The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by senduirene, 2024-05-29 23:08:31

Modul KAK

Modul KAK

i


ii Halaman ini sengaja dikosongkan.


iii SAMBUTAN Kebijakan publik yang berkualitas menjadi indikator utama pencapaian reformasi birokrasi. Munculnya Jabatan Fungsional Analis Kebijakan (JFAK) membuka pintu harapan baru bagi Pemerintah Indonesia dalam menjawab tantangan pelaksanaan reformasi birokrasi ke depan. Keberadaan analis kebijakan diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses perumusan kebijakan yang diproduksi oleh pemerintah dan seluruh elemen-elemen pengambil kebijakan (policy maker) di dalamnya. Lembaga Administrasi Negara (LAN) dalam hal ini berperan strategis menjalankan misinya sebagai instansi pembina JFAK. Dalam upaya peningkatan profesionalisme analis kebijakan, LAN telah melaksanakan berbagai upaya pengembangan kompetensi analis kebijakan. Kompetensi analisis dan kompetensi politis merupakan dua kompetensi pokok yang menjadi standard kompetensi analis kebijakan. Seorang analis kebijakan harus memiliki kemampuan memproduksi rekomendasi dengan kualitas yang baik dan juga mampu menjual ide tersebut untuk dapat dibeli oleh decision maker. Modul ini mencoba memberikan wawasan bagi pemenuhan kedua kompetensi analis kebijakan tersebut. Saya menyampaikan apresiasi kepada para penulis Modul Pelatihan Khusus JFAK yang telah berkontribusi memberikan waktu dan pikirannya sehingga tersusun modul ini sesuai dengan yang diharapkan. Saya juga mengapresiasi langkah Pusat Pembinaan Analis Kebijakan di bawah Deputi Kajian Kebijakan, LAN yang terus bersinergi dengan Knowledge Sector Initiative (KSI) di bawah Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT), Pemerintah Australia sehingga berhasil menerbitkan Modul Pelatihan Khusus JFAK ini. Jakarta, April 2017 Kepala Lembaga Administrasi Negara Dr. Adi Suryanto, M.Si.


iv KATA PENGANTAR Persoalan klasik kebijakan publik di Indonesia adalah kegagalan dalam membangun konten kebijakan yang didukung oleh suatu bukti rasional yang empiris (evidence-based) dan tidak berdasar pada kebutuhan publik. Kebijakan publik yang tidak merefleksikan kebutuhan publik ini akan berimplikasi terhadap efektifitas kebijakan tersebut untuk dapat menjawab berbagai persoalan dan tuntutan publik. Lahirnya jabatan fungsional analis kebijakan (JFAK) juga merupakan bagian dari strategi pengembangan perspektif rasional dalam proses analisis kebijakan berdasarkan bukti-bukti atau evidence. Dengan bukti-bukti yang solid, analis kebijakan melakukan advokasi terhadap rekomendasi kebijakan yang disarankan kepada pemangku kepentingan agar rekomendasinya dapat diterima atau diadopsi oleh pengambil keputusan. Deputi Bidang Kajian Kebijakan, Lembaga Administrasi Negara (DKK LAN) sebagai salah satu lembaga think tank kebijakan publik di Indonesia berperan memperkuat upaya LAN untuk membantu pemerintah dalam memperbaiki kualitas kebijakan publik yang ada. LAN yang ditetapkan menjadi instansi pembina jabatan fungsional analis kebijakan memiliki peran strategis dalam meningkatan tata kualitas kebijakan di Indonesia dengan melakukan pembinaan analis kebijakan. Ketersediaan analis kebijakan yang profesional merupakan prasyarat mutlak untuk melakukan upaya perbaikan tata kualitas kebijakan publik. DKK LAN melalui Pusat Pembinaan Analis Kebijakan (PUSAKA) menggandeng para penulis baik dari kalangan praktisi maupun akademisi untuk bersama-sama berkontribusi memberikan sumbangsih pengetahuan dan pengalamannya sehingga tersusunlah Modul Pelatihan Khusus JFAK ini. Modul Pelatihan Khusus JFAK ini sifatnya sebagai pelengkap dari referensireferensi pokok literatur ilmu kebijakan publik. Kami menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada Knowledge Sector Initiative (KSI) di bawah Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT), Pemerintah Australia yang mendukung upaya terbitnya Modul Pelatihan Khusus JFAK ini. Semoga modul yang ada di tangan Bapak/Ibu ini memberi pencerahan dalam membekali pengetahuan kepada para analis kebijakan dan kami harapkan analis kebijakan mampu melakukan perbaikan terhadap proses-proses di dalam siklus kebijakan publik. Jakarta, April 2017 Deputi Bidang Kajian Kebijakan Dr. Muhammad Taufiq, DEA.


v DAFTAR ISI MODUL Halaman Cover ................................................................................................. i Sambutan............................................................................................................ iii Sambutan............................................................................................................ iv Daftar Isi Modul................................................................................................ v Modul I Konsep dan Studi Kebijakan Publik (Agus Pramusinto / Erna Irawati) ....................... 1 Modul II Analisis Kebijakan Publik (Nunuk Dwi Retnandari / Elly Fatimah)................ 62 Modul III Dokumentasi Saran Kebijakan (Muhammad Taufiq / Agus Heruanto Hadna / Meita Ahadiyati Kartikaningsih)................................. 190


1 Modul I: KONSEP DAN STUDI KEBIJAKAN PUBLIK LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA REPUBLIK INDONESIA 2017 DAFTAR ISI MODUL I


2 DAFTAR ISI ..................................................................................................... 2 DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... 3 DAFTAR KOTAK .......................................................................................... 3 BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 4 A. Latar Belakang..................................................................................... 4 B. Deskripsi Singkat ............................................................................... 5 C. Tujuan Pembelajaran ....................................................................... 6 D. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok ......................................... 7 BAB II KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PEMERINTAHAN MODERN .. 8 A. Indikator Hasil Belajar .................................................................... 8 B. Pergeseran Peran Pemerintah ..................................................... 8 C. Pemerintah dan Kebijakan Publik .............................................. 13 D. Latihan ................................................................................................... 21 BAB III MEMAHAMI PROSES KEBIJAKAN ............................................. 22 A. Indikator Hasil Belajar .................................................................... 22 B. Definisi dan Ruang Lingkup Kebijakan Publik ....................... 22 C. Komponen dari Proses Kebijakan Publik ................................... 25 D. Proses Kebijakan ................................................................................ 26 E. Latihan ................................................................................................... 29 BAB IV TANTANGAN KEBIJAKAN PUBLIK DI INDONESIA............... 30 A. Indikator Hasil Belajar .................................................................... 30 B. Menciptakan Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-Based Policy) ................................................................... 30 C. Menciptakan Nilai dalam Pembuatan Kebijakan ................... 39 D. Mengembangkan Proses Deliberatif Dalam Pembuatan Kebijakan ...................................................................... 42 E. Memperkuat Eksistensi Analis Kebijakan ............................... 43 F. Keahlian yang Dibutuhkan oleh Analis Kebijakan ................ 48 G. Posisi Analis Kebijakan dalam Struktur Birokrasi ............... 54 H. Latihan ................................................................................................... 56 BAB V PENUTUP .................................................................................................... 57 A. Kesimpulan .......................................................................................... 57 B. Tindak Lanjut ...................................................................................... 58 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 59 DAFTAR ISTILAH .......................................................................................... 61


3 DAFTAR GAMBAR MODUL I Gambar 4.1 Systematic Review .......................................................................... 37 DAFTAR KOTAK MODUL I Kotak 4.1 Hirarki Bukti Dalam Meta-Analisis............................................... 38 Kotak 4.2 Nilai Lokal, Gender, dan Inklusivitas dalam Kebijakan Publik ......................................................................................................................................... 41


4 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dinamika kebijakan publik akan sangat tergantung bagaimana peran yang dimainkan oleh pemerintah. Sejarah menunjukkan bahwa pergeseran peran yang dimainkan oleh pemerintah berlangsung sepanjang jaman. Proses industrialisasi yang terjadi di barat secara langsung juga memengaruhi terjadinya modernisasi negara dalam menjalankan perannya. Peran negara yang pada awalnya sangat dominan semakin terkikis oleh peran swasta yang berkompetisi mengikuti mekanisme pasar. Kemunculan teori the invisible hand yang dipopulerkan oleh Adam Smith telah menggeser paradigma peran negara yang sangat dominan menjadi sangat minimal. Konsekuensi yang ditimbulkan adalah kebijakan publik yang dimainkan oleh negara juga berubah. Proses modernisasi kebijakan publik terus berkembang mengikuti dinamika yang terjadi dalam lingkungan sosial ekonomi politik. Modul ini disusun untuk mendiskusikan pentingnya kebijakan publik dalam pemerintahan modern dan memberikan penguatan terhadap kompetensi inti analis kebijakan melalui transfer pengetahuan tentang substansi dasar kebijakan publik melalui pembelajaran tentang berbagai permasalahan publik dan jenis kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kompetensi pelatihan yang diberikan diarahkan agar peserta mampu memahami hubungan antara masalah publik dan peran negara serta mampu mengidentifikasi jenis-jenis studi kebijakan. Kompetensi ini termasuk dalam kompetensi inti dari kompetensi analisis yang termasuk dalam standar kompetensi Analis Kebijakan. Penguasaan materi konsep dan studi kebijakan publik ini menjadi modal dasar dalam mempelajari analisis kebijakan publik dan dokumentasi saran kebijakan dalam mata pelatihan selanjutnya.


5 B. Deskripsi Singkat Modul ini dikembangkan untuk memfasilitasi pemahaman peserta pelatihan khusus Analis Kebijakan tentang konsep dan studi kebijakan publik. Kompetensi yang dihasilkan dari pembelajaran meliputi kemampuan menjelaskan hubungan antara masalah publik dan peran negara, serta kemampuan mengidentifikasi jenis-jenis studi kebijakan. Termasuk dalam kompetensi tersebut, peserta juga diharapkan dapat memahami makna basis bukti (Evidence-based) dalam kebijakan dan peran Analis Kebijakan. Modul ini terdiri dari lima bab yang terdiri dari pendahuluan, kebijakan publik dalam pemerintahan modern, memahami proses kebijakan, tantangan kebijakan publik di Indonesia, dan penutup. Pembahasan konsep kebijakan dalam konteks Indonesia yang diangkat dalam modul ini diarahkan untuk memunculkan wacana kritis terhadap bagaimana strategi penggunaan konsep studi kebijakan secara ideal dalam lingkungan kebijakan Indonesia yang sangat dinamis. Setelah memiliki pemahaman yang baik tentang dasar-dasar studi kebijakan dan memahami proses terciptanya kebijakan, peserta pelatihan akan diberi pemahaman tentang bagaimana menghasilkan bukti-bukti untuk membuat kebijakan dan bagaimana peran analis kebijakan dalam proses kebijakan yang terjadi.


6 C. Tujuan Pembelajaran Setelah mengikuti pembelajaran pada mata ajar ini diharapkan peserta diklat akan mampu menjelaskan hubungan antara masalah publik dan peran negara, serta mampu mengidentifikasi jenis studi kebijakan, yang dinilai dari kemampuan peserta dalam: 1. menjelaskan fenomena dalam masyarakat (sosial, poltik, budaya, dan lainnya) dan hubungannya dengan kebijakan publik; 2. menunjukkan hubungan antara berbagai fenomena dalam masyarakat sebagai bahan penyusunan kebijakan; 3. menyimpulkan konsep urusan/masalah publik dan privat (public vs private affairs); 4. mengidentifikasi urusan/masalah publik dan privat (public vs private affairs); 5. menyebutkan peran negara (kapan dan bagaimana) dalam menyesaikan permasalahan publik; 6. menjelaskan konsep dan studi kebijakan; 7. mendemonstrasikan hubungan antara permasalahan publik dan jenis kebijakan; 8. memahami komponen kebijakan publik; 9. memahami isu-isu kontemporer dan proses kebijakan; 10. memahami proses analisis kebijakan sebagai proses yang fleksibel; 11. menjelaskan konsep dan pentingnya bukti dalam proses pembuatan kebijakan; 12. memahami peran analis kebijakan di dalam proses kebijakan.


7 D. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok Materi dan sub materi pokok yang akan dibahas dalam modul ini adalah sebagai berikut: 1. Kebijakan Publik Dalam Pemerintahan Modern a. Indikator Hasil Belajar b. Pergeseran Peran Pemerintah c. Pemerintah Dan Kebijakan Publik d. Latihan 2. Memahami Proses Kebijakan a. Indikator Hasil Belajar b. Definisi Dan Ruang Lingkup Kebijakan Publik c. Komponen Dari Proses Kebijakan Publik d. Proses Kebijakan e. Latihan 3. Tantangan Kebijakan Publik Di Indonesia a. Indikator Hasil Belajar b. Menciptakan Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-Based Policy) c. Menciptakan Nilai Dalam Pembuatan Kebijakan d. Mengembangkan Proses Deliberatif Dalam Pembuatan Kebijakan e. Memperkuat Eksistensi Analis Kebijakan f. Keahlian Yang Dibutuhkan Oleh Analis Kebijakan g. Posisi Analis Kebijakan Dalam Struktur Birokrasi h. Latihan 4. Penutup a. Kesimpulan b. Tindak Lanjut


8 BAB II KEBIJAKAN PUBLIK DALAM PEMERINTAHAN MODERN A. Indikator Hasil Belajar Setelah mempelajari bab ini, peserta pelatihan dapat: 1. mampu menjelaskan fenomena dalam masyarakat (sosial, politik, budaya, dll) dan hubungannya dengan kebijakan publik; 2. menunjukkan hubungan antara berbagai fenomena dalam masyarakat sebagai bahan penyusunan kebijakan; 3. mampu menyimpulkan konsep urusan/masalah publik dan privat (public vs private affairs); 4. mampu mengidentifikasi urusan/masalah publik dan privat (public vs private affairs); 5. mampu menyebutkan peran negara (kapan dan bagaimana) dalam menyelesaikan permasalahan publik; 6. mampu mendemonstrasikan hubungan antara permasalahan publik dan jenis kebijakan. B. Pergeseran Peran Pemerintah Dalam sejarahnya, peran pemerintah dalam pembangunan mengalami pergeseran dari posisi yang sangat dominan ke posisi yang sangat terbatas. Di dalam periode yang lain, pergeseran terjadi kembali dari posisi terbatas ke posisi yang dominan. Berikut ini adalah fase-fase keterlibatan pemerintah dalam pembangunan. Pertama, adalah merkantilisme, yang merupakan aliran pemikiran dan praktik ekonomi yang berkembang di abad 16 sampai 18. Gagasan utama merkantilisme menekankan perlunya aset atau modal sebagai prasyarat kesejahteraan suatu pemerintah. Volume perdagangan global menjadi unsur penting sehingga sebuah pemerintah berusaha untuk


9 memperbesar kapital dengan melakukan perlindungan terhadap ekonomi. “At the heart of mercantilism is the view that maximising net exports is the best route to national prosperity” (The Economist, 23 Agustus, 2013). Hal tersebut dilakukan dengan mendorong ekspor melalui berbagai insentif dan mengurangi impor melalui pemberlakukan tarif yang tinggi. Pemerintah yang menganut paham tersebut akan berusaha membuat berbagai regulasi yang memperkuat posisinya dalam perdagangan. Kedua adalah the laissez-faire society. Gagasan yang muncul di akhir abad 18 menandai tahap akhir merkantilisme yang menekankan pemerintah terlibat sangat intensif dalam kegiatan ekonomi. Peran pemerintah sangat luas dan intrusif serta mendominasi perekonomian. Tulisan Adam Smith tahun 1776 yang berjudul The Wealth of Nations merupakan reaksi terhadap merkantilisme dengan membatasi tugas pemerintah. Hughes (2012) menjelaskan bahwa tugas pemerintah dibatasi pada area: melindungi masyarakat dari kekerasan dan invasi masyarakat lain; melindungi masyarakat dari ketidakadilan dan ketertindasan; menyediakan pekerjaan publik dan lembaga publik yang tidak pernah menjadi perhatian individual (invisible hand and invisible foot). Prinsip utama dalam konsep ini bahwa sebuah sistem ekonomi seharusnya bebas dari intervensi pemerintah dan hanya didorong oleh kekuatan pasar. Manusia pada dasarnya memiliki motivasi untuk memenuhi kepentingan pribadi (self-interest), dan mereka tidak perlu mendapatkan campur tangan dalam kegiatan ekonomi karena sistem produksi dan pertukaran ekonominya didasarkan pada saling-manfaat (mutual benefit). Ketiga adalah bangkitnya gagasan welfare state. Di abad 19, di Inggris ada usaha serius untuk menegakkan minimal state. Akan tetapi, ketika standar hidup meningkat banyak sekali efek samping (eksploitasi tenaga kerja anak, perumahan yang tidak memadai dan kesehatan warga yang buruk), maka di pertengahan abad ke 19 muncul paham oposisi terhadap laissez faire dan memunculkan gagasan welfare state. Pemerintah di


10 berbagai negara industri mulai melakukan intervensi atas nama pekerja dan penduduk secara umum. Pemerintah hadir untuk mengurangi kesenjangan distribusi, perlakuan buruk terhadap pekerja, keamanan konsumen serta munculnya monopoli oleh beberapa pengusaha kuat. Di Jerman, misalnya, gagasan welfare state dimulai tahun 1880-an. Negara diberi mandat untuk melindungi warga “from the cradle to the grave” (dari buaian ke liang lahat) dalam berbagai bentuk intervensi kebijakan seperti: subsidi untuk para pengangguran, skema kesehatan universal, bantuan pendidikan dan program bantuan sosial. Keempat adalah gagasan economic rationalism. Pada saat gagasan welfare state bekerja, banyak kritik bermunculan karena terlalu banyaknya intervensi pemerintah dalam perekonomian. Salah satunya adalah bahwa penerapan gagasan welfare state telah menguras anggaran negara dan memerlukan negosiasi politik yang berat. 'Economic rationalism' adalah istilah yang sering dipakai di banyak negara, misalnya Australia, untuk menjelaskan kebijakan ekonomi yang dimaksudkan untuk mengurangi intervensi pemerintah dan lebih mendasarkan pada perekonomian pasar. Bentuk-bentuk kebijakan yang terkait dengan economic rationalism adalah pemangkasan belanja pemerintah, privatisasi dan deregulasi. Praktik economic rationalism diterapkan di Inggris di era Margareth Thatcher pada tahun 1979 dan di Amerika Serikat di era Presiden Ronald Reagan pada tahun 1980. Mereka mengenalkan gagasan ‘small government’ (pemerintahan kecil), di mana perusahaan-perusahaan negara diswastakan untuk mengurangi beban pemerintah. Orang juga menyebut tahun 1970-an sebagai era free market economy atau free enterprise dengan melakukan deregulasi bisnis dan menghapus berbagai hambatan bisnis secara progresif. Kelima, era kembalinya peran pemerintah (return to governmentalism). Pemerintah Bill Clinton yang berkuasa pada tahun 1992 memulai untuk mengembalikan peran pemerintah. Di Inggris lewat John


11 Major dan Tony Blair, mereka juga melakukan hal yang sama dengan mengembalikan peran pemerintah. Meskipun peran negara berkurang dalam pembangunan ekonomi, namun kehadiran negara relatif tinggi pada era ini dengan tujuan untuk menjamin pelayanan yang berkualitas dan juga alasan lain seperti keadilan, perlindungan, dan kebebasan masyarakat. Dalam perkembangannya kita mengenal berbagai istilah sampai saat ini seperti New Public Management, Good Government, Good Service Management, Quality Management, dan lain-lain. Bagaimana kondisinya di Indonesia? Dominasi negara mewarnai jalannya pemerintahan di Indonesia pada awal kemerdekaan sampai pada era 1967. Peran negara dalam awal kemerdekaan ini, difokuskan untuk tujuan kedaulatan negara. Makna pembangunan sebenarnya dimulai pasca era itu, di mana negara juga masih mendominasi prosesnya (mulai 1968-an sampai sekitar 1997). Stabilitas ekonomi dan politik menjadi fokus yang beriringan pada era ini. Masa ini ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat namun juga menciptakan kesenjangan sosial yang sangat tinggi. Sekitar tahun 1998, dominasi negara tersebut dipertanyakan dan mulai berkembang upaya untuk bekerja sama dengan swasta/privat dalam berbagai penyelenggaraan publik. Perkembangan global dan juga situasi domestik Indonesia sangat memengaruhi dinamika peran pemerintah dalam masyarakat. Di satu sisi pemerintah memfasilitasi dan mendorong peran pasar dalam penyelenggaraan negara, di satu sisi pemerintah mengembangkan berbagai intervensi untuk menjamin bahwa peran swasta ini tidak memperbesar kesenjangan ekonomi. Sejarah memperlihatkan bahwa peran pemerintah selalu menjadi pelaku utama di Indonesia, meskipun bentuk-bentuk intervensinya selalu berbeda dan berkembang sesuai dengan dinamika lingkungannya. Beberapa catatan untuk memperlihatkan peran negara dalam konteks Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut:


12 1. Pancasila sebagai filosofi yang memuat tema-tema dan acuan penting dari Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Sebagai konsekuensinya berbagai keterlibatan pemerintah harus sepenuhnya mengacu kepada tema-tema penting di atas yang diarahkan untuk mencapai tujuan negara (disebutkan di dalam Konstitusi), yaitu: melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia) 2. Filosofi dalam Pancasila itu menjadi dasar dan harus diturunkan dalam berbagai norma penyelenggaraan negara untuk menciptakan masyarakat yang maju dan sejahtera. Apa yang dapat dilakukan negara (dalam hal ini pemerintah) untuk menciptakan norma-norma sesuai filosofi negara yaitu membuat kebijakan publik sesuai dengan filosofi negara. 3. Norma sebagai wujud dari filosofi negara tersebut harus diturunkan secara operatif berupa kejelasan program (program-programnya seperti apa?), bagaimana hukum dibuat dan diturunkan secara operatif agar menjadi program dan kegiatan yang berdampak langsung kepada masyarakat. Diskusi mengenai seberapa peran negara atau pemerintah dalam kehidupan masyarakat menjadi sangat menarik dewasa ini. Beberapa isu terkait dengan peran pemerintah ini berkisar pada masalah alokasi, distribusi, birokrasi, ownership, maupun jaminan kebebasan. Beberapa pertanyaan tersebut: Seberapa proporsi sumberdaya masyarakat dikonsumsi atau diinvestasikan pemerintah dan berapa dikonsumsi atau diinvestasikan untuk swasta? (problem alokasi)


13 Seberapa besar seharusnya anggaran pemerintah, dan sejauhmana pemerintah memberi kontribusi pada penerimaan swasta dalam bentuk transfer payments? (problem distribusi) Berapa persentase angkatan kerja seharusnya dipekerjakan di sektor publik? (problem birokrasi) Seberapa besar sumberdaya produktif dimiliki oleh pemerintah? (problem kepemilikan) Seberapa derajat otoritas di tangan pemerintah atau masyarakat? (problem kebebasan individu) C. Pemerintah dan Kebijakan Publik Kapan pemerintah dibutuhkan? Apakah pemerintah menjadi fokus utama dalam pembangunan? Apa peran pemerintah? Ketika pemerintah dipenuhi dengan korupsi, inefisiensi, penyalahgunaan wewenang siapa yang ‘memimpin’? Mengapa kita butuh pemerintah? Pembangunan selalu berkaitan dengan pemenuhan berbagai kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain pembangunan selalu terkait dengan upaya memproduksi barang-barang publik. Penyediaan air bersih, jalan, listrik, taman kota, informasi (pajak, akuntabilitas terhadap pengeluaran pemerintah publik) dan lain-lain. Dalam konteks primitif, manusia memiliki kecenderungan untuk memenuhi kebutuhannya dengan caranya sendiri baik secara mandiri atau secara kolektif/berhubungan dengan individu lain. Terdapat berbagai inisiatif pembangunan yang lahir dari masyarakat, seperti: pengelolaan sampah, keamanan, fasilitas sosial seperti taman bermain atau olahraga dan lain-lain. Kondisi ideal ini tidak selalu berjalan sempurna, seringkali individu atau kelompok-kelompok (organisasi) menghadapi dilema untuk bekerja secara kolektif karena munculnya kepentingan, preferensi, cara, pertimbangan yang berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan ini disebabkan oleh berbagai hal termasuk ekonomi, politik,


14 ideologi, agama, budaya dan lain-lain. Kondisi ini memunculkan ketidaksepahaman masyarakat untuk menyelesaikan permasalahannya sendiri sehingga dibutuhkan sebuah organisasi yang disebut ‘pemerintah’ untuk menyelesaikan masalah yang tidak mampu diselesaikan oleh mereka sendiri. Dalam konteks ini pemerintah memegang peran pentingnya atas hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat secara individual atau berkelompok. Peran pemerintah dapat kita jumpai pada sektor seperti manajemen sumber daya manusia, transportasi umum, perencanaan kota. Dalam perkembangannya karena berbagai alasan seperti efisiensi, keterbatasan anggaran, atau alasan ekonomi lain, muncul peran organisasi swasta sebagai partner negara untuk memenuhi kebutuhan atau menyelesaikan permasalahan publik. Peran swasta ini muncul dengan berbagai variasi bentuknya dan mengambil bentuk produksi barang/jasa, alokasi barang/jasa atau pun konsumsi atas barang dan jasa (market mechanism). Dalam konteks interaksi dengan organisasi swasta ini, peran negara sering sebagai regulator untuk berfungsinya mekanisme pasar atau pun mengatur perilaku pasar, pajak dan retribusi atau pun realokasi sumber daya. Selain individu/kelompok masyarakat, negara, pasar, terdapat organisasi nirlaba (non profit organizations/NGOs) yang juga berperan dalam pembangunan, khususnya untuk isu atau permasalahan yang sifatnya sosial seperti lingkungan hidup, jaminan hak asasi manusia, keadilan, ras, suku dan agama. Gambaran di atas memperlihatkan bahwa dalam penyelesaikan permasalahan publik terdapat interaksi yang kompleks atas berbagai aktor dalam sebuah pemerintahan baik pemerintah dan lembaga perwakilan, swasta, dan masyarakat (yang kita kenal sebagai tiga pilar dalam good governance). Terdapat perubahan yang signifikan ketika pemerintah menjadi aktor utama dalam pelaksanaan urusan pemerintahan berubah


15 menjadi shared responsibilities antar berbagai aktor yang terkait langsung maupun tidak langsung dengan suatu urusan pemerintahan. Bahkan selain tiga aktor tersebut, ketika definisi masyarakat dan kelompok masyarakat kita kembangkan kita akan melihat peran organisasi nirlaba (NGO) dalam urusan pemerintahan baik dalam direct public service delivery atau berperan dalam mekanisme monitoring dan evaluasi atas kinerja sektor lain (pemerintah dan swasta serta masyarakat). Globalisasi, modernisasi, kondisi ekonomi, dinamika politik dan sosial, perkembangan teknologi kesemuanya memberikan pengaruh terhadap permasalahan publik. Kondisi ini memperlihatkan semakin pentingnya arti sebuah kebijakan publik yang baik, yaitu sebuah kebijakan yang memiliki outcomes yang dapat diterima (acceptable outcomes). Untuk mencapai hasil ini, meskipun aktor kebijakan semakin kompleks dan dinamis, peran negara masih selalu muncul dan dapat dikatakan dominan. Dalam perkembangannya peran ini bergeser jika sebelumnya negara sering berperan sebagai ‘provider’ atau penyedia dalam pelayanan publik, dalam perkembangannya peran negara dalam konteks ini berbagi peran dengan swasta atau dengan organisasi nirlaba bahkan dengan kelompok masyarakat/masyarakat. Yang masih menjadi domain negara adalah peran sebagai regulator untuk memastikan acceptable outcome, social benefits, fairness, justice, human right, welfare dan juga safety serta kepentingankepentingan lain yang tidak dapat diperankan oleh pihak lain1. Negara selalu ada dan akan selalu hadir kalau kita membicarakan pembangunan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana negara itu hadir. Kehadiran negara salah satunya diwujudkan dalam bentuk kebijakan publik. Pertanyaan yang sering muncul adalah apa yang dilakukan pemerintah/negara (kebijakan apa yang dibuat pemerintah), bagaimana mereka mengimplementasikan kebijakan, bagaimana mereka memilih 1 Untuk melihat secara jelas pergeseran paradigma government to governance dapat di baca buku Osborne tentang Reinventing Government.


16 kebijakan (alternatif tertentu) atas serangkaian alternatif, dan bagaimana mereka menangani berbagai sasaran (objectives) yang saling bertentangan. Ketika kita membicarakan intervensi pemerintah selain mempertanyakan apa yang harus diintervensi pemerintah, pertanyaan penting lain terkait dengan kehadiran negara adalah kapan dan bagaimana intervensi negara dalam konteks ini pemerintah dibutuhkan. Kehadiran negara dapat dimaknai sebagai agen untuk ‘membantu’ kehidupan bermasyarakat, namun terkadang dilihat sebagai ‘pengganggu’. Dalam konteks ini kita kenal istilah hak positif dan negatif negara. Hak positif adalah hak negara untuk terlibat dalam urusan tertentu, sedangkan hak negatif adalah hak negara untuk tidak terlibat dalam suatu urusan. Hak ini bisa berupa kegiatan dan pertimbangan legal maupun moral. Pertanyaannya adalah mana yang termasuk hak positif dan mana yang termasuk dalam hak negatif? Dalam berbagai kasus dalam bidang ekonomi sosial dan hak asasi manusia (human rights), pemerintah memiliki hak positif untuk masuk terlepas pasar gagal atau berhasil dalam mengatur bidang tersebut. Jaminan terhadap kepentingan yang lebih luas atau pun pertimbangan sosial sehingga negara tanpa diminta dapat masuk untuk mengurusi bidang tersebut. Sementara itu, untuk hak (kebebasan) masyarakat dalam bidang politik dan kehidupan bermasyarakat (civil and political human rights), pemerintah memiliki hak negatif di mana kehadirannya sangat tidak diperlukan kecuali sudah ada masalah. Misalnya, relasi umat beragama adalah urusan internal antar pemeluk di mana masing-masing diharapkan sudah bisa menjalankan hak dan kewajiban. Pemerintah baru boleh hadir ketika terjadi friksi di antara mereka. Tugas pemerintah adalah menyelesaikan konflik dengan tetap berprinsip untuk melindungi yang lemah, minoritas serta terpinggirkan. Pemerintah menterjemahkan hak positif dimana pemerintah harus terlibat dan masuk dalam kehidupan masyarakat dalam bentuk kebijakan


17 atau pun tindakan langsung. Pemerintah bisa hadir melalui berbagai bentuk yang dibedakan menjadi: 1. Government provision (tindakan pemerintah secara langsung untuk menyediakan atau men-suplly kebutuhan masyarakat). Tindakan ini biasanya dilakukan pemerintah untuk alasan: a. Alokasi yang menyangkut ukuran relatif sektor publik dan swasta. Tindakan pemerintah yang berupa penegeluaran dan kebijakan misalnya dalam sektor perpajakan akan memengaruhi alokasi dan distribusi sumberdaya di sektor swasta. Sebagai contoh alokasi atau pengeluaran pemerintah pada sektor konstruksi akan berpengaruh pada sektor konstruksi secara umum seperti ekonomi sektor konstruksi, sektor manufaktur dan juga sektor ketenagakerjaan. b. Distribusi yang dilakukan untuk mempertahankan kesetimbangan (keseimbangan) berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan seperti transfer payments. c. Stabilisasi yang dilakukan untuk memperbaiki perekonomian secara keseluruhan melalui kebijakan anggaran. Pemerintah bertanggung jawab untuk full employment, price stability, economic growth and balance of payments (pandangan Keynesian) sehingga pemerintah dituntut menjalankan atau melakukan ‘sesuatu’ sebagai wujud existensinya dalam kehidupan masyarakat. 2. Subsidi yang diartikan sebagai upaya pemerintah untuk membantu masyarakat, swasta/industri menjamin ketersediaan atau pun kualitas (termasuk harga) suatu pelayanan kepada masyarakat misalnya subsidi pendidikan dan pertanian. Dalam prakteknya terkadang sulit untuk membedakan government provision dan juga subsidi misalnya ketika swasta membangun jalan atau jembatan dengan dana pemerintah (ini subsidi atau provisi?). 3. Produksi di mana pemerintah melakukan suatu kegiatan untuk memproduksi barang atau jasa namun tidak menggunakan dana/biaya


18 (budget) pemerintah melainkan membebankan biaya produksi tersebut pada pengguna misalnya biaya listrik dan air. Dalam prakteknya sering kita menjumpai pemerintah melakukan produksi dan subsidi misalnya pemerintah memproduksi listrik secara langsung dan menarik pembayaran dari pengguna, namun pada saat yang sama perintah tidak menerapkan prinsip produksi secara total (seperti pada perusahaan swasta) pemerintah memberikan subsidi agar pelayanan listrik dapat dinikmati seluruh masyarakat. 4. Regulasi, pemerintah menggunakan perijinan dan larangan atas kegiatan tertentu untuk melakukan intervensi pada kehidupan bernegara. Bentuk-bentuk seperti lisensi, penentuan tarif, regulasi ketenagakerjaan, kebijakan perdagangan dan lain-lain adalah bentuk-bentuk regulasi ini. Anderson dalam Irawati dan Widaningrum (2015: 22-23) membedakan jenis kebijakan menjadi:2 1. Kebijakan substantif dan kebijakan prosedural. Kebijakan substantif adalah jenis kebijakan yang menyatakan apa yang akan dilakukan pemerintah atas masalah tertentu, misalnya kebijakan pengurangan angka kemiskinan melalui kebijakan beras miskin. Kebijakan prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif tersebut dapat dijalankan. Kebijakan ini bersifat lebih teknis, tentang standard dan prosedur (atau Standard Operating Procedure), misalnya penentuan kriteria warga masyarakat yang berhak mendapat bantuan. 2. Kebijakan distributif, kebijakan regulatif, dan kebijakan re-distributif. Kebijakan distributif adalah kebijakan yang bertujuan untuk mendistribusikan atau memberikan akses yang sama atas sumberdaya tertentu, misalnya kebijakan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Kebijakan regulatif adalah kebijakan yang mengatur perilaku orang atau 2 Materi ini diadopsi dari Modul Pelatihan Analis Kebijakan (2015) Bab III, hal. 22 s.d 23


19 masyarakat, misal kebijakan menggunakan sabuk pengaman jika mengendarai atau menjadi penumpang dalam mobil. Kebijakan redistributif adalah kebijakan yang mengatur pendistribusian pendapatan atau kekayaan seseorang, untuk didistribusikan kembali kepada kelompok yang perlu dilindungi untuk tujuan pemerataan, misal kebijakan pajak progresif, kebijakan subsidi silang, kebijakan subsidi BBM. 3. Kebijakan material dan kebijakan simbolis. Kebijakan material adalah kebijakan yang sengaja dibuat untuk memberikan keuntungan sumberdaya yang konkrit pada kelompok tertentu, misal kebijakan beras untuk orang miskin. Kebijakan simbolis adalah kebijakan yang memberikan manfaat dan penghormatan simbolis pada kelompok masyarakat tertentu, misalnya kebijakan libur Natal untuk orang beragama Kristen/Katolik, libur Waisak untuk menghormati orang beragama Budha, atau libur Idul Fitri untuk menghormati orang beragama Islam. 4. Kebijakan yang berhubungan dengan barang publik (public goods) dan barang privat (private goods). Kebijakan barang publik adalah kebijakan yang mengatur tata kelola dan pelayanan barang-barang publik, seperti kebijakan pengelolaan ruang publik/fasilitas umum, jalan raya. Kebijakan barang privat adalah kebijakan yang mengatur tata kelola dan pelayanan barang-barang privat, misalnya pengaturan parkir, penataan pemilikan tanah. Gambaran di atas memperlihatkan bahwa bagaimana pun pendulum bergerak, peran negara belum atau tidak dapat digantikan oleh sektor apapun. Meskipun peran negara tidak dapat digantikan dan selalu ada, namun perkembangan juga menunjukkan bahwa peran ini secara dinamis selalu berkembang, berubah dan bergeser. Perkembangan, perubahan dan pergeseran ini terjadi untuk memastikan bahwa keberadaan pemerintah sebagai bagian dari solusi masalah publik, bukan hadir menjadi bagian dari


20 masalah. Sebagai sebuah intervensi untuk mengatasi masalah, negara melalui kebijakan publik harus hadir sesuai dengan keperluan. Ketepatan kehadiran negara dalam konteks perubahan lingkungan negara seperti peningkatan tuntutan masyarakat dan kompleksitas masalah publik diterjemahkan dalam pertanggungjawaban pemerintah untuk memenuhi kebutuhan sosial masyarakat, atau kebutuhan kolektif masyarakat (berbeda dengan sektor swasta yang mengutamakan pemenuhan kebutuhan sendiri/sektor swasta). Dalam hal ini kita mengenal konsep mengenai public value (nilai-nilai publik). Public Value adalah tentang menciptakan social outcome (outcome sosial), tidak berhenti pada kepuasan stakeholder namun menggunakan aset pemerintah untuk menciptakan lingkungan sosial yang baik dan adil (Moore, 2014). Lebih lanjut Moore (2014) menyebutkan bahwa dalam public value kita perlu memberikan batasan yang jelas antara hasil akhir (the ends) yaitu tujuan yang kita cari dengan cara (means), alat, teknik atau strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan atau hasil akhir. Aspek penting dalam public value adalah apa yang paling tepat (dapat dilakukan) untuk memproduksi sebuah outcome, memuaskan stakeholder, dan juga menjamin keadilan dan menjunjung harkat martabat stakeholder yang dilayani. Negara selalu dituntut untuk menunjukkan akuntabilitasnya atas fungsi penyelenggaraanya (perannya) dan kepercayaan (trust) terhadap peran tersebut akan muncul jika negara mampu menciptakan nilai publik (public values) melalui kebijakan-kebijakannya.


21 D. Latihan Mengapa dalam suatu negara yang menganut free market mechanism peran negara sangat terbatas atau dalam beberapa hal dibatasi?


22 BAB III MEMAHAMI PROSES KEBIJAKAN A. Indikator Hasil Belajar Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan dapat: 1. mampu memahami komponen kebijakan publik ; 2. mampu memahami isu-isu kontemporer dan proses kebijakan; 3. mampu memahami proses analisis kebijakan sebagai proses yang fleksibel. B. Definisi Dan Ruang Lingkup Kebijakan Publik. 3 Di tengah-tengah kelangkaan sumberdaya yang terbatas, dengan berbagai masalah publik yang makin kompleks, pemerintah dituntut untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut, agar tidak menimbulkan implikasi yang tidak diinginkan. Oleh karena pemerintah dihadapkan pada situasi keterbatasan sumber daya di satu sisi dan masalah-masalah publik yang makin kompleks di sisi yang lain, maka pemerintah tidak mungkin menyelesaikan masalah-masalah tersebut secara bersamaan. Pemerintah harus menentukan pilihan penyelesaian masalah-masalah publik tersebut berdasarkan prioritas. Kebijakan publik secara sederhana merupakan bentuk pernyataan formal dari pemerintah tentang pilihan terbaik dari berbagai alternatif penyelesaian masalah publik. Sudah barang tentu pemerintah dituntut memiliki kemampuan yang memadai agar mampu menyesuaikan diri dengan dinamika perubahan lingkungan. Dalam hal ini peran kebijakan publik dan perumus kebijakan publik menjadi sangat vital. Mengutip pendapat Dewey (1927), kebijakan publik menitikberatkan pada “publik dan masalah-masalahnya”. Kebijakan publik dilihat sebagai sarana 3 Materi ini sebagian besar diambil dari Modul Pelatihan Analis Kebijakan, 2015 (Modul 1 yang ditulis oleh Erna Irawati dan Ambar Widaningrum).


23 untuk memecahkan dan menyelesaikan berbagai masalah publik. Hal senada diungkapkan oleh M.C. Lemay (2002) yang menyebutkan bahwa kebijakan adalah a purposive course of action followed by an actor or set of actors in dealing with problems. Kebijakan publik dibuat sebagai reaksi atas masalah publik yang muncul. Selanjutnya kemampuan menyelesaikan masalah-masalah publik menjadi titik sentral dalam kebijakan publik. Dalam berbagai literatur, kebijakan publik didefinisikan secara beragam, karena dalam suatu disiplin ilmu terdapat perspektif atau cara pandang yang bervariasi. Thomas Dye (1975) misalnya, menyebutkan kebijakan publik sebagai (hampir) semua yang diputuskan atau tidak diputuskan oleh pemerintah (whatever governments choose to do or not to do). Friedrich (2007) mengatakan bahwa kebijakan adalah keputusan yang diusulkan oleh individu, kelompok atau pemerintah yang bertujuan untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Sejalan dengan Friedrich, Sharkansky (1970) mendefinisikan kebijakan sebagai tindakan pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Definisi-definisi tersebut memandang bahwa kebijakan publik merupakan instrumen untuk mencapai tujuan. Definisi kebijakan publik juga bisa dilihat dari sisi aktor pembuat kebijakan, yang menekankan pentingnya peran aktor dalam membuat kebijakan. Anderson (1979) mendefinisikan kebijakan publik sebagai serangkaian tindakan yang dipilih secara sengaja oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang dimaksudkan untuk mengatasi suatu masalah. Lester dan Stewart (1996) mengartikan kebijakan sebagai proses atau rangkaian kegiatan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan publik. Selanjutnya Somit dan Peterson (2003) mendefinisikan kebijakan publik sebagai aksi pemerintah. Pada beberapa definisi tersebut, ada penekanan peran penting beberapa aktor dan bukan aktor tunggal dalam pengambilan kebutusan. Kebijakan publik merupakan aksi kolektif dari beberapa aktor. Aksi kolektif tersebut menjadi hal yang tidak mungkin dihindari mengingat proses menghasilkan kebijakan publik itu tidaklah sederhana. Seperti yang


24 diyakini oleh Kay (2006), kebijakan publik didapatkan dari proses yang cukup rumit, mengingat bahwa terdapat beragam keputusan yang dihasilkan oleh beberapa aktor yang tersebar di seluruh organisasi pemerintah dalam tingkatan yang berbeda. Dari berbagai definisi, kebijakan publik memiliki lingkup yang sangat luas. Hogwood dan Gunn (1984) menyebutkan 10 penggunaan istilah kebijakan, yang menunjukkan makna yang berbeda-beda: 1. Kebijakan sebagai label untuk sebuah aktivitas, misal: kebijakan pendidikan, kebijakan industri; 2. Kebijakan sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara yang diharapkan, misal kebijakan tentang pelayanan publik yang berkualitas dan terjangkau oleh seluruh masyarakat, kebijakan pengurangan angka kemiskinan; 3. Kebijakan sebagai proposal spesifik, misal kebijakan pengurangan subsidi bahan bakar minyak; 4. Kebijakan sebagai keputusan pemerintah, misal: Keppres, keputusan menteri; 5. Kebijakan sebagai otorisasi formal, misal: keputusan DPR; 6. Kebijakan sebagai sebuah program, misal: program pengarus-utamaan gender; 7. Kebijakan sebagai sebuah keluaran (output), misal pengalihan subsidi bahan bakar minyak untuk mendorong pengembangan usaha kecil; 8. Kebijakan sebagai sebuah hasil (outcome), misal: peningkatan nilai investasi dan pendapatan pengusaha kecil sebagai implikasi pengalihan subsidi bahan bakar minyak untuk usaha kecil; 9. Kebijakan sebagai sebagai teori atau model, misal: jika infrastruktur fisik wilayah Indonesia Timur diperbaiki maka perkembangan sosial ekonomi wilayah itu semakin meningkat; dan


25 10. Kebijakan sebagai sebuah proses, misal pembuatan kebijakan dimulai sejak penetapan agenda, keputusan tentang tujuan, implementasi sampai dengan evaluasi. Berbagai gambaran di atas memperlihatkan bahwa kebijakan publik tidak hanya berupa regulasi atau keputusan pemerintah (secara formal) misalnya Undang-Undang, peraturan pemerintah dan peraturan (formal) lainnya. Kebijakan publik dapat berupa program, standar, bahkan aktivitas yang dilakukan untuk menyelesaikan masalah publik. C. Komponen Dari Proses Kebijakan Publik Pembuatan kebijakan publik berada di lingkungan yang dinamis dan terbuka, seringkali tidak ada awal maupun akhir (hampir tidak ada batas). Kebijakan tentang pendidikan meskipun sudah ada tapi selalu menjadi subyek bagi kebijakan publik baik untuk tujuan perbaikan, evaluasi atau pun penggantian. Tuntutan ini menjadi semakin tinggi dengan munculnya masyarakat modern, inovasi teknologi, dan juga perkembangan transaksi internasional. Meskipun selalu ditemukan perubahan terkait dengan isu dan fokus kebijakan publik, namun terdapat beberapa komponen yang selalu ada (konstan) ketika membicarakan kebijakan publik yaitu: 1) Isu kebijakan adalah muara dalam proses perumusan kebijakan publik. Yang menjadi fokus utama tindakan dalam proses perumusan kebijakan adalah keberadaan berbagai isu yang berkembang dalam masyarakat yang selalu berkompetisi untuk mendapatkan perhatian lebih sehingga berubaha menjadi agenda kebijakan. Agenda kebijakan inilah yang menjadi dasar aktor kebijakan untuk merumuskan kebijakan; 2) Aktor Kebijakan4 yang mendengar, melihat, memperhatikan, dan melakukan ‘aktivitas’ untuk 4 Untuk bacaan lebih lanjut mengenai aktor kebijakan dapat dilihat pada Modul Pelatihan Analis Kebijakan, 2015 (Modul III, Stakeholder Mapping, Bab II, hal. 109-118).


26 memberikan status pada isu yang terpilih untuk menjadi agenda kebijakan. Aktor (orang/individu/kelompok) dalam pemerintahan dan juga aktoraktor lain dapat memajukan sebuah isu dan mengumpulkan dukungan untuk resolusinya; 3) Sumber daya yang terpengaruh ataupun dipengaruhi dengan keberadaan isu-isu. Apakah pembuat kebijakan membutuhkan sumber daya untuk ‘menangani’ isu atau tidak? Apakah ada nilai-nilai dan faktor lain yang menentukan jawaban atau kebijakan atas isu yang dipilih? Sejauhmana kondisi krisis terjadi? Kesemuanya tersebut memengaruhi penggunaan sumber daya; 4) Institusi yang berurusan dengan isu-isu dan bagaimana kebijakan publik dirumuskan dan dilaksanakan. Institusi (Publik) ini dapat terdiri atas eksekutif, legislatif, dan yudikatif bahkan birokrasi (dalam berbagai level pemerintahan) yang terlibat dalam kreasi/pembuatan dan implementasi dari kebijakan publik. D. Proses Kebijakan5 Proses kebijakan terkait dengan kegiatan membuat pilihan-pilihan kebijakan beserta tahapannya, yang mempertimbangkan berbagai faktor dalam lingkungan kebijakan. Seperti yang ditulis oleh Harold Laswell, pertimbangan tersebut berkenaan dengan who get what, when and how. Dalam pandangan David Easton (Dye, 1972) ketika pemerintah membuat kebijakan publik, ketika itu pula pemerintah mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai di dalamnya. Oleh karena itu, dalam setiap pembuatan kebijakan akan bersinggungan dengan kepentingan publik yang kompleks. Konsekuensinya pembuatan kebijakan akan selalu melibatkan publik. Ketika globalisasi semakin meluas, aktor-aktor internasional pun tidak dapat dilepaskan sebagai bagian yang penting dalam pembuatan kebijakan publik (bahkan ketika isu yang dibahas adalah isu domestik). 5 Diadopsi dari Modul Pelatihan Analis Kebijakan (2015), Modul I, Bab II, hal. 13 s.d 16


27 Secara terperinci, Subarsono (2006) menjelaskan kerangka kerja kebijakan, yang dalam realitasnya ditentukan oleh beberapa aspek sebagai berikut. 1. Tujuan yang akan dicapai. Ini mencakup kompleksitas tujuan yang akan dicapai. Apabila tujuan kebijakan semakin kompleks, maka akan sulit mencapai kinerja kebijakan yang diinginkan. Sebaliknya, apabila tujuan kebijakan semakin sederhana, maka semakin mudah untuk mencapainya 2. .Preferensi nilai seperti apa yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan. Suatu kebijakan yang mengandung beberapa preferensi nilai akan lebih sulit untuk dicapai dibandingkan dengan suatu kebijakan yang hanya mengejar satu nilai saja. 3. Sumberdaya yang mendukung kebijakan. Kinerja suatu kebijakan akan ditentukan oleh sumberdaya: finansial, material dan infrastruktur lainnya. 4. Kemampuan aktor yang terlibat dalam pembuatan kebijakan. Kualitas suatu kebijakan akan dipengaruhi oleh kualitas para aktor yang terlibat dalam proses pembuatan dan penetapan kebijakan. 5. Lingkungan yang mencakup lingkungan sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya. Kinerja kebijakan akan dipengaruhi oleh konteks sosial, ekonomi, politik pada tempat atau wilayah kebijakan tersebut diimplementasikan. 6. Strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan. Strategi implementasi akan memengaruhi kinerja kebijakan. Strategi tersebut dapat bersifat top-down atau bottom up approach; otoriter atau demokratis. Selanjutnya, Dunn (2004) menjelaskan proses kebijakan publik sebagai berikut: (1) penetapan agenda kebijakan (agenda setting), dengan menentukan masalah publik apa yang akan diselesaikan; (2) formulasi kebijakan, dengan menentukan kemungkinan kebijakan yang akan digunakan dalam memecahkan masalah melalui proses forecasting


28 (konsekuensi dari masing-masing kemungkinan kebijakan ditentukan); (3) adopsi kebijakan, menentukan pilihan kebijakan melalui dukungan para eksekutif dan legislatif, yang sebelumnya dilakukan proses usulan atau rekomendasi kebijakan; (4) implementasi kebijakan, tahapan di mana kebijakan yang telah diadopsi tersebut dilaksanakan oleh organisasi atau unit administratif tertentu dengan memobilisasi dana dan sumberdaya untuk mendukung kelancaran implementasi. Pada tahap ini, proses pemantauan (monitoring) kebijakan dilakukan; (5) evaluasi kebijakan, adalah tahap melakukan penilaian kebijakan atau kebijakan yang telah diimplementasikan. Shafritz dan Russel (1997) menjelaskan proses pembuatan kebijakan sebagai sebuah siklus, dimulai dari (1) agenda setting, dimana masalahmasalah publik diindentifikasi menjadi masalah kebijakan, (2) memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan kebijakan, (3) melaksanakan kebijakan (implementasi), (4) evaluasi kebijakan (baik berupa program atau kegiatan) beserta dampaknya, dan (5) melakukan umpan balik, yakni memutuskan apakah kebijakan tersebut akan diteruskan, direvisi atau dihentikan. Proses kebijakan publik menurut Dunn (2004), pada praktiknya tidak berbeda dengan yang disampaikan oleh Shafritz dan Russel (1997), kecuali menetapkan pelaksanaan proses umpan balik untuk menentukan kelanjutan kebijakan yang sudah ada. Dunn juga menekankan pentingnya umpan balik, namun tidak secara eksplisit dalam satu tahapan khusus, begitu pula dengan Anderson (1979) yang memberi istilah agenda setting dengan formulasi masalah. Dari perspektif demokrasi, kebijakan publik yang akan diimplementasikan harus mendapatkan dukungan dari publik, yang bisa digali dengan berbagai metode aspirasi, seperti dengar pendapat atau konsultasi publik, diskusi kelompok terfokus, dan sebagainya. Informasi dari publik sangat penting karena kemampuan wawasan, pengetahuan dan


29 penguasaan pembuat kebijakan tentang masalah-masalah publik kadangkala terbatas. Selain itu, dapat diasumsikan bahwa keterlibatan publik yang lebih tinggi dalam proses pembentukan kebijakan, semakin tinggi rasa memiliki dan dukungan publik untuk kebijakan, sehingga mendorong penerapan dan penegakan kebijakan yang efektif. Partisipasi pemangku kepentingan dan konsultasi publik ini penting untuk meningkatkan transparansi, membangun kepercayaan publik dan mengurangi risiko implementasi. Peran analis kebijakan adalah untuk memastikan bahwa kebijakan yang dibuat akan memecahkan masalah publik. Dengan kata lain, kebijakan publik dibuat untuk kepentingan publik yang luas, bukan hanya untuk menjaga kepentingan para pembuat kebijakan atau kelompok tertentu. Dunn (2004) menjelaskan keterkaitan hubungan antara peran pembuat kebijakan dengan analis kebijakan dalam menghasilkan informasi kebijakan. Untuk menghasilkan informasi kebijakan yang tepat yang mendorong terwujudnya kebijakan publik yang berkualitas, maka diperlukan dukungan metode analisis kebijakan. E. Latihan 1. Dari manakah proses kebijakan dimulai? 2. Apakah proses kebijakan selalu berakhir pada tahap monitoring dan evaluasi?


30 BAB IV TANTANGAN KEBIJAKAN PUBLIK DI INDONESIA A. Indikator Hasil Belajar Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan dapat: a. mampu menjelaskan konsep dan pentingnya bukti dalam proses pembuatan kebijakan; b. mampu memahami peran analis kebijakan di dalam proses kebijakan. B. Menciptakan Kebijakan Berbasis Bukti (Evidence-Based Policy) Fenomena reduksi makna kebijakan publik masih sering kita jumpai. Kebijakan publik seringkali dimaknai sebagai regulasi, atau kebijakan yang tertuang secara formal dan tertulis dalam bentuk peraturan perundangundangan. Berbagai definisi tentang kebijakan publik dalam bagian 2 memberikan gambaran bahwa makna kebijakan publik lebih luas dari regulasi, kebijakan publik dapat berupa tindakan, kegiatan, maupun proyek. Makna ini yang sering tidak disadari oleh pengambil keputusan, kondisi ini dapat kita lihat ketika dengan mudahnya para pengambil keputusan (decision makers) memberi pernyataan dimuka publik (melalui media atau langsung) tanpa didukung oleh data yang akurat (evidencelessbased) untuk membuktikan ketepatan dari keputusan yang dibuat. Kondisi ini sering menimbulkan kekecewaan masyarakat karena kebijakan yang dikeluarkan tidak memiliki dasar atau analisis yang baik dan tidak disertai impact analysis (analisis dampak) atas ucapannya tersebut. Kebijakan publik menjadi sebuah keputusan penting yang berdampak pada masyarakat, kebijakan yang tidak tepat akan menimbulkan kerugian yang besar baik secara langsung mau pun tidak langsung pada kehidupan masyarakat dan negara. Kita sering melihat atau pun mendengar berbagai cerita permasalahan kebijakan sebagai indikasi ketidaktepatan


31 kebijakan seperti keluhan dunia usaha di beberapa daerah tentang dampak kesulitan pengurusan ijin usaha yang berdampak pada perekonomian suatu daerah, kebijakan penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG) pada moda transportasi taxi di Jakarta, kebijakan mobil nasional, dan masih banyak cerita lain yang dapat dilihat. Pertanyaannya apakah pembuat kebijakan dapat menjelaskan mengapa sebuah keputusan diambil? Mengapa memilih menetapkan pengurusan ijin usaha misalnya 6 hari, apa dampaknya bagi pemohon dan juga teknis pelaksanaannya? Dalam kasus konversi BBG, apakah pemerintah sudah mengkaji bagaimana implementasi kebijakan ini, dampak konversi pada kendaraan, ketersediaan terminal pengisian BBG?, Apakah kebijakan mobil nasional disertai dengan informasi mengenai perilaku pengambilan keputusan pembelian mobil di Indonesia? Pertanyaan seperti apakah ada naskah akademik, apakah ada analisis kebijakan yang menyertai sebuah keputusan kebijakan adalah pertanyaan klasik yang sering kita dengar. Namun kenyataannya sangat sulit kita mendapatkan sebuah informasi yang menggambarkan informasi yang relevan terkait penyusunannya (sumber kebijakan, kapan diperoleh, dan bagaimana memperolehnya yang nantinya akan menjadi input utama dalam pengambilan kebijakan). Kebijakan yang disusun dengan berdasarkan pada sebuah analisis yang komprehensif akan memberikan dampak positif yang luar biasa pada efektivitas sebuah kebijakan. Hal ini sesuai yang dikatakan Cooney dkk. (2007) bahwa berbagai cerita keberhasilan program-program kebijakan (yang telah ditemukan) menunjukkan peran yang sangat besar dari hasilhasil evaluasi yang ketat (berbasis bukti/evidence-based). Kebijakan yang disertai dengan sebuah analisis yang baik (analisis dengan menggunakan berbagai proses dan bukti yang kuat) akan memberikan dasar dan juga potensi yang besar untuk keberhasilannya. Analisis kebijakan merupakan aktivitas terkait dengan penciptaan pengetahuan. Beberapa pakar yang menyatakan hal tersebut antara lain


32 adalah Laswell sebagaimana dikutip oleh Dunn (1994) menyatakan bahwa “policy analysis is the activity of creating knowledge of and it the policy making process. In creating knowledge of policy making process policy analysis investigate the causes, consequence, and performance of public policies and programs.” Harold D. Lasswell (1971) yang dikutip oleh William N. Dunn (1994:1) mendefinisikan bahwa analisis kebijakan merupakan suatu aktivitas penciptaan pengetahuan dalam proses pembuatan kebijakan yang didasari penelitian tentang sebab, akibat/konsekuensi, dan kinerja kebijakan serta program publik. Analisis kebijakan dipahami sebagai sebuah aktivitas intelektual dan praktis yang bertujuan untuk menciptakan, secara kritis menilai, dan mengkomunikasikan pengetahuan dalam proses kebijakan (Dunn dalam Fatimah dan Prasojo, 2015: 208). Analisis tentang berbagai pilihan kebijakan yang dilakukan secara tepat dan disertai dengan pembuktiannya secara ilmiah akan memberikan nilai pada perubahan atau pembuatan kebijakan. Pembuktian ketepatan keputusan kebijakan inilah esensi dari evidence-based proses perumusan kebijakan. Turner (2013) menyebutkan bahwa evidence diperlukan oleh para pembuat kebijakan dengan tujuan : 1. Membantu mereka untuk mendiagnosa masalah dan sebab-sebab pokok; 2. Mendesain opsi kebijakan dan akses yang mungkin bagi pemberian alternatif lain; 3. Menunjukkan dan mengevaluasi dampak dari kebijakan baru (modal dan program baru); 4. Memonitor implementasi program, mengukur biaya dan kinerja dan sensitifitas kebijakan dalam setting berbeda; 5. Mengevaluasi dampak jangka panjang dan biaya efektivitas kebijakan (program-program) yang ada. Evidence-based memberikan informasi mengenai ketepatan masalah sehingga aktor kebijakan dapat berpijak pada masalah yang tepat dalam


33 pengambilan keputusan dan juga memberikan informasi mengenai kemungkinan dampak pelaksanaan kebijakan serta gambaran efektivitas pelaksanaannya. Dalam era keterbukaaan dan tuntutan akuntabilitas yang tinggi proses atau analisis ini sangat penting dan bermanfaat bagi pembuat kebijakan untuk membuktikan akuntabilitasnya, menunjukkan efisiensi pembiayaan keputusan kebijakannya (ketersediaan sumber data), dan efektivitas pilihan kebijakan. Dalam konteks analis kebijakan, pemetaan kebutuhan informasi (bukti atau data), pengecekan dan pendataan keberadaan bukti (pencarian bukti baru hanya dilakukan ketika bukti tidak tersedia), analisis hasil dan penginformasian analisis pada decision maker adalah esensi proses pencarian bukti atau evidence. Bagaimana mengumpulkan bukti dalam pembuatan kebijakan? Apakah seorang analis kebijakan harus selalu mencari bukti baru melalui pencarian langsung (data primer) atau dapat menggunakan data sekunder yang sudah ada? Bagaimana bukti atau evidence menjadi bagian dalam proses perumusan kebijakan publik? Bagaimana mendapatkan data yang valid? Apakah data yang ada dapat dipercaya? Bagaimana cara menggunakan data-data? Dan bagaimana kondisi data di Indonesia? Seringkali kita mengatakan bahwa data di Indonesia sangat sedikit sehingga tidak bisa digunakan sebagai evidence, sehingga yang harus dilakukan adalah kegiatan research untuk menggumpulkan data. Mungkin kondisi ini pada tataran tertentu benar adanya, namun kita juga harus menyadari bahwa di Indonesia terdapat berbagai instansi baik pemerintah maupun swasta bahkan organisasi kemasyarakatan (nirlaba) yang “Evidence alone is unlikely to be the major determinant of policy outcomes. Policies are more likely to be adopted and implemented successfully when they are developed through extensive engagement and evidence-based dialogue with interested and affected parties. The model of policy making does not require us to abandon evidence for intuition, or reasoned, empirical analysis for emotion, but it does invite us to recognise emotion and affect within ―a reasoned and open dialogic process of policy formulation.” (Freiberg and Carson 2010, 161)


34 memiliki aktivitas dan program utama mengumpulkan data. Permasalahannya bagaimana pengelolaan dan juga penyimpanan mereka, bagaimana akses/sharing yang mereka lakukan serta bagaimana pemanfaatan bagi pengambilan keputusan kebijakan. Organisasi pemerintah memproduksi dan memiliki data dan informasi, namun mereka menggunakannya untuk tujuan sendiri (misalnya untuk pelaporan) dan tidak menyediakan akses bagi orang lain. Bahkan informasi keberadaan data tersebut tidak diketahui orang lain, atau mengangggap data atau informasi menjadi aset pribadi/organisasi sehingga untuk memperolehnya orang harus selalu berhubungan dengan pribadi/organisasi tersebut. Silo-silo kepemilikan akan data menjadi fenomena yang biasa. Permasalahan lain adalah kendala teknologi penyimpanan dilakukan dengan cara-cara konvensional (baik hardcopy maupun softcopy) dalam bentuk database yang tidak dapat diakses orang lain karena fasilitas organisasi tidak ada untuk open source. Dalam konteks ini, konsep knowledge management menjadi solusi agar akses dan juga penyimpanan terhadap data dapat dilakukan dengan baik dan penyediaan akses bagi berbagai pihak. Modul ini tidak akan membicarakan secara khusus mengenai konsep knowledge management (KM) namun menggarisbawahi bahwa KM menjadi penting dalam penerapan evidence-based dalam pengambilan keputusan. Saat ini perkembangan dan hasil penelitian (khususnya ilmu sosial) dengan pembuatan kebijakan tidak sejalan (tidak berjalan dengan baik), karena kemanfaatan hasil penelitian dalam konteks perumusan kebijakan sangat minim kita jumpai. Pembuatan kebijakan adalah sebuah proses yang terpisah dari kegiatan penelitian, pemanfaatan hasil penelitian (bukti atau evidence) sangat tergantung pada kapasitas seorang pengambil keputusan menggunakan bukti-bukti atau fakta yang ada dalam penelitian. Menjembatani kedua proses yang terpisah ini menjadi inti penerapan evidence-based dalam kebijakan publik.


35 Transfer pengetahuan, informasi, data dan bukti dari luar aktor kebijakan (analis kebijakan, peneliti, akademisi) ke dalam ruang pengambil keputusan adalah proses lanjutan dari pemrosesan sebuah bukti (analisis). Salah satu kendala masuknya ruang ‘ilmu’ dalam pembuatan kebijakan adalah permasalahan waktu, urgensi, kemudahan untuk dipahami. Penelitian seringkali membutuhkan waktu dalam pelaksanaannya yang berimplikasi ketidaktepatan kehadirannya ketika dibutuhkan karena urgensinya sudah menurun dan juga informasi penelitian yang sangat teknis dan ditail yang terlalu ‘berat’ untuk dikomunikasikan dengan pengambil keputusan kebijakan. Tantangan penerapan evidence-based dalam perumusan kebijakan di Indonesia adalah menyediakan data dan informasi secara tepat waktu dan dalam kemasan yang informatif. Dalam konteks analis kebijakan, pemetaan kebutuhan informasi (bukti atau data) untuk menjawab urgensi, pengecekan dan pendataan keberadaan bukti akan memberikan konteks waktu yang tepat, jaminan kualitas informasi/bukti sehingga dapat dilanjutkan penginformasian pada decision maker (komunikatif dan mudah). Apa metode yang dapat digunakan? Salah satu metode yang saat ini menjadi referensi analis kebijakan adalah Systematic Review (Reviu Sistematik). Systematic Review (SR) menjadi kiblat dalam perkembangan evidencebased dalam pembuatan kebijakan (Pawson, 2006). Metode ini berkembang ketika melihat kondisi maraknya penelitian dilakukan berbagai pihak dan juga ‘kemiripan’ aspek yang diteliti. Hal lain yang turut memengaruhi perkembangan SR adalah kenyataan bahwa pelaksanaan penelitian seringkali membutuhkan waktu yang lama. Masih dengan mengedepankan perbaikan dan perubahan, konsep utama SR adalah untuk menyelesaikan masalah publik, pilihan kebijakan yang dapat dilakukan berakhir pada 4 pilihan utama yaitu retain, imitate, modify or discharge and replace. Mempertahankan kebijakan, mengimitasi kebijakan yang berhasil,


36 memodifikasi atau menghentikan kebijakan bahkan mengganti kebijakan adalah strategi utama dalam keputusan kebijakan. Analisis dalam SR sangat mengandalkan meta-analysis (analisis dari hasil analisis) untuk proses sintesisnya. Meta-analysis adalah sebuah metode di mana hasil berbagai kajian dilakukan dikumpulkan, diintegrasikan sehingga menghasilkan sebuah sintesis sebagai sebuah hasil analisis baru. Keuntungan penggunaan meta-analysis adalah pengaruh opini pribadi sangat kecil (karena data dan analisis yang digunakan berdasarkan temuan pihak/orang lain) sehingga menghasilkan kesimpulan yang tidak bias. Pembaca dapat melakukan pengecekan ulang atas data yang digunakan dalam meta-analisis (pengambilan keputusan) karena semua hasil studi atau kajian digunakan dilaporkan. Beberapa keuntungan penggunaan meta-analysis adalah: 1. Meningkatkan penggunaan perbandingan statistik. 2. Meningkatkan estimasi dampak. 3. Mengkombinasikan hasil kajian yang dibandingkan. 4. Stimulus munculnya pertanyaan yang baru. 5. Menganalisis beberapa kelompok dari kajian yang berbeda. 6. Menganalisis tren (dalam skala waktu/time-frame tertentu, kelompok dengan karakteristik yang sama). 7. Mengidentifikasi area atau topik yang membutuhkan kajian atau studi lebih lanjut. 8. Menganalisis jika dan bagaimana kajian sebelumnya telah dimodifikasi dan menghasilkan pengetahuan dalam topik tertentu.


37 Gambar 4.1. Systematic Review Sumber: Pawson, 2006, hal. 9 Tahapan dalam Systematic Review (Pawson, 2006): 1. Menyusun pertanyaan untuk kegiatan reviu. Sasaran utama kegiatan pada tahap ini adalah mengidentifikasi masalah kebijakan yang akan direviu dan kemungkinan (alternatif) solusi. Dua hal utama yang harus ada pada alternatif solusi adalah intervensi yang akan dilakukan dan outcome yang dihasilkan. 2. Mengidentifikasi dan mengumpulkan berbagai bukti (evidences). Kegiatan yang dilakukan adalah mencari dan juga menggali berbagai data yang telah ada terkait dengan intervensi yang disusun pada tahap sebelumnya. Ekplorasi secara komprehensif berbagai database,


38 bibliographies, website bahkan data fisik yang ada dan relevan dengan intervensi yang disusun. 3. Melakukan penilaian atas kualitas bukti. Langkah utama tahapan ini adalah menentukan data atau bukti mana yang valid dan layak untuk dianalisis lebih lanjut. 4. Menyaring dan memproses data. Menampilkan data awal dalam matrik, mengumpulkan informasi yang mirip atau sama dari berbagai data yang sudah dikumpulkan dan dinilai. Fitur atau hasil yang diperoleh adalah data yang relevan untuk dilakukan reviu. 5. Melakukan sintesis atas data. Lakukan kombinasi dan summary atas data untuk melakukan reviu atas hipotesa (alternatif solusi) yang disusun. Gunakan metode statistik untuk melakukan estimasi keberhasilan bahkan efisiensi dari intervensi atau program yang diusulkan. Tampilkan juga hubungan atau manfaat program atau intervensi yang ditawarkan dengan dampak yang diharapkan, persamaan, perbedaan dengan intervensi sebelumnya jika ada. 6. Diseminasi hasil. Laporkan atau informasikan hasil kepada komunitas kebijakan (decision maker dan pihak lain yang relevan) untuk mendapatkan dukungan atau memengaruhi pengambilan keputusan tentang sebuah program. Sumber: Pawson, 2006, hal.49 Kotak 4.1. Hirarki Bukti Dalam Meta-Analisis - Level 1 : Uji Coba Dengan Sample Yang Terkontrol - Level 2 : Kajian Quasi-Experimental - Level 3 : Perbandingan Sebelum Dan Sesudah - Level 4 : Cross-Sectional, Kajian Dengan Sampel Secara Acara (Random) - Level 5 : Evaluasi Proses, Studi Formatif Fan Penelitian Terapan - Level 6 : Studi Kasus Kualitatif Dan Penelitian Etnografi - Level 7 : Panduan Diskriptif Dan Dan Contoh Praktek Terbaik - Level 8 : Opini Ahli Dan Profesional - Level 9 : Opini Pengguna


39 C. Menciptakan Nilai dalam Pembuatan Kebijakan Perdebatan dalam arena kebijakan (khususnya tentang peran-peran analis) selama ini berkutat pada isu mengenai bagaimana cara efektif dan efisien dalam menjalankan kebijakan. Pendekatan ini lebih menekankan cara atau instrumen yang sering disebut sebagai rasionalitas instrumental (instrumental rationality). Padahal, menentukan tujuan apa yang ingin dicapai merupakan problema tersendiri. Dalam konteks penentuan tujuan, pendekatan rasionalitas nilai (value rationality) menjadi penting (Thacher 2014: 17). Pentingnya nilai dalam kebijakan publik juga sudah dinyatakan oleh Lawrence M. Friedman (2004) bahwa sistem hukum sebuah masyarakat merupakan cermin yang merefleksikan struktur kekuasaan di masyarakat tersebut. Sistem hukum juga mengekspresikan norma dominan dan gagasan-gagasan yang mengatur. Sebagaimana dikatakan oleh Masters (tanpa tahun) bahwa nilai sosial mendorong terciptanya kebijakan public atau memberikan isi kebijakan atau menciptakan batasbatas (a social value may prompt the creation of a public policy, or provide the content -- or establish its limits). Sudah menjadi perdebatan yang panjang bahwa nilai yang diperjuangkan dalam kebijakan publik akan mendasari bentuk kebijakan publik yang dibuat. Sejak tahun 1970an, George Frederickson dalam bukunya New Public Administration telah mempersoalkan kontestasi nilai dalam kebijakan publik. Nilai apa yang menjadi acuan utama proses pembuatan kebijakan? Sering kita menjumpai persaingan antara nilai-nilai keadilan yang sering berhadapan dengan nilai-nilai efisiensi dan efektivitas. Manakah yang harus didahulukan antara kedua nilai tersebut ketika seorang analis kebijakan menawarkan sebuah tujuan kebijakan. Pemberian subsidi pada transportasi umum (bis, kereta api atau jenis angkutan umum lainnya), listrik, bahan bakar, penyediaan air bersih, dan listrik seringkali berbenturan dengan pertimbangan efisiensi penyediaan atau produksi layanan ini. Aktor kebijakan harus mempertimbangkan


40 pilihan nilai yang dijadikan acuan dalam pengambilan keputusannya. Apakah nilai keadilan lebih penting dari efisiensi, atau keduanya harus dikompromikan dalam skala tertentu atau adakah nilai-nilai lain yang lebih dominan dalam setiap keputusan kebijakan? Selain kontestasi nilai, aspek budaya atau cultural juga sangat memengaruhi arti dan konteks kebijakan publik. Beberapa kebijakan yang berhasil dibeberapa negara, daerah, atau pun organisasi tidak selalu memberikan hasil yang sama di konteks yang lain karena perbedaan nilai. Kebijakan one stop service mungkin berhasil pada suatu daerah (dengan jarak pelayanan yang tidak terlalu menjadi masalah), di sisi lain kebijakan ini mungkin tidak memberikan hasil yang maksimal di daerah yang memiliki permasalahan geografis (yang mungkin lebih tepat menggunakan strategi mobile service, dengan mendekati lokasi penerima layanan atau kombinasi dengan online system). Nilai yang digunakan dalam kebijakan harus memperhatikan perbedaan konteks ini, Fred Riggs (1971) menyebutkan pentingnya cross-cultural public administration and public policy. Hal ini berangkat dari pemahaman bahwa administrasi dipengaruhi oleh lingkungan, ekonomi, politik, legal, institusi dan lain-lain yang memberikan arti dan konteks berbeda dalam kebijakan publik. Menurut Leichter (1979: 41-42), konteks kebijakan mengacu interaksi tujuh belas faktor situasional, struktural, kultural dan lingkungan yang memengaruhi proses pembuatan kebijakan. Menurut Honadle (1999: 2), konteks merupakan sesuatu yang penting untuk lingkungan kebijakan. Pertama, konteks akan menentukan substansi kebijakan karena sebuah kebijakan yang cocok di suatu tempat mungkin akan menghasilkan bencana di tempat lain. Kedua, konteks akan memengaruhi proses formulasi kebijakan karena tanpa sensitivitas konteks maka kebijakan yang efektif akan sulit untuk dikembangkan. Ketiga, peta konteks diperlukan untuk implementasi kebijakan karena konteks berada dalam cara transformasi


41 dari komitmen menjadi kinerja, dan konteks pada dasarnya akan selalu berubah (lihat Quah, 2016: 11). Kotak 4.2. Nilai Lokal, Gender, dan Inklusivitas dalam Kebijakan Publik Kebijakan publik tidak berjalan di ruang hampa. Dinamika yang terjadi di lingkungan kebijakan seringkali menimbulkan berbagai benturan antar nilai seperti efisiensi, efektivitas, keadilan sosial, dan lain-lain. Pemahaman terhadap konteks kebijakan sangat penting dimiliki oleh pembuat kebijakan. Konteks nilai yang berkembang di dalam masyarakat seperti budaya, aturan, atau norma yang berlaku di dalam masyarakat memberi rujukan bagaimana sikap dan perilaku masyarakat terhadap segala sesuatu yang masuk ke dalam lingkungan sosial mereka dan hal ini dapat memengaruhi kinerja kebijakan yang diimplementasikan. Grindle (1980) dalam Purwanto, dkk. (2015: 182) menyatakan bahwa keberhasilan implementasi sebuah kebijakan di sebuah daerah tidak selalu berhasil dijalankan di lokasi lain ketika “konteks” budaya di dalamnya berbeda. Lebih dari itu, budaya juga memengaruhi karakter lembaga-lembaga lokal, pola kekuasaan, dan dinamika antar aktor lokal. Dinamika antar aktor perlu menjadi perhatian serius, terlebih dengan semakin tingginya partisipasi publik melalui demokrasi deliberatif dalam proses kebijakan. Pada dasarnya demokrasi deliberatif adalah sebuah proses pelibatan publik dalam membuat keputusan melalui debat dan dialog terbuka. Janette HartzKarp (2005) dalam Eko, Sujito, dan Kurniawan (2013) menjelaskan bahwa demokrasi deliberatif memperkuat suara warga dalam tata pemerintahan dengan cara memasukkan warga dari semua ras, kelas, umur, maupun asal-usul dalam proses deliberasi yang secara langsung memengaruhi keputusan publik. Secara khusus, berbicara mengenai partisipasi publik, perempuan cenderung masih menjadi kelompok yang termajinalisasi dalam proses kebijakan. Bahkan, perempuan dan kemiskinan seringkali menjadi satu frasa yang tidak terpisahkan. Dilihat dari sisi gender, kamu perempuan merupakan korban dan kantong kemiskinan, yang jauh lebih besar secara kuantitatif dibandingkan dengan laki-laki. Isu gender dan perlunya inklusivitas dalam pembuatan kebijakan merupakan isu penting dalam kebijakan publik. Perspektif gender merekomendasikan bahwa jalan keluar dari kemiskinan adalah memperjuangkan dan membangun kesetaraan dan keadilan gender terutama aset dan akses sumberdaya ekonomi dan politik. Relasi kuasa yang timpang, seringkali memposisikan salah satu pihak sebagai korban yang mendapatkan perlakuan yang tidak adil, dan biasanya yang paling banyak menjadi korban adalah pihak perempuan dalam relasi kuasa berdasarkan perbedaan gender. Perempuan seringkali tidak mendapatkan kesempatan yang setara dalam pengambilan keputusan dalam kebijakan publik, sehingga akses perempuan terhadap sumber daya pun semakin kecil (Eko, Sujito, dan Kurniawan : 2013, 199- 200).


42 D. Mengembangkan Proses Deliberatif dalam Pembuatan Kebijakan Dalam sebuah negara modern, peran analis semakin diperlukan dalam membantu para pengambil kebijakan. Kompleksitas lingkungan ekonomi, politik dan budaya serta menguatnya tuntutan publik akan berbagai pelayanan publik semakin membuat pengambil kebijakan mengalami kesulitan di dalam membuat kebijakan secara benar dan cepat. Di satu sisi, pengambil kebijakan memiliki keterbatasan waktu dan pengetahuan dalam memahami masalah, di sisi lain, lingkungan kebijakan dan aspirasi publik mengalami dinamika perkembangan yang sangat cepat. Demokratisasi yang membuka ruang bagi publik untuk menuntut dan menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah, telah menggeser proses pengambilan kebijakan publik dari state-centred ke arah society-centred. Kebijakan publik dibuat tidak cukup menggunakan perspektif pengambil kebijakan yang selalu mengasumsikan publik akan menerima apa yang dirumuskan oleh pemerintah. Kebijakan adalah hasil kontestasi dari berbagai aktor yang memiliki berbagai kepentingan yang menuntut pemerintah mampu mengakomodasi secara benar. Fenomena perubahan lingkungan politik dalam pembuatan kebijakan tersebut juga dialami oleh banyak negara. Sebuah kajian yang dilakukan oleh OECD yang dicatat dalam Governance in Transition (1995) dan Governance for the Future (2000) menyatakan bahwa “OECD countries are undergoing profound structural change. Citizen demand is more diversified and sophisticated, and at the same time, the ability of governments to deal with stubborn societal problems is being questioned. The policy environment is marked with great turbulence, uncertainty and an accelerating pace of change. Meanwhile, large public debt and fiscal imbalances limit governments’ room for manoeuvre”. (Banyak negara OECD sedang mengalami berbagai perubahan struktural secara mendalam. Tuntutan warganegara sangat beragam dan sangat rumit, sementara itu pada saat


43 yang sama, kemampuan pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi warganya semakin dipertanyakan. Lingkungan kebijakan ditandai dengan turbulensi, ketidakpastian dan perubahan yang sangat cepat. Sementara itu, hutang dan ketidakseimbangan fiskal telah membatasi pemerintah untuk melakukan geraknya). Dalam konteks itulah, seorang analis kebijakan diperlukan dan harus mampu bekerja dengan baik. Seorang analis harus mampu membantu para pengambil kebijakan untuk menghasilkan berbagai kebijakan yang mampu memenuhi kebutuhan warganya secara demokratis. Berbagai masalah harus diselesaikan dan setiap penyelesaian masalah selalu menimbulkan berbagai konsekuensi yang menuntut perlunya kebijakan-kebijakan yang lain. Oleh karena itu, bagian ini mencoba memetakan bagaimana peran analis kebijakan, di mana posisi mereka di dalam struktur birokrasi dan apa saja keahlian yang dibutuhkan untuk menjadi seorang analis kebijakan. E. Memperkuat Eksistensi Analis Kebijakan Apa sebenarnya tugas dan peran analisis kebijakan di dalam sebuah negara modern? Berbagai pendapat menunjukkan variasi definisi mengenai peran yang harus dimainkan. Public policy analysts identify issues or policy areas to explore, collect and analyze information, then report their findings and propose new policies for addressing problems. ... Other policy analysts evaluate the effects of existing policies and government programs (Analis kebijakan publik mengidentifikasi isu-isu atau area kebijakan untuk digali, mengumpulkan dan menganalisis informasi, kemudian melaporkan temuan serta mengajukan kebijakan baru untuk menyelesaikan masalah. Analis kebijakan yang lain mengevaluasi kebijakan-kebijakan dan program-program pemerintah yang ada). ... (the analysts) are not there simply to respond to policy submissions which are placed before them or propose solutions to crises which arise from time to time. They must be able to anticipate and be a never failing intellectual


44 resource in always looking ahead. They are the radar which guides us on our journey. They must not only be reactive. They must be pro-active…Radical change is required in order to protect the very capacity to govern and deliver services.... many governments seem to keep doing things the same old way...Governments need to re-earn the public’s trust by providing more choice, democracy, and transparency. (Analis tidak sekedar merespon usulan kebijakan yang diberikan kepada yang bersangkutan atau mengusulkan solusi terhadap krisis yang muncul dari waktu ke waktu. Mereka harus mampu mengantisipasi dan tidak pernah menjadi sumberdaya intelektual yang gagal dalam melihat masa depan. Mereka merupakan radar yang memberi petunjuk terhadap perjalanan kita. Mereka tidak hanya bertindak reaktif. Mereka harus bekerja secara proaktif. Perubahan radikal sangat diperlukan untuk melindungi kapasitas dalam mengelola dan menyediakan pelayanan. Banyak pemerintah sepertinya mempertahankan cara kerja dengan gaya lama. Pemerintah perlu untuk merebut kembali kepercayaan publik dengan memberikan semakin banyak pilihan, demokrasi dan transparansi). Menurut Meyer dkk. (2004), analis kebijakan bisa digambarkan dalam 6 (enam) tipologi sesuai dengan peran yang dimainkannya dalam melakukan analisis kebijakan publik. Tipologi-tipologi tersebut adalah: 1. Rational, merupakan kelompok neo-positivist yang utamanya menggunakan metode-metode kuantitatif untuk menghasilkan pengetahuan 2. Client Advice, yang berorientasi pada klien dan yang memfokuskan pada penyediaan advisory services kepada klien 3. Argumentative, merupakan analis yang mengambil bagian dalam perdebatan kebijakan baik di dalam maupun di luar pemerintahan 4. Interactive, merupakan analis kebijakan yang berpartisipasi dalam proses deliberatif dengan para pemangku kepentingan kunci


Click to View FlipBook Version