The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

- M.Hawin,Dkk, 2017. Isu-Isu Penting Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hukum2023, 2022-09-25 11:51:12

2017. Isu-Isu Penting Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia

- M.Hawin,Dkk, 2017. Isu-Isu Penting Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press

e Gadjah Mada University Press

ISU-ISU PENTING
HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL
DI INDONESIA



M. HAWIN I BUOi AGUS RISWANDI

ISU-ISU PENTING
HAK KEKAYAAN
INTELEKTUAL
DI INDONESIA

e Gadjah Mada University Press

ISU-ISU PENTING HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA

Penulis:
M. Hawin
Budi Agus Riswandi

Desain sampul:
Didii

Tata letak isi:
Didi

Digitalisasi oleh:

Ruslan

Diterbitkan dan dicetak oleh:

Gadjah Mada University Press
Anggota IKAPI
Anggota APPTI

ISBN: 978-602-386-266-5 (cetak)
ISBN: 978-602-386-501-7 (pdf)

Redaksi:

JI. Grafika No. 1, Bulaksumur, Yogyakarta, 55281
Telp./Fax.: (0274) 561037

http://ugmpress.ugm.ac.id I [email protected]

Digitalisasi : Januari 2020

Hak Digital © 2017 Gadjah Mada University Press

Dilorong mengutip don memperbonyok tonpo izin tertulis dori penerbit, sebogion
otou seluruhnyo dolom bentuk opo pun, boik cetok, photoprint, microfilm, don
sebogoinyo.

KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Ar-Rahman Ar-Rahim
Assalamualaikum Wr. Wb

Syukur Alhamdulillah, berkat rahmat dan karunia serta bimbingan
Allah SWT, akhirnya buku dengan judul Isu-Isu Penting Hak Kekayaan
Intelektual di Indonesia ini dapat diselesaikan. Shalawat serta Salam
semoga tetap tercurahkan kepada Junjungan Nabi Muhammad SAW.

Buku ini merupakan kelanjutan dari buku-buku bidang HKI yang
sudah ada sebelumnya dengan mengangkat tema mengenai isu aktual
hukum bidang HKI pasca pemberlakuan aturan hukum HKI baik secara
Internasional maupun Nasional di Indonesia. Mengingat masih minimnya
buku hukum yang mengupas masalah-masalah aktual khususnya bidang
HKI, hadirnya buku ini diharapkan tidak hanya menjadi referensi bagi
mahasiswa yang mempelajari hukum hak kekayaan intelektual, akan tetapi
juga sebagai khasanah ilmu bagi masyarakat Indonesia yang haus akan
kajian masalah barn di bidang hukum hak kekayaan intelektual.

Untuk memberikan penjelasan singkat isi buku ini, maka penulis
menetapkan ada VIII bab. Secara lengkap masing-masing bab dapat
diuraikan sebagai berikut. Bab I tentang Pendahuluan. Bab II tentang
Perlindungan Hak Moral Menurut UUHC 2014, terdiri dari pendahuluan,
sejarah dan pengertian hak moral, perlindungan hak moral menurut UUHC
2002, perlindungan hak moral menurut UUHC 2014, kesimpulan dan
daftar pustaka. Bab III tentang Legalitas Impor Paralel Menurut UU Merek
2016, UU Paten 2016 dan UUHC 2014 , yang terdiri dari pendahuluan,

IV

pengertian impor paralel, beberapa situasi terjadinya impor paralel, sebab­
sebab terjadinya impor paralel, prinsip exhaustion dan impor paralel, impor
paralel ditinjau dari hukum merek di Indonesia, impor paralel ditinjau dari
hukum paten di Indonesia, kesimpulan, dan daftar pustaka.

Bab IV tentang Perlindungan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi
Budaya Tradisional, terdiri dari, pendahuluan, perlindungan pengetahuan
tradisional, perlindungan ekspresi budaya tradisional, kesimpulan, dan
daftar pustaka. Bab V tentang Catatan Pengaturan Manajemen Informasi
Hak Cipta, Informasi Elektronik Hak Cipta dan Sarana Kontrol Teknologi
di Dalam UU Hak Cipta, terdiri dari pendahuluan, teori perlindungan hak
cipta, teknologi informasi sebagai sarana perlindungan teknis hak cipta,
WIPO Internet Treaties: sinergitas perlindungan dan ketentuan hak cipta,
pengaturan dan catatan manajemen informasi hak cipta dan sarana kontrol
teknologi dalam ketentuan hak cipta Indonesia, kesimpulan dan daftar
pustaka.

Bab VI tentang Collective Management Organization Indonesia:
peluang dan tantangannya pasca pemberlakuan UU Nomor 28 Tahun 2014,
terdiri atas, pendahuluan, arti, fungsi, lingkup dan manfaat CMO, model
CMO di berbagai negara, sejarah, perkembangan dan pengaturan CMO di
Indonesia, kesimpulan dan dafar pustaka. Bab VII tentang UUHC Nomor
28 Tahun 2014 dalam Konteks Kepentingan Pengembangan Industri
Kreatif Musik dan Lagu di Indonesia, yang terdiri dari pendahuluan,
industri kreatif = industri musik dan lagu = industri hak cipta, kontribusi
industri kreatif musik dan lagu dalam perekonomian nasional, UUHC
dalam konteks kepentingan pengembangan industri kreatif musik dan lagu
Indonesia, kesimpulan dan daftar pustaka.

Bab VIII tentang Problematika Jaminan Fidusia Hak Cipta dan
Implikasinya terhadap Pengembangan Industri Kreatif di Indonesia, terdiri
dari pendahuluan, industri kreatif sebagai industri yang berbasis pada
kreativitas, hak cipta sebagai hak kebendaan dan multihak, jaminan :fidusia
sebagai jaminan kebendaan, problematika jaminan :fidusia hak cipta dan

vi

implikasi pada pengembangan industri kreatif di Indonesia, kesimpulan
dan daftar pustaka.

Demikian penjelasan setiap bab dari buku ini. Selanjutnya, Penulis
mengharapkan saran dan kritik guna penyempurnaan buku ini.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, Juli 2017
Penulis,

Prof. M. Hawin, S.H.,LL.M., Ph.D.
Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum.

vii



DAFTARISI

KATA PENGANTAR .......................................................................... V
DAFTAR ISi ........................................................................................ ix
DAFTAR ISTILAH ............................................................................. xiii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................. 1

BAB II PERLINDUNGAN HAK MORAL MENURUT UUHC
2014....................................................................................
A. Pendahuluan ................................................................ 6
B. Sejarah dan Pengertian Hak Moral............................... 6
C. Perlindungan Hak Moral Menurut UUHC 2002 .......... 7
D. Perlindungan Hak Moral Menurut UUHC 2014 ......... 14
E. Kesimpulan .................................................................. 20
Daftar Pustaka .................................................................... 25
26

BAB III LEGALITAS IMPORPARALEL MENURUT UU MEREK
2016, UUPATEN 2016, DAN UU HAK CIPTA 2014......
A. Pendahuluan ................................................................ 27
B. Pengertian Impor Paralel ............................................. 27
C. Beberapa Situasi Terjadinya Impor Paralel ................. 28
D. Sebab-Sebab Terjadinya Impor Paralel ....................... 32
E. Prinsip Exhaustion dan Impor Paralel ......................... 35
F. Impor Paralel Ditinjau dari Hukum Merek di 38

Indonesia ..................................................................... 64
G. Impor Paralel Ditinjau dari Hukum Pat en di
72
Indonesia ......................................................................

I ix

H. Impor Paralel Ditinjau dari Hukum Hak Cipta di 78
Indonesia ...................................................................... 82
83
I. Kesimpulan ..................................................................
Daftar Pustaka ....................................................................

BAB IV PERLINDUNGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL
DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL................... 88
A. Pendahuluan ................................................................ 88
B. Perlindungan Pengetahuan Tradisional........................ 89
C. Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional.................. 116
D. Kesimpulan .................................................................. 120
Daftar Pustaka .................................................................... 121

BAB V CATATAN PENGATURANMANAJEMEN INFORMASI
HAK CIPTA, INFORMASI ELEKTRONIK HAK CIPTA
DAN SARANA KONTROL TEKNOLOGI DI DALAM
UU NO. 28 TAHUN 2014 ................................................. 124
A. Pendahuluan................................................................. 124
B. Teori Perlindungan Hak Cipta...................................... 125
C. Teknologi Informasi sebagai Sarana Perlindungan

Teknis Hak Cipta.......................................................... 126
D. WIPO Internet Treaties: SinergitasPerlindungan Teknis

dan Ketentuan Hak Cipta ............................................. 130
E. Pengaturan dan Catatan Manajemen Informasi Hak

Cipta dan Sarana Kontrol Teknologi dalam Ketentuan
Hak Cipta Indonesia..................................................... 131
F. Kesimpulan .................................................................. 137
Daftar Pustaka .................................................................... 138

BAB VI COLLECTIVE MANAGEMENT ORGANIZATION

INDONESIA: PELUANG DAN TANTANGANN YA
PASCA PEMBERLAKUAN UU NO. 28 TAHUN 2014... 140
A. Pendahuluan................................................................. 140
B. Arti, Fungsi, Lingkup dan Manfaat Collective

Management Organization .......................................... 141

XI

C. Model Collective Management Organization di
Beberapa Negara .......................................................... 146

D. Sejarah, Perkembangan dan Pengaturan CMO di
Indonesia ..................................................................... 147

E. Peluang dan Tantangan CMO Indonesia...................... 155
F. Kesimpulan .................................................................. 156
Daftar Pustaka .................................................................... 157

BAB VII UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 28 TAHUN
2 01 4 D A L A M K O N T E K S K E P E N T I N G A N
PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF MUSIK DAN
LAGU DI INDONESIA..................................................... 159
A. Pendahuluan ................................................................. 159
B. Industri Kreatif = Industri Musik dan Lagu = Industri
Hak Cipta ..................................................................... 160
C. Kontribusi Industri Kreatif Musik dan Lagu dalam
Perekonomian Nasional................................................ 161
D. UU Hak Cipta dalam Konteks Kepentingan
Pengembangan Industri Kreatif Musik dan Lagu
Indonesia ...................................................................... 165
E. Kesimpulan .................................................................. 168
Daftar Pustaka .................................................................... 168

BAB VIII PROBLEMATIKA JAMINAN FIDUSIA HAK CIPTA
DAN IMPLIKASINYATERHADAP PENGEMBANGAN
INDUSTRI KREATIF DI INDONESIA............................ 170
A. Pendahuluan ................................................................. 170
B. Industri Kreatif sebagai Industri yang Berbasis pada
Kreativitas .................................................................... 171
C. Hak Cipta sebagai Hak Kebendaan dan Multihak ....... 175
D. Jaminan Fidusia sebagai Sistem Jaminan Kebendaan.. 180
E. Problematika Jaminan Fidusia Hak Cipta dan
Implikasinya pada Pengembangan Industri Kreatif di
Indonesia ...................................................................... 184

xi

F. Kesimpulan .................................................................. 188
Daftar Pustaka .................................................................... 189
INDEKS............................................................................................... 191
SEKILAS TENTANG PENULIS ........................................................ 195

DAFTAR ISTILAH

ABS Access and Benefi.t Sharing
ASIRI
CBD Singkatan dari Asosiasi Industri
CMO Rekaman Indonesia

Development Theory Convention on Biological Diversity
Singkatan dari Collective Management
DRMs Organization merupakan organisasi

ECJ yang dibentuk atau ditunjuk oleh
EEA pemegang hak cipta dalam pengelolaan
Industri Kreatif hak cipta yang mereka miliki.
Perlindungan hak cipta sebagai
katalisasi pembangunan ekonomi dan
modernisasi masyarakat.

Singkatan dari Digital Right
Management merupakan sekumpulan

sistem yang digunakan untuk
melindungi hak cipta di media
elektronik.

European Court of Justice
European Economic Area

Industri yang berasal dari pemanfaatan
kreativitas, keterampilan serta
bakat individu untuk menciptakan
kesejahteraan dan lapangan

xiii

pekerjaan dengan mengbasilkan dan

memberdayakan daya kreasi dan daya

Insentive Theory cipta individu tersebut.
Insentif ekonomi yang diberikan

kepada pencipta dalam rangka

mendorong pencipta untuk dapat

menginvestasikan waktu, usaba,

keablian dan segala sumber daya yang

dimilikinya untuk proses membuat

MPA suatu kreativitas.
Natural Right Theory Motion Picture Association

Teori perlindungan bak cipta sebagai

buah dari basil kerja yang telab

dibasilkan oleb kreator, dimana basil

kerja tersebut merupakan bentuk

kontribusi kepada masyarakat dan

bal tersebut menjadi patut untuk

Prospect Theory mendapatkan pengbargaan.
Teori perlindungan bak cipta yang

dimaksudkan untuk memberikan

penghargaan ekonomi atas

ketidakpastian dan ketidaktabuan

serta investasi pencipta yang memiliki

resiko dan mabal.

The Berne Convention Konvensi Bern Perlindungan Karya

TRIPs Seni dan Sastra
Trade-Related Aspects of Intellectual
Property Rights

TPP Trans Pacifi.c Partnership Agreement
Universal Copyright Convention : Konvensi Hak Cipta Universal yang

mengatur Hak Cipta Internasional

WIPO Internet Treaties pada Tabun 1952 di Jenewa.
Kesepakatan multilateral dalam bidang

bak cipta di lingkungan digital.

xiv

WIPO-WPPT Singkatan dari World Intellectual
YKCI Property Organization Performances
and Phonograms Treaty adalah
Perjanjian Karya-Karya Pertunjukan
dan Karya-Karya Fonogram WIPO.
Singkatan dari Yayasan Karya Cipta
Indonesia yang bergerak dalam bidang
hak cipta musik dan lagu.

I xv



BABI

PENDAHULUAN

M. Hawin1 dan Budi Agus Riswandi2

Setelah meratifikasi the Agreement Establishing the World Trade
Organization (WTO), untuk mematuhi kewajiban Indonesia menurut the
Agreement on Trade-RelatedAspects ofIntellectualPropertyRights (TRIPs
Agreement), Indonesia telah mempercepat usahanya untuk memperbaiki
peraturan perundang-undangan dan menerbitkan peraturan perundang­
undangan barn di bidang hukum kekayaan intelektual (HKI). Di bidang
hukum merek, misalnya, pada tahun 1997, Indonesia memperbaiki
UU Merek 19923 dengan UU No. 14 Tahun 1997, kemudian Negara ini
menerbitkan UU Merek tahun 2001.4 Pada tahun yang sama, Indonesia
juga merevisi UU Paten 19895 dengan UU No. 13 tahun 1997, dan
kemudian menerbitkan UU Paten 2001.6 Pada tahun 1997 juga, UU Hak

1. Profesor, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia; S.H.
(Universitas Gadjah Mada), LL.M. (American University), Ph.D. (University of
Queensland).

2. Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta Indonesia; S.H.
(Universitas Islam Indonesia), M.Hum. (Universitas Islam Indonesia), Dr. (Universitas
Gadjah Mada)

3. UU No. 19 Tahun 1992 tentang Merek.
4. UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
5. UU No. 6 Tahun 1989 tentang Paten.
6. UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.

I1

Cipta (UUHC) 19827 direvisi dengan UU No. 12 tahun 1997, kemudian,
diterbitkan UUHC pada tahun 2002.8 Pada tahun 2000, Indonesia
menerbitkan UU Rahasia Dagang 2000,9 UU Desain Industri 2000,10 dan
UU Tata Letak Sirkuit Terpadu 2000.11

Perkembangan selanjutnya, beberapa ketentuan dalam UUHC 2002,
UU Paten 2001 dan UU Merek 2001 telah dianggap usang dan perlu
diperbaiki. Oleh karena itu, Indonesia telah mengeluarkan UUHC 2014,12
UU Paten 2016,13 dan UU Merek 2016.14 Di bidang hak cipta, misalnya,
ketentuan-ketentuan UUHC 2002 tentang hak moral dianggap kurang atau
tidak tepat. UUHC 2002 dianggap memberikan lebih banyak perlindungan
hak ekonomi pencipta dan tidak cukup melindungi hak moralnya.15
Rancangan UUHC kemudian dibuat untuk memperbaikinya dengan
cara "mensejajarkan" perlindungan hak moral dengan perlindungan hak
ekonomi pencipta. Posisi ini ternyata kuat, karena beberapa sarjana telah
menyatakan bahwa pencipta suatu karya cipta hams mempunyai hak moral
sejajar dengan hak ekonomi mereka dan bahkan hak moral hams dilindungi
lebih lama dari pada hak ekonomi mereka.16Akhirnya, pada tanggal 16
Oktober 2014, Rancangan UUHC tersebut disahkan dan menjadi UU
Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC 2014). Isu tentang hak
moral ini menarik dan penting untuk dibahas dalam tulisan ini.

7. UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.
8. UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
9. UU No. 30 Tahun 2000.
10. UU No. 31 Tahun 2000.
11. UU No. 32 Tahun 2000.
12. UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
13. UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten.
14. UU No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis.
15. Salah satu sarjana hukum yang memperhatikan masalah ini adalah V. Henry Soelistyo

B dalam disertasinya "Perlindungan Hak Moral Menurut Hukum Hak Cipta di
Indonesia: (Kajian Mengenai Konsepsi Perlindungan, Pengaturan dan Pengelolaan
Hak Cipta)," Program Doktor, Fakultas Hukum, UGM, 2010.
16. Misalnya, V Henry Soelistyo B, ibid, him. 521, dan Miranda Risang Ayu, "Hak
Moral, Indikasi Asal, dan Hak Kebudayaan," http://klipingcliping.wordpress.
com/2010/06/06/hak-moral-indikasi-asal-dan-hak-kebudayaan (diakses tanggal 30
September 2010).

2

Ketentuan dalam UUHC 2002 yang memberikan pemegang hak cipta
hak eksklusif impor sehingga bisa melarang impor paralel dianggap tidak
tepat. Maka, UUHC 2014 merubah ketentuan tersebut dan menyatakan
bahwa pemegang hak cipta kehilangan hak eksklusif distribusinya setelah
karya ciptanya dijual pertama kalinya kepada pihak lain. Artinya, UUHC
2014 ini menganut prinsip "exhaustion". Menariknya, posisi UUHC ini
di bidang impor paralel berbeda dengan posisi hukum merek dan hukum
paten Indonesia. UU Merek 2016 mempertahankan posisi UU Merek 2001
yakni tidak memuat ketentuan yang berkaitan dengan impor paralel. UU
Paten 2016 memuat ketentuan yang bisa digunakan untuk melarang impor
paralel, namun memperbolehkan impor paralel produk farmasi. Berbeda
dengan UU Paten 2001, UU Paten 2016 mengecualikan impor paralel
produk farmasi baik dari ketentuan pidana maupun dari gugatan perdata.
Oleh karena itu, isu impor paralel di Indonesia sangat penting untuk dikaji
dalam tulisan ini.

Isu hukum kekayaan intelektual penting lainnya adalah perlindungan
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional (EBT).
Sebelumnya, sukar untuk melindunginya dengan menggunakan UU Paten
2001 karena UU Paten lama ini tidak memuat ketentuan yang berkaitan
secara langsung dengan pengetahuan tradisional. UU Paten 2016 memuat
ketentuan yang secara langsung berkaitan dengan pengetahuan tradisional,
yakni tentang kewajiban disclosure dan benefit sharing yang bisa
melindungi pengetahuan tradisional. Di samping itu, UUHC 2014 memuat
ketentuan barn berkenaan dengan sebagian pengetahuan tradisional yakni
ekspresi budaya tradisional (EBT). Isu tentang perlindungan pengetahuan
tradisional dan EBT juga penting untuk dibahas dalam buku ini.

Buku ini akan mengkaji ketentuan-ketentuan barn tentang hak moral
dalam UUHC 2014 dan membandingkannya dengan ketentuan UUHC
yang lama dan dengan the Berne Convention yang mengatur hak moral.
Tulisan ini juga akan mengkaji legalitas impor paralel dalam hukum
kekayaan intelektual di Indonesia khususnya posisi barn dalam UUHC
2014 dan UU Paten 2016. Buku ini juga akan membahas perlindungan
pengetahuan tradisional dalam UU Paten 2016 dan UU Merek 2016 dan

I3

EBT menurut UUHC 2014 dengan menyinggung RUU Pengetahuan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (RUUPT & EBT).

Dari sisi yang berbeda, pemberlakuan UUHC 2014 telah memperkuat
perlindungan hak cipta di internet. Penguatan perlindungan hak cipta salah
satunya dengan mensinergikan perlindungan teknis ke dalam ketentuan
hak cipta di internet. Hal ini sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal
7, Pasal 52 dan Pasal 112 UU No. 28 Tahun 2014. Namun demikian,
pengaturan ini pada kenyataannya masih memiliki beberapa catatan
yang meliputi belum dimungkinkannya pembatasan dan pengecualian
yang terkait dengan kepentingan publik di bidang pendidikan, nirlaba
dan perlindungan data pribadi dan sanksi pidana yang nampaknya belum
dapat memulihkan kerugian negara atas perbuatan tersebut. Buku ini akan
mengkaji isu penting ini.

Aspek lain dari UUHC 2014 yang tak kalah menarik adalah mengenai
pengaturan Collective Management Organization (CMO). CMO dikenal
dalam UUHC 2014 dengan sebutan Lembaga Manajemen Kolektif.
Lembaga ini dikenal juga dengan singkatan LMK. Pengaturan LMK
di dalam UUHC 2014 merupakan penyempurnaan dari UUHC 2002.
Sebagaimana diketahui, setelah diberlakukannya UUHC 2014, maka LMK
di Indonesia berbentuk lembaga non profi.t dan tidak bersifat monopolistik.
LMK juga dibentuk secara voluntary dengan dukungan UUHC 2014.
Bentuk LMK seperti ini ternyata telah menghadirkan sejumlah peluang
dan tantangan. Peluang dan tantangan ini, apabila dapat diselesaikan
dengan baik, akan membawa kepada semangat berkreativitas yang tinggi
dan meningkatkan kesejahteraan dari pemegang hak cipta. Tulisan ini juga
akan mengkaji hal ini.

Kehadiran UUHC 2014 juga membuka babak barn dalam
pengembangan industri kreatif musik dan lagu Indonesia. Hal ini
setidaknya dengan diberlakukannya UUHC 2014, maka industri kreatif
musik dan lagu diharapkan akan mencapai dua kepentingan, yakni;
kepentingan perlindungan hukum dan kepentingan mendapatkan insentif.
Dalam hal kepentingan perlindungan hukum, ketentuan UUHC 2014 telah
memberikan perlindungan bagi industri kreatif musik dan lagu lebih lama,
yakni seumur hidup plus 70 tahun, sedangkan kepentingan mendapatkan

41

insentif bagi industri kreatif musik dan lagu dibuktikan dengan diakuinya
pemberian royalti melalui sistem Lembaga Manajemen Kolektif.

Dalam hal pengembangan industri kreatif, mendorong kreativitas
saja tidak cukup, namun diperlukan juga dukungan permodalan yang
kuat. Dalam kenyataannya, industri kreatif masih kesulitan untuk
mendapatkan permodalan tersebut melalui skema perkreditan mengingat
tidak tersedianya jaminan yang dipersyaratkan. Untuk memberikan solusi
terhadap permasalahan tersebut pemerintah telah membuat ketentuan
barn, dimana kreativitas yang dilindungi hak cipta yang dimiliki oleh
industri kreatif dapat dijadikan sebagai alat jaminan. Hal ini ditegaskan
dalam ketentuan Pasal 16 ayat (3) UUHC 2014. Namun demikian, apabila
dicermati, dalam implementasinya, jaminan fidusia hak cipta ini berpotensi
dapat menimbulkan beberapa permasalahan. Beberapa permasalahan yang
timbul pada akhirnya dapat menimbulkan implikasi ekonomi dan hukum
terhadap pengembangan industri kreatif. Buku ini juga akan membahas hal
yang penting ini.

Is

BAB II

PERLINDUNGAN HAK MORAL
MENURUT UUHC 2014

M.Hawin

A. PENDAHULUAN
Ketika masyarakat mendengarkan sebuah lagu di berbagai media,

biasanya mereka tidak atau kurang tahu siapa sebenarnya pencipta lagu
tersebut karena jarang media menyebutkan nama penciptanya. Bahkan
pihak media mungkin berfikiran tidak penting menyebutkan nama
penciptanya. Hal ini terutama terjadi pada siaran radio dan televisi,
walaupun siaran televisi dewasa ini sudah lebih sering menyebutkan nama
penciptanya dari pada siaran radio. Tidak jarang pula kita saksikan sebuah
karya dimodifikasi tanpa ijin penciptanya. Misalnya, sebuah lagu dirubah
atau diganti baik lirik maupun iramanya tanpa ijin penciptanya. Masih jelas
di benak kita, lagu "It's Only Words" the Bee Gees diganti atau diplesetkan
dengan "Iso Ngliwet" dengan irama dangdut. Lebih menyedihkan lagi, di
lingkungan akademik, kita sering sekali mendapatkan informasi bahwa
banyak tulisan yang dibuat kalangan akademik yang mengutip karya orang
lain tanpa menyebutkan nama penciptanya. Dari sisi etika, hal-hal seperti
itu tidak tepat. Terlepas dari kepentingan kebebasan berekspresi, kreativitas
pencipta yang bersifat pribadi harus dihargai secara moral selain secara
ekonomi. Harns diakui bahwa pencipta, selain mempunyai hak ekonomi,

6I

juga mempunyai hak untuk disebut namanya dalam ciptaannya dan hak
untuk melarang modifikasi ciptaannya.

Hak untuk disebut namanya (hak atributif) dan hak untuk mencegah
orang lain memodifikasi ciptaannya (hak integritas) dan hak-hak moral
lainnya bagi pencipta sudah lama diakui di beberapa negara terutama
negara-negara dengan Civil Law. Dalam perkembangannnya, hak-hak
tersebut, terutama hak atributif dan hak integritas, diakui juga di beberapa
negara Common Law, seperti AS, Australia, Canada, dan Selandia Barn
walaupun lebih terbatas dari pada di negara-negara Civil Law. Beberapa
perjanjian hak cipta internasional juga mengakui hak moral, seperti the
Berne Convention dan WIPO's Performances and Phonograms Treaty
1996 (WPPT). Sesuai dengan tradisi negara-negara Civil Law, Indonesia
sudah mengakui hak moral sejak negara ini menerbitkan UUHC 1982.17
Nampaknya, Indonesia selalu berusaha untuk memperbaiki perlindungan
hak moral sampai dikeluarkannya UUHC 2014.

Dalam bab ini akan dibahas perlindungan hak moral di Indonesia.
Pembahasan ini penting mengingat telah dikeluarkannya UUHC yang barn
yakni UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC 2014) yang antara
lain mengatur perlindungan hak moral. Namun, sebelumnya, perlu dibahas
terlebih dahulu ketentuan yang lama, yakni ketentuan dalam UU Nomor
19 Tahun 2002 (UUHC 2002) agar dapat diketahui sejauh mana ketentuan
yang barn tersebut memperbaiki ketentuan yang lama.

B. SEJARAH DAN PENGERTIAN HAK MORAL

Konsep asli dari hak moral, yang merupakan hak seseorang untuk
diakui ekspresi individunya sebagai perpanjangan dari kepribadiannya,
berasal dari Yunani dan Romawi kuno di bawah Kaisar Justinian. Pada
waktu itu, hak moral hanya meliputi hak attribusi (right of attribution) atau
hak pencipta untuk diakui sebagai pencipta dari ciptaannya sendiri. Pada
waktu itu, plagiarisme menjadi perhatian besar di Romawi kuno, dimana
tindakan plagiarisme diartikan sebagai kejahatan pencurian insani (the
crime of stealing a human being). Dari definisi ini, jelas bahwa ciptaan

17. UU No. 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta.

I7

seorang pencipta sinonim dengan eksistensinya yang sesungguhnya dan
integritas pribadinya. Ide ini kemudian ditanamkan ke dalam konsep
hak moral yang memberikan kepada pencipta hak kontrol atas "nasib"
kreativitasciptaannya. Kemudian, hakpenciptauntukmelindungikontribusi
kreatifnya dari modifikasi diakui oleh hukum Romawi, sehingga pencipta
tersebut diberikan hak untuk menggugat orang yang membelokkan pesan
kreatifnya dengan cara yang sebenarnya tidak diinginkan oleh pencipta.18

Di Eropa, hak moral telah dikenal sejak abad ke sembilan belas.
Selama waktu itu, dan sebagai respon terhadap karya filosuf Jerman,
Kant dan Hegel dan filsafat individualis dari Revolusi Perancis, hukum
Perancis mulai melindungi investasi emosional seniman pada karya­
karya seni mereka dengan cara melarang mutilasi karya-karya tersebut
tanpa persetujuan seniman penciptanya. Negara-negara Eropa lainnya
mengikuti Perancis. Bahkan, beberapa negara Eropa, khususnya Perancis,
melindungi 2 (dua) tambahan hak moral, yakni "right of disclosure" (hak
penyingkapan), yang memungkinkan pencipta untuk menolak membuka
atau menerbitkan karyanya ke publik sebelum dia merasa karyanya tersebut
memuaskan, dan "right of withdrawal" (hak penarikan kembali), yang
memberikan pencipta hak untuk menarik kembali karyanya dari publik,
bahkan setelah karya tersebut dijual.19

Konsep hak moral mengakui bahwa suatu ciptaan eksis atau hidup
lebih dari hanya sekedar mendapatkan tempat di pasar secara ekonomi. Pada
setiap ciptaan kreatif melekat kepribadian penciptanya dan ekspresi pribadi
khas penciptanya, yang eksis atau hidup bersamaan dengan kepentingan
ekonomi penciptanya. Unsur kepribadian yang sangat melekat pada suatu
ciptaan ini sifatnya abadi, berlangsung melebihi waktu seorang pencipta
dapat menjual ciptaannya kepada masyarakat. Oleh karena itu, hak moral
dipandang sebagai perpanjangan dari pribadi pencipta tersebut, sehingga
pencipta tersebut mempunyai hak kontrol atas ciptaannya di kemudiaan

18. Jessica Watkins, "Garcia v. Google, Inc. and The Limited Rights of Motion Picture
Actors Under American Copyright Law," (2016) 98 J. Pat. & Trademark Off. Soc'y
249, hlm. 254.

19. Nathan Murphy, "Theme Et Varaations: Why The Visual Artists Rights Act Should
Not Protect Works-In-Progress," (2010) 17 UCLA Ent. L. Rev. 110, him. 114.

8

hari tidak karena alasan ekonom.i, tetapi karena alasan kepentingannya
yang sangat pribadi.20

Perlindungan hak moral sesuai dengan pandangan "Authors' Rights"
(Hak Pencipta). Ada dua pandangan yang berbeda berkaitan dengan
peran ciptaan dan pencipta dalam masyarakat. Pertama, pandangan
Authors' Rights (Hak Pencipta) yang menyatakan bahwa ciptaan adalah
perpanjangan dari kepribadian pencipta yang menciptakannya. Ciptaan
tersebut terns merefleksikan penciptanya walaupun setelah ciptaannya
dijual dan dipublikasikan. Karena hubungan yang sangat dekat antara
pencipta dan ciptaannya, pencipta berhak untuk mendapatkan tidak hanya
remunerasi finansial tetapi juga hak kontrol terns menerns berkaitan dengan
bagaimana ciptaannya digunakan. Seorang penulis lagu, m.isalnya, dapat
menolak lagunya dimainkan dalam kampanye bagi seorang calon pejabat
politik, atau penulis sandiwara dapat menolak sandiwaranya dipentaskan
oleh pihak tertentu. Ahli hukum Perancis Bernard Edelman menyatakan:
"Since the work embodies the authors personality, harming it also attacks its
creator." Pandangan ini menunjukkan bahwa kepentingan pencipta sangat
kuat, karena pencipta mempunyai hak untuk menulis kembali ciptaannya,
menarik kembali ciptaan yang tidak lagi direkomendasikan penciptanya
(atau karena penciptanya malu atau tidak nyaman) dari peredarannya di
masyarakat dengan tujuan untuk melindungi reputasi pencipta.21

Pandangan yang kedua, yakni "Copyright'' (Hak Cipta), menyatakan
bahwa tidak ada ciptaan tanpa masyarakat penonton (audience). Ciptaan
merefleksikan dan menggerakkan budaya, dan melekat secara kuat dalam
masyarakat yang membesarkan dan mendidik penciptanya. Masyarakat
tersebut mempunyai kepentingan dalam "warisannya" dan dapat menuntut
kepentingannya yang berhadapan atau bersaing dengan kepentingan
pencipta. Nilai ciptaan timbul dari kemampuannya untuk menginspirasikan,
menginformasikan, menghibur, dan menjelaskan kepada masyarakat.
Pencipta berhak untuk mendapatkan hak-hak dari ciptaannya tidak hanya
karena kepentingan dirinya sendiri, tetapi karena pencipta mengembangkan

20. Jessica Watkins, Op.Cit.
21. Timothy K. Armstrong, "Two Comparative Perspectives on Copyright's Past and

Future in The Digital Age," (2016) 15 J. Marshall Rev. Intell. Prop. L. 698, hlm. 704.

I9

budaya di mana pencipta merupakan bagiannya. Apabila memberikan hak­
hak kepada pencipta akan meningkatkan kepentingan publik, maka hak-hak
tersebut harus diberikan, sebaiknya apabila tidak, hak-hak tersebut harus
tidak diberikan atau dibatasi. Tujuan hukum tertinggi adalah memperbesar
atau meningkatkan kepentingan masyarakat; remunerasi dan royalti
hanya diberikan kepada pencipta apabila pemberian itu akan mendukung
tercapainya tujuan tersebut.22 Oleh karena itu, harus ada keseimbangan
antara hak-hak pencipta dan hak-hak masyarakat. Pencipta membutuhkan
hak-hak agar rasa takut terhadap pembajakan tidak menurunkan minatnya
untuk membuat ciptaan barn, tetapi hak-hak pencipta tersebut tunduk
kepada pembatasan-pembatasan, seperti "fair use", lisensi wajib, dan lain
sebagainya. Hak-hak pencipta harus mempunyai jangka waktu yang cukup
untuk menjamin pencipta mendapatkan kompensasi, tetapi jangka waktu
tersebut tidak boleh menyebabkan masyarakat kehilangan kemanfaatan
dari akses mereka kepada ciptaan tersebut.

Baldwin menjuluki pandangan pertama sebagai "Authors ' Rights"
(Hak Pencipta) dan pandangan kedua sebagai "Copyright'' (Hak Cipta).
Beberapa perbedaan antara keduanya diantaranya: Hak Pencipta lahir
secara alamiah, sedangkan Hak Cipta lahir karena hukum positif; dalam
Hak Pencipta, perlindungan kepada pencipta kuat, sedangkan dalam
Hak Cipta perlindungan kepada pencipta moderat; jangka waktu Hak
Pencipta adalah panjang atau abadi sedangkan jangka waktu Hak Cipta
terbatas; tujuan Hak Pencipta adalah kualitas ciptaan sedangkan tujuan
Hak Cipta adalah ketersediaan ciptaan bagi masyarakat; Hak Pencipta
sukar dipisahkan dari pencipta, sedangkan Hak Cipta mudah dipisahkan
dari pencipta; dasar filosofis Hak Pencipta adalah Romanticism sedangkan
dasar filosofis Hak Cipta adalah postmodernism; dan lain sebagainya.23

Karena dalam Hak Pencipta perlindungan kepada pencipta kuat,
maka Hak Pencipta sangat mendukung perlindungan hak moral pencipta
yang, sebagaimana tersebut di atas, meliputi: hak atribusi (the rights of
attribution and non-attribution), hak integritas (the rights of integrity), hak
penyingkapan (the rights of disclosure), dan hak penarikan kembali (the

22. Timothy K. Armstrong, ibid, him. 705.
23. Timothy K. Armstrong, ibid, him. 705 dan 706.

10

rights of withdrawal or repenting). Bahkan, Hak Pencipta mendukung hak
moral yang berbau hak ekonom.i, yakni hak pencipta untuk mendapatkan
royalti setelah ciptaannya dijual kembali (the resale royalty rights atau
the droit de suite). Hak ini sangat penting untuk ciptaan seni murni yang
nilainya meningkat dari waktu ke waktu.24

Negara-negara Civil Law, awalnya negara-negara di Eropa,
mempunyai tradisi memberikan hak moral selain hak ekonom.i kepada
pencipta. Negara-negara Common Law lebih menekankan pada pemberian
hak ekonom.i dari pada hak moral. Ternyata pendekatan negara-negara
Civil Law ini lebih diterima oleh beberapa perjanjian internasional. Pada
tahun 1928, konsep hak moral telah mendapat cukup sambutan untuk
ditambahkan dalam teks the Berne Convention 1886.25 Pasal Gbis the Berne
Convention26 menyatakan:

Independently of the author's economic rights, and even after transfer
of said rights, the author shall have the right to claim authorship of the
work and to object to any distortion, mutilation, or other modifi.cation
of, or other derogatory action in relation to, the said work, which shall
be prejudicial to his honor or reputation.

Pasal Gbis the Berne Convention tersebut menyebutkan hak untuk
mengklaim kepengarangan (authorship). Hak inilah yang disebut "right
of attribution" (hak atribusi) atau "right of paternity." Di sini tersirat
makna bahwa pencipta juga mempunyai hak untuk melepaskan (disclaim)
kepengarangannya. Pasal tersebut juga menyebut hak untuk menolak
berbagai bentuk modifikasi fisik. Hak inilah yang biasa disebut "right of
integrity" (hak integritas).

Selain the Berne Convention, sebagaimana tersebut di atas, hak moral
juga diakui dan diatur dalam the Universal Declaration of Human Rights
1948. Pasal 27(2) Deklarasi ini menyatakan: "Everyone has the right to the
protection of the moral and material interests resulting from any scientifi.c,
literary or artistic production of which he is the author." Dem.ikian juga

24. Timothy K. Armstrong, ibid, him. 706.
25. Nathan Murphy, Op.Cit, him. 113 clan 114.
26. The Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works.

I 11

WIPOs Performances and Phonograms Treaty 1996 (WPPT) mengakui
hak moral. Pasal 5(1)27 WPPT mengakui hak moral pelaku (performer)
dengan meniru Pasal 6bis the Berne Convention yang intinya menyatakan
bahwa pelaku mempunyai hak atribusi dan hak integritas.

Walaupun beberapa negara Common Law, seperti AS dan Inggris,
telah meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional tersebut, negara­
negara tersebut kokoh pada pendiriannya untuk memberikan perlindungan
hak moral secara terbatas, dan hanya memberikan perlindungan hak moral
kepada kreasi seni murni (fi.ne arts), sehingga pengarang lagu dan pemain
musik di negara-negara tersebut harus mempertahankan hak moral mereka
di pengadilan-pengadilan Uni Eropa.28 Namun, ada beberapa negara
Common Law, seperti Kanada, Australia dan Selandia Barn yang telah
memberikan perlindungan hak moral lebih luas untuk karya cipta kreatif
termasuk hak moral untuk karya musik.29

Contoh negara Common Law yang memberikan perlindungan hak
moral secara terbatas adalah AS. Perkembangan hak moral di AS lamban.
Awalnya, seniman AS tidak mempunyai hak moral dalam karya-karya
mereka. Kemudian, perlahan-lahan hukum Eropa yang melindungi hak
moral mempengaruhi para seniman AS untuk meminta hak-hak yang sama,
dan mulai tahun 1970 an, suara para seniman tersebut semakin menguat
dan efektif. Akhirnya, pada tahun 1990, AS mengeluarkan the Visual
Artists Rights Act.30 UU ini memberikan hak atribusi dan hak integritas
kepada seniman karya visual. Hak atribusi mempunyai dua komponen: hak
untuk mengklaim kepengarangan dan hak untuk melepaskan (disclaim)

27. Pasal 5(1) WPPT menyatakan: "Independently of a performer's economic rights, and
even a�er the transfer of those rights, the performer shall, as regards his live aural
performances or performances fi.xed in phonograms, have the right to claim to be
identifi.ed as the performer of his performances, except where omission is dictated by
the manner of the use of the performance, and to object to any distortion, mutilation
or other modifi.cation of his performances that would be prejudicial to his reputation."

28. Robert C. Bird and Lucille M. Ponte, "Protecting Moral Rights in The United States
and The United Kingdom: Challenges and Opportunities under The U.K.'s New
Performances Regulations," Boston University International Law Journal, Vol.
24:213, 2006, hlm. 214 -215.

29. Robert C, ibid. hlm. 216.
30. Visual Artists Rights Act of 1990, 17 U.S.C. § 106A(a) (2006). Nathan Murphy,

Op.Cit, hlm. 114.

12

kepengarangan dari suatu karya yang tidak dibuat oleh seniman.31 Hak
integritas dalam UU itu memungkinkan seniman visual untuk mencegah
suatu pihak melakukan berbagai macam modifikasi dan pengrusakan
karyanya.32 Namun, perlindungan hak moral diAS ini terbatas hanya untuk
karya visual yang pengertiannya terbatas, yakni "a painting, drawing, print,
or sculpture, existing in a single copy, in a limited edition of 200 copies
or fewer."33 Di batik pendekatan AS ini adalah alasan ekonomi, yakni
bahwa motivasi untuk menciptakan ciptaan yang barn akan hilang apabila
pencipta tidak diberikan cara yang predictable untuk mempertahankan
haknya dan meraup keuntungan finansial dari ciptaannya.34

Secara intemasional, AS juga tidak mendukung perlindungan hak
moral. Selama negosiasi draft Perjanjian TRIPs di WTO, AS bekerja
keras untuk meyakinkan bahwa negara-negara anggota WTO tidak bisa
menggunakan proses penyelesaian sengketa WTO untuk menyelesaikan
masalah ketidakcukupan perlindungan hak moral.35 AS bersama dengan
negara-negara Common Law memberikan argumen bahwa perlindungan
hak moral yang kuat dikhawatirkan akan menghalangi "full enjoyment''
pembeli atau pihak yang mendapatkan lisensi secara sah.36Akhimya, Pasal
9.1 Perjanjian TRIPs secara eksplisit menyatakan bahwa "Members shall
not have rights or obligations under this Agreement in respect of the rights
conferred under Article 6bis of the Berne Convention or of the rights derived
therefrom." Di samping itu, kesepakatan-kesepakatan bilateral, plurilateral
dan regional tentang TRIPs-Plus yang telah dinegosiasikan olehAS dalam
tahun 2000an sama sekali tidak menyinggung hak moral.37 Jadi, sikap

31. § 106A(a)(l)(A)-(B).
32. § 106A(a)(3)(A).
33. Pengertian visual arts menurut hukum hak cipta AS adalah: "a painting, drawing,

print, or sculpture, existing in a single copy, in a limited edition of 200 copies or
fewer." 17 U.S.C. §101 (2010).
34. Jessica Watkins, Op.Cit., hlm. 253.
35. Peter K. Yu, "Moral Rights 2.0," (2015) 1 Tex. A&M L. Rev. 873 him. 876.
36. UNCTAD-ICTSD, Resource Book on TRIPS and Development, Cambridge University
Press, New York, 2005, hlm. 142.
37. Peter K. Yu, Op.Cit.

I 13

AS menunjukkan bahwa AS konsisten dengan pendiriannya untuk lebih
menekankan perlindungan hak ekonomi dari pada hak moral pencipta.

Perjanjian TRIPs sendiri memang akhimya "berpihak" kepada negara
Common Law dengan tidak mewajibkan negara anggota WTO untuk
melindungi hak moral. Hal ini bisa dimengerti mengingat Perjanjian TRIPs
mengatur substansi yang bersifat ekonomi dalam suatu wadah ekonomi
intemasional WTO. Implisitnya, negara-negara anggota WTO mempunyai
diskresi untuk melindungi hak moral atau tidak. Akibatnya, perbedaan di
antara negara-negara anggota WTO berkaitan dengan perlindungan hak
moral akan terns berlangsung. Intinya, sekarang ini, negara-negara Civil
Law cenderung sangat melindungi hak moral, sebaliknya negara-negara
Common Law cenderung kurang melindungi atau melindungi hak moral
secara terbatas.

C. PERLINDUNGAN HAK MORAL MENURUT UUHC 2002

UUHC 2002 telah melindungi hak moral pencipta. Hak moral meliputi
hak atribusi (the right ofattribution atau the right ofpaternity), yakni, hak
pencipta agar namanya dicantumkan atau disebutkan dalam ciptaannya,38
dan hak integritas (the right of integrity), yakni, hak agar integritas
ciptaannya terjaga.39 Ini menunjukkan bahwa Indonesia telah mengikuti
trend yang dianut oleh negara-negara Civil Law yang mempunyai tradisi
untuk melindungi hak moral pencipta. Sebagaimana tersebut di atas, hukum
hak cipta di negara-negara Civil Law Eropa seperti Jerman, Perancis, dan
Italia mempunyai ketentuan-ketentuan yang melindungi hak-hak moral
tersebut.40

38. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang pengertian hak atribusi, lihat Cyrill P.
Rigamonti, "Deconstructing Moral Rights" (2006) 47 Harv. Int'/ L.J. 353, hlm. 363 -
364.

39. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang pengertian hak integritas, lihat Cyrill P.
Rigamonti, ibid, hlm. 364 - 367.

40. Namun, pengakuan hak moral juga telah diberikan oleh beberapa negara Common
Law. United States VisualArtists RightsAct of 1990 (17 U.S.C. § 106A), misalnya,
melindungi hak atribusi dan hak integritas, dan Australian Copyright Act 1968
(sebagaimana diperbaiki pada Juni 2010 dengan Act No. 94 of 2010) juga memberikan
perlindungan kepada kedua hak tersebut.

14

Hak moral pencipta dilindungi oleh Pasal 24 dan 55 UUHC 2002.
Pasal 24 (1) UUHC 2002 menyatakan: "Pencipta atau ahli warisnya berhak
menuntut Pemegang Hak Cipta supaya nama Pencipta tetap dicantumkan
dalam Ciptaannya." Berdasarkan ketentuan ini, apabila pencipta
mengalihkan hak ciptanya kepada orang lain, pencipta atau ahli warisnya
dapat mengharuskan orang lain tersebut untuk tetap mencantumkan nama
penciptanya pada ciptaannya. Namun, mungkin dapat dikatakan bahwa
ketentuan ini tidak kuat karena tidak secara eksplisit mengharuskan
pemegang hak cipta yang barn untuk mencantumkan nama pencipta
apabila pencipta tidak mengharuskan. Apabila suatu stasiun telivisi atau
radio, misalnya, menyiarkan sebuah lagu dengan hanya mempertunjukkan
judul lagunya dan penyanyinya tanpa menyebutkan nama penciptanya,
selama penciptanya tidak menuntut, maka tidak ada masalah.

Pasal lain yang relevan dengan Pasal 24(1), yakni Pasal 55 (a)
menyatakan bahwa penyerahan hak cipta atas seluruh ciptaan kepada
pihak lain tidak mengurangi hak pencipta atau ahli warisnya untuk
menggugat pihak yang tanpa persetujuannya meniadakan nama pencipta
yang tercantum pada ciptaannya. Seperti Pasal 24 (1), Pasal 55 (a) memang
tidak secara eksplisit mengharuskan setiap orang yang menggunakan
suatu ciptaan untuk mencantumkan nama penciptanya. Namun, akan
riskan bagi seseorang untuk mempertunjukkan atau mengumumkan suatu
ciptaan tanpa menyebutkan nama penciptanya, karena penciptanya bisa
menggugat orang tersebut. Jadi, walaupun Pasal 24(1) dan Pasal 55(a)
tidak secara eksplisit mengharuskan pencantuman nama pencipta, jelas
telah memberikan perlindungan hak atribusi pencipta secara memadai.

Timbul pertanyaan tentang apakah menurut UUHC 2002 pencipta
mempunyai hak eksklusifuntuk mencantumkan namanya pada ciptaannya,
artinya apakah hanya pencipta sendiri yang berhak mencantumkan
namanya. Tidak jelas dari ketentuan Pasal 24(1) karena Pasal ini secara
eksplisit hanya memberikan kepada penciptanya hak untuk mengharuskan
pencantuman namanya pada ciptaannya. Namun, berdasarkan Pasal
55 (b), pencipta dapat menggugat seseorang yang tanpa persetujuannya
mencantumkan nama pencipta tersebut pada ciptaannya. Pasal 55 (b)

I 1s

menyerupai dengan Pasal 41 (b) dari UUHC 1982.41 Kebenaran Pasal 41 (b)
ini pernah diragukan dan beberapa sarjana hukum Indonesia menyatakan
bahwa Pasal 41 (b) salah dan seharusnya Pasal tersebut menyatakan
pencipta hanya dapat menggugat seseorang yang mencantumkan nama
orang lain pada ciptaan pencipta tersebut.42 Namun, kalimat dari Pasal
55 (b) jelas dan tidak kabur. Apabila Pasal 55 sendiri dibaca, jelas bahwa
hanya pencipta yang mempunyai hak untuk mencantumkan namanya
pada ciptaannnya. Akibatnya, dapat dibayangkan bahwa hal ini dapat
menimbulkan situasi yang sukar dan rumit. Hal inilah, mengapa pendapat
Antons bahwa makna Pasal 41 (b) dari UUHC 1982 tersebut bisa dibatasi
pada hak pencipta untuk menentukan identifikasi pencipta, yakni apakah,
misalnya, ciptaannya harus dipublikasikan dengan suatu nama samaran
(pseudonym) atau tanpa nama (anonymous) sama sekali43 mungkin dapat
digunakan untuk mendefinisikan makna Pasal 55 (b) yang menyerupai
Pasal 41 (b) UUHC 1982. Namun, terlepas dari hal tersebut, Pasal 55 (b)
adalah penting sekali untuk memberikan pencipta hak untuk mencegah
pencantuman namanya (disclaim) tanpa izin pada ciptaannya yang
sebelumnya telah dirubah dengan cara modi:fikasi, mutilasi, atau distorsi,
dan lain sebagainya yang merusak kehormatan dan reputasinya.44

Pasal 24(2) UUHC 2002 menyatakan bahwa "suatu Ciptaan tidak
boleh diubah walaupun Hak Ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain,
kecuali dengan persetujuan Pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya
dalam hal Pencipta telah meninggal dunia." Menurut Pasal ini, seseorang
dilarang untuk membuat perubahan pada suatu ciptaan tanpa izin terlebih
dahulu dari pencipta atau ahli warisnya apabila pencipta telah meninggal
dunia. Lebih dari itu, berdasarkan Pasal 24 (3), perubahan tanpa izin pada
judul dan anak judul dari suatu ciptaan dan nama atau samaran pencipta

41. UUHC 1982. UU ini diperbaiki pada tahun 1987 clan terakhir tahun 1997.
42. Christoph Antons, Intellectual Property Law in Indonesia, Kluwer Law International,

London, 2000, hlm. 95.
43. Christoph Antons, ibid.
44. Bandingkan dengan ketentuan dalam S. 106 A, United States Visual Artists Rights

Act, 17 U.S.C. (1990) yang memberikan kepada artis "right to prevent the use of
his or her name as the author of the work of visual art in the event of a distortion,
mutilation, or other modification of the work which would be prejudicial to his or her
honor or reputation." 17 U.S.C. § 106 A(a)(2).

16

juga dilarang. Berdasarkan Pasal 55 (c) dan (d), pencipta mempunyai hak
untuk menggugat seseorang yang tanpa persetujuan pencipta mengubah
atau mengganti judul ciptaan atau mengubah isi ciptaan. Makna larangan
perubahan dalam Pasal 24(2) telah dijelaskan dalam Penjelasan Pasal
tersebut yang meliputi larangan untuk melakukan setiap tindakan "distorsi,
mutilasi atau bentuk perubahan lainnya yang meliputi pemutarbalikan,
pemotongan, perusakan, penggantian yang berhubungan dengan karya
cipta yang pada akhirnya akan merusak apresiasi dan reputasi Pencipta."
Jadi, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, jelas bahwa

pencipta mempunyai hak integritas (the right of integrity).

UUHC 2002 juga menentukan jangka waktu hal moral. Menurut Pasal
33, jangka waktu perlindungan hak atribusi adalah tanpa batas, sedangkan
jangka waktu hak integritas adalah sama dengan jangka waktu hak ekonomi
pencipta.

Pada dasarnya, Pasal 24 dan 55 dan Penjelasan Pasal 24(2) UUHC

2002 sudah sesuai dengan dengan Pasal Gbis dari the Berne Convention
for the Protection of Literary and Artistic Works (1971). Pasal Gbis juga

memberikan pencipta hak atribusi dan hak integritas. Pasal Gbis menyatakan:

(1) Independently of the author's economic rights, and even after the
transfer of the said rights, the author shall have the right to claim
authorship of the work and to object to any distortion, mutilation
of, or other derogatory action in relation to, the said work, which
would be prejudicial to his honor or reputation.

(2) The rights granted to the author in accordance with the preceding
paragraph shall, after his death, be maintained, at least until the
expiry of the economic rights, ...

Dengan membandingkan ketentuan-ketentuan hak moral dalam UUHC

2002 tersebut di atas dengan ketentuan dalam the Berne Convention, dapat

dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan di Indonesia tersebut lebih baik.
Dalam UUHC 2002 tersebut, tindakan-tindakan yang dilarang untuk
melindungi hak integritas lebih spesi:fik karena mencakup distorsi, mutilasi,
pemutarbalikan, pemotongan, pengrusakan dan penggantian. Pasal Gbis

hanya menyebut "any distortion, mutilation of, or other derogatory action."

I 11

Selain itu, jangka waktu hak atribusi di Indonesia adalah tanpa batas dan
jangka waktu hak integritas menurut undang-undang tersebut adalah sama
dengan jangka waktu hak cipta yang bersangkutan.45 Sebaliknya, Pasal 6bis
(2) tidak membedakan antara jangka waktu perlindungan hak atribusi dan
jangka waktu perlindungan hak integritas dan menyatakan bahwa semua
hak moral berlangsung selama hidup pencipta dan paling tidak sampai
habisnya hak ekonomi pencipta. Dengan kata lain, the Berne Convention
tidak mengakui hak moral yang tanpa batas waktu. Jadi, jelas bahwa
UUHC 2002 lebih melindungi hak moral dari pada the Berne Convention.

Setelah tidak jelas apakah UUHC 1982 memberikan kepada pencipta
hak untuk menentang perusakan ciptaannya,46 Penjelasan Pasal 24(2)
UUHC 2002 menyatakan bahwa hak integritas pencipta mencakup hak
untuk mencegah perusakan ciptaannya. Penjelasan tersebut menyatakan
bahwa "perubahan" antara lain meliputi "perusakan". Posisi ini menarik
mengingat bahwa the Berne Convention tidak secara eksplisit mengakuinya
dan pengakuan hak untuk mencegah perusakan masih kontroversial di
beberapa negara. Misalnya, Amerika Serikat memberikan kepada artis
visual tertentu hak untuk menentang atau mencegah perusakan perwujudan
karya original,47 yang biasanya tidak dilindungi di Eropa Kontinental.
Selain itu, hukum hak moral Eropa membatasi hak integritas hanya
mencakup hak untuk menentang modi:fikasi ciptaan, dan pengadilan­
pengadilan Eropa enggan untuk memperluas hak integritas mencakup hak
untuk mencegah perusakan ciptaan.48

Seperti Pasal Gbis the Berne Convention, menurut Pasal 24 UUHC
2002, seseorang bisa dianggap melanggar hak integritas hanya apabila
tindakan orang tersebut terhadap suatu ciptaan telah merusak kehormatan
dan reputasi pencipta. Jadi, modi:fikasi suatu ciptaan tanpa izin yang

45. Menurut Pasal 29, 30 dan 31 UUHC 2002, kacya-kacya cipta tertentu dilindungi
selama hidup pencipta ditambah 50 (lima puluh) tahun, namun beberapa karya cipta
tertentu yang lain hanya dilindungi selama 50 tahun.

46. Tetapi, lihat Christoph Antons, Op.Cit., pada hlm. 96 (menyatakan bahwa kata
"alteration" (perubahan) yang digunakan dalam UUHC 1982 seharusnya mencakup
tindakan perusakan (destruction); jadi, pencipta mempunyai hak untuk menolak
tindakan perusakan kacya ciptanya tanpa izin).

47. United States VisualArtists RightsAct, 17 U.S.C. § 106A(a)(3)(B).
48. Cyrill P. Rigamonti, Op.Cit., hlm. 371.

18

bisa meningkatkan kualitas ciptaan tersebut bukan merupakan suatu
pelanggaran. Hal ini berbeda dengan hukum di Jerman dan Perancis yang
memberikan kepada pencipta hak untuk melarang perubahan ciptaannya
tanpa persetujuannya, terlepas dari apakah perubahan tersebut akan
berdampak negatif atau memperbaiki ciptaannya.49

Hak moral di Indonesia adalah hak yang tidak dapat dipisahkan
(inalienable), artinya bahwa mereka tidak dapat dialihkan kepada pihak
lain. Menurut Penjelasan Pasal 24 UUHC 2002, hak integritas tidak dapat
dialihkan selama penciptanya masih hidup, kecuali dengan wasiat pencipta
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Namun, sejauh mana tidak
dapat dipisahkannya hak atribusi tidak jelas (tidak pasti). Penjelasan Pasal
24 tidak menjelaskan apakah hak atribusi bisa dialihkan atau tidak. Menurut
pendapat Penulis, ada kesalahan dalam Penjelasan Pasal 24; seharusnya
menyatakan bahwa hak atribusi juga tidak dapat dialihkan paling tidak
selama pencipta masih hidup. Namun, tidak dijelaskannya hal ini dalam
Penjelasan Pasal 24 dapat ditafsirkan berbeda. Pembuat undang-undang
mungkin menggantungkan Pasal 33 (1) UUHC 2002, yang menyatakan
bahwa perlindungan hak atribusi adalah tanpa batas waktu, sehingga hak
atribusi tidak dapat dialihkan selamanya. Ini berarti setelah meninggalnya
pencipta, hak atribusi akan beralih hanya kepada ahli warisnya. Namun,
tidak dapat dialihkannya hak moral untuk selamanya masih kontroversial
karena bertentangan dengan prinsip kebebasan berkontrak (the principle of
freedom of contract) antara pencipta dan pengguna ciptaan.50

Walaupun ketentuan yang lama tersebut di atas telah jelas memberikan
perlindungan hak moral secara memadai, beberapa sarjana menyatakan
bahwa ketentuan yang lama tersebut tidak memadai dan tidak sesuai dengan
ketentuan dalam the Berne Convention.51 Dinyatakan bahwa karena kurang

49. Cyrill P. Rigamonti, Op.Cit., hlm. 364.
50. Cyrill P. Rigamonti, Op.Cit., hlm. 361-362.
51. Lihat V. Herny Soelistyo B, Perlindungan Hak Moral Menurut Hukum Hak Cipta di

Indonesia: (Kajian Mengenai Konsepsi Perlindungan, Pengaturan dan Pengelolaan
Hak Cipta), Program Doktor, Fakultas Hukum, UGM, 2010, hlm. 9.

I 19

jelas ketentuannya, UUHC 2002 tidak dapat digunakan untuk mengatasi
pelanggaran hak moral di Indonesia secara memadai.52

Pelanggaran hak moral di Indonesia memang bisa dikatakan
serius. Pelanggaran tersebut meliputi plagiarisme dalam tulisan-tulisan
akademik, mutilasi lagu-lagu dalam Ring Back Tone, parodi dalam lirik
lagu, menyiarkan lagu-lagu tanpa menyebutkan nama penciptanya dalam
siaran televisi atau radio, pewarnaan film-film hitam putih, sensor film,
modifikasi tarian, mutilasi lukisan, reproduksi lukisan, dan lainsebagainya.53
Kebanyakan pelanggaran hak moral tersebut tidak diatasi.54 Ada pendapat
bahwa hal tersebut disebabkan karena ketentuan-ketentuan hak moral
dalam UUHC 2002 tidak jelas dan tidak memadai, sehingga disarankan
UUHC 2002 diperbaiki agar memberikan perlindungan hak moral lebih
jelas dan memadai. Oleh karena itu, Rancangan UUHC kemudian dibuat
dan akhirnya pada tanggal 16 Oktober 2014 disahkan menjadi Undang­
Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC 2014).

D. PERLINDUNGAN HAK MORAL MENURUT UUHC 2014
Menurut Pasal 4 UUHC 2014, hak eksklusif pencipta meliputi hak

moral dan hak ekonomi. Ketentuan ini memperbaiki Pasal 2(1) UUHC
2002 yang tidak menyebut hak moral dalam definisi hak cipta walaupun,
sebagaimana tersebut di atas, UUHC 2002 memuat Pasal 24 dan 55 yang
secara tegas memberikan perlindungan hak moral. Pencantuman hak moral
dalam definisi hak cipta adalah mirip dengan ketentuan Pasal 3 angka 3
UUHC Taiwan yang menyatakan: "Copyright means the moral rights and

52. Menurut Henry di dalam penelitiannya, dengan UUHC 1982 dan UUHC 2002,
pelanggaran hak moral dan sengketa-sengketa hak moral tidak dapat diselesaikan
secara memadai. Lihat V Henry Soelistyo B, ibid, hlm. 519. Lihat juga Firman
Venayaksa, "Wajah Plagiator Sembunyi di Ketiak Intelektual", rumahdunia.net,
http://www.rumahdunia.net/wmview.php?ArtID=652, dalam V Henry Soelistyo B,
ibid, hlm. 310 - 311.

53. Lihat V Henry Soelistyo B, ibid, at 298 - 460 (membahas beberapa macam
pelanggaran hak moral di Indonesia).

54. Ibid.

20

economic rights subsisting in a completed work."55 Pencantuman semacam

ini mempertegas pengakuan perlindungan hak moral.

Pasal 5 UUHC 2014 menyatakan:

(1) Hak moral ... merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri
Pencipta untuk:
a. tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada
salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum;
menggunakan nama aliasnya atau samarannya;
b. mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;
c. mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan
d. mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan,
mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat
merugikan kehormatan diri atau reputasinya.

(2) Hak moral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dialihkan
selama Pencipta masih hidup, tetapi pelaksanaan hak tersebut dapat
dialihkan dengan wasiat atau sebab lain ... setelah Pencipta meninggal
dunia.

(3) Dalam hal terjadi pengalihan pelaksanaan hak moral sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), penerima dapat melepaskan atau menolak
pelaksanaan haknya dengan syarat pelepasan atau penolakan
pelaksanaan hak tersebut dinyatakan secara tertulis.

Pasal 5 UUHC 2014 tersebut menegaskan bahwa pencipta

mempunyai hak atribusi dan hak integritas. Pasal tersebut memberikan
hak-hak tersebut secara aktif, artinya pencipta mempunyai hak eksklusif

untuk mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya, menggunakan

nama samaran, untuk mengubah ciptaannya, judul dan anak judulnya.

Jadi, ketentuan dalam UUHC 2014 ini lebih tegas dari pada ketentuan

dalam UUHC 2002 tersebut di atas yang memberikan hak atribusi dan

hak integritas secara pasif, yakni pencipta hanya mempunyai hak untuk

mengambil tindakan hukum kepada seseorang yang tidak mencantumkan

nama pencipta pada ciptaan yang digunakan dan kepada seseorang yang

mengubah ciptaannya, judul dan anak judul ciptaannya tanpa persetujuan

pencipta.

Namun, UUHC 2014 tidak mengatur apakah pencipta mempunyai

hak untuk tetap dicantumkan namanya atau untuk mengharuskan

55. UUHC Taiwan (terakhir diperbaiki pada 11 Juli 2007), tipo.gov.tw, (diakses pada 7
Juli 2010).

I 21

pencantuman namanya pada ciptaannya. Jadi, apabila pencipta tidak
memegang ciptaannya, pencipta tidak bisa mengharuskan orang lain
yang menggunakan ciptaan pencipta untuk mencantumkan nama pencipta
pada ciptaan tersebut. Apabila ada seseorang menayangkan sebuah lagu
di stasiun televisi atau radio, misalnya, maka penciptanya tidak bisa
mengharuskan orang tersebut untuk mencantumkan nama penciptanya. Ini
adalah kelemahan UUHC 2014. Pasal 5 Undang Undang ini menyatakan
bahwa pencipta mempunyai hak eksklusif untuk "tetap mencantumkan atau
tidak mencantumkan namanya," tetapi hal ini tidak berarti bahwa pencipta
mempunyai hak agar namanya tetap dicantumkan atau tidak dicantumkan
oleh orang lain. Dalam hal ini, ketentuan dalam UUHC 2002 lebih baik
karena, sebagaimana tersebut di atas, ketentuan lama ini memberikan
pencipta hak untuk mengharuskan orang lain mencantumkan nama
pencipta pada ciptaan pencipta. Penulis menduga ada kesalahan ketik atau
tulisan dalam Pasal 5(1) tersebut di atas. Dengan adanya kesalahan ini,
UUHC 2014 berarti telah menghilangkan hak moral pencipta yang paling
penting; akibatnya, pencipta tidak mempunyai hak untuk mengklaim
kepengarangannya (authorship claim) sebagaimana tersebut dalam
Pasal 6his Bern Convention. Hal ini sangat merugikan pencipta karena, di
Indonesia, salah satu pelanggaran hak moral yang paling penting adalah
penggunaan ciptaan orang lain tanpa izin dengan tanpa menyebut nama
penciptanya.

Seperti Pasal 55 UUHC 2002, Pasal 98(1) UUHC 2014 menyatakan
bahwa pengalihan hak cipta kepada orang lain tidak menghilangkan hak
pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat orang yang melanggar hak
moralnya yang tercantum dalam Pasal 5(1) UUHC 2014. Namun, Pasal
98(1) UUHC 2014 tidak lebih baik dari pada Pasal 55 UUHC 2002.

Dalam hal apakah pencipta mempunyai hak eksklusif untuk
mencantumkan namanya pada ciptaannya, jelas menurut Pasal 5(1)a
UUHC 2014 pencipta mempunyai. Jadi, ketentuan UUHC 2014 tersebut
telah menghilangkan "ketidakpastian" Pasal 24(1) UUHC 2002 mengenai
hal tersebut.

Ketentuan yang lain, yakni 57(1) UUHC 2014 menyatakan bahwa
hak atribusi berlangsung selamanya. Pasal 57(2) menyebutkan bahwa

22 I

hak integritas berlangsung selama berlangsungnya hak ekonom.i pencipta
(pemegang hak cipta). Ketentuan ini sama dengan ketentuan Pasal 33
UUHC 2002 yang mengatur jangka waktu hak moral.

Pasal 5(1) UUHC 2014 secara eksplisit memberikan hak kepada
pencipta untuk mencegah distorsi, mutilasi, modi:fikasi atau tindakan lain
yang merugikan kehormatan dan reputasi pencipta. Namun, UUHC 2014
dan Penjelasannya tidak secara eksplisit memasukkan tindakan perusakan
atau penghancuran sebagai salah satu tindakan lain tersebut. Ini berbeda
dari UUHC 2002 yang di dalam Penjelasan Pasal 24 (2) menyatakan bahwa
tindakan (perubahan) lain mencakup perusakan. Hal ini menunjukkan
bahwa UUHC 2014 mengikuti posisi Pasal 6bis Bern Convention yang
tidak secara eksplisit menyebut tindakan perusakan. Jadi, dalam hal ini,
UUHC 2002 lebih baik.

Ketidakpastian adanya sifat tidak bisa dipisahkannya (inalienability)
hak atribusi di dalam UUHC 2002 sudah terjawab oleh UUHC 2014.
Berdasarkan Pasal 5 (2) tersebut di atas, semua hak moral tidak dapat
dialihkan kepada pihak lain hanya selama hidup pencipta. Jadi, sifat tidak
bisa dipisahkannya hak atribusi hanya berlaku selama hidup pencipta.
Dengan kata lain, setelah pencipta meninggal dunia, hak atribusinya bisa
dialihkan. Kebenaran ketentuan ini meragukan mengingat hak atribusi
melekat kepada kepribadian pencipta dan berhubungan dengan persoalan
tentang siapa sebenarnya yang membuat ciptaan yang sama sekali tidak
dapat digantikan oleh orang lain. Selain itu, sebagaimana tersebut di atas,
telah secara eksplisit dinyatakan dalam UUHC 2014 bahwa perlindungan
hak atribusi berlangsung tanpa batas waktu. Oleh karena itu, rekomendasi
bahwa sifat tidak bisa dipisahkannya (inalienability) hak atribusi hams
berlangsung tanpa batas waktu56 adalah masuk akal.

UUHC 2014 juga memberikan hak moral kepada pelaku (performer).57
Hal ini sesuatu yang barn karena semua UUHC sebelumnya tidak mengatur

56 Lihat V Herny Soelistyo B, Op.Cit., hlm. 506 clan 509 (membahas bahwa hak moral
secara umum tidak dapat dialihkan clan bahwa hak pencipta agar namanya tetap
dicantumkan pada ciptaannya tidak bisa berakhir).

57. Pasal 1 angka 6 UUHC 2014 menyatakan bahwa pelaku pertunjukan adalah "seorang
atau beberapa orang yang secara sendiri-sendiri atau bersama-sama menampilkan clan
mempertunjukkan suatu Ciptaan."

I 23

hal ini. Berdasarkan Pasal 21 UUHC 2014, seorang pelaku tidak hanya
mempunyai hak ekonomi tapi mempunyai hak moral juga.58 Pasal 22 UUHC
2014 memberikan hak atribusi dan hak integritas kepada pelaku.59 Namun,
undang-undang yang barn ini tidak mengatur apakah hak-hak tersebut
dapat dialihkan atau tidak. Ini merupakan kelemahan lain dari undang­
undang ini. Seharusnya diatur pengalihan hak integritas pelaku. Menurut
pendapat Penulis, hak integritas pelaku seharusnya dapat dialihkan selama
hidup mereka dan/atau setelah meninggalnya mereka. Misalnya, pelaku
dapat membuat suatu perjanjian dengan pihak lain untuk memberikan hak
kepada pihak lain tersebut untuk memodi:fikasi pertunjukan pelaku.

Perlu dicatat bahwa berdasarkan Pasal 57 dan 62 UUHC 2014, jangka
waktu hak atribusi pelaku adalah tanpa batas, sedangkan jangka waktu hak
integritas pelaku adalah sama dengan jangka waktu hak ekonomi mereka,
yakni 50 tahun setelah pertunjukan mereka di:fiksasi.

Sebagaimana tersebut di atas, UUHC yang lama dan UUHC 2014
memberikan hak atribusi dan hak integritas kepada pencipta. Nampak jelas
bahwa UUHC 2014 tidak membuat perubahan yang besar. UUHC 2014
hanya merubah posisi UUHC 2002 yang melindungi hak moral secara
pasif menjadi secara aktif dan mengakui hak moral pelaku (performer).
Sayangnya, UUHC 2014 telah menghilangkan hak eksklusif pencipta agar
namanya dicantumkan atau tidak dicantumkan dalam ciptaannya sehingga
pencipta tidak mempunyai hak untuk mengklaim kepengarangannya
(authorship claim). Sebenarnya ada beberapa pemikiran yang bisa diambil
apabila negara ini benar-benar ingin memperluas hak moral pencipta.
Misalnya, apakah Indonesia bisa memberikan pencipta hak penyingkapan
(right of disclosure). Hak penyingkapan memberikan pencipta hak
eksklusif untuk memutuskan untuk mempublikasikan, menjual, membuka,

58. Pasal 21 UUHC 2014 menyatakan: "Hak moral Pelaku Pertunjukan merupakan hak
yang melekat pada Pelaku Pertunjukan yang tidak dapat dihilangkan atau tidak dapat
dihapus dengan alasan apapun walaupun hak ekonominya telah dialihkan."

59. Pasal 22 UUHC 2014 menyatakan: "Hak moral Pelaku Pertunjukan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 meliputi hak untuk: a. namanya dicantumkan sebagai
Pelaku Pertunjukan, kecuali disetujui sebaliknya; dan b. tidak dilakukannya distorsi
Ciptaan, mutilasi Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal-hal yang bersifat merugikan
kehormatan diri atau reputasinya kecuali disetujui sebaliknya."

24

atau mengumumkan ciptaan ke publik.60 Walaupun Pasal 9 (1) UUHC
2014 memberikan pencipta atau pemegang hak cipta hak ekonom.i
untuk mempublikasikan ciptaannya, namun tidak ada ketentuan dalam
UUHC 2014 yang memberikan pencipta hak moral penyingkapan (right
of disclosure), sehingga apabila hak ekonom.i pencipta beralih ke orang
lain, pencipta tidak bisa lagi melarang publikasi, penjualan, pengumuman
ciptaan tersebut ke publik, walaupun, m.isalnya, ciptaannya tersebut telah
dilakukan modi:fikasi yang merugikan kehormatan pencipta.

Di samping itu, hak untuk menarik kembali (right ofwithdrawal) perlu
dipertimbangkan di Indonesia. Dengan hak ini, pencipta dapat menarik
kembali ciptaannya setelah ciptaannya diumumkan ke publik61 walaupun
hak ekonom.inya sudah beralih ke orang lain. Hak ini akan melindungi
reputasi pencipta karena dia bisa menarik kembali ciptaannya yang telah
berada di masyarakat setiap waktu apabila pencipta merasa tidak nyaman
atau namanya dirugikan. Hak penyingkapan (right of disclosure) dan hak
untuk menarik kembali (right ofwithdrawal) telah diakui di negara-negara
Eropa, seperti Perancis, Jerman, dan Italia.62

E. KESIMPULAN

Sesuai dengan tradisi negara-negara Civil Law, Indonesia telah
berusaha meningkatkan perlindungan hak moral pencipta. Namun, ternyata
UUHC 2014 tidak banyak memberikan perubahan terhadap UUHC 2002.
UUHC hanya merubah ketentuan perlindungan hak moral dari pasif
menjadi aktif. UUHC 2014 mempunyai kelemahan, yakni: walaupun
UUHC 2014 memberikan pencipta hak eksklusif untuk mencantumkan
namanya, namun UUHC 2014 tidak secara eksplisit memberikan hak
authorship claim, sehingga tidak jelas apakah pencipta bisa mengharuskan
orang lain yang menggunakan ciptaannya untuk mencantumkan nama

60. Rikki Sapolich, "When Less Isn't More: Illustrating the Appeal of Moral Rights
Model of Copyright Through a Study of Minimalist Art" (2007) 47 IDEA 453, hlm.
477.

61. Rikki Sapolich, ibid.
62. Cyrill P. Rigamonti, Op.Cit., hlm. 362 - 363 (membahas "the right of disclosure" dan

"the right of withdrawal" di Perancis, Jerman dan Italia).

I 2s

penciptanya. Perlu dipertimbangkan apakah Indonesia perlu memberikan
pencipta hak penyingkapan (right of disclosure) dan hak untuk menarik
kembali (right of withdrawal).

DAFTAR PUSTAKA
Christoph Antons, Intellectual Property Law in Indonesia (2000), Kluwer

Law International, London, 2000;
Cyrill P. Rigamonti, "Deconstructing Moral Rights" (2006) 47 Harv. Int'l

L.J. 353;
Jessica Watkins, "Garcia v. Google, Inc. and The Limited Rights of Motion

Picture Actors Under American Copyright Law," (2016) 98 J. Pat. &
Trademark Off. Soc'y 249;
Nathan Murphy, "Theme Et Varaations: Why The Visual Artists Rights
Act Should Not Protect Works-In-Progress," (2010) 17 UCLA Ent.
L. Rev. 110;
Peter K. Yu, "Moral Rights 2.0," (2015) 1 Tex. A&M L. Rev. 873;
Rikki Sapolich, "When Less Isn't More: Illustrating the Appeal of Moral
Rights Model of Copyright Through a Study of Minimalist Art"
(2007) 47 IDEA 453;
Robert C. Bird and Lucille M. Ponte, "Protecting Moral Rights in The
United States and The United Kingdom: Challenges and Opportunities
under The U.K.'s New Performances Regulations," (2006) Boston
University International Law Journal, Vol. 24:213;
Timothy K. Armstrong, "Two Comparative Perspectives on Copyright's
Past and Future in The Digital Age," (2016) 15 J. Marshall Rev.
Intell. Prop. L. 698;
UNCTAD-ICTSD, Resource Book on TRIPS and Development (2005),
Cambridge University Press, New York;
V. Henry Soelistyo B, Perlindungan Hak Moral Menurut Hukum Hak
Cipta di Indonesia: (Kajian Mengenai Konsepsi Perlindungan,
Pengaturan dan Pengelolaan Hak Cipta), (2010) Disertasi, Program
Doktor, Fakultas Hukum, UGM.

26 I

BAB III

LEGALITAS IMPOR PARALEL

MENURUT UU MEREK2016, UU PATEN2016, DAN
UU HAKCIPTA2014

M.Hawin

A. PENDAHULUAN
Impor paralel adalah tindakan mengimpor barang asli tanpa izin

dari pemegang kekayaan intelektual atas barang tersebut secara paralel
(berbarengan) dengan impor barang yang sama oleh pemegang kekayaan
intelektual itu. Impor paralel telah menjadi isu penting di Indonesia
semenjak tahun 1996. Namun, impor paralel secara relatif merupakan
konsep barn dalam hukum kekayaan intelektual di Indonesia. Dalam bidang
merek, misalnya, walaupun impor paralel telah sering terjadi, sulit untuk
menggunakan hukum merek Indonesia untuk menguraikannya. Walaupun
hukum hak cipta Indonesia dan hukum paten negara ini memuat ketentuan­
ketentuan yang berkaitan dengan impor paralel, ketidakpastian tetap ada.

Semenjak tahun 1996, telah terdeteksi bahwa banyak sparepart
mobil yang memiliki merek asli diimpor secara paralel dengan importasi
yang dilakukan oleh distributor yang sah (authorized distributor).63 Pada

63. "Parallel Importer Mengebiri Agen Resrni", Motor, 16 Agustus, 1996, hlm. 33 - 35.
Pada tahun 1996, impor paralel laser disc clan kaset video menjadi perhatian yang
serius dari Direktur Jenderal Radio, Televisi clan Film. Lihat "Pelaku Impor Paralel
LD Akan Ditindak", Kompas, 13 April 1996, http://www.kompas.com/9604/ 13/
dikbud/Pela.htm.

I 21

tahun 1998, Motion Picture Association (MPA) melakukan protes kepada

Pemerintah Indonesia mengenai adanya impor paralel produk-produk
MPA ke negeri ini.64 Impor paralel beberapa mobil KI A Carnival built-up
dari Korea Selatan juga terjadi pada pertengahan tahun 2000.65 Pada tahun
2008, arus barang-barang impor paralel produk elektronik, seperti televisi
plasma dan LCD dan mesin-mesin AC meningkat.66 Banyak telepon

genggam merek BlackBerry Gemini asli dibawa masuk oleh pelaku impor

paralel ke Indonesia semenjak September 2009 walaupun mereka sukar
memperoleh ijin impor.67 Namun, setelah itu sampai dengan tahun 2016,
Penulis tidak menemukan data tentang barang impor paralel yang masuk
ke Indonesia.

Indonesia telah mengeluarkan UUHC 2014, UU Paten 2016 dan
UU Merek 2016. Ada perubahan posisi hukum impor paralel dengan
dikeluarkannya ketiga UU tersebut. Tulisan ini akan membahas bagaimana
legalitas impor paralel ditinjau dari ketiga UU yang barn tersebut.

B. PENGERTIAN IMPOR PARALEL
Morr menyatakan bahwa impor paralel terjadi ketika "products

manufactured in a designated geographic area with the contractual consent
of the copyright owner are later imported into a different unauthorised,
geographic area." 68 Artinya, tindakan ini terjadi ketika produk yang

dibuat di suatu wilayah geogra:fis tertentu dengan persetujuan kontraktual
dari pemegang hak cipta kemudian diimpor ke suatu wilayah geogra:fis

64. "Lebih Jauh dengan Bambang Kesowo", Kompas, 5 Juli 1998, http://www.kompas.
com/9807/05/naper/lebi.htm.

65. Winarno B., "lmpor Paralel", di Kontan, edisi 5N, 23 Oktober 2000, http://www.
kontan-online.com/05/05/manajemen/manl.htm.

66. "Impor Paralel Produk Elektronik Diwaspadai", Suara Merdeka, 12 Mei 2008,
http://suaramerdeka.com/vl/index.php/read/cetak/2008/05/12/13044/lmpor.Paralel.
Produk.Elektronik.Diwaspadai (diakses pada 15 Januari 2017).

67. "lmpor paralel BlackBeny Gemini Belum Dapat Izin", News Web, 9 September
2009, http://inet.detik.com/telecommunication/d-1199545/impor-paralel-blackbeny­
gemini-belum-dapat-izin (diakses pada 10 Februari 2017).

68. Morr A. L., "Hong Kong's Copyright Ordinance: How the Ban on Parallel Imports
Affects the U.S. Entertainment Industty and Hong Kong's Free Market" (1999) 21
Hastings Comm. & Ent. L. J. 393, hlm. 395.

28

lain yang tidak sah. Pengertian ini berkaitan dengan hukum hak cipta.
Impor paralel bisa terjadi di bidang hukum kekayaan intelektual yang
lain, seperti hukum merek dan paten. Shanahan memberikan pengertian
yang lebih luas, yakni impor paralel adalah "goods manufactured outside
the jurisdiction, by, or under the authority of, the owner of an industrial
property right relating to these goods, but imported by someone other than
an authorised importer or distributor ".69 Artinya, barang-barang yang
diproduksi di luar wilayah, oleh atau di bawah wewenang dari pemilik hak
kekayaan industrial dari barang-barang tersebut, tetapi kemudian diimpor
oleh seseorang yang bukan merupakan importir atau distributor yang sah.
Dua pengertian tersebut membatasi impor paralel pada barang-barang yang
diproduksi di luar negara importasi. Sebenarnya, impor paralel juga bisa
terjadi pada barang-barang yang diproduksi di dalam negara importasi,
dijual di pasar luar negeri namun kemudian diimpor balik (reimport back)
ke negara importasi. Hal terakhir ini disebut "round trip" impor paralel.7°

Impor paralel dapat terjadi ketika barang-barang tertentu diimpor ke
pasar penerima lisensi eksklusif tanpa persetujuan pemilik hak kekayaan
intelektual dari barang-barang tersebut.71 Misalnya, selain pemilik hak
kekayaan intelektual menunjuk penerima lisensi eksklusif di negara X,
dia juga menunjuk penerima lisensi lain untuk mendistribusikan barang­
barang tersebut hanya untuk pasar negara W. Namun, barang-barang
tersebut kemudian diimpor ke negara X tanpa persetujuan pemilik hak
kekayaan intelektual tersebut.72 Dalam situasi ini, harga yang kompetitif

69. D.R. Shanahan, Australian Law of Trade Marks and Passing Off, the Law Book Co.
Ltd. 2nd. ed. Sydney, 1990, him. 510.

70. Istilah ini digunakan oleh Hakim Ginsburg J. dalam kasus Quality King Distributors,
Inc. v. L'anza Research International, Inc., 523 U.S. 135 (1998).

71. Morr A. L., Op.Cit, him. 395.
72. Situasi ini dicontohkan dalam perkara RA & A Bailey & Co. Ltd v. Boccacio Pty

Ltd (1986) 6 IPR 279 and Interstate Parcel Express Co. Pty. Ltd. V. Time-Life
International (Nederlands) B. V. (1977) 138 C.L.R. 534. Dalam perkara ini, Penggugat
adalah produsen minuman keras "Bailey's Original Irish Cream" di Republik Irlandia.
Penggugat menjual produknya diAustralia dan Belanda. Swift & Moore Pty Ltd adalah
distributor tunggal produk tersebut untuk pasar di Australia. Penggugat menempelkan
pada botol-botol produk tersebut label bergambar yang menyatakan bahwa Swift &
Moore Pty Ltd adalah importir tunggal di Australia. Menurut the Trade Marks Act
1955 (Cth), Penggugat adalah pemilik merek terdaftar (registered proprietor), yang

I 29

barang-barang impor paralel secara langsung berdampak negatif kepada
penerima lisensi di negara X. Dalam situasi ini juga, pemilik hak kekayaan
intelektual juga merasakan dampak negatif impor paralel, tetapi kerugian
yang terjadi karena impor paralel seperti ini mungkin lebih kecil dari pada
kerugian yang terjadi pada situasi yang kedua berikut ini.

Fenomena impor paralel juga meliputi situasi dimana barang-barang
tertentu dari negara luar diimpor ke dalam pasar domestik pemilik HKI
tanpa persetujuan pemilik HKl.73 Misalnya, pemilik HKI di negara Y
menunjuk penerima lisensi eksklusif untuk mendistribusikan barang­
barang pemilik HKI hanya di negara X. Namun, tanpa persetujuannya,
barang-barang tersebut diimpor ke negara Y.74 Dalam hal ini, pemilik HKI
mungkin secara langsung mengalami dampak persaingan yang ketat karena
barang-barang impor paralel biasanya dijual dengan harga yang sangat
murah dibandingkan dengan harga barang-barang domestik pemilik HKI.

Barang-barang impor paralel juga disebut "gray market goods" (abu­
abu) atau "diverted goods"75 (dibelokkan/dialihkan). Walaupun maksudnya
sama, namun konotasi dua istilah tersebut berbeda. Barang abu-abu adalah
barang yang terletak di tengah-tengah antara barang yang mereknya asli
("white goods") dan barang-barang yang mereknya palsu ("black goods")
dan yang meniru atau mengcopy suatu merek yang sah tanpa persetujuan
pemilik merek.76 Jadi, istilah abu-abu (gray) menunjukkan suatu kesan
buruk atau bahkan illegal dari suatu transaksi dan hal ini sering digunakan

menyerupai label yang ditempel pada botol-botol tersebut. Tergugat mengimpor
produk asli yang sama yang mempunyai label yang hampir sama tetapi sebelumnya
didistribusikan di Belanda. Pertanyaannya adalah apakah tindakan importasi yang
dilakukan oleh Tergugat telah melanggar hak atas merek milik Penggugat? Hakim
memutuskan bahwa tindakan Tergugat tidak melanggar.
73. Morr A. L., Op.Cit, hlm. 395.
74. Fakta dalam perkara Quality King Distributors, Inc. v. L'anza Research International,
Inc., 523 U.S. 135 (1998) merupakan contoh situasi ini.
75. Sarjana-sarjana AS dan Canada lebih suka menggunakan istilah ini dari pada istilah
"parallel imports": Turner C., "The Parallel Importer: Parasite or Pragmatist?" in
Intellectual Property Law: Trends and Tensions, Centre for Intellectual Property
Studies, Queensland, 1992, hlm. 65.
76. Davis T. H., "Applying Grecian Formula to International Trade: K - Mart Corp. v.
Cartier, Inc., and the Legality of Gray Market Imports" (1989) 75 VA. L. Rev. 1397
dikutip dalam Upadhye S., "Rewriting The Lanham Trademark Act to Prohibit The
Importation of All Gray Market Goods" (1996) 20 Seton Hall Legis. J. 59, hlm. 60.

30

oleh pem.ilik merek yang ingin menggugat pelaku impor paralel. Namun,

pembela impor paralel menyebutnya "diverted goods" agar secara
psikologis bisa menyampaikan pesan bahwa tindakan impor paralel

merupakan praktik bisnis yang jujur. Oleh karena itu, mereka menyebut
importir barang-barang tersebut dengan istilah "parallel importer" yang
mempunyai konotasi netral dari pada "gray marketer".77

Perlu ditegaskan di sini bahwa barang impor paralel adalah barang
asli78 dan importasinya ke dalam suatu negara dilakukan secara resm.i
melalui kantor kantor kepabeanan dengan pembayaran bea cukai. Hal

ini ternyata tidak secara jelas dipaham.i di negara tertentu, m.isalnya, di
Indonesia. Di negeri ini, barang impor paralel terkadang dianggap sebagai

barang yang tidak asli (barang bajakan atau palsu) dan/atau diimpor ke
Indonesia tanpa bea cukai (barang selundupan).79 Dengan adanya Pasal
135(a) Undang-Undang Paten 2001, yang memperkenalkan konsep impor

paralel produk obat-obatan, diharapkan masyarakat Indonesia menjadi

lebih memaham.i pengertian barang impor paralel. Namun, berkaitan
dengan merek dan hak cipta, tetap tidak jelas sejauh mana orang Indonesia

mengenal istilah barang impor paralel. Hal ini wajar karena mereka lebih

terbiasa berhadapan dengan barang palsu dan barang bajakan dari pada

barang impor paralel.
Sangat penting untuk memaham.i pengertian impor paralel. Dalam

suatu negara yang membolehkan impor paralel, pembuat kebijakan dan

peraturan perundang-undangan yang secara penuh memaham.i konsep ini

77. Sandler G. L., "Gray Market Goods: The Controversy Will Continue" (1987) 13
Brooklyn Journal of International Law 267, hlm. 267.

78. Dalam bidang merek, misalnya, barang asli adalah: "goods produced or selected by
the owner of a trademark, to which the owner of that trademark affixes the trademark
..." Lihat Lipner S., "Trademarked Goods and Their Gray Market Equivalents:
Should Product Differences Result in the Barring of Unauthorized Goods from the
U.S. Markets?" (1990) 18 Hofstra L. Rev. 1029 at 1030. Karena barang impor paralel
asli diproduksi oleh pemilik merek atau penerima lisensi atas persetujuannya, dan
merek barang tersebut ditempelkan oleh pemilik mereknya atau penerima lisensinya,
maka barang tersebut dianggap asli.

79. Lihat, misalnya, "Local electronic market undercut by illegal imports", the Jakarta
Post, 23 May 1999 <http://ptg.djnr.com/ccroot/asp/publib/story.asp>. Ternyata,
ketika wawancara pada bulan Januari 2002 dengan Bayu Murti Kencana, marketing
executive di PT Toshiba Consumer Products Indonesia, Jakarta, Bayu memandang
bahwa barang impor paralel adalah barang yang diselundupkan.

I 31

dapat menyatakan argumen dibolehkannya tindakan impor ini. Misalnya,
apabila mereka tahu bahwa barang impor paralel berbeda dengan barang
bajakan, mereka dapat menyatakan argumen untuk melawan tekanan
Amerika Serikat kepada negaranya agar melarang impor paralel yang
hanya berdasarkan pada statistik pembajakan di negaranya seperti yang
terjadi di Hong Kong dan Taiwan beberapa tahun yang lalu.80

C. BEBERAPA SITUASI TERJADINYA IMPOR PARALEL

Impor paralel bisa terjadi dalam beberapa situasi. Berkaitan dengan
merek, impor paralel biasanya terjadi dalam 4 (empat) situasi. Pertama,
pemilik merek domestik dan pemilik merek di luar negeri adalah sama
orangnya. Kedua, distributor domestik adalah pengguna terdaftar (penerima
lisensi) dari merek di luar negeri. Ketiga, pemilik merek domestik adalah
anak perusahaan atau perusahaan terafiliasi dari perusahaan multinasional.
Keempat, merek tertentu telah dijual kepada distributor lokal. Keempat
situasi tersebut telah digambarkan oleh beberapa penulis Australia.81

Perkara K. Mart Corp. v. Cartier, lnc.82 dan Fender Australia Pty Ltd v.

Bevk.83 juga menjelaskan keempat situasi tersebut.
Berkaitan dengan hak cipta, impor paralel biasanya terjadi dalam

2 (dua) situasi. Pertama, barang hak cipta yang diimpor secara paralel
sebelumnya dijual di luar negara importasi. Karena barang tersebut
dijual di luar negeri lebih murah dari pada di negara importasi, importir
umum akhirnya mengimpornya ke negara yang terakhir ini. Situasi ini
dicontohkan dalam perkara di AS, yakni Columbia Broadcasting System

80. Morr A. L, Op.Cit, him. 395: berdasarkan statistik kerugian akibat pembajakan, AS
dulu menekan Hong Kong dan Taiwan untuk melarang impor paralel barang-barang
hak cipta.

81. Lihat, misalnya, Davison M. J., "Parallel Importing of Trade Marked Goods - An
Answer to the Unasked Question" (1999) 10 AIPJ 146; Turner C., "The Parallel
Importer: Parasite or Pragmatist?" in Intellectual Property Law: Trends and Tensions,
Centre for Intellectual Property Studies, Queensland, 1992, him. 65.

82. 486 u. s. 281, 286 - 287 (1988).

83. (1989) 15 IPR 257.

32

Inc. v. Scorpio Music Distributors Inc,84 BMG Music v. Perez85 dan

Kirtsaeng v. John Wiley & Sons, Inc,86 dan perkara di Australia Interstate

Parcel Express Co Pty Ltd v. Ti.me-Life International (Nederlands) B. V.87

Kedua, barang impor paralel sebelumnya dijual di negara importasi. Situasi

ini melibatkan perjalanan barang secara pulang balik ("round trip") karena

barang tersebut sebelumnya dijual di dalam negeri, diekspor ke luar negeri

tetapi kemudian diimpor kembali ke negara importasi. Beberapa perkara

di AS, seperti Sebastian International v. Consumer Contacts (PTY) Ltd88

dan Quality King Distributors, Inc. v. L'anza Research International, Inc.,89

menggambarkan situasi ini.

84. 569 F. Supp. 47 (ED Pa. 1983) ; 738 F. 2d 424 (3d Cir. 1984). CBS memiliki hak cipta
rekaman suara di AS. CBS-Sony Japan telah melisensikan pembuatan dan penjualan
rekaman suara di Pilipina kepada Vicor Music Corporation. CBS (AS) menyetujui
perjanjian lisensi tersebut. Scorpio membeli produk rekaman suara tersebut di Filipina
dan kemudian, tanpa persetujuan dari CBS, mengimpomya ke AS. CBS menggugat
dan menyatakan bahwa Scorpio telah melanggar Pasal 602(a) dari Undang-Undang
Hak Cipta AS 1976 (the Copyright Act 1976).

85. 952 F. 2d 318 (9th Cir. 1991);112 S. Ct. 2997 (1992). BMG mempunyai hak cipta
rekaman suara. BMG telah melisensikan produksi dan penjualan produk rekaman
suaranya di banyak negara. Perez membeli produk rekaman suara tersebut di Filipina
dan kemudian mengimpomya ke AS.

86. 133 S.Ct. 1351 (2013). John Wiley & Sons, Inc., penerbit buku teks akademik di
AS, memberikan lisensi kepada anak perusahaannya Wiley Asia untuk menerbitkan
dan menjual buku-buku teks bahasa Inggris Wiley di luar AS. Supap Kirtsaeng yang
tinggal di AS meminta teman dan keluarganya untuk membeli buku-buku teks Wiley
tersebut di Thailand dengan harga yang murah, kemudian mengirimnya ke Kirtsaeng
di AS. Kirtsaeng kemudian menjualnya melalui eBay dan website-website yang lain.

87. (1977) 138 C.L.R. 534. Sebuah retailer buku di Sydney mengimpor, tanpa izin dari
distributor tunggal di Australia, dari AS ke Australia beberapa buku cara masak
(cookery books) yang telah pertama kali dijual di AS. Distributor tunggal tersebut
menggunakan Pasal 37 Undang-Undang Hak Cipta Australia 1968 (Australia's
Copyright Act 1968) untuk mencegah impor paralel tersebut.

88. 847 F. 2d 1093 (1988). Penggugat Sebastian telah memproduksi produk-produk hair
care di AS. Penggugat menjual persediaan barang tersebut di AS kepada Consumer
Contact untuk dijual kembali hanya di Afrika Selatan. Namun, Consumer Contact
segera mengirimkan produk tersebut ke Fabric Inc di AS untuk didistribusikan di AS.
Penggugat menggunakan hak cipta atas label-label yang ditempelkan pada produk­
produk tersebut dalam upayanya untuk memblokir tindakan impor paralel tersebut.

89. 523 U.S. 135 (1998). L'anza adalah perusahaan California yang memproduksi produk
hair care di AS. L'anza sendiri menjual produknya di AS kepada pembeli-pembeli
asing untuk dipasarkan ke negara-negara lain termasuk UK. L'anza menjual kepada
mereka di harga yang 35-40% lebih rendah dari pada harga kepada distributor di AS.
Produk yang dijual di UK akhirnya diimpor kembali dan dijual di AS oleh Quality

I 33


Click to View FlipBook Version