The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.

- M.Hawin,Dkk, 2017. Isu-Isu Penting Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press

Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by hukum2023, 2022-09-25 11:51:12

2017. Isu-Isu Penting Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia

- M.Hawin,Dkk, 2017. Isu-Isu Penting Hak Kekayaan Intelektual Di Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press

untuk lebih menguatkan lagi perlindungan hak cipta. Adapun penguatan
perlindungan hak cipta ini dilakukan dengan mengutamakan kepentingan
nasional dan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan Pencipta,
Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait, dengan masyarakat serta
memperhatikan ketentuan dalam perjanjian internasional di bidang Hak
Cipta dan Hak Terkait.

Pergantian UU No. 19 Tahun 2002 menjadi ketentuan UU No. 28
Tahun 2014 sendiri didasarkan pada beberapa alasan, Pertama, telah
berkembangnya ekonomi kreatif dan pemanfaatan teknologi informasi
di Indonesia, di mana menuntut perlindungan dan kontribusi bagi
pembangunan perekonomian nasional; dan Kedua, keikutsertaan Indonesia
terhadap beberapa konvensi internasional dalam bidang hak cipta, yang
dibuktikan dengan dilakukannya ratifikasi atas konvensi internasional
tersebut. Konvensi internasional yang terakhir diratifikasi Indonesia adalah
World Intellectual Property Organization Performances and Phonograms
Treaty (Perjanjian Karya-Karya Pertunjukan dan Karya-Karya Fonogram
WIPO) yang selanjutnya disebut WPPT, melalui Keputusan Presiden
Nomor 74 Tahun 2004.

Konsekuensi dari dua alasan tersebut salah satunya, ketentuan UU
No. 28 Tahun 2014 hams dapat menjangkau juga perlindungan hak cipta
di internet. Oleh karena itu, apabila memperhatikan pengaturan hak
cipta yang tertuang di dalam UU No. 28 Tahun 2014, maka pengaturan
tersebut juga melingkupi perlindungan hak cipta di internet. Pengaturan
hak cipta di internet dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta
tertuang di dalam Bab VIII mengenai Konten Hak Cipta dan Hak Terkait
dalam Teknologi Informasi dan Komunikasi. Inti pengaturan dalam Bab
VIII tersebut adalah bahwa pemerintah memiliki kewenangan dalam
hal perlindungan hak cipta di internet untuk melakukan tiga hal, yakni;
Pertama, pengawasan terhadap pembuatan dan penyebarluasan konten
pelanggaran Hak Cipta dan Hak Terkait; Kedua, kerja sama dan koordinasi
dengan berbagai pihak, baik dalam maupun luar negeri dalam pencegahan
pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran Hak Cipta dan Hak
Terkait; dan Ketiga, pengawasan terhadap tindakan perekaman dengan

134 I

menggunakan media apapun terhadap Ciptaan dan produk Hak Terkait di
tempat pertunjukan.

Hal lain dari pengaturan hak cipta di internet berdasarkan pada
ketentuan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terkait perlindungan
teknis, khususnya penggunaan manajemen informasi hak cipta, informasi
elektronik hak cipta dan sarana kontrol teknologi. Pengaturan terhadap
manajemen informasi hak cipta, informasi elektronik hak cipta dan
sarana kontrol teknologi sendiri memuat aspek penggunaan, pembatasan
dan pengecualian dan sanksi hukum yang dapat dikenakan terhadap
pelanggaran atas manajemen informasi hak cipta dan sarana kontrol
teknologi. Penggunaan manajemen informasi hak cipta dan informasi
elektronik hak cipta guna melindungi hak moral. Hal ini sejalan dengan
ketentuan Pasal 6 UU No. 28 Tahun 2014 yang berbunyi:

Untuk melindungi hak moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (1), Pencipta dapat memiliki:
a. informasi manajemen Hak Cipta; dan/atau
b. informasi elektronik Hak Cipta.

Pembatasan dan pengecualian yang diberlakukan terhadap
kemungkinan pengrusakan, penghilangan dan pengubahan atas penggunaan
manajemen informasi hak cipta dan informasi elektronik hak cipta tidak
diatur di dalam ketentuan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,
sedangkan untuk sanksi hukum apabila ada pengrusakan, penghilangan
dan pengubahan manajemen informasi hak cipta dan informasi elektronik
hak cipta telah diatur di dalam ketentuan UU No. 28 Tahun 2014. Sanksi
hukum yang memungkinkan baik secara perdata maupun pidana. Sanksi
hukum secara perdata dapat dilakukan gugatan ganti kerugian berdasarkan
pada ketentuan Pasal 98 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2014 yang berbunyi:

Pengalihan Hak Cipta atas seluruh Ciptaan kepada pihak lain tidak
mengurangi hak Pencipta atau ahli warisnya untuk menggugat setiap
Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak dan tanpa persetujuan
Pencipta yang melanggar hak moral Pencipta sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1)

I 135

Untuk sanksi hukum pidana atas manajemen informasi hak cipta dan
informasi elektronik hak cipta juga telah diatur di dalam ketentuan Pasal
112 UU No. 28 Tahun 2014 tentang hak cipta yang berbunyi:

Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan/atau pasal 52 untuk Penggunaan
Secara Komersial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah)

Sementara itu pengaturan sarana kontrol teknologi sebagai bagian
yang tidak terpisahkan dari perlindungan teknis dan hukum atas hak
cipta di internet memuat tiga aspek, yakni; penggunaan, pembatasan dan
pengecualian dan sanksi hukum. Penggunaan sarana kontrol teknologi
diatur dalam ketentuan Pasal 52 UU No. 28 Tahun 2014 yang berbunyi:

Setiap Orang dilarang merusak, memusnahkan, menghilangkan, atau
membuat tidak berfungsi sarana kontrol teknologi yang digunakan
sebagai pelindung Ciptaan atau produk Hak Terkait serta pengaman
Hak Cipta atau Hak Terkait, kecuali untuk kepentingan pertahanan dan
keamanan negara, serta sebab lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, atau diperjanjikan lain.

Penggunaan sarana kontrol teknologi dapat dilakukan untuk
perlindungan ciptaan. Sejalan dengan penggunaan ini di dalam ketentuan
Pasal 52 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memuat juga
ketentuan pengecualian dan pembatasan. Pengecualian dan pembatasan
itu dibenarkan oleh ketentuan hukum ini guna merusak, memusnahkan,
menghilangkan atau membuat tidak berfungsi sarana kontrol teknologi
guna kepentingan pertahanan dan keamanan, serta sebab lain sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan, atau diperjanjikan lain. Apabila
merusak, memusnahkan, menghilangkan atau membuat tidak berfungsi
sarana kontrol teknologi di luar pengecualian tersebut dapat dikenai
sanksi hukum berupa sanksi pidana. Hal ini sebagaimana dinyatakan pada
ketentuan Pasal 112 UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sedangkan
sanksi perdatanya juga dapat dilakukan dengan melakukan gugatan ganti

136 I

rugi dengan berlandaskan pada ketentuan Pasal 99 ayat (1) UU No. 28
Tahun 2014 yang berbunyi: "Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik
Hak Terkait berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan
Niaga atas pelanggaran Hak Cipta atau produk Hak Terkait."

Setelah memahami pengaturan perlindungan teknis, khususnya
manajemen informasi hak cipta, informasi elektronik hak cipta dan
sarana kontrol teknologi sebagaimana yang tertuang di dalam UU No. 28
Tahun 2014 tentang Hak Cipta, maka ada beberapa catatan yang dapat
dikemukakan, yakni; Pertama, pengaturan manajemen informasi hak cipta,
informasi elektronik hak cipta dan sarana kontrol teknologi lebih terinci
dan jelas; Kedua, pengaturan manajemen informasi hak cipta dan informasi
elektronik hak cipta belum memberikan pembatasan dan pengecualian,
sedangkan sarana kontrol teknologi telah memberikan pembatasan dan
pengecualian; Ketiga, pengaturan manajemen informasi hak cipta, informasi
elektronik hak cipta dan sarana kontrol teknologi belum memberikan
ruang bagi kemungkinan pembatasan dan pengecualian untuk kepentingan
pendidikan, nirlaba, perlindungan data pribadi dan beberapa kepentingan
publik lainnya; dan Keempat, pengaturan manajemen informasi hak cipta,
informasi elektronik hak cipta dan sarana kontrol teknologi dalam hal
sanksi hukuman berupa sanksi pidana masih menggunakan sanksi penjara
dan/atau denda, di mana dalam implementasinya masih dipandang belum
dapat memberikan sanksi efektif bagi proses pemulihan kerugian negara
atas perbuatan tersebut.

F. KESIMPULAN

Pemberlakuan UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta telah
memperkuat perlindungan hak cipta di internet. Penguatan perlindungan
hak cipta di internet ini salah satunya dengan mensinergikan perlindungan
teknis ke dalam ketentuan hak cipta. Adapun perlindungan teknis tersebut
meliputi pada manajemen informasi hak cipta, informasi elektronik hak
cipta dan sarana kontrol teknologi. Hal ini sebagaimana diatur di dalam
ketentuan Pasal 7, Pasal 52 dan Pasal 112 UU No. 28 Tahun 2014.
Namun demikian, pengaturan ini pada kenyataannya masih memiliki

I 137

beberapa catatan yang meliputi belum dimungkinkannya pembatasan dan
pengecualian yang terkait dengan kepentingan publik di bidang pendidikan,
nirlaba dan perlindungan data pribadi dan sanksi pidana yang nampaknya
belum dapat memulihkan kerugian negara atas perbuatan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Denise Rosemary Nicholson, "Digital Rights Management and Access to
Information: a Developing Country's Perspective, LIBRES Library
and Information Science Research Electronic Journal Volume 19,
Issue 1, March 2009.

Earl R. Brubaker, "Free Ride, Free Revelation, or Golden Rule?," Journal
of Law & Economics 18, no. 1 (April 1975).

Edmund W. Kitch, "The Nature and Function of the Patent System,"
Journal of Law and Economics 20, no. 2 (October 1977).

http://nasional.republika.eo.id/berita/nasional/umum/15/08/18/nta324365-
21-situs-pelanggar-hak-cipta-film-diblokir-menkominfomenkum­
ham, diakses tanggal 10 Oktober 2015.

h t t p ://www.w i p o . i n t / e d o c s / p u b d o c s / e n /e c o m m e r c e /4 50/wi p o_p ub_
1450in.pdf, diakses tanggal 7 Agustus 2016.

https://hakicase.wordpress.com/2010/04/09/kasus-kasus-pelanggaran­
desain-grafis-di-internet/, diakses tanggal 10 September 2016.

John F. Duffy, "Rethinking the Prospect Theory of Patents," University of
Chicago Law Review 71, no. 2 (Spring 2004).

Nie Garnett, "Automated Rights Management Systems and Copyright
limitations and Exceptions" Informative Session on Limitations and

rd

Exceptions Geneva November3 2008.
Peter K. Yu dalam Digital Piracy and the Copyright Response.
Stewart E. Sterk, "Rhetoric and Reality in Copyright Law," Michigan Law

Review 94, no. 5 (March 1996).
Trampas A. Kurth, Digital Rights Management: An Overview of the Public

Policy Solutions to Protecting Creative Works in a Digital Age, WISE
2002 Intern, Kansas State University, Agustus 2002.

138 I

Victoria Banti-Markouti, The Interface between Technological Protection
Measures and the Exemptions to Copyright under Article 6 Paragraph
4 of the Infosoc Directive and Section 1201 of the Digital Millennium
Copyright Act, with Particular Respect to the Implementation of
Article 6 Paragraph 4 in the National Laws of Greece, UK, and
Norway, Issues in Informing Science and Information Technology
Volume 4, 2007.

Wendy J. Gordon, "A Property Right in Self-Expression: Equality and
Individualism in the Natural Law of Intellectual Property," Yale Law
Journal 102, no. 7 (1993)

Wendy J. Gordon, "An Inquiry into the Merits of Copyright: The Challenges
of Consistency, Consent and Encouragement Theory," Stanford Law
Review 41, no. 6 (July 1989)

William M. Landes & Richard A. Posner, "An Economic Analysis of
Copyright Law," Journal of Legal Studies 18, no. 2 (June 1989).

I 139

BAB VI

COLLECTIVE MANAGEMENT ORGANIZATION
INDONESIA: PELUANG DAN TANTANGANNYA

PASCA PEMBERLAKUAN UU NO.28
TAHUN2014

Budi Agus Riswandi

A. PENDAHULUAN
Permasalahan pengumpulan dan pendistribusian royalti hak cipta

acapkali selama ini menimbulkan konflik antara pihak pengumpul dan
pendistribusi royalti hak cipta--dalam hal ini selanjutnya disebut Collective
Management Organization atau disingkat CMO, dengan pengguna hak
cipta atau antara pemegang hak cipta dengan CMO di Indonesia. Adapun
akar permasalahannya, karena tidak tersedianya pengaturan yang jelas
terhadap eksistensi dan kedudukan CMO yang melakukan pengumpulan
dan pendistribusian royalti hak cipta itu sendiri.

Dengan diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta,
di mana di dalamnya mengatur eksistensi dan kedudukan CMO, telah
memberikan peluang dan sekaligus tantangan dalam hal pengelolaan hak
cipta. Di samping itu, pengaturan eksistensi dan kedudukan CMO ini juga
semakin menarik lagi manakala pemerintah terlibat dalam hal pengawasan
CMO. Dari kondisi ini, maka pengaturan eksistensi, kedudukan dan

140 I

pengawasan CMO menjadi suatu hal yang menarik untuk ditelaah dan
diulas, terutama dari perspektif peluang dan tantangannya.

B. ARTI, FUNGSI, LINGKUP DAN MANFAAT COLL ECTIVE
MANAGEMENT ORGANIZATION

Hak cipta sebagai hak eksklusif salah hak satunya memuat hak
ekonomi. Hak ekonomi itu sendiri mengandung arti hak untuk mengambil
manfaat ekonomi dari ciptaan yang dilindungi hak cipta. Salah satu
implementasi dari hak ekonomi berupa lisensi hak cipta. Dalam konteks
lisensi hak cipta, maka hal tersebut memungkinkan pemegang hak cipta
mendapatkan kompensasi berupa royalti.342

Dalam kenyataannya, implementasi lisensi hak cipta oleh pemegang
hak cipta dengan kompensasi royalti kepada pengguna nampaknya
menjadi sangat sulit dan tidak efisien apabila hal tersebut dilakukan secara
individual dan menyangkut banyak hak ekonomi dari pemegang hak cipta.
Oleh karena itu, dalam beberapa ciptaan, seperti musik dan lagu dalam hal
implementasi lisensi hak hak cipta tidak dilakukan secara langsung antara
pemegang hak cipta dengan pengguna, namun melibatkan suatu lembaga
yang memiliki fungsi pengumpul dan pendistribusi royalti hak cipta itu
sendiri. Lembaga ini dikenal dengan istilah Collective Management
Organization atau disingkat CMO.

CMO sebelum tahun 1990 dikenal dengan istilah Collective
Administrative of Copyright and Neghboring Rights. Setelah tahun 1990
istilah "Administration" diubah menjadi "Management". Hal ini pada
akhirnya menghadirkan istilah Collective Management of Copyright and
Neghboring Rights. Penggunaan kata Management dalam konteks ini
didasarkan pada alasan; Pertama, istilah ini cenderung memiliki konotasi
resmi adanya campur tangan negara dalam administrasi hak cipta (istilah ini
dipahami merujuk kepada otoritas yang bertanggung jawab dalam struktur
pemerintah untuk melakukan fungsi negara dalam bidang hak cipta);
Kedua, istilah ini tidak cukup mengekspresikan pada peran organisasi yang

342 Royalti merupakan salah satu bentuk kompensasi ekonomi, namun bentuk kompensasi
ekonomi dapat juga diwujudkan dalam bentuk lainnya, seperti lumpsum.

I 141

pro aktif dalam mengelola hak kolektif; dan Ketiga, istilah management
banyak dipergunakan dalam kajian-kajian mengenai hak kolektif ini sejak
tahun1990.343

CMO sendiri secara historis dalam hal pengelolaan hak cipta telah
dilakukan sejak akhir tahun 1700-an. CMO diawali di Prancis pada tahun
1977 di bidang seni teater pada karya drama dan sastra. CMO dalam
perkembangannya biasa digunakan pada bidang musik. CMO pertama
dalam bidang musik didirikan pada tahun 1851 di Prancis. Organisasi
serupa yang sekarang eksis ada di 121 negara (hingga bulan Juni 2012).344

Intellectual Property Office of Singapore (IPOS) dalam layanan
websitenya memberikan defisnisi CMO sebagai berikut:

Acollective management organisation is generally formed or appointed
by copyright holders to manage the rights in their copyright works.
Collective management organisations are appointed by copyright
owners to administer the licensing of rights, collection of royalties
and enforcement of rights on their behalf.345

Selanjutnya, Alhaji Tejan-Cole dalam hal memberikan pengertian CMO
menyampaikan pendapatnya sebagai berikut:

Collective management is the exercise of copyright and related rights
by organizations and societies representing the interests of the owners
of such rights.These organizations or societies are usually referred to
in national copyright laws as licensing bodies.346

Dengan memperhatikan definisi CMO di atas, maka dapat dipahami
bahwa CMO merupakan organisasi yang dibentuk atau ditunjuk oleh
pemegang hak cipta dalam pengelolaan hak cipta yang mereka miliki.

343 Mihaly Ficsor, Collective Management of Copyright and Related Rights, WIPO,
Geneva, 2002, him. 12.

344 Tarja Koskinen-Olsson clan Nicholas Lowe, Educational Material on Collective
Management of Copyright and Related Rights, WIPO, Ganeva, 2012, him. 19

345 IPOS,"Collective Management Organizations," www.ipos.gov.sg, diakses tanggal 9
September 2016.

346 Alhaji Tejan-Cole, "Collective Management of Copyright and Related Rights," www.
belipo.bz, diakses tanggal 9 September 2016.

142 I

CMO dapat disamakan juga dengan badan perlisensian (licencing bodies)
yang mewakili kepentingan pemegang hak cipta.

CMO dalam menjalankan peranannya memiliki dua fungsi
utama. Pertama, CMO menyediakan pemegang hak cipta untuk
mengadministrasikan hak-haknya secara efektif dan murah agar
mendapatkan pendapatan yang adil dari karyanya tersebut; dan Kedua,
CMO menetapkan layanan untuk penggunaan hak-hak tersebut melalui
fasilitasi akses dan lisensi hak cipta secara mudah dan biaya yang lebih
efektif.347

Dengan dua fungsi utama, maka CMO dapat dinyatakan sebagai
organisasi intermediari antara pencipta/pemegang hak cipta dan pengguna
hak cipta dalam hal pengelolaan hak cipta. Dalam melaksanakan
kegiatannya CMO melakukan pengelolaan terhadap beberapa jenis hak
cipta dan hak terkait. Beberapa hak cipta dan hak terkait tersebut terdiri
dari.. 348
1. Karya Musik (Musical Works)

Karya musik meliputi semua jenis musik seperti, modern, jazz, klasik,
simpony, blues dan pop baik instrumental atau vokal. Dokumentasi,
lisensi dan distribusi yang merupakan tiga pilar dalam hal manajemen
kolektif dari public performing right dan broadcasting right.
2. Karya Drama (Dramatic Works)
Karya drama meliputi script, sceenplay, mime show, balet, permainan
teater, opera dan musikal. Manajemen kolektif bertindak sebagai agen,
di mana melakukan negosiasi kontrak dengan organisasi yang mewakili
teater yang mana ketentuan minimumnya adalah dikhususkan untuk
penggunaan karya khusus.
3. Karya Percetakan (Printed Works)
Karya percetakan meliputi buku, majalah, surat kabar, laporan dan
lirik lagu. Manajemen kolektif utamanya memberikan hak untuk

347 CISAC, "The Role of Collective Management Organization," www.cisac.org, diakses
tanggal 3 September 2016.

348 WIPO, "Collective Management of Copyright and Related Rights," WIPO Publication
No. L450CM(E), hlm. 6-7.

I 143

penggandaan. Manajemen kolektif melakukan pengadministrasian atas
remunerasi yang dibayarkan kepada pemegang hak cipta.
4. Seni Visual (Vi.sual Arts)
Karya visual mencakup karya tiga dimensi (paintings, statues, drawings,
lithographs, sculptures), grafik (ilustrasi, karikatur dan kartun), dan
karya fotografi. Manajemen kolektif melakukan pengelolaan hak
reproduksi, droit de suit, hak pinjam, dan hak eksibisi.
5. Hak terkait (Related Rights)
Pengaturan di beberapa negara menyediakan pembayaran bagi
pelaku pertunjukan atau produser rekaman atau keduanya ketika
dikomersialisasikan rekaman suara yang dikomunikasikan kepada
publik dengan menggunakan lembaga penyiaran.

Dengan melihat pada pengertian dan fungsi serta ciptaan yang dapat
dikelola, maka CMO ini sangat diperlukan keberadaannya untuk memenuhi
kepentingan pemegang hak cipta di satu sisi, dan kepentingan pengguna
hak cipta di sisi lainnya. Keberadaan CMO membantu pemegang hak cipta
dapat melakukan pengelolaan dan pengawasan penggunaan haknya yang
dimanfaatkan oleh pengguna hak cipta yang jumlahnya sangat banyak
melalui pemberian kuasa kepada pihak CMO, sedangkan keberadaan
CMO membantu pengguna hak cipta dengan mudah dan terbantu untuk
melakukan hubungan kontraktual dengan pemegang hak cipta yang
jumlahnya banyak dengan cara hanya diwakili oleh pihak CMO.

Namun demikian menurut Tarja Koskinen-Olsson dan Nicholas
Lowe sebenarnya ada beberapa pihak yang dapat mengambil manfaat dari
kehadiran CMO. Pihak-pihak tersebut adalah:349
1. Pihak pemegang hak cipta

Melalui layanan CMO, maka pencipta atau pelaku pertunjukan akan
dapat lebih konsentrasi pada pengembangan kreativitas. Untuk
melanjutkan aktivitas kreatif, maka diperlukan jaminan keuntungan
finansial dari penggunaan karya mereka tersebut. Dalam banyak kasus,
CMO memainkan peran yang menentukan dalam mata rantai. Apabila

349 Tarja Koskinen-Olsson dan Nicholas Lowe, Op.,Cit., hlm. 21.

144 I

penggunaan massal ditangani secara individu, maka kemungkinan
besar akan rum.it dan mahal.
2. Pihak pengguna hak cipta
Layanan CMO akan mempermudah dan membantu pengguna. Pengguna
dapat memperoleh lisensi hak cipta yang diperlukan dari sumber
utamanya baik pada tingkat nasional maupun intemasional. Misalnya,
hal yang akan sulit bagi sebuah stasiun radio untuk memperoleh lisensi
hak cipta musik dalam setiap programnya apabila dilakukan dengan
individu-individu pemegang hak cipta musik dan lagu tersebut. Hal
yang lazim dalam praktek dilakukan dengan cara bemegosiasi dengan
organisasi profesional seperti CMO.
3. Pihak pemerintah
CMO akan membantu dalam mengadptasi pelaksanaan penggunaan
hak cipta, tanpa hams melakukan perubahan peraturan perundang­
undangan dalam setiap kasus yang terkait dengan penggunaan hak
cipta. Hal ini menjadikan CMO sebagai solusi praktis yang menawarkan
penyelesaian lebih cepat dan jawaban yang layak untuk tantangan
teknologi yang terns berkembang.
4. Pihak masyarakat secara luas
Industri kreatif berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi
dan kesejahteraan sosial dari suatu bangsa. Selain aspek ekonomi,
pengetahuan dan budaya menambah nilai bagi kehidupan manusia.
Hal ini mungkin dalam bentuk pendidikan dengan bantuan buku dan
CD-ROM yang bersifat interaktif atau penelitian dengan bantuan
jumal ilmiah. Bahkan mungkin dalam bentuk hiburan melalui
musik, bioskop, video dan DVD. Dalam dunia global, penting untuk
mendorong kreativitas nasional dan budaya yang beragam. Hal ini
demi kepentingan masing-masing negara, di mana para penciptanya
dapat terns bekerja di negara mereka sendiri. Hal ini mendorong
mereka dapat menciptakan kehidupan dengan membawa produk dan
jasa mereka ke pasar. Oleh karena itu, pasar hams sehat, tanpa diwarnai
dengan pembajakan dengan dibantu melalui manajemen hak cipta yang
benar-benar berfungsi.

I 145

Oleh karena itu dengan adanya pendapat dari Tarja Koskinen-Olsson
dan Nicholas Lowe, maka keberadaan CMO pada dasamya memiliki
manfaat yang sangat luas. Berdasarkan pada hal ini, maka wajarlah apabila
CMO saat ini sangat mendapatkan perhatian dalam hal pengaturan hak
cipta di dunia, terutama yang terkait dengan pengelolaan hak cipta.

C. MODEL COLLECTIVE MANAGEMENT ORGANIZATION
DIBEBERAPANEGARA

Dengan memahami arti, fungsi, lingkup dan manfaat urgensi dari
CMO sebagaimana dikemukakan di atas, maka banyak negara melalui
ketentuan hak cipta membuat pengaturan mengenai CMO itu sendiri.
Adapun pengaturan itu terkadang antara satu negara dengan negara yang
lain berbeda. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Wengi Liu.
Ia menyatakan bahwa beberapa negara menetapkan bentuk khusus dari
CMO, sedangkan yang lain tidak.

Sebagai contoh, di Negara Italia CMO yang merupakan wadah
masyarakat pengarang dan publisher Italia disebut sebagai lembaga publik
(public authority), di Negara China CMO hams merupakan organisasi
sosial non-profit, sedangkan di Negara Kanada tidak menetapkan bentuk
khusus dari CMO. Dalam kenyataannya saat ini, negara-negara banyak
membentuk lembaga CMO sebagai lembaga non profit, meskipun
dibolehkan juga negara membentuk lembaga CMO bersifat profit.350

Selanjutnya Wengi Liu menyatakan juga bahwa model CMO juga
dilihat dari cara kerjanya terbagi menjadi beberapa model. Pertama, terdapat
CMO dalam melakukan kerjanya cenderung menggunakan pendekatan
monopoli. Dalam konteks ini CMO merupakan lembaga publik dan
hanya terdiri dari satu CMO yang mengurusi semua bidang bisnis. Dalam
pengelolaan satu hak cipta (atau hak terkait) dengan model satu CMO
ini akan mengurangi konflik dengan CMO lainnya yang telah diakui dan
diregistrasi menurut ketentuan hukum yang berlaku. Negara-negara yang
menganut pendekatan ini adalah Belgia, Yunani, Belanda, Spanyol, Prancis,

350 Wengi Liu, "Models For Collective Management of Copyrights from an International
Perspective: Potential Changes for Enhacing Performance," Journal of Intellectual
Property Rights Vol. 17, Januari 2012, hlm. 46.

146 I

Jerman (kecuali sektor audiovisual), Swedia dan China. Kedua, terdapat
CMO dalam melakukan kerjanya cenderung menggunakan pendekatan
umum (tidak monopoli). Dalam konteks pendekatan ini CMO bersifat
co-eksistensi dan mengakui iklim persaingan usaha di antara CMO yang
ada. Model CMO seperti ini dibuat dalam rangka melindungi kepentingan
pemegang hak cipta untuk mendapatkan hasil yang maksimum. Negara
yang menganut model CMO ini adalah Amerika Serikat dan Kanada.351

Dari pendapat Wengi Liu di atas, nampak bahwa pengaturan model
CMO berbeda-beda. Perbedaan pengaturan ini pada dasarnya tidak terlepas
dari beberapa alasan. Beberapa alasan yang dapat diketahui di antaranya;
Pertama, melihat kepada tujuan dari dibentuknya CMO itu sendiri. Ada
beberapa negara yang mengatur CMO ini menghendaki dibuat dalam
bentuk badan publik, sedangkan negara lainnya justru tidak demikian.
Kedua, adanya keinginan proses dan cara kerja CMO yang efektif dan
efisien serta menghargai iklim persaingan usaha yang sehat, sedangkan
yang lainnya menghendaki adanya monopoli. Dari keinginan ini, maka
pada akhirnya ada beberapa negara mengatur CMO dalam bentuk yang
tidak bersifat tunggal, namun terbuka untuk dibentuk banyak CMO.

Terlepas dari adanya perbedaan pengaturan model CMO, keberadaan
CMO di suatu negara saat ini memiliki peran yang sangat strategis.
Peran strategis CMO terletak pada dua hal, yakni, secara mikro terkait
dengan fungsinya sebagai lembaga yang memungut dan mendistribusikan
royalti dari pengguna hak cipta kepada pemegang hak cipta, sedangkan
secara makro terkait dengan pembangunan ekonomi dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat suatu bangsa.

D. SEJARAH, PERKEMBANGAN DAN PENGATURAN CMO
DI INDONESIA

Sejarah CMO di Indonesia diawali dengan berdirinya suatu lembaga
yang disebut dengan Yayasan Karya Cipta Indonesia atau disingkat YKCI
yang bergerak dalam bidang hak cipta musik dan lagu. YKCI berdiri
pada tanggal 12 Juni 1990 yang diinisiasi oleh beberapa tokoh seniman

351 Ibid, hlm. 47.

I 147

musik yakni; H Enteng Tanamal, Titiek Puspa, A. Riyanto, Rinto Harahap,
Guruh Soekarno Putra, Candra Darusman, Dimas Wahab, Paul Hutabarat,
Tubagus Sadikin Zuchra. YKCI ini didirikan dengan tujuan sebagai
wadahnya para pencipta lagu yang akan berjuang untuk kehidupan para
pencipta lagu. Para Tokoh dan insan musik Indonesiapun menyadari
kondisi tersebut dan memrakarsai untuk membentuk sebuah wadah untuk
memperjuangkan dan melaksanakan kegiatan kolektif hak para pencipta
khususnya mengenai hak mengumumkan yang dapat dinikmati oleh para
Pencipta Lagu sebagai Pemilik hak cipta selama hidupnya bahkan ketika
yang bersangkutan meninggal, maka para ahli warisnya dapat menikmati
royalti (hak ekonomi) tersebut sepanjang 50 tahun.352

YKCI sebagai lembaga CMO tunggal dalam bidang musik dan
lagu di Indonesia dalam menjalankan fungsinya menarik, menghimpun
dan mendistribusikan royalty hak cipta musik dan lagu keberadaannya
dapat dipertahankan hingga tahun 2007. Namun setelah tahun 2007
YKCI sebagai lembaga CMO tunggal dalam bidang musik dan lagu di
Indonesia tidak lagi mampu dipertahankannya. Setelah tahun 2007 banyak
bermunculan lembaga-lembaga CMO dalam bidang musik dan lagu di
Indonesia. Beberapa lembaga CMO yang sejenis seperti WAMI, Asirindo,
Prisindo dan lain sebagainya. Dengan banyak bermunculannya lembaga
CMO dalam bidang musik dan lagu, maka CMO di Indonesia tidak lagi
menganut sistem CMO tunggal, namun lebih menganut pada sistem Multi
CMO. Adanya pergeseran sistem CMO di Indonesia dari yang bersifat
tunggal menjadi multi CMO salah satunya disebabkan karena pengaturan
CMO di Indonesia memang sangat terbuka bagi dianutnya sistem CMO
tunggal ataupun multi CMO pada bidang hak cipta yang sama.

Berbicara pengaturan CMO di Indonesia di beberapa ketentuan
undang-undang hak cipta sebelum UU No. 28 Tahun 2014 diatur secara
voluntary. Pengaturan CMO secara voluntary artinya dibuat berdasarkan
kesepakatan antara pemegang hak cipta dengan pihak yang menjalankan
peran CMO. Ketika, pengaturan CMO di Indonesia diatur secara voluntary,

352 KCI, "Sejarah Karya Cipta Indonesia, www.kci-lmk.or.id diakses pada tanggal 5
September 2016

148 I

CMO di Indonesia banyak menimbulkan berbagai macam kasus. Beberapa
contoh kasus yang dapat dikemukakan di antaranya:

Pertama, kasus pelanggaran HKI di Indonesia belakangan ini
semakin meningkat. Salah satu yang cukup menyita perhatian adalah
kasus antara pihak Inul Vista dengan KCI perihal melanggar hak cipta
dengan mengedarkan dan menyalin lagu tanpa membayar royalti untuk
produser dan pencipta lagu. YKCI adalah pemegang hak cipta dari 2.636
para pencipta lagu Indonesia dengan karya sebanyak 130 ribu lagu.
Selain menjadi pemegang hak cipta para pencipta lagu Indonesia, YKCI
juga mendapat Reciprocal Agreement oleh International Confederation
of Societies of Authors and Composers (CISAC) yang berkedudukan di
Paris. Atas hal tersebut, YKCI mendapat hak untuk mengelola sebanyak
10 juta lagu asing dari buah karya 2 juta pencipta lagu asing yang
bergabung di ISAC. Sebagai pemegang hak cipta, YKCI mempunyai hak
untuk memungut royalti terhadap para pengguna lagu yang menggunakan
lagu-lagu para pencipta untuk tujuan komersial. Karaoke, termasuk
yang dikelola Vizta Pratama, dan kafe adalah tempat lagu-lagu penyanyi
diperdengarkan. Tempat karaoke wajib membayar royalti sesuai UU
No. 19 tahun 2002. Inul Vista dituding melanggar hak cipta berdasarkan
Undang-Undang Hak Cipta Pasal 2 Ayat 1, Pasal 72, Pasal 49 ayat 1 dan
Undang-Undang nomor 19 Tahun 2002, "bahwa perkembangan di bidang
perdagangan, industri, dan investasi telah sedemikian pesat sehingga
memerlukan peningkatan perlindungan bagi Pencipta dan Pemilik Hak
Terkait dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat luas." Pihak
KCI sebelumnya telah mengajukan gugatan pada tanggal 8 agustus 2014.
Dalam kasus ini pihak KCI menuding pihak Inul Vista hanya membayar
royalti sebesar 5.500.000/outlet/tahun, bahkan kemudian turun menjadi
3.500.000/outlet/tahun. Padahal sebenamya YKCI mengatakan harga
standar yang ditetapkan oleh CISAC sebesar 720.000/ruangan/tahun.
Ditengah tuntutan yang dilayangkan oleh pihak KCI pihak Inul Vista justru
mengajukan gugatan balik. Kuasa hukum Inul Vizta Karaoke, Anthony
LP Hutapea menolak dikatakan kliennya membayar royalti secara tidak
layak. Soalnya, angka Rp3,5 juta tersebut ditetapkan YKCI sendiri. Kala
itu, YKCI mengatakan harga standar yang ditetapkan oleh CISAC sebesar

I 149

Rp720 ribu/ruangan/tahun belum dapat diterapkan di Indonesia mengingat
keadaan ekonomi pelaku usaha Indonesia berbeda dengan kemampuan
pengusaha luar negeri. Juga, bisnis karaoke masih berkembang di Indonesia.
Atas hal tersebut, para pihak sepakat menentukan royalti sebesar Rp720
ribu per/kamar/tahun dipotong 40% sehingga menjadi Rp3,5 juta per
tahun. Apalagi, angka Rp3,5 juta yang sudah ditetapkan penggugat lebih
besar daripada biaya royalti yang ditetapkan lembaga pemungut royalti
lainnya, seperti Royal Musik Indonesia dan Wahana Musik Indonesia
yang hanya berkisar Rp2,5 juta/tahun. Dengan mengubah pembayaran
royalti menjadi Rp720 ribu/ruangan/tahun tanpa kesepakatan bersama,
Anthony menilai tindakan YKCI adalah tindakan sewenang-wenang dan
melanggar hukum. Namun setelah tarik ulur di pengadilan beberapa bulan
terakhir ini, akhimya Inul Daratista selaku pemilik tempat karaoke Inul
Vista dan Karya Cipta Indonesia (KCI) sebagai wadah bagi pencipta lagu
di Indonesia berdamai. Kesepakatan dan kesepahaman Inul Daratista dan
KCI ini dilakukan di Hotel Mulia, Senayan, Jakarta Pusat.353

Kedua, KasusASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) melawan
YKCI (Yayasan Karya Cipta Indonesia). ASIRI memenangkan kasus
sengketa dengan Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI). YKCI dihukum
membayar denda Rp. 84.823.200. ASIRI menuding tindakan YKCI yang
menagih dan memungut royalti dari lagu merupakan tindakan tidak sah
dan tidak berdasar hukum. Sebab, tidak satu pasal di dalam UU Hak Cipta
No 19/2002 yang memberikan kewenangan kepada YKCI untuk menagih
dan memungut royalti dari semua pihak yang memakai/mengumumkan
produk rekaman suara milik dan atau yang berasal dari ASIRI. YKCI
berhak memungut royalti dari pihak-pihak yang memakai lagu ciptaan
para pencipta, tapi dengan syarat pencipta lagu memberikan kuasa kepada
YKCI. Itu juga masih ditambahi syarat, apabila pencipta/pemberi kuasa
tersebut belum pemah memberikan hak mengumumkan ciptaan kepada
produser rekaman.354 Berdasarkan hal ini, makaASIRI melakukan gugatan

353 https://onewytria.wordpress.com/2016/04/02/kasus-inul-vista-vs-kci/, diakses tanggal
09 September 2016

354. http://celebrity.okezone.com/read/2008/05/14/33/109334/asiri-menangkan-kasus­
ykci-didenda-rp84-juta, diakses tanggal 09 September 2016.

1so I

kepada pihakYKCI dan pengadilan memutuskan gugatanASIRI dikabulkan
dengan kewajiban membayar dariYKCI sebesar Rp84.000.000,-

Ketiga, Kasus YKCI (Yayasan Karya Cipta Indonesia) melawan
PT. Telkomsel. Kasus tersebut dimulai pada saat gugatan KCI terhadap
Telkomsel pada sidang pertamanya di Pengadilan Negeri Jakarta, Rabu
(29/11)siang,danmenyatakanbahwakaryacipta laguyangtelahdiumumkan
oleh Telkomsel dalam bentuk Nada Sambung Pribadi (NSP) ada lebih dari
1.500 karya cipta lagu dalam negeri maupun luar negeri, Telkomsel tidak
melakukan pembayaran royalti kepada YKCI selaku pemegang hak cipta
atas karya lagu-lagu tersebut. Atas perbuatan pelanggaran hak cipta ini,
YKCI memperhitungkan Telkomsel telah menimbulkan kerugian materiil
bagi YKCI sebesar Rp78.408.000.000,-. Selain kerugian tersebut,YKCI
menyatakan juga telah kehilangan keuntungan yang seharusnya diharapkan
dan atau didapatkan dari royalti yang tidak dibayarkan. Sehingga
YKCI menuntut Telkomsel untuk membayar secara tunai dan sekaligus
kehilangan keuntungan tersebut sebesar 10 % per bulan dari nilai kerugian
materiil.355 Hingga saat ini KCI hanya bisa menagih senilai Rp 400 juta
bagi para komposer internasional, padahal bisnis ring tone dan RBT telah
begitu marak. Mungkin orang semakin tak sabar menunggu hasil sidang
gugatan KCI terhadap Telkomsel yang ditunda untuk kelengkapan data­
data akurat hingga 6 Desember mendatang. Upaya gugatan KCI itu,
menurut James, telah berlangsung lama sejak tahun 2002 ketika bisnis ring
tone barn dimulai. Lalu sampai RBT muncul (2004), KCI masih mencari
siapa pelaku utama kesalahan di baliknya.356

Dengan maraknya berbagai kasus yang berkaitan dengan CMO,
pemerintah melalui pemberlakuan UU No. 28 Tahun 2014 CMO mengatur
CMO secara voluntary dengan dukungan ketentuan undang-undang hak
cipta. Dukungan ketentuan undang-undang hak cipta terhadap eksistensi
dan kedudukan CMO, ini dari mulai pengertian, cara pendirian, mekanisme
kerja dan pengawasannya.

355. http://innasakinahs.blogspot.eo.id/2016/03/ykciVStelkomsel.html, diakses tanggal 09
September 2016.

356 Ibid.

I 1s1

CMO di dalam UU No. 28 Tahun 2014 lebih diterjemahkan kepada
istilah Lembaga Manajemen Kolektif atau disingkat LMK. Selanjutnya,
LMK ini apabila memperhatikan pada ketentuan UU No. 28 Tahun 2014
telah ditetapkan bentuk hukum khusus yang hams dipenuhi dan diakui. Hal
ini sebagaimana yang tertuang di dalam ketentuan Pasal 1 angka 22 UU
No. 28 Tahun 2014 menyatakan:

Institusi yang berbentuk badan hukum nirlaba yang diberi kuasa
oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta, dan/atau pemilik Hak Terkait
guna mengelola hak ekonominya dalam bentuk menghimpun dan
mendistribusikan royalti.

Memperhatikan pada ketentuan bentuk hukum LMK di atas, maka
jelas bahwa bentuk hukum LMK hams memenuhi unsur-unsur sebagai
berikut: Pertama, berbentuk badan hukum nirlaba; Kedua, memperoleh
kuasa dari pencipta, pemegang hak cipta, dan atau pemilik hak terkait; dan
ketiga, melakukan pengelolaan hak ekonomi bempa penghimpunan dan
pendistribusian royalti. Dari tiga unsur ini, maka dapat dijelaskan sebagai
berikut:

Unsur LMK pertama bahwa LMK hams dalam bentuk badan hukum
nirlaba. Berbentuk badan hukum nirlaba mengandung arti LMK tidak boleh
memiliki tujuan untuk memperoleh keuntungan atau laba. Kemudian,
dalam konteks hukum Indonesia LMK yang berbentuk badan hukum
nirlaba, maka sangat tepat hal tersebut diwujudkan dalam bentuk Yayasan.
Untuk menjalankan fungsinya, LMK tidaklah cukup hanya bempa badan
hukum nirlaba, namun berdasarkan pada ketentuan Pasal 88 ayat (1) dan
(2) UU No. 28 Tahun 2014, maka LMK tersebut juga hams memiliki izin
operasional. Adapun untuk memperoleh izin operasional ini, maka LMK
hams memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Berbentuk badan hukum Indonesia yang bersifat nirlaba;
2. Mendapatkan kuasa dari pencipta, pemegang hak cipta atau pemilik

hak terkait untuk menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti
3. Memiliki pemberi kuasa sebagai anggota paling sedikit 200 orang

pencipta untuk lembaga manajemen kolektif bidang lagu dan/atau
musik yang mewakili kepentingan pencipta dan paling sedikit 50

1s2 I

(lima puluh) orang untuk lembaga manajemen kolektif yang mewakili
pem.ilik hak terkait dan/atau objek hak cipta lainnya.
4. Bertujuan menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti.
5. Mampu menarik, menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada
pencipta, pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait.

Unsur kedua LMK, LMK hams memiliki kuasa dari pencipta,
pemegang hak cipta atau pemilik hak terkait. Pemenuhan unsur memiliki
kuasa ini hams dibuktikan dengan adanya suatu perjanjian pemberian
kuasa antara LMK dengan pencipta, pemegang hak cipta atau pemilik hak
terkait. Adapun perjanjian pemberian kuasa mem.iliki substansi penyerahan
kekuasaan dari pemberi kuasa (pencipta, pemegang hak cipta atau pem.ilik
hak terkait) kepada penerima kuasa (LMK) untuk melakukan penarikan,
penghimpunan dan pendistribusian royalti atas ciptaan yang dilindungi
hak cipta. Kepemilikan kuasa dari pencipta, pemegang hak cipta atau
pemilik hak terkait ketentuan UU No. 28 Tahun 2014 telah memberikan
pembatasan. Pembatasan terkait dengan hal ini, yakni; Pertama, untuk
ciptaan musik dan lagu, maka paling sedikit 200 orang pencipta musik dan
lagu, sedangkan untuk ciptaan lain di luar musik dan lagu atau pemilik hak
terkait paling sedikit 50 orang pencipta atau pem.ilik hak terkait.

Unsur ketiga LMK, LMK hams melakukan pengelolaan hak ekonomi
bempa penghimpunan dan pendistribusian royalti. Melakukan pengelolaan
hak ekonom.i dalam konteks ini sebenamya ketentuan UU No. 28 Tahun 2014
telah menetapkan dalam hal melakukan penghimpunan dan pendistribusian
royalti. Namun demikian, istilah penghimpunan dan pendistribusian
royalti ini apabila dicermati sangat membutuhkan penjabaran yang lebih
detail. Adapun penjabaran yang lebih detail biasanya tertuang di dalam
perjanjian pemberian kuasa. Khusus, untuk penetapan besaran royalti,
maka menumt ketentuan Pasal 89 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2014 hal
tersebut hams ditetapkan bukan saja berdasarkan kesepakatan, tetapi hams
berdasarkan kelaziman praktek berdasarkan keadilan, sedangkan dalam hal
pemanfaatan royalti oleh LMK di dalam ketentuan Pasal 91 ayat (1) dan
(2) UU No. 28 Tahun 2014 dinyatakan bahwa pemanfaatan dana royalti
LMK secara umum hanya diperbolehkan memanfaatkan dana tersebut

I 153

pada lima tahun pertama sebesar 30%, sedangkan tahun-tahun berikutnya
sebesar 20%.

Untuk mendukung LMK dapat bekerja secara efektif, efisien dan
profesional, maka ketentuan UU No. 28 Tahun 2014 telah memberikan
beberapa bentuk pengawasan atas kinerja dan laporan keuangan LMK.
Adapun hal tersebut dapat dilihat pada ketentuan Pasal 90 UU No. 28
Tahun 2014 yang menyatakan:

Dalam melaksanakan pengelolaan hak Pencipta dan pemilik Hak
Terkait Lembaga Manajemen Kolektif wajib melaksanakan audit
keuangan dan audit kinerja yang dilaksanakan oleh akuntan publik
paling sedikit I (satu) tahun sekali dan diumumkan hasilnya kepada
masyarakat melalui I (satu) media cetak nasional dan 1 (satu) media
elektronik.

Selanjutnya, di dalam ketentuan Pasal 92 ayat (1) dan (2) UU No. 28
Tahun 2014 yang menyatakan:

(1) Menteri melaksanakan evaluasi terhadap Lembaga Manajemen
Kolektif, paling sedikit 1 (satu) kali dalam setahun.

(2) Dalam hal hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menunjukkan Lembaga Manajemen Kolektif tidak memenuhi
ketentuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, Pasal
89 ayat (3), Pasal 90, atau Pasal 91, Menteri mencabut izin
operasional Lembaga Manajemen Kolektif.

Dari ketentuan Pasal 90, 92 ayat (1) dan (2) UU No. 28 tahun 2014,
maka dapat ditentukan pengawasan lembaga LMK dilakukan oleh dua
pihak, yakni; akuntan publik dan pemerintah. Akuntan publik merupakan
lembaga independen yang melakukan pengawasan pada dua aspek, yakni
laporan keuangan dan laporan kinerja LMK, sedangkan pemerintah
merupakan institusi pemerintah yang melakukan pengawasan baik pada
aspek keorganisasian, kinerja dan pengelolaan keuangan.

Dengan adanya keterlibatan auditor independen dan pemerintah dalam
pengawasan LMK, maka LMK diharapkan dapat menjalankan fungsinya
secara profesional, efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Oleh karena

154 I

itu, jika hal ini dapat diwujudkan, maka secara mikro pemegang hak cipta
dan pengguna akan sangat diuntungkan. Lalu secara makro, kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan dapat segera diwujudkan.

E. PELUANG DAN TANTANGAN CMO INDONESIA

CMO di Indonesia pasca pemberlakuan UU No. 28 Tahun 2014 telah
mendapatkan pengaturan yang lebih jelas dibandingkan pengaturan pada
ketentuan undang-undang hak cipta sebelumnya. Bentuk pengaturan CMO
dalam UU No. 28 Tahun 2014 merupakan ketentuan pendukung pada
sistem CMO yang bersifat voluntary. Dengan pengaturan CMO seperti ini,
maka ada beberapa peluang yang dapat diambil, yakni;
1. CMO sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan UU No. 28 Tahun

2014 dapat dibentuk melebihi dari satu asalkan menenuhi persyaratan
sebagaimana ditentukan dalam undang-undang. Hal ini akan
menciptakan iklim persaingan usaha yang dapat menguntungkan bagi
kepentingan pemegang hak cipta;
2. CMO sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan UU No. 28 Tahun
2014 dapat melakukan pengelolaan hak cipta pada jenis ciptaan
tertentu yang sifatnya spesifik. Oleh karena itu, akan diharapkan akan
memberikan peluang bagi optimalisasi pengelolaan hak ekonomi dari
ciptaan yang dilindungi hak cipta;
3. CMO sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan UU No. 28 Tahun
2014 telah menetapkan model kelembagaan yang sifatnya non-profit.
Oleh karena itu, lembaga ini diharapkan dapat benar-benar membawa
kepentingan pemegang hak cipta dalam memperoleh kompensasi dari
ciptaan yang dimanfaatkan oleh pihak lain;
4. CMO sebagaimana yang diatur di dalam ketentuan UU No. 28 Tahun
2014 akan dilakukan pengawasan oleh lembaga audit independen
berkenaan dengan laporan keuangan dan kinerja, sedangkan pemerintah
melakukan pengawasan dalam hak kelembagaan, laporan keuangan
dan kinerja dari CMO, maka dengan pengaturan seperti ini, maka
optimalisasi nilai ekonomi dari hak cipta bagi pemegang hak cipta akan
dapat diwujudkan.

I 155

Dengan memahami beberapa peluang, sebenarnya kehadiran aturan
barn sebagai bentuk dukungan terhadap CMO yang bersifat voluntary
nampaknya akan menghadirkan sejumlah tantangan. Beberapa tantangan
yang dapat diidentifikasi adalah:
1. Bahwa CMO yang dibentuk berdasarkan ketentuan UU No. 28 Tahun

2014, karena dapat lebih dari satu CMO dalam suatu bidang ciptaan,
maka CMO tersebut hams dapat menciptakan model kerja dan kinerja
yang efektif dan efisien bagi kepentingan pemegang hak cipta;
2. Bahwa CMO yang dibentuk berdasarkan ketentuan UU No. 28 Tahun
2014 dimana lembaga auditor independen dan pemerintah dapat
melakukan pengawasan, maka CMO hams mampu melakukan penarikan,
penghimpunan dan pendistribusian royalti secara profesional dan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku;
3. Bahwa CMO yang dibentuk berdasarkan ketentuan UU No. 28 Tahun
2014 di mana dalam hal pemanfaatan dana hasil pemungutan royalti
hanya sebesar 30% sampai 20%, maka CMO tersebut dihadapkan
pada suatu tantangan mencari strategi yang efektif agar CMO tetap
dapat eksis dalam menjalankan peranannya menarik, menghimpun dan
mendistribusikan royalti kepada pemegang hak cipta;
4. Bahwa CMO yang dibentuk berdasarkan ketentuan UU No. 28 Tahun
2014 dimana dalam menjalankan kegiatannya hams didasarkan pada
kuasa dari pemegang hak cipta secara sah dan benar, maka dituntut
dapat menyajikan data pemegang hak cipta yang akurat dan valid.
5. Bahwa CMO yang dibentuk berdasarkan ketentuan UU No. 28 Tahun
2014 hendaknya tidak hanya dapat menjalankan kegiatan penarikan,
penghimpunan dan pendistribusian royalti pada pengguna hak cipta
secara konvensional, tetapi juga hams dapat menjangkau kepada
pengguna hak cipta yang menggunakan medium digital.

F. KESIMPULAN

CMO dalam perspektif internasional merupakan organisasi yang
melakukan penarikan, penghimpunan dan pendistribusian royalti hak
cipta memiliki berbagai macam varian. Setidaknya, ada dua varian dari

156 I

CMO yakni lembaga yang bersifat profit dan non profit, sedangkan dari
kegiatannya ada yang bersifat monopoli maupun non monopoli. Dalam
konteks Indonesia, CMO dikenal dengan Lembaga Manajemen Kolektif.
Lembaga ini dikenal juga dengan singkatan LMK. Setelah diberlakukannya
UU No. 28 Tahun 2014, maka LMK di Indonesia berbentuk lembaga non
profit dan tidak bersifat monopolistik. LMK juga dibentuk berdasarkan
voluntary dengan dukungan UU No. 28 Tahun 2014. Dari bentuk LMK
seperti ini, maka temyata telah menghadirkan sejumlah peluang dan
tantangan. Peluang dan tantangan ini apabila dapat diselesaikan dengan
baik, maka akan membawa kepada semangat berkreativitas yang tinggi
dan meningkatkan kesejahteraan dari pemegang hak cipta.

DAFTAR PUSTAKA
Mihaly Ficsor, Collective Management of Copyright and Related Rights,

WIPO, Geneva, 2002.
Tarja Koskinen-Olsson dan Nicholas Lowe, Educational Material on

Collective Management of Copyright and Related Rights, WIPO,
Ganeva, 2012.
IPOS, "Collective Management Organizations," www.ipos.gov.sg, diakses
tanggal 9 September 2016.
Alhaji Tejan-Cole, "Collective Management of Copyright and Related
Rights, "www.belipo.bz, diakses tanggal 9 September 2016.
CISAC, "The Role of Collective Management Organization," www.cisac.
org, diakses tanggal 3 September 2016.
WIPO, "Collective Management of Copyright and Related Rights," WIPO
Publication No. L450CM(E).
Wengi Liu, "Models For Collective Management of Copyrights from
an International Perspective: Potential Changes for Enhacing
Performance," Journal of Intellectual Property Rights Vol. 17,
Januari 2012.
KCI, "Sejarah Karya Cipta Indonesia, www.kci-lmk.or.id diakses pada
tanggal 5 September 2016.

I 157

https://onewytria.wordpress.c om/2016/04/02/kasus-inul-vista-vs-kci/,
diakses tanggal 09 September 2016.

http://cele brity.okezon e.c om/read/2008/05/14/33/109334/asiri­
menangkan-kasus-ykci-didenda-rp84-juta, diakses tanggal 09
September 2016.

http://innasakinahs.blogspot.eo.id/2016/03/ykciVStelkomsel.html, diakses
tanggal 09 September 2016.

1ss I

BAB VII

UNDANG-UNDANG HAK CIPTA NO. 28 TAHUN
2014 DALAM KONT EKS KEPENTINGAN

PENGEMBANGANINDUS T RI KR EATIF MUSIK
DAN LAGU DIINDONESIA

Budi Agus Riswandi

A. PENDAHULUAN
Industri kreatif pada beberapa dekade ini nampaknya telah menjadi

perhatianseriusdibeberapaNegara. BeberapaNegaramemberikanperhatian
serius disebabkan industri kreatif dianggap dapat menciptakan lapangan
kerja dan kesejahteraan bagi masyarakat suatu Negara. Namun demikian,
hams diakui dalam pengembangan industri kreatif itu sendiri ada banyak hal
yang hams diperhatikan. Perlindungan hak kekayaan intelektual, khususnya
perlindungan hak cipta atas karya musik dan lagu sebagai produk industri
kreatif adalah salah satu contohnya. Hal ini tidak terkecuali dalam konteks
pengembangan industri kreatif musik dan lagu yang ada di Indonesia.

Sebagaimana diketahui, beberapa dekade sebelum diberlakukannya
UU No. 28 Tahun 2014 perlindungan hak cipta atas musik dan lagu masing
dianggap oleh banyak kalangan sangat lemah. Lemahnya perlindungan
hak cipta atas musik dan lagu ini ada beberapa faktor yang menyebabkan
hal tersebut. Salah satu faktornya terkait dengan keberadaan UU hak
cipta yang berlaku saat itu masih belum antisipatif terhadap kemungkinan
untuk dilakukannya perlindungan hak cipta atas musik dan lagu. Selain,

I 159

belum antisipatif terhadap perlindungan hak cipta atas musik dan lagu juga
ketentuanUUHakCiptadianggapdalam halpemberian insentifbelumpunya
keberpihakan yang kuat terhadap pencipta musik dan lagu di Indonesia.

B. INDUSTRI KREATIF = INDUSTRI MUSIK DAN LAGU =
INDUSTRI HAK CIPTA

Industri kreatif merupakan industri yang basisnya pada talenta dan
keterampilan seseorang dalam menghasilkan sebuah kreasi yang kemudian
dapat dilakukan komersialisasi terhadap kreasi tersebut. Dari pemahaman
atas industri kreatif seperti ini, maka sangat jelas bahwa industri kreatif
itu tumpuannya adalah pada upaya kreatif dan inovatif seseorang atau
sekelompok orang atas suatu kreasi. Untuk dapat dilakukannya upaya
kreatif dan inovatif ini, maka talenta, skill dan keterampilan seseorang
atau sekolompok orang menjadi sangat penting dan strategis. Dari sini,
wajar apabila berbicara industri kreatif, maka tidak bisa dilepaskan dari
kapasitas, kapabilatas dan kualitas sumber daya manusianya.

Upaya kreatif dan inovatif dari seseorang atau sekelompok orang
terjadi juga dalam proses menghasilkan musik dan lagu. Musik dan lagu
pada dasarnya merupakan produk kreatif dan inovatif dari seseorang atau
sekelompok orang. Musik dan lagu dihasilkan dengan cara mencari ide/
gagasan atas musik dan lagu tersebut. Ide dan gagasan dalam musik dan lagu
dapat berupa tema percintaan, ketuhanan, kritik sosial dan lain sebagainya.
Kemudian, tema tersebut dituangkan dalam bentuk syair lagu dan notasi
musik dan lagu. Musik dan lagu akan sangat terasa hasilnya, manakala
musik dan lagu tersebut dapat ditampilkan dengan diiringi oleh permainan
alat-alat musik yang mampu menghasilkan untaian suara yang harmoni.

Dengan memahami proses musik dan lagu dihasilkan, tidak salah
apabila musik dan lagu dianggap sebagai produk kreatif. Musik dan lagu
yang telah dihasilkan dan dikomersialisasikan dalam sekala yang besar
dan masif biasanya melahirkan konsep industri musik dan lagu. Konsep
industri musik dan lagu pada dasarnya basisnya adalah suatu kreativitas
yang terkait dengan dihasilkannya musik dan lagu. Dengan memahmi
demikian, maka dapat diketahui industri musik dan lagu merupakan bagian

160 I

dari industri kreatif. Alasan musik dan lagu bagian dari industri kreatif. Hal
ini dapat dipahami karena industri kreatif memiliki cakupan yang sangat
luas, di mana berbagai produk kreatif dan inovatif yang dihasilkan umat
manusia dan dapat dikomersialisasikan dalam rangka penciptaan lapangan
kerja dan kesejahteraan masyarakat, maka sesungguhnya adalah industri
kreatif. Untuk produk kreatif dan inovatif, maka ragamnya sangat banyak,
di antaranya musik dan lagu.

Dalam perspektif hak kekayaan intelektual, produk kreatif seperti
musik dan lagu ini dikualifikasikan sebagai karya di bidang seni. Dengan
dimasukkannya musik dan lagu dalam kategorisasi karya seni, maka
konsekuensi dari sisi hak kekayaan intelektual, musik dan lagu dapat
dilindungi berdasarkan hak cipta. Hak cipta dapat diartikan sebagai hak
eksklusif pencipta yang lahir secara otomatis melalui sistem deklaratif
ketika ciptaan telah diwujudkan secara nyata tanpa mengurangi pembatasan
sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tatkala dalam musik dan lagu terlahir hak cipta, maka ada dua hal
yang diperoleh, yakni; Pertama, seseorang atau sekelompok orang yang
menghasilkan musik dan lagu hams dilindungi hak-hak hukumnya---dalam
hal ini hak cipta yang memuat hak moral dan hak ekonomi; dan Kedua,
seseorang atau sekelompok orang yang menghasilkan musik dan lagu dapat
mengambil manfaat ekonomi dari musik dan lagu yang dilindungi hak
cipta. Mengambil manfaat ekonomi dari musik dan lagu yang dilindungi
hak cipta dapat berupa manfaat dari penggandaan musik dan lagu dan juga
pengumuman dari musik dan lagu. Adapun wujud manfaat ekonomi ini
dapat diejawantahkan dalam bentuk royalti. Dalam sekala yang besar, di
saat musik dan lagu dioptimalisasikan manfaat ekonominya, maka lahirlah
suatu bentuk industri barn yang dikenal dengan industri hak cipta.

C. K O NT RI BUS I IN DUST RI K R EA T I F MUS I K
DANLAGU DALAM PEREKONOMIANNASIONAL

Industri kreatif diyakni dapat dijadikan salah satu strategi dalam
rangka penciptaan lapangan kerja dan kesejahteraan masyarakat.
World Intellectual Property Organization (WIPO) yang berfokus pada

I 161

pengadministrasian hak kekayaan intelektual juga telah melakukan kajian
atas dampak dan kontribusi ekonomi kreatif terhadap pembangunan
ekonomi suatu negara. Ada dua hal yang telah dikaji oleh lembaga ini,
yakni menyangkut dampak dan kontribusi pada Produk Domestik Produk
dan penciptaan lapangan pekerjaan secara nasional. Dari dua aspek yang
dikaji WIPO dapat dikemukakan sebagai berikut:357
1. Kontribusi industri kreatif pada PDB

Kontribusi industri kreatif pada PDB di setiap negara signifikasinya
bervariasi dari mulai 10% (Amerika Serikat dan Australia) hingga di
bawah 2% untuk Brunai. Dengan rata-rata 5,4%, � dari negara-negara
mempunyaikontribusiantara5%dan 6,5%. Tiganegarayangmempunyai
PDB lebih tinggi, yakni Amerika Serikat, Australia dan Korea.

Chart 2: Cortribition of Copyriglt Industries to GDP

Avg(Y}S•'l.

IHllll�p1�111pnn1�ni;n111q11n11q1,
i
COUNTRY
SOurce: WIPO

2. Kontribusi industri kreatif pada penciptaan lapangan pekerjaan
Dampak dan kontribusi industri kreatif terhadap penciptaan lapangan
kerja memiliki signifikasi yang bervariasi juga, rata-rata 5,9%. Hampir
� negara memiliki kisaran penciptaan lapangan kerja antara 4% dan
7%. Meksiko dan Filipina merupakan negara yang memiliki angkatan
kerja tertinggi dalam bidang industri kreatif.

357 WIPO, "Copyright + Creativity= Jobs and Economic Growth," dalam WIPO Studies
on the Economic Contribution ofthe Copyright Industries, 2012, http://www.ip-watch.
org/weblog/wp-content/uploads/2012/02/WIPO-Copyright-Economic-Contribution­
Analysis-2012-FINAL-230-2.pdf, diakses tanggal 04 Juni 2016

162 I

Chart 3: Contribution of Copyright Industries to National Employment

Source: W1PO

Pada tahun 2011, berdasarkan penelitian yang dilakukan di Uni Eropa,
temyata ekonomi kreatif telah memberikan dampak dan kontribusi pada
pembangunan ekonomi Uni Eropa secara primer sebagai berikut; Pertama,
industri kreatif inti di 27 negara Uni Eropa telah meningkatkan nilai tambah
558 juta euro, kira-kira 4,4% dari total GDP Eropa; Kedua, nilai tambah
dari industri kreatif diperkirakan 860 juta euro, mewakili 6,8% share dari
GDP; Ketiga, industri kreatif mewakili kira-kira 8,3 miliar pekerja yang
bekerja penuh waktu atau total 3,8% pekerja penuh waktu di Eropa; dan
Keempat, pekerjaan yang total di industri kreatif kira-kira 14 miliar, atau
kira-kira 6,8% dari keseluruhan pekerjaan.358

Lain lagi dengan Singapura, dampak dan kontribusi dari ekonomi
kreatif di negara ini secara primer pada tahun 2000 tergambarkan sebagai
berikut; Pertama, industri kreatif berkontribusi dan memberikan nilai
tambah sebesar 2.98 juta dolar Singapura atau kira-kira 1,9% dari PDB;
Kedua, jumlah tenaga kerja yang dapat diserap sebanyak 47.000 orang,
kira-kira 2,2% dari total seluruh tenaga kerja; Ketiga, produktivitas tenaga
kerja di industri kreatif 63,543 dolar Singapura per pekerja; dan Keempat,
ekspor industri kreatif Singapura mencapai 536 miliar dolar Singapura.359

358 Forum Davignon dan TERA Consultation, "Executive Summary" dalam The economic
contribution of the creative industries to EU GDP and employment Evolution 2008-
2011, September 2014, hlm. 5.

359 Toh Mun Heng, dkk, Op., Cit., hlm. 54.

I 163

Di Indonesia, peran industri kreatif dalam ekonom.i Indonesia cukup
signifikan dengan besar kontribusi terhadap PDB rata-rata tahun 2002-2006
adalah sebesar 6,3% atau setara dengan 104,6 triliun rupiah (nilai konstan)
dan 152,5 triliun rupiah (nilai nominal). Industri ini telah mampu menyerap
tenaga kerja rata-rata tahun 2002-2006 adalah sebesar 5,4 juta dengan
tingkat partisipasi sebesar 5,8% (Departemen Perdagangan RI, 2007).

Dalam hal kontribusi industri kreatif musik dan lagu di Indonesia
kecenderungannya lebih tinggi dibandingkan dengan produk industri
kreatif yang lainnya. Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI)
menyatakan industri musik saat ini menguasai 85% pasar dalam negeri
industri kreatif, meskipun distribusi musik sudah bergeser dari semula
dalam bentuk album fisik menjadi musik digital. ASIRI juga mencatat nilai
tambah yang dihasilkan subsektor ini mencapai Rp4,8 triliun pada 2012
dan diperkirakan meningkat hingga Rp5 triliun di tahun 2013.360

Selanjutnya, menurut Direktur Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis
Seni dan Budaya Kementerian Pariwisata dan Ekonom.i Kreatif
(Kemenparekraf) Ahman Sya menuturkan bahwa saat ini industri musik
telah menyumbang Rp5,2 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
sepanjang 2013 dengan jumlah usaha dan serapan tenaga kerja yang
mengalam.i peningkatan setiap tahunnya.361

Berdasarkan pada kajian yang dilakukan di beberapa negara dan
organisasi intemasional, maka dapat dikemukakan bahwa ekonom.i kreatif
mem.iliki potensi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat di suatu
negara. Atas dasar hal ini, maka tidak mengherankan apabila banyak
negara mulai semakin serius mengembangkan ekonom.i kreatif ini. Bentuk
keseriusan itu, dilakukan juga melalui pembentukan hukum yang berkaitan
dengan ekonom.i kreatif. Adapun pembentukan hukum ini dimaksudkan
untuk melakukan rekayasa sosial agar perkembangan ekonom.i kreatif
dapat diarahkan pada maksud dan tujuan yang telah ditetapkan.

360. http://lifestyle.bisnis.com/read/20140930/225/261214/-industri-musik-kuasai-85-
pasar-industri-kreatif, diakses pada tanggal 15 September 2016.

361. http://www.neraca.eo.id/article/44026/industri-musik-sumbang-rp52-triliun-ke-pdb­
ekonomi-kreatif, diakses pada tanggal 15 September 2016.

164 I

D. UU HAK CIPTA DALAM KONTEKS KEPENTINGAN
PENGEMBANGAN IN D US TRI KRE ATIF MUS IK
DAN LAGUINDONESIA

Peraturan perundang-undangan hak cipta dapat mencerm.inkan
dua sisi kepentingan pencipta dan/atau pemegang hak cipta yang dapat
diakomodasi. Dua sisi kepentingan tersebut adalah; Pertama, sisi
kepentingan perlindungan. Sisi kepentingan perlindungan ini biasanya
peraturan perundang-undangan hak cipta mengatur tentang aspek
ciptaan yang dapat dilindungi, mekanisme perlindungan, jangka waktu
perlindungan dan sanksi hukum apabila ada pihak yang melanggar atas
perlindungan hak cipta itu sendiri. Kedua, sisi kepentingan insentif. Sisi
kepentingan insentif ini biasanya dengan adanya perlindungan hak cipta,
maka pencipta atau pemegang hak cipta akan memperoleh insentif. Bentuk
nyata insentif tersebut berupa penghargaan terhadap diri pencipta dan
kompensasi dalam bentuk nilai ekonom.i dari ciptaan yang dihasilkannya.

Sejalan dengan pemikiran di atas, apabila dikontekstualisasikan
dengan ciptaan musik dan lagu, maka pada dasarnya para pencipta musik
dan lagu sesungguhnya sangat memerlukan dua kepentingan sebagaimana
yang terdapat di dalam paraturan perundang-undangan hak cipta tersebut.
Setidaknya ada beberapa alasan yang mendasari hal tersebut, yakni;
Pertama, musik dan lagu merupakan kreasi yang dihasilkan dari olah fikir
dan talenta pencipta musik dan lagu. Kemudian, kreasi ini dilakukan dengan
menggunakan segenap kemampuan intelektual, waktu, biaya dan tenaga
yang dim.iliki oleh pencipta musik dan lagu. Upaya kreasi ini dilakukan
juga dengan cara difiksasikan, hams memenuhi syarat orisinalitas dan
kreativitas. Dari karakteristik proses penciptaan musik dan lagu seperti ini,
maka sangat logis apabila ciptaan musik dan lagu masuk sebagai objek
dari peraturan perundang-undangan hak cipta. Hal ini karena peraturan
perundang-undangan hak cipta mem.iliki lingkup pada wujud penciptaan
dalam bidang seni, termasuk salah satunya ciptaan musik dan lagu.

Dengan memposisikan ciptaan musik dan lagu sebagai ciptaan yang
ada pada lingkup peraturan perundang-undangan hak cipta, maka pencipta
musik dan lagu menjadi sangat tepat apabila mereka mendapatkan dua
kepentingan sebagaimana yang terdapat di dalam peraturan perundang-

1 165

undangan bak cipta; Kedua, secara empirik, ciptaan musik dan lagu
merupakan ciptaan yang ada pada lingkup peraturan perundang-undangan
bak cipta, di mana realitasnya ciptaan musik dan lagu ini telab banyak
dilakukan perbanyakan atau pengumuman tanpa bak dari penciptaannya,
sehingga sangat merugikan pada kepentingan penciptanya. Di sisi
lain, ciptaan musik dan lagu merupakan ciptaan yang ada pada lingkup
peraturan perundang-undangan bak cipta yang secara ekonomi potensial
mengbasilkan manfaat ekonomi. Hal ini juga menjadi alasan kuat pencipta
musik dan lagu membutubkan dua kepentingan sebagaimana yang tertuang
di dalam peraturan perundang-undangan bak cipta.

Dari pemabaman atas bal di atas, maka apabila merujuk pada
ketentuan UU No. 28 Tabun 2014 sebagai landasan peraturan perundang­
undangan bak cipta di Indonesia akan ditemukan beberapa norma yang
mengakomodir dua kepentingan untuk pencipta musik dan lagu. Dari
sisi perlindungan, ketentuan UU No. 28 Tabun 2014 telab mendudukkan
ciptaan musik dan lagu sebagai bagian yang dilindungi bak cipta. Adapun
ketentuan yang menguatkan bal tersebut tertuang di dalam ketentuan Pasal
1 angka 3 UU No. 28 Tabun 2014 yang menyatakan:

Ciptaan adalab setiap basil karya cipta di bidang ilmu pengetabuan,
seni, dan sastra yang dibasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran,
imajinasi, kecekatan, keterampilan, alau keahlian yang diekspresikan
dalam bentuk nyata.

Ketentuan Pasal 1 angka 3 UU No. 28 Tabun 2014 dengan tegas
menyatakan babwa ciptaan yang dimaksud dalam undang-undang tersebut
ada pada basil karya cipta di bidang seni salab satunya. Ciptaan musik
dan lagu merupakan ciptaan yang masuk basil karya cipta di bidang seni.
Penegasan ciptaan musik dan lagu sebagai objek ciptaan yang dilindungi
bak cipta juga diatur pada ketentuan Pasal 40 ayat (1) burn£ d UU No.
28 Tabun 2014 yang berbunyi: "Ciptaan yang dilindungi meliputi Ciptaan
dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, terdiri atas: ...d. lagu
dan/atau musik dengan atau tanpa teks; ..."

Selanjutnya, sisi perlindungan lainnya, keentuan UU No. 28 Tabun
2014 telah mengatur mekanisme dan jangka waktu perlindungan bak cipta.

166 I

Mekanisme perlindungan hak cipta didasarkan melalui sistem deklaratif,
yakni ketika suatu ciptaan diwujudkan secara nyata, maka ciptaan tersebut
mendapatkan perlindungan secara otomatis. Hal ini sebagaimana tertuang
di dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 UU No. 28 Tahun 2014 yang berbunyi:

Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam
bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Jangka waktu perlindungan hak cipta musik dan lagu telah diatur di
dalam ketentuan Pasal 58, (1), (2) dan 28 Tahun 2014. Di dalam ketentuan
Pasal 58 ayat (1) (2) dan (3) UU No. 28 Tahun 2014 dijelaskan dua hal
yakni, ciptaan yang dilindungi dan masa waktu perlindungan ciptaan
tersebut. Adapun menurut ketentuan Pasal 58 ayat (1) UU No. 28 Tahun
2014 menyatakan perlindungan hak cipta atas ciptaan;...d. lagu atau
musik dengan atau tanpa teks...berlaku selama hidup Pencipta dan terus
berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal
dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. Sanksi hukum
yang dikenakan kepada pihak yang melakukan pelanggaran atas cipataan
lagu atau musik berupa sanksi ganti kerugian dan sanksi pidana penjara
dan denda.

Dari sisi insentif, ketentuan UU No. 28 Tahun 2014 telah memberikan
bentuk insentif berupa penghargaan terhadap diri pencipta dan kompensasi
dalam bentuk nilai ekonomi dari ciptaan musik dan lagu yang dihasilkannya.
Beberapa ketentuan yang mengatur penghargaan terhadap diri pencipta
musik dan lagu dan kompensasi dalam bentuk nilai ekonomi dari ciptaan
musik dan lagu dapat dilihat pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a dan
Pasal 8 UU No. 28 Tahun 2014. Di dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf
a UU No. 28 Tahun 2014 berbunyi: "Hak moral sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 merupakan hak yang melekat secara abadi pada diri Pencipta
untuk: a. tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada
salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum..." Dari
ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 28 Tahun 2014 tegas ketentuan
ini memberikan penghargaan pada diri pencipta berupa pencantuman nama

I 167

pencipta. Dalam hal kompensasi dalam bentuk nilai ekonomi dari ciptaan
music dan lagu dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 angka 21 UU No.
28 Tahun 2014 yang berbunyi: "Royalti adalah imbalan atas pemanfaatan
Hak Ekonomi suatu Ciptaan atau Produk Hak Terkait yang diterima oleh
pencipta atau pemilik hak terkait." Ketentuan Pasal 1 angka 21 UU No. 28
Tahun 2014 tidak secara spesifik menyatakan royalti sebagai kompensasi
dalam bentuk nilai ekonomi bagi ciptaan musik dan lagu, namun dalam
ketentuan tersebut dinyatakan imbalan atas pemanfaatan hak ekonomi
suatu ciptaan. Akan tetapi makna ciptaan itu sendiri pada dasarnya memuat
ciptaan musik dan lagu juga.

E. KESIMPULAN
Kehadiran UU No. 28 Tahun 2014 merupakan babak barn dalam

pengembangan industri kreatif musik dan lagu Indonesia. Hal ini
setidaknya dengan diberlakukannya UU No. 28 Tahun 2014, maka industri
kreatif musik dan lagu diharapkan akan mencapai dua kepentingan, yakni;
kepentingan perlindungan hukum dan kepentingan memberikan insentif.
Dalam hal kepentingan perlindungan hukum ketentuan UU No. 28 Tahun
2014 telah memberikan perlindungan bagi industri kreatif musik dan lagu
lebih lama lagi, yakni seumur hidup plus 70 tahun, sedangkan kepentingan
memberikan insentif bagi industri kreatif musik dan lagu dibuktikan dengan
diakuinya pemberian royalti melalui sistem Lembaga Manajemen Kolektif.

DAFTAR PUSTAKA
WIPO, "Copyright + Creativity = Jobs and Economic Growth," dalam

WIPO Studies on the Economic Contribution of the Copyright
Industries, 2012, http://www.ip-watch.org/weblog/wp-content/
uploads/2012/02/WIPO-Copyright-Economic-Contribution­
Analysis-2012-FINAL-230-2.pdf, diakses tanggal 04 Juni 2016

168 I

Forum Davignon dan TERA Consultation, "Executive Summary" dalam
The Economic Contribution of the Creative industries to EU GDP
and Employment Evolution 2008-2011, September 2014.

http://lifestyle.bisnis.com/read/20140930/225/261214/-industri-musik­
kuasai-85-pasar-industri-kreatif, diakses pada tanggal 15 September
2016.

http://www.neraca.eo.id/artic1e/44026/industri-musik-sumbang-rp52-
triliun-ke-pdb-ekonomi-kreatif, diakses pada tanggal 15 September
2016.

I 169

BAB VIII

PROBLEMATIKA JAMINAN FIDUSIA HAK
CIPTA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP
PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF

DI INDONESIA

Budi Agus Riswandi

A. PENDAHULUAN

Abad ini merupakan abad pengembangan ekonomi kreatif di dunia.
Betapa tidak, melalui pengembangan ekonomi kreatif banyak negara
mampu mengembangkan kegiatan ekonominya. Salah satu negara yang
mengawali konsep pengembangan ekonomi kreatif adalah Austria yang

termaktub dalam laporan "creative nation" pada tahun 1994. Kemudian,

hal ini diimplementasikan secara formal pertama kali di dunia pada tahun

1998 oleh Inggris melalui DCMS (Department of Culture, Media and
Sports). Pengimplementasian ini diharapkan dapat mendorong peningkatan

kesejahteraan dan lapangan kerja.
Dari dampak positif tersebut, ekonomi kreatif mulai dikembangkan di

banyak negara, tidak terkecuali Indonesia. Kesungguhan Indonesia dalam
mengembangkan ekonomi kreatif dimulai sejak terbentuknya Kementerian
Ekonomi Kreatif dan Pariwisata pada masa rezim Susilo Bambang
Yudoyono. Pembentukan kementerian tersebut juga diikuti dengan
pembuatan Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia yang

110 I

didasarkan kepada Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009. Pengembangan
ekonomi kreatif di Indonesia semakin digiatkan lagi melalui pembentukan
Badan Ekonomi Kreatif berdasarkan Peraturan Presiden No. 6 Tahun 2015
tentang Badan Ekonomi Kreatif.

Namun demikian, upaya pengembangan ekonomi kreatif, khususnya
pada industri kreatif tidaklah cukup hanya dengan membuat kebijakan
di atas. Pemerintah dalam konteks ini hams dapat lebih produktif lagi
mengeluarkan berbagai kebijakan yang pro dengan pengembangan
industri kreatif. salah satunya, pemerintah saat ini telah melakukan
perubahan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menjadi UU No.
28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Di dalam salah satu ketentuan UU No.
28 Tahun 2014 dinyatakan bahwa hak cipta dapat dijadikan sebagai objek
jaminan fidusia. Dengan adanya ketentuan ini, maka industri kreatif yang
menopang pengembangan ekonomi kreatif mempunyai peluang untuk
dapat dikembangkan sedemikian rupa. Permasalahannya, apakah dengan
ketentuan tersebut serta merta industri kreatif dapat dikembangkan?
Permasalahan apakah yang dapat ditimbulkan? Implikasi apakah yang
akan timbul apabila ketentuan tersebut tidak dapat diimplementasikan atau
"dipaksakan" untuk diimplementasikan?

B. INDUSTRI KREATIF SEBAGAI INDUSTRI YANG BERBASIS
PADA KREATIVITAS

Kegiatan bisnis hari ini tidak terlepas dari suatu kreativitas. Bahkan,
kreativitas telah menjadi kunci penting dalam pengembangan bisnis hari
ini dan kedepan. Kreativitas yang menurut Christ Bilton kata "kreativitas"
mengandung beberapa arti. Pertama, kreativitas berkaitan dengan
sesuatu yang barn atau berbeda, atau a deviation from conventional tools
and perspectives. Kedua, istilah tersebut berarti bahwa individu hams
diberikan kebebasan untuk mengekspresikan bakat dan visi mereka (aspek
manajemen) atau bahwa sesuatu yang barn tersebut hams bermanfaat bagi
publik (aspek piskologis).362 Perlu diketahui, dalam konteks ini kreativitas

362 Basuki Antariksa, Konsep Ekonomi Kreatif: Peluang dan Tantangan dalarn
Pembangunan di Indonesia, Bagian Hukum, Kepegawaian, dan Organisasi,

I 111

dan inovasi merupakan dua hal yang berbeda. Menurut John Howkins
kreativitas dan inovasi perbedaannya sebagaimana dikemukakan sebagai
berikut:

Creativity is in the individual and it is subjective; Innovation is group­
based and is objective. Innovation always goes to a Committee at some
stage and will only be allowed to continue if it is approved. Whereas
creativity is much more fuzzy and subjective. Creativity can move to
innovation; creativity can power innovation; creativity can result in
innovation. Innovation never causes creativity...363•

Memperhatikan pada perbedaan kreativitas dan inovasi, ternyata
kreativitas dapat merupakan kekuatan dalam berinovasi. Mengingat
kreativitas memiliki nilai yang strategis tidak mengherankan apabila
para sarjana ekonomi banyak berpendapat bahwa suatu negara apabila
menghendaki maju secara ekonomi, maka harus mampu mengelola
pekerjaan kreatif. Dari sini juga, lahirlah model ekonomi barn yang dikenal
dengan a concept-driven economy.364 Daniel Pink dalam bukunyaA Whole
New Mind menjelaskan model ekonomi a concept-driven economy, dimana
ia menyatakan:

that the shift from the InformationAge to the ConceptualAge rests on
three modern occurrences: (1)Abundance, or the easy availability of
a wide variety of quality products at a low cost; (2) Outsourcing of
jobs toAsia; and (3)Automation, allowing many analytical tasks to be
done more easily and effectively by computers rather than humans...365

Dampak dari hal ini, John Howkins menyatakan:

Sekretariat Direktorat Jenderal Ekonomi Kreatif Berbasis Seni dan Budaya,
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, t.t; t.t, him. 1.
363 Donna Ghelfi, "Understanding the Engine of Creativity in a Creative Economy: An
Interview with John Howkins," Creative Industries Division, Office of Strategic Use
of Intellectual Property for Development, WIPO, hlm. 4.
364 Daniel H. Pink, A Whole New Mind: Moving From the Information Age to the
Conceptual Age, (2005), hlm. 28-47
365 Ibid.

112 I

On the supply side, automation in the manufacturing industries and,
to a smaller extent, in the service industries has cut the demand for
manual labour, so young people are looking elsewhere for work. Many
turn to the creative industries, which may offer an attractive lifestyle
and above-average economic rewards.366

Dari penyataan John Howkins sangatjelas salah satu dampaknya telah
banyak tercipta berbagai macam industri kreatif yang digerakkan oleh
kaum muda. Industri kreatif sendiri ada banyak pihak yang mendefinisikan.
Menurut United Nation Confrence on Trade and Development (UNCTAD)
yang dinyatakan bahwa:

Creative industries can be defined as the cycles of creation,
production, and distribution of goods and services that use creativity
and intellectual capital as primary inputs. They comprise a set of
knowledge-based activities that produce tangible goods and intangible
intellectual or artistic services with creative content, economic value
and market objectives.367

Sementara itu, pengertian industri kreatif sebagaimana yang dikemukakan
oleh World Intellectual Property Organization (WIPO) sebagai berikut:

Creative industries- industries that include the cultural industries
plus all cultural or artistic production whether live or produced as an
individual unit. The creative industries are those in which the product
or service contains a substantial element of artistic or creative
endeavor.368

Pengertian industri kreatif juga dinyatakan oleh Departement of
Culture, Media and Sport. Departement of Culture, Media and Sport
menyatakan: Creative Industry: Those industries which have their origin
in individual creativity, skill and talent and which have a potential for

366 John Howkins, The Creative Economy: How People Make Money from Ideas 124 (2d
ed. 2007, Wm.xv.

367 United Nation, Creative Economy: A Fesable Development Option, UN Report 2010,
hlm.3.

368 http://www.wipo.int/ip-development/en/creative_industry/, diakses tanggal 02 Juni
2016.

I 173

wealth and job creation through the generation and exploitation of
intellectual property.369

Dalam Cetak Biru Pengembangan Ekonomi Kreatif Indonesia,
industri kreatif dinyatakan sebagai industri yang berasal dari pemanfaatan
kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan

kesejahteraan dan lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan

memberdayakan daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.
Secara konseptual industri kreatif telah melahirkan sektor-sektor

industri kreatif. Dalam hal sektor-sektor industri kreatif ini ada banyak
konsep yang berkembang. UNCTAD menyatakan sektor industri kreatif

dapat dibagi menjadi empat, yakni; heritage, arts, media dan functional
creations. Secara lengkap sektor industri kreatif yang dikonseptualisasikan

oleh UNCTAD dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

UNCTAD classification of creative mdustnes

Heritage
Arts

Media

Functional
creations

WIPO membagi industri kreatif ke dalam delapan sektor. Adapun

sektor-sektor yang dimaksudkan adalah; Press and Literature; Music,
Theatrical Productions and Opera; Motion Picture, Vi.deo and Sound;
Radio and Television; Photography, Vi.sual and Graphic Arts, Related
Professional and Technical Services; Software, Databases and New Media;
Advertising Services; Copyright Collective Management Societies.

369 Benhua Wang, "Creative industries-a summary of international research and
comparisons," Powerpoint Presentation, t.t; t.t, him. 3.

174 I

Sementara itu, Departement of Culture, Media and Sport telab
membagi industri kreatif menjadi tiga belas sektor yakni; Advertising,
Architecture, Arts, Crafts, Design, Fashion, Film & Video, interactive
leisure software, music, performing arts, publishing, television, dan radio.

Indonesia yang saat ini juga berupaya mengembangkan industri kreatif
telab membagi industri kreatifnya ke dalam lima belas sektor, yakni;
periklanan, arsitektur, seni dan pasar antik, kerajinan, desain, fashion, film
video dan fotografi, game interaktif, musik, seni pertunjukan, penerbitan
dan percetakan, layanan komputer dan software, radio dan televisi, riset
dan pengembangan, dan kuliner.

Dengan memabami berbagai definisi industri kreatif dan sektor-sektor
yang ada di dalamnya, maka dapat dikemukakan beberapa bal mengenai
industri kreatif, yakni; Pertama, industri kreatif merupakan bagian dari
kegiatan industri yang didasarkan pada kreativitas individual; Kedua,
industri kreatif pada kenyataannya banyak digerakkan oleb orang-orang
yang usianya masib muda; dan ketiga, industri kreatif memiliki orientasi
pada upaya menciptakan kesejabteraan dan lapangan pekerjaan.

C. HAK CIPTA SEBAGAI HAK KEBENDAAN DAN MULT IHAK
Hak cipta merupakan salab satu jenis dari bak kekayaan intelektual.

Hak cipta merupakan bak eksklusif yang dilekatkan pada suatu karya
dibidang seni, sastra dan ilmu pengetabuan. Hak cipta sendiri sebagai basil
kreasi bukum pada dasarnya merupakan upaya memberikan pengbargaan
dan perlindungan atas basil dari suatu penciptaan. Bagaimanapun, suatu
penciptaan dalam kenyataannya dapat mengbasilkan ciptaan membutubkan
upaya yang sunggub-sunggub dari penciptanya. Upaya sunggub-sunggub
tersebut tidak banya dalam proses penciptaan itu memanfaatkan saran dan
prasarana, biaya, waktu dan tenaga, tetapi yang lebib utama lagi adalab
kemampuan dalam mencari ide/gagasan yang sifatnya kreatif dalam bidang
seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Dalam konteks inilab pentingnya bak
cipta sebagai kreasi bukum dalam rangka memberikan suatu pengbargaan
dan perlindungan.

I 11s

Perlu diketahui, di dalam konsep hak cipta suatu ciptaan akan
memperoleh hak cipta apabila ciptaan tersebut telah memenuhi beberapa
persyaratan, yakni; Pertama, ciptaan dalam bidang seni, sastra dan ilmu
pengetahuan. Ciptaan dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan
merupakan lingkup khusus untuk hak cipta. Bentuk dari ciptaan dalam
bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan sangat beraneka ragam. Semisal,
ciptaan seni ukir, patung, lukis, karya tulis, novel, animasi dan software.
Kedua, hams dilakukan fiksasi. Fiksasi artinya, suatu ide atau gagasan
dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan hams diwujudkan dalam
bentuk yang nyata. Hak cipta tidak untuk suatu ide atau gagasan, meskipun
ide atau gagasan tersebut dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan.

Ketiga, hams memiliki unsur orisinalitas. Orisinalitas mengandung
arti bahwa seseorang yang dianggap sebagai pencipta adalah benar telah
membuat ciptaan tersebut. Orisinalitas bukan diartikan bahwa ciptaan
tidak dipengamhi oleh ciptaan-ciptaan orang lain. Dalam hal orisinalitas
yang dipengamhi oleh ciptaan-ciptaan orang lain tidak berakibat pada
orisinalitas tetapi lebih kepada tinggi rendahnya kreativitas. dan Keempat,
memiliki kreativitas. Kreativitas pada dasarnya berhubungan dengan
orisinalitas. Apabila orisinalitas dari ciptaan tinggi, maka kreativitas juga
akan tinggi. Sebaliknya, ketika orisinalitas rendah, maka kreativitas juga
menjadi rendah.

Dengan memahami ciptaan yang dapat memperoleh hak cipta di atas
menegaskan bahwa ciptaan yang pada dasarnya produk kreatif. Adapun
letak produk kreatif tersebut pada hal ciptaan memiliki keunikan, terutama
dalam hal orisinalitas dan kreativitasnya.

Ketika ciptaan sebagai produk kreatif dalam perspektif hak
cipta, ciptaan tersebut dapat diberikan hak cipta. Pengertian hak cipta
sebagaimana diatur di dalam Pasal 1 angkat 1 UU No. 28 Tahun 2014
dinyatakan: Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara
otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan
dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Dari pengertian hak cipta ini, maka dapat
diketahui unsur-unsur hak cipta, yaitu;

176 I

1. Hak eksklusif
Hak eksklusif artinya hak monopoli. Hak monopoli ini terdiri dari; hak
untuk menggunakan sendiri ciptaannya, hak untuk mengizinkan orang
lain menggunakan ciptaannya, hak untuk mengalihkan kepada pihak
lain, dan hak untuk melarang orang lain menggunakan ciptaannya.

2. Otomatis dengan sistem deklaratif
Otomatis dengan sistem deklaratif mengandung arti untuk lahirnya
hak cipta tidak memerlukan proses pendaftaran, namun dengan telah
diwujudkannya ciptaan ke dalam bentuk nyata, maka hak cipta telah
lahir.

3. Ciptaan yang diwujudkan secara nyata
Ciptaan yang diwujudkan secara nyata mengandung arti ciptaan
tersebut harus dapat dirasakan oleh panca indra.

4. Tanpa mengurangi pembatasan
Tanpa mengurangi pembatasan artinya hak cipta yang bersifat monopoli
tidak diartikan secara absolut, namun bersifat relatif. Ada dua hal
sifat monopoli hak cipta bersifat relatif, yakni; adanya jangka waktu
perlindungan serta pembatasan dan pengecualian hak cipta.

Hak cipta secara konsepsional dibagi lagi menjadi beberapa jenis
hak, yakni hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah hak untuk
mengambil manfaat ekonomi dari ciptaan yang dilindungi hak cipta,
sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta dan tidak
dapat dialihkan atau diperalihkan. Sejalan dengan dua macam hak ini,
berkembang lagi jenis-jenis hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi
terdiri dari:370

a. The reproduction right atau hak reproduksi merupakan hak yang
paling fundamental dari seluruh hak ekonomi dan hak ini diakui
baik dalam Konvensi Bern, Universal Copyright Convention
maupun hukum hak cipta di setiap negara. Hak ini pada hakekatnya
adalah memberi izin untuk mereproduksi atau mengkopi atau
menggandakan jumlah ciptaan dengan berbagai cara, misalnya

370. Ibid, hlm.72-74.

I 177

dengan cara mencetak (print) atau secara mekanik. Itu sebabnya
hak mereproduksi ini sering di bagi lagi menjadi printing right dan
mechanical right.
b. The adaptation right adalah hak memberi izin melakukan adaptasi,
aransemen, atau perbuatan lain untuk mengubah bentuk sebuah
karya, misalnya menerjemahkan satu karya dari satu bahasa
ke bahasa lain, membuat aransemen musik dan lain-lain. The
adaptation right dengan jelas diakui oleh the Berne Convention dan
Universal Copyright Convention. Saal terminologi ada juga penulis
yang menamai hak ini sebagai alteration right yang mencakup
adaptation right dan translation right.
c. The distribution right adalah hak memberi izin untuk
mendistribusikan (menyebarkan) basil penggandaan suatu karya
kepada publik. Termasuk pada kelompok hak ini, antara lain
menjual, menyewakan dan bentuk-bentuk lain pengalihan basil
perbanyakan dari suatu karya. Kecuali yang berhubungan dengan
karya cinematografi. di dalam the Bern Convention, the distribution
right ini tidak jelas diakui di dalam the Bern Convention dan
Universal Copyright Convention.
d. The public performance right adalah hak memberi izin untuk
menampilkan suatu karya kepada publik. Hak ini juga diakui,
baik dalam the Bern Convention maupun Universal Copyrights
Convention. Oleh penulis dan juga kalangan collecting society
seperti Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI), istilah yang
dipergunakan adalah performance right yang di dalamnya termasuk
menampilkan karya kepada publik secara langsung (live) maupun
melalui penyiaran (broadcast).
e. The broadcasting right hak memberi izin untuk menyiarkan suatu
karya dengan menggunakan kabel. Ada dua bentuk penyiaran dengan
kabel ini, yaitu; cabel transmission dan cable origination. Bentuk
yang pertama adalah pentransmisian kembali dengan kabel suatu
penyiaran karya, jadi merupakan sebuah kegiatan meneruskan yang
sudah ada (pre-existing). Bentuk yang kedua adalah pentransmisian
asli dengan kabel sebuah karya. Di dalam the Bern Convention

178

bentuk yang pertama ditempatkan sebagai bagian dari broadcasting
right dan bentuk yang kedua diberlakukan sebagai salah satu bagian
dari the public performance right.
Di dalam Pasal 9 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2014 telah dikemukakan
beberapa hak ekonomi yang diakui, yakni;
a. Penerbitan Ciptaan;
b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
c. Penerjemahan Ciptaan;
d. Pengadaptasian, pengaransemenan, pentransformasian Ciptaan;
e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
f. Pertunjukan Ciptaan;
g. Pengumuman Ciptaan;
h. Komunikasi Ciptaan; dan
i. Penyewaan Ciptaan
Stewart sebagaimana dikutip oleh Otto Hasibuan mengkonstatir
bahwa ada tiga basis hak moral, yakni;371
a. Droit de divulgation (the right of publication) is the right to decide
whether the work is to be made public.
b. Droit de paternite (the right of paternity) is the right to claim
authorship of published works.
c. Droit de respect de ]'oeuvre (the right of integrity) is the right of
author to safeguard his reputation by preserving the integrity of the
work.
Hak moral ini merupakan hak yang tidak dapat dialihkan kepada pihak lain.
Hak moral di dalam UU No. 28 Tahun 2014 telah dirinci dalam ketentuan
Pasal 5, 6, dan 7 UU No. 28 Tahun 2014. Secara lengkap hak moral yang
diakui dalam UU No. 28 Tahun 2014 adalah:
a. Tetap mencantumkan atau tidak mencantumkan namanya pada
salinan sehubungan dengan pemakaian Ciptaannya untuk umum;
b. Menggunakan nama aliasnya atau samarannya;

371 Otto Hasibuan, Hak Cipta di Indonesia (1injauan Khusus Hak Cipta Lagu,
Neighbouring Rights dan Collecting Society), Bandung: Alumni, 2008, hlm.70. Lihat
juga Tomi Swyo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Era Global Sebuah
Kajian Kontemporer, Bandung: Graha Ilmu, 2010, him. 89.

I 179

c. Mengubah Ciptaannya sesuai dengan kepatutan dalam masyarakat;
d. Mengubah judul dan anak judul Ciptaan; dan
e. Mempertahankan haknya dalam hal terjadi distorsi Ciptaan, mutilasi

Ciptaan, modifikasi Ciptaan, atau hal yang bersifat merugikan
kehormatan diri atau reputasinya

Di samping hak cipta memiliki pengertian di atas, hak cipta juga sering
diartikan sebagai benda tidak berwujud (intangable asset). Pemahaman
hak cipta sebagai benda tak berwujud sesungguhnya dapat ditarik dari
pengertian benda itu sendiri. Di dalam ketentuan Pasal 499 KUH Perdata
dinyatakan: "Kebendaan ialah, tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang
dapat dikuasai oleh hak milik". Dari pengertian ketentuan Pasal 499 KUH
Perdata ini, maka kebendaan dapat ditafsirkan luas, di mana benda yang
dimaksud tidak hanya barang, namun dapat juga berupa hak. Benda dalam
pengertian barang merujuk pada benda berwujud, sedangkan benda dalam
pengertian hak merujuk pada benda tak berwujud.

Secara konseptual, hak cipta sebagai benda tak berwujud ini,
pada dasarnya tidak bersifat tunggal, namun bersifat multihak. Hal ini
sebagaimana diketahui bahwa di dalam hak cipta terdapat dua macam
hak, yakni hak moral dan ekonomi sebagaimana dijelaskan di atas. Sejalan
dengan hal tersebut, di dalam hal hak moral dan ekonomi ini ternyata ada
berbagai macam hak lainnya yang memiliki orientasi dan cakupan yang
berbeda.

D. JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI SISTEM JAMINAN KEBENDAAN
Menurut J. Satrio, hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum yang

mengatur tentang jaminan-jaminan piutang seorang kreditur terhadap
seorang debitur.372 Sementara itu, Salim HS memberikan perumusan
hukum jaminan adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang mengatur

372 J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2007, hlm. 3.

1so I

hubungan antara pemberi dan penerima jaminan dalam kaitannya dengan
pembebanan jaminan untuk mendapatkan fasilitas kredit.373

Dasar hukum jaminan secara umum didasarkan pada ketentuan
Pasal 1131 KUHPerdata dan 1132 KUHPerdata. Pasal 1131 KUHPerdata
selanjutnya berbunyi:

"Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak
bergerak, baik yang sudah ada maupun yang barn akan ada di kemudian
hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan".

Kemudian dalam Pasal 1132 KUH Perdata dinyatakan:

Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang
yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-benda itu
dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya
piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para berpiutang itu
ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.

Jaminan dilihat dari sifatnya dapat dibedakan menjadi dua macam,
yakni jaminan umum dan jaminan khusus. Jaminan yang bersifat umum
ditujukan kepada seluruh kreditur dan mengenai segala kebendaan debitur.
Setiap kreditur mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pelunasan
utang dari basil pendapatan penjualan segala kebendaan yang dipunyai
debitur. Dalam hak jaminan yang bersifat umum ini, semua kreditumya
mempunyai kedudukan yang sama terhadap kreditur lain (kreditur
konkuren), tidak ada kreditur yang diutamakan, diistimewakan dari kreditur
lain. Para kreditur tersebut tidak mendapatkan hak preferensi.Karenanya
pelunasan utang mereka dibagi secara "seimbang" berdasarkan besar
kecilnya jumlah tagihan dari masing-masing kreditur dibandingkan dengan
jumlah keseluruhan utang debitur. Hak jaminan yang bersifat umum ini
dilahirkan atau timbul karena undang-undang, sehingga hak jaminan yang
bersifat umum tidak perlu diperjanjikan sebelumnya. Ini berarti, kreditur

373 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2008, him. 6.

I 1a1

konkuren secara bersamaan memperoleh hak jaminan yang bersifat umum
dikarenakan oleh undang-undang.374

Agar seorang kreditur mempunyai kedudukan yang lebih baik
dibandingkan kreditur konkuren, utang kreditur dapat diikat dengan hak
jaminan yang bersifat khusus, sehingga krediturnya memiliki hak preferensi
dalam pelunasan piutangnya. Apabila kita perhatikan klausul terakhir dari
ketentuan dalam Pasal 1132 KUH Perdata, yaitu kata-kata "....., kecuali
apabila di antara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk
didahulukan" maka memberikan kemungkinan sebagai pengecualian
adanya kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap
kreditur-kreditur. Adapun kreditur yang diutamakan tersebut, yaitu
kreditur yang mempunyai hak jaminan yang bersifat khusus, dinamakan
pula kreditur preferent.375

Salah satu jaminan khusus tersebut adalah jaminan fidusia. Jaminan
fidusia secara hukum telah diatur di dalam UU No. 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia. Di dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 diuraikan mengenai
pengertian jaminan fidusia yang selengkapnya berbunyi:

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan
Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang
memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia
terhadap kreditor lainnya.

Berdasarkan pada pengertian jaminan fidusia di atas, maka dapat
dikemukakan bahwa jaminan fidusia pada dasarnya merupakan jaminan
kebendaan juga. Namun, jaminan kebendaan yang dimaksud melingkupi
beberapa jenis benda, yakni:

1. Benda bergerak yang berwujud maupun yang tidak berwujud

374 Dilva Muzdaliva Sawotong, "Jaminan Kebendaan pada PT. Pegadaian terhadap
Barang yang Digadaikan," Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014, hlm. 38.

375 Ibid.

1s2 I

2. Benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan.

Selain jaminan fidusia mencakup pada benda-benda di atas, jaminan
fidusia ini juga menyatakan bahwa penguasaan benda tersebut tetap berada
dalam penguasaan pemberi fidusia. Hal yang sangat spesifik dari jaminan
fidusia sebagai jaminan khusus adalah mendudukkan penerima fidusia
terhadap kreditur lainnya diutamakan.

Dalam hal suatu jaminan diakui sebagai jaminan fidusia, maka
ketentuan UU No. 42 Tahun 1999 telah mengatumya sedemikian rupa.
Beberapa ketentuan yang berkaitan dengan prosedur pembebanan jaminan
fidusia, di antaranya;

1. Pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta
notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan
Fidusia;

2. Pendaftaran Jaminan Fidusia hams dilakukan pendaftaran di Kantor
Pendaftaran Fidusia;

3. Jaminan Fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal
dicatatnya jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia;

4. Sertifikat Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang
sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;

5. Jaminan Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi obyek
Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun Benda tersebut berada,
kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi obyek
Jaminan Fidusia;

6. Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur
lainnya.

Dari beberapa ketentuan di atas terlihat dengan jelas bahwa jaminan
fidusia merupakan jaminan kebendaan yang bersifat khusus. Beberapa
kekhususan ini menjadikan jaminan fidusia memiliki nilai lebih
dibandingkan dengan jaminan kebendaan yang bersifat umum.

I 183


Click to View FlipBook Version