The words you are searching are inside this book. To get more targeted content, please make full-text search by clicking here.
Discover the best professional documents and content resources in AnyFlip Document Base.
Search
Published by Fajri Al-Mughni, 2023-12-14 10:28:09

KEMAS ARSYAD SOMAD 1

KEMAS ARSYAD SOMAD 1

Keywords: fajri al mughni

sosial, beliau juga aktif di lembaga adat sebagai orang yang dituakan dan didengar petuahnya. Lama mengabdi menjadi Anggota Dewan, Dosen, pengacara, orang adat, Arsyad banyak belajar bagaimana caranya mengatasi masalah umat yang sedang terjadi. Namanya semakin dikenal oleh masyarakat Jambi. Melihat sepak terjang perjuangan, loyalitas, profesionalitas dan integritas Kemas Arsyad Somad, beliau terpilih menjadi Rektor UNJA pada tahun 2003. Pada periode pertama menjadi rektor beliau melanjutkan kuliah ke Strata Tiga di Universitas DIponegoro, Semarang. Dan pada periode pertamanya itulah beliau mendirikan Fakultas Kedokteran. 187


Kemas Arsyad Somad Menikah “Menikah itu modalnya cuma dua; yang pertama keyakinan dan sisanya adalah kepercayaan” – Kemas Arsyad Somad 188


Tahun 1970, Kemas Arsyad muda mulai belajar mengabdikan diri secara professional untuk negeri Jambi tercinta. Ilmu dan pengalaman selama di Lumajang dan menjadi mahasiswa di UNJA segera ia terapkan. Selama menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum, UNJA, Arsyad dikenal sebagai seorang aktivis mahasiswa yang luwes dan tentunya cerdas. Oleh karenanya, Prof. Anshori Ahmad, ketika itu belum menyandang gelar Profesor, meminta Arsyad untuk menjadi asistennya di Fakultas Hukum. Membantunya mengajar dan berbagi pengalaman kepada adik-adik mahasiswa yang lain. Ketika itu, Arsyad telah menyelesaikan kuliahnya pada jenjang sarjana muda. Bagi Arsyad tawaran ini tidak boleh dilewatkan, karena dengan menjadi asisten dosen akan menambah pengalaman dan ilmu sebelum nanti benarbenar menjadi seorang dosen yang berkualitas dan berintegritas. Pada waktu yang sama, Anshori Ahmad yang juga menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum juga meminta kepada satu orang mahasiswinya untuk menjadi asisten dosen. Mahasiswi itu baru menginjak semester tiga, tapi ia mendapat perhatian lebih dari Pak Anshori, karena dikelas ia merupakan mahasiswi yang cerdas dan layak untuk menjadi seorang asisten dosen. Mahasiswi itu bernama Sutrisyah binti Raden Mas Sudjono atau Masroro Sutrisyah. Dalam aktivitas belajar-mengajar inilah, Kemas Arsyad Somad muda bertemu dengan Sutrisyah yang kelak akan menjadi istrinya. Seperti biasa, bukan Kemas Arsyad Somad namanya jika tidak sibuk dengan kreativitas. Bagi Arsyad, hidup itu ibarat sedang berenang. Jika tidak bergerak, akan tenggelam. Dalam kesibukannya mengajar dan berorganisasi, ia mulai belajar menjadi seorang pengacara. Arsyad bergabung dengan para senior dan kawan-kawannya yang pengacara. Tujuannya hanya ingin membantu masyarakat yang sedang dalam kesulitan atau tersandung masalah hukum. Sementara Sutrisyah fokus belajar dan mengajar kawan-kawannya sesama mahasiswa. Melihat kualitas dua orang asistennya ini, Anshori Ahmad benar-benar menaruh kepercayaan kepada dua orang asistennya itu. Dalam pandangan Anshori Ahmad, mereka berdua layak menjadi dosen. 189


Seiring berjalannya waktu, pertemuan dua orang asisten dosen ini semakin intens. Sutrisyah adalah primadona mahasiswa. Bahkan beberapa dosen muda yang belum punya pasangan sesekali salah tingkah jika bertemu Sutrisyah. Ia tidak hanya pintar dan cerdas, tapi juga memiliki paras nan cantik, ayu, serta menunjukkan akhlak-budi yang baik. Arsyad terkadang tampak seperti tidak memperdulikan itu, namun dalam kesibukannya mengajar, berorganisasi dan belajar menjadi pengacara, nama dan wajah Sutrisyah lalu-lalang dalam benaknya. Ia juga terpesona. Tapi Arsyad punya pola yang berbeda dalam menyikapi situasi dan kondisi viralnya Sutrisyah pada kalangan mahasiswa. Siasat Arsyad terlihat jauh lebih matang dibanding yang lainnya. Sutrisyah menyadari bahwa dirinya menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa. Tapi Ia pandai membawa diri dan merespon dengan cara yang bijak. Penolakan Sutrisyah tidak terasa. Berdarah tapi tidak sakit. Banyak mahasiswa meliriknya, bertingkah aneh dihadapannya. Para mahasiswa itu berebut perhatian Sutrisyah dengan ragam-macam taktik. Yang merasa anak orang kaya, mereka pamer kekayaan. Yang merasa jago bahasa asing, pamer skill berbicara. Meski lawan bicaranya tak paham. Yang merasa dirinya tampan, selalu menebar senyuman maut. Senyumannya pantang dibalas. Sekali saja dibalas Sutrisyah, ia akan menceritakan balasan itu kepada setiap orang. Yang punya skill sepak bola, di depan Sutrisyah, apa saja ditendang. Pokoknya, apa saja yang bisa dipamerkan, semua dikeluarkan di depan Sutrisyah. Tapi semuanya mentah. Sutrisyah seorang gadis cerdas, maka cara untuk menaklukkan hatinya harus dengan cara yang elegan. Arsyad jatuh hati pada Sutrisyah, tentu bukan hanya karena parasnya yang cantik, tapi lebih karena akhlaknya, etikanya dan tutur sapanya yang santun. Meski suka dan jatuh hati, Arsyad tetap tenang dan tidak ikut dalam pola permainan para pesaing-pesaingnya yang lain. Ia hanya fokus pada aktivitasnya sebagai asisten dosen dan aktivis. Karena memang sejak menjadi mahasiswa, Arsyad telah dipercaya baik oleh kawan-kawannya, para dosen dan pimpinan kampus untuk menjadi pembicara dan berorasi di depan publik. Jika dia berkelakar, orang-orang bisa serentak tertawa dan terhibur. Jika ia sedang bicara serius dan sedih, semua yang mendengar bisa menangis tersedu-sedu. Dan jika ia sedang berorasi untuk memberi motivasi, semua pendengar akan “terbakar” semangatnya. Melihat dan mendengar Arsyad 190


berorasi, Sutrisyah bergumam dalam hati, “suami idaman nih”. Klop. Arsyad jatuh hati pada Sutrisyah. Sutrisyah menyambut hati Arsyad yang jatuh itu. Jika Arsyad tersenyum pada Sutrisyah, Sutrisyah membalas senyuman itu dengan bentuk senyuman yang berbeda dari senyuman balasan kepada yang lain. Kalau senyuman balasan kepada yang lain, senyuman itu berasal dari Gerakan bibir saja. Tapi kalau senyuman membalas senyuman Arsyad, adalah senyum yang datang dari hati, jantung, naik ke leher, lalu menggerakkan bibir dan memancarkan aura cinta dari wajahnya. Arsyad mulai memenangkan pertarungan. Benih-benih cinta baru mulai tumbuh dalam diri dua orang asisten Anshori Ahmad itu, tapi takdir sepertinya belum menyatukan mereka dalam sebuah ikatan sakral. Karena Arsyad akan segera berangkat ke Luar Negeri untuk kembali menimba ilmu dan pengalaman. Satu tahun Arsyad muda menjadi asisten dosen Anshori Ahmad. Selama satu tahun itulah Arsyad bertemu dan menjalin komunikasi dengan Sutrisyah. Sedangkan Sutrisyah tetap menjadi asisten Anshori Ahmad, karena ia harus menyelesaikan kuliahnya. Sutrisyah bersedih. Arsyad pun begitu. Tapi Arsyad meyakinkan Sutrisyah bahwa kepergiannya adalah untuk kembali. Disinilah kita mesti belajar bahwa yang dibutuhkan dalam cinta bukan hanya ucapan yang romantis dan janji manis, tapi lebih dari itu yaitu komitmen yang logis. Arsyad pun meninggalkan Sutrisyah, meninggalkan keluarganya dan meninggalkan tanah kelahirannya untuk berangkat ke Singapura, Malaysia, Arab Saudi, Kuwait, Baghdad, Syiria, Lebanon, Turki, Praha-Republik Ceko; Kota Paling Romantis, Lanjut ke Sofia-Bulgaria; Negeri Kuntum Mawar, Bertolak ke Stuttgart-Jerman; Fatherland, dan berlanjut ke Belgia-Brussel, Utrecht-Belanda dan pada akhirnya pulang ke Indonesia-Jambi setelah satu tahun menimba ilmu dan pengalaman di Luar Negeri. Setibanya di Jambi, Arsyad belum mau kembali mengabdikan diri, ia harus segera melanjutkan kuliah demi menyelesaikan Strata Satu. Karena dengan dilengkapi oleh gelar Strata Satu itu, pengabdiannya menjadi seorang dosen akan benar-benar sempurna dan diperhitungkan. Di mana waktu itu, satu diantara syarat untuk menjadi dosen adalah gelar sarjana strata satu. Oleh karena itulah, Arsyad melanjutkan kuliahnya pada Fakultas Hukum di UNSRI-Palembang. Di Palembang, Arsyad menyelesaikan Strata Satu 191


selama dua tahun. Dari tahun 1973-1975. Pada tahun 1975, Arsyad pulang ke Jambi dengan menyandang gelar Strata Satu bidang hukum. H. Kemas Arsyad Somad, SH. Dengan bermodal ilmu, pengalaman dan gelar yang telah mencukupi syarat, ia kembali diminta oleh pimpinan UNJA untuk menjadi dosen dan membantu perkembangan serta kemajuan UNJA. Arsyad menerima pinangan itu. Perempuan spesial dalam hidup Arsyad setelah Emaknya, bernama Sutrisyah, sudah menyelesaikan kuliahnya di UNJA juga telah diangkat menjadi pegawai di kampus yang sama. Sebenarnya, Sutrisyah diminta oleh pihak kampus untuk menjadi seorang dosen. Tapi selidik punyak selidik, hasil komunikasi Sutrisyah dengan Arsyad, mereka sepakat bahwa kelak Sutrisyah akan menjadi pegawai/staff, dan Kemas Arsyad menjadi dosen. Peribahasa lama bisa dipakai, “Pucuk dicinta, ulam pun tiba”. “Kalau jodoh memang tak kemana”. Cuma, kalau tak kemana-mana, jangan harap mendapat jodoh. Dengan kembalinya Arsyad menjadi dosen di UNJA, maka otomatis beliau akan bertemu lagi dengan Sutrisyah. Pertemuan itu menjadi lebih istimewa dengan Arsyad telah benar-benar siap, semakin dewasa dan matang dalam berpikir serta bertindak. Sutrisyah juga bertambah cantik, ayu, cerdas, dewasa, semakin ramah dan santun. Kolaborasi mereka dalam bekerja, dengan Arsyad sebagai dosen dan Sutrisyah sebagai pegawai, semakin kompak. Komunikasi pun semakin intens. Cinta yang dulu telah tertanam dalam hati dua insan ini semakin bersemi. Satu demi satu para pesaing Arsyad mundur teratur. Mereka sadar, lebih baik mundur dari pada bertanding lalu kalah. Di atas kertas dan di bawah kertas, Arsyad unggul. Puncak cinta mereka berdua diabadikan dalam sebuah momen sakral yang disebut dengan pernikahan. Pernikahan mereka dilangsungkan pada hari Sabtu, 13 Maret 1976. Dan diresmikan dalam maklumat resepsi pada hari Minggu, tanggal 14 Maret 1976 yang bertempat di Jalan Kamboja, No. 12, RT. 03. Talang Banjar, Jambi. Pada hari, tanggal dan tahun itu, H. Kemas Arsyad Somad bin Kemas Abdussomad resmi memperistrikan Masroro Sutrisyah binti Raden Mas Sudjono. Sutrisiyah lahir pada tanggal 4 November tahun 1949 di Tebo dari rahim seorang perempuan bernama Syarifah, yang dikenal dengan sebutan Syarifah Bidan. Karena memang beliau merupakan seorang bidan. Ayahnya adalah Raden Muhammad Sujdono yang dulu pernah menjabat sebagai 192


kepala kantor kehutanan Jambi, yang berasal dari Jogjakarta. Sutrisyah menamatkan Sekolah Dasar SD 5, yang menggunakan Gedung SD 1 Kebun Kelapa, SMP 1 Pasar dan SMA 1 Telanaiura, Kota Jambi. Dan menyelesai kuliah di UNJA. Dari dua insan yang hebat ini lahirlah lima orang anak laki-laki yang juga tidak kalah hebat. Dulu, Kemas Arsyad Somad didik oleh Ayahnya untuk menjadi pribadi yang kuat. Untuk itulah, beliau juga menanamkan prinsipprinsip itu kepada lima orang anaknya. Lima orang anaknya itu adalah; Kemas Al Farabi, Kemas Al Farizi, Kemas Al Fajri, Kemas Al Fansuri dan terakhir adalah Kemas Al Fauzan. Semoga Allah SWT selalu mencurahkan keberkahan, kebaikan dan kesuksesan kepada mereka. Amin Allahumma amin. 193


194


Kalam Berakhir Kisah perjalanan Dr. H. Kemas Arsyad Somad, MH tentu belum selesai. Buku yang hadir ditangan pembaca saat ini merupakan buku yang berisikan tentang kisah dan cerita masa kecil Dr. H. Kemas Arsyad Somad hingga beliau menjadi dosen di UNJA dan pengacara. Adapun kiprah beliau secara mendalam selama menjadi dosen, pembantu dekan, pengacara, anggota DPRD, Kepala Dinas Pendidikan sampai akhirnya menjadi Rektor UNJA selama dua periode, insya Allah akan dilanjutkan pada buku yang berikutnya. Penulis berinisiatif untuk menuliskan kisah tentang beliau menjadi dua jilid buku. Buku yang pertama berisikan tentang kisah dan cerita masa kecil, dan Insya Allah buku yang berikutnya berkisah tentang pengabdian dan kiprah beliau di negeri Jambi. Mudah-mudahan tidak ada halangan dan rintangan yang berat. Bismillah. Dalam buku ini beberapa narasi diubah untuk kepentingan cerita. Meski begitu, substansi utama dari kisah beliau tidak berkurang sama-sekali. Apa yang tertulis, begitulah adanya. Bahkan, masih banyak kekurangan dan ketertinggalan dalam alur kisah beliau yang sangat berliku dan panjang. Semoga nanti akan bisa menuliskan yang lebih baik. Penulis merasa sangat bersyukur diberi kesempatan untuk mewawancarai Bapak Dr. H. Kemas Arsyad Somad dan menuliskan kisah, cerita masa kecil beliau yang bisa jadi belum banyak diketahui oleh masyarakat. Ucapan terima kasih banyak tentunya juga penulis sampaikan kepada Abang Kemas Al Farabi, Kemas Al Farizi, Kemas Al Fajri, Kemas Al Fansuri dan terakhir adalah abang Kemas Al Fauzan yang setia menjadi kontributor dan tidak bosan menjawab setiap pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan. Tanpa 195


bantuan dari mereka, maka tidak mungkin buku ini bisa disusun sehingga terbit dan dibaca oleh masyarakat. Semoga Allah membalas semua kebaikan mereka dengan balasan yang lebih baik. Amin ya robbal alamin. 196


Tentang Penulis Fajri Al Mughni Lahir di Pulau Temiang pada tanggal 25 September 1987. Kecamatan Tebo Ulu, Kabupaten Tebo. Anak ketiga dari pasangan Abdul Halim dan Maryatie Kotie (almh). Menamatkan Sekolah Dasar di SD no 73 Pulau Temiang, MTs.N di Pulau Temiang dan Aliyah di Pondok Pesantren As’ad tahun 2005. Menyelesaikan Strata Satu di Universitas Al-Azhar Syarif Zaqaziq-Mesir, pada jurusan Aqidah dan Filsafat. Dan Strata Dua di Institut Agama Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi pada jurusan Filsafat Islam. Sekarang menjadi tenaga pengajar tetap pada Institut Agama Islam Nusantara (IAI-N) Muara Bulian Batanghari, Jambi, Ketua Bank Wakaf Mikro Pondok Pesantren As’ad dan Ketua Abdul Qadir Media Center, Pondok Pesantren As’ad, serta Pembina di Yayasan Kalam Literasi Indonesia. Tulisan-tulisan lain dapat di akses pada website www.kalamliterasi.com Email: [email protected]. IG: fajrialmughni 197


198


Galeri Foto Kemas Arsyad Somad 199


200


201


202


203


204


205


206


207


208


209


210


211


212


213


214


Click to View FlipBook Version