The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by senduirene, 2024-05-29 23:08:31

Modul KAK

Modul KAK

95 implikasinya pun berbeda. Berdasar titik pijak masing-masing, secara umum seorang administrator akan melihat masalah dari sudut kelangsungan prosedur atau terlaksananya perintah. Sementara itu seorang politisi akan melihat masalah dari sasaran yang diinginkan oleh kelompoknya. Seorang pengusaha mendasarkan sudut pandangnya dari keuntungan finansial dan seorang aktivis secara umum menginginkan perubahan catatan. Pemahaman ini membawa kepada pesan bahwa masalah publik itu dapat subyektif tergantung dari sudut mana cara pandangnya. 4. Sifat buatan dari masalah. Masalah publik merupakan hasil subyektif manusia, masalah itu juga bisa diterima sebagai definisi sah dari kondisi sosial yang obyektif. Dengan demikian masalah publik merupakan masalah yang “dibuat” menjadi masalah dalam konteks sosial pada saat itu. Sebuah contoh sederhana, seorang ibu yang tidak bekerja bersuami tukang becak, melahirkan anak ke 7. Seorang petugas keluarga berencana akan datang dan menyarankan ibu ini untuk segera sterilisasi agar kesehatan ibu lebih terjaga dan beban keluarga tidak bertambah. Namun seorang kiai akan mengajak ibu ini untuk bersyukur karena nikmat rejeki yang diberikan Allah. Dua sudut padang ini tidak dapat ditetapkan mana yang salah dan mana yang benar, kerena keduanya memiliki argumen yang kuat. Dari kasus ini dapat ditarik pelajaran bahwa subyektifitas sudut pandang menentukan masalah itu publik atau tidak. 5. Dinamika masalah kebijakan. Masalah publik yang kompleks seringkali tidak dapat diselesaikan dalam satu gerakan solusi, terkadang sebelum masalah itu selesai sudah muncul masalah ikutannya. Dengan demikian haruslah dipahami bahwa masalah publik merupakan masalah yang bersifat dinamis. Masalah yang sama belum tentu dapat diatasi dengan kebijakan dan solusi yang sama pula, karena terdapat perbedaan waktu maupun kondisi lingkungan.


96 Beberapa ahli lain juga menjelaskan mengenai kriteria suatu isu (masalah) dapat menjadi masalah publik, yaitu: 1. Isu atau masalah tersebut memiliki dampak yang luas bagi banyak orang, dan menyangkut kepentingan masyarakat luas (Walker (dalam Widodo, 2007)) (Darwin 1995). 2. Terdapat bukti yang meyakinkan lembaga legislatif atau stakeholder terkait lainnya agar bersedia memperhatikan masalah tersebut sebagai masalah yang serius (Walker (dalam Widodo, 2007)). 3. Masalah tersebut potensial menjadi serius, dalam arti bahwa suatu masalah yang pada saat ini belum berkembang cukup serius, namun dalam jangka panjang dimungkinkan akan menjadi sangat serius (Darwin, 1995). 4. Adanya perhatian kelompok dan warga masyarakat yang terorganisasi untuk melakukan tindakan (action) terhadap masalah tersebut (Jones, 1984). 5. Adanya peluang pemecahan masalah yang mudah dipahami terhadap masalah yang sedang diperhatikan (Walker (dalam Widodo, 2007)) (Darwin, 1995). Selanjutnya menurut Jones (1984), masalah publik tersebut dapat menjadi suatu isu kebijakan publik apabila: 1. Kemungkinan dukungan dan perhatian dari masyarakat terhadap masalah tersebut besar 2. Masalah atau isu tersebut dapat dinilai penting 3. Ada kemungkinan besar bahwa masalah atau isu tersebut dapat terpecahkan Penjelasan di atas menunjukkan bahwa merumuskan masalah public tidaklah mudah karena sifatnya yang kompleks dan multi-disiplin. Perumusan masalah publik tidak hanya bergantung hanya pada dimensi objektif saja, melainkan juga dimensi subjektif, yaitu pandangan masyarakat


97 atau policy maker terhadap suatu isu tertentu. Diperlukan analisis dan pengenalan mendalam terhadap karekteristik permasalahan agar dapat dirumuskan suatu kebijakan yang tepat, efektif, dan efisien. C. Tipologi Masalah Dalam naskah naskah akademik, dijelaskan dua tipologi masalah yakni masalah dilihat berdasar strukturnya dan masalah dilihat dari implikasi penyelesaiannya (Dunn, 1994). Dilihat dari strukturnya maka permasalahan terkelompok dalam 3 tipologi yakni masalah yang well structure, moderately structure dan ill structure. Karakter dari masing masing struktur itu dapat dicermati pada tabel 1 berikut. Permasalahan yang well structure merupakan permasalahan yang cenderung mudah diselesaikan. Permasalahan teknis yang bersifat jangka pendek pada umumnya tergolong dalam permasalahan yang well structure ini. Misalnya permasalahan cara meningkatkan kualitas pelayanan publik. Tabel 3.1. Tipologi Permasalahan Publik berdasar Strukturnya Karakteristik Well structured Moderately structured Ill structured Jumlah pengambil keputusan yang dibutuhkan Sedikit atau beberapaa Sedikit atau beberapa Banyak dan kompleks Alternatif yang dibutuhkan Terbatas Terbatas Banyak Sifat dari nilai yang dikejar Cenderung disetujui Cenderung disetujui Cenderung menimbulkan konflik Implikasi Mudah diramalkan Mudah diramalkan Sulit diramalkan Sumber: Dunn, 1995 Sebaliknya permasalahan yang Ill structure merupakan permasalahan publik yang kompleks, sehingga implikasinya pun sulit untuk diramalkan. Permasalahan strategis yang bersifat jangka panjang tergolong dalam


98 permasalahan Ill structure ini. Contoh, permasalahan ketidak merataan pendapatan di suatu wilayah yang semakin meningkat. Berdasar implikasi penyelesaiannya, permasalahan publik terkelompok dalam 4 tipologi yakni computation, negotiation, judgement, dan inspiration sebagaimana disajikan pada tabel 3.2 berikut. Tabel 3.2. Tipologi Permasalahan Publik berdasar Implikasi Penyelesaiannya Tingkat persetujuan Publik Cenderung disetujui publik Belum tentu disetujui publik Karakter masalah Mudah dan jelas COMPUTATION (sarana & prasarana kota kurang, dsb) NEGOTIATION (penetapan ganti rugi, pembebasan tanah, dsb) Sulit dan tidak jelas JUDGEMENT (angka kriminalitas meningkat; dsb) INSPIRATION (migrasi masuk kota berlebihan, dsb) Sumber: Dunn, 1995 Karakter permasalahan yang harus diselesaikan melalui computation merupakan masalah yang mudah dan sangat jelas, permasalahannya cenderung disetujui publik karena memang sangat jelas. Contoh contoh untuk kategori computation ini adalah permasalahan sarana dan prasarana. Permasalahan yang menghasilkan penyelesaian negotiation merupakan permasalahan yang sesungguhnya mudah dan jelas, namun permasalahan ini cenderung sulit didapat kesepakatannya di antara masyarakat, itulah sebabnya diperlukan negosiasi untuk menyelesaikannya. Contoh dari permasalahan ini adalah masalah pembebasan lahan. Judgement merupakan solusi dari permasalahan yang sulit tetapi mudah disetujui publik sebagai masalah, misalnya masalah kriminalitas. Masalah yang paling rumit adalah masalah yang memerlukan inspirasi untuk menyelesaikannya. Karakter dari masalah ini adalah bahwa masalahnya memang sulit dan rumit. Publik


99 cenderung berbeda pendapat dalam menilai dan melihat permasalahan ini. Contoh dari kelompok masalah ini adalah tingginya angka migrasi. Terkait dengan kebijakan publik dikenal permasalahan teknis dan permasalahan strategis. Permasalah strategis merupakan permasalahan yang harus diperhatikan atau dikedepankan dalam perencanaan pembangunan daerah karena dampaknya yang signifikan bagi daerah dengan karakteristik bersifat penting, mendasar, mendesak, berjangka panjang, dan menentukan tujuan penyelenggaraan pemerintahan daerah dimasa yang akan datang. Salah satu cara untuk mendeteksi permasalahan strategis adalah melalui analisis trend. Analisis trend dasarnya adalah metode analisis statistika yang ditujukan untuk melakukan suatu estimasi atau peramalan pada masa yang akan datang. Untuk melakukan peramalan dengan baik maka dibutuhkan berbagai macam informasi (data) yang cukup banyak dan diamati dalam periode waktu yang relatif cukup panjang, sehingga hasil analisis tersebut dapat mengetahui sampai berapa besar fluktuasi yang terjadi dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perubahan tersebut. Penting untuk dipahami bahwa hal paling krusial dalam analisis permasalahan publik adalah identifikasi masalah publik. Ketika identifikasi dilakukan secara salah maka solusi yang ditemukan akan salah. Inilah yang dalam kebijakan publik dikenal dengan kesalahan jenis ke tiga, yakni memecahkan masalah yang salah. D. Tahapan dalam Perumusan Masalah Agar dapat mengenali suatu masalah publik dengan baik, Dunn (1994) menyarankan untuk melihat masalah secara bertahap. Tahapan itu adalah problem search (pencarian masalah), problem definition (pendefinisian masalah), problem specification (menspesifikasi masalah), dan problem sensing (pengenalan masalah). Secara lengkap tahapan dalam perumusan masalah disajikan pada diagram berikut (Dunn, 1994).


100 Situasi masalah, merupakan suatu keadaan dimana masalah itu dirasakan ada oleh stakeholder. Karena permasalahan itu ada jika stakeholder merasakan adanya masalah. Tahap ini selanjutnya menuntut analisis untuk menemukan bukti-bukti adanya masalah. Sangat mungkin bahwa bukti itu sederhana (Well Structure), namun bisa juga masalah itu rumit dan kompleks (Ill Structure). Ketika masalah itu rumit maka analis harus menemukan meta masalahnya. Permasalahan yang rumit itu kemudian harus didefinisikan, substansinya merupakan masalah apa, apakah masalah politik, masalah sosial atau masalah lainnya. Pendefinisian masalah ini penting sebab akan menentukan solusi yang didesain. Masalah formal mengacu pada pendefinisian masalah yang telah ditemukan ke dalam model dan bentuk matematis. Perlu difahami bahwa tidak semua masalah publik harus didefiniskan secara matematis. Pendefinisian masalah publik yang kompleks ke dalam bentuk matematis hanya akan menghilangkan permasalahan itu sendiri. Diagram 3.1. Tahapan Perumusan Masalah Sumber: Dunn, 1994


101 Menghindari kesalahan jenis ke tiga maka aspek terpenting dalam siklus tahapan masalah ini adalah pencarian masalah dan pendefinisian masalah. Arah baru kebijakan publik saat ini mendorong pada evidence based policy. Secara sederhana evidence based policy adalah pengambilan keputusan publik untuk mengatasi permasalahan publik berbasis pada data dan fakta riil (Gary, 2009). Pendekatan ini bermula dari pendekatan yang dilakukan dalam ilmu kedokteran, bahwa segala diagnosis harus didasarkan pada bukti. Pendekatan ini mulai dikenal luas dalam bidang kebijakan publik sejak Campbell Collaboration melaporkan hasil review-nya atas bukti terbaik dari kajian mengenai dampak kebijakan sosial dan pendidikan di Australia (Marston &Watts, 2003). Pada dasarnya kebijakan yang benar memang harus berdasarkan bukti, namun demikian terdapat cukup banyak pertanyaan yang harus dijawab ketika pendekatan ini dilakukan. Sumber data, jenis data yang digunakan, pengukuran terhadap data adalah beberapa persoalan yang seringkali timbul. Terkait dengan analisis permasalahan yang menjadi dasar dalam pengambilan keputusan tentunya data mutlak diperlukan. Agar analisis permasalahan yang dibangun menjadi berbasis data, terdapat beberapa aspek penting yang harus dijawab oleh analisis. Subyek penyelesaian masalah, identifikasi kesenjangan, analisis capaian kinerja, identifikasi hambatan dan sumber, identifikasi karakteristik obyek, identifikasi prioritas dan tujuan adalah aspek aspek penting yang harus dijawab. Aspek pertama dalam merumuskan permasalahan adalah mendefinisikan secara jelas mengenai subyek dari masalah itu sendiri. Pertanyaan, “siapa yang membutuhkan penyelesaian”, “bagaimana level penyelesaiannya” adalah aspek pertama. Pertanyaan pertanyaan ini menjadi sangat penting sebab dengan pertanyaan ini menjadi fokus dan jelas batasan masalah yang hendak diselesaikan. Jawaban dari pertanyaan ini sudah semestinya berbasis data.


102 Ketika batasan telah jelas, maka identifikasi kesenjangan adalah aspek berikutnya. Ketika melakukan identifikasi kesenjangan pastikan bahwa identifikasi itu juga berbasis data. Banyak sumber data yang dapat digunakan untuk melakukan indetifikasi kesenjangan itu. Berbagai terbitan resmi dari pemerintah, bahan kajian baik yang dilakukan pemerintah, universitas maupun lembaga swasta adalah sumber sumber data sekunder yang sangat kaya. Langkah selanjutnya adalah melakukan identifikasi terhadap kinerja pemerintah terkait dengan masalah kesenjangan itu. Untuk itu maka yang harus dilakukan melakukan identifikasi kembali temuan temuan dari evaluasi yang telah dilakukan. Atas evaluasi yang telah dilakukan tentunya akan terjawab, apa saja yang telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan itu, seberapa jauh kinerja dari solusi yang telah dilakukan itu, apa hambatan dalam mengatasi persoalan tersebut. Dengan demikian maka evaluasi merupakan sumber data penting untuk mendeteksi permasalahan. Analisis kritis atas evaluasi yang telah dilakukan akan membawa analis pada identifikasi hambatan, baik bentuknya maupun sumbernya, dari pemecahan masalah yang dihadapi. Bentuk bentuk hambatan yang mungkin dihadapi dapat berupa hambatan politik, kultural, fisik, dan sosial. Sementara sumber dari hambatan itu bisa berasal dari keterbatasan SDM, keterbatasan anggaran maupun fasilitas. Terakhir ketika melakukan analisis permasalahan, analis juga penting untuk memperhatikan prioritas dan tujuan dari satuan pemerintahan dimana permasalahan itu berada. Prioritas dan tujuan ini kembali mengacu pada langkah pertama yakni siapa yang membutuhkan penyelesaian masalah. Pilihan kebijakan itu dibuat untuk mengatasi permasalahan mereka. Untuk itu ketika melakukan analisis permasalahan maka tujuan dan prioritas menjadi penting untuk diperhatikan.


103 E. Penyajian Analisis Permasalahan Untuk memudahkan analisis terhadap masalah terdapat cukup banyak alat yang telah disusun oleh para penulis. Dunn (1994) menyajikan serangkaian alat untuk merumuskan masalah, penulis lainnya menyajikan analisis pohon masalah dan analisis tulang ikan, tetapi juga bisa menggunakan analisis yang lain. Misalnya analisis kualitatif, analisis dilakukan dengan cara menguraikan secara logis dan sistimatis masalah yang dihadapi. Untuk melakukan analisis kualitatif, bisa menggunakan banyak alat misalnya apakah melalui survey, FGD, wawancara mendalam, atau metode yang lain. Tidak ada salahnya, menggunakan metode-metode itu secara bersamaan, tujuan dari penggunaan ini adalah agar masingmasing metode itu saling melengkapi. Sebagai sebuah alat metode-metode itu tentu memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Dengan penggunaan bersama diharapkan kelebihan dari masing-masing metode akan muncul dan kelemahan dapat saling mengeliminasi. Misalnya menggunakan analisis pohon masalah, untuk mendetailkan dan mencari penyebab masalah digunakan salah satu metode Dunn dalam merumuskan masalah. Apapun metode yang digunakan, haruslah dijelaskan dengan teliti dan detail apa dan bagaimana metode yang digunakan. Tujuan dari penjelasan itu satu, yakni untuk mengatakan bahwa analisis yang dibuat benar-benar objektif dan benar. Salah satu alat analisis yang dapat digunakan untuk merinci masalah berdasar sebab dan akibat dari masalah tersebut adalah apa yang dikenal dengan analisis pohon masalah. Beberapa penulis mendalami alat ini dengan istilah masing masing. Scarvada dkk, 2004 menyebut alat ini dengan issues tree. Silverman dan Silberman (1994) menyebutnya dengan systematic diagram atau tree diagram dan Duffy dkk (2012) menyebutnya dengan tree diagram.


104 Melalui analisis pohon masalah, permasalahan publik yang rumit dan saling terkait itu dapat diurai dengan jelas mana sebab dan mana akibat nya dengan demikian akan dapat ditemukan apa inti dari masalah yang sedang dihadapi. Dengan menemukan mana inti masalah mana akibat dan mana sebab nantinya akan dengan mudah mengatasi permasalahan dari sumbernya bukan dari gejalanya. Melacak kompleksitas suatu masalah Duffy (2012), menyarankan untuk bertanya dan terus bertanya, yang diistilahkan sebagai five ways. Artinya ketika analis menemukan masalah dia akan bertanya mengapa, mendapat jawaban kembali bertanya mengapa untuk jawaban itu kembali bertanya hingga 5 kali. Ketika jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu muncul langkah berikutnya adalah menemukan hubungan keterkaitan antara jawaban satu dengan lainnya, disinilah kemudian analisis pohon masalah mulai dibuat. Analisis pohon masalah dapat dilakukan dengan langkah langkah sebagai berikut: (1) Melakukan identifikasi atas semua masalah yang mungkin terlibat dalam fokus yang sedang kita analisis, tulis setiap problem dalam secarik kertas (five ways); (2) Letakkan masing-masing potongan kertas itu dan lakukan identifikasi, mana masalah yang menjadi penyebab dan mana yang menjadi akibat. Tahap ini akan mengarahkan kita pada hubungan antar masalah yang sedang dibangun. Masalah yang memiliki hubungan paling banyak dengan lainnya dapat dipertimbangkan sebagai masalah utama; dan (3) Letakan masalah utama pada titik pusat kemudian penyebab di bawahnya atau di samping kiri dan akibat di atasnya atau di samping kanan. Selesainya tahap ini akan ditemukan peta masalah yang dihadapi. Diagram 3.2 menyajikan salah satu model yang dapat disusun dari sebuah analisis pohon masalah.


105 Diagram 3.2. Model Analisis Pohon Masalah Diagram 3.3 menyajikan sebuah contoh analisis masalah dengan menggunakan dasar metode analisis pohon masalah. Analisis ini menunjukkan bahwa persoalan utama pengembangan kerajinan kayu batik di Bantul tampaknya seperti masalah teknis produksi, namun jika dianalisis lebih jauh akan tampak bahwa persoalan utamanya terletak pada kelembagaan ekonomi yang melingkupinya. Produktivitas dan kualitas produk yang rendah tidak hanya disebabkan oleh rendahnya mutu bahan baku atau bahan penolong tetapi adalah rendahnya jiwa kewirausahaan dari pengajin. Selanjutnya akses terhadap informasi yang rendah terkait dengan lemahnya hubungan antara satu pelaku dengan pelaku yang lainnya. Universitas sebagai centre of excelence belum mampu memahami persoalan yang sesungguhnya terjadi dalam masyarakat. Birokrat sebagai perencana sekaligus pelaksana kegiatan pemerintah sibuk dengan ego sektoralnya masing-masing. Pelaku usaha sibuk dengan persoalannya sendiri tanpa mengetahui kemana mencari bantuan. Seluruh persoalan ini bermuara pada lemahnya usaha kerajinan kayu di pasar.


106 Diagram 3.3. Analisis Pohon Masalah Industri Kerajinan Kayu Bantul Sumber: Tim REDS Bantul, 2010 Alat kedua yang banyak digunakan dalam bidang perencanaan adalah model analisis masalah tulang ikan (fish bone analysis). Analisis tulang ikan membantu analisis mengenai apa yang sesungguhnya terjadi dalam proses, yaitu dengan cara memecah proses menjadi sejumlah kategori yang berkaitan dengan proses. Diagram Ishikawa pertama kali diperkenalkan oleh Ishikawa (1968). Diagram ini dikembangkan dalam rangka untuk mencegah kerusakan dalam pengembangan suatu produk. Kategori yang digunakan untuk untuk memecahkan penyebab masalah bergantung pada masalah yang dihadapi, umumnya untuk kategori industri manufaktur digunakan kategori berikut: • Orang (Man power): Semua orang yang terlibat dari sebuah proses. • Metode (Method): Bagaimana proses itu dilakukan, kebutuhan yang spesifik dari poses itu, seperti prosedur, peraturan dll. • Material (Material): Semua material yang diperlukan untuk menjalankan proses seperti bahan dasar, pena, kertas dll.


107 • Mesin (Machine): Semua mesin, peralatan, komputer dll yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan. • Pengukuran (Measurement): Cara pengambilan data dari proses yang dipakai untuk menentukan kualitas proses. • Lingkungan (Environemnet): Kondisi di sekitar tempat kerja, seperti suhu udara, tingkat kebisingan, kelembaban udara, dll. Kategori lainnya adalah yang digunakan untuk bidang marketing dengan menggunakan pendekatan pemasaran (7P) dan untuk bidang jasa menggunakan 5 S. Kategori 7P dalam industri pemasaran: (1) Product (Service); (2) Price; (3) Place; (4) Promotion; (5) People/personnel; (6) Process; dan (7) Physical Evidence. Kategori 5C dalam industri jasa adalah: (1) Surroundings; (2) Suppliers; (3) Systems; (4) Skills; dan (5) Safety. Kategori ini merupakan kategori dasar yang banyak digunakan. Beberapa penulis menyarankan bahwa kita dapat menyusun kategori lain sesuai kebutuhan, dengan jumlah kategori antara 4 sampai 6. Dalam suatu analisis masalah mungkin tidak semua kategori itu menyumbang secara sama, untuk itu sangat diperlukan validasi, mana penyebab yang memiliki kontribusi signifikan dan mana yang sesungguhnya tidak berkontribusi. Untuk mempraktekkan metode analisis ini berikut langkah yang dapat dipertimbangkan untuk dilakukan: 1. Melakukan identifikasi permasalahan dan menyepakati masalah utama. Masalah organisasi bukanlah masalah pribadi, untuk itu diperlukan kesepakatan bersama seluruh satkeholder atas masalah apa yang sesungguhnya menjadi masalah bersama organisasi itu. Tuliskan masalah itu di bagian kepala ikan. 2. Mengidentifikasi kategori. Tahap selanjutnya adalah mengidentifikasi kategori penyebab dari masalah yang telah diidentifikasi itu. Melalui pengkategorian ini teridentifikasi mana masalah yang terkait dengan sumber daya manusia, mana yang terkait dengan system kerja, mana yang terkait dengan peralatan dan sebagainya.


108 3. Mengindetifkasi penyebab dari masing masing kategori. Sesi ini merupakan sesi penting untuk dilakukan. Melalui identifikasi terhadap penyebab dari masing masing kategori masalah, akan menjadi pemandu yang baik bagi ide ide penyusunan program perencanaan yang nanatinya juga harus disusun. Brainstrorming, FGD juga indepth interview adalah metode metode yang dapat dipertimbangkan sebagai cara untuk mencapatkan identifikasi yang cukup. 4. Menyepakati penyebab yang paling mungkin. Penyebab yang telah diidentifikasi sangat mungin memiliki kontribusi yang berbeda untuk itu perlu disekati mana penyebab yang benar benar memiliki kontribusi terhadap permasalah dan mana yang tidak signifkan berkontribusi. Dari langkah langkah tersebut, akan tersusun suatu analisis masalah dalam bentuk diagram tulang ikan. Melalui penggambaran ini setiap pihak yang berkepetingan dapat dengan mudah memahami permasalahan yang sedang dihadapi. Diagram 3.4 menyajikan kerangka analisis model tulang ikan. Diagram 3.4. Kerangka Analisis Masalah Model Tulang Ikan Diagram 3.5 menyajikan contoh penggunaan kerangka analisis tulang ikan yang digunakan dalam dunia pendidikan. Dari Diagram 2.5 dapat dilihat bahwa rendahnya kualitas lulusan diklat terkait dengan 4 aspek yakni tenaga


109 pengajar, peralatan, metode pembelajaran dan dukungan materi. Masingmasing aspek terkait dengan persoalan dibawahnya, misalnya peralatan yang kurang memadai terkait dengan komputer yang rusak, tidak adanya ruang parktikum dan kelas yang tidak nyaman. Demikian juga untuk aspekaspek yang lainnya. Diagram 3.5. Fishbone Analisis Terkait dengan Permasalahan Rendahnya Kualitas Lulusan Diklat Sumber: Hindri Asmoko, Widyaiswara Muda Balai Diklat Kepemimpinan http://www.bppk.depkeu.go.id Analisis permasalahan dalam sebuah dokumen perencanaan memiliki kedudukan yang krusial. Perencanaan ada, karena adanya keinginan untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Itulah sebabnya maka pemahanam atas suatu masalah publik dengan berbagai keterkaitannya haruslah dikuasi oleh seorang perencana. Tanpa pengetahuan ini, maka kebijakan, strategi ataupun program dan kegiatan yang disusun hanyalah suatu hal yang sia sia sebab tidak jelas digunakan untuk apa.


110 Beberapa Contoh Berikut disajikan beberapa contoh analisis permasalahan yang di dasarkan pada data dan fakta riil. Contoh pertama adalah contoh analisis permasalahan dari sebuah kabupaten dalam dokumen perencanaan pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD). Bab 4 dari sebuah RPJMD berisi permasalahan strategis dari sebuah wilayah. Permasalahan itu berdasar pada data-data yang disajikan pada Bab II dan Bab III. Pada contoh ini disajikan salah satu blok permasalahan, yakni permasalahan ketahanan pangan (lihat diagram 3.6). Diagram yang telah disajikan tersebut selanjutnya diberikan uraian sehingga pembaca memahami makna dari diagram yang disajikan. Box di bawah ini menyajikan penjabaran analisis permasalahan ketahanan pangan kabupaten “Makmur”. Diagram 3.6. Permasalahan Ketahanan Pangan di Kabupaten “Makmur” Sumber: RPJMD Kabupaten “Makmur” INTI MASALAH Rendahnya ketersediaan pangan bagi masyarakat DAMPAK Menurun nya Kualitas Tingkat Kesehat an Akses pangan dari luar daerah masih sulit untuk daerah remote Produktivitas pangan lokal masih sangat rendah Diversifikasi pangan tidak berjalan dengan baik 1. Kualitas SDM rendah 2. Kelembagaan lemah 3. Modal minim 4. Sarana prasarana minim 5. Perubahan iklim


111 Kotak 3.1 Penjabaran Analisis Permasalahan Ketahanan Pangan di Kabupaten “Makmur” Terkait masalah ketahanan pangan, permasalahan utama yang dihadapi Kabupaten Makmur adalah data ketersediaan pangan yang tidak tepat. Data ketersediaan pangan berbasis pada beras, jagung dan palawija, padahal sebagian besar penduduk Kabupaten Makmur masih mengkonsumsi sagu dan keladi sebagai makanan pokok mereka. Dengan basis beras dan palawija yang memang belum mampu diproduksi secara baik di Kabupaten ini, akan terbaca rendahnya ketersediaan pangan lokal. Melalui perhitungan tingkat konsumsi sagu dan keladi yang diproduksi sendiri ternyata ketersediaan pangan sumber karbohidrat maupun protein (dari ikan, udang, kepiting dan kerang kerangan) wilayah ini cukup melimpah (lihat tabel 2.73). Dampak dari pendataan yang keliru itu adalah penyediaan pangan bagi penduduk berbiaya tinggi, sebab pangan sebagian besar harus didatangkan dari luar daerah. Sementara dengan tidak terdatanya pangan lokal, maka pangan lokal ditinggalkan diganti dengan tanaman baru yang relatif membutuhkan biaya dan tenaga yang lebih tinggi. Kondisi ini terdidentifikasi disebabkan oleh 3 (tiga) persoalan besar, yaitu produktivitas pangan lokal yang masih sangat rendah, diversifikasi pertanian yang tidak berjalan dengan baik. dan aksesibilitas yang sulit terutama di wilayah remote. Rendahnya produktivitas pangan lokal itu sendiri berkaitan dengan beberapa faktor penyebab (informasi lapangan). Pertama, pendataan pangan berbasis padi dan palawija. Sejauh ini pencatatan pangan di BPS berasis pada padi dan palawija. Sagu dan umbi umbian sebagai makanan pokok penduduk Papua belum diakomodasi dengan baik. Akibatnya tidak ada upaya untuk mengelola dan merawat pangan lokal, bahkan cenderung di tinggalkan. Selanjutnya sangat mudah untuk dipahami jika areal areal kebun pangan lokal ini beralih fungsi dan pangan lokal betul betul menurun ketersediaannya. Kedua, pola pengelolaan tanaman pangan lokal masih tradisional. Tanaman pangan utama penduduk lokal sebagai sumber karbohidrat adalah sagu dan keladi. Kedua tanaman ini merupakan tanaman endemik yang tumbuh dan berkembang di hutan hutan. Hingga saat ini kondisi tanaman pangan ini tidak mengalami perubahan, sementara lingkungan sekitarnya mengalami perubahan. Tidak ada upaya untuk memelihara dan mengelola tanaman ini walaupun tanaman ini terus mengalami desakan dari tanaman budidaya. Akibatnya tumbuh kembang tanaman ini menjadi terbatas sehingga produktivitasnya semakin berkurang. Pada sisi lain pengabaian ini juga berdampak pada tidak adanya upaya pemerintah untuk mendata ataupun mengelola tanaman yang potensial ini. Ketiga, pola panen pangan lokal subsisten. Tanaman sagu dan keladi yang tumbuh di lahan lahan hutan adat dipanen dan dimanfaatkan ketika pemiliki membutuhkan. Sebatang sagu umumnya dapat dipanen untuk memenuhi kebutuhan pangan bagi 4 sampai 5 keluarga selama satu bulan. Ketika penduduk membutuhkan pangan mereka bergabung dengan beberapa keluarga untuk menokok pohon sagu. Hampir tidak ada sagu yang ditransaksikan melalui pasar, kerena mereka panen hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Cara panen yang semacam ini membuat statistik kesulitan untuk menghitung produksi karena produksinya tidak mendasarkan pada luas areal apalagi melalui transaksi pasar. Persoalan berikutnya adalah diversifikasi pangan yang tidak berjalan dengan baik. Basis pangan pada padi dan palawija membuat seluruh wilayah berusaha untuk menghasilkan beras dan palawija lainnya. Upaya memproduksi beras dan palawija mengalami beberapa kendala pada wilayah yang memang belum mengenal pertanian budidaya. Pertama, Ketersediaan infrastrutur pertanian terbatas. Sebagai wilayah yang baru dibuka untuk pertanian menetap, kebutuhan infrastruktur sangatlah besar. Pada sisi lain sebuah pemerintahan kebutuhannya tidak hanya mengembangkan pertanian tanaman pangan. Akibatnya ketersediaan infrastruktur yang dibutuhkan berkembang sangat lambat. Mudah dipamahi ketika kemudian upaya untuk menghasilkan tanaman pangan budidaya menjadi terhambat. Kedua Konversi lahan dari hutan ke lahan budidaya memerlukan biaya dan tenaga yang tinggi. Lingkungan lahan yang baru dibuka dari lahan hutan tidak selalu tepat menjadi lahan padi dan palawija. Akibatnya produktivitas tanaman menjadi tidak optimal. Kondisi itu masih ditambah dengan adanya gangguan dari binatang liar yang masih ada di hutan hutan sekitar pemukiman. Ketiga, Ketrampilan petani masih terbatas. Idenya tanaman pangan yang baru itu dapat dibudidayakan penduduk lokal maupun penduduk pendatang. Penduduk pendatang yang umumnya tinggal di lokasi transmigrasi diharapkan menjadi motor pembangunan pertanian adalah mereka yang berlatar belakang pertanian budidaya. Namun demikian di lokasi baru lahan yang didapi berbeda dengan lahan yang telah ditinggalkan di tanah asalnya, dengan demikian mereka membutuhkan proses untuk terus belajar mengelola lahan baru. Sementara itu penduduk lokal yang masih dalam budaya meramu membutuhkan waktu proses belajar yang lama agar bisa menjadi petani menetap. Selanjutnya rendahnya ketersediaan bahan pangan juga disebabkan oleh aksesbilitas yang sulit. Cara paling murah mencapai kabupaten ini adalah melalui jalur laut dari Biak. Ketika laut sedang tenang jalur ini mampu melayani kebutuhan penduduk kabupaten ini. Namun ketika laut sedang bergelombang tinggi, secara ekstrim akses dapat putus sama sekali. Kondisi ini menjadi semkin sulit bagi penduduk yang masih berlokasi pada wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan yang kurang memiliki akses. Akibatnya ketersediaan pangan dari luarpun mejadi terhambat. Berdasarkan kondisi tersebut, maka konsep diversifikasi pangan sebenarnya bukan merupakan hal yang baru, namun perlu kembali dibudayakan untuk mengantisipasi gejolak harga dan ketergantungan masyarakat pada pangan beras. Diversifikasi pangan tidak dimaksudkan untuk mengganti beras secara total tetapi mengembalikan pola penganekaragaman konsumsi pangan yang telah mengakar di masyarakat sebagai kearifan lokal menjadi upaya yang sangat penting untuk dilakukan dalam mewujudkan ketahanan pangan.


112 Contoh lain yang dapat diungkap adalah contoh permasalahan yang relatif teknis, misalnya contoh permasalahan pengelolaan sampah di suatu wilayah berikut (lihat diagram 3.7). Analisis permasalahan sampah ini didukung oleh data data mengenai keberadaan sampah di kabupaten ini. Diagram 3.7. Analisis permasalahan Sampah di Kabupaten “Sentosa” Sumber: Renstra Dinas Kebersihan Kabupaten “Sentosa” F. Latihan 1. Memilih kasus tertentu untuk dijadikan isu kebijakan 2. Jelaskan tipologi dan tahapan dalam melakukan analisis permasalahan publik 3. Menganalisis permalahan publik yang terjadi dalam kasus tersebut 4. Paparkan dalam bentuk presentasi.


113 BAB IV REGULATORY IMPACT ANALISYS (RIA) A. Indikator Hasil Belajar Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan dapat: 1. mampu menjelaskan berbagai teknik dalam analisis kebijakan; 2. mampu menunjukkan berbagai kriteria yang digunakan dalam pengambilan keputusan; 3. mampu mendemonstrasikan penggunaan teknik analisis sesuai dengan kriteria penilaian/pengambilan keputusan; 4. memahami pemanfaatan Regulatory Impact Analisys (RIA); 5. memahami tahapan untuk melakukan RIA; 6. melakukan analisis stakeholder; 7. melakukan Pemetaan Regulasi (Regulatory Mapping); 8. melakukan RIA; 9. menyusun laporan RIA. B. Pengertian Dan Pemanfaatan RIA Regulatory Impact Analysis (RIA) merupakan sebuah proses yang sistematis yang digunakan untuk menguji dan mengukur kemungkinan dampak dari kebijakan yang diajukan dengan menggunakan metode analisis yang sistimatis seperti CBA (OECD, 2008)6. RIA berkembang sejalan dengan perkembangan pemanfaatan CBA sebagai alat pengambilan keputusan publik. Pemerintah Reagan (USA) tahun 1981 mendokumentasikan peraturan yang mengharuskan setiap kebijakan yang dibuat harus memberikan penekanan pada analisis ekonomi yang disebut sebagai RIA (Fuguit, 1999)7. 6 OECD, 2008, Introductory Handbook for Undertaking RIA, OECD 7 Fuguit, Diana and Shanton, J Wilcox, 1999, Cost Benefit Analysis for Public Sectors Decision Making


114 Sebagai sebuah proses yang sistimatis, maka RIA setidaknya memiliki 3 sudut pandang, yakni sebagai proses itu sendiri, sebagai alat dan sebagai logika berfikir (Bappenas, 2013) 8 . Sebagai sebuah proses, RIA mengharuskan analis untuk memenuhi sejumlah langkah, mulai dari perumusan masalah hingga cara untuk menentukan suatu kebijakan. Sebagai alat metode, RIA merupakan alat untuk menghasilkan kebijakan, tata kelola dan pembangunan yang lebih baik. Ada dua kunci dalam penerapan metode RIA yang dianggap mampu memenuhi harapan tersebut, yaitu: (1) adanya partisipasi masyarakat dapat meningkatkan transparansi, kepercayaan masyarakat dan mengurangi risiko sebuah kebijakan, serta (2) menemukan opsi/pilihan yang paling efektif dan efesien sehingga dapat mengurangi biaya implementasi bagi pemerintah dan biaya transaksi bagi masyarakat. Sebagail logika berfikir, metode RIA dapat digunakan oleh pengambil kebijakan untuk berfikir logis, mulai dari identifikasi masalah, identifikasi pilihan untuk memecahkan masalah, serta memilih satu kebijakan berdasarkan analisis terhadap semua pilihan. Metode RIA mendorong pengambil kebijakan untuk berfikir terbuka dengan menerima masukan dari berbagai komponen yang terkait dengan kebijakan yang hendak diambil. RIA dengan demikian bertujuan untuk meningkatkan mutu peraturan, baik peraturan yang sudah ada dan peraturan yang baru (OECD, 1995) 9 . Telah banyak sumber dipublikasikan mengenai berbagai pendekatan dalam RIA namun tidak ada pendekatan RIA yang “benar” sebagai sebuah model. Aplikasi RIA yang tepat tergantung pada kondisi sosial, politik dan budaya daerah atau Negara yang hendak melakukan RIA (Rodrigo, 2005)10. Melalui pengertian yang dijelaskan di atas, RIA memiliki dua dimensi penting yakni: (1). Secara sistematis dan konsisten menguji dampak 8 Biro Hukum Bappenas, 2011, Kajian Ringkas Pengembangan Dan Implementasi Metode Regulatory Impact Analysis (Ria) Untuk Menilai Kebijakan (Peraturan Dan Non Peraturan) Di Kementerian Ppn/Bappenas, Bappenas 9 OECD, 1995, The 1995 Recommendation of the Council of the OECD on Improving the Quality of Government Regulation, Paris: OECD 10 Rodrigo, Delia, 2005, Regulatory Impact Analysis in OECD Countries: Chalanges for DEvelping Countries: OEDC


115 pontensial tertentu yang muncul dari aksi (kebijakan) yang dilakukan pemerintah. (2). Mengkomunikasikan informasi itu kepada pengambil keputusan (OECD, 1997) 11 . Makna RIA yang demikian membawa pemahaman bahwa RIA dilakukan dengan tujuan untuk membantu pengambil kebijakan mencapai tujuan kebijakan publik secara lebih efektif dan efisien. Regulasi dikatakan efektif ketika regulasi itu dapat membawa arah kepada tujuan yang telah ditetapkan. Efisien terkait dengan pencapaian tujuan regulasi dengan menggunakan biaya terrendah bagi seluruh anggota masyarakat (OECD, 2008)12. Konsep efektivitas dan efisiensi dalam pengambilan kebijakan publik itu menjadi semakin penting dalam dunia (lingkungan) yang semakin kompleks dan semakin kompetitif serta perdagangan yang semakin terbuka (OECD, 2008)13. RIA dapat digunakan baik untuk menilai regulasi yang telah ada atau regulasi yang akan dibuat. Kebijakan publik merupakan pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah (Dunn, 2005) 14 . Terkait dengan tujuan kebijakan itu, maka prinsip dasar yang harus digunakan untuk melakukan RIA adalah memaksimumkan kesejahteraan seluruh masyarakat, bukan kelompok tertentu yang mampu melakukan lobby untuk kebijakan yang dibuat (OECD, 2008)15. Kesejahteraan bersama akan sulit diwujudkan ketika terjadi beberapa hal berikut: ada kegagalan pasar, muncul eksternalitas, produksi barang publik, juga adanya kegagalan pemerintah (Stigliz, 2007)16. Itulah sebabnya diperlukan campur tangan pemerintah diantaranya melalui pengambilan kebijakan. 11 OEDC, 1997, Regulatory Impact Analysis: Best Practices in OECD Countries, OECD 12 OECD, 2008a. Introductory Handbook for Undertaking Regulatory Impact Analysis (RIA). Washington D.C.: OECD 13 OECD, 2008a. Introductory Handbook for Undertaking Regulatory Impact Analysis (RIA). Washington D.C.: OECD 14 Dunn, William N. 2005. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, edisi ke dua, Gadjah Mada university Press 15 OECD, 2008b. Building an Institutional Framework for Regulatory Impact Analysis (RIA): Guidance for Policy Makers. Washington D.C.: OECD. 16 Stigliz, E.J, 2007, Economic of the Public Sector, Norton & Company


116 Kegagalan pasar terjadi ketika pasar tidak mampu melakukan produksi, dan distribusi secara efisien. Pada saat seperti ini maka yang akan terjadi adalah penekanan dari satu aktor ekonomi kepada aktor lainnya. Kegagalan pasar muncul ketika para pelaku (aktor) yang saling berinteraksi dalam masyarakat memiliki daya tawar yang tidak setara. Mereka yang memiliki daya tawar tinggi tentu saja memiliki kemampuan untuk mendikte mareka yang kurang memiliki daya tawar, akibatnya distribusi kesejahteraan akan lebih banyak mengalir kepada mereka yang memiliki daya tawar lebih baik (Stigliz, 2007)17. Eksternalitas terkait dengan dampak yang ditimbulkan oleh suatu aktivitas yang dilakukan oleh suatu aktor kepada lain, yang bisa positif atau negatif. Akibat dari eksternalitas maka alokasi faktor produksi demikian juga dengan produksi tidak akan dapat dilakukan secara efisien. Eksternalitas negatif akan membuat harga barang yang diproduksi terasa lebih murah sebab biaya produksi dibebankan kepada pihak lain, selanjutnya konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat akan menjadi terlalu banyak, demikian juga sebaliknya (Retnandari, 2013)18. Barang publik merupakan barang yang memiliki eksternalitas tidak terbatas, dengan demikian maka sudah sangat jelas bahwa tidak mungkin barang publik ini ketersediaanya diserahkan kepada aktor ekonomi swasta. Barang publik dengan demikian haruslah diproduksi (disediakan) oleh Negara. Ketika negara tidak melakukannya maka ada golongan masyarakat yang tidak dapat mengaksesnya, padahal pada sisi lain barang publik umumnya adalah barang yang dibutuhkan oleh setiap warga negara, sedangkan tidak setiap warga negara memiliki reveal preference untuk mengakses barang publik itu. Negara yang melakukan campur tangan terhadap aktivitas masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama seringkali juga 17 Stigliz, E.J, 2007 18 Retnandari, 2013, Pengantar Ekonomi untuk Kebijakan Publik, Pustaka Pelajar


117 bisa gagal. Terdapat banyak faktor yang bisa menyebabkan mengapa campur tangan pemerintah bisa menghasilkan kegagalan. Faktor yang paling penting yang menjadi penyebab kegagalan itu adalah proses pengambilan kebijakan yang diintervensi oleh lobby-lobby kelompok tertentu sehingga kebijakan yang diambil hanya menguntungkan kelompok lobby itu dan tidak membawa peningkatan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Kedua, design kebijakan yang bermasalah, artinya kebijakan yang dibuat tidak cocok dengan masalah yang harus diatasi. Ketiga, implementasi dari kebijakan itu sendiri, ketika implementasi kebijakan itu tidak diikuti dengan penegakkan aturan (hukum) maka sudah pasti kebijakan itu gagal untuk mencapai tujuan dari diadakan kebijakan itu / kesejahteraan seluruh masyarakat (OECD, 2008) 19 . Disinilah pentingnya menggunakan RIA dalam menganalisis kebijakan yang hendak diambil oleh pemerintah. RIA yang sejauh mungkin berbasis pada data yang fakta yang jelas diharapkan mampu mengurangi distorsi yang diakibatkan oleh bias loby misalnya. RIA yang mulai berkembang dan mapan di Negara Negara OECD, saat ini telah berkembang meluas pemanfaatanya. Asia Foundation mencatat, hingga tahun 2010 metode ini telah dimanfaatkan di Korea Selatan, Vietnam, China, Australia juga USA (Asia Foundation, 2010)20. Melalui pemanfaatan RIA negara negara tersebut mencatat keberhasilan dalam meningkatkan iklim usaha yang kondusif (Kirkpatrick et.all, 2004)21. RIA yang memiliki keunggulan dalam meningkatkan kualitas regulasi itu kiranya cukup tepat ntuk dilakukan di Indonesia. “Semangat” desentralisasi yang diterjemahkan ke dalam perolehan PAD telah memunculkan kebijakan yang disusun tanpa analisis mendalam, melalui proses konsultasi publik 19 OECD, 2008b. Building an Institutional Framework for Regulatory Impact Analysis (RIA): Guidance for Policy Makers. Washington D.C.: OECD. 20 Asia Foundation, 2010. “Analisis Dampak Regulasi (Regulatory Impact Assesment)”. Policy Brief. Jakarta: Asia Foundation 21 Colin Kirkpatrick, David Parker, Yin-Fang Zhang, 2004, Regulatory Impact Analysis in Developing and Transition Economies: A Survey of Current Practice, Centre on Regulation and Competition, Institute fer Development Policy and Management


118 terbatas, dan akhirnya mengakibatkan beban bagi bisnis dan orang-orang di kawasan sekitarnya. Sejumlah temuan studi KPPOD menunjukkan bahwa, penerapan kewenangan penerbitan Perda membawa dampak buruk terhadap iklim investasi di daerah (Investment Climate and Productivity Study, 2003, Studi TKED-KPPOD, 2007, 2011). Pendelegasian kewenangan khususnya kewenangan yang mengatur sektoral menyebabkan terjadinya perubahan regulasi di daerah dan menyebabkan ketidakpastian dalam berusaha. Tahun 2016, Kementerian Dalam Negri mencatat 3.132 Perda yang dibatalkan atau sedang dilakukan revisi 22 . Perda-perda yang dibatalkan sebagian besar mengatur retribusi, pajak, dan perizinan. Selain itu, pengembangan peraturan di Indonesia cenderung berat pada proses legal drafting, yang lebih peduli dengan kesesuaian dan kepatuhan terhadap peraturan yang lebih tinggi dan undang-undang, namun dengan usaha yang terbatas untuk mengamati atau melibatkan peran stakeholder dan partisipasi masyarakat. Pada gilirannya, beberapa peraturan atau kebijakan yang diundangkan dalam standar kualitas yang rendah. Kualitas peraturan yang rendah dapat dikenali melalui beberapa aspek, misalnya: prosedur dengan hasil yang tak terduga; rendahnya tingkat implementasi dan kepatuhan yang mengakibatkan biaya sosial yang tinggi; atau tumpang tindih dengan peraturan lain. Menurut Emirzon (2005)23 rendahnya kualitas regulasi setidaknya disebabkan oleh 5 aspek: (1) identifikasi masalah yang tidak memadai, (2) kurangnya pertimbangan alternatif kebijakan, (3) kurangnya penilaian (review) atas peraturan yang relevan '(lokal dan nasional), (4) kurangnya keterlibatan pemangku kepentingan atau partisipasi, dan (5) kurangnya kapasitas dan kesiapan sumber daya manusia. 22 Kemendagri, daftar perda/perkada dan peraturan menteri dalam negeri yang dibatalkan/ direvisi, 2016 3143 23 Emirzon, Joni. 2005. “Perda Penghambat Investasi” (Local Regulation: Restrain Investment),http://www.suaramerdeka.com/harian/0504/25/opi4.htm, November 10, 2007.


119 C. Tahapan untuk Melakukan RIA Berdasarkan data yang dikumpulan, suatu riset dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu penelitian yang bersifat kuantitatif dan yang bersifat kualitatif. Penelitian yang bersifat kuantitatif juga disebut sebagai penelitian positivistik. Disebut positivistik karena kemunculan metode penelitian ini bersamaan dengan munculnya abad pencerahan (renaisance) di Eropa Barat sebagai bentuk perlawanan logika berfikir yang negativistik di mana masyarakat menjelaskan peristiwa atau kejadian-kejadian yang ada di sekitar mereka dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat metafisis. Dengan demikian positivistik merujuk pada suatu terminologi ketika manusia dapat menjelaskan peristiwa yang ada di sekitarnya dengan penjelasan yang ilmiah dengan mencari hubungan kausalitas antara sebab dan akibatnya. Karena sifatnya yang demikian, metode penelitian positivistik juga sering kali disebut deteministik karena asumsi yang dipakai bahwa setiap kejadian (akibat) pasti ada faktor yang menjadi penyebabnya. Dalam ilmu sosial, aliran positivistik dipelopori oleh sosiolog Auguste Comte dengan karyanya yang berjudul The Course of Positive Philosovy (1830-1842). Secara umum, para ahli mengatakan bahwa asumsi yang mendasari metode penelitian yang bersifat positivistik adalah: 1. Obyektif (terdapat pemisahan yang tegas antara peneliti dengan obyek yang diteliti); 2. Kausalitas (ada hubungan sebab dan akibat); 3. Bersifat ilmiah: berbasis bukti empiris; 4. Bersifat deduktif (dimulai dengan teori, membangun hipotesis, merancang instrumen pengukuran, pengamatan/ eksperimen, analisis data, dan penarikan kesimpulan); 5. Metode penelitian yang dipakai bersifat terstruktur (sudah disiapkan sebelum penelitian dilakukan);


120 6. Data yang dikumpulkan bersifat kuantitatif (realitas sosial yang diteliti dikonversi menjadi data-data kuantitatif dengan menggunakan indikator-indikator yang sudah terstandar); 7. Hasil penelitian bersifat replicable (dapat diulang dengan hasil yang sama); 8. Penelitian kuantitatif selama ini juga dikaitkan dengan dua metode pengumpulan data (Creswell, 1994:11), yaitu: survey dan eksperimen. Penelitian naturalistik atau kualitatif merupakan anti tesis dari metode penelitian positivistik. Oleh karena itu penelitian kualitatif juga sering disebut sebagai penelitian post-positivistik. Secara umum, penelitian kualitatif memiliki berbagai asumsi sebagai berikut: 1. Subyektif. Realitas sosial bersifat subyektif dan bervariasi tergantung pada perspektif orang yang terlibat dalam studi. Tidak seperti penelitian yang positivistik, penelitian kualitatif berargumen bahwa sebagai bagian dari realitas sosial, peneliti tidak mungkin dipisahkan dari obyek yang ditelitinya sehingga tidak mungkin peneliti dapat sepenuhnya bersifat obyektif dalam melihat realitas sosial yang ditelitinya; 2. Bersifat induktif. Peneliti mencoba menjelaskan realitas yang ditelitinya dalam suatu konteks dan mencoba memberi makna dalam konteks yang lebih luas; 3. Kontekstual. Realitas sosial dipengaruhi oleh banyak faktor, peneliti berusaha untuk mengungkapkan makna dibalik suatu fenomena yang ditelitinya; 4. Peneliti merupakan bagian dari pembuat realitas yang diamatinya, sehingga peneliti dapat menggunakan metode yang dapat mengungkap ‘insider knowledge’ dengan cara melakukan pengumpulan data dalam setting yang bersifat natural; 5. Data yang dikumpulkan bersifat naratif hasil observasi maupun wawancara;


121 6. Penelitian kualitatif selama ini dikaitkan dengan beberapa metode pengumpulan data (Creswell, 1994:12), yaitu: etnografi, grounded theory, studi kasus, penelitian phenomenologi, dan penelitian naratif. Sebagai sebuah kerangka berfikir logis untuk pengambilan keputusan maka untuk melakukan RIA diperlukan sejumlah langkah. Hampir semua buku yang diacu dalam referensi menyajikan tahapan dalam menjalankan RIA. Naskah ini terutama mengacu pada naskah yang diterbitkan oleh KPPOD dan Ford Foundation dan OECD, 2013 dan Panduan RIA dari pemerintah New Zeland24. Terdapat tiga langkah makro yang meliputi masa sebelum RIA, saat melakukan RIA dan setelah RIA selesai didokumentasikan. Diagram 4.1 berikut menyajikan rangkaian makro untuk melakukan RIA. Diagram 4.1. Langkah Makro untuk Melakukan RIA Sumber: KPPOD dan Ford Foundation, 2013 Ada tiga tahapan proses RIA, yaitu: Pre RIA, RIA Process, Post RIA. Pertama, Pre RIA. RIA melibatkan kemungkinan akibat yang akan timbul ketika pemerintah tidak mengambil kebijakan (membiarkan situasi dalam status quo). Analisis terhadap aspek ini penting untuk mengidentifikasi 24 New Zeland Government, 2013, Regulatory Impact Analysis Handbook, Crown


122 kecenderungan yang terjadi tanpa kehadiran kebijakan yang baru. Kondisi status quo inilah yang menjadi fokus dalam tahap Pre RIA. OECD memberikan panduan beberapa gambaran yang harus dijelaskan dalam tahap ini, diantaranya kondisi sosial (pasar), regulasi atau keputusan keputusan yang telah dibuat (OECD, 2013). Analisis keseluruhan itu mengerucut pada dua analisis penting yakni analisis stakeholder dan analisis regulasi. D. Analisis Stakeholder Stakeholder adalah orang atau kelompok yang memiliki hak atau klaim terhadap suatu kepentingan (Clarkson (1995). Stakeholder dapat terlihat atau tidak terlihat, aktif atau pasif, dan internal atau eksternal dalam organisasi (Mehrizi et all, 2009)25. Berkaitan peran stakeholder dalam suatu kebijakan maka stakeholder dapat mencakup aktor yang terlibat dalam proses perumusan dan pelaksanaan suatu kebijakan publik, para penerima manfaat, maupun para korban yang dirugikan dalam sebuah kebijakan publik, dengan demikian stakeholder kebijakan publik dapat berupa mereka yang mendukung ataupun menolak suatu kebijakan. (Agrita, Morina: 2010)26. Analisis stakeholder menyediakan kerangka kerja yang akan membantu organisasi untuk mengembangkan strategi yang akan mengoptimalkan dukungan dan mengurangi risiko. Selain itu, analisis stakeholder dapat mengidentifikasi sumber pengaruh serta konflik kepentingan. (Allen, Rachel. 2008) 27 . Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk analisis stakeholder adalah model yang dikembangkan oleh Eden dan Ackermann (1998)28. Pendekatan ini mengklasifikasikan stakeholder dalam kombinasi tingkat kepentingan dan kekuasaan yang dimiliki. Melalui 25 Mehrizi, MHR; Ghasemzadeh, Fereidoun; Gallart JM. 2009. Stakeholder Mapping as an Assessment Framework for Policy Implementation. Vol 15(4): 427–444 26 Agrita, Morina. 2010. Peran Stakeholder dalam Kebijakan Keluarga Berencana di Kota Yogyakarta. Tesis: Universitas Gadjah Mada 27 Allen, Rachel. 2008. Stakeholder Analysis dalam www.stakeholdermagazine.com 28 Eden, C. and Ackermann, F. 1998. Making Strategy: The Journey of Strategic Management. London: Sage Publications


123 klasifikasi tersebut diperoleh 4 kelompok actor yakni subject, player, crowd dan contexs setter, sebagaimana digambarkan oleh diagram 4.2. Diagram 4.2. Matriks Interest Versus Power Subjects adalah pihak yang mempunyai kepentingan yang tinggi terhadap kegiatan organisasi tetapi tidak memiliki kekuasaan dalam memengaruhi peraturan ataupun perencanaan terkait kegiatan organisasi. Players adalah pihak yang memiliki kepentingan dan kekuasaan yang tinggi untuk memengaruhi peraturan ataupun perencanaan terkait kegiatan organisasi, kelompok ini mempunyai kedudukan yang strategis dalam memberikan pengaruhnya terhadap keputusan kebijakan karena kelompok ini memiliki kemampuan yang besar untuk memobilisasi sumberdaya yang dimilikinya dan menjadi aktor utama dalam mendukung kegiatan organisasi. Context setters adalah pihak yang memiliki kekuasaan yang tinggi untuk memengaruhi peraturan atau perencanaan kegiatan organisasi tetapi tidak memiliki kepentingan langsung terhadap kegiatan. Sedangkan crowd adalah pihak-pihak yang memiliki kepentingan maupun pengaruh yang rendah terhadap kegiatan organisasi atau bisa dikatakan kelompok ini tidak terlalu penting dalam kelangsungan hidup organisasi karena rendahnya kepentingan serta pengaruh teradap kegiatan. Ketika matriks ini diterapkan dalam analisis kebijakan publik maka pihak yang harus sangat diperhitungkan adalah subject. Mereka adalah pihak yang paling mungkin


124 menderita kerugian paling tinggi ketika kebijakan yang diambil tidak berpihak kepada mereka. Stakeholder lainnya yang juga penting adalah context setter. Mereka ini berpotensi untuk menghambat kebijakan yang sangat dibutuhkan olah para subject karena mereka tidak memiliki kepentingan atas kebijakan itu tetapi memiliki kekuasaan yang tinggi atas kebijakan. Selain pemetaan berupa matriks prioritas pemangku kepentingan berdasarkan kekuatan dan kepentingan, diperlukan pula matriks untuk memahami stakeholder kunci. Sejauh mana respon dan reaksi stakeholder tersebut terhadap strategi yang dibuat. Diagram 4.3 Matriks Stakeholder Kunci Sumber: Project Management Body of Knowledge (PMBOK) 5th Edition Pada prinsipnya, analisis stakeholder tidak sekedar menjawab pertanyaan mengenai siapa stakeholder dalam suatu strategi, melainkan juga menganalisis hubungan stakeholder dengan strategi yang diterapkan, sikap, pandangan, dan pengaruh stakeholder tersebut dalam realisasi strategi. Jadi, mengelola pemangku kepentingan adalah proses mengidentifikasi stakeholder kunci dan memenangkan dukungan mereka. Analisis pemangku kepentingan merupakan tahap awal untuk mengidentifikasi dan memahami siapa saja orang-orang yang berpengaruh


125 terhadap pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dan mampu mendorong perubahan secara signifikan. E. Pemetaan Regulasi (Regulatory Mapping) Regulatory mapping (pemetaan peraturan) merupakan suatu upaya yang ditujukan untuk memahami konteks suatu peraturan atau tindakan kebijakan diantara berbagai produk peraturan yang relevan. Hal ini dimaksudkan agar kebijakan yang diambil untuk menyelesaikan suatu masalah tidak bertentangan atau tumpang tindih dengan peraturan yang berlaku 29 . Regulatory mapping dilakukan untuk menjawab pertanyaan, antara lain: a. Apakah implikasi peraturan yang berlaku (yang sedang dianalisis) terhadap kebijakan yang hendak dibuat? b. Apakah kebijakan yang hendak dibuat bertentangan dengan peraturan yang berlaku, baik secara vertical maupun secara horizontal? Regulatory mapping dapat dijalankan dengan tahapan berikut: a. Identifikasi berbagai peraturan yang terkait dengan kebijakan yang hendak dibuat, atau hendak di review baik secara vertical maupun horizontal. b. Analisis masing – masing peraturan, baik itu tujuan peraturan, apa yang diatur, dan apa yang dikecualikan. c. Analisis implikasi dari peraturan tersebut kepada kebijakan yang hendak dibuat hendak di review. Tabel 4.1 memaparkan contoh regulatory mapping kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil (UU No 27 Tahun 2007) 29 Pangea, 2012, Regulatory Mapping, Wrap your Arms Around Your Global Compliance and Identity the Gaps Between Policies and Complex Regulation, Pangea


126 Tabel 4.1. UU No. 1 tahun 2014 tentang perubahan atas UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Judul Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau Pulau Kecil (UU 27/2007) Fokus Perencanaan, pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau pulau kecil antar sektor, antara pemerintah, pemerintah daerah antara ekosistem darat dan laut serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tindakan Yang Diharuskan 1. Pembuatan perencanaan (RSWP3K, RZWP3K,RPWP3K, dan RAPWP3K) 2. Pengawasan dan pengendalian 3. Penelitian dan pengembangan 4. Pendidikan, pelatihan dan penyuluhan 5. Kewenangan 6. Mitigasi bencana 7. Hak, kewajiban dan peran serta masyarakat 8. Pemberdayaan masyarakat 9. Penyelesaian sengketa 10. Gugatan perwakilan Tujuan 1. Melindungi, mengkonservasi , merehabilitasi, memanfaatkan dan memperkaya sumber daya pesisir dan pulau pulau kecil serta sistem ekologisnya secara berkelanjutan; 2. Menciptakan keharmonisan dan sinergi antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau pulau kecil; 3. Memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong insiatif masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau pulau kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan dan keberlanjutan ; dan 4. Meningkatkan nilai sosial, ekonomi dan budaya masyarakat melalui peran serta masyarakat dalam pemanfatan sumber daya pesisir dan pulau pulau kecil. Pengecualian Pengecualian diberikan kepada program PWP3K serta lembaga instansi pelaksananya yg telah berjalan sebelum diundangkannya UU ini.


127 Masa Berlaku Berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan perundang-undangan yang mengubah atau mencabutnya Tanggungjawab Pemerintah: Melakukan Pembinaan, Pengawasan dan Pengendalian terhadap pengelolaan RPW3PK diWilayah Republik Indonesia. Pemerintah Daerah: Menyusun RSWP3K, RZWP3K, RPWP3K dan RAWP3K sesuai dengan kewenangan yg dimilikinya. Masyarakat: 1. Setiap orang yang memerlukan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau pulau kecil bertanggungjawab untuk menjaga kelestarian lingkungan dan memberikan data/informasi atas kegiatan yang dilakukannya; 2. Dapat berperan serta dalam pengawasan dan pengendalian melalui penyampaian laporan dan/atau pengaduan kepada pihak yang berwenang. Sanksi 1. Sanksi Administrastif a. Dikenakan untuk pelanggaran terhadap persyaratan hak pengusahaan perairan pesisir; b. Dalam Hal Program PWP3K tidak dilaksanakan sesuai dengan dokumen perencanaan, pem dapat menghentikan/atau menarik kembali insentif yg telah diberikan kepada pemda, pengusaha dan masyarakat yg telah memperoleh akreditasi. 2. Sanksi Pidana Pidana penjara dan pidana denda untuk pelanggaran beberapa pasal Sumber: Bahan Paparan Pelatihan RIA, Erwan Agus Purwanto, 2012 Untuk melakukan pemetaaan regulasi juga diperlukan pengetahuan mengenai hierarki dari aturan hukum yang ada dalam sebuah Negara. Pengetahuan ini sangat penting agar saat menetapkan aturan yang hendak dibuat tidak melanggar aturan di atasnya serta tidak berkonflik dengan


128 aturan disampingnya. Dalam kasus Indonesia, Undang – Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur hirarkhi perundangan tersebut. Secara khusus Pasal 7 dari Undang Undang ini menyatakan hirarkhi produk hukum di Indonesia adalah sebagai berikut: a. Undang – Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b. Undang – Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah F. Tahap Pelaksanaan RIA Dari analisis stakeholder dan Pemetaan regulasi, analisis akan dapat menentukan prioritas yang harus diambil untuk dilakukan langkah selanjutnya yakni pelaksanaan RIA. Terdapat setidaknya 6 kegiatan yang dilakukan dalam pelaksanaan RIA. Diagram 4 menyajikan tahapan dalam melaksanakan RIA. Hal yang cukup istimewa dalam pelaksanaan RIA adalah bahwa seluruh proses pelaksanaan itu melibatkan stakeholder dalam berbagai bentuk. Itulah sebabnya menjadi demikian penting melakukan identifikasi dan analisis stakeholder sebelum melakukan RIA.


129 Diagram 4.4. Tahapan Pelaksanaan RIA Sumber: KPPOD dan Ford Foundation, 2013 Identifikasi permasalahan Identifikasi permasalahan merupakan hal utama dan alasan utama pentingnya dilakukan intervensi pemerintah dalam kasus yang sedang didiskusikan. Permasalahan itu harus dapat disajikan secara sederhana tetapi lengkap dan mudah difahami. Berikut adalah dua aspek penting dalam analisis permasalahan yang harus mendapatkan tekanan (untuk detail analisis permasalahan lihat pada bagian lain modul ini). Pertama, bobot dari permasalahan. Analisis permasalahan bukan sekedar menemukan adanya kesenjangan antara aspek normatif dan aspek positif, melainkan juga mempertimbangkan bobot dari permasalahan itu. Bobot permasalahan itu dinilai dari dampak yang mungkin timbul dari tiadanya peraturan atau tidak memadainya peraturan yang ada. Dengan demikian dalam RIA jika memungkinkan sajikan data data kuantitatif untuk mendukung permasalahan. Kedua, pentingnya mengidentifikasi mana gejala masalah dan mana penyebab masalah juga mana dampak dari masalah. Identifikasi ini penting agar supaya kebijakan yang diambil


130 nantinya benar benar dapat menyelesaikan permasalahan dari sumber masalahnya, dan bukan hanya menghilangkan gejalanya. Jika permasalahan terkait dengan kebijakan yang telah ada, harus pula dijelaskan, permasalahannya berkaitan dengan rancangan kebijakannya atau implementasi kebijakannya. Menetapkan tujuan Suatu kebijakan diambil adalah karena ada permasalahan yang hendak diselesaikan. Tujuan dengan demikian harus relevan dengan permasalahan yang hendak diatasi. Ada kalanya masalah yang hendak diselesaikan itu begitu rumit sehingga suatu kebijakan yang diambil hanya dapat menyelesaikan sebagian dari permasalahan. Selain itu dalam menentukan tujuan dari kebijakan yang hendak diambil juga harus dipastikan pengambil kebijakan memiliki kewenangan untuk mengimplementasikannya. Aspek lain yang harus diperhatikan dalam menetapkan tujuan adalah bahwa tujuan itu konsisiten dengan aturan perundangan lain yang telah ada. Tujuan yang ditetapkan sangat mungkin sama dengan tujuan dari kebijakan yang telah ada, jika memang kebijakan itu yang belum mampu mencapai tujuannya. Itulah sebabnya penting dalam analisis regulasi melakukan identifikasi tujuan dari regulasi terkait. Pernyataan tujuan sebaiknya cukup luas agar dapat menampung pertimbangan berbagai alternatif solusi. Mungkin tidak ada salahnya untuk menetapkan tujuan primer dan tujuan sekunder. Tujuan harus fokus pada outcome yang diharapkan dan bukan pada alat untuk mencapai tujuan itu. Mungkin terdapat beberapa tujuan dari diambilnya kebijakan itu. Ketika tujuan lebih dari satu sangat mungkin muncul konflik di dalam tujuan tujuan itu. Ketika tujuan saling berkonflik maka sangat mungkin menyebabkan tingginya biaya untuk kebijakan yang bersangkutan. Itulah sebabnya penting untuk memberikan kejelasan untung rugi dari tujuan yang berbeda itu. Analisis atas tujuan menjadi demikian penting untuk memastikan bahwa


131 tujuan tidak saling bertentangan. Mungkin terdapat tingkatan dari tujuan, khususnya ketika outcome dari kebijakan demikian tinggi dan tidak dapat diukur. Penilaian yang lebih spesifik atas kriteria dan target yang dapat diamati harus digunakan untuk mengukur perkembangan pencapaian tujuan. Jika tujuan membutuhkan prasyarat tertentu untuk mencapainya, misalnya jangka waktu tertentu atau anggaran tertentu maka persyaratan ini harus dispesifikasi dalam tujuan yang ditetapkan. Untuk memenuhi kebutuhan tujuan yang kompleks, suatu pernyataan tujuan sebaiknya SMART (Specific, Measurable, Achieveable, Relevan and Time dated)30 1. Specific. Suatu tujuan ditetapkan secara spesifik, pernyataanya tidak menimbulkan penafsiran ganda. Sebagai contoh, salah satu tujuan dari program peningkatan produksi pertanian adalah meningkatkan produktivitas pertanian. 2. Measurable. Maksudnya suatu tujuan harus dapat diukur capiannya dengan skala penilaian tertentu. Skala penilaian itu dapat berupa pengukuran secara kuantitas, kualitas atau harga. 3. Achievable. Tujuan yang ditetapkan merupakan suatu kinerja yang akan dapat dicapai oleh organisasi dalam satuan waktu tettentu. Sehingga penetapan tujuan perlu mempertimbangkan sumber daya yang ada dan hal-hal yang bersifat controllable dan uncontrollable bagi organisasi. 4. Relevant. Pernyataan tujuan memiliki kaitan terhadap permasalahan yang hendak diselesaikan. 5. Time bounded. Suatu tujuan yang baik memiliki batasan kejelasan waktu, artinya tujuan yang ditetapkan dapat menggambarkan sesuatu kinerja dicapai untuk kurun waktu tertentu. 30 Permendagri nomor 54 tahun 2010


132 Identifikasi Pilihan Solusi Identifikasi pilihan solusi merupakan tahap dalam penentuan berbagai solusi yang mungkin untuk mencapai target yang telah ditetapkan. Tujuan utama tahap ini adalah untuk menghasilkan suatu daftar (list) mengenai berbagai metode atau cara-cara untuk menyelesaikan masalah. Tahap ini bukan dimaksudkan untuk menentukan metode (tindakan) manakah yang harus dipilih. Sebelum menentukan alternatif alternatif tindakan, maka ada beberapa pertanyaan yang bisa dijadikan landasan (pedoman) untuk mengembangkan alternatif tindakan tersebut, yaitu: 1. Pilihan-pilihan apa saja yang ada untuk menyelesaikan masalah? 2. Apakah tindakan Pemerintah memang benar-benar diperlukan atau ada cara lain untuk menyelesaikan masalah? 3. Apabila peraturan diperlukan, apa saja model pilihannya? 4. Membuat peraturan baru atau merevisi peraturan yang ada atau bahkan tidak melakukan apa apa (do nothing)? 5. Peraturan itu di buat pada level nasional ataukah level lokal? Solusi yang mungkin teridentifikasi dan dideskripsikan bisa meliputi beberapa skenario sebagai berikut: 1. Skenario status quo, artinya tidak ada regulasi baru yang dibuat juga tidak ada tindakan yang diambil 2. Solusi berupa opsi non regulasi, adalah tindakan yang mungkin untuk menyelesaikan masalah yang tidak memerlukan kerangka peraturan perundangan. 3. Opsi pilihan beberapa kebijakan, artinya penyelesaian masalah untuk mencapai tujuan itu dapat dilakukan melalui pembuatan regulasi. Ketika keputusan ini dibuat maka penting untuk identifikasi, pada tingkat mana regulasi harus dibuat, apakah tingkat nasional atau tingkat lokal, apakah UU atau cukup PP tingkat Perda tau tingkat Peraturan Kepala Daerah. 4. Bukan status quo tapi tidak ada regulasi, artinya solusi yang ditawarkan adalah melakukan tindakan tetapi tidak melalui peraturan perundangan.


133 Terdapat cukup banyak opsi bukan status quo dan bukan regulasi, misalnya beberapa contoh berikut: 1. Pengeluaran pemerintah melalui hibah, subsidi, ganti rugi, atau pembelian barang tertentu. 2. Pinjaman dan penjaminan. Pemerintah dapat melakukan pemberian pinjaman jika itu memang solusi terbaik. Pemerintah juga dapat memberikan penjamninan, misalnya UMKM dapat melakukan pinjaman modal ke Bank dengan jaminan dari pemerintah. 3. Tarif (user charges) yaitu fee yang dikenakan terhadap orang (fihak) yang menggunakan atau mengkonsumsi produk, jasa, atau fasilitas kolektif. Sebagai contoh membayar biaya tertentu untuk menggunakan rumah potong hewan. 4. Kepemilikan oleh Negara. Untuk mengatasi permasalahan, juga dapat diamble mekanisme kepemilikian oleh Negara. 5. Persuasi. Persuasi adalah tindakan pemerintah untuk mendorong dilakukannya suatu perilaku, sehingga masyarakat melakukan dengan suka rela. Sebagai contoh pemerintah mendorong masyarakat untuk membiasakan memilah sampah demi pengelolaan sampah yang lebih mudah. 6. Asuransi. Pemerintah mendorong berbagai pihak untuk skema asuransi dengan tujuan untuk melindungi kepentingan pihak tertentu (misalnya konsumen) dari sesuatu risiko. Ketika alternatif pilihan telah ditetapkan, langkah selanjutnya adalah melakukan seleksi terhadap berbagai pilihan itu. Terdapat cukup banyak metode analisis untuk melakukan seleksi terhadap berbagai pilihan kebijakan. Untuk detail metode alternatif pilihan anda dapat mencermati pada bagian lain naskah modul ini. Dalam naskah naskah RIA terdapat beberapa panduan sederhana untuk melakukan seleksi terhadap pilihan solusi itu, sebagai berikut:


134 1. Legalitas: Apakah pemerintah berhak secara legal untuk melakukan tindakan tersebut? Legalitas ini mencakup legal menurut hukum domestik maupun internasional (misalnya perjanjian WTO). 2. Biaya (costs): berapa besar biaya yang harus dikeluarkan (terjadi) untuk melakukan tindakan tersebut? Biaya ini mencakup biaya & kerugian yang ditanggung oleh pemerintah, konsumen, pelaku bisnis, dan UKM. 3. Dampak terhadap masyarakat: menyangkut seberapa besar pengaruh dari tindakan tersebut terhadap masyarakat. Pertimbangan dampak antara lain mencakup: (i) fairness & access for the poor: apakah masyarakat melihat tindakan tersebut cukup adil dan apakah kebijakan tersebut tidak menghalangi akses kaum miskin terhadap fasilitas dasar; (ii) instrusiveness: apakah regulasi menciptakan gangguan terhadap kegiatan masyarakat? (campur tangan pemerintah terlalu besar) (iii) faktor kesehatan, safety, dan lingkungan hidup: apakah tindakan tersebut terkait kesehatan, keselematan kerja, dan pelestarian lingkungan hidup (iv) lingkup: apakah memengaruhi sedikit atau banyak orang (penyebaran dampak); 4. Visibilitas dan kemungkinan mencapai sasaran: mengukur seberapa jauh tindakan tersebut dapat membantu pemerintah mencapai tujuan kebijakan. 5. Hambatan terhadap persaingan usaha yang sehat: mengukur seberapa besar alternatif tersebut memengaruhi (menghambat) persaingan usaha.


135 Assessment atas Biaya dan Manfaat Pilihan alternatif solusi untuk memecahkan permasalahan dan mencapai tujuan mestinya menjamin efisiensi bagi seluruh masyarakat. Adalah analisis CBA yang banyak digunakan dan direkomendasikan untuk digunakan dalam Analisis RIA. Namun demikian sesungguhnya terdapat cukup banyak analisis yang dapat digunakan untuk menilai biaya dan manfaat ini. CBA yang mendasarkan pada perbandingan alternatif untuk mencari biaya termurah dalam rangka mencapai tujuan yang sama. Integrated Impact Analysis (IIA) dan Sustainability Impact Analysis (SIA) merupakan alat yang mengintegrasikan berbagai isu kedalam kerangka analisis yang luas yang mampu menunjukkan keterkaitan dan trade-off diantara tujuan kebijakan yang bermacam-macam. SME test, adalah analisis parsial yang melakukan estimasi batasan administratif, pengujian dampak bisnis dan analisis lainnya yang membahas mengenai dampak pada kelompok tertentu dan berasal dari biaya regulasi tertentu. Risk assessment, ditujukan pada pengkarakteristikan berbagai peluang outcome dari input tertentu. Berbagai bentuk analisis sensitivitas atau ketidakpastian yang memprediksi kemungkinan outcome yang muncul sebagai dampak dari kesalahan estimasi. Analisis ketidak pastian digunakan untuk memberikan informasi dan pemahamanan yang lebih akurat atas dampak yang terjadi. Diantara berbagai metode itu, CBA seringkali menjadi alat yang lebih dipilih terutama oleh ekonom, sebab alat ini bersifat inklusif dan secara sosial dapat dipertanggungjawabkan dalam pengambilan keputusan publik. Penjelasan detail mengenai analisis biaya manfaat dapat dicermati dan dipelajari dalam bagian lain naskah modul ini. G. Penyajian Lampiran RIA (RIAS) Ketika selurhuh proses dan langkah melakukan RIA telah dilakukan, tahap akhir yang mesti dilakukan adalah menyajikan hasil kajian itu. Untuk menyajikan hasil kajian RIA, terdapat dua langkah yang dilakukan yakni


136 laporan awal RIA dan Laporan akhir RIA. Berikut diuraikan kedua sajian dokumen RIA. 1. Laporan Awal RIA Laporan awal RIA merupakan laporan sementara yang berisi hasil kegiatan yang telah dilakukan. Struktur yang dapat dipertimbangkan sebagai laporan awal meliputi: pendahuluan, analisis masalah, pemetaan regulasi (regulatory mapping), analisis stake holder, pemilihan alternatif dan analisis CBA. a. Pendahuluan. Dalam pendahuluan diuraikan mengenai pentingnya topik atau masalah yang dianalisis. Disamping itu juga dijelaskan kepada pembaca (stakeholder) bahwa masalah ini memang benar-benar krusial untuk dianalisis dan ditindaklanjuti didukung dengan data riil untuk meyakinkan stakeholder pentingnya topik atau masalah ini. b. Analisis masalah. Pada bagian ini menjelaskan mengenai masalah yang terkait dengan topik yang dipilih serta menguraikan apa masalah intinya, apa penyebabnya dan apa akibatnya. Penyajian yang dilengkapi dengan diagram akan mempermudah pembaca memahami analisis masalah yang dibuat. c. Regulatory mapping. Pada bagian ini berisi tentang berbagai regulasi yang terkait dengan topik yang dianalisis. Disamping itu juga dijelaskan bagaimana keterkaitan berbagai regulasi itu dengan topik yang sedang dibahas. Berapa banyak regulasi yang dianalisis tidak perlu dipikirkan, yang penting regulasi itu memang pantas dan memiliki keterkaitan dengan topik yang sedang dibahas. d. Analisis stakeholder. Bagian ini menjelaskan mengenai siapa saja yang akan terkena dampak dari kebijakan yang nantinya akan diambil untuk mengatasi masalah yang ada. Dan yang lebih penting


137 adalah keterkaitan stakeholder itu kepada kebijakan yang hendak dibuat, seberapa besar pengaruh stakeholder itu kepada kebijakan yang hendak dibuat adalah point penting yang mesti dilihat sehingga dapat diputuskan seberapa tinggi suatu stakeholder harus dipertimbangkan. e. Pemilihan alternatif. Bagian ini akan memberikan penjelasan mengenai alternatif kebijakan apa saja yang bisa diambil dan harus diambil agar masalah yang ada dapat diatasi. Setelah diketahui kebijakan yang mungkin diambil, maka dilakukan pemilihan mana kebijakan yang paling mungkin dijalankan. Hal ini yang harus dijelaskan dalam bagian pemilihan alternatif. f. CBA. Cost Benefit Analysis (Analisis Biaya Manfaat) adalah suatu alat analisis untuk menilai kelayakan dari suatu kegiatan. Ketika kebijakan telah dipilih, maka harus dinilai apakah kebijakan itu memang layak atau tidak. Dalam bagian ini dijelaskan kelayakan kebijakan terpilih. 2. Laporan Akhir RIA Laporan akhir RIA sesungguhnya tidak terlalu berbeda dengan laporan awal. Laporan akhir disusun setelah laporan awal ini mendapatkan masukan dari berbagai stakeholder yang terlibat. Dengan demikian maka laporan akhir hendaknya lebih lengkap dan lebih detail dibandingkan dengan laporan awal. Selanjutnya laporan akhir juga tampil dalam naskah lengkap. Berikut setidaknya yang harus ada dalam laporan akhir: a. Ringkasan eksekutif. Pada bagian ini hanya bisa dibuat setelah seluruh laporan selesai. Ringkasan eksekutif sebaiknya dibuat ringkas (dibuat tidak lebih dari 3 halaman), tetapi merangkum point-point penting dari laporan RIA yang telah dibuat.


138 b. Pendahuluan. Bagian ini berisi penjelasan pentingnya masalah yang diangkat disertai dengan alasan yang masuk akal mengapa diperlukan perubahan dan atau kajian yang mendalam atas suatu masalah c. Penjelasan mengenai proses konsultasi yang dilakukan. Pada bagian ini dijelaskan dua hal penting yakni, kajian yang telah dibuat dan konsultasi yang telah dilakukan dengan stakeholder. Tujuan dari bab ini adalah mengkomunikasikan dan meyakinkan pembaca atau stakeholder bahwa data dan informasi yang disajikan bersifat objektif. d. Sifat dan lingkup masalah (substansi, kebijakan, stakehoder). Pada bagian ini berisi pendalaman dari analisis masalah yang telah dilakukan dalam laporan awal. Pendalaman terjadi setelah konsultasi publik dilakukan. Sejalan dengan laporan awal, lingkup masalah akan berisi tiga point analisis yakni analisis masalah, regulatory mapping dan analisis stakeholder. e. Pilihan kajian untuk penyelesaian masalah melalui pemilihan alternatif dan CBA. Bagian ini menjelaskan berbagai pilihan yang mungkin untuk mengatasi masalah yang ada. f. Rekomendasi. Pada bagian ini berisi berbagai rekomendasi untuk mengatasi masalah yang dikemukakan dalam bagian analisis masalah. Detail dari setiap penyesaian diperlukan karena bagian ini menjadi kunci bagi bagian hukum untuk ditransfermasi ke dalam bahasa hukum. g. Persetujuan laporan RIA. Agar supaya memiliki kekuatan untuk dijalankan, laporan RIA secara resmi haruslah disepakati. Pejabat penting dan stakeholder yang terlibat dipastikan setuju dengan analisis yang telah dibuat. Hal ini penting untuk menjamin “kekuatan” RIA agar ditindaklanjuti.


139 H. Tantangan Pemanfaatan RIA Untuk Pengambilan Keputusan Publik RIA sebagai sebuah alat untuk pengambilan keputusan publik memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan alat alat yang lain. RIA tercatat menciptakan banyak keberhasilan terutama yang telah diterapkan di Negara Negara maju (OECD). Untuk mendapatkan keberhasilan dalam pemanfaatan RIA diperlukan sejumlah persyaratan yang harus mendapat perhatian. Catatan ini sangat penting terutama bagi Negara sedang berkembang. Berikut adalah daftar catatan yang harus mendapat perhatian jika ingin dalam pemanfaatan RIA mencapai hasil yang baik (OECD,2008; Scott, 2006; Rodrigo, Binh, 2005)31: 1. Memaksimumkan komitmen politik terhadap RIA 2. Mendistribusikan elemen program RIA secara hati hati 3. Melatih pembuat kebijakan 4. Menggunakan metode analisis yang konsisten tetapi fleksibel 5. Membangun dan mengimplementasikan strategi pengumpulan dan penyimpanan data 6. Target kebijakan (aturan) yang hendak dilakukan RIA. 7. Mengintegrasikan RIA ke dalam proses pengambilan keputusan seawal mungkin 8. Mengkomunikasikan hasilnya 9. Melibatkan publik secara intensif 10. Menerapkan analisis RIA baik untuk regulasi yang ada maupun yang akan dibuat 31 OECD, Rodrigo: Lihat di atas; Scott, Jacob, 2006, Currebt Trend in Regulatory Impact Analysis: The Challenges of Mainstreaming RIA Into Policy Making, Jacobs&Associate; Bihn, Le Duy, 2005, Improving the Quality of Business Environment Reforms-The Example of Return of the Enterprices Law – Experience pg German Technical Cooperation in Vietnam, International Conference: Reforming the Bussiness Environemnet- from Assesing Problems to Measuring Result


140 Dukungan politik Dalam suatu lingkungan politik yang kuat, pemanfaatan RIA harus didukung oleh tingkat pemerintahan yang paling tinggi. Untuk mencapai tujuan ini, kebijakan tingkat tinggi, seperti undang undang atau peraturan presiden merupakan hal yang esensial. Mengintegrasikan RIA ke dalam proses kebijakan juga merupakan cara yang sangat bermanfaat untuk mempromosikan pemanfaatannya, misalnya dengan cara melampirkan RIAS dalam dokumen yang dikirim ke parlemen atau menyertakan RIA sebagai salah satu persyaratan yang harus dikirimkan ke parlemen sebagaisalah satu syarat pembuatan proposal legislasi. Mendistribusikan tanggungjawab atas elemen RIA secara berhati hati Elemen program seperti tujuan, analisis formal, justifikasi, dampak dan mengkomunikasikan hasil analisis harus didistribukan secara hati hati penangungjawabnya. RIA memiliki kemampuan untuk meningkatkan kapabilitas lembaga penghasil kebijakan melalui peningkatan ketrampilan, budaya dan akuntabilitasnya. Perlu dipertimbangkan juga bahwa terdapat lembaga independen yang dapat bertanggung jawab untuk menjamin kontrol kualitas kebijakan. Lembaga lembaga ini memiliki sumber daya dan kapasitas teknis untuk melakukan review terhadap RIAs dan mereka memiliki kemampuan untuk mendorong agar pengambil kebijakan patuh kepada rekomendasi yang telah dibuat oleh RIA. Memberikan pelatihan kepada regulator Regulator harus memiliki ketrampilan untuk menghasilkan RIA yang berkualitas. Mereka harus benar benar memahami metodologi dan data yang digunakan, bagaimana cara data dikumpulkan juga peran RIA


141 dalam menjamin kebijakan yang dihasilkan. Ketika ingin menjadikan RIA sebagai alat untuk pengambilan kebijakan, maka sangat penting untuk meningkatkan pelatihan di awal tahap program RIA. Melalui pelatihan yang sangat dini ini akan diperoleh manfaat tidak saja peningkatan ketrampilan teknis, melainkan juga didapat penerimaan RIA sebagai sebuah budaya. Namun demikian harus pula diingat bahwa diperlukan investasi yang cukup tinggi sepanjang waktu untuk mengakomodasi perpindahan staf dan mendorong tujuan penerimaan RIA secara kultural dalam setiap organisasi. Salah satu cara untuk meningkatkan ketrampilan RIA adalah melalui pengintegrasian RIA dalam palatihan pelatihan nasional mengenai adminstrasi publik. Buku panduan (manual dan guideline) merupakan kompenen penting dari palatihan, namun bukan yang utama. Buku panduan menjadi tidak efektif ketika disusun terlalu formal, terlalu detail atau tidak praktis. Buku panduan yang baik disusun secara sederhana, berbasis pada contoh nyata atau studi kasus dan menyediakan petunjuk yang jelas dan praktis bagaimana cara pengumpulan data dan metodologi yang digunakan. Buku panduan yang dipublikasikan harus diperbaharui secara berkala untuk mengakomodasi perubahan lingkunagn RIA yang spesifik. Juga penting untuk menjamin bahwa materi yang dipublikasikan secara akurat mereleksikan pembelajaran mengenai metodologi dan institusi yang dibangun. Buku panduan yang disusun juga harus memiliki tujuan untuk meningkatkan pemahaman publik menganai RIA termasuk efektivitas biaya dan metode pelatihan. Menggunakan metode analisis yang konsisten tetapi fleksibel Menentukan metode yang hendak digunakan merupakan elemen sentral yang akan menentukan performa RIA. Beberapa metode RIA umumnya digunakan di Negara Negara OECD misalnya benefit/cost analysis, cost effectiveness or cost/output analysis, fiscal or budget analysis, socio-


142 economic impact analysis, consequence analysis, compliance cost analysis and business impact tests. Trend yang banyak digunakan adalah cost benefit analysis karena ini yang dianggap paling tepat dengan pernyataan bahwa kebijakan harus “produce benefits that justify costs, considering the distribution of effects across society”, walaupun CBA itu sendiri memiliki tantangan yang luas untuk diaplikasikan (lihat bagian lain dari naskah ini mengenai CBA). Itulah sebabnya dalam pemanfaatan CBA dalam RIA harus mendasarkan diri pada penilaian praktis biaya dan manfaat. Pendekatan bertahap dalam analisis CBA yang dilakukan secara terus menerus membantu meningkatkan ketrampilan pelaksana untuk menggunakan metode ini. CBA umumnya juga membutuhkan metode analisis yng lain, misalnya ketika fairness tidak dapat dikuantifikasi, dibutuhkan metode lain untuk mendekatinya agar CBA tidak hanya memuat aspek aspek yang terhitung dan terlihat saja. Regulator harus memiliki fleksibilitas dalam memilih metode analisis. Aspek terpenting dari penilaian ini adalah bahwa semakin tinggi biaya yang dikeluarkan untuk regulasi maka ketelitian analisis harus semakin ditingkatkan. Panduan standar untuk masing masing metode harus memungkinkan adanya perbadingan antar regulasi dan dengan jelas menetapkan apa tujuan dari masing masing analisis. Membangun dan mengimplementasikan strategi pengumpulan data Pengumpulan data adalah salah satu aspek tersulit dalam RIA. Daya guna RIA sangat bergantung dari kualitas data yang digunakan untuk melakukan evaluasi dampak dari regukasi yang sedang dibahas. Cara pengumpulan data yang lemah akan berakibat pada analisis yang juga buruk sementara memperbaiki cara pengumpulan data ketika analisis telah berlangsung hanya akan menghabiskan waktu dan juga biaya. Maka sangat penting untuk membangun cara mengumpulan data.


143 Informasi yang dibutuhkan dalam RIA dapat dikumpulkan dalam beberapa cara. Konsultasi publik adalah salah satu cara pengumpulan data yang penting, namun demikian harus dipastikan bahwa struktur konsultasi telah didesain secara hati hati. Ketika informasi telah dikumpulkan direview dan diuji untuk menjamin kualitas dan kuantitas data yang diharapkan. Regulator dapat menjamin data yang lebih baik melalui pelibatan berbagai stakeholder yang relatif tidak memiliki keberpihakan (netral). Target kebijakan (aturan) yang hendak dilakukan RIA Idealnya RIA diaplikasikan untuk semua aturan baik yang legal formal maupun yang tidak. Namun demikian pembuat kebijakan memiliki sejumlah keterbatasan, untuk itulah maka pembuat kebijakan harus melakukan pilihan kebijakan mana yang akan didahulukan untuk dilakukan analisis. pertimbangan terpenting untuk menentukan kebijakan yang akan dianalisis adalah kebijakan yang memilki dampak luas bagi masyarakat. Targeting itu memiliki dua manfaat, pertama memfokuskan sumber daya RIA pada isu kunci sehingga meningkatkan kredibilitas hasilnya dan meningkatkan insentif dalam bentuk peningkatan kebijakan. Kedua karena RIA membutuhkan dukungan administratif maupun politik maka penting memastikan bahwa stakeholder melihat RIA merupakan proses penting yang berbiaya tetapi juga memiliki manfaat yang besar. Integrasikan RIA kedalam proses pembuatan keputusan seawal mungkin RIA merupakan proses yang menantang yang perlu terus dikembangkan sepanjang waktu. Ini harus diintegrasikan ke dalam proses pembuatan kebijakan secara disiplin sehingga akan menjadi bagain yang rutin dari pengembangan kebijakan. RIA tidak boleh dipandang sebagai hambatan


144 dalam pengambilan keputusan atau pekerjaan legislatif. Jika RIA tidak diintegrasikan ke dalam proses pengambilan keputusan, penilian atas dampak hanya akan menjadi justifikasi setelah fakta atau menjadi tidak bermakna. Melakukan integrasi merupakan pekerjaan (proses) jangka panjang yang akan mendorong perubahan kultur dalam kementerian yang bertanggungjawab terhadap regulasi juga bagi parlemen dan legislator. Mengkomunikasikan hasilnya RIAs atau Laporan RIA tidak aka nada manfaatnya jika tidak dikumunikasikan. Sebagai hasil analisis yang digunakan untuk pengambilan keputusan mengenai kebijkan maka RIA harus dikomunikasikan bersamaan dengan mulainya proses pembuatan aturan. Merilis RIA bersamaan dengan draf aturan perundangan sebagai bagian dari prosedur konsultasi merupakan suatu cara yang sangat berpengaruh (powerfull) untuk meningkatkan kualitas informasi yang tersedia mengenai regulasi yang baru dan dengan demikian meningkatkan kualitas regulasi itu sendiri. Melibatkan publik secara eksternasif Keterlibatan publik dalam RIA memiliki manfaat signifikan. Publik utamanya mereka yang terdampak oleh regulasi seringkali dapat menyediakan banyak data yang diperlukan untuk melengkapi RIA. Pelibatan publik itu dapat dilakukan dalam setiap tahapan RIA, terutama tahap pemetaan masalah dan menemukan ide ide untuk solusi alternatif. Melalui keterlibatan mereka dalam tahapan RIA mereka yang terdampak dapat ikut serta memberikan kontribusi yang sangat riil. Dengan demikian , sehingga Konsultasi dapat informasi penting pada kelayakan proposal ada alternative alternative yang dupertimbangkan dan pada


Click to View FlipBook Version