The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Fajri Al-Mughni, 2023-12-14 10:28:09

KEMAS ARSYAD SOMAD 1

KEMAS ARSYAD SOMAD 1

Keywords: fajri al mughni

naik kelas, main bola, banjir besar, jembatan putus, tikus mengungsi, ular melingkar di pagar, kalajengking akur dengan cacing, sampai latihan boxing Arsyad kisahkan. Busu pandai merespon kisah-kisah itu, sehingga hilanglah sejenak rindu Arsyad. Setidaknya, rindu bercakap-cakap dengan bahasa Jambi, terobati. Belum puas Arsyad berkisah kepada Busunya, terdengar suara pramugari dalam pesawat mengabarkan lagi bahwa pesawat segera mendarat. “Ladies and gentlemen, as we start our descent, please make sure your seat backs and tray tables are in their full upright position. Also, make sure your seat belt is securely fastened and all carry-on luggage is stowed underneath the seat in front of you or in the overhead bins. Thank you.” “On behalf of The Airlines and the entire crew, I’d like to thank you for joining us on this trip. We are looking forward to seeing you on board again in the near future. Have a nice day!” Diarahkan oleh Busu, Arsyad melepas sendiri sabuk pengamannya. “aih, macam susah bae melepasnyo, rupoe mudah nian”. Arsyad bicara sendiri setelah sabuk pengamannya dilepas. Paman dan keponakan itu keluar dari pesawat dan turun ke halaman bandara yang luas. Terbayang dalam kepala Arsyad, “main bola kayaknyo enak ni di lapangan pesawat”. Zaman itu, anak-anak kampung memang bermain bola di mana saja. Ketemu halaman luas dikit, main bola. Tak peduli lapangan itu banyak bongkot kayu senduduk, duri pemalu, kerikil tajam, atau bahkan aspal jalan yang kelihatan halus hamun hakikatnya kasar. Tiba di Palembang sore hari. Sekira dua jam lagi maghrib. Cahaya matahari berangsur pergi dengan sopan. Kepergiannya tidak menyakiti siang, siang pun ikhlas berubah menjadi malam. Gelap memang, tapi tak kalah indah dengan siang. Karena ada pancaran cahaya beberapa bintang yang perlahan mulai muncul. Sedangkan bulan sedang bersiap-siap tampil untuk menambah indahnya malam Kota Pelambang. Di Palembang, Busu bertemu dengan kawannya. Kawannya itu menawarkan mobil tumpangan gratis menuju Jambi. Mobil ambulan kosong, sehabis mengantar pasien. Tanpa pikir panjang, Kemas Abdullah mengiyakan. “yang penting cepat dapat tumpangan, kasihan Arsyad sudah tak kuat menahan rindu”. Begitu kira-kira dalam pikiran Busu Kemas Abdullah. 87


Malam mulai bergerak, gelapnya semakin pekat, namun tetap indah, bahkan bertambah. Karena gemintang semakin banyak dan bertebaran di langit. Cahaya bulan pun makin sempurna. Mobil ambulan yang dinaiki Arsyad dan Busu melaju cukup kencang memecah keheningan. Angin dingin perlahan masuk melalui celah-celah jendela. Suara sirine pada ambulan sengaja dihidupkan. Meraung-raung memekik di jalanan yang sepi. Busu Kemas Abdullah lah yang meminta sirine itu dihidupkan, agar perjalanan tak terhalang mobil-mobil lain. Pasalnya, kendaraan lain harus memberi keleluasaan jalan pada ambulan yang sirinenya berbunyi. Strategi itu memang salah, tapi Busu tak seberapa memikirkannya. Ia mengira akan aman-aman saja. Namun, tiba-tiba dua orang berbaju prajurit menghadang. Sopir pun menghentikan laju mobil ambulan itu. “Selamat malam, Pak.” Seorang lelaki yang tampaknya seorang tentara menyapa kala Kemas Abdullah membuka jendela bagian depan. “Selamat malam.” “Kalau boleh tahu, ini membawa pasien kemana, Pak?” Rasanya tak mungkin ambulan sampai sini. Ini jalan lintas provinsi.” Tentara itu mencurigai. Kemas Abdullah turun dari mobil. Ia menjelaskan kalau sebenarnya tiada pasien darurat yang diangkut di ambulan tersebut. Ia minta maaf dan mengaku salah. Sebenarnya memang tidak ada pasien yang sakit, hanya saja ada seorang anak yang sedang menahan rindu akut pada Baba, Emak, keluarga dan mungkin juga pada Sargawi. Terutama kepada Emak. Arsyad sangat-sangat rindu. Emak pun begitu. Karena ketika Arsyad berangkat ke Lumajang pada tahun 1955, Emaknya sedang berada di Tanah Suci. Ketika Emak pulang ke Jambi setelah melaksanakan haji, beliau terkejut karena anak bungsunya yang masih kecil telah berangkat ke Lumajang tanpa sepengetahuan beliau. Waktu itu, Emak histeris dan protes kepada Baba. Baba Arsyad menenangkan Emak. Kata Baba, “Tumpahkan air mata mu, biarlah menangis sekarang daripada menangis karena menyesal nanti”. Maksud Baba adalah Arsyad ke Lumajang untuk mencari ilmu dan pengalaman. Sebagai orang tua tentu berat melapaskan anak yang masih berumur delapan tahun pergi jauh dan dalam waktu yang lama. Tapi 88


percayalah, kepergian Arsyad dalam mencari ilmu dan pengalaman akan menghasilkan buah yang manis untuk mereka berdua sebagai orang tua. Mendengar penjelasan itu, Emak pun mencoba memahami. Meskipun beliau tak mampu menahan kesedihan. Oleh karena itu, rindu Arsyad kepada orang tuanya telah mencapai ketahap rindu akut. Sebenarnya Emak sudah pernah pergi ke Lumajang menjenguk anak bungsunya ditemani oleh Datuknya, Kemas Abdussomad, ketika Emak baru pulang dari melaksanakan ibadah haji. Di Lumajang Emak bersama Arsyad kurang lebih selama satu minggu. Bagi Arsyad, seminggu itu sangat sebentar. Ia belum puas bertemu dengan Emak. Oleh karena itulah, Arsyad merasa harus pulang ke Jambi dan bertemu lagi dengan Emak, Baba dan keluarga. *** Sang Prajurit yang menyetop mobil ambulan yang ditumpangi oleh Paman dan kepokanan itu menyimak penjelasan Busu Kemas Abdullah. Ia kemudian memaklumi dan memaafkan. Mungkin karena melihat wajah Arsyad yang sedang merasakan dan menahan sesuatu, tentara itu lalu mengizinkan untuk melanjutkan perjalanan dan memerintahkan agar tidak menyalakan sirene-nya ketika dalam perjalanan, karena akan menghebohkan dan membuat orang salah paham. Kemas Abdullah mengerti dan sekali lagi meminta maaf. Sirene ambulan pun dimatikan. Tak lama kemudian, mereka pun melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan, Arsyad tak sanggup lagi bercerita. Ia sangat lelah dan tertidur pulas. Sudah dua hari rindunya di ubun-ubun. Jika tidak tidur, gumpalan rindu itu bisa meledak, pecah dan berhamburan keluar dari dalam kepala dan dadanya. Sekira pukul enam pagi, ambulan itu sampai ke Jambi. Perjalanan dari Pelembang-Jambi saat itu cukup melelahkan. Jalan yang ditempuh pun tak sepenuhnya aspal yang mulus. Banyak pula jalan tanah yang berlubanglubang. Pembangunan belum merata ke semua daerah. Sehingga masih banyak dari jalan lintas yang harus diaspal. Busu Kemas Abdullah tampaknya mencatat dalam kepala tentang kondisi jalan lintas. Barangkali sebagai bahan rapat dan pembelajaran untuk ia terapkan di Jambi. 89


Pindah Sekolah Lagi “Dalam pencarian ilmu dan pengalaman, tidak ada kata ‘selesai’.” – Kemas Arsyad Somad 90


Sampai di kampung halaman tercinta, Tanjung Pasir dan bertemu dengan Baba dan Emak. Rindu yang selama tertahan akhirnya terluapkan. Baba memeluk Arsyad dengan erat. Pelukan Emak lebih erat lagi. Diciumciuminya anak bungsu itu. Basah pipi Arsyad terkena air mata bahagia Emaknya. Emak sudah menyiapkan makanan lezat untuk Arsyad. Semua masakan yang dinilai enak di Jambi, disuguhkan oleh Emak. Arsyad makan dengan lahap seperti musafir yang belum makan tiga hari tiga malam. Di Kampung halamannya tidak banyak yang berubah. Semuanya hampir sama dengan ketika Arsyad pergi ke Lumajang. Sementara di Daerah Sipin sudah ada beberapa rumah orang Seberang yang dibangun. Tanaman juga semakin banyak. Selain kebun karet, juga ditanam cabe merah, cabe rawit, timun, terong, labu, kundur, perenggi, kisik, pare, kacang panjang, kacang tanah, ubi rambat, ubi kayu, ubi rambat merambat ke batang ubi kayu dan tanaman-tanaman lainnya. Semua tanaman-tanaman itu khusu’ bertumbuh dan berkembang tanpa ada gangguan tanaman-tanaman semak dan liar lainnya. Karena pemilik kebun disiplin dengan segala aturan-mainnya. Paling-paling sesekali kecolongan sama beruk-beruk yang nekad dan tak takut mati. Babi hutan sudah diantisipasi dengan pagar-pagar kawat. Prustasi mereka memandangi tanaman dari luar pagar. Keluar air liurnya. *** Di Jambi, Arsyad kembali berkumpul dengan keluarga dan kawankawannya. Sama bahasanya, sama budayanya, sama selera makannya dan sama kelakarnya. Karena sudah betah, Arsyad enggan untuk kembali ke Lumajang. Ditambah lagi, perjalanan ke Lumajang jauh bukan kepalang. Dan yang paling berat bagi seorang anak yang masih kelas lima SR, (sekarang SD) adalah jauh dari orang tua. Arsyad meminta kepada Baba dan Emak untuk meneruskan sekolah di Jambi saja. Sebenarnya Baba masih ingin Arsyad melanjutkan sekolah di Lumajang, tapi Emak, berat hatinya. Setelah dipikir91


pikir dan ditimbang-timbang, Baba dan Emak mengizinkan Arsyad untuk pindah sekolah ke Jambi. Emak meminta Nyimas Fauziah untuk mengurus kepindahan Arsyad ke SR Negeri 8 di Seberang. Tidak jauh dari rumah mereka. Arsyad pun diterima di SR negeri 8. Tetap di kelas lima. Hari pertama Arsyad sekolah, ia bertemu dengan Guru Ibrahim. Guru Ibrahim tidak lagi guru biasa, ia sudah diangkat menjadi kepala sekolah. Arsyad sudah tau Guru Ibrahim menjabat kepala sekolah dari ayuknya. Waktu cepat berubah, keadaan pun terus berubah. Tiada yang tetap sama, kecuali perubahan itu sendiri. Di SR Jogowidan Arsyad dikenal sebagai murid yang penuh inisiatif, perilaku baik, penuh kesopanan dan pribadi periang serta cerdas. Hal yang sama ia tunjukkan ketika pindah sekolah di Seberang. Guru-guru menyukainya, kawan-kawan pun betah bersamanya. Apalagi kalau Arsyad sudah bercerita tentang pengalamannya di Jawa. Semua kawan-kawan yang mendengar antusias dan penuh rasa khusu’. Arsyad pandai, cerita-cerita yang ia kisahkan dibuat berjilid-jilid. Kata Arsyad disetiap penghujung cerita, “sampe siko dululah cerito e yo, tunggu episode berikutnyo.” Kawan-kawannya terpana. Mendengar Arsyad bercerita, serasa sedang mendengarkan kisah Mahabharata. Kadang sesekali Arsyad pamer skill bahasa Jawa. Kalau bagian yang itu, kawan-kawannya bukan terpana, tapi tertawa. Bukan tertawa karena mengejek, menurut mereka, lucu saja. Memang di Seberang ada juga orang Jawa, tapi mereka berkomunikasi menggunakan bahawa Jambi. Bahasa Jambi logat Jawa. Sedangkan yang dipamerkan Arsyad memang murni Bahasa Jawa. Setidaknya, pada bab bahasa, Arsyad menang. Ia mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan fasih berbahasa Jawa. Sebenarnya sepulang dari sekolah, kawan-kawannya juga bertemu dengan Arsyad, tapi ia tak mau bercerita, kisah-kisah itu ia simpan. Ia hanya akan bercerita ketika jam istirahat sekolah saja. Bagaimana pun kawankawannya menawar dan merengek minta diceritakan kisah petualangan di Jawa, Arsyad tak mau. Bukan murni karena tak mau, cuma waktunya yang kurang pas. Berkat mengenyam pendidikan di Lumajang pula, Arsyad menjadi anak yang dominan atau dapat dikatakan pintar. Banyak pelajaran yang dapat dengan mudah ia pelajari sehingga nilainya cukup bagus. Kebiasaan 92


pendidikan di Jawa yang memang lebih keras dan ketat membuatnya terkualifikasi sebagai anak yang tangkas pula. Karena itu, ia mempunyai kemampuan di atas rata-rata. Di SR 8 itulah Arsyad menamatkan sekolahnya. 93


Tegak Rumah di Sipin dan Menetap “Se-kokoh dan kuatnya akar pohon-pohon besar, tatap saja diawali oleh bibit dan tunas yang kecil”. - Kemas Arsyad Somad 94


Sebelum rumah dibuat di Sipin, Baba Arsyad menempuh jarak yang lumayan jauh, dari Tanjung Pasir ke Sipin. Kadang mengayuh perahu, kadang diantarjemput dengan mobil Walikota, Bapak Raden Sudarsono. Ketika itu, Kemas Abdussomad sedang menjabat sebagai anggota DPRD Kotapraja-Jambi yang berkantor di Gedung Putra Retno, depan kampus UNJA Pasar tahun 1950- 1957. Ketua DPRD Kotapraja pada masa itu adalah KZ. Ghafar Dunk. Perjalan jauh itu membuat hati Baba Arsyad dilema. Sebenarnya beliau tidak mempermasalahkan jika harus mengayuh perahu dari Tanjung Pasir ke Sipin, lelah memang, tapi bagi seorang pejuang seperti beliau, lelah itu tidak seberapa. Hanya saja, karena cuaca yang sering berubah, kadang hujan, kadang air sungai Batanghari meluap, dan rintangan-rintangan lainnya menyebabkan beliau terlambat datang ke kantor. Untuk mengantisipasi keterlambatan itulah, beliau sering diantar dan dijemput menggunakan mobil Walikota Jambi. Namun begitu, beliau sering mendengar nada-nada sumbang dan sinis dari beberapa orang keluarga dan tetangganya di Seberang. Kata mereka, “Liat tu Kemas Abdussomad dijemput dan diantar pakai mobil orang, apo dak malu numpang orang terus.” Mendengar itu Baba Arsyad merasa tidak perlu menjelaskan apa pun. Beliau juga tidak mau memaksakan diri untuk membeli mobil dengan keuangan yang belum mapan. Gajinya sebagai Anggota Dewan waktu itu belum dibayarkan dengan uang, tapi dengan dua karung beras. Istri, anak dan keluarganya sempat protes dan meminta Babanya agar menjelaskan bahwa mobil yang mengantar dan menjemput itu merupakan mobil Walikota Jambi yang satu diantara banyak fungsinya adalah mengantar dan menjemput para Anggota Dewan. Tapi Kemas Abdussomad tak mau. Beliau berkata kepada istrinya, “Kalu ado orang yang memandang sinis dan merendahkan kito soal harto, cukup balas dengan menyekolahkan anak-anak setinggi-mungkin”. *** 95


Pada tahun 1961, setelah melewati fase-fase sulit dalam merintis dan membuka hutan, akhirnya Baba Arsyad, Kemas Abdussomad, mendirikan rumah. Keputusan mendirikan rumah bukan hanya karena bibit karet dan tanaman lainnya harus dijaga, namun juga karena beliau kembali terpilih menjadi Anggota DPRD-GR Provinsi (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong) yang berkantor di Puskesmas Putri Ayu sekarang. Waktu itu ketua DPRD-GR adalah Saleh Jasin. Dengan jarak jempuh yang dekat dari rumahnya, sehingga memudahkan Baba Arsyad berangkat ke kantor dan mengerjakan aktivitas sebagai Anggota Dewan. *** Setelah hutan-hutan dibuka, kebun-kebun telah dirintis, Kemas Abdussomad membuat rumah ala kadarnya, namun kuat dan aman sebagai tempat tinggal. Arsyad, yang pada waktu itu baru saja menamatkan Sekolah Rakyat. Babanya, sesekali mengajak Arsyad dan Emak untuk menginap di rumah itu. Sampai akhirnya setelah rumah benar-benar siap, barulah mereka menetap di Sipin. Waktu itu umur Arsyad telah menginjak usia empat belas tahun. Satu sisi ada perasaan senang dalam hati Arsyad karena akan menghuni rumah baru dan bertetangga dengan sanak famili di kiri kanan. Baba mulai menanami sekeliling rumah dengan apa yang bisa ditanamnya. Di belakang ditanami ubi kayu. Serta ia pagar tanamannya itu agar tak dimakan babi. “Jadilah seperti ubi, Arsyad. Ubi tu bermanfaat atas bawah. Daunyo bermanfaat, ubinyo apolagi. Ubinyo itu adalah bagian yang paling berharga, Tapi ubi dak mau menatampakkan pada orang. Biaklah ubinyo di dalam tanah. Itu tando dio dak sombong.” Kata Baba menasihati. Arsyad tidak menjawab, tidak pula mengangguk. Ia hanya mendengar, tapi hatinya mencatat nasihat itu. Kelak, nasihat Babanya akan menjadi panduan utama dalam hidupnya. 96


Kyai Anang, Kawan Akrab Lainnya Di Seberang “Persahabatan itu tidak bisa hanya dilihat dari rangkaian kata, tapi juga dari sikap saling memahami.” – Kemas Arsyad Somad 97


Karena terbiasa bergaul dengan orang-orang Jawa, Kemas Arsyad mudah berteman dengan banyak orang di Jambi. Bukan hanya di daerah tempat ia tingggal, tapi di kampung sebelah, Tanjung Raden dan Olak Kemang sampai ke Kampung Tengah dan Arab Melayu. Selain Sargawi, Usman, Anang Hamid, dan lain-lain, di Tanjung Pasir, Arsyad punya kawan akrab juga namanya Anang. Kelak, ia akan menjadi seorang ulama, Kyai dan seorang tokoh yang disegani oleh masyarakat seberang, yang dikenal dengan Kyai Anang. Sedari kecil, mereka sering belajar bersama, bermain bersama, hingga tumbuh bersama menjadi remaja. Sampai mereka dewasa dan tua. Kalau bertemu Sargawi, aktivitas yang mereka lakukan adalah ‘tadabbur alam’. Mereka berdua belajar menaklukan alam yang berubah-ubah. Mereka paham tabiat ikan-ikan. Mulai dari ikan seluang yang terkesan dungu, mudah ditangkap, bergerombolan, dan pergerakannya mudah dibaca. Ikan kepiat, ikan yang seringkali menyusup dalam gerombolan seluang. Kalau sudah dewasa dan besar, kepiat berubah nama menjadi ikan Lampam. Meski sudah berubah nama menjadi Lampam, Arsyad dan Sargawi tidak bisa dikelabui. Mereka pun mengganti umpannya, dengan biji buah kapuk. Ikan-ikan yang berukuran kecil, Arsyad dan Sargawi sudah khatam pergerakannya. Bagaimana dengan ikan patin? Arsyad dan Sargawi tahan berjemur dibawah terik matahari menunggu pancingnya yang sudah dilemparkan ke tengah-tengah sungai. Pancing mereka tanpa baur. Senarnya digulung ke kaleng sarden bekas, dikasih pemberat yang sudah ready di toko pancing, lalu umpannya menggunakan bakwan yang dibeli diwarung nasi gemuk. Agak susah memang dapatnya, tapi sekali dapat, dua kilo beratnya. Tidak hanya ikan sungai Batanghari, ikan rawa yang lihai berkamuflase pun bisa ditangkap Arsyad dan Sargawi. Arsyad mampu dengan mudah membedakan kepala ular dan kepada ikan gabus. Ikan gabus sering mengendap-ngendap, mengintai mangsa dan matanya melirik-lirik. Melihat itu, Arsyad pura-pura tak nampak sambil tangannya memasang umpan 98


anak katak kecil yang malang. Setelah anak katak kecil terkang-kang pada mata kail pancing, ia dengan santai dan hati-hati melemparnya ke dekat ikan gabus yang sok berwibawa dan terkesan sombong. Ikan gabus sempat kaget dan langsung memasang kuda-kuda. Pikirnya, “pucuk dicinta, ulam pun tiba”. Anak katak kecil langsung disambar, nahas baginya, di tubuh katak terdapat mata kail yang tajam. Bibir gabus tersangkut, sempat melawan, tapi apalah daya, Arsyad lebih perkasa. Ikan gabus besar naik ke darat. Sekarang gantian, Arsyad dan Sargawi yang jumawa, lalu menyombongkan diri. Tak sabar mereka ingin menenteng ikan gabus sambil berjalan menyusuri rumah-rumah warga. Sudah terbayang dalam benak mereka akan pujian orang-orang yang berpapasan di jalan. Itu baru ikan, belum lagi burung-burung. Arsyad dan Sargawi mengerti adat-istiadat burung-burung itu. Burung cicap datang di pagi hari, terbang rendah dan sesekali melenting-melenting di dahan senduduk. Kadang datang serentak dengan burung berebah dan kutilang. Bedanya, burung cicap bertahan lebih lama. Sementara berebah dan kutilang hanya mampir sebentar. Karena jadwal mereka akan lebih lama di sore hari. Burung murai juga ada, hanya saja murai jauh lebih hati-hati dari berebah dan kutilang. Paling-paling burung murai tanah yang memungkinkan untuk dibidik. Itu pun sulit. Meski di tanah, tingkat kewaspadaannya sangat tinggi. Bergerak selangkah saja, murai tanah pindah ketempat yang jauh. Begitulah sepak terjang Arsyad bersama Sargawi. Alam menjadi guru bagi mereka berdua. Lain lagi ceritanya ketika Arsyad bertemu dengan Anang. Anang lebih suka berselancar dalam huruf-huruf yang ada pada buku-buku sekolah dan madrasah. Arsyad tidak berubah, semangatnya untuk belajar, terutama belajar agama seperti Anang tidak kalah semangat sewaktu ia menelusuri sungai dan hutan bersama Sargawi. Inilah kelebihan Kemas Arsyad Somad. Ia mampu beradaptasi dan mencari pengalaman hidup melalui apa saja. 99


Rindu Arsyad Pada Bambang; Kawan Akrabnya di Lumajang “Orang-orang bisa melupakan masalah, tapi tidak dengan rindu.” – Kemas Arsyad Somad 100


Berbicara soal kawan lagi, mari kilas balik sebentar kembali ke Lumajang ketika Kemas Arsyad berada di kelas tiga SR. Kalau teman berkelahinya itu bernama Isnan, teman curhatnya adalah Bambang. Anak Jawa yang ceria itu sering mengajak Kemas Arsyad makan soto atau bakso. Dia lah yang menjadi pelipur lara ketika Arsyad sering terbayang pada Emak dan Babanya di Jambi. Dia juga yang menjadi keramaian ketika Arsyad merasa sepi di perantauan. Kalau tiada Bambang, mungkin Arsyad tak terlalu lama betah di Lumajang. Bambang seperti memberi arti kehidupan pada Arsyad yang masih terlalu dini berpisah jauh dengan orang tua waktu itu. Maka saat kembali ke Jambi, lepas rindunya pada kampung halaman, orang tua, keluarga dan Sargawi, muncul pula rindunya pada yang lain, yaitu Pakte Razak, Bite Timah dan Bambang. Arsyad terbayang suara Bambang dengan khas logat Jawanya memanggil pagi-pagi untuk berangkat sekolah bersama. Saat keluar main, Bambang selalu ceria bersamanya, bermain tiada letih. Saat pulang sekolah mereka berjalan bersisian, melepas alas kaki sebelum menyeberangi sungai karena jembatan yang roboh. Atau berlari dikejar anjing yang terjangkit virus rabies. Bayangan Bambang sering muncul kalau malam. Tapi tidak setiap malam. Ada malam-malam tertentu saja. Karena rindu pada Bambang, Arsyad sering menyebut namanya. Terutama ketika ia sedang berkisah pada kawan-kawannya di Seberang tentang pengalamannya empat tahun di Lumajang. Karena seringnya menyebut nama Bambang, kawan-kawan di Seberang, penasaran. “Apo nian hebatnyo Bambang tu Syad?” Tanya kawan-kawannya. “Ah, kamu dak tau, yang jelas Bambang tu lain”. Arsyad menjawab singkat. *** Arsyad terus bergaul dengan kawan-kawan dan menjadi dominan di sekolah. Terutama soal mengarang, menggambar, sejarah, dan ilmu101


ilmu sosial. Daya khayal dan imajinasinya tinggi. Begitu pula kedisiplinan waktu belajarnya cukup tinggi pula. Tiap malam ia membuka buku apa saja untuk dibaca. Pelajaran ia ulang-ulang sebanyak mungkin. Kebiasaan itu sebenarnya ia dapatkan di Lumajang. Saat itu, ada seorang kawan sekelasnya di Jogowidan, Yusuf namanya. Yusuf juara kelas. Arsyad tak mau kalah, perlahan ia mengejar prestasi Yusuf. Kadang Yusuf rangking satu, Arsyad rangking dua. Pada semester berikutinya, Yusuf tersalip. Arsyad rangking satu. Begitulah seterusnya, sampai akhirnya Arsyad pulang dan pindah melanjutkan kelas lima di SR 8, Jambi Seberang. Sampai di Jambi, Arsyad juga tak lupa dengan Yusuf. Namun hanya sebatas ingat, tidak sampai rindu. Di Lumajang, Yusuf tinggal tidak jauh dari kantor Peternakan. Arsyad masih hapal jalan menuju rumah Yusuf. Karena terbiasa dengan budaya belajar itu lah Arsyad di Jambi bisa melebihi kawankawannya. Budaya semangat belajar di Jogowidan itu dibawa Arsyad ke Jambi. Maka tak heran jika memang di sekolah nilai Kemas Arsyad selalu baik. Bisa dikatakan diatas rata-rata dan dikenal dengan siswa yang pandai. Sesekali, Arsyad yang saat itu tinggal di Seberang Kota Jambi, mengunjungi kebun di Sipin. Meski jarak cukup jauh, tapi tetap dapat ditempuh dengan berperahu. Dipenghujung tahun menjelang Arsyad tamat SR 8, ia meminta dibelikan sepeda. Baba dan Emak pun mengabulkan permintaan Arsyad. Arsyad senang bukan main. Kalau sebelumnya ia mampu napak tilas menyusuri jalan di Seberang sampai ke Arab Melayu, kini perjalanan Arsyad semakin jauh. Ia bersepeda sampai ke Sengeti. Di Sengeti, Arsyad main bola kaki sambil sesekali survey spot mancing. Ternyata, anak-anak seumurannya di Sengeti tidak kalah hebatnya dengan Arsyad, terutama dalam hal mancingmemancing. Mulai dari mancing ikan, mancing emosi hingga mancing keributan. Arsyad tidak terkejut, “you jual, i beli”. begitulah kira-kira. 102


Tamat SR, Kemas Arsyad Masuk SMEP “Sekolah itu bukan soal tamatnya, tapi persiapan apa yang dibawa ketika tamat.” – Kemas Arsyad Somad 103


Pada tahun 1960-1961, adalah tahun terakhir bagi Kemas Arsyad Somad di Sekolah Rakyat (SR). Bertahun-tahun mengenyam pendidikan dan berpindah-pindah tempat sekolah, akhirnya sampailah pada ujian akhir yang menentukan kelulusannya. Pada waktu itu ujian akhir dilaksanakan di SMP 2. Dengan perjuangan dan kerja keras, akhirnya Kemas Arsyad Somad pun mampu lulus dengan predikat yang memuaskan. Baba, Emak, abang-abang dan ayuk-ayuknya mengucapkan selamat secara langsung dan tak langsung. Yang jauh dirantau, mendoakan. Yang dekat di Kampung Halaman, memeluk Arsyad. Setelah lulus SR, anak-anak di Seberang berbondong-bondong atau beramai-ramai melanjutkan sekolah ke SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama). Karena melihat kawan-kawannya yang begitu ramai, Kemas Arsyad Somad pun akhirnya mengikuti langkah pendidikan yang diambil kawan-kawannya. Itulah alasan sederhana bagi anak-anak ketika hendak melanjutkan sekolah. Yaitu melihat kawan-kawan. Bangsak Razak sepakat Arsyad melanjutkan di SMEP yang pada waktu itu lokasinya di UNJA Pasar dan kembali tinggal bersama Bangsak. Abangabang dan ayuk-ayuknya yang lain juga setuju Arsyad melanjutkan di SMEP. Arsyad pun melanjutkan sekolah dengan semangat dan motivasi yang lebih besar dari sebelumnya. Di SMEP Arsyad menjadi primadona, baik pada kalangan guru hingga kawan-kawannya. Dari sekian banyak kawankawannya di SMEP, Arsyad mendapat satu kawan akrab lagi, namanya Hatta. Hatta tidak sekolah di SMEP, tapi di SMP Dua. Mereka bisa menjadi akrab karena ketika berangkat dan pulang sekolah, selalu berdua. Berpisah ketika sampai di sekolah, dan bertemu lagi ketika pulang dalam perjalanan ke rumah. Dalam perjalanan pergi dan pulang itulah dua orang anak yang mulai beranjak remaja ini membangun chemistry. Kerinduan pada Bambang mulai menghilang. Bahkan wajahnya pun mulai samar dalam ingatan Arsyad. 104


Membentuk Tim Wisnu FC “Hidup adalah permainan, makan mainkanlah laga demi laga dengan baik agar keluar sebagai pemenang.” – Kemas Arsyad Somad 105


Setelah tiga bulan sekolah di SMEP, Bang Kemas Saleh mengirimi Baba dan Emak surat. Waktu itu Bang Kemas Saleh sedang kuliah di UI (Universitas Indonesia). Isi surat itu Bang Saleh menyuruh Arsyad untuk pindah ke SMP 3. Alasan Bang Saleh, SMEP itu bukan negeri dan lokasinya terlalu sempit. Arsyad yang memang belum terlalu mengerti, Baba, Emak dan keluarga juga pun setuju, mereka ikut saja arahan dari Bang Saleh, pindahlah Arsyad ke SMP 3 diurus oleh Raden Bujang Hasan. Waktu itu SMP 3 baru berdiri, kepala sekolahnya Ibu Aminah. Lanjut sekolah di Jambi, berarti Arsyad juga akan melanjutkan memancing dan main bola. Dari dua aktivitas itu, tampaknya bermain bola lebih mengasyikkan bagi Arsyad. Alkisah, ketika Arsyad sedang candu-candunya main bola, ia ditolak untuk ikut berkompetisi. Alasan mereka Arsyad telalu kecil. Kecil umurnya, kecil badannya. Dalam hatinya menyimpan kesal. “belum tau bae orang tu skill sayo.” Karena yakin dan percaya akan kehebatannya, Arsyad membentuk tim sepak bola. Kalau secara invidu tidak bisa ikut main, ia coba membentuk tim. Mudah-mudahan bisa ikut kompetisi. Anggota tim itu tergabung anakanak yang seumuran dengannya. Kalau pun ada yang lebih tua, tidak jauhjaut amat umurnya. Nama tim yang dibentuk Arsyad adalah “Wisnu”. Nama itu dibuat tanpa perencanaan. Ide penamaannya muncul seketika. Ketika masih kecil, mungkin sekira Arsyad berada di kelas satu atau dua SR, ia sering mendengar kisah kehebatan Dewa Siwa dan Wisnu. Dewa Wisnu ibarat seorang pendekar yang tak terkalahkan. Bahkan keturunan-keturunannya pun menjadi anakanak yang tak terkalahkan dalam perang. Secara sederhana, Arsyad ingin timnya menjadi kuat seperti tim Dewa Wisnu. Benar prediksi Arsyad, karena sudah ada tim sepak bola, Klub Wisnu diizinkan untuk mengikuti lomba. Laga dimulai, pertandingan sangat sengit, Arsyad berlari mengejar bola, bahkan tak ada bola pun Asyad berlari. Pokoknya berlari. Kadang jadi bek, kadang bermain di posisi sayap, terkadang 106


di depan jadi striker, kadang juga menjadi pelatih yang ikut bermain dalam lapangan. Satu-satunya klub di dunia ini yang pelatihnya ikut main cuma Wisnu Football Club. Tak bertahan lama, karena musuh terlalu kuat, pertahanan Wisnu FC porak-poranda, luluh-lantak, melintang-pukang, jungkir-balik dan terjerembab dalam kekalahan. Meski begitu, semua penonton memberi standing ovation. Tidak satupun yang mencemooh. Andai saja tim pencari bakat Chelsea FC hadir, besar kemungkinan Arsyad dan kawan-kawan diajak latihan ke Inggris. Setelah kekalahan hari itu, Arsyad tidak mau larut dalam kesedihan. Ia mengajak perwakilan dari beberapa pemain Wisnu FC. Mereka adalah Ilyas, Usman, Lukman, Saifudin, Hakim dan lain-lain untuk mengadakan rapat tertutup. Dalam rapat itu Arsyad mengajak kawan-kawannya untuk membentuk tim lagi. Namun kali ini bukan tim sepak bola, tapi badminton. Orang seberang menyebutnya “Bulu Tangkis”. Terbentuklah Tim Badminton tanpa nama. Waktu itu orang-orang dewasa dan tua menyebutnya tim “budak-budak”. Ketuanya Kemas Arsyad Somad. Mereka diizinkan untuk ikut bertanding, tapi jalur perorangan. Laga demi laga dimainkan, semuanya kalah. Kalah telak. Yang tak paham dengan filosofi perjuangan, meledek, mengejek dan mengolok-olok. Tapi yang mengerti dan kenal dengan Arsyad, sudah tak heran. Karena memang Arsyad dikenal sebagai seorang anak yang gigih dan berdedikasi tinggi serta tidak mudah mengeluh. Bagi Arsyad, memancing, main bola kaki, badminton dan olah raga lainnya merupakan aktivitas yang tidak boleh absen. Meski begitu, menuntut ilmu tetaplah nomor satu. Ia rajin berangkat ke sekolah, belajar membaca dan mengaji dengan Guru Ibrahim. Tiba masanya ujian sekolah kenaikan kelas dua, Arsyad keluar sebagai juara kelas lagi. Arsyad naik ke kelas dua SMP. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setelah kenaikan kelas semua sekolah diliburkan untuk beberapa waktu. Termasuk sekolah Arsyad. menyambut musim liburan, Arsyad telah menyusun banyak rencana. Mulai dari jadwal memancing, metet burung dengan Sargawi, mengaktifkan kembali Wisnu FC, memotivasi tim badminton, dan agenda-agenda lainnya. Dalam kamar, ketika sedang fokus menyusun rundown kegiatan 107


liburnya, ia mendengar suara heboh di ruang tamu. Kemudian terdengar suara Emak memanggil namanya; “Arsyad... ado Hasan datang dari Lumajang”. Pekik Emak dari ruang tamu. Arsyad bergegas keluar kamar dan langsung menemui Kemas Hasan. Mereka berpelukan, sambil saling memuji, sesekali sama-sama mengejek. “Ai Pak Udo, tambah itam bae kulo tengok” “Kau jugo” “Tapi manis kan?”. Kata Kemas Hasan. Kemas Hasan adalah keponakan bagi Arsyad, umurnya sedikit lebih tua. Kemas Hasan adalah anak dari Bangsak Abdul Razak. Beberapa hari Hasan di Jambi, ia melihat paman kecilnya itu tiap hari main bola kaki, bandminton, mancing dan metet burung. Hasan bicara dengan datuk dan nyainya agar Arsyad pindah lagi sekolah ke Lumajang. “Tuk, kulo tengok Pak Udo di Seberang ko main bola be gawenyo, macampundi kalu milu kulo be ke Lumajang, pindah SMP di niku?” “Elok go San, cubo kelagi tanyo samo Pakngah Ali”. Jawab Nyai. Emak Arsyad. Setelah percakapan itu, Hasan bicara lagi dengan pamannya, Kemas Muhammad Ali. Ternyata, pamannya juga merasakan hal yang sama dengan Hasan. Ia sepakat agar Arsyad kembali lagi ke Lumajang dan lanjut SMP, SMA dan Kuliah di sana. Di sela-sela makan malam keluarga, niat dan rencana itu lalu disampaikanlah kepada Arsyad. Mendengar rencana itu, Arsyad yang sedang mengunyah nasi, bingung mengatur tempo kapan waktunya nasi itu akan ditelan. Setelah nasi yang dikunyah sudah sangat larut, barulah ia telan. Kebingungan berikutnya, Arsyad ragu ketika hendak menyuap nasi ke mulut. Hal itu terjadi karena hati, pikiran, fisik dan ruh Arsyad sedang berembuk. Kata hati, “memang harusnyo berangkat ke Lumajang, biak fokus belajar dan menggapai cito-cito”. Pikirannya menjawab, “tapi cemano dengan rencana-rencana yang sudah kito susun?”. Fisik pula yang berkata, “iyo, sayo jugo sudah siap menjebol gawang lawan”. Ruh Arsyad coba mengetengahi, “Sudah, jangan begaduh, anggap bae ke Lumajang sebagai ajang latihan, biak besok pas balek lagi ke Jambi sudah padek nian bola. Lagian kan di Lumajang tetap biso main bola dan lain-lain”. 108


Tiba-tiba nasi dalam piring Arsyad sudah habis. Tak jadi nambah. Langsung minum, habis segelas besar. Emak, Baba dan keluarga saling toleh. Baba senyum, Emak tertawa melihat Arsyad. Arsyad kalah banyak. Kalah voting, kalah argument, dalilnya lemah dan mudah dipatahkan. Tak berkutik sama-sekali. Ia pun menyetujui saran Kemas Hasan dan Bang Ali. Apalagi saran itu dikuatkan oleh Baba dan Emak. “iyolah Mak, sayo ikut Hasan ke Lumajang”. Game over. Semua rencana dan rundown kegiatan liburan di Jambi, mentah. Tanpa klarifikasi ke semua kawan-kawannya di Wisnu FC, tim badminton dan Sargawi, Arsyad berangkat ke Lumajang. Ia hanya sempat mengabari saja lewat Ilyas, Lukman dan Anwar. “Yas, Man, tolong kasih tau ke yang lain, sayo ke Lumajang. rencana kito tu, aturlah dewek yo. Sampaikan salam sayo ke Hatta”. Begitu pesan singkat Arsyad kepada Ilyas dan Lukman. Tibalah hari keberangkatan ke Lumajang. Arsyad bersalam-salaman dengan Baba, Emak dan keluarga. ia berangkat ke Lumajang dengan Kemas Hasan dan Kemas Fauzi naik Kapal Yudistira. Sementara ayuknya Nyimas Jawahir (Mbok Njang), lebih dulu berangkat ke Lumajang dan menikah dengan Kemas Ilyas (Bangcik). Kemas Ilyas adalah anak dari Kemas Ja’far yang merupakan satu diantara banyak tokoh dan pejuang yang di buang oleh Belanda ke Lumajang tahun 1906. 109


Dengan Kemas Razi, Akrab Sampai Tua “Jika dengan orang lain kita bisa akrab, harusnya juga begitu dengan keluarga.” – Kemas Arsyad Somad 110


Kemas Razi adalah keponakan oleh Arsyad. Meski begitu, umurnya tidak terpaut jauh. Meski begitupu, Kemas Razi memanggilnya Pak Udo. Bagi Kemas Razi, Arsyad adalah pamannya yang selalu dihormati dan patuhi walaupun umurnya tidak terlalu jauh. Ibu Kemas Razi adalah Nyimas Maryam. Ayuk Arsyad yang kelima. Sebelum berangkat ke Lumajang untuk yang kesekian-kalinya, Arsyad banyak menghabiskan waktu bermain dengan Kemas Razi. Mereka berdua beramain bersama dari kecil. Bahkan setelah Arsyad menyelesaikan sekolahnya di Lumajang sekira kurang lebih sepuluh tahun, Arsyad dan Razi tetap akrab hingga tua dan mengabdi untuk negeri Jambi secara bersamasama. Kemana Arsyad pergi, Kemas razi selalu ikut menemaninya. *** Dr. Kemas Arsyad Somad, MH bercerita ketika mereka berdua samasama baru berkeluarga mengajak Kemas Razi pergi berkeliling ke banyak tempat. Mereka juga pernah berangkat ke Singapura. Di sana, Kemas Arsyad mengajak Kemas Razi berkeliling Kota Singa dan mengajaknya ke tempat yang dulu pernah ia tinggali sewaktu masih bujang. Kemas Arsyad paling senang mengajak Kemas Razi, karena Kemas Razi tidak mudah tersinggung dengan gurauan-gurauan Kemas Arsyad. Kemas Razi memiliki pribadi yang humoris, jujur, tahan mengemudikan mobil lintas Provinsi, cepat memahami dan tentunya penurut. Oleh karena itulah, mereka berdua selalu akur sejak kecil sampai tua. Kemas Razi dan Kemas Arsyad memiliki hobi yang sama, yaitu sama-sama hobi travelling. Ke mana saja dan wisata kuliner., 111


Cincin Baba “Apa pun alasannya, jika bukan milik kita, jangan diambil.” – Kemas Arsyad Somad 112


Sebelum berangkat ke Lumajang yang kedua-kalinya, Arsyad melihat ada cincin Babanya di atas meja makan, melihat itu, seolah Arsyad sedang melihat harta karun. Hatinya berdebar, jiwanya meronta, macam Frodo Baggims melihat cincin keramat dalam film “Lord of The Rings”. Dalam film itu dikisahkan siapa saja yang melihat cincin itu, pasti langsung ingin memiliki. Itulah yang dirasa oleh Arsyad remaja. Arsyad memberanikan diri untuk mengambil cincin milik Babanya. Meskipun kebesaran di jarinya, Arsyad tidak kehabisan akal. Pikirnya, “Sayo ambek cincin ni, kalu longgar, ikat be pakai tali, atau sempal pakek gabus, biak pas di jari”. Waktu keberangkatan pun tiba. Kemas Arsyad, Kemas Hasan, Kemas Fauzi dan Nyimas Jawahir berangkat ke kapal diantar oleh Baba, Emak dan keluarga. “Cicin Lord of The Rings”nya di simpan dalam tas. Dalam itu jugalah diletakkan duit sangu dari Emaknya. Setelah di kapal, Arsyad, Kemas Hasan dan Kemas Fauzi menikmati perjalanan dan keindahan laut Indonesia. Setibanya di Jakarta, tas Arsyad raib entah kemana. Hilanglah tas yang berisi cincin Lord of The Rings tersebut. Arsyad merasa kesal bukan main tapi tidak tau harus marah ke siapa. Perjalanan disambung naik kereta api. Alhamdulilah ketika di kereta api, tas Arsyad ditemukan, hanya saja, uang dan cincin Lord of The Ringsnya sudah tidak ada. Dalam hatinya, Arsyad menyumpah. Bersusah payah mendapatkannya, malah hilang entah kemana. Yang ada hanya pakaian. Tapi ia sadar, “jika bukan miliknya, maka jangan harap Allah berpihak kepadanya”. Arsyad mengikhlaskan. Perjalanan berlanjut dan akhirnya tiba lah di Surabaya, kemudian lanjut lagi ke Lumajang naik Bus. Kali ini, di Lumajang Arsyad remaja tidak lagi tinggal di rumah Pakte Razak. Tapi dirumah ayuknya Nyimas Jamahir (Mbok Njang) dan suaminya Kemas Ilyas (Bangcik). Pakte Razak sebenarnya sangat ingin Arsyad tinggal lagi bersamanya, tapi Arsyad merasa lebih dekat dengan ayuknya, Nyimas Jawahir. Di Lumajang, Nyimas Jawahir menjadi “Emaknya”. 113


Meski begitu, Arsyad tetap selalu berkumpul dan bertemu dengan saudara-saudaranya anak-anak dari Hasan Kasim, yaitu Syaiful dan Intyzam. Selain anak-anak dari Hasan Kasim, Arsyad juga sering bersilaturahim dengan keluarga lainnya seperti Hajar (Jangmuk), Kemas Abdurrahman (Jangsak), Kemas Saleh (Jangitam), Arifin, Efendi, Lok Mukhtar, Pendi Salman, Abdurrahman dan Saleh Marzuq. Mbok Njang adalah panggilan akrab Arsyad kepada Nyimas Jawahir. Sama dengan dirasakan oleh Arsyad, Mbok Njang juga merasakan hal yang sama. Ia ingin Arsyad tinggal bersamanya. Karena ini merupakan kali pertama Mbok Njang tinggal di Lumajang, tentu belum ada kawan bicara. Dengan Arsyad tinggal bersamanya, Mbok Njang merasa senang. Apalagi sumainya Kemas Ilyas sudah pergi bekerja dari pagi hingga sore hari, kadang malam hari. Ketika masih SR, pengganti Emak yang mengasuh dan menjaganya adalah Bite Timah, istri Pakte Razak. Bite Timah meminta Arsyad untuk tinggal lagi bersama mereka, tapi karena Mbok Njang masih baru, dan secara emosional Arsyad juga lebih dekat Mbok Njang, ia meminta izin kepada Bite Timah untuk tinggal bersama Mbok Njang dan Bangcik. Bite dan Pakte memaklumi dan mengizinkannya. Kini, Mbok Njang menggantikan posisi Bite untuk menjaga Arsyad yang sudah mulai remaja dan menjadi kawan bermain. Bahkan terkadang saking akrabnya, mereka bermain kejar-kejaran karena Arsyad sering usil dan mengganggu Ayuknya itu. 114


Lumajang Jilid Dua “Hanya orang-orang yang lemah yang tidak bisa merasakan nikmatnya merantau.” – Kemas Arsyad Somad 115


Bangcik Ilyas sangat ingin Arsyad sekolah di SMP negeri. Namun karena terlambat tiba di Lumajang, Arsyad tidak bisa lagi mendaftarkan diri di SMP Negeri tersebut. Oleh karena Bangcik Ilyas ingin Arsyad sekolah di SMP Negeri, Arsyad kemudian didaftarkan di SMP Negeri di Kecamatan Tempeh, kilo meter 11. Naik sepeda dulu ke terminal, lalu lanjut naik oplet menuju sekolah. Kali ini, Arsyad tidak butuh lama untuk beradaptasi, karena memang ia sudah pernah empat tahun di Lumajang. Di SMP Tempeh, Arsyad yang memang seorang anak dengan pribadi yang menyenangkan, ia tidak sulit menemukan kawan akrab. Di Tempeh ia memiliki kawan arkab, namanya Widodo, anak pak Irawan, Kepala Sekolah SMP 3. Dengan Widodo, Arsyad seperti mengenang kembali masa-masanya berkawan dengan Anang. Widodo dan Anang memiliki kesamaan dalam hal belajar. Sama-sama rajin, disiplin, tak suka main bola dan tidak hobi mancing. Apalagi metet burung. Kurang lebih empat bulan Arsyad menempuh jarak yang lumayan jauh dari rumah Mbok Njang ke Tempeh. Karena jarak tempuh seperti itu, terkadang ia terlambat datang ke sekolah, meski guru-gurunya memaklumi, tapi ia merasa rugi. Setidaknya, ada ilmu yang ketinggalan. Dengan alasan itulah, ia meminta izin kepada Mbok Njang untuk menyewa atau ngekos yang dekat dengan sekolahan. Meski berat, Mbok Njang mengizinkan, karena sebenarnya ia juga kasihan melihat Arsyad menempuh jarak jauh ke sekolahannya. Selama ngekos di Tempeh, setiap hari minggu ia pulang ke rumah Mbok Njang naik sepeda. Kalau sedang malas, ia naik oplet, kadang juga naik kereta api. Arsyad senang di Tempeh, karena ternyata tidak jauh dari kosannya, ada lapangan bola. Hari pertama, ia menonton saja. Hari kedua masih menonton dan mengamati. Hari ketiga mulai mendekati para pemuda. Sesekali purapura bertanya. Pertanyaannya tak penting bagi para pemuda itu. Mereka tak menyadari bahwa itu merupakan trik dan strategi Arsyad. Hari keempat, bukan lagi Arsyad yang bertanya, malah ia yang ditanya, 116


“bisa main bola?”. Bagi Arsyad, pertanyaan ini ibarat seorang musafir di gurun pasir yang ditawari minum. Tidak mungkin ia tolak. Meski begitu, Arsyad tidak ceroboh. Ia tetap berhati-hati dalam menjawab. Ibarat Harimau yang menyembunyikan kuku. Ketika ada mangsa, koyak-mengoyaklah mangsa itu. Arsyad menjawab, “di Jambi, saya sering main”. Mendengar jawaban itu, para pemuda di Tempeh meminta Arsyad untuk datang besok sore. “besok sore datang, bawa sepatu”. Ia senang mendapat ajakan itu. Andai saja waktu itu sudah ada whatsApp, pasti sudah di wa nya Ilyas dan Lukman. Sambil mengirimkan poto selfie membelakang orang-orang Tempeh main bola. Memang, jadwal main bolanya tidak sepadat ketika di Jambi. Karena Arsyad tau persaingan belajar di sekolah sangat ketat. Ia tidak boleh kalah dengan siswa-siswa lainnya. Apalagi ia sadar bahwa Baba dan Emak sangat mengharapkan kelak ia menjadi generasi penerus perjuangan pendidikan Baba dan para tokoh di Jambi. Di Lumajang, Arsyad tetap bisa main bola. Setidaknya, candu bermain bola tidak menumpuk. Tidak hanya itu, kenangan dan kerinduannya metet burung dan menyusuri tepian sungai masang tajur dan mancing betok bersama Sargawi juga bisa terobati. Karena di Tempeh ia juga sering melakukan aktivitas yang mirip dengan itu. Bedanya, kalau di Jambi ia menyusuri sungai, di Tempeh ia terjun ke laut dan bermain bersama ombak Laut Selatan. Tidak terlintas rasa takut sama-sekali. Rupanya, Mbok Njang tidak kuat dan tak tega mengingat Arsyad sendirian di Tempeh. Ia mengajak Bangcik untuk melihat tempat tinggal Arsyad di Tempeh. Setelah melihat tempat tinggalnya, Mbok Njang semakin sedih. Ia lalu mengajak Arsyad untuk kembali tinggal bersama mereka di Lumajang. Arsyad pun bersedia. Setiap harinya, Arsyad berangkat ke Tempeh dengan mengayuh sepeda kurang lebih sejauh 11 km. Oleh karena sudah setiap hari berulang dari Lumajang ke Tempeh menggunakan sepeda, Arsyad merasa perjalanan tidak sejauh ketika pertama-kali. Sekarang ia lebih menikmati perjalanan dan mengatur waktu yang tepat untuk berangkat agar tidak terlambat ke sekolah. 117


Lulus SMP 3 Tempeh, dan Lanjut SMA di Lumajang “Untuk menghasilkan buah manis dan segar, seorang petani harus tahan terhadap teriknya matahari siang.” – Kemas Arsyad Somad 118


Di SMP 3 Lumajang, Arsyad langsung masuk kelas dua. Kelas satunya di Jambi. Dua tahun berselang, Arsyad tamat SMP 3 Tempeh. Pihak keluarga, terutama Mbok Njang dan Pakte Razak saling memberi kabar dan berita. Termasuk kabar tentang kelulusan Arsyad dan rencana untuk melanjutkan ke SMA. Mereka berdua ingin Arsyad melanjutkan SMA tetap di Lumajang. Tidak se-alot pembicaraan ketika hendak pindah dari SMP di Jambi ke Lumajang, kali ini lebih mudah. Baba, Emak dan keluarga ikut saja. Arsyad pun setuju melanjutkan SMA di Lumajang. Lokasi SMA yang rencananya Arsyad akan sekolah tidak terlalu jauh dari rumah Pakkte Razak dan Mbok Njang. Karena dekat, ia berangkat sendiri untuk mendaftar. Pada waktu itu, pihak sekolah meminta Arsyad untuk mengisi formulir identitas. Ketika pada kolom tempat tanggal lahir, Arsyad bingung, karena tidak tau tanggal, bulan dan tahun berapa ia lahir. Tidak ada waktu lagi untuk menghubungi Baba, Emak, Mbok Njang atau Pakte Razak. Karena Arsyad tidak begitu paham kapan ia lahir, Ia hanya mengirangira saja, lalu dibuatnya lah lahir tanggal 12 bulan April tahun 1947. Sampai sekarang, itulah tanggal bulan dan tahun yang resmi tercantum dalam KTP. Aslinya, ia lahir pada tahun 1945. Sekira tahun 1962-1963 Arsyad terdaftar di SMA Negeri di Lumajang. Di sekolah, ia sudah seperti anak-anak Jawa. Semua adat-istiadat, bahasa dan tabiat kawan-kawannya, Arsyad paham. Baginya, Lumajang sudah seperti tempat lahir. Semua unsur alam dan kehidupan yang ada di Lumajang, telah menyatu dalam dirinya. Namun begitu, ia tidak bisa menolak kehadiran rindu dalam dada. Rindu Baba, Emak, keluarga dan kawan-kawan. Semakin lama Arsyad di Lumajang, semakin dalam pula rasa rindunya. Jika malam tiba, riak-riak rindu mulai mendatanginya. Dari sekian banyak persoalan, hanya rasa rindu yang sulit diatasinya. Paling-paling ia hanya bisa menghibur diri dengan kalimat, “ini adalah perjuangan. Kuat bertahan, dan rapi dalam serangan, insya Allah menang”. 119


Di SMA, Arsyad mulai mengepakkan sayap. Ia mulai aktif berogranisasi bersama kawan akrabnya Abdul Atiq Z yang sering disapa Atiq. Bersama Atiq dan kawan-kawannya yang lain, Arsyad belajar dan tumbuh menjadi aktivis. Sebenarnya, berorganisasi bukan hal yang baru dalam keluarganya. Karena dari kecil, ia sering melihat Babanya melakukan aktivitas-aktivitas organisasi. Darah aktivis memang sudah melekat dalam jiwanya. Melalui sekolah SMA itulah Arsyad banyak berkawan dengan lintas suku, organisasi dan lain-lain. Kawan-kawannya di SMA waktu itu mengajak Arsyad untuk bergabung dengan PII (Pelajar Islam Indonesia). Arsyad tertarik dan ikut bergabung dengan PII. Ia mulai aktif di berbagai kegiatan, baik kegiatann sosial dan keagamaan. Hanya saja, ketika ia mengikuti kegiatan keagamaan, Arsyad merasa ada ketidak-nyaNawawi dalam hati, karena kawan-kawannya yang aktif di PII merupakan kader-kader organisasi Muhammadiyah. Sementara Arsyad, merupakan anak seorang pendiri Nahdhatul Ulama Provinsi Jambi, KH. Kemas Abdussomad. Tapi ia tetap aktif dan menebar maslahat. Dalam waktu yang sama, Arsyad diajak bergambung pula dengan organisasi lain. Yaitu IPNU (Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama) di Lumajang. Sebelum bergabung dengan IPNU, Arsyad mempelajari dan mengikuti banyak kegiatan yang diadakan oleh IPNU di SMA nya. Beberapa bulan mengikuti kegiatan di IPNU, ia pun bergabung dengan IPNU yang lebih cocok dengan budaya, cara, praktik ibadah dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya yang selama ini ia rasakan bersama Babanya. Oleh karena itu, Arsyad pun pindah ke IPNU. 120


Menjadi Ketua IPNU “Proses pendidikan itu tak cukup hanya dengan buku, tapi juga harus ditambah dengan pengalaman lainnya.” – Kemas Arsyad Somad 121


Di SMA Negeri Lumajang, Arsyad menjadi murid idola, pribadinya luwes dan disukai semua guru dan kawan-kawannya. Bahasa Jawanya pun sudah fasih. Waktu itu, kalau Arsyad bicara menggunakan bahasa Jawa, macam bukan orang Jambi Seberang. Dengan begitu, ia bisa berkomunikasi dengan kawan-kawannya yang memang mayoritas bukan orang Sumatera. Selain memang Arsyad merupakan seorang anak remaja yang pandai berkawan, ia juga murid yang cerdas dan berprestasi di sekolah. Wajar jika guru-guru pun menyukainya. Naik kelas dua SMA, Arsyad terpilih menjadi ketua IPNU. Calon-calon lainnya mungkin juga pintar secara akademis di sekolah, tapi Arsyad tidak hanya pintar dan cerdas, mengikuti berbagai lomba cerdas cermat, tapi ia juga aktif mengikuti berbagai perlombaan lain, seperti sepak bola, badminton, volley dan olah raga lainnya. Dari sekian banyak kawan-kawannya yang juga hebat bermain bola kaki dan olah raga lainnya, tapi hanya Arsyad yang pernah mendirikan klub sepak bola “Wisnu FC” dan tim badminton tanpa nama. Tidak hanya itu, Arsyad juga satu-satunya murid yang orang tuanya paling jauh. Saking jauhnya, kawan-kawan di SMA tidak tau Jambi itu berada di mana. Satu lagi, dalam bab rindu, bisa jadi Arsyad juga merupakan satu-satunya murid yang paling kuat menahan rindu. Dengan begitu, wajar ketika pemilihan ketua IPNU, Arsyad mendapatkan suara terbanyak. Guru-guru sepakat, kawan-kawan mendukung dan alam meng-aminkan. Sepak terjang perjalanan organisasinya sedang dimulai. Di sekolah, Arsyad lah Bung Karno-nya. Selama menjadi ketua IPNU, telah banyak kegiatan-kegiatan yang Arsyad ikuti. Mulai dari yang bersifat lokal Kabupaten, Kota dan Provinsi. Satu diantara banyak kegiatan yang diikutinya, Arsyad diundang dalam kongkres ke 6 IPNU di Surabaya. Setelah acara kongres selesai, Arsyad menyempatkan waktu ke Jogja untuk bersilaturahmi menemui ketua Pengurus Pusat IPNU, Asnawi Latif. Kerena saat itu kantor PP NU berpusat di Jogjakarta. Setelah beberapa tahun kemudian kantor pusat pindah ke Jakarta setelah situasi tenang dan aman. 122


Tahun 1965 Terpilih Menjadi Ketua KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) “Banyak hal yang sepertinya tidak mungkin. Namun bagi para penggerak perjuangan, semua hal bisa terjadi melalui aksi.” – Kemas Arsyad Somad 123


Karena kiprahnya dinilai sangat baik, kelas 3 SMA pada era reformasi, Orde Baru, ia juga dipilih menjadi ketua KAPPI. Anggotanya terdiri dari berbagai elemen, tidak hanya sesama pelajar, tapi juga mahasiswa. Arsyad mulai dikenal karena ia sering melakukan orasi-orasi publik dan safari ke daerahdaerah lainnya untuk membentuk KAPPI. Mobilitasnya bergerak bebas dan luas. Ditambah lagi, Pakciknya yang bernama Kasim waktu itu memiliki motor Vespa, Arsyad dipinjami motor itu untuk pergi berkeliling mencari pengalaman dan berorganisasi. Disaat masih SMA, Arsyad telah dipercaya menjadi ketua IPNU dan KAPPI pada waktu yang bersamaan. Ia sering diundang untuk berpidato pada acara-acara NU, dan memberikan pelatihan-pelatihan keorganisasian kepada para pelajar. Meski tidak lagi di PII, Arsyad tetap dekat dengan PII. Bahkan pada acara-acara gabungan PII dan IPNU, ia sering dimintai untuk menjadi pembicara dan tutor. IPNU dan KAPPI merupakan wadah pertama melatih kemampuan Arsyad menjadi seorang pemimpin. Arsyad benar-benar menjadi titisan dan penerus akselerasi Babanya, KH. Kemas Abdussomad. Sibuk berorganisasi, membuat Arsyad lupa bagaimana caranya menangkap anak katak. Kawan-kawan dan keluarga anak katak di Jambi yang dulu sering Arsyad tangkap mungkin telah bertemu Tuhan. Kalau pun ada yang masih hidup, pasti sudah pikun. Disuguhkan ke hadapan gabus, gabus tak berselera lagi. Burung-burung Tengkek remaja yang dulu lolos dari bidikan Arsyad dan Sargawi, sekarang pasti sedang duduk di kursi roda sambil membacakan kisah kepada anak-cucunya tentang sejarahnya yang lolos dari maut. *** Dari Lumajang, Arsyad mendengar kabar bahwa Anang sudah mulai dipercaya menjadi guru. Anang melanjutkan sekolah di pesantren. Sambil belajar, ia juga mengajar adik-adik kelasnya. Samalah dengan Arsyad, juga 124


mengajarkan kepada adik-adik kelas tentang keorganisasian. Ilyas dan Lukman masih aktif bermain bola. Tapi tidak lagi di klub Wisnu Fc. Hatta juga begitu, ia lanjut ke SMEA. Menjadi primadona gadisgadis remaja karena memiliki perawakan yang rapi. Sargawi juga begitu. Lanjut di SMEA. Sambil sesekali membantu ayahnya di kebun dan ke sawah. Sargawi dulu gemuk, tapi mungkin sekarang tidak lagi. Begitulah kenang Arsyad jika malam tiba. Sambil memejamkan mata membayangkan wajah-wajah sahabat-sahabatnya di Jambi. 125


Membuat Gerakan “Perubahan tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri, ia harus dikawal.” – Kemas Arsyad Somad 126


Pada tahun 1965, Arsyad yang pada waktu itu masih kelas 3 SMA benarbenar menjelma menjadi seorang aktivis dan orator ulung. Jika ada persoalan yang terkait dengan politik dan kebangsaan, nama yang muncul dari mulut kawan-kawannya hanya Kemas Arsyad Somad. Menjadi ketua KAPPI dan IPNU, Arsyad ikut dalam gerakan besar pertama yang dipelopori oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI, yang selanjutnya bergabung juga KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia) dan KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia). Gerakan itu diberi nama Tri Tuntutan Rakyat atau yang dikenal dengan Tritura. Dalam aksi ini mereka menuntut pembubaran PKI, perombakan kabinet Dwikora, dan menuntut untuk menurunkan harga pangan. Sebelum melakukan aksi besar di ibukota, pagi itu, Arsyad mengumpulkan kawan-kawannya sesama aktivis untuk melakukan demo di kantor Bupati Lumajang. Semua surat-surat dan perizinan telah dikirimkan kepada pihak-pihak terkait. Masyarakat pun sudah mengetahui informasi ini, begitu juga dengan media-media lokal. Para wartawan sudah mendapat bocoran siapa tokoh muda yang akan berorasi. Burung membawa kabar bahwa tokoh muda itu berasal dari Jambi Seberang. Namanya Kemas Arsyad Somad. Andai burung-burung itu tau kalau dulu Arsyad pernah memburu sanak keluarganya, pasti mereka menolak membawa kabar. Tiga hari sebelum hari H, Arsyad dipanggil untuk menghadap ketuaketua NU kecamatan dan para senior-seniornya yang mendukung aksi demo tersebut. Pemanggilan itu terkait kabar bahwa Arsyad mendapatkan banyak tekanan dari berbagai pihak yang tidak sejutu dengan aksi demo tersebut, termasuk dalam internal organisasi juga, dan meminta Arsyad untuk membatalkan demo. Oleh karenanya, para ketua-ketua NU dan seniornya, berubah pikiran. Mereka melakukan rapat dadakan yang memutuskan bahwa aksi demo di kantor Bupati Lumajang harus dibatalkan demi kemaslahatan bersama. Namun begitu, Arsyad tetap ikut dalam asksi demo gabungan yang 127


dilaksanakan di Ibukota pada tanggal 12 Januari 1966. Mbok Njang dan Pakte Razak lega mendengar kabar demo dibatalkan. Bukan karena mereka mendukung ketidak-adilan, atau tidak sepakat dengan kegiatan demo yang menyuarakan hak-hak rakyat, tapi lebih kepada kekhawatirannya akan keselamatan adik dan keponakannya itu. Apalagi Arsyad masih SMA. Meski bermental baja dan tangguh, Pakte Razak merasa keponakannya belum sepenuhnya kuat. Arsyad, yang memang pada waktu itu masih SMA, tidak luput juga dari rasa takut dan khawatir. Ia pun mengikuti saran para seniornya untuk membatalkan aksi demo. Sebelum surat edaran dan pengumuman pembatalan demo dilayangkan, Arsyad dijemput oleh Komandan Kodim menggunakan mobil tentara dan ditemani oleh sahabatnya yang bernama Ismu Handoko. Sementara kawan-kawannya yang lain telah hilang entah ke mana. Dalam takut, Arsyad berani. Pikirnya, ia tak sendiri. Setibanya di kantor Kodim, Arsyad diintrogasi dan dimintai keterangan terkait rencana aksi demo. Sementara Handoko menunggu di luar. Setelah dua jam lebih dimintai keterangan, akhirnya Arsyad dan Handoko dilepaskan, tidak ditangkap. Karena memang sebelum dijemput, Arsyad telah lebih dulu dipanggil oleh ketua-ketua NU untuk membatalkan demo. Hal tersebut telah ia sampaikan kepada para tentara yang mengintrogasinya. Keesokan harinya, Arsyad dan kawan-kawan yang masih tersisa membuat surat dan pengumuman resmi ke media-media yang menyatakan bahwa demo dibatalkan. Meski batal, nama Arsyad sudah dikenal oleh masyarakat dan para aktivis. Namanya telah ditulis dalam koran-koran lokal. Ada yang memuji keberaniannya, tidak sedikit juga yang membencinya bahkan menganggapnya sebagai musuh. Arsyad khawatir dengan keselamatannya. Di sisi lain, ia juga khawatir hak-hak rakyat dicuri oleh berbagai macam kepentingan pejabat yang tidak bertanggung-jawab. *** Setelah kejadian itu, Arsyad semakin diperhitungkan. Ia sering diminta untuk menghadiri kegiatan-kegiatan yang bersifat keorganisasian. Baik pada tingkat pelajar, mahasiswa dan instansi pemerintah. Pernah satu waktu, Arsyad ditemani oleh dua sahabatnya yang lain bernama Hudori dan David Napitupulu menghadap Pangdam Brawijaya, Mayjend Soenarjadi di Surabaya 128


untuk membicarakan tentang persoalan keaNawawi pasca terjadinya peristiwa G 30 S PKI di Jakarta. Setelah beberapa hari di Surabaya, Arsyad kembali lagi ke Lumajang. Karena ia harus mengikuti proses pendidikan di sekolahnya. Setelah beberapa bulan berlalu, dari Lumajang Arsyad berangkat lagi ke Malang untuk mengikuti Apel Raksasa dengan Menhankam Jendral AH Nasution. Kehadiran Arsyad sebagai ketua KAPPI lumajang dan tidak lagi ditemani oleh kawan-kawannya. Sebagai ketua KAPPI, Arsyad diminta untuk memberikan pendapat dan masukan. Ia berorasi dengan tenang dan runtut dihadapan para peserta dari berbagai elemen masyarakat. Sungguh hal tersebut merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi seorang anak yang masih duduk di bangku SMA. Meski masih SMA, Arsyad paham dan mengetahui kondisi negera pada saat itu. Apalagi setelah bertemu dan mendengarkan langsung pidato Jendral AH. Nasution. Oleh karena itu, setiap kali ada peristiwa dan kegiatan-kegiatan penting, ia selalu datang kerumah ketua PCNU Lumajang, KH. Anas Mahfuz untuk melaporkan perkembangan-perkembangan dan informasi yang baru ia dapat. Terutama pada persoalan yang terkait dengan gerakan G30S PKI. Meskipun sibuk berorganisasi dan kegiatan-kegiatan lainnya, Arsyad tidak lupa dengan tugas-tugasnya sebagai murid SMA. Ia belajar, membaca, menghapal dan mengulang pelajaran sekolah. Bagi Arsyad, tidak ada kegiatan yang nomor dua. Pendidikan di sekolah, organisasi dan bersosialisasi dengan masyarakat, sama-sama nomor satu. Oleh karena itulah, Arsyad tetap bisa mengejar ketertinggalan dalam pelajaran-pelajaran sekolah dengan metode dan caranya sendiri. Alhasil, ujian akhir pun dapat diikuti dengan baik dan lulus SMA dengan nilai yang baik pula. 129


Ikhwan, Sahabat Arsyad yang Tertembak di Bundaran HI “Berharap tidak ada pengorbanan dalam perjuangan, adalah suatu hal yang mustahil.” – Kemas Arsyad Somad 130


Setelah lulus SMA, Arsyad masih di Lumajang. Belum puas menikmati libur setelah kelulusan sekolah, Arsyad mendapat kabar duka, Gunung Agung di Pulau Bali meletus. Sekira pada tahun 1964-1965. Kemas Arsyad Somad adalah seorang pribadi yang memiliki jiwa sosial sangat tinggi. Ia paling tidak bisa melihat dan mendengar kabar tentang kesusahan masyarakat. Jiwanya meronta. Ia harus melakukan sesuatu untuk membantu meringankan duka para korban letusan Gunung Agung. Ia langsung menghubungi kawan-kawannya untuk membantu para korban letusan Gunug Agung. Bersama kawan-kawannya, Arsyad mengkoordinir penggalanan dana untuk membantu para korban. Karena memang relasi dan gerakan Arsyad sangat baik dan militan, alhamdulilah donasi yang didapat pun lumayan banyak. Bahkan pada waktu itu, uang yang dikumpulkan dimasukkan ke dalam karung, dan penuh. Pada waktu yang bersamaan Arsyad juga mendapat undangan menghadiri Kongres dan pelantikan pengurus KAPPI pusat di Senayan, Jakarta. Karena uang donasi telah terkumpul, ia meminta perwakilan untuk segera menyerahkan donasi itu kepada para korban letusan Gunung Agung dengan cara mengirimkannya lewat Pos. Setelah semuanya dikondisikan, barulah ia bersiap untuk berangkat ke Jakarta. Sebelum berangkat, Arsyad mengumpulkan kawan-kawannya anggota KAPPI Lumajang. Mereka berembuk, berunding dan menyusun strategi, lalu ditentukanlah hari, tanggal dan jam berapa mereka akan berangkat ke Jakarta. Arsyad juga berkoordinasi dengan kawan-kawan yang di Surabaya. Ia meminta mereka untuk menunggu, dan berangkat ke Senayan bersamasama. Tiba di Jakarta satu hari sebelum Kongres dimulai, Arsyad numpang meninap di rumah kawannya. Esok harinya, setelah shalat subuh Arsyad dan beberapa kawannya bersiap berangkat ke Senayan. Pukul 07.30 mereka bergerak dari rumah, dan sampai di tempat acara sekira pukul 08.20. 131


Kongres dimulai. Acara berjalan dengan tensi tinggi dan perdebatan sengit. Beberapa perwakilan daerah merasa ada kecurangan terkait penunjukkan dan pemilihan ketua dan pengurus KAPPI pusat. Perdebatan pun tidak bisa dielakkan. Apalagi rata-rata para peserta kongres adalah anak-anak muda yang emosinya sulit dikontrol. Perdebatan tersebut melebar menjadi perkelahian, bahkan pengerusakan fasilitas umum. Dalam keributan tersebut, sahabat Arsyad yang bernama Ikhwan tertembak peluru nyasar pada bagian pinggang sebelah kiri. Ikhwan merupakan kader HMI. Karena kejadian tersebut menyebabkan acara Kongres tidak berjalan dengan baik, dan rencana pelantikan pengurus KAPPI pusat pun batal dilaksanakan. Oleh karena batalnya acara pelantikan tersebut, Arsyad menyempatkan waktu untuk menemui tiga tokoh NU, pertama, Subhan ZE, ketua Komando Aksi Pengganyangan (KAP) yang kemudian menjabat Wakil Ketua MPRS RI di rumahnya yang berada di jalan Banyumas 4, Menteng, kedua, Mahbub Djunaidi (Ketua PB PMII) di rumahnya Jl. Bakti 536 Tebet Timur Jakarta, dan ketiga, Zamroni (Pendiri KAMI) di kantor PBNU, jalan Kramat Raya 164. Ikhwan dilarikan ke rumah sakit dan cepat menerima perawatan medis. Beruntung, alhamdulilah nyawa Ikhwan bisa diselamatkan. Orang indonesia memang selalu beruntung. Andai saja Ikhwan mati tertembak, bisa dipastikan kata “beruntung” tetap akan muncul. “untung hanya satu yang mati”. Kejadian itu membuat kawan-kawan Arsyad ketakutan. Pun begitu dengan Arsyad. Setelah memastikan Ikhwan mendapatkan perawatan medis dan dijaga ketat oleh pihak yang berwajib, Arsyad mengajak beberapa kawannya untuk pergi ke Asrama Jambi dan menginap di sana. Sementara kawan-kawannya yang lain tidak tau lagi ke mana arahnya. Keesokan harinya mereka berpisah, pulang ke rumah masing-masing. Sementara Arsyad langsung berangkat ke Lumajang, ke rumah Mbok Njang dan Bang Cik. 132


Puas Menimba Ilmu dan Pengalaman di Lumajang, Arsyad Pulang ke Jambi “Merantau memang harus, tapi pulang ke tempat kelahiran adalah kewajiban.” – Kemas Arsyad Somad 133


Terhitung selama sepuluh tahun Arsyad di Lumajang. Sekolah Rakyat empat tahun, SMP tiga tahun dan SMA tiga tahun. Di Lumajang ia merasakan ketatnya persaingan belajar, berebut prestasi, berlomba-lomba menjadi juara kelas, aktif bermain bola, bandminton, latihan tinju, melatih fisik dengan ombak Laut Selatan, belajar bahasa Jawa, belajar berorganisasi hingga menembus posisi strategis di IPNU dan KAPPI sebagai ketuanya. Sebenarnya Arsyad belum sepenuhnya puas, ia masih ingin lebih lama di Lumajang. Tapi Baba, Emak dan keluarga meminta Arsyad untuk pulang dulu ke Jambi. Kalau nanti Arsyad ingin berangkat ke Lumajang lagi, keluarganya mengizinkan. Tidak terlalu lelah sepertinya biasanya, perjalanan pulang ke Jambi kali ini terasa biasa saja. Memang lelah, tapi Arsyad bisa lebih menikmati. Satu hari lebih Arsyad di perjalanan, hingga akhirnya ia sampai di tanah kelahirannya, Sepucuk Jambi Sembilan Lurah. Di Jambi, Arsyad tidak mau berlama-lama diam di rumah. Ia mengikuti aktivitas organisasi membantu Babanya dan aktif memberikan pelatihan dan pembekalan keorganisasian bagi generasi Jambi. Terutama bagi kalangan pelajar dan mahasiswa. Pengalaman di Lumajang memudahkan Arsyad untuk mengikuti berbagai macam kegiatan organisasi di Jambi. Banyak para pelajar dan mahasiswa yang terkesan padanya. Namanya kembali menjadi sebutan banyak orang. Hal itu bukan karena nama besar Babanya, tapi murni karena ilmu dan pengalamannya selama sepuluh tahun di tanah Jawa. Dulu, bagi anak-anak Jambi, merantau ke Jawa samalah dengan pergi ke luar negeri. Tidak sedikit dari kalangan murid-murid SMA dan Mahasiswa yang bercitacita ingin menjadi seperti Arsyad. Padahal waktu itu ia baru tamat SMA. Kedisiplinan dan pola hidup yang selama ini ia dapat di Lumajang, kembali ia terapkan di Jambi. Di rumah datuknya, ada beberapa orang keponakan yang tinggal, seperti Rusdi, Sofyan, Fauzi (anak Bang Razak), Fahmi, Usman, Faruk (anak Alm Ali), Razi dan lain-lain. Mereka lah yang menjadi kawan bermain Arsyad selama di rumah. Dengan mereka, Arsyad 134


mulai menerapkan pola hidupnya sewaktu di Lumajang, ia membuat jadwal piket bersih-bersih rumah, mengatur waktu belajar dan jam bermain. Tidak hanya itu, ia juga sering memberi dan membelikan buku bacaan untuk keponakannya yang masih SMP dan SMA. *** Meski telah banyak menimba ilmu dan pengalaman di Tanah Jawa, Arsyad tetap saja merasa kurang. Tahun 1966-1967 ia berniat untuk melanjutkan kuliah. Setelah mencari informasi dan bertanya pada abangabangnya, Arsyad memutuskan untuk mendaftar menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Jambi (UNJA). Proses seleksi masuk ke UNJA tidak begitu sulit bagi seorang Arsyad. Karena memang ia merupakan anak muda yang cerdas dan aktif. Setelah terdaftar menjadi mahasiswa UNJA, Arsyad langsung tancap gas. Semester pertama ia bergabung dengan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Di PMII Arsyad sangat menonjol. Ia selalu tampil dalam memberi masukan, kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan organisasi dan negeri tentunya. Karena sikapnya yang luwes dalam bergaul, kecerdasannya membaca dan mencari solusi dalam setiap persoalan, serta dekat para senior dan dosen, pada semester dua, Arsyad langsung bisa menembus pengurus inti. Tak tanggung-tanggung, ia pun terpilih menjadi ketua PMII UNJA. Beliau juga aktif di PMII Cabang yang waktu itu kantornya berada di samping bekas Bioskop Mega dan tepat di depan Pasar Sitimang. Mengenang kisah bersama PMII kantor Pasar, Arsyad selalu hadir pada setiap kegiatan yang laksanakan oleh PMII. Satu diantara banyak agendanya adalah rapat internal rutin. Arsyad yang tidak mau ketinggalan rapat, sepulangnya ia dari UNJA (masih berlokasi di Pasar), Arsyad mampir ke Masjid Raya-Magatsari untuk shalat zuhur. Setelah shalat, ia pergi ke pasar ikan untuk membeli ikan kesukaan babanya, yaitu ikan Lais dan ikan Bujuk. Setelah mendapat ikan-ikan itu, Arsyad langsung menuju kantor PMII di dekat bekas bioskop mega untuk mengikuti rapat rutin. Sebelum masuk ke ruangan rapat, ikan Lais dan Bujuk diletakkan di luar, tentu pada tempat yang aman. Aman dari jangkaun musuh dan aman dari bau amis. Setelah dirasa aman, Arsyad mengikuti rapat PMII. Bersama PMII Cabang inilah Arsyad mengenal sahabat-sahabatnya yang kelak juga akan menjadi penggerak dan 135


mengabdikan diri untuk negeri. Diantara sahabat-sahabatnya ketika di PMII Cabang adalah Munir, Said Magwi, Rauf Ibrahim, Ishak HT dan Arifin Muhi. *** PMII dibawah kepemimpinannya menjadi sangat diperhitungkan, gerakan-gerakan yang dilakukannya membuat banyak kawan-kawannya terkesima. Tidak berselang lama, pada waktu itu ada pergantian pengurus pada tingkat Cabang. Arsyad muda pun dipilih menjadi wakil sekretaris cabang menggantikan Rofi’i Gazali. Sahabatnya dalam berorganisasi. Karir organisasi Arsyad semakin meningkat, banyak kegiatan telah dilaksanakan dan mendapat perhatian lebih baik dari kawan-kawannya sesama mahasiswa sampai dengan para dosen. Melihat aktif dan bagus kinerjanya, pada tahun berikutnya Arsyad muda terpilih kembali menjadi ketua dewan mahawasiswa dan membentuk KAMI di UNJA. Program pertama Arsyad dan kawan-kawan adalah tour keliling Provinsi Jambi dalam rangka sosialisasi program dan kegiatan. Kehadiran Arsyad semakin memotivasi kawan-kawan yang lain. Banyak yang meniru gaya orasi Arsyad. Yang mereka tak bisa adalah mengatur irama orasi kombinasi bahasa Jambi dan Jawa. Soal kawan-kawannya yang perempuan jangan ditanya, mereka tak hanya terkesima, tapi juga terpikat. Padahal Arsyad tidak ada maksud untuk memikat. Tidak dipikat saja terpikat. Tapi hanya sebatas terpikat. Kawan-kawannya yang perempuan tidak berani beraksi lebih dari itu. Satu, dua orang ada yang mencoba memberi kode, Arsyad pura-pura tak paham. Ternyata, keaktifan Arsyad membuat beberapa dosen merasa khawatir dengan proses akademisnya. Dosen-dosen itu tidak mau Arsyad hanya aktif berorganisasi namun ketinggalan dalam ranah akademis. Karena itulah, dalam kesibukannya berorganisasi, Arsyad dipanggil untuk menghadap Dekan Fakultas Hukum. Pemanggilan itu terkait dengan masa ujian kenaikan tingkat tidak lama lagi. Sementara Arsyad telah ketinggalan beberapa pertemuan kelas. Dekan memberikan nasihat kepada Arsyad untuk segera menyusul ketertinggalan itu dan bisa mengikuti ujian kenaikan tingkat. Arsyad menerima nasihat-nasihat itu dan sangat berterima kasih kepada para dosen. Sejatinya, ia sangat ingin mengikuti perkuliahan dengan khusu’ dan mengikuti ujian kenaikan tingkat. Namun karena program sedang 136


Click to View FlipBook Version