyaratkan, umat Muslim tidak menyukai peperangan,
sebagaimana diterangkan oleh Allah Swt., Diwajibkan atas
kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu
yang kamu benci (QS Al-Baqarah [2]: 216).
Sejalan dengan itu, Islam melihat peperangan lebih
sebagai tindakan defensif. Ofensif hanya dipandang
legitimate untuk melawan penyerangan, pengkhianatan
terhadap perjanjian, perusakan, dan dalam rangka
membela suatu kelompok manusia atas penindasan—oleh
Al-Quran, semua kejahatan ini disebut sebagai fitnah—oleh
kelompok manusia lainnya. Dalam QS Al-Anfal [8], ayat 55-
57, misalnya, Allah berfirman: Sesungguhnya makhluk
bergerak yang bernyawa yang paling buruk dalam
pandangan Allah ialah orang-orang kafir (yakni, yang
menolak kebenaran) karena mereka tidak beriman. (Yaitu)
orangorang yang terikat perjanjian dengan kamu,
kemudian setiap kali berjanji, mereka mengkhianati
janjinya, sedang mereka tidak peduli (kepada Allah). Maka,
jika engkau (Muhammad) mengungguli mereka dalam
peperangan maka cerai-beraikanlah orang-orang yang di
belakang mereka, agar mereka mengambil pelajaran.
Mudah kita dapati bahwa setiap ayat, yang
memerintahkan kaum Muslim untuk berperang atau
memerangi orang, selalu ditempatkan dalam konteks
seperti ini. (Pembahasan ringkas, tetapi mencukupi dapat
dibaca dalam M. Quraish Shihab, Ayat-Ayat Fitna:
Sekelumit Keadaban Islam di Tengah Purbasangka, PSQ
dan Lentera Hati, 2000, Jakarta.) Hal ini diperkuat dengan
ayat-ayat yang mengajarkan agar kita berbuat baik dan adil
serta memaafkan, bahkan terhadap kaum kafir, selama
mereka tak memerangi, mengganggu, atau mengkhianati
perjanjian dengan kaum Muslim. Di bawah ini salah satu
contohnya: Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak
memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir
kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya
Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai
kawanmu, orang-orang yang memerangi kamu dalam
urusan agama dan mengusir kamu dari kampung
halamanmu serta membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Barangsiapa menjadikan mereka sebagai
kawan, mereka itulah orang yang zalim. (QS Al-
Mumtahanah [60]: 8-9) Begitu pun, peperangan dan
kekerasan harus dihentikan segera setelah kelompok yang
melakukan fitnah siap maju ke meja perundingan.
Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah,
dan ketundukan hanya bagi Allah semata. Jika mereka
berhenti maka tidak ada (lagi) permusuhan, kecuali
terhadap orang-orang zalim. (QS Al-Baqarah [2]: 193) Di
dalam ayat yang lain, Allah menegaskan keharusan kita
mengutamakan perdamaian di atas peperangan: Akan
tetapi, jika mereka cenderung pada perdamaian,
hendaklah kalian juga condong padanya (perdamaian).
Dan bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Dia
Maha Mendengar dan Maha Mengetahui. (QS Al-Anfal
[8]: 61) Memang, bukan tidak ada kejadian dalam
peperangan yang di dalamnya, tawanan dijatuhi
hukuman mati. Khususnya, dalam kasus pengkhianatan
kaum Yahudi dalam Perang Parit (Khandaq). Akan
tetapi, jika dipelajari, hukuman itu jatuh justru karena
kaum Yahudi sendiri memilih dan menunjuk pelaku
arbitrase dari kalangan mereka (Yahudi) sendiri—yang,
dengan berdasar hukum Yahudi, kemudian memutuskan
bahwa seluruh tawanan laki-laki yang menjadi
kombatan harus dihukum mati.[]
MAKRIFAT CINTA
Penulis : Candra Malik
Format: 13 x 20 cm
Tebal: 308 halaman
Harga:Rp54.000
KITAB CINTA
Menyelami Bahasa Kasih Sang Pencipta
Penulis: Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy
Format: 13 x 20,5 cm
Tebal: 224 halaman
Harga: Rp39.000