KEMAS ARSYAD SOMAD Kisah Inspiratif Masa Kecil Dr. H. Kemas Arsyad Somad, M.H dalam Menimba Ilmu dan Pengalaman Penulis : Fajri Al Mughni Editor : Husni Mahmud ISBN : 978-623-495-042-7 Copyright ©September 2022 Ukuran: 14.8 cm x 21 cm; Hal: xiv + 214 Isi merupakan tanggung jawab penulis. Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak baik sebagian ataupun keseluruhan isi buku dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit. Desainer sampul : An Nuha Zarkasyi Penata isi : An Nuha Zarkasyi Cetakan 1, September 2022 Diterbitkan, dicetak, dan didistribusikan oleh CV. Literasi Nusantara Abadi Perumahan Puncak Joyo Agung Residence Kav. B11 Merjosari Kecamatan Lowokwaru Kota Malang Telp : +6285887254603, +6285841411519 Email: [email protected] Web: www.penerbitlitnus.co.id Anggota IKAPI No. 209/JTI/2018
PEGANTAR GUBERNUR JAMBI Dr. H. Al Haris, S.Sos., M.H. (Datuk Mangkubumi Setio Alam) Gubernur Jambi Periode 2021-2024 Saya menilai, Dr. H. Kemas Arsyad Somad merupakan figure yang lengkap. Bahkan mungkin bisa dikatakan unik. Pertama, Pak Kemas adalah tokoh yang berperan dalam tiga zaman. Zaman Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Kedua, Pak Kemas adalah sosok yang aktif pada semua Lembaga. Beliau pernah menjadi seorang advokat (Lembaga Yudikatif), menjadi Kepada Dinas Pendidikan (Eksekutif), aktif sebagai Anggota DPRD (Legislatif) dan juga seorang dosen bahkan menjadi rektor dua periode (Akademisi). Ketiga, beliau juga sangat aktif dalam organisasi kemasyarakatan dan olagraga, bahkan tidak hanya sebagai pengamat, namun beliau benar-benar terjun secara total. Tidak hanya itu, Pak Kemas juga orang yang pertama kali berjuang meminta kepada Gubernur Jambi, (pada masa Pak Zulkifli Nurdin) untuk menghibahkan asset tanah milik Pemerintah Provinsi Jambi kepada Pengurus Wilayah NU Provinsi Jambi yang diperuntukkan sebagai lahan kantor PW NU yang berlokasi di jalan Arif Rahman Hakim, depan Madrasah Aliyah Labor. Masih ada lagi, Rumah Besar PMII yang sekarang merupakan tanah milik pribadi Pak Kemas Arsyad Somad yang dihibahkan untuk sekretariat PMII Jambi. Tentu eksistensi beliau ini tidak didapat dengan cara yang instan. Namun, ditempuh melalui perjalan yang yang berliku dan panjang. Untuk itu, saya sangat menyambut dan memberi apresiasi tinggi terhadap buku yang telah memuat dan menuliskan kisah perjalanan Pak Dr. H. Kemas Arsyad Somad, MH dalam menuntut ilmu dan pengalaman hingga sampai iii
ke benua Eropa. Semoga hadirnya buku ini menambah motivasi para generasi untuk terus menimba ilmu dan pengalaman sebelum nanti benar-benar terjun dalam memajukan negeri melayu Jambi. Selamat membaca Jambi, 21 Juli 2022 Gubernur Jambi Dr. H. Al Haris, S.Sos., M.H iv
PENGANTAR REKTOR UNJA Prof. Drs. H. Sutrisno, M.Sc.,Ph.D Periode 2020-2024 Alhamdulillahi robbil alamin, rasa syukur kepada Allah telah menganugerahkan kepada masyarakat Jambi seorang tokoh, akademisi, politikus, advokad handal yang humanis, sosialis dan mantan aktivis pemuda Jambi, Bapak Dr. H. Kemas Arsyad Somad, MH. Bagi saya, beliau tidak hanya sekedar tokoh dan ‘orang hebat’, tapi beliau juga sudah seperti orang tua yang mengayomi. Pengabdian Pak Kemas Arsyad Somad untuk negeri Jambi tak perlu diperdebatkan lagi. Beliau mengawali karir sebagai seorang dosen, pembantu rektor dan dipercaya menjadi rektor Universitas Jambi (UNJA) bahkan selama dua periode. Selama memimpin UNJA, Pak Dr. H. Kemas Arsyad Somad, MH telah banyak berbuat dan membawa banyak perubahan serta gebrakan-gebrakan. Terutama mendirikan Fakultas Kedokteran yang sebelumnya tidak memiliki ruang belajar-mengajar. Atas dasar itulah, Pak Dr. Kemas Arsyad meminta kepada Gubernur Jambi untuk menghibahkan asset Pemprov lahan bekas Gedung SLB yang bersebelahan dengan RSUD untuk dijadikan ruangan belajar-mengajar fakultas kedokteran. Prodi Porkes (Pendidikan Olahraga dan Kesehatan), merenovasi Gedung Pascasarjana, Mendirikan Pascasarjana Magister dan lain-lain. Alhamdulilah pada tahun ini Unja insya Allah menerima bantuan dana hibah dari IDB sebanyak Rp 1,3 Triliun untuk pengembangan kampus UNJA ke depannya. Pembangunan ini telah mulai dirintis sejak Tahun 2007. Ketika itu, Bapak Dr. Kemas Arsyad Somad sebagai rektor v
UNJA. Kemudian pada masa kepemimpinan Rektor (Alm) Prof. Aulia Tasman, Proposal Pembangunan ini kembali dirintis, dan disetujui oleh Kemendikbudristek dan BAPPENAS pada masa Rektor Prof. Johni Najwan. Dan Alhamdulillah sekarang saya menjabat Rektor Universitas Jambi berkesempatan menyaksikan peletakan Batu Pertama (Ground Breaking) kegiatan pembangunan infrastruktur di Universitas Jambi. Pengabdian beliau bagi masyarakat bukan hanya sebagai akademisi, tapi juga aktif di dunia politik. Terbukti, beliau pernah menjadi anggota DPRD selama tiga periode. Pak Kemas tidak pernah berhenti mengabdi, beliau juga pernah menjadi advokad yang melayani masyarakat. Bahkan ketika menjadi advokad, beliau membebaskan biaya alias gratis khusus kepada orang Jambi yang tersandung masalah hukum. Selain itu, Pak Kemas juga pernah menjabat sebagai kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jambi, Pak Dr. Kemas Arsyad Somad satu diantara banyak tokoh yang bisa diteladani dalam mengabdikan diri untuk masyakat. Tentu, banyak pelajaran berharga yang bisa dididapat dari seorang tokoh hebat seperti Pak Kemas. Saya sangat menyambut dan mengapresiasi hadirnya buku yang ditulis oleh Fajri Al Mughni ini. Buku dengan judul “KEMAS ARSYAD SOMAD; Kisah Inspiratif Dr. H. Kemas Arsyad Somad, M.H dalam Menimba Ilmu dan Pengalaman” insya Allah akan menjadi referensi bacaan yang menarik terutama bagi kalangan anak muda yang ingin belajar bagaimana menjadi seorang aktivis yang hebat, akademisi yang berintegritas, berkualitas, advokad handal dan menjadi anggota dewan yang melayani rakyatnya. Ucapan terima kasih saya atas pengabdian Bapak Dr. H. Kemas Arsyad Somad, MH. Saya selalu bermunajat kepada Allah, semoga Pak Kemas selalu sehat dan dalam lindungan Allah agar selalu dapat memberikan yang terbaik bagi generasi muda Jambi kini dan akan datang. Jambi, 10 Agustus 2022 Rektor UNJA Prof. Drs. H. Sutrisno, M.Sc.,Ph.D vi
KALAM PENULIS Terus terang saja, saya ingin mewawancarai dan menulis lebih banyak lagi kisah perjalanan Dr. H. Kemas Arsyad Somad, MH. Mulai dari kisah tentang perjalanan masa kecilnya yang sangat menginspirasi sampai dengan kisahnya menjadi tokoh bangsa yang berpengaruh bagi para generasi. Dari kecil, Dr. H. Kemas Arsyad Somad, MH telah melewati banyak perjalanan dalam mencari ilmu dan pengalaman hingga menginjak dewasa, sebelum benar-benar mengabdikan diri untuk umat dan mencerdasakan para generasi terutama di Negeri Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Membaca perjalanan masa kecil hingga dewasa, jelas sekali tergambar tentang keberanian, kehausan akan ilmu dan pengalaman seorang Kemas Arsyad Somad. Tidak ada takut-takutnya. Para generasi muda wajib membaca dan mendalami kisah hidup beliau dan menjadikannya sebagai motivasi agar bisa menjadi hebat seperti beliau, bahkan melampaui prestasiprestasinya. Sekilas, orang-orang mungkin menduga bahwa kesuksesan Dr. H. Kemas Arsyad Somad, MH merupakan hal yang wajar. Karena beliau terlahir dari keturunan seorang tokoh besar di Jambi. Ayah dari Kemas Arsyad Somad bernama KH. Kemas Abdussomad merupakan produk sejarah yang ikut dan menyaksikan berbagai peristiwa sejarah. Melalui Laskar Hisbullah dan Laskar Sabililah, KH. Kemas Abdussomad berjuang meraih kemerdekaan bangsanya, memperjuangkan status Provinsi Jambi, mendirikan dan membesarkan Nahdlatul Ulama wilayah Jambi sebagai rois ‘am dewan syuriah sejak tahun 1939 sampai akhir hayatnya tahun 1984 (45 tahun) dan menjadi anggota DPRD Kotapraja dan DPRD GR Provinsi Jambi. vii
Tentu, pendapat tersebut tidak bisa dinafikan, karena memang ayahnya merupakan inspirasi utama Dr. H. Kemas Arsyad Somad, MH dalam mengarungi kehidupan. Meski begitu, bukan berarti kesuksesannya hanya karena mendompleng kehebatan ayahnya. Sama sekali tidak. Beliau bukan tipe seorang anak yang seperti itu. Para pembaca dapat memahami dan mengetahui bagaimana beliau bisa menjadi seorang tokoh yang hebat dan dikenal secara luas oleh masyarakat Jambi melalui buku sedang berada ditangan pembaca. Karena kisah dan perjalanan beliau yang sangat panjang, buku ini merupakan kisah pertama atau jilid pertama. Insya Allah kisah-kisah pengabdian beliau sebagai seorang akademisi hingga menjadi rektor, politikus, pengacara dan pengamat hukum akan dikupas pada buku yang berikutnya. Bismillah. Selamat membaca. Fajri Al Mughni Penulis viii
Buku ini berkisah tentang perjuangan masa kecil Dr. H. Kemas Arsyad Somad, M.H. ketika menimba ilmu dan pengalaman di dalam negeri dan luar negeri. Beberapa nama, kisah, peristiwa, tempat dan kondisi ada yang diubah untuk kepentingan jalannya cerita. ix
Hadirnya buku ini menjadi persembahan dari penulis karena kekaguman kepada sosok Dr. H. Kemas Arsyad Somad, MH yang luar biasa dan berpengaruh terutama bagi generasi muda Jambi. x
Daftar Isi Pegantar Gubernur Jambi ............................................................................. iii Pengantar Rektor Unja........................................................................................v Kalam Penulis .........................................................................................................vii Daftar Isi....................................................................................................................... xi ӆ Kemas Arsyad Somad, Anak Bungsu dari Empat Belas Bersaudara ...... 1 ӆ Agresi Belanda II; Arsyad Pindah ke Desa Terusan ................................. 5 ӆ Dari Tanjung Pasir Mengayuh Perahu ke Sipin......................................... 8 ӆ Insinyur Mancing ........................................................................................ 12 ӆ Meremas Otak Biawak................................................................................ 16 ӆ Punya Hobi Baru; Metet Burung............................................................... 19 ӆ Baba Berkisah Tentang NU dan Presiden Sukarno ................................ 22 ӆ Masuk Sekolah Rakyat (SR 8).................................................................... 25 ӆ Belajar Membaca di Rumah Guru Ibrahim ............................................. 30 ӆ Dibelikan Buku oleh Bang Ali ................................................................... 34 ӆ Pindah Sekolah di Sekolah Rakyat (SR) 2 Simpang Bata....................... 38 ӆ Rumah Bangsak Razak Dekat Bioskop Alhamra .................................... 43 ӆ Kenangan Bioskop Alhamra dan Capitol................................................. 46 ӆ Diajak ke Lumajang..................................................................................... 49 ӆ Naik Pesawat Dakota RI 001...................................................................... 53 ӆ Berebut Duduk Dipinggir Kaca Kereta Api ............................................. 57 ӆ Pindah ke Sekolah Rakyat Jogowidan-Lumajang.................................... 61 ӆ Belajar Bahasa Jawa, Tidak Naik Kelas..................................................... 64 ӆ Mengembangkan Sayap; Pramuka dan Sepak Bola ................................ 68 ӆ Rajin ke Sawah............................................................................................. 71 ӆ Tahun 1957-1957, Lumajang Banjir Besar............................................... 74 xi
ӆ Bermain Pedang-Pedangan Hingga Latihan Boxing .............................. 78 ӆ Naik Kelas 5 SR, Pulang Ke Jambi............................................................. 81 ӆ Jakarta-Palembang Naik Pesawat, Palembang-Jambi Naik Ambulan .. 85 ӆ Pindah Sekolah Lagi.................................................................................... 90 ӆ Tegak Rumah di Sipin dan Menetap......................................................... 94 ӆ Kyai Anang, Kawan Akrab Lainnya Di Seberang.................................... 97 ӆ Rindu Arsyad Pada Bambang; Kawan Akrabnya di Lumajang...........100 ӆ Tamat SR, Kemas Arsyad Masuk SMEP..............................................................................................103 ӆ Membentuk Tim Wisnu FC.....................................................................105 ӆ Dengan Kemas Razi, Akrab Sampai Tua................................................110 ӆ Cincin Baba ................................................................................................112 ӆ Lumajang Jilid Dua....................................................................................115 ӆ Lulus SMP 3 Tempeh, dan Lanjut SMA di Lumajang...........................118 ӆ Menjadi Ketua IPNU ................................................................................121 ӆ Tahun 1965 Terpilih Menjadi Ketua KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia).......................................................................123 ӆ Membuat Gerakan.....................................................................................126 ӆ Ikhwan, Sahabat Arsyad yang Tertembak di Bundaran HI .................130 ӆ Puas Menimba Ilmu dan Pengalaman di Lumajang, Arsyad Pulang ke Jambi .........................................................................................133 ӆ Ke Singapura ..............................................................................................141 ӆ Majalah Sebagai Senjata Utama...............................................................145 ӆ Dilema Kemas Arsyad; Berangkat ke Malaysia Bersama Siregar atau ke Mekah dengan Haji Nawawi.......................................................149 ӆ Kata Efendi Siregar, di Singapura Banyak Biawak ................................153 ӆ Berangkat Ke Mekah.................................................................................155 ӆ Dari Mekah Lanjut ke Beirut-Lebanon; Sebuah Negeri di Timur Tengah yang Tak ada Gurun Pasir..........................................159 ӆ Perjalanan Arsyad Berlanjut ke Syria......................................................162 ӆ Bertolak ke Kuwait ....................................................................................165 ӆ Landing di Baghdad-Iraq; Negeri Seribu Satu Malam .........................168 ӆ Selat Bosporus-Turki.................................................................................171 ӆ Menikmati Indahnya Eropa .....................................................................174 ӆ Berkunjung ke Utrecht dan Bermukim Empat Bulan di Rotterdam - Belanda.............................................................................176 ӆ Pulang ke Indonesia, Lanjut Strata Satu di UNSRI-Palembang..........182 xii
ӆ Kemas Arsyad Somad Menikah...............................................................188 Kalam Berakhir....................................................................................................195 Tentang Penulis...................................................................................................197 Galeri Foto Kemas Arsyad Somad........................................................199 xiii
xiv
Kemas Arsyad Somad, Anak Bungsu dari Empat Belas Bersaudara “Substansi dari pendidikan terhadap anak bukan terletak pada apa yang ditinggalkan, melainkan apa yang diajarkan oleh orang tuanya” – Kemas Arsyad Somad. 1
Tanggal 12 April tahun 1945 Anak bungsu yang lahir di Tanjung Pasir ini diberi nama Kemas Arsyad Somad. Namun pada identitasnya tertulis tahun lahir 1947. Namanya Kemas Arsyad, sedangkan Somad diambil dari nama Babanya, KH. Kemas Abdussomad, yang merupakan seorang ulama besar, pengelola dan pendidik di Madrasah Nurul Islam Tanjung Pasir-Seberang Kota Jambi. KH. Kemas Abdussomad juga merupakan pendiri Nahdlatul Ulama Propinsi Jambi. Beliau ditunjuk sebagai Rois ‘am Dewan Syuriah sejak tahun 1939 sampai 1984 (45 tahun) dan berkecimpung dalam pemerintahan daerah secara aktif. Kemas Arsyad Somad adalah anak bungsu dari empat belas bersaudara. Empat belas bersaudara dari dua orang ibu. Ayahnya, KH. Kemas Abdussomad memiliki dua orang istri. Istri pertama bernama Hj. Kaltum Bin Sayyid Syaikh H. Zaini Hasan, istri keduanya Nyimas Mardiah Bin KH. Kemas Muhammad Saleh. Dari Hj. Kaltum lahir sembilan orang anak. Mereka adalah Kemas Abdul Rozak, Kemas Muhammad Ali, Kemas Usman, Nyimas Maryam, Nyimas Jawahir, Nyimas Zainab, Nyimas Fauziah, Nyimas Ramziah, Kemas Arsyad Somad. Sedangkan dari Nyimas Mardiah terdapat lima orang anak, yaitu Kemas Hasan Kasim, Nyimas Darwisyah, Kemas Mohammad Saleh, Kemas Abdul Fatah, Kemas Fakhruddin. Dari empat belas bersaudara ini Kemas Arsyad Somad yang paling bungsu. Hj. Kaltum, Emak Arsyad, merupakan seorang perempuan yang berasal dari Mekah. Asli keturunan Arab. KH. Kemas Abdussomad menikah dengan Hj. Kaltum ketika beliau sedang tinggal di Mekah dan mendapatkan dua orang anak, yaitu Kemas Abdul Rozak dan Kemas Muhammad Ali. Pada tahun 1921 KH. Kemas Abdussomad kembali ke Jambi karena situasi politik dan konflik agama, yaitu wahabisme semakin berkembang di Mekah. Sementara Hj. Kaltum tetap di Mekah, dan dua tahun kemudian beliau pun menyusul ke Jambi. Di Jambi, lahir pulalah tujuh orang anak. 2
*** Mungkin, hari ini orang-orang akan terkejut mendengar dan membaca jumlah anak masyarakat zaman dulu. Memang, filosofi hidup manusia zaman kini tak sama persis dengan filosofi datuk buyut zaman dahulu. Dulu banyak anak, banyak rezeki. Kini, banyak anak, banyak cicilan. Dulu, melahirkan umur 16 tahun biasa saja. Kini, jangankan melahirkan di umur itu, nikah saja hukumnya “haram”. Kecuali diam-diam atau tinggal dalam hutan bukit 12. Dulu, mau beranak umur 16, 26, 38, 41, 52, 55 pun bisa. Dukun beranak punya beragam solusi meski tidak dilengkapi dengan peralatan medis, namun mantra dan jampi-jampinya telah teruji puluhan tahun. Ibu dokter, ibu bidan kalau membaca ini pasti protes. Tidak apa-apa, bumi ini selain panggung sandiwara, juga panggungnya protes-kritik dan saran. Dulu, jika seorang istri beranak kurang dari lima anak, suaminya malu, digosipin orang-orang se-dusun. Kini, beranak lebih dari dua saja, tetangga sebelah rumah merepet sepanjang hari. “tengok tu tetanggo kito, lah beranak pulak. Duo anak be susah mageh makan”. Sanak keluarga bisik-bisik pada acara arisan keluarga. “sanak kito tu lah lahir lagi anaknyo, kredit honda masih lamo, getah murah, sawet trek, kemano nak nyari duit mageh makan anak bini. Sian nian dak?”. Pak RT resah takut ditegur Lurah. Lurah pura-pura tak paham meski khawatir disinggung Bupati. Bupati sebenarnya tidak peduli-peduli amat, karena Menteri lebih fokus pada urusan yang lain. Apalagi Presiden, menjabat sudah tak lama lagi. Banyak urusan yang lebih penting dan “mahal”. Palingpaling yang agak sibuk kampanye tidak boleh beranak banyak, pegawai rumah sakit atau bidan-bidan desa. Tentu dengan segala alasan medisnya. *** Kemas Arsyad Somad kecil dipanggil Arsyad. Oleh Baba dan Emak ia dipanggil Rasyad. Ketika masih bayi, Arsyad hanya sebentar disusui oleh Emak. Karena air susu Emak tidak banyak. Oleh karena itulah Arsyad disusui oleh Nyimas Fatimah yang juga sedang menyusui anaknya yang bernama Ibrahim. Nyimas Fatimah adalah istri dari Abdul Somad atau Wak Samat. Yang akrab disapa Wak Samek. Nyimas Fatimah dipanggil Wak Timah. Wak Timah merupakan keluarga dekat dengan Kemas Abdussomad. Rumah 3
mereka pun bertemu dapur di Tanjung Pasir. Bulan demi bulan terus berlalu, hingga tahun-tahun pun berganti, Arsyad tumbuh menjadi anak yang aktif, cerdas, pandai berkawan, bahkan kawan-kawannya lebih besar darinya. Besar umurnya, besar badannya. Jelas, pribadi Arsyad yang luwes ini merupakan turunan dari sang ayah yang merupakan seorang ulama, politikus dan cendikiawan handal. Arsyad kecil tidak beda dengan anak-anak lainnya. Meski terlahir dari keluarga para pejuang, tokoh dan terdidik, Arsyad bermain seperti anakanak lainnya. Arsyad main bola, main kelereng, main gasing, masang tajur, masang lukah, mancing seluang, masuk semak, terjun ke payo (payau), bekarang, nangkap belut, main ujan dan betinju. Semua itu adalah bekal yang membuat mentalitas Arsyad kuat. 4
Agresi Belanda II; Arsyad Pindah ke Desa Terusan “Susah dan Senang adalah dua hal yang berbeda. Namun Allah telah berjanji bahwa bersamaan dengan kesusahan, ada kesenangan”. – Kemas Arsyad Somad 5
Pada tahun 1948-1949 merupakan periode mencekam bagi rakyat Jambi, yaitu Agresi Militer Belanda II. Pada periode ini pasukan militer Belanda menebar ancaman dan ketakutan. Arsyad yang masih berumur empat tahun sebenarnya belum terlalu mengerti apa yang sedang terjadi. Yang ia ingat adalah banyak pesawat-pesawat Belanda terbang rendah dan membuang kertas selebaran yang berisikan somasi meminta kepada para tokoh dan pemimpin Jambi untuk menyerahkan diri dan melepaskan Jambi kepada Belanda. Kemas Yasin, adalah sepupu dari Kemas Abdussomad yang tinggal di Desa Terusan, Kabupaten Batanghari, mendengar kabar dari orang-orang yang pulang pergi dari Jambi ke Terusan, bahwa Belanda telah menduduki Kota Jambi dan menguasai daerah-daerah yang mimiliki potensi minyak. Yaitu di Kenali Asam, Bajubang dan Tempino. Oleh karena berita itulah, beliau merasa khawatir dengan keNawawi sanak keluarganya di Tanah Pilih. Kemudian beliau datang ke Kota Jambi untuk mengajak Kemas Abdussomad beserta keluarga untuk pindah sementara waktu ke Desa Terusan. Dengan segala pertimbangannya, Kemas Abdussomad setuju untuk mengajak keluarga pindah sementara ke Desa Terusan. Waktu itu umur Arsyad baru berumur empat tahun. Di Terusan, keluarga Kemas Yasin telah menunggu dan menyiapkan tempat untuk keluarga Kemas Abdussomad.Abdullah Syargawi Ali, orang asli terusan yang merupakan keponakan dari Sophia, istri Kemas Yasin, semasa hidupnya menceritakan tentang proses pindahnya keluarga Abdussomad ke Terusan. Pada masa itu suasananya bisa dikatakan sangat mencekam. Banyak para tokoh memilih untuk mengungsikan keluarganya. Sementara itu, pejabat pemerintah Jambi mengungsi ke Muaro Tebo. Tidak beberapa lama, para militer Jambi yang semula tetap bertahan dan melawan para penjajah Belanda, terpaksa mundur dan menyusul ke Muaro Tebo yang pada waktu itu ditetapkan sebagai Pusat Pemerintahan Keresidenan Jambi. Sekarang menjadi Kabupaten Tebo. Sedangkan keluarga Kemas Abdussomad 6
pergi ke Desa Terusan dan menetap selama empat bulan di sana di rumah milik H. Djalal yang kosong. Keluarga Kemas Abdussomad dan keluarga Kemas Yasin menjadi semakin akrab. Obrolan lama tentang silsilah dua keluarga ini pun kembali hangat. Kemas Abdussomad diterima dengan baik oleh masyarakat Terusan. Karena beliau banyak bercerita tentang kondisi Kota Jambi yang selama ini hanya didapat oleh masyarakat Terusan dari berita saja. Selain itu, Kemas Abdussomad juga sering mengajak masyarakat untuk berbicara tentang agama. Semakin hari keluarga ini semakin dekat dan saling mengenal lebih dalam. Kemas Abdussomad mengenal keluarga Kemas Yasin, begitu juga sebaliknya. Karena kedekatan itulah, anaknya Kemas Abdussomad, Nyimas Maryam dinikahkan dengan Kemas Kadir, anaknya Kemas Yasin. Dari pernikahan itu lahirnya Kemas Razi. Secara hubungan keluarga, Kemas Razi merupakan keponakan dari Kemas Arsyad Somad, dan mereka akrab dari kecil hingga tua. 7
Dari Tanjung Pasir Mengayuh Perahu ke Sipin “Hidup ini perjuangan. Jika tidak mau berjuang, nikmati saja kesusahan”- Kemas Arsyad Somad. 8
Pada tahun 1950, sekira Arsyad berumur 5 tahun, orang tuanya mulai membersihkan lahan untuk berkebun di Sipin dan mengayuh perahu melintasi aliran sungai Batanghari, melewati Danau Sipin dari Tanjung Pasir. Arsyad kecil belum boleh ikut. Karena memang tempat yang baru ini masih semak-belukar. Dulunya, lahan itu sempat menjadi kebun karet, namun sudah lama ditinggalkan dan tidak terawat. Konon, Harimau, Beruang dan segala macam hewan buas pun masih ada di Sipin. Bisa jadi, hantu belau juga ada. *** Batanghari hanya beriak tanda dimainkan angin pagi itu. Bakau beranak-pinak di tepian, menjadi pagar nan gagah tempat segenap makhluk air tawar berteduh dari panasnya sang mentari. Gumpalan awan kelabu mengawang menghiasi langit biru. Ruparupanya riuh bak kebun binatang. Awan-awan itu membentuk segala macam rupa yang dapat dibentuknya. Bentuknya bisa seperti gajah, harimau, kelinci, keledai, kuda, kambing, ayam, bebek, bahkan ada juga yang serupa cicak di dinding rumah kayu bertiang khas daerah Jambi Kota Seberang. Nanar mata Arsyad kecil menangkap sosok seorang yang akrab. Seseorang yang selalu memanjakannya, namun kadang tegas pada prinsip hidup yang ia terapkan pada anak-anaknya. Sosok itu adalah Babanya. “Baba, kulo ayun milu baba ka sipin, moyo napi-napi ngge ba.” Anak bungsu itu merengek pada Babanya yang akan pergi merintis hutan untuk dijadikan rumah dan kebun. “Dak usah lah, Rasyad masih kecik, dak elok ikut orang tuo begawe. Rasyad di rumah be samo Emak, yo?” Lelaki paruh baya itu mengelus kepala anaknya. Arsyad dipanggil Babanya Rasyad. Panggilan Rasyad bukan disengaja, hanya kedengarannya seperti itu. Arsyad jadi Rasyad. Saran Baba tidak boleh dilanggar, Arsyad patuh. Begitulah yang 9
diajarkan orang-orang tua zaman dahulu pada anak-anaknya. Kalau tidak nurut, konsekuensinya bisa kualat. Baba memang lembut, tapi tegasnya tidak dapat ditawar. Emak Arsyad pun mendukung dan membujuk Arsyad kecil. Kata Emak, “Arsyad main bae lah yo”. Babanya tidak sendirian berangkat ke Sipin. Dengannya juga ikut beberapa orang kampung yang siap membuka hutan. Mereka pergi ke Sipin naik perahu menyeberang sungai Batanghari yang deras ke tepi. Baba Arsyad yaitu Kemas Abdussomad merupakan keturunan darah biru. Pada masa kesultanan Palembang, Marga Kemas merupakan Abdi Dalem (Pejabat Keraton) yang sebelumnya tinggal di Palembang, pindah ke Jambi karena di Palembang sedang terjadinya perang melawan Belanda. Dalam memori tulisan Resident Belanda bernama H.L.O Pitrie “Tideman” halaman 73 dijelaskan bahwa Marga Kemas adalah berasal dari bangsawan Palembang yang bertempat tinggal disekitar Keraton (Tanah Pilih) dan diberi keistimewaan dengan pembebasan pajak oleh Sultan Jambi, mereka adalah pelaksana pekerjaan dalam istana, dan dalam kesultanan Jambi diberi jabatan temenggung. *** Kisahnya saya singkat. Satu diantara banyak Sulthan Jambi, adalah Sulthan Mas’ud Badaruddin memiliki anak bernama Raden Tabun. Keturunan Raden Tabun kemudian dinikahkan dengan Kemas Abdurrahman. Kemas Abdurrahman merupakan keponakan dari Istri Sulthan Mahmud Badaruddin II. Dari pernikahan Kemas Abdurrahman dengan keturunan Raden Tabun bernama Ratumas Putri, lahirlah Kemas Abdurrazak. Kemas Abdurrazak kemudian dinikahkan dengan anaknya Kemas Ja’far yaitu Nyimas Habibah. Kemas Ja’far juga keponakan dari istri Sulthan Mahmud Badaruddin II. Dari pernikahan Kemas Abdurrazak dengan Nyimas Habibah lahir pula Kemas Hasan. Kemas Hasan dinikahkan dengan anak Kemas Yasin Temenggung, yaitu Nyimas Maznah. Kemas Yasin Temenggung gelar Puspo Wijoyo merupakan anak dari Demang Kemas Abdullah. Kemas Abdullah adalah anak dari Kemas Ja’far. Dari pernikahan Kemas Hasan dengan Nyimas Maznah lahirlah Kemas Abdussomad, Kemas Usman dan Nyimas Gadis. Kemas Abdussomad adalah ayah dari Kemas Arsyad Somad. 10
Tentu dengan membaca dan menelusuri silsilah keturunan Kemas Abdussomad, sah, bawah beliau merupakan keturunan keluarga bangsawan. Orang-orang sering menyebutnya dengan “Darah biru”. Meski begitu, bagi Kemas Abdussomad, tidak ada kaitanya antara darah biru dengan perjuangan membuka hutan. Hutan tidak tunduk pada silsilah keturunan. Jika bukan para pendahulu yang merintis, jangan harap anak cucu bisa tinggal dan hidup di Kota Jambi seperti sekarang ini. *** “Baba!” Panggil Arsyad sekali lagi. Sementara Babanya hanya melambai dari perahunya yang mulai menengah melintasi derasnya aliran sungai Batanghari. Sambil sesekali terdengar suara ayam kampung yang baru belajar berkokok. Kokoknya parau, cempreng. Dari suara kokok, sepertinya ayam itu baru belajar berkokok satu atau dua hari saja. Kokoknya belum profesional. Rombongan ikan seluang tampak berenang di permukaan sungai, kurang waspada pada burung Tengkek Udang pemakan ikan yang siap menyambar kapan pun. Seluang punya insting, sedangkan burung Tengkek Udang memiliki insting dan perhitungan. Sekali menukik, bayangan warna birunya menyerupai elang betina lapar. Nyawa gerombolan seluang terancam. Arsyad kecil belum terlalu paham dengan persaingan hidup-mati di luar sana. Bisa jadi Babanya dan orang-orang kampung yang merintis hutan telah ditunggu oleh beruang yang siap mengoyak-ngoyak rongga dadanya. Atau harimau dahan yang memang sudah mengintai mangsa berhari-hari. Atau mungkin buaya muara tua yang mengendap-ngendap. Sekali lagi, Arsyad kecil tidak paham itu. Bayangan Baba masih tampak dari kejauhan di mata Arsyad. Namun lama-lama Babanya semakin kecil terlihat di tengah luasnya hamparan Batanghari. Lamat-lamat kemudian, bayangan Baba menjadi seperti noktah kecil, lalu tak terlihat. Hilang. 11
Insinyur Mancing “Memberi seseorang dengan seekor ikan, berarti anda memberinya makan satu hari. Tapi dengan mengajari seseorang tentang teknik memancing, artinya ada telah memberinya ikan seumur hidup”- Anne Ritchie 12
Hampir tiap hari Arsyad menggali-gali tanah dengan tajak, kadang dengan pisau dapur, kadang-kadang dengan kayu yang ujungnya sudah setting runcing berharap dapat sebentuk makhluk panjang yang suka menggeliat, licin dan berwarna merah. Itulah cacing tanah. Kalau tak ada cacing tanah, ia mengambil ulat daun pisang yang membuat rumah dengan menggulung daun nan lebar itu. Katak kecil yang malang pun kadang tak luput dijadikan tawanan, umpan pancing. Walau bagaimana pun usaha katak melepaskan diri, tetap tak lepas. Tangan Arsyad memang kecil, tapi lihai. Katupan jari jempol dengan telunjuk mengunci mati perut katak. Mulutnya menganga, tangan katak merenggang, kedua kakinya terkangkang. Cepat-cepar Arsyad mengurung katak ke dalam botol plastik. Cacing dan ulat pisang dipisah ke dalam plastik bekas jajan. Dengan membawa cacing dan ulat di kantung plastik bekas, ia berharap dapar menghibur diri dengan tarikan-tarikan ikan di senar pancingnya. Ia pun berangkat menenteng bambu sebesar telunjuk orang dewasa. Ujung bambu itu diikatnya dengan sensar, lalu senar diikat dengan mata pancing. Pasal memancing, Arsyad kecil adalah pakarnya. Kalau boleh diberi gelar, waktu itu Arsyad telah bergelar Ir. Kemas Arsyad Somad. Gelar itu bukan sembarang diberi, Arsyad kecil benar-benar pakar. Ia paham segala jenis kail mata pancing. Berikut dengan peruntukkannya. Besaran mata pancing tentu harus sesuai dengan target ikan yang ingin disasar. Kalau memancing ikanikan bermulut kecil seperti betok, sepat, Ir. Arsyad memakai mata pancing yang halus ukuran 0.3 sampai 05. Dalam sebuah seminar kecil yang pesertanya adalah kawan-kawannya sesama pemancing, diantaranya adalah Sargawi, Usman, Anang Hamid, Ali (Tg. Ali), Ramzi Sulaiman (Tg, Ramzi), Hasan, Syukur, Aman Madjid, Anang Timpus, Ibrahim, Aman Yusuf, dan lain-lain. Dengan Usman dan Anang Hamid, mereka akrab sampai masuk sekolah rakyat, pergi sekolah bersama, pulang sekolah pun tidak berpisah. Dalam seminar kecil itu Arsyad menjadi pembicara. Kata Arsyad; 13
“kalu nak mancing ikan sepat, mato pancing kito harus pakek nomor kosong tigo (03) sampai kosong limo (05). Jangan pakek yang kosong satu (0.1). kareno yang kosong satu kecik amat. Kalu dimakan ikan sepat, biso langsung tetelan sampe ke perut. Payah kito ngeluarinnyo. Nah kalu ukuran kosong tigo, pas nian. Ikan betok keno jugo, anak gabus ukuran sedang, naek jugo”. Kawan-kawannya para peserta seminar mendengarkan dengan khusuk. tidak ada yang protes. Arsyad menambahkan; “umpannyo kalu untuk sepat samo betok ni cukup pakek cacing atau ulek pisang. Atau biso jugo pakek telok keronggo. Tapi telok keronggo tu harus dicampur dengan getah nangko dikit, biak lengket dan mudah masang umpannyo”. Sambil mempraktikkan tata cara memasang kail ke senar pancing, Ir. Arsyad melanjutkan materinya; “Nah kalu ikan gabus, lain lagi. Mato kail kito pakek yang agak besak. Ukuran duo belaslah. Pas nian untuk ikan gabus. Umpannyo jangan cacing atau ulek pisang, kareno gek pas kito pasang tajur tu, umpan abis dimakan ikan sepat. Jadi kito pakek umpan kodok. Kalu kodok, ikan kecik dak telap makan e”. Mendengar materi dari Ir. Arsyad, kawan-kawannya semakin semangat untuk segera turun ke medan memancing yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah. Meskipun faktanya, setelah berjam-jam memancing, Ir. Arsyad dan kawan-kawannya hanya mendapatkan beberapa ikan saja. Paling banyak 5-10 ekor saja. Bagi orang dewasa, jumlah itu tentu sedikit. Tapi bagi Ir. Arsyad dan kawan-kawan, jumlah itu merupakan capaian terbaik sepanjang sejarah memancing mereka. Itu lah gawe Arsyad hampir tiap hari untuk mengisi waktunya karena ia tak boleh mengikuti Baba ke Sipin. Tiap pancingnya ditarik ikan, ada degup yang meletup di jantungnya. Tak lupa, degup itu meningkatkan hormon endorfin, hormon yang mempengaruhi kebahagiaan pada seseorang. Setiap ia tarik pancingnya itu, hormon endorfin itu meningkat hingga muncul pula hormon adrenalin sehingga membuat Arsyad ketagihan memancing. Memancing jadi kesukaannya. Ia pun akrab dengan berbagai macam ikan baik di parit dangkal maupun di sungai dalam. Begitu pula banyak 14
teman sebayanya yang begitu gemar menangkap ikan dengan pancing. Terkadang, kesenangan itu bukan datang karena banyaknya ikan yang berhasil di tangkap. Tapi aktivitas itu saja sudah surga bagi mereka anakanak Jambi Kota Seberang. Memancing, bagi Arsyad dan kawan-kawannya bukan karena kekurangan lauk di rumah masing-masing. Aktivitas itu hanya hobi saja. Sore hari, Arsyad pulang memancing dan membawa beberapa ekor ikan sepat bercampur betok. Beberapa seluang nyelip. Sampai di rumah, tentu saja Emak yang menjadi eksekutornya. Demi menjaga nama baik anaknya yang bergelar Insinyur pancing, Emak tetap membersihkan ikan dan memasaknya. Yang makan ikan pancingan itu cuma Arsyad. Abang-abang dan ayuk-ayuknya memilih makan lauk lain. Karena memang ikan hasil pancingan Arsyad memang tak layak dimakan orang dewasa. Ukuran ikan yang ia dapat tidak lebih dari besar dari dua jari. Begitu dimasak, ukurannya mengerucut jadi satu jari. Begitu saja, Arsyad sudah bangga bukan main. Pokoknya, ia lah yang paling handal dalam bab memancing. *** Malam dipenuhi gemintang berbintik-bintik. Bulan tak nampak sempurna malam itu, hanya sebentuk celurit sabit yang menggantung di langit kota Jambi. Suara jangkrik bersautan dengan suara katak-katak. Tak sadar katak itu besok mungkin hari nahasnya karena akan dijadikan umpan ikan gabus oleh Ir. Arsyad. 15
Meremas Otak Biawak “Pandanglah teori sebagai nasihat, karena kelak, meskipun tidak diterapkan, ia akan tetap bermanfaat”- Kemas Arsyad Somad 16
Suatu hari, Arsyad sedang asyik menyiapkan peralatan memancing. Jarak beberapa rumah dari rumah Arsyad, ada beberapa orang dewasa dan tua sedang berkerumun, tidak banyak, sekira enam sampai delapan orang. Diantara mereka ada ayuk-ayuk Arsyad. Arsyad penasaran, ia mendekati kerumunan itu untuk memastikan apa gerangan yang sedang terjadi. Setelah sampai di kerumunan, ia meyaksikan korban amukan warga, yaitu seekor biawak besar yang tertangkap sedang mencuri ayam peliharaan orang Seberang. Hari nahas bagi biawak. Kurang hati-hati dan waspada, aksinya ketahuan oleh warga. Warga sangat kesal karena banyak ayam peliharaan mereka yang hilang entah kemana. Usut punya usut, selidik punya selidik ternyata si biawak besar lah pelakunya. Saking kesalnya, kayuk balok berukuran hampir sama besar dengan badan biawak menghantam kepalanya, dan pecah. Dua kali pukulan, biawak terkapar, terkulai dan lidahnya terjulur. Beberapa orang dewasa itu melihat Arsyad dalam kerumunan, mereka langsung meminta Arsyad untuk maju, mendekat dan menyuruhnya untuk meremas isi kepala biawak. Arsyad dan ayuk-ayuk tentu protes. Apalagi Arsyad, ia jijik dan takut. Kalau isi kepala ayam dan kepala ikan serahkan kepadanya, selesai ia remas dan makan. Tapi ini isi kepala biawak? Arsyad menggeleng. Arsyad tidak sempat bertanya, orang-orang itu bergantian menjelaskan bahwa dengan meremas kepala biawak akan membuat orang yang meremasnya memiliki kemampuan khusus dalam membantu menyembuhkan orang sakit. Terutama orang yang “ketulangan”. Tersangkut tulang ikan dalam tenggorokan. Kalau tulang kambing tak mungkin. Mendengar itu, ditambah lagi dengan desakan orang-orang, Arsyad meng-iyakan. Diremasnya isi kepala biawak sambil menahan napas. Remasan Arsyad membuat isi kepala biawak semakin porak-poranda. Setelah kejadian itu, tidak ada efeknya. Tahun-tahun pun berlalu. Arsyad memang tidak pernah “ketulangan”. Tapi bagi Arsyad hal tersebut 17
merupakan sesuatu yang normal. Ada banyak anak-anak lain yang juga tidak ketulangan. Kalau pun ketulangan, cukup dengan minum air, sembuhlah. Namun ternyata, setelah Arsyad kelak menjadi mahasiswa, ada kejadian yang membuat Arsyad mengingat kejadian meremas otak biawak. Ia bisa membantu kawan-kawannya yang “ketulangan” tulang ikan yang tidak bisa disembuhkan hanya dengan meminum air. Habis air bergelas-gelas, masih tak sembuh. Tapi ditangan Arsyad, gelas yang berisi air lalu diminumkan kepada orang yang “ketulangan”, bisa langsung sembuh. Ah, pikir Arsyad, mungkin ini kebetulan saja. Kebetulan yang berulang-ulang. 18
Punya Hobi Baru; Metet Burung “Bagi anak-anak, alam adalah guru paling utama.” 19
Arsyad masih gemar memancing tentunya. Sebelum ia terdaftar menjadi murid di Sekolah Rakyat, di Simpang Bata, tidak jauh dari tempat Babanya berkebun, ia bertemu dengan Sargawi. Sama dengan Arsyad, orang tua Sargawi juga berkebun. Dengan Sargawi lah Arsyad menjadi seorang detektif pemburu burung Cicap dan burung Tengkek pemakan ikan. Dari Seberang sampai ke Sipin, Arsyad gemar metet burung. Aktivitas yang termasuk kegemaran anak-anak Jambi pada umumnya di kala itu. Alat betet dibuat sendiri oleh Arsyad yang sesuai dengan seukuran tangannya. Di semak-semak dekat rumahnya ada beberapa pohon keduduk, Arsyad memilih dahan kayu bercabang untuk dijadikan senjata metet burung. Pelurunya adalah batu kerikil sebesar jempol Arsyad dan tempat lontar peluru dibuat dari lapisan luar bekas sandal yang tidak terpakai. Arsyad tidak pernah kursus membuat alat betet, keahliannya itu murni otodidak karena melihat kawan-kawannya membuat alat betet. Pagi-pagi sekali Arsyad keluar rumah, kali ini tentu bukan hendak pergi memancing, tapi metet burung-burung cicap penghisap madu bunga yang berkeliaran diranting-ranting pohon dekat rumah. Arsyad mengintai, memposisikan diri sebagai detektif, dan penjahatnya adalah burung cicap. Hanya burung cicap yang berani “mencuri” secara terang-terangan. Burung berebah sebenarnya juga suka terbang rendah dan bermain diranting pohon, hanya saja berebah lebih sensitif dan pandai membaca situasi. Sehingga, sulit dibidik. Ia pun biasa datang di sore hari. Burung punai sudah jarang terlihat, karena memang pohon-pohon besar sudah agak jarang. Punai hanya bermain pada pohon-pohon yang besar dan rindang. Andai pun ada, betetan Arsyad mungkin tidak terlalu dianggap olehnya. Tidak jauh dari kebun Babanya, ada beberapa aliran sungai kecil, airnya jernih. Orang-orang yang tinggal dalam kebun sering mandi dan mencuci pakaian di aliran sungai itu. Itu dulu, sekarang sudah tak ada lagi yang mencuci pakaian di aliran sungai itu. Air sungai yang bersih tinggal sejarah. Tepian aliran sungai menjadi spot favorit bagi Arsyad. Karena biasanya di 20
tepian sungai banyak burung-burung Tengkek pemakan ikan warna hijau dan merah agak jingga yang kerap nongkrong, melamun dan menghayal di dahan kering. Burung itulah yang jadi sasaran empuk peluru kerikil Arsyad kecil. Mungkin burung-burung Tengkek meremehkan Arsyad, sehingga dengan mudah Arsyad membidik burung-burung Tengkek. Metet burung, Arsyad tentu tidak sendiri. Ia bersama kawannya, Sargawi. Kali ini, setiap kali diajak oleh Babanya ke Sipin, aktivitas utama Arsyad adalah metet burung. Arsyad dan Sargawi kawan akrab, mereka melakukan aktivitas bermain bersama. Termasuk betet burung dan memancing. Begitu lah Arsyad selalu riang saat betet burung dengan Sargawi dan kawan-kawan sebaya lainnya. Masa kecil yang bisa dikatakan penuh arti, mulai dari arti persahabatan dan arti khidmatnya dekat dengan lingkungan. Kalau bosan metet burung, ia duduk termenung sambil melempari batu kecil ke sungai yang dekat dengan kebun Babanya. Tempat burung kako mengintai anak ikan. Kali ini, burung kako beruntung, Arsyad sedang bosan metet burung. 21
Baba Berkisah Tentang NU dan Presiden Sukarno Pada tanggal 28 April sampai 1 Mei tahun 1952, dilaksanakan acara Muktamar NU ke-19 di Palembang. Para tokoh NU dari berbagai Provinsi diundang untuk menghadiri Muktamar tersebut. KH. Kemas Abdussomad, Ayah dari Kemas Arsyad Somad bersama dengan KZ. Ghafar Dung, KH. Derani, dan H. Ibrahim hadir dalam Muktamar itu. Hasil dari Muktamar memutuskan bahwa partai NU keluar dari Masyumi. Beragam isu yang berkembang terkait keluarnya NU dari Masyumi. Diantara isu yang berkembang adalah karena NU merasa diperlakukan diskriminatif dalam posisi jabatan eksekutif dan legislative kabinet Perdana Menteri Mohammad Natsir. *** Setelah acara itu selesai, KH. Kemas Abdussomad pulang ke Jambi. Setibanya di bandara Jambi, KH. Kemas Abdussomad dijemput oleh pihak keluarga. Anak bungsunya, Kemas Arsyad Somad juga ikut menjemput Babanya. Ketika KH. Kemas Abdussomad sampai di bandara, banyak para ulama NU yang tidak sabar ingin mendengar kabar darinya. Satu kalimat tegas yang keluar dari mulut KH. Kemas Abdussomad mengabarkan kepada para ulama yang telah menunggunya yaitu, “Kito balek ke yang lamo”. Kalimat itu terdengar jelas oleh Arsyad kecil yang waktu itu masih berumur 7 tahun. Ketika mendengar kalimat itu, Arsyad kecil tidak paham apa maksudnya. 22
Tapi setelah Arsyad menempuh pendidikan, aktif berorganisasi dan membaca sejarah, barulah ia memahami apa maksud dari kalimat Datuknya itu, bahwa NU akan hadir sebagai Partai Politik. Setelah berpisahnya NU dari Masyumi, dua partai Islam ini selalu berbeda pendapat. Terutama dalam persoalan gerakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang menyerang dan memberontak atas nama agama terhadap pemerintahan yang sah yang dipimpin oleh Presiden Sukarno. Disinilah NU hadir untuk menghadapi kelompok-kelompok yang menyerang pemerintahan Sukarno. Mereka menganggap bahwa kepemimpinan Sukarno tidak mencerminkan Islam yang sebenarnya atau dengan kata lain, Sukarno tidak Islami. Puncaknya, untuk menyelesaikan dan mencari solusi, diadakanlah Konferensi Ulama pada tanggal 3-6 Maret tahun 1954 di Cipanas, BogorJawa Barat. Satu diantara hasil konferensi tersebut adalah menetapkan Sukarno sebagai Pemimpin Pemerintahan yang memegang kekuasaan penuh sementara. Dengan begitu, jika ada gerakan-gerakan yang berusaha untuk memberontak akan diberikan sanksi. Sanksi yang diberikan teresebut bersifat kuat dan sudah sesuai dengan jalur hukum. KH. Kemas Abdussomad satu-satunya ulama dari Provinsi Jambi yang hadir dalam konferensi tersebut. Beliau bertemu langsung dengan Sukarno dan mendengarkannya berorasi. KH. Kemas Abdussomad menyukai gaya orasi Sukarno yang jelas, tegas dan memiliki visi misi dalam membangun sebuah negara yang berdaulat. Setelah acara itu selesai, KH. Kemas Abdussomad pulang ke Jambi dan mengabarkan kepada para ulama tentang hasil konferensi itu. Di bandara, pihak keluarga, para ulama dan anak bungsunya, Kemas Arsyad Somad turut hadir menjemput Babanya. Ketika sampai di rumah, Baba memperlihatkan tiga lembar poto. Dua poto merupakan momen poto bersama para ulama dengan Presiden Sukarno. Sedangkan satu poto lagi adalah poto Sukarno bersama dengan dirinya. Berdua saja. Melihat poto itu, Arsyad kecil bertanya kepada Baba, “poto sintan niku ba?” Baba menjawab dengan penuh semangat. Bahkan beliau tidak hanya sekedar menjawab siapa nama orang yang ada dalam poto bersama dengan dirinya itu, tapi beliau juga menjelaskan dengan panjang lebar bahwa Sukarno adalah seorang Presiden, proklamator, pejuang, berjiwa pemberani, dan 23
kalau dia sedang berbicara, semua yang mendengarnya terpana. Mendengar jawaban Baba, Arsyad kecil merasa penasaran ingin mendengarkan Sukarno berpidato. Setelah mendengar tentang Sukarno dari Baba, Arsyad menjadi sering mendengarkan pidato Sukarno dari radio-radio. Bahkan, ketika kelak ia merantau ke Lumajang, Arsyad tidak pernah ketinggalan mendengarkan pidato-pidato Presiden Sukarno. Oleh karena itulah, tidak heran jika Arsyad menjadi seorang orator ulung seperti Sukarno. 24
Masuk Sekolah Rakyat (SR 8) “Sekolah itu ibarat Pil pahit, jika diminum dapat menyembuhkan penyakit.” – Kemas Arsyad Somad 25
Setelah beberapa bulan kemudian, hutan-hutan di Sipin sudah mulai berkurang dan berganti dengan kebun-kebun karet. Beberapa orang telah mendirikan rumah di sana. Baba Arsyad juga mulai memikirkan hal yang sama dan perlahan memasang pancang untuk mendirikan rumah. Karena lokasi tempat didirikan rumah sudah terang, Baba sesekali mengajak Arsyad untuk ke Sipin agar ia tau dan paham tentang sejarah dan perjuangan hidup keluarga mereka. Perlahan, dikit demi sedikit rumah yang dibuat itu mulai kelihatan wujudnya. Sudah ada pondasi, dinding darurat dan atap. Meski belum siap seutuhnya, tapi sudah bisa menginap. Arsyad dan Emak pun sesekali menginap di sana. Setelah kurang lebih tiga hari mereka menginap di Sipin, Ayuk-ayuk Arsyad mendapat kabar bahwa sekolah telah dibuka. Sementara Arsyad belum juga terdaftar. Oleh karena itu, ayuk-ayuknya khawatir Arsyad terlambat mendaftar sekolah. Mereka pun memutuskan untuk segera mendaftarkan Arsyad. Arsyad sudah beberapa hari menginap di Sipin dan sesekali di rumah Bangsak. Jam tujuh pagi, Nyimas Fauziah dan Nyimas Ramziah diitemani oleh bang Mael, mereka berangkat ke Sipin dengan mengayuh perahu. Karena memang masih pagi sekali, matahari sedang bersiap-siap menyinari. Cahayanya masih teduh, angin pagi menyatu dengan aura dingin sungai Batanghari. Nyimas Ramziah mengayuh di depan, Nyimas Fauziah di posisi tengah, dan bang Mael dibelakang, mengayuh sambil mengarahkan kemudi agar rute dan laju perahu terarah. Mengayuh perahu bagi gadis-gadis melayu Jambi Seberang bukan hal yang aneh, bahkan keahlian mereka tidak kalah dengan para lelaki. Meski kayuhan tidak sekuat para lelaki, perahu tetap stabil, tidak oleng. Tak sama dengan gadis sekarang, jangankan mengayuh perahu, cara naik dan duduk dalam perahu saja tidak paham. Gadis Seberang sekarang baru akan melihat perahu hanya ketika air sungai Batanghari meluap. Itu juga sudah tak jelas 26
musimnya. Kadang setahun sekali, dua tahun sekali, tiga tahun sekali dan seterusnya. Sambil ngobrol, Nyimas Fauziah dan Nyimas Ramziah menikmati udara pagi di atas permukaan Sungai Batanghari. Mereka tak sabar ingin bertemu dengan adik bungsunya, Kemas Arsyad Somad dan menyampaikan kabar bahwa sekolah telah dibuka. Perahu Nyimas Fauziah dan Nyimas Ramziah melaju cepat, karena memang rutenya dari Tanjur Pasir menuju Pulau Pandan, kemudian langsung ke Danau Sipin mengikuti arus. Namun jika air sungai Bantanghari sedang naik, rutenya bisa langsung dari Tanjung Pasir ke Danau Sipin. Bang Mael sang kemudi langsung mengambil lajur kiri. Sekira lima belas menit, mereka pun tiba di daratan Danau Sipin. Berbeda hitungannya jika mereka dari Danau Sipin hendak ke Tanjung Pasir, bisa memakan waktu tiga puluh menitan. Karena lajur perahu mesti ke hulu dulu, melawan arus. Yang paham rute ini bisa dipastikan hanya orang-orang zaman dahulu saja. Orang sekarang pahamnya hanya rute Pasar Angso Duo, Jambi Prima Mall, Jamtos, dan pusat-pusat belanja lainnya. Rute sungai tak usah dikupas panjangpanjang. Tiba di kebun Sipin, gadis dua beradik ini disambut senang oleh Emak dan Arsyad. Sementara Baba sudah keluar pagi-pagi sekali. Nyimas Fauziah langsung memanggil Arsyad. Tapi tak ada sahutan. Kata Emak, Arsyad pegi metet burung. Nyimas Ramziah tertawa sambil berucap, “Pakar pancing kini ngalih profesi metet burung”. Sinar matahari siang semakin panas dan tajam. Tapi bagi Arsyad panas terik matahari tidak berpengaruh, ia dan Sargawi tetap fokus menyisiri tepian sungai mengintai Burung Tengkek yang sebenarnya juga sedang mengintai. Arsyad mengintai Tengkek, Tengkek mengintai ikan. Situasi ini menggambarkan kehidupan dunia, makhluk penghuninya saling intaimengintai. Arsyad tak takut kulitnya terbakar. Tampaknya, ia mengamalkan filosofi sinar matahari, “jika anda ingin bersinar seperti matahari, hal pertama yang dilakukan adalah “membakar” diri.” Sedang fokus mengintai, Arsyad dan Sargawi saling tengok, dalam sorot mata mereka seolah-olah sedang bicara, “perutku lapar, Wi”. Mata Sargawi menjawab; “sama Syad, perut ku apalagi”. Arsyad menoleh ke tepian sungai melihat Burung Tengkek yang tampak dari kejauhan, sorot matanya juga 27
memunculkan kalimat, “kamu berdua kalau lapar tinggal pulang dan makan. Lah aku? Mesti lanjut mengintai ikan-ikan yang lalai”. Sargawi memecah lamunan dan mengajak Arsyad untuk segera menyudahi intaian mereka. “litak aku Syad, balek bae kito”. Arsyad menjawab singkat, “payolah”. Arsyad sampai ke rumah yang belum selesai sepenuhnya itu lebih dulu, rumah Sargawi hanya berjarak dua rumah. Dua pemburu itu masing-masing pulang dan langsung makan. Nyimas Fauziah protes kepada adik bungsunya, “mambu kau Syad, mambu belut. Mandi dulu baru makan”. Arsyad cuek, pura-pura tak dengar. Karena memang sebenarnya ia pun mencium bau itu. Tapi karena aroma itu bersumber darinya, dan perut pun sangat lapar, hantam sajalah dulu. Setelah itu baru mandi. Kala itu, tahun 1953, umur Arsyad menginjak delapan tahun. Berhubung Arsyad telah sampai di rumah, Nyimas Fauziah bicara sama Emaknya; “Mak, Arsyad ko kan umurnyo lah lapan tahun, kini tu di Seberang sekolah lah bukak. Anak-anak di Seberang jugo lah mulai mendaftar, bahkan ado jugo yang lah mulai sekolah”. Berbeda ketika mendengar ayuknya protes tadi, kali ini Arsyad merespon cepat; “Apo tadi yuk? Orang-orang lah mulai sekolah?” tanya Arsyad bersemangat. Ayuknya, Nyimas Zainab tersenyum melihat tingkah adik bungsunya. Senyuman itu memang menggambarkan kebahagiaan. Bahagia melihat adiknya antusias mengengar kata “sekolah”. Ia pun menjawab pertanyaan Arsyad; “iyo Syad, orang lah sekolah. Arsyad ikut ayuk ke Seberang yo, kito sekolah”. Mendengar ajakan itu, Arsyad tidak berpikir lama, ia langsung setuju untuk ikut dengan ayuknya ke Seberang dan mendaftar di Sekolah Rakyar 8. Arsyad pun terdaftar dan bersekolah. Terbayang-bayang sudah dalam benaknya bahwa sekolah akan sangat menyenangkan. Ada kawan-kawan yang ramai dan selalu ceria. Ada guru yang berwibawa dan ikhlas mengajar ilmunya. Ada buku-buku, ada pensil untuk menulis, ada kapur dan papan tulis lebar yang dicat hitam tempat sang guru dengan gagahnya menjelaskan, dan lain sebagainya. Intinya, Arsyad suka sekolah dan belajar. Maka pergilah Arsyad ke Tanjung Pasir bersama ayuknya-ayuknya untuk bersekolah di SR (Sekolah Rakyat) 8. Karena keterbatasan sarana dan prasarana, sekolah masuk sore. Jadwal sekolahnya sore, pagi harinya Arsyad 28
kembali menjadi seorang Insinyur pancing. Ir. Arsyad, S.Pc. Tentu gelar ini hanya buatan penulis saja. Para pembaca dimohon untuk menyepakatinya. Dengan melanjutkan aktivitasnya itu, keahlian Arsyad dalam memancing tetap terasah. Tangan kanan bawa baur pancing dari bambu, tangan kiri membawa umpan cacing dan ulat pisang, dipinggang kiri terselip alat betet burung dan dikantong kanan amunisi peluru kerikil. Meski paginya mancing, Arsyad tetap tepat waktu berangkat ke sekolah. Kalau sekolah masuk jam dua, Arsyad datang jam satu. Setiap hari antusiasnya untuk thalabul ‘ilmi kian menggebu-gebu. Baginya, sekolah adalah taman bermain yang bentuknya adalah belajar. Tak heran ia pun tidak pernah ketinggalan dan selalu hadir. Tiba waktu pembagian rapot, Arsyad menjadi juara kelas setiap semesternya. 29
Belajar Membaca di Rumah Guru Ibrahim “Pintu utama untuk masuk dalam ruang kecerdasan adalah membaca.” – Kemas Arsyad Somad 30
Arsyad masuk sekolah pada tahun 1953, belum genap sepuluh tahun Indonesia merdeka dari penjajah Belanda, di mana rakyat rata-rata buta huruf. Itu juga menjadi salah satu penyebab Belanda bisa menjajah Indonesia selama berpuluh-puluh tahun. Maka siapa saja yang dapat membaca dengan lancar adalah orang yang bisa dikatakan pintar. Meski begitu, yang belum mampu membaca tidak bisa disebut bodoh. Di sekolah Arsyad bertemu dengan guru Ibrahim. Ia merupakan seorang guru yang lembut tapi tegas seperti Kemas Abdussomad, Baba Arsyad. Kalau guru Ibrahim sudah bicara, semua murid diam. Kalau guru Ibrahim memberikan soal atau pertanyaan, semua murid berlomba-lomba untuk menjawab karena segan bercampur takut. Ada pula sesekali canda kocak yang membuat murid-murid tergelak. Guru Ibrahim mengajar semua mata pelajaran, mulai dari Bahasa Indonesia, Matematika, Biologi, Sejarah dan lain-lain. Pagi hari Guru Ibrahim melakukan pekerjaan lain, nambang perahu, mencari ikan, jualan, dan lain-lain. Sore nya, Guru Ibrahim mengajar anak-anak SR 8. Keluarga Arsyad sangat mengenal Guru Ibrahim, jika ditelusuri sampai ke datuk buyut, mereka masih ada ikatan keluarga. Karena kedekatan ini, Nyimas Fauziah mengantarkan Arsyad ke rumah Guru Ibrahim dan memintanya untuk mengajarkan Arsyad membaca lebih banyak. Orangorang sekarang menyebutnya les privat. Bedanya kalau dulu gratis, sekarang berbayar. Dulu mengajar itu pengabdian, sekarang pekerjaan. Kalau pengabdian gajinya langsung dari Tuhan. Sekarang, gajinya dari iuran. Dulu guru sadar bahwa mengajar adalah amanah. Jika dibayar, mereka tak mau. Sekarang, yang wajib sadar adalah wali murid, karena pengabdian guru adalah pekerjaannya. Jika ada guru yang tak mau dibayar, paksa saja. Atau selipkan uang di jok motornya. Arsyad kadang malas datang ke rumah Guru Ibrahim. Hal ini karena sesekali Guru Ibrahim bisa marah dan sangat menakutkan. Ia marah dalam rangka mendidik, bukan karena benci pada murid-muridnya. Arsyad dan 31
kawan-kawannya yang ikut belajar bisa kena semprot habis-habisan. Apalagi kalau melihat Guru Ibrahim pegang rotan, ciut-kecut mental mereka. Terbayang-bayang ujung pecutan rotan menempel di paha. Dalam hati Arsyad bercampur antara takut dan berani. Takut kalau tak bisa membaca, berani karena dia tak sendiri. Ada beberapa kawan seperjuangan yang pahanya juga siap menerima pecutan Guru Ibrahim. Maka pilihannya cuma satu, harus bisa membaca dan mengaji. Jangan coba-coba ditawar, kalau tidak mau disuruh pulang. Zaman sekarang, jika anak-anak disuruh pulang bukannya takut, malah senang. Sampai di rumah mereka akan menambah-nambah cerita bahwa gurunya tidak baik. Hebatnya, orang tua yang mendengar dongeng anakanaknya tentang keburukan guru, malah percaya. Secara tidak langsung, mereka mendukung anaknya untuk menjadi bodoh dan bebal sampai mati. Anaknya bodoh, guru yang salah. Anaknya pintar, bukan karena guru. Memang tak semua orang tua seperti itu. Tapi yang seperti itu jumlahnya juga tak sedikit. Jam lima sore Arsyad pulang dari rumah Guru Ibrahim. Bukannya langsung ke rumah, Arsyad transit dulu di lapangan bola, “ngacau” kawankawan yang lebih tua dan besar darinya. Dilarang main, Arsyad tak peduli. Baginya, skill bermain bolanya lebih baik dari mereka. Tubuhnya memang kecil, tapi skill dan tenaganya sudah teruji. Latihan fisiknya di Sungai Batanghari, dalam semak-belukar dan dalam lumpur. Dengan kekuatan fisiknya yang seperti itu, Arsyad bisa saja menjadi tentara. Tapi ia tidak mau. Menjelang azan maghrib, Arsyad tiba di rumah, mandi, makan, lalu belajar lagi. Belajar mengaji, menghapal surah-surah pendek dan kalikalian di rumah Guru Ibrahim lagi. Selepas ‘Isya, pulang ke rumah, Arsyad telah ditunggu Emaknya. Di rumah, Emak kembali meminta Arsyad untuk membuka Al-Quran dan menjelaskan makna dan kisah-kisah yang terkandungan dalam Al-Quran. Dalam khidmatnya malam, mereka adalah generasi penerus bangsa pada tatanan masyarakat. Mereka adalah raja, atau daun-daun baru yang menggantikan daun lama yang gugur ke bumi. Baba dan Emak Arsyad telah memprediksi itu. Kelak, Arsyad akan menjadi penerus para pejuang. Arsyad dan kawan-kawannya akan senantiasa berkembang dan merekah indah. Di musim pengujan atau pun kemarau, mereka tetap bersemi. Di 32
sekolah, Arsyad bertemu lagi dengan Guru Ibrahim. Tapi Guru Ibrahim di sekolah tidak sama dengan Guru Ibrahim di rumah. Di sekolah tidak segarang di rumah. Hanya itu yang dipikirkan Arsyad, tidak lebih. Selain dengan guru Ibrahim, Arsyad juga belajar ngaji dengan Guru Derani dan Guru Thalib. Dua orang kawan akrab Arsyad selama sekolah di SR 8, yaitu Usman dan Anang Hamid. Mereka saling bergantian menjemput ke rumah masingmasing. Kadang Arsyad yang duluan mampir ke rumah Usman untuk mengajak berangkat bersama ke sekolah. Terkadang, Anang Hamid yang lebih dulu ke rumah Arsyad. Pada waktu yang lain, Usman yang datang lebih awal menjemput mereka. Begitulah setiap harinya, hingga kemudian mereka berpisah ketika Arsyad mulai berpindah-pindah sekolah. 33
Dibelikan Buku oleh Bang Ali “Melalui halaman demi halaman dalam buku, kita bisa mengetahui apa saja yang ada di dunia.” – Kemas Arsyad Somad 34
Adalah Bang Ali yang waktu itu memberikan Arsyad buku pertama kali untuk belajar membaca. Ketika memberikan buku, Bang Ali sudah dewasa. Bukan tanpa sebab Bang Ali memberikan hadiah buku kepada Arsyad. Dalam terawangannya, Arsyad kelak akan menjadi seorang akademisi dan tokoh masyarakat. Hal itu sudah terlihat dari cara pertama kali Arsyad diajak sekolah oleh ayuk-ayuknya dan dari semangat Arsyad ketika mengulangi pelajaran sekolah di rumah. Terbata-bata ia belajar dengan Guru Ibrahim. Terseok-seok ia mengeja huruf per huruf yang ia lihat seperti menari-nari sendiri itu. Terkantukkantuk setiap malam ia menunggu giliran diuji membaca oleh sang guru, tapi ia tetap semangat dan hampir tak pernah alpha dari belajar. Ada satu hal yang sangat disukai Arsyad selepas belajar membaca malam hari di rumah guru Ibrahim, yaitu pulang berlari berhamburan bersama kawan-kawan. Ada sensasi menyenangkan yang susah dijelaskan dan tak dapat dimengerti oleh orang dewasa di Seberang, padahal itu hanya berlari. Saya kira, ada satu alasan mengapa Arsyad dan kawan-kawan sangat senang berlari setelah belajar di rumah Guru Ibrahim, yaitu “selesai penderitaan dan lolos dari pecutan rotan sang guru”. Meskipun besok malamnya mereka akan kembali “menderita” dihadapan Guru Ibrahim. Itulah alasan mengapa setiap pulang dari rumah Guru Ibrahim mereka senang bukan main. Karena suka berlari, suatu saat Arsyad bercita-cita ingin melakukan perjalanan panjang. Perjalanan jauh melintasi negeri demi negeri. Bertemu berbagai ras manusia dan suku bangsa. Ia kepalkan tangan dan mengangkat tinju ke langit, semangat ia genggam. Bintang, bulan sabit, sungai Batanghari, burung cicap, burung tengkek, ikan sepat, ikan betok dan gerombolan seluang menjadi saksi kegigihan Arsyad kecil. “Innamaa amruhu idza araada syaian an yakuula lahuu, kun fayakun. Sesungguhnya, jika Allah berkehendak maka ia hanya perlu mengatakan ‘kun’ maka terjadilah.” Begitu nasihat guru Ibrahim ketika menyemangati semua murid untuk menggapai cita-citanya, mengutip dari surah Yasin 35
dalam Al-Qur’an. “Tuliskan cita-citamu dengan pensil sebanyak mungkin,” kata guru Ibrahim di lain kesempatan, “biarkan Allah yang menjadi penghapusnya. Kalau Allah izinkan ia akan tercapai, kalau tidak Allah akan hapus.” Tak hanya mengajar membaca, Guru Ibrahim pun memberikan kalamkalam hikmah hampir tiap hari pada murid-muridnya. Arsyad pun selalu mengingat kata-kata dari gurunya itu. Meski kadang lupa satu atau dua nasihat, tapi banyak yang ia ingat dan hujamkan dalam hati. Terutama kalau soal cita-cita. Diantara kalimat yang Arsyad ingat tentang nasihat Guru Ibrahim adalah “Mulai dulu dengan mimpi, lalu tempuh rute terbaik, kemudian taklukkanlah dunia”. “Mimpi membawa kita jauh melangkah ke tanah yang tak pernah kita pijak sebelumnya”. “Mimpi menjadi batu yang tersusun, lalu membuat kita naik hingga sampai ke tujuan tertinggi” Semula, Arsyad dan kawan-kawan tidak begitu paham kalimat-kalimat filosofi seperti itu. Namun ketika mendengar Sang Guru berucap, mereka terpana dan terkagum-kagum sambil mengangguk. Mengangguk karena tak paham. Tak paham tapi kagum. Pokoknya begitulah. Buku yang diberi oleh Bang Ali begitu berharga bagi Arsyad, dan pemberian itu tak akan hilang dalam ingatannya. Bang Ali memberi buku bukan karena tak sengaja apalagi kebetulan. Begitulah pola dan cara orang zaman dahulu mendidik para generasi masa depan. Berbeda dengan sekarang, jenis hadiah atau pemberian bermacam-macam. Hadiah bisa berubah-ubah tergantung moment. Ulang tahun, hadiahnya kue ulang tahun. Mahal, tapi tidak bermakna. Dulu, Arsyad ulang tahun tidak pernah dirayakan. Bukan karena Baba dan Emaknya tidak mampu merayakan ulang tahun macam anak-anak sekarang, hanya saja, Baba dan Emak tak terpikir untuk membuat perayakan seperti itu. Bagi Arsyad, diizinkan pergi mancing dan main bola merupakan hadiah tak ternilai. Anak naik kelas, hadiahnya sepeda. Mahal juga. Memang ada manfaatnya, hanya saja filosofinya tidak sama dengan hadiah buku. Anak rangking satu, hadiahnya hand phone. Lebih mahal lagi. Alasan orang tua biar anak bisa mengikuti kecanggihan teknologi. Benar juga. Tapi jika tak dikontrol, bukan manfaat, malah mudhorat. Anak mulai besar lalu bertemu dengan moment valentin, hadiahnya coklat. Menurutku, harga coklat sekarang juga mahal. 36