Chang T-Z., "Parallel Importation in Taiwan: A View from a Newly
Emerged Country and a Comparative Analysis" (1993) lO(No.6)
International Marketing Review 30;
Chen A.B., "Shopping The Gray market: The Aftermath of The Supreme
Court's Decision in Quality King Distributors, Inc., v. L'anza
Research International Inc" (1999) 19 Loy. L. A Ent. L. J. 573;
Chiappetta V., "The Desirability of Agreeing to Disagree: The WTO,
TRIPs, International IP Exhaustion and a Few Other Things," (2000)
21 Mich. J. Int'l L. 333;
Chisum D.S. dan Jacobs M.A., Understanding Intellectual Property Law
New York: Matthew Bender & Co, 1992;
Christoph Antons, Intellectual Property Law in Indonesia, Kluwer Law
International, London, 2000;
Davison M. J., "Parallel Importing of Trade Marked Goods - An Answer
to the Unasked Question" (1999) 10 AIPJ 146;
Derechos Digitales, "Transpacific Partnership Agreement (TPPA)
Intellectual Property Chapter Concerns, Copyright, Parallel Imports
and Exhaustion of Distribution Rights," https://www.citizen.org/
documents/TPP%20Derechos%20C%20 Parallel%20Imports%20
and%20Exhaustion.pdf, (diakses tanggal 14 Oktober 2016);
Diepiriye A. Anga, "Intellectual Property Without Borders? The Effect of
Copyright Exhaustion on Global Commerce," (2014) 10 B.Y.U. Int'l
L. & Mgmt. Rev. 53;
Donnelly, D.E., "Parallel Trade and International Harmonization of the
Exhaustion of Rights Doctrine" (1997) 13 Computer & High Tech.
L. J. 445;
Egli P., dan Kokott J., "Sebago Inc. and Ancienne Maison Dunois & Fils
SA v. GB-Unic SA, Case C-173/98, Court of Justice of the European
Communities, 1 July, 1999" (2000) 94 AJ.I.L. 386;
Gautama S., Hukum Merek Indonesia, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,
1989;
Ghosh S., "An Economic Analysis of the Common Control Exception to
Gray Market Exclusion" (1994) 15 U. Pa. J. Int'l Bus. L. 373;
84 I
Havel, Holasek & Partners s.r.o, "Parallel Imports in The EU Law," 27 Juli
2015, http://www.lexology.com/ library/detail.aspx?g= 71bc5df8-
766d-483d-96f0-ba8be5c60dc1, (diakses tanggal 15 Oktober 2016);
Indah Suksmaningsih, Akses Obat-Obatan dalam Undang-Undang Paten
Indonesia, Lembaga Konsumen Indonesia, naskah tidak diterbitkan,
Jakarta, 18 April 2001;
J.J.C. Kabel and G.J.H.M. (eds), Intellectual Property and Information
Law: Essays in Honour of Herman Cohen Jehoram, Kluwer Law
International, Boston, 1998;
Justine Lau et al, "Grey Market Begins Sales of iPads in China," The
Financial Ti.mes, 9April 2010, https://www.ft.com/content/fa37e3da-
4336-11df-9046-00144feab49a, (diakses 15 Februari 2017);
Kaehlig C.B. dan Churchill G.J., Indonesian Intellectual Property Law,
PT Tatanusa, Jakarta, 1993;
Lita Analistya D., Praktek impor paralel di Indonesia ditinjau dari hukum
kekayaan intelektual di bidang merek: studi kasus PT. Modern
Photo Tbk dan PT International Photograpic Supplies, thesis,
Undergraduate Program, Faculty of Law, Universitas Indonesia,
h t t p :!/lib. u i . a c . i d/opac/u i / d e t a i l . j sp ? i d = 1 2 3 8 0 4&l o k a s i = l o k a l ,
(diakses 15 Oktober 2016);
Lipner S., "Trademarked Goods and Their Gray Market Equivalents:
Should Product Differences Result in the Barring of Unauthorized
Goods from the U.S. Markets?" (1990) 18 Hofstra L. Rev. 1029;
Mary Lafrance, "Using Incidental Copyrights to Block Parallel Imports: A
Comparative Perspective," (2013) 25 I.P.J. 149;
Maulana LB., Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia dari Masa ke
Masa, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999;
M. Hawin, Intellectual Property Law on Parallel Importation, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, Indonesia, 2010;
Moisant J. P., ''What the Supreme Court Should Have Done" (1999) 25
Brooklyn J. Int'l L. 639;
Mohr CA., "Gray Market Goods and Copyright Law: an End Run Around
K. Mart v. Cartier" (1996) 45 Cath. U. L. Rev. 561;
I as
Morr A. L., "Hong Kong's Copyright Ordinance: How the Ban on Parallel
Imports Affects the U.S. Entertainment Industry and Hong Kong's
Free Market" (1999) 21 Hastings Comm. & Ent. L. J. 393;
Rothnie W. A., Parallel Imports, Sweet & Maxwell, London, 1993;
Sandler G. L., "Gray Market Goods: The Controversy Will Continue"
(1987) 13 Brooklyn Journal of International Law 267;
Shanahan, Australian Law of Trade Marks and Passing Off, the Law Book
Co. Ltd. 2nd. ed. Sydney, 1990;
Turner C., "The Parallel Importer: Parasite or Pragmatist?" in Intellectual
Property Law: Trends and Tensions, Centre for Intellectual Property
Studies, Queensland, 1992;
Upadhye S., "Rewriting The Lanham Trademark Act to Prohibit The
Importation of All Gray Market Goods" (1996) 20 Seton Hall Legis.
J. 59;
Veroima Sinaga dan Kurnia Toha, "Analisis Praktek Impor Paralel dan
Pemberian Exclusive Distribution Agreement antara PT Modem
Photo Tok dan PT International Photographic/PD Star Photigraphic
Supplies Berdasarkan Hukum Persaingan Usaha." Fakultas Hukum
UI, 2014, http://lontar.ui.ac.id/naskahringkas/2015-09/S54479-
veroima%20sinaga, (diakses tanggal 18 Oktober 2016);
William A.S., "International Exhaustion of Patent Rights Doctrine: Is
Japan's Move a Step Forward or Back from the Current Harmonization
Effort?" (1998) 7 D.C.L.J. Int'l L. & Prac. 327;
Sumber lain:
"Buy Some PC Parts from Indonesia," http://www.myhardware.net/
forums/archive/index.php/t-9623.
"Got a parallel-imported Mazda? You can now service it at Mazda Motor,"
http://www.asiaone.com/Motoring/News/Story/A1Story20100330-
207644.html, (diakses tanggal 15 Oktober 2016);
Havel, Holasek & Partners s.r.o, "Parallel Imports in The EU Law," 27 Juli
2015, http://www.lexology.com/ library/detail.aspx?g= 71bc5df8-
766d-483d-96f0-ba8be5c60dcl, (diakses tanggal 15 Oktober 2016);
86 I
Impor Paralel Produk Elektronik Diwaspadai", Suara Merdeka, 12 Mei
2008, http://suaramerdeka.com/vl/index.php/read/cetak/2008/05/12/
13044/Impor.Paralel.Produk.Elektronik.Diwaspadai, (diakses pada
15 Januari 2017);
"Impor paralel BlackBerry Gemini Belum Dapat Izin", News Web, 9
September 2009, http://inet.detik.com/telecommunication/d-1199545
/impor-paralel-blackberry-gemini-belum-dapat-izin, (diakses pada
10 Februari 2017);
"Kapitalisme UU HaKI kita," http://kelzen.wordpress.com/tag/impor
paralel/, 28 Agustus, 2008, (diakses tanggal 15 Oktober 2016);
"Lebih Jauh dengan Bambang Kesowo", Kompas, 5 Juli 1998, http://www.
kompas.com/9807/05/naper/lebi.htm;
"Local electronic market undercut by illegal imports", the Jakarta Post, 23
May 1999, http://ptg.djnr.com/ccroot/asp/publib/story.asp;
Parallel Importer Mengebiri Agen Resmi", Motor, 16 Agustus, 1996;
"Pelaku Impor Paralel LD Akan Ditindak", Kompas, 13 April 1996, http://
www.kompas.com/9604/ 13/dikbud/Pela.htm;
"Retailers Rock the Boat with Parallel Imports," The Age, 15 Januari 2010,
http://www.smh.com.au/business/retailers-rock-the-boat-with
parallel-imports-20100114-maSh.html, (diakses 15 Februari 2017);
"USTR Announces Results of Special 301 Annual Review," http://www.
usconsulate.org.hk/uscn/trade/ipr/1999/0430.htm;
Winarno B., "Impor Paralel", di Kontan, edisi SN, 23 Oktober 2000, http://
www.kontan-online.com/05/05/manajemen/manl.htm.
I 87
BAB IV
PERLINDUNGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL
DAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL
M.Hawin
A. PENDAHULUAN
Salah satu topik penting yang berhubungan dengan kekayaan
intelektual adalah bagaimana karya-karya tradisional yang sudah lama
hidup di masyarakat mendapat perlindungan. Terdapat dua istilah yang
berkaitan dengan hal tersebut yang selama ini didiskusikan, yakni
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional atau folklore.
Beberapa kalangan berpendapat bahwa pengetahuan tradisional adalah
semua yang diketahui dan diekspresikan oleh komunitas tradisional, yang
meliputi ekspresi budaya tradisional.270 Namun, dalam perkembangannya,
pengetahuan tradisional dimaknai hanya menunjuk kepada karya teknologi
lokal dan pribumi (indigenous), khususnya yang berhubungan dengan
metode pengolahan tanaman, penyiapan dan pembibitan tanaman, diagnosa,
270 Misalnya: Brosur WIPO "Towards the Establishment of a Regional Framework
for the Protection of Traditional Knowledge, Traditional Cultural Expressions and
Genetic Resources in the Caribbean Region," A3:L434E (2008), http://www.wipo.
int/edocs/mdocs/tk/en/ wipo_grtk_kin_ 08/wipo_grtk_kin_08_caribbean_brochure.
pdf; David R. Hansen, "Protection of Traditional Knowledge: Trade Barriers and
the Public Domain," (2010-2011) 58 J. Copyright Soc'y U.S.A. 757, 759;_Stephen
R. Munzer & Kal Raustiala, "The Uneasy Case for Intellectual Property Rights in
Traditional Knowledge," (2009) 27 Cardozo Arts & Ent. L.J. 37, 48, dikutip dalam
Hughes, Justin, "Traditional Knowledge, Cultural Expression, and The Siren's Call of
Property," (Nopember-Desember 2012) 49 San Diego L. Rev. 1215 , hlm. 1217.
88
pengobatan, holtikultural, resep makanan dan minuman, prediksi, atau
teknik dengan menggunakan bahan-bahan alamiah, sedangkan ekspresi
budaya tradisional berhubungan dengan karya tradisional di bidang musik,
tari, ceritera, ritual, lencana, seni, kerajinan tangan, bentuk ukiran, bentuk
arsitek, dan lain sebagainya.271
Agar lebih mudah untuk membedakan, perlu dipahami bahwa
pengetahuan tradisional berhubungan dengan karya-karya yang bisa
dipatenkan andaikan barn (novel) dan mengandung langkah inventif
(nonobvious), sedangkan ekspresi budaya tradisional menunjuk pada karya
karya seperti yang tercakup dalam hak cipta dan merek.272 Persamaannya
adalah mereka bersifat tradisional dan telah digunakan oleh suatu generasi
dan diteruskan oleh generasi-generasi berikutnya dan dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan komunitas dalam suatu daerah tertentu.273
Indonesia telah mengeluarkan UUHC 2014, UU Paten 2016 dan UU
Merek 2016. Oleh karena itu, Penulis ingin mengkaji bagaimana beberapa
UU HKI yang barn tersebut dapat memberikan perlindungan kepada
pengetahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional di Indonesia.
B. PERLINDUNGAN PENGETAHUAN TRADISIONAL
Pengetahuan Tradisional, menurut WIPO, dalam DraftArticles tentang
Perlindungan Pengetahuan Tradisional274 adalah:
Know-how, skills, innovations, practices, teachings and learnings
of indigenous peoples and local communities or a state or states.
Traditional knowledge may be associated, in particular, with fields
such as agriculture, the environment, healthcare and indigenous and
traditional medical knowledge, biodiversity, traditional lifestyles and
271 Mgbeoji I, "Patents and Traditional Knowledge of the Uses of Plants: Is a Communal
Patent Regime Part of the Solution to the Scourge of Bio Piracy?" (2001) 9 Ind. J.
Global Leg. Stud. 163, hlm. 182; Hughes, Justin, ibid.
272 Ibid. hlm. 1218.
273 Garcia J, "Fighting Biopiracy: The Legislative Protection of Traditional Knowledge",
(2007) 18 Berkeley La Raza L.J. 5, hlm. 7.
274 WIPO, "The Protection of Traditional Knowledge: Draft Articles," Juli 2014,
Geneva, httpwww.wipo.intedocsmdocstkenwipo_grtkf_ic_28wipo_grtkf_ic_28_5.
pdf (Diakses 1 Januari 2017).
I 89
natural resources and genetic resources, and know-how of traditional
architecture and construction technologies.
Culrnp luas definisi pengetahuan tradisional yang diberikan oleh
WIPO. Batasannya, terletak pada ciri-cirinya, yakni:
1) Diciptakan dan dipertahankan dalam konteks kolektif, oleh masyarakat
asli/pribumi (indigenous) dan komunitas atau bangsa lokal;
2) Secara langsung berhubungan dengan identitas budaya dan/atau sosial
dan warisan budaya dari masyarakat asli/pribumi dan komunitas atau
bangsa lokal;
3) Diteruskan dari generasi ke generasi;
4) Bisa terkodifikasi secara tertulis, lisan atau bentuk-bentuk yang lain;
5) Bisa dinamis dan berkembang.275
Perlindungan pengetahuan tradisional sangat penting karena
pengetahuan ini merupakan sumber ilmu penting yang berhubungan dengan
kehidupan manusia yang dapat dikomersialkan. Pernah diperkirakan
bahwa nilai penjualan produk-produk yang menggunakan pengetahuan
tradisional dalam bentuk sumber genetika adalah sekitar 800 milyar
dollar AS setiap tahun.276 Di samping itu, pengetahuan tradisional telah
digunakan oleh peneliti-peneliti sebagai starting point penelitian mereka
untuk mendapatkan paten.277
Kasus pembatalan paten penggunaan Turmeric (kunyit) (US Patent
No. 5,401, 504, 28 Maret 1995 yang diberikan kepada the University
of Mississippi Medical Center) untuk menyembuhkan Iuka di Amerika
Serikat karena ditentang oleh Pemerintah India mengingat penggunaan
kunyit adalah common knowledge di India278 merupakan salah satu bukti
275 WIPO, "The Protection of Traditional Knowledge: Draft Articles," Pasal 1, ibid.
276. Sharma A, "Global legislation on indigenous knowledge", Science and
Development Network, March 2004, <http://www.scidev.net/dossiers/index.cfm?
f u s e a c t i o n = pri n t a r t i c le&d o s s i e r = 7&po l i c y = 50 >.
277. Downes DR, "How Intellectual Property Could Be a Tool to Protect Traditional
Knowledge", (2000) 25 Co/um. J. Envtl. L. 253 him 253 - 255.
278. Outfield G, Protecting Traditional Knowledge and Folkfore, 2003, International
Centre for Trade and Sustainable Development & United Nations Conference on
Trade and Development, Switzerland, him. 31.
90
bahwa pengetahuan tradisional bisa mendapat perlindungan. Namun,
dalam kasus tersebut India hams melakukan perjuangan yang keras dengan
menunjukkan dokumentasi yang memadai. Sebaliknya, tidak ada usaha
dari pemohon paten untuk menganggap pengetahuan penggunaan kunyit
di India itu sebagai Teknologi Yang Diungkapkan Sebelumnya (prior art).279
Dari kasus ini dapat diambil pelajaran bahwa perlindungan tradisional
belum memadai.
Pengetahuan tradisional sudah diakui oleh Convention on Biological
Diversity (CBD) - mulai berlaku tahun 1993 - yang telah diratifikasi oleh
196 negara.280 Pasal 8 huruf j Convention on Biological Diversity (CBD)
menyatakan:
Each Contracting Party shall, as far as possible and as appropriate:
0) subject to its national legislation, respect, preserve and maintain
knowledge, innovations and practices of indigenous and local
communities embodying traditional lifestyles relevant for the
conservation and sustainable use of biological diversity and promote
their wider application with the approval and involvement of the
holders of such knowledge, innovations and practices and encourage
the equitable sharing of the benefi.ts arising from the utilization of such
knowledge, innovations and practices.
Pasal 8 huruf j tersebut menetapkan bahwa negara peserta Konvensi
hams menghormati, memelihara dan menjaga pengetahuan tradisional;
dalam menggunakannya hams meminta persetujuan dari dan melibatkan
pemegangnya; dan hams mengusahakan adanya pembagian kemanfaatan
(benefi.ts) secara adil dari penggunaannya. Selanjutnya, pada bulan Mei
2002, negara-negara peserta CBD membuat the Bonn Guidelines onAccess
to Genetic Resources and Fair and Equitable Sharing of the Benefi.ts
Arising out of Their Utilisation. Intinya, Guidelines ini "mendorong"
pengungkapan negara asal dari sumber genetic dan pengetahuan tradisional
279 Outfield, ibid.
280 Convention on Biological Diversity, https://www.cbd.int/information/parties.shtml
(diakses tanggal 25 Oktober 2016).
I 91
di dalam setiap aplikasi paten dan pembagian manfaat dari penggunaan
paten tersebut.281
Pasal 15 ayat (4) CBD menyatakan bahwa akses hams dengan syarat
syarat yang disepakati bersama, ayat (5) menyatakan bahwa akses kepada
sumber genetik hams dengan prior informed consent dari negara peserta
yang menyediakan sumber genetik tersebut dan ayat (7) mengharuskan
pembagian yang adil dan fair dari basil riset dan pengembangan dan
kemanfaatan yang diperoleh dari penggunaan komersial sumber genetik.
Pasal 15 CBD tersebut kemudian dijelaskan oleh Nagoya Protocol on
Access to Genetic Resources and the Fair and Equitable Sharing of Benefi.t
Arising from Their Utilization yang juga telah disahkan oleh Indonesia
pada tahun 2013. Namun, sampai saat ini belum ada kesepakatan
internasional di bidang HKI tentang bagaimana ketentuan-ketentuan
tersebut diimplementasikan. Perjanjian TRIPs (Trade-Related Aspects of
Intellectual Property Rights) - salah satu perjanjian dalam the World Trade
Organization - tidak berisi ketentuan yang tegas mengenai pengetahuan
tradisional dan sama sekali tidak menunjuk CBD walaupun usulan untuk
itu sudah ada.282
Beberapa negara, terutama negara berkembang, secara sendiri-sendiri
telah berusaha memberikan perlindungan kepada pengetahuan tradisional.
Misalnya, Panama telah mengeluarkan undang-undang yang melindungi
pengetahuan tradisional. Undang-undang ini antara lain menentukan
bahwa setiap pengguna pengetahuan tradisional hams mematuhi peraturan
yang dikeluarkan oleh indigenous group yang memiliki atau memegang
pengetahuan tradisional tersebut.283
Negara Peru juga telah mengeluarkan the Law of Protection of
the Collective Knowledge of Indigenous Peoples pada bulan Agustus
2002. Undang-Undang ini antara lain mewajibkan calon pemakai
untuk memperoleh persetujuan (informed consent) dari komunitas yang
mempunyai pengetahuan tradisional dan membuat perjanjian penggunaan
pengetahuan tradisional. Undang-undang ini juga menentukan berbagai
281 Sharma, Op.Cit.
282 Outfield, Op.Cit., hlm. 16.
283 Outfield, ibid., hlm. 45.
92 I
bentuk cara pendaftaran untuk mendokumentasikan pengetahuan tradisional
dan memudahkan penyediaannya bagi pihak ketiga.284 Bahkan di Bolivia,
ada beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasarnya yang melindungi
pengetahuan tradisional. Misalnya, Pasal 42 UUD Bolivia menyatakan:
"The promotion of traditional medicine shall incorporate a registry of
natural medicines and their active substances, as well as the protection of
the associated knowledge as intellectual, historical and cultural property,
and as patrimony of indigenous nations and peoples." Pasal 100 UUD
negara tersebut menyatakan: "The State shall protect knowledge by means
of a registry of intellectual property that safeguards the intangible rights
of indigenous nations and peoples ..."285
Di Indonesia, sudah ada draft RUU tentang perlindungan pengetahuan
tradisional yang disatukan dengan ekspresi budaya tradisional. RUU ini
berisi ketentuan yang memberikan perlindungan secara positif (positive
protection) karena memberikan hak-hak yang memungkinkan masyarakat
untuk mempromosikan, mengembangkan, melestarikan pengetahuan
tradisionalnya, mengontrol penggunaannya, dan mengambil manfaat dari
penggunaan komersialnya. Di samping itu, UU Paten 2016 berisi beberapa
pasal yang secara defensive bisa melindungi pengetahuan tradisional
(defensive protection) karena ketentuan-ketentuan tersebut mencegah
terjadinya penyalahgunaan dan pencurian pengetahuan tradisional dengan
cara mempatenkannya.
1. Pengetahuan Traclisional dan Hokum HK.I
Hukum HKI merupakan serangkaian hukum yang memberikan dan
mengatur hak-hak kepada pihak yang telah melakukan usaha kreatif yang
meliputi Hak Cipta, Paten, Hak atas Merek, Rahasia Dagang, Indikasi
Geogra:fis dan lain sebagainya (Pasal 1.2 Perjanjian TRIPs). Hak Cipta
adalah hak eksklusif pencipta untuk mengumumkan dan memperbanyak
karya cipta di bidang seni, sastra, dan ilmu pengetahuan. Paten merupakan
284 Outfield, ibid., hlm. 45-46.
285 Daniel S. Sem, "Co-Developing Drugs With Indigenous Communities: Lessons From
Peruvian Law And The Ayahuasca Patent Dispute," (2016) 23 Rich. J.L. & Tech. 1,
hlm. 28.
I 93
hak eksklusif inventor untuk menggunakan atau melaksanakan suatu
invensi di bidang teknologi. Hak atas Merek adalah hak eksklusif pemilik
merek untuk menggunakan merek yang telah terdaftar. Rahasia dagang
merupakan informasi yang dirahasiakan di bidang teknologi dan bisnis
yang mempunyai nilai ekonomis. Indikasi geogra:fis adalah suatu tanda
yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang faktor lingkungan
geogra:fisnya termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari
kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang
yang dihasilkan.
Berkenaan dengan hubungan antara hukum HKI dengan pengetahuan
tradisional, isu yang muncul adalah bagaimana kedudukan hukum HKI
terhadap perlindungan pengetahuan tradisional. Terhadap isu tersebut ada
tiga posisi. Pertama, the public domain position; kedua, the appropriation
position; dan ketiga, the moral rights position. Penganut posisi pertama
menyatakan bahwa pengetahuan tradisional hams menjadi milik umum
yang boleh dinikmati oleh semua penduduk di dunia. Oleh karena itu,
penganut posisi ini menentang usaha yang ingin menjadikan pengetahuan
tradisional sebagai barang komoditi. Mereka mendukung struktur sosial
tradisional untuk memelihara dan mengontrol penggunaan pengetahuan
tradisional. Oleh karena itu, mereka tidak setuju penciptaan HKI untuk
pengetahuan tradisional karena HKI merupakan jalan yang akan merusak
lembaga dan struktur tradisional dalam pengetahuan tradisional.286
Penganut the appropriation position mendukung kepemilikan
eksklusif pengetahuan tradisional oleh suatu lembaga atau badan untuk
bisa menentukan penggunaannya untuk tujuan komersial dan penggunaan
lainnya. Mereka menyatakan bahwa pengetahuan tradisional hams
dijadikan barang komoditas dan sebanyak-banyaknya dipasarkan. Oleh
karena itu, bagi penganut posisi ini, kedudukan hukum HKI sangat penting
untuk menentukan bagaimana dan siapa yang berhak memanfaatkan
pengetahuan tradisional. Adanya posisi ini menyebabkan terjadinya
286 Ghosh S, "Reflections on the Traditional Knowledge Debate" (2003) 11 Cardozo J.
Int'l & Comp. L. 497, hlm. 499-500.
94 I
kepemilikan pengetahuan tradisional oleh perusahaan-perusahaan
multinasional yang kebanyakan berada di negara-negara maju.287
Penganut the moral rights position menyatakan bahwa pemegang
pengetahuan tradisional hams dilindungi dan diberi hak yang berupa
kepemilikan yang penuh dan dapat mencegah atau menentang klaim oleh
para pengambil manfaat atau pemakai pengetahuan tradisional, termasuk
perusahaan multinasional. Mereka berpendapat bahwa pengetahuan
tradisional bisa dikomersialisasikan tetapi hanya oleh mereka (pemegang)
yang berhak.288 Dalam hal ini, hukum HKlbisadigunakan untuk menentukan
siapa yang berhak untuk memanfaatkan pengetahuan tradisional tersebut.
Namun, ada kontroversi mengenai apakah hukum HKI cocok untuk
mengatur pengetahuan tradisional atau tidak. Ada beberapa sarjana
yang berpendapat bahwa hukum HKI tidak cocok untuk mengatur
pengetahuan tradisional, karena HKI bersifat individual, sedangkan
pengetahuan tradisional bersifat komunal.289 Persoalannya adalah ketika
beberapa sarjana melihat ketidakcocokan hukum HKI untuk melindungi
pengetahuan tradisional, hukum HKI terutama paten justru berevolusi terns
dan lebih mendominasi. Jadi, karena hukum HKI hanyalah diciptakan oleh
suatu kebijakan, maka sebenamya tergantung bagaimana para pembuat
kebijakan mereka-reka hukum HKI tersebut agar hukum tersebut di satu
sisi melindungi pemegang HKI dan di sisi lain melindungi pengetahuan
tradisional.
Selama ini, bisa dikatakan ada dua cara hukum HKI menangani
masalah pengetahuan tradisional. Pertama, melindunginya sebagai HKI.
Misalnya, hukum merek bisa melindungi tanda-tanda dari pengetahuan
tradisional dan/atau indikasi geogra:fis. Kedua, paten memakai cara lain
yaitu justru mengecualikan pengetahuan tradisional, seperti pengetahuan
tradisional yang berkaitan dengan metode pengobatan dan teknologi
tanaman dan binatang (dan makhluk hidup yang lain), dari invensi yang
dapat dipatenkan. Menjadi isu yang perlu dikaji secara mendalam apakah
287 Ghosh, ibid.
288 Ghosh, ibid.
289 Downes DR, "How Intellectual Property Could Be a Tool to Protect Traditional
Knowledge", (2000) 25 Colum. J. Envtl. L. 253, hlm. 255.
I 95
pengetahuan tradisional tertentu bisa dilindungi dengan cara dipatenkan
mengingat syarat kebaruan (novelty) dan langkah inventif (inventive
step/non-obvious) kemungkinan besar sulit dipenuhi oleh kebanyakan
pengetahuan tradisional.
Sebagaimana tersebut di atas, CBD telah menetapkan syarat prior
informed consent dan fair and equitable sharing dari pemanfaatan
pengetahuan tradisional. Ketentuan dalam CBD tersebut telah dijelaskan
oleh Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the Fair and
Equitable Sharing of Benefi.t Arising from Their Utilization. Namun,
konvensi dan protocol tersebut tidak menghubungkan perlindungan
pengetahuan tradisional dengan HKI. Juga Bonn Guidelines on Access to
Genetic Resources and Fair and Equitable Sharing of the Benefi.ts Arising
out of Their Utilisation, yang dibuat Mei 2002, hanya "mendorong"
pengungkapan negara asal dari sumber genetik dan pengetahuan
tradisional di dalam aplikasi HKI.290 Oleh karena itu, tanpa adanya
dukungan dari kesepakatan HKI internasional, maka komitmen tersebut
sulit dilaksanakan. Sayangnya, Perjanjian TRIPs tidak berisi ketentuan
tentang pengetahuan tradisional dan tidak menunjuk kepada komitmen
yang telah tercantum dalam CBD. Perjanjian-perjanjian internasional
HKI lainnya, seperti the Berne Convention, the Paris Convention dan the
Patent Cooperation Treaty juga tidak mengatur mengenai perlindungan
pengetahuan tradisional walaupun the Berne Convention mencantumkan
hak moral (moral rights) dan the Paris Convention mengatur merek, yang
bisa digunakan untuk menyelesaikan sebagian masalah yang berhubungan
dengan pengetahuan tradisional.
Usulan agar Perjanjian TRIPs mengatur pengetahuan tradisional
sudah lama dilakukan. Pada pertemuan keempat the WTO Ministerial
Conference di Doha (November 2001) diusulkan agar Perjanjian TRIPS
diperbaiki agar menunjuk kepada CBD dan melindungi pengetahuan
tradisional. Kemudian beberapa negara berkembang seperti Brazil, China,
290 Angka 16 huruf (d) ii Bonn Guidelines ini menyatakan: "These countries could
consider, inter alia, the following measures: (ii) Measures to encourage the disclosure
of the country of origin of the genetic resources and of the origin of traditional
knowledge, innovations and practices of indigenous and local communities in
applications for intellectual property rights."
96
Cuba, Ecuador, India, Pakistan, Thailand dan lain-lain mengusulkan
kepada the TRIPS Council untuk memperbaiki Perjanjian TRIPs agar
melindungi pengetahuan tradisional. Mereka mengusulkan agar Perjanjian
TRIPs berisi ketentuan bahwa negara peserta mensyaratkan pemohon
paten yang menggunakan sumber biologis atau pengetahuan tradisional
untuk (a) mengungkapkan sumber dan negara asal sumber biologis dan
atau pengetahuan tradisional yang digunakan dalam penemuannya; (b)
menunjukkan bukti adanya persetujuan dari pemegang sumber biologis
atau pengetahuan tradisional tersebut dan (c) menunjukkan bukti
kesepakatan pembagian benefi.t yang adil menurut ketentuan dari negara
asal sumber biologis atau pengetahuan tradisional yang digunakan.291 Ada
juga usulan agar the Patent Cooperation Treaty memuat ketentuan bahwa
hukum negara anggota dapat mengharuskan pengungkapan pengetahuan
tradisional yang dipakai dalam permohonan paten; jika pemohon paten
tidak mengungkapkannya, maka permohonannya bisa ditolak.292 Namun,
sampai sekarang ini, kedua perjanjian intemasional tersebut belum diubah
untuk mengakomodasi usulan-usulan tersebut.
Walaupun Perjanjian TRIPs tidak mengatur perlindungan pengetahuan
tradisional, namun Perjanjian ini mencantumkan ketentuan yang bisa
berhubungan dengan pengetahuan tradisional seperti merek (trademarks)
dan indikasi geogra:fis (geographical indications).
Pengertian merek tercantum dalam Pasal 15 ayat (1) Perjanjian TRIPs.
Menurut Pasal ini, merek adalah "[A]ny sign, or any combination of signs,
capable of distinguishing the goods or services of one undertaking from
those of other undertaking ..."
Merek bisa digunakan untuk melindungi tanda dari pengetahuan
tradisional yang memenuhi syarat sebagai merek. Apabila merek dari
pengetahuan tradisional ini ditiru oleh seseorang, maka pemiliknya
mempunyai hak untuk menuntutnya. Kelemahannya adalah tidak semua,
291 WTO Council for Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights, Compilation
of WTO Documents Concerning Intellectual Property, bahan dari WIPO-WTO
Colloquium for Teachers of Intellectual property, Geneva, 30 Juni - 10 Juli 2008,
him. 28.
292 Werra J d, "Fighting Against Biopiracy: Does The Obligation to Disclose in Patent
Applications Truly Helps", (2009) 42 Vand. J. Transnat'l L. 143, him. 148.
I 97
kalau tidak bisa dikatakan jarang, tanda dari pengetahuan tradisional
merupakan merek yang terdaftar. Oleh karena itu, upaya untuk memberikan
merek untuk pengetahuan tradisional kemudian mendaftarkannya
diharapkan akan banyak dilakukan untuk memanfaatkan merek sebagai
sarana perlindungan pengetahuan tradisional. Namun, muncul persoalan
siapakah yang hams mengupayakan hal tersebut. Oleh karena itu, perlu
ada organisasi untuk kepentingan tersebut.
lndikasi geogra:fis (geographical indications) tercantum dalam Pasal
22 Perjanjian TRIPs. Pasal ini mende:finisikan indikasi geogra:fis sebagai
"[I]ndications which identify a good as originating in the territory of a
Member, or a region or locality in that territory, where a given quality,
reputation or other characteristic of the good is essentially attributable to
its geographical origin. "
lndikasi geogra:fis bisa dipakai untuk melindungi pengetahuan
tradisional karena kebanyakan indikasi ini berbasis kepada tradisi kolektif
dan proses pengambilan keputusan kolektif (collective decision-making
process). Juga karena indikasi ini menekankan kepada hubungan antara
kultur manusia dan lingkungannya dan bisa dipertahankan selama tradisi
kolektif tersebut dipertahankan.
Hal lain yang dapat berhubungan dengan pengetahuan tradisional
yang tercantum dalam Perjanjian TRIPs adalah apa yang disebut the
"life patenting exception". Pasal 27 ayat (3) huruf b dari Perjanjian ini
menyatakan:
Members may also exclude from patentability: . . . (b) plants and
animals other than micro-organisms, and essentially biological
processes for the production of plants or animals other than non
biological and microbiological processes. However, Members shall
provide for the protection of plant varieties . . .
Pasal ini memperbolehkan negara anggota untuk mengecualikan, dari
yang dapat dipatenkan, tanaman dan binatang, kecuali jasad renik (micro
organisms) dan proses biologis untuk memproduksi tanaman dan binatang,
kecuali proses non-biologis dan mikrobiologis. Namun, ketentuan ini
sangat lemah ditinjau dari perlindungan pengetahuan tradisional, karena
98 I
dengan menggunakan kata "may", ketentuan ini memberikan kebebasan
kepada negara peserta untuk mengecualikan atau tidak. Jadi, Pasal ini
juga memperbolehkan negara peserta untuk memasukkan item-item
tersebut ke dalam invensi-invensi yang dapat diberikan paten. Oleh karena
itu, kelompok aktivis Afrika (the African Group) pernah mengusulkan
agar Pasal 27 ayat (3) huruf b secara tegas melarang pemberian paten
untuk tanaman dan binatang termasuk jasad renik (micro-organisms) dan
semua makhluk hidup yang lain dan semua proses untuk memproduksi
tanaman, binatang dan semua makhluk hidup yang lain.293 N amun, karena
memasukkan jasad renik dan semua proses untuk memproduksi tanaman
dan hewan termasuk non-biologis dan mikrobiologis sebagai item-item
yang tidak bisa diberikan paten, usulan ini tidak realistis dan sulit mendapat
sambutan dari negara-negara di Eropa danAmerika Serikat.294 karena item
item tersebut justru merupakan evolusi dari hal-hal yang dapat dipatenkan
di negara-negara tersebut.295 Fakta menunjukkan bahwa permohonan
paten makhluk hidup telah banyak diajukan diAmerika Serikat. Misalnya,
sebelum tahun 2000 saja the U.S. Government's National Institutes of
Health telah mengajukan permohonan paten untuk 2.851 genes dan
fragmen DNA (deoxyribonucleic Acid) otak manusia. Sebuah perusahaan
Amerika, Incyte, juga telah mengajukan permohonan paten untuk 40.000
genes dan fragmen DNA manusia. Begitu juga telah diajukan permohonan
paten untuk genes dan DNA beras, kacang tanah (groundnut) dan kacang
kacangan.296
Memang Pasal 27 ayat (3) huruf (b) Perjanjian TRIPs perlu diperbaiki
agar: pertama, memberikan perlindungan pengetahuan tradisional;
kedua, untuk dapat "menyeragamkan" negara-negara peserta dalam
mengimplementasikan ketentuan Pasal tersebut dan komitmen dalam CBD.
293 Outfield, Op.Cit., hlm 39; Ong B, Intellectual Property and Bilogical Resources,
Marshall Cavendish International, Singapora, 2004, hlm. 63-68.
294 Boza RT, "Protecting Andean Traditional Knowledge and Biodiversity Perspectives
under the U.S. - Peru Trade Promotion Agreement", (2008) 16-SUM Currents: Int'/
Trade L.J. 76, hlm. 78.
295 Outfield, Op.Cit., hlm. 39.
296 Mgbeoji I, "Patents and Traditional Knowledge of the Uses of Plants: Is a Communal
Patent Regime Part of the Solution to the Scourge of Bio Piracy?" (2001) 9 Ind. J.
Global Leg. Stud. 163, hlm. 164
I 99
Perbaikannya adalah dengan menjadikan ketentuan dalam Pasal tersebut
wajib bagi semua anggota WTO, namun dengan tetap mempertahankan
pengecualian-pengecualian yang tercantum dalam Pasal tersebut. Tanpa
perbaikan, Pasal tersebut memungkinkan ketidakseragaman perlakuan
negara peserta terhadap aplikasi paten makhluk hidup; di negara yang satu
bisa diberikan paten, sedangkan di negara lain tidak bisa diberikan paten.
Hal ini berarti suatu pengetahuan tradisional di negara yang pertama tidak
bisa "dimanfaatkan" di negara yang pertama namun mudah "dicuri" di
negara yang kedua. Ini justru merugikan masyarakat, khususnya pemegang
pengetahuan tradisional, di negara yang pertama tersebut.
2. Hokum HKI dan Perlindungan Pengetahuan Tradisional di
Indone sia
a) Hokum Paten
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2016 (UU Paten 2016) berisi
ketentuan yang berhubungan dengan pengetahuan tradisional, sebagai
berikut.
Pasal 9 huruf b mencantumkan beberapa item yang tidak dapat
diberikan paten, yaitu "metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/
atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan".
Berarti semua metode tradisional yang berkaitan dengan pengobatan tidak
bisa diberikan paten. Akibatnya, setiap penemuan yang dimohonkan paten
yang ternyata hanya menggunakan metode pengobatan dari pengetahuan
tradisional tidak bisa diberikan paten.
Namun, ketentuan itu tidak didukung oleh kesepakatan internasional.
Pasal 27 ayat (3) huruf (a) Perjanjian TRIPs hanya menyatakan bahwa:
"Members may also exclude from patentability: (a) diagnostic, therapeutic
and surgical methods for the treatment of human or animals". Dengan
kata "may" berarti, Perjanjian TRIPs tidak mengharuskan. Dengan kata
lain, negara anggota boleh mengabulkan permohonan paten untuk invensi
metode pengobatan. Akibatnya, pengetahuan tradisional di Indonesia bisa
saja "dicuri" dan didaftarkan di negara tersebut.
100 I
Salah satu cara untuk mengatasi hal tersebut adalah menginventarisir
dan mendokumentasikan secara tertulis, terperinci dan jelas mengenai
pengobatan tradisional yang ada, kemudian mempublikasikannya. Dengan
ini diharapkan pengetahuan tradisional ini diakui sebagai Teknologi
Yang Diungkapkan Sebelumnya (prior art) di negara lain, terutama di
negara seperti Amerika Serikat yang mengakui prior art di luar negeri
hanya apabila tertulis.297 Dalam Draft RUU Pengetahuan Tradisional dan
Ekspresi Budaya Tradisional (RUUPT&EBT) yang terakhir (awal Januari
2017) Penulis terima, telah dicantumkan ketentuan tentang kewajiban
inventarisasi dan pendokumentasian pengetahuan tradisional.298 Deskripsi
tentang pengetahuan tradisional dalam dokumentasi yang akan dibuat hams
jelas agar dapat membatalkan syarat kebaruan invensi yang dimintakan
paten ("novelty-destroying prior art''). Untuk itu, deskripsi tersebut hams
"enabling". Artinya, dengan membaca deskripsi tersebut seseorang yang
ahli di bidangnya bisa membuat invensi yang sedang dimintakan paten.
Ketentuan lain dalam UU Paten 2016, yaitu Pasal 9 huruf d dan
huruf e menyatakan tidak bisa diterima sebagai invensi: "semua makhluk
hidup, kecuali jasad renik", dan "proses biologis yang esensial untuk
memproduksi tanaman atau hewan, kecuali proses nonbiologis atau
proses mikrobiologis". Berarti pengetahuan tradisional yang berkaitan
dengan item-item menurut ketentuan dalam Pasal 9 huruf d dan e ini
tidak bisa dipatenkan. Namun, sampai sekarang tidak ada kesepakatan
internasional yang mendukung ketentuan tersebut. Pasal 27 ayat (3) huruf
(b)299 Perjanjian TRIPs membebaskan negara peserta untuk mengambil
kebijakan sendiri-sendiri berkaitan dengan paten makhluk hidup dan
297 Section 102 dari Code 35 Amerika Serikat berbunyi: "[A] person shall be entitled to a
patent unless: (a) the invention was known or used by others in this country, patented
or described in a printedpublication in this or a foreign country, before the invention
thereof by the applicant for a patent, or (b) the invention was patented or described in
a printed publication in this or a foreign country ..."
298 Dalam draft RUU tersebut ada pasal yang menyatakan: "(l) Pemerintah dan
Pemerintah Daerah melakukan inventarisasi mengenai Pengetahuan Tradisional dan
Ekspresi Budaya Tradisional. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung
jawab membuat dokumentasi dan memiliki pangkalan data mengenai Pengetahuan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional."
299 Pasal ini menyatakan: "Members m(O' also exclude from patentability:...(b) plants
and animals other than micro-organisms, and essentially biological processes for
I 101
proses biologis. Akibatnya, ketentuan Pasal 9 huruf d dan huruf e ini juga
dapat merugikan bangsa Indonesia. Pengetahuan tradisional di Indonesia
berkenaan makhluk hidup yang tidak bisa dipatenkan di Indonesia bisa
dimintakan paten di negara lain seperti Amerika Serikat.
Pasal-pasal dalam UU Paten 2016 tersebut di atas bisa dikatakan
merupakan ketentuan-ketentuan yang bisa digunakan untuk melindungi
pengetahuan tradisional secara negatif (defensive protection). °30 Ketentuan
lain yang secara eksplisit memberikan perlindungan kepada pengetahuan
tradisional secara negatif dalam UU Paten 2016, yang sebelumnya (UU
Paten 2001) tidak mengatur, adalah Pasal 26. Pasal 26 ayat (1) menyatakan:
"Jika Invensi berkaitan dengan dan/atau berasal dari sumber daya genetik
dan/atau pengetahuan tradisional, hams disebutkan dengan jelas dan
benar asal sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional tersebut
dalam deskripsi." Artinya, inventor atau pemohon paten hams jujur
mengungkapkan penggunaan sumber daya genetik dan/atau pengetahuan
tradisional di dalam deskripsi invensinya.
Dalam Penjelasan Pasal 26(1) UU Paten 2016 dinyatakan secara
tegas bahwa tujuan kewajiban disclosure tersebut adalah agar sumber
daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional Indonesia tidak diklaim
oleh negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia telah mulai
memikirkan pencegahan pencurian sumber daya genetik dan/atau
pengetahuan tradisional Indonesia oleh negara-negara lain. Di samping
itu, kewajiban dalam Pasal tersebut bertujuan untuk menciptakan Access
and Benefi.t Sharing (ABS). Artinya, agar inventor dan pemegang sumber
daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional membuat suatu mekanisme
bagaimana sumber daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional bisa
diakses dan bagaimana mereka membagi hasil pemanfaatannya.301 Tujuan
the production of plants or animals other than non-biological and microbiological
processes..." (Penekanan oleh Penulis).
300 Untuk pembahasan lebih lanjut tentang pengertian defensive protection dan
positive protection, lihat WIPO, "Traditional Knowledge and Intellectual Property
- Background Brief," http://www.wipo.int/pressroom/en/briefs/tk_ip.html, (diakses
tanggal 21 Januari 2016).
301 Lihat Secretariat of Convention on Biological Diversity, "Introduction to Access and
Benefit-Sharing," https://www.cbd.int/abs/infokit/brochure-en.pdf (diakses tanggal
26 Oktober 2016).
102 I
ini kemudian dipertegas oleh Pasal 26(3) yang menyatakan bahwa
pembagian hasil dan/atau akses pemanfaatan sumber daya genetik dan/atau
pengetahuan tradisional dilaksanakan sesuai dengan peraturan pemndang
undangan dan perjanjian intemasional di bidang sumber daya genetik
dan pengetahuan tradisional. Bisa dipahami dari sini bahwa salah satu
perjanjian intemasional penting yang mengatur ABS adalah Convention
on Biological Diversity (CBD) yang telah dirati:fikasi Indonesia pada tahun
1994.302 Pasal 15 CBD mengatur bagaimana ABS dilakukan. Intinya,
akses hams disepakati kedua belah pihak dan hams mendapat persetujuan
terlebih dahulu (prior informed consent) dari pemegang sumber daya
genetik dan/atau pengetahuan tradisional. Pembagian hasil penelitian dan
pengembangan, komersialisasi dan pemanfaatan lainnya hams dilakukan
secara fair dan equitable antara kedua belah pihak. Pasal 15 CBD tersebut
dijelaskan oleh Nagoya Protocol on Access to Genetic Resources and the
Fair and Equitable Sharing of Benefi.t Arising from Their Utilization yang
juga telah disahkan oleh Indonesia pada tahun 2013.303
Ketentuan tentang kewajiban disclosure dalam Pasal 26(1) UU Paten
2016 tersebut di atas belum didukung oleh kesepakatan intemasional di
bidang HKI. Perjanjian TRIPs, misalnya, belum mengatumya. Pasal
29.1 Perjanjian TRIPs hanya menyatakan bahwa Negara Anggota WTO
hams mewajibkan pemohon paten untuk: "... disclose the invention in a
manner sufficiently clear and complete for the invention to be carried out
by a person skilled in the art and may require the applicant to indicate
the best mode for carrying out the invention known to the inventor ..."
Pasal ini tidak menyinggung sama sekali tentang kewajiban disclosure
berkaitan dengan pengetahuan tradisional. Usulan untuk perbaikan
Pasal dalam Perjanjian TRIPs tersebut sudah dilakukan, yang intinya
perlu ditambahkan kewajiban bagi pemohon paten untuk menyebutkan
secara jujur pengetahuan tradisional yang digunakan dalam deskripsi
302. Lihat UU No 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on
Biological Diversity. Lihat juga "Convention on Biological Diversity, List of Parties,"
https://www.cbd.int/information/parties.shnnl (diakses tanggal 26 Oktober 2016).
303 Dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2013 tentang Ratifikasi
Pengesahan Protokol Nagoya tentang Al<ses pada Sumber Daya Genetik dan
Pembagian Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari Pemanfaatannya.
I 103
permohonan patennya.304 Apabila Perjanjian TRIPs sudah mengatur
kewajiban disclosure, posisi hukum UU Paten 2016 akan didukung secara
internasional.
Walaupun Perjanjian TRIPs belum mengatur kewajiban disclosure,
namun sudah ada usaha ke arah itu oleh WIPO. Dalam Draft Articles on
the Protection of Traditional Knowledge yang dibuat oleh the WIPO s
Intergovernmental Committee on Intellectual Property, Genetic Resources,
Traditional Knowledge and Folklore (IGC), tercantum beberapa policy
objectives yang salah satunya adalah: mendukung kewajiban disclosure
dalam permohonan paten, yang berbunyi: "ensure mandatory disclosure
requirement ofthe country oforigin oftraditional knowledge and associated
genetic resources that are related or used in the patent application. "305
Kemudian, Pasal 4 BIS Draft Articles tersebut secara khusus mengatur
kewajiban disclosure.306 Sayangnya, sampai sekarang belum jelas kapan
draft treaty tersebut akan disepakati.
Kelemahan dari Pasal 26 UU Paten 2016 adalah tidak mengatur
secara eksplisit kewajiban adanya prior informed consent walaupun bisa
juga tersirat dalam Penjelasan Pasal 26(1) pada istilah Access and Benefit
Sharing (ABS) yang merupakan tujuan dari kewajiban disclosure karena
akses hams selalu mendapat persetujuan dari pemegang pengetahuan
tradisional terlebih dahulu. Namun, lebih baik kewajiban adanya prior
informed consent diatur secara eksplisit. Bandingkan dengan ketentuan
Pasal 4 Bis.1 Draft Articles on the Protection of Traditional Knowledge
304 Manual Ruiz, The International Debate on Traditional Knowledge as PriorArts in the
Patent System: Issues and Options for Developing Countries, Center for International
Environmental Law, 2002, lllm. 19.
305 WIPO, "The Protection of Traditional Knowledge DraftArticles," hlm. 6, http://www.
wipo.int/edocs/mdocs/tk/ en/ wipo_grtkf_ic_21/wipo_grtkf_ic_21_ref_facilitators_
text.pdf (diakses tanggal 18 Januari 2017).
306 Pasal 4 BIS.1 Draft Articles menyatakan: "[ ... Intellectual property applications
that concern [an invention] any process or product that relates to or uses traditional
knowledge shall include information on the country from which the [inventor or the
breeder] applicant collected or received the knowledge (the providing country), and
the country of origin if the providing country is not the same as the country of origin
of the traditional knowledge. The application shall also state whether prior informed
consent to access and use has been obtained.}"
104 I
dari WIPO yang mengatur secara eksplisit kewajiban prior informed
consent.307
UU Paten 2016 berisi ketentuan yang memungkinkan pemegang
pengetahuan tradisional untuk mengajukan keberatan terhadap
permohonan paten yang melanggar pengetahuan tradisionalnya. Pasal 49
ayat (1) UU Paten 2016 menyatakan bahwa setiap pihak dapat mengajukan
keberatan terhadap suatu permohonan paten dengan memberikan
alasannya. Berdasarkan Pasal ini, pemilik atau pemegang pengetahuan
tradisional bisa mengajukan keberatan terhadap suatu permohonan paten
dengan alasan, misalnya, invensi yang bersangkutan tidak memenuhi
syarat kebaruan (novelty) karena tidak berbeda dengan pengetahuan
tradisionalnya. Namun, dasar hukum ini tidak kuat apabila UU Paten
2016 tidak menganggap pengetahuan tradisional sebagai Teknologi Yang
Diungkapkan Sebelumnya (prior art). Dengan melihat Pasal 5 ayat (2) UU
Paten 2016, yang mengatur prior art, nampaknya tidak semua pengetahuan
tradisional bisa dianggap sebagai prior art.
Pasal 5 ayat (2) menyatakan:
Teknologi yang diungkapkan sebelumnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan teknologi yang telah diumumkan di Indonesia
atau di luar Indonesia dalam suatu tulisan, uraian lisan atau melalui
peragaan, penggunaan, atau dengan cara lain yang memungkinkan
seorang ahli untuk melaksanakan Invensi tersebut sebelum: a. Tanggal
Penerimaan; atau b. tanggal prioritas dalam hal Permohonan diajukan
dengan Hak Prioritas.
Penjelasan Pasal 5 ayat (2) menyatakan:
Dalam Undang-Undang ini, ketentuan mengenai uraian lisan atau
melalui peragaan atau dengan cara lain tidak hanya dilakukan di
Indonesia, tetapi juga terhadap hal-hal tersebut yang dilakukan di
luar negeri dengan ketentuan bahwa bukti tertulis harus tetap pula
disampaikan. (Penekanan oleh Penulis)
307 Lihat Pasal 4 Bis.1 Draft Articles kalimat terakhir.
I 10s
Dengan membaca Pasal 5 ayat (2) dan Penjelasannya, nampak tidak
atau kurang pasti bahwa semua pengetahuan tradisional bisa dianggap
prior art karena ada syarat "bukti tertulis harus tetap pula disampaikan"
padahal sebagian besar pengetahuan tradisional adalah tidak tertulis.
Jadi, hanya pengetahuan tradisional yang tertulis saja yang bisa dianggap
sebagai prior art.
Bandingkan dengan Pasal 54(2) the European Patent Convention
(EPC) yang mendefinisikan prior art sebagai ". . .everything made
available to the public by means of a written or oral description, by use,
or in any other way, before the filing of the European patent application".308
Disini jelas bahwa pengertian prior art sangat luas, yang tertulis ataupun
lisan, dengan penggunaan, atau cara lain, dan tidak dibatasi dengan
keharusan penyerahan bukti tertulis seperti dalam Penjelasan Pasal 5 ayat
(2) UU Paten 2016. Lihat juga Pasal 2 huruf (1) UU Paten India309 yang
menyatakan: "new invention " means any invention or technology which
has not been anticipated by publication in any document or used in
the country or elsewhere in the world before the date of filing of patent
application with complete specification, i.e., the subject matter has not
fallen in public domain or that it does not form part of the state of the
art." Ketentuan dalam UU Paten India tersebut jelas menunjukkan bahwa
pengetahuan tradisional merupakan prior art.Bahkan, Pasal 3 huruf (p) UU
Paten India ini memasukkan pada daftar invensi yang tidak dapat diberikan
paten suatu ketentuan yang menyatakan: "[A]n invention which, in effect,
is traditional knowledge or which is an aggregation or duplication of
known properties of traditionally known component or components." Jadi,
invensi yang sebenamya merupakan pengetahuan tradisional tidak dapat
dipatenkan. Oleh karena itu, pengertian prior art dalam Pasal 5 ayat (2)
UU Paten 2016 perlu diperbaiki agar secara pasti bisa mencakup semua
pengetahuan tradisional.
308 The European Patent Convention, hlm. 112, http://documents.epo.org/projects/
babylon/eponet.nsf/0/ F9FDOB02F9D1A6B4C1258003004DF610/$File/EPC_16th_
edition_2016_en.pdf (diakses tanggal 17 Januari 2017).
309 UU Paten India tahun 1970 sebagaimana diamendemen terakhir pada tahun 2005,
http://www.wipo.int/edocs/lexdocs/laws/en/in/in065en.pdf (diakses tanggal 23
Januari 2016).
106 I
Namun, timbul pertanyaan: apakah ketentuan Pasal 26 UU Paten 2016
dapat mementahkan pemikiran bahwa seharusnya pengetahuan tradisional
termasuk dalam pengertian prior art menurut Pasal 5 ayat (2)? Dengan
kata lain, apakah ketentuan Pasal 26 tersebut mempunyai makna tersirat
bahwa pengetahuan tradisional langsung bisa dipatenkan sehingga bukan
merupakan prior art? Harns dipahami bahwaPasal26 menggunakan istilah
atau kata-kata "Invensi berkaitan dengan dan/atau berasal dari sumber
daya genetik dan/atau pengetahuan tradisional." Dari istilah atau kata-kata
ini bisa dipahami bahwa Pasal 26 nampaknya tidak menyiratkan bahwa
pengetahuan tradisional langsung dapat dipatenkan. Menurut pendapat
Penulis, jiwa UU Paten 2016 kaitannya dengan perlindungan pengetahuan
tradisional adalah memberikan defensive protection.310 Artinya, semua
pasal-pasal tersebut di atas, termasuk Pasal 26, bertujuan untuk mencegah
klaim, pencurian dan/atau pemanfaatan tanpa hak pengetahuan tradisional
untukdipatenkan. Jadi, tidaklogisapabilaPasal26 ditafsirkanmementahkan
pemikiran bahwa pengetahuan tradisional seharusnya merupakan prior
art. Maka, seharusnya, suatu invensi yang berkaitan dengan dan/atau
berasal dari pengetahuan tradisional tidak bisa mendapatkan paten kecuali
tidak sama dengan atau merupakan pengembangan dari pengetahuan
tradisional tersebut.311 Namun, ada kekhawatiran bahwa suatu invensi yang
tidak berbeda dengan atau bukan merupakan pengembangan dari suatu
pengetahuan tradisional akhimya oleh Dirjen KI diberi paten hanya karena
pemohonnya telah memenuhi kewajiban dalam Pasal 26, yakni kewajiban
disclosure dan Access and Benefit Sharing dengan pemegang pengetahuan
tradisional. Oleh karena itu, istilah "invensi berkaitan dengan dan/atau
berasal ..." dalam Pasal 26 perlu dikaji dan dijelaskan agar diperoleh
penafsiran yang tepat agar tidak mementahkan syarat kebaruan (novelty)
sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2).
310 Untuk pembahasan lebih lanjut tentang pengertian defensive protection clan positive
protection, lihat WIPO, "Traditional Knowledge and Intellectual Property -
Background Brief," http://www.wipo.int/pressroom/en/briefs/tk_ip.html, (diakses
tanggal 21 Januari 2016).
311 Terima kasih kepada Ibu Dr. Mas Rahmah SH, LL.M, pakar dan dosen Hak Kekayaan
Intelektual dari Fak Hukum Universitas Airlangga yang telah meluangkan waktu
untuk berdiskusi dengan Penulis tentang makna Pasal 26 UU Paten 2016.
I 101
Pasal 132 ayat (1) huruf a UU Paten 2016 memungkinkan pihak ketiga
untuk dapat mengajukan gugatan penghapusan paten ke pengadilan niaga
karena invensi yang diberi paten tidak memenuhi unsur kebaruan (novelty)
atau invensi tersebut bukan merupakan invensi yang dapat diberikan paten.
Kalau pengetahuan tradisional dianggap prior art, maka pemegangnya bisa
mengajukan gugatan penghapusan paten apabila invensi yang diberi paten
sama dengan pengetahuan tradisionalnya. Oleh karena itu, sebagaimana
Penulis sebutkan di atas, Pasal 5 ayat (2) yang mengatur mengenai prior art
perlu diperbaiki agar ada kepastian bahwa semua pengetahuan tradisional
bisa dianggap sebagai prior art.
Namun, terlepas dari apakah pengetahuan tradisional merupakan prior
art atau tidak, berdasarkan Pasal 132(1) huruf b, pemegang pengetahuan
tradisional bisa menggugat penghapusan paten apabila invensinya temyata
berasal dari pengetahuan tradisional tetapi inventor atau pemegang patennya
tidak melaksanakan disclosure dan tidak melakukan benefit sharing.
Dalam Pasal 132(2) dinyatakan bahwa gugatan berdasarkan Pasal
132(1) huruf b diajukan oleh pihak ketiga kepada pemegang paten melalui
Pengadilan Niaga. Jadi, berdasarkan ketentuan ini, pemegang pengetahuan
tradisional yang hams aktif. Ini berbeda dengan, misalnya, gugatan
penghapusan paten berdasarkan Pasal 132(1) huruf d, yakni karena
pemberian lisensi wajib tidak bisa mencegah berlangsungnya pelaksanaan
paten yang merugikan masyarakat. Misalnya, pemberian Lisensi-wajib
untuk memproduksi obat yang sangat dibutuhkan masyarakat temyata
tidak dilaksanakan secara efektif sehingga jumlah yang diproduksi tetap
sedikit dan harga obat tetap mahal.312 Dalam hal ini, berdasarkan Pasal
132(4), gugatan bisa diajukan oleh jaksa "mewakili kepentingan nasional."
Sementara itu, gugatan pelanggaran pengetahuan tradisional tidak
perlu melibatkan jaksa. Bisa ditafsirkan bahwa hal itu karena tidak ada
kepentingan nasional yang perlu diperjuangkan dalam gugatan pelanggaran
pengetahuan tradisional. Nampak disini bahwa ketentuan dalam UU Paten
2016 ini tidak menganggap perlindungan pengetahuan tradisional setara
dengan perlindungan kepentingan nasional. Padahal dalam Penjelasan
312. Lihat Penjelasan Pasal 132(1) huruf d UU Paten 2016.
10s I
Umum UU ini disebutkan bahwa perlindungan pengetahuan tradisional
penting karena "Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan
sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional yang sering dimanfaatkan
oleh Inventor dalam maupun luar negeri untuk menghasilkan Invensi
yang barn." Pemyataan dalam Penjelasan UU ini menyiratkan bahwa
perlindungan pengetahuan tradisional bukan hanya kepentingan individu,
tapi merupakan kepentingan nasional. Oleh karena itu, seharusnya,
negara bersikap lebih aktif dan tidak hanya menyerahkan kepada pihak
ketiga dalam gugatan penghapusan paten yang melanggar pengetahuan
tradisional. Siapa pihak ketiga juga belum jelas sehingga bisa jadi tidak
ada insentif untuk mengajukan gugatan. Negara perlu mempertimbangkan
isi Pasal 4 Bis 4 dari Draft Articles on the Protection of Traditional
Knowledge dari WIPO yang menyatakan: "Rights arising from a grant
shall be revoked and rendered unenforceable when the applicant has failed
to comply with the obligations of mandatory requirements as provided for
in this article ..." Intinya bahwa hak paten hams dibatalkan atau dinyatakan
tidak berlaku apabila pemohon tidak memenuhi kewajiban disclosure dan
prior informed consent. Disini tersirat yang aktif adalah negara untuk
membatalkan paten yang melanggar kewajiban-kewajiban tersebut karena
Draft Articles tersebut nanti akan menjadi treaty yang subjeknya adalah
negara. Dalam draft RUUPT&EBT yang terakhir Penulis terima (awal
Januari 2017) juga ditekankan bahwa Pemerintah yang bertanggung
jawab untuk melindungi pengetahuan tradisional.313 Seharusnya --
bukan merupakan yang redundant --- UU Paten 2016 juga menekankan
bahwa Pemerintah ikut aktif dalam melindungi pengetahuan tradisional.
Dalam UU Paten 2016 tidak ada ketentuan yang memberikan hak
kepada pemegang pengetahuan tradisional untuk melakukan gugatan
perdata kepada pihak pelanggar pengetahuan tradisionalnya dan juga tidak
313 Dalam draft RUUPT & EBT tersebut ada ketentuan yang menyatakan: "(l)
Pemerintah melakukan langkah-langkah untuk melindungi Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya Tradisional dari Penggunaan pihak-pihak luar, baik orang asing
maupun pelaku ekonomi. (2) Langkah-langkah melindungi Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya Tradisional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi
pengawasan, pengendalian, pembinaan, gugatan perdata, pencabutan izin, atau
penuntutan pidana."
I 109
ada ketentuan pidana bagi pelanggar. Gugatan perdata dan tuntutan pidana
bagi pelanggar temyata akan diatur dalam peraturan yang secara khusus (sui
generis) mengatur pengetahuan tradisional. Pada draft RUUPT&EBTyang
terakhir (awal Januari 2017) Penulis terima diatur tentang gugatan perdata314
dan ketentuan pidana315 bagi pelanggar pengetahuan tradisional. Namun,
selama RUU belum disahkan menjadi UU, maka ada kekosongan hukum
tentang gugatan perdata dan tuntutan pidana bagi pelanggar pengetahuan
tradisional. Sayang, pembentuk UU Paten 2016 tidak mengantisipasi hal ini.
b) Hukum Merek
Jarang sarjana membahas hubungan antara perlindungan pengetahuan
tradisional dengan hukum merek. Nampaknya, sarjana telah meremehkan
isu tersebut. Kebanyakan diskusi menghubungkan antara perlindungan
pengetahuan tradisional dengan hukum paten dan hukum hak cipta.
Padahal, seperti dalam hukum paten, orang bisa mendaftarkan merek yang
melanggar pengetahuan tradisional. Misalnya, kata "Kava" yang merupakan
nama species tanaman tradisional yang bisa dipakai untuk bahan minuman
spiritual dan kesehatan di Pacific Islands telah didaftarkan sebagai merek
oleh beberapa perusahaan di Eropa dan AS, walaupun dengan menambah
kata atau huruf-huruf lain, misalnya "Kava Pure" dan Kavatril."316 Bahkan,
di India, sudah lebih dari 40 (empat puluh) nama kuno India telah menjadi
314 Misalnya, ada pasal yang menyatakan: "Dalam hal tidak ada mekanisme penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), setiap orang yang berkepentingan
atas terjaganya aspek religius, spiritualitas, kepercayaan, dan sifat rahasia dari
Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional dapat mengajukan gugatan
ke pengadilan negeri."
315 Ada pasal yang menyatakan: "Setiap orang yang melanggar Pasal 35, Pasal 36, dan
Pasal 37 diancam pidana sebesar-besarnya Rp. 5.000.000.000 (lima milyar rupiah)."
Sedangkan Pasal 35 dalam Draft RUU tersebut menyatakan: "Setiap orang dilarang
menggunakan Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional untuk tujuan
komersial, kecuali telah mendapatkan PADIA, mendapatkan kesepakatan bersama,
dan memberikan pembagian keuntungan."
316 Tesh Dagne, "Protecting Traditional Knowledge in International Intellectual Property
Law: Imperatives for Protection and Choice of Modalities," (2014) 14 J. Marshall
Rev. Intell. Prop. L. 25, hlm. 37. Banyak perusahaan juga telah mempatenkan ekstraks
Kava dan campuran aktif Kava. Masyarakat tradisional Pacific Island yang telah
mengembangkan dan mempertahankan khasiat dan sifat-sifat Kava tidak menerima
suatu penghargaan apapun. Ibid.
110 I
merek terdaftar m.ilik perusahaan-perusahaan swasta. Nama-nama seperti
Vastu (bentuk arsitektur tradisional India), Veda (buku Sansekerta tertua
India), Ayurveda (doa permohonan medis kuno) dan Gayatri (nyanyian
religi) telah didaftarkan sebagai merek oleh organisasi-organisasi swasta
di Jerman.317
Hukum merek bisa digunakan untuk melindungi pengetahuan
tradisional dengan dua cara. Pertama, dengan cara mencegah pendaftaran
tanpa hak, tanda-tanda tradisional oleh pihak tertentu. Kedua, hukum
merek memungkinkan pendaftaran tanda yang berupa nama, kata, simbol,
ikon, dan lain sebagainya m.ilik masyarakat pribum.i (tradisional) untuk
mendapatkan hak atas merek.
Berkaitan dengan cara yang pertama, hukum merek bisa memuat
suatu ketentuan yang melarang pendaftaran suatu tanda yang merugikan
masyarakat yang mempunyai pengetahuan tradisional. Di Selandia
Barn, m.isalnya, Pasal 17(1) huruf c UU Merek Selandia Barn 2002318
menyatakan: "The Commissioner must not register as a trade mark or part
ofa trade mark any matter-(c) the use or registration of which would, in
the opinion of the Commissioner, be likely to offend a significant section
of the community, including Maori." Selain itu, Pasal 73(1) UU Merek
Selandia Barn 2002 menyatakan: "The Commissioner or the court may,
on the application of an aggrieved person (which includes a person who
is culturally aggrieved), declare that the registration of a trade mark is
invalid..." (Penekanan oleh Penulis).319
UU Merek Selandia Barn tersebut mengandung ketentuan yang bersifat
aktif dan pasif. Pasal 17(1) bersifat aktif karena secara tegas mewajibkan
317 Deccan Herald "Veda, Ayurveda registered as trademarks in Germany", December
29. http://www.iprlawindia.org/category05/3559, dalam Vilailuk Tiranutti,
"Trademarking traditional knowledge, Lessons from the Rusie Dutton case," Tech
Monitor, Maret -April 2007, hlm. 43, http://techmonitor.net/tm/images/3/39/07mar_
apr_sf5.pdf (diakses tanggal 24 Januari 2017).
318 UU Merek Selandia Baru 2002 sebagaimana diperbaiki sampai tahun 2014. Lihat
http://www.wipo.int/wipolex/en/details.jsp?id=14825.
319 Untuk pembahasan lebih lanjut tentang perlindungan pengetahuan tradisional dan
hukum merek di Selandia Baru, lihat Susy Frankel, "Trademarks and Traditional
Knowledge and Cultural Intellectual Property Rights," (Nopember 2011) Victoria
University of Wellington, https://www.researchgate.net/publication/228136506_,
(diakses tanggal 20 Januari 2017).
I 111
Kantor Merek untuk menolak pendaftaran merek yang menyakitkan atau
menghina (offensive) masyarakat. Di sini yang hams aktif adalah Kantor
Merek. Sedangkan Pasal 73(1) bersifat pasif karena Kantor Merek bersikap
pasif menunggu masyarakat yang merasa terhina untuk mengajukan
pembatalan merek yang bersifat offensive.
Di AS ada ketentuan dalam the Lanham Act 1946 (UU Merek AS)
yang melarang pendaftaran merek yang mengandung hal-hal yang tidak
etis sehingga bisa digunakan untuk melindungi pengetahuan tradisional.
Pasal Pasal 2(a) UU Merek AS menyatakan:
"No trademark by which the goods of the applicant may be
distinguished from the goods of others shall be refused registration
on the principal register on account of its nature unless it- "Consists
of or comprises immoral, deceptive, or scandalous matter; or matter
which may disparage or falsely suggest a connection with persons,
living or dead, institutions, beliefs, or national symbols, or bring them
into contempt, or disrepute..."
Walaupun ketentuan dalam UU Merek AS tersebut nampak bersifat
aktif karena mewajibkan Kantor Merek untuk menolak pendaftaran
merek yang immoral (tidak sopan), scandalous (keji/memalukan)
atau disparage (meremehkan/melecehkan), namun karena bahasanya
terlalu umum, ketentuan tersebut hanya memberikan perlindungan yang
bersifat pasif kepada masyarakat pemegang pengetahuan tradisional.
Kantor Merek AS tidak secara aktif menolak pendaftaran merek seperti
itu karena untuk menolaknya Kantor Merek hams melakukan penilaian
(judgment) terlebih dahulu adanya salah satu hal yang tidak etis tersebut.
Oleh karena itu, masyarakat pemegang pengetahuan tradisional hams
aktif untuk mengajukan keberatan pendaftaran atau gugatan pembatalan
merek yang mengandung hal-hal yang tidak etis tersebut.320 Di samping
itu, pembuktian dalam pengajuan keberatan pendaftaran dan gugatan
pembatalan dibebankan kepada masyarakat, dan pembuktian tersebut bisa
sulit. Salah satu contoh sulitnya pembuktian seperti itu adalah pembuktian
320 Lynda J. Oswald, Challenging the Registration ofScandalous and Disparaging Marks
Under the Lanham Act: Who has standing to Sue? (2004) 41 AM. BUS. L.J.251,264
dalam Susy Frankel, ibid, him. 20.
112 I
dalam kasus "Redskins" dimana masyarakat asli Amerika (Native
Americans) gagal membuktikan bahwa pendaftaran merek "Redskins"
telah meremehkan/melecehkan (disparage) masyarakat asli Amerika.321
Dalam UU Merek 2016, ada ketentuan yang bisa melindungi
pengetahuan tradisional. Pasal 72(7) huruf c menyatakan: "Penghapusan
Merek terdaftar atas prakarsa Menteri dapat dilakukan jika: c. memiliki
kesamaan pada keseluruhannya (persis) dengan ekspresi budaya
tradisional, warisan budaya tak benda, atau nama atau logo yang sudah
merupakan tradisi turun temurun."322 Namun, sayangnya, ketentuan tersebut
hanya membatasi pada merek yang sama pada keseluruhannya. Akibatnya,
merek yang sama pada pokoknya (mirip) dengan tanda tradisional tidak
bisa dihapus. Misalnya merek "Gurah Medik" yang sama pada pokoknya
dengan nama "Gurah" yang merupakan nama pengobatan tradisional di
daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta tidak bisa dihapus.
Sayangnya juga, UU Merek 2016 tidak secara tegas memasukkan
suatu ketentuan preventif terhadap pendaftaran merek yang melanggar
pengetahuan tradisional. UU ini tidak memasukkan merek yang sama
dengan tanda tradisional sebagai salah satu alasan tidak dapat didaftamya
atau ditolaknya permohonan pendaftaran suatu merek. Dalam Pasal
20 yang mengatur merek yang tidak dapat didaftar dan Pasal 21 yang
mengatur merek yang ditolak permohonan pendaftarannya tidak tercantum
hal tersebut. Namun, Pasal 20 huruf a memasukkan "bertentangan dengan
ketertiban umum" sebagai salah satu alasan tidak dapat didaftarkannya
suatu merek. Penjelasan Pasal 20 huruf a mendefinisikan istilah tersebut
secara luas termasuk "menyinggung perasaan masyarakat atau golongan."
Dengan alasan tersebut Kantor Merek bisa menolak pendaftaran suatu
merek yang sama dengan tanda tradisional dengan syarat harus ada
penilaian (judgment) terlebih dahulu bahwa merek tersebut menyinggung
perasaan masyarakat pemegang tanda tradisional. Namun, Penulis
khawatir bahwa Kantor Merek kemungkinan akan menghindari kewajiban
penilaian tersebut, kemudian menerima pendaftaran merek tersebut.
321 ProFootball, Inc. v. Harjo, 284 F. Supp.2d 96, 131 (D.C. Cir. 2003). Lihat Susy
Frankel, ibid, hlm. 19 dan 20 yang membahas hal ini.
322 Penekanan oleh Penulis.
I 113
Seperti di AS, sebagaimana tersebut di atas, Kantor Merek tidak secara
aktif menolak pendaftaran merek dengan alasan yang umum immoral
(tidak sopan), scandalous (keji/memalukan) dan disparage (meremehkan/
melecehkan) yang tercantum dalam Pasal 2(a) UU Merek AS karena
untuk melakukan penilaian seperti itu tidak mudah. Karena Kantor
Merek di Dirjen KI kemungkinan tidak akan menolak pendaftaran merek
yang melanggar pengetahuan tradisional, maka berdasarkan Pasal 76
UU Merek 2016, masyarakat pemegang pengetahuan tradisional yang
hams aktif mengajukan pembatalan merek yang melanggar pengetahuan
tradisionalnya. Masyarakat yang hams membuktikan terpenuhinya alasan
"bertentangan dengan ketertiban umum" tersebut.
Berkaitan dengan cara yang kedua, tanda yang bempa, misalnya, nama,
kata, simbol dan ikon tradisional yang memenuhi kualifikasi dan syarat
syarat tertentu, bisa didaftarkan sebagai merek. Dibandingkan dengan
hukum paten, hukum merek lebih mendukung perlindungan pengetahuan
tradisional dengan cara ini walaupun sifatnya hanya kebetulan. Dalam
hukum paten, syarat kebaman dan langkah inventif mempakan kendala
bagi pengetahuan tradisional untuk dapat dipatenkan. Sementara itu,
syarat-syarat dalam hukum merek yakni distinctive dan digunakan dalam
perdagangankemungkinanbesarbisa dipenuhiolehpengetahuan tradisional.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016
tentang Merek dan Indigasi Geografis (UU Merek dan IG 2016), merek
adalah:
tanda yang dapat ditampilkan secara grafis bempa gambar, logo, nama,
kata, hum£, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/
atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua)
atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa ...
dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.
Jadi, merek hams mempakan tanda, hams memiliki daya pembeda
(distinctive), dan digunakan dalam perdagangan. Apabila suatu tanda
dari pengetahuan tradisional memiliki daya pembeda, digunakan dalam
kegiatan perdagangan dan didaftarkan, maka tanda tersebut dilindungi
sebagai merek. Misalnya, kata atau nama "Gurah" yang mempakan nama
114 I
metode atau cara pengobatan tradisional untuk mengeluarkan lendir dari
dalam tubuh dengan menggunakan ramuan herbal bisa didaftarkan sebagai
merek jasa pengobatan tersebut oleh warga masyarakat di Jawa, khususnya
Yogyakarta.
Berkaitan dengan masa perlindungan, merek mempunyai kelebihan
dibandingkan dengan paten. Paten hanya 20 (dua puluh tahun) tahun dan
tidak bisa diperpanjang, sedangkan merek 10 (sepuluh tahun) tetapi bisa
diperpanjang selama masih distinctive dan digunakan dalam kegiatan
perdagangan. Hal ini menunjukkan bahwa hukum merek lebih bisa
melindungi pengetahuan tradisional yang sifatnya perpetual.
UU Merek dan IG 2016 mengatur Indikasi Geografis dan Indikasi
Asal. Keduanya bisa digunakan untuk melindungi pengetahuan tradisional.
Menurut Pasal 1 angka 6 UU Merek dan IG 2016, Indikasi Geografis
adalah:
Suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau
produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam,
faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan
reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau
produk yang dihasilkan.
Suatu tanda dari pengetahuan tradisional yang memenuhi ketentuan
Pasal 1 angka 6 tersebut bisa dilindungi sebagai Indikasi Geografis apabila
didaftarkan ke Ditjen Kl.323 Perjanjian TRIPs sendiri tidak mensyaratkan
bahwa Indikasi Geografis hams didaftarkan. Oleh karena itu, sebenarnya,
ketentuan lama, yakni Pasal 59 UU Merek 2001, yang memungkinkan
suatu tanda yang tidak terdaftar tetapi memenuhi syarat sebagai indikasi
geografis bisa dilindungi sebagai indikasi asal adalah sudah tepat adanya.
Namun, sayangnya, dalam UU Merek dan IG 2016, ketentuan seperti dalam
Pasal 59 UU Merek 2001 tersebut tidak ada. Oleh karena itu, kebijakan
barn yang mengurangi hak masyarakat ini layak dipertanyakan.
Secara internasional, ada sesuatu kekhawatiran yang perlu mendapat
perhatian. Walaupun Pasal 22 Perjanjian TRIPs berisi ketentuan
umum tentang geographical indication, namun Perjanjian ini telah
323 Lihat Pasal 53 UU Merek dan IG 2016.
I us
"menganakemaskan" perlindungan indikasi geografis untuk Wines dan
Spirits. Pasal 23 Perjanjian ini secara khusus mencantumkan perlindungan
indikasi geografis untuk kedua produk tersebut. Untuk kedua produk
tersebut, menurut Pasal 23 ayat (1), negara anggotaWTO wajib memberikan
hak kepada suatu pihak untuk mencegah penggunaan indikasi geografis
untuk wine atau spirit yang ditempelkan pada wine atau spirit yang bukan
berasal dari tempat yang diindikasikan dalam indikasi geografis tersebut.
Sementara itu, Pasal 22 ayat (3)324 tidak mengharuskan negara anggota
untuk memberikan hak semacam itu. Hal ini dapat menyebabkan suatu
negara anggota bisa melakukan unfair competition yang akan merugikan
pemegang suatu pengetahuan tradisional untuk produk selain wine dan
spirit dari negara anggota lain.
Oleh karena itu, dalam usaha melindungi pengetahuan tradisionalnya
India pernah mengusulkan agar Perjanjian TRIPs diubah agar tidak
memberikan perlakuan yang diskriminatif dalam kaitannya dengan
perlindungan indikasi geografis.325 Usul India ini patut mendapat sambutan
yang baik. Apabila Perjanjian TRIPs diperbaiki sesuai dengan usulan
India, diharapkan ada keseragaman perlindungan indikasi geografis untuk
produk-produk selain wine dan spirit di negara-negara anggota. Ini akan
menguntungkan Indonesia yang bukan merupakan net producer untuk
wine dan spirit.
C. PERLINDUNGAN EKSPRESI BUDAYA TRADISIONAL
Sekarang ini, salah satu penjelasan tentang Ekspresi Budaya Tradisional
s(EBT) yang komprehensif terdapat di WIPO Revised Draft Provisions for
the Protection of Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore
(Revised Draft Provisions). Ekspresi budaya tradisional (traditional
324 Pasal ini menyatakan: "A Member shall, ex off,cio if its legislation so permits or at
the request of an interested party, refuse or invalidate the registration of a trademark
which contains or consists of a geographical indication with respect to goods not
originating in the territory indicated, if use of the indication in the trademark for such
goods in that Member is of such a nature as to mislead the public as to the true place
of origin."
325 Kruger M, "Harmonizing TRIPS and the CBD: A Proposal from India" (2001) 10
Minn. J. Global Trade 169, him. 177.
116 I
cultural expressions) yang biasa juga disebut "ekspresi folklore"
(expressions of folklore) mencakup bentuk berwujud (tangible) maupun
tidak berwujud (intangible) di mana budaya dan pengetahuan tradisional
diekspresikan, muncul atau dimanifestasikan/diwujudkan.326 Contoh dari
ekspresi yang berwujud adalah gambar, lukisan, desain, pahatan, ukiran,
barang tembikar, mosaik, karya yang terbuat dari kayu, karya yang terbuat
dari besi, permata, karya jahitan, tekstil, barang pecah belah, karpet,
pakaian, kerajinan tangan, alat musik, karya arsitektur dan lain sebagainya.
Ada 3 (tiga) kategori ekspresi yang tidak berwujud: (1) ekspresi verbal
(seperti cerita, syair kepahlawanan (epics), puisi, kata-kata, tanda, nama
dan simbol); (2) ekspresi musik, dan (3) ekspresi dengan tingkah laku
(seperti tarian, dan pentas).327
Menurut WIPO, agar dapat dilindungi, ekspresi berwujud harus
memenuhi 3 (tiga) syarat. Pertama, ekspresi berwujud hams mempakan
basildariaktivitasintelektual yang kreatif yang mencakupaktivitaskomunal
atau aktivitas individual. Kedua, ekspresi tersebut harus mempakan sifat
dari identitas budaya dan sosial dan warisan budaya dari suatu komunitas
tertentu. Jadi, ekspresi budaya tersebut mempunyai hubungan dengan
identitas dan warisan suatu komunitas dan ekspresi tersebut hams asli atau
mempakan lambang (attribute) dari suatu komunitas. Ketiga, ekspresi
berwujud hams dijaga, digunakan atau dikembangkan oleh komunitas,
atau oleh individu-individu yang mempunyai hak atau tanggung jawab
untuk melakukan hal-hal tersebut sesuai dengan hukum kebiasaan dan
praktik yang berlaku di komunitas tersebut.328
Indonesia akan mengatur Ekspresi Budaya Tradisional (EBT)
bersama dengan Pengetahuan Tradisional dalam suatu peraturan khusus.
Sebagaimana tersebut di atas, telah ada Draft RUU Pengetahuan Tradisional
dan Ekspresi Budaya Tradisional (RUUPT&EBT). Dalam Pasal 1 angka
2 RUU ini, EBT didefinisikan sebagai: "segala bentuk ekspresi, baik
326 WIPO, "The Protection of Traditional Cultural Expressions: Draft Articles," Rev. 2
(April 4, 2014, 3.00 pm), http.www.wipo.intedocsmdocstkenwipo_grtkf_ic_28wipo_
grtkf_ic_28_6.pdf (diakses tanggal 4 Fabruari 2017).
327 WIPO, ibid.
328 WIPO, ibid.
I 111
material (benda) maupun immaterial (tak benda), atau kombinasi keduanya
yang menunjukkan keberadaan suatu budaya dan Pengetahuan Tradisional,
yang bersifat turun-temurun." EBT menurut Draft RUU ini mencakup
"ekspresi fonetik atau verbal, ekspresi suara atau musik, ekspresi gerak
atau tindakan, dan ekspresi material (kebendaan) maupun karya intelektual
lainnya." Definisi ini nampak sesuai dengan definisi Draft WIPO tersebut
di atas. Upaya pembuatan peraturan khusus ini menunjukkan Indonesia
akan memberikan positive protection kepada EBT karena Pemerintah akan
mengembangkan, memanfaatkan, mempromosikan, melestarikan, dan
sekaligus melindungi EBT. Pemerintah juga akan menjamin pemenuhan
hak masyarakat untuk berperan serta dalam pengelolaan EBT. Di samping
itu, pemerintah akan memberikan kerangka kebijakan pengelolaan EBT.329
Selain akan dibuat peraturan secara khusus, Indonesia sekarang ini
juga telah mengatur EBT dalam UUHC 2014. Pasal 38(1) UUHC 2014
melindungi EBT dengan cara menentukan pemegangnya. Pasal ini
menyatakan bahwa Negara memegang hak cipta atas EBT. Berdasarkan
Pasal 38(2), sebagai pemegang hak cipta karya tradisional tersebut, Negara
hams memelihara danmelindunginya.Berbeda dengan UUHC 2002, UUHC
2014 tidak mengatur tentang diskriminasi antara warga negara asing dan
warga negara Indonesia dalam hal penggunaan EBT. Sebelumnya, UUHC
2002 membedakan antara keduanya. Menurut Pasal 10(3) UUHC 2002,
warga negara asing hams terlebih dahulu memperoleh ijin dari lembaga
yang berwenang di Indonesia sebelum mereka bisa menggunakan karya
tradisional tersebut, sedangkan warga negara Indonesia tidak hams. UUHC
2014 tidak mengatur hal ini namun menunggu peraturan pemerintah yang
dijanjikan oleh 38(4) UUHC 2014 yang akan mengatur hal tersebut.
Berdasarkan Pasal 38(4) UUHC 2014, pengguna EBT hams
memperhatikan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat pengembannya.
Penjelasan Pasal tersebut menyatakan bahwa nilai-nilai tersebut mencakup
"adat istiadat, norma hukum adat, norma kebiasaan, norma sosial, dan
norma-norma luhur lain yang dijunjung tinggi oleh masyarakat tempat
329 Pasal 2 RUU PT & EBT.
11s I
asal, yang memelihara, mengembangkan, dan melestarikan ekspresi
budaya tradisional."
Pasal 38(2) UUHC 2014 mewajibkan Negara untuk membuat
inventaris EBT. Ini adalah ketentuan yang barn. Sebelumnya, UUHC 2002
tidak mengatur hal ini. Ketentuan yang barn ini sangat penting mengingat
sudah banyak terjadi kasus karya budaya Indonesia diklaim oleh negara
lain.330 Namun, kewajiban untuk membuat inventaris semacam ini tidak
mudah untuk dikerjakan. Pemerintah mungkin akan mengalami kesukaran
untuk menentukan bahwa karya-karya tradisional tertentu adalah berasal
dari Indonesia apabila negara-negara lain mengklaim bahwa karya-karya
tersebut berasal dari mereka. Oleh karena itu, Indonesia dan negara-negara
tetangga perlu untuk duduk bersama untuk mengkompromikan mengenai
hal ini. Semoga peraturan pemerintah yang dijanjikan akan mengatur hal ini.
Pasal 38 UUHC 2014 yang mengatur perlindungan EBT nantinya akan
dijelaskan oleh suatu undang-undang khusus yang sekarang masih dalam
bentuk RUU yakni RUUPT&EBT sebagaimana tersebut di atas. Apabila
RUU ini menjadi UU, apabila penggunaan EBT adalah untuk kepentingan
komersial, menurut RUU, pengguna harns membuat suatu kesepakatan
(perjanjian) bagi hasil (benefit sharing) dengan pemegang atau kustodian
(pengemban) karya tradisional tersebut. Menurut pendapat Penulis,
ketentuan ini tidak mudah dilaksanakan dan tidak mudah diterima oleh
masyarakat karena penggunaan komersial karya-karya tradisional sudah
biasa terjadi dewasa ini di Indonesia oleh masyarakat tanpa memikirkan
pembayaran royalti.
Dalam RUUPT&EBT yang lain,331 ada ketentuan tentang lembaga
manajemen kolektif (LMK). RUU ini menyatakan bahwa LMK adalah
suatu badan hukum yang non-profit yang diberi kuasa oleh kustodian
pengatahuan tradisional dan ekspresi budaya tradisional untuk membuat
perjanjian penggunaan, menerima hasil pembagian keuntungan dan
330 Lihat tulisan yang membahas beberapa contoh karya budaya Indonesia diklaim
oleh negara lain: Wulan Anggiet Pumamasari, "Penyelesaian Sengketa Perselisihan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Antar Negara: Sengketa Lagu Rasa Sayange
antara Negara Indonesia dan Negara Malaysia," jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/
download/58/42, (diakses tanggal 20 Februari 2017).
331 RUU PT & EBT yang mulai beredar pada tahun 2011.
I 119
meneruskannya kepada kustodian. Sekarang, Pasal 87 sampai 93 UUHC
2014 telah mengatur LMK. Berdasarkan Pasal 87(1), untuk mendapatkan
hak ekonomi, pemegang hak cipta terlebih dahulu harns menjadi anggota
LMK. Kemudian, pemegang hak cipta tersebut memberikan kuasa kepada
LMK untuk mengambil royalti dari para pengguna. Karena berdasarkan
Pasal 38(1) tersebut di atas, Negara adalah pemegang hak cipta atas EBT,
untuk mendapat hak ekonomi, maka Negara harns terlebih dahulu menjadi
anggota LMK, kemudian Negara memberikan kuasa kepada LMK untuk
menarik royalti dari para pengguna. Namun, RUU ini menyatakan lain,
yakni bahwa kustodian karya tradisional, bukan Negara, yang memberikan
kuasa kepada LMK untuk menarik royalti. Menurut Penulis, posisi RUU
lebih baik dari pada posisi UUHC 2014. Jadi, berkaitan dengan EBT,
seharnsnya kustodian, bukan pemegang hak cipta, yakni Negara, yang
harns membuat perjanjian pemberian kuasa dengan LMK. Hal ini lebih
baik karena kepentingan kustodian dapat secara langsung diperhatikan
dalam perjanjian tersebut dan pembagian keuntungan akan lebih mudah.
D. KESIMPULAN
Di tengah tidak jelasnya prospek kesepakatan internasional di bidang
HKI untuk melindungi pengetahuan tradisional dan EBT, Indonesia melalui
legislasi HKI-nya yang barn telah berupaya untuk melindungi kedua karya
tradisional tersebut. UU Paten 2016 berisi ketentuan-ketentuan barn yang
melindungi pengetahuan tradisional, termasuk kewajiban disclosure dan
access and benefit sharing dalam pemanfaaan pengetahuan tradisional dan
dimungkinkannya gugatan penghapusan paten terhadapinvensi yang berasal
dari pengetahuan tradisional yang melanggar kewajiban disclosure dan
benefit sharing. UU Merek dan Indikasi Geografis 2016 dapat melindungi
pengetahuan tradisional dengan cara mencegah pendaftaran tanpa hak
tanda-tanda pengetahuan tradisional dan memungkinkan pendaftaran
tanda-tanda pengetahuan tradisional untuk dilindungi sebagai merek atau
indikasi geografis. Walaupun masih ada kelemahan atau ketidakjelasan,
namun ketentuan-ketentuan barn tersebut menunjukkan Indonesia telah
mengikuti langkah beberapa negara-negara lain, seperti India, Bolivia
120 I
dan Peru yang sangat mendukung perlindungan pengetahuan tradisional.
UUHC 2014 melindungi EBT dengan cara menentukan pemegangnya,
yakni Negara. Sebagai pemegang hak cipta karya tradisional tersebut,
Negara harns memelihara dan melindunginya. UUHC 2014 mewajibkan
Negara untuk membuat inventaris EBT. Walaupun UUHC yang barn ini
tidak berisi ketentuan tentang kewajiban benefit sharing sebagaimana
UU Paten 2016, namun UUHC ini memuat fasilitas LMK yang dapat
dimanfaatkan dalam rangka penetapan syarat-syarat pemanfaatan EBT.
Sambil menunggu disahkannya RUUPT&EBT, keberadaan ketentuan
ketentuan barn dalam legislasi HKI ini menjadi sangat penting dalam
rangka perlindungan karya-karya tradisional tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Boza RT, "Protecting Andean Traditional Knowledge and Biodiversity
Perspectives under the U.S. - Peru Trade Promotion Agreement",
(2008) 16-SUM Currents: Int'l Trade L.J. 76;
Daniel S. Sem, "Co-Developing Drugs With Indigenous Communities:
Lessons From Peruvian Law And The Ayahuasca Patent Dispute,"
(2016) 23 Rich. J.L. & Tech. 1;
David R. Hansen, "Protection of Traditional Knowledge: Trade Barriers
and the Public Domain," (2010-2011) 58 J. Copyright Soc'y U.S.A.
757.
Downes DR, "How Intellectual Property Could Be a Tool to Protect
Traditional Knowledge", (2000) 25 Colum. J. Envtl. L. 253;
Outfield G, Protecting Traditional Knowledge and Folkfore, 2003,
International Centre for Trade and Sustainable Development &
United Nations Conference on Trade and Development, Switzerland;
European Patent Convention, http://documents.epo.org/projects/babylon/
eponet.nsf/O/F9FDOB02F9D1 A6B4C1258003004DF61 0 /$File/
EPC_16th_edition_2016_en.pdf_(diakses tanggal 17 Januari 2017).
Garcia J, "Fighting Biopiracy: The Legislative Protection of Traditional
Knowledge", (2007) 18 Berkeley La Raza L.J. 5;
I 121
Ghosh S, "Reflections on the Traditional Knowledge Debate" (2003) 11
Cardozo J. Int'l & Comp. L. 497;
Hughes, Justin, "Traditional Knowledge, Cultural Expression, and The
Siren's Call of Property," (2012) 49 San Diego L. Rev. 1215;
Kruger M, "Harmonizing TRIPS and the CBD: A Proposal from India"
(2001) 10 Minn. J. Global Trade 169;
Manual Ruiz, T he International Debate on Traditional Knowledge as
Prior Arts in the Patent System: Issues and Options for Developing
Countries, Center for International Environmental Law, 2002;
Mgbeoji I, "Patents and Traditional Knowledge of the Uses of Plants: Is a
Communal Patent Regime Part of the Solution to the Scourge of Bio
Piracy?" (2001) 9 Ind. J. Global Leg. Stud. 163;
Ong B, Intellectual Property and Bilogical Resources, Marshall Cavendish
International, Singapura, 2004;
Secretariat of Convention on Biological Diversity, "Introduction toAccess
and Benefit-Sharing," https://www.cbd.int/abs/infokit/brochure-en.
pd£ (diakses tanggal 26 Oktober 2016);
Sharma A, "Global legislation on indigenous knowledge", Science and
DevelopmentNetwork, March 2004, <http://www.scidev.net/dossiers/
index.cfm? fuseaction=printarticle&dossier=7&policy=50>;
Susy Frankel, "Trademarks and Traditional Knowledge and
Cultural Intellectual Property Rights," Victoria University of
Wellington, Nopember 2011, https://www.researchgate.net/
publication/228136506, (diakses tanggal 20 Januari 2017);
Tesh Dagne, "Protecting Traditional Knowledge in International Intellectual
Property Law: Imperatives for Protection and Choice of Modalities,"
(2014) 14 J. Marshall Rev. Intell. Prop. L. 25;
Vilailuk Tiranutti, "Trademarking traditional knowledge, Lessons from
the Rusie Dutton case," Tech Monitor, Maret -April 2007, http://
techmonitor.net/tm/images/3/39/07mar_apr_sf5.pdf, (diakses tanggal
24 Januari 2017);
Werra J d, "Fighting Against Biopiracy: Does The Obligation to Disclose
in Patent Applications Truly Helps", (2009) 42 Vand. J. Transnat'l
L. 143;
122
WIPO "Towards the Establishment of a Regional Framework for
the Protection of Traditional Knowledge, Traditional Cultural
Expressions and Genetic Resources in the Caribbean Region,"
A3:L434E (2008), http://www.wipo.int/edocs/mdocs/tk/en/ wipo_
grtk_kin_08/wipo_grtk_kin_08_caribbean_brochure.pdf;
WIPO, "The Protection of Traditional Knowledge: Draft Articles," Juli
2014, Geneva, http://www.wipo.intedocsmdocstkenwipo_grtkf_
ic_28wipo_grtkf_ic_28_5.pdf, (diakses 1 Januari 2017).
WTO Council for Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights,
Compilation of WTO Documents Concerning Intellectual Property,
bahan dari WIPO-WTO Colloquium for Teachers of Intellectual
property, Geneva, 30 Juni - 10 Juli 2008;
WIPO, "The Protection of Traditional Knowledge Draft Articles," http://
www.wipo.int/edocs/mdocs/tk/en/wipo_grtkf_ic_21/wipo_grtkf_
ic_21_ref_facilitators_text.pdf, (diakses tanggal 18 Januari 2017);
WIPO, "The Protection ofTraditional Cultural Expressions: DraftArticles,"
Rev. 2 (April 4, 2014), http://www.wipo.intedocsmdocstkenwipo_
grtkf_ic_28wipo_grtkf_ic_28_6.pdf, (diakses tanggal 4 Februari
2017);
WIPO, "Traditional Knowledge and Intellectual Property-Background
Brief," http://www.wipo.int/pressroom/en/briefs/tk_ip.html, (diakses
tanggal 21 Januari 2016).
Wulan Anggiet Pumamasari, "Penyelesaian Sengketa Perselisihan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Antar Negara: Sengketa Lagu Rasa
Sayange antara Negara Indonesia dan Negara Malaysia," jhp.ui.ac.
id/index.php/home/article/download/58/42, (diakses tanggal 20
Februari 2017).
I 123
BABV
CATATAN PENGAT URAN MANAJEMEN
INFORMASI HAK CIPTA, INFORMASI
ELEKTRONIK HAK CIPTA
DAN SARANA KONTROL T EKNOLOGI
DI DALAM U U NO. 28 TAHUN 2014
Budi Agus Riswandi
A. PENDAHULUAN
Teknologi internet telah menjadi media alternatif dalam
mempublikasikan berbagai macam karya dalam bidang seni, sastra dan
ilmu pengetahuan saat ini. Dengan menjadikan media internet sebagai
sarana tersebut, maka tidak mengherankan apabila media internet menjadi
salah satu sumber informasi yang berhubungan dengan karya seni, sastra
dan ilmu pengetahuan.
Dalam praktiknya, para pengguna media internet-yang memuat
berbagai macam karya dalam bidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan
acapkali menyalahgunakan pemanfaatannya. Penyalahgunaan internet
ini sampai mengarah terhadap terjadinya pelanggaran hukum, khususnya
pelanggaran hak cipta. Pelanggaran hak cipta telah menimbulkan suatu
permasalahan hukum yang serius di internet. Oleh karenanya, pelbagai
pihak tidak mengherankan apabila terns berupaya mengoptimalisasikan
perlindungan hak cipta di internet.
124 I
Pelbagai pihak dalam upaya mengoptimalisasi perlindungan hak cipta
dilakukan dengan berbagai macam pendekatan di internet. Pendekatan
tersebut dilakukan salah satunya melalui pengadopsian teknologi informasi
dalam hal ini manajemen informasi hak cipta dan sarana kontrol teknologi
ke dalam legislasi hak cipta, baik secara internasional maupun nasional.
Bentuk legislasi hak cipta atas dua hal tersebut merupakan langkah solutif
yang terbaik atas sejumlah permasalahan terkait dengan perlindungan hak
cipta di internet. Namun demikian, bentuk legislasi atas dua hal tersebut
seharusnya dapat dirumuskan dengan memperhatikan aspek kemanfaatan
baik bagi pemegang hak cipta maupun pengguna hak cipta di internet.
Aspek kemanfaatan tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk
penormaan hak cipta yang benar-benar tidak hanya memperhatikan pada
aspek penguatan eksklusifitas pemegang hak cipta, tetapi seharusnya juga
penormaan hak cipta dapat memberikan peluang bagi hak akses pengguna
yang tujuannya bukan untuk kepentingan komersial. Kedua kepentingan
ini sebenarnya sudah sesuai dengan semangat dari diberlakukannya
ketentuan hak cipta baik di tingkat internasional dan nasional. Namun
demikian, kedua kepentingan ini dalam pelaksanaannya sangat bergantung
pada kehendak dari para legislator dalam menetapkan ketentuan hak cipta
atas manajemen informasi hak cipta dan sarana kontrol teknologi.
B. TEORI PERLINDUNGAN HAK CIPTA
Dalam kajian perlindungan hak cipta ada banyak teori yang
dikembangkan. Dalam hal perlindungan hak cipta ini setidaknya ada empat
teori yang mendukung terhadap hal tersebut. Teori-teori itu antara lain:332
332 Earl R. Brubaker, "Free Ride, Free Revelation, or Golden Rule?," Journal of Law
& Economics 18, no. 1 (April 1975): 147-161; William M. Landes & Richard A.
Posner, "An Economic Analysis of Copyright Law," Journal of Legal Studies 18,
no. 2 (June 1989): 325-363; Stewart E. Sterk, "Rhetoric and Reality in Copyright
Law," Michigan Law Review 94, no. 5 (March 1996): 1197-1249. Edmund W. Kitch,
"The Nature and Function of the Patent System," Journal of Law and Economics 20,
no. 2 (October 1977): 265-290; John F. Duffy, "Rethinking the Prospect Theory of
Patents," University of Chicago Law Review 71, no. 2 (Spring 2004): 439-510. Wendy
J. Gordon, "An Inquiry into the Merits of Copyright: The Challenges of Consistency,
Consent and Encouragement Theory," Stanford Law Review 41, no. 6 (July 1989):
1343-1469; Wendy J. Gordon, "A Property Right in Self-Expression: Equality and
I 12s
Pertama, insentive theory. Menurut teori ini bahwa perlindungan
hak cipta merupakan insentif ekonomi yang diberikan kepada pencipta
dalam rangka mendorong pencipta untuk dapat menginvestasikan waktu,
usaha, keahlian dan segala sumber daya yang dimilikinya untuk proses
membuat suatu kreativitas. Dengan pemberian monopoli terbatas melalui
perlindungan hak cipta hal tersebut dimaksudkan untuk mencegah orang
lain secara bebas mengambil kreativitas mereka. Kemudian, melalui
perlindungan hak cipta memungkinkan pencipta dapat memulihkan
berbagai investasi yang telah dikeluarkan.
Kedua, prospect theory. Menurut teori ini bahwa perlindungan
hak cipta dimaksudkan untuk memberikan penghargaan ekonomi atas
ketidakpastian dan ketidaktahuan serta investasi pencipta yang memiliki
resiko dan mahal. Prospect theory ini berbeda dengan insentive theory,
di mana insentive theory tidak harus dapat menetapkan keuntungan yang
akan diperoleh di masa depan dari hasil kreasinya tersebut. Sebaliknya,
prospect theory, pencipta sudah dapat menentukan keuntungan yang
diperoleh terlepas dari keuntungan yang segera dapat diketahui.
Ketiga, natural right theory. Menurut teori ini bahwa perlindungan
hak cipta sebagai buah dari hasil kerja yang telah dihasilkan oleh kreator,
dimana hasil kerja tersebut merupakan bentuk kontribusi kepada masyarakat
dan hal tersebut menjadi patut untuk mendapatkan penghargaan. Keempat,
development theory. Menurut teori ini bahwa perlindungan hak cipta
sebagai katalisasi pembangunan ekonomi dan modemisasi masyarakat.
Perlindungan hak cipta dapat menghasilkan produksi karya seni dan sastra,
pendapatan pajak, investasi dalam dan luar negeri, menciptakan lapangan
kerja barn dan mempromosikan pencipta aslinya.
C. TEKNOLOGI INFORMASI SEBAGAI SARANA PERLINDUNGAN
TEKNIS HAK CIPTA
Perkembangan teknologi informasi berupa internet telah membawa
dampak serius dalam setiap sektor aktivitas kehidupan manusia. Salah satu
Individualism in the Natural Law of Intellectual Property," Yale Law Journal 102, no.
7 (1993): 1533- 1609 hal ini sebagaimana dikutip oleh Peter K. Yu dalam Digital
Piracy and the Copyright Response, hlm. 2-3.
126 I
yang terkait dengan hal tersebut adalah dalam bidang hak cipta. Hingga
saat ini, para pengguna internet nampaknya sangat dimudahkan untuk
mendapatkan informasi dan sekaligus memanfaatkan informasi tersebut
untuk berbagai macam keperluan. Jenis-jenis informasi yang didapat
dan dimanfaatkan dapat berhubungan dengan bidang seni, sastra dan
ilmu pengetahuan. Adapun, para pengguna internet dalam pemanfaatan
informasi yang terdapat di internet ini dilakukan dengan cara-cara
men-download, meng-copy, memodifikasi, memutilasi, mendistribusi,
mentransmisi hingga mengadaptasinya.
Para pengguna internet dalam pemanfaatan informasi yang terdapat
di internet ini, pada kenyataannya telah menimbulkan dua sisi yang saling
bertolak belakang, di mana di satu sisi para pengguna internet mendapatkan
kemudahan dalam hal akses dan pemanfaatan informasi itu sendiri, di
sisi lainnya para pengguna internet telah menimbulkan berbagai macam
perbuatan yang dapat melanggar hukum. Khusus dalam hal, para pengguna
melakukan perbuatan melanggar hukum dari akses dan pemanfaatan
informasi di internet ini sangat berkait erat dengan pelanggaran hak cipta.
Beberapa kasus pelanggaran hak cipta di internet antara lain;
Pertama, kasus Prayoga dengan Brahmana. Prayoga adalah seorang
desainer yang sedang berkuliah di Institut Teknologi Bandung Fakultas
Desain Komunikasi Visual dan menjadi anggota Asosiasi Desain Grafis
Indonesia (ADGI). Prayoga memasarkan karya-karya dan jasa membuat
karya desain grafisnya melalui dunia maya (internet), salah satunya melalui
http://www.kreatifprofesional.com. Pada tanggal 29Agustus 2008 Prayoga
mendapatkan laporan dari ADGI, bahwa karya desain grafisnya digunakan
seseorang dalam blog di website http://wordpress.com dan diakui sebagai
ciptaan dari seseorang warga negara India yang beridentitas Brahmana
karya desain grafis tersebut didapatkan dengan cara di-download dari
website http://www.kreatifprofesional.com tanpa seizin Prayoga.333
Kedua, kasus pemblokiran terhadap 21 situs yang diduga melakukan
pelanggaran hak cipta di internet oleh Menteri Komunikasi bekerjasama
dengan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Adapun beberapa
333. https://hakicase.wordpress.com/2010/04/09/kasus-kasus-pelanggaran-desain-grafis
di-internet/, diakses tanggal 10 September 2016.
I 121
situs yang diblokir tersebut antara lain: "http://ganool.com" ganool.com,
"http://nontonmovie.com" nontonmoviecom, "http://bioskops.com"
bioskops.com, "http://ganool.ca" ganool.ca, "http://kickass.to" kickass.
to, "http://thepiratebay.se" thepiratebay.se, "http://downloadfilmbaru.
com" downloadfilmbaru.co, "http://ganool.co.id" ganool.co.id,
"http://21filmcinema.com" 21filmcinema.com, "http://gudangfilm.faa.
im" gudangfilm.faa.im, "http://movie76.com" movie76.com."334 Dengan
maraknya berbagai pelanggaran hak cipta melalui penggunaan internet,
maka hal ini telah menjadi tantangan tersendiri bagi para ahli di bidang
teknologi informasi untuk menciptakan suatu sistem perlindungan
teknis yang diharapkan mampu memberikan perlindungan hak cipta atas
informasi yang ada di internet.
Perlindungan teknis yang dikembangkan dalam perspektif teknologi
informasi adalah digital right management (DRMs). DRMs sebenamya
bukanlah istilah tunggal, namun ada beberapa istilah lainnya yang
juga sering digunakan. Istilah tersebut antara lain "automated rights
management," "technical protection measures," atau "content protection
schemes". DRMs sendiri memiliki pengertian sekumpulan sistem yang
digunakan untuk melindungi hak cipta di media elektronik.335
DRMs memiliki dua generasi. Generasi pertama, DRMs berfungsi
untuk keamanan dan enkripsi dalam mencegah tindakan penyalinan secara
tidak berwenang, sedangkan generasi kedua, DRMs dapat berfungsi juga
untuk mengidentifikasi pengguna, perdagangan, penjualan, tracking dan
pengawasan lainnya.336 DRMs berdasarkan kategorisasi yang dibuat oleh
WIPO dalam The WIPO Copyright Treaty dan the WIPO Performances and
Phonograms Treaty mencakup dua kategori, yakni; Technical Protection
Measures (TPMs) dan Rights Management Information (RMI). TPMs
334. http://nasional.republika.co.icl/berita/nasional/umum/15/08/18/nta324365-21-situs
pelanggar-hak-cipta-film-cliblokir-menkominfomenkum-ham, cliakses tanggal 10
Oktober 2015.
335 Denise Rosemary Nicholson, "Digital Rights Management and Access to Information:
a Developing Country's Perspective", LIBRES Library and Information Science
Research Electronic Journal Volume 19, Issue 1, March 2009, hlm. 2.
336 Trampas A. Kurth, Digital Rights Management: An Overview of the Public Policy
Solutions to Protecting Creative Works in a Digital Age, WISE 2002 Intern, Kansas
State University, Agustus 2002, hlm.7.
12s I
adalah sistem atau aplikasi yang mana dapat menghambat akses untuk
dan atau digunakan dari karya digital secara absolut atau kondisional,
sedangkan RMI adalah sistem atau aplikasi yang dapat mendukung pada
upaya mengidentifikasi karya atau atribut dari karya yang terdapat dalam
karya tersebut.337
Keberadaan DRMs atau TPM dan IRM sebagai sarana teknis untuk
melindungi hak cipta juga diakui oleh beberapa ahli dalam bidang ini.
Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Clarkes Clark yang dikutip
oleh Victoria Banti-Markouti yang menyatakan: "The answer to the
machine is the machine. " Pemyataan ini dimaksudkan oleh Clarkes Clark
bahwa teknologi dapat digunakan untuk melakukan tindakan pengaman
atas ancaman hak kekayaan intelektual melalui teknologi yang sama.338
Selanjutnya, Hugenholtz menguatkan pendapat ini dengan memberikan
pemyataan sebagai berikut:
The technological development has led to the use of technological
measures by the copyright owners in order to prohibit the infringement
of their rights or restrict the illegal actions. Indeed, technological
protection measures have been characterised as 'powerful new
weapons in the copyright arsenal'339
Dengan memahami pemyataan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
perlindungan teknis dapat dijadikan sebagai sarana perlindungan hak cipta
atas informasi yang ada di internet.
337 Nie Garnett, "Automated Rights Management Systems and Copyright limitations and
Exceptions" Informative Session on Limitations and Exceptions Geneva November
3n1 2008.
338 Victoria Banti-Markouti, "The Interface between Technological Protection Measures
and the Exemptions to Copyright under Article 6 Paragraph 4 of the Infosoc Directive
and Section 1201 of the Digital Millennium Copyright Act, with Particular Respect to
the Implementation of Article 6 Paragraph 4 in the National Laws of Greece, UK, and
Norway", Issues in Informing Science and Information Technology Volume 4, 2007,
hlm. 575.
339 Ibid, hlm. 576.
I 129
D. WIPO INTERNET TREATIES: SINERGITAS PERLINDUNGAN
TEKNIS DAN KETENTUAN HAK CIPTA
Memahami perlindungan teknis disediakan guna perlindungan hak
cipta, maka semestinya perlindungan teknis ini dapat disinergikan dengan
ketentuan hak cipta. Beberapa alasan yang dapat dikemukakan adalah;
Pertama, perlindungan teknis guna perlindungan hak cipta menjadi
tidak optimal mengingat perlindungan teknis hanya mampu memberikan
perlindungan pada tingkat pencegahan. Sementara, apabila perlindungan
teknis disinergikan dengan ketentuan hak cipta fungsi perlindungan
teknis diharapkan dapat juga menjangkau pada perlindungan pada tingkat
penindakan; dan Kedua, perlindungan teknis guna perlindungan hak
cipta tidak optimal mengingat perlindungan teknis tidak dapat menjadi
perlindungan hak cipta secara kuat (baca: tidak ada teknologi yang
memiliki kekuatan keamanan penuh, teknologi senantiasa memungkinkan
untuk dapat dirusak dan dihilangkan). Sementara, apabila perlindungan
teknis disinergikan dengan ketentuan hak cipta, maka kekuatan keamanan
teknologi dapat dilakukan lebih kuat mengingat perlindungan teknis
mendapatkan dukungan dari perlindungan hukum.
Dengan menyadari perlunya sinergitas antara perlindungan teknis
dengan ketentuan hak cipta, kini kesepakatan multilateral secara global
telah menyediakan sinergitas dari perlindungan teknis dan ketentuan
hak cipta. Kesepakatan multilateral tersebut tertuang di dalam WIPO
Internet Treaties. WIPO Internet Treaties adalah kesepakatan multilateral
dalam bidang hak cipta di lingkungan digital. WIPO Internet Treaties
ini diberlakukan pada tahun 1996. WIPO Internet Treaties memuat dua
konvensi intemasional hak cipta, yakni WIPO Copyright Treaty dan WIPO
Performance and Phonogram Treaty. WIPO Copyright Treaty memiliki
lingkup perlindungan pada karya seni dan sastra di lingkungan digital, di
antaranya; buku, program komputer, musik, fotografi, lukisan dan film,
sedangkan WIPO Performance and Phonogram Treaty memiliki lingkup
perlindungan pada rekaman suara, seperti rekaman, kaset, CD dan juga hak
pelaku pertunjukan yang menampilkan karya rekaman.340
340 WIPO, "The WIPO Internet Treaties," http://www.wipo.int/edocs/pubdocs/en/
ecommerce/450/wipo_pub_l450in.pdf, diakses tanggal 7 Agustus 2016.
130 I
WIPO Internet Treaties memiliki keterkaitan dengan perlindungan
teknis mengingat salah satu isi kesepakatan dalam WIPO Internet Treaties
adalah mengenai sinergitas ketentuan hak cipta dan perlindungan teknis. Di
dalam WIPO Internet Treaties ada dua tipe teknologi yang dapat diadopsi
dalam upaya perlindungan hak cipta. Dua tipe teknologi tersebut adalah
Pertama, teknologi anti-circumvention. Teknologi ini dapat menghandel
permasalahan "hacking". Negara-negara dapat menerapkan perlindungan
hukum yang layak dan ganti rugi yang efektif terhadap teknologi anti
circumvention (seperti teknologi enkripsi) yang digunakan oleh pemegang
hak cipta untuk melindungi hak mereka ketika ciptaannya disebarluaskan
melalui internet; dan Kedua, teknologi pengaman yang terpercaya dan
menjamin keutuhan data di pasar online melalui persyaratan-persyaratan
yang ditentukan oleh negara untuk melarang pengrusakan dan penghapusan
atas manajemen informasi hak cipta.341
Apabila mengkaji dua konvensi hak cipta ini, maka terlihat dengan
jelas bahwa dua konvensi internasional hak cipta ini berupaya memberikan
pengaturan yang lebih kuat terhadap perlindungan hak cipta di internet,
termasuk penguatan perlindungan hak cipta tersebut dengan cara
mensinergikan antara aspek perlindungan teknis (baca: teknologi) dan
ketentuan hak cipta.
E. PENGATURAN DAN CATATAN MANAJEMEN INFORMASI
HAK CIPTA DAN SARANA KONTROL TEKNOLOGI DALAM
KETENTUAN HAK CIPTA INDONESI A
Indonesia merupakan salah satu negara yang telah melakukan ratifikasi
terhadap WIPO Copyright Treaty sebagai bagian dari WIPO Internet
Treaties. Ratifikasi terhadap WIPO Copyright Treaty ini dilakukan melalui
Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997. Dengan ratifikasi ini telah
membawa konsekuensi kepada Indonesia untuk melakukan harmonisasi
ketentuan hak ciptanya dengan WIPO Copyright Treaty.
Dalam prakteknya, Indonesia mulai melakukan harmonisasi WIPO
Copyright Treaty dimulai sejak dilakukan penggantian UU No. 12 Tahun
341Ibid.
I 131
1997 tentang Hak Cipta menjadi UU No. 19 Tahun 2002. Hal ini dapat
dibuktikan dengan melihat kepada dasar pertimbangan dari pembentukan
UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, khususnya Penjelasan bagian
umum. Di dalam penjelasan bagian umum dinyatakan:
Selain itu, Indonesia juga meratifikasi ... World Intellectual Property
Organization Copyrights Treaty (Perjanjian Hak Cipta WIPO),
selanjutnya disebut WCT, melalui Keputusan Presiden Nomor 19
Tahun 1997...
Dengan memperhatikan hal-hal di atas dipandang perlu untuk
mengganti Undang-undang Hak Cipta dengan yang barn. ...
Dengan mempertimbangkan pada ratifikasi WIPO Copyright Treaty, maka
ketentuan UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta telah memperluas
cakupan perlindungan hak cipta pada aspek pemanfaatan teknologi
internet. Hal ini setidaknya dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 angka 5
yang memberikan definisi pengumuman sebagai berikut:
Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan,
pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat
apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa
pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang
lain
Di samping ketentuan tersebut di atas, wujud harmonisasi ratifikasi WIPO
Copyright Treaty juga dapat dilihat pada ketentuan Pasal 25 dan 27 UU No.
19 Tahun 2002. Pasal 25 ayat (1) dan (2) UU No.19 Tahun 2002 tentang
Hak Cipta selengkapnya berbunyi:
(1) Informasi elektronik tentang informasi manajemen hak
Pencipta tidak boleh ditiadakan atau diubah.
(2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan ketentuan Pasal 27 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
menyatakan bahwa Kecuali atas izin Pencipta, sarana kontrol teknologi
132 I
sebagai pengaman hak Pencipta tidak diperbolehkan dirusak, ditiadakan,
atau dibuat tidak berfungsi.
Cakupan perlindungan hak cipta juga disertai dengan diberikannya
ketentuan mengenai sanksi pidana atas pelanggaran Pasal 25 ayat (1) dan
(2) dan Pasal 27 UU No. 19 Tahun 2002. Sanksi pidana atas pelanggaran
Pasal 25 ayat (1) dan (2) dan Pasal 27 UU No. 19 Tahun 2002 tertuang di
dalam ketentuan Pasal 72 ayat (7) dan (8) yang selengkapnya berbunyi:
(7) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal
25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah).
(8) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melanggar Pasal
27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah).
Dengan memperhatikan harmonisasi WIPO Copyright Treaty kepada
ketentuan UU No. 19 Tahun 2002, maka ada beberapa catatan yang dapat
dikemukakan, yakni; Pertama, ketentuan UU No. 19 Tahun 2002 tentang
hak Cipta telah mengharmonisasi WIPO Copyright Treaty meskipun
dengan materi muatan yang masih sangat terbatas; Kedua, ketentuan
UU No. 19 Tahun 2002 dalam hal perlindungan hak cipta di internet
telah memasukan aspek perlindungan teknis sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari perlindungan hak cipta sebagaimana yang diatur di dalam
WIPO Copyright Treaty; Ketiga, ketentuan UU No. 19 Tahun 2002 dalam
hal perlindungan hak cipta di internet yang memuat ketentuan perlindungan
teknis mencakup dua tipe teknologi yakni manajemen informasi hak cipta
dan sarana kontrol teknologi; dan Keempat, ketentuan UU No. 19 Tahun
2002 dalam hal perlindungan hak cipta di internet telah menetapkan sanksi
pidana sebagai upaya penindakan terhadap pelanggaran perlindungan
teknis atas hak cipta di internet.
Dalam perkembangannya, ketentuan UU No. 19 Tahun 2002 telah
mengalami pergantian dengan ditetapkan dan diberlakukannya UU No.
28 Tahun 2014. Pemberlakuan UU No. 28 Tahun 2014 dimaksudkan
I 133