Berkaitan dengan paten, impor paralel bisa terjadi dalam situasi ketika
barang paten yang dimpor secara paralel telah dibuat atau pertama kali
dijual oleh pemilik paten. Perkara di Inggris Betts v. Wi.llmot,90 misalnya,
menggambarkan situasi ini. Praktik impor paralel ini juga bisa terjadi
ketika barang paten impor paralel telah dibuat atau dijual pertama kali oleh
penerima lisensi. Hal ini dicontohkan dalam perkara di Inggris Societe des
Manufactures des Glaces v. Ti.lghman s Patent Sandblast.91
Timbul pertanyaan apakah situasi-situasi terjadinya impor paralel
tersebut di atas relevan dalam konteks negara yang merupakan net importer
barang-barang HKI seperti Indonesia. Sebenarnya, di Indonesia, mayoritas
barang-barang impor paralel tidak berasal dari negara Indonesia sendiri,
tetapi berasal dari negara-negara lain termasuk negara-negara pemilik
HKI.92,93 Dalam bidang merek, misalnya, karena bukan negara asal barang
impor paralel tetapi hubungan antara distributor yang sah dan pemilik
King. Dalan1 membatalkan putusan pengadilan Ninth Circuit yang memenangkan
L'anza, Mahkan1ah Agung AS menyatakan bahwa penjualan pertan1a (fi.rst sale) yang
dilakukan L'anza telah menghabiskan (exhausted) hak ciptanya. Ibid, him. 1127,
1128 dan 1130.
90. (1871) LR 6 Ch App 239. Betts mempunyai paten di Inggris dan Perancis untuk
kapsul timah metalik (metallic capsules of tin) dan digunakan untuk merekatkan
gabus ke botol. Betts memproduksi dan menjual sendiri produk tersebut di Inggris
dan menjual melalui agen di Perancis. Willmott membeli produk tersebut di Perancis
dan menggunakannya di Inggris. Bett menggugat Willmott.
91. (1884) 25 Ch D 1. Tergugat, Tilghman, memiliki paten di Inggris dan Belgia untuk
proses memotong dan menggerinda bahan-bahan kasar yang bermanfaat untuk
membuat oman1en bola lan1pu kaca dan barang-barang serupa. Tilghman menunjuk
pemohon banding sebagai penerima lisensi di Belgia. Pemohon banding menggunakan
paten proses tersebut untuk membuat barang-barang kaca. Nan1un, tanpa persetujuan
Tilghman, pemohon banding menjual barang-barang tersebut tidak hanya di Belgia,
tetapi menjual juga di Inggris.
92. Chang T-Z., "Parallel Importation in Taiwan: A View from a Newly Emerged Country
and a Comparative Analysis" (1993) lO(No.6) International Marketing Review 30,
him. 31.
93. San1pai sekarang, belum ada laporan tentang produk yang dibuat di Indonesia diekspor
dan kemudian diimpor kembali ke Indonesia. Telah dilaporkan bahwa barang-barang
impor paralel di Indonesia berasal dari negara-negara asing. Misalnya, di pertengahan
tahun 2000, beberapa mobil KIA Carnival built-up diimpor secara paralel dari Korea
Selatan. Lihat Winamo B., "Impor Paralel", dalan1 Kontan, 23 Oktober 2000, http://
www.kontan-online.com/05/05/manajemen/manl.htm. Obat-obat HIV/AIDS telah
diimpor secara paralel dari India. Lihat "Indonesia Akan Impor Obat HIV/AIDS
dari Thailand", Suara Pembaharuan, 16 April 2002, http://www.bkkbn.go.id/hqweb/
ceria/mbrtpage4.html. Beberapa sparepart computer telah diimpor secara paralel dari
34
merek yang menjadi dasar untuk menentukan posisi hukum barang impor
paralel, situasi-situasi terjadinya impor paralel di bidang merek tersebut
diatas adalah relevan untuk Indonesia. Dalam bidang hak cipta, impor
paralel yang melibatkan perjalanan "round trips" barang impor paralel
jarang terjadi di negara net importer barang HKI seperti Indonesia. Namun,
masih ada kemungkinan impor paralel seperti ini terjadi. Misalnya, karena
CD yang berisi lagu-lagu atau musik Indonesia diekspor ke negara-negara
tetangga seperti Malaysia dan Singapura, ada kemungkinan CD tersebut
dibawa balik ke Indonesia apabila harga di Indonesia lebih mahal dari pada
di negara-negara tetangga tersebut. Di bidang paten, seperti merek, karena
orang yang melakukan penjualan pertama kali (first sale), bukan tempat
(negara) dilakukannya penjualan pertama kali barang paten yang menjadi
persoalan, situasi-situasi terjadinya impor paralel di bidang paten tersebut
di atas adalah relevan untuk Indonesia.
D. SEBAB-SEBAB TERJADINYA IMPOR PARALEL
Impor paralel terjadi terutama karena perbedaan harga di pasar global.
Harga suatu barang di suatu negara lebih murah dari pada harga barang
yang sama di negara lain. Perbedaan harga ini bisa terjadi karena strategi
pemasaran. Misalnya, suatu produsen berusaha menjual barang-barangnya
di suatu pasar luar negeri yang sangat kompetitif. Agar bisa bersaing
dengan barang-barang lain di pasar tersebut, produsen ini menjual barang
barangnya dengan harga yang sangat murah, yakni, jauh lebih murah dari
pada harga barang-barang yang sama di negaranya sendiri.94 Situasi ini
memungkinkan pedagang membeli barang-barang tersebut di luar negeri
dan kemudian mengimpornya ke pasar negara importasi atau ke pasar
negara lain dimana barang-barang yang sama lebih mahal. Di samping
itu, seorang produsen juga dapat menggunakan konsep "international
product life cycle " dengan cara memperkenalkan barang-barang yang
sudah matang (mature products) di negara asal ke dalam pasar luar negeri
Singapura ke Indonesia. Lihat "Buy Some PC Parts from Indonesia," http://www.
myhardware.net/forums/archive/index.php/t-9623.
94. Moisant J. P., "What the Supreme Court Should Have Done" (1999) 25 Brooklyn J.
Int'l L. 639 him 640 - 41.
I 35
dimana barang-barang tersebut dianggap baru.95 Karena persaingan di
pasar luar negeri tersebut kurang ketat, maka produsen tersebut memungut
harga yang lebih mahal dari pada di negara asal barang. Kemudian seorang
pedagang melakukan impor paralel barang-barang tersebut dari negara
asal barang ke pasar luar negeri tersebut. Barang-barang semacam ini
mengalir ke negara-negara yang merupakan "net importer'' produk HKI
seperti Indonesia, Taiwan, Malaysia, dan Hong Kong.96
Di samping strategi price discrimination yang biasanya dipakai oleh
perusahaan yang mempunyai kekuatan pasar (market power) seperti
tersebut di atas, perbedaan harga yang menyebabkan impor paralel
dapat terjadi karena fluktuasi nilai mata uang.97 Misalnya, sebuah barang
berharga AS $ 15 di negara X. Karena lemahnya nilai mata uang di negara
Y terhadap dollar AS, maka barang tersebut berharga AS $ 7 di negara Y.
Situasi ini memungkinkan seorang pedagang mengimpor barang tersebut
dari negara Y ke negara X dan kemudian menjualnya, misalnya, dengan
harga AS $ 11.
Perbedaan dalam biaya pemasaran dan pelayanan puma jual (after sales
services) dapat pula menyebabkan perbedaan harga.98 Biaya pemasaran
dapat berupa biaya-biaya periklanan dan biaya-biaya training bagi pegawai
pelayanan dan penjualan.99 Contoh dari biaya pelayanan puma jual adalah
biaya warranty, biaya asuransi, biaya pemenuhan keamanan (safety
compliance costs),100 biaya-biaya untuk menangani keluhan konsumen
dan biaya-biaya untuk memenuhi inventaris persediaan yang memadai.101
Pemilik HKI atau penerima lisensinya hams menanggung biaya-biaya
95. Lihat Chang T-Z., Op.Cit., him. 30.
96. Lihat Chang T-Z., ibid. him. 31.
97. Donnelly, D.E., "Parallel Trade and International Harmonization of the Exhaustion of
Rights Doctrine" (1997) 13 Computer & High Tech. L. J. 445, him. 448.
98. Donnelly D.E., ibid, hlm. 448.
99. Chen A.B., "Shopping The Gray market: The Aftermath of The Supreme Court's
Decision in Quality King Distributors, Inc., v. L'anza Research International Inc"
(1999) 19 Loy. L. A Ent. L. J. 573, him. 574.
100. Auvil S. M., "Gray Market Goods Produced by Foreign Affiliates of The US
Trademark owner: Should the Lanham Act Provide a Remedy?" (1995) 28 Akron L.
Rev. 437, him. 438.
101. Rothnie W. A., Parallel Imports, Sweet & Maxwell, London, 1993, him. 565.
36 I
tersebut sedangkan pelaku impor paralel bisa meminimalkannya.102
Akibatnya, pelaku impor paralel dapat mengimpor barang asli yang murah
ke negara pemilik HKI atau penerima lisensi HKI.
Namun, impor paralel tidak bisa terjadi apabila biaya pengangkutan
barang dari suatu negara ke negara importasi tinggi dilihat dari keuntungan
yang diperoleh pelaku impor paralel.103 Oleh karena itu, kebanyakan
barang-barang impor paralel adalah barang-barang yang berbobot ringan
yang mempunyai reputasi terkenal.104 Di Taiwan, misalnya, kebanyakan
barang impor paralel meliputi produk formula bayi, sabun, shampoo,
kamera, telivisi, VCR, camcorder, dan alat-alat rumah tangga.105 Barang
impor paralel berupa !phone mulai dijual tahun 2007 di Cina, dan Ipad telah
diimpor secara paralel ke Cina dan Hong Kong pada awal April 2010.106 Di
Australia, dua retailer besar, yakni Woolworths dan Coles, telah mencari
sumber pemasokan barang-barang seperti minuman keras, makanan
makanan dan pakaian bermerek dari pelaku impor paralel.107 Walaupun
kebanyakan barang impor paralel adalah barang berbobot ringan, barang
berbobot berat, seperti mobil, juga telah diimpor secara paralel ke suatu
negara importasi. 108 Biaya pengepakan (packaging) barang berbobot berat
102. Pelaku paralel impor "have no fancy showrooms, no factory-trained personnel, no
comprehensive spare parts inventory, no huge advertising and marketing budgets,
no dedicated after-sales facilities." Lihat Christopher Tan, "Under-declaring parallel
imports", Straits Times, 20 Januari, 2009, http://blogs.straitstimes.com/2009/1/20/
under-declaring-parallel-imports, (diakses 23 Mei 2010).
103. Ghosh S., "An Economic Analysis of the Common Control Exception to Gray Market
Exclusion" (1994) 15 U. Pa. J. Int'l Bus. L. 373, him. 374- 75.
104. Lexecon, Inc., "Executive Summary, The Economics of Gray Market Imports"
(1985) (Unpublished Report on file with the Catholic University Law Review) cited
in Mohr CA., "Gray Market Goods and Copyright Law: an End Run Around K. Mart
v. Cartier" (1996) 45 Gath. U. L. Rev. 561, him. 563.
105. Chang T-Z, Op.Cit., him. 34.
106. Justine Lau et al, "Grey Market Begins Sales of iPads in China," The Financial Times,
9 April 2010, https://www.ft.com/content/fa37e3da-4336-l1df-9046-00144feab49a,
(diakses 15 Februari 2017).
107. "Retailers rock the boat with parallel imports," TheAge, 15 Januari 2010, http://www.
smh.com.au/business/retailers-rock-the-boat-with-parallel-imports-20100114-ma5h.
html, (diakses 15 Februari 2017).
108. "Got a parallel-imported Mazda? You can now service it at Mazda Motor," http://
www.asiaone.com/ Motoring/News/Story/A1Story20100330-207644.htrnl, (diakses
23 Mei 2010).
I 37
menjadi faktor terpenting penyebab terjadinya impor paralel. Di Indonesia,
misalnya, perbedaan yang besar antara biaya pengepakan mobil completely
built up (CBU) dan biaya pengepakan mobil rakitan (completely knocked
down) merupakan salah satu alasan mengapa mobil-mobil CBU diimpor
secaraparalelkeindonesia.109
E. PRINSIP EXHAUSTION DAN IMPOR PARALEL
Prinsip Exhaustion (Exhaustion Principle)110 sangat berkaitan dengan
persoalan impor paralel. Pembahasan tentang prinsip ini akan difokuskan
pada hukum di AS dan EU karena prinsip ini telah mendapat pembahasan
di peradilan di AS dan EU secara lebih intenstif dari pada di negara-negara
lain. Inti prinsip ini adalah penjualan pertama (fi.rst sale) barang HKI
oleh pemilik HKI atau penerima lisensinya menghabiskan hak mereka
untuk mengontrol penjualan berikutnya barang tersebut. Rasionya adalah
perlindungan konsumen atau masyarakat dan/atau pertimbangan arus
bebas ekspor impor barang. Namun, temyata negara-negara membatasi
berlakunya Prinsip Exhaustion pada beberapa situasi tertentu. Mereka
melakukan itu untuk melindungi kepentingan pemegang HKI.
1. Pengertian dan Rasio Prinsip Exhaustion
Menurut prinsip ini, penjualan awal yang sah dari barang HKI secara
efektif menghabiskan atau menghilangkan hak pemilik HKI atau penerima
109. Hal ini dikatakan oleh Widodo, mantan pegawai PT Astra International Indonesia,
ketika percakapan dengan Penulis di bulan Februari 2002. Widodo menyatakan
bahwa ongkos pengemasan bagian-bagian (parts) dari mobil assembling lebih mahal
dari pada ongkos pengemasan mobil CBU. Perbedaannya sekitar 20 %.
110. Atau "doctrine of first sale". Lihat Barrett M., "The United States' Doctrine of
Exhaustion: Parallel Imports of Patented Goods" (2000) 27 N. Ky. L. Rev. 911
(menjelaskan bahwa istilah "doctrine of exhaustion" and "doctrine of first sale"
adalah sinonim). Di AS, istilah-istilah "exhaustion" dan "doctrine of exhaustion"
adalah sama-sama digunakan. Lihat, misalnya, Intel Corp. v. ULSI Sys. Tech., Inc.,
995 F. 2d 1566, 1568 (Fed. Cir. 1993). Namun, dalam perkara-perkara hak cipta,
pengadilan-pengadilan AS lebih senang menggunakan istilah "first sale doctrine".
Lihat, misalnya, Sebastian International v. Consumer Contacts (PTY) Ltd., 847
F. 2d 1093, 1096 (1988) dan Quality King Distributors, Inc. v. L'anza Research
International, Inc., 523 U.S. 135, 139 (1998). Di EU, European Court of Justice
menggunakan istilah "exhaustion". Lihat, misalnya, Silhouette International Schmied
Gesellscha� mbH & Co. KG v. Hartlauer Handelsgesellscha� mbH, Case C-355/96,
1998 ECJ CELEX LEXIS 6660, para 1.
38
lisensinya untuk mengontrol penanganan berikutnya (subsequent dealing)
barang HKI tersebut. Akibatnya, seorang pembeli barang tersebut bebas
untuk menangani atau memperlakukannya termasuk ke arah mana akan
menjualnya tanpa dianggap melanggar hak pemegang HKI barang tersebut.
Prinsip ini, di satu sisi, merupakan pembatasan hak pemegang HKI,
namun, di sisi lain memberikan pembeli barang HKI hak tidak terbatas
tidak hanya untuk menggunakannya tetapi juga melepaskannya. Di
bidang paten, misalnya, dalam perkara United States v. Univis Lens Co,111
Mahkamah Agung AS menyatakan:
The patentee's monopoly remains so long as he retains the ownership
of the patented article. But sale of it exhausts the monopoly in that
article and the patentee may not thereafter, by virtue of his patent,
control the use or disposition of the article.112
Dalam perkara tersebut, Mahkamah Agung AS telah membatasi
pengertian monopoli pemegang paten menurut peraturan perundang
undangan, yakni "exclusive right to make, use, and vend the invention
or discovery''.113 Pengadilan ini telah membatasi pengertian "vend" pada
penjualan pertama ("fi.rst sale").
Alasan yang diberikan Mahkamah Agung AS adalah bahwa pemegang
paten telah menikmati manfaat monopoli patennya dengan menerima
111. 316 U.S. 241 (1942). Dalam perkara ini, pemilik paten atas lensa kacamata
melisensikan patennya kepada orang lain untuk memproduksi dan menjual kepada
pedagang-pedagang grosir (wholeseller) yang diberi lisensi, dan kepada pedagang
pedagang eceran. Lisensi-lisensi tersebut berisi klausula pembatasan hak para
pedagang grosir dan para pedagang eceran tersebut untuk menjual lensa yang
telah diproses. Pemerintah AS menggugat pemilik paten tersebut dengan alasan
bahwa tindakan pemilik paten telah melanggar hukum Antitrust AS. Pengadilan
memenangkan Pemerintah. Ibid. hlm. 241, 244--45.
112. Ibid. hlm. 250. Lihat jugaAdams v. Burke, 84 U.S. (17 Wall.) 453 (1873) ("When the
patentee ... sells a machine or instrument..., he receives the consideration for its use
and he parts with the right to restrict that use. The article...passes without the limit of
the monopoly."); Intel Corp. v. U.L.S.I. Sys Tech., Inc., 995 F. 2d 1566, 1568 (Fed. Cir.
1993) ("The patent owner '.s rights with respect to the product end with its sale, and a
purchaser of such a product may use or resell the product free of the patent'').
113. Ketentuan tentang monopoli ini tercantum dalam Pasal I, paragraf 8, klausula 8
Undang-Undang Dasar AS; 35 U.S.C. paragraf 31, 40 yang dikutip dalam perkara
Univis Lens, 316 U.S. 241, 250 (1942).
I 39
harga pembelian pada penjualan pertama barang patennya.114 Pengadilan
ini juga memberikan alasan bahwa memperbolehkan pemegang paten
untuk mengontrol penanganan barang tersebut setelah penjualan pertama
akan melampaui monopolinya.115
Berkaitan dengan hak cipta, perkara Bobbs-Merrill v. Strauss116
menerapkan Prinsip Exhaustion yang juga membatasi hak pemegang
hak cipta pada barang yang telah dijual dan memberikan kepada pembeli
barang tersebut kebebasan untuk menanganinya. Intinya, dalam perkara
ini, Mahkamah Agung AS membatalkan hak pemegang hak cipta untuk
mengontrol harga penjualan setelah penjualan pertama yang sah terjadi
dan menyatakan bahwa memperbolehkan usaha Bobbs-Merrill untuk
menetapkan harga penjualan setelah penjualan pertama akan memberikan
kepadanya kekuasaan yang melebihi hak eksklusif yang tercantum dalam
peraturan perundang-undangan hak cipta AS.117
Di AS, telah disepakati bahwa tujuan utama hukum paten dan hukum
hak cipta adalah "to promote the progress of science and the useful
arts".118 Dalam hal ini, kepentingan publik terlihat lebih penting dari pada
kepentingan pemegang paten dan hak cipta. Untuk mencapai tujuan ini,
hukum paten dan hukum hak cipta, di satu sisi, memberikan hak eksklusif
kepada pemegang paten dan pemegang hak cipta untuk membuat atau
114. 316 U.S. 241, 251 (1942).
115. Pengadilan ini menyatakan: "If he were permitted to control the price at which it could
be sold by others he would extend his monopoly quite as much in the one case as in
the other, and he would extend it beyond the fair meaning of the patent statutes": ibid.
hlm. 252.
116. 210 U.S. 339 (1908). Penerbit, Bobbs-Merrill, menjual buku "The Castaway"
kepada pedagang-pedagang grosir dengan peringatan yang tercantum pada setiap
eksemplar buku tersebut sebagai berikut: "The price of this book at retail is $1 net.
No dealer is licensed to sell it at a less price, and a sale at a less price will be treated
as an infringement of the copyright..." Macy membeli beberapa buku tersebut dari
pedagang grosir dan menjualnya kembali di bawah $1. Bobbs-Merrill gagal dalam
tindakan hukum atas pelanggaran hak ciptanya kepada Macy.
117. Ibid. hlm. 350 - 51.
118. Lihat United States v. Univis Lens, 316 U.S. 241, 250 (1942); Bobbs-Merrill v.Strauss,
210 U.S. 339, 346 (1908); Kendal v. Winsor, 62 U.S. 322, 329 (1858); Lackner Co.
v. Quehl Sign Co., 145 F. 2d 932, 934 (6th Cir. 1944); Cyrix Corp. v. Intel Corp., 846
Supp. 522, 539-40 (E.D. Tex.) affirmed, 42 F. 3d 1411 (Fed. Cir. 1994).
40
memperbanyak, menggunakan dan menjual produk mereka.119 Di sisi
lain, berkaitan dengan produk pemegang paten dan pemegang hak cipta,
hukum membatasi hak kontrol mereka hanya pada penjualan pertama
(fi.rst sale) produk tersebut. Ini berarti bahwa ketika mereka memperoleh
harga produk tersebut pada penjualan pertama, mereka dianggap telah
memperoleh kompensasi dari kreativitasnya120 dan, akibatnya, mereka
tidak lagi mempunyai hak untuk mengontrol pengalihan selanjutnya dari
produk tersebut. Jadi, mereka hanya mempunyai monopoli terbatas dan
monopoli terbatas ini memberikan manfaat kepada publik karena pemegang
hak telah mengumumkan invensinya atau karya ciptanya kepada publik
dengan tidak membebani publik secara berlebihan, yakni dengan tidak
menarik pembayaran yang berlebihan dari publik.121
119. Lihat Univis Lens, ibid. him. 250, dan Bobbs-Merrill, ibid. him. 350.
120. Lihat Univis Lens, ibid. ("[W]hen the patentee has received his reward for the use of
his invention by the sale of the article...the patent law affords no basis for restraining
the use and enjoyment of the thing sold."); Adams v. Burke, 84 U.S. (17 Wall.) 453
(1873) ("[T]he patentee or his assignee having in the act of sale received all the
royalty or consideration which he claims for the use of his invention..."); Bobbs
Merrill v. Strauss, 210 U.S. 339, 346 (1908) ("[T]he statute also secures, to make
this right of multiplication effectual, the sole right to vend copies of the book, the
production of the author '.s thought and conception. The owner of the copyright in this
case did sell copies of the book in quantities and at a price satisfactory to it. It has
exercised the right to vend.").
121. Lihat Barrett M., Op.Cit., him. 920 - 22 (membahas tujuan utama hukum paten di
AS). Pada tahun 1909, the United States' House Judiciary Committee menyatakan:
"The enactment of copyright legislation by Congress...is not based upon any natural
right that the author has in his writings...but upon the ground that the welfare of the
public will be served and progress of science and useful arts will be promoted by
securing to authors for limited periods the exclusive rights to their writings": Mohr
C.A., Op.Cit., him. 588. Lihat juga Lackner Co. v. Quehl Sign Co. 145 F. 2d 932, 934
(6th Cir. 1944) ("The exclusive right conferred by a patent is a monopoly permitted
only because of the public benefit to be derived from the invention. The maintenance
of the public interest is the dominant concern of the patent law; profit to the patentee
is secondary"). Lihat juga Sebastian, 847 F. 2d 1093, 1094 (3rd Cir. 1988) dimana
pengadilan menjelaskan: "The copyright statutes have been amended repeatedly in
an attempt to balance the authors' interest in the control and exploitation of their
writings with society'.s competing stake in the free fl.ow of ideas, information and
commerce. Ultimately, the copyright law regards financial reward to the owner as a
secondary consideration."
I 41
Berkaitan dengan merek, perkara Prestonettes v. Coty122 juga
mendefinisikan pengertian prinsip Exhaustion. Dalam perkara ini,
Mahkamah Agung AS menyatakan bahwa "a trade mark only gives the
right to prohibit the use of it so far as to protect the owners goodwill
against the sale of anothers product as his".123 Akibatnya, pembeli barang
yang mempunyai merek bebas untuk menggunakan barang tersebut dan
menjualnya selama barangnya masih asli.
Pemikiran bahwa fungsi utama suatu merek adalah untuk menunjukkan
sumber asal barang (the badge oforigin function) telah menjadi rasio prinsip
Exhaustion di bidang merek. The badge of origin function berarti bahwa
selama barang masih asli dan mereknya masih secara akurat menunjukkan
bahwa barang tersebut berasal dari pemegang merek, maka impor paralel
barang tersebut bukan merupakan pelanggaran merek. Selama pelaku impor
paralel tidak mengganggu fungsi esensial merek, yakni untuk menjamin
identitas asal barang dengan, misalnya, melakukan tindakan pengepakan
tanpa izin sehingga berdampak negatif terhadap kondisi barang tersebut,
maka impor paralel barang tersebut tidak bisa dilarang. 124 Hal ini tersirat
dalam putusan Mahkamah Agung AS dalam perkara Prestonettes v. Coty125
122 264 U.S. 359 (1924). Penggugat, seorang warga negara Perancis, mempunyai merek
terdaftar "Coty" and "L'Origin" untuk bedak dan parfum toilet. Tergugat membeli
bedak "Coty'' asli, mengemas ulang dan kemudian menjualnya dalam kemasan
kemasan yang berbeda. Tergugat juga membeli parfum "Coty" asli dalam botol
yang bear kemudian menjualnya kembali dalam botol-botol yang kecil. Penggugat
menggugat tergugat atas pelanggaran merek. Namun, pengadilan memenangkan
tergugat.
123. Ibid. hlm. 368. Cf. Champagne Heidsieck et Cie v. Buxton [1930] lCh.330, 337 ("[Tl
he proprietor of a trade mark is to have the right exclusively to use such trade mark
in the sense ofpreventing others from selling wares which are not his marked with the
trade mark."); Irving's yeast-Vite Ltd v. Horsenail (1934) 51 R.P.C. 110 (memutuskan
bahwa hak eksklusif pemilik terdaftar tidak dapat dianggap dilanggar oleh penggunaan
mereknya yang menunjuk kepada produk pemilik merek terdaftar itu sendiri).
124. Putusan ECJ in Hoffman-La Roche, 1978 E.C.R. at 1166. Liliat juga The Wellcome
Foundation Ltd v Paranova Pharmazeutika Handels GmbH (C-276/05), 22 Desember
22, 2008, dikomentari oleh Sweet & Maxwell Limited and Contributors dalam "ECJ
Gives Further Guidance on Repackaging Drugs for Parallel Import" (2009) EU Focus
2009, 246, hlm. 23-24. Untuk penjelasan lebih jauh mengenai persoalan pengemasan
kembali (repackaging) dan hukum impor paralel, liliat Bird R.C. and Chaudhry P.E.,
"Pharmaceuticals and the European Union: Managing Gray markets in Uncertain
Legal Environment" (2010) 50 Va. J. Int'l L. 719.
125. 264 U.S. 359 (1924).
42 I
tersebut di atas. 126 Sebenarnya, rasio "source of origin" ini mendukung
arus bebas barang (the free movement of goods) antar negara. Hal ini
meningkatkan persaingan. Meningkatnya persaingan akan memberikan
manfaat kepada konsumen dalam bentuk tersedianya pilihan yang luas dan
murahnya barang-barang.
Di Uni Eropa, berkaitan dengan paten, the European Court of Justice
(ECJ) dalam perkara Centrafarm v. Sterling127 telah menyampaikan
pendapat yang mirip dengan pendapat hakim dalam perkara Univis
Lens.128 Dalam Centrafarm, ECJ menyatakan bahwa hak paten tidak dapat
dilaksanakan ("exercised") untuk melindungi sesuatu di luar cakupan
khusus paten, yakni:
the guarantee that the patentee, to reward the creative effort of the
inventor, has the exclusive right to use an invention with a view to
manufacturing industrial products and putting them into circulation
for the fi.rst time, either directly or by the grant of licences to third
parties, as well as the right to oppose infringements. (Emphasis
added).129
Dalam hal ini, ECJ menggunakan istilah "exercise" dan Pengadilan ini
telah membatasi pengertian "exercise" dari suatu paten. ECJ menyatakan
bahwa untuk menerima penghargaan (reward) dari kreativitasnya, seorang
126 Putusan Mahkamah Agung AS dalam perkara Prestonettes adalah sesuai dengan
putusan dalam perkara di Australia Atari Inc. and Futuretronics Australia Pty Ltd v.
Fairstar Electronics Pty Ltd (1982) 50 ALR 274. Dalam perkara ini, berdasarkan pada
putusan perkara di Inggris Champagne Heidsieck et cie Monopole Societe Anonyme
v. Buxton [1930] 1 Ch. 330, hakim Smithers menyatakan bahwa fungsi merek adalah
sebagai tanda asal barang (badge of origin), yakni untuk menunjukkan hubungan
antara barang yang ditempeli merek dengan pemilik merek tersebut. Hakim Smithers
lebih lanjut menyatakan bahwa penggunaan merek barang menjadi pelanggaran hanya
apabila barang tersebut tidak asli. Lihat (1982) 50 ALR 274, hlm. 276.
127. Case 15/74, 1974 ECJ CELEX LEXIS 926. Dalam perkara ini, pemilik paten
mempunyai beberapa paten di beberapa negara di European Economic Area (EEA)
termasuk di Inggris dan Belanda. Produk-produk yang dilindungi dengan paten
paten tersebut secara sah dipasarkan di negara-negara tersebut oleh para penerima
lisensinya. Kemudian, pihak ketiga membeli produk tersebut dari Inggris kemudian
mengimpomya ke Belanda.
128. 316 U.S. 241 (1942).
129. Case 15/74, 1974 ECJ CELEX LEXIS 926, para 9.
I 43
pemegang paten mempunyai hak untuk melaksanakan ("exercise") haknya
hanya sekali, yakni, ketika melepaskan barang patennya untuk pertama
kalinya.
Mirip dengan pendapat hakim dalam perkara Univis Lens, ECJ dalam
perkara Centrafarm menggunakan doktrin "beyond-scope" atau doktrin
"beyond-the essence of exclusive right'' untuk membenarkan penggunakan
prinsip Exhaustion. Artinya, memberikan pemegang paten hak untuk
mengontrol penanganan selanjutnya (subsequent dealing) dari barangnya
setelah penjualannya yang pertama kali akan melampaui cakupan atau
esensi patennya.130 Dalam perkara Univis Lens, cakupan suatu paten
adalah berdasarkan pada undang-undang paten AS. Namun, tidak seperti
dalam perkara Univis Lens, dalam perkara Centrafarm, pengertian "the
essence of the exclusive rights" tidak jelas. Justifikasi yang lebih tepat
untuk menggunakan prinsip Exhaustion di Uni Eropa sebenarnya adalah
pemikiran arus bebas barang (free movement of goods). ECJ dalam perkara
Centrafarm v. Sterling131 menyatakan justifikasi ini sebagai berikut:
An obstacle to the free movement of goods may arise out of the
existence...of provisions laying down that a patentee's right is not
exhausted when the product protected by the patent is marketed in
another Member State, with the result that the patentee can prevent
importation of the product into his own Member State when it has
been marketed in another state.132
Justifikasi arus barang bebas (free movement of goods) juga dinyatakan
dalam perkara Deutsche Grammophon v. Metro133 yang menerapkan
130 ECJ menyatakan: "In fact, if a patentee could prevent the import or protected products
marketed by him or with his consent in another member state, he would be able to
partition off national markets and thereby restrict trade between member states, in
a situation where no such restriction was necessary to guarantee the essence of the
exclusive rights flowing from the parallel patents." Lihat 1974 ECJ CELEX LEXIS
926, para 12.
131 Case 15/74, 1974 ECJ CELEX LEXIS 926.
132 Ibid. para 10.
133 Case 78/70, 1971 ECJ CELEX LEXIS 791. Dalam perkara ini, Deutsche
Grammaphon (DG), sebuah perusahaan Jerman, menjual produk rekamannya kepada
anak perusahaan yang mayoritas sahamnya dimilikinya di Perancis. Produk rekaman
44
prinsip Exhaustion berkaitan dengan hak cipta. ECJ memutuskan bahwa
karena Deutsche secara sukarela telah menjual barang ciptaannya, maka
hak-haknya habis (exhausted) dan akan bertentangan dengan kebijakan
ams barang bebas (free movement of goods) apabila Deutsche diberikan
hak untuk membatasi penjualan berikutnya dari barang tersebut.134
Perkara merek Centrafarm B.V. v. Wi.nthrop135 juga secara tersirat
menyatakan justi:fikasi seperti itu. Dalam perkara ini, ECJ memutuskan
bahwa hukum merek memperbolehkan pemilik merek untuk
menjual barangnya pertama kali (first sale) bebas dari pesaing yang
memperdagangkan barang dengan membonceng reputasi mereknya, tapi
karena telah menyetujui penjualan pertama kali (first sale) pemilik merek
kehilangan haknya untuk melarang ams bebas barangnya di wilayah
European Economic Area (EEA).136
Jadi, di EU, rasio prinsip Exhaustion berkaitan dengan impor paralel di
wilayah EU adalah pemikiran ams barang bebas (free movement of goods).
Kebijakan ams barang bebas memberikan konsumen Eropa manfaat yang
berupa tersedianya pilihan barang yang luas dan harga yang murah.
2. Syarat-Syarat Prinsip Exhaustion
Beberapa syarat hams dipenuhi agar prinsip Exhaustion bisa
diterapkan. Pertama, pemegang HK.I hams menerima upah atau kompensasi
(reward) sebelum haknya habis. Berkaitan dengan paten, misalnya, hal ini
dinyatakan dalam perkara Univis Lens.137 Menurut Univis Lens, bukan
penjualan pertama (first sale) tetapi upah atau kompensasi (reward) dari
tersebut kemudian diimpor kembali ke Jerman oleh Metro. DG melakukan tindakan
hukum untuk menghentikan importasi Metro.
134 Ibid. para 5.
135 Case 16/74, 1974 ECJ CELEX LEXIS 927. Dalam perkara ini, pemilik merek
"Negram" untuk produk farmasi telah memberikan lisensi kepada beberapa perusahaan
di Inggris dan Belanda. Seorang importir membeli produk-produk tersebut di Inggris
kemudian mengimpornya ke Belanda.
136 Ibid. para 8.
137 316 U.S. 241 (1942). Pengadilan ini menyatakan: "[T]he purpose of the patent law
is fulfi.lled with respect to any particular article when the patentee has received his
reward for the use of his invention by the sale of the article, and that once that purpose
is realized the patent law affords no basis for restraining the use and enjoyment of the
thing sold." (Tekanan oleh Penulis). Lihat ibid. hlm. 251.
I 45
penjualan pertama yang menghabiskan (exhaust) hak patennya.138 Jadi,
apabila pemegang paten tidak menerima upah atau kompensasi (reward)
dari penjualan pertama, maka haknya tidak akan habis.139
Juga, menurut hakim dalam perkara Centrafarm,140 upah atau
kompensasi (reward) merupakan faktor penting untuk menentukan
habisnya hak. Pemilik paten hams mendapat manfaat dari penjualan
pertama (fi.rst sale) barangnya sebelum haknya habis. Apabila penjualan
pertama dilakukan oleh penerima lisensinya, pemilik paten hams turut
serta dalam penjualan tersebut dengan cara memberikan persetujuan
kepada penerima lisensi tersebut.141 Jadi, apabila pemilik paten tidak
mendapat manfaat dari atau tidak turut serta dalam penjualan pertama dari
barangnya, maka haknya tidak habis.
Berkaitan dengan hak cipta, Hakim Agung AS dalam perkara Bobbs
Merrill142 juga menyatakan bahwa upah atau kompensasi yang berupa
"a satisfactory price" dari barang pemilik hak cipta hams dibayarkan
sebelum haknya habis. Apabila pemilik hak cipta belum mendapatkan
pembayaran harga barangnya, haknya tidak pemah habis. Misalnya,
sebagaimana digambarkan dalam perkara Platt & Munk Co. v. Republic
Graphic,143 penjualan sebuah buku yang dibeli dari seorang pedagang
138 Lihat Keeler v. Standard Folding-Bed Co., 157 U.S. 659, 665- 67 (1895) yang selaras
dengan pendapat hakim dalam perkara Univis Lens. Lihat juga Rothnie W.A., Op.Cit.,
hlm. 145 yang menyimpulkan bahwa putusan dalam perkara Keeler menunjukkan
bahwa pembayaran harga kepada pemilik paten merupakan suatu dasar yang sangat
penting mengapa pengadilan AS menganut prinsip exhaustion.
139 Lihat Featherstone v. Ormonde Cycle Company, 53 F. 110 (C.C.N.Y. 1892). Dalam
perkara ini, seorang inventor memperoleh paten atas ban sepeda di Inggris dan AS.
Inventor ini menjual haknya di AS kepada penggugat. Pemilik paten di Inggris
memberikan lisensinya kepada tergugat untuk menggunakan ban-bannya untuk
sepeda yang dibuat di Inggris. Tergugat ingin menjual ban-bannya ke AS. Pengadilan
memberikan kepada penggugat hak untuk menghentikan tindakan tergugat. Lihat
ibid. hlm. 111.
140 Case 15/74, 1974 ECJ CELEX LEXIS 926.
141 ECJ juga menyatakan: "[A] derogation from the principle of the free movement of
goods is not. . justified where the product has been put onto the market in a legal
manner, by the patentee himself or with his consent, in the member state from which
it has been imported, in particular in the case of a proprietor of parallel patents."
(Emphasis added). Lihat ibid. para 11.
142 210 U.S. 339 (1908).
143. 315 F. 2d 847 (2d. Cir. 1963).
46 I
yang membelinya dari sebuah agen pemilik hak cipta, dan agen tersebut
telah dipercaya untuk memegang (memiliki) buku tersebut tetapi tanpa
wewenang untuk menjualnya dan pemilik hak cipta tidak menerima
pembayaran dari agen tersebut, dinyatakan merupakan pelanggaran dan,
akibatnya, tidak menghabiskan hak pemilik hak cipta.144
Syarat kedua adalah bahwa pemilik HKI hams telah mengalihkan hak
milik barangnya ke pembelinya. Hal ini disebutkan dalam, misalnya, perkara
Bobbs-Merrill. 145 Dalam perkara ini, Hakim menyatakan bahwa pembeli
hams telah memperoleh hak milik penuh (full dominion) atas barang yang
dibeli.146 Dalam perkara Platt & Munk,147 hakim juga menyatakan bahwa
untuk menentukan habisnya hak, pertanyaan yang pokok adalah apakah
kepemilikan sah (lawful ownership) dari barang hak cipta telah dialihkan
kepadapembelinya.148
DiAS, sejumlah perkara telah menambahkan syarat ketiga, yakni bahwa
penjualan barang oleh pemilik HKI hams tanpa pembatasan (restriction).
Hal ini berlaku khususnya untuk impor paralel barang paten. Dalam
perkara Holiday v. Mattheson,149 misalnya, hakim mensyaratkan penjualan
hams tanpa syarat atau tanpa reservasi (reservation) agar hak pemilik paten
habis. Hal yang sama dinyatakan dalam perkara CurtissAeroplane & Motor
Corp. v. United Aircraft Engineering Corp. 150 Akibatnya, pemilik HKI bisa
meng-counter berlakunya prinsip Exhaustion dengan cara memberikan
syarat-syarat dalam perjanjian penjualan barangnya.151•152• Namun, perlu
144. Ibid. hlm. 852.
145. 210 U.S. 339 (1908).
146. Ibid. hlm. 350.
147. 315 F. 2d 847 (2d. Cir. 1963).
148. Ibid. hlm. 852.
149. Holiday v. Mattheson , 24 F. 185 (S.D.N.Y. 1885).
150. 266 F. 71 (2d Cir. 1920).
151. Lihat Holiday v. Mattheson, 24 F. 185 (S.D.N.Y. 1885) dimana hakim Wallace
menyatakan: "[U]nless by the conditions of the bargain the monopoly right is
impressed on the thing purchased; and if the vendor sells without reservation or
restriction, he parts with his monopoly so far as it can in any way qualify the rights of
the purchaser." Dari pernyataan ini, jelas bahwa hakim Wallace menganggap bahwa
berlakunya prinsip exhaustion bisa dihindari dengan syarat-syarat perjanjian.
152 Bandingkan denganMallenckrodt, Inc. v. Medipart, Inc., 976 F. 2d 700 (Fed. Cir. 1992)
dirnana hakim Federal Circuit menyatakan bahwa pemilik paten dapat membatasi hak
I 47
dicatat, bahwa di Singapura, tidak ada pembatasan berlakunya prinsip
Exhaustion semacam ini berkaitan dengan impor paralel di bidang hak
cipta dan merek.
3. Macam-Macam Prinsip Exhaustion
Ketika menghadapi persoalan impor paralel, negara-negara mungkin
tidak menerapkan prinsip Exhaustion pada semua situasi terjadinya
impor paralel. Keinginan untuk melindungi kepentingan pemilik HKI
mereka dari pada melindungi konsumen mereka merupakan rasio sikap
yang mereka ambil. Hal ini dicontohkan oleh posisi AS dan EU dalam
penjelasan berikut ini.
a. Prinsip National Exhaustion
Menurut Prinsip National Exhaustion, penjualan pertama (first sale)
menghabiskan HKI hanya di negara dimana penjualan pertama terjadi.153
Dengan kata lain, hanya penjualan pertama di negara A yang dapat
menghabiskan hak di negara A; penjualan pertama di negara B tidak dapat
menghabiskan hak di negara A. Jadi, apabila penjualan pertama barang X
terjadi di negara A, pemilik HKI di negara A tidak dapat melarang impor
paralel barang tersebut dari negara lain. Namun, pemilik HKI di negara A
dapat melarang impor paralel barang yang dijual pertama kali di negara B.
Pendekatan Hukum Hak Cipta AS berkaitan dengan persoalan
impor paralel sebelum tahun 2013, yakni sebelum keluarnya putusan
Mahkamah Agung AS dalam perkara Kirtsaeng v. John Wiley & Sons,
Inc. 154 memberikan contoh penerapan Prinsip National Exhaustion. Hal
ini digambarkan dalam perkara Columbia Broadcasting System Inc. v.
Scorpio Music Distributors Inc.155 Dalam perkara ini, CBS memiliki hak
cipta rekaman suara di AS. CBS-Sony Jepang telah melisensikan produksi
pembeli untuk menggunakan alat kesehatan yang dipatenkan hanya pada penggunaan
sekali dan memutuskan bahwa yang melanggar pembatasan tersebut bertanggung
jawab atas pelanggaran paten tersebut. Lihatjuga B. Braun Med., Inc. v. Abbott Lab.,
124 F. 3d 1419, 1426 (Fed. Cir. 1997).
153 William A.S., "International Exhaustion of Patent Rights Doctrine: Is Japan's Move
a Step Forward or Back from the Current Harmonization Effort?" (1998) 7 D.C.L.J.
Int'l L. & Prac. 327, hlm. 331.
154 133 S.ct. 1351 (2013).
155 569 F. Supp. 47 (ED Pa. 1983) aff'd without opinion 738 F. 2d 424 (3d Cir. 1984).
48 I
dan penjualan produk rekaman suaranya di Filipina kepada Vicor Music
Corporation. CBS (AS) menyetujui perjanjian lisensi tersebut. Scorpio
membeli produk rekaman suara tersebut di Filipina dan kemudian, tanpa
izin dari CBS, mengimpomya ke AS. CBS menggugat dengan menyatakan
bahwa Scorpio telah melanggar s.602(a)156 of UU Hak Cipta AS 1976 (the
Copyright Act 1976). Scorpio menyangkal dengan mengatakan bahwa dia
berhak menggunakan alasan prinsip Exhaustion yang tercantum dalam
s.109(a)157 UU Hak Cipta AS. Namun, pengadilan menyatakan bahwa
penjualan pertama (first sale) produk rekaman suara yang terjadi di Filipina
tidak menghabiskan hak CBS di AS dan menyatakan bahwa s.109(a) hanya
berlaku pada produk yang secara sah dibuat dan dijual di AS.158
Beberapa pengadilan berikutnya mengikuti putusan Scorpio.159 BMG
Music v. Perez,160 misalnya, memperkuat reasoning pengadilan dalam
Scorpio. Quality King Distributors, Inc. v. L'anza Research International
(L'anza) juga secara implisit menerapkan Prinsip National Exhaustion.
MahkamahAgung AS dalam perkara L'anza ini menyatakan bahwa prinsip
Exhaustion dalam, s.109(a) UU Hak Cipta AS tidak berlaku untuk "any
copy" tetapi hanya berlaku untuk suatu copy karya yang "lawfully made
156 Section 602(a) menyatakan: "Importation into the United States without the authority
of the owner of the copyright under this title of copies or phonorecords of a work
that have been acquired outside the United States is an infringement of the exclusive
right to distribute copies or phonorecords under section 106, actionable under section
501."
157 S. 109(a) menyatakan: "Notwithstanding the provision of section 106(3), the owner
of a particular copy or phonorecord lawfully made under this title, or any person
authorised by such owner, is entitled, without the authority of the copyright owner, to
sell or otherwise dispose of the possession of that copy or phonorecord."
158 569 F. Supp. 47, him. 49.
159 Beberapa perkara hak cipta telah mengikuti alasan dalam perkara Scorpio. For
example: Hearst Corporation v. Stark 639 F. Supp., 970 (N.D. Cal. 1986); T.B. Harms
Company v. JEM Records, Inc., 655 F. Supp. 1575 (D.N.J. 1987); BMG Music v.
Perez, 952 F. 2d 318 (9th Cir. 1991), cert. Denied, 112 S. Ct. 2997 (192); and Parfums
Givenchy v. Drup Emporium, Inc., No. CV-92-4206 MRP, 1992 U.S. Dist. LEXIS
18328 (C.D. Cal. Nov. 23, 1992).
160 952 F. 2d 318 (9th Cir. 1991), cert. Denied, 112 S. Ct. 2997 (1992). Dalam perkara ini,
BMG mempunyai hak cipta atas rekaman suara. BMG telah melisensikan pembuatan
dan penjualan rekaman suaranya di banyak negara. Perez membeli produk rekaman
suara tersebut di Filipina dan mengimpornya ke AS. Perkara ini masuk ke pengadilan
Ninth Circuit.
I 49
under this title".161 Jadi, larangan impor yang tercantum dalam s.602(a)162
berlaku bagi copy karya yang tidak secara sah dibuat menurut UU Hak
Cipta AS seperti yang secara sah dibuat di luar negeri menurut hukum
negara luar.163 Pernyataan ini menunjukkan bahwa, menurut Pengadilan,
tempat pembuatan copy karya hams di AS agar prinsip Exhaustion menurut
s.109(a) berlaku. Penafsiran ini diperkuat oleh pengadilan dalam perkara
Omega, S.A v. Costco Wholesale Corp16415aa dimana Pengadilan Banding
AS untuk Ninth Circuit, dengan menunjuk perkara L'anza, memutuskan
bahwa pemilik hak cipta mempunyai hak untuk mencegah impor paralel
copy karya yang dibuat dan dijual pertama kali di luar AS.165158h
Perhatian kepada perlindungan kepentingan ekonomi pemilik hak
cipta merupakan rasio dari penerapan Prinsip National Exhaustion di
AS. Dalam perkara Scorpio,166 misalnya, pengadilan menyatakan bahwa
perlindungan hukum hak cipta AS tidak berlaku secara ekstraterritorial.167
Akibatnya, prinsip Exhaustion dalam s.109(a) tidak dapat digunakan
oleh pemilik copy karya yang dibuat dan dijual di luar wilayah AS. Hal
demikian ini terlepas dari apakah pemilik hak cipta AS telah menerima
royalti dari penjualan di luar negeri atau tidak. Dengan kata lain, walaupun
pemilik hak cipta telah menerima royalti, pemilik hak cipta masih berhak
melarang importasi copy karya tersebut ke AS. Dengan pernyataan tersebut,
pengadilan sebenarnya telah memberikan pemilik hak cipta AS kesempatan
161 Ibid. hlm. 147.
162 Section 602(a) menyatakan: "Importation into the United States without the authority
of the owner of the copyright under this title of copies or phonorecords of a work
that have been acquired outside the United States is an infringement of the exclusive
right to distribute copies or phonorecords under section 106, actionable under section
501."
163 Ibid. hlm. 147.
164· 541 F.3d 982 (9th Cir. 2008).
165· Untuk pembahasan argumen yang menyanggah rasio yang diberikan dalam perkara
tersebut, lihat Brooks S., "Battling Gray Markets Through Copyright Law: Omega,
S.A. v. Costco Wholesale Corporation" (2010) B.Y.U.L. Rev. 19. Lihatjuga pembahasan
tentang kasus ini dalam Diepiriye A. Anga, "Intellectual Property Without Borders?
The Effect of Copyright Exhaustion on Global Commerce," (2014)10 B.Y.U. Int'/ L.
& Mgmt. Rev. 53.
166 569 F. Supp. 47 (ED Pa. 1983).
167 Pengadilan ini menyatakan: "The protection afforded by the United States Code does
not extend beyond the borders of this country...": ibid. hlm. 49.
50
untuk memperoleh royalti dua kali ("double royalties"), yakni royalti dari
penjualan di luar negeri dan royalty yang bisa dikenakan untuk importasi
copy karya tersebut keAS. Jadi, putusan pengadilan dalam perkara Scorpio
menyiratkan adanya perhatian kepada perlindungan kepentingan ekonomi
pemilik hak ciptaAS.168
Perhatian tersebut di atas juga dinyatakan secara jelas dalam perkara
Parfums Givenchy, Inc. v. Drug Emporium.169 Pengadilan dalam perkara
ini memutuskan hal yang sama dengan putusan dalam Scorpio. Lebih
dari itu, pengadilan menambahkan bahwa mencegah pemilik hak cipta
AS untuk bisa melarang importasi copy karya yang secara sah dibuat
dan dijual di luar AS berarti "to deprive the U.S. copyright holders of the
power to authorise or prevent imports of the copies once the copies are
sold abroad".170 Menurut pengadilan, hal ini berarti akan menghilangkan
kesempatan bagi pemilik hak cipta untuk memperoleh "full value of
each copy" yang dijual dalam wilayah AS.171 Sayangnya, pengadilan
gagal menjelaskan arti "full value". Menurut Penulis, maksud pengadilan
adalah bahwa memperbolehkan copy karya asing untuk bersaing dengan
copy karya lokal akan menghilangkan kemampuan bagi pemilik hak
cipta AS untuk menentukan atau mempertahankan harga di pasar AS.
Jadi, terlepas dari faktor-faktor yang lain, pemyataan pengadilan tersebut
168 Perhatian pengadilan dalam perkara Scorpio terhadap kepentingan ekonomi pemilik
hak dapat juga disimpulkan dari pemyataannya bahwa membolehkan importasi tanpa
izin akan menjadikan pemilik hak tidak bisa mengontrol copy karya yang masuk
pasar AS yang bersaing dengan copy yang secara hukum dibuat dan didistribusikan
menurut hukum hak cipta AS: ibid.
169 38 F. 3d 477 (9th Cir. 1994), cert. Denied 115 S. Ct. 1315 (1995). Dalam perkara
ini, Givenchy France memproduksi parfum dalam kotak-kotak yang mencantumkan
desain-desain hak cipta. Givenchy telah menjual haknya di AS kepada penggugat,
anak perusahaan yang mayoritas sahamnya dia miliki, yang kemudian menggugatnya
karena Givenchy telah melakukan importasti tanpa izin produk parfum dalam kotak
kotak tersebut yang mencantumkan desain-desain yang secara hukum dibuat dan
dijual di luar AS.
170 Ibid. hlm. 481.
171 Pengadilan ini menyatakan: "Section 602(a) in effect gives 106(3) extraterritorial
scope and ensures that a U.S. copyright owner will gain the full value of each copy
sold in the United States, by preventing the unauthorized importation of copies
sold abroad from being used as a means of circumventing the copyright owners
distribution rights in the United States": ibid.
I s1
memungkinkan pem.ilik hak cipta untuk menetapkan harga pada tingkat
yang bisa merugikan konsumen di AS. Namun, dengan keluarnya putusan
Mahkamah Agung AS dalam perkara Kirtsaeng v. John Wiley & Sons,
Inc,172 maka hukum hak cipta AS telah beralih ke Prinsip International
Exhaustion. Pengadilan ini menyatakan bahwa selama suatu karya dibuat
secara sah walaupun di luar AS dan sudah dijual pertama kali walaupun di
luar AS, maka prinsip fi.rst sale atau exhaustion berlaku.
Di bidang paten, keputusan Pengadilan Tinggi Federal Circuit AS
dalam perkara Jazz Photo Corp. v. International Trade Commission173
menerapkan prinsip National Exhaustion. Dalam perkara Jazz Photo,174
Fuji Photo Film Co. mem.iliki beberapa paten untuk beberapa invensi
dalam kamera sekali pakai (single-use).175 Kamera itu dijual di AS dan
dijual di luar negeri oleh pemegang lisensi Fuji. Fuji ingin bahwa camera
tersebut tidak digunakan lagi. Namun, ada sebuah perusahaan di Cina yang
melakukan refurbish sejumlah besar kamera tersebut yang dijual di Cina
untuk digunakan lagi. Tergugat memperoleh kamera yang di-refurbish
tersebut dan mengimpornya ke AS untuk dijual. Walaupun Pengadilan
Federal Circuit menyatakan bahwa tindakan refurbish oleh perusahaan
Cina merupakan tindakan reparasi yang diperbolehkan, namun Pengadilan
memutuskan bahwa tergugat tidak dapat mengimpornya di AS. Pengadilan
menyatakan:
United States patent rights are not exhausted by products of foreign
provenance. To invoke the protection of the fi.rst sale doctrine, the
authorized fi.rst sale must have occurred under the United States patent
... Our decision applies only to [cameras] for which the United States
patent right has been exhausted by fi.rst sale in the United States.176
172. 133 S.ct. 1351 (2013).
173 264 F. 3d 1094 (Fed. Cir. 2001), cert. denied, 122 S. Ct 2644 (2002).
174 264 F. 3d 1094, 1105 (Fed. Cir. 2001).
175. Kamera tersebut juga dikenal dengan nama "lens-fitted film packages". Lihat 264 F.
3d 1094 (Fed. Cir. 2001).
176. 264 F. 3d 1094, 1105 (Fed. Cir. 2001).
s2 I
Jelas bahwa Pengadilan dalam perkara Jazz Photo177 menerapkan
prinsip National Exhaustion. Sayangnya, Pengadilan dalam perkara ini
tidak menjelaskan alasannya. Dalam perkara impor paralel barang paten
lainnya, yakni, Univis Lens178 pengadilan mensyaratkan bahwa pemilik
paten harus telah menerima kompensasi dari patennya sebelum haknya
habis (exhausted). Dalam perkara Jazz Photo,179 tidak ada bukti bahwa
pemilik paten yakni Fuji Photo Film Co tidak menerima pembayaran dari
penjualan pertama barang patennya di luar negeri. Jadi, sebenarnya, telah
terpenuhi syarat bahwa hak Fuji sudah habis setelah penjualan barang
patennya di Cina. Namun, hakim tidak menyatakan bahwa hak Fuji telah
habis. Hal ini berarti Pengadilan dalam Jazz Photo telah memberikan
pemilik paten hak control terhadap arus barang patennya walaupun pemilik
paten telah menerima kompensasi dari penjualan barang patennya di luar
negeri. Ini berarti bahwa, seperti putusan dalam perkara impor paralel hak
cipta Scorpio,180 putusan daalam Jazz Photo181 telah memberikan pemilik
paten kesempatan untuk memperoleh royalti dua kali (double royalties). Ini
membuktikan adanya keinginan Pengadilan untuk melindungi kepentingan
ekonomi pemilik paten AS.
b. Prinsip International Exhaustion
Prinsip International Exhaustion berarti bahwa HK.I tidak memberikan
kepada pemiliknya hak untuk mengontrol penanganan (dealing) selanjutnya
atas produk HKI-nya setelah produk tersebut dijual di pasar dimana saja di
dunia oleh pemilik HK.I atau atas persetujuannya.182 Misalnya, apabila A
mempunyai HKI untuk suatu produk di negara B, C, D, dan E, penjualan
pertama dari produk tersebut di negara B menghabiskan hak Pemilik HKI
di semua negara tersebut. Tidak penting apakah penjualan pertama terjadi
177. 264 F. 3d 1094 (Fed. Cir. 2001).
178. 316 U.S. 241 (1942).
179. 264 F. 3d 1094, 1105 (Fed. Cir. 2001).
180. 569 F. Supp. 47 (ED Pa. 1983).
181. 264 F. 3d 1094, 1105 (Fed. Cir. 2001).
182. Lihat Egli P., dan Kokott J., "Sebago Inc. and Ancienne Maison Dunois & Fils SA v.
GB-Unic SA, Case C-173/98, Court of Justice of the European Communities, 1 Juli,
1999" (2000) 94 A.J.I.L. 386.
I 53
di negara B, C, D, atau E; penjualan pertama di salah satu negara tersebut
menghabiskan hak kontrol di negara-negara yang lain.
Di bidang hak cipta, putusan Mahkamah Agung AS pada tanggal
29 Maret 2013 dalam perkara Kirtsaeng v. John Wiley & Sons, Inc,183
menerapkan Prinsip International Exhaustion. Dalam Kirtsaeng,
pengadilan ini memutuskan bahwa geogra:fi tidak membatasi dianggapnya
suatu karya dibuat secara sah menurut hukum hak ciptaAS (lawfully made
under this title). Selama suatu karya dibuat secara sah walaupun di luarAS
dan sudah dijual pertama kali walaupun di luar AS, maka prinsip first sale
atau exhaustion berlaku. Dengan putusan ini, nampak ada pergeseran posisi
hukum hak ciptaAS terhadap impor paralel dari yang sebelumnya menganut
prinsip National Exhaustion ke prinsip Internastional Exhaustion. Namun,
bertahannya posisi barn ini disangsikan akan berlangsung lama karena
Mahkamah Agung dalam perkara ini hanya menekankan pada interpretasi
undang-undang (statutory interpretation) yang menyatakan bahwa
Kongress AS tidak menginginkan istilah "lawfully made under this title"
pada S. 106(3) UUHCAS 1976 membedakan antara copy karya yang dibuat
di AS dan yang dibuat di luar AS. Bahkan pernah dikhawatirkan bahwa
penerapan prinsip International Exhaustion di bidang hak cipta diAS akan
membuat AS tidak konsisten dengan komitmennya dalam Trans Pacific
Partnership Agreement (TPP) dan kesepakatan-kesepakatan perdagangan
bebas lain seperti U.S.-Jordan Free Trade Agreement dan U.S.-Morocco
Free Trade Agreeement yang memberikan hak kepada pemegang hak
cipta untuk melarang impor paralel.184 Namun, berkaitan dengan TPP,
kekhawatiran tersebut tidak ada lagi karena TPP, yang disepakati pada
tanggal 4 Februari 2016 di Auckland Selandia barn, akhirnya netral
terhadap impor paralel.185
Berkaitan dengan impor paralel barang merek, pendekatan AS
memberikan contoh penerapan prinsip International Exhaustion. Namun,
183. 133 S.ct. 1351 (2013).
184. Mary LaFrance, "Using Incidental Copyrights to Block Parallel Imports: A
Comparative Perspective," (2013) 25 I.P.J. 149, hlm. 159 dan 160.
185. Pasal 18.11 TPP menyatakan: "Nothing in this Agreement prevents a Party from
determining whether or under what conditions the exhaustion of intellectual property
rights applies under its legal system."
54
AS membatasi penggunaan prinsip ini untuk beberapa situasi. Dengan kata
lain, AS menerapkan prinsip International Exhaustion secara terbatas.
Pertama, prinsip ini berlaku apabila pengguna merek AS tidak
mempunyai goodwill yang independen dari goodwill pemilik merek di luar
negeri. Ini merupakan putusan Mahkamah Agung AS dalam perkara A
Bourjois & Co. v. Katzel,186 yang membatalkan putusan Second Circuit's
dalam perkara yang sama.
Second Circuit dalam perkara Katzel187 menerapkan prinsip
International Exhaustion. Perusahaan Perancis, A Bourjois & Cie. dan E.
Wertheimer & Cie memproduksi bedak wajah merek "Java" dan "Bourjois"
di Perancis dan menjualnya di AS. Pada tahun 1913, kedua perusahaan
Perancis tersebut menjual perusahaannya di AS bersama dengan goodwill
nya dan kedua merek terdaftarnya kepada penggugat yakni A. Bourjois &
Co., Inc., perusahaan di New York.188 Penggugat membeli dan mengimpor
bedak wajah tersebut dari Perancis, kemudian menjualnya dalam kemasan
kotak. Penggugat telah mengeluarkan banyak uang untuk periklanan
sehingga bisnis ini berkembang secara pesat dan publik mengetahui
bahwa produk tersebut berasal dari penggugat. Tanpa ijin penggugat,
Anna Katzel mengimpor produk asli yang sama dari Perancis ke AS.189
Berpedoman kepada 3 (tiga) perkara sebelumnya,190 Pengadilan Second
Circuit memutuskan bahwa tergugat, Anna Katzel, mempunyai hak untuk
mengimpor produk tersebut dan menjual di AS dengan merek yang sama
karena merek secara nyata menunjukkan asal muasal barang tersebut.191
186. 260 U.S. 689 (1923).
187. A. Bourjois & Co.v.Katzel, 275 F.539 (2d Cir. 1921).
188. Ibid. hlm.539.
189. Ibid. hlm.540.
190. LihatApollinaris Co.Ltd., v.Scherer, 27 F.18 ( C.C.S.D.N.Y.1886); Russian Cement
Co.v.Frauenhar, 133 F. 518 (2d Cir.1904); Gretsch v.Schoening, 238 F.780 (2d Cir.
1916).Tiga perkara ini memutuskan bahwa pemilik merek AS tidak dapat mencegah
impor paralel barang bermerek sama yang asli yang diproduksi di luar negeri karena
fungsi utama merek adalah untuk menunjukkan asal barang.
191. Pengadilan ini menyatakan: "Trade-marks... are intended to show without any time
limit the origin of the goods they mark, so that the owner and the public may be
protected against the sale of one mans goods as the goods of another man. If the
goods sold are the genuine goods covered by the trade-mark, the rights of the owner
of the trade-mark are not infringed": 275 F. 539 , 543.
I 55
Putusan Pengadilan Second Circuit menerapkan prinsip International
Exhaustion karena penjualan di Perancis menghabiskan hak pemilik merek
di AS. Putusan ini sangat luas, karena, sebagaimana tersebut di atas, merek
di AS telah dijual kepada Penggugat, dan, pemilik merek di AS, yakni
Penggugat, sepenuhnya independen dari pemilik merek di Perancis.192
Putusan Pengadilan Second Circuit itu kemudian dibatalkan oleh
Putusan Mahkamah Agung dalam perkara yang sama.193 Mahkamah
Agung memutuskan bahwa putusan Pengadilan Second Circuit adalah
salah karena pemilik merek asing, perusahaan di Perancis, tidak lagi
mempunyai merek di AS; 194 dia sudah menjual mereknya kepada pihak
lain di AS. Putusan Mahkamah Agung ini tidak menegasikan kemungkinan
bahwa prinsip International Exhaustion bisa berlaku pada situasi-situasi
yang lain. Dengan kata lain, putusan Mahkamah Agung ini hanya berakibat
adanya pembatasan penerapan prinsip ini di AS.
Kedua, prinsip International Exhaustion berlaku ketika baik merek di
AS maupun di luar AS dimiliki oleh orang yang sama atau pemilik merek
di AS dan pemilik merek di luar AS saling terkait. Hal ini disebutkan dalam
Customs Service Regulation 133.21 (1972). Dalam rangka melaksanakan
s.526195 dari TariffAct, Customs Service mengeluarkan peraturan tersebut
yang melarang importasi tidak sah dari barang-barang merek yang
diproduksi di luar AS, tetapi dengan 2 (dua) pengecualian, salah satunya
192. Lihat Weil Ceramics and Glass, Inc. v. Dash, 878 F. 2d 659, 666 (3d Cir. 1989)
(menyatakan bahwa perkara Katzel melibatkan situasi yang khusus, yakni: pemilik
merek AS independen dari produsen di luar negeri, telah memperoleh hak atas merek
dari produsen tersebut berdasarkan perjanjian, melakukan kontrol atas kualitas produk
di AS, tetapi tidak bisa mengontrol atas produk yang dijual di luar negeri).
193. A Bourjois & Co. Inc. v. Katzel, 260 U.S. 689 (1923).
194. Mahkamah Agung ini menyatakan: "It is said the trademark here is that of the French
house and truly indicates the origin of the goods. But that is not accurate. It is the
trademark of the plaintiff only in the U.S. and indicates in law, and, it is found, by
public understanding, that the goods come from the plaintiffalthough not made by it'':
ibid., hlm. 692.
195. Bagian dari Section ini menyatakan: "It shall be unlawful to import into the United
States any merchandise of foreign manufacture if such merchandise.....bears
a trademark owned by a citizen of, or by a corporation or association created or
organized within, the United States, and registered in the Patent and Trademark
Office by a person domiciled in the United States... unless written consent of the
owner of such trademark is produced at the time of making entry."
56
adalah pengecualian "common control". Pengecualian ini mempunyai arti
bahwa impor paralel dibolehkan apabila baik merek di AS dan merek di
luar AS dimiliki oleh orang atau perusahaan yang sama, atau pemilik merek
di AS dan pemilik merek di luar AS adalah induk dan anak perusahaan atau
mereka tunduk kepada kepemilikan atau kontrol bersama."196
Pengaturan prinsip international exhaustion dalam Peraturan Bea
Cukai AS dalam situasi yang khusus tersebut kemudian dikuatkan dalam
perkara K Mart Corp. v. Cartier, lnc.197 dalam perkara ini, Mahkamah
Agung AS menyatakan bahwa pengecualian "common control" adalah
tepat.
Analisa tersebut di atas menunjukkan bahwa penerapan prinsip
international exhaustion di AS untuk merek telah dibatasi. Bahkan lebih
dibatasi oleh beberapa perkara sesudahnya dengan konsep "materially
different''. Intinya, perkara-perkara itu memutuskan bahwa pemilik merek
dapat melarang impor paralel barang-barang merek yang "berbeda secara
material" dengan barang-barang merek yang dijual secara sah di AS.198
Alasan pengadilan dalam perkara-perkara tersebut adalah bahwa perbedaan
produk dapat menyebabkan kebingunan kepada konsumen mengenai asal
atau sumber produk dan, akibatnya, dapat merugikan goodwill pemilik
196. 19 CFR s. 133.2(d) dikutip dalam Chisum D.S. dan Jacobs M.A., Understanding
Intellectual Property Law, Matthew Bender & Co, New York, 1992, him. 5--268.
197. 486 U.S. 281 (1988).
198. Lihat Ferrero U.SA., Inc. v. Ozak Trading, Inc., 753 F. Supp. 1240, 1244 (D.N.J.),
aff'd, 19 U.S.P.Q. 2d (BNA) 1468 (3d Cir. 1991), rev'd on other grounds, 953 F.
2d 44 (3d Cir 1991) (impor paralel permen TIC TAC dinyatakan merupakan
pelanggaran merek karena permen tersebut secara material berbeda dengan permen
TIC TAC yang dijual oleh distributor yang sah, karena, antara lain, label permen yang
diimpor tersebut tidak mencantumkan informasi nutrisi; menggunakan bahasa Inggris
British dan mengandung 2 kalori sedangkan produk dari distributor yang sah hanya
mengadung 1,5 kalori); Societe des Products Nestle, SA. V. Casa Helvetia, Inc., 982
F. 2d 633, 642-643 (1" Cir. 1992) (impor paralel cokelat dilarang karena produk yang
diimpor berbeda secara material dengan produk yang dijual oleh penggugat: 5% lebih
banyak mengandung lemak susu, terbuat dari sirup gula, bukan gula kristal); Helene
Curtis, Inc. v. National Wholesale Liquidators, Inc., 890 F. Supp. 152, 159 (E.D.N.Y.
1995) (barang impor paralel dilarang karena mereka mengandung bahan yang tidak
memenuhi syarat-syarat kesehatan negara bagian New York dan California); Grupo
Gamesa SA. De C.V. v. Dulceria El Molino, Inc., 39 U.S.P.Q.2d (BNA) 1531 (C.D.
Cal. 1996) (impor paralel kue dan biskuit dinyatakan illegal karena mereka sangat
berbeda dengan kue dan biskuit yang dijual oleh distributor yang sah).
I 57
merek. Hal penting yang perlu dicatat dalam hal ini adalah bahwa tidak
ada aturan yang konsisten tentang standar "materiality" dari perbedaan
produk sehingga impor parallel dapat dilarang. Akibatnya, pengadilan
dapat menggunakan konsep "perbedaan yang material" ("materially
different'') secara luas sehingga beberapa impor parallel dapat dengan
mudah dilarang.199 Hal ini berarti bahwa konsep "perbedaan yang material"
("materially different'') dapat dengan mudah digunakan untuk menghindari
penerapan prinsip international exhaustion.
Berkaitan dengan impor paralel barang-barang paten, sebelum
perkara Jazz Photo Corp. v. International Trade Commission,200 beberapa
pengadilan AS telah mengadopsi prinsip international exhaustion yang
terbatas. Sebelum perkara Jazz Photo,201 prinsip international exhaustion
berlaku pada situasi-situasi tertentu. Pertama, prinsip ini berlaku apabila
penjualan pertama (first sale) tidak bersyarat (unconditional). Ini
dinyatakan, misalnya, dalam perkara Holiday v. Mattheson.202 Penggugat
mempunyai paten di AS dan menjual produk patennya di Inggris.
Tergugat membeli barang di Inggris dan membawanya ke AS. Pengadilan
memutuskan bahwa penjualan di Inggris telah menghabiskan hak paten
penggugat di seluruh dunia. Pengadilan menyatakan:
When the owner sells an article without any reservation respecting
its use, or the title which is to pass, the purchaser acquires the whole
right ofthe vendor in the thing sold: the right to use it, to repair it, and
to sell it to others;...The presumption arising from such a sale is that
the vendor intends to part with all his rights in the thing sold, and that
199. Lihat, misalnya, Martin '.s Herend Imports, Inc. v. Diamond & Gem Trading USA, Co.,
112 F. 3d 1296, 1302 (5th Cir. 1997) cfunana pengadilan menyatakan bahwa perbedaan
pada bentuk, pola, dan warna antara area yang diimpor seeara paralel dan area yang
sah adalah material karena "consumer choices for such artistic pieces are necessarily
subjective or even fanciful, depending on each consumer'.s personal artistic tastes".
Pengadilan di dalam perkara ini juga menyatakan bahwa apakah barang impor paralel
dan barang yang sah adalah sama kelas dan kualitasnya atau tidak adalah tidak
relevan. Dalam perkara ini, jelas bahwa pengadilan memberikan prioritas kepada
perlindungan goodwill pemilik merek.
200. 264 F. 3d 1094 (Fed. Cir. 2001), cert. denied, 122 S. Ct 2644 (2002).
201. Ibid.
202. 24 F. 185 (S.D.N.Y. 1885).
ss I
the purchaser is to acquire an unqualified property in it. (Emphasis
added).203
Pengadilan menyatakan suatu prinsip penting dalam perkara ini, yakni
anggapan keinginan pemilik paten untuk melepaskan seluruh haknya
ketika menjual barang patennya dan bahwa pembeli memperoleh hak milik
atas barang tersebut. Namun, jelas bahwa anggapan pengadilan hanya
berlaku apabila penjualan oleh pemilik adalah tanpa syarat (without any
reservation).204
Kedua, sebelum perkara Jazz Photo, prinsip international exhaustion
hanya berlaku apabila penjual barang paten di luar AS mempunyai hak
untuk menjual barang tersebut di AS. Hal ini dinyatakan dalam perkara
Sanofi, S.A. v. Med. Tech Veterinarian.205 Menurut pengadilan dalam
perkara Sanofi, prinsip exhaustion berlaku apabila penjual di luar AS
mempunyai wewenang kontraktual untuk menjual di AS.206 Selanjutnya,
Sanofi memutuskan bahwa ketika pemilik paten memberikan lisensi
eksklusif kepada seseorang untuk menjual produknya di AS, penjual
produk yang sama di luar AS kehilangan wewenang untuk menjual produk
tersebut di AS.207 Akibatnya, penerima lisensi eksklusif tersebut dapat
melarang impor barang tersebut oleh pihak ketiga dari luar negeri ke
dalam pasar AS. Pengadilan beralasan bahwa memperbolehkan importasi
203 Ibid.
204 Putusan dalam perkara Holiday diikuti hakim dalam perkara Curtiss Aeroplane
& Motor Corp. v. United Aircra# Engineering Corp, 266 F. 71 (2d Cir. 1920).
Menyandarkan pada putusan dalam Holiday, pengadilan Second Circuit menyatakan:
"If the vendors patent monopoly consists of foreign and domestic patents, the sale
frees the article from the monopoly of both his foreign and his domestic patents,
and where there is no restriction in the contract of sale the purchaser acquired the
complete title and full right to use and sell the article in any and every country."
(Tekanan oleh Penulis). Lihat Curtiss, ibid. hlm. 78.
205 565 F. Supp. 931 (D. N. J. 1983). Dalam perkara ini, Sanofi memiliki paten AS
untuk obat acerpromazine maleate, yang dibolehkan hanya untuk digunakan pada
kedokteran hewan di AS. Sanofi memberikan lisensi eksklusif kepada American
Home untuk menjual produk tersebut di AS. Sanofi juga menjual produk tersebut di
Eropa yang oleh tergugat kemudian dibeli dan diimpor ke AS. Sanofi dan American
Home kemudian menggugat.
206 565 F. Supp. 931, 940 (D. N. J. 1983)
207 565 F. Supp. 931, hlm. 940 - 941.
I 59
berarti menakut-nakuti pengalihan dan pemberian lisensi hak-hak paten
karena hak-hak tersebut menjadi kurang berharga dan lebih rentan akan
halangan dengan transaksi-transaksi yang dibuat di luar AS oleh pemilik
paten yang sebelumnya telah mengalihkan hak patennya.208
Rasio penerapan prinsip international exhaustion yang terbatas di
AS adalah sama dengan rasio penerapan prinsip national exhaustion
sebagaimana dibahas di atas, yakni untuk melindungi kepentingan
ekonomi pemilik HKI negaraAS. Ini sesuai dengan posisi negara ini dalam
arena internasional yang menentang prinsip international exhaustion.
Untuk melindungi kepentingan pemilik HKI negara AS selama negosiasi
Perjanjian TRIPs, AS menentang prinsip international exhaustion.209
Demikian juga, pada W.l.P.O Diplomatic Conference on Certain Copyright
and Neighbouring Rights Questions pada tahun 1996, AS mengusulkan
agar prinsip national exhaustion atau regional exhaustion dimasukkan
dalam Berne Protocol.210 Untuk melindungi kepentingan pemilik HKI-nya,
AS juga memberikan reaksi negatif terhadap legislasi Australia dan New
Zealand yang membolehkan impor paralel.211 Namun, di dalam negeriAS
sendiri, di bidang hak cipta, dengan keluarnya putusan MahkamahAgung
AS dalam perkara Kirtsaeng v. John Wiley & Sons, lnc,212 pada Maret
2013 tersebut di atas, yang menerapkan prinsip Internastional Exhaustion,
pengadilan mulai lebih memperhatikan kepentingan konsumen dari
208 Ibid. hlm. 941. Putusan dalam Sanofi. diikuti oleh PCI Parfums ET Cosmetiques
International and Campbell & Thiselton (USA) Ltd., v. Perfurmania, Inc., 1995 U.S.
Dist. LEXIS 3462.
209 Chiappetta V., "The Desirability of Agreeing to Disagree: The WTO, TRIPs,
International IP Exhaustion and a Few Other Things," (2000) 21 Mich. J. Int'l L. 333,
hlm. 351.
210 Donnelly D.E., Op.Cit., hlm. 498. Namun, proposal ini kemudian ditolak oleh sebuah
koalisi yang dipirnpin oleh delegasi Australia, Kanada dan Selandia Baru dan tidak
muncul dalam dra� fi.nal treaty tersebut. Ibid.
211 Pada tahun 1999, the United States Trade Representative (USTR) menempatkan
Australia dan Selandia Baru pada Special 301 watch list karena dua negara tersebut
telah mengendorkan larangan irnpor paralel produk hak cipta. USTR, "USTR
Announces Results of Special 301 Annual Review," http://www.usconsulate.org.hk/
uscn/trade/ipr/1999/0430.htrn, hlm. 12 dan 16.
212. 133 S.ct. 1351 (2013).
60 I
pada kepentingan ekonom.i pem.ilik hak cipta.213 Walaupun dem.ikian,
dengan putusan tersebut belum tentu sikap AS terhadap penerapan
prinsip International Exhaustion secara intemasional akan berubah dari
menentang menjadi mendukung. Hal ini terbukti dengan adanya usaha AS
untuk memasukkan klausula khusus dalam TPP yang memberikan kepada
pemegang hak cipta hak untuk melarang impor paralel214 walaupun usaha
AS ini akhimya gagal karena TPP disepakati pada tanggal 4 Februari 2016
tanpa klausula tersebut.
c. Prinsip Regional Exhaustion
Menghadapi persoalan barang-barang impor paralel yang asalnya
dijual di luar European Economic Area (EEA),215 posisi Uni Eropa
merupakan contoh penggunaan prinsip regional exhaustion. Dalam hal
ini, European Court of Justice (ECJ) mengadopsi apa yang disebut dengan
the Community or European Economic Area - Wide Exhaustion Principle.
Arti dari prinsip ini adalah bahwa suatu penjualan yang sah (lawful sale)
di EEA menghabiskan HKI hanya di wilayah EEA dan hanya penjualan
yang sah (lawful sale) di dalam wilayah ini yang bisa menghabiskan HKI
213 Lihat pembahasan mengenai hal ini dalam Diepiriye A. Anga, "Intellectual Property
Without Borders? The Effect of Copyright Exhaustion on Global Commerce,"
(2014)10 B.Y.U. Int'l L. & Mgmt. Rev. 53, hlm. 59.
214 Dalam draft TPP sebelumnya, ada usulan Article 4.2 yang menyatakan: "Each
Party shall provide to authors, performers, and producers of phonograms the right
to authorize or prohibit the importation into that Party's territory of copies of the
work, performance, or phonogram made without authorization, or made outside that
Party's territory with the authorization of the author, performer, or producer of the
phonogram." Lihat Derechos Digitales, "Transpacific Partnership Agreement (TPPA)
Intellectual Property Chapter Concerns, Copyright, Parallel Imports and Exhaustion
of Distribution Rights," https://www.citizen.org/documents/fPP%20Derechos%20
C%20 Parallel%20Imports%20and%20Exhaustion.pdf, (diakses tanggal 14 Oktober
2016).
215 EEA meliputi the Community, Iceland, Liechtenstein and Norway. Lihat Silhouette
International Schmied Gesellschaft mbH & Co. KG v. Hartlauer Handelsgesellschaft
mbH, Case C-355/96, (1998) ECJ CELEX LEXIS 5211, para 2.
I 61
di wilayah ini.216• 217 Akibatnya, pemilik HKI bisa mencegah impor paralel
barang-barang yang pertama kali dijual di luar EEA.
Silhouette International Schmied Gesellschaft mbH & Co. KG v.
Hartlauer Handelsgesellschaft mbH218 menggambarkan bagaimana prinsip
regional exhaustion berlaku. Dalam perkara ini, Silhouette International
memproduksi kaca mata dengan merek "Silhouette" yang terdaftar di
Austria dan negara-negara lain. Silhouette menjual produknya yang
model lama (outdated model) kepada Union Trading, sebuah perusahaan
Bulgaria, dengan instruksi bahwa produk-produk tersebut dijual hanya
di Bulgaria (negara bukan anggota EEA) atau negara-negara bekas Uni
Soviet dan tidak dijual di negara-negara lain. Namun, Hartlauer membeli
produk tersebut dari Bulgaria dan kemudian mengimpornya ke Austria.
Silhouette menyatakan Hartlauer telah melanggar mereknya.219
Intinya, ECJ menyatakan bahwa prinsip exhaustion yang tercantum
dalam Pasal 7(1)220 dari First Council Directive 89/104/EEC of21 Desember
1988 hanya berlaku pada barang-barang yang pertama kali dijual di dalam
wilayah EEA ("put on the market in the Community"); tidak berlaku pada
barang-barang yang sebelumnya dijual di luar EEA.221 Jadi, Silhouette bisa
mencegah impor paralel barang-barang mereknya yang dijual di Bulgaria.
216 Lihat pendapat Advocate General F.G. Jacobs in Silhouette International Schmied
Gesellscha� mbH & Co. KG v. Hartlauer Handelsgesellscha� mbH, Case C-355/96,
1998 ECJ CELEX LEXIS 5211, paras 30 dan 33.
217 Untuk pembaliasan lebih lanjut tentang prinsip exhaustion di Uni Eropa, lihat
Alexander, W., "Exhaustion of Intellectual Property Rights: Worldwide or Community
(EEA)-wide?" dalam J.J.C. Kabel and G.J.H.M. (eds), Intellectual Property and
Information Law: Essays in Honour of Herman Cohen Jehoram, Kluwer Law
International, Boston, 1998; Ammann J.M., "Intellectual Property Rights and Parallel
Imports" (1999) 26 Legal Issues of Economic Integration 91, hlm. 97-112.
218 Case C-355/96, 1998 ECJ CELEX LEXIS 6660.
219 Ibid. para 6-10.
220 Pasal 7(1) First Council Directive 89/104/EEC, 21 Desember 1988 menyatakan: "The
trade mark shall not entitle the proprietor to prohibit its use in relation to goods which
have been put on the market in the Community under that trade mark by the proprietor
or with his consent."
221. ECJ menyatakan: "[N]ational rules providing for exhaustion of trade-mark rights in
respect of products put on the market outside the EEA under that mark . . . are contrary
to Article 7(1)of the Directive." Lihat 1998 ECJ CELEX LEXIS 6660, para 18.
62
ECJ menyatakan bahwa bunyi Pasal 7(1) dari Directive tersebut
menyatakan bahwa habisnya HKI hanya terjadi apabila produk-produk
sebelumnya telah dijual dalam wilayah EEA ("put on the market in the
Community").222 Untuk memperkuat pernyataannya, ECJ menyatakan
bahwa Pasal 7(1) mengandung tujuan harmonisasi. ECJ selanjutnya
menyatakan bahwa situasi dimana beberapa negara anggota EEA dapat
mengadopsi prinsip international exhaustion sedangkan negara-negara
anggota yang lain mengadopsi prinsip community-wide exhaustion akan
menyebabkan "barriers to the free movement of goods and the freedom
to provide services". Menurut ECJ, Directive tersebut bertujuan untuk
menghilangkan dampat negatif ini dengan cara mengharmonisasikan
prinsip exhaustion dalam EEA.223 Dengan kata lain, ECJ memutuskan
bahwa Pasal 7(1) adalah suatu ketentuan untuk menyeragamkan prinsip
exhaustion yang berlaku dalam EEA, sehingga Pasal tersebut ditafsirkan
hanya membolehkan negara-negara anggota untuk menerapkan prinsip
community-wide exhaustion.224
Dalam perkembangannya, sampai setelah tahun 2009, syarat-syarat
prinsip exhaustion di EU didefinisikan secara lebih cermat melalui
interpretasi pengadilan-pengadilan EU. Misalnya, istilah "put on the market"
dalam Pasal 7(1) dari Directive ditafsirkan "dijual di pasar.m25 Artinya, jika
pemegang merek menyerahkan barang ke distributor secara gratis, maka
barang tersebut tidak dianggap telah dijual dan tidak memenuhi istilah "put
on the market." Akibatnya hak pemilik merek tidak habis sehingga bisa
melarang impor paralel. Syarat bahwa pemilik merek hams menyetujui
("with his consent") tindakan "put on the market" juga ditafsirkan. Apabila
222. 1998 ECJ CELEX LEXIS 6660, para 18.
223. Ibid. para 24 - 27.
224. Lihat pendapat Advocate General Jacobs yang menyatakan bahwa sejarah legislasi
Directive tersebut menguatkan kesimpulan tersebut: 1998 ECJ CELEX LEXIS
5211, para 32. Dia menyatakan: "The Commission's original proposal would have
imposed international exhaustion. The Commission subsequently changed its view,
and its amended proposal explicitly limited the exhaustion principle to goods which
had been put on the market in the community": ibid. Lihat juga Alexander, W dalam
J.J.C. Kabel and G.J.H.M, Op.Cit., him. 8 (membahas sejarah legislasi Pasal 7(1)
Directive).
225 CJEU judgment no. C-324/09 - L 'Oreal SA v eBay International AG, 12 July 2011.
I 63
penerima lisensi yang menjual barang merek telah melanggar perjanjian
lisensi, maka penjualan barang tersebut tidak dianggap telah disetujui
("with his consent'') oleh pemegang merek sehingga haknya belum habis.226
Juga, apabila, barang merek yang diimpor adalah barang asli yang telah
dirubah, dikeluarkan dari kemasannya, dikemas ulang, atau mereknya
dirubah, maka pemegang merek masih bisa melarang impor paralel.227
Rasio penggunaan prinsip EBA-wide exhaustion adalah juga untuk
melindungi kepentingan pemilik HKI di EEA. Rasio ini tersirat dalam
pendapat Advocate General dalam perkara Silhouette228 yang menyatakan
bahwa putusan-putusan ECJ bahwa fungsi merek sebagai tanda asal
barang (the badge of origin function) "was developed in the context of
the Community, not the world market".229 Pernyataan tersebut menyiratkan
bahwa fungsi utama merek di Eropa berkaitan dengan barang-barang yang
diimpor dari negara ketiga adalah sebagai tanda kontrol (badge ofcontrol).
Hal ini jelas memberikan pemilik merek Eropa perlindungan yang kuat
dari impor paralel barang-barang dari negara di luar Eropa. Karena pemilik
merek tidak bersaing dengan para pelaku impor paralel, perlindungan
ini memungkinkan pemilik merek untuk melakukan diskriminasi harga
dari barang-barang mereka yang sama antara yang dijual di negara EEA
dan yang dijual di negara luar EEA. Ini berarti pemilik merek dapat
mempertahankan harga tinggi di negara-negara EEA.
F. IMP OR PARALEL DITINJAU DARI HUKUM MEREK DI
INDONESIA
Pasal 83(1) UU Merek 2016230 memberikan pemegang merek hak
untuk menggugat orang lain yang tanpa persetujuannya menggunakan
226 CJEU judgment no. C-59/08 - Copad SA v. Christian Dior Couture SA, 23 April 2009.
227 Havel, Holasek & Partners s.r.o, "Parallel Imports in The EU Law," 27 Juli 2015, http://
www.lexology.com/library/detail.aspx?g= 71bc5df8-766d-483d-96f0-ba8be5c60dcl,
(diakses tanggal 15 Oktober 2016).
228 1998 ECJ CELEX LEXIS 5211.
229 1998 ECJ CELEX LEXIS 5211, para 49.
230 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016.
64 I
merek yang meniru mereknya. Namun, tidak pasti apakah impor paralel
termasuk dalam cakupan ketentuan tersebut. Pasal 83(1) menyatakan:
Pemilik Merek terdaftar dan/atau penerima Lisensi Merek
terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara
tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang
sejenis berupa: a. gugatan ganti rugi; dan/atau b. penghentian semua
perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan Merek tersebut.
Posisi pemegang merek ini diperkuat oleh Pasal 100. Pasal 100(1)
membebankan pidana penjara maksimal 5 (lima) tahun dan denda maksimal
Rp. 2000,000,000 (dua miliar rupiah) kepada orang yang dengan tanpa
hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya (sama persis)
dengan merek terdaftar milik orang untuk barang dan/atau jasa sejenis.
Pasal 100(2) membebankan pidana penjara maksimal 4 (empat) tahun dan
denda maksimal Rp. 2000,000,000 (dua miliar rupiah) kepada orang yang
dengan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya (mirip)
dengan merek terdaftar milik orang lain untuk barang dan/atau jasa sejenis.
Menurut ketiga pasal tersebut, pelanggaran hak atas merek terjadi
apabila seseorang menggunakan merek yang (a) sama pada pokoknya
(mirip) atau (b) sama pada keseluruhannya (sama persis) dengan merek
orang lain yang terdaftar. Contoh (a) adalah merek "Raja Kampak" yang
mirip dengan merek terdaftar "Kampak" untuk produk ban sepeda.231
Contoh yang lain adalah merek "Majestic" yang mirip dengan "Silver
Queen" untuk produk cokelat karena kedua produk bermerek tersebut
mempunyai kemasan yang mirip.232
231 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta No. 431/1971 G, 16 Nopember 1972 dikuatkan
oleh MahkamahAgung dalam putusannya No. 178K/SIP/1973, 7 Mei 1973, dikutip
dalam Gautama S., Hukum Merek Indonesia, PT CitraAditya Bakti, Bandung, 1989,
hlm. 89. Putusan ini didasarkan pada Pasal 10 Undang-Undang Merek No 21 tahun
1961 yang menyatakan bahwa pemegang merek dapat mengajukan permohonan ke
Pengadilan Negeri Jakarta untuk membatalkan pendaftaran suatu merek yang "pada
pokoknya" atau "pada keseluruhannya" sama dengan mereknya.
232. Putusan Mahkamah Agung No. 2482/PDT/1991, 14 Agustus 1995, dikutip dalam
Maulana I.B., Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia dari Masa ke Masa, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 130.
I 65
Berkaitan dengan penggunaan merek yang sama pada keseluruhannya
(sama persis) dengan merek yang lain, kasus yang pernah terjadi hanya
berhubungan dengan penggunaan merek pada barang-barang yang tidak
asli. Kasus-kasus tersebut kebanyakan berkaitan dengan penggunaan
merek yang sama persis dengan merek terkenal dan digunakan pada
barang-barang tidak asli (palsu).233 Misalnya, Mahkamah Agung Republik
Indonesia telah membatalkan pendaftaran merek "Guess",234 "Christian
Dior"235 dan "Caxtonm36 yang digunakan untuk barang-barang yang tidak
asli tanpa persetujuan dari pemegang merek-merek terkenal tersebut.237
Ketentuan Pasal 83(1) dan Pasal 100(1) UU Merek 2016 meniru Pasal
76(1) dan Pasal 90 UU Merek 2001, namun Pasal 83(1) dan Pasal 100(1)
UU Merek 2016 menghilangkan syarat "secara sengaja" yang diatur
dalam kedua pasal UU Merek 2001. Artinya, walaupun tanpa sengaja,
penggunaan merek tanpa ijin pemegang merek yang sah menurut UU
Merek 2016 dianggap merupakan pelanggaran merek.
Namun, menurut pendapat Penulis, impor paralel tidak dapat tercakup
dalam pengertian "menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada
233 Perkara-perkara lain berhubungan dengan penggunaan merek yang "secara
keseluruhan" sama dengan merek terkenal tetapi untuk barang yang tidak sejenis
dengan barang pemegang merek terkenal. Misalnya, Mahkamah Agung telah
membatalkan pendaftaran merek "SONY" untuk produk plastik, yang secara
keseluruhan sama dengan merek "SONY" untuk produk elektronik. Lihat putusan
MahkamahAgung No. 1489 K/PDT/1991, 22 Februari 1995, dikutip dalam Maulana
I.B, ibid., hlm. 81.
234 Putusan Mahkamah Agung No. 487 PK/PDT/1992, 30 Maret 1995, dikutip dalam
Maulana I.B, ibid., hlm. 164.
235 Putusan Mahkamah Agung No. 485 PK/PDT/1992, 20 September 1995, dikutip
dalam Maulana I.B, ibid.
236 Putusan Mahkamah Agung No. 1445 PK/PDT/1995, 16 July 1996, dikutip dalam
Maulana I.B, ibid.
237 Lihat perkara di Australia RA & A Bailey & Co. Ltd v. Boccacio Pty Ltd (1986) 6
IPR 279, dimana Young J. menyatakan bahwa hak penggunaan eksklusif yang
diberikan oleh s.58(1) Trade Marks Act 1955 kepada pemilik merek terdaftar hanya
diperbolehkan untuk mencegah penjualan di Australia barang-barang yang bukan
milik pemilik merek tersebut tetapi diberi merek milik pemilik terdaftar tersebut.
Section 58(1) menyatakan: "The registration of a trade mark . . . if valid, gives to the
registered proprietor of the trade mark the right to the exclusive use of the trade mark
in relation to goods or services in respect ofwhich the trade mark is registered and to
obtain relief in respect of infringement of the trade mark in the manner provided by
this Act."
66
keseluruhannya" dengan merek m.ilik pihak lain sebagaimana tercantum
dalam Pasal 83(1) and 100(1) tersebut. Hal ini karena barang impor paralel
adalah asli, sehingga penempelan merek pada barang tersebut telah disetujui
oleh pemegang merek. Oleh karena itu, tepat apa yang pemah dilakukan
PT Castrol terhadap impor paralel m.inyak pelumas "Castrol". Setelah
mengetahui adanya m.inyak pelumas impor paralel bermerek "Castrol" di
Jakarta, PT Castrol Indonesia tidak menggunakan ketentuan lama Pasal
72(1) dan 81 Undang-Undang Merek 1992,238 yang identik dengan Pasal
76(1) dan 90 Undang-Undang Merek 2001, untuk menggugat pelaku impor
paralel produk tersebut. Gunawan239 menyatakan bahwa Castrol Indonesia
tidak dapat menggunakan ketentuan-ketentuan tersebut, tetapi mereka
bisa menggunakan peraturan tertentu yang mengatur pengadaan dan
importasi m.inyak pelumas. Perusahaan tersebut mendasarkan gugatannya
khususnya pada Keputusan Presiden No 18 Tahun 1988 yang memberikan
perusahaan m.inyak negara Pertam.ina hak eksklusif untuk menyediakan
dan mengimpor m.inyak pelumas di Indonesia. Jadi, masalahnya menjadi
apakah impor paralel m.inyak pelumas tersebut disetujui oleh Pertam.ina
atau tidak,240 bukan oleh pemegang hak atas merek Castrol atau tidak.
Pasal 1 angka 5241 UU Merek 2016 menyatakan bahwa hak atas merek
adalah hak eksklusif untuk "menggunakan" merek atau memberikan lisensi
pihak lain untuk menggunakan merek. Sayangnya, perbuatan-perbuatan apa
yang sebenamya merupakan "penggunaan" suatu merek tidak dijelaskan
dalam Undang-Undang Merek 2016. Sampai saat ini, sejauh pengetahuan
Penulis, di Indonesia belum ada literatur yang membahas hal ini.242 Di
negara-negara lain, pengertian "menggunakan" (use) merek di bidang
barang adalah menempelkan merek pada barang yang diperdagangkan atau
238 Undang-Undang 1992 sebagaimana diperbaiki dengan Undang-Undang Merek 1997.
239 Gunawan Swyomurcito adalah konsultan HK.I pada Swyomurcito & Co. and Rouse
& Co. International, Jakarta, Indonesia.
240 Wawancara Penulis dengan Gunawan Swyomurcito.
241 Pasal ini menyatakan: "Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh
negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan
menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk
menggunakannya."
242 Lihat Christoph Antons, Intellectual Property Law in Indonesia, Kluwer Law
International, London, 2000, hlm. 267.
I 67
pada bungkusnya, labelnya atau dokumen yang menyertainya. Misalnya,
Pasal 45 Lanham Act AS menyatakan: "a mark shall be deemed to be in
"use" in commerce ... (1) on goods when - (a) it is placed in any manner
on the goods or their containers or the displays associated therewith or the
tags or labels affixed thereto or ... on documents associated with the goods
or their sale..." 243 Section 22 (2) UU Merek Singapura Tahun 1998 (Act 46
1998) menyatakan: "... use of a trade mark includes use in a form differing
in elements which do not alter the distinctive character of the mark in the
form in which it was registered, and use in Singapore includes applying
the trade mark to goods or to materials for the labelling or packaging of
goods in Singapore ..."244 Akibatnya, karena yang menempelkan merek
pada barang impor paralel itu pemilik merek sendiri atau penerima lisensi
dengan persetujuan pemilik tersebut, maka pemilik merek tidak bisa
atau sulit untuk mencegah impor paralel barang tersebut. Di Australia,
Pengadilan Federal dalam Transport Tyres Sales Pty. Ltd v. Montana Tyres
Rims & Tubes Pty. Ltd245 memutuskan bahwa berdasarkan S.123 UU Merek
Australia 1995, impor paralel bukan merupakan suatu pelanggaran merek
selama penempelan merek pada barang yang diimpor itu telah mendapat
persetujuan dari pemilik merek yang sah.246
Tidak ada ketentuan dalam UU Merek 2016 (dan UU Merek-UU
Merek sebelumnya) yang memberikan hak eksklusif impor kepada
pemegang merek sebagaimana Undang-Undang Paten 2016 memberikan
243. Lihat juga Putusan Mahkamah Agung AS dalam Blue Bell, Inc v. Farah MFG. Co
(1975).
244. Lihat juga section 3 (2) Undang-Undang Merek Malaysia Tahun 1976 (sebagaimana
diperbaiki sampai 1 Januari 2006) yang menyatakan: "...(a) references to the use
of a mark shall be construed as references to the use of a printed or other visual
representation of the mark; (b) references to the use of a mark in relation to goods
shall be construed as references to the use thereof upon, or in physical or other
relation to, goods..."
245. (1999) 43 IPR 481.
246. S.123 Australia's Trade Marks Act 1995 menyatakan: ... a person who uses a
registered trade mark in relation to goods that are similar to goods in respect of which
the trade mark is registered does not infringe the trade mark if the trade mark has
been applied to, or in relation to, the goods by, or with the consent of, the registered
owner of the trade mark.
68
hak eksklusif impor kepada pemegang paten247 dan UUHC yang lama
(2002) memberikan hak eksklusif impor kepada pemegang hak cipta.248
Andaikan UU Merek 2016 tersebut memberikan hak eksklusif impor,
maka pemegang merek di Indonesia bisa mencegah impor paralel karena
hanya pemegang merek itu sendiri yang berhak mengimpor.
Berdasarkan penjelasan di atas, sulit untuk menafsirkan bahwa
Hukum Merek di Indonesia memberikan kepada pemegang merek hak
eksklusif untuk mencegah impor paralel. Ini tidak berarti bahwa Penulis
menyatakan bahwa Hukum Merek di Indonesia menganut prinsip Badge
of Origin atau prinsip Exhaustion, karena memang tidak ada ketentuan
yang menyatakan demikian. Namun, seorang sarjana HKI dari AS, yakni
Kaehlig, mengomentari UU Merek 1992 yang posisinya berkaitan dengan
impor paralel, sebagaimana tersebut di atas, sama dengan UU Merek
2001,249 berani berpendapat Hukum Merek Indonesia menganut prinsip
Badge of Origin atau prinsip Exhaustion. Kaehlig menyatakan:
In general, ... the Indonesian property laws do not give the manufacturer
or authorized importer or distributor the right to control the use and
movement of the merchandize concerned...It appears simply to be a
matter of a policy on the part of the Indonesian courts not to entertain
trade mark infringement actions unless the plaintiff alleges that the
infringed trade mark was applied to the goods in an unauthorized
fashion (i.e., unless the plaintiffalleges that the product is a counterfeit
one).250
Intinya, Kaehlig berpendapat bahwa HKI, termasuk Hukum Merek,
di Indonesia tidak memberikan kepada pemegangnya hak eksklusif
untuk mengontrol penggunaan dan pergerakan atau peredaran barang
HKI tersebut. Ini berarti hak kontrolnya telah habis (exhausted) ketika
barangnya telah dijual di pasar. Pengadilan diasumsikan tidak akan
247. Lihat Pasal 19(1) Undang-Undang Paten 2016.
248. Menurut Penjelasan Pasal 2(1) Undang-Undang Hak Cipta 2002, hak eksklusif untuk
"mengumumkan atau memperbanyak" mencakup hak untuk mengimpor.
249. Sebagaimana tersebut di atas, Pasal 72(1) dan 81 Undang-Undang Merek 1992
identik dengan Pasal 76(1) dan 90 Undang-Undang Merek 2001.
250. Kaehlig C.B. dan Churchill G.J., Indonesian Intellectual Property Law, PT Tatanusa,
Jakarta 1993, hlm. 61.
I 69
menganggap impor paralel sebagai pelanggaran merek kecuali penempelan
merek tersebut dilakukan tanpa ijin atau barangnya palsu. Pendapat
Kaehlig ini logis karena memang sulit untuk menafsirkan bahwa Hukum
Merek di Indonesia telah memberikan hak kepada pemegang merek untuk
mencegah impor paralel barang merek yang penempelannya dilakukan
oleh pemilik merek sendiri atau penerima lisensi atas persetujuan pemilik
merek tersebut, di samping Hukum Merek di Indonesia tidak memberikan
hak eksklusif impor kepada pemegang merek.
Namun demikian, dalam perkara PT Modern Photo Tok melawan PT
International Photographic/PD Star Photigraphic Supplies, Mahkamah
Agung Republik Indonesia telah memutuskan bahwa pelaku impor
paralel, yakni Tony Widharma, pimpinan PT International Photographic/
PD Star Photigraphic Supplies, untuk produk rol film merek Fuji telah
melanggar hak atas merek distributor tunggal PT Modern Photo yang
juga mengedarkan produk rol film Fuji di Indonesia. Padahal produk yang
diimpor oleh Tony Widharma adalah asli yang berasal dari Union Camera
Ltd yang telah ditunjuk secara resmi oleh Fuji Photo Film Co sebagai
distributor untuk mendistribusikan produk Fuji ke seluruh dunia dengan
harga yang lebih murah. Dasar hukum yang digunakan oleh Mahkamah
Agung adalah Pasal 90251 Undang-Undang Merek 2001,252 sehingga
pelaku impor paralel yakni Tony Widharma telah dianggap secara "tanpa
hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek
terdaftar milik pihak lain" yakni Fuji Photo Film Jepang atau pemegang
lisensinya di Indonesia. Dengan putusan ini berarti Mahkamah Agung
telah menafsirkan secara luas istilah "tanpa hak menggunakan Merek
yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak
251 Pasal 90 Undang-Undang Merek 2001 menyatakan: "Barangsiapa dengan sengaja
dan tanpa hak menggunakan Merek yang sama pada keseluruhannya dengan Merek
terdaftar rnilik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)".
252 Veroima Sinaga dan Kurnia Toha, "Analisis Praktek Impor Paralel dan Pemberian
Exclusive Distribution Agreement antara PT Modem Photo Tbk dan PT International
Photographic /PD Star Photigraphic Supplies Berdasarkan Hukum Persaingan
Usaha." Fakultas Hukum UI, 2014, http://lontar.ui.ac.id/naskahringkas/2015-09/
S54479-veroima%20sinaga, (diakses tanggal 18 Oktober 2016).
70
lain." Padahal Undang-Undang Merek 2001 tidak menjelaskan pengertian
"menggunakan merek." Apakah mengimpor tanpa ijin barang asli yang
mereknya ditempelkan sendiri oleh pemilik mereknya (dalam hal ini Fuji
Photo Film Jepang) atau pemegang lisensi atas persetujuan pemilik merek
tercakup dalam pengertian "tanpa hak menggunakan merek"? Menurut
pendapat Penulis, jawabannya adalah tidak. Di samping itu, UU Merek
2001, sebagaimana Penulis sebutkan di atas, tidak memberikan hak
eksklusif impor kepada pemegang merek. Oleh karena itu, bisa diambil
kesimpulan bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut tidak tepat.
Putusan Mahkamah Agung tersebut telah mengubah posisi Indonesia
yang sebelumnya telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan yang
memperbolehkan impor paralel di bidang merek. Misalnya, dengan
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 19 Tahun
2000, diperbolehkan importasi mobil completely-built up (CBU) tanpa ijin
dari pemegang merek atau distributornya yang merupakan agen tunggal
pemegang merek (ATPM) di Indonesia. Semenjak tahun 2001, Pemerintah
membebaskan importasi minyak pelumas dengan Keputusan Presiden
Nomor 21 Tahun 2001. Pasal 6(1) Keputusan Presiden ini memperbolehkan
setiap perusahaan untuk mengimpor minyak pelumas untuk memenuhi
kebutuhan lokal. Keputusan Presiden ini telah membatalkan Keputusan
Presiden Nomor 18 Tahun 1988 yang memberikan monopoli kepada
Pertamina untuk menyediakan dan mengimpor minyak pelumas di
Indonesia.253 Berdasarkan Keputusan Presiden ini, sukar bagi distributor
tunggal atau ATPM minyak pelumas asing di Indonesia untuk melarang
impor paralel produk tersebut.254
253 Pasal 1(1) clan (3) Keputusan Presiden No. 18, 1988 menyatakan menunjuk
PERTAMINA untuk menyediakan dan memberikan jasa untuk memenuhi kebutuhan
minyak pelumas dan apabila kebutuhan minyak pelumas tidak bisa dipenuhi
dengan produk lokal maka PERTAMINA mempunyai wewenang untuk mengimpor
kekurangannya setelah mendapat persetujuan dari Menteri Perdagangan.
254 Sebelumnya, sebagaimana tersebut di atas, Castrol Indonesia pernah melakukan
tindakan hukum kepada pelaku impor paralel minyak pelumas merek "Castrol"
dengan menggunakan Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1988 yang memberikan
monopoli impor minyak pelumas kepada Pertamina karena pelaku impor paralel tidak
mendapatkan ijin dari Pertamina.
I 11
Rasio dari diperbolehkannya impor paralel di bidang merek adalah
untuk melindungi kepentingan konsumen dari kemungkinan penerapan
harga monopolistik yang dilakukan oleh distributor tunggal. Dengan
impor paralel, harga barang yang asli bisa ditekan sehingga konsumen bisa
memperoleh barang asli yang murah. Putusan Mahkamah Agung tersebut
di atas yang telah mengalahkan pelaku impor paralel jelas bertentangan
dengan rasio ini sehingga putusan Mahkamah Agung tersebut merupakan
putusan yang tidak bijak.
G. IMP OR PARA LEL DITINJAU DARI HUKUM PATEN DI
INDONESIA
Berkenaan dengan impor paralel di bidang paten, pengaturan dalam
UU Paten 2016255 lebih tegas dari pada pengaturannya dalam UU Paten
2001. Hal ini bisa dilihat dari ketentuan Pasal 160 Undang-Undang
Paten 2016 yang secara tegas melarang tindakan impor tanpa persetujuan
pemegang paten. Sebelumnya, Pasal 16(1) Undang-Undang Paten 2001
memang memuat hak eksklusif impor bagi pemegang paten, tetapi tidak
ada ketentuan yang secara tegas melarang tindakan impor sebagaimana
Pasal 160 Undang-Undang Paten 2016. Namun, untuk produk farmasi,
pengecualian dari larangan impor paralel dalam Undang-Undang Paten
2016 ternyata lebih kuat dari pada dalam Undang-Undang Paten 2001. Hal
ini karena Pasal 167(a) Undang-Undang Paten 2016 mengecualikannya
dari ketentuan baik pidana maupun gugatan perdata, sedangkan Pasal
135(a) Undang-Undang Paten 2001 hanya mengecualikannya dari
ketentuan pidana.
Berdasarkan Pasal 19(1) dan Pasal 160 huruf a UU Paten 2016,
pemegang hak atas paten berhak melarang tindakan impor paralel. Pasal
19(1) menyatakan:
Pemegang Paten memiliki hak eksklusif untuk melaksanakan Paten
yang dimilikinya dan melarang pihak lain yang tanpa persetujuannya:
a. dalam hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual,
mengimpor, menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk
255. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten.
12 I
dijual atau disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten;
dan/atau b. dalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi
yang diberi Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam huruf a. (penekanan oleh Penulis).
Pasal 160 huruf a Undang-Undang Paten 2016 menyatakan:
Setiap Orang tanpa persetujuan Pemegang Paten dilarang: a. dalam
hal Paten-produk: membuat, menggunakan, menjual, mengimpor,
menyewakan, menyerahkan, atau menyediakan untuk dijual atau
disewakan atau diserahkan produk yang diberi Paten; dan/atau b.
dalam hal Paten-proses: menggunakan proses produksi yang diberi
Paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam huruf a. (penekanan oleh Penulis).
Jelas bahwa Pasal 19(1) dan Pasal 160 huruf a Undang-Undang Paten
2016 memberikan pemegang paten hak eksklusif untuk melarang pihak
lain melakukan impor produk patennya dan/atau produk yang dibuat
menggunakan paten prosesnya tanpa persetujuannya. Akibatnya bahwa
apabila pemegang paten menjual produk patennya di negara lain (luar
negeri), orang lain tidak boleh mengimpor produk tersebut dari negara
lain itu ke Indonesia kecuali jika orang lain tersebut terlebih dahulu
memperoleh persetujuan dari pemegang paten. Berkenaan dengan paten
proses, seseorang juga hams memperoleh persetujuan dari pemegang paten
untuk bisa mengimpor produk yang dibuat menggunakan paten proses
pemegang paten yang dijual di negara lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, pemegang paten bisa menggunakan
Pasal 19(1) dan Pasal 160 huruf a Undang-Undang Paten 2016 untuk
mencegah tindakan impor paralel. Contohnya: sebuah Perusahaan
Amerika Serikat (AS) memperoleh paten baik di AS maupun di Indonesia
untuk barang X. Perusahaan ini kemudian menunjuk B sebagai pemegang
lisensi eksklusif untuk mendistribusikan barang itu di Indonesia.
Perusahaan AS ini juga mempunyai sebuah anak perusahaan di Malaysia
yang memproduksi barang yang sama. Karena harga barang dari anak
perusahaan di Malaysia tersebut jauh lebih rendah dari pada harga barang
yang sama dari distributor di Indonesia, seseorang mengimpor barang dari
I 73
Malaysia tersebut ke Indonesia tanpa persetujuan. Berdasarkan Pasal 19(1)
dan Pasal 160 huruf a, PerusahaanAS itu berhak mencegah tindakan impor
paralel tersebut.
Hukum Paten Indonesia memberikan perlindungan yang kuat kepada
pemegang paten terhadap tindakan impor paralel. Hal ini karena, menurut
UU Paten 2016, tindakan impor tanpa persetujuan juga merupakan tindakan
pidana. Hal ini merupakan akibat dari ketentuan Pasal 161 yang berbunyi:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 untuk Paten, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Istilah "impor paralel" tidak tercantum dalam Pasal 161. Namun,
Pasal ini berlaku kepada pelaku impor paralel apabila orang ini melakukan
salah satu tindakan yang tercantum dalam Pasal 160 yang merupakan hak
eksklusif pemegang paten, yakni tindakan impor tanpa persetujuan dari
pemegang paten.
Selain itu, berdasarkan Pasal 143(1)256 UU Paten 2016, pemegang
paten mempunyai hak untuk menggugat ganti rugi kepada pelaku impor
paralel. Pasal ini menyatakan:
Pemegang Paten atau penerima Lisensi berhak mengajukan gugatan
ganti rugi kepada Pengadilan Niaga terhadap setiap Orang yang
dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 19(1).
Dalam hal ini, dengan adanya istilah "Orang yang dengan sengaja"
dalam Pasal tersebut, UU Paten 2016 selaras dengan UU (Perubahan)
Paten 1997, walaupun UU Paten 2016 tidak mencantumkan ketentuan
"pelanggaran yang tidak disengaja" (innocent infringement), sebagaimana
256 Pasal 143(1) menyatakan: "Pemegang Paten atau penerima Lisensi berhak
mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga terhadap setiap Orang yang
dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 19(1)."
74
Pasal 122(1a)257 UU (Perubahan) Paten 1997. Menurut ketentuan lama ini,
gugatan pemegang paten bisa ditolak apabila tergugat tidak sadar telah
melakukan pelanggaran atau apabila tergugat mempunyai bukti yang
kuat tentang ketidaktahuannya adanya pelanggaran. Walaupun tidak ada
ketentuan seperti UU Paten lama ini, berdasarkan Pasal 143(1), tergugat
bisa melakukan pembelaan (defence) bahwa dia tidak sengaja. Akibatnya,
pelaku impor paralel yang tidak sengaja (innocent) tidak bisa dijerat
dengan Pasal 143(1) Undang-Undang Paten 2016. Sayangnya, tidak ada
penjelasan mengapa demikian.
Perlu dipertanyakan apakah posisi UU Paten 2016 seperti tersebut
diatas berlaku dalam semua situasi dimana impor paralel barang paten
biasanya terjadi. Impor paralel barang paten biasanya terjadi dalam 2 (dua)
situasi yang berbeda. Pertama, dalam situasi dimana pemegang paten
sendiri yang telah melakukan penjualan pertama dari barang patennya
yang kemudian diimpor secara parallel. Kedua, impor paralel terjadi
ketika pemegang lisensi paten yang menjual barang paten di pasar. Tanpa
mempertimbangkan kedua situasi yang berbeda tersebut, pengadilan
mungkin akan menerapkan Pasal 19(1) dalam mengeluarkan putusan yang
memihak kepada pemegang paten.
UU Paten 2016 mengecualikan dari ketentuan pidana dan gugatan
perdata importasi tanpa izin produk farmasi. Hal ini dinyatakan dalam
Pasal 167(a) yang berbunyi:
Dikecualikan dari ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam
Bab XVII dan gugatan perdata atas: a. impor suatu produk farmasi
yang dilindungi paten di Indonesia dan produk farmasi dimaksud telah
dipasarkan di suatu negara secara sah dengan syarat produk farmasi
itu diimpor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan...
(penekanan oleh Penulis).
257 Pasal 122(1a) Undang-Undang Paten 1997 menyatakan: "Pengadilan negeri dapat
menolak gugatan ganti rugi terrnasuk penggantian terhadap keuntungan yang
seharusnya diperoleh, apabila tergugat dapat membuktikan bahwa ia tidak mengetahui
atau memiliki alasan yang kuat tentang ketidaktahuannya bahwa ia telah melanggar
paten milik orang lain yang dilindungi di Indonesia."
I 75
Pasal 167(a) memuat prinsip exhaustion namun hanya untuk produk
farmasi.MenurutPasal 167(a), penjualanpertama(firstsale) oleh pemegang
paten dari produk farmasinya mengakibatkan dikecualikannya tindakan
impor paralel produk farmasi tersebut dari ketentuan pidana dan gugatan
perdata. Jadi, selain tidak bisa dipidanakan, pelaku impor paralel produk
farmasi tidak bisa digugat ganti rugi oleh pemegang paten sebagaimana
tercantum dalam Pasal 143(1). Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam
Pasal 135(a) Undang-Undang Paten 2001 yang menyatakan:
Dikecualikan dari ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam
Bab ini adalah: a. mengimpor suatu produk farmasi yang dilindungi
Paten di Indonesia dan produk tersebut telah dimasukkan ke pasar di
suatu negara oleh Pemegang Paten yang sah dengan syarat produk itu
diimpor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku...
(penekanan oleh Penulis).
Tersirat dalam ketentuan yang lama tersebut, pemegang paten masih
mempunyai hak untuk menggugat ganti rugi kepada pelaku impor paralel.
Ini berarti penjualan pertama (first sale) tidak menghabiskan hak pemegang
paten untuk mengontrol ke arah mana barang patennya selanjutnya
dipasarkan. Hal ini menunjukkan UU Paten 2001 telah melegalkan impor
paralel produk farmasi namun hanya secara "parsial."
Legalisasi "parsial" menurut ketentuan yang lama tersebut tidak bebas
dari kritikan. Kebijakan itu tidak diterima oleh masyarakat Indonesia.258
Ketentuan yang lama tersebut merefleksikan bahwaPamerintah tidak ingin
melindungi kepentingan konsumen Indonesia yang masih membutuhkan
produk paten yang murah terutama produk farmasi. Sebelumnya, melalui
Pasal 21 Undang-Undang Paten 1989, Indonesia memperbolehkan impor
paralel. Penjelasan Pasal 21 tersebut menyatakan bahwa masyarakat
Indonesia perlu mengembangkan industri lokal dan keahlian teknologi,
dan oleh karena itu Indonesia melalui Pasal 21 tersebut berusaha untuk
mencegah perkembangan yang tidak baik yang bisa menyebabkan
terjadinya resktriksi impor produk asing. Kondisi masyarakat Indonesia
258 Hal ini dinyatakan oleh Indah Suksmaningsih, mantan kepala Lembaga Konsumen
Indonesia selama wawancara dengan Penulis pada bulan Juli tahun 2002.
76 I
yang dinyatakan di dalam Penjelasan Undang-Undang Paten 1989 tersebut
belum berubah sampai sekarang. Oleh karena itu, masuk akal untuk
menyatakan bahwa ketentuan Pasal 135(a) UU Paten 2001 tidak cukup
dan Indonesia perlu membuat kebijakan yang serupa dengan ketentuan
dalam Pasal 21 Undang-Undang Paten 1989 dalam memperbolehkan
impor paralel tidak hanya produk farmasi tetapi juga produk-produk paten
yanglain. 259
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Paten 2016, legalisasi
"parsial" impor paralel produk farmasi menurut Undang-Undang Paten 2001
tersebut telah dihapus. Sekarang, menurut Pasal 167(a) Undang-Undang
Paten 2016, pelaku impor paralel produk farmasi tidak bisa dipidanakan
dan tidak bisa digugat ganti rugi. Hal ini merupakan perkembangan yang
menggembirakan bagi masyarakat Indonesia yang masih membutuhkan
produk farmasi yang murah.
Posisi Hukum Paten Indonesia berkaitan dengan impor paralel
selaras dengan TRIPs Agreement. Hal ini karena TRIPs Agreement
sendiri mempersilahkan negara anggota untuk mengambil sikap sendiri
berkaitan dengan legalitas impor paralel di bidang paten. Ini terlihat dari
ketentuannya yang menyatakan bahwa Pasal 28(1) TRIPs Agreement
yang memberikan hak eksklusif impor kepada pemegang paten tunduk
kepada Pasal 6260 yang menyatakan bahwa TRIPs Agreement tidak dapat
dipergunakan untuk menyelesaikan masalah exhaustion HKI. Dengan
kata lain, TRIPs Agreement memberikan diskresi kepada negara anggota
WTO untuk mengadopsi prinsip Exhaustion di bidang paten atau tidak.
Jadi, sebenarnya Indonesia boleh mengadopsi prinsip Exhaustion tidak
hanya untuk produk farmasi saja tetapi untuk semua produk paten. Namun,
259 Indah Suksmaningsih, Al<ses Obat-Obatan dalam Undang-Undang Paten Indonesia,
Lembaga Konsumen Indonesia, naskah tidak diterbitkan, Jakarta, 18 April 2001, hlm.
7 dan 11. Lembaga Konsumen Indonesia telah mengusulkan agar dimasukkan dalam
RUU Paten suatu ketentuan yang mengecualikan dari hak eksklusif impor impor
produk paten ke Indonesia apabila produk tersebut telah dipasarkan di negara lain
oleh pemegang paten atau penerima lisensinya. Ibid. hlm. 11. Tetapi usulan tersebut
akhimya tidak disetujui oleh DPR.
260 Pasal 6 TRIPs Agreement menyatakan: "For the purposes of dispute settlement under
this Agreement, subject to the provisions ofArticles 3 and 4 nothing in this Agreement
shall be used to address the issue of the exhaustion of intellectual property rights."
I 77
ternyata, Indonesia mengadopsi prinsip ini hanya untuk produk farmasi
saja.
H. IMP OR PARALEL DIT INJAU DARI HUKUM HAK CIPTA
DI INDONESIA
UUHC 2014 mempunyai ketentuan barn yang berkaitan dengan
masalah impor paralel. Pasal 9(1) UUHC 2014 menyatakan bahwa hak
ekonomi pemegang hak cipta meliputi: hak penerbitan, hak penggandaan,
hak pertunjukan, hak pengumuman, hak penerjemahan, hak pendistribusian,
dan lain sebagainya. Namun, Pasal 11(1) UUHC 2014 menyatakan:
Hak ekonomi untuk melakukan Pendistribusian Ciptaan atau
salinannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf e tidak
berlaku terhadap Ciptaan atau salinannya yang telah dijual atau yang
telah dialihkan kepemilikan Ciptaan kepada siapapun. (Penekanan
oleh Penulis).
Jelas bahwa Pasal 11(1) UUHC 2014 mengandung doktrin First Sale,
yakni bahwa penjualan pertama oleh pemegang hak cipta menghilangkan
haknya untuk mengontrol pendistribusian barang ciptaannya. Ini disebut
juga prinsip Exhaustion, karena penjualan pertama menghabiskan
(exhaust) hak kontrol pendistribusian. Namun, tidak tegas apakah
Pasal tersebut menganut prinsip International Exhaustion atau prinsip
National Exhaustion. Prinsip International Exhaustion berarti bahwa
penjualan pertama dimanapun, di dalam negeri atau di luar negeri akan
menghabiskan hak kontrol pendistribusian pemegang hak cipta. Prinsip
National Exhaustion berarti hanya penjualan pertama di dalam negeri
yang menghabiskan hak kontrol pendistribusian pemegang hak cipta.
Pasal 11(1) tidak menyebutkan tempat atau negara (di dalam atau di
luar Indonesia) dimana penjualan pertama menyebabkan hilangnya hak
pendistribusian. Pembuat Pasal ini ternyata telah mengubah draft pertama
Rancangan UUHC (2010) tentang masalah ini. Pasal 3(2) Rancangan
UUHC (2010) menyatakan bahwa hak pendistribusian "tidak berlaku
terhadap Ciptaan asli atau salinan Ciptaan yang telah dijual atau telah
78 I
dialihkan kepemilikannya di mana pun oleh Pencipta atau Pemegang Hak
Cipta."261 Jelas bahwa Pasal 3(2) Rancangan UUHC (2010) menganut
prinsip International Exhaustion karena penjualan pertama ciptaan di suatu
negara manapun menghabiskan hak pendistribusian pemegang hak cipta.
Dengan melihat Pasal 11(1) UUHC 2014, tidaklah tegas apakah penjualan
pertama di luar Indonesia dapat menghabiskan hak pendistribusian.
Apabila ditafsirkan bahwa hanya penjualan pertama di wilayah Indonesia
yang dapat menghabiskan hak pendistribusian, berarti UUHC 2014
menganut prinsip National Exhaustion. Akibatnya, pemegang hak cipta
mempunyai hak untuk melarang impor paralel ciptaan yang telah dijual di
luar Indonesia tetapi tidak mempunyai hak untuk melarang impor paralel
ciptaan yang sudah dijual pertama kali di wilayah Indonesia.
Menurut pendapat Penulis, lebih baik untuk menafsirkan bahwa
Pasal 11(1) UUHC 2014 menganut prinsip International Exhaustion. Kata
"siapapun" walaupun tidak menunjuk tempat, tetapi dapat diartikan setiap
orang, berarti juga setiap orang dimanapun berada. Dengan prinsip ini
berarti pemegang hak cipta tidak bisa melarang impor paralel ciptaannya
yang telah pertama kali dijual kepada setiap orang baik di wilayah Indonesia
maupun di luar Indonesia. Dengan prinsip International Exhaustion,
pemegang hak cipta tidak bisa lagi memonopoli pasar Indonesia, sehingga
konsumen mempunyai banyak pilihan karya cipta asli dengan harga yang
lebih murah.262
Ketidaktegasan pendekatan Indonesia terhadap persoalan impor
paralel di bidang hak cipta bisa dipahami mengingat hampir tidak ada
diskusi di masyarakat tentang hal tersebut. Perhatian lebih diberikan
kepada persoalan impor paralel di bidang merek dari pada impor paralel di
bidang hak cipta.263 Hal ini sebagian karena, sebagaimana tersebut di atas,
261. Penekanan oleh Penulis.
262 M. Hawin, Intellectual Property Law on Parallel Importation, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, Indonesia, 2010, hlm. 255 dan 256.
263 Lihat, rnisalnya, Lita Analistya D., Praktek impor paralel di Indonesia ditinjau dari
hukum kekayaan intelektual di bidang merek: studi kasus PT. Modern Photo Tbk dan PT
International Photograpic Supplies, thesis, Undergraduate Program, Faculty of Law,
Universitas Indonesia, http://lib.ui.ac.id/opadui/detail.jsp?id=123804&lokasi=lokal
(diakses tanggal 15 Oktober 2016). Lihat juga, "Kapitalisme UU HaKI kita," http://
I 79
jumlah barang impor paralel di bidang merek yang masuk ke Indonesia
melebihi jumlah barang impor paralel hak cipta.
Secara historis, berkaitan dengan persoalan impor paralel di bidang
hak cipta, posisi Indonesia telah berubah 3 (tiga) kali. UUHC 1982264 sama
sekali tidak menyinggungnya. Kemudian, menurut UUHC 2002,265 impor
paralel merupakan pelanggaran hak cipta.
Pasal 2(1) UUHC 2002 menyatakan: "Hak Cipta merupakan hak
eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan
atau memperbanyak Ciptaannya..." Menurut Penjelasan Pasal 2(1),266 hak
eksklusif untuk "mengumumkan atau memperbanyak" mencakup hak
untuk mengimpor. Hal ini berarti bahwa tindakan impor tanpa persetujuan
pemegang hak cipta merupakan pelanggaran hak eksklusif pemegang hak
cipta. Jadi, pemegang hak cipta mempunyai hak untuk melarang impor
paralel.
Menurut UUHC 2002, perlindungan bagi pemegang hak cipta
terhadap impor paralel adalah kuat. Hal ini karena di samping memberikan
pemegang hak cipta hak untuk menggugat ganti rugi kepada pelaku impor
paralel267 dan meminta penetapan sementara pengadilan untuk mencegah
masuknya barang-barang impor paralel ke Indonesia,268 UUHC 2002
menentukan bahwa impor paralel merupakan tindak pidana. Hal ini dapat
disimpulkan dari Pasal 72(1) UUHC 2002 yang berbunyi:
kelzen.wordpress.com/tag/impor-paralel/, 28 Agustus, 2008, (diakses tanggal 15
Oktober 2016).
264 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 sebagaimana diperbaiki dengan Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1987 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997.
265 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.
266 Penjelasan Pasal 2(1) menyatakan: "Dalam pengertian "mengumumkan atau
memperbanyak", termasuk kegiatan menerjemahkan, mengadaptasi, mengaransemen,
mengalihwujudkan, menjual, menyewakan, meminjamkan, mengimpor." (Penekanan
oleh Penulis).
267 Pasal 56(1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 menyatakan: "Pemegang
Hak Cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas
pelanggaran Hak Ciptanya ..."
268 Pasal 67 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 menyatakan: "...Pengadilan Niaga
dapat menerbitkan surat penetapan dengan segera dan efektif untuk: a. mencegah
berlanjutnya pelanggaran Hak Cipta, khususnya mencegah masuknya barang yang
diduga melanggar Hak Cipta atau Hak Terkait ke dalam jalur perdagangan, termasuk
tindakan importasi."
80
Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1)
dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/
atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 72(1) tidak secara eksplisit menyebut impor paralel. Namun, karena
tindakan impor merupakan salah satu hak eksklusif pemegang hak cipta
sebagaimana tercantum dalam Pasal 2(1) dan Penjelasannya, seseorang
yang melakukan impor paralel di bidang hak cipta dapat dihukum secara
pidana.
Impor paralel di bidang hak cipta bisa terjadi dalam 2 (dua) situasi yang
berbeda. Pertama, impor paralel terjadi dalam situasi dimana barang ciptaan
pertama kali dijual di luar negara pengimpor. Di negara yang merupakan
net importer barang-barang kekayaan intelektual seperti Indonesia,
kebanyakan impor paralel terjadi dalam situasi ini.269 Kedua, impor paralel
bisa juga terjadi dalam situasi dimana barang-barang yang diimpor secara
paralel sebelumnya telah dijual di negara pengimpor. Situasi ini melibatkan
perjalanan barang secara "round trip." Barang tersebut pertama kali dijual
di Indonesia, kemudian diekspor ke negara lain tetapi kemudian diimpor
kembali ke Indonesia. Persoalannya adalah apakah posisi UUHC 2014
dapat digunakan untuk menentukan legalitas impor paralel yang terjadi
dalam 2(dua) situasi tersebut. Tidak ada indikasi di dalam UUHC 2014
bahwa hal tersebut menjadi pertimbangan pembuat Pasal 11(1). Namun,
menghadapi impor paralel dalam dua situasi tersebut, apabila pengadilan
Indonesia menafsirkan Pasal ini menganut prinsip National Exhaustion,
maka pemegang hak cipta bisa melarang impor paralel yang terjadi
dalam situasi yang pertama. Akibatnya, pemegang hak cipta mempunyai
kesempatan untuk mempertahankan harga di Indonesia lebih mahal dari
pada harga produk yang sama yang dijual di luar Indonesia. Ini merupakan
dampak negatif apabila posisi UUHC 2014 ditafsirkan menganut prinsip
269 Lihat Chang T-Z., "Parallel Importation in Taiwan: A View from a Newly Emerged
Country and a Comparative Analysis" (1993) lO(No.6) International Marketing
Review 30, hlm. 31.
I a1
National Exhaustion. Oleh karena, Pasal 11(1) lebih baik ditafsirkan
menganut prinsip International Exhaustion agar dampak negatif seperti itu
bisa dihindarkan.
I. KESIMPULAN
Legalitas impor paralel ditinjau dari UU Merek dan Indikasi Geogra:fis
2016 tidak pasti. UU ini memberikan pemegang merek hak untuk menggugat
orang lain yang tanpa persetujuannya menggunakan merek yang meniru
mereknya. Namun, tidak pasti apakah impor paralel termasuk dalam
cakupan ketentuan tersebut. Menurut pendapat Penulis, impor paralel tidak
dapat tercakup dalam pengertian "menggunakan Merek yang mempunyai
persamaan pada keseluruhannya" dengan merek milik pihak lain. Hal
ini karena barang impor paralel adalah asli, dan penempelan merek pada
barang tersebut telah disetujui oleh pemegang merek. Di samping itu, UU
tersebut tidak memberikan hak eksklusif impor kepada pemegang merek di
Indonesia sehingga pemegang merek sukar untuk mencegah impor paralel.
Indonesia lebih baik membolehkan impor paralel di bidang merek untuk
melindungi kepentingan konsumen dari kemungkinan penerapan harga
monopolistik yang dilakukan oleh distributor tunggal. Dengan impor
paralel, konsumen bisa memperoleh barang asli yang murah.
Berkenaan dengan impor paralel di bidang paten, pengaturan dalam
UU Paten 2016 lebih tegas dari pada pengaturannya dalam UU Paten
2001. Undang-Undang Paten 2016 secara tegas melarang tindakan
impor tanpa persetujuan pemegang paten. Sebelumnya, Undang-Undang
Paten 2001 memang memuat hak eksklusif impor bagi pemegang paten,
tetapi tidak ada ketentuan yang secara tegas melarang tindakan impor
sebagaimana Undang-Undang Paten 2016. Namun, impor paralel produk
farmasi diperbolehkan karena UU ini memuat prinsip exhaustion untuk
produk farmasi dan impor paralel produk farmasi dikecualikan dari
larangan impor. Pengecualian ini dalam Undang-Undang Paten 2016
lebih kuat dari pada dalam Undang-Undang Paten 2001. Hal ini karena
Undang-Undang Paten 2016 mengecualikannya dari ketentuan baik
pidana maupun gugatan perdata, sedangkan Undang-Undang Paten 2001
a2 I
hanya mengecualikannya dari ketentuan pidana. Hal ini merupakan
perkembangan yang menggembirakan bagi masyarakat Indonesia yang
masih membutuhkan produk farmasi yang murah.
UUHC 2014 mengandung prinsip First Sale atau Exhaustion, yakni
bahwa penjualan pertama oleh pemegang hak cipta menghilangkan haknya
untuk mengontrol pendistribusian barang ciptaannya sehingga tidak bisa
melarang impor paralel. Posisi ini berbeda dengan UUHC 2002 yang
memberikan hak eksklusif impor dan tidak memuat prinsip First Sale atau
Exhaustion. Namun, tidak tegas apakah UUHC 2014 menganut prinsip
International Exhaustion atau prinsip National Exhaustion. Menurut
pendapat Penulis, lebih baik untuk menafsirkan UUHC 2014 menganut
prinsip International Exhaustion. Dengan prinsip ini berarti pemegang
hak cipta tidak bisa melarang impor paralel ciptaannya yang telah pertama
kali dijual kepada setiap orang baik di wilayah Indonesia maupun di
luar Indonesia. Dengan prinsip International Exhaustion, pemegang hak
cipta tidak bisa lagi memonopoli pasar Indonesia, sehingga konsumen
mempunyai banyak pilihan karya cipta asli dengan harga yang lebih murah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal:
Ammann J.M., "Intellectual Property Rights and Parallel Imports" (1999)
26 Legal Issues of Economic Integration 91;
Auvil S. M., "Gray Market Goods Produced by Foreign Affiliates of The
US Trademark owner: Should the Lanham Act Provide a Remedy?"
(1995) 28 Akron L. Rev. 437;
Barrett M., "The United States' Doctrine of Exhaustion: Parallel Imports
of Patented Goods" (2000) 27 N. Ky. L. Rev. 911;
Bird R.C. and Chaudhry P.E., "Pharmaceuticals and the European Union:
Managing Gray markets in Uncertain Legal Environment" (2010) 50
Va. J. Int'l L. 719;
Brooks S., "Battling Gray Markets Through Copyright Law: Omega, S.A.
v. Costco Wholesale Corporation" (2010) B.Y.U.L. Rev. 19;
I 83