The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by GENIUS LIBRARY, 2022-04-25 21:02:08

Risalah Cinta dan Kebahagiaan

By Haidar Bagir

Keywords: Risalah Cinta dan Kebahagiaan,Haidar Bagir,Sastra indonesia

15

Kedekatan kepada Allah Swt.

Suatu kali, seorang laki-laki yang tidak percaya kepada Tuhan
mendatangi Imam Ja‘far Al-Shadiq sambil menantang, “Apa
buktinya Tuhan itu ada?” Kemudian Imam Ja‘far
memerintahkan para sahabatnya untuk menceburkan si laki-
laki ke telaga yang ada di sekitar itu. Laki-laki malang itu
ternyata tidak bisa berenang. Dia pun gelagapan sambil
berteriak-teriak meminta tolong, “Wahai Ja‘far, tolonglah
aku!” Akan tetapi, sang Imam melarang para sahabatnya
untuk menolong orang itu. Hal ini terjadi berkali-kali hingga
ketika hampir putus asa, dia pun berteriak, “Ya Allah,
tolonglah aku.” Maka, Imam Ja’far memerintahkan agar laki-
laki itu keluarkan dari telaga. Imam pun berkata kepada laki-
laki itu, “Tuhan adalah yang engkau sebut nama-Nya itu,
ketika engkau yakin tak ada sesuatu pun yang dapat
menolongmu selain-Nya.”

***

B agaimana bisa? Kenapa untuk bahagia manusia harus
dekat kepada Allah Swt.? Pertama, persoalan agama
merupakan persoalan yang sudah menjadi concern manusia
sejak orang-orang yang pertama kali hidup di alam ini
sampai sekarang. Seperti pernah disinggung sebelumnya,
William James, filsuf Amerika sekaligus tokoh psikologi
modern aliran pragmatisme, pernah menulis sebuah buku
berjudul The Varietes of Religious Experience pada tahun
1904, lebih dari seabad lalu. Meski bukan seseorang yang
religius, William James kemudian menyimpulkan bahwa

meskipun peradaban akan menarik umat manusia ke arah
yang berbeda, tetapi paradoksnya akan lebih banyak orang
yang berdoa, mendekat kepada Tuhan. Ini jugalah tesis
banyak peneliti agama lainnya, termasuk biolog Alexis Carrel
dalam dua karya-klasiknya: Prayer dan Man the Unknown.

Dari masa modern, sosiolog Peter Berger harus merevisi
pandangan lamanya tentang akan hilangnya agama dari
kehidupan manusia dalam berbagai karyanya terdahulu, dan
terpaksa merevisinya dengan The Desecularization of the
World. Kenyataannya, ramalan orang di berbagai masa
tentang akan pupusnya agama dari kehidupan manusia,
semuanya runtuh. Contoh lain, suatu kali Majalah Time
memuat foto cover story majalah ini dari edisi tahun 1945-an
yang di dalamnya diramalkan bahwa agama tinggal
menunggu ajalnya. Dan sebuah cover story Time yang terbit
60 tahun kemudian mengakui bahwa ramalan tahun itu
keliru. Agama justru bangkit lebih kuat lagi. Newsweek pun
pernah menunjukkan betapa, seiring materialisme dan
sekularisme, justru lebih banyak orang Amerika berdoa
ketimbang berolahraga, nonton bioskop, dan berhubungan
seks.

Memang, tampaknya Tuhan bersemayam dalam fitrah
(natur primordial) makhluk yang bernama manusia ini.
Betapa pun para ateis terus-menerus berusaha
menyangkalnya.

Sebagian ateis menawarkan penjelasan mengenai Tuhan
sebagai God of the gaps. Artinya, Tuhan yang keberadaan-
Nya mengisi ketidakmampuan kita untuk menjelaskan
keadaan. Kalau suatu saat kita bingung menjelaskan kenapa
alam semesta ini dipenuhi bencana yang kita tak berdaya
menolaknya, kita buatkan konsep tentang Tuhan yang bisa
menjelaskan hal itu. Ketakutan, ketidaktahuan telah
mendorong manusia menciptakan (konsep) Tuhan.

Ada juga konsep yang disebut dengan meme. Meme adalah
semacam gen, tetapi bukan bersifat biologis, melainkan
sosial. Jadi, sebagaimana manusia ini punya gen yang
diturunkan dari orang tua, gen sosial yang dinamakan meme
ini juga diturunkan kepada masyarakat oleh lingkungan
sosialnya. Tuhan, dalam konteks ini, semacam warisan turun-
temurun lingkungan sosial.

Kenyataannya, mau dibilang itu meme, mau dibilang itu
gen, atau God of the gap, manusia butuh sesuatu, sesuatu
yang kemudian disebut sebagai Tuhan, Allah, Yahwe, Sang
Hyang Widi, dan sebagainya. Kenyataannya, dari zaman
primal, sebelum 180 abad yang lalu, sampai sekarang—
setelah segala macam ilmu pengetahuan makin maju,
teknologi makin maju—apa yang disebut Tuhan itu tak
pernah sirna dari kehidupan manusia.

Mengenai ini, Al-Quran menjelaskan, Hadapkan wajahmu
dengan lurus kepada al-din (jalan hidup itu) lurus, yaitu
fitrah Allah yang manusia diciptakan berdasarkan fitrah itu.
Manusia diciptakan atas dasar “natur” ketuhanan. Jadi,
Tuhan adalah sumber sekaligus model manusia. Demikian
pula, kita diajar-Nya bahwa “Sesungguhnya kita bagian dari
Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya kita kembali.” Ada
ikatan yang menyatukan manusia dan Tuhan. Tuhan
sesungguhnya adalah soul mate manusia. Orang-orang yang
percaya itu, amat sangat kecintaannya kepada Allah,
demikian Al-Quran mengabarkan.

Sayangnya, fisik yang membungkus ruh kita ini sering
menutupi fitrah itu dengan kecenderungan mengumbar nafsu
dan egoisme dan membuat kita lupa pada fitrah kita
tersebut. Yakni, bahwa soul mate kita sesungguhnya adalah
Allah Swt. Maka, ketika di dunia ini kita jauh dari Allah Swt.,
terkadang kita tidak selalu langsung merasakan kesedihan.
Khususnya bagi orang-orang yang sudah telanjur tumpul
mata-hatinya. Akan tetapi, jika kelak kita hidup di alam

barzakh–yang di dalamnya daya ruhani kita menguat–dan
cara hidup kita di dunia menjauhkan kita dari dari Allah Swt.
maka kesedihan yang mendalam akan muncul. Lebih-lebih
ketika kita berada di akhirat, dengan kehidupan yang
sepenuhnya bersifat ruhani. Saat itu secara otomatis kita
menyadari bahwa kekasih kita sesungguhnya adalah Allah
Swt. Mengenai saat itu, Allah Swt. mengatakan, “wa hush-
shila mâ fish-shudur” (dan diungkap semua yang ada di
dalam dada). Maka, yang terpenting yang akan diungkap-
Nya adalah bahwa kekasih kita itu adalah Allah Swt. Ketika
itu kita harus dihadapkan pada kenyataan bahwa Allah Swt.
jauh dari kita. Itulah sesungguhnya neraka. Sedang surga
adalah kedekatan kita padanya, berkat terlatihnya hati kita
dari kemenangan perjuangan melawan nafsu dan egoisme.
Memang, menurut terjemahan kaum Sufi, neraka adalah
kondisi di mana manusia dirundung kesedihan yang amat
mendalam karena merasa jauh dari Allah Swt., sedangkan
surga itu menyatunya kita dengan Allah Swt.

Kebahagiaan tertinggi adalah ketika cinta kita terbalas,
ketika sukma kita dipenuhi cinta. Sedangkan nestapa paling
menyakitkan adalah kehampaan oleh cinta tak terbalas.
Apatah pula cinta kepada Allah. Dengan kata lain, surga itu
adalah kembali kepada Allah Swt. dan neraka itu jauh dari
Allah Swt.

Semoga kita selalu dikarunia kedekatan (qurbah) kepada
Allah dan kebahagiaan selalu berada di hadirat-Nya.[]

16

Melazimkan Zikrullah

Syahdan, Rabiah Adawiyah menyusuri jalan Kota Baghdad di
siang bolong sambil menenteng air dan memegang obor di
tangan kiri. Seseorang bertanya, “Rabiah, mau ke mana?” Ia
pun menjawab, “Aku hendak membakar surga dengan obor
dan memadamkan neraka dengan air agar orang tidak lagi
mengharap surga dan takut neraka dalam ibadahnya!”
Pernah pula di tengah hening malam, ia berdoa, “Ya Allah,
para kekasih telah memasuki kamarnya. Dan inilah aku,
sendirian, mengharapkan cinta-Mu.”

***

(Orang-orang yang kembali kepada Allah adalah) ...
mereka yang beriman, dan hati mereka menjadi tenang
dengan mengingat Allah, sesungguhnya dengan
mengingat Allah hati menjadi tenang. Orang-orang yang
beriman ini, dan yang beramal saleh, merekalah orang-

Aorang yang berbahagia, dan bagi mereka tempat kembali
yang terbaik. (QS Al-Ra’d: 28-29) yat di atas
mengajarkan kepada kita bahwa orang-orang yang
percaya akan keberadaan Allah dengan segala kebaikan-
Nya, dan senantiasa mengingat-Nya lalu melazimkan
amal-amal saleh—yakni perbuatan-perbuatan untuk
menjadikan lingkungan kita menjadi lebih baik—adalah
orang-orang yang berbahagia, baik di dunia maupun di
akhirat.

Di tempat yang lain, Allah juga berfirman:

(Orang-orang yang bertakwa) adalah mereka yang
percaya pada yang gaib, menjalankan shalat, dan
memberi dari apa-apa yang kami karuniakan kepada
mereka. Mereka percaya pada (Al-Quran) yang kami
turunkan kepadamu (Muhammad) dan kitab-kitab lain
yang kami turunkan sebelummu, dan mereka yakin pada
adanya kehidupan yang akan datang (akhirat). Mereka
berjalan di atas petunjuk Pengasuh mereka. Merekalah
orang-orang yang berbahagia. (QS Al-Baqarah [2]: 3-5)
Kesejajaran kedua ayat di atas menunjukkan bahwa
bertakwa dan berzikir memiliki makna yang berkaitan,
yakni suatu sikap batin percaya dan selalu sadar akan
Allah, sehingga sebagai konsekuensinya, pemilik sikap ini
akan selalu melahirkan amal-amal saleh yang diridhai-
Nya, dan pada puncaknya, memelihara ingatan kepada
Allah. Pada gilirannya, ingatan kepada Allah, suatu Zat
Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang sekaligus
Mahakuasa, yang kepada-Nya kita dapat
menggantungkan kehidupan kita dengan keyakinan total
bahwa Dia akan selalu mendatangkan kebaikan kepada
kita, adalah sumber kebahagiaan sejati yang tak akan
pernah kering.

Kiranya hal ini mudah dipahami. Keyakinan tak
tergoyahkan pada adanya orang-orang atau wujud yang
kecintaan-tulusnya kepada kita bisa sepenuhnya kita
andalkan, dan mau melakukan apa pun untuk kebaikan—
apakah itu kecintaan ibu kita, pasangan hidup kita, lebih-
lebih kecintaan Tuhan Yang Mahakuasa—akan menenangkan
kita dan menjadikan hidup kita penuh (fulfilled). Sebaliknya,
kesengsaraan adalah suatu keadaan sepi dan terasing, yang
di dalamnya terdapat bukan hanya kesepian melainkan juga
kengerian akibat kehampaan makna dan ketiadaan tujuan
hidup. Inilah yang dalam terminologi agama disebut sebagai
keadaan terlaknat atau terkutuk, yang menyiksa jiwa.
Kiranya ini jugalah makna surga dan neraka ukhrawi –

ketenangan atau kepenuhan hidup dan kesumpekan atau
kehampaan hidup.

Yang tak boleh kita lalaikan adalah bahwa iman, takwa,
dan zikrullah yang sejati, tak akan pernah kita raih tanpa
diiringi amal-amal saleh, tanpa tindakan memberi, dan
menolong orang lain. Bahkan, ujian sesungguhnya atas
keimanan kita kepada Allah terletak pada kesiapan kita
dalam memberi dan menolong orang lain. Tanpa itu,
sesungguhnya keimanan atau keberagamaan kita hanyalah
dusta belaka: Tahukah kamu, siapa yang mendustakan
agama? Maka mereka itulah orang-orang yang
menelantarkan anak yatim, dan tak pula berupaya keras
untuk memberi makan orang miskin .... (QS Al-Mâ’ûn: 1-3)
Dengan lugas Nabi Saw. pun menyatakan, “Pemberian
(sedekah) adalah bukti (keimanan).”

Orang-orang yang tidak mau memberi, sebaliknya dari
mendapatkan ketenangan dan kelapangan hati, justru akan
diterpa kesulitan dan kesumpekan jiwa: Barangsiapa
memberi dan membenarkan kebaikan (kehidupan di akhirat)
maka Allah akan melempangkan baginya jalan yang lapang.
(Sebaliknya) mereka yang kikir dan menganggap dirinya
kaya—tak butuh pada siapa pun (Allah dan manusia) maka
Allah melempangkan baginya jalan menuju kesulitan dan
kesempitan. (QS Al-Lail: 5-10)[]

17

Berakhlak dengan Akhlak Allah Swt.

Alkisah, Raja Arab bernama Khuzaimah Abrasy, tidak pernah
mengerjakan apa pun sebelum berunding dulu dengan Kaisar
Romawi yang adalah teman dekatnya. Suatu ketika, dengan
niat meminta pendapat Kaisar mengenai masa depan anak-
anaknya, ia menyurati Kaisar. Dalam surat itu tertulis: “Aku
merasa harus menyiapkan kekayaanku untuk tiap-tiap putra
dan putriku agar mereka kelak tidak mengalami masa sulit
setelah aku mati. Bagaimana pendapatmu tentang ini?”

Kaisar Romawi menjawab, “Kekayaan itu bahan pemanis,
tidak setia dan bersifat sementara. Sebaik-baiknya pelayanan
untuk anak-anakmu adalah akhlak mulia dan sifat terpuji,
yang akan membimbing mereka kepada kepemimpinan
selamanya di dunia dan pengampunan (dosa-dosa) di
akhirat.”

***

“Takhallaqu bi akhlaqillah”
Berbudi pekertilah kamu seperti budi pekertinya Allah Swt.

—HADIS

 

D iri manusia sesungguhnya memiliki kekayaan berupa
sifat-sifat Ilahiyah. Sifat-sifat Ilahiyah ini akan
mendapatkan ruang untuk berkembang sekiranya kita
mampu memperlakukannya dengan tepat. Sifat-sifat Ilahiyah

itu adalah Kebaikan Mutlak, Kebenaran Mutlak, dan
Keindahan Mutlak. Uraian berikut ini akan mengupas
bagaimana cara mengembangkannya dalam diri kita.

Pertama, mencintai kebaikan. Di dalam Islam, sesuatu yang
baik dikatakan sebagai al-ma’ruf, dan hal-hal yang buruk
dikatakan al-munkar. Ma’ruf artinya hal-hal yang sudah
diketahui dan sesuai dengan pengetahuan yang ada di dalam
fitrah manusia. Sementara munkar adalah sesuatu yang
disangkal oleh hati manusia. Lebih jelas, Rasulullah Saw.
menyampaikan perbedaaan antara ma’ruf dan munkar.
Dalam suatu sabdanya, Rasulullah Saw. menyatakan bahwa
kebaikan itu sesuatu yang jika kita lakukan, hati mengenali
dan mau menerima; sedang keburukan itu adalah sesuatu
yang secara bawaan disangkal oleh hati manusia. Itulah
sebabnya kebenaran disebut ma‘ruf (yang sudah dikenal
dengan baik), sedang keburukan disebut munkar (sesuatu
yang disangkal) Dengan demikian, sebenarnya manusia
mengetahui dan dapat membedakan kebaikan dan
keburukan. Namun sayang karena berbagai hal, kita sering
terlena untuk memenuhi hati kita dengan kebaikan. Padahal
salah satu syarat kebahagiaan adalah ketika kita dekat
kepada Allah Swt. dan hal ini berarti kita setia kepada
kebaikan.

Kedua, adalah cinta kebenaran (al-haq). Agar bahagia,
syarat berikutnya adalah setia dengan kebenaran karena
Allah Swt. itu adalah al-haq. Al-haq bermakna kebenaran
yang tidak tercampur sama sekali dengan kesalahan. Maka,
jika kita ingin dekat dengan Allah Swt., hendaknya selalu
berupaya menjadi orang yang objektif. Objektivitas akan
muncul ketika kita mampu menaklukkan ego kita. Manusia
sepintar apa pun, secerdas apa pun akalnya, jika ego masih
berkuasa pada dirinya, ia tidak menjadi pintar, justru ia
menjadi bodoh.

Ketiga, selalu mengapresiasi keindahan. Allah Swt. itu
indah dan menyukai keindahan. Dalam sebuah hadis
disebutkan, “Inna Allaha jamil yuhibbul jamal.” Dalam
bahasa yang lebih filosofis, Allah Swt. adalah keindahan itu
sendiri. Oleh karena itu, hendaknya setiap manusia selalu
memelihara hubungannya dengan keindahan. Keindahan
yang paling dekat dengan Allah Swt. itu adalah keindahan
alam. Allah Swt. mengatakan, “Aku tunjukkan kepada kalian
tanda-tanda-Ku di alam semesta dan di dalam diri kalian.” Di
dalam Al-Quran, Allah Swt. pun banyak menggunakan alam
sebagai tanda-tanda kebesaran-Nya.

Terkait dengan ini, Nabi Saw. pernah bersabda, “Kulihat
Allah dalam keindahan-sempurnanya.”

Menurut Ibn ‘Arabi, alam itu sebetulnya “saudara”
manusia. Alam itu kadang disebut al-insan al-kabir (manusia
dalam skala besar), sementara manusia itu disebut al-alam
al-shaghir. Artinya, dalam makna lain, manusia itu alam
semesta kecil dari segi ukurannya. Sementara alam itu
“manusia besar”. Allah Swt. menciptakan alam semesta dan
manusia dengan aturan-aturan yang sama persis.

Manusia sesungguhnya sangat dekat dengan alam
semesta. Oleh karena itu, jika terpisah dari keindahan alam,
mereka akan merindukannya. Misalnya, orang kota senang
dengan pemandangan alam yang indah. Mereka merindukan
pemandangan alam yang indah tersebut. Demikian juga
orang desa. Orang desa pun yang lama di kota akan rindu
pada keindahan alam. Ini menandakan bahwa fitrah manusia
itu salah satunya adalah mencintai keindahan.

Karena Allah Swt. menciptakan alam semesta sebagai
“saudara” manusia dalam keindahan maka manusia harus
mengapresiasi estetika tersebut. Makin dekat dengan hal-hal
yang indah maka kita akan semakin dekat dengan Allah Swt.

Namun, sesungguhnya keindahan yang lebih tinggi adalah
keindahan alam imajinal dan alam ruhani. Keindahan alam
imajinal mewujud dalam keindahan karya-karya seni yang
luhur. Sedangkan keindahan ruhani tak dapat diperkatakan,
kecuali hanya dapat dirasakan dan melahirkan kepuasan dan
kebahagiaan yang tak tepermanai.

Jadi, manusia itu diciptakan dengan fitrah mencintai
kebaikan, mencintai kebenaran, dan mencintai keindahan.
Jika manusia tidak terpuasi fitrahnya—hatinya, ruhnya—
dengan ketiga hal tersebut, ia pasti tidak bisa mencapai
kebahagiaan. Kebahagiaan sejati akan datang jika manusia
berupaya berbuat kebaikan, mencintai kebenaran dan
senantiasa mencintai keindahan. Semakin keras kita
mengupayakan ketiga syarat tersebut maka semakin dekat
dengan Allah Swt., sehingga semakin besar pula kemampuan
kita untuk berbahagia. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Lampiran 3:

Menggapai Puncak Kebahagiaan Bersama
Allah1

—Al-Ghazali

K ecintaan kepada Allah adalah topik yang paling
penting dan merupakan tujuan akhir pembahasan kita
sejauh ini. Kita telah berbicara bahaya-bahaya ruhaniah
karena mereka menghalangi kecintaan kepada Alah di hati
manusia. Telah pula kita bicarakan tentang berbagai sifat
baik yang diperlukan untuk itu. Penyempurnaan
kemanusiaan terletak di sini, yaitu bahwa kecintaan
kepada Allah mesti menaklukkan hati manusia dan
menguasai sepenuhnya.

Kalaupun kecintaan kepada Allah tidak menguasai
sepenuhnya maka hal itu mesti merupakan perasaan yang
paling besar di hatinya, mengatasi kecintaan kepada yang
lain-lain. Meskipun demikian, mudah dipahami bahwa
kecintaan kepada Allah adalah sesuatu yang sulit dicapai
sehingga suatu aliran dalam ilmu kalam (teologi)
menyangkal bahwa manusia bisa mencintai suatu wujud
yang bukan merupakan spesiesnya sendiri. Mereka telah
mendefinisikan kecintaan kepada Allah sebagai sekadar
ketaatan belaka. Orang-orang yang berpendapat demikian
sesungguhnya tidak tahu apakah agama itu sebenarnya.

Seluruh Muslim sepakat bahwa cinta kepada Allah
adalah suatu kewajiban. Allah berfirman berkenaan dengan
orang-orang mukmin, Ia mencintai mereka dan mereka
mencintai-Nya. Dan Nabi Saw. bersabda, “Sebelum

seseorang mencintai Allah dan Nabi-Nya lebih daripada
mencintai yang lain, ia tidak memiliki keimanan yang
benar.” Ketika malaikat maut datang untuk mengambil
nyawa Ibrahim, Ibrahim berkata, “Pernahkan engkau
melihat seorang sahabat mengambil nyawa sahabatnya?”
Allah menjawabnya, “Pernahkah engkau melihat seorang
kawan yang tidak suka untuk melihat kawannya?” Maka
Ibrahim pun berkata, “Wahai Izrail, ambillah nyawaku!”

Doa berikut diajarkan oleh Nabi Saw. kepada para
sahabatnya, “Ya Allah berilah aku kecintaan kepada-Mu
dan kecintaan kepada orang-orang yang mencintai-Mu, dan
apa saja yang membawaku mendekat kepada cinta-Mu.
Jadikanlah cinta-Mu lebih berharga bagiku daripada air
dingin bagi orang-orang yang kehausan.”

Hasan Basri sering berkata, “Orang yang mengenal Allah
akan mencintai-Nya; dan orang yang mengenal dunia akan
membencinya.”

Sekarang kita akan membahas sifat esensial cinta. Cinta
bisa didefinisikan sebagai suatu kecenderungan kepada
sesuatu yang menyenangkan. Hal ini tampak nyata
berkenaan dengan lima indra kita. Masing-masing indra
mencintai segala sesuatu yang memberinya kesenangan.
Jadi, mata mencintai bentuk-bentuk yang indah, telinga
mencintai musik, dan seterusnya. Ini adalah jenis cinta
yang juga dimiliki hewan-hewan. Namun ada indra
keenam, yakni fakultas persepsi, yang tertanamkan dalam
hati dan tidak dimiliki hewan-hewan. Dengannya kita
menjadi sadar akan keindahan dan keunggulan ruhani.
Jadi, seseorang yang hanya akrab dengan kesenangan-
kesenangan indrawi tidak akan bisa memahami apa yang
dimaksud oleh Nabi Saw. ketika bersabda bahwa dia
mencintai shalat lebih daripada wewangian dan wanita,
meskipun keduanya juga menyenangkan baginya. Akan
tetapi, orang yang mata-hatinya terbuka untuk melihat

keindahan dan kesempurnaan Allah akan meremehkan
semua penglihatan-penglihatan luar, betapa pun indah
tampaknya semua itu.

Manusia yang hanya akrab dengan kesenangan-
kesenangan indrawi akan berkata bahwa keindahan ada
pada warna-warni merah putih, anggota-anggota tubuh
yang serasi dan seterusnya, sedang ia buta terhadap
keindahan moral yang dimaksudkan oleh orang-orang
ketika mereka berbicara tentang orang ini dan orang itu
yang memiliki tabiat baik. Orang-orang yang memiliki
persepsi yang lebih dalam merasa sangat mungkin untuk
bisa mencintai orang-orang besar yang telah jauh
mendahului kita—seperti khalifah Umar dan Abu Bakar—
berkenaan dengan sifat-sifat mulia mereka, meskipun
jasad-jasad mereka telah sejak dahulu sekali bercampur
dengan debu. Kecintaan seperti itu tidak diarahkan kepada
bentuk-luar melainkan kepada sifat-sifat ruhaniah. Bahkan
ketika kita ingin membangkitkan rasa cinta di dalam diri
seorang anak kepada orang lain, kita tidak menguraikan
keindahan luar bentuk itu atau yang lainnya, melainkan
keunggulan-keunggulan ruhaniahnya.

Jika kita terapkan prinsip ini untuk kecintaan kepada
Allah maka akan kita dapati bahwa Dia sendiri sajalah yang
pantas dicintai. Jika seseorang tidak mencintai-Nya maka
hal itu disebabkan ia tidak mengenali-Nya. Kita mencintai
sesuatu pada diri seseorang karena hal itu merupakan
cerminan daripada-Nya. Karena alasan inilah, kita
mencintai Muhammad Saw. Dia adalah Nabi dan kecintaan
Allah; dan kecintaan orang-orang berilmu dan bertakwa
adalah benar-benar kecintaan kepada Allah. Kita akan
melihat hal ini lebih jelas kalau kita membahas sebab-
sebab yang bisa membangkitkan kecintaan.

Sebab pertama adalah kecintaan seseorang atas dirinya
dan kesempurnaan sifatnya sendiri. Hal ini membawanya

langsung kepada kecintaan kepada Allah karena ke-
maujud-an asasi dan sifat-sifat manusia tidak lain adalah
anugerah Allah. Kalau bukan karena kebaikan-Nya,
manusia tak akan pernah tampil dari balik tirai ketidak-
maujud-an ke dunia kasat-mata ini. Pemeliharaan dan
pencapaian kesempurnaan manusia juga sama sekali
tergantung pada kemurahan Allah. Sungguh aneh jika
seseorang mencari perlindungan dari panas matahari di
bawah bayangan sebuah buah pohon yang tanpanya tidak
akan ada bayangan sama sekali. Sama seperti itu, kalau
bukan karena Allah manusia tidak akan maujud (ada) dan
sama sekali tidak pula mempunyai sifat-sifat. Oleh sebab
itu, ia akan mencintai Allah kalau saja bukan karena
kemasabodohan terhadap-Nya. Orang-orang bodoh tidak
bisa mencintai-Nya karena kecintaan kepada-Nya
memancar langsung dari pengetahuan tentang-Nya. Sejak
kapankah seorang bodoh mempunyai pengetahuan?

Sebab kedua dari kecintaan ini adalah kecintaan kepada
sesuatu yang berjasa kepadanya, dan sebenarnya satu-
satunya yang berjasa kepadanya hanyalah Allah; karena,
kebaikan apa pun yang diterimanya dari sesama manusia
disebabkan oleh dorongan langsung dari Allah. Motif apa
pun yang menggerakkan seseorang memberikan kebaikan
kepada orang lain, apakah itu keinginan untuk memperoleh
pahala atau nama baik, Allahlah yang mempekerjakan
motif itu.

Sebab ketiga adalah kecintaan yang terbangkitkan oleh
perenungan tentang sifat-sifat Allah, kekuasaan dan
kebijakan-Nya, yang jika dibandingkan dengan
kesemuanya itu kekuasaan dan kebijakan manusia tidak
lebih daripada cerminan-cerminan yang paling remeh.
Kecintaan ini mirip dengan cinta yang kita rasakan
terhadap orang-orang besar di masa lampau, seperti Imam
Malik dan Imam Syafi’i, meskipun kita tidak pernah
mengharap untuk menerima keuntungan pribadi dari

mereka. Oleh karena itu, cinta ini merupakan jenis cinta
yang lebih tak berpamrih. Allah berfirman kepada Nabi
Daud, “Abdi-Ku yang paling cinta kepada-Ku adalah yang
tidak mencari-Ku karena takut untuk dihukum atau
berharap mendapatkan pahala, tetapi hanya demi
membayar hutangnya kepada Ketuhanan-Ku.” Di dalam
Injil tertulis: “Siapakah yang lebih kafir daripada orang
yang menyembah-Ku karena neraka atau mengharapkan
surga? Jika tidak Kuciptakan semuanya itu, tidak akan
pantaskah Aku untuk disembah?”

Sebab keempat dari kecintaan ini adalah “persamaan”
antara manusia dan Allah. Hal inilah yang dimaksudkan
dalam sabda Nabi Saw., “Sesungguhnya Allah menciptakan
manusia dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri.” Lebih
jauh lagi Allah berfirman: “Hamba-Ku mendekat kepada-Ku
sehingga Aku menjadikannya sahabat-Ku. Dan ketika Aku
telah menjadikannya sahabat-Ku, Aku pun menjadi
telinganya, matanya, dan lidahnya.”

Allah juga berfirman kepada Musa a.s., “Aku pernah
sakit, tetapi engkau tidak menjenguk-Ku” Musa menjawab,
“Ya Allah Engkau adalah Rabb langit dan bumi; bagaimana
Engkau bisa sakit?” Allah berfirman, “Salah seorang
hamba-Ku sakit; dan dengan menjenguknya berarti engkau
telah mengunjungi-Ku.”

Memang ini adalah suatu masalah yang agak berbahaya
untuk diperbincangkan karena hal ini berada di balik
pemahaman orang-orang awam. Seseorang yang cerdas
sekalipun bisa tersandung dalam membicarakan soal ini
dan percaya pada inkarnasi dan persekutuan dengan Allah.
Meski ada di antara para ahli ilmu kalam yang berpendapat
bahwa manusia tidak bisa mencintai suatu wujud yang
bukan dari spesiesnya sendiri; kenyataannya, betapa pun
jauh jarak yang memisahkan mereka, manusia bisa
mencintai Allah karena “persamaan” yang diisyaratkan di

dalam sabda Nabi Saw., “Allah menciptakan manusia dalam
kemiripan dengan diri-Nya sendiri.”

 

Melihat Allah

Semua Muslim mengaku percaya bahwa melihat Allah
adalah puncak kebahagiaan manusia karena hal ini
dinyataan dalam syariah. Akan tetapi, bagi banyak orang
hal ini hanyalah sekadar pengetahuan di bibir belaka yang
tidak membangkitkan perasaan di dalam hati. Hal ini
bersifat alami saja karena bagaimana bisa seseorang
mendambakan sesuatu yang tidak ia ketahui? Kami akan
berusaha untuk menjelaskan bahwa melihat Allah
merupakan kebahagiaan terbesar yang bisa diperoleh
manusia.

Pertama sekali, semua daya manusia memiliki fungsinya
sendiri yang ingin dipuasi. Masing-masing punya
kebaikannya sendiri, mulia dari nafsu badani yang paling
rendah sampai bentuk tertinggi dari pemahaman
intelektual. Namun, suatu upaya mental dalam bentuk
rendahnya sekalipun masih memberikan kesenangan yang
lebih besar daripada kepuasan nafsu jasmaninya. Jadi, jika
seseorang kebetulan terserap dalam suatu permainan
catur, ia tidak akan ingat makan meskipun berulang kali
dipanggil. Makin tinggi pengetahuan kita makin besarlah
kegembiraan kita akan dia. Misalnya, kita akan lebih
merasa senang mengetahui rahasia-rahasia seorang raja
daripada rahasia-rahasia seorang wazir. Mengingat bahwa
Allah adalah objek pengetahuan yang paling tinggi maka
pengetahuan tenang-Nya pasti akan memberikan
kesenangan yang lebih besar ketimbang yang lain. Orang
yang mengenal Allah, di dunia ini sekalipun, seakan-akan
merasa telah berada di surga “yang luasnya seluas langit
dan bumi”; surga yang buah-buahnya sedemikian nikmat,

sehingga tak ada seorang pun yang bisa mencegahnya
untuk memetiknya; dan surga yang tidak menjadi lebih
sempit oleh banyaknya orang yang tinggal di dalamnya.

Akan tetapi, nikmatnya pengetahuan masih jauh lebih
kecil daripada nikmatnya penglihatan, persis seperti
kesenangan kita di dalam melamunkan orang-orang yang
kita cintai jauh lebih sedikit daripada kesenangan yang
diberikan langsung akan mereka. Keterpenjaraan kita di
dalam jasad yang terbuat dari lempung dan air ini, dan
kesibukan kita dengan ihwal indrawi, menciptakan suatu
tirai yang menghalangi kita dari melihat Allah, meskipun
hal itu tidak mencegah kita dari memperoleh beberapa
pengetahuan tentang-Nya. Karena alasan inilah, Allah Swt.
berfirman kepada Musa di Bukit Sinai: “Engkau tidak akan
bisa melihat-Ku.”

Hal yang sebenarnya adalah sebagai berikut.
Sebagaimana benih manusia akan menjadi seorang
manusia dan biji kurma yang ditanam menjadi pohon
kurma maka pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh di
bumi akan menjelma menjadi penampakan Tuhan di
akhirat kelak, dan orang yang tak pernah mempelajari
pengetahuan itu tak akan pernah mengalami penampakan
itu. Penampakan ini tak akan terbagi sama kepada orang-
orang yang tahu, melainkan kadar kejelasannya akan
beragam sesuai dengan pengetahuan mereka tuhan itu
satu, tetapi Dia akan terlihat dalam banyak cara yang
berbeda, persis sebagaimana suatu objek tecerminkan
dalam berbagai cara oleh berbagai cermin; ada pula yang
baur, ada yang jelas dan yang lainnya kabur. Sebuah
cermin mungkin telah sedemikian rusak sehingga tampak
buruk, dan seorang mungkin membawa sebuah hati yang
sedemikian gelap dan kotor ke akhirat, sehingga
penglihatan yang bagi orang lain merupakan sumber
kebahagiaan dan kedamaian, baginya malah menjadi
sumber kesedihan. Seseorang yang di hatinya cinta

terhadap Tuhan telah menggungguli yang lain akan
menghirup lebih banyak kebahagiaan dari penglihatan ini
dibanding orang yang di hatinya cinta itu tak sedemikian
unggul; persis seperti halnya dua manusia yang sama
memiliki pandangan mata yang tajam, ketika menatap
sebentuk wajah yang cantik maka orang yang telah
mencintai pemilik wajah itu akan lebih berbahagia dalam
menatapnya daripada orang yang tidak mencintainya. Agar
bisa menikmati kebahagiaan sempurna, pengetahuan saja
tanpa disertai cinta belumlah cukup. Cinta akan Allah tak
bisa memenuhi hati manusia sebelum ia disucikan dari
cinta akan dunia yang hanya bisa didapatkan dengan
zuhud. Ketika berada di dunia, keadaan manusia
berkenaan dengan melihat Allah adalah seperti seorang
pencinta yang akan melihat wajah kekasihnya di
keremangan fajar, sementara pakaiannya dipenuhi dengan
lebah dan kalajengking yang terus-menerus menyiksanya.
Akan tetapi, jika matahari dengan segenap keindahannya
dan binatang berbisa berhenti menyiksanya maka
kebahagiaan sang pencipta akan menjadi seperti kecintaan
dan terbebaskan dari bala yang menyiksanya di dunia ini,
melihat-Nya tanpa tirai. Abu Sulaiman berkata, “Orang
yang sibuk dengan dirinya sekarang, akan sibuk dengan
dirinya kelak; dan orang yang tersibukkan dengan Allah
sekarang, akan tersibukkan dengan diri-Nya kelak.”

Ambisi dan kesombongan adalah penyakit-penyakit yang
membutakan hati untuk mencintai Allah sekaligus
menghalangi penampakan Allah. Allah Swt. berfirman
kepada Isa, “Wahai Isa, jika Kulihat di hati para hamba-Ku
kecintaan yang murni terhadap diri-Ku yang tidak terkotori
dengan nafsu-nafsu mementingkan diri-sendiri berkenaan
dengan dunia ini atau dunia yang akan datang maka Aku
akan menjadi penjaga cinta itu.” Juga ketika orang-orang
meminta Isa a.s. menunjukkan amal yang paling mulia, dia
menjawab, “Mencintai Allah dan memasrahkan diri kepada
kehendak-Nya.”

Wali Rabi’ah pernah ditanya cintakah dia kepada Nabi
Saw., “Kecintaan kepada Sang Pencipta,” katanya, “telah
mencegahku dari mencintai makhluk.” Ibrahim ibn Ad-ham
dalam doanya berkata, “Ya Allah, di mataku surga itu
sendiri masih lebih remeh daripada sebuah agas jika
dibandingkan dengan kecintaan kepada-Mu dan
kebahagiaan mengingat Engkau yang telah Kau
anugerahkan kepadaku.”

Orang yang menduga bahwa mungkin saja untuk
menikmati kebahagiaan akhirat tanpa mencintai Allah,
sudah terlalu jauh tersesat karena inti kehidupan masa
yang akan datang adalah untuk sampai kepada Allah
sebagaimana sampai pada suatu objek keinginan yang
sudah lama didambakan dan diraih melalui halangan-
halangan yang tak terbilang banyaknya. Kenikmatan akan
Allah adalah kebahagiaan. Akan tetapi, jika ia tidak
memiliki kesenangan akan Allah sebelumnya, ia tak akan
bergembira di dalamnya kelak; dan jika kebahagiaan di
dalam Allah sebelumnya sangat kecil sekali maka kelak pun
ia akan merasa kecil. Ringkasnya, kebahagiaan kita di
masa datang akan sama persis kadarnya dengan kecintaan
kita kepada Allah sekarang.

Na’udzubillah, jika di dalam hati seseorang telah tumbuh
suatu kecintaan terhadap sesuatu yang bertentangan
dengan Allah maka keadaan kehidupan akhirat akan sama
sekali asing baginya. Apa-apa yang akan membuat orang
lain bahagia akan membuatnya bersedih.

Hal ini bisa diterangkan dengan anekdot berikut ini.
Seorang manusia pemakan bangkai pergi ke sebuah pasar
yang menjual wangi-wangian, ketika mencium aroma
wangi dia jatuh pingsan. Orang-orang mengerumuninya
dan memercikkan air bunga mawar padanya, lalu
mendekatkan misyk (minyak wangi) ke hidungnya; tetapi
dia malah menjadi makin parah. Akhirnya seseorang

datang; dia sendiri adalah juga pemakan bangkai. Dia
dekatkan sampah ke hidung orang itu maka orang itu
segera sadar, mendesah penuh kepuasan, “Wah, ini baru
benar-benar wangi-wangian!” Jadi, di akhirat nanti
manusia tak akan lagi mendapati kenikmatan-kenikmatan
cabul dunia ini; kebahagiaan ruhaniah dunia itu akan sama
sekali baru baginya dan malah akan meningkatkan
kebobrokannya. Karena, akhirat adalah suatu dunia ruh
dan merupakan pengejawantahan dari keindahan Allah;
kebahagiaan adalah bagi manusia yang telah mengejarnya
dan tertarik padanya. Semua kezuhudan, ibadah, dan
pengkajian-pengkajian akan menjadikan rasa tertarik itu
sebagai tujuannya dan itu adalah cinta. Inilah arti dari ayat
Al-Quran, Orang-orang yang telah menyucikan jiwanya
akan berbahagia. Dosa-dosa dan syahwat langsung
bertentangan dengan pencapaian rasa tertarik ini.

Oleh karena itu, Al-Quran berkata, “Dan orang yang
mengotori jiwanya akan merugi.” Orang-orang yang
dianugerahi wawasan ruhaniah telah benar-benar
memahami kebenaran ini sebagai suatu kenyataan
pengalaman, bukan sekadar sebuah pepatah tradisional
belaka. Pengalaman mereka yang amat jelas terhadap
kebenaran ini membawa mereka kepada keyakinan bahwa
orang yang membawa kebenaran itu adalah benar-benar
seorang Nabi, sebagaimana yakinnya seseorang yang telah
mempelajari pengobatan ketika ia mendengarkan omongan
seorang dokter. Ini adalah sejenis keyakinan yang tidak
membutuhkan dukungan berupa mukjizat-mukjizat luar
biasa sejenisnya seperti yang dilakukan oleh para ahli sihir.

 

Tanda-Tanda Kecintaan kepada Allah

Banyak orang mengaku telah mencintai Allah, tetapi
masing-masing mesti memeriksa diri sendiri berkenaan

dengan kemurnian cinta yang mereka miliki. Ujian pertama
adalah dia mesti tidak membenci pikiran tentang mati
karena tak ada seorang “teman” pun yang ketakutan akan
bertemu dengan “teman”-nya. Nabi Saw. berkata, “Siapa
yang ingin melihat Allah, Allah pun ingin melihatnya.”

Memang benar bahwa seorang pencinta Allah yang
ikhlas mungkin saja bisa takut akan kematian sebelum ia
menyelesaikan persiapannya untuk ke akhirat, tetapi jika ia
ikhlas, ia akan rajin dalam membuat persiapan-persiapan
itu.

Ujian keikhlasan yang kedua ialah seseorang mesti rela
mengorbankan kehendaknya demi kehendak Allah; mesti
berpegang erat-erat kepada apa yang membawanya lebih
dekat kepada Allah; dan mesti menjauhkan diri dari
tempat-tempat yang menyebabkan ia berada jauh dari
Allah. Kenyataan bahwa seseorang telah berbuat dosa
bukanlah bukti bahwa dia tidak mencintai Allah sama
sekali, tetapi hal itu hanya membuktikan bahwa ia tidak
mencintai-Nya dengan sepenuh hati. Wali Fudhail berkata
kepada seseorang, “Jika seseorang bertanya kepadamu,
cintakah engkau kepada Allah maka diamlah; karena jika
engkau berkata, ‘Saya tidak mencintai-Nya,’ maka engkau
menjadi seorang kafir; dan jika engkau berkata, ‘Ya, saya
mencintai Allah,’ padahal perbuatan-perbuatanmu
bertentangan dengan itu.”

Ujian ketiga adalah bahwa zikrullah mesti secara
otomatis terus tetap segar di dalam hati manusia. Karena,
jika seseorang memang mencintai maka ia akan terus
mengingat-ingat; dan jika cintanya itu sempurna maka tak
akan pernah melupakan-Nya. Meskipun demikian, memang
mungkin terjadi bahwa sementara kecintaan kepada Allah
tidak menempati tempat utama di hati seseorang,
kecintaan akan Allahlah yang berada tempat itu karena

cinta adalah sesuatu dan kecintaan akan cinta adalah
sesuatu yang lain.

Ujian keempat adalah bahwa seeorang akan mencintai
Al-Quran yang merupakan firman Allah, dan Muhammad
Nabiyullah. Jika cintanya memang benar-benar kuat, ia
akan mencintai semua manusia karena mereka semua
adalah hamba-hamba Allah. Bahkan cintanya akan
melingkupi semua makhluk karena orang yang mencintai
seseorang akan mencintai karya-karya cipta dan tulisan
tangannya.

Ujian kelima adalah bahwa seseorang akan bersikap
tamak terhadap uzlah untuk tujuan ibadah. Ia akan terus
mendambakan datangnya malam agar bisa berhubungan
dengan temannya tanpa halangan. Jika ia lebih menyukai
bercakap-cakap di siang hari dan tidur di malam hari
daripada uzlah seperti itu maka cintanya itu tidak
sempurna.

Allah Swt. berkata kepada Daud a.s., “Janganlah terlalu
dekat dengan manusia karena ada dua jenis orang yang
menghalangi kehadiran-Ku: orang-orang yang bernafsu
untuk mencari imbalan dan kemudian semangatnya
mengendor ketika telah mendapatkannya, dan orang-orang
yang lebih menyukai pikiran-pikirannya sendiri daripada
mengingat-Ku. Tanda-tanda ketidakridhaan-Ku adalah
bahwa Aku meninggalkannya sendiri.”

Sebenarnya, jika kecintaan kepada Allah benar-benar
menguasai hati manusia maka semua cinta kepada yang
lain pun akan hilang. Salah seorang Bani Israil menyukai
kebiasaan untuk sembahyang di malam hari. Akan tetapi,
ketika tahu bahwa seekor burung biasa bernyanyi dengan
sangat merdu di atas sebatang pohon, ia pun
bersembahyang di bawah pohon itu agar dapat menikmati
kesenangan mendengarkan burung itu, Allah

memerintahkan Daud untuk pergi dan berkata kepadanya,
“Engkau telah mencampurkan kecintaan kepada seekor
burung yang merdu dengan kecintaan kepada-Ku; maka
tingkatanmu di kalangan para wali pun terendahkan.” Di
pihak lain beberapa orang telah mencintai Allah dengan
kecintaan sedemikian rupa, sehingga ketika mereka
sedang berkhidmat dalam ibadah, rumah-rumah mereka
telah terbakar dan mereka tidak mengetahuinya.

Ujian keenam adalah bahwa ibadah pun menjadi mudah
baginya. Seorang wali berkata, “Selama tiga puluh tahun
pertama saya menjalankan ibadah malamku dengan susah
payah, tetapi tiga puluh tahun kemudian hal itu telah
menjadi suatu kesenangan bagiku.” Jika kecintaan kepada
Allah telah sempurna maka tak ada kebahagiaan yang bisa
memandingi kebahagiaan beribadah.

Ujian ketujuh adalah bahwa pencinta Allah akan
mencintai-Nya, dan membenci orang-orang kafir dan
orang-orang yang tidak taat sebagaimana kata Al-Quran,
“Mereka bersikap keras terhadap orang kafir dan berkasih
sayang dengan sesamanya.”

Nabi Saw. pernah bertanya kepda Allah, “Ya Allah,
siapakah pencinta-pencinta-Mu?” Jawaban-Nya pun
datang, “Orang-orang yang berpegang erat-erat kepada-Ku
sebagaimana seorang anak kepada ibunya; yang
berlindung di dalam pengingatan kepada-Ku sebagaimana
seekor burung mencari naungan pada sarangnya; dan akan
sangat marah jika melihat perbuatan dosa sebagaimana
seekor macan marah, yang tidak takut kepada apa pun.”[]

 

 

1 Dikutip dari Al-Ghazali, Meramu Kebahagiaan, Penerbit
Hikmah, Jakarta, 2002. h. 107-124



18

Mengembangkan Ridha (I)

Suatu hari sang Raja, pergi berburu ditemani pembantunya.
Tanpa diduga, sang Raja mengalami kecelakaan, sehingga
salah satu jarinya terpotong. Raja merasa sedih dan kesal.
Akan tetapi, dengan polos pembantunya meminta sang Raja
bersyukur atas kejadian yang menimpanya, sambil
meyakinkan bahwa segala sesuatu yang menimpa kita pasti
ada hikmahnya. Mendengar itu, Raja marah dan
memerintahkan pengikutnya agar memenjarakan sang
pembantu.

Pada kali yang lain, sang Raja pergi berburu lagi, kali ini
sendirian. Di tengah jalan, Raja disergap oleh segerombolan
orang dari suku primitif yang perkasa. Mereka menangkap
Raja dan bermaksud mengorbankannya untuk para dewa.
Namun, mereka membatalkan rencananya, dan melepas sang
Raja karena melihat tangannya yang cacat. Persembahan
bagi dewa mestilah manusia yang sempurna tubuhnya.

Sepulangnya dari kejadian itu, Raja ingat kebenaran ucapan
pembantunya, dan memerintahkan agar dia dilepas. Ketika
bertemu pembantunya, Raja menyampaikan terima kasih
sambil berkata, “Masih ada ganjalan di hati aku sehubungan
dengan ucapanmu. Benar ada hikmah dalam kecelakaan yang
menyebabkan salah satu jariku terputus. Akan tetapi, apa
hikmahnya engkau dipenjarakan?”

Sang pembantu menjawab, “Kalau Baginda tak
memenjarakan hamba, niscaya hamba sudah dijadikan

korban bagi para dewa.”

Sikap menerima segala sesuatu sebagai kebaikan yang
penuh hikmah inilah yang biasa disebut sebagai “ridha”.

***

D alam berbagai kepustakaan Sufi, ridha tak jarang
disebut sebagai maqam tertinggi dalam perjalanan
spiritual. Hal itu disebabkan ridha adalah manifestasi
langsung dari keimanan. Sebuah dialog Rasulullah Saw. dan
para sahabatnya menegaskan hal ini.

“Apakah tanda keimananmu?” suatu kali Rasulullah
bertanya kepada para sahabatnya. Mereka menjawab, “Kami
bersyukur menghadapi kelapangan, bersabar menghadapi
bencana, dan ridha dengan qadha’ (ketentuan) Allah.”
Kemudian Nabi Saw. bersabda lagi, “(Kalian adalah) benar-
benar orang-orang mukmin, demi Tuhannya Ka’bah.”

Betapa tidak? Melewati syukur dan sabar, ridha tak lagi
membagi-bagi apa yang datang kepada kita sebagai musibah
(bencana) atau karunia (anugerah).

Firman Allah Swt., ... terhadap apa-apa yang Tuhan
berikan kepadamu, bersifat ridhalah. (QS Al-Dhuha [93]: 5)
Bagi orang yang telah memiliki karakter ridha, apa saja yang
datang kepada kita (dari Allah) adalah karunia. Semua yang
datang dari Allah sesungguhnya adalah baik. Perbedaan di
antara keduanya dipercayai hanya pada kemasannya. Yang
tampak sebagai bencana sesungguhnya juga karunia, hanya
bungkusannya saja yang menjadikan ia tampak sebagai
bencana. Dengan kata lain, ia hanya persoalan persepsi.

Seseorang yang memiliki sifat ridha percaya bahwa di balik
segala (yang tampak sebagai) musibah sesungguhnya
terdapat hikmah. Bahwa musibah tersebut hanyalah

perantara bagi sampainya karunia kepada kita. Terkadang
berfungsi sebagai pembelok jalan, justru menuju apa yang
kita cari.

Dalam sebuah ayat Al-Quran, Allah mengajar kita untuk
percaya bahwa: … Tak ada yang menimpa kami, kecuali itu
telah ditetapkan-Nya .... (QS Al-Taubah [9]: 51) Sementara
itu, dalam ayat yang lain, Allah Swt. berfirman: Apa-apa saja
yang berupa kebaikan, datangnya dari Rabb-mu. Sedangkan
apa-apa yang berupa keburukan, datang dari dirimu sendiri
.... (QS Al-Nisâ [4]: 79) Dengan menyejajarkan kedua ayat ini,
dan berdasar keyakinan bahwa ayat-ayat Al-Quran tak
mungkin bertentangan satu sama lain, kita dapat
menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang sampai kepada
kita adalah kebaikan. Yakni, segala sesuatu adalah datang
dari Allah, dan segala sesuatu yang datang dari Allah adalah
baik. Persepsi kitalah yang menjadikan (sebagian dari)-nya
tampak buruk (yakni, sebagai bencana).

Nah, seseorang yang memiliki sikap-mental ridha akan
selalu dapat melihat melampaui kemasan, ke dalam hakikat
segala sesuatu yang datang kepada kita, dan memercayainya
—bahkan menghayatinya—sebagai karunia (kebaikan).

Dalam kaitan ini, menjadi amat relevan hadis qudsi, “Aku
adalah sebagaimana persangkaan (baik) hamba-Ku
kepadaku.”

Jika kita percaya bahwa segala sesuatu yang datang dari
Allah itu baik maka ia akan jadi benar-benar menjadi
kebaikan bagi kita karena sesungguhnya itu memang
kebaikan. Persangkaan baik kepada Tuhan adalah sisi lain
dari sikap ridha.

Pada puncaknya, orang yang memiliki sikap-mental ridha
seperti ini akan selalu merasa rela—memang dari kata
ridhalah istilah ini berasal. Yakni, menerima apa saja yang

datang kepadanya. Dengan demikian, hatinya selalu merasa
tenteram dan puas dengan apa saja yang terjadi pada
dirinya. Tak lain, inilah perasaan bahagia. Sebagaimana
disabdakan Nabi Saw., “Sesungguhnya Allah Swt. dengan
keadilan-Nya dan ilmu-Nya menjadikan kesejahteraan dan
kegembiran dalam ridha dan yakin, serta menjadikan
kesusahan dan kesedihan dalam keraguan dan kekesalan.”

Atau seperti kata seorang Sufi, Abdul Wahid ibn Zaid,
“Ridha adalah pintu Allah yang terbesar, surga dunia dan
tempat istirahatnya para ahli ibadah.”[]

19

Mengembangkan Ridha (II)

Rubinstein, komposer dan pianis terkemuka abad 20, setiap
hari selalu tampak ceria, optimis, dan menebarkan aura
kebahagiaan. Para sahabatnya penasaran, apa rahasianya?

Menjawab desakan para sahabatnya yang ingin tahu, di
ulang tahunnya yang ke-80 dia pun mengungkapkan; setiap
kali membuka matanya di pagi hari ia merasa seperti bayi
yang baru terlahir. Sehingga, ia senantiasa merasa hidupnya
penuh dengan hal-hal yang bisa dipelajari, yang dapat
dieksplorasi. Maka bagi Rubinstein, hidup selalu menjadi
arena yang menggairahkan dan menantang.

Ketika usia Rubinstein melampaui 80 tahun, sebagaimana
manusia lazimnya, ia mengalami proses penurunan
penglihatan. Hari demi hari, pandangannya kian kabur. Ia
semakin kesulitan memainkan piano. Bagaimana pun
matanya tidak lagi dapat mengontrol gerakan tangannya
menekan tuts-tuts piano. Orang kemudian menyimpulkan,
sebentar lagi Rubinstein akan habis riwayatnya sebagai
pianis. Kemahirannya akan berakhir. Begitu juga, kebahagiaan
yang selalu terlihat pada dirinya, diprediksi lambat laun akan
sirna. Bukankah main piano adalah hidupnya? Di mata banyak
orang, ini saatnya Rubenstein akan kehilangan keceriaan dan
kebahagiaannya. Namun, apa yang terjadi?

Rubinstein tetap Rubenstein. Ia memiliki keterampilan
tingkat tinggi untuk bahagia. Cara pandangnya tidak dimiliki
oleh banyak orang. Justru di saat penglihatannya kian kabur

dan bahkan buta total, ia merasa hidupnya lebih bergairah. Ia
merasa mendapatkan tantangan baru, anugerah baru dari
Tuhan, setelah ia mencapai apa saja yang diinginkan dalam
hidup. Apakah itu? Belajar main piano tanpa melihat! Berbeda
dengan sangkaan orang, Rubinstein justru semakin bahagia,
bahkan lebih bergairah dari sebelumnya. Rubinstein adalah di
antara sedikit orang yang mampu menjadikan hidupnya
mengalirkan kebahagiaan, bahkan dalam kondisi yang paling
sulit sekalipun.

***

A llah memang menciptakan alam semesta ini bersumber
pada sifat kasih sayang-Nya. Oleh karena itu, alam ini
dirancang sedemikian rupa sebagai ciptaan terbaik-Nya.
Dengan kata lain, sifat aslinya adalah memberikan kebaikan
setinggi-tingginya dan kebahagiaan bagi penghuninya.
Sebagai konsekuensinya, Dia membentangkan kemungkinan
jalan—termasuk jalan keluar dari kesulitan—sebanyak-
banyaknya, bahkan tak terbatas. Alam ini adalah himpunan
jalan-jalan dan kesempatan ke arah kebaikan tertinggi,
kesempurnaan, dan kebahagiaan manusia.

Maka, jika suatu saat kita sedang menjalani suatu keadaan,
melalui salah satu jalannya, kita perlu ingat bahwa jalan
yang sedang kita lalui itu adalah hanya satu di antara banyak
jalan-Nya yang tak terbatas. Kalau dengan melalui jalan itu
kita dapat mencapai kebaikan yang kita kejar itu,
alhamdulillah. Kalau tidak, di sekeliling jalan kita itu tersedia
jalan-jalan lain untuk menuju kebaikan dan kebahagiaan
yang kita cari. Jadi, jika kita tidak berhasil dengan satu jalan,
kita hanya perlu pindah lintasan. Inilah makna pernyataan
“semua ada hikmahnya.” Karena, bukan saja kebaikan yang
kita kejar masih dapat kita rengkuh lewat tak terbatas jalan
alternatif, “kegagalan” kita justru membuat kita makin
berpengalaman, makin pintar, dan makin matang. Sehingga
kemungkinan besar, kita justru akan menemukan jalan

kebahagiaan yang lebih baik ketimbang jika upaya kita
sebelumnya berhasil (tidak gagal). Ini juga sebabnya
keadaan seperti ini terkadang disebut blessing in disguise.
Atau, terkadang kita diajar, every cloud has its silver lining.
Padahal sebenarnya, bahkan tak ada kebaikan yang in
disguise, bahkan tak ada awan yang hitam, yang ada hanya
langit yang cerah, tetapi terselimuti air. Kebaikan dan
berkah–mesti saya tulis, kebaikan-kebaikan, dalam jumlah
tak terbatas—yang nyata, hanya saja kita belum
menyadarinya sampai setelah kita mentok dengan jalan yang
sedang kita tempuh.

Ini pula makna dari ayat-Nya:

Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.
Dan sesungguhnya bersama kesulitan itu (juga) ada
kemudahan. (QS Al-Insyirâh [94]: 5-6) Para ahli tafsir,
berdasar kenyataan bahwa Tuhan perlu mengulang dua
kali ayat yang sama seraya menggunakan kata sandang
definitif (definite article) “al” (“the”) untuk “kesulitan”
(‘usr) di kedua ayat itu dan tak menggunakannya untuk
kata “kemudahan” (yusr), menunjukkan bahwa ayat
tersebut harus dipahami sebagai: “Bersama kesulitan
yang sama ada lebih banyak kemudahan.”

Inilah sebenarnya makna positif cobaan, ujian, dan
musibah. Dia adalah bagian kasih sayang-Nya, atau cara-Nya
dalam membukakan jalan baru kepada kita. Tinggal
bagaimana kita selalu bersikap positif dalam melihat
keadaan apa pun. Tidak frustrasi, tidak juga putus asa,
melainkan bersabar dan terus mencoba, mencari jalan-jalan
lain menuju kebahagiaan kita, yang telah disediakan-Nya
untuk kita.

Selanjutnya ada berkah. Kata “berkah” berasal dari kata
bahasa Arab barakah. Kata ini terkait erat dengan sifat dasar
Tuhan sebagai yang pengasih dan penyayang. Bahwa, ketika

Tuhan memberi kebaikan maka dia menawarkan kebaikan
yang tidak terbatas. Sedemikian sehingga barakah biasa
diterjemahkan sebagai ziyadah al-khayr (tambahan atau
keberlimpahan kebaikan). Bukan saja dalam setiap kebaikan
ada kelebihan-kelebihan dari yang tampak, tetapi juga ia
memiliki potensi untuk bersama kita dalam waktu yang lama,
berkelanjutan.

Memang, Tuhan telah merancang alam semesta ini dengan
memenuhinya dengan kebaikan yang tidak terbatas, dari segi
jumlah, jenis, dan waktunya. Di alam semesta ini, kebaikan
ada secara tidak terbatas, memenuhi apa saja yang ada di
dalamnya, dan berkelanjutan sejak awal penciptaan hingga
akhirnya. Jika ada yang membatasinya atau memutusnya, itu
adalah manusia itu sendiri. Manusialah yang dengan berbagi
sikap dan cara-pandang negatifnya–tidak persisten, frustasi,
bersangka-buruk pada alam ciptaan, kufur (ingkar) pada
kasih sayang-Nya—yang menyebabkan hilangnya berkah ini.

Maka, bukalah hati kita untuk kebaikan Tuhan yang tak
terbatas ini. Dahulukan berprasangka baik agar kebaikan
selalu tampak dalam apa saja yang datang kepada kita.
Bersabar dan bersyukurlah maka kebaikan akan terus
menyertai kita: datang dalam banyak muka, dan ada terus
dan tinggal di sini bersama kita.

Jika sudah begini cara pandang kita maka tak ada lagi yang
tidak baik di alam semesta ini. Termasuk musibah dan
bencana. Dia harus ada demi kebaikan-kebaikan itu. Tanpa
keburukan–persisnya, apa yang kita anggap buruk—kebaikan
tak akan nyata. Tanpa kesulitan–atau yang kita anggap
sebagai kesulitan—kemudahan akan tersamarkan. Tanpa
kesedihan, bagaimana kegembiraan dan kebahagiaan akan
lahir? Alam ini tak akan tercipta jika tak ada apa-apa yang
kita sebut sebagai keburukan itu. Maka, tak bisa lain,
“keburukan-keburukan” itu menjadi latar belakang yang di
atasnya kebaikan-kebaikan itu terproyeksikan, menjadi

bagian tak terpisahkan dari kebaikan, dan karena itu juga
merupakan pewujudan kasih sayang-Nya.

Inilah alasan Nabi Saw. menyatakan “Jika Tuhan mencintai
hamba-Nya maka Dia akan menurunkan cobaan baginya.”
Yakni, diuji kemanusiaannya sehubungan dengan
kemuliannya sebagai makhluk yang diciptakan atas citra-
Nya. Baru setelah diuji, dan lulus maka sesungguhnya dia
siap untuk mencapai segala kebaikan dan berkah-Nya. Kalau
belum, atau belum lulus, jangan-jangan dia selama ini
barulah sampai pada tingkat manusia-hewan pengumbar
nafsunya belaka. Dia, kemungkinan besar, gembira dalam
hidupnya minus kepedulian terhadap manusia lain, yang
mungkin menderita. Empatinya belum lagi terasah, jiwanya
belum matang, hidupnya masih dangkal. Di atas semua itu,
dia belum benar-benar merasakan kebahagiaan karena
belum lagi pernah merasakan keadaan-keadaan yang
sebaliknya, tempat kebahagiaan-kebahagiaan dapat
terproyeksikan.

Mari kita berusaha “menikmati” cobaan, belajar
mematangkan diri dengan-Nya. Toh, Dia juga yang
mengaturnya, Dia yang sifat dasar-Nya adalah cinta dan
kasih sayang, yang sudah berjanji tak akan membebani kita
dengan ujian yang tak sanggup kita tanggung.[]

Lampiran 4:

Bagian-Bagian Kebahagiaan1

—Ibn Miskawaih

K ebahagiaan dibagi menjadi lima. Pertama,
kebahagiaan yang terdapat pada kondisi sehat badan
dan ketajaman indriawi, berkat temperamen yang baik,
yaitu jika pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan,
dan perabaan baik.

Kedua, kebahagiaan yang terdapat pada pemilikan
keberuntungan, sahabat dan yang sejenis dengan itu
hingga orang dapat membelanjakan hartanya di mana pun
bila mau, dan dengan harta itu pula ia dapat melakukan
kebaikan-kebaikan, menolong orang-orang baik khususnya
dan orang-orang yang patut pada umumnya. Dengan harta
itu pula, ia dapat melakukan kegiatan yang menambah
kemuliaannya, serta karenanya ia memperoleh pujian dan
sanjungan.

Ketiga, kebahagiaan karena memiliki nama baik dan
termasyhur di kalangan orang-orang yang memiliki
keutamaan dan lantaran begitu dia dipuji-puji dan
disanjung-sanjung oleh mereka karena sikapnya yang
senantiasa berbuat kebajikan.

Keempat, sukses dalam segala hal. Itu bisa terjadi
sekiranya dia mampu merealisasikan apa yang dicita-
citakannya dengan sempurna. Sementara kebahagiaan
yang kelima, hanya bisa diperoleh kalau ia menjadi orang
yang cermat pendapatnya, benar pola berpikirnya, lurus

keyakinannya. Baik keyakinan agama maupun di luar
perkara agamanya, jarang salah dan terjebak kekeliruan,
dan mampu memberikan petunjuk yang tepat. Menurut
Aristoteles, jika seluruh bagian kebahagiaan ini ada pada
diri seseorang maka ia orang yang bahagia dan sempurna.
Namun, jika dia cuma mencapai sebagian maka
kebahagiaan yang dimilikinya pun sesuai dengan apa yang
baru dicapainya itu.

Adapun filsuf-filsuf sebelum tokoh ini, seperti Phytagoras,
Socrates,2 dan Plato, berpendapat bahwa kebajikan dan
kebahagiaan hanya dimiliki jiwa saja. Oleh karena itu, pada
saat mengklasifikasikan kebahagiaan, mereka hanya
membatasinya pada daya-daya jiwa saja, seperti telah kami
sebutkan pada permulaan buku ini, yaitu kearifan,
keberanian, kesederhanaan, dan keadilan. Mereka juga
berpendapat bahwa kebajikan-kebajikan tersebut cukup
untuk kebahagiaan, dan orang tidak lagi memerlukan
kebajikan lainnya, entah yang berkaitan dengan tubuh atau
yang di luar tubuh; bahwa kalau manusia memperoleh
keutamaan-keutamaan semacam itu maka kebahagiaannya
tidak akan berkurang, meski dia jatuh sakit, cacat tubuh
atau diserang berbagai macam penyakit jasmani.
Kebahagiaan akan terganggu kalau lemah pikiran atau
yang sejenis dengan itu. Kalau jatuh miskin, tidak tenar,
tidak berwibawa atau kekurangan lain di luar kita maka
yang demikian tidak merusak kebahagiaan.

Kaum Stoik dan kelompok naturalis berkeyakinan bahwa
tubuh merupakan bagian dari diri manusia. Mereka tidak
menganggap tubuh sebagai alat, seperti yang telah kami
terangkan sebelumnya. Oleh karena itu, mereka harus
menganggap kebahagiaan jiwa itu tidak sempurna kalau
belum ada kebahagiaan tubuh dan kebahagiaan dari apa
yang juga di luar tubuh, seperti segala sesuatu yang dapat
diperoleh melalui nasib baik dan keberuntungan.

Para pengkaji andal, yaitu para filsuf, mengesampingkan
nasib baik dan tiap sesuatu yang diperoleh melalui nasib
baik. Mereka tidak memasukkan hal-hal tersebut dalam
kategori kebahagiaan, lantaran kebahagiaan dipandang
sebagai sesuatu yang tetap, tidak sirna, dan tidak berubah-
ubah. Kebahagiaan adalah sesuatu yang paling mulia,
paling terhormat, dan paling tinggi. Mereka berpendapat
bahwa hal terendah—yaitu yang berubah, tidak tetap, tidak
diwujudkan melalui pemikiran serta bukan hasil dari nalar
atau kebajikan—tak dapat mengambil bagian dalam
kebahagiaan.

 

Dapatkah Kebahagiaan Diwujudkan di Dunia?

Demi inilah, para pemikir klasik berselisih tentang
kebahagiaan puncak. Sebagian berasumsi bahwa
kebahagiaan puncak tidak dapat diperoleh manusia,
kecuali kalau dia sudah berpisah dengan tubuh dan seluruh
fisik. Golongan inilah, yang sebelumnya kami kemukakan,
berpendapat bahwa kebahagiaan puncak hanya ada pada
jiwa. Mereka membatasi atribut manusia pada substansi
belaka, tanpa mengikutsertakan tubuh. Oleh karena itu,
mereka menyimpulkan kalau jiwa masih menyatu dengan
tubuh yang keruh, masih menyatu dengan kotornya badan
dan kepentingannya, serta masih menyatu dengan
kebutuhan jasadi, berarti jiwa belum benar-benar bahagia.
Mereka melihat bahwa jiwa belum mencapai
kesempurnaan yang berhubungan dengan eksistensi hal-
hal pikiran sebab hal-hal ini tak dapat diketahuinya karena
gelapnya materi. Atas dasar itu mereka berasumsi,
sekiranya jiwa telah bercerai dari kekeruhan ini, berarti
dia berpisah dari kebodohan, menjadi jernih, suci bersih,
dan akan menerima pancaran cahaya Ilahi, yaitu akal yang
senpurna. Bertolak dari pandangan mereka ini maka

manusa tidak akan benar-benar berbahagia, kecuali di
akhirat nanti.

Golongan lain berkata bahwa sangat memalukan kalau
berkata bahwa selama manusia masih hidup, kemudian dia
mampu melakukan perbuatan baik, memercayai prinsip
yang benar, berupaya keras memperoleh seluruh
keutamaan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk anak
keturunannya, lalu dia menjalankan perannya sebagai
khalifah Tuhan Swt. dengan baik dengan melakukan
perbuatan-perbuatan yang diridhai, tetapi kemudian masih
saja dia dianggap menderita dan serba kurang, hingga
akhirnya cuma karena dia mati, dan persoalan-persoalan di
atas sudah tidak ada lagi sangkut pautnya maka dia pun
lantas dianggap bahagia dan sejahtera secara sempurna ….

Aristoteles sependapat dengan pandangan ini, itu
terbukti dari pembahasannya tentang kebahagiaan
manusia. Menurutnya, manusia terdiri dari tubuh dan jiwa.
Oleh sebab itu, wajar kalau dia mendefinisikan manusia
sebagai makhluk berlogika yang bisa mati atau makhluk
berlogika yang berjalan di atas dua kaki, serta definisi-
definisi lainnya. Golongan ini dipimpin oleh Aristoteles.
Mereka berpandangan bahwa kebahagiaan dan
kesejahteraan dapat diperoleh manusia di dunia, kalau saja
manusia berupaya keras mendapatkannya, hingga dia
sampai pada puncak kebahagiaan.

Filsuf ini melihat hal ini dan melihat pula bahwa
kebahagiaan menusia berbeda satu dengan yang lainnya,
dan kebahagiaan merupakan problem sangat berat bagi
mereka. Filsuf ini menerangkan dan membahas
kebahagiaan secara mendalam. Karena orang miskin
memandang bahwa kebahagiaan terbesar itu terletak pada
harta dan kemudahan hidup, orang sakit memandang
kebahagiaan terletak pada kondisi sehat dan selamat,
orang yang merasa dirinya hina, dia memandang

kebahagiaan terletak pada kemuliaan dan kekuasaan,
orang durjana memandang kebahagiaan berada pada
pemuasan hawa nafsu yang bermacam-macam, orang yang
jatuh cinta memandang kebahagiaan ada pada dapat
ditaklukkannya hati orang yang dicintainya, dan orang
yang mulia, terhormat, melihat kebahagiaan terletak pada
saat ia berbuat kebajikan pada orang-orang yang berhak
mendapatkannya. Sementara filsuf melihat bahwa seluruh
kebahagiaan tadi merupakan kebahagiaan yang berbeda-
beda, bila ditata menurut kebutuhan akal, yaitu
kebahagiaan itu dicari bila diperlukan, pada waktu yang
tepat, dan dengan cara yang benar. Dia juga percaya
bahwa apa yang diinginkan demi sesuatu yang lain maka
kurang layak dibanding sesuatu yang bernama
kebahagiaan.

Karena masing-masing dari dua golongan ini sama-sama
mengajukan pandangan tentang kebahagiaan, di sini pun
kami harus mengemukakan pendapat yang kami anggap
benar, sekaligus dapat merangkum dua pendapat tadi.

 

Pandangan Pengarang tentang Kebahagiaan

Manusia memiliki kebajikan ruhani, yang dengannya ia
dapat menyamai ruh-ruh yang baik, yang sering disebut
malaikat. Ia pun mempunyai kebajikan jasmani, yang
dengannya ia dapat menyamai binatang. Karena, manusia
tersusun dari dua kebajikan ini. Berbekal fisik, yang
dengannya dia dapat menyamai binatang, manusia tinggal
di alam rendah ini dalam jangka waktu yang relatif singkat,
untuk memakmurkan sekaligus mengatur dan menertibkan
alam persada ini. Apabila ia telah berhasil mencapai
kesempurnaan dalam mengemban derajat kemanusiaannya
itu ia pun akan berpindah menuju alam yang tinggi, untuk
seterusnya tinggal di sana penuh keabadian dan

kesentosaan bersama para malaikat atau ruh-ruh yang
baik. Namun sebelumnya, harus kita pahami dulu apa yang
dimaksud alam rendah dan alam tinggi.

Sudah kami kemukakan bahwa yang kami maksudkan
alam tinggi bukanlah tempat yang tinggi menurut indra,
demikian pula, alam rendah bukanlah tempat yang rendah
menurut indra. Akan tetapi, tiap-tiap yang dapat dijangkau
oleh indra adalah alam rendah, meskipun itu terletak pada
tempat yang tinggi. Dan apa saja yang menjadi objek
pikiran adalah alam tinggi, walaupun itu terletak pada
tempat yang rendah. Ada satu hal lagi yang harus pula kita
ketahui bersama. Yakni bahwa bila berada bersama ruh-
ruh yang baik, yaitu yang terlepas dari jasad, tidak
diperlukan lagi kebahagiaan jasadi, tetapi yang diperlukan
adalah kebahagiaan jiwa saja, yaitu objek-objek pikiran
yang sifatnya abadi yang berupa kearifan. Dengan begitu
selama manusia itu masih manusia, kebahagiaannya tidak
akan bisa lengkap, kecuali kalau dia memperoleh kedua
kondisi ini sekaligus. Sedangkan dua kondisi ini tidak dapat
diperoleh, kecuali melalui sarana yang membawa ke
kearifan abadi. Kalau begitu, orang yang berbahagia pasti
berada pada salah satu dari dua tingkatan: dia berada pada
tingkatan hal-hal jasmani menyatu dengan keadaan-
keadaan rendah mereka dan berbahagia di dalamnya.

Namun, bersamaan dengan itu pula, dia mencari hal-hal
mulia, berupaya mendapatkan hal-hal mulia, menyukainya,
dan merasa puas dengannya; atau dia berada pada
tingkatan hal-hal ruhani, lekat dengan hal-hal tinggi, dan
berbahagia di dalamnya. Dia mengamati dan menelaah hal-
hal rendah, mengambil pelajaran darinya, merenungkan
tanda-tanda kekuasaan Ilahi dan bukti-bukti kearifan
sempurna, mengikuti contoh-contohnya, mengaturnya,
melimpahkan bermacam-macam kebaikan padanya, dan
memandunya memperoleh kebaikan demi kebaikan sebatas
kesanggupannya.

Siapa pun orangnya yang belum mencapai salah satu di
antara dua tingkatan ini, berarti dia berada pada derajat
binatang, bahkan lebih sesat lagi karena tingkatan
binatang itu tidak terbuka bagi kebaikan-kebaikan ini, dan
tidak pula diberi kemampuan untuk mendapatkan
tingkatan tinggi ini, tetapi, dengan dayanya, hanya dapat
bergerak ke arah kesempurnaan-kesempurnaan yang
sesuai dengan tingkatan itu. Lain halnya dengan manusia.
Dia dapat diseru untuk memperoleh tingkatan-tingkatan
tinggi ini, dan diberi bekal untuk itu.

Sayangnya, dia dipermainkan oleh sebab-sebab tertentu,
sehingga gagal memperoleh tingkatan tinggi itu, atau dia
tidak berupaya mendapatkannya. Dia lebih suka hal-hal
sebaliknya dan menggunakan daya-daya mulianya untuk
mendapatkan hal-hal hina. Binatang, sebaliknya, mencapai
kesempurnaannya sendiri. Kalau binatang tidak pernah
melakukan kebaikan-kebaikan manusiawi, hingga tidak
memiliki kesempatan untuk bersama ruh-ruh yang baik dan
masuk surga yang dijanjikan bagi orang-orang yang takwa
maka dapat dimaafkan, tetapi manusia tak dapat
dimaafkan. Yang pertama persis orang buta yang
menyimpang dari jalannya dan tercebur ke dalam sumur.
Di sini kita harus kasihan padanya, dan dia tidak salah.
Sedang yang kedua, sama dengan orang melek yang
berjalan tetapi juga tercebur ke dalam sumur. Dia tak perlu
dikasihani, dan juga tercela.

Dengan demikian, jelaslah kini bahwa orang yang
bahagia mesti berada pada salah satu dari dua tingkatan
yang telah kami sebutkan. Juga jelas bahwa satu orang
yang bahagia tidak sempurna dan tidak mencukupi bagi
yang lain. Sedang yang tidak sempurna tidak lepas dari
penderitaan, lantaran telah tertipu oleh bujukan-bujukan
hawa nafsu yang menghalanginya dari tujuannya dan
membuat dia sibuk menggeluti perkara-perkara jasmani.
Orang yang berada pada tingkatan ini belum benar-benar

sempurna dan belum benar-benar bahagia. Hanya orang
yang telah mencapai tingkatan lainnya sajalah yang telah
bahagia sepenuhnya. Dia memiliki banyak kearifan. Dan
dengan berbekal spiritualitasnya dia berada bersama
makhluk-makhluk tinggi yang dari merekalah dia banyak
mendapat kearifan; dia mendapat pancaran sinar Ilahi, dan
berupaya memperbesar kebajikannya sebatas perhatiannya
dan sebatas kurangnya kendala yag menghambat dia. Oleh
sebab itu, selamanya dia akan terlepas dari kesengsaraan
yang membelenggu orang yang mencapai tingkatan
pertama. Selamanya ia akan hidup bahagia dalam dirinya,
dalam kondisinya, dan dalam pancaran sinar yang pertama
yang selalu diterimanya. Dia akan merasa bahagia dengan
hal-hal itu saja dan gembira dengan keindahan-keindahan
saja. Hatinya hanya senang bila melihat kearifan di antara
orang-orang arif. Jiwanya tidak akan damai, kecuali kalau
dia bersama orang yang sama atau mendekati dirinya dan
ingin menuntut ilmu darinya. Kalau seseorang berhasil
mencapai tingkatan ini maka telah sampailah ia pada
puncak kebahagiaan. Dialah orang yang tidak keberatan
berpisah dengan yang dicintainya di dunia. Dialah orang
yang tidak bersedih hati karena tidak mendapatkan
kesenangan duniawi. Dialah orang yang memandang
tubuh, harta, dan semua kenikmatan duniawi, yang telah
kami kemukakan sebagai kebahagiaan jasmani maupun di
luar jasmani, tak lebih dari sekadar beban, kecuali bila
dibutuhkan untuk menjaga badannya, di mana dia tak bisa
lepas dari badan, kecuali kalau Penciptanya menghendaki.

Dialah orang yang rindu untuk bersama masyarakat yang
sama dengannya, untuk berkumpul dengan ruh-ruh yang
baik dan para malaikat terpilih yang sama dengan dirinya.
Dialah orang yang tak akan melakukan sesuatu kecuali bila
dikehendaki Allah. Dia memilih sesuatu yang akan
mendekatkan dia dengan-Nya. Ia tak akan membangkang
pada-Nya dengan mengikuti hawa nafsunya yang hina-dina,
dan tak akan terjerat tipu daya hawa nafsu, dan tidak pula

akan memperhatikan sesuatu yang menghalanginya
menuju kebahagiaannya. Dia tak akan bersedih hati atas
hilangnya sesuatu yang dia cintai, tidak akan berdukalara
atas kegagalannya memenuhi keinginannya.

Akan tetapi, tingkatan terakhir ini adalah tingkatan di
mana orang berbeda-beda sekali. Artinya, orang-orang
yang mencapai tingkatan ini, kelasnya banyak dan
berlainan. Dua tingkatan inilah yang dibahas filsuf
Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Kebajikan Jiwa
(Fadha’il Al-Nafs), dan dia memilih yang kedua.

... ... ...

 

Kesenangan dalam Kebahagiaan ini,
Kesenangan Sejati

Seseorang yang tahu hakikat kebahagiaan ini dan yang
dapat mengungkapkan perilakunya melalui kebahagiaan
itu adalah orang yang menikmati kebahagiaan itu, yang
menikmati kesenangan yang sebenarnya tanpa disertai
kebatilan. Dia lalu keluar dari cinta menuju ekstase (‘isyq)
dan kegembiraan (hayman). Pada saat seperti itu, dia tidak
mau kekuasaan tinggi dalam dirinya tunduk pada
kekuasaan perut dan organ-organ rendahnya. Dari situlah
dia tidak lagi menjadi budak “bagian” dirinya yang hina
karena “bagian” dirinya yang mulia tidak lagi tunduk pada
“bagian” yang rendah.

Sementara itu, yang saya maksudkan dengan
kesenangan yang diwarnai kepalsuan adalah kenikmatan-
kenikmatan yang dimiliki kita dan hewan-hewan yang tidak
memiliki pikiran. Kenikmatan-kenikmatan serupa ini
bersifat hawa nafsu, singkat masanya dan alat-alat indra
kita cepat bosan. Kalau saja lama masanya, kenikmatan-

kenikmatan ini membosankan dan tidak disukai indra dan
berubah menjadi menyakitkan. Indra mempunyai
kenikmatan aksidental (nonesensial) yang khas, begitu pula
akal, ia memiliki kenikmatan esensial. Karena kenikmatan
akal adalah kenikmatan esensial, sementara kenikmatan
indra cuma kenikmatan aksidental.

Oleh karena itu, barangsiapa tidak mengetahui
kenikmatan hakiki, dia tidak akan menyukai kenikmatan
itu. Barangsiapa tidak kenal penyebab esensial
(kebahagiaannya), tidak mungkin akan mendambakannya.
Sudah sering hal ini kami bahas. Sudah sering pula hal ini
kami anjurkan agar didambakan, dengan kami mengulang-
ulang pembahasan ini. Bahkan kami katakan bahwa
barangsiapa tidak tahu kebaikan mutlak, kebajikan
sempurna, serta tidak mempelajari kearifan praktis, yaitu
mengutamakan yang terbaik, mempraktikkannya, dan
teguh di dalamnya—niscaya dia tak akan menyenanginya.
Barangsiapa yang kondisinya seperti itu, dia akan
merasakan nikmatnya kebaikan-kebaikan yang kami
terangkan ini.

... ... ...

 

Sikap Orang Bahagia terhadap Nasib Buruk

Harus Anda ketahui bahwa selagi orang yang
berbahagia, yang kondisinya sudah kami terangkan, masih
hidup di jagat raya berputar dengan seluruh planet dan
bintangnya, dan dengan pertanda nasib baik dan buruknya,
selama itu pula ia dapat ditimpa bencana dan nasib buruk
yang juga menimpa orang-orang selainnya. Cuma bedanya,
orang yang berbahagia ini tidak takut dan tidak menemui
kesulitan seperti kesulitan yang dialami orang lain,
lantaran dia tidak segera terpengaruh karena dia tidak

terbiasa takut atau bersedih hati. Dia juga tidak
terpengaruh kesulitan dan kepahitan yang ditimbulkan
kondisi-kondisi aksidental. Andaipun dia ditimpa
kepedihan, dia mampu menahan diri, sehingga tetap
bahagia. Dia tidak terseret keluar dari alam kebahagiaan
sama sekali, kendatipun dia diuji dengan ujian Nabi Ayub
a.s., atau lebih dari itu sekalipun, dia akan tetap tegar. Hal
ini bisa terjadi karena dia memenuhi syarat-syarat
keberanian dan kesabaran dalam menghadapi apa yang
menakutkan hamba-hamba yang lemah karekternya. Maka,
dia rela dengan dirinya, kemudian karena kebaikan itu,
dengan berita-berita yang tersebar mewangi tentang
dirinya. Dia melihat bahwa pembunuh yang meneriakkan
keganasannya, atau pegulat yang mengidamkan
kemenangan tahan terhadap penderitaan besar seperti
cacat anggota tubuhnya dan menekan hawa nafsunya, demi
memperoleh kemenangan dan nama baik yang bisa
didapatkannya. Dia melihat bahwa dirinya lebih masuk akal
dan lebih tepat untuk bersabar. Karena tujuannya lebih
mulia dan nama-baiknya di kalangan orang-orang bajik
lebih besar, lebih tenar, dan lebih terhormat, dan karena
dia mencapai kebahagiaan jiwa dan kemudian menjadi suri
teladan bagi yang lainnya.

Aristoteles berkata, “Sebagian efek nasib buruk adalah
sedikit dan mudah dihadapi.” Maka, andaikan menimpa
manusia dan dia tahan, hal ini belum menunjukkan
ketinggian jiwa dan kekuatan tekadnya. Barangsiapa yang
belum berbahagia dan tidak pernah melaksanakan cara
mulia penyucian moral ini maka dia akan bersikap
keterlaluan. Dan bila nasib buruk menimpanya, dia akan
berada dalam satu di antara dua kondisi: terlalu
terpengaruh dan sangat menderita sedemikian sehingga
orang merasa kasihan kepadanya atau mengikuti contoh
orang-orang yang berbahagia serta mendengarkan nasihat-
nasihat mereka, hingga akan tampak dari dirinya sikap

sabar dan tenang, tetapi sebetulnya dia masih saja gelisah,
takut dan menderita.

Sebagaimana halnya anggota tubuh yang lumpuh akan
ke kiri bila digerakkan ke kanan, begitu pula geraknya jiwa
si keji. Jiwa ini bergerak menjauh dari kebaikan padahal
dia digiring ke sana, yakni pada saat mereka mengikuti
orang-orang yang baik dan adil, jiwa mereka akan
bergerak ke arah yang bertentangan, padahal mereka
mendorong jiwa mereka ke orang-orang baik.3[]

 

 

1 Diambil dari Ibn Miskawayh, Mizan, Bandung, 1999. h.92-
104

2 Pada dua dari Mss. yang tampaknya dari satu kelompok,
bacaannya adalah wa-buqrath (Hippocrates). Bacaan saya
wa-saqrath, yang diambil berdasarkan teks, selaras
dengan pandangan Walzer, Greek into Arabic, hlm. 224,
catatan kaki no. 3.

3 N..E.. 1102b 20-22.

20

Beryukur dan Bersabar Menghadapi
Ujian-Nya

Diceritakan ada seorang pekerja yang bekerja di sebuah
proyek konstruksi berlantai banyak. Suatu ketika, ada
panggilan masuk ke telepon selular temannya yang
mengabarkan bahwa anak rekannya itu sedang sakit dan dia
diminta segera pulang. Keluarganya terpaksa mengabarkan
lewat si rekan karena telepon selularnya tidak aktif. Namun
sayang, ketika itu si rekan berada di lantai tinggi, sedang si
pekerja ada di bawah. Si rekan kebingungan karena terlalu
jauh. Dipanggil-panggil, tak mendengar juga. Akhirnya
muncul ide, ia mengambil uang logam di kantongnya,
kemudian dijatuhkan dari atas dan mengenai kepala si
pekerja. Rekannya terkejut. Namun, karena yang jatuh
menimpa kepalanya sebuah koin, lantas ia ambil tanpa
menoleh ke atas. “Lumayan,” pikirnya. Kemudian pekerja itu
melanjutkan pekerjaannya. Lemparan koin ini terjadi
berulang-ulang sampai koin yang ada di kantong si rekan
habis. Karena kehabisan koin, akhirnya si rekan mencari
kerikil dan dilempar kepada si pekerja. Kerikil itu tepat
mendarat di kepalanya. Ketika tahu yang menimpa dirinya itu
kerikil, pekerja itu pun marah, dan menengok ke atas. Baru
pada saat itu teriakan si rekan bisa didengar dan kabar bisa
disampaikan. Terkadang, tak jarang kebaikan datang dalam
kemasan yang tidak menyenangkan.

***

Life is not a bed of roses. Bahkan, Allah menyatakan dalam Al-
Quran bahwa Hidup dan mati diciptakan untuk
mengujimu (dan melihat) siapa di antaramu yang paling
sempurna amalnya. Nabi Saw. mempertegas ini dengan
menyatakan, “Jika Allah mencintai seseorang maka Dia akan
mengujinya,” sambil pada kesempatan lain menegaskan
bahwa ia “tak akan makan dan minum dari cawan milik
orang yang tak diketahui pernah diuji oleh Allah.” Yakni
menguji dengan kesulitan atau tantangan apa saja. Kesulitan
itu seperti dirinci Al-Quran, bisa mengambil bentuk kematian
(orang yang kita cintai) dan kesempitan harta. Bahkan, bagi
yang menyebut dirinya beriman, Allah menyatakan pasti
akan mengujinya, sebagaimana dia uji orang-orang sebelum
kita. Mereka diguncang (dengan ujian yang keras)
sedemikian, sehingga bertanya, “Kapan tibanya pertolongan
Allah?” (Meski harus selalu diingat pula bahwa Allah
menjamin tak akan membebani seseorang, kecuali sebesar
apa-apa yang mampu ditanggungnya).

Pada kenyataannya, memang lebih banyak orang hidup di
dunia ini dalam keadaan tenggelam dalam pengumbaran
nafsu dan karenanya menjadi orang yang lalai (ghafil).
Hidupnya dituntun untuk tak menyebutnya dikendalikan oleh
nafsu, bukan fitrahnya yang suci. Nafsunya yang terbiasa
dimanjakan dan dipuasi, bukan saja membuatnya menjadi
ketagihan dan membuatnya dikendalikan olehnya, hal itu
menjadikannya rentan terpukul kekecewaan setiap saat ada
apa-apa yang diinginkannya tak terwujud. Bukan itu saja,
karena fitrah manusia selalu mencari kesempurnaan dan
ketenteraman spiritual, kepuasan nafsani tak mampu
memberinya kebahagiaan sejati. Bahkan berisiko besar untuk
menimbulkan kekecewaan luar biasa dan kehampaan makna,
serta kebingungan luar biasa ketika semua yang diikejar
teraih, tetapi kebahagiaan yang diharapkan tak kunjung
didapat. Maka, mau mencari kemana lagi? Dari sini
diharapkan kita pun lebih dapat memahami tujuan
kehidupan, dan sumbernya, juga diri sejati (fitrah) kita, lalu

mengatur hidup kita sesuai dengan itu. Inilah sesungguhnya
yang bisa menjamin kebahagiaan hidup kita, bukan hanya di
akhirat—di mana amal-amal kita diganjar—melainkan di
dunia ini. Karena, seberapa pun terpuasi nafsu keduniaan
kita, dia tak akan menjadikan hidup kita menjadi berbahagia,
malah sebaliknya.

Nah, sebagaimana ujian apa saja dalam kehidupan ini, ia
dimaksudkan untuk men-challenge agar kita melakukan
introspeksi, merogoh lebih dalam ke dasar jiwa kita (soul
searching)—ketimbang membiarkan diri kita terus hidup di
permukaan yang dangkal (superfisial) belaka—demi mencari
makna kehidupan. Dengan demikian, kita bisa berharap
untuk melakukan peningkatan kualitas kehidupan kita, dari
kehidupan yang sejatinya lebih hewani—sekadar mengumbar
nafsu fisikal—ke kehidupan yang lebih manusiawi. Yakni,
manusia yang dikaruniai akal dan hati, manusia yang
berfitrah kebaikan, manusia yang sebagai khalifah-Nya harus
berfungsi sebagai penebar kasih sayang dan kebaikan di
muka bumi.

Yang perlu diketahui, ujian (bala’) dari Allah Swt. bukanlah
hanya datang dalam bentuk kesulitan. Karunia-Nya juga bisa
menjadi ujian. Kekayaan, misalnya, dapat menjadi sumber
kesombongan jika kita tak memahaminya sebagai titipan
Allah untuk, bukan hanya diri kita sendiri, melainkan orang-
orang lain yang membutuhkan uluran pertolongan kita.
Kepintaran, kekuasaan, dan popularitas juga demikian.

Bahkan dalam analisis lebih jauh, kita diajar bersabar
ketika mendapatkan karunia. Yakni, untuk tak menjadi lupa
daratan sehingga menjadikan karunia itu berubah menjadi
bencana, baik untuk diri kita maupun untuk orang lain.
Sebaliknya, kita diajar untuk bersyukur ketika mendapatkan
kesulitan dengan kesadaran bahwa semuanya itu datang dari
Allah, sehingga bukan saja kita menerimanya dengan rela,
hal itu justru dapat meningkatkan keimanan kita.

Memang, sesungguhnya sabar dan syukur adalah dua sisi
dari mata uang yang sama. Orang yang mampu bersyukur
adalah orang yang pada waktu yang sama bisa bersabar, dan
sebaliknya. Mereka inilah yang akan terus mendapatkan
curahan karunianya (la in syakartum, lâzidannakum). Lebih
dari itu, merekalah orang-orang yang berbahagia: ... Dan
berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yang
(jika ditimpa ujian) mereka akan berkata, “Innâ lil-lahi wa
innâ ilayhi raji’un (Sesungguhnya kami milik Allah dan
kepadanya kami akan kembali).” (QS Al-Baqarah [2]: 155-
157)[]


Click to View FlipBook Version